Anda di halaman 1dari 45

MAKALAH

STRATEGI PENGHEMATAN PAJAK MELALUI BENTUK USAHA


DAN MANAJEMEN PENUTUPAN USAHA DAN STRATEGI
PERPAJAKANNYA

Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas Akuntansi dan Manajemen Pajak

Disusun Oleh Kelompok 2 :


Dinda Meityawan (1910313420011)
Rizka Melyani (1910313420006)

KEMENTRIAN RISET, TEKNOLOGI, DAN PENDIDIKAN TINGGI


PROGRAM STUDI S1 AKUNTANSI REGULAR B
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
BANJARMASIN
2019
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas

karunia dan berkat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini. Tugas

makalah dari mata kuliah Akuntansi dan Manajemen Pajak ini penulis susun

dengan maksud bukti tertulis tentang “Strategi Penghematan Pajak Melalui

Bentuk Usaha dan Manajemen Penutupan Usaha dan Startegi Perpajakannya’’

beserta hal-hal yang berkaitan. Kiranya makalah ini dapat memberikan manfaat

kepada para pembacanya.

Tidak lupa penulis ucapkan terimakasih kepada pihak - pihak yang telah

membantu dan memberi pengarahan untuk menyelesaikan makalah ini. Makalah ini

masih jauh dari kesempurnaan, untuk itu penulis mengharapkan adanya kritik dan

saran yang membangun dari para pembaca. penulis berharap akan ada yang

mengembangkan makalah ini di masa yang akan datang.

Banjarmasin, 11 September 2019

Kelompok 2

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................... i

DAFTAR ISI .............................................................................................................. ii

BAB 1 PENDAHULUAN ................................................................................... 1

1.1 Latar Belakang ................................................................................. 1

1.2 Rumusan Masalah ............................................................................ 3

1.3 Tujuan Makalah ............................................................................... 3

BAB 2 PEMBAHASAN ..................................................................................... 5

2.1 Strategi Penghematan Pajak Melalui Bentuk Usaha ........................ 5

2.1.1 Bentuk Usaha Di Indonesia .................................................... 5

2.1.2 Pemilihan Bentuk Usaha ........................................................ 7

2.1.2.1 Usaha Koperasi ......................................................... 17

2.1.2.2 Usaha Organisasi Nirlaba ......................................... 22

2.2 Manajemen Penutupan Usaha dan Strategi Perpajakannya ............. 26

2.2.1 Penyelesaian Kewajiban Perpajakan ...................................... 27

2.2.2 Mengansur dan Menunda Pembayaran Pajak ........................ 28

2.2.3 Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP)................ 30

2.2.3.1 Keputusan Dirjen Pajak Atas Penghapusan NPWP.. 31

2.2.3.2 Tata Cara Penghapusan NPWP ................................ 31

2.2.3.3 Penghapusan NPWP dalam Keadan Khusus ............ 33

2.2.3.4 NPWP tidak dihapuskan ........................................... 33

2.2.3.5 Pencabutan NPPKP .................................................. 33

ii
2.2.3.6 Keputusan Ditjen Pajak Atas NPPKP....................... 34

2.2.4 Penghentian Kegiatan Operasional dan Status Dormant ....... 35

2.2.5 Aspek Akuntansi dan Perpajakan .......................................... 38

BAB 3 PENUTUP ............................................................................................... 40

3.1 Kesimpulan....................................................................................... 40

DAFTAR PUSTAKA

iii
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Upaya penghematan beban pajak yang akan ditanggung, perusahaan

melakukan berbagai perencanaan pajak. Selama perencanaan tidak bertentangan

dengan ketentuan pajak yang berlaku, hal tersebut legal untuk dilakukan.

Penghematan pajak dilakukan mulai dari tahap pemilihan bentuk usaha sampai

kepada saat penutupan perusahaan.

Strategi penghematan pajak melalui pemilihan bentuk usaha ini adalah

salah satu persoalan yang sering dihadapi oleh penanam modal atau investor

baru yang ingin punya usaha tapi bingung mau ditempatkan di mana-mana

investasinya, dari sekian banyak pilihan bentuk usaha. Investor juga harus

memikirkan jenis usaha atau portofolio investasi, apakah portofolio investasi

sekuritas (seperti saham, obligasi, reksadana), kegiatan perdagangan

(commerce), kegiatan industri atau kegiatan jasa (service) yang tujuan akhirnya

adalah menentukan investasi yang memberikan kontribusi profit paling besar,

tentu akan dengan resiko investasi yang paling rendah. Disini yang akan kita

diskusikan adalah masalah pemilihan bentuk usaha yang dilihat dari aspek

perpajakannya, bukan membahas tentang jenis usaha atau investasi.

Manajemen penutupan usaha dan strategi perpajakannya adalah dimana

dalam situasi dan kondisi dimana perusahaan mengalami kerugian beruntun

1
2

karena kemunduran kegiatan usaha atau karena omzet usaha yang menurun

drastis. Semua simpul kegiatan perusahaan terhenti atau macet, ditambah

kondisi usaha yang terlilit utang sehingga cash flow perusahaan harus

merekayasa ulang strategi perusahaan dengan melakukan berbagai usaha

penyelamatan agar perusahaan terhindar dari kebangkrutan. Selain dengan

melakukan rektrukturisasi keuangan (financial reengineering) dengan

mengonversikan utang menjadi modal, dan melakukan penjadwalan ulang

pembayaran utang, serta renegosiasi suku bunga pinjaman, manajemen bisa

melakukan upaya persuasif terhadap investor agar mau menyuntik dana

talangan (bridging fund) atau membeli atau mengakuisisi perusahaan tersebut.

Bila usaha penyelamatan tersebut juga buntu, tidak ada pilihan lain selain

menutup usaha atau melikuidasi perusahaan. Keputusan melikuidasi perusahaan

merupakan pilihan terakhir yang harus diambil pengusaha karena tindakan

tersebut selain berdampak pada berhentinya pemasukan, perusahaan juga harus

menyelesaikan kewajiban terhadap pihak ketiga, termasuk kewajiban utang

pajak yang dilindungi undang-undang. Dari pemaparan diatas maka kami akan

membahas mengenai topik pembahasan yang berjudul ‘’Strategi Penghematan

Pajak Melalui Bentuk Usaha dan Manajemen Penutupan Usaha dan

Startegi Perpajakannya’’.
3

1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana startegi penghematan pajak melalui badan usaha?

2. Bagaimana bentuk usaha di Indonesia?

3. Bagaimana pemilihan bentuk usaha?

4. Bagaimana bentuk usaha koperasi?

5. Bagaimana bentuk usaha nirlaba (yayasan)?

6. Bagaimana manajemen penutupan usaha dan startegi perpajakannya?

7. Bagaimana proses kewajiban perpajakan?

8. Bagaiman mengansur atau menunda pembayaran pajak?

9. Bagaimana penghapusan nomor pokok wajib pajak (NPWP)?

10. Bagaimana kegiatan operasional dan status dormant?

11. Bagaimana aspek akuntansi dan perpajakan lain atas pembubaran

perusahaan?

1.3 Tujuan Makalah

1. Untuk mengetahui startegi penghematan pajak melalui badan usaha.

2. Untuk mengetahui bentuk usaha di Indonesia.

3. Untuk mengetahui pemilihan bentuk usaha.

4. Untuk mengetahui bentuk usaha koperasi.

5. Untuk mengetahui bentuk usaha nirlaba (yayasan).

6. Untuk mengetahui manajemen penutupan usaha dan startegi perpajakannya.

7. Untuk mengetahui proses kewajiban perpajakan.


4

8. Untuk mengetahui mengansur atau menunda pembayaran pajak.

9. Untuk mengetahui penghapusan nomor pokok wajib pajak (NPWP).

10. Untuk mengetahui kegiatan operasional dan status dormant.

11. Untuk mengetahui aspek akuntansi dan perpajakan lain atas pembubaran

perusahaan.
BAB 2

PEMBAHASAN

2.1 Strategi Penghematan Pajak Melalui Bentuk Usaha

Strategi penghematan pajak melalui pemilihan bentuk usaha ini adalah

salah satu persoalan yang sering dihadapi oleh penanam modal atau investor

baru yang ingin punya usaha tetapi bingung akan ditempatkan dimana

investasinya, dari sekian banyak pilihan bentuk usaha. Investor juga harus

memikirkan jenis usaha atau portofolio investasi, apakah portofolio investasi

sekuritas (seperti saham, obligasi, reksadana), kegiatan perdagangan

(commerce), kegiatan industri atau kegiatan jasa (service) yang tujuan akhirnya

adalah menentukan investasi yang memberikan kontribusi profit paling besar,

tentu akan dengan resiko investasi yang paling rendah.

2.1.1 Bentuk Usaha di Indonesia

Tingkat keuntungan bisa sama di antara beberapa bentuk usaha namun

besarnya pajak yang ditanggung bisa berbeda. Selain mempertimbangkan aspek

pengembangan usaha (business development) dalam jangka panjang. Apalah

artinya keuntungan yang diperoleh dalam jangka pendek dengan meminimalkan

jumlah pajak, tetapi terbentur pada batasan ruang gerak pengembangan pasar

dan luasan usahanya kedepan dan jaringan bisnis yang sempit. Bila kita bicara

tentang kepercayaan mitra bank (bank dan supplier) terhadap badan usaha yang

5
6

umumnya lebih senang bekerjasama dengan bisnis yang berbadan hukum.

Ketika bicara mengenai masalah permodalan, pihak bank cenderung memilih

bekerja sama dengan badan usaha PT ketimbang usaha perseorangan, karena

perhitungan resiko manajemennya lebih tinggi pada usaha perseorangan.

Dalam peraturan perpajakan, banyak celah hukum yang dapat kita

manfaatkan untuk meminimalkan beban pajak tanoa harus berhadapan langsung

dengan aparat pajak dalam pemeriksaan dan penyidikan pajak, yaitu dengan

cara merapikan tax management dan tax planning perusahaan. Tujuan

perencanaan pajak yang baik adalah memberikan keuntungan sebesar-besarnya

kepada investor agar return on investment yang diperoleh semakin tinggi.

Strategi perencanaan pajak dapat dimulai sejak awal berbisnis dengan

melakukan setting up bentuk usaha yang akan dipilih investor.

Entitas hukum bisnis di Indonesia yang diakui Undang-Undang

Perpajakan adalah:

1. Perseroan Terbatas (PT), Koperasi, dan Yayasan.

2. Persekutuan (Firma, CV, Kongsi)

3. Perseroan.

Dilihat dari aspek legalitasnya, Perseroan Terbatas (PT), Koperasi, dan

Yayasan adalah entitas berbadan hukum (karena ada pengesahan pemerintahan

yakni Menteri Kehakiman/ Menteri Hukum dan HAM atas akte pendirian dan

anggaran dasarnya); sedangkan Persekutuan (Firma, CV, Kongsi) dan


7

Perseroan tidak berbadan hukum. Beberapa faktor yang harus dipertimbangkan

dalam pemilihan bentuk usaha (Zain, 2003: 97):

1. Bagaimana hubungan antara tarif pajak penghasilan orang pribadi dan tarif

pajak penghasilan wajib pajak badan, termasuk ketentuan khusus yang

mengatur hal tersebut.

2. Pengenaan pajak penghasilan secara berganda, baik atas laba bruto usaha,

maupun penghasilan dan pembagian keuntungan (dividen) kepada para

pemegang saham.

3. Kesempatan untuk menunda pembayaran pajak pada tarif penghasilan lebih

kecil/besar apabila dibandingkan dengan kesempatan yang teradapat pada

tariff pajak penghasilan dan akumulasi penghasilan perusahaan.

4. Adanya ketentuan mengenai kerugian hasil usaha netto (kompensasi

kerugian) dan kredit investasi yang berlaku bagi bentuk usaha tertentu.

5. Kemungkinan pengajuan perlakuan khusus terhadap pajak atas akumulasi

laba pajak atas penghasilan personal, holding company dan seterusnya.

6. Liberalisasi ketentuan yang menurut fringe benefit dan payment in kind.

2.1.2 Pemilihan Bentuk Usaha

Memilih bentuk usaha yang tepat merupakan hal pertama yang harus

diperhatikan oleh investor/pengusaha, selain untuk menentukan bentuk usaha

apa yang dapat memberikan kontribusi profit paling besar dengan tingkat risiko

yang paling rendah, beban pajak yang kecil dan mempertimbangkan


8

kelangsungan usaha dalam jangka panjang. Pemilihan Bentuk Usaha Orang

Pribadi dan Badan. Pilihan bentuk badan usaha yang tersedia secara umum

adalah berbentuk Perseroan Terbatas (PT), Perseroan Kommanditer (CV) atau

Perorangan (Pribadi).

1. Perseroan Terbatas (PT)

Perseroan Terbatas, yang selanjutnya disebut Perseroan, adalah badan

hukum yang merupakan yang merupakan persekutuan modal yang

didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal

dasar yang seluruhnya bebagi dalam saham, dan memenuhi persyaratan

yang ditetapkan dalam Undang-Undang serta peraturan pelaksanaannya.

Perseroan Terbuka (Tbk.) adalah Perseroan Publik atau Perseroan

yang melakukan penawaran umum saham sesuai dengan ketentuan

Undang-Undang di bidang padar modal.

Perseroan Terbatas adalah salah satu bentuk badan hukum entitas

bisnis yang banyak digunakan di Indonesia, yang didirikan dengan payung

hukum Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas.

Untuk mendirikan sebuah perusahaan berbentuk PT, berdasarkan akte

notaris yang didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Negeri dan

diumumkan dalam Tambahan Berita Negara RI, diperlukan adanya

pengesahan dari Kementerian Hukum dan HAM. Pasal 97 Undang-Undang

tersebut secara eksplisit membedakan PT dengan badan hukum lainnya,

pada PT tanggung jawab perusahaan dibebankan kepada direksi bukan


9

pemegang saham. Direksi adalah organ perseroan yang berwenang dan

bertanggung jawab penuh atas pengurusan Perseroan untuk kepentingan

Perseroan. Jadi selama pemegang saham tidak merangkap sebagai

pengurus perusahaan, maka tidak dapat dimintai tanggungjawabnya

terhadap tindakan operasional perusahaan oleh pihak mana pun. Tanggung

jawab pemegang saham terbatas pada nilai saham yang diambilnya.

Dalam menjalankan hak dan kewajiban sesuai dengan ketentuan

Undang-Undang Perpajakan, dalam hal badan, wajib pajak diwakili oleh

perngurus yang bertanggungjawab secara pribadi dan atau secara renteng

atas pembayaran pajak terutang, kecuali apabila dapat membuktikan dan

meyakinkan Direktur Jenderal Pajak bahwa mereka, dalam kedudukannya,

benar-benar tidak mungkin untuk dibebani tanggung jawab atas pajak yang

terutang tersebut. Mengenai tanggung jawab rentang ini dijelaskan lebih

lanjut dalam Surat Edaran Dirjen Pajak No. 02/PJ.47/1990 dengan merujuk

kepada ketentuan Pasal 32 ayat 2 Undang-Undang No. 6 Tahun 1983 yang

telah diubah terakhir kalinya dengan Undang-Undang No. 28 Tahun 2007

dan Undang-Undang No. 16 Tahun 2009 tentang Ketentuan Umum Dan

Tata Cara Perpajakan.

Dalam ketentuan perpajakan, sesuai pasal 17 Undang-Undang Nomor

7 Tahun 1983 yang telah diubah terakhir kali dengan Undang-Undang

Nomor 36 Tahun 2009 tentang Pajak Penghasilan, pengenaan pajak PT

dikenakan pada level net income sebelum pembagian dividen perusahaan


10

kepada pemegang saham. Ilustrasi perhitungan pajak Perseroan PT dapat

kita lihat berikut ini:

Income Tahun 2015 Rp 60.000.0000.000


COGS Rp 58.800.000.000
Gross Income Rp 1.200.000.000
Operating Expenses Rp 500.000.000
Net Income Before Tax Rp 700.000.000
Corporate Tax (PPh Badan) 25% Rp 175.000.000
Net Income After Tax Rp 525.000.000

Pada saat penghasilan tersebut ditransfer ke pemegang saham sebagai

dividen, maka atas pembagian tersebut akan dikenakan pajak lagi sebesar

10% (PPh Final untuk WPOP), sebagai berikut:

Net Income Before Tax Rp 700.000.000


Corporate Tax (PPh Badan) 25% Rp 175.000.000
Net Income After Tax Rp 525.000.000
Pajak Atas Dividen 10% (PPh Final) Rp 52.500.000
Return diterima pemegang saham Rp 472.500.000
% Beban Pajak (Total Tax/Net (Rp 175.000.000+ Rp 52.500.000):
Income) Rp 700.000.000 x 100% = 32,5%

Dengan demikian, secara total investor WPOP akan terbebani pajak

keuntungan yang diperoleh dari badan usaha PT tersebut sebesar 32,5%.


11

2. Usaha Persekutuan (CV, Firma, Kongsi)

Literatur hukum ada 3 (tiga) macam perkumpulan bukan badan

hukum atau tidak termasuk kategori badan, hukum, yaitu Persekutuan

Perdata, Firma dan CV. Pendirian sebuah Firma (Fa), walaupun didirikan

dengan akte notaris, didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Negeri dan

diumumkan dalam Tambahan Berita Negara RI, tidak diperlukan adanya

pengesahan dari Kementerian Hukum dan HAM. Demikian pula halnya

dengan pendirian sebuah CV, karena pada dasarnya CV merupakan firma

dengan bentuk usaha.

Oleh karena belum ada Undang-Undang yang mengatur masalah

Firma, CV, dan Persekutuan Perdata, maka untuk persekutuan tersebut kita

kembali kepada Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) dan Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata yang mengatur masalah tersebut.

Misalnya menenai pendirian Persekutuan (Firma atau CV) yang diatur

dalam pasal 1618 dan 1320 KUHP dan juga terdapat dalam pasal 22

KUHD.

Perbedaan antara persekutuan dengan PT terletak pada tanggung

jawab peseroannya (shareholder). Pasal 18 dan 19 buku 1 KUHD mengatur

tanggung jawab renteng pemilik/ pesero terhadap semua operasional atau

tuntutan dari pihak lain apabila terjadi suatu perkara.

Apabila CV mempunyai banyak utang sehingga jatuh pailit dan

apabila harta benda CV tidak mencukupi untuk pelunasan utang-utangnya,


12

maka harta benda pribadi pesero pengurus dapat dipertanggungjawabkan

untuk melunasi utang perusahaan. Sebaliknya harta benda para Persero

Commanditaris (Sleeping Partner) tidak dapat diganggu gugat.

Pengaturan pajak CV diatur dalam pasal 6 dan pasal 4 ayat 3 huruf I

Undang-Undang PPh. Berbeda dengan PT, pengenaan pajak CV hanya

dikenakan sekali pada level net income Perseroan. Ketika didistribusikan

kepada pemegang saham tidak dikenakan pajak dividen lagi. Pasal 4 ayat 3

huruf i Undang-Undang No. 7 Tahun 1983 yang telah diubah terakhir akhir

kalinya dengan Undang-Undang No. 38 tentang Pajak Penghasilan,

menegaskan yang dikecualikan dari objek pajak yakni bagian laba yang

dterima atau diperoleh anggota dari perseroan komanditer yang modalnya

tidak terbagi atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan, firma, dan

kongsi, termasuk pemegang unit penyertaan kontrak investasi kolektif.

Untuk kepentingan pengenaan pajak badan-badan, sebagaimana

disebut dalam ketentuan tersebut yang merupakan himpunan para

anggotanya, dikenai pajak sebagai satu kesatuan, yaitu pada tingkat badan

tersebut. Oleh karena itu bagian laba yang diterima oleh para anggota

badan tersebut bukan lagi merupakan objek pajak.

Dengan asumsi yang sama seperti contoh pada tabel berikut ini, maka

ilustrasi perhitungan pajak Firma/CV dapat kita lihat sebagai berikut:


13

Income Tahun 2015 Rp 60.000.000.000


COGS Rp 58.800.000.000
Gross Income Rp 1.200.000.000
Operating Expenses Rp 500.000.000
Net Income Before Tax Rp 700.000.000
Corporate Tax (PPh Badan) 25% Rp 175.000.000
Net Income After Tax Rp 525.000.000

Pada saat penghasilan tersebut ditransfer ke pemegang saham sebagai

dividen, maka atas pembagian tersebut tidak akan dikenai pajak lagi

sebagai berikut:

Net Income Before Tax Rp 700.000.000


Corporate Tax (PPh Badan) 25% Rp 175.000.000
Net Income After Tax Rp 525.000.000
Pajak Atas Dividen 0% Rp 0
Return yang diterima share holder Rp 525.000.000
% Beban Pajak (Total Tax/Net (Rp 175.000.000: 700.000.000) x
Income) 100% = 25%

3. Usaha Perseorangan

Mayoritas pendudukan Indonesia menjalankan bisnis secara

perserorangan, tidak mau terikat dengan badan usaha yang lebih formal,

tanpa akte notaries dan bersikap fleksibel terhadap kewajiban yang harus

dipenuhi, namun tetap memiliki NPWP untuk memenuhi kewajiban


14

perpajakannya. Bentuk badan usaha perseorangan dapat berupa wartel,

salon, rumah makan, usaha dagang (UD), waralaba, dan masih banyak lagi.

Lapisan Penghasilan PPh pasal 21 Tarif Pajak


Perseorangan (UU PPh No. 36 Tahun 2008)
0 sampai Rp 50.000.000 5%
Diatas Rp 50.000.000 s.d Rp 250.000.000 15%
Diatas Rp 250.000.0000 s.d Rp 500.000.000 25%
Diatas Rp 500.000.000 30%

Secara sederhana beban pajak yang harus ditanggung investor WPOP

dengan mengenakan pajak dengan tarif progresif seperti terlihat pada

tabel di atas.

Income Tahun 2015 Rp 60.000.0000.000


COGS Rp 58.800.000.000
Gross Income Rp 1.200.000.000
Operating Expenses Rp 500.000.000
Net Income Before Tax Rp 700.000.000
PTKP (Kawin 3 Anak atau K/3) Rp 72.000.000
Taxable Income Rp 628.000.000
Tax: PPh Pasal 21 Rp 133.400.000
Pada saat penghasilan tersebut ditransfer ke pemegang saham sebagai

dividen maka atas pembagian tersebut tidak akan dikenakan pajak lagi,

sebagai berikut:
15

Net Income Before Tax Rp 700.000.000


Tax: PPh Pasal 21 Rp 133.400.000
Income After Tax Rp 566.600.000
Pajak Atas Dividen 0% Rp 0
Return yang diterima share holder Rp 566.600.000
% Beban Pajak (Total Tax/Net Rp 133.400.000: 700.000.000 x
Income) 100% = 19,1%

Secara komparatif, beban pajak yang harus ditanggung investor dari

ketiga entitas bisnis tersebut adalah:

PT Persekutuan Perseorangan
(Fa/CV)
Net Income Rp 700.000.000 Rp 700.000.000 Rp 700.000.000
Beban Rp 227.500.000 Rp 175.000.000 Rp 133.400.000
Pajak (Rp)
Beban 32,5% 25% 19,1%
Pajak (%)

Dari analisis diatas, ada beberapa hal penting yang perlu kita catat:

1. Beban pajak yang ditanggung investor melalui persekutuan

ternyata, lebih kecil daripada usaha berbentuk PT.

2. Bisnis perseorangan tersebut bisa memberikan tingkat efisiensi

pajak yang jauh lebih besar dari pada bentuk badan usaha lainnya.

Namun kita tidak boleh tergesa-gesa mengambil keputusan atas


16

dasar pertimbangan ini semata, harus memperhatikan

pertimbangan lain.

3. Pemilihan salah satu entitas bisnis dapat dijadikan referensi dalam

pengambilan keputusan oleh para investor untuk meminimalkan

beban pajak. Namun demikian faktor pajak bukan satu-satunya

pertimbangan dalam pengambilan keputusan bisnis. Masih banyak

variabel lain yang harus diperhatikan investor.

4. Investor konvesional lebih sering mengandalkan institusi (naluri)

bisnisnya daripada perhitungan di atas kertas. Dalam pengambilan

keputusan, mereka hanya bermodalkan pengalaman (learning

curve yang tinggi) yang sangat berharga. Sehingga dengan

keyakinan penuh menjalankan usaha dengan kiat dan alur

pemikiran mereka yang sederhana, tetapi realitas dan terbukti bisa

berhasil. Pengelolaan bisnis modern dilakukan secara professional

dan tidak bisa mengandalkan instuisi semata, karena yang terakhir

ini hanya dilakukan oleh pelaku bisnis kawakan.

5. Diantara sederatan pertimbangan dalam proses pengambilan

keputusan bisnis modern, harus juga diakomodasi masalah

permodalan, advis manajemen resiko, lingkungan hidup, tanggung

jawab persero bila terjadi klaim pihak ketiga, business dan market

development, serta hak dan kewajiban lainnya yang timbul dari

pemilihan bentuk usaha tersebut.


17

2.1.2.1 Usaha Koperasi

Koperasi adalah badan usaha yang mengorganisasi pemanfaatan dan

pendayagunaan sumber daya ekonomi para anggotanya atas dasar prinsip-

prinsip koperasi dan kaidah usaha ekonomi untuk meningkatkan taraf hidup

anggota pada khususnya dan masyarakat daerah kerja pada umumnya, dengan

demikian koperasi merupakan gerakan ekonomi rakyat dan sokoguru

perekonomian nasional (PSAK No. 27). (IAI, SAK Per 1 Juli 2009).

Koperasi adalah salah satu bentuk badan hukum entitas bisnis yang

cukup banyak digunakan di Indonesia, yang didirikan dengan payung hukum

UU No. 25 tahun 1992 Tentang Perkoperasian. Dasar pendirian sebuah

perusahaan dengan bentuk koperasi adalah pada akte notaris yang didaftarkan

di Kepaniteraan Pengadilan Negeri dan diumumkan dalam Tambahan Berita

Negara RI serta disahkan oleh Kementrian Hukum dan HAM. Dalam

koperasi, tanggung jawab perusahaan dibebankan kepada pengurus, bukan

kepada anggota koperasi. Pengurus koperasi adalah organ koperasi yang

berwenang dan bertanggung jawab penuh atas pengurus koperasi dan untuk

kepentingan koperasi.

Beberapa jenis koperasi :

1. Koperasi Konsumen (misalnya koperasi warung serba ada atau

supermarket)

2. Koperasi Produsen (misalnya koperasi jasa konsultasi)

3. Koperasi Simpan Pinjam


18

4. Koperasi Pemasaran

Perlakuan Perpajakan Koperasi:

Sebagaimana pada bentuk badan usaha lainnya, pada prinsipnya

koperasi dapat melakukan kegiatan di hampir semua bidang usaha, sehingga

atas penghasilan koperasi yang disebut sisa hasil usaha (SHU) merupakan

objek pajak penghasilan yang dikenai tarif PPh Badan, dengan tarif tunggal

28% (tahun 2009), dan tarif 25% (tahun 2010 dan seterusnya).

Insentif Pajak Bagi Koperasi:

Pada dasarnya, apa pun insentif pajak yang diberikan kepada badan

usaha (PT, firma, CV) juga berlaku bagi koperasi.

Beberapa fasilitas insentif pajak penghasilan dan yang dikecualikan dari

pajak dalam UU PPh No. 36 Tahun 2008 yang berlaku bagi koperasi, antara

lain :

a. Yang dikecualikan dari objek pajak adalah harta hibahan dan bantuan

atau sumbangan kepada koperasi, sepanjang tidak ada hubungan dengan

usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di antara pihak-pihak

yang bersangkutan (Pasal 4 ayat 3 huruf a UU PPh No. 36 Tahun 2008).

b. Sisa hasil usaha (SHU) yang dibayarkan oleh koperasi kepada

anggotanya, tidak dipotong PPh Pasal 23 (Pasal 23 ayat 4 huruf UU PPh

No. 36 Tahun 2008).

c. Dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh dari penyertaan

modal pada badan usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan di


19

Indonesia dengan syarat dividen tersebut berasal dari cadangan laba yang

ditahan.

Pasal 4 ayat 3 huruf f UU PPh No. 36 Tahun 2008 :

Yang dikecualikan dari objek pajak adalah :

Dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas

sebagai wajib pajak dalam negeri, koperasi, badan usaha milik negara,

atau badan usaha milik daerah, dari penyertaan modal pada badan usaha

yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia dengan syarat :

1. Dividen tersebut berasal dari cadangan laba ditahan; dan

2. Bagi Perseroan terbatas, badan usaha milik negara, dan badan usaha

milik daerah yang menerima dividen, kepemilikan saham pada badan

yang memberikan dividen paling rendah 25% (dua puluh lima

persen) dari jumlah modal yang disetor.

d. Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 15 tahun 2009 PPh tentang bunga

simpanan yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggota koperasi

perorangan. Besarnya Pajak Penghasilan (final) adalah :

1. 0% (nol persen) untuk penghasilan berupa bunga simpanan sampai

dengan Rp 240 ribu per bulan; atau

2. 10% (sepuluh persen) dari jumlah bruto bunga untuk penghasilan

berupa bunga simpanan lebih dari Rp 240 ribu per bulan.

e. Tarif baru bagi Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM). Insentif ini

khusus untuk UMKM berbadan hukum yang memiliki omzet di bawah


20

Rp 4,8 miliar per tahun atau Rp 400 juta per bulan, Diberi insentif

pemotongan tarif PPh sebesar 50% dari tarif pajak normal sebesar 25%

oleh pemerintah.

f. Peraturan Pemerintah No. 1 Tahun 2007 dan No. 62 Tahun 2008 Tentang

Fasilitas Pajak Penghasilan Untuk Penanaman Modal Di Bidang-Bidang

Usaha tertentu Dan Atau Di Daerah-Daerah Tertentu.

Kegiatan Usaha Koperasi yang Mendapatkan Perlakuan Khusus:

Ada beberapa kegiatan usaha koperasi yang mendapat perlakuan khusus:

1. Koperasi yang menanamkan modalnya di bidang-bidang usaha

tertentu dan atau di daerah-daerah tertentu (mendapatkan fasilitas

pajak penghasilan untuk penanaman modal, sebagaimana diatur

dalam Peraturan Pemerintah No. 1 Tahun 2007 dan No. 62 Tahun

2008).

2. Pembebasan bea masuk dan tidak dipungut Pajak Pertambahan Nilai

serta Pajak Penjualan atas impor kendaraan bermotor jenis sedan

untuk dipergunakan dalam usaha pertaksian oleh Koperasi

Pengemudi Taksi. PPN dan PPn BM yang ditanggung pemerintah

berlaku sepanjang kendaraan tersebut digunakan dalam usaha

pertaksian sekurang-kurangnya selama lima tahun sejak tanggal

dikeluarkannya STNK (Keputusan Presiden RI Nomor 30 Tahun

1986 dan Nomor 28 Tahun 1987 Jo. Keputusan Presiden Nomor 74

Tahun 1995).
21

3. Pondok Boro yang dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan

Nilai adalah bangunan sederhana, berupa bangunan bertingkat atau

tidak bertingkat, yang dibangun dan dibiayai oleh perorangan atau

koperasi buruh atau koperasi karyawan yang diperuntukkan bagi para

buruh tidak tetap atau para pekerja sektor informal berpenghasilan

rendah dengan biaya sewa yang disepakati, yang tidak

dipindahtangankan dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sejak

diperoleh

(Peraturan Menkeu No.36/PMK.03/2007.jo.No.80/PMK.03/2008 dan

No.31/PMK.03/2011).

Dalam ketentuan perpajakan, sesuai pasal 17 UU No. 7 Tahun 1983

yang telah diubah terakhir kali dengan UU No. 36 Tahun 2008

tentang Pajak Penghasilan, pajak koperasi dikenakan pada level net

income sebelum pembagian SHU perusahaan kepada anggota

koperasi.

Ilustrasi perhitungan pajak koperasi dapat kita lihat dalam tabel berikut

ini :

Income Tahun 2013 Rp 60.000.000.000


COGS Rp 58.800.000.000
Gross Income Rp 1.200.000.000
Operating Expenses Rp 500.000.000
Net Income before tax Rp 700.000.000
22

Corporate Tax (PPh badan) 25% Rp 175.000.000


Net Income after tax Rp 525.000.000

2.1.2.2 Usaha Organisasi Nirlaba (Yayasan)

Karakteristik organisasi atau lembaga nirlaba berbeda dengan organisasi

bisnis. Perbedaan utama terletak pada cara organisasi memperoleh sumber

daya yang dibutuhkan untuk melakukan berbagai aktivitas operasinya.

Organisasi nirlaba memperoleh sumber daya dari sumbangan para anggota

dan para penyumbang lain yang tidak mengharapkan imbalan apapun dari

organisasi tersebut (IAI,SAK Per 1 Juli 2009).

Yayasan adalah salah satu bentuk badan hukum entitas bisnis yang

cukup banyak digunakan di Indonesia, yang didirikan dengan payung hukum

UU No. 16 tahun 2001 Tentang Yayasan. Pendirian sebuah perusahaan

dengan bentuk Yayasan, didasarkan pada akte notaris yang didaftarkan di

Kepaniteraan Pengadilan Negeri dan diumumkan dalam Tambahan Berita

Negara RI, serta diperlukan adanya pengesahan dari Kementrian Hukum dan

HAM. Dalam Yayasan, tanggung jawab perusahaan dibebankan kepada

Pengurus. Pengurus yayasan adalah organ yayasan yang berwenang dan

bertanggung jawab penuh atas pengurusan perusahaan untuk kepentingan dan

tujuan yayasan. Bahkan setiap pengurus bertanggung jawab penuh secara

pribadi apabila yang bersangkutan dalam menjalankan tidak sesuai dengan


23

anggaran dasar sehingga mengakibatkan kerugian yayasan atau pihak ketiga

(pasal 35 ayat 3).

Ada beberapa macam jenis yayasan, di antaranya:

1. Yayasan Pendidikan (dari TK hingga universitas)

2. Yayasan Keagamaan dan Sosial (Misalnya: Yayasan mesjid dan Yayasan

Panti Asuhan Yatim Piatu)

3. Yayasan Kesehatan (Misalnya: poliklinik dan rumah sakit)

4. Yayasan bidang penelitian dan pengembangan (misalnya yayasan lembaga

konsumen)

Perlakuan Perpajakan Yayasan:

Sebagaimana pada bentuk badan usaha lainnya, pada prinsipnya yayasan

dapat melakukan kegiatan di hampir semua bidang usaha, sehingga atas

penghasilan yayasan yang disebut dengan juga dengan Sisa Hasil Usaha

(SHU) merupakan objek pajak penghasilan yang dikenai tarif PPh Badan,

dengan tarif tunggal 28% (Th 2009) dan tarif 25% (Th 2010 dan seterusnya).

Pengakuan penghasilan maupun biaya pada yayasan sama dengan

badan usaha lainnya. Namun demikian ada beberapa kegiatan usaha yayasan

yang mendapat perlakuan khusus seperti diuraikan berikut ini:

Kegiatan Usaha Yayasan yang Mendapatkan Perlakuan Khusus

1. Mendapat fasilitas pembebasan bea masuk dan cukai dengan mengajukan

permohonan untuk dapat ditetapkan sebagai badan atau lembaga yang

mendapatkan fasilitas pembebasan bea masuk berdasarkan Keputusan


24

Menteri Keuangan Nomor 144/KMK.05/1997 tentang Pembebasan Bea

Masuk Dan Cukai Atas Impor Barang Kiriman Hadiah Untuk Keperluan

Ibadah Umum, Amal, Sosial dan Kebudayaan (Peraturan Menteri

Keuangan Nomor 22/PMK.04/2006, sebagaimana telah beberapa kali

diubah terakhir dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor

67/PMK.04/2006). Dalam hal ini Yayasan dapat mengajukan

permohonan untuk memperoleh fasilitas tersebut setiap saat dibutuhkan.

2. Dikecualikan dari kewajiban pembayaran atau pemungutan Pajak

Penghasilan atau penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan atau

bangunan, yakni orang pribadi yang melakukan pengalihan tanah dan atau

bangunan dengan cara hibah dengan keluarga sedarah dalam garis

keturunan lurus satu derajat, badan keagamaan, badan pendidikan, badan

sosial, termasuk yayasan, koperasi atau orang pribadi yang menjalan

usaha mikro dan kecil, sepanjang hibah tersebut tidak ada hubungannya

dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan, antara pihak

pihak yang bersangkutan (PER/30/PJ/2009 dan SE-48/PJ./2009).

3. Yayasan keagamaan dan sosial lainnya

Sesuai dengan Pasal 2 UU Pajak Penghasilan, yayasan tetap

digolongkan sebagai subjek pajak penghasilan. Objek pajaknya terbagi

dua, sesuai orientasi bidang usaha yayasan. Bila yayasan bermotif

mencari keuntungan (misalnya yayasan universitas), maka penerimaanya

merupakan objek pajak penghasilan, namum sebaliknya bila penerimaan


25

yayasan bukan bermotif mencari keuntungan (misalnya sumbangan untuk

panti asuhan dan yatim piatu), maka atas penerimaan tersebut tidak

terutang PPh.

Sebagaimana badan usaha lainnya, yayasan juga harus

melaksanakan kewajiban pemotongan Pajak Penghasilan dalam hal

yayasan tersebut melakukan transaksi pembayaran berbagai jasa, seperti

sewa, dividen, royalti, dan gaji karyawan.

4. Peraturan Dirjen Pajak No. PER 44/PJ./2009 dan Peraturan Menkeu No.

80/PMK.03/2009 tentang pelaksanaan pengakuan Sisa Lebih yang

diterima atau diperoleh badan atau lembaga nirlaba yang bergerak dalam

bidang pendidikan dan atau bidang penelitian dan pengembangan yang

dikecualikan dari objek pajak penghasilan. Yayasan pendidikan

diperkenankan untuk mengakui dana pembangunan gedung dan prasarana

pendidikan yang berasal dari Sisa Lebih.

Sisa Lebih adalah selisih dari seluruh penerimaan yang merupakan

Objek Pajak Penghasilan, selain penghasilan yang dikenakan Pajak

Penghasilan tersendiri, dikurangi pengeluaran untuk biaya operasional

sehari-hari badan atau lembaga nirlaba.

Badan atau lembaga nirlaba wajib menyampaikan pemberitahuan

mengenai rencana fisik sederhana dan rencana biaya pembangunan dan

pengadaan sarana dan prasarana kegiatan pendidikan atau penelitian dan

pengembangan kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat wajib


26

pajak terdaftar dengan tindasan kepada instansi yang membidanginya.

Pemberitahuan disampaikan bersamaan dengan penyampaian Surat

Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan tahun pajak diperolehnya sisa

lebih tersebut atau paling lama sebelum pembangunan dan pengadaan

sarana dan prasarana kegiatan pendidikan dan atau penelitian penelitian

dan pengembangan dimulai, dalam jangka waktu 4 (empat) tahun sejak

diperolehnya sisa lebih tersebut.

Apabila setelah lewat dari jangka waktu 4 (empat) tahun, badan

atau lembaga nirlaba tidak menggunakan atau terdapat sisa lebih yang

tidak digunakan untuk pembangunan dan pengadaan saran dan prasarana

kegiatan pendidikan dan atau penelitian dan pengembangan dimaksud,

maka sisa lebih tersebut diakui sebagai Penghasilan dan dikenakan Pajak

Penghasilan pada tahun pajak berlakunya.

2.2 Manajemen Penutupan Usaha dan Strategi Perpajakannya

Manajemen penutupan usaha dan strategi perpajakannya adalah situasi

dan kondisi dimana perusahaan mengalami kerugian beruntun karena

kemunduran kegiatan usaha atau karena omzet usaha yang menurun drastis.

Semua simpul kegiatan perusahaan terhenti atau macet, ditambah kondisi usaha

yang terlilit utang sehingga cash flow perusahaan harus merekayasa ulang

strategi perusahaan dengan melakukan berbagai usaha penyelamatan agar

perusahaan terhindar dari kebangkrutan. Selain dengan melakukan


27

rektrukturisasi keuangan (financial reengineering) dengan mengonversikan

utang menjadi modal, dan melakukan penjadwalan ulang pembayaran utang,

serta renegosiasi suku bunga pinjaman, manajemen bisa melakukan upaya

persuasif terhadap investor agar mau menyuntik dana talangan (bridging fund)

atau membeli atau mengakuisisi perusahaan tersebut.

Bila usaha penyelamatan tersebut juga buntu, tidak ada pilihan lain selain

menutup usaha atau melikuidasi perusahaan. Keputusan melikuidasi perusahaan

merupakan pilihan terakhir yang harus diambil pengusaha karena tindakan

tersebut selain berdampak pada berhentinya pemasukan, perusahaan juga harus

menyelesaikan kewajiban terhadap pihak ketiga, termasuk kewajiban utang

pajak yang dilindungi undang-undang.

2.2.1 Penyelesaian Kewajiban Perpajakan

Negara mempunyai hak mendahului (hak preferensi) pembayaran utang

pajak atas barang-barang milik penanggung pajak yang akan dilelang.

Pembayaran kepada kreditur lain diselesaikan setelah utang pajak dilunasi.

Dalam hal Wajib Pajak dinyatakan pailit, bubar atau dilikuidasi, maka kurator,

likuidator, atau orang atau badan yang ditugasi untuk melakukan pemberesan,

dilarang membagikan harta wajib pajak dalam pailit, pembubaran, atau

likuidasi kepada pemegang saham atau kreditur lainnya sebelum menggunakan

harta tersebut untuk membayar utang pajak wajib pajak tersebut (Pasal 21 Ayat

1 dan (3a) UU KUP No. 28 Tahun 2007).


28

Saat penutupan usaha tidak bisa lagi dihindari oleh pengusaha, dan

legalisasi dari pihak yang berwenang seperti notaris dan pihak-pihak berwenang

lainnya telah didapatkan, maka penutupan usaha idealnya ditindaklanjuti

dengan pengajuan permohonan penghapusan NPWP dan penghapusan NPPKP

(Nomor Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak). Hal ini disebabkan karena

penghapusan NPWP atau pencabutan NPPKP tidak dapat terjadi secara

otomatis karena alasan perusahaan tidak beroperasi lagi. NPWP tidak dapat

dihapus bila wajib pajak masih memiliki utang pajak.

Seringkali, Wajib pajak membiarkan kondisi tersebut menggantung

walaupun mereka khawatir juga bila perusahaan sewaktu-waktu di datangi

orang pajak untuk pemeriksaan. Sebaiknya penyelesaian masalah ini tidak

ditunda-tunda, karena penundaan tersebut hanya solusi semu, karena saat

gilirannya tiba wajib pajak akan semakin terpuruk dengan timbulnya akumulasi

sanksi perpajakan.

2.2.2 Mengansur atau Menunda Pembayaran Pajak

Wajib pajak dapat mengajukan permohonan secara tertulis untuk

mengangsur atau menunda pembayaran pajak dalam Surat Tagihan Pajak, Surat

Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar

Tambahan, dan Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan,

Putusan Banding, serta Putusan Peninjauan Kembali, yang menyebabkan

jumlah pajak terutang bertambah, serta Pajak Penghasilan Pasal 29, kepada
29

Direktur Jenderal Pajak (Peraturan Menteri Keuangan No. 184/PMK.03/2010).

Tata cara Pengangsuran dan Penundaan Pembayaran Pajak:

1. Permohonan harus diajukan paling lama 9 (sembilan) hari kerja sebelum

saat jatuh tempo pembayaran utang pajak terakhir, dengan disertai alasan

dan jumlah pembayaran yang dimohonkan untuk diangsur atau ditunda.

2. Apabila batas waktu 9 (sembilan) hari kerja tidak dapat dipenuhi oleh

wajib pajak karena keadaan diluar kekuasaannya, permohonan wajib pajak

masih dapat dipertimbangkan oleh Direktur Jenderal Pajak, sepanjang

wajib pajak dapat membuktikan kebenaran keadaan diluar kekuasaannya

tersebut. Selanjutnya:

a. Direktur Jenderal Pajak menerbitkan surat keputusan atas permohonan

berupa menerima seluruhnya, menerima sebagian, atau;

b. Menolak, paling lama 7 (tujuh) hari setelah tanggal diterimanya

permohonan.

3. Apabila jangka waktu tersebut telah lewat dan Dirjen Pajak tidak memberi

suatu keputusan, maka permohonan wajib pajak dianggap diterima.

4. Surat Keputusan yang menerima seluruhnya atau sebagian, dengan jangka

waktu masa angsuran atau penundaan tidak melebihi 12 (dua belas) bulan

dengan mempertimbangkan kesulitan likuiditas atau keadaan di luar

kekuasaan wajib pajak.


30

5. Terhadap utang pajak yang telah diterbitkan surat keputusannya,

sebagaimana dimaksud pada butir 1 dan 2 di atas tidak dapat lagi diajukan

permohonannya untuk mengangsur atau menunda pembayaran.

Kepastian hukum tentang penghapusan NPWP dan pencabutan NPPKP

diatur dalam Undang-Undang Perpajakan karena penutupan perusahaan

merupakan suatu hal yang diperkenankan oleh ketentuan perpajakan, khususnya

Pasal 2 ayat (6) Tahun 1983 yang telah dirubah terakhir dengan UU No. 16

Tahun 2009 tentang KUP, Peraturan Menteri Keuangan Nomor

20/PMK.03/2008 dan Keputusan Dirjen Pajak No. 161/PJ/2001 Jo PER

160/PJ./2007.

2.2.3 Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP)

1. Diajukan permohonan penghapusan NPWP antara lain oleh:

a. Wajib pajak dan atau ahli warisnya karena wajib pajak sudah tidak

memenuhi persyaratan subjektif dan atau objektif sesuai dengan

ketentuan undang-undang perpajakan.

b. Wajib pajak badan dalam rangka likuid pembubaran karena penghentian

atau penggabungan usaha.

c. Wajib pajak bentuk usaha tetap yang menghentikan kegiatan usahanya

di Indonesia.
31

2. Dianggap perlu oleh Direktur Jenderal Pajak untuk menghapuskan NPWP

dari wajib pajak yang sudah tidak memenuhi persyaratan subjektif dan atau

objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.

2.2.3.1 Keputusan Dirjen Pajak Atas Permohonan Penghapusan NPWP

1. Direktur Jenderal Pajak, setelah melakukan pemeriksaan, harus

memberikan keputusan atas permohonan penghapusan NPWP dalam

jangka waktu 6 (enam) bulan untuk wajib pajak orang pribadi dan 12 (dua

belas) bulan untuk wajib pajak badan, sejak tanggal permohonan wajib

pajak diterima secara lengkap.

2. Apabila jangka waktu tersebut telah lewat dan Direktur Jenderal Pajak

tidak memberikan suatu keputusan, permohonan penghapusan NPWP

dianggap dikabulkan.

3. Dalam permohonan wajib pajak dianggap dikabulkan, Direktur Jenderal

Pajak harus menerbitkan surat keputusan penghapusan NPWP dalam

rangka waktu paling lama 1 (satu) bulan setelah itu.

2.2.3.2 Tata Cara Penghapusan NPWP

1. Wajib pajak mengajukan Permohonan Penghapusan NPWP secara tertulis

dengan menggunakan formulir yang telah ditentukan. Pemohonan

ditunjukan ke KPP (Kantor Pelayan Pajak Pratama) dimana wajib pajak

telah terdaftar.
32

2. Permohonan tersebut harus dilampiri dengan dokumen pendukung

penghapusan NPWP, diantaranya:

a. RUPS pembubaran perusahaan khusus untuk wajib pajak badan atau

paling tidak surat keputusan pembubaran dari pemilik usaha.

b. SPT (Surat Pemberitahuan) PPh Tahun Pajak terakhir yang belum

disampaikan.

c. Jenis-jenis dokumen yang harus dilampirkan pada permohonan

penghapusan NPWP, ini tergantung kebijakan dan masing-masing

Kantor Pelayanan Pajak.

3. Permohonan penghapusan NPWP yang telah dilengkapi dengan dokumen

pendukung yang telah ditentukan (antara lain Negara Likuidasi

Perusahaan) akan ditindaklanjuti dengan suatu pemeriksaan pajak.

4. Dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sejak permohonan dari wajib pajak

orang pribadi diterima dengan lengkap, Dirjen Pajak harus memberikan

waktu pemberian keputusannya 6 (enam) bulan atau dengan kata lain

mencapai 12 (dua belas) bulan.

5. Dalam hal Dirjen Pajak tidak memberikan keputusan dalam jangka waktu

yang telah ditentukan, maka permohonan penghapusan NPWP dianggap

dikabulkan. Kemudian dalam waktu 1 (satu) bulan setelah jangka waktu

pemberian keputusan terakhir, Dirjen Pajak harus menerbitkan surat

keputusan penghapusan NPWP.


33

2.2.3.3 Penghapusan NPWP dalam Keadaan Khusus

Penghapusan NPWP dalam kondisi utang pajak belum dilunasi hanya

dapat terjadi jika berdasarkan pemeriksaan diketahui bahwa:

1. Utang pajak tidak dapat ditagih lagi kepada wajib pajak karena sudah

tidak adanya harta kekayaan.

2. Wajib pajak meninggal dunia dengan tidak meninggalkan warisan dan

tidak mempunyai ahli waris tidak dapat ditentukan.

3. Hak Negara untuk melakukan penagihan sudah kadaluwarsa.

2.2.3.4 NPWP Tidak Dapat Dihapuskan

NPWP tidak dapat dihapuskan jika hasil pemeriksaan

menginformasikan bahwa wajib pajak masih memiliki utang pajak dan negara

masih berhak menagih.

2.2.3.5 Pencabutan Nomor Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak (NPPKP)

Terdapat 2 (dua) cara pencabutan NPPKP:

1. Pencabutan NPPKP berdasarkan permohonan wajib pajak.

2. Pencabutan NPPKP dapat dilakukan secara jabatan oleh Dirjen Pajak.

Tata cara pencabutan NPPKP:

1. Wajib pajak mengajukan permohonan pencabutan NPPKP secara tertulis

dengan menggunakan formulir yang telah ditentukan oleh KPP setempat,

yang selanjutnya akan ditindaklanjuti dengan pemeriksaan pajak.


34

2. Dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sejak tanggal permohonan diterima

secara lengkap, Dirjen Pajak harus memberikan keputusan.

3. Bila jangka waktu untuk memberikan keputusan telah lewat, maka

pencabutan NPPKP dianggap dikabulkan.

4. Surat keputusan mengenai Pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena

Pajak harus diterbitkan dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan

setelah jangka waktu pemberian keputusan berakhir.

Penghapusan NPWP atau pencabutan NPPKP tidak menghilangkan kewajiban

perpajakan.

2.2.3.6 Keputusan Dirjen Pajak Atas Permohonan Pencabutan Pengukuhan

Pengusaha Kena Pajak

1. Direktur Jenderal Pajak, karena jabatan atau atas permohonan wajib pajak

dapat melakukan Pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak.

2. Atas permohonan wajib pajak untuk melakukan Pencabutan Pengukuhan

Pengusaha Kena Pajak, Direktut Jenderal Pajak setelah melakukan

pemeriksaan harus memberikan keputusan dalam jangka waktu 6 (enam)

bulan sejak tanggal permohonan diterima secara lengkap.

3. Apabila jangka waktu telah lewat dan Direktur Jenderal Pajak tidak

member keputusan, maka permohonan Pencabutan Pengukuhan

Pengusaha Kena Pajak dianggap dikabulkan dan surat keputusan


35

mengenai Pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak harus

diterbitkan dalam jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan setelah itu.

2.2.4 Penghentian Kegiatan Operasional dan Status Dormant

Cara lain pembubaran perusahaan adalah dengan tidak langsung

melikuidasinya, melainkan dengan tahapan penghentian kegiatan operasional

usaha dan menkondisikan perusahaan menjadi perusahaan yang tidur dan tidak

aktif (dormant). Hal ini dapat dilakukan jika perusahaan masih berharap akan

mendapatkan proyek baru. Setelah itu jika perusahaan memang nantinya benar-

benar akan menutup usahanya, maka berangsur-angsur persyaratan legal

pembubaran perusahaan dilakukan.

Dalam rangka efisiensi usaha, pada masa dormant perusahaan dapat

memangkas biaya-biaya operasional, seperti menurunkan biaya gaji pegawai

dengan mem-PHK-kan sebagian karyawannya (dengan mempertahankan

beberapa person incharge yang menangani kewajiban perpajakan), menurunkan

biaya sewa gedung dengan cara memindahkan sementara lokasi usaha ke

tempat yang lebih murah, dan sebagainya. Yang perlu diperhatikan adalah

bahwa selama masa dormant perusahaan tetap harus melaksanakan kewajiban

perpajakan, baik masa maupun tahunan (meskipun nihil), karena kewajiban

pajak subjektifnya belum berakhir.

Dengan cara dormant, pemeriksaan pajak terkait dengan permohonan

penghapusan NPWP/NPPKP perusahaan cenderung dapat dikelola dengan baik,


36

mengingat dalam kondisi dormant, tidak banyak kewajiban yang dilakukan oleh

perusahaan sehingga tax exposure dapat ditekan seminimal mungkin. Dalam

kasus-kasus tertentu, masa dormant dapat diterapkan selama masa kadaluwarsa

penetapan pajak (berdasarkan UU KUP yang sekarang berlaku adalah 5 tahun)

untuk mengatasi tax exposure temuan pemeriksaan pajak yang massif apabila

pihak otoritas perpajakan memeriksa keseluruhan tahun yang masih terbuka (all

open years) untuk pemeriksaan. Sebagai contoh, apabila pada tahun 2017 suatu

perusahaan ingin melakukan penutupan usaha, maka ketika perusahaan tersebut

mengajukan penghapusan NPWP dan NPPKP, konsekuensinya adalah

pemeriksaan oleh pemeriksa pajak. Tahun yang masih terbuka untuk

pemeriksaan pajak adalah tahun 2013 s.d. 2017. Jika perusahaan merasa bahwa

dokumen-dokumen tahun 2013 sudah tidak lengkap karena sebagian sudah

hilang sehingga dikhawatirkan akan menimbulkan tax exposure yang tinggi,

maka perusahaan dapat menunda penutupan usaha sampai tahun 2018 dengan

cara menjadikan perusahaan dormant. Maka ketika perusahaan diperiksa pada

tahun 2018, maka pemeriksa pajak sudah tidak bisa memeriksa untuk tahun

2013.

Jikapun ada temuan, dipastikan jumlahnya tidak material karena secara

subtantif perusahaan tidak lagi memiliki kegiatan operasional usaha dan

mungkin telah tidak lagi memiliki pegawai sehingga kemungkinan risiko pajak

yang ditemukan hanya berupa keterlambatan lapor SPT saja. Berdasarkan Pasal

7 ayat (1) UU KUP yang berlaku, di mana apabila SPT tidak


37

disampaikan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3)

atau batas waktu perpanjangan penyampaian SPT sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 3 ayat (4), maka dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar:

1. Rp 500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) untuk SPT Masa PPN ;

2. Rp 100.000,00 (seratus ribu rupiah) untuk SPT Masa lainnya (seperti PPh

Pasal 4(2), 15 21/26,dan 23/26);

3. Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah) untuk SPT Tahunan Pajak Penghasilan

Wajib Pajak Badan; dan

4. Rp 100.000,00 (seratus ribu rupiah) untuk SPT Tahunan Pajak Penghasilan

Orang Pribadi.

Pada dasarnya, perusahaan dengan status dormant dapat terbebas dari

pengenaan sanksi poin a sampai dengan c karena dalam Pasal 7 ayat (2) huruf e

UU KUP disebutkan bahwa, “pengenaan sanksi administrasi berupa denda

sebagaimana disebutkan di atas tidak dilakukan terhadap Wajib Pajak badan

yang tidak melakukan kegiatan usaha lagi tetapi belum dibubarkan sesuai

dengan ketentuan yang berlaku”.

Ketentuan tersebut juga diperkuat oleh Pasal 17 ayat (2) huruf e PMK

Nomor 243 Tahun 2014 tentang Surat Pemberitahuan (SPT) di mana bunyinya

persis sama dengan Pasal 7 ayat (2) huruf e UU KUP. Akan tetapi, kenyataan di

lapangan justru berbicara lain. Pada kebanyakan kasus, pemeriksaan pajak

untuk penghapusan NPWP, Surat Tagihan Pajak (STP) untuk menagih denda

tersebut seringkali diterbitkan. Atas penerbitan STP tersebut, perusahaan dapat


38

mengajukan permohonan untuk membatalkan STP sesuai dengan Pasal 36 ayat

(1) huruf c UU KUP, tetapi sebaiknya perlu ada analisis dari perusahaan terkait

perbandingan biaya antara menerima STP dan mengajukan permohonan

pembatalan STP. Bisa jadi karena jumlahnya yang kurang signifikan, banyak

perusahaan menerima STP tersebut atau dengan kata lain tidak keberatan untuk

melunasi denda tersebut agar penghapusan NPWP/NPPKP perusahaan dapat

berjalan lancer.

2.2.5 Aspek Akuntansi dan Perpajakan Lain Atas Pembayaran Perusahaan

Perlu diperhatikan pula bahwa dalam kedua kondisi pembubaran

perusahaan, beberapa aspek akuntansi dan perpajakan yang tidak dapat

dihindari dan harus dikelola dengan baik, diantaranya adalah:

1. Pemutusan hubungan kerja (PHK) manajemen dan karyawan yang

berakibat pembayarannpesangon tetap merupakan obyek pemotongan PPh

Pasal 21;

2. Pembubaran perusahaan mungkin berakibat terhapusnya piutang

perusahaan kepada pihak debitur (baik sebagian atau keseluruhan) dan

sebaliknya mungkin sebagian atau seluruh utang perusahaan kepada pihak

kreditur juga terhapus;

3. Mungkin terjadi pengalihan kontrak (novasi) yang berpotensi

menyebabkan pengalihan utang-piutang; atau


39

4. Dimungkinkan pengembalian sejumlah dana kepada pemegang saham

baik yang besarannya lebih kecil, sama dengan, atau lebih besar dari nilai

penyertaannya dulu kepada perusahaan; dan

5. Kerumitan pelaksanaan kewajiban perpajakan khususnya atas pemotongan

PPh dan PPN atas pembayaran jasa professional terkait dengan asistensi

pembubaran perusahaan , seperti imbalan jasa untuk notaris, legal counsel,

likuidator, konsultan hukum dan pajak, sementara perusahaan telah

dibubarkan.
BAB 3

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Pemilihan bentuk usaha ternyata berpengaruh terhadap aspek PPh yang

dihadapi oleh seorang investor. Kajian dari 3 (tiga) pilihan usaha perorangan,

badan usaha yang modalnya tidak terbagi atas saham seperti CV, Firma atau PT

ternyata menunjukan bahwa pilihan bentuk usaha yang tidak terbagi atas saham

memiliki keuntungan pajak tersendiri. Jadi pajak bukanlah satu-satunya alasan

dalam pemilihan bentuk usaha, namun pemilihan bentuk usaha yang tepat dapat

memberikan penghematan pajak. Sehingga dalam melakukan penghematan

tersebut bisa dengan cara perencanaan pajak agar kewajiban perpajakan dapat

dilakukan oleh wajib pajak dengan baik.

Proses penutupan perusahaan dapat terjadi secara langsung maupun

bertahap. Dengan cara langsung (likuidasi), perusahaan harus melewati

serangkaian tahap, sedangkan pada cara bertahap, perusahaan menghentikan

operasinya secara sementara dan menunggu jika akan diperoleh proyek baru.

Konsekuensi perpajakan atas penutupan perusahaan adalah dihapuskannya

NPWP serta NPPKP milik perusahaan. Sebelum dihapuskan, fiskus akan

melakukan pemeriksaan atas kewajiban perusahaan yang masih tersisa (jika

ada).

40
DAFTAR PUSTAKA

Pohan, Chairil Anwar. 2013. Manajemen Perpajakan Strategi Perencanaan Pajak

dan Bisnis. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.

Zain, Mohammad. 2003. Manajemen Perpajakan. Jakarta : Salemba Empat.

Anda mungkin juga menyukai