Modul Perpajakan - Ketentuan Umum Perpajakan
Modul Perpajakan - Ketentuan Umum Perpajakan
Pengarah: Penulis:
Yuli Kristiyono Farah Rahmawati Alfa, Wahyu
Wulandari, Idham Aulia Armeidi,
Ketua Tim Penyusun: Kartika Widyasari, Cindy Novela
Mahdaniar Paramitha, Rominta Sastriana Bakara
Disclaimer:
Isi dalam modul ini semata-mata hanya digunakan untuk pembelajaran dalam
rangka pengembangan kompetensi pegawai DJP.
Rujukan utama tetap mengacu pada peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Penerbit:
Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan RI
@Desember 2022
Selain penyempurnaan regulasi, hal yang tak kalah penting yang dilakukan adalah
menyiapkan dan mengembangkan potensi Sumber Daya Manusia yang mumpuni yaitu
pegawai Direktorat Jenderal Pajak (DJP) yang mampu mengimplementasikan berbagai
regulasi perpajakan tersebut. Oleh karenanya, pengembangan kompetensi pegawai DJP
mutlak diperlukan, terutama kompetensi terkait teknis peraturan perpajakan.
Maka dari itu, modul materi perpajakan ini hadir dan disusun oleh para Subject Matter Expert
(SME) dari masing masing unit di DJP sebagai salah satu sarana pembelajaran dan
pengembangan kompetensi pegawai DJP.
Tim Penyusun
Tabel 1 - 1 : Sistematika Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan ...... 3
Tabel 2 - 1 : Jangka Waktu Pendaftaran ............................................................................... 9
Tabel 2 - 2 : Dokumen Persyaratan Pendaftaran Wajib Pajak Orang Pribadi ...................... 11
Tabel 2 - 3 : Dokumen Persyaratan Pendaftaran Wajib Pajak Badan.................................. 12
Tabel 4 - 1 : Batas Waktu Pembayaran dan Penyetoran Pajak ........................................... 27
Tabel 5 - 1 : Batas Waktu Penyampaian SPT ..................................................................... 41
Tabel 7 - 1 : Sanksi Administratif dalam Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan.......................................................................................................................... 71
Tabel 7 - 2 : Sanksi Denda .................................................................................................. 78
Tabel 7 - 3 Sanksi Bunga Berdasarkan Uplift Factor ........................................................... 79
Tabel 7 - 4 : Sanksi Kenaikan ............................................................................................. 81
Gambar 1 - 1 : Mind map Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan ..... 4
Gambar 4 - 1 : Penghitungan Sanksi Atas Keterlambatan Pembayaran Pajak .................... 30
Gambar 4 - 2 : Penghitungan Sanksi Atas Keterlambatan Pembayaran STP, Ketetapan dan
Keputusan, serta Mengangsur atau Menunda Pembayaran Pajak ...................................... 34
Gambar 5 - 1 : Penghitungan Sanksi .................................................................................. 47
Gambar 6 - 1 : Jangka Waktu Pemeriksaan ........................................................................ 57
Gambar 7 - 1 : Perhitungan Sanksi ..................................................................................... 66
Gambar 7 - 2 : Penghitungan Sanksi .................................................................................. 67
Gambar 8 - 1 : Tahapan Tindakan Penagihan Pajak ........................................................... 87
Gambar 11 - 1 : Penghitungan Imbalan Bunga ................................................................. 123
Pajak dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang KUP didefinisikan sebagai kontribusi wajib
kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa
berdasarkan Undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan
digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Dengan fungsi mengaturnya (reguleren) pajak digunakan sebagai suatu alat untuk mencapai
tujuan-tujuan tertentu yang letaknya di luar bidang keuangan dan fungsi mengatur ini banyak
ditujukan terhadap sektor swasta. Esensi fungsi tambahan dari pajak yaitu fungsinya untuk
turut mengatur (reguleren) serta menciptakan iklim yang sehat bagi perkembangan dunia
usaha adalah demi terciptanya kesejahteraan bangsa dan negara, serta tercapainya
keseimbangan perekonomian dan politik. Masyarakat yang mempunyai kekuatan membayar
pajak yang semakin besar berarti semakin besar pula perannya terhadap pembiayaan
pembangunan. Selain itu, masyarakat juga memiliki hak kontrol terhadap segala kebijakan
pemerintah dalam rangka menyejahterakan rakyatnya, apabila segala pengeluaran
pembangunan negara ini sebagian besar dibiayai dari penerimaan pajak.
Hukum pajak terbagi menjadi 2 (dua) yaitu hukum pajak formal dan hukum pajak material.
Hukum pajak formal mengatur mengenai ketentuan-ketentuan yang mendukung ketentuan
Reformasi di bidang perpajakan yang dimulai tahun 1983 mengubah sistem perpajakan di
Indonesia, semula menganut sistem pemungutan official assessment menjadi sistem self
assessment. Direktorat Jenderal Pajak adalah lembaga yang ditunjuk oleh Undang-undang
untuk melaksanakan fungsi pelayanan, pengawasan dan penegakan hukum terhadap
masyarakat Wajib Pajak. Pembahasan dalam bahan ajar ini dimaksudkan untuk memberikan
pemahaman terhadap hukum pajak formal yang diatur dalam Undang-Undang KUP. Metode
pembahasan tidak dilakukan sesuai dengan urutan pasal dalam Undang-Undang KUP
melainkan dilakukan sesuai dengan urutan langkah yang dilaksanakan oleh Wajib Pajak
dalam melaksanakan self assessment. Hal ini dimaksudkan sekaligus agar mempermudah
pemahaman mengenai self assessment.
Adapun Perkembangan Undang-undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sejak
tahun 1983 sampai dengan saat ini dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan.
2. Undang-undang Nomor 9 Tahun 1994 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 6
Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
3. Undang-undang Nomor 16 Tahun 2000 tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang
Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
4. Undang-undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-undang
Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
5. Undang-undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-undang Nomor 5 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas
Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan menjadi Undang-undang.
6. Undang-undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
7. Undang-undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan
Hingga saat ini Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Peraturan
Perpajakan telah mengalami 6 (enam) kali perubahan.
I 1 Ketentuan Umum 1
A. Umum
NPWP adalah nomor yang diberikan kepada Wajib Pajak sebagai sarana dalam
administrasi perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas
Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya. NPWP tidak
berubah meskipun Wajib Pajak pindah tempat tinggal/tempat kedudukan atau
mengalami pemindahan tempat terdaftar.
Dasar hukum:
1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (Undang-
Undang KUP).
2. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 112/PMK.03/2022 tentang Nomor Pokok Wajib
Pajak Bagi Orang Pribadi, Wajib Pajak Badan, dan Wajib Pajak Instansi Pemerintah
mengatur mengenai penggunaan NIK sebagai NPWP bagi Orang Pribadi dan
penggunaan NPWP 16 Digit bagi WP Badan dan Instansi Pemerintah.
3. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 213/PMK.03/2019 tentang Tata Cara
Pendaftaran dan Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak, Pengukuhan dan
Pencabutan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak, Serta Pemotongan dan/atau
Pemungutan, Penyetoran, dan Pelaporan Pajak Bagi Instansi Pemerintah.
Sesuai dengan sistem self assessment, setiap Wajib Pajak yang telah memenuhi
persyaratan subjektif dan objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan di bidang perpajakan, wajib mendaftarkan diri pada kantor DJP yang wilayah
kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak dan kepadanya
diberikan NPWP sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang KUP.
Adapun yang dimaksud dengan persyaratan subjektif adalah persyaratan yang sesuai
dengan ketentuan mengenai subjek pajak dalam Undang-Undang PPh. Sedangkan
persyaratan objektif adalah persyaratan bagi subjek pajak yang menerima atau
memperoleh penghasilan atau diwajibkan untuk melakukan pemotongan dan/atau
pemungutan sesuai dengan ketentuan Undang-Undang PPh. Sejak tanggal 14 Juli
2022, NIK digunakan sebagai NPWP bagi orang pribadi yang merupakan penduduk
sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1a) Undang-Undang HPP. Sementara bagi
Wajib Pajak orang pribadi bukan penduduk, Wajib Pajak badan, dan Wajib Pajak instansi
pemerintah menggunakan NPWP dengan format 16 (enam belas) digit.
NPWP tersebut digunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas bagi Wajib Pajak
dalam administrasi perpajakan. Dengan demikian terhadap 1 (satu) Wajib Pajak hanya
diberikan 1 (satu) NPWP yang akan digunakan Wajib Pajak dalam pelaksanaan hak
dan/atau pemenuhan kewajiban perpajakannya antara lain berupa administrasi:
1. pembayaran PPh bagi orang pribadi atau badan;
2. pemotongan atau pemungutan PPh;
3. pemungutan PPN;
4. pembayaran PBB sektor perkebunan, PBB sektor perhutanan, PBB sektor
pertambangan minyak dan gas bumi, PBB sektor pertambangan untuk pengusahaan
panas bumi, PBB sektor pertambangan mineral atau batubara, dan PBB sektor
lainnya; dan/atau
5. penyetoran bea meterai.
Terhadap Wajib Pajak yang telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif namun
tidak mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP dikenai sanksi sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Wajib Pajak yang memiliki kewajiban mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP terdiri
atas:
1. Wajib Pajak orang pribadi meliputi:
a. Wajib Pajak yang tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dan
memperoleh penghasilan di atas PTKP; dan
b. Wajib Pajak yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas.
2. Wajib Pajak WBT;
3. Wajib Pajak badan meliputi:
a. Wajib Pajak badan yang memiliki kewajiban perpajakan sebagai pembayar
pajak, pemotong dan/atau pemungut pajak; atau
b. Wajib Pajak yang hanya memiliki kewajiban perpajakan sebagai pemotong
dan/atau pemungut pajak
4. Instansi pemerintah yang ditunjuk sebagai pemotong dan/atau pemungut pajak
sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan.
Namun demikian, bagi wanita kawin yang tidak menjalankan usaha atau pekerjaan
bebas dan memperoleh penghasilan di atas PTKP atau wanita kawin yang menjalankan
usaha atau pekerjaan bebas, dikenakan pajak secara terpisah karena:
maka wanita kawin tersebut wajib mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP atas
namanya sendiri pada KPP yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal wanita
dimaksud agar wanita kawin tersebut dapat melaksanakan hak dan memenuhi
kewajiban perpajakannya.
Wajib Pajak warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang
berhak, yang selanjutnya disebut Wajib Pajak WBT, adalah Wajib Pajak WBT sebagai
satu kesatuan menggantikan yang berhak sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan di bidang perpajakan. Dalam PP 74 Tahun 2011 diatur bahwa
WBT sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak dalam kedudukannya sebagai
subjek pajak menggunakan NPWP dari orang pribadi yang meninggalkan warisan
tersebut dan diwakili oleh salah seorang ahli waris, pelaksana wasiat, atau pihak yang
mengurus harta peninggalan.
Setiap Wajib Pajak sebagai Pengusaha yang dikenai pajak berdasarkan Undang-
Undang PPN 1984 dan perubahannya, wajib melaporkan usahanya pada kantor DJP
yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan Pengusaha, dan
tempat kegiatan usaha dilakukan untuk dikukuhkan menjadi PKP.
Pengusaha adalah orang pribadi atau badan dalam bentuk apa pun yang dalam kegiatan
usaha atau pekerjaannya menghasilkan barang, mengimpor barang, mengekspor
barang, melakukan usaha perdagangan, memanfaatkan barang tidak berwujud dari luar
daerah pabean, melakukan usaha jasa, atau memanfaatkan jasa dari luar daerah
pabean. Sedangkan PKP adalah pengusaha yang melakukan penyerahan barang kena
pajak dan/atau penyerahan jasa kena pajak yang dikenai pajak berdasarkan Undang-
Undang PPN dan perubahannya. Namun demikian, terdapat pengecualian terhadap
PKP tertentu berdasarkan Undang-Undang PPN dan perubahannya yang mengatur
bahwa PKP yang memenuhi kriteria sebagai pengusaha kecil yang batasannya
ditetapkan oleh Menteri Keuangan tidak menjadi PKP. Fungsi pengukuhan PKP
Jangka waktu pendaftaran dan pelaporan serta tata cara pendaftaran dan pengukuhan
termasuk penghapusan NPWP dan/atau pencabutan pengukuhan PKP diatur dalam
PMK Nomor 147/PMK.03/2017 dan PMK Nomor 213/PMK.03/2019. Adapun jangka
waktu pendaftaran Wajib Pajak sebagaimana dalam Tabel berikut.
Wajib Pajak orang pribadi yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas dan Wajib
Pajak badan yang memenuhi ketentuan sebagai PKP wajib melaporkan usahanya untuk
dikukuhkan sebagai PKP sebelum melakukan penyerahan barang kena pajak dan atau
jasa kena pajak.
Bagi pengusaha kecil sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang PPN dan
perubahannya yang:
Kepala KPP atas permohonan Wajib Pajak atau secara jabatan dapat melakukan
penghapusan NPWP terhadap Wajib Pajak orang pribadi yang sudah tidak memenuhi
persyaratan subjektif dan/atau objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan di bidang perpajakan dalam hal:
a. Wajib Pajak orang pribadi yang telah meninggal dunia dan tidak meninggalkan
warisan;
b. Wajib Pajak orang pribadi yang telah meninggalkan Indonesia untuk selama-
lamanya;
c. Wajib Pajak yang memiliki lebih dari 1 (satu) NPWP;
Kepala KPP atas permohonan Wajib Pajak atau secara jabatan dapat melakukan
penghapusan NPWP terhadap Wajib Pajak badan yang sudah tidak memenuhi
persyaratan subjektif dan/atau objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan di bidang perpajakan dalam hal
a. Wajib Pajak dilikuidasi atau dibubarkan karena penghentian atau penggabungan
usaha;
b. Wajib Pajak bentuk usaha tetap yang telah menghentikan kegiatan usahanya di
Indonesia; atau
c. Wajib Pajak yang memiliki lebih dari 1 (satu) NPWP, tidak termasuk NPWP cabang.
Pasal 2 ayat (8) Undang-Undang KUP mengatur bahwa Direktur Jenderal Pajak karena
jabatan atau atas permohonan Wajib Pajak dapat melakukan pencabutan pengukuhan
PKP. Pencabutan pengukuhan PKP dapat dilakukan dalam hal:
a. PKP pindah alamat ke wilayah kerja KPP lain;
b. PKP tidak memenuhi syarat lagi sebagai PKP termasuk PKP yang jumlah peredaran
dan/atau penerimaan bruto untuk suatu tahun buku tidak melebihi batas jumlah
peredaran dan/atau penerimaan bruto untuk pengusaha kecil.
Pencabutan pengukuhan PKP berdasarkan permohonan dilakukan berdasarkan hasil
Pemeriksaan. Sedangkan pencabutan pengukuhan PKP secara jabatan dilakukan
berdasarkan hasil pemeriksaan atau hasil penelitian administratif. Direktur Jenderal
Pajak harus memberikan keputusan atas permohonan pencabutan pengukuhan PKP
dalam jangka waktu 6 (enam) bulan, sejak tanggal permohonan diterima secara lengkap.
Pencabutan pengukuhan PKP secara jabatan melalui penelitian administrasi dilakukan
terhadap PKP tertentu yang memenuhi kriteria sebagai berikut:
a. PKP dengan status Wajib Pajak non-efektif;
b. PKP yang tempat terutangnya PPN telah dipusatkan di tempat lain;
c. PKP menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak pengukuhan PKP yang telah
mendapatkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap;
Terhitung sejak tanggal 14 Juli 2022, berlaku ketentuan terkait NPWP, yaitu:
1. Wajib Pajak orang pribadi yang merupakan penduduk menggunakan NIK sebagai
NPWP. penduduk adalah WNI dan orang asing yang bertempat tinggal di Indonesia;
2. Wajib Pajak orang pribadi bukan penduduk, Wajib Pajak badan, dan Wajib Pajak
instansi pemerintah menggunakan NPWP dengan format enam belas digit. Wajib
Pajak orang pribadi bukan penduduk, Wajib Pajak badan, dan Wajib Pajak instansi
pemerintah yang telah terdaftar dan memiliki NPWP dengan format lima belas digit
sebelum 14 Juli 2022, menggunakan NPWP dengan format enam belas digit dengan
menambahkan angka nol di depan NPWP dengan format lima belas digit.
Penggunaan NPWP enam belas digit sesuai ketentuan di atas:
1. digunakan pada layanan administrasi perpajakan secara terbatas sampai dengan
tanggal 31 Desember 2023; dan
2. digunakan dalam layanan administrasi yang diselenggarakan oleh DJP dan pihak
lain terhitung sejak tanggal 1 Januari 2024.
1. Andita adalah seorang wanita kawin yang memiliki usaha penjualan aksesoris
wanita di beberapa ruko di ITC Depok, ITC, Cempaka Mas, dan ITC Kuningan.
Andita tinggal di kota Bekasi bersama suaminya. Suami Andita adalah seorang
pegawai tetap pada PT Abdi Jaya dan tidak memperoleh penghasilan lain. Jika
Andita tidak berkehendak menjalankan hak dan kewajiban perpajakannya secara
terpisah dengan suaminya, pernyataan berikut yang tidak sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku adalah…
a. Andita wajib menyampaikan SPT Tahunan PPh atas masing-masing lokasi
usaha
b. Andita wajib mendaftarkan diri pada KPP, yang wilayah kerjanya meliputi
masing-masing lokasi usahanya berada
c. Andita wajib mengajukan permohonan penghapusan NPWP dalam hal telah
memiliki NPWP sebelum menikah
d. Andita menggunakan NPWP suami dalam melaksanakan hak dan kewajiban
perpajakannya
3. Tuan Aditya Malik adalah pemilik CV Suka Senyum yang merupakan toko elektronik
dan memiliki jumlah penyerahan sepanjang bulan Januari sampai dengan bulan Juli
2021 sebesar Rp4.850.000.000,00. Berkaitan dengan hal tersebut maka…
a. Wajib melaporkan kegiatan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP
b. Dapat melaporkan kegiatan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP
c. Boleh melaporkan kegiatan usahanya untuk dikukuhkan sebagai PKP
d. Tidak ada jawaban yang benar
5. Terhadap permohonan penghapusan NPWP yang diajukan oleh Wajib Pajak orang
pribadi, Direktur Jenderal Pajak harus memberikan keputusan dalam jangka
waktu...
a. 3 (tiga) bulan sejak permohonan diterima dengan lengkap
b. 6 (enam) bulan sejak permohonan diterima dengan lengkap
c. 12 (dua belas) bulan sejak permohonan diterima dengan lengkap
d. 1 (satu) bulan sejak permohonan diterima dengan lengkap
A. Umum
Pembukuan adalah suatu proses pencatatan yang dilakukan secara teratur untuk
mengumpulkan data dan informasi keuangan yang meliputi harta, kewajiban, modal,
penghasilan dan biaya, serta jumlah harga perolehan dan penyerahan barang atau jasa,
yang ditutup dengan menyusun laporan keuangan berupa neraca, dan laporan laba rugi
untuk periode Tahun Pajak tersebut (Pasal 1 angka 29 Undang-Undang KUP). Dengan
demikian laporan keuangan yang harus disusun menurut Undang-undang KUP hanya
berupa Neraca dan Laporan Laba Rugi.
Adapun yang dimaksud dengan Pencatatan dalam Pasal 28 ayat (9) Undang-Undang
KUP terdiri atas data yang dikumpulkan secara teratur tentang peredaran atau
penerimaan bruto dan/atau penghasilan bruto sebagai dasar untuk menghitung jumlah
pajak yang terutang, termasuk penghasilan yang bukan objek pajak dan/atau yang
dikenai pajak yang bersifat final.
Berdasarkan Pasal 28 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang KUP, pembukuan
diwajibkan terhadap Wajib Pajak:
1. Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas,
kecuali Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan
bebas yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan
diperbolehkan menghitung penghasilan neto dengan menggunakan Norma
Penghitungan Penghasilan Neto yaitu Wajib Pajak orang pribadi yang peredaran
brutonya dalam satu tahun kurang dari Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan
ratus juta rupiah).
2. Wajib Pajak badan.
Pasal 28 ayat (3), ayat (4), ayat (5), ayat (6), ayat (7), ayat (8) dan ayat (9) Undang-
Undang KUP mengatur mengenai ketentuan pembukuan dan pencatatan.
1. Pembukuan harus memenuhi ketentuan sebagai berikut :
a. Pembukuan harus diselenggarakan dengan memperhatikan iktikad baik dan
mencerminkan keadaan atau kegiatan usaha yang sebenarnya.
b. Pembukuan atau pencatatan harus diselenggarakan di Indonesia dengan
menggunakan huruf Latin, angka Arab, satuan mata uang Rupiah, dan
disusun dalam bahasa Indonesia atau dalam bahasa asing yang diizinkan oleh
Menteri Keuangan.
c. Pembukuan diselenggarakan dengan prinsip taat asas dan dengan stelsel
akrual atau stelsel kas.
Prinsip taat asas adalah prinsip yang sama digunakan dalam metode pembukuan
dengan tahun-tahun sebelumnya untuk mencegah penggeseran laba atau rugi. Prinsip
taat asas dalam metode pembukuan misalnya dalam penerapan stelsel pengakuan
penghasilan, tahun buku, metode penilaian persediaan, atau metode penyusutan dan
amortisasi.
Stelsel akrual adalah suatu metode penghitungan penghasilan dan biaya dalam arti
penghasilan diakui pada waktu diperoleh dan biaya diakui pada waktu terutang. Jadi,
tidak tergantung kapan penghasilan itu diterima dan kapan biaya itu dibayar secara tunai.
Termasuk dalam pengertian stelsel akrual adalah pengakuan penghasilan berdasarkan
metode persentase tingkat penyelesaian pekerjaan yang umumnya dipakai dalam
bidang konstruksi dan metode lain yang dipakai dalam bidang usaha tertentu seperti
Stelsel kas adalah suatu metode yang penghitungannya didasarkan atas penghasilan
yang diterima dan biaya yang dibayar secara tunai.
Menurut stelsel kas, penghasilan baru dianggap sebagai penghasilan apabila benar-
benar telah diterima secara tunai dalam suatu periode tertentu serta biaya baru dianggap
sebagai biaya apabila benar-benar telah dibayar secara tunai dalam suatu periode
tertentu. Stelsel kas biasanya digunakan oleh perusahaan kecil orang pribadi atau
perusahaan jasa, misalnya transportasi, hiburan, dan restoran yang tenggang waktu
antara penyerahan jasa dan penerimaan pembayarannya tidak berlangsung lama.
Dalam stelsel kas murni, penghasilan dari penyerahan barang atau jasa ditetapkan pada
saat pembayaran dari pelanggan diterima dan biaya-biaya ditetapkan pada saat barang,
jasa, dan biaya operasi lain dibayar. Dengan cara ini, pemakaian stelsel kas dapat
mengakibatkan penghitungan yang mengaburkan terhadap penghasilan, yaitu besarnya
penghasilan dari tahun ke tahun dapat disesuaikan dengan mengatur penerimaan kas
dan pengeluaran kas. Oleh karena itu, untuk penghitungan Pajak Penghasilan dalam
memakai stelsel kas harus memperhatikan hal-hal antara lain sebagai berikut
a. Penghitungan jumlah penjualan dalam suatu periode harus meliputi seluruh
penjualan, baik yang tunai maupun yang bukan. Dalam menghitung harga
pokok penjualan harus diperhitungkan seluruh pembelian dan persediaan.
b. Dalam memperoleh harta yang dapat disusutkan dan hak-hak yang dapat
diamortisasi, biaya-biaya yang dikurangkan dari penghasilan hanya dapat
dilakukan melalui penyusutan dan amortisasi.
c. Pemakaian stelsel kas harus dilakukan secara taat asas (konsisten).
Dengan demikian penggunaan stelsel kas untuk tujuan perpajakan dapat juga
dinamakan stelsel campuran.
Penyelenggaraan pembukuan dengan menggunakan bahasa Inggris dan satuan mata
uang Dollar Amerika Serikat oleh Wajib Pajak harus terlebih dahulu mendapat izin
tertulis dari Menteri Keuangan, kecuali bagi Wajib Pajak dalam rangka Kontrak Karya
atau Wajib Pajak dalam rangka Kontraktor Kontrak Kerja Sama.
Wajib Pajak dalam rangka Kontrak Karya atau Wajib Pajak Kontraktor Kontrak Kerja
Sama yang sejak pendiriannya menyelenggarakan pembukuan dengan menggunakan
bahasa Inggris dan satuan mata uang Dollar Amerika Serikat, wajib menyampaikan
pemberitahuan secara tertulis ke KPP tempat Wajib Pajak terdaftar paling lambat tiga
bulan sejak tanggal pendirian. Wajib Pajak dalam rangka Kontrak Karya atau Wajib
Pajak Kontraktor Kontrak Kerja Sama yang akan menyelenggarakan pembukuan
dengan menggunakan bahasa Inggris dan satuan mata uang Dollar Amerika Serikat,
Pasal 28 ayat (11) Undang-Undang KUP mengatur bahwa buku, catatan, dan dokumen
yang menjadi dasar pembukuan atau pencatatan dan dokumen lain termasuk hasil
pengolahan data dari pembukuan yang dikelola secara elektronik atau secara program
aplikasi on-line wajib disimpan selama 10 (sepuluh) tahun di Indonesia, yaitu di tempat
kegiatan atau tempat tinggal Wajib Pajak orang pribadi, atau di tempat kedudukan Wajib
Pajak badan. Dalam hal Wajib Pajak melakukan transaksi dengan para pihak yang
mempunyai hubungan istimewa dengan Wajib Pajak, kewajiban menyimpan dokumen
lain meliputi dokumen dan/atau informasi tambahan untuk mendukung bahwa transaksi
yang dilakukan dengan pihak yang mempunyai hubungan istimewa telah sesuai dengan
prinsip kewajaran dan kelaziman usaha.
Buku, catatan, dan dokumen termasuk yang diselenggarakan secara program aplikasi
1. Pembukuan adalah suatu proses pencatatan yang dilakukan secara teratur untuk
mengumpulkan data dan informasi keuangan yang meliputi _____, kewajiban, modal,
penghasilan dan biaya.
a. Harta
b. Kas
c. Utang
d. Piutang
5. Berapa kurun waktu penyimpanan buku, catatan, dan dokumen yang menjadi dasar
pembukuan atau pencatatan?
a. 3 tahun
b. 5 tahun
c. 10 tahun
d. 15 tahun
A. Umum
Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang KUP mengatur bahwa Wajib Pajak wajib membayar
atau menyetor pajak yang terutang dengan menggunakan SSP ke kas negara melalui
tempat pembayaran yang diatur dengan atau berdasarkan PMK. SSP berfungsi sebagai
bukti pembayaran pajak apabila telah disahkan oleh Pejabat kantor penerima
pembayaran yang berwenang atau apabila telah mendapatkan validasi, yang
ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan PMK.
Pasal 11 ayat (1) PMK Nomor 242/PMK.03/2014 tentang Tata Cara Pembayaran dan
Penyetoran Pajak mengatur bahwa pembayaran dan penyetoran pajak harus dilakukan
dengan menggunakan SSP atau sarana administrasi lain yang disamakan dengan SSP.
SSP atau sarana administrasi lain tersebut berfungsi sebagai bukti pembayaran pajak
apabila telah disahkan oleh pejabat kantor penerima pembayaran yang berwenang atau
apabila telah mendapatkan validasi. SSP atau sarana administrasi lain tersebut
dianggap sah apabila telah divalidasi dengan NTPN.
Pembayaran pajak secara elektronik adalah pembayaran atau penyetoran pajak yang
dilakukan melalui sistem elektronik. Transaksi pembayaran atau penyetoran pajak
secara elektronik melalui sistem billing DJP dilakukan melalui bank/pos persepsi dengan
menggunakan kode billing.
Wajib Pajak yang melakukan pembayaran dan penyetoran pajak melalui sistem
pembayaran pajak secara elektronik diberikan BPN. BPN adalah dokumen yang
diterbitkan oleh bank/pos persepsi atas transaksi penerimaan negara dengan teraan
NTPN dan nomor transaksi bank atau nomor transaksi pos sebagai sarana administrasi
lain yang kedudukannya disamakan dengan surat setoran pajak. BPN berupa dokumen
bukti pembayaran yang diberikan oleh tempat pembayaran, termasuk dokumen bukti
pembayaran dalam format elektronik atau dokumen lain yang dipersamakan dengan
BPN.
Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang KUP mengatur bahwa Menteri Keuangan menentukan
tanggal jatuh tempo pembayaran dan penyetoran pajak yang terutang untuk suatu saat
atau masa pajak bagi masing-masing jenis pajak, paling lama 15 (lima belas) hari
setelah saat terutangnya pajak atau berakhirnya masa pajak. Penetapan tanggal jatuh
tempo pembayaran atau penyetoran pajak untuk masa pajak tercantum pada Pasal 2
PMK Nomor 242/PMK.03/2014 tentang Tata Cara Pembayaran dan Penyetoran Pajak,
sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 4.1.
7 PPh Pasal 23 dan PPh Pasal tanggal 10 bulan berikutnya setelah masa
26 yang dipotong oleh pajak berakhir
pemotong PPh
8 PPh Pasal 25 tanggal 15 bulan berikutnya setelah
masa pajak berakhir
9 PPh Pasal 22, PPN atau PPN harus dilunasi bersamaan dengan saat
dan PPnBM atas impor pembayaran bea masuk
10 dalam hal bea masuk ditunda harus dilunasi pada saat penyelesaian
atau dibebaskan dokumen pemberitahuan pabean impor
11 PPh Pasal 22, PPN atau PPN dalam jangka waktu 1 hari kerja setelah
dan PPnBM atas impor yang dilakukan pemungutan pajak
dipungut oleh DJBC
12 PPh Pasal 22 yang pada hari yang sama dengan pelaksanaan
pemungutannya dilakukan oleh pembayaran kepada PKP rekanan
kuasa pengguna anggaran atau pemerintah melalui KPPN
pejabat penanda tangan SPM
sebagai pemungut PPh Pasal
22
13 PPh Pasal 22 yang dipungut paling lama 7 hari setelah tanggal
oleh bendahara pengeluaran pelaksanaan pembayaran atas
penyerahan barang yang dibiayai dari
belanja negara atau belanja daerah,
dengan menggunakan SSP atas nama
rekanan dan ditandatangani oleh
bendahara.
18 PPN atau PPN dan PPnBM pada hari yang sama dengan pelaksanaan
yang pemungutannya pembayaran kepada PKP rekanan
dilakukan oleh pejabat pemerintah melalui KPPN
penandatangan SPM
sebagai pemungut PPN
19 PPN atau PPN dan PPnBM paling lama 7 hari setelah tanggal
yang dipungut oleh bendahara pelaksanaan pembayaran kepada PKP
pengeluaran sebagai pemungut rekanan pemerintah melalui KPPN
PPN
20 PPN atau PPN dan PPnBM paling lama tanggal 15 bulan berikutnya
yang pemungutannya dilakukan setelah masa pajak berakhir
oleh pemungut PPN yang
ditunjuk selain bendahara
pemerintah
21 PPh Pasal 25 bagi Wajib Pajak pada akhir masa pajak terakhir
dengan kriteria tertentu
sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 ayat (3b) Undang-
Undang KUP yang melaporkan
beberapa masa pajak dalam
satu SPT Masa
Pasal 9 ayat (2) Undang-Undang KUP mengatur bahwa kekurangan pembayaran pajak
yang terutang berdasarkan SPT Tahunan Pajak Penghasilan harus dibayar lunas
sebelum SPT Pajak Penghasilan disampaikan. Ketentuan ini berhubungan dengan
ketentuan batas waktu penyampaian SPT sebagaimana diatur dalam Pasal 3 ayat (3)
Undang-Undang KUP. Oleh karena itu, jatuh tempo pembayaran Surat Pemberitahuan
Tahunan Pajak Penghasilan Orang Pribadi paling lama 3 (tiga) bulan setelah Tahun
Pajak berakhir dan jatuh tempo pembayaran Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak
Penghasilan Badan paling lama 4 (empat) bulan setelah Tahun Pajak berakhir.
Pasal 9 ayat (2a) Undang-Undang KUP mengatur bahwa pembayaran atau penyetoran
pajak untuk masa pajak yang dilakukan setelah tanggal jatuh tempo dikenai sanksi
administrasi berupa bunga sebesar tarif bunga per bulan yang ditetapkan oleh Menteri
Keuangan yang dihitung dari tanggal jatuh tempo pembayaran sampai dengan tanggal
pembayaran, dan dikenakan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan serta bagian dari
bulan dihitung penuh satu bulan.
Pasal 9 ayat (2b) Undang-Undang KUP mengatur bahwa atas pembayaran atau
penyetoran pajak untuk pajak penghasilan tahunan yang dilakukan setelah tanggal jatuh
tempo penyampaian SPT Tahunan, dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar
tarif bunga per bulan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan yang dihitung mulai dari
berakhirnya batas waktu penyampaian SPT Tahunan sampai dengan tanggal
pembayaran, dan dikenakan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan serta bagian dari
bulan dihitung penuh satu bulan.
Tarif bunga per bulan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud
di atas dihitung berdasarkan suku bunga acuan ditambah 5% (lima persen) dan dibagi
12 (dua belas) yang berlaku pada tanggal dimulainya penghitungan sanksi.
Menteri Keuangan menetapkan KMK tentang tarif bunga sebagai dasar penghitungan
sanksi administrasi berupa bunga dan pemberian imbalan bunga untuk setiap bulan,
Untuk jelasnya cara penghitungan bunga tersebut diberikan contoh sebagai berikut:
Dikarenakan jatuh tempo pembayaran masa Oktober 2020 jatuh pada tanggal 15
November 2020, maka pembayaran yang dilakukan terlambat 3 hari. Apabila pada
tanggal 15 Desember 2020 diterbitkan STP, dikenakan sanksi administratif berupa
bunga untuk jangka waktu satu bulan (bagian bulan dihitung penuh satu bulan).
Tarif bunga yang digunakan adalah tarif bunga berdasarkan KMK yang berlaku pada
tanggal dimulainya penghitungan sanksi. Dikarenakan jatuh tempo pembayaran
tanggal 15 November 2020, maka penghitungan sanksi dimulai pada tanggal 16
November 2020 sehingga tarif bunga yang digunakan adalah tarif bunga November
2020.
Tarif bunga periode November 2020 sesuai dengan KMK Nomor 540/KM.010/2020,
tarif bunga per bulan untuk Pasal 9 ayat (2a) adalah sebesar 0,99%.
Berdasarkan hal tersebut, maka sanksi yang dikenakan dapat dihitung sebagai
berikut:
= Rp99.000,00
Pasal 9 ayat (3) Undang-Undang KUP mengatur bahwa STP, SKPKB, serta SKPKBT,
dan SK Keberatan, SK Pembetulan, Putusan Banding, serta Putusan Peninjauan
Kembali, yang menyebabkan jumlah pajak yang harus dibayar bertambah, harus
dilunasi dalam jangka waktu 1 (satu) bulan sejak tanggal diterbitkan.
Pasal 9 ayat (3a) Undang-Undang KUP mengatur bahwa bagi Wajib Pajak usaha kecil
dan Wajib Pajak di daerah tertentu, jangka waktu pelunasannya dapat diperpanjang
paling lama menjadi 2 (dua) bulan yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan
PMK.
Sedangkan Wajib Pajak di daerah tertentu adalah Wajib Pajak yang tempat tinggal,
tempat kedudukan, atau tempat kegiatan usahanya berlokasi di daerah tertentu yang
ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak.
Pasal 9 ayat (4) Undang-Undang KUP mengatur bahwa Direktur Jenderal Pajak atas
permohonan Wajib Pajak dapat memberikan persetujuan untuk mengangsur atau
menunda pembayaran pajak termasuk kekurangan pembayaran yang terutang
berdasarkan SPT Tahunan Pajak Penghasilan yang pelaksanaannya diatur dengan atau
berdasarkan PMK.
Sesuai dengan PMK Nomor 242/PMK.03/2014 tentang Tata Cara Pembayaran dan
Penyetoran Pajak, Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan secara tertulis kepada
Direktur Jenderal Pajak untuk mengangsur atau menunda pembayaran pajak yang
terutang berdasarkan SPT Tahunan Pajak Penghasilan, atau pajak yang masih harus
dibayar dalam STP, SKPKB, SKPKBT, SK Pembetulan, SK Keberatan, Putusan
Banding, serta Putusan Peninjauan Kembali, serta pajak yang terutang berdasarkan
SPPT, SKP PBB, dan STP PBB.
Pasal 19 ayat (1) Undang-Undang KUP mengatur bahwa apabila SKPKB atau SKPKBT,
serta SK Pembetulan, SK Keberatan, Putusan Banding atau Putusan Peninjauan
Kembali, yang menyebabkan jumlah pajak yang masih harus dibayar bertambah, pada
saat jatuh tempo pelunasan tidak atau kurang dibayar, atas jumlah pajak yang tidak atau
kurang dibayar itu dikenai sanksi administratif berupa bunga sebesar tarif bunga per
bulan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan yang dihitung dari tanggal jatuh tempo
sampai dengan tanggal pembayaran atau tanggal diterbitkannya STP, dan dikenakan
paling lama 24 (dua puluh empat) bulan serta bagian dari bulan dihitung penuh satu
bulan.
Pasal 19 ayat (2) Undang-Undang KUP mengatur bahwa dalam hal Wajib Pajak
diperbolehkan mengangsur atau menunda pembayaran pajak juga dikenai sanksi
administratif berupa bunga sebesar tarif bunga per bulan yang ditetapkan oleh Menteri
Keuangan dari jumlah pajak yang masih harus dibayar, dan dikenakan paling lama 24
(dua puluh empat) bulan serta bagian dari bulan dihitung penuh satu bulan.
Pasal 19 ayat (3) Undang-Undang KUP mengatur bahwa dalam hal Wajib Pajak
diperbolehkan menunda penyampaian SPT Tahunan dan ternyata penghitungan
sementara pajak yang terutang kurang dari jumlah pajak yang sebenarnya terutang, atas
Tarif bunga per bulan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud
di atas dihitung berdasarkan suku bunga acuan dibagi 12 (dua belas) yang berlaku pada
tanggal dimulainya penghitungan sanksi.
Menteri Keuangan menetapkan KMK tentang tarif bunga sebagai dasar penghitungan
sanksi administrasi berupa bunga dan pemberian imbalan bunga untuk setiap bulan,
sehingga tarif bunga per bulan dapat mengacu pada KMK tersebut tanpa perlu dilakukan
penghitungan tarif bunga per bulan.
Dalam hal tanggal jatuh tempo pembayaran atau penyetoran pajak bertepatan dengan
hari libur termasuk hari Sabtu atau hari libur nasional, pembayaran atau penyetoran
pajak dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya. Hari libur nasional tersebut termasuk
hari yang diliburkan untuk penyelenggaraan pemilihan umum yang ditetapkan oleh
Pemerintah dan cuti bersama secara nasional yang ditetapkan oleh Pemerintah.
Pengaturan ini tidak berlaku untuk pembayaran pajak yang terutang berdasarkan SPT
Tahunan PPh.
1. Jatuh tempo pembayaran dan penyetoran untuk PPh Pasal 4 ayat (2) yang dipotong
oleh Pemotong Pajak Penghasilan adalah…
a. tanggal 10 bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir
b. tanggal 15 bulan berikutnya setelah Masa Pajak berakhir
c. bertepatan saat pemotongan pajak
d. sebelum menyampaikan SPT
2. Pembayaran atau penyetoran pajak untuk masa pajak yang dilakukan setelah
tanggal jatuh tempo dikenai sanksi administrasi berupa…
a. Denda
b. Bunga
c. Kenaikan
d. Pinalti
3. Dalam hal tanggal jatuh tempo pembayaran atau penyetoran pajak untuk SPT Masa
bertepatan dengan hari libur termasuk hari Sabtu atau hari libur nasional,
pembayaran atau penyetoran pajak dapat dilakukan pada…
a. hari yang sama
b. hari kerja berikutnya
c. hari lain yang ditentukan KPP
d. hari lain yang ditentukan Dirjen Pajak
4. Berapa besar uplift factor yang digunakan untuk menghitung tarif bunga per bulan
dalam hal terjadi pembayaran atau penyetoran pajak yang melewati jatuh tempo
pembayaran atau pelaporan?
a. 0%
b. 1%
c. 5%
d. 10%
5. SSP atau sarana administrasi lain dianggap sah apabila telah divalidasi dengan…
a. Nomor Transaksi Penerimaan Pajak (NTPN)
b. Nomor SP2D
c. Stempel DJP
d. Modul Penerimaan Negara (MPN)
A. Umum
Pasal 1 angka 11 Undang-Undang KUP mendefinisikan SPT adalah surat yang oleh
Wajib Pajak digunakan untuk melaporkan penghitungan dan/atau pembayaran pajak,
objek pajak dan/atau bukan objek pajak, dan/atau harta dan kewajiban sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Undang-Undang KUP membagi jenis SPT menjadi dua yaitu SPT Masa dan SPT
Tahunan. Dalam Pasal 1 angka 12 disebutkan bahwa SPT Masa adalah SPT untuk
suatu Masa Pajak dan Pasal 1 angka 13 mendefinisikan SPT Tahunan adalah SPT
untuk suatu Tahun Pajak atau Bagian Tahun Pajak.
Dalam penjelasan Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang KUP disebutkan fungsi SPT adalah
sebagai berikut.
1. Bagi Wajib Pajak Pajak Penghasilan adalah sebagai sarana untuk melaporkan dan
mempertanggungjawabkan penghitungan jumlah pajak yang sebenarnya terutang
dan untuk melaporkan tentang:
a. pembayaran atau pelunasan pajak yang telah dilaksanakan sendiri dan/atau
melalui pemotongan atau pemungutan pihak lain dalam satu tahun pajak atau
bagian tahun pajak;
b. penghasilan yang merupakan objek pajak dan/atau bukan objek pajak;
c. harta dan kewajiban; dan/atau
d. pembayaran dari pemotong atau pemungut tentang pemotongan atau
pemungutan pajak orang pribadi atau badan lain dalam satu masa pajak sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang- undangan perpajakan.
2. Bagi PKP, fungsi SPT adalah sebagai sarana untuk melaporkan dan
mempertanggungjawabkan penghitungan jumlah PPN dan PPnBM yang
sebenarnya terutang dan untuk melaporkan tentang:
a. pengkreditan pajak masukan terhadap pajak keluaran; dan
b. lengkap adalah memuat semua unsur-unsur yang berkaitan dengan objek pajak
dan unsur-unsur lain yang harus dilaporkan dalam SPT; dan
c. jelas adalah melaporkan asal-usul atau sumber dari objek pajak dan unsur-unsur
lain yang harus dilaporkan dalam SPT.
Pasal 3 ayat (1a) Undang-Undang KUP mengatur bahwa Wajib Pajak yang telah
mendapat izin Menteri Keuangan untuk menyelenggarakan pembukuan dengan
menggunakan bahasa asing dan mata uang selain Rupiah, wajib menyampaikan SPT
dalam bahasa Indonesia dengan menggunakan satuan mata uang selain Rupiah yang
diizinkan, yang pelaksanaannya diatur dengan atau berdasarkan PMK.
D. Jenis SPT
Undang-Undang KUP membagi SPT menjadi SPT Tahunan dan SPT Masa.
a. SPT Tahunan PPh yang terdiri atas:
1. SPT Tahunan PPh untuk satu tahun pajak; dan
E. Bentuk SPT
Pasal 3 ayat (6) Undang-Undang KUP mengatur bahwa bentuk dan isi SPT serta
keterangan dan/atau dokumen yang harus dilampirkan, dan cara yang digunakan untuk
menyampaikan SPT diatur dengan atau berdasarkan PMK.
Bentuk SPT terdiri dari dokumen elektronik dan formulir kertas (hardcopy).
F. Isi SPT
SPT paling sedikit memuat empat hal yaitu:
a. jenis pajak;
b. nama Wajib Pajak, NPWP, dan alamat Wajib Pajak;
c. Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak yang bersangkutan; dan
d. tanda tangan Wajib Pajak atau kuasa Wajib Pajak.
Suatu SPT terdiri dari SPT Induk dan Lampiran yang merupakan satu kesatuan yang
tidak terpisahkan, kecuali untuk SPT bagi Wajib Pajak tertentu. Selain lampiran SPT
harus dilampiri dengan keterangan dan/atau dokumen sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan. SPT Tahunan Pajak Penghasilan Wajib
Pajak yang wajib menyelenggarakan pembukuan harus dilampiri dengan laporan
keuangan berupa neraca dan laporan laba rugi serta keterangan lain yang diperlukan
untuk menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak. Laporan Keuangan adalah
laporan keuangan dari masing-masing Wajib Pajak. Maksudnya adalah laporan
keuangan hasil kegiatan usaha masing-masing Wajib Pajak. Laporan keuangan yang
diaudit oleh Akuntan Publik tetapi tidak dilampirkan pada SPT maka SPT dianggap tidak
lengkap dan tidak jelas, sehingga SPT dianggap tidak disampaikan.
G. Pengambilan SPT
Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang KUP mengatur bahwa Wajib Pajak mengambil
sendiri SPT di tempat yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak atau mengambil
dengan cara lain yang tata cara pelaksanaannya diatur dengan atau berdasarkan PMK.
Dalam rangka memberikan pelayanan dan kemudahan kepada Wajib Pajak, formulir
H. Penandatanganan SPT
Pasal 3 ayat (1b) Undang-Undang KUP mengatur bahwa penandatanganan SPT dapat
dilakukan secara biasa, dengan tanda tangan stempel, atau tanda tangan elektronik
atau digital, yang semuanya mempunyai kekuatan hukum yang sama, yang tata cara
pelaksanaannya diatur dengan atau berdasarkan PMK.
Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang KUP mengatur bahwa SPT Wajib Pajak badan harus
ditandatangani oleh pengurus atau direksi. Lebih lanjut diatur dalam PMK nomor
243/PMK.03/2014, dalam Pasal 7 dijelaskan bahwa SPT yang disampaikan wajib
ditanda tangani oleh Wajib Pajak atau Kuasa Wajib Pajak.
Pasal 4 ayat (3) Undang-Undang KUP mengatur bahwa dalam hal Wajib Pajak
menunjuk seorang kuasa dengan surat kuasa khusus untuk mengisi dan
menandatangani SPT, surat kuasa khusus tersebut harus dilampirkan pada SPT.
Apabila SPT disampaikan tetapi tidak ditandatangani maka berdasarkan Pasal 4 ayat (3)
Undang-Undang KUP, SPT dianggap tidak disampaikan. Terhadap SPT yang
dianggap tidak disampaikan tersebut, Direktur Jenderal Pajak wajib memberitahukan
kepada Wajib Pajak.
SPT Masa
1 Pemungut PPh Pasal 22, PPN atau PPN dan secara mingguan paling
PPnBM atas impor lama pada hari kerja
terakhir minggu
berikutnya
Pengecualian:
PPN atau PPN dan PPnBM yang
Tidak wajib lapor
pemungutannya dilakukan oleh Pemungut
apabila tidak ada transaksi
Pengecualian:
Orang Pribadi atau badan yang bukan PKP
yang melakukan pembayaran PPN yang Tidak wajib lapor
terutang atas kegiatan membangun sendiri dan
telah mendapat validasi dengan NTPN
17 Orang Pribadi atau badan yang bukan PKP Akhir bulan berikutnya
wajib melaporkan PPN yang terutang atas setelah saat terutangnya
SPT Tahunan
18 SPT PPh Tahunan Wajib Pajak orang pribadi 3 (tiga) bulan setelah akhir
Tahun Pajak
19 SPT PPh Tahunan Wajib Pajak badan 4 (empat) bulan setelah akhir
Tahun Pajak
Dalam hal batas akhir pelaporan tersebut bertepatan dengan hari libur termasuk hari
Sabtu atau hari libur nasional, pelaporan dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya.
Termasuk hari libur nasional adalah hari yang diliburkan untuk penyelenggaraan
Pemilihan Umum yang ditetapkan oleh Pemerintah dan cuti bersama secara nasional
yang ditetapkan oleh Pemerintah. Pengaturan ini tidak berlaku untuk pelaporan SPT
Tahunan PPh.
P. Pembetulan SPT
Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang KUP mengatur bahwa Wajib Pajak dengan kemauan
sendiri dapat membetulkan SPT yang telah disampaikan dengan menyampaikan
pernyataan tertulis, dengan syarat Direktur Jenderal Pajak belum melakukan tindakan
pemeriksaan.
Pasal 8 ayat (1a) Undang-Undang KUP menjelaskan bahwa dalam hal pembetulan SPT
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) menyatakan rugi atau lebih bayar, pembetulan
SPT harus disampaikan paling lama 2 (dua) tahun sebelum daluwarsa penetapan. Yang
dimaksud dengan daluwarsa penetapan adalah jangka waktu lima tahun setelah saat
terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, bagian Tahun Pajak, atau Tahun Pajak,
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) Undang-Undang KUP.
4. Wajib Pajak Tuan A akan melaporkan SPT Masa PPN Masa Pajak
November 2022, kapan jatuh tempo pelaporan SPT Tuan A tersebut?
a. 15 Desember 2022
b. 20 Desember 2022
c. 31 Desember 2022
d. 31 Januari 2023
A. Umum
Pemeriksaan terhadap Wajib Pajak dapat dilakukan di kantor (Pemeriksaan Kantor) atau
di tempat Wajib Pajak (Pemeriksaan Lapangan) yang ruang lingkup pemeriksaannya
dapat meliputi satu jenis pajak, beberapa jenis pajak, atau seluruh jenis pajak, baik untuk
tahun-tahun yang lalu maupun untuk tahun berjalan.
B. Pemeriksa Pajak
Sebagaimana diatur dalam Pasal 29 ayat (2) Undang-Undang KUP, untuk keperluan
pemeriksaan, petugas pemeriksa harus memiliki tanda pengenal pemeriksa dan
dilengkapi dengan surat perintah pemeriksaan serta memperlihatkannya kepada Wajib
Pajak yang diperiksa. Petugas pemeriksa harus telah mendapat pendidikan teknis yang
cukup dan memiliki keterampilan sebagai pemeriksa pajak. Dalam menjalankan
tugasnya, petugas pemeriksa harus bekerja dengan jujur, bertanggung jawab, penuh
pengertian, sopan, dan objektif serta wajib menghindarkan diri dari perbuatan tercela.
Pasal 29 ayat (3) menyebutkan bahwa Wajib Pajak yang diperiksa wajib:
Dalam penjelasannya disebutkan bahwa kewajiban yang harus dipenuhi oleh Wajib
Pajak yang diperiksa sebagaimana dimaksud pada ayat ini disesuaikan dengan tujuan
dilakukannya pemeriksaan baik dalam rangka menguji kepatuhan pemenuhan
kewajiban perpajakan maupun untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Wajib Pajak yang diperiksa juga memiliki kewajiban memberikan kesempatan kepada
pemeriksa untuk memasuki tempat atau ruangan yang merupakan tempat penyimpanan
dokumen, uang, dan/atau barang yang dapat memberi petunjuk tentang keadaan usaha
Wajib Pajak dan melakukan peminjaman dan/atau pemeriksaan di tempat-tempat
tersebut.
Dalam hal petugas pemeriksa membutuhkan keterangan lain selain buku, catatan, dan
dokumen lain, Wajib Pajak harus memberikan keterangan lain yang dapat berupa
keterangan tertulis dan/atau keterangan lisan.
Buku, catatan, dan dokumen, serta data, informasi, dan keterangan lain wajib dipenuhi
oleh Wajib Pajak paling lama satu bulan sejak permintaan disampaikan, sebagaimana
diatur dalam Pasal 29 ayat (3a) Undang-Undang KUP.
Wajib Pajak orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas
memiliki kewajiban sebagaimana diatur dalam Pasal 29 ayat (3) Undang-Undang KUP.
Dalam hal Wajib Pajak tidak memenuhi kewajiban tersebut sehingga tidak dapat dihitung
besarnya penghasilan kena pajak, maka berdasarkan Pasal 29 ayat (3b) Undang-
Undang KUP penghasilan kena pajak tersebut dapat dihitung secara jabatan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Sementara dalam hal Wajib Pajak badan yang diperiksa tidak memenuhi kewajiban
sebagaimana diatur dalam Pasal 29 ayat (3) Undang-Undang KUP sehingga tidak dapat
Apabila penghasilan kena pajak dilakukan secara jabatan, maka Direktur Jenderal Pajak
wajib menyampaikan SPHP kepada Wajib Pajak dan memberikan hak kepada Wajib
Pajak untuk hadir dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan dalam batas waktu yang
ditentukan sesuai dengan Pasal 31 ayat (3) Undang-Undang KUP.
F. Penyegelan
Dalam hal Wajib Pajak yang diperiksa tidak memberikan kesempatan untuk memasuki
tempat atau ruang yang dipandang perlu dan memberi bantuan guna kelancaran
pemeriksaan, maka berdasarkan Pasal 30 ayat (1) Undang-Undang KUP Direktur
Jenderal Pajak berwenang melakukan penyegelan tempat atau ruangan tertentu serta
barang bergerak dan/atau tidak bergerak. Dalam pemeriksaan, dapat ditemukan adanya
Wajib Pajak yang tidak memberikan kesempatan kepada pemeriksa untuk memasuki
tempat atau ruang yang dipandang perlu dan memberi bantuan guna kelancaran
pemeriksaan. Keadaan tersebut dapat disebabkan oleh berbagai hal, misalnya, Wajib
Pajak tidak berada di tempat atau sengaja tidak memberikan kesempatan kepada
Wajib Pajak yang pada saat dilakukan pemeriksaan tidak memberi kesempatan kepada
pemeriksa untuk memasuki tempat, ruang, dan barang bergerak dan/atau tidak
bergerak, serta mengakses data yang dikelola secara elektronik atau tidak memberi
bantuan guna kelancaran pemeriksaan dianggap menghalangi pelaksanaan
pemeriksaan. Oleh karena itu, untuk memperoleh buku, catatan, dokumen termasuk
data yang dikelola secara elektronik dan benda-benda lain yang dapat memberi petunjuk
tentang kegiatan usaha atau pekerjaan bebas Wajib Pajak yang diperiksa Direktur
Jenderal Pajak yang dilaksanakan oleh pemeriksa diberikan kewenangan untuk
melakukan penyegelan terhadap tempat, ruang, dan barang bergerak dan/atau tidak
bergerak.
Untuk memberikan fasilitas kepada Wajib Pajak yang mendaftarkan sahamnya di bursa
efek, yaitu dalam hal Wajib Pajak dilakukan pemeriksaan, pemeriksaannya dapat
melalui Pemeriksaan Kantor. Dengan Pemeriksaan Kantor, proses pemeriksaan
menjadi lebih sederhana dan cepat sehingga Wajib Pajak semakin cepat mendapatkan
kepastian hukum, dibandingkan melalui Pemeriksaan Lapangan.
Pasal 29A Undang-Undang KUP mengatur bahwa fasilitas diberikan terhadap Wajib
Pajak badan yang pernyataan pendaftaran emisi sahamnya telah dinyatakan efektif oleh
badan pengawas pasar modal dan menyampaikan SPT dengan dilampiri laporan
keuangan yang telah diaudit oleh akuntan publik dengan pendapat wajar tanpa
pengecualian yang :
a. SPT Wajib Pajaknya menyatakan lebih bayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal
17B; atau
b. terpilih untuk diperiksa berdasarkan analisis risiko dapat dilakukan pemeriksaan
melalui Pemeriksaan Kantor.
Dalam hal Pemeriksaan Kantor ditemukan indikasi transaksi yang terkait dengan
transfer pricing dan/atau transaksi khusus lain yang berindikasi adanya rekayasa
transaksi keuangan, pelaksanaan Pemeriksaan Kantor diubah menjadi Pemeriksaan
Lapangan.
Jangka waktu pengujian dibagi dua, yaitu paling lama 6 bulan untuk pemeriksaan
lapangan dan paling lama 4 bulan untuk pemeriksaan kantor. Dalam hal pemeriksaan
atas keterangan lain berupa data konkret dilakukan dengan Pemeriksaan Kantor,
jangka waktu pengujian paling lama 1 bulan. Jangka waktu tersebut dapat
diperpanjang paling lama 2 bulan, kecuali untuk pemeriksaan atas keterangan lain
berupa data konkret yang dilakukan dengan Pemeriksaan Kantor tidak dapat
diperpanjang. Jangka waktu pengujian untuk Pemeriksaan Lapangan dihitung sejak
surat pemberitahuan Pemeriksaan Lapangan disampaikan sampai dengan SPHP
disampaikan, sedangkan jangka waktu pengujian untuk Pemeriksaan Kantor dihitung
sejak surat panggilan dalam rangka pemeriksaan kantor dipenuhi sampai dengan
tanggal SPHP disampaikan.
Jangka waktu pemeriksaan untuk tujuan lain berbeda sesuai dengan jenis
pemeriksaan yang dilakukan, yaitu:
a. Pemeriksaan untuk tujuan lain dengan jenis Pemeriksaan Lapangan dilakukan
dalam jangka waktu paling lama 4 bulan yang dihitung sejak tanggal surat
pemberitahuan pemeriksaan lapangan disampaikan sampai dengan tanggal LHP.
b. Pemeriksaan untuk tujuan lain dengan jenis Pemeriksaan Kantor dilakukan dalam
jangka waktu paling lama 14 hari yang dihitung sejak tanggal surat panggilan
dalam rangka pemeriksaan kantor dipenuhi sampai dengan tanggal dalam LHP.
Dalam hal pemeriksaan untuk tujuan lain dalam rangka permohonan penghapusan
NPWP, jangka waktu pemeriksaan harus memperhatikan jangka waktu penyelesaian
permohonan penghapusan NPWP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (7)
Undang-Undang KUP, yaitu 6 bulan untuk Wajib Pajak orang pribadi atau 12 bulan
untuk Wajib Pajak badan sejak tanggal permohonan diterima secara lengkap.
Dalam hal pemeriksaan untuk tujuan lain dalam rangka pencabutan pengukuhan
PKP, jangka waktu pemeriksaan harus memperhatikan jangka waktu penyelesaian
permohonan pencabutan pengukuhan PKP sebagaimana dimaksud Pasal 2 ayat (9)
Undang-Undang KUP, yaitu 6 bulan sejak permohonan diterima secara lengkap.
a. tidak diungkapkan oleh Wajib Pajak dalam SPT beserta lampirannya (termasuk
laporan keuangan); dan/atau
b. pada waktu pemeriksaan untuk penetapan semula Wajib Pajak tidak
mengungkapkan data dan/atau memberikan keterangan lain secara benar, lengkap,
dan terinci sehingga tidak memungkinkan fiskus dapat menerapkan ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan dengan benar dalam menghitung
jumlah pajak yang terutang
a. mengakibatkan adanya tambahan atas jumlah pajak yang telah ditetapkan dalam
surat ketetapan pajak sebelumnya, Direktur Jenderal Pajak menerbitkan surat
ketetapan pajak kurang bayar tambahan;
b. tidak mengakibatkan adanya tambahan atas jumlah pajak yang telah ditetapkan
dalam surat ketetapan pajak sebelumnya, pemeriksaan ulang dihentikan dengan
membuat LHP sumir dan kepada Wajib Pajak diberitahukan mengenai penghentian
tersebut; atau
c. tidak mengakibatkan adanya tambahan atas jumlah pajak yang telah ditetapkan
dalam surat ketetapan pajak sebelumnya tetapi terdapat perubahan jumlah rugi
fiskal, Direktur Jenderal Pajak menerbitkan keputusan mengenai rugi fiskal.
Keputusan mengenai rugi fiskal digunakan sebagai dasar untuk memperhitungkan
rugi fiskal ke tahun pajak berikutnya.
A. Umum
(1) Setiap Wajib Pajak wajib membayar pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan, dengan tidak menggantungkan pada
adanya surat ketetapan pajak.
(2) Jumlah Pajak yang terutang menurut SPT yang disampaikan oleh Wajib Pajak
adalah jumlah pajak yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan perpajakan.
(3) Apabila Direktur Jenderal Pajak mendapatkan bukti jumlah pajak yang terutang
menurut Surat Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak benar,
Direktur Jenderal Pajak menetapkan jumlah pajak yang terutang.
Pajak, pada prinsipnya, terutang pada saat timbulnya objek pajak yang dapat dikenai
pajak, tetapi untuk kepentingan administrasi perpajakan saat terutangnya pajak tersebut
adalah:
a. pada suatu saat, untuk Pajak Penghasilan yang dipotong oleh pihak ketiga;
b. pada akhir masa, untuk Pajak Penghasilan yang dipotong oleh pemberi kerja, atau
yang dipungut oleh pihak lain atas kegiatan usaha, atau oleh Pengusaha Kena Pajak
atas pemungutan Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan
Atas Barang Mewah; atau
c. pada akhir Tahun Pajak, untuk Pajak Penghasilan.
Jumlah pajak yang terutang yang telah dipotong, dipungut, ataupun yang harus dibayar
oleh Wajib Pajak setelah tiba saat atau masa pelunasan pembayaran sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9 dan Pasal 10 ayat (2) Undang-undang KUP, harus disetorkan
ke kas negara melalui tempat pembayaran yang diatur dengan atau berdasarkan
Bagi Wajib Pajak yang telah menghitung dan membayar besarnya pajak yang terutang
secara benar sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan,
serta melaporkan dalam SPT, tidak perlu diberikan surat ketetapan pajak ataupun STP.
Apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain, pajak yang dihitung dan
dilaporkan dalam SPT yang bersangkutan tidak benar, misalnya pembebanan biaya
ternyata melebihi yang sebenarnya, Direktur Jenderal Pajak menetapkan besarnya
pajak yang terutang sebagaimana mestinya sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan.
Berdasarkan batang tubuh dan penjelasan Pasal 12 tersebut dapat ditarik kesimpulan
bahwa Wajib Pajak bertanggung jawab terhadap perhitungan pajak yang terutang, baik
PPh maupun PPN, pembayaran, maupun pelaporannya.
Pengertian penetapan dalam sistem self assessment berarti Wajib Pajak diberi
kewenangan penuh untuk menghitung, memperhitungkan, melaporkan dan membayar
sendiri pajak terutang yang menjadi kewajibannya. Jumlah pajak terutang yang menjadi
kewajiban Wajib Pajak tersebut tidak didasarkan pada suatu surat ketetapan pajak yang
diterbitkan oleh Fiskus tetapi didasarkan pada ketentuan Undang-Undang Pajak
material yang mendasarinya dan dihitung sendiri oleh Wajib Pajak yang bersangkutan
serta dipertanggungjawabkan oleh Wajib Pajak dalam suatu SPT. Perhitungan,
pembayaran, dan pelaporan yang dilakukan Wajib Pajak tersebut dianggap benar
sepanjang Direktur Jenderal Pajak tidak dapat membuktikan atau memiliki data
sebaliknya.
Pengertian ketetapan dalam sistem self assessment berarti beban pembuktian untuk
menyatakan bahwa pajak yang terutang dalam SPT adalah tidak benar berada pada
pihak Fiskus. Proses pembuktian atau bukti yang diperoleh dapat berasal dari
pemeriksaan atau adanya keterangan lain. Apabila dari bukti tersebut ternyata jumlah
pajak yang terutang menurut Wajib Pajak sebagaimana dilaporkan dalam SPT adalah
tidak benar maka Direktur Jenderal Pajak menetapkan jumlah pajak yang terutang
dengan menerbitkan surat ketetapan pajak.
a. SKPKB;
b. SKPKBT;
c. SKPN; atau
d. SKPLB.
Selain itu, diatur juga terkait STP dalam Pasal 1 angka 20 yaitu surat untuk melakukan
tagihan pajak dan/atau sanksi administrasi berupa bunga dan/atau denda.
1. SKPKB
SKPKB adalah surat ketetapan pajak yang menentukan besarnya jumlah pokok pajak,
jumlah kredit pajak, jumlah kekurangan pembayaran pokok pajak, besarnya sanksi
administrasi, dan jumlah pajak yang masih harus dibayar.
Pasal 13 ayat (1) Undang-Undang KUP mengatur bahwa Direktur Jenderal Pajak dapat
menerbitkan SKPKB dalam jangka waktu 5 tahun setelah saat terutangnya pajak atau
berakhirnya masa pajak, bagian tahun pajak, atau tahun pajak setelah dilakukan
tindakan pemeriksaan dalam hal sebagai berikut:
Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam SKPKB sebagaimana dimaksud pada
huruf a dan huruf e ditambah dengan sanksi administrasi berupa bunga sebesar tarif
Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam SKPKB sebagaimana dimaksud pada
huruf f ditambah dengan sanksi administrasi berupa bunga sebesar tarif bunga per
bulan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan dihitung sejak saat jatuh tempo
pembayaran kembali berakhir sampai dengan tanggal diterbitkannya SKPKB, dan
dikenakan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan serta bagian dari bulan dihitung
penuh 1 (satu) bulan.
Tarif bunga per bulan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud
di atas dihitung berdasarkan suku bunga acuan ditambah 15% (lima belas persen) dan
dibagi 12 (dua belas) yang berlaku pada tanggal dimulainya penghitungan sanksi.
Jumlah pajak dalam SKPKB sebagaimana dimaksud pada huruf b, huruf c, dan huruf
d ditambah dengan sanksi administratif berupa:
1) bunga dari PPh yang tidak atau kurang dibayar dalam 1 Tahun Pajak;
2) bunga dari PPh yang tidak atau kurang dipotong atau dipungut;
3) kenaikan sebesar 75% dari PPN dan PPnBM yang tidak atau kurang dibayar; atau
4) kenaikan sebesar 75% dari PPh yang dipotong atau dipungut tetapi tidak atau kurang
disetor.
Dalam hal terdapat penerapan sanksi administrasi berupa bunga dan kenaikan
sebagaimana dimaksud pada angka 1) dan angka 3) di atas, maka hanya diterapkan
satu jenis sanksi administrasi yang tertinggi nilai besaran sanksinya.
Bunga sebagaimana dimaksud pada angka 1) dan angka 3) sebesar tarif bunga per
bulan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan dihitung sejak saat terutangnya pajak
atau berakhirnya masa pajak, bagian tahun pajak, atau tahun pajak sampai dengan
diterbitkannya SKPKB, dan bagian dari bulan dihitung penuh satu bulan.
2. SKPKBT
SKPKBT adalah surat ketetapan pajak yang menentukan tambahan atas jumlah pajak
yang telah ditetapkan.
Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang KUP mengatur bahwa Dirjen Pajak dapat
menerbitkan SKPKBT dalam jangka waktu 5 tahun setelah saat terutangnya pajak atau
berakhirnya masa pajak, bagian tahun pajak, atau tahun pajak apabila ditemukan data
baru yang mengakibatkan penambahan jumlah pajak yang terutang setelah dilakukan
tindakan pemeriksaan dalam rangka penerbitan SKPKBT. Jumlah kekurangan pajak
yang terutang dalam SKPKBT ditambah dengan sanksi administrasi berupa kenaikan
sebesar 100% dari jumlah kekurangan pajak tersebut. Kenaikan tersebut tidak
dikenakan apabila SKPKBT itu diterbitkan berdasarkan keterangan tertulis dari Wajib
Pajak atas kehendak sendiri, dengan syarat Direktur Jenderal Pajak belum mulai
melakukan tindakan pemeriksaan dalam rangka penerbitan SKPKBT.
Yang dimaksud dengan "data baru" adalah data atau keterangan mengenai segala
sesuatu yang diperlukan untuk menghitung besarnya jumlah pajak yang terutang yang
oleh Wajib Pajak belum diberitahukan pada waktu penetapan semula, baik dalam SPT
dan lampiran-lampirannya maupun dalam pembukuan perusahaan yang diserahkan
pada waktu pemeriksaan. Selain itu, yang termasuk dalam data baru adalah data yang
semula belum terungkap, yaitu data yang:
a. tidak diungkapkan oleh Wajib Pajak dalam SPT beserta lampirannya (termasuk
laporan keuangan); dan/atau
b. pada waktu pemeriksaan untuk penetapan semula Wajib Pajak tidak
mengungkapkan data dan/atau memberikan keterangan lain secara benar, lengkap,
dan terinci sehingga tidak memungkinkan fiskus dapat menerapkan ketentuan
3. SKPN
SKPN adalah surat ketetapan pajak yang menentukan jumlah pokok pajak sama
besarnya dengan jumlah kredit pajak atau pajak tidak terutang dan tidak ada kredit
pajak.
Pasal 17A ayat (1) Undang-Undang KUP mengatur bahwa Direktur Jenderal Pajak,
setelah melakukan pemeriksaan, menerbitkan SKPN apabila jumlah kredit pajak atau
jumlah pajak yang dibayar sama dengan jumlah pajak yang terutang, atau pajak tidak
terutang dan tidak ada kredit pajak atau tidak ada pembayaran pajak.
4. SKPLB
SKPLB adalah surat ketetapan pajak yang menentukan jumlah kelebihan pembayaran
pajak karena jumlah kredit pajak lebih besar daripada pajak yang terutang atau
seharusnya tidak terutang. Ketentuan mengenai SKPLB dalam Undang-undang KUP
diatur dalam Pasal 17 ayat (1), ayat 2, dan Pasal 17B.
Pasal 17 ayat (1) Undang-Undang KUP mengatur bahwa Direktur Jenderal Pajak,
setelah melakukan pemeriksaan, menerbitkan SKPLB apabila jumlah kredit pajak atau
jumlah pajak yang dibayar lebih besar daripada jumlah pajak yang terutang.
Pasal 17 ayat (2) Undang-Undang KUP mengatur bahwa berdasarkan permohonan
Wajib Pajak, Direktur Jenderal Pajak, setelah meneliti kebenaran pembayaran pajak,
menerbitkan SKPLB apabila terdapat pembayaran pajak yang seharusnya tidak
terutang, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan PMK.
Pasal 17B ayat (2) Undang-Undang KUP mengatur bahwa Direktur Jenderal Pajak
setelah melakukan pemeriksaan atas permohonan pengembalian kelebihan
pembayaran pajak, selain permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak
dari Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17C Undang-Undang KUP dan
Wajib Pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17D Undang-Undang KUP, harus
menerbitkan surat ketetapan pajak paling lama 12 bulan sejak surat permohonan
diterima secara lengkap. Apabila setelah melampaui jangka waktu 12 bulan Direktur
Jenderal Pajak tidak memberi suatu keputusan, permohonan pengembalian kelebihan
pembayaran pajak dianggap dikabulkan dan SKPLB harus diterbitkan paling lama satu
bulan setelah jangka waktu tersebut berakhir.
5. STP
Terdapat beberapa kondisi Direktur Jenderal Pajak menerbitkan STP. Pasal 14 ayat (1)
Undang-Undang KUP mengatur, bahwa Direktur Jenderal Pajak dapat menerbitkan STP
apabila:
Sanksi administratif yang terdapat dalam STP berbeda sesuai dengan kriteria
penerbitan STP. Pasal 14 ayat (3) dan ayat (4) Undang-Undang KUP mengatur sanksi
administratif tersebut berupa:
a. Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam STP sesuai kriteria huruf a dan huruf
b ditambah dengan sanksi administratif berupa bunga sebesar tarif bunga per bulan
Selain yang diatur dalam Pasal 14 ayat (3) Undang-Undang KUP, STP sesuai kriteria
huruf c diterbitkan atas sanksi:
1. denda atas SPT yang tidak disampaikan dalam jangka waktu penyampaian SPT
atau batas waktu perpanjangan penyampaian SPT sebagaimana diatur dalam
Pasal 7 ayat (1);
2. bunga atas pembetulan sendiri SPT Tahunan oleh Wajib Pajak yang
mengakibatkan utang pajak menjadi lebih besar sebagaimana diatur dalam Pasal
8 ayat (2);
3. bunga atas pembetulan sendiri SPT Masa oleh Wajib Pajak yang mengakibatkan
utang pajak menjadi lebih besar sebagaimana diatur dalam Pasal 8 ayat (2a);
4. bunga atas pembayaran atau penyetoran pajak untuk suatu saat atau masa
pajak yang dilakukan setelah tanggal jatuh tempo pembayaran atau penyetoran
pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 9 ayat (2a);
5. bunga atas pembayaran atau penyetoran pajak untuk kekurangan pembayaran
pajak yang terutang berdasarkan SPT Tahunan PPh yang dilakukan setelah
tanggal jatuh tempo penyampaian SPT Tahunan sebagaimana diatur dalam
Pasal 9 ayat (2b);
6. bunga atas SKPKB serta SKPKBT, dan SK Pembetulan, SK Keberatan, Putusan
Banding, serta Putusan Peninjauan Kembali yang menyebabkan jumlah pajak
yang masih harus dibayar bertambah sebagaimana diatur dalam Pasal 19 ayat
(1);
7. bunga terhadap Wajib Pajak yang diperbolehkan mengangsur atau menunda
pembayaran pajak sebagaimana diatur dalam Pasal 19 ayat (2);
8. bunga terhadap Wajib Pajak yang diperbolehkan menunda penyampaian SPT
Tahunan dan penghitungan sementara pajak yang terutang kurang dari jumlah
pajak yang sebenarnya terutang sebagaimana diatur dalam Pasal 19 ayat (3);
a. STP atas sanksi administratif yang dikenakan atas SKPKB serta SKPKBT, dan SK
Pembetulan, SK Keberatan, Putusan Banding, serta Putusan Peninjauan Kembali
yang menyebabkan jumlah pajak yang masih harus dibayar bertambah diterbitkan
paling lama sesuai dengan daluwarsa penagihan SKPKB serta SKPKBT, dan SK
Pembetulan, SK Keberatan, Putusan Banding, serta Putusan Peninjauan Kembali
yang menyebabkan jumlah pajak yang masih harus dibayar bertambah;
b. STP atas sanksi administratif berupa denda sebesar 30% (tiga puluh persen) dari
jumlah pajak berdasarkan keputusan keberatan dikurangi dengan pajak yang telah
dibayar sebelum mengajukan keberatan dalam hal keberatan Wajib Pajak ditolak
atau dikabulkan sebagian dapat diterbitkan paling lama 5 (lima) tahun sejak tanggal
penerbitan Surat Keputusan Keberatan apabila Wajib Pajak tidak mengajukan upaya
banding; dan
c. STP atas sanksi administratif berupa denda sebesar 60% (enam puluh persen) dari
jumlah pajak berdasarkan Putusan Banding dikurangi dengan pembayaran pajak
yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan dalam hal permohonan banding
ditolak atau dikabulkan sebagian dapat diterbitkan paling lama dalam jangka waktu
5 (lima) tahun sejak tanggal Putusan Banding diucapkan oleh hakim Pengadilan
Pajak dalam sidang terbuka untuk umum.
STP memiliki kekuatan hukum yang sama dengan surat ketetapan pajak. Kekuatan
hukum yang sama dalam hal ini terkait dengan penagihan, sehingga terhadap STP dapat
dilakukan penagihan dengan surat paksa.
6. Sanksi Administratif
Tabel 7 - 1 : Sanksi Administratif dalam Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan
No Pasal Terkait Sanksi
1 Pasal 7 ayat (1) Keterlambatan pelaporan SPT Denda sebesar Rp500.000
Masa PPN
6 Pasal 13 ayat Berdasarkan hasil pemeriksaan Bunga per bulan mengacu kepada suku
(3b) PPh yang tidak atau kurang bunga acuan yang ditetapkan oleh
dibayar dalam 1 Tahun Pajak Menteri Keuangan ditambah 20%, dibagi
atau PPh yang tidak atau kurang 12.
dipotong/ dipungut
C. Pengembalian Pendahuluan
Pada sub bab ini akan dijelaskan lebih lanjut terkait restitusi sesuai dengan ketentuan
Pasal 17C, Pasal 17D, dan Pasal 17E Undang-Undang KUP.
a. 3 (tiga) bulan sejak permohonan diterima secara lengkap untuk PPh; dan
b. 1 (satu) bulan sejak permohonan diterima secara lengkap untuk PPN.
Wajib Pajak dengan kriteria tertentu dikenal dengan istilah Wajib Pajak Patuh dan
Wajib Pajak tersebut ditetapkan terlebih dahulu dengan keputusan Direktur Jenderal
Pajak pada setiap awal tahun.
1. Pajak Penghasilan
- Wajib Pajak telah memperoleh pengembalian pendahuluan kelebihan pajak
sebesar Rp70.000.000,00.
- Terhadap Wajib Pajak dilakukan pemeriksaan dengan hasil sebagai berikut:
- PPh yang terutang sebesar Rp 90.000.000,00
- Kredit Pajak, yaitu
i. PPh pasal 22 Rp 10.000.000,00
ii. PPh pasal 23 Rp 30.000.000,00
iii. PPh pasal 25 Rp 80.000.000,00
Berdasarkan hasil pemeriksaan tersebut diterbitkan SKPKB dengan
penghitungan sebagai berikut:
- PPh yang terutang sebesar Rp 90.000.000,00
- Kredit Pajak, yaitu
i. PPh pasal 22 Rp 10.000.000,00
ii. PPh pasal 23 Rp 30.000.000,00
iii. PPh pasal 25 Rp 80.000.000,00 (+)
Rp120.000.000,00
Wajib Pajak yang memenuhi persyaratan tertentu yang dapat diberikan pengembalian
pendahuluan kelebihan pembayaran pajak adalah:
a. Wajib Pajak orang pribadi yang tidak menjalankan usaha atau pekerjaan bebas;
b. Wajib Pajak orang pribadi yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas dengan
jumlah peredaran usaha dan jumlah lebih bayar sampai dengan jumlah tertentu;
c. Wajib Pajak badan dengan jumlah peredaran usaha dan jumlah lebih bayar
sampai dengan jumlah tertentu; atau
d. Pengusaha Kena Pajak yang menyampaikan SPT Masa PPN dengan jumlah
penyerahan dan jumlah lebih bayar sampai dengan jumlah tertentu.
Batasan jumlah peredaran usaha, jumlah penyerahan, dan jumlah lebih bayar diatur
lebih lanjut dengan atau berdasarkan PMK.
Terhadap orang pribadi yang bukan subjek pajak dalam negeri yang melakukan
pembelian barang kena pajak di dalam daerah pabean yang tidak dikonsumsi di daerah
pabean dapat diberikan pengembalian PPN yang telah dibayar.
1. Sanksi Denda
2 Pasal 25 ayat (9) Keberatan Wajib Pajak ditolak Denda sebesar 30%
atau dikabulkan sebagian
3 Pasal 27 ayat (5d) permohonan banding ditolak atau Denda sebesar 60%
dan ayat (5f) dikabulkan sebagian atau Putusan
PK yang menyebabkan jumlah
pajak yang masih harus dibayar
bertambah
4 Pasal 13 ayat Berdasarkan hasil Bunga per bulan mengacu kepada suku
(2) pemeriksaan, pajak bunga acuan yang ditetapkan oleh
terutang yang Menteri Keuangan ditambah 15%, dibagi
tidak/kurang dibayar 12.
Pasal 13 ayat Pengembalian Pajak
(2b) Masukan (PM) dari PKP
yang tidak berproduksi
5 Pasal 13 ayat Berdasarkan hasil Bunga per bulan mengacu kepada suku
(3b) pemeriksaan PPh yang bunga acuan yang ditetapkan oleh
tidak atau kurang dibayar Menteri Keuangan ditambah 20%, dibagi
dalam 1 Tahun Pajak 12.
atau PPh yang tidak atau
kurang
dipotong/dipungut
1. Surat ketetapan pajak yang menentukan besarnya jumlah pokok pajak, jumlah kredit
pajak, jumlah kekurangan pembayaran pokok pajak, besarnya sanksi administrasi,
dan jumlah pajak yang masih harus dibayar adalah..
a. SKPKB
b. SKPKBT
c. SKPN
d. SKPLB
2. Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam SKPKBT ditambah dengan sanksi
administrasi berupa kenaikan sebesar … dari jumlah kekurangan pajak tersebut.
a. 100%
b. 75%
c. 50%
d. 25%
3. Yang termasuk "data baru" dalam penerbitan SKPKBT adalah sebagai berikut,
kecuali…
a. data atau keterangan yang oleh Wajib Pajak diberitahukan terkait penerbitan
SKPKB.
b. data atau keterangan yang oleh Wajib Pajak belum diberitahukan pada waktu
penetapan semula baik dalam SPT dan lampiran-lampirannya maupun dalam
pembukuan perusahaan yang diserahkan pada waktu pemeriksaan.
c. data atau keterangan yang tidak diungkapkan oleh Wajib Pajak dalam SPT
beserta lampirannya (termasuk laporan keuangan).
d. data atau keterangan yang pada waktu pemeriksaan untuk penetapan semula
Wajib Pajak tidak mengungkapkan data dan/atau memberikan keterangan lain
secara benar, lengkap, dan terinci sehingga tidak memungkinkan fiskus dapat
menerapkan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dengan
benar dalam menghitung jumlah pajak yang terutang.
4. Berikut adalah kondisi STP yang diterbitkan dalam hal terdapat imbalan bunga yang
seharusnya tidak diberikan kepada Wajib Pajak, kecuali …
a. diterbitkan keputusan
b. diterima putusan
c. ditemukan data atau informasi
d. dilaporkan dalam Surat Pemberitahuan
A. Umum
Penagihan pajak diatur dalam Pasal 18, Pasal 19, Pasal 20, Pasal 20A, Pasal 21, Pasal
22, Pasal 23, dan Pasal 24 Undang-Undang KUP serta Undang-Undang PPSP.
C. Dasar Penagihan
Dasar penagihan dapat dikelompokkan menjadi 2, yaitu dasar penagihan pajak dan
dasar penagihan dalam rangka bantuan penagihan pajak.
1. Dasar penagihan pajak menurut Pasal 18 dan Pasal 27C UU KUP.
a. Pasal 18 UU KUP
STP, SKPKB, SKPKBT, SK Pembetulan, SK Keberatan, Putusan Banding, dan
Putusan Peninjauan Kembali yang menyebabkan jumlah pajak yang masih harus
dibayar bertambah.
Pelaksanaan penagihan pajak sangat berkaitan dengan jatuh tempo pelunasan dasar
penagihan pajak karena tindakan penagihan baru dapat dilakukan 7 hari setelah tanggal
jatuh tempo. Oleh sebab itu, perlu kita ketahui ketentuan mengenai jatuh tempo
pelunasan. Pasal 48 PP Nomor 74 Tahun 2011 mengatur jatuh tempo pelunasan dasar
penagihan pajak antara lain sebagai berikut:
1. Dalam hal Wajib Pajak mengajukan keberatan dan tidak mengajukan permohonan
banding, pelunasan atas jumlah pajak yang belum dibayar dilakukan paling lama 1
(satu) bulan sejak tanggal penerbitan Surat Keputusan Keberatan;
2. Dalam hal Wajib Pajak mengajukan permohonan banding, pelunasan atas jumlah
pajak yang belum dibayar dilakukan paling lama 1 (satu) bulan sejak tanggal
penerbitan Putusan Banding;
3. Dalam hal Wajib Pajak menyetujui seluruh jumlah pajak yang masih harus dibayar
dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan, pelunasan atas jumlah pajak yang
masih harus dibayar dilakukan paling lama 1 (satu) bulan sejak tanggal penerbitan
surat ketetapan pajak, yang diatur dalam ketentuan umum Undang-Undang KUP;
dan
4. Dalam hal Wajib Pajak usaha kecil dan Waijb Pajak di daerah tertentu menyetujui
seluruh jumlah pajak yang masih harus dibayar dalam pembahasan akhir hasil
pemeriksaan, pelunasan atas jumlah pajak yang masih harus dibayar dilakukan
paling lama 2 (dua) bulan sejak tanggal penerbitan surat ketetapan pajak, yang diatur
dalam ketentuan umum Undang-Undang KUP.
E. Penanggung Pajak
Penagihan pajak dilakukan terhadap penanggung pajak atas Wajib Pajak orang pribadi
atau penanggung pajak atas Wajib Pajak badan. Penanggung pajak berdasarkan
Undang-Undang PPSP merupakan orang pribadi atau badan yang bertanggung jawab
atas pembayaran pajak, termasuk wakil yang menjalankan hak dan memenuhi
kewajiban Wajib Pajak menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Yang dimaksud penanggung pajak atas Wajib Pajak orang pribadi berdasarkan Pasal 6
PMK-189/PMK.03/2020 antara lain:
a. orang pribadi bersangkutan;
b. istri dari Wajib Pajak orang pribadi, dalam hal pelaksanaan hak dan pemenuhan
kewajiban perpajakannya digabungkan sebagai satu kesatuan;
c. salah seorang ahli waris, pelaksana wasiat, atau pihak yang mengurus harta
peninggalan, dalam hal Wajib Pajak telah meninggal dunia dan harta warisan belum
terbagi;
d. para ahli waris, dalam hal Wajib Pajak telah meninggal dunia dan harta warisan telah
dibagi;
e. wali bagi anak yang belum dewasa; dan
f. pengampu bagi orang yang berada dalam pengampuan
Sementara, yang dimaksud Penanggung Pajak atas Wajib Pajak badan berdasarkan
Pasal 7 PMK-189/PMK.03/2020, antara lain:
a. Direksi, kepala perwakilan, kepala cabang, penanggung jawab, pengurus, atau
jabatan yang setingkat;
b. Dewan komisaris, pengawas;
c. Sekutu komplementer/sekutu aktif/sekutu pengurus;
d. Sekutu komanditer/sekutu pasif;
e. Perusahaan induk dari BUT;
f. Pemegang saham, pemilik modal; dan
g. Orang yang nyata-nyata mempunyai wewenang dalam menentukan kebijaksanaan
dan/atau mengambil keputusan untuk menjalankan kegiatan usaha.
Setiap Wajib Pajak wajib membayar utang pajak sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan. Sehingga, apabila Wajib Pajak tidak melunasi utang
pajak yang masih harus dibayar setelah lewat jatuh tempo pelunasan, perlu dilakukan
tindakan penagihan pajak. Serangkaian tindakan penagihan pajak, berdasarkan PMK-
189/PMK.03/2020, meliputi:
a. menerbitkan surat teguran, surat peringatan, atau sejenisnya;
b. menerbitkan dan memberitahukan surat paksa;
c. melaksanakan penyitaan;
d. melakukan pengumuman lelang dan lelang, untuk barang sitaan yang dilakukan
penjualan secara lelang;
e. menggunakan, menjual, dan/atau memindahbukukan barang sitaan, untuk barang
sitaan yang dikecualikan dari penjualan secara lelang;
f. mengusulkan pencegahan;
g. melaksanakan penyanderaan; dan/atau
h. menerbitkan surat perintah penagihan seketika dan sekaligus.
Tindakan penagihan pajak di atas harus dilaksanakan sesuai prosedur sebagaimana
diatur dalam PMK-189/PMK.03/2020 yang diilustrasikan dalam gambar berikut.
Langkah awal dalam tindakan penagihan pajak adalah penerbitan surat teguran, surat
peringatan, atau surat lain yang sejenis. Surat teguran, surat peringatan, atau surat lain
yang sejenis adalah surat yang diterbitkan oleh pejabat untuk menegur atau
memperingatkan Wajib Pajak untuk melunasi utang pajaknya yang tidak atau kurang
dibayar sampai dengan tanggal jatuh tempo pembayaran. Penerbitan surat teguran,
surat peringatan, atau surat lain yang sejenis bertujuan untuk memberi peringatan
kepada penanggung pajak agar segera melunasi utang pajaknya sehingga tidak perlu
dilakukan tindakan penagihan pajak lebih lanjut. Penerbitan tersebut juga dimaksudkan
untuk memberi kesempatan kepada penanggung pajak untuk membayar utang pajaknya
sebelum dilakukannya upaya paksa dengan menerbitkan surat paksa.
2. Surat Paksa
Surat paksa merupakan surat perintah membayar utang pajak dan biaya penagihan
pajak, yang berdasarkan pengaturan dalam Undang-Undang PPSP, diterbitkan apabila:
a. penanggung pajak tidak melunasi utang pajak dan kepadanya telah diterbitkan surat
teguran, surat peringatan, atau surat lain yang sejenis;
b. Terhadap penanggung pajak telah dilaksanakan penagihan seketika dan sekaligus;
atau
c. penanggung pajak tidak memenuhi ketentuan sebagaimana tercantum dalam
keputusan persetujuan angsuran atau penundaan pembayaran pajak.
Surat paksa diberitahukan oleh jurusita pajak dengan membacakan isi surat paksa
dan menyerahkan salinan surat paksa kepada penanggung pajak. Pemberitahuan
surat paksa atas Wajib Pajak orang pribadi berdasarkan Pasal 13 PMK-
189/PMK.03/2020, dilakukan kepada:
a. penanggung pajak atas Wajib Pajak orang pribadi
b. Orang dewasa yang bertempat tinggal bersama atau yang bekerja di tempat
usaha penanggung pajak dalam hal jurusita pajak tidak dapat menjumpai
penanggung pajak.
Sedangkan, pemberitahuan surat paksa atas Wajib Pajak Badan, berdasarkan PMK-
189/PMK.03/2020, dilakukan kepada:
a. Penanggung Pajak untuk Wajib Pajak Badan:
b. Pegawai tetap di tempat kedudukan atau tempat usaha badan yang
bersangkutan apabila Jurusita Pajak tidak dapat menjumpai salah seorang
sebagaimana dimaksud dalam huruf a.
Dalam hal-hal tertentu mungkin saja jurusita pajak tidak dapat menyampaikan surat
paksa kepada Wajib Pajak atau penanggung pajak secara langsung. Ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan, salah satunya PMK-189/PMK.03/2020,
3. Penyitaan
Jurusita pajak membuat berita acara pelaksanaan sita atas setiap pelaksanaan
penyitaan. Berita acara pelaksanaan sita ditandatangani oleh jurusita pajak,
penanggung pajak, dan paling sedikit 2 (dua) orang saksi yang telah dewasa,
penduduk Indonesia, dikenal oleh jurusita pajak, dan dapat dipercaya.
Salinan berita acara pelaksanaan sita disampaikan kepada penanggung pajak dan
pihak terkait meliputi:
a. Kepolisian Republik Indonesia, untuk Barang bergerak yang kepemilikannya
terdaftar;
b. Badan Pertanahan Nasional, untuk tanah yang kepemilikannya sudah terdaftar;
c. Pemerintah Daerah dan Pengadilan Negeri setempat, untuk tanah yang
kepemilikannya belum terdaftar;
d. Direktorat Jenderal Perhubungan Laut, untuk kapal; atau
Direktorat Jenderal Perhubungan Udara, untuk pesawat terbang.
Dalam hal penanggung pajak tidak melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak
setelah dilakukan penyitaan, pejabat berwenang:
a. melaksanakan penjualan secara lelang; atau
b. menggunakan, menjual dan/atau memindahbukukan barang sitaan yang
penjualannya dikecualikan dari penjualan secara lelang, untuk melunasi utang pajak
dan biaya penagihan pajak.
Lelang adalah setiap penjualan barang di muka umum dengan cara penawaran harga
secara lisan dan atau tertulis melalui usaha pengumpulan peminat atau calon pembeli
yang dilakukan oleh kantor pelayanan kekayaan negara dan lelang yang berwenang
melaksanakan lelang. Pengumuman lelang dilaksanakan paling singkat 14 (empat
belas) hari setelah penyitaan. Pengumuman lelang dilakukan 1 (satu) kali untuk
barang bergerak dan 2 (dua) kali untuk barang tidak bergerak. Dalam hal hasil lelang
sudah mencapai jumlah yang cukup untuk melunasi utang pajak dan biaya penagihan
pajak, pelaksanaan lelang dihentikan oleh pejabat walaupun barang yang akan
dilelang masih ada. Sisa barang beserta kelebihan uang hasil lelang dikembalikan
oleh pejabat kepada penanggung pajak segera setelah pelaksanaan lelang.
Barang sitaan yang dikecualikan dari penjualan secara lelang meliputi, antara lain:
Barang yang tersebut di atas digunakan untuk membayar utang pajak dan biaya
penagihan pajak dengan cara:
a. uang tunai disetor ke kas negara atau kas daerah;
b. deposito berjangka, tabungan, saldo rekening koran, giro, atau bentuk lainnya
yang dipersamakan dengan itu, dipindahbukukan ke kas negara atau kas daerah
atas permintaan pejabat kepada bank yang bersangkutan;
c. obligasi, saham, atau surat berharga lainnya yang diperdagangkan di bursa efek
dijual di bursa efek atas permintaan pejabat;
d. obligasi, saham, atau surat berharga lainnya yang tidak diperdagangkan di bursa
efek segera dijual oleh pejabat;
e. Piutang dibuatkan berita acara persetujuan tentang pengalihan hak menagih dari
penanggung pajak kepada pejabat;
f. Penyertaan modal pada perusahaan lain dibuatkan akte persetujuan pengalihan
hak menjual dari penanggung pajak kepada pejabat.
5. Pencegahan
6. Penyanderaan
G. Daluwarsa Penagihan
Pasal 22 ayat (1) Undang-Undang KUP mengatur bahwa hak DJP untuk melakukan
penagihan pajak, termasuk bunga, denda, kenaikan, dan biaya penagihan pajak adalah
dalam jangka waktu 5 (lima) tahun terhitung sejak penerbitan STP, SKPKB, serta
SKPKBT, dan SK Pembetulan, SK Keberatan, Putusan Banding, serta Putusan
Peninjauan Kembali.
Adapun yang menjadi tujuan dari pengaturan hak DJP dalam jangka waktu 5 (lima) tahun
adalah untuk memberikan kepastian hukum kapan utang pajak tidak dapat ditagih lagi,
sehingga Undang-Undang KUP mengatur mengenai daluwarsa penagihan pajak. Dalam
hal utang pajak telah memasuki tanggal daluwarsa penagihan, hak negara untuk
melakukan penagihan utang pajak termasuk bunga, denda, kenaikan, dan biaya
penagihan pajak tidak lagi dapat dilakukan.
Pasal 21 ayat (1) Undang-Undang KUP mengatur bahwa negara mempunyai hak
mendahulu untuk utang pajak atas barang-barang milik penanggung pajak. Dalam
penjelasannya, disebutkan bahwa ayat ini menetapkan kedudukan negara sebagai
kreditur preferen yang dinyatakan mempunyai hak mendahulu atas barang-barang milik
penanggung pajak yang akan dilelang di muka umum.
Pasal 21 ayat (3) Undang-Undang KUP mengatur bahwa hak mendahulu untuk utang
pajak melebihi segala hak mendahulu lainnya, kecuali:
a. Biaya perkara yang hanya disebabkan oleh suatu penghukuman untuk melelang
suatu barang bergerak dan/atau barang tidak bergerak;
b. biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkan barang dimaksud; dan/atau
c. biaya perkara yang hanya disebabkan oleh pelelangan dan penyelesaian suatu
warisan.
Gugatan atau sanggahan adalah upaya hukum terhadap pelaksanaan penagihan pajak
atau kepemilikan barang sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan
yang bersangkutan. Undang-Undang PPSP mengaturnya sebagai berikut.
1. Gugatan
Gugatan penanggung pajak hanya dapat diajukan kepada badan peradilan pajak
dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari sejak surat paksa, SPMP, atau
pengumuman lelang dilaksanakan. Dalam hal gugatan tersebut dikabulkan,
penanggung pajak dapat memohon pemulihan nama baik dan ganti rugi kepada
pejabat. Ganti rugi dimaksud paling banyak Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah).
2. Sanggahan
Sanggahan pihak ketiga terhadap kepemilikan barang yang disita hanya dapat
diajukan kepada pengadilan negeri dan kemudian pengadilan negeri tersebut
memberitahukan secara tertulis kepada pejabat. Sejak menerima surat
pemberitahuan dari pengadilan negeri, pejabat menangguhkan pelaksanaan
penagihan pajak terhadap barang yang disanggah. Sanggahan pihak ketiga tidak
dapat diajukan setelah lelang dilaksanakan.
1. Berikut ini adalah tindakan penagihan pajak yang kurang tepat, yaitu…
a. Surat paksa diterbitkan setelah lewat waktu 21 (dua puluh satu) hari terhitung
sejak tanggal surat teguran disampaikan.
b. Surat teguran diterbitkan setelah lewat waktu 7 (tujuh) hari sejak saat jatuh
tempo pembayaran utang pajak.
c. Dalam hal penyitaan dilakukan terhadap harta kekayaan penanggung pajak
yang tersimpan pada LJK, LJK Lainnya, dan/atau entitas lain, pejabat tidak
perlu melakukan permintaan pemblokiran terlebih dahulu.
d. Pengusulan pencegahan dapat dilakukan setelah tanggal surat paksa
diberitahukan tanpa didahului penerbitan SPMP, pelaksanaan penyitaan, atau
penjualan barang sitaan.
4. Dalam melakukan penagihan pajak dapat timbul biaya penagihan pajak. Yang tidak
termasuk sebagai biaya penagihan pajak adalah…
a. biaya pembatalan lelang
b. biaya jasa penilai
c. biaya untuk surat jalan jurusita pajak
d. biaya pelaksanaan SPMP
A. Umum
Dalam rangka menjalankan tugas pemerintahan yang baik, surat keputusan yang
mengandung kesalahan dapat dilakukan pembetulan oleh pejabat pemerintahan yang
menetapkan surat keputusan. Sehubungan dengan penerbitan ketetapan atau
keputusan perpajakan, pembetulan tersebut dilakukan oleh Direktur Jenderal Pajak
karena jabatannya atau berdasarkan permohonan Wajib Pajak. Pembetulan
dilaksanakan atas ketetapan atau keputusan yang dalam penerbitannya terdapat
kesalahan tulis, kesalahan hitung, dan/atau kekeliruan penerapan ketentuan tertentu
dalam peraturan perundang-undangan perpajakan.
B. Objek Pembetulan
Ketetapan atau keputusan yang dapat dibetulkan karena kesalahan atau kekeliruan
berdasarkan Pasal 16 Undang-Undang KUP dan Pasal 2 PMK-11/PMK.03/2013 adalah
sebagai berikut.
1. surat ketetapan pajak, yang meliputi SKPKB, SKPKBT, SKPN, dan SKPLB
2. STP
3. SKPPKP
4. SKPIB
5. SK Pembetulan
6. SK Keberatan
7. SK Pengurangan Sanksi Administrasi
8. SK Penghapusan Sanksi Administrasi
9. SK Pengurangan Ketetapan Pajak
Ruang lingkup pembetulan yang diatur dalam Pasal 16 Undang-Undang KUP terbatas
pada kesalahan atau kekeliruan sebagai akibat dari:
1. kesalahan tulis, antara lain kesalahan yang dapat berupa nama, alamat, NPWP,
nomor surat ketetapan pajak, jenis pajak, Masa Pajak atau Tahun Pajak, dan tanggal
jatuh tempo;
2. kesalahan hitung, antara lain kesalahan yang berasal dari penjumlahan dan/atau
pengurangan dan/atau perkalian dan/atau pembagian suatu bilangan; atau
3. kekeliruan dalam penerapan ketentuan tertentu dalam peraturan perundang-
undangan perpajakan, yaitu:
a. kekeliruan dalam penerapan tarif,
b. kekeliruan penerapan persentase Norma Penghitungan Penghasilan Neto,
c. kekeliruan penerapan sanksi administrasi,
d. kekeliruan Penghasilan Tidak Kena Pajak,
e. kekeliruan penghitungan Pajak Penghasilan dalam tahun berjalan, dan
f. kekeliruan dalam pengkreditan pajak
D. Syarat Permohonan
1. 1 (satu) permohonan diajukan untuk 1 (satu) surat ketetapan pajak, STP, atau surat
keputusan lain yang terkait dengan bidang perpajakan.
2. Permohonan harus disampaikan ke KPP tempat Wajib Pajak terdaftar dan/atau
tempat PKP dikukuhkan.
3. Permohonan diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan disertai
alasan permohonan dan menggunakan format surat permohonan sebagaimana
diatur dalam perundang-undangan perpajakan.
4. Surat permohonan ditandatangani oleh Wajib Pajak dan dalam hal surat
permohonan ditandatangani bukan oleh Wajib Pajak, surat permohonan tersebut
harus dilampiri dengan surat kuasa khusus sesuai dengan peraturan perundang-
undangan di bidang perpajakan.
Tidak terdapat pengaturan khusus mengenai jangka waktu pengajuan pembetulan dan
batas pengajuan pembetulan. Jika masih terdapat kesalahan tulis, kesalahan hitung,
dan/atau kekeliruan penerapan ketentuan tertentu dalam peraturan perundang-
undangan perpajakan, Wajib Pajak dapat mengajukan lagi permohonan pembetulan
kepada Direktur Jenderal Pajak, atau Direktur Jenderal Pajak dapat melakukan
pembetulan lagi karena jabatan.
Pembetulan atas dasar permohonan Wajib Pajak harus diberi keputusan oleh Direktur
Jenderal Pajak dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan sejak tanggal surat
permohonan pembetulan diterima. Apabila jangka waktu tersebut telah lewat tetapi
Direktur Jenderal Pajak belum memberi suatu keputusan, permohonan pembetulan
yang diajukan oleh Wajib Pajak tersebut dianggap dikabulkan.
1. Ketetapan atau keputusan yang bukan merupakan ruang lingkup pembetulan Pasal
16 Undang-Undang KUP adalah…
a. Surat Keputusan Pembetulan
b. Surat Ketetapan Pajak Nihil
c. Surat Keputusan Pengembalian Kelebihan Pembayaran Pajak
d. Surat Keputusan Keberatan
4. Wajib Pajak menerima SKPKB tanggal 8 Juni 2022. Setelah diteliti ternyata tertulis
tanggal penerbitannya tanggal 4 Juni 2021 padahal seharusnya tanggal 4 Juni 2022.
Kesalahan atau kekeliruan tersebut termasuk dalam ruang lingkup…
a. Kesalahan hitung
b. Kesalahan tulis
c. Kesalahan dalam penerapan ketentuan perpajakan
d. Kekeliruan dalam penerapan ketentuan perpajakan
A. Umum
Sengketa pajak adalah sengketa yang timbul dalam bidang perpajakan antara Wajib
Pajak atau penanggung Pajak dengan pejabat yang berwenang sebagai akibat
dikeluarkannya keputusan yang dapat diajukan banding atau gugatan kepada
Pengadilan Pajak berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan, termasuk
gugatan atas pelaksanaan penagihan berdasarkan Undang-undang Penagihan Pajak
dengan Surat Paksa.
Dalam Pasal 36 ayat (1) Undang-Undang KUP diatur bahwa Direktur Jenderal Pajak
karena jabatan atau atas permohonan Wajib Pajak dapat:
a. mengurangkan atau menghapuskan sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan
kenaikan yang terutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan dalam hal sanksi tersebut dikenakan karena kekhilafan Wajib Pajak atau
bukan karena kesalahannya;
b. mengurangkan atau membatalkan surat ketetapan pajak yang tidak benar;
c. mengurangkan atau membatalkan STP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14
Undang-Undang KUP yang tidak benar; atau
d. membatalkan hasil pemeriksaan pajak atau surat ketetapan pajak dari hasil
pemeriksaan yang dilaksanakan tanpa:
1. penyampaian surat pemberitahuan hasil pemeriksaan; atau
2. pembahasan akhir hasil pemeriksaan dengan Wajib Pajak.
1.2 Pengurangan atau Pembatalan Surat Ketetapan Pajak atau Surat Tagihan
Pajak yang Tidak Benar (Pasal 36 ayat (1) huruf b dan c Undang-Undang
KUP)
Direktur Jenderal Pajak karena jabatannya atau atas permohonan Wajib Pajak dan
berlandaskan unsur keadilan dapat mengurangkan atau membatalkan surat
ketetapan pajak yang tidak benar, misalnya Wajib Pajak yang ditolak pengajuan
keberatannya karena tidak memenuhi persyaratan formal (memasukkan surat
keberatan tidak pada waktunya) meskipun persyaratan material terpenuhi. Demikian
juga, atas STP yang tidak benar dapat dilakukan pengurangan atau pembatalan oleh
Direktur Jenderal Pajak karena jabatannya atau atas permohonan Wajib Pajak.
Permohonan pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak yang tidak benar
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. 1 (satu) permohonan untuk 1 (satu) surat ketetapan pajak;
Permohonan pengurangan atau pembatalan surat ketetapan pajak yang tidak benar
tersebut dapat diajukan oleh Wajib Pajak paling banyak 2 (dua) kali.
Permohonan pengurangan atau pembatalan STP yang tidak benar tersebut dapat
diajukan oleh Wajib Pajak paling banyak 2 (dua) kali.
1.3 Pembatalan Surat Ketetapan Pajak dari Hasil Pemeriksaan (Pasal 36 ayat
(1) huruf b dan c Undang-Undang KUP)
Dalam rangka memberikan keadilan dan melindungi hak Wajib Pajak, Direktur
Jenderal Pajak atas kewenangannya atau atas permohonan Wajib Pajak dapat
membatalkan hasil pemeriksaan pajak yang dilaksanakan tanpa penyampaian surat
pemberitahuan hasil pemeriksaan atau tanpa dilakukan pembahasan akhir hasil
pemeriksaan dengan Wajib Pajak. Namun, dalam hal Wajib Pajak tidak hadir dalam
pembahasan akhir hasil pemeriksaan sesuai dengan batas waktu yang ditentukan,
permohonan Wajib Pajak tidak dapat dipertimbangkan.
Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan sejak tanggal
permohonan diterima, harus memberi keputusan atas permohonan yang diajukan.
Apabila jangka waktu tersebut telah lewat tetapi Direktur Jenderal Pajak tidak
memberi suatu keputusan, permohonan Wajib Pajak sebagaimana dimaksud pada
dianggap dikabulkan.
2. Keberatan
Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan hanya kepada Direktur Jenderal Pajak atas
suatu:
a. SKPKB;
b. SKPKBT;
c. SKPN;
d. SKPLB; atau
e. pemotongan atau pemungutan pajak oleh pihak ketiga berdasarkan ketentuan
peraturan perundang-undangan perpajakan.
3. Keberatan harus diajukan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan sejak tanggal dikirim
surat ketetapan pajak atau sejak tanggal pemotongan atau pemungutan pajak
kecuali apabila Wajib Pajak dapat menunjukkan bahwa jangka waktu tersebut
tidak dapat dipenuhi karena keadaan di luar kekuasaannya.
4. Dalam hal Wajib Pajak mengajukan keberatan atas surat ketetapan pajak, Wajib
Pajak wajib melunasi pajak yang masih harus dibayar paling sedikit sejumlah
yang telah disetujui Wajib Pajak dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan,
sebelum surat keberatan disampaikan.
5. Keberatan yang tidak memenuhi persyaratan pada angka 1, 2, 3, atau 4 bukan
merupakan surat keberatan sehingga tidak dipertimbangkan.
Direktur Jenderal Pajak dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan sejak
tanggal surat keberatan diterima harus memberi keputusan atas keberatan yang
diajukan. Apabila jangka waktu tersebut telah terlampaui dan Direktur Jenderal
Pajak tidak memberi suatu keputusan, keberatan yang diajukan tersebut dianggap
dikabulkan.
Jatuh tempo pembayaran yang tertera dalam surat ketetapan pajak tertangguh
sampai dengan 1 (satu) bulan sejak tanggal penerbitan SK Keberatan.
Penangguhan jangka waktu pelunasan pajak menyebabkan sanksi administrasi
berupa bunga sebagaimana diatur dalam Pasal 19 tidak diberlakukan atas jumlah
pajak yang belum dibayar pada saat pengajuan keberatan. Jumlah pajak yang
Dalam hal keberatan Wajib Pajak ditolak atau dikabulkan sebagian dan Wajib Pajak
tidak mengajukan permohonan banding, jumlah pajak berdasarkan keputusan
keberatan dikurangi dengan pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan
keberatan harus dilunasi paling lama 1 (satu) bulan sejak tanggal penerbitan Surat
Contoh perhitungan:
Dalam hal Wajib Pajak mengajukan permohonan banding, sanksi administratif berupa
denda sebesar 30% (tiga puluh persen) tidak dikenakan.
1. Banding
Banding adalah upaya hukum yang dapat dilakukan oleh Wajib Pajak atau
penanggung Pajak terhadap suatu keputusan yang diajukan banding, berdasarkan
peraturan perundang-undangan perpajakan. Ketentuan mengenai banding diatur
dalam Pasal 27 Undang-Undang KUP dan Pasal 35 Undang-Undang Pengadilan
Pajak.
1. Dalam hal Wajib Pajak mengajukan banding, jangka waktu pelunasan pajak yang
diajukan banding tertangguh sampai dengan 1 (satu) bulan sejak tanggal penerbitan
Putusan Banding. Penangguhan jangka waktu pelunasan pajak menyebabkan
sanksi administratif berupa bunga tidak diberlakukan atas jumlah pajak yang belum
dibayar pada saat pengajuan keberatan.
2. Jumlah pajak yang belum dibayar pada saat pengajuan permohonan keberatan
tidak termasuk sebagai utang pajak.
3. Jumlah pajak yang belum dibayar pada saat pengajuan permohonan banding tidak
termasuk sebagai utang pajak sampai dengan Putusan Banding diterbitkan.
Putusan Banding merupakan putusan yang berkekuatan hukum tetap (inkracht). Oleh
karena itu pengajuan permohonan peninjauan kembali, baik oleh Wajib Pajak atau
Direktur Jenderal Pajak, tidak menangguhkan atau menghentikan pelaksanaan
Putusan Banding.
Dalam hal permohonan banding Wajib Pajak ditolak atau dikabulkan sebagian,
jumlah pajak berdasarkan Putusan Banding dikurangi dengan pajak yang telah
dibayar sebelum mengajukan keberatan harus dilunasi paling lama 1 (satu) bulan
sejak tanggal penerbitan Putusan Banding, dan penagihan dengan Surat Paksa akan
dilaksanakan apabila Wajib Pajak tidak melunasi utang pajak tersebut. Di samping
itu, Wajib Pajak dikenai sanksi administratif berupa denda sebesar 60% (enam puluh
persen).
2. Gugatan
Gugatan adalah upaya hukum yang dapat dilakukan oleh Wajib Pajak atau penanggung
Pajak terhadap pelaksanaan penagihan pajak atau terhadap keputusan yang dapat
diajukan Gugatan berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan yang
berlaku. Gugatan tidak menunda atau menghalangi dilaksanakannya penagihan pajak
atau kewajiban perpajakan. Ketentuan mengenai gugatan diatur dalam Pasal 23
Undang-Undang KUP dan Pasal 40 Undang-Undang Pengadilan Pajak.
3. Peninjauan Kembali
Permohonan Peninjauan Kembali dalam ranah hukum pajak adalah upaya hukum luar
biasa kepada Mahkamah Agung untuk memeriksa dan memutus kembali putusan
Pengadilan Pajak. Permohonan peninjauan kembali hanya dapat diajukan 1 (satu) kali
kepada Mahkamah Agung melalui Pengadilan Pajak. Ketentuan mengenai peninjauan
kembali diatur dalam Pasal 27 ayat (5e) Undang-Undang KUP dan Pasal 89 Undang-
Undang Pengadilan Pajak.
1. apabila putusan Pengadilan Pajak didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu
muslihat pihak lawan yang diketahui setelah perkaranya diputus atau didasarkan
pada bukti-bukti yang kemudian oleh hakim pidana dinyatakan palsu;
2. apabila terdapat bukti tertulis baru yang penting dan bersifat menentukan, yang
apabila diketahui pada tahap persidangan di Pengadilan Pajak akan
menghasilkan putusan yang berbeda;
3. apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih dari pada yang
dituntut, kecuali yang diputus berdasarkan Pasal 80 ayat (1) huruf b dan huruf c
Undang-Undang Pengadilan Pajak;
4. apabila mengenai suatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa
dipertimbangkan sebab-sebabnya; atau
5. apabila terdapat suatu putusan yang nyata-nyata tidak sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
1. Dalam hal Putusan Peninjauan Kembali yang menyebabkan jumlah pajak yang
masih harus dibayar bertambah, dikenai sanksi administratif berupa denda
sebesar 60% (enam puluh persen) dari jumlah pajak berdasarkan Putusan
Peninjauan Kembali dikurangi dengan pembayaran pajak yang telah dibayar
sebelum mengajukan keberatan.
Contoh penghitungan 1:
Contoh penghitungan 2:
1. Penyelesaian sengketa pajak yang tidak dapat dilakukan secara jabatan adalah…
a. Pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi
b. Pengurangan atau pembatalan ketetapan pajak yang tidak benar
c. Keberatan
d. Pengurangan atau pembatalan Surat Tagihan Pajak yang tidak benar
3. Dalam hal permohonan banding ditolak atau dikabulkan sebagian, Wajib Pajak
dikenai sanksi administrasi berupa…
a. denda 60% (seratus persen) dari jumlah pajak berdasarkan Putusan Banding
dikurangi dengan pembayaran pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan
keberatan
b. kenaikan 60% (seratus persen) dari jumlah pajak berdasarkan Putusan Banding
dikurangi dengan pembayaran pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan
banding
c. kenaikan 100% (seratus persen) dari jumlah pajak berdasarkan Putusan Banding
dikurangi dengan pembayaran pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan
banding
d. denda 100% (seratus persen) dari jumlah pajak berdasarkan Putusan Banding
dikurangi dengan pembayaran pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan
keberatan
4. Berikut bukan merupakan Gugatan Wajib Pajak atau penanggung Pajak yang dapat
diajukan kepada badan peradilan pajak, yaitu…
a. pelaksanaan Surat Paksa
b. Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan
c. pelaksanaan lelang
d. keputusan pencegahan dalam rangka penagihan pajak
Pasal 11 ayat (3) Undang-Undang KUP mengatur bahwa imbalan bunga atas
keterlambatan pengembalian kelebihan pembayaran pajak dihitung sejak batas waktu
Pasal 17B ayat (3) Undang-Undang KUP mengatur bahwa imbalan bunga atas
keterlambatan penerbitan SKPLB dihitung sejak jangka waktu 1 (satu) bulan untuk
penerbitan SKPLB sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 17B ayat
(2) Undang-Undang KUP berakhir sampai dengan diterbitkannya SKPLB, dan bagian
dari bulan dihitung penuh satu bulan.
Pasal 17B ayat (4) Undang-Undang KUP mengatur bahwa imbalan bunga atas
keterlambatan penerbitan SKPLB dihitung sejak jangka waktu 12 (dua belas) bulan sejak
tanggal surat permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak diterima secara
lengkap berakhir sampai dengan saat diterbitkan SKPLB, dan bagian dari bulan dihitung
penuh satu bulan.
Pasal 27B ayat (1) Undang-Undang KUP mengatur bahwa imbalan bunga atas
kelebihan pembayaran pajak karena pengajuan keberatan, permohonan banding, atau
permohonan peninjauan kembali yang dikabulkan sebagian atau seluruhnya dihitung
sejak tanggal penerbitan SKPKB, SKPKBT, SKPLB, atau SKPN sampai dengan tanggal
diterbitkannya SK Keberatan, Putusan Banding, atau Putusan Peninjauan Kembali, dan
bagian dari bulan dihitung penuh satu bulan.
Pasal 27B ayat (3) Undang-Undang KUP mengatur bahwa imbalan bunga atas
permohonan pembetulan, permohonan pengurangan atau pembatalan surat ketetapan
pajak, atau permohonan pengurangan atau pembatalan STP yang dikabulkan sebagian
atau seluruhnya, dihitung:
a. sejak tanggal pembayaran SKPKB atau SKPKBT sampai dengan tanggal
diterbitkannya SK Pembetulan, surat keputusan pengurangan atau pembatalan surat
ketetapan pajak;
b. sejak tanggal penerbitan SKPLB atau SKPN sampai dengan tanggal diterbitkannya
SK Pembetulan, surat keputusan pengurangan atau pembatalan surat ketetapan
pajak; atau
c. sejak tanggal pembayaran STP sampai dengan tanggal diterbitkannya SK
Pembetulan, surat keputusan pengurangan, atau pembatalan STP,
dan bagian dari bulan dihitung penuh satu bulan.
Imbalan bunga sebagaimana dijelaskan di atas dihitung berdasarkan tarif bunga per
bulan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan berdasarkan suku bunga acuan dibagi 12
(dua belas) yang berlaku pada tanggal dimulainya penghitungan imbalan bunga.
Menteri Keuangan menetapkan KMK tentang tarif bunga sebagai dasar penghitungan
sanksi administrasi berupa bunga dan pemberian imbalan bunga untuk setiap bulan,
sehingga tarif bunga per bulan dapat mengacu pada KMK tersebut tanpa perlu dilakukan
penghitungan tarif bunga per bulan.
4. Tarif bunga yang digunakan sebagai dasar penghitungan imbalan bunga adalah…
a. 0%
b. 1/12%
c. 2%
d. tarif bunga per bulan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan
Pasal 32 Undang-Undang KUP mengatur bahwa dalam menjalankan hak dan kewajiban
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, Wajib Pajak
diwakili dalam hal:
1. badan oleh pengurus (termasuk dalam pengertian pengurus adalah orang yang
nyata-nyata mempunyai wewenang ikut menentukan kebijaksanaan dan/atau
mengambil keputusan dalam menjalankan perusahaan);
2. badan yang dinyatakan palit oleh kurator;
3. badan dalam pembubaran oleh orang atau badan yang ditugasi untuk melakukan
pemberesan;
4. badan dalam likuidasi oleh likuidator;
5. suatu warisan yang belum terbagi oleh salah seorang ahli warisnya, pelaksana
wasiatnya atau yang mengurus harta peninggalannya; atau
6. anak yang belum dewasa atau orang yang berada dalam pengampuan oleh wali
atau pengampunya.
Wakil bertanggung jawab secara pribadi dan/atau secara renteng atas pembayaran
pajak yang terutang, kecuali apabila dapat membuktikan dan meyakinkan Direktur
Jenderal Pajak bahwa mereka dalam kedudukannya benar-benar tidak mungkin untuk
dibebani tanggung jawab atas pajak yang terutang tersebut.
Orang pribadi atau badan dapat menunjuk seorang kuasa dengan surat kuasa khusus
untuk menjalankan hak dan memenuhi kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan.
Seorang kuasa yang ditunjuk harus mempunyai kompetensi tertentu dalam aspek
perpajakan, kecuali kuasa yang ditunjuk merupakan suami, istri, atau keluarga sedarah
atau semenda sampai dengan derajat kedua.
Pasal 32A Undang-Undang KUP mengatur bahwa Menteri Keuangan menunjuk pihak
lain untuk melakukan pemotongan, pemungutan, penyetoran, dan/atau pelaporan pajak
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pihak lain merupakan pihak
yang terlibat langsung atau memfasilitasi transaksi antarpihak yang bertransaksi.
Pengaturan mengenai penetapan, penagihan, upaya hukum, dan pengenaan sanksi
terhadap Wajib Pajak sesuai Undang-Undang tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan dan Undang-Undang tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa berlaku
juga terhadap pihak lain, termasuk subjek pajak yang berada di luar wilayah hukum
Indonesia.
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000.
Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2011 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan
Kewajiban Perpajakan sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 50
Tahun 2022 tentang Tata Cara Pelaksanaan Hak dan Kewajiban Perpajakan.
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 242/PMK.03/2014 tentang Tata Cara Pembayaran dan
Penyetoran Pajak sebagaimana telah diubah dengan PMK-18/PMK.03/2021 tentang
Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja di Bidang Pajak
Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah, serta
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 147/PMK.03/2017 tentang Tata Cara Pendaftaran Wajib
Pajak dan Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak serta Pengukuhan dan Pencabutan
Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak.
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 112/PMK.03/2022 tentang Nomor Pokok Wajib Pajak
Bagi Orang Pribadi, Wajib Pajak Badan, dan Wajib Pajak Instansi Pemerintah mengatur
mengenai penggunaan NIK sebagai NPWP bagi Orang Pribadi dan penggunaan NPWP 16
Digit bagi WP Badan dan Instansi Pemerintah.