Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan rahmat-
Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan makalah pada mata
kuliah Perpajakan dengan judul Menerapkan Pajak Bumi (PBB) dan Bea Perolehan Hak
Atas Tanah Dan Bangunan (BPHTB) dan Bea Materai. Makalah ini disusun sebagai syarat
untuk menyelesaikan tugas semester pada Mata Kuliah Perpajakan.
Makalah ini dapat diselesaikan, atas dorongan dan bimbingan serta petunjuk dari berbagai pihak, baik
materi maupun teknik penyusunannya. Terimakasih yang tak terhingga kepada , sebagai
pemangkuMata Kuliah Perpajakan.
Penulis menyadari bahwa didalam penulisan makalah ini masih banyak terdapat kekurangan.
Oleh karena itu, segala kritik maupun saran dari semua pihak akan penulis terima dengan
senang hati.
Akhir kata, semoga apa yang telah diberikan kepada penulis dan segala bantuan serta jasa, akan
mendapatkan balasan dari Tuhan Yang Maha Esa dansemoga makalah ini dapat bermanfaat bagi
pembaca.
Bea Meterai adalah pajak yang dikenakan atas dokumen (kertas yang berisikan tulisan
yang mengandung arti dan maksud tentang perbuatan, keadaan, atau kenyataan bagi seseorang
dan atau pihak yang berkepentingan) yang menurut Undang-Undang Bea Meterai (UU No 13
Tahun 1985 tentang Bea Meterai), menjadi obyek Bea Meterai. Atas setiap dokumen yang
menjadi objek Bea Meterai harus sudah dibubuhi benda meterai atau pelunasan Bea Meterai
dengan menggunakan cara lain sebelum dokumen itu digunakan.
Benda Meterai yang dimaksud diatas adalah Meterai tempel dan kertas Meterai yang
dikeluarkan oleh Pemerintah. Sedangkan tanda tangan yang dimaksud yaitu tanda tangan
sebagaimana lazimnya dipergunakan, termasuk pula paraf, teraan atau cap tanda tangan atau
cap paraf, teraan cap nama atau tanda lainnya sebagai pengganti tanda tangan.
Dokumen yang harus dikenakan Bea Meterai adalah dokumen yang menyatakan nilai
nominal sampai jumlah tertentu (Meterai Rp 6.000,- digunakan untuk dokumen yang memuat
jumlah uang lebih dari Rp 1.000.000,- dan Meterai Rp 3.000,- digunakan untuk dokumen yang
memuat jumlah uang Rp 250.000 – Rp 1.000.000,-), dokumen yang bersifat perdata dan
dokumen yang digunakan dimuka pengadilan. Secara Umum dokumen yang tidak dikenakan
Bea Meterai adalah dokumen yang berhubungan dengan transaksi intern perusahaan, berkaitan
dengan pembayaran pajak dan dokumen negara.
Rumusan Masalah
1. Apa pengertian PBB dan dasar hukumnya ?
2. Apa saja yang termasuk objek dan subjek PBB?
3. Bagaimana tarif dan tata cara perhitungan PBB?
4. Apa pengertian BPHTB dan dasar hukumnya ?
5. Apa saja yang termasuk objek pajak ?
6. Bagaimana cara perhitungan pajak ?
7. Apa pengartian Bea Materai dan dasar hukumnya ?
8. Apa saja objek Bea Materai
9. Berapa tarif Bea Materai ?
10. Apa saja ketentuan khusus dan sanksi Bea Materai ?
11. Bagaimana tata cara pelunasan Bea Materai ?
Tujuan
1. Menjelaskan apa itu PBB beserta dasar hukumnya
2. Mengetahui Objek dan Subjek PBB
3. Mengetahui besar tarif dan cara menghitung PBB
4. Menjelaskan apa itu BPHTB dan dasar hukumnya
5. Mengetahui Objek pajak
6. Mengetahui cara perhitungan pajak
7. Menjelaskan pengertian Bea Materai dan dasar hukumnya
8. Mengetahui apa saja yang termasuk Objek Bea Materai
9. Mengetahui tarif Bea Materai dan tata cara pelunasannya
10. Mengetahui ketentuan khusus dan sanksi Bea Materai
BAB II
PEMBAHASAN
Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) adalah Pajak Negara yang dikenakan terhadap bumi
dan atau bangunan berdasarkan Undang-undang nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan
Bangunan sebagaimana telah diubah dengan UndangUndang nomor 12 Tahun 1994.
PBB adalah pajak yang bersifat kebendaan dalam arti besarnya pajak terutang
ditentukan oleh keadaan objek yaitu bumi/tanah dan atau bangunan. Keadaan subjek (siapa
yang membayar) tidak ikut menentukan besarnya pajak.
Tarif pajak yang dikenakan atas obyek pajak adalah sebesar 0,5% dan jenis tarif ini
disebut sebagai Tarif tunggal yang berlaku terhadap obyek pajak jenis apapun di seluruh
wilayah Indonesia. Tarif efektif Pajak Bumi dan Bangunan adalah 0,1% untuk objek yang
Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) kurang dari 1 milyar dan 0,2% untuk objek yang Nilai Jual
Objek Pajak (NJOP) sama dan di atas 1 milyar.
Dasar perhitungan Pajak Bumi dan Bangunan adalah Nilai Jual Kena Pajak (NJKP).
Besarnya NJKP adalah :
a) Tuan Bonco seorang mahasiswa DIII perpajakan Unibraw pada tahun 2007 hanya
memiliki sebuah objek pajak berupa bumi di kawasan Soekarno-Hatta, Malang dan
diketahui Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) Bumi tersebut sebesar Rp. 10.000.000.
Berapakah Besar PBB yang terhutang pada tahun 2007 milik Tuan Bonco !
Jawab :
Karena besarnya NJOP kurang dari Rp. 12.000.000,- maka objek pajak tidak dikenakan
Pajak Bumi dan Bangunan.
b) Tuan Ponco seorang pengusaha terkenal memiliki 2 buah rumah pada tahun 2007, objek
pertama terletak di desa Wlingi, Blitar dan Objek kedua terletak di desa Bendo, Blitar.
Diketahui bahwa untuk objek pertama NJOP Bumi sebesar Rp. 8.000.000,- dam NJOP
Bangunan sebesar Rp. 7.500.000,-. Untuk Objek yang kedua diketahui NJOP bumi
sebesar Rp. 9.000.000,- dan NJOP Bangunan sebesar Rp. 6.000.000,-
Hitung PBB terhutang tahun 2007 Tuan Ponco atas kedua objek tersebut !
Jawab:
PBB Terhutang = Tarif (0,5%) x NJKP
NJKP = NJOP – NJOPTKP
Dimana :
NJOP = NJOP Bumi + NJOP Bangunan
NJOP Di desa Wlingi
NJOP Bumi = Rp. 8.000.000,-
NJOP Bangunan = Rp. 7.500.000,-
Total = Rp. 15.500.000,- (NJOP terbesar)
PBB Terhutang = Tarif x NJKP
= 0,5% x 20% x Rp. 18.500.000,-
= Rp. 18.500
II. BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN
Hak atas tanah adalah hak atas tanah termasuk hak pengelolaan, berserta bangunan di
atasnya sebagaimana dalam Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-Pokok Agraria, Undang-undang Nomor 16 tentang Rumah Susun dan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang lainnya.
Dasar pengenaan atas bea perolehan hak atas tanah dan bangunan dari nilai perolehan
objek pajak dengan besaran tarif sebesar 5% dari nilai perolehan objek pajak. Pada awalnya,
BPHTB dipungut oleh pemerintah pusat, tetapi sesuai dengan amanat Undang-undang Nomor
28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD), mulai 1 Januari 2011,
BPHTB dialihkan menjadi pajak daerah yang dipungut oleh pemerintah kabupaten/kota.
a) Bea perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah pajak yang dikenakan atas
perolehan hak atas tanah dan atau bangunan, yang selanjutnya disebut pajak.
b) Perolehan hak atas tanah dan atau bangunan adalah perbuatan atau peristiwa
hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan atau bangunan oleh
orang pribadi atau badan.
c) Hak atas tanah dan atau bangunan adalah hak atas tanah, termasuk hak
pengelolaan, beserta bangunan diatasnya, sebagaimana dimaksud dalam Undang-
undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria,
Undang-undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun, dan ketentuan
peraturan perundang-undangan lainnya.
d) Surat Tagihan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah surat untuk
melakukan tagihan pajak dan atau sanksi administrasi berupa bunga dan atau
denda.
e) Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar adalah
surat ketetapan yang menentukan besarnya jumlah pajak yang terutang, jumlah
kekurangan pembayaran pokok pajak, besarnya sanksi administrasi, dan jumlah
yang masih harus dibayar.
f) Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar
Tambahan adalah surat ketetapan yang menentukan tambahan atas jumlah pajak
yang telah ditetapkan.
g) Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Lebih Bayaradalah
surat ketetapan yang menentukan jumlah kelebihan pembayaran pajak karena
jumlah pajak yang telah dibayar lebih besar daripada pajak yang seharusnya
terutang.
h) Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Nihil adalah surat
ketetapan yang menentukan jumlah pajak yang terutang sama besarnya dengan
jumlah pajak yang dibayar.
i) Surat Setoran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah surat yang oleh
Wajib Pajak digunakan untuk melakukan pembayaran atau penyetoran pajak yang
terutang ke kas negara melalui Kantor Pos dan atau Bank Badan Usaha Milik Negara
atau Bank Badan Usaha Milik Daerah atau tempat pembayaran lain yang ditunjuk
oleh Menteri dan sekaligus untuk melaporkan data perolehan hak atas tanah dan
atau bangunan.
j) Surat Keputusan Pembetulan adalah surat keputusan untuk membetulkan kesalahan
tulis, kesalahan hitung dan atau kekeliruan dalam penerapan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan yang terdapat dalam Surat Ketetapan Bea
Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar, Surat Ketetapan Bea
Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar Tambahan, Surat Ketetapan
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Lebih Bayar, Surat Ketetapan Bea
Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Nihil, atau Surat Tagihan Bea Perolehan
Hak atas Tanah dan Bangunan.
k) Surat Keputusan Keberatan adalah surat keputusan atas keberatan terhadap Surat
Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar, Surat
Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar Tambahan,
Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Lebih Bayar, atau
Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Nihil yang diajukan
oleh Wajib Pajak.
l) Putusan Banding adalah putusan badan peradilan pajak atas banding terhadap
Surat Keputusan Keberatan yang diajukan oleh Wajib Pajak.
4. Objek Pajak
( Pasal 2 ayat (1) dan (2) UU No. 21 Tahun 1997 jo. UU No.20 Tahun 2000 )
Yang menjadi objek pajak adalah perolehan hak atas tanah dan atau bangunan.
Perolehan hak atas tanah dan atau bangunan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi :
a) Pemindahan Hak
Jual beli
Tukar Menukar
Hibah
Hibah Wasiat, adalah suatu penetapan wasiat yang khusus mengenai pemberian
hak atas tanah dan atau bangunan kepada orang pribadi atau badan hukum
tertentu, yang berlaku setelah pemberi hibah wasiat meninggal dunia.
Waris
Pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya, adalah pengalihan hak
atas tanah dan atau bangunan dari orang pribadi atau badan kepada Perseroan
Terbatas atau badan hukum lainnya sebagai penyertaan modal pada Perseroan
Terbatas atau badan hukum lainnya tersebut.
Pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan, adalah pemindahan sebagian hak
bersama atas tanah dan atau bangunan oleh orang pribadi atau badan kepada
sesama pemegang hak bersama.penunjukan pembeli dalam lelang;
Penunjukan pembeli dalam lelang, adalah penetapan pemenang lelang oleh
Pejabat Lelang sebagaimana yang tercantum dalam Risalah Lelang.
Pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap, sebagai
pelaksanaan dari putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum yang
tetap, terjadi peralihan hak dari orang pribadi atau badan hukum sebagai salah
satu pihak kepada pihak yang ditentukan dalam putusan hakim tersebut.
Penggabungan usaha adalah penggabungan dari dua badan usaha atau lebih
dengan cara tetap mempertahankan berdirinya salah satu badan usaha dan
melikuidasi badan usaha lainnya yang menggabung.
Peleburan usaha adalah penggabungan dari dua atau lebih badan usaha dengan
cara mendirikan badan usaha baru dan melikuidasi badan-badan usaha yang
bergabung tersebut.
Pemekaran usaha adalah pemisahan suatu badan usaha menjadi dua badan
usaha atau lebih dengan cara mendirikan badan usaha baru dan mengalihkan
sebagian aktiva dan pasiva kepada badan usaha baru tersebut yang dilakukan
tanpa melikuidasi badan usaha yang lama.
Hadiah adalah suatu perbuatan hukum berupa penyerahan hak atas tanah dan
atau bangunan yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan hukum kepada
penerima hadiah.
5. Tarif Pajak
( Pasal 5 UU No. 21 Tahun 1997 jo. UU No.20 Tahun 2000 )
Tarif pajak yang dikenakan atas objek BPHTB adalah sebesar 5 % (lima persen).
6. Dasar Pengenaan Pajak
( Pasal 6 UU No. 21 Tahun 1997 jo. UU No.20 Tahun 2000 )
Yang menjadi Dasar Pengenaan BPHTB adalah Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP),
yaitu dalam hal :
a) Jual beli adalah harga transaksi;
b) Tukar-menukar adalah nilai pasar;
c) Hibah adalah nilai pasar;
d) Hibah wasiat adalah nilai pasar;
e) Waris adalah nilai pasar;
f) Pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya adalah nilai pasar;
g) Pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan adalah nilai pasar;
h) Peralihan hak karena pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan
hukum tetap adalah nilai pasar;
i) Pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak adalah nilai
pasar;
j) Pemberian hak baru atas tanah diluar pelepasan hak adalah nilai pasar;
k) Penggabungan usaha adalah nilai pasar;
l) Peleburan usaha adalah nilai pasar;
m) Pemekaran usaha adalah nilai pasar;
n) Hadiah adalah nilai pasar;
o) Penunjukan pembeli dalam lelang adalah harga transaksi yang tercantum dalam
Risalah Lelang.
Apabila Nilai Perolehan Objek Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf a
sampai dengan n tidak diketahui atau lebih rendah daripada Nilai Jual Objek Pajak yang
digunakan dalam pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan pada tahun terjadinya perolehan, dasar
pengenaan pajak yang dipakai adalah Nilai Jual Objek Pajak Pajak Bumi dan Bangunan.
a) Nilai Pasar
( Pasal 6 UU No. 21 Tahun 1997 jo. UU No.20 Tahun 2000 )
Yang dimaksud dengan nilai pasar adalah harga rata-rata dari transaksi jual beli secara
wajar yang terjadi di sekitar letak tanah dan atau bangunan.
Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan secara regional paling banyak
Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah), kecuali dalam hal perolehan hak karena waris, atau
hibah wasiat yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam
garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah
wasiat, termasuk suami/istri, Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan secara
regional paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
Yang dimaksud dengan Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan secara
regional adalah penetapan Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak untuk masing-masing
Kabupaten/Kota.
Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak atas nama Menteri Keuangan,
menetapkan besarnya Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak secara regional dengan
ketentuan:
a) untuk perolehan hak karena waris, atau hibah wasiat yang diterima orang pribadi yang
masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke
atas atau satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat, termasuk suami/istri,
ditetapkan paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah);
b) untuk perolehan hak Rumah Sederhana Sehat (RSH) sebagaimana diatur dalam
Peraturan Menteri Negara Perumahan Rakyat Nomor 03/PERMEN/M/2007 tentang
Pengadaan Perumahan dan Permukiman Dengan Dukungan Fasilitas Subsidi
Perumahan Melalui KPR Bersubsidi, dan Rumah Susun Sederhana sebagaimana diatur
dalam Peraturan Menteri Negara Perumahan Rakyat Nomor 7/PERMEN/M/2007
tentang Pengadaan Perumahan dan Permukiman Dengan Dukungan Fasilitas Subsidi
Perumahan Melalui KPR Sarusun Bersubsidi, ditetapkan sebesar Rp 49.000.000,00
(empat puluh sembilan juta rupiah);
c) untuk perolehan hak baru melalui program pemerintah yang diterima pelaku usaha
kecil atau mikro dalam rangka Program Peningkatan Sertifikasi Tanah untuk
Memperkuat Penjaminan Kredit bagi Usaha Mikro dan Kecil, ditetapkan sebesar Rp
10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah);
d) untuk perolehan hak selain perolehan hak sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b,
dan huruf c, ditetapkan paling banyak Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah);
e) dalam hal Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak yang ditetapkan sebagaimana
dimaksud pada huruf d lebih besar daripada Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena
Pajak yang ditetapkan sebagaimana dimaksud pada huruf b, maka Nilai Perolehan Objek
Pajak Tidak Kena Pajak untuk perolehan hak sebagaimana dimaksud pada huruf b
ditetapkan sama dengan Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak sebagaimana
ditetapkan pada huruf d;
f) dalam hal Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak yang ditetapkan sebagaimana
dimaksud pada huruf d lebih besar daripada Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena
Pajak yang ditetapkan sebagaimana dimaksud pada huruf c, maka Nilai Perolehan Objek
Pajak Tidak Kena Pajak untuk perolehan hak sebagaimana dimaksud pada huruf c
ditetapkan sama dengan Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak sebagaimana
ditetapkan pada huruf d."
9. Penghitungan Pajak
( Pasal 8 UU No. 21 Tahun 1997 jo. UU No.20 Tahun 2000 )
Secara umum besarnya BPHTB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif
pajak dengan Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak (NPOPKP) yang diperoleh dari Nilai
Perolehan Objek Pajak (NPOP) dikurangi dengan Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak
(NPOPTKP), atau lebih lengkapnya sebagaimana diuraikan pada rumus dibawah ini:
Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP) xxxx
2. Dasar Hukum
a) Undang-undang Nomor 13 Tahun 1985 tentang Bea Meterai
b) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perubahan Tarif Bea Meterai dan
Besarnya Batas Pengenaan Harga Nominal Yang Dikenakan Bea Meterai.
c) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 90/PMK.03/2005 tentang Perubahan Atas
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 15/PMK.03/2005 Tentang Bentuk, Ukuran, Warna,
Dan Desain Meterai Tempel Tahun 2005
d) Keputusan Menteri Keuangan Nomor 133b/KMK.04/2000 tentang Pelunasan Bea
Meterai dengan Menggunakan Cara Lain.
e) Keputusan Dirjen Pajak Nomor KEP-122b/PJ./2000 tentang Tatacara Pelunasan Bea
Meterai dengan membubuhkan Tanda Bea Meterai Lunas dengan Mesin Teraan.
f) Keputusan Dirjen Pajak Nomor KEP-122c/PJ./2000 tentang Tatacara Pelunasan Bea
Meterai dengan membubuhkan Tanda Bea Meterai dengan Teknologi Percetakan.
g) Keputusan Dirjen Pajak Nomor KEP-122d/PJ./2000 tentang Tatacara Pelunasan Bea
Meterai dengan membubuhkan Tanda Bea Meterai dengan Sistem Komputerisasi.
h) Keputusan Menteri Keuangan Nomor 476/KMK.03/2002 tentang Pelunasan Bea
Meterai dengan Cara Pemeteraian Kemudian.
i) Keputusan Dirjen Pajak Nomor KEP-02/PJ./2003 tentang Tatacara Pemeteraian
Kemudian.
j) Surat Edaran Nomor 29/PJ.5/2000 tentang Dokumen Perbankan yang dikenakan Bea
Meterai.
3. Karakteristik
Meliputi :
a) Bea meterai tidak diperlukan nomor identitas baik untuk wajib pajak maupun obyek
pajak.
b) Pembayaran bea meterai terjadi terlebih dahulu daripada saat terutang.
c) Waktu pembayaran dapat dilakukan secara isidentil dan tidak terikat waktu
4. Istialah – Istilah
a) Dokumen adalah kertas yang berisikan tulisan yang mengandung arti dan maksud
tentang perbuatan, keadaan atau kenyataan bagi seseorang dan atau pihak-pihak
lain yang berkepentingan.
b) Benda Meterai adalah Meterai tempel dan Kertas Meterai yang dikeluarkan oleh
Pemerintah Republik Indonesia.
c) Tanda tangan adalah tanda tangan sebagaimana lazimnya dipergunakan, termasuk
pula paraf, teraan atau cap tanda tangan atau cap paraf, teraan cap nama atau
tanda lainnya sebagai pengganti tanda tangan.
Pemeteraian kemudian adalah suatu cara pelunasan Bea Meterai yang dilakukan
oleh Pejabat Pos atas permintaan pemegang dokumen yang Bea Meterainya belum
dilunasi sebagaimana mestinya.
d) Pejabat pos adalah pejabat PT Pos dan Giro yang diserahi tugas melayani
permintaan pemeteraian kemudian.
okumen yang dibuat oleh satu pihak adalah pada saat dokumen itu diserahkan;
Dokumen yang dibuat oleh lebih dan satu pihak adalah pada saat selesainya
dokumen dibuat;
Dokumen yang dibuat di luar negeri adalah pada saat digunakan di Indonesia,
Jika isi dokumen yang dikenakan Bea Meterai terlalu panjang untuk dimuat
seluruhnya di atas Kertas Meterai yang digunakan, maka untuk bagian isi yang
masih tertinggal dapat digunakan kertas tidak bermeterai.
Jika sehelai Kertas Meterai karena sesuatu hal tidak jadi digunakan dan dalam
hal ini belum ditandatangani oleh yang berkepentingan, sedangkan dalam Kertas
Meterai telah terlanjur ditulis dengan beberapa kata/kalimat yang belum
merupakan suatu dokumen yang selesai dan kemudian tulisan yang ada pada
Kertas Meterai tersebut dicoret dan dimuat tulisan atau keterangan baru, maka
Kertas Meterai yang demikian dapat digunakan dan tidak Perlu dibubuhi
meterai lagi.
Apabila ketentuan sebagaimana dimaksud di atas tidak dipenuhi, dokumen yang
bersangkutan dianggap tidak bermeterai.
e) Pelunasan dengan Membubuhkan Tanda Bea Meterai Lunas dengan Mesin
Teraan.
Pelunasan dengan cara membubuhkan tanda Bea Meterai Lunas dengan Mesin Teraan
memerlukan beberapa syarat sebagai berikut:
a) Pelunasan Bea Meterai dengan mesin teraan meterai hanya diperkenankan
kepada penerbit dokumen yang melakukan pemeteraian dengan jumlah rata-
rata setiap hari minimal sebanyak 50 dokumen.
b) Penerbit dokumen yang akan melakukan pelunasan Bea Meterai dengan mesin
teraan meterai harus melakukan prosedur sebagai berikut:
Mengajukan permohonan ijin secara tertulis kepada Kepala Kantor
Pelayanan Pajak setempat dengan mencantumkan jenis/merk dan tahun
pembuatan mesin teraan meterai yang akan digunakan, serta melampirkan
surat pernyataan tentang jumlah rata-rata dokumen yang harus dilunasi Bea
Meterai setiap hari.
Melakukan penyetoran Bea Meterai di muka minimal sebesar Rp
15.000.000,- (lima belas juta rupiah) dengan menggunakan Surat Setoran
Pajak Ke Kas Negara melalui Bank Persepsi.
Menyampaikan laporan bulanan penggunaan mesin teraan meterai kepada
Kepala Kantor Pelayanan Pajak setempat paling lambat tanggal 15 setiap
bulan.
Ijin penggunaan mesin teraan meterai berlaku selama 2 (dua) tahun sejak
tanggal ditetapkannya, dan dapat diperpanjang selama memenuhi
persyaratan.
a) Sanksi administrasi
Sanksi ini dikenakan apabila terjadinya pelanggaran yang mengakibatkan Bea Meterai yang
harus dilunasi kurang bayar.
Dokumen mestinya dikenakan denda administrasi sebesar 200% (dua ratus
persen) dari Bea Meterai yang tidak atau kurang dibayar sebagaimana yang
dimaksud dalam objek Bea Meterai tidak atau kurang dilunasi sebagaimana.
Pemegang dokumen atas dokumen sebagaimana dimaksud dalam huruf (a)
harus melunasi Bea Meterai terutang berikut dendanya dengan cara
pemeteraian kemudian.
b) Daluwarsa
Kewajiban pemenuhan Bea Meterai dan denda administrasi yang terutang menurut
Undang-Undang Bea Meterai, daluwarsa setelah lampau waktu 5 tahun, terhitung sejak tanggal
dokumen dibuat.
c) Ketentuan Pidana
Dipidana sesuai dengan ketentuan dalam KUHP:
Barang siapa meniru atau memalsukan meterai tempel kertas meterai atau
meniru dan memalsukan tanda tangan yang perlu untuk mensahkan meterai;
Barang siapa dengan sengaja menyimpan dengan maksud untuk diedarkan atau
memasukkan ke Negara Indonesia meterai palsu, yang dipalsukan atau yang
dibuat dengan melawan hak;
Barang siapa dengan sengaja menggunakan, menjual, menawarkan
menyerahkan, menyediakan untuk dijual atau dimasukkan ke Negara Indonesia
meterai yang mereknya, capnya, tanda tangannya, tanda sahnya atau tanda
waktunya mempergunakan telah dihilangkan seolah-olah meterai itu belum
dipakai dana atau menyuruh orang lain menggunakannya dengan melawan
haknya;
Barang siapa menyimpan bahan-bahan atau perkakas-perkakas yang
diketahuinya digunakan untuk melakukan salah satu kejahatan untuk meniru
dan memalsukan benda meterai;
Barang siapa dengan sengaja menggunakan cara lain (sesuai Pasal 7 UU Bea
Meterai dipidana penjara selama-lamanya 7 tahun dan tindak pidana ini adalah
bentuk kejahatan).
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), adalah salah satu pajak yang dikelola oleh Direktorat
Jenderal Pajak (DJP) selain Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Bea
Meterai (BM) dan Bea Perolehan Hak Tas Tanah dan/atau Bangunan (BPHTB). PBB adalah
termasuk jenis pajak objektif, di mana yang lebih ditekankan dalam pengenaan pajak ini adalah
pada objeknya. Hal ini bisa kita lihat dari susunan pasal dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun
1985 dan perubahannya yang menempatkan pasal tentang objek pajak lebih dahulu daripada
subjeknya.
Banyak hal yang harus diketahui tentang PBB dan peraturannya pun terus berkembang
sehingga kita harus selalu mencari informasi terbaru tentang perpajakan.
Pajak BPHTB adalah sumber penting dalam pendapatan negara terutama untuk daerah. Karena
hanya sebagian kecil yaitu 20 persen untuk pusat dan 80 persennya merupakan bagian dari
daerah. Sehingga dibutuhkan sinergi antara pemerintah dengan masyarakat dalam menjaga
konsistensi dalam pembangunan. Demi mendapatkan hasil yang maksimal atas pajak BPHTB.
Memberikan konsekuensi kepada pemerintah untuk memberikan stimulan dan insentif kepada
pengembang perumahan maupun masyarakat miskin agar program pembangunan perumahan
bisa terwujud. Sebagai salah satu upaya dalam pembanguna atas pajak BPHTB. Sedangkan di
bidang hak atas tanah maka perizinan atas tanah serta pembangunan semestinya tidak melalui
administrasi yang berbelit-belit agar tidak mejadi maslah baru dalam penyelesaian masalah
BPHTB saat ini. Terjadinya pengurangan bantuan dari pemerintah pusat kedaerah juga tidak
sepenuhnya menjadi masalah dan pugas pemerinth dalam penyelesaiannya. Masyarakat juga
memiliki tanggung jawab untuk menyelesaikannya.
Bea Meterai merupakan pajak yang dikenakan terhadap dokumen yang menurut
Undang-undang Bea Meterai menjadi objek Bea Meterai. Bea materai digunakan untuk
dokumen-dokumen yang berhubungan dengan penerimaan uang, ataupun untuk surat-surat
berharga yang penggunaannya telah diatur oleh menteri keuangan, adapun jenisnya berupa
materai tempel dengan nominal Rp. 3.000,00 dan Rp. 6.000,00 maupun materai kertas yang
biasanya digunakan untuk surat berharga seperti surat tanda tamat belajar maupun akta
tanah.Penggunaan bea materai dalam dokumen-dokumen tersebut adalah sebagai alat
pengesahan dokumen tersebut.
Daftar Pustaka
http://rasmankhan.blogspot.co.id/2016/03/makalah-pajak-bumi-dan-bangunan-
pbb.html
http://dessyazka.blogspot.co.id/2015/06/perpajakan-bea-meterai-bphtb.html
http://royanmakalah.blogspot.co.id/2013/01/pajak-bumi-dan-bangunan.html