Anda di halaman 1dari 46

MAKALAH PERPAJAKAN

Dosen Pengampu :
Dewinta Yuliana S.A.B., M.M

SHERLY
S1B121116
KELAS C

JURUSAN ADMINISTRASI
PROGRAM STUDI ADMINISTRASI BISNIS
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2023
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI ................................................................................................... i
BAB I PAJAK
A. Pengertian Pajak ......................................................................... 1
B. Fungsi Pajak ................................................................................ 2
C. Sistem Pajak ................................................................................ 3
D. Pemungutan Dan Pengenaan Pajak ............................................ 4
E. Subjek Pajak ................................................................................ 7
F. Objek Pajak ................................................................................. 8
G. Wajib Pajak................................................................................. 9
H. Utang Pajak ................................................................................. 11
I. Sistem Hukum Pajak .................................................................... 12
J. Sanksi Pajak ................................................................................. 13
K. Pajak Peradilan ........................................................................... 14
BAB 2 MACAM-MACAM PAJAK
A. Pajak Penghasila (Pph) ............................................................... 15
B. Pajak Pertambah Nilai Dan Pajak Penjualan Barang Mewah .... 16
C. Pajak Bumi Dan Bangunan ........................................................ 17
D. Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan ......................... 18
E. Bea Materai................................................................................. 19
F. Pajak Pusat Dan Daerah .............................................................. 19
G. Fiskal Luar Negri ........................................................................ 20
BAB 3 NOMOR PAJAK WAJIB PAJAK (NPWP)
A. Pengertian NPWP ....................................................................... 24
B. fungsi NPWP .............................................................................. 24
C.mamfaat memiliki NPWP ............................................................ 28
D. peraturan terkait NPWP .............................................................. 28
E. NPWP keluarga ........................................................................... 29
F. sanksi berhubungan dengan NPWP ............................................ 30
G. Penghapusan NPWP ................................................................... 30

i
BAB 4 SURAT PEMBERITAHUAN (SPT)
A. pengisisan dan penyampaian SPT .............................................. 33
B. fungsi SPT................................................................................... 33
C. tempat pengambialan SPT .......................................................... 34
D. ketentuan tentang pengisian SPT ................................................ 34
E. ketentuan tentang penyampain SPT ............................................ 34
F. penyampaian SPT melalui elektronik (e-SPT) ............................ 35
G. perpanjangan waktu penyampaian SPT tahunan ........................ 36
H. sanksi tidak atau terlambat menyampaiakan SPT ...................... 36
I. Pembetulan SPT ........................................................................... 37
J. batas waktu pembayaran pajak .................................................... 39
K. sanksi keterlambatan pembayaran pajak .................................... 39
BAB 5 ADMINISTRASI PERPAJAKAN
A. administrasi pajak di kantor pelayanan pajak (KPP) .................. 40
B. administrasi pajak bagi wajib pajak ............................................ 40
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 49

ii
BAB I
PAJAK

a. Pengertian Pajak
Beberapa ahli perpajakan mengemukakan pendapatnya tentang pengertian
pajak, antara lain:
1. Prof. Dr. P.J.A. Adriani (diterjemahkan oleh R. Santoso Brotodiharjo
1991:2): “Pajak adalah iuran kepada Negara (yang dapat dipaksakan) yang
terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan,
dengan tidak mendapatkan prestasi kembali, yang langsung dapat ditunjuk,
dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum
berhubung dengan tugas Negara yang menyelenggarakan pemerintahan”.
2. Prof. Dr. H. Rochmat Soemitro SH (1990:5):“Pajak adalah iuran rakyat
kepada Kas Negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan)
dengan tidak mendapat jasa timbal balik (kontra prestasi) yang langsung
dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran
umum”.
3. Prof. Dr. MJH. Smeets (1951) yang disadur oleh Diaz Priantara (2012:2):
“Pajak adalah prestasi kepada pemerintah yang terutang melalui norma-
norma umum dan yang dapat dipaksakan, tanpa adanya kontra prestasi yang
dapat ditunjukkan dalam hal yang individual, dimaksudkan untuk
membiayai pengeluaran pemerintahan”.
4. Prof. Edwin Robert Anderson Seligman (1925:432): “A tax is a compulsory
constribution from the person to the government to defray the expenses
incurred in the common interest of all without reference to special benefi ts
conferred”.
5. C.F. Bastable (1993:263):
“A tax is a compulsory contribution of the wealth of a person or body of
persons for the service of the public powers”.
6. Soeparman Soemahamidjaja dalam disertasinya yang berjudul “Pajak
berdasarkan Asas Gotong Royong” (1964:102), “pajak adalah iuran wajib,

1
berapa uang atau barang, yang dipungut oleh penguasa berdasarkan norma-
norma hukum, guna menutupi biaya produksi barang dan jasa kolektif
dalam mencapai kesejahteraan umum”.
Pengertian pajak menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007
tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan: “Pajak adalah kontribusi
wajib kepada Negara yang terutang oleh orang Pribadi atau badan yang bersifat
memaksa berdasarkan undang-undang, dengan mendapat timbal balik secara
langsung dan digunakan untuk keperluan Negara bagi sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat”.
b. Fungsi Pajak
Fungsi pajak adalah kegunaan pokok dan manfaat pokok dari pajak itu
sendiri. Pada umumnya terdapat 2 macam fungsi pajak, yaitu:
1. Fungsi Budgetair (Fungsi Anggaran)
Sebagai sumber pendapatan Negara, pajak berfungsi untuk membiayai
pengeluaran-pengeluaran Negara. Untuk menjalankan tugas-tugas rutin
Negara dan melaksanakan pembangunan, Negara membutuhkan biaya.
Biaya ini salah satunya dapat diperoleh dari penerimaan pajak. Saat ini
pajak digunakan untuk pembiayaan rutin seperti belanja pegawai, belanja
barang, pemeliharaan dan lain sebagainya. Untuk pembiayaan pembangunan
uang dikeluarkan dari tabungan pemerintah, yakni penerimaan dalam negeri
dikurangi pengeluaran rutin. Tabungan pemerintah ini dari tahun ke tahun
harus ditingkatkan sesuai dengan kebutuhan pembiayaan pembangunan
yang semakin meningkat dan ini terutama diharapkan dari sektor pajak.
Fungi Anggaran ini adalah fungsi pokok atau fungsi utama pajak atau
disebut juga fungsi fi skal (fi scal function) yakni suatu fungsi dimana pajak
dipergunakan sebagai alat untuk memasukkan dana dari masyarakat ke Kas
Negara berdasarkan Undang-Undang Perpajakan yang berlaku.
2. Fungsi Regulerend (Fungsi Mengatur)
Fungsi ini adalah fungsi tambahan, yaitu fungsi dimana pajak
dipergunakan oleh pemerintah sebagai alat untuk mencapai tujuan tertentu.
Disebut fungsi tambahan karena fungsi ini bertindak sebagai pelengkap dari

2
fungsi utama pajak yakni fungsi budgetair. Dengan adanya fungsi ini
diharapkan pajak dapat digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan
pemerintahan suatu Negara.
Menurut Ma’rie Muhammad seperti dikutip oleh Ali dalam Marihot
(2010), fungsi pajak di Negara berkembang seperti di Indonesia adalah sebagai
berikut:
1. Pajak merupakan alat atau instrument penerimaan negara;
2. Pajak merupakan alat untuk mendorong investasi;
3. Pajak merupakan alat redistribusi.
Terdapat dua penerapan fungsi ini, yakni penerapan fungsi secara positif
dan penerapan fungsi secara negatif (Marihot Pahala Siahaan, 2010:44). Yang
dimaksud penerapan fungsi regulerend dengan cara positif adalah cara
mengatur dengan tujuan member dorongan kea rah suatu tujuan positif tertentu
dengan maksud untuk mengatur perekonomian guna mencapai pertumbuhan
yang lebih cepat. Fungsi mengatur dengan cara yang bersifat negatif adalah
cara mengatur yang dimaksudkan untuk mencegah atau menghalangi
perkembangan atau menjuruskan kehidupan masyarakat kearah tertentu.
c. SISTEM PAJAK
1. Sistem Pemungutan Pajak
Menurut Mansyuri (2002) sistem pemungutan pajak dapat dibagi menjadi
empat, yakni:
a. Official Assesment System
Yaitu suatu sistem pemungutan pajak dimana wewenang untuk
menghitung besarnya pajak terhutang oleh seseorang berada pada
pemungut atau aparatur pajak, dalam hal ini Wajib Pajak bersifat pasif,
menunggu ketetapan dari aparatur pajak, hutang baru timbul bila sudah
ada surat ketetapan pajak dari aparatur pajak. Dengan demikian berhasil
atau tidaknya pemungutan pajak banyak tergantung pada aparatur pajak
karena inisiatif kegiatan dan peran dominan berada pada aparatur pajak.
b. Self Assesment System

3
Yaitu sistem pemungutan pajak dimana wewenang untuk
menghitung besarnya pajak terhutang berada pada Wajib Pajak. Dalam
sistem ini Wajib Pajak harus aktif menghitung, memperhitungkan,
menyetor dan melaporkan sendiri pajaknya. Fiskus tidak turut campur
dalam perhitungan besarnya pajak terhutang kecuali Wajib Pajak
menyalahi aturan. Dengan demikian berhasil atau tidaknya pemungutan
pajak banyak tergantung pada Wajib Pajak karena inisiatif kegiatan dan
peran dominan berada pada Wajib Pajak, meskipun masih ada peran
aparatur pajak dalam hal Wajib Pajak menyalahi aturan.
c. Full Self Assesment System
Yaitu suatu sistem perpajakan dimana wewenang untuk
menghitung besarnya pajak terhutang oleh Wajib Pajak berada pada
Wajib Pajak itu sendiri dalam menghitung, menyetor dan melaporkan
sendiri pajaknya. Fiskus tidak turut campur dalam penentuan besarnya
pajak yang terhutang, sehingga berhasil tidaknya pemungutan pajak
banyak tergantung pada Wajib Pajak karena inisiatif kegiatan dan peran
dominan perpajakan berada pada Wajib Pajak.
d. Semi Full Self Assesment System
Yaitu sistem perpajakan yang menggabungkan antara self
assesment dan offcial assesment. Safri Nurmantu (2003:108) berpendapat
bahwa terdapat tiga jenis sistem pemungutan pajak penghasilan, yaitu:
1) Official Assesment System,
2) Self Assesment System, dan
3) Witholding Tax System.

D. PEMUNGUTAN DAN PENGENAAN PAJAK


Berdasarkan stelsel pemungutan pajak dibedakan menjadi 3 (tiga) yaitu :
1. Stelsel Nyata ( niil stelsel )
Pajak dikenakan berdasarkan obyek atau penghasilan yang
sesungguhnya diterima. Sebagai, contoh diterapkan dalam pasal 29 UU PPh
tahun 2008.

4
2. Stelsel Anggapan (fictive stelsel)
Pajak dikenakan berdasarkan suatu anggapan (fictive) seperti yang
tertuangdalam undang-undang. Dimana ada anggapan bahwa penghasilan
suatu terhutang untuk tahun pajak berjalan. Sebagai contoh diterapkan
dalam pasal 25 UU PPh tahun 2008.
3. Stelsel Campuran
Merupakan penggabungan antara stelsel nyata (riil stelsel) dengan
stelsel (kurang bayar), sebaliknya apabila menurut kenyataan lebih kecil
dari pada anggapan maka kelebihannya dapat diminta kembali (lebih bayar).
Berdasarkan asas pemungutan pajak dapat dibedakan menjadi 3 (tiga) yaitu:
1. Asas Domisili
Dimana wajib pajak bertempat tinggal atau berkedudukan disuatu
negara mana peng-hasilandiperoleh di Indonesia ataupun diluar Indonesia.
2. Asas Sumber
Pajak dikenakan berdasarkan sumber penghasilan berada, sehingga
orang asing bayar pajak penghasilan di Indonesia baik wajib pajak itu
bertempat kedudukan di Indonesia maupun diluar Indonesia.
3. Asas Kebangsaan
Pajak dikenakan dengan menghubungkan kebangsaan suatu negara,
berkebangsaan negara X walaupun orang tersebut tidak bertempat tinggal di
negara X.
Berdasarkan sistem pemungutan pajak dapat dibedakan menjadi 4
(empat) sistem yang dapat digunakan yaitu :
1. Official Assessment System.
Merupakan sistem pemungutan dimana besarnya pajak ditentukan oleh
pihak pajak yang diterbitkan oleh pihak pemungut (fiscus).
2. Semi Self Assessment System
Merupakan sistem pemungutan dimana besarnya pajak ditentukan
oleh dua pihak yaitu wajib pajak dan fiscus. Dalam sistem ini wajib pajak
pada awal dan akhir tahun pajak pihak fiscus menentukan besarnya pajak
yang sesungguhnya terhutang (berdasar stelsel nyata).

5
3. Full Self Assessment System
Merupakan sistem pemungutan dimana besarnya pajak ditentukan
sendiri oleh wajib pajak. Dalam sistem ini wajib pajak dituntut aktif untuk
menghitung, tindakan pengawasan oleh pihak fiscus.
4. With Holding System
Merupakan sistem pemungutan dimana besarnya pajak ditentu-kan oleh pihak
oleh wajib pajak. Dalam sistem ini wajib pajak dan fiscus bersikap pasif.
Terdapat beberapa asas yang dapat dipakai oleh negara sebagai asas dalam
menentukan wewenangnya untuk pengenaan pajak, khususnya untuk pengenaan
pajak penghasilan. Asas utama yang paling sering digunakan oleh negara
sebagai landasan untuk mengenakan pajak adalah :
1. Asas domisili atau disebut juga asas kependudukan (domicile/residence
principle), berdasarkan asas ini negara akan mengenakan pajak atas suatu
penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan, apabila
untuk kepentingan perpajakan, orang pribadi tersebut merupakan penduduk
(resident) atau berdomisili di negara itu atau apabila badan yang bersangkutan
berkedudukan di negara itu. Dalam kaitan ini, tidak dipersoalkan dari mana
penghasilan yang akan dikenakan pajak itu berasal. Itulah sebabnya bagi
negara yang menganut asas ini, dalam sistem pengenaan pajak terhadap
penduduknya akan menggabungkan asas domisili (kependudukan) dengan
konsep pengenaan pajak atas penghasilan baik yang diperoleh di negara itu
maupun penghasilan yang diperoleh di luar negeri (world-wide income
concept).
2. Asas sumber, Negara yang menganut asas sumber akan mengenakan pajak
atas suatu penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan
hanya apabila penghasilan yang akan dikenakan pajak itu diperoleh atau
diterima oleh orang pribadi atau badan yang bersangkutan dari sumber-
sumber yang berada di negara itu. Dalam asas ini, tidak menjadi persoalan
mengenai siapa dan apa status dari orang atau badan yang memperoleh
penghasilan tersebut sebab yang menjadi landasan pengenaan pajak adalah
objek pajak yang timbul atau berasal dari negara itu. Contoh: Tenaga kerja

6
asing bekerja di Indonesia maka dari penghasilan yang didapat di Indonesia
akan dikenakan pajak oleh pemerintah Indonesia.
3. Asas kebangsaan atau asas nasionalitas atau disebut juga asas
kewarganegaraan (nationality/citizenship principle). Dalam asas ini, yang
menjadi landasan pengenaan pajak adalah status kewarganegaraan dari orang
atau badan yang memperoleh penghasilan. Berdasarkan asas ini, tidaklah
menjadi persoalan dari mana penghasilan yang akan dikenakan pajak berasal.
Seperti halnya dalam asas domisili, sistem pengenaan pajak berdasarkan asas
nasionalitas ini dilakukan dengan cara menggabungkan asas nasionalitas
dengan konsep pengenaan pajak atas world wide income.
e. Subjek Pajak
Subjek pajak adalah pihak yang memiliki potensi(atau memenuhi syarat)
untuk membayar pajak. Sebelum subjek pajak mendapatkan objek pajak,maka
atasnya tidak wajib membayar pajak. Dengan kata lain, seseorang wajib
membayar pajak manakala kewajiban subjektif dan objektifnya telah terpenuhi.
Berikut adalah jenis-jenis subjek pajak orang pribadi:
1. Orang pribadi
Orang pribadi sebagai subjek pajak dapat bertempat tinggal atau berada di
Indonesia maupun di luar Indonesia.
2. Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang
berhak
Subjek pajak ini merupakan subjek pajak pengganti, menggantikan mereka
yang berhak, yaitu ahli waris. Penunjukan warisan yang belum terbagi sebagai
subjek pajak pengganti dimaksudkan agar pengenaan pajak atas penghasilan
yang berasal dari warisan tersebut tetap dapat dilaksanakan.
Untuk keperluan penghitungan pajaknya, subjek pajak orang pribadi dapat
dibagi dalam dua kelompok subjek pajak, yaitu:
1. Subjek Pajak Dalam Negeri, yaitu:
a. Orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia atau berada di
Indonesia lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan atau orang

7
pribadi yang dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan
mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia.
b. Warisan yang belum terbagi sebagai suatu kesatuan menggantikan yang
berhak. Catatan: Pajak penghasilan dihitung dari tarif pajak dikalikan
penghasilan neto.
2. Subjek Pajak Luar Negeri, yaitu:
Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada
di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12
bulan.Catatan:Pajak penghasilan dihitung dari penghasilan bruto.
f. Objek Pajak
Penghasilan yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau
diperoleh wajib pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar
Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan
wajib pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun. Tidak
Termasuk Objek Pajak Orang Pribadi
Undang-undang menentukan jenis-jenis penghasilan atau penerimaan yang
bukan merupakan objek pajak. Hal ini membawa konsekuensi bahwa
penghasilan atau penerimaan tersebut tidak perlu dihitung sebagai penghasilan
yang dikenakan pajak pada saat penghitungan pajak akhir tahun. Jenis-jenis
penghasilan dan penerimaan itu adalah sebagai berikut:
1. Bantuan atau sumbangan, termasuk zakat yang diterima oleh Badan
AmilZakat atau Lembaga Amil Zakat yang dibentuk atau disahkan
pemerintah dan yang diterima oleh yang berhak; serta harta hibahan yang
diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, dan
oleh badan keagamaan atau badan pendidikan atau badan sosial atau
pengusaha kecil termasuk Koperasi yang ditetapkan Menkeu; sepanjang
tidak ada hubungan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan antara
pihak-pihak yang bersangkutan (antara pemberi dan penerima tidak boleh
ada salah satu hubungan tersebut);
2. Warisan, karena antara orang tua dengan anak masih merupakan satu
kesatuan ekonomi yang tidak terpisahkan;

8
3. Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa dalam
bentuk natura atau kenikmatan dari wajib pajak atau pemerintah. Bagi
karyawan yang menerima bukan merupakan penghasilan yang dihitung
pajaknya, sebaliknya bagi pemberi kerja/majikan natura yang diberikan
tidak boleh dibebankan sebagai biaya (pengurang penghasilannya). Hal ini
berarti pengenaan pajak atas penghasilan karyawan berupa natura digeser
pengenaannya pada pemberi kerja;
4. Pembayaran dari perusahaan asuransi (klaim karena ada musibah atau jatuh
tempo) kepada orang pribadi sehubungan dengan asuransi kesehatan,
asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi
beasiswa;
5. Bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan
komanditer, persekutuan, perkumpulan, firma, dan kongsi yang modalnya
tidak terbagi atas saham-saham. Bila badan-badan tersebut modalnya terbagi
saham, maka perlakuannyasamadengan dividen (merupakan obyek pajak
kalau yang menerima WPOP);
6. Beasiswa yang memenuhi persyaratan tertentu yang ketentuannya diatur
lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
g. Wajib Pajak
Ada beberapa jenis wajib pajak yang dipungut pemerintah dari masyarakat
atau wajib pajak, yang dapat digolongkan berdasarkan sifat, instansi pemungut,
objek pajak serta subjek pajak.
1. Jenis Pajak Berdasarkan Sifat
Berdasarkan sifatnya, pajak digolongkan menjadi 2 jenis, yaitu: pajak tidak
langsung dan pajak langsung.
a. Pajak Tidak Langsung (Indirect Tax)
Pajak tidak langsung merupakan pajak yang hanya diberikan
kepada wajib pajak bila melakukan peristiwa atau perbuatan tertentu.
Sehingga pajak tidak langsung tidak dapat dipungut secara berkala, tetapi
hanya dapat dipungut bila terjadi peristiwa atau perbuatan tertentu yang
menyebabkan kewajiban membayar pajak. Contohnya: pajak penjualan

9
atas barang mewah, di mana pajak ini hanya diberikan bila wajib pajak
menjual barang mewah.
b. Pajak Langsung (Direct Tax)
Pajak langsung merupakan pajak yang diberikan secara berkala
kepada wajib pajak berlandaskan surat ketetapan pajak yang dibuat
kantor pajak. Di dalam surat ketetapan pajak terdapat jumlah pajak yang
harus dibayar wajib pajak. Pajak langsung harus ditanggung seseorang
yang terkena wajib pajak dan tidak dapat dialihkan kepada pihak yang
lain. Contohnya: Pajak Bumi dan Penghasilan (PBB) dan pajak
penghasilan.
2. Jenis Pajak Berdasarkan Instansi Pemungut
Berdasarkan instansi pemungutnya, pajak digolongkan menjadi 2 jenis,
yaitu: pajak daerah dan pajak negara.
a. Pajak Daerah (Lokal) Pajak daerah merupakan pajak yang dipungut
pemerintah daerah dan terbatas hanya pada rakyat daerah itu sendiri,
baik yang dipungut Pemda Tingkat II maupun Pemda Tingkat I.
Contohnya: pajak hotel, pajak hiburan, pajak restoran, dan masih
banyak lainnya.
b. Pajak Negara (Pusat) Pajak negara merupakan pajak yang dipungut
pemerintah pusat melalui instansi terkait, seperti: Dirjen Pajak, Dirjen
Bea dan Cukai, maupun kantor inspeksi pajak yang tersebar di seluruh
Indonesia. Contohnya: pajak pertambahan nilai, pajak penghasilan,
pajak bumi dan bangunan, dan masih banyak lainnya.
3. Jenis Pajak Berdasarkan Objek Pajak dan Subjek Pajak
Berdasarkan objek dan subjeknya, pajak digolongkan menjadi 2 jenis,
yaitu: pajak objektif dan pajak subjektif.
a. Pajak Objektif
Pajak objektif adalah pajak yang pengambilannya berdasarkan
objeknya. Contohnya: pajak impor, pajak kendaraan bermotor, bea
materai, bea masuk dan masih banyak lainnya.

10
b. Pajak Subjektif
Pajak subjektif adalah pajak yang pengambilannya berdasarkan
subjeknya. Contohnya: pajak kekayaan dan pajak penghasilan.
h. HUTANG PAJAK
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang dimaksud dengan pajak
yang terutang adalah pajak yang harus dibayar pada suatu saat dalam masa
pajak, dalam tahun pajak atau dalam bagian tahun pajak sesuai dengan
ketentuan dan peraturan perundang-undangan perpajakan. Berarti jika Wajib
Pajak mempunyai utang pajak maka Wajib Pajak tersebut masih memiliki
pajak yang masih harus dibayar termasuk sanksi administrasi berupa bunga,
denda atau kenaikan yang tercantum dalam surat ketetapan pajak atau surat
sejenisnya berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Saat timbulnya utang pajak sangatlah penting karena akan
menentukan pembayaran dan besarnya pajak, saat dimulai dan berakhirnya
kedaluarsa pajak, menentukan besarnya sanksi administrasi serta untuk
menentukan saat diterbitkannya surat ketetapan pajak. Terdapat dua ajaran
yang mengatur timbulnya utang pajak (Siti Resmi, 2017) yakni:
1. Ajaran Materiil
Ajaran ini menyatakan bahwa utang pajak timbul karena
diberlakukannya Undang-Undang Perpajakan. Timbulnya utang pajak
adalah pada saat diundangkannya Undang-Undang Pajak dan terpenuhinya
syarat subjektif dan syarat objektif secara bersamaan tanpa harus diikuti
Surat Ketetapan Pajak (SKP) oleh aparatur pajak, sehingga ajaran ini
berpegang pada penerapan self assessment system.
2. Ajaran Formil
Ajaran ini menyatakan bahwa utang pajak timbul karena
dikeluarkannya surat ketetapan pajak dari fi skus (pemerintah). Menurut
ajaran ini meskipun Undang-Undang Pajak telah diundangkan dan
seseorang telah memenuhi syarat subjektif dan syarat objektif secara
bersamaan namun apabila Surat Ketetapan Pajak belum diterbitkan oleh

11
pejabat pajak maka utang pajak Wajib Pajak ini belum timbul. Tidak akan
ada utang pajak jika tidak ada penagihan atau penetapan yang dikeluarkan
oleh pemerintah. Pemerintah yang menentukan besarnya pajak terutang
dan kapan harus dibayar. Ajaran ini sesuai dengan offi cial assessment
system.Surat Ketetapan Pajak menuruf ajaran ini memiliki tiga fungsi,
yaitu sebagai instrumen yang menimbulkan utang pajak, sebagai
instrumen penagihan pajak dan sebagai instrumen untuk menentukan
jumlah utang pajak.
i. SISTEMATIKA HUKUM PAJAK
Menurut Rochmat Soemitro hukum pajak adalah suatu kumpulan
peraturan yang mengatur hubungan antar pemerintah sebagai pemungut pajak
dengan rakyat sebagai pembayar pajak. Dengan kata lain Hukum Pajak
menerangkan tentang: siapa-siapa yang menjadi Wajib Pajak (subjek pajak)
dan apa yang menjadi kewajiban mereka kepada pemerintah, hak-hak
pemerintah, objek-objek apa yang dikenakan pajak, timbulnya dan hapusnya
utang pajak, cara penagihan, cara mengajukan keberatan, dan sebagainya.
Sedangkan Santoso Brotodihardjo mengutarakan bahwa yang dimaksud
hukum pajak adalah keseluruhan dari peraturan yang meliputi wewenang
pemerintah untuk mengambil kekayaan seseorang dan menyerahkan kembali
kepada masyarakat melalui kas negara, sehingga merupakan bagian dari
hukum publik, yang mengatur hubungan-hubungan hukum antara negara
dengan orang-orang atau badan-badan hukum yang berkewajiban membayar
pajak (selanjutnya disebut Wajib Pajak). Tugas hukum pajak adalah menelaah
keadaan-keadaan dalam masyarakat yang dapat dihubungkan dlam
masyarakat merumuskannya dalam peraturan-peraturan hukum dan
menafsirkan peraturan-peraturan hukum ini. Karena itu hal yang penting dan
tidak boleh diabaikan adalah latar belakang ekonomis dari keadaan yang
berkembang dalam masyarakat tersebut.
Dengan demikian hukum pajak adalah peraturan yang membagi jelas
ruang lingkup antara kewajiban dan hak Wajib Pajak serta kewajiban dan hak
negara (dalam hal ini diwakili oleh fi skus), hukum pajak sangat diperlukan

12
untuk menjamin hak dan kewajiban Wajib Pajak dan negara (fi skus). Karena
ada hubungan antara warga negara dengan pemerintahan dalam pengertian
pajak ini maka Santoso Brotodihardjo mengkategorikan hukum pajak ini
sebagai hukum publik.
1. Hukum Pajak Material
Hukum Pajak Material adalah hukum pajak yang memuat norma-
norma yang menerangkan keadaan-keadaan, perbuatan-perbuatan dan
peristiwa-peristiwa hukum yang harus dikenakan pajak (objek pajak), siapa-
siapa yang harus dikenakan pajak (subjek pajak), berapa besarnya pajak yang
dikenakan (tarif pajak), timbulnya dan hapusnya utang pajak serta hubungan
hukum antara pemerintah dan masyarakat selaku Wajib Pajak termasuk
didalamnya hukum ini mengatur tentang kenaikan-kenaikan tarif pajak,
denda-denda dan hukuman/sanksi serta tata cara pembebasan dan
pengembalian pajak serta hak tagihan yang dimiliki fiskus.
2. Hukum Pajak Formal
Hukum Pajak Formal adalah hukum pajak yang memuat peraturan-
peraturan mengenai cara-cara mengimplementasikan Hukum Pajak Material
menjadi kenyataan. Dalam hukum ini terdapat tata cara penyelenggaraan
pemutungan dan pemotongan pajak, tata cara pendaft aran NPWP dan PKP,
tata cara pembukuan dan pencatatan, tata cara penyelenggaraan (prosedur)
penetapan suatu utang pajak, tata cara pemeriksaan, tata cara penagihan, tata
cara kewajiban dan hak Wajib Pajak maupun fi skus, tata cara penyidikan,
tata cara pengenaan macam-macam sanksi, dan lain-lain.
j. Sanksi Pajak
Dalam Ketentuan Umum Perpajakan, setiap orang dengan sengaja :
1. memperlihatkan pembukuan, pencatatan, atau dokumen lain yang palsu
atau dipalsukan seolah - olah benar atau tidak menggambarkan keadaan
yang sebenarnya;
2. tidak menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan di Indonesia, tidak
memperlihatkan atau tidak meminjamkan buku atau dokumen lain,
sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara dipidana

13
dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling
sedikit 2 (dua) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar
dan paling banyak 4 (empat) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau
kurang dibayar.
3. tidak melakukan penyimpanan buku, catatan atau dokumen yang menjadi
dasar pembukuan atau pencatatan,dan dokumen lain termasuk hasil
pengolahan data dari pembukuan yang dikelola dengan elektronik atau
diselenggarakan secara program aplikasi online di Indonesia. Wajib pajak
yang karena perbuatannya atau tindakannya tersebut yang dilakukan
dengan sengaja akan dikenai sanksi.

k. Peradilan Pajak
Menurut Prof. Dr. Rachmat Sumitro, penyelesaian sengketa pajak dapat
dibagi menjadi dua, yaitu; Melalui kuasi peradilan atau peradilan semu
Penyelesaian sengketa pajak dapat dilakukan melalui kuasi peradilan atau
peradilan semu. Peradilan ini dimulai dengan mengajukan surat keberatan
(doleansi) kepada Dirjen pajak. Keberatan ini kemudian akan diputuskan oleh
hakim doleansi. Jika saluran hokum tersebut tidak dapat terselesaikan maka
dapat dilakukan dengan cara:
1. Surat Banding, surat ini ditujukan kepada Sekretariat Badan Peradilan Pajak.
Hasil keputusan akan dikeluarkan oleh Majleis Pertimbangan Pajak yang
merupakan keputusan peradilan pajak tertinggi.
2. Jika upaya tersebut belum juga menyelesaikan sengketa, maka jalan yang
dapat ditempuh adalah mengajukan permohonan kepaada Presiden RI untuk
menerapkan Ordonansi Keputusan.

14
BAB II
MACAM-MACAM PAJAK
A. Pajak penghasilan PPh
1. Pajak penghasilan PPh pasal 21
Dasar hukum Pajak Penghasilan pasal 21 adalah UU no. 36 Tahun
2008, yang dimaksud dengan PPh Pasal 21 adalah pajak atas penghasilan
berupa gaji, upah honorarium, tunjangan dan pembayaran lain dengan nama
apapun sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan, jasa, dan kegiatan yang
dilakukan oleh Wajib pajak orang pribadi dalam negeri. Pajak penghasilan
pasal 26 adalah pajak atas penghasilan, dengan nama dan dalam bentuk apa
pun, yang dibayarkan, disediakan untuk dibayarkan, atau telah jatuh tempo
pembayarannya oleh badan pemerintah, subjek pajak dalam negeri,
penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan
luar negeri lainnya kepada Wajib pajak luar negeri selain bentuk usaha tetap
di IndonesiaTarip pajak penghasilan sebesar 20% (dua puluh persen) dari
jumlah bruto oleh pihak yang wajib membayarkan: dividen;. bunga
termasuk premium, diskonto, dan imbalan sebagaimana dimaksud dalam
pasal 21 dan pasal 26 Undang Undang No. 10 Tahun 1994 ,Undang Undang
No. 17 Tahun 2000 dan terakhir Undang Undang No. 36 Tahun 2008.
2. Pajak penghasilan pasal 22
Pajak penghasilan pasal 22 ini merupakanp pajak penghasilan yang
dikenakan atas :
a. Impor barangimpor (menurut undang undang pajak) adalah kegiatan
memasukkan barang dari luar wilayah pabean Indonesia (luar negeri) ke
dalam wilayah pabean Indonesia.
b. Penjualan atau penyerahan barang kepada instansi pemerintah, BUMN
atau BUMD. Apabila pembayaran atas pembelian barang tersebut berasal
dari belanja negara dan atau belanja daerah
c. Hasil produk atau penyerahan barang tertentu.
3. Pajak penghasilan pasal 23

15
Pajak penghasilan pasal 23 merupakan pajak penghasilan yang
dipotong atas penghasilan yang diterima atau diperoleh wajib pajak dalam
negeri dan Bentuk Usaha Tetap, yang berasal dari modal, penyerahan jasa
atau penyelenggaraan kegiatan selain yang telah dipotong PPh pasal 21.
4. Pajak penghasilan pasal 24
PPh pasal 24 ayat 1 menyatakan bahwa pajak yang dibayar atau
terutang di luar negeri atas penghasilan dari luar negeri yang diterima atau
diperoleh wajib pajak dalam negeri boleh dikreditkan terhadap pajak yang
terutang berdasarkan undang-undang ini dalam tahun pajak yang sama.
Ayat 2 besarnya kredit pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah
sebesar pajak penghasilan yang dibayar atau terutang di luar negeri tetapi
tidak boleh melebihi penghitungan pajak yang terutang berdasarkan
Undang-undang ini.
5. Pajak penghasilan pasal 25
Besarnya angsuran PPh pasal 25 tiap bulan dilakukan dengan cara
menghitung selisih pajak yang terhutang pada tahun pajak yang lalu dengan
kredit pajak berupa PPh pasal 21,22, 23,dan 24 dibagi dengan 12. Kredit
pajak (pasal 25) adalah suatu jumlah yang merupakan angsuran pajak baik
yang telah dipungut/dipotong maupun yang dibayar berdasarkan ketentuan
yang berlalu yang dapat dikreditkan atau diperhitungkan dengan pajak yang
terhutang.
6. Pajak penghasilan pasal 26
Pajak penghasilan pasal 26 mengatur tentang pemotongan atas
penghasilan yang bersumber di Indonesia yang diterima atau diperoleh
wajib pajak luar negeri selain Bentuk Usata Tetap.

B. Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan Barang


Mewah(PpnBM)

16
Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPN
dan PPnBM) merupakan pajak yang dikenakan atas konsumsi daerah pabean
(didalam negeri), sedangkan untuk barang yang diekspor tidak dikenakan PPN
atau 0%. Pajak Pertambahan Nilai (PPN) merupakan jenis pajak tidak
langsung yang dikenakan terhadap semua pertambahan nilainya dan dikenakan
beberapakali pada berbagai proses distribusi didaerah pabean untuk dipungut
dan disetor oleh pihak lain (pedagang) yang bukan sebagai penanggung pajak
tetapi ditanggung oleh konsumen akhir.
Penyerahan atau impor barang yang tergolong mewah selain dikenai PPN
juga dipungut PPnBM. Pemungutan PPnBM hanya dilakukan satukali saja
pada sumbernya yaitu tingkatan pabrikan atau pada saat Import Barang kena
Pajak. (BKP) dengan tariff yang disesuaikan dengan kelompok barang.
Pajak Pertambaban Nilai (PPN) merupakan salah satu cara pemugutan pajak
atas konsumsi masyarakat. Masa berlaku PPN mulai tanggal 1 April 1985
dengan berlakunya Undang Undang No 8 Tahun 1983 tentang Pajak
Pertambahan Nilai atas barang dan jasa serta Pajak Penjualan atas Barang
Mewah. PPN tersebut menggantikan Pajak Penjualan. PPN yang berlaku saat
ini berdasarkan UU No 42 Tahun 2009 merupakan perubahan UU No. 12
Tahun 2000 juga merupakan perubahan atas UU No 8 Tahun 1983 tentang
Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Barang Mewah
yang mulai diberlakukan per 1 April 2010.
C. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)
Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dikenakan atas bumi dan atau bangunan.
Bumi adalah permukaan bumi dan tubuh bumi yang ada di bawahnya,
sedangkan bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan
secara tetap pada tanah dan atau perairan. Dasar hukum pemungutan Pajak
Bumi dan Bangunan adalah undang undang Nomor 12 Tahun 1985
sebagaimana telah diubah dengan Undang undang Nomor 12 Tahun 1994
tentang Pajak Bumi dan Bangunan.
Subjek pajak dalam Pajak Bumi dan Bangunan adalah orang atau badan
yang secara nyata mempunyai hak atas bumi, dan atau memperoleh manfaat

17
atas bumi, dan atau memiliki, menguasai, dan atau memperoleh manfaat atas
bangunan. Subjek pajak ini sekaligus menjadi wajib pajak Pajak Bumi dan
Bangunan.
Objek pajak dalam Pajak Bumi dan Bangunan adalah bumi, dan atau
bangunan.
D. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan atau Bangunan (BPHTB) adalah pajak
yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan. Bea
Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) memegang peranan yang
cukup penting dalam lalu lintas hukum berkaitan dengan perolehan hak atas
tanah dan bangunan. Ketentuan Undang-undang Bea Perolehan Hak Atas
Tanah dan Bangunan (BPHTB) menentukan bahwa pejabat yang berwenang
mengesahkan suatu perolehan hak atas tanah dan bangunan, yaitu
notaris/PPAT, pejabat lelang, dan pejabat pertanahan, hanya dapat
menandatangani akta/risalah lelang/surat keputusan pemberian hak atas tanah
setelah pihak yang memperoleh hak atas tanah dan bangunan (yang merupakan
wajib pajak) menyerahkan bukti pelunasan Bea Perolehan hak Atas Tanah dan
Bangunan (BPHTB) terutang. Hal ini membuat Bea Perolehan Hak Atas Tanah
dan Bangunan (BPHTB) menjadi penting dalam suatu transaksi prolehan hak
atas tanah dan bangunan.Perolehan hak atas tanah dan bangunan sangat
dipengaruhi oleh ketentuan hukum yang mengatur terjadinya perolehan hak
tersebut.
Subjek pajak BPHTB adalah orang pribadi atau badan yang memperoleh
hak atas tanah dan bangunan dengan kata lain adalah pihak yang menerima
pengalihan hak baik itu badan mapupun orang pribadi. Subjek pajak yang
dikenakan kewajiban membayar pajak menjadi wajib pajak.
Objek pajak BPHTB adalah perolehan hak atas tanah atau bangunan yaitu
terhadap peristiwa hukum atau perbuatan hukum atas transaksi/peralihan
haknya yang meliputi pemindahan hak dan pemberian hak baru Perolehan hak
tersebut meliputi; Dasar Pengenaan BPHTB. Dasar pengenaan BPHTB adalah
Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP).

18
E. Bea Materai
Dasar hukum pengenaan bea materai adalah Undang Undang Nomor 13 tahun
1985 atau disebut juga Undang Undang Bea Materai 1985, Undang Undang
ini berlaku sejak tanggal satu Januari 1986, selain itu untuk mengatur
pelaksanaannya, telah dikelurkan peraturan pemerintah No. 7 tahun 1995
tetang perubahan tarip bea materai yang berlaku sejak tanggal 16 Mei 1995
dan terahkir PP No. 24 Tahun 2000 mulai berlaku 1 Mei 2000Prinsip Umum
Pemungutan atau Pengenaan Bea Meterai
1. Bea materai dikenakan atas dokumen (merupakan pajak atas dokumem)
2. Satu dokumen hanya teruntang satu bea materai
3. Rangkap atau tindasan (yang ikut di tanda tangani) tentang bea materai
sama dengan aslinya

F. Pajak Pusat dan Daerah dan Fiscal Luar Negeri


Pajak pusat Menurut Siti Resmi dalam buku Perpajakan Teori dan
Kasus (2003:1) Menyatakan bahwa: “Pajak Pusat adalah pajak yang dipungut
oleh pemerintah pusat dan digunakan untuk membiayai rumah tangga negara
pada umumnya”. Pajak pusat terdiri atas:
1. Pajak Penghasilan (PPh)
PPh adalah pajak yang dikenakan kepada orang pribadi atau badan
atas penghasilan yang diterima atau diperoleh dalam suatu Tahun Pajak.
Yang dimaksud dengan penghasilan adalah setiap tambahan kemampuan
ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak baik yang berasal baik
dari Indonesia maupun dari luar Indonesia yang dapat dipakai untuk
konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan
dengan nama dan dalam bentuk apapun. Dengan demikian maka
penghasilan itu dapat berupa keuntungan usaha, gaji, honorarium, hadiah,
dan lain sebagainya.
2. Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
PPN adalah pajak yang dikenakan atas konsumsi Barang Kena Pajak atau
Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean (dalam wilayah Indonesia).

19
Orang Pribadi, perusahaan, maupun pemerintah yang mengkonsumsi
Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak dikenakan PPN. Pada dasarnya,
setiap barang dan jasa adalah Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak,
kecuali ditentukan lain oleh Undang-undang PPN.
3. Pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM)
Selain dikenakan PPN, atas pengkonsumsian Barang Kena Pajak tertentu
yang tergolong mewah, juga dikenakan PPnBM. Yang dimaksud dengan
Barang Kena Pajak yang tergolong mewah adalah :
a. Barang tersebut bukan merupakan barang kebutuhan pokok; atau
b. Barang tersebut dikonsumsi oleh masyarakat tertentu; atau
c. Pada umumnya barang tersebut dikonsumsi oleh masyarakat
berpenghasilan tinggi; atau
d. Barang tersebut dikonsumsi untuk menunjukkan status; atau
e. Apabila dikonsumsi dapat merusak kesehatan dan moral masyarakat,
serta mengganggu ketertiban masyarakat.

D. Bea Meterai
Bea Meterai adalah pajak yang dikenakan atas pemanfaatan dokumen,
seperti surat perjanjian, akta notaris, serta kwitansi pembayaran, surat berharga,
dan efek, yang memuat jumlah uang atau nominal diatas jumlah tertentu sesuai
dengan ketentuan.
a. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)
PBB adalah pajak yang dikenakan atas kepemilikan atau pemanfaatan
tanah dan atau bangunan. PBB merupakan Pajak Pusat namun demikian hampir
seluruh realisasi penerimaan PBB diserahkan kepada Pemerintah Daerah baik
Propinsi maupun Kabupaten/Kota.
b.Pajak daerah
Pajak daerah adalah pajak yang dipungut oleh Pemerintah Daerah dan
dibedakan menjadi dua yaitu Pajak Daerah Pemerintah Provinsi dan Pajak Daerah
Pemerintah Kabupaten/Kota. Pajak daerah adalah iuran wajib yang dilakukan oleh
daerah kepada orang pribadi atau badan kepada daerah tanpa imbalan langsung

20
yang seimbang, yang dapat dipaksakan berdasarkan peraturan perundang-
undangan yang berlaku, yang digunakan untuk membiayai penyelenggaraan
pemerintahan daerah dan pembangunan daerah.Dengan demikian, pajak daerah
merupakan pajak yang ditetapkan oleh Pemerintah Daerah dengan Peraturan
Daerah (Perda), yang wewenang pemungutannya dilaksanakan oleh Pemerintah
Daerah dan hasilnya digunakan untuk membiayai pengeluaran Pemerintah Daerah
dalam melaksanakan penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan di daerah.
Karena Pemerintah Daerah di Indonesia terbagi menjadi dua, yaitu Pemerintah
Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota, yang diberi kewenangan untuk
melaksanakan otonomi daerah, pajak daerahdi Indonesia dewasa ini juga dibagi
menjadi dua, yaitu Pajak Provinsi dan Pajak Kabupaten/Kota.

c.Jenis Pajak Daerah


Dalam Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 dibedakan antara jenis
pajak daerah yang dipungut oleh provinsi dan jenis pajak yang dipungut oleh
kabupaten/kota. Penjelasan secara rinci mengenai deskripsi umum, cakupan
obyek, subyek, wajib pajak dan pengecualian dari obyek serta tarif dari pajak
provinsi dan pajak kabupaten/kota adalah sebagai berikut:
Jenis pajak provinsi terdiri dari:
1. Pajak Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air
a. Pajak Kendaraan Bermotor
Tarif Pajak Kendaraan Bermotor adalah sebagai berikut:
1) Kendaran bermotor bukan umum sebesar 1,5%;
2) Kendaraan bermotor umum sebesar 1,0%;
3) Kendaraan bermotor alat-alat berat dan alat-alat besar sebesar 0,5%.
b. Pajak Kendaraan di Atas Air
Besarnya pokok Pajak Kendaraan di Atas Air yang terutang dihitung
dengan cara mengalikan tarif dengan dasar pengenaan Pajak Kendaraan di Atas
Air dan pemungutannya merupakan satu kesatuan dengan pengurusan
administrasi kendaraan bermotor lainnya. Khusus pemungutan pajak kendaraan
bermotor untuk alat-alat berat dan alat-alat besar yangbergerak dilakukan hanya

21
oleh Pemerintah Daerah.

2. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air (BBNKB &
KAA)
a. Balik Nama Kendaraan Bermotor
Tarif Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor adalah sebagai berikut:
1) Penyerahan pertama sebesar:
a) 10% untuk kendaraan bermotor bukan umum;
b) 10% untuk kendaran bermotor umum;
c) 3% untuk kendaraan bermotor alat-alat berat dan alat-alat besar.
2) Penyerahan kedua dan selanjutnya sebesar:
a) 1,0% untuk kendaraan bermotor bukan umum;
b) 1,0% untuk kendaran bermotor umum; 0,3% untuk kendaraan bermotor alat-
alat berat dan alat- alat besar.
3) Penyerahan karena warisan sebesar:
a) 0,10% untuk kendaraan bermotor bukan umum;
b) 0,10% untuk kendaran bermotor umum;
c) 0,03% untuk kendaraan bermotor alat-alat berat dan alat-alat besar

b. Bea Balik Nama Kendaraan di Atas Air


Tarif Bea Balik Nama Kendaraan di Atas Air adalah sebagai berikut:
a) Penyerahan pertama sebesar 5%;
b) Penyerahan kedua dan selanjutnya sebesar 1%;
c) Penyerahan karena warisan sebesar 0,1%.
3. Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBB-KB)
Tarif Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor adalah 5%. Dalam harga
eceran bahan bakar kendaraan bermotor sudah termasuk Pajak Bahan Bakar
Kendaraan Bermotor.
4. Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan
(P3ABT&AP)

22
Tarif Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air
Permukaan adalah:
a. Air bawah tanah sebesar 20%; dan
b. Air permukaan sebesar 10%
Pajak Fiscal Luar Negeri
Ketentuan mengenai pengenaan pajak fiskal luar negeri diatur dalam
UUPPh yaitu pada pasal 25 ayat 8 telah menyatakan adanya pajak fiskal clan akan
dijabarkan oleh peraturan pemerintah (PP). Dalam pembentukan pajak fiskal ini
telah diatur dalam peraturan perundang-undangan meskipun hanya dalam satu
ayat dan dilanjutkan dengan peraturan pelaksana yaitu peraturan pemerintah.
Namun demikian pengaturan mengenai tarif atau jumlah yang harus dibayar
ditetapkan berdasarkan Peraturan Pemerintah bukan berdasarkan undang-undang,
sesuai dengan prinsip yang disebutkan dasar pengenaan pajak yang mengatakan
bahwa subjek pajak, objek pajak, tarif pajak haruslah ditetapkan berdasarkan
undang-undang bukan menggunakan peraturan yang lebih rendah. Pajak fiskal
Luar Negeri dikenakan terhadap semua orang yang akan bertolak keluar negeri
tanpa membenakan penghasilannya, walaupun telah ditentukan pengecualiannya
terhadap pajak fiskal ini. Pemerintah beranggapan bahwa orang yang berpergian
keluar negeri adalah orang yang mampu dan patut untuk dikenakan pajak. Namun
pembayaran angsuran pajak dalam tahun bedalan yang dapat dikreditkan dengan
jumlah pajak penghasilan yang terutang pada akir tahun. Pengaturan mengenai
pajak Fiskal Luar Negeri diatur dalam Undangundang No. 17 tahunn 2000 tentang
perubahan ketiga atas.

23
BAB 3
NOMOR PAJAK WAJIB PAJAK (NPWP)
a. Pengertian NPWP
Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) adalah nomor yang diberikan kepada
Wajib Pajak sebagai sarana dalam administrasi perpajakan yang dipergunakan
sebagai tanda pengenal diri atau identitas Wajib Pajak dalam melaksanakan hak
dan kewajiban perpajakannya.
b. Fungsi NPWP
1.Sarana dalam Administrasi Perpajakan
Perpajakan Indonesia secara umum menganut sistem self assessment yang
memberikan kepercayaan dan tanggung jawab penuh kepada masyarakat Wajib
Pajak untuk memenuhi kewajiban perpajakannya. Dalam sistem tersebut,
masyarakat Wajib Pajak diberi kepercayaan dan tanggung jawab untuk
menghitung, memperhitungkan, membayar, dan melaporkan sendiri pajak yang
menjadi tanggungannya.
Dengan dianutnya sistem self assessment tersebut, maka pengetahuan
perpajakan yang memadai merupakan salah satu syarat yang harus dimiliki oleh
Wajib Pajak agar dapat memenuhi kewajiban perpajakannya secara baik dan
benar. Pemerintah, dalam hal ini Direktorat Jenderal Pajak (DJP), berkewajiban
melakukan pembinaan/penyuluhan, pelayanan, dan pengawasan terhadap
pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak.
Sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang Perpajakan. Surat
Pemberitahuan (SPT) mempunyai fungsi sebagai suatu sarana bagi Wajib Pajak
dalam melaporkan dan mempertanggungjawabkan penghitungan jumlah pajak
yang sebenarnya terutang. Selain itu, Surat Pemberitahuan berfungsi untuk
melaporkan pembayaran atau pelunasan pajak, baik yang dilakukan Wajib Pajak
sendiri maupun melalui mekanisme pemotongan dan pemungutan yang dilakukan
oleh pihak ketiga, melaporkan harta dan kewajiban, dan pembayaran dari
pemotong atau pemungut atas pemotongan dan pemungutan pajak yang telah
dilakukan. Surat Pemberitahuan mempunyai makna yang cukup penting baik bagi
Wajib Pajak maupun aparatur pajak.

24
Kewajiban warga negara dalam membayar pajak dan retribusi diatur dalam
Pasal 23A Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang
menyatakan bahwa "Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk
keperluan negara diatur dengan undang-undang". Pembayaran pajak merupakan
perwujudan dari kewajiban kenegaraan dan peran serta warga negara untuk secara
langsung dan bersama-sama mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Semua
Wajib Pajak yang telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan berdasarkan sistem
self assessment, wajib mendaftarkan diri pada kantor Direktorat Jenderal Pajak
untuk dicatat sebagai Wajib Pajak dan sekaligus untuk mendapatkan Nomor
Pokok wajib Pajak.
2. Tanda pengenal diri atau Identitas Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan
kewajiban perpajakannya.
Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) adalah nomor yang diberikan kepada
Wajib Pajak sebagai sarana dalam administrasi perpajakan yang dipergunakan
sebagai tanda pengenal diri atau identitas Wajib Pajak dalam melaksanakan hak
dan memenuhi kewajiban perpajakannya. Adapun hak dan kewajiban perpajakan
dari Wajib Pajak antara lain:
1. Hak Wajib Pajak:
Dalam rangka untuk lebih memberikan keadilan di bidang perpajakan yaitu antara
keseimbangan hak negara dan hak warga Negara pembayar pajak, maka
Undang-Undang Perpajakan yaitu Undang-Undang tentang Ketentuan Umum
dan Tata Cara Perpajakan mengakomodir mengenai berbagai hak-hak Wajib
Pajak.
2.Hak Atas Kelebihan Pembayaran Pajak
Dalam hal pajak yang terutang untuk suatu tahun pajak ternyata
lebih kecil dari jumlah kredit pajak, atau dengan kata lain pembayaran pajak
yang dibayar atau dipotong atau dipungut lebih besar dari yang seharusnya
terutang, maka Wajib Pajak mempunyai hak untuk mendapatkan kembali
kelebihan tersebut. Pengembalian kelebihan pembayaran pajak dapat diberikan
dalam waktu 12 (dua belas) bulan sejak surat permohonan diterima secara

25
lengkap. Untuk Wajib Pajak yang masuk kriteria Wajib Pajak Patuh,
pengembalian kelebihan pembayaran pajak dapat dilakukan paling lambat 3
(tiga) bulan untuk PPh dan 1 (satu) bulan untuk PPN sejak permohonan
diterima. Perlu diketahui pengembalian ini dilakukan tanpa pemeriksaan.
Wajib Pajak dapat melakukan permohonan pengembalian kelebihan
pembayaran pajak melalui dua cara, yaitu melalui Surat Pemberitahuan (SPT)
dan/atau dengan mengirimkan surat permohonan yang ditujukankepada Kepala
KPP. Apabila Direktorat Jenderal Pajak terlambat mengembalikan kelebihan
pembayaran yang semestinya dilakukan, maka Wajib Pajak berhak menerima
bunga 2% per bulan maksimum 24 bulan.

3.Hak Kerahasiaan Bagi Wajib Pajak


Wajib Pajak mempunyai hak untuk mendapat perlindungan kerahasiaan
atas segala sesuatu informasi yang telah disampaikannya kepada Direktorat
Jenderal Pajak dalam rangka menjalankan ketentuan perpajakan. Disamping itu,
pihak lain yang melakukan tugas di bidang perpajakan juga dilarang
mengungkapkan kerahasiaan Wajib Pajak. termasuk tenaga ahli, seperti ahli
bahasa, akuntan, pengacara yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak untuk
membantu pelaksanaan undang-undang perpajakan. Kerahasiaan Wajib Pajak
antara lain:
a. Surat Pemberitahuan, laporan keuangan, dan dokumen lainnya yang dilaporkan
oleh Wajib Pajak;
b. data dari pihak ketiga yang bersifat rahasia:
c. dokumen atau rahasia Wajib Pajak lainnya sesuai ketentuan perpajakan yang
berlaku. Seperti Kawasan Berikat mendapat fasilitas PPN Tidak Dipungut antara
lain atas impor dan perolehan bahan baku.

2.Kewajiban Wajib Pajak


Diskusi pada bagian ini akan lebih fokus membahas tentang kewajiban
perpajakan yang dimiliki oleh setiap orang atau badan usaha yang telah
memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sekaligus pada saat yang

26
bersamaan. Kewajiban perpajakan tersebut antara lain adalah kewajiban
mendaftarkan diri, kewajiban menghitung, membayar dan melaporkan. Apa
yang dimaksud kewajiban mendaftarkan diri, menghitung, memperhitungkan,
memotong/membayar dan melaporkan pajak.
a. Kewajiban Mendaftarkan Diri.
Berdasarkan sistem self assessment, maka Wajib Pajak mempunyai
kewajiban untuk mendaftarkan diri untuk diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak
(NPWP). NPWP adalah nomor identitas yang diberikan kepada Wajib Pajak
(WP) sebagai sarana administrasi dalam melaksanakan hak dan kewajiban
perpajakan.
b.Kewajiban Menghitung Pajak
Apa itu menghitung pajak? Menghitung berarti proses menentukan pajak
yang harus dibayar. Secara umum untuk menghitung pajak digunakan sistem self
assessment, dimana Wajib Pajak menghitung sendiri pajak yang terhutang.
Penghitungan pajak secara self assesment lebih banyak diterapkan dalam
pemenuhan kewajiban perpajakan tahunan (SPT Tahunan, baik orang pribadi
maupun badan).

3.Dicantumkan dalam setiap dokumen perpajakan.


NPWP harus ditulis dalam setiap dokumen perpajakan, antara lain:
1.Formulir pajak yang dipergunakan Wajib Pajak;
2.Surat menyurat dalam hubungan dengan perpajakan;
3.Dalam hubungan dengan instansi tertentu yang mewajibkan menggunakan
NPWP.
Dengan memiliki NPWP, kita akan mendapatkan kemudahan dalam
mengurus persyaratan Administrasi seperti di bank. Beberapa instansi saat ini
mengharuskan memasukkan nomor NPWP sebagai salah satu syarat utama atau
syarat dokumen pendukung untuk mengurus administrasi di tempat tersebut.
Beberapa pembuatan dokumen yang di dalamnya membutuhkan NPWP
diantaranya adalah berikut ini:
1.Kredit Bank

27
2.Rekening Koran
3.Pembuatan SIUP Surat izin usaha perdagangan
4.Administrasi Pajak Final
5.Pembuatan Paspor
4.Menjaga ketertiban dalam pembayaran pajak dan pengawasan administrasi
perpajakan.

C. Manfaat Memiliki NPWP


1. Kemudahan Pengurusan Administrasi, dalam:
a. Pengajuan Kredit Bank;
b. Pembuatan Rekening Koran di Bank;
c. Pengajuan SIUP/TDP;
d. Pembayaran Pajak Final (PPh Final, PPN dan BPHTB, dll);
e. Pembuatan Paspor;
f. Mengikuti lelang di instansi Pemerintah, BUMN dan BUMD.
2. Kemudahan pelayanan perpajakan:
a. Pengembalian pajak;
b. Pengurangan pembayaran pajak;
c. Penyetoran dan pelaporan pajak

D. PERATURAN TERKAIT MENGENAI NPWP


Sebagaimana disebutkan didalam pasal 2 UU KUP, disebutkan mengenai
Aturan pendaftaran NPWP, bahwa:
a.Semua wajib pajak yang telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan berdasarkan
system self assessment, wajib mendaftarkan diri pada kantor Direktorat Jenderal
Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan
Wajib Pajak untuk dicatat sebagai Wajib Pajak sekaligus untuk mendapatkan
nomor pokok Wajib Pajak. Pasal 2 (ayat 1) UU KUP
b.Kewajiban mendaftarkan diri tersebut berlaku pula untuk wanita kawin yang
dikenai pajak secara terpisah karena hidup terpisah berdasarkan keputusan hakim

28
atau dikehendaki secara tertulis berdasarkan perjanjian pemisahan penghasilan
dan harta. Pasal 2 ayat (2) UU KUP
c.Direktur jenderal pajak menerbitkan NPWP dan/atau mengukuhkan Pengusaha
Kena Pajak secara jabatan apabila wajib pajak atau PKP tidak melaksanakan
kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1), (2) dan/atau ayat (3)UU KUP.
d.Kewajiban mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP dibatasi jangka
waktunya, karena hal ini berkaitan dengan saat pajak terutang dan kewajiban
mengenai pajak terutang. Jangka waktu pendaftaran NPWP tersebut adalah:
1. Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi (WP-OP) yang menjalankan usaha atau
pekerjaan bebas dan Wajib Pajak Badan, paling lambat 1 (satu) bulan setelah
usaha mulai dijalankan.
2. Bagi WP-OP yang tidak menjalankan usaha atau pekerjaan bebas apabila
sampai dengan satu bulan yang jumlahnya melebihi PTKP setahun, wajib
mendaftarkan diri paling lambat pada akhir bulan berikutnya.

E. NPWP keluarga
Kategori Wajib Pajak yang Mendaftarkan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP)
Wajib pajak yang wajib mendaftarkan diri meliputi:
a.Wajib pajak orang pribadi yang tidak menjalankan usaha atau pekerjaan bebas
termasuk wanita kawin yang dikenai pajak secara terpisah Karena:
1.Hidup terpisah berdasarkan keputusan hakim
2.Wajib pajak menghendaki secara tertulis berdasarkan perjanjian pemisahan
penghasilan dan harta.
3.Wajib pajak memilih melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban
perpajakannya terpisah dari suaminya meskipun tidak terdapat keputusan hakim
atau tidak terdapat perjanjian pemisahan penghasilan dan harta, yang tidak
menjalankan usaha atau pekerjaan bebas dan memperoleh penghasilan di atas
Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP).
b.Wajib pajak orang pribadi menjalankan usaha atau pekerjaan bebas termasuk
wanita kawin yang dikenai pajak secara terpisah karena:
1.Hidup terpisah berdasarkan keputusan hakim

29
2.Wajib pajak menghendaki secara tertulis berdasarkan perjanjian pemisahan
penghasilan dan harta.
3.Wajib pajak memilih melaksanakan hak dan kewajiban perpajakan terpisah dari
suaminya meskipun tidak terdapat keputusan hakim atau tidak terdapat perjanjian
pemisahan penghasilan dan harta, yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas.
c.Wajib pajak badan yang memiliki kewajiban perpajakan sebagai pembayar
pajak, pemotong dan/atau pemungut pajak sesuai ketentuan peraturan perundang-
undangan perpajakan, termasuk bentuk usaha tetap dan kontraktor dan/atau
operator di bidang usaha hulu minyak dan gas bumi.
d.Wajib pajak badan yang hanya memiliki kewajiban perpajakan sebagai
pemotong dan/atau pemungut pajak sesuai ketentuan peraturan perundang-
undangan perpajakan, termasuk bentuk kerja sama operasi.
e.Bendahara yang ditunjuk sebagai pemotong dan/atau pemungut pajak sesuai
ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Wajib pajak orang pribadi pengusaha tertentu, selain wajib mendaftarkan
diri pada Kantor Pelayanan Pajak (KPP) yang wilayah kerjanya meliputi tempat
tinggal wajib pajak, juga wajib mendaftarkan diri pada Kantor Pelayanan Pajak
(KPP) yang wilayah kerjanya meliputi tempat kegiatan usaha wajib pajak. Wanita
kawin yang tidak menghendaki untuk melaksanakan hak dan memenuhi
kewajiban perpajakan terpisah dari suaminya dan anak yang belum dewasa, harus
melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakannya menggunakan Nomor
Pokok Wajib Pajak (NPWP) suami atau kepala keluarga. Wajib pajak yang sudah
memenuhi syarat untuk mendaftarkan diri untuk mendapatkan Nomor Pokok
Wajib Pajak (NPWP) tetapi belum mendaftarkan diri, berdasarkan hasil
pemeriksaan atau hasil verifikasi Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Nomor
Pokok Wajib Pajak (NPWP) secara jabatan.

F. Sanksi penyalahgunaan NPWP dan Penghapusan NPWP


Didalam pasal 39 UU KUP desbutkan mengenai sanksi khususnya terkait
masalah NPWP, bahwa setiap orang yang dengan sengaja:

30
Tidak mendaftarkan diri untuk diberikan NPWP atau menyalahgunakan tanpa
hak NPWP, sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan Negara,
dipidana penjara paling singkat 6 bulan dan paling lama 6 tahun dan denda paling
sedikit 2 kali pajak terutaang yang tidak atau kurang dibayar dan paling banyak 4
kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar. Pasal 39 ayat (1) huruf
a. UU KUP Pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditambahkan 1 kali
menjadi 2 kali sanksi pidana apabila seseorang melakukan lagi tindak pidana
dibidang perpajakan sebelum lewat 1 tahun, terhitung sejakselesainya menjalani
pidana penjara yang dijatuhkan. Pasal 39 ayat (2)UU KUP
Setiap orang melakukan percobaan untuk melakukan tindak pidana
menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak NPWP sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) huruf b, dalam rangka mengajukan permohonan restitusi atau
melakukan kompensasi pajak atau pengkreditan pajak, dipidana dengan pidana
penjara paling singkat 6 bulan dan paling lama 2 tahun dan denda paling sedikit 2
kali jumlah restitusi yang dimohonkan dan/atau kompensasi atau pengkreditan
yang dilakukan dan paling banyak 4 kali jumlah restitusi tersebut.
Setiap orang melakukan percobaan untuk melakukan tindak pidana
menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak pengukuhan Pengusaha Kena
Pajak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b, dalam rangka mengajukan
permohonan restitusi atau melakukan kompensasi pajak atau pengkreditan pajak,
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 bulan dan paling lama 2 tahun
dan denda paling sedikit 2 kali jumlah restitusi yang dimohonkan dan/atau
kompensasi atau pengkreditan yang dilakukan dan paling banyak 4 kali dari
jumlah restitusi tersebut.
• Penghapusan NPWP
Penghapusan NPWP dilakukan dalam hal-hal sebagai berikut:
a. Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi (WP-OP) yang meninggal dunia dan tidak
meninggalkan warisan;
b. Warisan yang belum terbagi dalam kedudukan sebagai subjek pajak sudah
selesai dibagi;
c. Wajib Pajak Badan yang telah dibubarkan secara resmi berdasarkan ketentuan

31
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
d. Bentuk Usah Tetap (BUT) yang karena suatu hal kehilangan statusnya sebagai
bentuk usaha tetap.
e. Wajib Pajak Orang Pribadi lainnya, selain yang dimaksud dalam huruf a dan
huruf b yang tidak memenuhi syarat lagi sebagai Wajib Pajak.

32
BAB 4
SURAT PEMBERITAHUAN (SPT)

A. Pengisian dan Penyampaian SPT


1. Setiap Wajib Pajak wajib mengisi Surat Pemberitahuan dengan benar,
lengkap, dan jelas, dalam bahasa Indonesia dengan menggunakan huruf Latin,
angka Arab, satuan mata uang Rupiah, dan menandatangani serta
menyampaikannya ke kantor Direktorat Jenderal Pajak tempat Wajib Pajak
terdaftar atau dikukuhkan atau tempat lain yang ditetapkan oleh Direktur
Jenderal Pajak.
2. Wajib Pajak yang telah mendapat izin Menteri Keuangan untuk
menyelenggarakan pembukuan dengan menggunakan bahasa asing dan mata
uang selain Rupiah, wajib menyampaikan SPT dalam bahasa Indonesia dan
mata uang selain Rupiah yang diizinkan.
B. Fungsi SPT
1. Wajib Pajak PPh
Sebagai sarana WP untuk melaporkan dan mempertanggung-jawabkan
penghitungan jumlah pajak yang sebenarnya terutang dan untuk melaporkan
tentang:
a. pembayaran atau pelunasan pajak yang telah dilaksanakan sendiri atau melalui
pemotongan atau pemungutan pihak lain dalam satu Tahun Pajak atau Bagian
Tahun Pajak;
b. penghasilan yang merupakan objek pajak dan atau bukan objek pajak;
c. harta dan kewajiban;
d. pemotongan/pemungutan pajak orang atau badan lain dalam 1 (satu) Masa
Pajak.
2. Pengusaha Kena Pajak
a. Sebagai sarana untuk melaporkan dan mempertanggung-jawabkan
penghitungan jumlah PPN dan PPnBM yang sebenarnya terutang dan untuk
melaporkan tentang:pengkreditan Pajak Masukan terhadap Pajak Keluaran;
b. pembayaran atau pelunasan pajak yang telah dilaksanakan sendiri oleh

33
Pengusaha Kena Pajak dan/atau melalui pihak lain dalam satu Masa Pajak, sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
3. Pemotong/ Pemungut Pajak
Sebagai sarana untuk melaporkan dan mempertanggung-jawabkan pajak yang
dipotong atau dipungut dan disetorkan.

C. Tempat pengambilan SPT


Setiap WP harus mengambil sendiri formulir SPT di Kantor Pelayanan
Pajak (KPP), Kantor Pelayanan Penyuluhan dan Konsultasi Perpajakan (KP2KP),
Kantor Wilayah DJP, Kantor Pusat DJP, atau dapat diunduh di situs DJP
(www.pajak.go.id) atau mencetak/menggandakan/fotokopi dengan bentuk dan isi
yang sama dengan aslinya.

D. Ketentuan Tentang Pengisian SPT


SPT wajib diisi secara benar, lengkap, jelas dan harus ditandatangani.
Dalam hal SPT diisi dan ditandatangani oleh orang lain bukan WP, harus
dilampiri surat kuasa khusus. Untuk Wajib Pajak Badan, SPT harus
ditandatangani oleh pengurus/direksi.

E. Ketentuan Tentang Penyampaian SPT


1. Penyampaian SPT oleh WP dapat dilakukan:
a. Secara langsung ke KPP/KP2KP atau tempat lain yang ditentukan (Drop Box,
Pojok Pajak, Mobil Pajak Keliling);
b. Melalui pos dengan pengiriman surat atau;
c. Dengan cara lain yaitu melalui perusahaan jasa ekspedisi atau jasa kurir dengan
bukti pengiriman surat atau e-Filing melalui penyedia jasa aplikasi atau ASP
(Application Service Provider);
d. Untuk SPT PPh Wajib Pajak Orang Pribadi dengan menggunakan formulir
1770S atau 1770SS, dapat menggunakan aplikasi pada situs DJP
(www.pajak.go.id) berupa aplikasi e-Filing (efiling.pajak.go.id)
2. Bukti penerimaan SPT untuk yang disampaikan:

34
a. secara langsung adalah tanda penerimaan surat;
b. e-Filing melalui ASP atau situs DJP adalah bukti penerimaan elektronik;
c. Pos dengan bukti pengiriman surat adalah bukti pengiriman surat; dan
d. Perusahaan jasa ekspedisi atau jasa kurir dengan adalah tanda penerimaan surat.

3. Batas waktu penyampaian:


a. SPT Masa, paling lama dua puluh hari setelah akhir Masa Pajak, kecuali untuk
SPT Masa PPh Pasal 22, PPN dan PPnBM yang dipungut oleh Direktorat Jenderal
Bea dan Cukai yaitu secara mingguan paling lama pada hari kerja terakhir minggu
berikutnya, dan SPT Masa PPh Pasal 22, PPN dan PPnBM yang dipungut oleh
Bendahara paling lama 14 hari setelah Masa Pajak berakhir. Untuk WP dengan
kriteria tertentu yang melaporkan beberapa Masa Pajak dalam satu SPT Masa,
paling lama 20 hari setelah berakhirnya Masa Pajak terakhir.
b. SPT Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak orang pribadi, paling lama 3
(tiga) bulan setelah akhir Tahun Pajak, sedangkan untuk SPT Tahunan Pajak
Penghasilan Wajib Pajak badan, paling lama 4 (empat) bulan setelah akhir Tahun
Pajak.

F. Penyampaian SPT melalui Elektronik (e-Filing)


Wajib Pajak dapat menyampaikan Surat Pemberitahuan secara elektronik
(e-Filling) melalui perusahaan ASP yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak.
Wajib Pajak yang telah menyampaikan Surat Pemberitahuan secara elektronik (e-
Filling), wajib menyampaikan induk Surat Pemberitahuan yang memuat tanda
tangan basah dan Surat Setoran Pajak (bila ada) serta bukti penerimaan secara
elektronik ke Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak terdaftar melalui
Kantor Pos secara tercatat atau disampaikan langsung, paling lama 14 (empat
belas) hari sejak tanggal penyampaian Surat Pemberitahuan secara
elektronik.Penyampaian Surat Pemberitahuan secara elektronik dapat dilakukan
selama 24 (dua puluh empat) jam sehari dan 7 (tujuh) hari seminggu. Surat
Pemberitahuan yang disampaikan secara elektronik pada akhir batas waktu
penyampaian Surat Pemberitahuan yang jatuh pada hari libur, dianggap

35
disampaikan tepat waktu.

G. Perpanjangan Waktu Penyampaian SPT Tahunan


Apabila Wajib Pajak baik orang pribadi maupun badan ternyata tidak
dapat menyampaikan Surat Pemberitahuan dalam jangka waktu yang telah
ditetapkan karena luasnya kegiatan usaha dan masalah-masalah teknis penyusunan
laporan keuangan, atau sebab lainnya sehingga sulit untuk memenuhi batas waktu
penyelesaian danmemerlukan kelonggaran dari batas waktu yang telah ditentukan,
Wajib Pajak dapat memperpanjang penyampaian SPT Tahunan Pajak Penghasilan
dengan caramenyampaikan pemberitahuan secara tertulis atau dengan cara lain
misalnya denganpemberitahuan secara elektronik kepada Direktur Jenderal
Pajak.Pemberitahuan perpanjangan penyampaian SPT Tahunan Pajak Penghasilan
harus disertai dengan penghitungan sementara pajak yang terutang dalam 1 (satu)
Tahun Pajak dan Surat Setoran Pajak sebagai bukti pelunasan kekurangan
pembayaran pajak yang terutang, dan disampaikan sebelum batas waktu
penyampaian berakhir.

H. Sanksi Tidak Atau Terlambat Menyampaikan SPT


SPT yang tidak disampaikan atau disampaikan tidak sesuai dengan batas
waktu yang ditentukan, dikenakan sanksi administrasi berupa denda:
1. SPT Tahunan PPh orang pribadi Rp 100 ribu;
2. SPT Tahunan PPh badan Rp 1 juta;
3. SPT Masa PPN Rp 500 ribu;
4. SPT Masa Lainnya Rp 100 ribu.
Pengenaan sanksi administrasi berupa denda tersebut tidak dilakukan
terhadap:
1. Wajib Pajak orang pribadi yang telah meninggal dunia;
2. Wajib Pajak orang pribadi yang sudah tidak melakukan kegiatan usaha atau
pekerjaan bebas;
3. Wajib Pajak orang pribadi yang berstatus sebagai warga negara asing yang
tidak tinggal lagi di Indonesia;

36
4. Bentuk Usaha Tetap yang tidak melakukan kegiatan lagi di Indonesia;
5. Wajib Pajak badan yang tidak melakukan kegiatan usaha lagi tetapi belum
dibubarkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku;
6. Bendahara yang tidak melakukan pembayaran lagi;
7. Wajib Pajak yang terkena bencana, yang ketentuannya diatur dengan Peraturan
Menteri Keuangan; atau\
8. Wajib Pajak lain yaitu Wajib Pajak yang dalam keadaan antara lain : kerusuhan
massal, kebakaran, ledakan bom atau aksi terorisme, perang antar suku atau
kegagalan sistem komputer administrasi penerimaan negara atau perpajakan
Bagi Wajib Pajak yang alpa tidak menyampaikan SPT atau menyampaikan
SPT tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap dan dapat merugikan negara yang
dilakukan pertama kali tidak dikenai sanksi pidana tetapi dikenai sanksi
administrasi berupa kenaikan sebesar 200% dari pajak yang kurang
dibayar.Sanksi pidana juga dikenakan terhadap setiap orang karena kealpaannya
tidak menyampaikan SPT atau menyampaikan SPT tetapi isinya tidak benar atau
tidak lengkap sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara dan
perbuatan tersebut merupakan perbuatan setelah perbuatan yang pertama kali,
didenda paling sedikit 1 (satu) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang
dibayar dan paling banyak 2 (dua) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau
kurang dibayar, atau dipidana kurungan paling singkat 3 (tiga) bulan atau paling
lama 1 (satu) tahun.Setiap orang yang dengan sengaja tidak menyampaikan SPT
atau menyampaikan SPT tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap dan dapat
merugikan negara, sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 6
(enam) tahun dan denda paling sedikit2 (dua) kali jumlah pajak terutang yang
tidak atau kurang dibayar dan paling banyak 4(empat) kali jumlah pajak terutang
yang tidak atau kurang dibayar.

I. Pembetulan SPT
1. WP dengan kemauan sendiri dapat membetulkan Surat Pemberitahuan
yang telah disampaikan dengan menyampaikan pernyataan tertulis, dengan

37
syarat Direktur Jenderal Pajak belum melakukan tindakan pemeriksaan,
kecuali untuk SPT Rugi atau SPT Lebih Bayar paling lama 2 tahun
sebelum daluwarsa, sepanjang belum dilakukan pemeriksaan.Dalam hal
Wajib Pajak membetulkan sendiri Surat Pemberitahuan Tahunan yang
mengakibatkan utang pajak menjadi lebih besar, kepadanya dikenai sanksi
administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan atas jumlah
pajakyang kurang dibayar, dihitung sejak saat penyampaian Surat
Pemberitahuan berakhir sampai dengan tanggal pembayaran, dan bagian
dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan. Dalam hal Wajib Pajak
membetulkan sendiri Surat Pemberitahuan Masa yang mengakibatkan
utang pajak menjadi lebih besar, kepadanya dikenai sanksi administrasi
berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan atas jumlah pajak yang
kurang dibayar, dihitung sejak jatuh tempo pembayaran sampai dengan
tanggal pembayaran, dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.
2. Walaupun telah dilakukan tindakan pemeriksaan, tetapi belum
dilakukan tindakan penyidikan mengenai adanya ketidakbenaran yang
dilakukan Wajib Pajak, terhadap ketidakbenaran perbuatan Wajib Pajak
tersebut tidak akan dilakukan penyidikan, apabila Wajib Pajak dengan
kemauan sendiri mengungkapkan ketidakbenaran perbuatannya tersebut
dengan disertai pelunasan kekurangan pembayaran jumlah pajak yang
sebenarnya terutang beserta sanksi administrasi berupa denda sebesar
150% (seratus lima puluh persen) dari jumlah pajak yang kurang dibayar.
3. Walaupun Direktur Jenderal Pajak telah melakukan pemeriksaan,
dengan syarat Direktur Jenderal Pajak belum menerbitkan surat ketetapan
pajak, Wajib Pajak dengan kesadaran sendiri dapat mengungkapkan dalam
laporan tersendiri tentang ketidakbenaran pengisian Surat Pemberitahuan
yang telah disampaikan sesuai keadaan yang sebenarnya, yang dapat
mengakibatkan:
a. pajak-pajak yang masih harus dibayar menjadi lebih besar atau lebih
kecil;
b. rugi berdasarkan ketentuan perpajakan menjadi lebih kecil atau lebih

38
besar.

J. Batas Waktu Pembayaran Pajak


1. Menteri Keuangan menentukan tanggal jatuh tempo pembayaran dan
penyetoran pajak yang terutang untuk suatu saat atau Masa Pajak bagi
masing-masing jenis pajak, paling lama 15 (lima belas) hari setelah saat
terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak.
2. Batas waktu pembayaran untuk kekurangan pembayaran pajak
berdasarkan SPT Tahunan paling lama sebelum SPT disampaikan.’

K. Sanksi Keterlambatan Pembayaran Pajak


Atas keterlambatan pembayaran pajak, dikenakan sanksi denda
administrasi bunga 2% (dua persen) sebulan dari pajak terutang dihitung dari
jatuh tempo pembayaran.

39
BAB 5
ADMINISTRASI PERPAJAKAN

1.Administrasi Pajak di Kantor Pelayanan Pajak (KPP)


Menurut Sophar (1997: 37), administrasi perpajakan adalah cara- cara atau
prosedur pengenaan dan pemungutan pajak. Sedangkan Rahayu (2010:93),
adminitrasi pajak adalah sebagai suatu prosedur meliputi antara lain tahap-tahap
administrasi wajib pajak, penetapan pajak, pembayaran Pajak, pelaporan pajak
dan penagihan pajak. Prosedur pelayanan Merupakan salah satu hal pokok yang
harus menjadi pusat perhatian oleh Petugas pajak dalam melakukan pelayanan
kepada wajib pajak baik orang maupun badan. Dalam kaitannya dengan prosedur
Pelayanan yang dilakukan di Kantor Pelayanan Pajak, tentu saja bermuara Pada
upaya untuk menciptakan kualitas pelayanan yang baik dengan Harapan bahwa
semakin baik kualitas pelayanan maka akan meningkatkan Kepatuhan wajib pajak
dalam menyelesaikan kewajiban mereka.

2.Administrasi Pajak Bagi Wajib Pajak


Setiap Wajib Pajak berkewajiban untuk melakukan kegiatan administrasi
yang akan menjadi data dalam penyusunan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT)
Wajib Pajak yang bersangkutan. Kegiatan administrasi tersebut menurut UU KUP
biasa disebut dengan pencatatan atau pembukuan. Pada hakekatnya seluruh WP
Orang Pribadi dan atau badan yang melakukan usaha diwajibkan untuk
menyelenggarakan pembukuan. Namun karena adanya keterbatasan kemampuan
Wajib Pajak, UU KUP memberikan kemudahan kepada WPOP tertentu yang
melakukan/tidak melakukan kegiatan usaha diberi kelonggaran tidak harus
membuat pembukuan tetapi hanya dengan pencatatan.Pencatatan tersebut terdiri
dari data yang dikumpulkan secara teratur tentang peredaran atau penerimaan
bruto dan atau penghasilan bruto sebagai dasar untuk menghitung jumlah pajak
terutang, termasuk penghasilan yang bukan objek pajak dan atau yang dikenakan
PPh final.

40
DAFTAR PUSTAKA

Budiman, Nita Andriyani, Dkk. 2019. Perpajakan. Badan Penerbit Universitas


Muria Kudus: Kudus

Puspasari, Aprilia., Dkk. 2022. Perpajakan. Expert: Yogyakarta.

Salim, Agus., Haerudin. 2019. Dasar-Dasar Perpajakan. Lpp-Mitra Edukasi:


Makassar.

Syarifudin, Akhmad. 2018. Buku Ajar Perpajakan. STIE Putra: Kebumen

41
42
43

Anda mungkin juga menyukai