Anda di halaman 1dari 39

PANDUAN PRAKTIS PENGGALIAN POTENSI

KLU 84111 – Bendahara Pemerintah Pusat


Direktorat Jenderal Pajak
Direktorat Potensi, Kepatuhan, dan Penerimaan

Maret 2022

RAHASIA, HANYA UNTUK INTERNAL DJP


TIM PENYUSUN PANDUAN PRAKTIS
Pengarah : Ihsan Priyawibawa, Direktur Potensi, Kepatuhan, dan Penerimaan
Penanggung Jawab : Haryo Abduh Suryo Negoro, Kepala Subdirektorat Potensi Perpajakan
Ketua Tim : Sutanto Agustiono, Kepala Seksi Potensi Sektor Jasa
Tim Penyusun : 1. Nanang Prasetio Purnomo, Account Representitve KPP Pratama Bitung
2. Agustina Untari, Account Representative KPP Pratama Pontianak Timur
3. Nian Dwiyaningrung, Account Representative KPP Pratama Sukoharjo
4. Gilang Dimas Permadi, Account Representative KPP Pratama Jakarta Tanah Abang Tiga
5. Sarbono, Kepala KP2KP Rantau, KPP Pratama Barabai
6. Budi Prasojo, Kepala Seksi pada Kanwil DJP Sulawesi Utara, Tengah, Gorontalo, dan Maluku Utara
7. Christian Himawan, Pelaksana Kanwil DJP Sulawesi Utara, Tengah, Gorontalo, dan Maluku Utara
8. Harsoyo, Kepala Seksi pada Kanwil DJP Kalimantan Barat
9. Ahmad Wildan Khafidudin, Pelaksana Kanwil DJP Kalimantan Barat
10. Subur Sukoco, Kepala Seksi pada Kanwil DJP Jawa Tengah II
11. Yuniar Karina, Pelaksana Kanwil DJP Jawa Tengah II
12. Binsar Marojahan Sitorus, Kepala Seksi pada Kanwil DJP Jakarta Pusat
13. Andre Hervianto, Pelaksana Kanwil DJP Jakarta Pusat
14. Monica Anggraeni, Pelaksana Direktorat Potensi, Kepatuhan, dan Penerimaan
15. Sevty Fiana Indah Permata, Pelaksana Direktorat Potensi,Kepatuhan, dan Penerimaan
TIM PENYUSUN PANDUAN PRAKTIS
Special Thanks to : 1. Kantor Wilayah DJP Sulawesi Utara, Tenggara, Gorontalo, dan Maluku Utara
2. Kantor Wilayah DJP Kalimantan Barat
3. Kantor Wilayah DJP Jawa Tengah II
4. Kantor Wilayah DJP Jakarta Pusat
5. Kantor Wilayah DJP Kalimantan Selatan dan Tengah
6. KPP Pratama Bitung
7. KPP Pratama Pontianak Timur
8. KPP Pratama Sukoharjo
9. KPP Pratama Jakarta Tanah Abang Tiga
10. KPP Pratama Barabai
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Wr. Wb.
Puji syukur kita panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat, hidayah, dan karunia-Nya kepada kita semua.
Dalam rangka memenuhi target penerimaan pajak, perlu dilakukan optimalisasi pengawasan dan penggalian potensi berbasis
sektoral terutama terhadap Klasifikasi Lapangan Usaha (KLU) Dominan. Direktorat PKP telah menentukan KLU Dominan
Nasional berdasarkan 10 KLU Dominan pada setiap Kanwil DJP atas penerimaan pajak 2020. Dalam rangka pengembangan
kompetensi Account Representative, kami memandang perlu untuk menyusun panduan praktis penggalian potensi KLU
Dominan tersebut agar menjadi salah satu referensi dalam penggalian potensi pajak.
Penyusunan panduan praktis penggalian potensi merupakan salah satu program kerja pada Subdirektorat Potensi Perpajakan
untuk mengidentifikasi proses bisnis, aspek perpajakan, modus penghindaran pajak, serta teknik pengawasan/penggalian
potensi atas Wajib Pajak serta melibatkan para Account Representative terpilih yang berasal dari seluruh Kanwil DJP dan telah
memiliki pengalaman sehingga diharapkan dapat merepresentasikan secara aktual pengawasan dan penggalian potensi yang
dilakukan oleh fiskus saat bertugas di lapangan.
Penghargaan dan apresiasi yang tinggi kepada para Account Representative Kontributor yang telah menyusun panduan
praktis ini di tengah padatnya pekerjaan dan tugas yang harus diselesaikan. Kami pun menyadari bahwa panduan praktis ini
masih jauh dari kesempurnaan. Untuk itu kami membuka diri atas masukan dan saran untuk penyempurnaan panduan praktis
penggalian potensi ini.
Wassalamualaikum Wr. Wb.
Jakarta, September 2021

Ihsan Priyawibawa
LAIN-LAIN

DISCLAIMER
Panduan Praktis ini disusun dalam rangka peningkatan kapasitas dan kompetensi pegawai di lingkungan Direktorat Jenderal
Pajak dalam memahami proses bisnis, regulasi perpajakan terkait, critical point/modus penghindaran pajak, dan strategi
penggalian potensi pajak serta pengawasan terhadap Wajib Pajak.
Materi dalam panduan praktis ini bersumber dari berbagai literatur, narasumber, regulasi, serta sumber lainnya.
Informasi/bahan yang digunakan dalam modul ini hanya untuk kepentingan internal Direktorat Jenderal Pajak, digunakan
sebagai salah satu referensi/acuan dalam pelaksanaan penggalian potensi pajak dan pelaksanaan tugas lainnya.

MASUKAN DAN SARAN


Dalam rangka penyempurnaan panduan praktis ini, kami mengharapkan masukan, kritik, serta saran dari Bapak/Ibu yang
dapat disampaikan melalui surat elektronik ke Subdirektorat Potensi Perpajakan, Direktorat Potensi, Kepatuhan, dan
Penerimaan melalui e-mail potensi.pkp@kemenkeu.go.id
OUTLINE

1 PROSES BISNIS

2 ASPEK PERPAJAKAN

3
CRITICAL POINT / MODUS
PENGHINDARAN PAJAK

4 STUDI KASUS

5 METODE / TEKNIK
PENGGALIAN POTENSI
PROSES BISNIS

Mekanisme Potput Bendahara Pusat

SATKER / BENDAHARA MEKANISME PEMBAYARAN LANGSUNG (LS)


PUSAT

MEKANISME PEMBAYARAN UANG PERSEDIAAN (UP)

Pemenuhan kewajiban perpajakan Bendahara APBN relatif terkendali dikarenakan pemotongan /


pemungutan dan penyetoran pajaknya dilakukan secara langsung/ diawasi melalui KPPN pada saat
pencairan SPM / SP2D
PROSES BISNIS LS (1)
1 3

9
9
SSP SSP
SP

4
SP2D

SSP
8
Rp

SSP 7
PROSES BISNIS LS (2)

Mekanisme Pembayaran Langsung (LS)

SATKER KPPN
KAS NEGARA

Memotong Pajak

PPK
+ SPP + SPM Mencairkan dana dan
(Rincian Belanja membuat SP2D netto e-pay
+
Potongan Pajaknya)

PPSPM

Pada mekanisme Belanja Langsung (LS), KPPN dapat memantau langsung pemotongan
pajak atas tagihan.
PROSES BISNIS UP (1)
Mekanisme Pemotongan/Pemungutan Pajak atas Uang Persediaan oleh Bendahara APBN
PROSES BISNIS UP (2)

Mekanisme Pembayaran Uang Persediaan (UP)

SATKER

tagihan Bendahara Bank Persepsi

Memotong Pajak
Rekanan
Mencairkan dana UP SSP
KPPN

KPPN dapat melihat data setoran pajak Bendahara dari Laporan Pertanggungjawaban Bendahara tiap bulan
serta dapat mengetahui data setoran pemotongan pajak berdasarkan transaksi penggunaan anggaran.
ASPEK PERPAJAKAN
No Kegiatan Keterangan Potensi Pajak
Pemotongan atas penghasilan yang dibayarkan kepada Orang a. Gaji PPh Pasal 21
1 Pribadi sehubungan dengan pekerjaan, jabatan, jasa, dan b. Tunjangan
kegiatan. c. Honorarium narasumber/ahli
Pemungutan atas penghasilan yang dibayarkan sehubungan a. Pembelian Barang a. PPh Pasal 22
2
dengan pembelian barang. b. Pengadaan Barang dan Jasa b. PPN
Pemotongan atas penghasilan yang dibayarkan berupa hadiah, a. PPh Pasal 23
Sewa penghasilan lain sehubungan
3 bunga, dividen, sewa, royalti, dan jasa-jasa lainnya selain
dengan penggunaan harta b. PPN
Objek PPh Pasal 21.
Pemotongan atas penghasilan yang dibayarkan sehubungan a. Jasa Konstruksi a. PPh Pasal 4 ayat 2
jasa tertentu dan sumber tertentu (jasa konstruksi, sewa b. Sewa tanah/bangunan b. PPN
4
tanah/bangunan, pengalihan hak atas tanah/bangunan, hadiah
undian, dan lainnya).
Pemungutan atas pajak konsumsi yang dibayar sendiri
5 sehubungan penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Barang dan Jasa Kena Pajak PPN
Pajak.
a. Kuitansi Bea Materai
6 Pembayaran atas pemanfaatan dokumen-dokumen tertentu.
b. Kontrak
Permasalahan Pengawasan Bendahara
Jenis
Penyebab Kendala Bendaharawan Kendala AR
Penyimpangan

Memungut, • AR tidak menerbitkan STP


tidak setor • Rendah tanggung jawab; karena: sanksi perpajakan
• Mengisi SPT dianggap rumit; ditanggung bendahara secara
• Banyak tugas lain pribadi, dan potensi menambah
Paham
Tidak lapor • Sering pergantian bendahara tunggakan pajak tak tertagih
Peraturan
tanpa info ke KPP;
• Tidak ada syarat keahlian tertentu • Belum adanya tim khusus
Tidak Setor utk bendahara pengawasan bendahara pada
setiap KPP

• Tidak tahu batas waktu setor; • Rasio kenaikan target WP


• Pot. PPh 21 atas pegawai tidak Bendahara disamakan dengan
Tidak tetap; jenis pajak yang lain;
Tidak Lapor / • PPh 22 &23 atas fotokopi dan beli
Paham
Peraturan
Tidak Setor makanan/minuman di warung; • AR sulit mendapatkan data
• Identitas WP di SPT masa, bupot besaran pagu dan penyerapan
dan SSP PPh 22 dan PPN DIPA per bulan/tahun
(Bendahara atau rekanan?)
CRITICAL POINT / KENDALA INTERNAL

Terlalu banyak istilah, akronim, sangat prosedural dan teknis diperlukan waktu yang
1
cukup lama untuk memahami proses bisnis dan dokumen yang menyertai;

2 DJP secara umum beranggapan bahwa belanja APBN melalui mekanisme LS tidak
mengandung risiko karena sudah diawasi KPPN;

3 Tidak tersedia alat bantu pengawasan yang memudahkan AR untuk mendeteksi


ketidakbenaran penyetoran khususnya untuk tahun berjalan;

4 AR beranggapan energi yang digunakan untuk melakukan pengawasan tidak


sebanding dengan potensi yang didapatkan.
CRITICAL POINT / FOKUS UTAMA
Pemotongan pemungutan yang dilakukan Bendahara APBN melalui mekanisme LS
1
tidak disertai pembuatan idbilling. Pemotongan/pemungutan dilakukan oleh KPPN

2 berdasarkan SPM yang disampaikan oleh Satker;

2 KPPN tidak bertanggungjawab secara material atas isian dalam SPM.

Istilah pengawasan terhadap Bendahara tidak tepat. Ada andil PPSPM, PPK
3
pejabat pengadaan dalam rangkaian proses belanja sehingga pengawasan
terhadap Belanja/NPWP Instansi Pemerintah (IP) lebih sesuai.

Pemotongan/pemungutan PPN/PPh melalui mekanisme LS menghasilkan 1


4
NTPN. Penandanya adalah 15 digit NTPN terbentuk berupa angka numerik
bukan kombinasi alfa-numerik.
CRITICAL POINT / MODUS PENGHINDARAN PAJAK (1)

Instansi Pemerintah (IP) tidak melakukan pemotongan/pemungutan Pajak atas


1
belanja yang dilakukan;

Instansi Pemerintah (IP) melakukan pemotongan/pemungutan PPh tetapi tidak


2
untuk PPN ;

Instansi Pemerintah (IP) melakukan pemotongan/pemungutan PPN tetapi tidak


3
untuk PPh ;

4 Kesalahan penerapan tarif pajak; dan

5 Kesalahan penerapan MAP-KJS bahkan kode KPP


STUDI KASUS
Tata cara pengujian Pemotongan/Pemungutan
Berdasarkan NTPN Tunggal

Dengan menyandingkan nilai data pemungutan/pemotongan PPh dan PPN dapat diidentifikasi
kemungkinan adanya kesalahan penerapan tarif, kesalahan KJS, atau Pajak yang masih harus
dipungut dan disetor.
Data SPM tersedia di Appportal pada submenu Data Penerimaan -> MPN - > Data SPM
STUDI KASUS

1 Tidak melakukan pemotongan/pemungutan Pajak atas belanja yang


dilakukan.

Identifikasi atas kondisi ini sulit dilakukan. Tetapi bukan tidak mungkin terjadi. Berdasarkan pengalaman
biasanya akun belanja belanja barang untuk diserahkan kepada masyarakat dimaknai bantuan
dan atau sumbangan yang bebas dari pemotongan. Kasus ditemukan ketika Balai Besar Wilayah
Sungai (BBWS) melaksanakan Program Percepatan Peningkatan Tata Guna Air Irigasi (P3-TGAI).
Pihak Satker tidak melakukan pemotongan pemungutan PPh maupun PPN. Dalam hal ini, kegiatan
yang dijalankan dapat dipersamakan dengan jasa konstruksi dengan menjadikan Perkumpulan Petani
Pemakai Air sebagai penyedia jasa non-kualifikasi pengenaan tarif 4%. Tidak menutup kemungkinan
terjadi pada kegiatan sejenis.
STUDI KASUS

2 Melakukan pemotongan PPh tetapi PPN tidak dilakukan

Kemungkinan terjadi lawan transaksi bukan PKP atau penyerahan bukan atas BKP/JKP. Tetapi Indikasi
ini dapat digunakan AR untuk melakukan klarifikasi atas tidak adanya pemotongan PPN pada SPM
yang dibuat. Berikut contoh SPM terdapat pemotongan PPh tetapi tidak disertai pemotongan PPN
STUDI KASUS

3 Melakukan pemotongan PPN tetapi PPh tidak dilakukan

Jarang ditemui tetapi tidak menutup kemungkinan terjadi


STUDI KASUS

4 Kesalahan Penggunaan Tarif dalam Penghitungan (Potensi PPN)

Contoh penghitungan dapat dilihat pada simulasi berikut:


STUDI KASUS

4 Kesalahan Penggunaan Tarif dalam Penghitungan (Potensi PPh)

Contoh penghitungan dapat dilihat pada simulasi berikut:


STUDI KASUS

5 Kesalahan Penggunaan Kode Jenis Setoran

Contoh lain dari penggunaan tarif yang salah atau Kode Jenis Setoran yang tidak sesuai

Wajib Pajak melakukan pemotongan dengan kode


411128 tetapi menggunakan tarif 1,5% (PPh Pasal 22)
STUDI KASUS

5 Kesalahan Penggunaan Kode Jenis Setoran

Transaksi berikut dua pemotongan menggunakan Kode Setoran untuk PPh

Wajib Pajak melakukan pemotongan dengan kode PPh Pasal 21 (411121) & PPh Pasal
22 (411122) tanpa PPN
Jika Kode 411121 merupakan salah setor yang seharusnya PPN 411211, secara
tarif menjadi tidak sesuai
CRITICAL POINT / MODUS PENGHINDARAN PAJAK (2)
Pengawasan Penyetoran dan Pelaporan
1
Pengawasan jumlah setoran Wajib Pajak Bendahara dapat dilakukan dengan berdasarkan DIPA dari Satuan Kerja
tersebut.

Pengawasan dapat dibuat dengan terlebih dahulu menentukan tarif efektif dengan cara membandingkan setoran pajak
tahun lalu (Y-1) dengan DIPA tahun lalu (Y-1). Setelah ditemukan tarif efektif tersebut dapat dikalikan dengan DIPA tahun
berjalan untuk mendapatkan proyeksi jumlah setoran pajak tahun berjalan. Pengawasan pembayaran Wajib Pajak
Bendahara tahun berjalan dilakukan dengan berpedoman pada proyeksi tersebut.

Revisi DIPA dan Laporan Realisasi Anggaran


2
Perubahan Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran, yang selanjutnya disebut Revisi DIPA adalah perubahan dan/atau
pergeseran rincian anggaran dalam DIPA. Hal ini dapat mengakibatkan proyeksi pada pengawasan penyetoran yang
telah dibuat menjadi kurang tepat.

Terkait dengan permasalahan tersebut, perlu dilakukan pengkinian data atas DIPA. Dapat dilakukan permintaan data
Revisi DIPA pada Wajib Pajak Bendahara. Permintaan data juga dapat dilakukan atas Laporan Realisasi Anggaran
sampai dengan tanggal terkini. Laporan Realisasi Anggaran dapat digunakan sebagai dasar pengawasan yang lebih
rinci terkait penyetoran pajak atas dana yang telah digunakan dan pembuatan prognosa penerimaan pajak dari jumlah
dana yang belum digunakan.
CRITICAL POINT / MODUS PENGHINDARAN PAJAK
Ketidaktepatan Perlakuan Pemotongan PPh Pasal 21 atas Tunjangan
3
WP Bendahara dapat melakukan kekeliruan terkait dengan perlakuan pemotongan PPh 21. Pembayaran tunjangan kepada
pegawai suatu Satker dapat berbunyi ‘Bantuan’ sehingga menyebabkan tidak dipotongnya PPh 21 atas tunjangan tersebut.

Perlu ditinjau kembali substansi dari pembayaran bantuan atau sumbangan tersebut, apakah memenuhi ketentuan yang
dikecualikan dari objek pajak pada Pasal 4 ayat (3) huruf a UU Nomor 36 TAHUN 2008, terutama terkait ‘sepanjang tidak ada
hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di antara pihak-pihak yang bersangkutan’.

Dapat ditelusuri pula pembayaran tunjangan atau bantuan tersebut sumber dananya berasal dari pos belanja pegawai atau pos
belanja bantuan sosial.

4 Pemotongan PPh Pasal 26 Terkait Transaksi dengan Rekanan SPLN


WP Bendahara dalam rangka melakukan kegiatan belanja barang atau belanja modal bertransaksi dengan rekanan yang
berstatus Subjek Pajak Luar Negeri.

Transaksi dengan rekanan SPLN tersebut perlu dilakukan pengawasan terkait dengan ketepatan perlakuan perpajakannya.
Perlu dipastikan terkait status rekanan SPLN tersebut, apakah rekanan memiliki BUT di Indonesia, apakah rekanan termasuk
kriteria yang dapat menggunakan ketentuan di P3B, apakah rekanan memiliki SKD, status penyampaian SKD ke KPP tempat
pemotong terdaftar, serta perjanjian P3B dengan negara domisili rekanan.

Penelitian atas hal-hal tersebut akan menentukan apakah perlakuan perpajakannya sesuai dengan perjanjian P3B atau
dilakukan pemotongan PPh Pasal 26 tarif umum.
CRITICAL POINT / MODUS PENGHINDARAN PAJAK
5 Distribusi Pengelolaan Dana kepada Pihak Ketiga

Wajib Pajak Bendahara dapat menerima dana bantuan/hibah dimana pengelolaan dana tersebut didistribusikan kepada
pihak ketiga (bisa berbentuk Organisasi Masyarakat/Lembaga).

Organisasi Masyarakat/Lembaga sebagaimana dimaksud melakukan kegiatan (Belanja Pegawai/Barang/Modal) dengan


arahan dan memberikan laporan pertanggungjawaban kepada Wajib Pajak Bendahara yang mendistribusikan dana.

Data terkait distribusi dana tersebut dapat dijadikan Alket kepada Kantor Pelayanan Pajak dimana Organisasi
Masyarakat/Lembaga pengelola dana terdaftar.

6 Pengawasan Penerimaan Pajak terkait dengan Isu Terkini

Pengawasan Wajib Pajak Bendahara dapat pula dilakukan berdasarkan isu terkini yang beredar di masyarakat.

Bisa jadi beredar berita atau isu di masyarakat dimana terdapat proyek belanja pegawai/barang/modal yang terkait dengan
Satuan Kerja Wajib Pajak Bendahara. Hal tersebut dapat dikonfirmasikan kepada Wajib Pajak Bendahara apakah isu
tersebut valid, bagaimana sumber dana dan alokasi dananya, benarkah proyek tersebut masuk dalam anggaran Satker
terkait, serta apakah ada revisi DIPA.

Berdasarkan konfirmasi dari Wajib Pajak Bendahara tersebut, dapat disesuaikan pengawasan penerimaan pajak apabila
memang ada keterikatan dengan isu yang beredar di masyarakat.
STUDI KASUS 1
Pengawasan Penyetoran dan Pelaporan

WP Bendahara diketahui memiliki data DIPA 2020 dan penerimaan pajak


2020 sebagai berikut:

1 2
Data di atas dapat digunakan untuk menentukan tarif Langkah selanjutnya adalah mengalikan Tarif Efektif 2020
efektif penerimaan pajak per jenis pajak berdasarkan tersebut dengan data DIPA tahun 2021 sehingga
DIPA tahun 2020 dengan cara: menghasilkan proyeksi Penerimaan 2021 yang dapat
• Penerimaan PPh Pasal 21 2020 dibagi dengan Pagu digunakan sebagai pedoman dalam melakukan pengawasan
Belanja Pegawai 2020 kepada Wajib Pajak Bendahara.
• Penerimaan PPh Pasal 22, 23, Final dan PPN 2020
dibagi dengan (Pagu Belanja Barang + Belanja Modal
2020)
Perhitungan tersebut akan menghasilkan angka sebagai
berikut:
STUDI KASUS 2
Revisi DIPA dan Laporan Realisasi Anggaran

WP Bendahara diketahui terdapat data DIPA 2021 sebelum revisi dan DIPA 2021 revisi ke 04
sebagai berikut:
Rev 00 Jika dilakukan perbandingan dari dua data DIPA
tersebut, terlihat penurunan anggaran pada pos
Belanja Barang. Hal tersebut dapat digunakan
untuk melakukan penyesuaian pengawasan pada
jenis pajak yang terkait dengan pos Belanja
Barang.
Rev 04 Laporan Realisasi Anggaran dapat digunakan
sebagai dasar pengawasan terkait penyetoran
pajak atas dana yang telah digunakan dan
pembuatan prognosa penerimaan pajak dari
jumlah dana yang belum digunakan.

Laporan Realisasi Anggaran


STUDI KASUS 3
Ketidaktepatan Perlakuan Pemotongan PPh Pasal 21 atas Tunjangan

WP Bendahara diketahui memiliki DIPA dengan rincian sebagai berikut:

Pada kolom Uraian Satker/Program/Kegiatan/Kro/Sumber Dana dapat terlihat menggunakan kata pertama ‘Bantuan’. Hal ini
dapat mengakibatkan Wajib Pajak Bendahara langsung menganggap bahwa rincian tersebut dikecualikan dari objek pajak.
Padahal jika dilihat lebih lanjut sebenarnya rincian tersebut masuk ke pos Belanja Pegawai dan Belanja Barang, bukan Belanja
Bantuan Sosial.

Perlu dilakukan konfirmasi kepada Wajib Pajak Bendahara terkait rincian tersebut. Apabila tidak memenuhi ketentuan
sebagaimana pada Pasal 4 ayat (3) huruf a UU Nomor 36 TAHUN 2008, maka atas rincian pengeluaran tersebut harus dilakukan
pemotongan pajaknya.
STUDI KASUS 4
Pemotongan PPh Pasal 26 Terkait Transaksi dengan Rekanan SPLN

WP Bendahara diketahui terdapat transaksi sebagai berikut:

Perlu dilakukan penggalian informasi kepada Wajib Pajak untuk


dapat menerapkan perlakuan pajak yang tepat.

Pemotongan PPh Pasal 26:


• Perjanjian P3B?
• Apakah rekanan memiliki BUT di Indonesia?
• Apakah rekanan termasuk kriteria yang dapat
menggunakan ketentuan di P3B?
• Apakah rekanan memiliki SKD?
• Status penyampaian SKD ke KPP?
Pemungutan PPN:
• Penyerahan BKP/JKP di dalam atau di luar daerah Pabean?
• Manfaat JKP diterima di dalam atau di luar daerah
Pabean?
STUDI KASUS 5
Distribusi Pengelolaan Dana kepada Pihak Ketiga

WP Bendahara diketahui terdapat data sebagai berikut


Satker XYZ mendapatkan dana terkait dengan proyek A. Untuk menjalankan proyek A tersebut, Satker XYZ
memandang perlu bantuan dari Organisasi/Lembaga Masyarakat dikarenakan sasaran dari proyek A yang
mengharuskan lebih menjangkau dan dekat dengan masyarakat.

• Laporan Ormas/Lembaga yang mendapatkan dana dari Satker


Penggunaan Dana
• Pemotongan pajak XYZ membuat laporan pertanggungjawaban
Ormas A penggunaan dana pada Satker XYZ termasuk
pemotongan pajak yang telah dilakukan atas transaksi
• Laporan dalam rangka menjalankan proyek A.
Penggunaan Dana
• Pemotongan pajak
LSM B Data Organisasi/Lembaga Masyarakat yang bekerja
Satker XYZ
sama dengan Satker A, Laporan Penggunaan Dana,
• Laporan data pemotongan pajak dapat dimintakan pada
Penggunaan Dana Wajib Pajak Bendahara untuk dijadikan Alket ke KPP
• Pemotongan pajak
tempat Organisasi/Lembaga Masyarakat terdaftar.
Ormas C
STUDI KASUS 6
Pengawasan Penerimaan Pajak Terkait dengan Isu Terkini

WP Bendahara diketahui terdapat data sebagai berikut

Terdapat sebuah berita yang viral di media massa terkait proyek pengadaan barang
modal bernilai besar yang menyangkut Instansi ABC.

Wajib Pajak Bendahara merupakan salah satu Satker di Instansi ABC tersebut. Atas
kondisi tersebut dapat dilakukan penggalian informasi kepada Wajib Pajak
Bendahara apakah terkait dengan proyek pengadaan yang viral tersebut, apakah
dapat ditelusuri Satker mana yang mendapatkan alokasi dana pengadaan tersebut.

Apabila dana tersebut merupakan dana dari Wajib Pajak Bendahara, apakah sudah
dianggarkan sebelumnya atau ada perubahan anggaran, serta pastikan terkait
dengan pemotongan dan pemungutan pajaknya.
METODE / TEKNIK PENGGALIAN POTENSI (1)
Teknik dan langkah pengawasan yang dapat digunakan yaitu:

1 Meminta data DIPA Satuan Kerja atau dapat diperoleh https://anggaran.kemenkeu.go.id/in/post/dipa-petikan-per-provinsi.

2 Mempercepat peralihan pelaporan melalui e-bupot unifikasi Instansi Pemerintah

3 Melakukan pendampingan pelaksanaan kewajiban/sosialisasi karena pergantian Bendahara


sering menjadi kendala

4 Memanfaatkan data internal sebanyak-banyaknya khususnya data pembayaran pada menu Appportal

5 Memberikan sosialisasi, diskusi internal terkait Pengawasan WP Instansi Pemerintah


METODE / TEKNIK PENGGALIAN POTENSI (2)
Teknik dan langkah penggalian potensi serta pengawasan yang dapat digunakan yaitu:

1 Melakukan pengumpulan informasi terkait dengan Wajib Pajak Instansi Pemerintah, meliputi Struktur
Organisasi, DIPA, Laporan Realisasi Anggaran
Pengumpulan informasi menjadi langkah awal dalam melakukan pengawasan pada Wajib Pajak Instansi Pemerintah. Hal tersebut dapat
dilakukan dengan cara menjalin hubungan kerja sama yang baik dengan bendahara/pegawai bagian keuangan pada Wajib Pajak Instansi
Pemerintah yang akan mempermudah dalam proses pertukaran data.

2 Melakukan analisis berdasarkan data DIPA yang diperoleh apakah sudah dipenuhi kewajiban
pemotongan PPh pasal 21, 22, 23, 26, 4 ayat (2), ataupun PPN
Menyandingkan besaran dana Belanja Pegawai, Barang, Modal dengan setoran yang masuk atas pemotongan dan pemungutan pajaknya.
Dapat dilakukan penelitian dengan melihat Rencana Penarikan Dana (RPD) tiap bulan dibandingkan dengan setoran pajak per bulan dari
Wajib Pajak Bendahara.

3 Melakukan analisis terhadap setoran pajak yang tidak sesuai DIPA, revisi DIPA, dan perubahan anggaran
terkait dengan isu terkini.
Wajib Pajak Bendahara bisa jadi melakukan ketidaktepatan penyetoran pajak baik itu kesalahan kode akun pajak maupun masa pajak yang
menyebabkan anomali. Selain karena kesalahan setor, dimungkinkan pula terdapat perubahan anggaran yang menyebabkan jumlah pajak
yang disetor berubah pula. Hal tersebut harus dilakukan konfirmasi pada Wajib Pajak Bendahara.
METODE / TEKNIK PENGGALIAN POTENSI (3)

Selesai

Persandingan Data Selesai


pemotongan PPh
dan PPN Selesai
berdasarkan NTPN
tunggal yang
terbentuk (Uji Tarif)

Cek SPT

Pinjam Salinan
dokumen (SPM,
SP2D, dll)

TERBITKAN SP2DK
Metode Pengawasan
Kepatuhan Perpajakan WP Bendahara (4)

SATKER KANTOR PELAYANAN PAJAK


1.1
Meminta Dokumen dan
1.2
Laporan
ACCOUNT
 Dokumen DIPA Penelitian dan pengujian REPRESENTATIVE
 Laporan Realisasi
 Kontrak kerja Pemeriksaan atau verifikasi
dan penyetoran

Teliti terkait pengenaan pajaknya (jenis pajak, tarif Melakukan pemeriksaan atau verifikasi
pajak dan terkait peraturan perpajakan lainnya). kebenaran perhitungan pajak dan penyetoran
Apakah sudah sesuai dengan peraturan dan pajak di appportal. Apakah sudah benar
ketentuan yang berlaku atau belum. Pastikan disetor atau belum. Jangan lupa konfirmasi
bahwa penyelesaian pekerjaan dan pembayaran juga NTPN nya di Appportal.
tidak lewat tahun berjalan.
Identifikasi Pengawasan Perpajakan
(existing)
Bendahara Rekanan KPP Bendahara KPP Rekanan

Lapor SPT Lapor SPT Dapat Diidentifikasi Dapat Diidentifikasi

Lapor SPT Tidak Lapor SPT Dapat Diidentifikasi Dapat Diidentifikasi


(data feeding)
Tidak Lapor SPT Lapor SPT Dapat Diidentifikasi Dapat Diidentifikasi
(data feeding)
Tidak Lapor SPT Tidak Lapor SPT Tidak Teridentifikasi Tidak Teridentifikasi

Pengawasan tidak berjalan optimal karena :


1. Kondisi kepatuhan pelaporan yang rendah
2. Informasi yang terdapat di dalam SPT belum mencukupi kebutuhan DJP untuk menganalisis dan
menguji kebenaran pemotongan/pemungutan pajak yang dilakukan WP Bendahara
Terima
kasih

Anda mungkin juga menyukai