Penghasilan
Pengarah: Penulis:
Yuli Kristiyono Hari Santoso, Ilmiantio Himawan, Siti
Vibriyani, Mirwan Efendi, Janitra
Ketua Tim Penyusun: Kurniawan, Muhammad Mishbahul
Mahdaniar Munir, Okky Cahyono Wibowo, Ndaru
Puspitarini, Anggie Dento Pamungkas,
Wakil Ketua Tim Penyusun: Randy Suqih Lambok
Ahmad Hasan Su’aidy
Sekretariat dan Penyunting:
Desain dan Tata Letak: Siti Vibriyani, Devi Triani, Imam Rio
Kun Syaifa Muttaqi Mahendra, Annisa Puspita Dewi, Nindya
Agung Pratama Kartika Wahyudhiani, Wiwit Estiyani,
Meilina Rakhmi, Elam Sanurihim
Ayatuna, Agung Pratama, Kun Syaifa
Muttaqi
Disclaimer:
Isi dalam modul ini semata-mata hanya digunakan untuk pembelajaran dalam
rangka pengembangan kompetensi pegawai DJP.
Rujukan utama tetap mengacu pada peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Penerbit:
Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan RI
@Desember 2022
Selain penyempurnaan regulasi, hal yang tak kalah penting yang dilakukan adalah
menyiapkan dan mengembangkan potensi Sumber Daya Manusia yang mumpuni yaitu
pegawai Direktorat Jenderal Pajak (DJP) yang mampu mengimplementasikan berbagai
regulasi perpajakan tersebut. Oleh karenanya, pengembangan kompetensi pegawai DJP
mutlak diperlukan, terutama kompetensi terkait teknis peraturan perpajakan.
Maka dari itu, modul materi perpajakan ini hadir dan disusun oleh para Subject Matter Expert
(SME) dari masing masing unit di DJP sebagai salah satu sarana pembelajaran dan
pengembangan kompetensi pegawai DJP.
Tim Penyusun
Surat Pemberitahuan (SPT) : surat yang oleh wajib pajak digunakan untuk
melaporkan penghitungan dan/atau pembayaran
pajak, objek pajak dan/atau bukan objek pajak,
dan/atau harta dan kewajiban sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan
Tahun pajak : jangka waktu satu tahun kalender, kecuali bila wajib
pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama
dengan tahun kalender
Bagian Tahun Pajak : Bagian dari jangka waktu 1 (satu) Tahun Pajak
Pada bab ini akan membahas mengenai karakteristik pajak penghasilan, ketentuan
material dan ketentuan formal yang mengatur Pajak Penghasilan.
1. Pajak Subjektif
Salah satu karakteristik mendasar dari Pajak Penghasilan adalah bersifat pajak
subjektif. Dalam menentukan besarnya beban Pajak Penghasilan, keadaan
subjek pajak sangat diperhatikan. Hal ini erat kaitannya dengan teori gaya pikul,
yaitu pengenaan pajak tergantung pada besarnya kemampuan membayar dari
subjek pajak tersebut. Besarnya kemampuan membayar pajak tidak hanya
ditentukan oleh faktor penghasilan, tetapi juga dipengaruhi oleh faktor-faktor
lainnya, seperti jumlah tanggungan wajib pajak. Sebagai contoh, Ali dan Pak Budi
sama-sama memiliki penghasilan bruto Rp 10 juta per bulan. Namun, karena
Ali seorang bujangan tanpa tanggungan, sedangkan Pak Budi status menikah
dan memiliki tiga tanggungan, keduanya memiliki kemampuan membayar yang
tidak sama sehingga besarnya pajak penghasilan yang dibayar keduanya juga
berbeda.
Selain itu, dalam pajak subjektif pengenaan pajak dimulai dengan menetapkan
terlebih dulu subjek pajaknya, baru kemudian dicari syarat-syarat objektifnya. Hal
ini diatur dalam Pasal 1 Undang-Undang Pajak Penghasilan; Pajak Penghasilan
dikenakan terhadap Subjek Pajak atas Penghasilan yang diterima atau
diperolehnya dalam tahun pajak.
2. Pajak Langsung
John Stuart, seorang ahli ekonomi Inggris, menyatakan bahwa suatu jenis pajak
digolongkan sebagai pajak langsung atau tidak langsung dilihat dari desain
subjek pajak atas 3 (tiga) faktor berikut:
a. Penanggung jawab secara yuridis formal dalam melunasi pajak
b. Penanggung beban pajak secara ekonomis
c. Pihak yang dituju undang-undang sebagai pemikul beban pajak
(destinataris)
Dalam hal ketiga faktor tersebut dipegang oleh Wajib Pajak atau pihak yang
sama maka pajak tersebut adalah jenis pajak langsung (R. Santoso
Brotodihardjo, 1995).
Secara ekonomis, beban pajak langsung tidak dapat dialihkan, sedangkan beban
pajak tidak langsung dapat dialihkan kepada pihak lain. Namun, seiring dengan
perkembangan sistem perpajakan, ternyata beban pajak langsung pun bisa
dialihkan. Sebagai contoh Pajak Penghasilan Pasal 21 yang ditanggung oleh
pemberi kerja (Haula Rosdiana dan Edi Slamet Irianto, 2012). Dalam hal ini
beban pajak dialihkan dari karyawan kepada pemberi kerja.
3. Pajak Pusat
5. Bersifat Progresif
Sifat progresif dari Pajak penghasilan berarti bahwa beban pakak penghasilan
yang ditanggung oleh Wajib Pajak akan semakin tinggi seiring dengan
bertambahnya penghasilan kena pajak dari Wajib Pajak yang bersangkutan.
Pada awal reformasi perpajakan (tahun 1983), sifat progresif ini dicerminkan
dengan diterapkannya tarif pajak progresif bagi Wajib Pajak orang pribadi dan
badan. Tarif progresif merupakan tarif yang semakin meningkat seiring dengan
semakin besarnya penghasilan kena pajak dari Wajib Pajak.
Namun seiring dengan tuntutan persaingan ekonomi antar negara dan untuk
menarik investasi luar negeri ke dalam negeri, mayoritas negara-negara
mengubah tarif progresif pajak penghasilan bagi wajib pajak badan menjadi tarif
tunggal. Untuk menjaga daya saing perekonomian, Indonesia mulai mengadopsi
tarif tunggal bagi Wajib Pajak Badan pada tahun 2008 dengan diundangkannya
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Atas
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan.
1. Ketentuan Material
Dalam modul ini secara umum akan dibahas terbatas pada ketentuan-ketentuan
Pajak Penghasilan dalam lingkup Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang
Pajak Penghasilan beserta perubahannya dengan beberapa tambahan
peraturan pelaksanaan digunakan terbatas untuk memperjelas materi modul.
2. Ketentuan Formal
1. Dari hal-hal berikut ini yang merupakan karakteristik dari pajak penghasilan adalah
a. Pajak objektif
b. Pajak subjektif
c. Pajak tidak langsung
d. Pajak daerah
3. Salah satu sumber hukum yang mengatur ketentuan formal atas Pajak
Penghasilan adalah
a. Tax treaty
b. Undang-Undang tentang Pajak Penghasilan
c. Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda
d. Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tatacara perpajakan
Pada bab ini akan dijelaskan mengenai siapa saja yang menjadi subjek Pajak Penghasilan,
kriteria untuk menentukan subjek pajak dalam negeri dan subjek pajak luar negeri, siapa
saja yang tidak termasuk sebagai subjek Pajak Penghasilan, dan saat mulai dan
berakhirnya kewajiban pajak subjektif.
a. orang pribadi;
b. warisan belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak;
c. badan; dan
d. bentuk usaha tetap.
1. Orang Pribadi
Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan merupakan subjek pajak
pengganti, menggantikan mereka yang berhak yaitu ahli waris. Penunjukan
warisan yang belum terbagi sebagai subjek pajak pengganti dimaksudkan agar
pengenaan pajak atas penghasilan yang berasal dari warisan tersebut tetap dapat
dilaksanakan. Adapun untuk pelaksanaan pemenuhan kewajiban perpajakannya,
warisan tersebut menggantikan kewajiban ahli waris yang berhak. Apabila
warisan tersebut telah dibagi, kewajiban perpajakannya beralih kepada ahli waris.
Warisan yang belum terbagi yang ditinggalkan oleh orang pribadi sebagai subjek
pajak luar negeri yang tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui
suatu bentuk usaha tetap di Indonesia, tidak dianggap sebagai subjek pajak
pengganti karena pengenaan pajak atas penghasilan yang diterima atau
diperoleh orang pribadi dimaksud pemajakannya bukan di Indonesia.
3. Badan
Subjek pajak badan dalam negeri menjadi Wajib Pajak sejak saat didirikan, atau
bertempat kedudukan di Indonesia. Cakupan subjek pajak badan dalam
ketentuan perpajakan cukup luas dimana badan didefinisikan sebagai
sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan satu kesatuan baik yang
melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan
terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara
atau badan usaha milik daerah dengan nama dan dalam bentuk apa pun, firma,
kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi
massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga, dan bentuk
badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.
Badan usaha milik negara dan badan usaha milik daerah merupakan subjek pajak
tanpa memperhatikan nama dan bentuknya sehingga setiap unit tertentu dari
badan Pemerintah, misalnya lembaga, badan, dan sebagainya yang dimiliki oleh
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah yang menjalankan usaha atau
melakukan kegiatan untuk memperoleh penghasilan merupakan subjek pajak.
Dalam pengertian perkumpulan termasuk pula asosiasi, persatuan, perhimpunan,
atau ikatan dari pihak-pihak yang mempunyai kepentingan yang sama.
Suatu bentuk usaha tetap mengandung pengertian adanya suatu tempat usaha
(place of business). Tempat usaha tersebut bersifat permanen dan digunakan
untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan dari orang pribadi yang tidak
bertempat tinggal atau badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan
di Indonesia. Berdasarkan Pasal 2 ayat (5) Undang-Undang Pajak Penghasilan,
bentuk usaha tetap dapat berupa:
b. cabang perusahaan;
c. kantor perwakilan;
d. gedung kantor;
e. pabrik;
f. bengkel;
g. gudang;
m. pemberian jasa dalam bentuk apa pun oleh pegawai atau orang lain
sepanjang dilakukan lebih dari 60 (enam puluh) hari dalam jangka waktu 12
(dua belas) bulan;
n. orang atau badan yang bertindak selaku agen yang kedudukannya tidak
bebas;
o. agen atau pegawai dari perusahaan asuransi yang tidak didirikan dan tidak
bertempat kedudukan di Indonesia yang menerima premi asuransi atau
menanggung risiko di Indonesia; dan
p. komputer, agen elektronik, atau peralatan otomatis yang dimiliki, disewa, atau
digunakan oleh penyelenggara transaksi elektronik untuk menjalankan
kegiatan usaha melalui internet.
Contoh :
Mr A pertama kali datang ke Indonesia pada tanggal 1 Mei 2021 dan tinggal di
Indonesia selama 90 hari kemudian kembali lagi ke negaranya. Pada tanggal 3
Pada dasarnya tempat tinggal orang pribadi atau tempat kedudukan badan
ditentukan menurut keadaan yang sebenarnya. Dengan demikian penentuan tempat
tinggal atau tempat kedudukan tidak hanya didasarkan pada pertimbangan yang
bersifat formal, tetapi lebih didasarkan pada kenyataan.
Selain itu, unit tertentu dari badan pemerintah juga tidak termasuk sebagai subjek
pajak apabila memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (3) huruf
b, yaitu:
2. Berikut adalah kriteria orang pribadi yang menjadi subjek pajak dalam negeri,
kecuali orang pribadi yang
a. Warga negara Indonesia
b. Bertempat tinggal di Indonesia
c. Berada di Indonesia lebih dari 183 hari dalam kurun waktu 12 bulan
d. Mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia
4. Subjek pajak dalam negeri menjadi subjek pajak luar negeri wajib memenuhi syarat
berikut, kecuali
a. Berada di luar Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam
jangka waktu 12 (dua belas) bulan
b. Bertempat tinggal di luar Indonesia
c. SKD dari otoritas pajak negara/yurisdiksi lain
d. Memiliki pusat kegiatan utama (PKU) di luar Indonesia
Pada bab ini akan dijelaskan mengenai objek Pajak Penghasilan, dimana yang menjadi
objek Pajak Penghasilan adalah setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima
atau diperoleh Wajib Pajak. Untuk jenis penghasilan tertentu, dengan beberapa
pertimbangan penghasilan tersebut dikenakan pajak yang bersifat final. Selain itu, terdapat
juga jenis penghasilan yang dikecualikan sebagai objek pajak. Materi pada bab ini pada
dasarnya merupakan penjabaran dari Pasal 4 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) Undang-
Undang Pajak Penghasilan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan.
Ada beberapa hal yang bisa di garis bawahi dari definisi di atas, yaitu:
Penjelasan:
Frase “yang diterima atau diperoleh” terkait dengan stelsel yang dapat
digunakan dalam pengakuan penghasilan. Frase “yang diterima” berarti
pengakuan penghasilan dapat menggunakan stelsel kas, sedangkan frase
“atau diperoleh” berarti pengakuan penghasilan dapat juga menggunakan
stelsel akrual. Dalam hal wajib pajak menyelenggarakan pencatatan,
pengakuan penghasilan menggunakan stelsel kas murni (Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 54/PMK.03/2021). Sedangkan, dalam hal wajib pajak
menyelenggarakan pembukuan dengan stelsel kas, pengakuan penghasilan
e. Y = C + ∆W
b. berlaku selama 4 (empat) tahun pajak yang dihitung sejak menjadi subjek
pajak dalam negeri
Jangka waktu 4 (empat) Tahun Pajak dihitung sejak warga negara asing pertama
kali menjadi subjek pajak dlaam negeri Indonesia. Dalam hal pada jangka waktu
4 (empat) Tahun Pajak warga negara asing meninggalkan Indonesia, batas akhir
jangka waktu tersebut tetap dihitung sejak warga negara asing pertama kali
menjadi subjek pajak dalam negeri.
c. laba usaha;
Laba usaha merupakan penghasilan yang diperoleh oleh wajib pajak yang
melakukan usaha, seperti usaha di bidang perdagangan, bidang manufaktur,
maupun bidang jasa. Yang dimaksud dengan laba usaha adalah
penghasilan neto dari kegiatan usaha yang merupakan selisih antara
penghasilan bruto dan biaya yang boleh dikurangkan.
g. dividen dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk dividen dari
perusahaan asuransi kepada pemegang polis dan pembagian sisa hasil
usaha koperasi.
Royalti adalah suatu jumlah yang dibayarkan atau terutang dengan cara atau
perhitungan apa pun, baik dilakukan secara berkala maupun tidak, sebagai
imbalan atas:
Keuntungan yang diperoleh karena fluktuasi kurs mata uang asing diakui
berdasarkan sistem pembukuan yang dianut dan dilakukan secara taat asas
sesuai dengan Standar Akuntansi Keuangan yang berlaku di Indonesia.
Sebagai contoh iuran yang diterima oleh Ikatan Konsultan Pajak Indonesia
(IKPI) dari para anggotanya merupakan penghasilan yang menjadi objek
pajak. Pekerjaan bebas adalah pekerjaan yang dilakukan oleh orang pribadi
yang mempunyai keahlian khusus sebagai usaha untuk memperoleh
penghasilan yang tidak terikat oleh suatu hubungan kerja, misalnya
konsultan pajak, pengacara, dokter.
b. Pekerjaan bebas adalah pekerjaan yang dilakukan oleh orang pribadi yang
mempunyai keahlian khusus sebagai usaha untuk memperoleh penghasilan
yang tidak terikat oleh suatu hubungan kerja, misalnya konsultan pajak,
pengacara, dokter.
d. Penghasilan dari usaha adalah berupa laba usaha yang diperoleh oleh wajib
pajak yang menjalankan usaha. Penghasilan yang diperoleh dari kegiatan,
misalnya penyelenggaraan pertandingan tenis, pagelaran musik, seminar,
dan sejenisnya.
e. penghasilan dari modal, yang berupa harta gerak ataupun harta tak gerak,
seperti bunga, dividen, royalti, sewa, dan keuntungan penjualan harta
atau hak yang tidak dipergunakan untuk usaha; dan
a. Penghasilan yang dikenakan pajak bersifat final pada akhir tahun tidak
digabungkan dengan penghasilan yang dikenakan tarif umum;
b. Tarif pajak bersifat khusus;
c. Pajaknya terutang setiap terjadi transaksi;
d. Mekanisme pelunasannya biasanya dipotong atau dipungut oleh pihak lain.
Dalam hal pembayar penghasilan bukan pemotong/pemungut, wajib pajak
menyetor pajaknya sendiri;
e. Pajak Penghasilan Final yang telah dipotong atau dipungut oleh pihak lain,
atau yang sudah dibayar sendiri pada akhir tahun tidak dapat dikreditkan
dengan Pajak Penghasilan yang terutang yang dihitung dengan tarif umum;
f. Biaya/pengeluaran untuk mendapatkan, menagih dan memelihara
penghasilan yang dikenakan bersifat final tidak dapat dikurangkan ;
g. Wajib pajak tetap dikenakan pajak bersifat final, walaupun mengalami rugi
usaha;
Adapun penghasilan yang dikecualikan dari objek pajak yang diatur dalam Pasal 4
ayat (3) Undang-undang Pajak Penghasilan adalah sebagai berikut :
Bantuan atau sumbangan dan hibah yang dikecualikan dari Objek Pajak adalah:
1) Bantuan atau sumbangan bagi pihak yang menerima bukan merupakan
objek pajak sepanjang diterima tidak dalam rangka hubungan kerja,
hubungan usaha, hubungan kepemilikan, atau hubungan penguasaan di
antara pihak-pihak yang bersangkutan. Zakat, infak, dan sedekah yang
diterima oleh badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau
disahkan oleh pemerintah dan para penerima zakat yang berhak serta
Warisan yang diterima oleh ahli waris bukan merupakan objek Pajak
Penghasilan.
Pada prinsipnya harta, termasuk setoran tunai, yang diterima oleh badan
merupakan tambahan kemampuan ekonomis bagi badan tersebut. Namun
karena harta tersebut diterima sebagai pengganti saham atau penyertaan
modal, maka berdasarkan ketentuan ini, harta yang diterima tersebut bukan
merupakan objek pajak.
Daerah tertentu merupakan daerah yang memenuhi kriteria antara lain daerah
terpencil, yaitu daerah yang secara ekonomis mempunyai potensi yang layak
dikembangkan tetapi keadaan prasarana ekonomi pada umumnya kurang
memadai dan sulit dijangkau oleh transportasi umum, baik melalui darat, laut
maupun udara, sehingga untuk mengubah potensi ekonomi yang tersedia
menjadi kekuatan ekonomi yang nyata, penanam modal menanggung risiko
yang cukup tinggi dan masa pengembalian yang relatif panjang, termasuk
daerah perairan laut yang mempunyai kedalaman lebih dari 50 (lima puluh)
meter yang dasar lautnya memiliki cadangan mineral.
Penggantian atau santunan yang diterima oleh orang pribadi dari perusahaan
asuransi sehubungan dengan polis asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan,
asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi beasiswa, bukan merupakan
objek pajak. Hal ini selaras dengan ketentuan dalam Pasal 9 ayat (1) huruf d,
yaitu bahwa premi asuransi yang dibayar oleh Wajib Pajak orang pribadi untuk
kepentingan dirinya tidak boleh dikurangkan dalam penghitungan Penghasilan
Kena Pajak.
1) dividen yang berasal dari dalam negeri yang diterima atau diperoleh Wajib
Pajak:
a) orang pribadi dalam negeri sepanjang dividen tersebut diinvestasikan
di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam jangka waktu
tertentu;
b) badan dalam negeri.
2) dividen yang berasal dari luar negeri:
a) dari badan usaha di luar negeri yang sahamnya diperdagangkan di bursa
efek, sepanjang dividen tersebut diinvestasikan di wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia dalam jangka waktu tertentu;
b) dari badan usaha di luar negeri yang sahamnya tidak diperdagangkan di
bursa efek, sepanjang dividen tersebut diinvestasikan paling paling
sedikit sebesar 30% (tiga puluh persen) dari laba setelah pajak atau
sebelum Direktur Jenderal Pajak menerbitkan surat ketetapan pajak
sehubungan dengan penerapan Pasal 18 ayat (2) UU PPh.
3) penghasilan setelah pajak dari BUT di luar negeri sepanjang diinvestasikan
paling sedikit sebesar 30% (tiga puluh persen) dari laba setelah pajak
4) penghasilan dari luar negeri tidak melalui BUT dengan syarat:
a) diinvestasikan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam
jangka waktu tertentu
b) penghasilan berasal dari usaha aktif di luar negeri dan bukan
penghasilan dari perusahaan yang dimiliki di luar negeri
c) merupakan penghasilan yang berasal dari luar negeri yang bersumber
dari kegiatan usaha di luar negeri.
9. Bagian laba atau sisa hasil usaha yang diterima atau diperoleh
anggota dari koperasi, perseroan komanditer yang modalnya
tidak terbagi atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan,
firma, dan kongsi, termasuk pemegang unit penyertaan kontrak
investasi kolektif
12. Sisa lebih yang diterima atau diperoleh badan atau lembaga
nirlaba yang bergerak dalam bidang pendidikan dan/atau
bidang penelitian dan pengembangan yang telah terdaftar pada
instansi yang membidanginya, yang ditanamkan kembali dalam
bentuk sarana dan prasarana kegiatan pendidikan dan/atau
penelitian dan pengembangan, dalam jangka waktu paling lama
4 (empat) tahun sejak diperolehnya sisa lebih tersebut
1) imbal hasil dari giro, deposito, sertifikat deposito, dan tabungan, pada bank
di Indonesia yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip
syariah, serta surat berharga syariah yang diterbitkan oleh Bank Indonesia;
2) imbal hasil dari obligasi syariah (sukuk), Surat Berharga Syariah Negara,
dan Surat Perbendaharaan Negara Syariah, yang diperdagangkan dan/atau
dilaporkan perdagangannya pada bursa efek di Indonesia;
3) dividen yang berasal dari dalam maupun dari luar negeri atau penghasilan
lain berupa penghasilan setelah pajak atau penghasilan yang pajaknya
dikecualikan atau dikenakan pajak 0% (nol persen) dari suatu bentuk usaha
tetap maupun tidak melalui bentuk usaha tetap di luar negeri;
4) bagian laba yang diterima atau diperoleh dari pemegang unit penyertaan
kontrak investasi kolektif yang dapat berupa imbal hasil dari reksadana
syariah, kontrak investasi kolektif efek beragun aset, kontrak investasi
kolektif dana investasi real estat, kontrak investasi kolektif dana investasi
infrastruktur, dan/atau kontrak investasi kolektif berdasarkan prinsip syariah
sejenis; dan/atau
5) penjualan investasi dalam bentuk emas batangan atau rekening emas yang
dikelola lembaga keuangan syariah
1. Atribusi Faktual
Penghasilan dari usaha atau kegiatan BUT tersebut dan dari harta yang dimiliki
atau dikuasai di Indonesia.
Penghasilan kantor pusat dari usaha atau kegiatan, penjualan barang, atau
pemberian jasa di Indonesia yang sejenis dengan yang dijalankan atau yang
dilakukan oleh BUT di Indonesia.
E. Latihan
Pilihlah salah satu jawaban yang paling tepat!
c. penghasilan dari modal, yang berupa harta gerak ataupun harta tak
gerak, seperti bunga, dividen, royalti, sewa, dan keuntungan
penjualan harta atau hak yang tidak dipergunakan untuk usaha; dan
3. Penghasilan yang dipotong atau dipungut oleh pihak lain, atau yang dibayar
sendiri pada akhir tahun tidak dapat dikreditkan dengan Pajak Penghasilan yang
terutang yang dihitung dengan tarif umum merupakan salah satu karakteristik
penghasilan yang dikenakan pajak bersifat final. Di bawah ini merupakan salah
satu dasar pertimbangan penghasilan dikenakan pajak bersifat final sesuai UU
PPh adalah :
4. Berikut adalah penghasilan yang tidak dikecualikan dari objek pajak sesuai
ketentuan dalam Pasal 4 ayat (3) UU PPh, yaitu:
b. Iuran yang diterima atau diperoleh dana pensiun yang pendiriannya telah
disahkan Otoritas Jasa Keuangan, baik yang dibayar oleh pemberi kerja
maupun pegawai
c. Bagian laba atau sisa hasil usaha yang diterima atau diperoleh anggota
dari koperasi, perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas
saham-saham, persekutuan, perkumpulan, firma, dan kongsi, termasuk
pemegang unit penyertaan kontrak investasi kolektif
a. dividen yang berasal dari dalam negeri diterima orang pribadi dalam
negeri
b. dividen yang berasal dari luar negeri dari badan usaha di luar negeri
yang sahamnya diperdagangkan di bursa efek, sepanjang diinvestasikan
sepanjang dividen tersebut diinvestasikan di wilayah NKRI dalam jangka
waktu tertentu
Dalam menjalankan kegiatan usaha, tentu terdapat biaya yang dikeluarkan dalam mencari
keuntungan. Secara fiskal, tidak semua biaya yang dikeluarkan dapat diakui dalam
menghitung penghasilan kena pajak. Di dalam ketentuan perpajakan, telah diatur biaya
yang boleh dikurangkan (deductible expense) dan biaya yang tidak boleh dikurangkan (non
deductible expense). Agar mendapatkan pemahaman yang baik terkait hal tersebut, bab ini
akan menguraikan secara mendalam terkait biaya atau pengeluaran yang boleh
dikurangkan dan yang tidak boleh dikurangkan menurut ketentuan perpajakan.
Dalam UU PPh, ketentuan terkait biaya atau pengeluaran yang boleh dikurangkan
telah diatur di Pasal 6 ayat (1). Sepanjang biaya tersebut digunakan untuk untuk
mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan, maka dapat dibebankan
dalam menghitung penghasilan kena pajak. Sebaliknya, dalam hal biaya yang
dikeluarkan tidak ada hubungannya dengan upaya untuk mendapatkan, menagih,
dan memelihara penghasilan, maka tidak boleh dibebankan sebagai biaya.
Secara garis besar, beban atau biaya yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto
terbagi menjadi 2 (dua) golongan, yaitu:
Beban yang mempunyai masa manfaat tidak lebih dari 1 (satu) tahun merupakan
biaya pada tahun yang bersangkutan, misalnya gaji, biaya administrasi dan
bunga, dan biaya rutin pengolahan limbah.
2. Beban atau biaya yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun.
1. Biaya yang secara langsung atau tidak langsung berkaitan dengan kegiatan
usaha, antara lain:
Bunga atas pinjaman yang dipergunakan untuk membeli saham tidak dapat
dibebankan sebagai biaya sepanjang dividen yang diterimanya tidak
merupakan objek pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf
f. Bunga pinjaman yang tidak boleh dibiayakan tersebut dapat dikapitalisasi
sebagai penambah harga perolehan saham.
d) Biaya perjalanan;
f) Premi asuransi;
Biaya yang berkaitan dengan promosi perlu dibedakan antara biaya yang
benar-benar dikeluarkan untuk promosi dan biaya yang pada hakikatnya
merupakan sumbangan. Biaya yang benar-benar dikeluarkan untuk promosi
boleh dikurangkan dari penghasilan bruto.
Pajak yang menjadi beban perusahaan dalam rangka usahanya selain Pajak
Penghasilan, misalnya Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Bea Meterai (BM),
Pajak Hotel, dan Pajak Restoran, dapat dibebankan sebagai biaya.
Pengeluaran yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto harus dilakukan dalam
batas yang wajar sesuai dengan adat kebiasaan pedagang yang baik. Jika
pengeluaran yang melampaui batas kewajaran tersebut dipengaruhi oleh hubungan
istimewa, jumlah yang melampaui batas kewajaran tersebut tidak boleh dikurangkan
dari penghasilan bruto.
Contoh :
Dana Pensiun A yang pendiriannya telah mendapat pengesahan dari Otoritas Jasa
Keuangan memperoleh penghasilan bruto sejumlah Rp 600.000.000,00 yang terdiri
dari:
Pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud dan harta tak berwujud serta
pengeluaran lain yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun,
pembebanannya dilakukan melalui penyusutan atau amortisasi. Dalam hal
pengeluaran yang menurut sifatnya merupakan pembayaran di muka, misalnya
sewa untuk beberapa tahun yang dibayar sekaligus, pembebanannya dapat
dilakukan melalui alokasi. Pembahasan lebih mendalam terkait penyusutan dan
amortisasi akan dibahas pada Bab 6 Penyusutan dan Amortisasi Fiskal.
b. Iuran kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Otoritas Jasa
Keuangan;
Iuran kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Otoritas Jasa
Keuangan boleh dibebankan sebagai biaya. Sebaliknya, jika iuran yang
dibayarkan kepada dana pensiun namun pendiriannya tidak atau belum disahkan
oleh Otoritas Jasa Keuangan, maka tidak boleh dibebankan sebagai biaya.
c. Kerugian karena penjualan atau pengalihan harta yang dimiliki dan digunakan
dalam perusahaan atau yang dimiliki untuk mendapatkan, menagih, dan
memelihara penghasilan;
Contoh:
Kerugian karena penjualan atau pengalihan harta yang dimiliki tetapi tidak
digunakan dalam perusahaan, atau yang dimiliki tetapi tidak digunakan untuk
mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan, tidak boleh dikurangkan
dari penghasilan bruto.
Contoh:
PT Anggie memiliki televisi 60 inci yang tidak digunakan dalam usaha. Televisi
tersebut dibeli tahun 2015 seharga Rp 50 juta, dan pada tahun 2018 dijual
seharga Rp 5 juta, nilai sisa buku 12,5 juta. Maka kerugian sebesar Rp 7,5 juta
atas penjualan televisi tersebut tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto.
Kerugian karena fluktuasi kurs mata uang asing diakui berdasarkan sistem
pembukuan yang dianut dan dilakukan secara taat asas sesuai dengan Standar
Akuntansi Keuangan yang berlaku di Indonesia.
Biaya yang dikeluarkan untuk keperluan beasiswa, magang, dan pelatihan dalam
rangka peningkatan kualitas sumber daya manusia dapat dibebankan sebagai
biaya perusahaan dengan memperhatikan kewajaran, termasuk beasiswa yang
dapat dibebankan sebagai biaya adalah beasiswa yang diberikan kepada pelajar,
mahasiswa, dan pihak lain.
2. Wajib Pajak harus menyerahkan daftar piutang yang tidak dapat ditagih
kepada Direktorat Jenderal Pajak; dan
m. Biaya penggantian atau imbalan yang diberikan dalam bentuk natura dan/atau
kenikmatan.
1. Pembagian laba dengan nama dan dalam bentuk apapun seperti dividen,
termasuk dividen yang dibayarkan oleh perusahaan asuransi kepada pemegang
polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi;
Pembagian laba dengan nama dan dalam bentuk apa pun, termasuk
pembayaran dividen kepada pemilik modal, pembagian sisa hasil usaha
koperasi kepada anggotanya, dan pembayaran dividen oleh perusahaan
a. cadangan piutang tak tertagih untuk usaha bank dan badan usaha lain yang
menyalurkan kredit, sewa guna usaha dengan hak opsi, perusahaan
pembiayaan konsumen, dan perusahaan anjak piutang yang dihitung
berdasarkan standar akuntansi keuangan yang berlaku dengan batasan
tertentu setelah berkoordinasi dengan Otoritas Jasa Keuangan;
Contoh:
Seorang tenaga ahli yang merupakan pemegang saham dari suatu badan
memberikan jasa kepada badan tersebut dengan memperoleh imbalan sebesar
Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah). Apabila untuk jasa yang sama yang
diberikan oleh tenaga ahli lain yang setara hanya dibayar sebesar
Rp20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah), jumlah sebesar Rp30.000.000,00 (tiga
puluh juta rupiah) tidak boleh dibebankan sebagai biaya. Bagi tenaga ahli yang
juga sebagai pemegang saham tersebut jumlah sebesar Rp30.000.000,00 (tiga
puluh juta rupiah) dimaksud dianggap sebagai dividen.
7. Pajak Penghasilan;
8. Biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi Wajib Pajak
atau orang yang menjadi tanggungannya;
Biaya untuk keperluan pribadi Wajib Pajak atau orang yang menjadi
tanggungannya, pada hakikatnya merupakan penggunaan penghasilan oleh
Wajib Pajak yang bersangkutan. Oleh karena itu biaya tersebut tidak boleh
dikurangkan dari penghasilan bruto perusahaan.
10. Sanksi administratif berupa bunga, denda, dan kenaikan serta sanksi pidana
berupa denda yang berkenaan dengan pelaksanaan ketentuan peraturan
perundang-undangan di bidang perpajakan.
Sanksi terkait dengan perpajakan yang tidak bisa dikurangkan, bukan hanya
yang terkait dengan pajak pusat, tetapi juga yang terkait dengan pajak daerah.
Sebagai contoh, sanksi administrasi berupa denda karena wajib pajak terlambat
membayar pajak kendaraan bermotor. Walaupun terkait dengan pajak daerah,
sanksi tersebut tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto.
b. beban atau biaya yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun,
pembebanannya dilakukan melalui penyusutan atau melalui amortisasi
c. biaya yang diakui secara komersil selalu sama dengan biaya yang
dibebankan secara fiskal
b. Biaya perjalanan
d. Pajak Penghasilan
3. Apabila premi asuransi kesehatan dibayar atau ditanggung oleh pemberi kerja,
maka
5. Di dalam UU PPh, pengaturan terkait biaya atau pengeluaran yang tidak boleh
dikurangkan dalam menentukan besarnya Penghasilan Kena Pajak adalah
Pada bab ini akan dijelaskan mengenai penentuan harga perolehan dan pengalihan harta
yang dilakukan dalam berbagai skema transaksi, antara lain:
a. jual beli;
b. tukar-menukar;
c. likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, atau
pengambilalihan usaha;
d. bantuan, sumbangan, dan hibah;
e. warisan; dan
f. penyertaan modal.
Selain harga perolehan dan pengalihan harta, pada bab ini juga akan dibahar terkait
penentuan nilai persediaan dan pemakaian persediaan yang dihitung dengan beberapa
metode berbeda.
Harga perolehan atau harga penjualan dalam hal pengalihan harta terjadi melalui
skema jual beli dibedakan menjadi dua, yaitu:
Dalam hal transaksi jual beli tidak dipengaruhi hubungan istimewa, maka
harga perolehan atau harga penjualan adalah jumlah yang sesungguhnya
dikeluarkan atau diterima, karena jumlah tersebut dianggap sudah
mencerminkan harga wajar.
Contoh
b. Wajib Pajak menguasai Wajib Pajak lainnya atau dua atau lebih Wajib Pajak
berada di bawah penguasaan yang sama baik langsung maupun tidak
langsung; atau
2. Tukar menukar
Contoh
Truk X Truk Y
(PT A) (PT B)
Nilai sisa buku Rp20.000.000 Rp23.000.000
Harga pasar Rp25.000.000 Rp25.000.000
Keuntungan Rp5.000.000 Rp2.000.000
Dari transaksi tersebut, karena harga pasar masing-masing harta berada di atas
nilai sisa buku, maka atas selisih dari harga pasar dan nilai sisa buku tersebut
merupakan keuntungan bagi PT A dan PT B. Dengan demikian, PT A akan
mengakui keuntungan sebesar Rp5.000.000 dan PT B mengakui keuntungan
sebesar Rp2.000.000. Harga perolehan truk X dan truk Y dari pertukaran tersebut
sebesar harga pasarnya, yaitu Rp25.000.000.
Pasal 10 ayat (4) Undang-Undang Pajak Penghasilan antara lain mengatur bahwa
apabila terjadi pengalihan harta sehubungan dengan bantuan, sumbangan, atau
hibah:
a. yang memenuhi syarat untuk dikecualikan dari objek pajak, maka dasar
penilaian bagi yang menerima pengalihan sama dengan nilai sisa buku dari
pihak yang melakukan pengalihan atau nilau yang ditetapkan oleh Direktur
Jenderal Pajak;
b. yang tidak memenuhi syarat untuk dikecualikan dari objek pajak, maka dasar
penilaian bagi yang menerima pengalihan sama dengan nilai pasar dari harta
tersebut.
Sebagai contoh, PT ABC melakukan hibah kepada yayasan yatim piatu dan PT
DEF (distributor PT ABC) masing-masing satu mobil. Nilai buku mobil tersebut
bagi PT ABC adalah Rp60.000.000 dan harga pasarnya Rp100.000.000. Atas
kegiatan hibah tersebut, maka:
5. Warisan
Pasal 10 ayat (4) Undang-Undang Pajak Penghasilan antara lain mengatur bahwa
apabila terjadi pengalihan harta sehubungan dengan warisan, maka dasar
penilaian bagi pihak yang menerima sama dengan nilai sisa buku dari pihak yang
melakukan pengalihan harta atau nilai yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal
Pajak. Penetapan nilai perolehan oleh Direktur Jenderal Pajak dilakukan dalam
hal Wajib Pajak yang mengalihkan harta tidak menyelenggarakan pembukuan
sehingga nilai sisa buku harta yang dialihkan tidak diketahui.
6. Penyertaan Modal
Contoh perhitungan persediaan dengan metode average dapat dilihat dalam tabel
berikut:
Dari contoh pada Tabel 5-2, dapat disimpulkan bahwa pemakaian persediaan
berdasarkan metode average adalah Rp56.000.
Dengan transaksi yang sama dengan contoh perhitungan metode average, contoh
perhitungan metode FIFO dapat dilihat dalam tabel berikut:
Dari contoh pada Tabel 5-3, dapat disimpulkan bahwa pemakaian persediaan
berdasarkan metode FIFO adalah Rp57.000.
C. Latihan
Pilihlah salah satu jawaban yang paling tepat!
a. Rp30.000.000
b. Rp40.000.000
c. Rp60.000.000
d. Rp70.000.000
2. PT MEF menyerahkan mesin pabrik untuk penyertaan modal pada PT JKB. Harga
pengalihan mesin tersebut bagi PT MEF adalah …
a. Nilai pasar
b. Nilai buku
d. Nilai penggantian
3. Tuan Roni menerima warisan dari ayahnya berupa mobil. Pada saat perolehan
awal, ayahnya membeli mobil tersebut senilai Rp300.000.000. Diketahui nilai sisa
buku dari mobil tersebut saat diwariskan adalah Rp200.000.000 dan harga
pasarnya Rp250.000.000. Nilai mobil yang diakui Tuan Roni sebagai nilai
perolehan warisan adalah …
a. Rp100.000.000
b. Rp200.000.000
c. Rp250.000.000
d. Rp300.000.000
4. PT XYZ menyumbangkan sebuah mobil kepada yayasan yatim piatu. Nilai buku
mobil tersebut adalah Rp45.000.000 dan nilai pasarnya Rp65.000.000. Besarnya
harga perolehan mobil bagi yayasan adalah …
b. Rp20.000.000
c. Rp45.000.000
d. Rp65.000.000
c. FIFO
d. LIFO
Pasal 9 ayat (2) Undang-Undang Pajak Penghasilan mengatur bahwa pengeluaran untuk
mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang mempunyai masa manfaat
lebih dari 1 (satu) tahun tidak dibolehkan untuk dibebankan sekaligus, melainkan
dibebankan melalui penyusutan atau amortisasi. Penyusutan pada dasarnya merupakan
alokasi secara sistematis atas biaya perolehan harta berwujud untuk dibebankan selama
masa manfaat harta berwujud. Sedangkan amortisasi merupakan alokasi atas biaya
perolehan harta tidak berwujud.
Dalam bab ini akan dibahas terkait ketentuan penyusutan dan amortisasi fiskal, meliputi
metode, masa manfaat, dan saat mulainya. Selain itu, dalam Bab ini juga dijelaskan terkait
dampak penyusutan dan amortisasi terhadap nilai sisa buku sehubungan dengan
pengalihan harta.
A. Penyusutan Fiskal
1. Metode Penyusutan
Pasal 11 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Pajak Penghasilan mengatur
antara lain penyusutan harta berwujud, kecuali tanah yang berstatus hak milik,
hak guna bangunan, hak guna usaha, dan hak pakai, yang dimiliki dan digunakan
untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang mempunyai
masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun dilakukan selama masa manfaat yang
telah ditentukan secara taat asas dan:
2. Masa Manfaat
I. Bukan Bangunan
II. Bangunan
Permanen 20 Tahun 5%
Bangunan tidak permanen adalah bangunan yang bersifat sementara dan terbuat
dari bahan yang tidak tahan lama atau bangunan yang dapat dipindah-pindahkan,
yang masa manfaatnya tidak lebih dari 10 (sepuluh) tahun, misalnya barak atau
asrama yang dibuat dari kayu untuk karyawan.
Sebagai contoh, PT ABC membeli mesin pada bulan Januari 2021 dengan harga
perolehan Rp32.000.000 dan masa manfaat 4 (empat) tahun. Dalam hal PT ABC
menggunakan metode garis lurus untuk menyusutkan mesin tersebut, maka
perhitungan penyusutannya adalah sebagai berikut:
Pasal 11 ayat (3) dan ayat (4) Undang-Undang Pajak Penghasilan mengatur
bahwa:
Saat mulai menghasilkan dalam ketentuan ini dikaitkan dengan saat mulai
berproduksi dan tidak dikaitkan dengan saat diterima atau diperolehnya
penghasilan.
Sebagai contoh, PT ECO mulai membangun gedung pada bulan Januari 2020
dengan biaya Rp2.000.000.000. Gedung tersebut selesai dibangun pada tanggal
11 Januari 2021, memiliki masa manfaat selama 20 tahun, dan akan mulai
digunakan pada bulan Juli 2021. Berdasarkan ilustrasi tersebut, maka penyusutan
atas gedung tersebut dimulai pada bulan diselesaikannya proses pengerjaan,
yaitu Januari 2021. Besarnya beban penyusutan fiskal pada tahun 2021 adalah
Rp100.000.000 (Rp2.000.000.000 x 5%).
Dalam penyusutan fiskal tidak dikenal adanya nilai sisa. Dengan kata lain, nilai
sisa harta berwujud yang disusutkan adalah nol (Purwanto, 2014). Oleh karena
itu, dalam penghitungan beban penyusutan fiskal, dasar penyusutannya adalah
nilai perolehan harta berwujud secara utuh tanpa pengurangan.
B. Amortisasi Fiskal
Pasal 11A ayat (1) Undang-Undang Pajak Penghasilan mengatur bahwa amortisasi
dilakukan atas pengeluaran untuk memperoleh harta tak berwujud dan pengeluaran
lainnya. Yang dimaksud dengan pengeluaran lainnya termasuk biaya perpanjangan
hak guna bangunan, hak guna usaha, hak pakai, dan muhibah (goodwill) yang
mempunyai masa manfaat lebih dari satu tahun dan dipergunakan untuk
mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan.
1. Metode Amortisasi
a. dalam bagian-bagian yang sama besar selama masa manfaat yang telah
ditentukan bagi harta tersebut; atau
Berdasarkan Pasal 11A ayat (4) dan ayat (5) Undang-Undang Pajak Penghasilan,
terdapat metode lain yang digunakan dengan ketentuan khusus sebagai berikut:
3. Apabila ternyata jumlah produksi yang sebenarnya lebih kecil dari yang
diperkirakan, sehingga masih terdapat sisa pengeluaran untuk
Contoh:
Contoh:
2. Masa Manfaat
Berdasarkan Pasal 11A ayat (2) Undang-Undang Pajak Penghasilan, diatur untuk
menghitung masa manfaat dan tarif amortisasi dengan ketentuan umum sebagai
berikut:
Jika suatu harta tak berwujud memiliki masa manfaat yang tidak sama dengan
kelompok di atas, maka dimasukkan dalam kelompok terdekat. Apabila kelompok
terdapat 2 kelompok terdekat dengan masa manfaat harta tak berwujud, maka
Wajib Pajak dapat memilih kelompok tersebut sepanjang taat asas.
Contoh:
Pasal 11A ayat (1a) Undang-Undang Pajak Penghasilan Amortisasi dimulai pada
bulan dilakukannya pengeluaran, kecuali untuk bidang usaha tertentu.
Pengecualian untuk bidang usaha tertentu diatur demikian dalam rangka
menyesuaikan karakteristik bidang usaha tertentu sehingga perlu diberikan
pengaturan tersendiri untuk saat dimulainya amortisasi bagi usaha tertentu
tersebut.
Di dalam Pasal 11 ayat 8 UU PPh, diatur bahwa apabila terjadi pengalihan atau
penarikan harta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf d UU PPh
atau penarikan harta karena sebab lainnya, maka jumlah nilai sisa buku harta
tersebut dibebankan sebagai kerugian dan jumlah harga jual atau penggantian
asuransinya yang diterima atau diperoleh dibukukan sebagai penghasilan pada
tahun terjadinya penarikan harta tersebut. Mengacu kepada ketentuan tersebut,
pada dasarnya pengenaan pajak atas keuntungan atau kerugian karena
pengalihan harta berlaku pada tahun dilakukannya pengalihan harta tersebut.
Dalam hal harta dijual atau terbakar, maka penerimaan neto dari penjualan harta
tersebut dihitung berdasarkan selisih antara harga penjualan dengan biaya yang
dikeluarkan berkenaan dengan penjualan tersebut dan atau penggantian
asuransinya. Penerimaan neto dibukukan sebagai penghasilan pada tahun
terjadinya penjualan atau tahun diterimanya penggantian asuransi, dan nilai sisa
buku dari harta tersebut dibebankan sebagai kerugian dalam tahun pajak yang
bersangkutan. Dalam hal penggantian asuransi yang diterima jumlahnya baru
dapat diketahui dengan pasti pada masa kemudian, Wajib Pajak dapat
mengajukan permohonan kepada Direktur Jenderal Pajak agar jumlah sebesar
kerugian tersebut dapat dibebankan dalam tahun penggantian asuransi tersebut.
Contoh:
Sebuah gedung yang dimiliki oleh PT Kurnia pada tahun 2021 terbakar. Nilai sisa
buku gedung tersebut pada saat terbakar sebesar Rp 600 juta. Maka sebesar nilai
buku gedung diakui sebagai kerugian. Jika PT A menerima penggantian dari
perusahaan asuransi kebakaran, penggantian tersebut diakui sebagai
penghasilan. Namun, apabila hasil penggantian asuransi yang akan diterima
jumlahnya baru dapat diketahui dengan pasti tahun pajak berikutnya, maka
dengan persetujuan Direktur Jenderal Pajak kerugian tersebut dibukukan sebagai
beban tahun pajak berikutnya.
Berbeda dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 11 ayat (8) UU PPh,
dalam hal pengalihan harta berwujud dalam bentuk bantuan, sumbangan, hibah
dan warisan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a dan huruf b,
maka nilai sisa bukunya tidak boleh dibebankan sebagai kerugian oleh pihak yang
mengalihkan.
Di dalam Pasal 11A ayat 7 UU PPh mengatur bahwa dalam hal terjadi pengalihan
harta tak berwujud atau hak-hak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (4),
dan ayat (5) Pasal 11 UU PPh, maka nilai sisa buku harta atau hak-hak tersebut
dibebankan sebagai kerugian dan jumlah yang diterima sebagai penggantian
merupakan penghasilan pada tahun terjadinya pengalihan tersebut.
Contoh:
Dalam hal pengalihan harta tak berwujud dalam bentuk bantuan, sumbangan,
hibah dan warisan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf a dan
huruf b UU PPh, perlakuan atas nilai sisa buku dari harta tak berwujud sama
seperti dengan pengalihan harta berwujud, yaitu tidak boleh dibebankan sebagai
kerugian bagi pihak yang mengalihkan.
1. PT ABC membeli mobil dengan nilai perolehan Rp120.000.000 dan memiliki masa
manfaat 4 tahun. Jika pembelian dilakukan pada bulan Juli 2021 dan PT ABC
menggunakan metode garis lurus, maka beban penyusutan fiskal atas mobil
tersebut untuk tahun 2021 adalah …
a. Rp30.000.000
b. Rp15.000.000
c. Rp17.500.000
d. belum disusutkan
2. Berikut adalah harta berwujud yang dapat menggunakan metode saldo menurun
dalam penyusutannya, kecuali …
a. Mesin percetakan
b. Mobil taksi
c. Gedung pabrik
d. Komputer
3. PT UMP mulai membangun sebuah gedung pada bulan Januari 2018. Pada bulan
Juli 2020 gedung selesai dibangun dengan total biaya Rp320.000.000. Biaya
penyusutan atas gedung tersebut pada tahun 2021 adalah sebesar …
a. Rp16.000.000
b. Rp12.000.000
c. Rp9.333.333
d. Rp8.000.000
4. Metode amortisasi yang boleh digunakan untuk tujuan fiskal adalah sebagai berikut,
kecuali …
a. Rp100.000.000
b. Rp125.000.000
c. Rp200.000.000
d. Rp400.000.000
Penghasilan neto fiskal dihitung dengan cara penghasilan bruto objek pajak tidak final
dikurangi dengan biaya-biaya yang boleh dikurangkan
a. Jika terdapat sisa kerugian yang boleh dikompensasikan, sisa kerugian tersebut
dikurangkan dari penghasilan neto
b. Untuk wajib pajak orang pribadi dalam negeri diberikan pengurang berupa
penghasilan tidak kena pajak (PTKP)
Setelah penghasilan kena pajak diketahui, Pajak Penghasilan terutang dihitung dengan
mengalikan penghasilan kena pajak dan tarif umum Pasal 17 Undang- undang Pajak
Penghasilan.
Pada bab ini akan dibahas terkait alokasi kompensasi kerugian, pemajakan atas
penghasilan keluarga, penghasilan tidak kena pajak, serta bagian peredaran bruto yang
tidak kena pajak bagi wajib pajak dengan peredaran bruto tertentu.
a. usaha yang menderita kerugian tersebut dikenai pajak dengan tarif yang
bersifat final atau dikecualikan dari objek pajak kerugian cabang di luar
negeri tidak boleh dikompensasikan dengan penghasilan dalam negeri, atau
Contoh:
Tuan Mirwan memiliki tiga toko. Di toko pertama, Tuan Mirwan menjual alat
olahraga. Di toko kedua, Tuan Mirwan menjual alat elektronik. Di toko ketiga,
Tuan Mirwan menjual pakaian. Dalam tahun 2023, Tuan Mirwan mendapatkan
laba fiskal dari usaha penjualan alat olahraga sebesar Rp600.000.000 dan dari
usaha penjualan alat elektronik sebesar Rp500.000.000. Dalam tahun tersebut,
Tuan Mirwan menderita kerugian fiskal sebesar Rp100.000.000 dari usaha
penjualan pakaian. Penghasilan neto fiskal Tuan Mirwan Tahun Pajak 2023
adalah:
Contoh:
Tahun Jumlah 2023 2024 2025 2026 2027 2028 2029 2030
2023 200
2024 100
2026 Nihil
2027 500
2028 300
2030 600
a. Penghasilan istri yang diperoleh atau diterima dari satu pemberi kerja yang
sudah dipotong Pajak Penghasilan Pasal 21 dianggap sudah dikenakan pajak
bersifat final dengan ketentuan penghasilan tersebut semata-mata dari satu
pemberi kerja dan tidak ada hubungannya dengan dengan usaha atau
pekerjaan bebas suami atau anggota keluarga lainnya.
2. Kondisi Umum
Berdasarkan Pasal 6 ayat (3) dan Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Pajak
Penghasilan, untuk menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak dari Wajib
Pajak orang pribadi dalam negeri, penghasilan netonya diberikan pengurangan
berupa Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP). Besarnya PTKP berdasarkan
Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Pajak Penghasilan diberikan paling sedikit:
a. Rp54.000.000 (lima puluh empat juta Rupiah) untuk diri Wajib Pajak orang
pribadi;
b. Rp4.500.000 (empat juta lima ratus ribu Rupiah) tambahan untuk Wajib
Pajak orang pribadi yang kawin;
c. Rp54.000.000 (lima puluh empat juta Rupiah) tambahan untuk seorang isteri
yang penghasilannya digabung dengan penghasilan suami; dan
d. Rp4.500.000,00 (empat juta lima ratus ribu rupiah) tambahan untuk setiap
anggota keluarga sedarah dan keluarga semenda dalam garis keturunan
lurus serta anak angkat, yang menjadi tanggungan sepenuhnya, paling
banyak tiga orang untuk setiap keluarga.
Pengertian garis keturunan lurus yaitu secara vertikal ke bawah atau ke atas.
Anggota keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus vertikal ke bawah
misalnya anak kandung atau cucu dari Wajib Pajak, sedangkan vertikal ke atas
misalnya orang tua, kakek, atau nenek dari Wajib Pajak. Anggota keluarga
semenda dalam garis keturunan lurus, secara vertikal ke bawah, misalnya anak
tiri, sedangkan vertikal ke atas misalnya mertua dari Wajib Pajak.
Anak angkat yang dapat menambah PTKP Wajib Pajak adalah anak angkat yang
menjadi tanggungan sepenuhnya dari Wajib Pajak. Hal tersebut dapat terlihat dari
keadaan yang nyata seperti mendapatkan pengesahan anak angkat, tinggal
bersama-sama dengan Wajib Pajak, tidak mempunyai penghasilan sendiri, dan
Jumlah tambahan tanggungan dalam satu keluarga paling banyak adalah tiga
orang.
3. Kondisi Khusus
4. Notasi PTKP
Contoh Notasi PTKP berdasarkan keadaan Wajib Pajak adalah sebagai berikut:
Tabel 7 - 2 : Contoh Notasi Penghasilan Tidak Kena Pajak
No Contoh Keterangan
Notasi
1 TK/0 Tidak kawin, ditambah dengan banyaknya
tanggungan yang berhak mendapatkan PTKP
sebanyak 0 tanggungan
2 K/3 Kawin, ditambah dengan banyaknya tanggungan
yang berhak mendapatkan PTKP sebanyak 3
tanggungan
3 K/I/2 Kawin, penghasilan istri digabung dengan
penghasilan suami ditambah dengan banyaknya
tanggungan yang berhak mendapatkan PTKP
sebanyak 2 tanggungan
4 HB/1 Kawin, kondisi hidup berpisah, ditambah dengan
banyaknya tanggungan yang berhak mendapatkan
PTKP sebanyak 1 tanggungan (notasi hanya
digunakan pada bukti potong Pajak Penghasilan
Pasal 21, pada SPT Tahunan Pajak Penghasilan,
dalam kondisi seperti dimaksud menggunakan notasi
TK)
5. Contoh Kasus Penerapan
Jawab:
Notasi PTKP Tuan A adalah K/2 karena telah kawin dan mempunyai dua
tanggungan yang diperbolehkan (anak dan mertua), sedangkan adik tidak
diperbolehkan. Besarnya PTKP Tuan A sebagai berikut:
Jawab:
3. Tuan C adalah seorang PNS yang mempunyai istri pemilik usaha restoran. Di
rumahnya, selain bersama istri, Tuan C tinggal bersama satu anak berstatus
pelajar dan ibu mertuanya yang merupakan pensiunan PNS. Bagaimana
notasi dan besarnya PTKP Tuan C?
Jawab:
Notasi PTKP Tuan C adalah K/I/1 karena penghasilan istri digabung dengan
Tuan C. Kemudian anak Tuan C dapat menambah PTKP sedangkan ibu
mertua tidak menjadi tanggungan karena masih mempunyai penghasilan
uang pensiun. Besarnya PTKP Tuan C sebagai berikut:
4. Tuan D adalah seorang pegawai BUMN yang mempunyai istri seorang PNS.
Mereka mempunyai empat orang anak dengan status pelajar. Bagaimana
notasi dan besarnya PTKP Tuan D?
Jawab:
Jawab:
PTKP : Rp117.000.000
Rp60.000.000 x 5% : Rp3.000.000
=12.870.000
C. Bagian Peredaran Bruto yang Tidak Kena Pajak bagi Wajib Pajak
dengan Peredaran Bruto Tertentu
Berdasarkan Pasal 4 ayat (2) huruf e Undang-Undang Pajak Penghasilan, Wajib
Pajak yang memiliki peredaran bruto tertentu dapat dikenakan pajak penghasilan
yang bersifat final. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018, batas
penghasilan yang dapat dikenakan pajak penghasilan yang bersifat final dengan tarif
sebesar 0,5% dari penghasilan bruto Wajib Pajak, yaitu tidak melebihi
Rp4.800.000.000 dalam satu Tahun Pajak.
Dalam Pasal 7 ayat (2a) Undang-Undang Pajak Penghasilan diatur bahwa Wajib
Pajak orang pribadi yang memiliki peredaran bruto tertentu tidak dikenai Pajak
Penghasilan atas bagian peredaran bruto sampai dengan Rp500.000.000 dalam satu
tahun pajak.
Terdapat dua metode pengenaan Pajak Penghasilan peredaran bruto tertentu yang
dikenakan pajak penghasilan final, yang pertama yaitu setor sendiri atau yang kedua
melalui pemotongan dan/atau pemungutan jika Wajib Pajak bertransaksi dengan
pemotong/pemungut Pajak Penghasilan.
Contoh:
Tuan Effendy adalah seorang pengusaha yang memenuhi ketentuan Wajib Pajak
orang pribadi yang dapat dikenakan pajak penghasilan yang bersifat final. Peredaran
bruto yang diperoleh Tuan Effendy pada tahun 2023 sebesar Rp1.200.000.000
dengan rincian sebagai berikut:
D. Latihan
Pilihlah satu jawaban yang paling tepat!
1. Apabila dalam satu tahun pajak suatu usaha atau kegiatan menderita kerugian,
kerugian tersebut dikompensasikan dengan penghasilan lainnya. Hal ini disebut
juga dengan:
a. Kompensasi vertikal
b. Kompensasi horizontal
c. Kompensasi diagonal
d. Kompensasi longitudinal
2. Berapa tahun suatu kerugian yang diderita Wajib Pajak dapat dikompensasikan
secara vertikal:
a. Lima bulan
b. Satu bulan
c. Lima tahun
d. Satu tahun
3. Berikut ini yang merupakan contoh anggota keluarga semenda dalam garis
keturunan lurus, kecuali:
a. Bapak mertua
b. Ibu mertua
c. Anak kandung
d. Anak tiri
5. Berapa besar tambahan PTKP untuk seorang istri yang penghasilannya digabung
dengan penghasilan suami:
a. Rp2.025.000
b. Rp4.500.000
c. Rp24.300.000
d. Rp54.000.000
Bab ini akan membahas mengenai penghitungan Pajak Penghasilan terutang yang dapat
dihitung dengan 2 (dua) cara yaitu yaitu menghitung dengan tarif umum dan tarif khusus.
Menghitung PPh terutang dengan tarif umum merupakan cara menghitung PPh dengan
tarif Pasal 17 yang diatur dalam UU PPh sementara menghitung PPh dengan tarif khusus
merupakan cara menghitung PPh dengan menggunakan tarif selain tarif Pasal 17 UU PPh
dan bersifat final.
ompensasi erugian
PT P
akat umbangan Wajib
eagamaan
Penghasilan neto fiskal dapat dihitung dengan 2 (dua) cara yaitu (1) rekonsiliasi
fiskal dan (2) norma penghitungan penghasilan neto.
a. Rekonsiliasi fiskal
d. Beban gaji sebesar Rp6 milyar, dimana sebesar Rp500 juta diberikan
dalam bentuk natura berupa persediaan barang dagangan PT Ikhlas
Tegas.
Nilai
Koreksi Koreksi Nilai Fiskal
Keterangan Komersial
Positif Negatif (Juta Rp)
(Juta Rp)
Penghasilan
Penjualan 60.000 60.000
1
Penghasilan sewa 5.000 5.000 -
Biaya-biaya
Harga Pokok Penjualan (36.000) (36.000)
Beban gaji (6.000) (6.000)
Beban perawatan mobil pribadi (500) (500)2 -
pemegang saham
Beban perawatan rumah dinas (100) (100)
direktur
Beban administrasi & pemasaran (2.000) (2.000)
3
Sanksi PPh Pasal 25 (60) (60) -
Beban PBB (50) (50)
Penghasilan Neto 20.290 15.850
Keterangan
1
: penghasilan sewa merupakan objek PPh Final sesuai dengan Pasal 4 ayat (2)
UU PPh, sehingga tidak diperhitungkan sebagai bagian penghasilan yang dikenai
tarif umum.
2
: beban perawatan mobil pribadi pemegang saham tidak dapat dikurangkan karena
merupakan bagian dari biaya yang dikeluarkan untuk kepentingan pribadi
pemegang saham sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf b UU PPh.
3
: Sanksi PPh Pasal 25 tidak dapat dikurangkan karena merupakan sanksi
administratif berkenaan dengan pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-
c. daerah lainnya
Bagi Wajib pajak yang mempunyai lebih dari satu jenis usaha atau pekerjaan
bebas, penghasilan neto dihitung terhadap masing-masing jenis usaha
dengan memperhatikan pengelompokan wilayah. Penghasilan neto bagi tiap
jenis usaha dihitung dengan cara mengalikan angka persentase Norma
Penghitungan Penghasilan Neto dengan peredaran bruto atau penghasilan
bruto dari kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dalam satu tahun.
Contoh
Contoh:
Penghasilan neto PT Berani Maju tahun pajak 2020 adalah Rp10 miliar.
Misalkan, pada tahun pajak 2021, perusahaan menderita kerugian sebesar Rp
2 miliar, maka kerugian tersebut bisa dikompensasikan di tahun 2021 sehingga
besarnya penghasilan kena pajak tahun 2021 adalah
Untuk orang pribadi sebagai wajib pajak dalam negeri, diberikan pengurang
berupa PTKP. Misal, penghasilan neto Tuan Andi tahun pajak 2020 adalah Rp
600.000.000. Jika notasi PTKP Tuan Andi adalah K/1 sehingga besarnya PTKP
adalah Rp63.000.000, sehingga penghasilan kena pajak menjadi
Tarif umum dibedakan antara wajib pajak orang pribadi dan wajib pajak badan.
Tarif umum bagi wajib pajak orang pribadi diatur pada pasal 17 ayat (1)
sebagai berikut:
- 60.000.000 x 5% = Rp 3.000.000
- 190.000.000 x 15% = Rp 28.500.000
- 250.000.000 x 25% = Rp 62.500.000
- 37.000.000 x 30% = Rp 11.100.000
Pajak Penghasilan terutang = Rp 105.100.000
b. Wajib Pajak Badan
Tarif umum bagi wajib pajak badan tahun pajak 2021 sebesar 22%.
Selanjutnya, berdasarkan amandemen UU PPh melalui Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP),
tarif umum bagi wajib pajak badan diatur tetap sebesar 22% mulai tahun pajak
2022.
Dari contoh di atas penghasilan kena pajak PT Berani Maju tahun pajak 2021
adalah Rp8 milyar. Besarnya Pajak Penghasilan terutang adalah
Rp8.000.000.000 x 22% = Rp1.760.000.000.
Wajib Pajak badan dalam negeri dengan peredaran bruto sampai dengan
Rp 50.000.000.000 atas penghasilan kena pajak yang berasal dari peredaran
bruto sampai dengan Rp 4,8 miliar mendapat fasilitas berupa pengurangan
tarif sebesar 50%.
Contoh:
4,8
x Rp 6 miliar = Rp 960.000.000
30
diberikan penurunan tarif sebesar 3% dari tarif umum (22%), sehingga tarif
pajaknya menjadi 19%.
Setiap jenis penghasilan yang dikenai Pajak Penghasilan yang bersifat final
diatur dengan peraturan tersendiri, baik menyangkut dasar pengenaan pajak, tarif
pajak, saat terutangnya pajak, maupun cara pelunasannya. Tabel berikut
menyajikan jenis penghasilan yang dikenakan Pajak Penghasilan bersifat final,
tarif pajak, dan dasar hukumnya.
Dasar Pengenaan
No Penghasilan Tarif Dasar Hukum
Pajak
1. Bunga Deposito/ 10% Jumlah bruto dari • PP No 131 Thn
Tabungan dan bunga deposito
7,5% 2000 jo PP No
Diskonto dalam mata uang
Sertifikat Bank 2,5% dolar Amerika 123 Thn 2015
Indonesia (SBI) Serikat yang
0%
bersumber dari DHE • 212/PMK.03/2
018
10% • PER-
Jumlah bruto dari
7,5% bunga deposito 03/PJ/2020
2,5% dalam mata uang
rupiah yang
0% bersumber dari DHE
BBG
0,3%
15%
Penghasilan bruto di
atas Rp. 100 juta
s.d. 500 Juta
25%
Penghasilan bruto di
atas Rp. 500 juta
Uang manfaat 0% s.d. Rp. 50 juta • PP No 68 Thn
pensiun,
2009
Tunjangan Hari
Tua atau Jaminan 5% Penghasilan bruto di
Hari Tua yang atas Rp. 50 juta
dibayarkan
sekaligus
10 Honorarium dan 0% Penghasilan bruto • PP No 80 Thn
imbalan lain PNS Gol I dan II,
2010
dengan nama TNI/POLRI
apapun atas golongan pangkat • 262/PMK.03/2
beban Tamtama dan
APBN/APBD Bintara, dan 010
yang diterima pensiunannya
Pejabat, TNI,
POLRI dan
pensiunan Penghasilan bruto
5% bagi PNS Gol III dan
IV, TNI/POLRI
golongan pangkat
Penghasilan bruto
15%
bagi Pejabat
Negara, PNS Gol IV,
TNI/POLRI
golongan pangkat
Perwira Menengah
dan Perwira Tinggi,
dan Pensiunannya
11 Penjualan Saham 0,1% Jumlah bruto nilai • PP No 4 Thn
Milik Perusahaan transaksi penjualan
1995
Modal Ventura saham atau
pengalihan • 48/PMK.010/2
penyertaan modal
018
12 Selisih penilaian 10% Selisih lebih • Pasal 19 UU
kembali aktiva penillaian kembali di
PPh
tetap atas nilai sisa buku
fiskal
13 Dsikonto Surat 20% Jumlah Diskonto • PP No 27 Thn
Perbendaharaan SPN
Negara 2008
b) Pekerjaan Konstruksi
c. Pajak Penghasilan atas Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu
1) Wajib pajak orang pribadi dan wajib pajak badan berbentuk koperasi,
persekutuan komanditer, firma, atau perseroan terbatas, dan
Batasan peredaran bruto yang tidak melebihi Rp4,8 milyar adalah peredaran
bruto dari usaha dalam satu tahun dari Tahun Pajak terakhir sebelum Tahun
Pajak yang bersangkutan, yang ditentukan berdasarkan peredaran bruto dari
usaha seluruhnya, termasuk dari usaha cabang, tidak termasuk:
2) penghasilan yang diterima atau diperoleh dari luar negeri yang pajaknya
terutang atau telah dibayar di luar negeri;
1) Tahun Pajak Wajib Pajak terdaftar, bagi Wajib Pajak yang terdaftar sejak
berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2018, atau
2) Tahun Pajak berlakunya Peraturan Pemerintah ini, bagi Wajib Pajak yang
telah terdaftar sebelum berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 23
Tahun 2018.
Mulai tahun Pajak 2022, sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (2b) UU PPh,
untuk Wajib Pajak Orang Pribadi, atas peredaran bruto sampai dengan Rp500
Juta dalam 1 (satu) tahun tidak dikenai PPh. Contoh penerapan dari aturan
tersebut adalah sebagai berikut:
b. biaya sanksi bunga keterlambatan bayar Pajak Bumi dan Bangunan sektor
Perkotaan
d. biaya perawatan mobil dinas komisaris sebagai bagian dari imbalan kerja
2. Wajib Pajak berikut ini dapat memberitahukan kepada Dirjen Pajak untuk
menggunakan NPPN pada tahun pajak 2022
a. Tn Adi, buka praktik dokter, dengan rata-rata omzet tahun 2021 Rp1
Miliar/bulan
a. Uang manfaat pensiun, Tunjangan Hari Tua atau Jaminan Hari Tua yang
dibayarkan sekaligus
Pada bab ini akan dijelaskan mengenai pajak-pajak yang menjadi pelunasan penghitungan
pajak dalam tahun berjalan. Pasal-pasal dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan yang
akan dibahas pada bab berikut antara lain PPh Pasal 21, PPh Pasal 22, PPh Pasal 23, PPh
Pasal 24, PPh Pasal 25, dan PPh Pasal 29.
Agar pelunasan pajak dalam tahun berjalan mendekati jumlah pajak yang akan terutang
untuk tahun pajak yang bersangkutan, maka pelaksanaannya dilakukan melalui:
a. Pemotongan pajak oleh pihak lain dalam hal diperoleh penghasilan oleh Wajib Pajak
dari pekerjaan, jasa, atau kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21,
pemungutan pajak atas penghasilan dari usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal
22, dan pemotongan pajak atas penghasilan dari modal, jasa dan kegiatan tertentu
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23, serta kredit pajak luar negeri dalam Pasal 24.
b. Pembayaran oleh Wajib Pajak sendiri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25.
A. PPh Pasal 21
PPh Pasal 21 adalah pajak atas penghasilan berupa gaji, upah, honorarium,
tunjangan, dan pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk apapun
sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa, dan kegiatan yang dilakukan oleh
orang pribadi Subjek Pajak dalam negeri. Pemotong PPh Pasal 21 adalah:
Yang dimaksud dengan “bukan pegawai” adalah orang pribadi yang menerima
atau memperoleh penghasilan dari pemberi kerja sehubungan dengan ikatan
c. dana pensiun, badan penyelenggara jaminan sosial tenaga kerja, dan badan-
badan lain yang membayar uang pensiun secara berkala dan tunjangan hari tua
atau jaminan hari tua;
a. pegawai;
b. penerima uang pesangon, pensiun atau uang manfaat pensiun, tunjangan hari
tua, atau jaminan hari tua, termasuk ahli warisnya;
3) olahragawan;
6) pemberi jasa dalam segala bidang termasuk teknik, komputer dan sistem
aplikasinya, telekomunikasi, elektronika, fotografi, ekonomi, dan sosial serta
pemberi jasa kepada suatu kepanitiaan;
7) agen iklan;
d. anggota dewan komisaris atau dewan pengawas yang tidak merangkap sebagai
Pegawai Tetap pada perusahaan yang sama;
e. mantan pegawai;
1) peserta perlombaan dalam segala bidang, antara lain perlombaan olah raga,
seni, ketangkasan, ilmu pengetahuan, teknologi dan perlombaan lainnya;
B. PPh Pasal 22
Pemungut PPh Pasal 22 adalah:
a. Bank Devisa dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, atas impor barang;
f. Badan usaha yang bergerak dalam bidang usaha industri semen, industri kertas,
industri baja, industri otomotif, dan industri farmasi, atas penjualan hasil
produksinya kepada distributor di dalam negeri;
g. Agen Tunggal Pemegang Merek (ATPM), Agen Pemegang Merek (APM), dan
importir umum kendaraan bermotor, atas penjualan kendaraan bermotor di
dalam negeri;
h. Produsen atau importir bahan bakar minyak, bahan bakar gas, dan pelumas,
atas penjualan bahan bakar minyak, bahan bakar gas, dan pelumas;
3 Badan usaha tertentu 1,5% x Harga Pembelian tidak termasuk PPN (Pasal 2 ayat
untuk pembelian barang (1) huruf b PMK-107/PMK.010/2015)
dan/atau bahan-bahan
untuk keperluan
kegiatan usaha
5 Agen Tunggal 0,45% dari DPP PPN (tidak final). (Pasal 2 ayat (1) huruf e
Pemegang Merek PMK-34/PMK.010/2017)
(ATPM), Agen
Pemegang Merek
(APM), dan importir
umum kendaraan
bermotor; tidak
termasuk alat berat
6 Produsen atau importir
bahan bakar minyak,
bahan bakar gas, dan
pelumas, atas penjualan
bahan bakar minyak,
bahan bakar gas, dan
pelumas
7 badan usaha industri 0,25% dari harga pembelian tidak termasuk PPN (Pasal 2
atau eksportir atas ayat (1) huruf f PMK-34/PMK.010/2017)
pembelian bahan-bahan
berupa hasil kehutanan,
perkebunan, pertanian,
peternakan, dan
perikanan yang belum
Dasar Pengenaan
No Penghasilan Tarif Dasar Hukum
Pajak
1. Penjualan Pulsa dan 0,5% a. nilai yang ditagih 6/PMK.03/2021
Kartu Perdana oleh oleh
Penyelenggara Penyelenggara
Distribusi Tingkat Kedua Distribusi Tingkat
yang merupakan Kedua kepada
Pemungut PPh Pasal 22 Penyelenggara
Distribusi Tingkat
Selanjutnya; atau
Bagi Wajib Pajak yang tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak, diterapkan tarif 100%
(seratus persen) lebih tinggi daripada tarif yang diterapkan terhadap Wajib Pajak yang
dapat menunjukkan Nomor Pokok Wajib Pajak.
c. Royalti; dan
d. Hadiah, penghargaan, bonus, dan sejenisnya selain yang telah dipotong Pajak
Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf e.
Selanjutnya, ada juga penghasilan yang merupakan objek pemotongan PPh Pasal
23 dengan tarif sebesar 2% (dua persen) dari jumlah bruto adalah:
a. sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta, kecuali sewa
dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta yang telah
dikenai Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2); dan
b. imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa
konsultan, dan jasa lain selain jasa yang telah dipotong Pajak Penghasilan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21.
Penghasilan dari jenis jasa lain yang merupakan objek pemotongan PPh Pasal 23
diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 141/PMK.03/2015 Pasal 1 ayat
(6), yang terdiri dari:
b. Jasa aktuaris;
d. Jasa hukum;
e. Jasa arsitektur;
i. Jasa penunjang di bidang usaha panas bumi dan penambangan minyak dan
gas bumi (migas);
n. Jasa penyedia tenaga kerja dan/ atau tenaga ahli (outsourcing services};
t. Jasa pembuatan saranan promosi film, iklan, poster, photo, slide, klise, banner,
pamphlet, baliho dan folder;
y. Jasa instalasi/pemasangan mesin, peralatan, listrik, telepon, air, gas, AC, dan/
atau TV kabel, selain yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang ruang lingkupnya
di bidang konstruksi dan mempunyai izin dan/ atau sertifikasi sebagai
pengusaha konstruksi;
aa. Jasa perawatan kendaraan dan/ atau alat transportasi darat, laut dan udara;
ae. Jasa penyediaan tempat. dan/atau waktu dalam media masa, media luar ruang
atau media lain untuk penyampaiart informasi, dan/ atau jasa periklanan;
ap. Jasa laboratorium dan/ atau dilakukan oleh lembaga atau rangka perielitian
akademis;
ar. Jasa penyondiran tanah; pengujian kecuali yang insitusi pendidikan dalam
aw. Jasa pengolahan hasil pertanian, perkebunan, perikanan, peternakan, dan/ atau
perhutanan;
bj. Jasa selain jasa-jasa tersebut di atas yang pembayarannya dibebankan pada
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah.
b. sewa yang dibayarkan atau terutang sehubungan dengan sewa guna usaha
dengan hak opsi;
c. dividen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (3) huruf f dan dividen yang
diterima oleh orang pribadi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2c);
d. bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota perseroan komanditer yang
modalnya tidak terbagi atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan, firma,
dan kongsi, termasuk pemegang unit penyertaan kontrak investasi kolektif;
e. sisa hasil usaha koperasi yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggotanya;
f. penghasilan yang dibayar atau terutang kepada badan usaha atas jasa
keuangan yang berfungsi sebagai penyalur pinjaman dan/atau pembiayaan
yang diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.
a. Badan pemerintah;
c. Penyelenggara kegiatan;
Apabila Wajib Pajak yang menerima atau memperoleh penghasilan tidak memiliki
Nomor Pokok Wajib Pajak, maka besarnya tarif pemotongan dikenai tarif lebih tinggi
sevesar 100% (seratus persen).
D. PPh Pasal 24
Pada prinsipnya, Wajib Pajak dalam negeri dikenakan pajak atas seluruh
penghasilannya baik yang diterima dari dalam negeri maupun luar negeri (world wide
income). Untuk meringankan beban pajak ganda yang dapat terjadi karena
pengenaan pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh di luar negeri. Besar
kredit pajak atas penghasilan luar negeri yang boleh dikreditan adalah sebesar pajak
penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri tetapi tidak boleh melebihi
penghitungan pajak yang terutang berdasarkan Undang-Undang Pajak Penghasilan.
Ketentuan lebih lanjut tentang kredit pajak luar negeri diatur dengan Keputusan
b. Jumlah kredit pajak paling tinggi sama dengan jumlah pajak yang dibayar atau
terutang di luar negeri, tetapi tidak boleh melebihi batas maksimal.
d. Jika penghasilan kena pajak lebih kecil dari penghasilan luar negeri, batas
maksimal kredit pajak luar negeri sama dengan PPh terutang atas penghasilan
kena pajak.
E. PPh Pasal 25
PPh Pasal 25 adalah angsuran pajak dalam tahun pajak berjalan yang harus dibayar
sendiri oleh Wajib Pajak untuk setiap bulan. Besarnya angsuran PPh Pasal 25
dihitung dengan cara Pajak Penghasilan yang terutang menurut SPT Tahunan
dikurangi dengan:
b. Pajak Penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri yang boleh
dikreditkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24,
dibagi 12 (dua belas) atau banyaknya bulan dalam bagian tahun pajak.
Contoh:
Pajak Penghasilan
yang terutang Rp50.000.000
Apabila pajak penghasilan pada contoh di atas berkenaan dengan penghasilan yang
diterima atau diperoleh untuk bagian tahun pajak yang meliputi masa 6 (enam) bulan
dalam tahun 2020, besarnya angsuran bulanan yang harus dibayar sendiri untuk
setiap bulan dalam tahun 2010 adalah sebesar Rp2.500.000
(Rp15.000.000/12). Perhitungan tersebut didapat karena kurang bayar dalam
bagian tahun pajak harus disetahunkan untuk penghitungan PPh Pasal 25.
Apabila SPT Tahunan Pajak Penghasilan disampaikan oleh Wajib Pajak orang
pribadi pada bulan Maret 2020, besarnya angsuran pajak yang harus dibayar oleh
Wajib Pajak tersebut untuk buan Januari dan Februari 2020 adalah sebesar angsuran
pajak bulan Desember 2019.
F. PPh Pasal 29
PPh Pasal 29 adalah kekurangan pembayaran pajak yang terutang harus dilunasi
sebelum SPT Tahunan Pajak Penghasilan disampaikan. Kekurangan pembayaran
pajak terjadi apabila pajak yang terutang untuk suatu tahun pajak lebih besar daripada
kredit pajak.
Perhitungan pajak pada akhir tahun bagi wajib pajak dalam negeri dan bentuk usaha
tetap dilakukan dengan menghitung Pajak Penghasilan terutang atas penghasilan
yang merupakan objek pajak tidak final. Selanjutnya, Pajak Penghasilan yang sudah
dipotong/dipungut oleh pihak lain dan angsuran PPh Pasal 25 yang sudah dibayar
sendiri dikurangkan dari Pajak Penghasilan terutang.
Apabila tahun buku sama dengan tahun kalender, kekurangan pajak tersebut wajib
dilunasi paling lambat tanggal 31 Maret bagi Wajib Pajak orang pribadi atau 30 April
bagi Wajib Pajak badan setelah tahun pajak berakhir, sedangkan apabila tahun buku
tidak sama dengan tahun kalender, misalnya dimulai tanggal 1 Juli sampai dengan
30 Juni, kekurangan pajak yang wajib dilunasi paling lambat 30 September bagi Wajib
Pajak orang pribadi atau 31 Oktober bagi Wajib Pajak badan. Batas waktu tersebut
adalah berdasarkan ketentuan bahwa pelunasan PPh Pasal 29 paling lambat
sebelum SPT Tahunan PPh disampaikan. SPT Tahunan Orang Pribadi disampaikan
paling lama tiga bulan setelah akhir tahun pajak, dan SPT Tahunan Badan
disampaikan paling lama empat bulan setelah akhir tahun pajak.
Contoh:
PT XYZ memiliki usaha bengkel. Pasa tahun 2020 memiliki PPh terutang sebesar
Rp100.000.000,00. PT XYZ memiliki kredit pajak sebagai berikut:
G. Latihan
Pilihlah salah satu jawaban yang paling tepat
a. PPh Pasal 21
b. PPh Pasal 22
c. PPh Pasal 23
d. PPh Pasal 25
a. PPh Pasal 23
b. PPh Pasal 22
c. PPh Pasal 21
d. PPh Pasal 24
a. Rp12.500000
b. Rp10.000.000
c. Rp 1.666.667
d. Rp 833.333