Anda di halaman 1dari 25

Kata Pengantar

Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan rahmat-
Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan makalah pada mata
kuliah Perpajakan dengan judul Menerapkan Pajak Bumi (PBB) dan Bea Perolehan Hak
Atas Tanah Dan Bangunan (BPHTB) dan Bea Materai. Makalah ini disusun sebagai syarat
untuk menyelesaikan tugas semester pada Mata Kuliah Perpajakan.

Makalah ini dapat diselesaikan, atas dorongan dan bimbingan serta petunjuk dari berbagai pihak, baik
materi maupun teknik penyusunannya. Terimakasih yang tak terhingga kepada , sebagai
pemangkuMata Kuliah Perpajakan.

Penulis menyadari bahwa didalam penulisan makalah ini masih banyak terdapat kekurangan.
Oleh karena itu, segala kritik maupun saran dari semua pihak akan penulis terima dengan
senang hati.

Akhir kata, semoga apa yang telah diberikan kepada penulis dan segala bantuan serta jasa, akan
mendapatkan balasan dari Tuhan Yang Maha Esa dansemoga makalah ini dapat bermanfaat bagi
pembaca.

Sei Rampah, Juni 2016


Daftar Isi

Kata Pengantar ...........................................


Daftar Isi ...........................................
BAB I PENDAHULUAN
Latar Belakang ...........................................
BAB II PEMBAHASAN
I. PAJAK BUMI DAN BANGUNAN (PBB)
1. Pengertian Pajak Bumi dan Bangunan ...........................................
2. Dasar Hukum Pajak Bumi dan Bangunan ...........................................
3. Istilah Penting Dalam Undang – Undang PBB ...........................................
4. Objek Pajak Bumi & Bangunan ...........................................
5. Objek Pajak Bumi & Bangunan yang Di Kecualikan ............................................
6. Subjek Pajak Bumi dan Bangunan ............................................  
7. Dasar Pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan ............................................  
8. Tarif Pajak Bumi dan Bangunan ............................................  
9. Dasar Perhitungan Pajak Bumi dan Bangunan ............................................  
10. Rumus Perhitungan Pajak Bumi dan Bangunan ............................ ...............  
II. BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN
1. Pengertian Bea Perolehan
Hak Atas Tanah Dan Bangunan .........................................
2. Dasar Hukum .........................................
3. Istilah Penting dalam UU BPHTB .........................................
4. Objek Pajak .........................................
a) Pemindahan Hak .........................................
b) Pemberian hak baru .........................................
c) Hak atas Tanah .........................................
5. Tarif Pajak .........................................
6. Dasar Pengenaan Pajak .........................................
a) Nilai Pasar
7. Nilai Perolehan Objek Pajak
Yang Tidak Kena Pajak (NPOPTKP) ........................................
8. Tata Cara untuk menentukan besarnya NPOPTKP ........................................
9. Penghitungan Pajak ........................................

III. BEA MATERAI


1. Pengertian Bea Meterai ........................................
2. Dasar Hukum ........................................
3. Karakteristik ........................................
4. Istialah – Istilah ........................................
5. Objek Bea Meterai .......................................
6. Tidak Dikenakan Bea  Meterai .......................................
7. Tata Cara Pelunasan Bea Meterai .......................................
a) Saat Terutang. .......................................
b) Cara Pelunasan Bea Meterai .......................................
c) Pelunasan Bea Meterai dengan
Menggunakan Meterai Tempel. ......................................
d) Pelunasan Bea Meterai dengan
Menggunakan Kertas Meterai. ......................................
e) Pelunasan dengan Membubuhkan Tanda Bea
Meterai Lunas dengan Mesin Teraan. .....................................
f) Pelunasan dengan Membubuhkan Tanda Bea
Meterai Lunas dengan Sistem Komputerisasi. ................................
g) Tata Cara Pelunasan Bea Meterai
Dengan Teknologi Percetakan. .....................................
8. Tarif Bea Meterai. .....................................................
9. Ketentuan Khusus dan Sanksi. ....................................................
a) Ketentuan Khusus ....................................................
b) Sanksi administrasi ....................................................
c) Daluwarsa ....................................................
d) Ketentuan Pidana ....................................................
BAB II
PENUTUP ....................................................
KESIMPULAN ...................................................
DAFTAR PUSTAKA ...................................................
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang

Pajak menurut Pasal 1 angka 1 UU No 6 Tahun 1983 sebagaimana telah disempurnakan


terakhir dengan UU No.28 Tahun 2007 tentang Ketentuan umum dan tata cara perpajakan
adalah "kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang
bersifat memaksa berdasarkan Undang Undang, dengan tidak mendapat timbal balik secara
langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Mengisyaratkan bahwa diperlukan adanya pembaruan sistem perpajakan guna  meningkatkan
kemampuan negara dan masyarakat untuk membiayai pembangunan yang berasal dari sumber-
sumber dalam negeri, karena semakin meningkatnya penerimaan  yang bersumber dari dalam
negeri akan semakin meningkat pula kemandirian dalam pembiayaan pelaksanaan
pembangunan.
Pajak bumi dan bangunan (PBB) adalah pajak yang dipungut atas tanah dan bangunan
karena adanya keuntungan dan/atau kedudukan sosial ekonomi yang lebih baik bagi orang atau
badan yang mempunyai suatu hak atasnya atau memperoleh manfaat dari padanya. Dasar
pengenaan pajak dalam PBB adalah Nilai Jual Objek Pajak (NJOP). NJOP ditentukan berdasarkan
harga pasar per wilayah dan ditetapkan setiap tahun oleh menteri keuangan.
Tanah dan bangunan merupakan hak yang diperoleh oleh setiap orang, tetapi selain hak
kita juga mempunyai kewajiban atas tanah dan bangunan tersebut. Kewajiban tersebut berupa
pajak. Pajak yang dikenakan terhadap tanah dan bangunan ini dinamakan Bea Perolehan Hak
atas Tanah dan Bangunan (BPHTB).
Pajak yang dikenakan atas tanah dan bangunan ini atau BPHTB ini bersifat wajib bagi
wajib pajak yang mempunyai tanah dan bangunan. Mengenai ini  sudah ditetapkan dlam UU No.
20 Tahun 2002 dan juga terdapaat pada Keputusan Mentri Keuangan No.516/KMK04/2004

Bea Meterai adalah pajak yang dikenakan atas dokumen (kertas yang berisikan tulisan
yang mengandung arti dan maksud tentang perbuatan, keadaan, atau kenyataan bagi seseorang
dan atau pihak yang berkepentingan) yang menurut Undang-Undang Bea Meterai (UU No 13
Tahun 1985 tentang Bea Meterai), menjadi obyek Bea Meterai. Atas setiap dokumen yang
menjadi objek Bea Meterai harus sudah dibubuhi benda meterai atau pelunasan Bea Meterai
dengan menggunakan cara lain sebelum dokumen itu digunakan.
Benda Meterai yang dimaksud diatas adalah Meterai tempel dan kertas Meterai yang
dikeluarkan oleh Pemerintah. Sedangkan tanda tangan yang dimaksud yaitu tanda tangan
sebagaimana lazimnya dipergunakan, termasuk pula paraf, teraan atau cap tanda tangan atau
cap paraf, teraan cap nama atau tanda lainnya sebagai pengganti tanda tangan.
Dokumen yang harus dikenakan Bea Meterai adalah dokumen yang menyatakan nilai
nominal sampai jumlah tertentu (Meterai Rp 6.000,- digunakan untuk dokumen yang memuat
jumlah uang lebih dari Rp 1.000.000,- dan Meterai Rp 3.000,- digunakan untuk dokumen yang
memuat jumlah uang Rp 250.000 – Rp 1.000.000,-), dokumen yang bersifat perdata dan
dokumen yang digunakan dimuka pengadilan. Secara Umum dokumen yang tidak dikenakan
Bea Meterai adalah dokumen yang berhubungan dengan transaksi intern perusahaan, berkaitan
dengan pembayaran pajak dan dokumen negara.
Rumusan Masalah
1. Apa pengertian PBB dan dasar hukumnya ?
2. Apa saja yang termasuk objek dan subjek PBB?
3. Bagaimana tarif dan tata cara  perhitungan PBB?
4. Apa pengertian BPHTB dan dasar hukumnya ?
5. Apa saja yang termasuk objek pajak ?
6. Bagaimana cara perhitungan pajak ?
7. Apa pengartian Bea Materai dan dasar hukumnya ?
8. Apa saja objek Bea Materai
9. Berapa tarif Bea Materai ?
10. Apa saja ketentuan khusus dan sanksi Bea Materai ?
11. Bagaimana tata cara pelunasan Bea Materai ?

Tujuan
1. Menjelaskan apa itu PBB beserta dasar hukumnya
2. Mengetahui Objek dan Subjek PBB
3. Mengetahui besar tarif dan cara menghitung PBB
4. Menjelaskan apa itu BPHTB dan dasar hukumnya
5. Mengetahui Objek pajak
6. Mengetahui cara perhitungan pajak
7. Menjelaskan pengertian Bea Materai dan dasar hukumnya
8. Mengetahui apa saja yang termasuk Objek Bea Materai
9. Mengetahui tarif Bea Materai dan tata cara pelunasannya
10. Mengetahui ketentuan khusus dan sanksi Bea Materai
BAB II

PEMBAHASAN

I. PAJAK BUMI DAN BANGUNAN


1. Pengertian Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)

Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) adalah Pajak Negara yang dikenakan terhadap bumi
dan atau bangunan berdasarkan Undang-undang nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan
Bangunan sebagaimana telah diubah dengan UndangUndang nomor 12 Tahun 1994.
PBB adalah pajak yang bersifat kebendaan dalam arti besarnya pajak terutang
ditentukan oleh keadaan objek yaitu bumi/tanah dan atau bangunan. Keadaan subjek (siapa
yang membayar) tidak ikut menentukan besarnya pajak.

2. Dasar Hukum Pajak Bumi dan Bangunan


Dasar hukum pajak bumi dan bangunan adalah :
a) UU No. 12 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU No. 12 Tahun
1994 Tentang Pajak Bumi dan Bangunan.
b) KMK No.201/KMK.04/2000 Tentang Penyesuaian Besarnya Nilai Jual Objek Pajak Tidak
Kena Pajak Sebagai Dasar Penghitungan Pajak Bumi dan Bangunan.
c) KMK No. 523/KMK.04/1998 Tentang Penentuan Klasifikasi dan Besarnya Nilai Jual
Objek Pajak Sebagai Dasar Pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan.
d) KMK No. 1004/KMK.04/1985 Tentang Penentuan Badan atau Perwakilan Organisasi
Internasional yang Menggunakan Objek Pajak Bumi dan Bangunan Yang Tidak
Dikenakan Pajak Bumi dan Bangunan.
e) Kep Dirjen Pajak Nomor: KEP-251/PJ./2000 Tentang Tata Cara Penetapan Besarnya
Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak Sebagai Dasar Penghitungan Pajak Bumi dan
Bangunan.
f) Kep Dirjen Pajak Nomor: KEP-16/PJ.6/1998 Tentang Pengenaan Pajak Bumi dan
Bangunan.Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor: SE-43/PJ.6/2003 Tentang Penyesuaian
Besarnya Nilai Jual Objek Pajak Tidak
g) Kena Pajak (NJOPTKP) PBB dan Perubahan Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena
Pajak (NPOPTKP) BPHTB Untuk Tahun Pajak 2004.
h) Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor: SE-57/PJ.6/1994 Tentang Penegasan dan Penjelasan
Pembebasan PBB atas Fasilitas Umum dan Sarana Sosial Untuk Kawasan Industri dan
Real Estate.

3. Istilah Penting Dalam Undang-Undang PBB


Istilah penting dalam undang-undang PBB adalah :
a) Bumi adalah permukaan bumi dan tubuh bumi yang ada dibawahnya;
b) Bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada
tanah dan/atau perairan;
c) Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP) adalah harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual
beli yang terjadi secara wajar, dan bilamana tidak terdapat transaksi jual beli, Nilai Jual
Obyek Pajak ditentukan melalui perbandingan harga dengan obyek lain yang sejenis,
atau nilai perolehan baru, atau Nilai Jual Obyek Pajak Pengganti;
d) Surat Pemberitahuan Obyek Pajak adalah surat yang digunakan oleh wajib pajak untuk
melaporkan data obyek pajak menurut ketentuan undang-undang ini;
e) Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang adalah surat yang digunakan oleh Direktorat
Jenderal Pajak untuk memberitahukan besarnya pajak terhutang kepada wajib pajak.

4. Objek Pajak Bumi dan Bangunan


 Yang menjadi objek pajak adalah :
o Bumi adalah permukaan bumi dan tubuh bumi yang ada di bawahnya.
o Bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara
tetap pada tanah dan/atau perairan.
 Yang termasuk pengertian bangunan adalah :
o Jalan lingkungan yang terletak dalam suatu kompleks bangunan seperti
hotel, pabrik, dan emplasemennya dan lain-lain yang merupakan satu
kesatuan dengan kompleks bangunan tersebut;
o Jalan TOL;
o Kolam renang;
o Pagar mewah;
o Tempat olah raga;
o Galangan kapal, dermaga;
o Taman mewah

5. Objek Pajak Bumi Dan Bangunan yang Di Kecualikan


Obyek yang dikecualikan adalah   :
a) Digunakan semata –mata untuk melayani kepentingan umum dibidang ibadah, sosial,
pendidikan dan kebudayaan nasional yang tidak di maksudkan untuk memperoleh
keuntungan, seperti; masjid, rumah sakit, sekolah, panti asuhan, candi, dan lain-lain.
b) Digunakan untuk kuburan,
c) Digunakan sebagai tempat penyimpanan peninggalan purbakala.
d) Merupakan hutan lindung, suaka alam, hutan wisata, taman nasional, dan lain-lain.
e) Dimiliki oleh Perwakilan Diplomatik berdasarkan asas timbal balik dan Organisasi
Internasional yang ditentuikan oleh Menteri Keuangan

6. Subjek Pajak Bumi dan Bangunan


Yang menjadi subjek PBB adalah orang atau badan yang secara nyata :
a) mempunyai hak atas bumi/tanah, dan/atau;
b) memperoleh manfaat atas bumi/tanah dan/atau;
c) memiliki, menguasai atas bangunan dan/atau;
d) memperoleh manfaat atas bangunan.

7. Dasar Pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan


Dasar pengenaan pajak bumi dan bangunan adalah :
a) Adanya Nilai  Jual Objek Pajak (NJOP) Adalah harga rata-rata yang diperoleh dari
transaksi jual beli yang terjadi secara wajar, dan bilamana tidak terdapat transaksi jual
beli, NJOP ditentukan melalui perbandingan harga dengan obyek lain yang sejenis, atau
niali perolehan baru atau nilai objek pajak pengganti.
b) Besarnya Nilai Jual Objek Pajak ditetapkan oleh Menteri Keuangan setiap 3 tahun sekali,
kecuali untuk daerah tertentu ditetapkan setiap tahun dengan perkembangan
daerahnya.
c) Dasar perhitungan pajak adalah Nilai Jual Kena Pajak yang ditetapkan serendah-
rendahnya 20% dan setinggi-tingginya 100% dari Nilai Jual Kena Pajak.
d)  Besarnya persentase Nilai jual Kena Pajak ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah
dengan memperhatikan kondisi ekonomi nasional.

8. Tarif Pajak Bumi dan Bangunan

Tarif pajak yang dikenakan atas obyek pajak adalah sebesar 0,5% dan jenis tarif ini
disebut sebagai Tarif tunggal yang berlaku terhadap obyek pajak jenis apapun di seluruh
wilayah Indonesia. Tarif efektif Pajak Bumi dan Bangunan adalah 0,1% untuk objek yang
Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) kurang dari 1 milyar dan 0,2% untuk objek yang Nilai Jual
Objek Pajak (NJOP) sama dan di atas 1 milyar.

9. Dasar perhitungan Pajak Bumi dan Bangunan

Dasar perhitungan Pajak Bumi dan Bangunan adalah Nilai Jual Kena Pajak (NJKP).
Besarnya NJKP adalah :

a) Objek pajak perkebunan adalah 40%


b) Objek pajak kehutanan adalah 40%
c) Objek pajak pertambangan adalah 20%
d) Apabila NJOPnya < Rp. 1000.000.000,- adalah 40%
e)  Apabila NJOPnya > Rp. 1000.000.000,- adalah 20%

10. Rumus Perhitungan Pajak Bumi dan Bangunan

Rumus perhitungan Pajak Bumi dan Bangunan = Tarif x NJKP


Contoh :
a) Jika NJKP = 40% x (NJOP – NJOPTKP)
maka besarnya Pajak Bumi dan Bangunan
NJKP = 0,5% x 40% x (NJOP – NJOPTKP)
= 0,2% x (NJOP – NJOPTKP)
b) Jika NJKP = 20% x (NJOP – NJOPTKP)
maka besarnya Pajak Bumi dan Bangunan
NJKP = 0,5% x 20% x (NJOP – NJOPTKP)
= 0,1% x (NJOP – NJOPTKP)

Contoh perhitungan Pajak Bumi dan Bangunan

a) Tuan Bonco seorang mahasiswa DIII perpajakan Unibraw pada tahun 2007 hanya
memiliki sebuah objek pajak berupa bumi di kawasan Soekarno-Hatta, Malang dan
diketahui Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) Bumi tersebut sebesar Rp. 10.000.000.
Berapakah Besar PBB yang terhutang pada tahun 2007 milik Tuan Bonco !

Jawab :
Karena besarnya NJOP kurang dari Rp. 12.000.000,- maka objek pajak tidak dikenakan
Pajak Bumi dan Bangunan.
b) Tuan Ponco seorang pengusaha terkenal memiliki 2 buah rumah pada tahun 2007, objek
pertama terletak di desa Wlingi, Blitar dan Objek kedua terletak di desa Bendo, Blitar.
Diketahui bahwa untuk objek pertama NJOP Bumi sebesar Rp. 8.000.000,- dam NJOP
Bangunan sebesar Rp. 7.500.000,-. Untuk Objek yang kedua diketahui NJOP bumi
sebesar Rp. 9.000.000,- dan NJOP Bangunan sebesar Rp. 6.000.000,-
Hitung PBB terhutang tahun 2007 Tuan Ponco atas kedua objek tersebut !
Jawab:
 PBB Terhutang  = Tarif (0,5%) x NJKP
 NJKP = NJOP – NJOPTKP
 Dimana :
NJOP = NJOP Bumi + NJOP Bangunan
NJOP Di desa Wlingi
NJOP Bumi =  Rp.    8.000.000,-
NJOP Bangunan =  Rp.    7.500.000,-
Total                     =  Rp. 15.500.000,-    (NJOP terbesar)

NJOP di desa Bendo


NJOP Bumi         =   Rp.   9.000.000,-
NJOP Bangunan =   Rp.   6.000.000,-
Total                        =  Rp. 15.000.000,-

NJOP Desa Wlingi


NJOP Bumi =   Rp.    8.000.000,-
NJOP Bangunan =   Rp.    7.500.000,-
NJOP dasar pengenaan PBB = Rp. 15.500.000,- (NJOP Terbesar)
NJOP = Rp. 12.000.000 –
NJOP Perhitungan PBB = Rp.   3.500.000,-

NJOP Desa Bendo


NJOP Bumi =   Rp.   9.000.000,-
NJOP Bangunan =   Rp.   6.000.000,-
NJOP dasar pengenaan PBB = Rp. 15.000.000,-
NJOPTK = Rp.                 0,- (-)
NJOP Perhitungan PBB = Rp. 15.000.000,-

PBB  Terhutang = Tarif  x  NJKP
                          = 0,5% x 20% x Rp. 18.500.000,-
                        = Rp. 18.500
II. BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN

1. Pengertian Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan


Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) adalah pungutan atas perolehan
hak atas tanah dan atau bangunan. Perolehan hak atas tanah dan atau bangunan adalah
perbuatan atau peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas dan atau
bangunan oleh orang pribadi atau badan.

Hak atas tanah adalah hak atas tanah termasuk hak pengelolaan, berserta bangunan di
atasnya sebagaimana dalam Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-Pokok Agraria, Undang-undang Nomor 16 tentang Rumah Susun dan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang lainnya.

Dasar pengenaan atas bea perolehan hak atas tanah dan bangunan dari nilai perolehan
objek pajak dengan besaran tarif sebesar 5% dari nilai perolehan objek pajak. Pada awalnya,
BPHTB dipungut oleh pemerintah pusat, tetapi sesuai dengan amanat Undang-undang Nomor
28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD), mulai 1 Januari 2011,
BPHTB dialihkan menjadi pajak daerah yang dipungut oleh pemerintah kabupaten/kota.

2. Dasar Hukum BPHTB


Dasar hukum BPHTB adalah :
a) UU No. 20 Tahun 2000 Tentang Perubahan Atas UU No. 21 Tahun 1997 Tentang Bea
Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.
b) KMK Nomor : 630/KMK.04/1997 Tentang Badan atau Perwakilan Organisasi
Internasional Yang Tidak Dikenakan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.

3. Istilah Penting dalam UU BPHTB


( Pasal 1 UU No. 21 Tahun 1997 jo. UU No. 20 Tahun 2000)

a) Bea perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah pajak yang dikenakan atas
perolehan hak atas tanah dan atau bangunan, yang selanjutnya disebut pajak.
b) Perolehan hak atas tanah dan atau bangunan adalah perbuatan atau peristiwa
hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan atau bangunan oleh
orang pribadi atau badan.
c) Hak atas tanah dan atau bangunan adalah hak atas tanah, termasuk hak
pengelolaan, beserta bangunan diatasnya, sebagaimana dimaksud dalam Undang-
undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria,
Undang-undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun, dan ketentuan
peraturan perundang-undangan lainnya.
d) Surat Tagihan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah surat untuk
melakukan tagihan pajak dan atau sanksi administrasi berupa bunga dan atau
denda.
e) Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar adalah
surat ketetapan yang menentukan besarnya jumlah pajak yang terutang, jumlah
kekurangan pembayaran pokok pajak, besarnya sanksi administrasi, dan jumlah
yang masih harus dibayar.
f) Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar
Tambahan adalah surat ketetapan yang menentukan tambahan atas jumlah pajak
yang telah ditetapkan.  
g) Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Lebih Bayaradalah
surat ketetapan yang menentukan jumlah kelebihan pembayaran pajak karena
jumlah pajak yang telah dibayar lebih besar daripada pajak yang seharusnya
terutang.
h) Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Nihil adalah surat
ketetapan yang menentukan jumlah pajak yang terutang sama besarnya dengan
jumlah pajak yang dibayar.
i) Surat Setoran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan adalah surat yang oleh
Wajib Pajak digunakan untuk melakukan pembayaran atau penyetoran pajak yang
terutang ke kas negara melalui Kantor Pos dan atau Bank Badan Usaha Milik Negara
atau Bank Badan Usaha Milik Daerah atau tempat pembayaran lain yang ditunjuk
oleh Menteri dan sekaligus untuk melaporkan data perolehan hak atas tanah dan
atau bangunan.
j) Surat Keputusan Pembetulan adalah surat keputusan untuk membetulkan kesalahan
tulis, kesalahan hitung dan atau kekeliruan dalam penerapan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan yang terdapat dalam Surat Ketetapan Bea
Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar, Surat Ketetapan Bea
Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar Tambahan, Surat Ketetapan
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Lebih Bayar, Surat Ketetapan Bea
Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Nihil, atau Surat Tagihan Bea Perolehan
Hak atas Tanah dan Bangunan.
k) Surat Keputusan Keberatan adalah surat keputusan atas keberatan terhadap Surat
Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar, Surat
Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Kurang Bayar Tambahan,
Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Lebih Bayar, atau
Surat Ketetapan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Nihil yang diajukan
oleh Wajib Pajak.
l)  Putusan Banding adalah putusan badan peradilan pajak atas banding terhadap
Surat Keputusan Keberatan yang diajukan oleh Wajib Pajak.

4. Objek Pajak
( Pasal 2 ayat (1) dan (2) UU No. 21 Tahun 1997 jo. UU No.20 Tahun 2000 )

Yang menjadi objek pajak adalah perolehan hak atas tanah dan atau bangunan.
Perolehan hak atas tanah dan atau bangunan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi :
a) Pemindahan Hak
 Jual beli
 Tukar Menukar
 Hibah
 Hibah Wasiat, adalah suatu penetapan wasiat yang khusus mengenai pemberian
hak atas tanah dan atau bangunan kepada orang pribadi atau badan hukum
tertentu, yang berlaku setelah pemberi hibah wasiat meninggal dunia.
 Waris
 Pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya, adalah pengalihan hak
atas tanah dan atau bangunan dari orang pribadi atau badan kepada Perseroan
Terbatas atau badan hukum lainnya sebagai penyertaan modal pada Perseroan
Terbatas atau badan hukum lainnya tersebut.
 Pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan, adalah pemindahan sebagian hak
bersama atas tanah dan atau bangunan oleh orang pribadi atau badan kepada
sesama pemegang hak bersama.penunjukan pembeli dalam lelang;
 Penunjukan pembeli dalam lelang, adalah penetapan pemenang lelang oleh
Pejabat Lelang sebagaimana yang tercantum dalam Risalah Lelang.
 Pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap, sebagai
pelaksanaan dari putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum yang
tetap, terjadi peralihan hak dari orang pribadi atau badan hukum sebagai salah
satu pihak kepada pihak yang ditentukan dalam putusan hakim tersebut.
 Penggabungan usaha adalah penggabungan dari dua badan usaha atau lebih
dengan cara tetap mempertahankan berdirinya salah satu badan usaha dan
melikuidasi badan usaha lainnya yang menggabung.
 Peleburan usaha adalah penggabungan dari dua atau lebih badan usaha dengan
cara mendirikan badan usaha baru dan melikuidasi badan-badan usaha yang
bergabung tersebut.
 Pemekaran usaha adalah pemisahan suatu badan usaha menjadi dua badan
usaha atau lebih dengan cara mendirikan badan usaha baru dan mengalihkan
sebagian aktiva dan pasiva kepada badan usaha baru tersebut yang dilakukan
tanpa melikuidasi badan usaha yang lama.
 Hadiah adalah suatu perbuatan hukum berupa penyerahan hak atas tanah dan
atau bangunan yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan hukum kepada
penerima hadiah.

b)  Pemberian hak baru


 Kelanjutan pelepasan hak; Yang dimaksud dengan pemberian hak baru
karena kelanjutan pelepasan hak adalah pemberian hak baru kepada orang
pribadi atau badan hukum dari Negara atas tanah yang berasal dari
pelepasan hak.
 Diluar pelepasan hak. Yang dimaksud dengan pemberian hak baru di luar
pelepasan hak adalah pemberian hak baru atas tanah kepada orang pribadi
atau badan hukum dari Negara atau dari pemegang hak milik menurut
peraturan perundang-undangan yang berlaku
c) Hak atas Tanah
( Pasal 2 ayat (3) UU No. 21 Tahun 1997 jo. UU No.20 Tahun 2000 )
Yang dimaksud hak atas tanah adalah :
 Hak milik, adalah hak turun-temurun, terkuat, dan terpenuh yang dapat dipunyai orang
pribadi atau badan-badan hukum tertentu yang ditetapkan oleh Pemerintah.
 Hak guna usaha, adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh
Negara dalam jangka waktu sebagaimana yang ditentukan oleh perundang-undangan
yang berlaku.
 Hak guna bangunan, adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan
atas tanah yang bukan miliknya sendiri dengan jangka waktu yang ditetapkan dalam
Undang-undang  Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria.
 Hak pakai, adalah hak untuk menggunakan dan atau memungut hasil dari tanah yang
dikuasai langsung oleh Negara atau tanah milik orang lain, yang memberi wewenang 
dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang
berwenang memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya, yang
bukan perjanjian sewa-menyewa atau perjanjian pengolahan tanah, segala sesuatu
sepanjang tidak bertentangan dengan jiwa dan peraturan perundang-undangan
yangberlaku.
 Hak milik atas satuan rumah, adalah hak milik atas satuan yang bersifat perseorangan
dan terpisah. Hak milik atas satuan rumah susun meliputi juga hak atas bagian bersama,
benda bersama, dan tanah bersama yang semuanya merupakan satu kesatuan yang
tidak terpisahkan dengan satuan yang bersangkutan.
 Hak pengelolaan, adalah hak menguasai dari Negara yang kewenangan pelaksanaannya
sebagian dilimpahkan kepada pemegang haknya, antara lain, berupa perencanaan
peruntukan dan penggunaan tanah, penggunaan tanah untuk keperluan pelaksanaan
tugasnya, penyerahan bagian-bagian dari tanah tersebut kepada pihak ketiga dan atau
bekerja sama dengan pihak ketiga.

5. Tarif Pajak
( Pasal 5 UU No. 21 Tahun 1997 jo. UU No.20 Tahun 2000 )
      Tarif pajak yang dikenakan atas objek BPHTB  adalah sebesar 5 % (lima persen).

6. Dasar Pengenaan Pajak
( Pasal 6 UU No. 21 Tahun 1997 jo. UU No.20 Tahun 2000 )
Yang menjadi Dasar Pengenaan BPHTB adalah Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP),
yaitu dalam hal :
a) Jual beli adalah harga transaksi;
b)  Tukar-menukar adalah nilai pasar;
c) Hibah adalah nilai pasar;
d) Hibah wasiat adalah nilai pasar;
e) Waris adalah nilai pasar;
f) Pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya adalah nilai pasar;
g) Pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan adalah nilai pasar;
h) Peralihan hak karena pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan
hukum tetap adalah nilai pasar;
i) Pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak adalah nilai
pasar;
j) Pemberian hak baru atas tanah diluar pelepasan hak adalah nilai pasar;
k) Penggabungan usaha adalah nilai pasar;
l) Peleburan usaha adalah nilai pasar;
m)  Pemekaran usaha adalah nilai pasar;
n) Hadiah adalah nilai pasar;
o) Penunjukan pembeli dalam lelang adalah harga transaksi yang tercantum dalam
Risalah Lelang.

Apabila Nilai Perolehan Objek Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf a
sampai dengan n tidak diketahui atau lebih rendah daripada Nilai Jual Objek Pajak yang
digunakan dalam pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan pada tahun terjadinya perolehan, dasar
pengenaan pajak yang dipakai adalah Nilai Jual Objek Pajak Pajak Bumi dan Bangunan.

a) Nilai Pasar
( Pasal 6 UU No. 21 Tahun 1997 jo. UU No.20 Tahun 2000 )
 Yang dimaksud dengan nilai pasar adalah harga rata-rata dari transaksi jual beli secara
wajar yang terjadi di sekitar letak tanah dan atau bangunan.

7. Nilai Perolehan Objek Pajak Yang Tidak Kena Pajak (NPOPTKP)


( Pasal 7 UU No. 21 Tahun 1997 jo. UU No.20 Tahun 2000 jo. PP No.113 Tahun 2000
jo.KMK-516/KMK.04/2000 sebagaimana telah diubah terakhir dengan PMK-33/PMK.03/2008)

Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan secara regional paling banyak
Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah), kecuali dalam hal perolehan hak karena waris, atau
hibah wasiat yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam
garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah
wasiat, termasuk suami/istri, Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan secara
regional paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).

Yang dimaksud dengan Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan secara
regional adalah penetapan Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak untuk masing-masing
Kabupaten/Kota.

8. Tata Cara untuk menentukan besarnya NPOPTKP


( Pasal 7 UU No. 21 Tahun 1997 jo. UU No.20 Tahun 2000 jo. PP No.113 Tahun 2000 jo.
KMK-516/KMK.04/2000 sebagaimana telah diubah terakhir dengan PMK-33/PMK.03/2008)
Tata Cara untuk menentukan besarnya Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak
adalah sebagai berikut :
a) Besarnya Nilai Perolehan Objek Tidak Kena Pajak ditetapkan untuk setiap
Kabupaten/Kota.
b) Besarnya Nilai Perolehan Objek Tidak Kena Pajak untuk setiap Kabupaten/Kota dapat
diusulkan oleh Pemerintah Daerah yang bersangkutan kepada Kepala Kantor Wilayah
Direktorat Jenderal Pajak setempat, paling lambat 1 (satu) bulan sebelum tahun pajak
dimulai.
c) Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak setempat atas nama Menteri Keuangan
menetapkan besarnya Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak dengan
memperhatikan usulan Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam point 2.
d) Dalam hal Pemerintah Daerah tidak mengajukan usulan sebagaimana dimaksud dalam
point 2, besarnya Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan oleh Kepala
Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak setempat atas nama Menteri Keuangan
dengan mempertimbangkan perkembangan perekonomian regional.

Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak atas nama Menteri Keuangan,
menetapkan besarnya Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak secara regional dengan
ketentuan:  

a) untuk perolehan hak karena waris, atau hibah wasiat yang diterima orang pribadi yang
masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke
atas atau satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat, termasuk suami/istri,
ditetapkan paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah);  
b) untuk perolehan hak Rumah Sederhana Sehat (RSH) sebagaimana diatur dalam
Peraturan Menteri Negara Perumahan Rakyat Nomor 03/PERMEN/M/2007 tentang
Pengadaan Perumahan dan Permukiman Dengan Dukungan Fasilitas Subsidi
Perumahan Melalui KPR Bersubsidi, dan Rumah Susun Sederhana sebagaimana diatur
dalam Peraturan Menteri Negara Perumahan Rakyat Nomor 7/PERMEN/M/2007
tentang Pengadaan Perumahan dan Permukiman Dengan Dukungan Fasilitas Subsidi
Perumahan Melalui KPR Sarusun Bersubsidi, ditetapkan sebesar Rp 49.000.000,00
(empat puluh sembilan juta rupiah);
c) untuk perolehan hak baru melalui program pemerintah yang diterima pelaku usaha
kecil atau mikro dalam rangka Program Peningkatan Sertifikasi Tanah untuk
Memperkuat Penjaminan Kredit bagi Usaha Mikro dan Kecil, ditetapkan sebesar Rp
10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah);  
d) untuk perolehan hak selain perolehan hak sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b,
dan huruf c, ditetapkan paling banyak Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah);       
e) dalam hal Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak yang ditetapkan sebagaimana
dimaksud pada huruf d lebih besar daripada Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena
Pajak yang ditetapkan sebagaimana dimaksud pada huruf b, maka Nilai Perolehan Objek
Pajak Tidak Kena Pajak untuk perolehan hak sebagaimana dimaksud pada huruf b
ditetapkan sama dengan Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak sebagaimana
ditetapkan pada huruf d;       
f) dalam hal Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak yang ditetapkan sebagaimana
dimaksud pada huruf d lebih besar daripada Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena
Pajak yang ditetapkan sebagaimana dimaksud pada huruf c, maka Nilai Perolehan Objek
Pajak Tidak Kena Pajak untuk perolehan hak sebagaimana dimaksud pada huruf c
ditetapkan sama dengan Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak sebagaimana
ditetapkan pada huruf d."    

9. Penghitungan Pajak
( Pasal 8 UU No. 21 Tahun 1997 jo. UU No.20 Tahun 2000 )
Secara umum besarnya BPHTB yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif
pajak dengan Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak (NPOPKP) yang diperoleh dari Nilai
Perolehan Objek Pajak (NPOP) dikurangi dengan Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak
(NPOPTKP), atau lebih lengkapnya sebagaimana diuraikan pada rumus dibawah ini:
Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP)                                         xxxx

Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP)   xxxx  (-)

Nilai Perolehan Objek Pajak Kena Pajak (NPOPKP)                xxxx

Besarnya BPHTB terutang = 5% x NPOPKP

III. BEA MATERAI


1. Pengertian Bea Meterai
Bea Meterai merupakan pajak yang dikenakan terhadap dokumen yang menurut
Undang-undang Bea Meterai menjadi objek Bea Meterai. Atas setiap dokumen yang menjadi
objek Bea Meterai harus sudah dibubuhi benda meterai atau pelunasan Bea Meterai dengan
menggunakan cara lain sebelum dokumen itu digunakan.

2. Dasar Hukum
a) Undang-undang Nomor 13 Tahun 1985 tentang Bea Meterai
b) Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perubahan Tarif Bea Meterai dan
Besarnya Batas Pengenaan Harga Nominal Yang Dikenakan Bea Meterai.
c) Peraturan Menteri Keuangan Nomor 90/PMK.03/2005 tentang Perubahan Atas
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 15/PMK.03/2005 Tentang Bentuk, Ukuran, Warna,
Dan Desain Meterai Tempel Tahun 2005
d) Keputusan Menteri Keuangan Nomor 133b/KMK.04/2000 tentang Pelunasan Bea
Meterai dengan Menggunakan Cara Lain.
e) Keputusan Dirjen Pajak Nomor KEP-122b/PJ./2000 tentang Tatacara Pelunasan Bea
Meterai dengan membubuhkan Tanda Bea Meterai Lunas dengan Mesin Teraan.
f) Keputusan Dirjen Pajak Nomor KEP-122c/PJ./2000 tentang Tatacara Pelunasan Bea
Meterai dengan membubuhkan Tanda Bea Meterai dengan Teknologi Percetakan.
g) Keputusan Dirjen Pajak Nomor KEP-122d/PJ./2000 tentang Tatacara Pelunasan Bea
Meterai dengan membubuhkan Tanda Bea Meterai dengan Sistem Komputerisasi.
h) Keputusan Menteri Keuangan Nomor 476/KMK.03/2002 tentang Pelunasan Bea
Meterai dengan Cara Pemeteraian Kemudian.
i) Keputusan Dirjen Pajak Nomor KEP-02/PJ./2003 tentang Tatacara Pemeteraian
Kemudian.
j) Surat Edaran Nomor 29/PJ.5/2000 tentang Dokumen Perbankan yang dikenakan Bea
Meterai.

3. Karakteristik
Meliputi :
a) Bea meterai tidak diperlukan nomor identitas baik untuk wajib pajak maupun obyek
pajak.
b)  Pembayaran bea meterai terjadi terlebih dahulu daripada saat terutang.
c) Waktu pembayaran dapat dilakukan secara isidentil dan tidak terikat waktu

4. Istialah – Istilah
a) Dokumen adalah kertas yang berisikan tulisan yang mengandung arti dan maksud
tentang perbuatan, keadaan atau kenyataan bagi seseorang dan atau pihak-pihak
lain yang berkepentingan.
b) Benda Meterai adalah Meterai tempel dan Kertas Meterai yang dikeluarkan oleh
Pemerintah Republik Indonesia.
c) Tanda tangan adalah tanda tangan sebagaimana lazimnya dipergunakan, termasuk
pula paraf, teraan atau cap tanda tangan atau cap paraf, teraan cap nama atau
tanda lainnya sebagai pengganti tanda tangan.
Pemeteraian kemudian adalah suatu cara pelunasan Bea Meterai yang dilakukan
oleh Pejabat Pos atas permintaan pemegang dokumen yang Bea Meterainya belum
dilunasi sebagaimana mestinya.
d) Pejabat  pos adalah pejabat PT Pos dan Giro yang diserahi tugas melayani
permintaan pemeteraian kemudian.

5. Objek Bea Meterai


Pada prinsipnya dokumen yang harus dikenakan meterai adalah dokumen menyatakan
nilai nominal sampai jumlah tertentu, dokumen yang bersifat perdata dan dokumen yang
digunakan di muka pengadilan, antara lain :
a) Surat perjanjian dan surat-surat lainnya yang dibuat dengan tujuan untuk digunakan
sebagai alat pembuktian mengenai perbuatan, kenyataan atau keadaan yang bersifat
perdata.
b) Akta-akta notaris termasuk salinannya.
c) Akta-akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah termasuk rangkap-
rangkapnya.
d) Surat yang memuat jumlah uang yaitu:
 yang menyebutkan penerimaan uang
 yang menyatakan pembukuan uang atau penyimpanan uang dalam rekening
bank
 yang berisi pemberitahuan saldo rekening di bank
 yang berisi pengakuan bahwa utang uang seluruhnya atau sebagian telah
dilunasi atau diperhitungkan.
e) Surat berharga seperti wesel, promes, aksep dan cek.
f) Dokumen yang dikenakan Bea Meterai juga terhadap dokumen yang akan digunakan
sebagai alat pembuktian di muka pengadilan yaitu surat-surat biasa dan surat-surat
kerumahtanggaan, dan surat-surat yang semula tidak dikenakan Bea Meterai
berdasarkan tujuannya, jika digunakan untuk tujuan lain atau digunakan oleh orang
lain, lain dan maksud semula.
6. Tidak Dikenakan Bea  Meterai
Secara umum dokumen yang tidak dikenakan bea meterai adalah dokumen yang
berhubungan dengan transaksi intern perusahaan, berkaitan dengan pembayaran pajak dan
dokumen Negara.
Dokumen yang tidak termasuk objek Bea Meterai adalah:
a) Dokumen yang berupa:
 surat penyimpanan barang;
 konosemen;
 surat angkutan penumpang dan barang;
 keterangan pemindahan yang dituliskan diatas dokumen surat penyimpanan
barang, konosemen, dan surat angkutan penumpang dan barang;
 bukti untuk pengiriman barang untuk dijual atas tanggungan pengirim;
 surat pengiriman barang untuk dijual atas tanggungan pengirim;
 surat-surat lainnya yang dapat disamakan dengan surat-surat di atas.
b) Segala bentuk ijazah
c)  Tanda terima gaji, uang tunggu, pensiun, uang tunjangan dan pembayaran lainnya yang
ada kaitannya dengan hubungan kerja serta surat-surat yang diserahkan untuk
mendapatkan pembayaran itu.
d)  Tanda bukti penerimaan uang negara dan kas negara, kas pemerintah daerah dan bank.
e) Kuitansi untuk semua jenis pajak dan untuk penerimaan lainnya yang dapat disamakan
dengan itu ke kas negara, kas pemerintah daerah dan bank.
f)  Tanda penerimaan uang yang dibuat untuk keperluan intern organisasi.
g) Dokumen yang menyebutkan tabungan, pembayaran uang tabungan kepada penabung
oleh bank, koperasi, dan badan-badan lainnya yang bergerak di bidang tersebut
h) Surat gadai yang diberikan oleh Perum Pegadaian.
i) Tanda pembagian keuntungan atau bunga dan Efek, dengan nama dan bentuk apapun.

7. Tata Cara Pelunasan Bea Meterai


a) Saat Terutang.
Saat terutangnya bea meterai adalah saat sebelum dokumen yang terutang bea meterai
tersebut digunakan. Dalam Pasal 5 Undang-undang No. 13 Tahun 1985 disebutkan saat
terutangnya Bea Meterai adalah:

 okumen yang dibuat oleh satu pihak adalah pada saat dokumen itu diserahkan;
 Dokumen yang dibuat oleh lebih dan satu pihak adalah pada saat selesainya
dokumen dibuat;
 Dokumen yang dibuat di luar negeri adalah pada saat digunakan di Indonesia, 

b) Cara Pelunasan Bea Meterai


c) Pelunasan Bea Meterai dengan Menggunakan Meterai Tempel.
Cara mempergunakan meterai tempel :
 Meterai Tempel direkatkan seluruhnya dengan utuh dan tidak rusak di atas
dokumen yang dikenakan Bea Meterai.
 Meterai Tempel direkatkan di tempat dimana tanda tangan akan dibubuhkan.

 Pembubuhan tanda tangan disertai dengan pencantuman tanggal, bulan, dan


tahun dilakukan dengan tinta atau yang sejenis dengan itu, sehingga sebagian
tanda tangan di atas kertas dan sebagian lagi di atas Meterai Tempel.
  Jika digunakan lebih dan satu Meterai Tempel, tanda tangan harus dibubuhkan
sebagian di atas semua Meterai Tempel dan sebagian di atas kertas.
 Pelunasan Bea Meterai dengan menggunakan Meterai Tempel tetapi tidak
memenuhi ketentuan di atas, dokumen yang bersangkutan dianggap tidak
bermeterai.
d) Pelunasan Bea Meterai dengan Menggunakan Kertas Meterai.
Cara mempergunakan kertas meterai :
 Sehelai Kertas Meterai hanya dapat digunakan untuk sekali pemakaian.

 Kertas Meterai yang sudah digunakan, tidak boleh digunakan lagi.

 Jika isi dokumen yang dikenakan Bea Meterai terlalu panjang untuk dimuat
seluruhnya di atas Kertas Meterai yang digunakan, maka untuk bagian isi yang
masih tertinggal dapat digunakan kertas tidak bermeterai.
 Jika sehelai Kertas Meterai karena sesuatu hal tidak jadi digunakan dan dalam
hal ini belum ditandatangani oleh yang berkepentingan, sedangkan dalam Kertas
Meterai telah terlanjur ditulis dengan beberapa kata/kalimat yang belum
merupakan suatu dokumen yang selesai dan kemudian tulisan yang ada pada
Kertas Meterai tersebut dicoret dan dimuat tulisan atau keterangan baru, maka
Kertas Meterai yang demikian dapat digunakan dan tidak Perlu dibubuhi
meterai lagi.
 Apabila ketentuan sebagaimana dimaksud di atas tidak dipenuhi, dokumen yang
bersangkutan dianggap tidak bermeterai.
e) Pelunasan dengan Membubuhkan Tanda Bea Meterai Lunas dengan Mesin
Teraan.
Pelunasan dengan cara membubuhkan tanda Bea Meterai Lunas dengan Mesin Teraan
memerlukan beberapa syarat sebagai berikut:
a) Pelunasan Bea Meterai dengan mesin teraan meterai hanya diperkenankan
kepada penerbit dokumen yang melakukan pemeteraian dengan jumlah rata-
rata setiap hari minimal sebanyak 50 dokumen.
b) Penerbit dokumen yang akan melakukan pelunasan Bea Meterai dengan mesin
teraan meterai harus melakukan prosedur sebagai berikut:
 Mengajukan permohonan ijin secara tertulis kepada Kepala Kantor
Pelayanan Pajak setempat dengan mencantumkan jenis/merk dan tahun
pembuatan mesin teraan meterai yang akan digunakan, serta melampirkan
surat pernyataan tentang jumlah rata-rata dokumen yang harus dilunasi Bea
Meterai setiap hari.
 Melakukan penyetoran Bea Meterai di muka minimal sebesar Rp
15.000.000,- (lima belas juta rupiah) dengan menggunakan Surat Setoran
Pajak Ke Kas Negara melalui Bank Persepsi.
 Menyampaikan laporan bulanan penggunaan mesin teraan meterai kepada
Kepala Kantor Pelayanan Pajak setempat paling lambat tanggal 15 setiap
bulan.
 Ijin penggunaan mesin teraan meterai berlaku selama 2 (dua) tahun sejak
tanggal ditetapkannya, dan dapat diperpanjang selama memenuhi
persyaratan.

f) Pelunasan dengan Membubuhkan Tanda Bea Meterai Lunas dengan Sistem


Komputerisasi.
a) Pelunasan Bea Meterai dengan sistem komputerisasi hanya diperkenankan untuk
dokumen yang berbentuk surat yang memuat jumlah uang dalam Pasal 1 huruf d PP No.
24 Tahun 2000 dengan jumlah rata-rata pemeteraian setiap hari minimal sebanyak 100
dokumen.
 Mengajukan permohonan ijin secara tertulis kepada Direktur Jenderal Pajak dengan
mencantumkan jenis dokumen dan perkiraan jumlah rata-rata dokumen yang akan
dilunasi Bea Meterai setiap hari.
 Pembayaran Bea Meterai di muka minimal sebesar perkiraan jumlah dokumen yang
harus dilunasi Bea Meterai setiap bulan, dengan menggunakan Surat Setoran Pajak
(ke Kas Negara melalui Bank Pensepsi).
 Menyampaikan laporan bulanan tentang realisasi penggunaan dan saldo Bea
Meterai kepada Direktur Jenderal Pajak paling lambat tanggal 15 setiap bulan
b) Ijin pelunasan Bea Meterai dengan membubuhkan tanda Bea Meterai Lunas dengan
sistem komputerisasi berlaku selama saldo Bea Meterai yang telah dibayar pada saat
mengajukan ijin masih mencukupi kebutuhan pemeteraian 1 (satu) bulan berikutnya.

g) Tata Cara Pelunasan Bea Meterai Dengan Teknologi Percetakan.


Pelunasan Bea Meterai dengan teknologi pencetakan hanya diperkenankan untuk
dokumen yang berbentuk cek, bilyet giro, dan efek dengan nama dan dalam bentuk apapun.
a) Penerbit dokumen yang akan melakukan pelunasan Bea Meterai dengan teknologi
pencetakan harus melakukan prosedur sebagai berikut:
 Pembayaran Bea Meterai di muka sebesar jumlah dokumen yang harus dilunasi Bea
Meterai, dengan menggunakan Surat Setoran Pajak ke Kas Negara melalui Bank
Persepsi.
 Mengajukan permohonan ijin secara tertulis kepada Direktur Jenderal Pajak dengan
mencantumkan jenis dokumen yang akan dilunasi Bea Meterai dan jumlah Bea
Meterai yang telah dibayar.
b) Perum Peruri dan perusahaan sekuriti yang melakukan pembubuhan tanda Bea Meterai
Lunas pada cek, bilyet giro, atau efek dengan nama dan dalam bentuk apapun, harus
menyampaikan laponan bulanan kepada Direktur Jenderal Pajak paling lambat tanggal
10 setiap bulan.
c) Pelunasan Bea Meterai bagi dokumen yang dibuat di Luar Negeri
d) Dokumen yang dibuat di luar negeri tidak dikenakan Bea Meterai sepanjang tidak
digunakan di Indonesia.

8. Tarif Bea Meterai.


a) Tarif Bea Meterai Rp 6.000,00 untuk dokumen sebagai berikut:
 Surat Perjanjian dan surat-surat lainnya yang dibuat dengan tujuan untuk
digunakan sebagai alat pembuktian mengenai perbuatan, kenyataan atau keadaan
yang bersifat pendata
 Akta-akta Notaris termasuk salinannya
 Surat berharga seperti wesel, promes, dan aksep selama nominalnya lebih dan
Rp1.000.000,00.;
 Dokumen yang akan digunakan sebagai alat pembuktian di muka Pengadilan,
yaitu:
o surat-surat biasa dan surat-surat kerumahtanggaan.
o surat-surat yang semula tidak dikenakan Bea Meterai berdasarkan
tujuannya, jika digunakan untuk tujuan lain atau digunakan oleh
orang lain selain dan tujuan semula.
b) Untuk dokumen yang menyatakan nominal uang dengan batasan sebagai berikut:
 Nominal sampai Rp250.000,- tidak dikenakan Bea Meterai
 Nominal diatas Rp 1.000.000,- dikenakan Bea Meterai Rp 6.000,-
 Nominal diatas Rp 1.000.000,- dikenakan Bea Meterai Rp 6.000,-
c) Cek dan Bilyet Giro dikenakan Bea Meterai dengan tarif sebesar Rp 3.000,- tanpa batas
pengenaan besarnya harga nominal.
d) Efek dengan nama dan dalam bentuk apapun yang mempunyai harga nominal sampai
dengan Rp1.000.000,- dikenakan Bea Meterai Rp 3.000,- sedangkan yang mempunyai
harga nominal lebih dari Rp 1.000.000,- dikenakan Bea Meterai Rp 6.000,-.
e) Sekumpulan Efek dengan nama dan dalam bentuk apapun yang tercantum dalam surat
kolektif yang mempunyai jumlah harga nominal sampai dengan Rp 1.000.000,-
dikenakan Bea Meterai Rp 3.000,-, sedangkan yang mempunyai harga nominal lebih dan
Rp 1.000.000,- dikenakan Bea Meterai dengan tarif sebesar Rp 6.000,-.

9. Ketentuan Khusus dan sanksi


a) Ketentuan Khusus
 Dokumen yang dibuat di luar negeri pada saat digunakan di Indonesia harus telah
dilunasi Bea Meterai yang terutang dengan cara pemeteraian kemudian.
 Pejabat Pemerintah, hakim, panitera, jurusita, notaris, dan pejabat umum lainnya,
masing-masing dalam tugas atau jabatannya tidak dibenarkan:

o Menerima, mempertimbangkan atau menyimpan dokumen yang Bea Meterainya


tidak atau kurang dibayar;
o Melekatkan dokumen yang Bea Meterainya tidak atau kurang dibayar sesuai
dengan tarifnya pada dokumen lain yang berkaitan;
o Membuat salinan, tembusan, rangkapan atau petikan dan dokumen yang Bea
Meterainya tidak atau kurang dibayar;
o Memberikan keterangan atau catatan pada dokumen yang tidak atau kurang
dibayar sesuai dengan tarif Bea Meterainya.
Pelangganan terhadap ketentuan tersebut dikenakan sanksi
administratif sesuai Peraturan perundang-undangan yang berlaku.

a) Sanksi administrasi
Sanksi ini dikenakan apabila terjadinya pelanggaran yang mengakibatkan Bea Meterai yang
harus dilunasi kurang bayar.
 Dokumen mestinya dikenakan denda administrasi sebesar 200% (dua ratus
persen) dari Bea Meterai yang tidak atau kurang dibayar sebagaimana yang
dimaksud dalam objek Bea Meterai tidak atau kurang dilunasi sebagaimana.
 Pemegang dokumen atas dokumen sebagaimana dimaksud dalam huruf (a)
harus melunasi Bea Meterai terutang berikut dendanya dengan cara
pemeteraian kemudian.
b) Daluwarsa
Kewajiban pemenuhan Bea Meterai dan denda administrasi yang terutang menurut
Undang-Undang Bea Meterai, daluwarsa setelah lampau waktu 5 tahun, terhitung sejak tanggal
dokumen dibuat.
c) Ketentuan Pidana
Dipidana sesuai dengan ketentuan dalam KUHP:
 Barang siapa meniru atau memalsukan meterai tempel kertas meterai atau
meniru dan memalsukan tanda tangan yang perlu untuk mensahkan meterai;
 Barang siapa dengan sengaja menyimpan dengan maksud untuk diedarkan atau
memasukkan ke Negara Indonesia meterai palsu, yang dipalsukan atau yang
dibuat dengan melawan hak;
 Barang siapa dengan sengaja menggunakan, menjual, menawarkan
menyerahkan, menyediakan untuk dijual atau dimasukkan ke Negara Indonesia
meterai yang mereknya, capnya, tanda tangannya, tanda sahnya atau tanda
waktunya mempergunakan telah dihilangkan seolah-olah meterai itu belum
dipakai dana atau menyuruh orang lain menggunakannya dengan melawan
haknya;
 Barang siapa menyimpan bahan-bahan atau perkakas-perkakas yang
diketahuinya digunakan untuk melakukan salah satu kejahatan untuk meniru
dan memalsukan benda meterai;
 Barang siapa dengan sengaja menggunakan cara lain (sesuai Pasal 7 UU Bea
Meterai dipidana penjara selama-lamanya 7 tahun dan tindak pidana ini adalah
bentuk kejahatan).
BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN
Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), adalah salah satu pajak yang dikelola oleh Direktorat
Jenderal Pajak (DJP) selain Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Bea
Meterai (BM) dan Bea Perolehan Hak Tas Tanah dan/atau Bangunan (BPHTB). PBB adalah
termasuk jenis pajak objektif, di mana yang lebih ditekankan dalam pengenaan pajak ini adalah
pada objeknya. Hal ini bisa kita lihat dari susunan pasal dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun
1985 dan perubahannya yang menempatkan pasal tentang objek pajak lebih dahulu daripada
subjeknya.
Banyak hal yang harus diketahui tentang PBB dan peraturannya pun terus berkembang
sehingga kita harus selalu mencari informasi terbaru tentang perpajakan.

Pajak BPHTB adalah sumber penting dalam pendapatan negara terutama untuk daerah. Karena
hanya sebagian kecil yaitu 20 persen untuk pusat dan 80 persennya merupakan bagian dari
daerah. Sehingga dibutuhkan sinergi antara pemerintah dengan masyarakat dalam menjaga
konsistensi dalam pembangunan. Demi mendapatkan hasil yang maksimal atas pajak BPHTB.
Memberikan konsekuensi kepada pemerintah untuk memberikan stimulan dan insentif kepada
pengembang perumahan maupun masyarakat miskin agar program pembangunan perumahan
bisa terwujud. Sebagai salah satu upaya dalam pembanguna atas pajak BPHTB. Sedangkan di
bidang hak atas tanah maka perizinan atas tanah serta pembangunan semestinya tidak melalui
administrasi yang berbelit-belit agar tidak mejadi maslah baru dalam penyelesaian masalah
BPHTB saat ini. Terjadinya pengurangan bantuan dari pemerintah pusat kedaerah juga tidak
sepenuhnya menjadi masalah dan pugas pemerinth dalam penyelesaiannya. Masyarakat juga
memiliki tanggung jawab untuk menyelesaikannya.

Bea Meterai merupakan pajak yang dikenakan terhadap dokumen yang menurut
Undang-undang Bea Meterai menjadi objek Bea Meterai. Bea materai digunakan untuk
dokumen-dokumen yang berhubungan dengan penerimaan uang, ataupun untuk surat-surat
berharga yang penggunaannya telah diatur oleh menteri keuangan, adapun jenisnya berupa
materai tempel dengan nominal Rp. 3.000,00 dan Rp. 6.000,00 maupun materai kertas yang
biasanya digunakan untuk surat berharga seperti surat tanda tamat belajar maupun akta
tanah.Penggunaan bea materai dalam dokumen-dokumen tersebut adalah sebagai alat
pengesahan dokumen tersebut.

Daftar Pustaka

http://rasmankhan.blogspot.co.id/2016/03/makalah-pajak-bumi-dan-bangunan-
pbb.html

http://dessyazka.blogspot.co.id/2015/06/perpajakan-bea-meterai-bphtb.html

http://royanmakalah.blogspot.co.id/2013/01/pajak-bumi-dan-bangunan.html

Anda mungkin juga menyukai