PENDAPATAN DAERAH
KURSUS KEUANGAN DAERAH
Edisi Tahun 2014
Kontributor: Kepala Sub Direktorat Investasi dan Kapasitas Daerah – Dit PKD
Kepala Sub Direktorat Sinkronisasi dan Dukungan Teknis PDRD – Dit PDRD
Kepala Sub Direktorat DAU, Dit Dana Perimbangan
Niniek L. Gyat (Universitas Indonesia)
Djaka Waluya (Universitas Gajah Mada)
Sri Maryati (Universitas Andalas)
Atim Djazuli (Universitas Brawijaya)
Fatmawati (Universitas Hasanuddin)
Lidia Mawikere (Universitas Sam Ratulangi)
Andi Prasetiawan Hamzah (Sekolah Tinggi Akuntansi Negara)
Sanusi Fattah (Tim QA)
Izzuddin (Tim QA)
Didukung oleh:
Deutsche Gesellschaft fuer Internationale Zusammenarbeit (GIZ) GmbH
Decentralisation as Contribution to Good Governance (DeCGG) Program
Fiscal Decentralisation Component
Jakarta 2013
Pelaksanaan KKD-KKDK terus mengalami penyempurnaan dan updating terutama terkait dengan
kurikulum, satuan acara pembelajaran (SAP), dan modul. Untuk pertama kali, pada tahun 2012, modul-
modul kegiatan KKD-KKDK diseragamkan agar setiap lulusan mempunyai pemahaman yang sama atas
materi yang diajarkan. Perbaikan kualitas pelaksanaan KKD-KKDK terus dilanjutkan dan pada tahun 2013,
DJPK mendapat dukungan dari GIZ untuk melakukan standarisasi Modul KKD-KKDK sehingga modul-
modul tersebut diharapkan dapat memenuhi standar modul internasional. Standarisasi modul ini
menghasilkan dua produk utama, yaitu: (i) Materi Pelatihan (handbook) ; dan (ii) Panduan Bagi Pelatih
(trainer guideline) untuk 6 (enam) jenis pelatihan, yaitu Perencanaan Penganggaran, Pendapatan Daerah,
Belanja Daerah, Barang Milik Daerah, Penatausahaan Perbendaharaan Daerah dan Akuntansi Keuangan
Pemerintah Daerah.
Kami mengucapkan terima kasih kepada GIZ yang telah mendukung pelaksanaan standarisasi materi
pelatihan dan panduan bagi pelatih ini sehingga memudahkan bagi para pelatih untuk melaksanakan
pelatihan sehingga output dari hasil pelatihan ini memiliki standar yang berkualitas tinggi. Kami
menyampaikan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada para penyusun modul, pimpinan dan
pengurus center penyelenggara kegiatan KKD-KKDK serta seluruh pihak yang terlibat dalam proses
penyusunan standarisasi materi pelatihan KKD-KKDK ini.
Diharapkan dengan kehadiran modul yang telah distandarisasi ini akan menjadikan kualitas dari
pelaksanaan pelatihan KKD-KKDK terjaga dengan baik dan juga memudahkan para pelatih dan
penyelenggara dalam melaksanakan pelatihan KKD-KKDK. Dengan demikian, diharapkan pelaksanaan
pelatihan KKD-KKDK dapat berkontribusi pada perbaikan pengelolaan keuangan daerah.
Adriansyah
PENDAHULUAN
A. Abstraksi
Secara keseluruhan, modul ini membahas mengenai konsep, struktur, dan aspek teknis pendapatan
daerah, serta kaitannya terhadap perekonomian daerah pada umumnya. Modul ini terdiri dari 8 Bab yang
kemudian terbagi kepada 21 topik. Pada setiap topik terdapat pedoman untuk mempelajari topik. Pada
bagian akhir masing-masing topik terdapat soal-soal latihan yang ditujukan untuk mengetahui tingkat
penyerapan dan pemahaman peserta terhadap materi pelatihan, sebagai feedback untuk perbaikan
pembelajaran selanjutnya.
Modul dimulai dengan pendahuluan pada bab pertama. Bab ini berisikan abstraksi, latar belakang, tujuan
instruksional umum, serta metode pembelajaran yang diterapkan dalam pelatihan, yang dimaksudkan
sebagai pengantar menuju pembelajaran materi modul selengkapnya. Bab kedua, membahas secara
ringkas hubungan antara pusat dan daerah, meliputi hubungan kewenangan antar tingkat pemerintah,
hubungan keuangan antar tingkat pemerintah, struktur dan hubungan antara APBN (Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara) dan APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah), serta dana
dekonsentrasi, tugas pembantuan, dan dana urusan bersama. Bab kedua adalah topik yang berdiri sendiri.
Pengertian-pengertian dasar berkaitan dengan pendapatan daerah, dibahas dalam bab ketiga, sebagai
bekal untuk memahami dengan lebih baik materi pelatihan pada bab-bab selanjutnya. Pembahasan
mencakup pengertian tentang pendapatan daerah, pendapatan asli daerah (PAD), dana transfer, serta
lain-lain pendapatan daerah yang sah. Seperti halnya bab 2, bab 3 ini adalah topik yang berdiri sendiri.
Proporsi terbesar materi dalam modul ini adalah tentang pendapatan asli daerah (PAD), yang dibahas
dalam bab keempat. Bab ini dimulai dengan pengantar dan isu terkini tentang pajak daerah dan retribusi
daerah. Pokok-pokok bahasan selanjutnya adalah mengenai pajak daerah dan retribusi daerah, hasil
pengelolaan kekayaan yang dipisahkan dan lain-lain pendapatan asli daerah yang sah, serta sistem dan
prosedur administrasi pajak daerah dan retribusi daerah. Pengelolaan PBB-P2 dijadikan pokok bahasan
tersendiri oleh karena dalam prakteknya masih banyak daerah yang belum optimal melaksanakannya.
Pembahasan diakhiri dengan studi kasus proses penyusunan peraturan daerah tentang PDRD dan studi
kasus optimalisasi PAD. Bab ini terdiri dari 12 topik
Bab kelima, membahas tentang dana transfer. Bab ini dimulai dengan topik konsep, serta peranan dan
kebijakan dana transfer ke daerah, lalu dilanjutkan dengan topik bagi hasil pajak pusat, bagi hasil sumber
daya alam, dana alokasi umum (DAU) dan dana alokasi khusus (DAK), serta dana transfer lainnya. Lain-lain
pendapatan daerah yang sah (LPDS), merupakan pokok bahasan dalam bab ke enam modul ini. Pokok
bahasan tersebut mencakup konsep dasar – jenis – sumber – dasar hukum – dan optimalisasi LPDS, bagi
hasil pajak provinsi, hibah, dan isu-isu terkini tentang LPDS.
Selanjutnya, untuk melengkapi pemahaman tentang aspek teknis berkaitan dengan pendapatan daerah,
dalam bab ketujuh modul ini dibahas tentang sistem dan prosedur serta penatausahaan pendapatan
daerah sebagai sebuah bunga rampai. Bab terakhir, yaitu bab ke delapan, membahas studi kasus
pendapatan daerah. Setelah pengantar, materi dilanjutkan dengan contoh kasus pendapatan daerah,
dan diakhiri dengan diskusi solusi permasalahan optimalisasi pendapatan daerah.
B. Latar Belakang
Sistem sentralisasi yang diterapkan secara konsisten dan cukup ketat selama lebih dari tiga dasa warsa
oleh pemerintahan Orde Baru, dirasakan oleh masyarakat sebagai belenggu yang menghambat gerak
menuju kemajuan daerah. Tuntutan diberlakukannya desentralisasi semakin memperoleh tempatnya
ketika pada akhirnya terjadi gerakan reformasi pada pertengahan tahun 1998. Berlandaskan Undang-
Undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan Undang-Undang Nomor 25 tahun
1999 tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah serta berbagai peraturan yang
mengikutinya, otonomi daerah dan desentralisasi mulai diterapkan di Indonesia.
Sejak saat itu terjadi pemberian kewenangan yang semakin luas kepada daerah untuk memberdayakan
diri, terutama berkaitan dengan pengelolaan sumber pendanaan yang dimiliki. Perubahan tersebut
menuntut kualitas pelayanan publik yang lebih responsif terhadap kebutuhan dan kepentingan
masyarakat, tuntutan terhadap peningkatan kemampuan pendanaan daerah khususnya melalui
peningkatan pendapatan asli daerah (PAD), serta terciptanya good governance yang bertumpu pada
kualitas, integritas, dan kompetensi aparatur pemerintah daerah.
Malangnya, reformasi yang berujung kepada perubahan dari sistem sentraliasi ke sistem desentraliasi
dengan konsekuensi logis pemberian kewenangan yang semakin luas kepada daerah tersebut, terjadi
tak seiring benar dengan kesiapan aparatur pemerintah untuk melaksanakannya secara optimal. Aparatur
pemerintah daerah yang selama masa sentralisasi lebih berperan sebagai pembelanja sehingga relatif
pasif dan lebih berfungsi sebagai spesialis, setelah diberlakukannya desentralisasi dituntut untuk berperan
sebagai aktor penting yang harus aktif dan lebih berfungsi sebagai generalis. Peningkatan pengetahuan,
pemahaman, dan penguasaan konsep serta aspek teknis maupun yuridis berkaitan dengan pengelolaan
keuangan daerah, menjadi syarat yang diperlukan (necesarry condition) sekaligus syarat yang mencukupi
(sufficient condition) agar aparatur pemerintah dapat menjalankan peran dan fungsi baru tersebut dengan
sebaik-baiknya.
Salah satu aspek yang amat penting – jika tidak boleh dikatakan dominan - dalam pengetahuan,
pemahaman, dan penguasaan konsep maupun aspek teknis pengelolaan keuangan daerah, adalah
pengetahuan, pemahaman, dan penguasaan konsep maupun aspek teknis berkaitan dengan pendapatan
daerah. Sebab, pendapatan daerah memang menduduki posisi sentral. Apabila proses dan kegiatan
pembangunan di daerah boleh dianalogikan sebagai gerak faali manusia, pendapatan daerah adalah
darah. Darah inilah yang menyediakan, mengalokasikan, dan mendistribusikan energi ke masing-masing
unsur faali yang bergerak. Dengan alokasi dan distribusi energi itulah unsur-unsur faali mampu bersinergi
agar tubuh dapat bergerak mengarah pada sasaran yang hendak dituju.
Dengan latar belakang pemikiran tersebut di atas, dilaksanakanlah pelatihan dengan materi pendapatan
daerah, sebagai bagian dari Kursus Keuangan Daerah (KKD) bagi aparatur pemerintah. Pelatihan tersebut
merupakan upaya untuk meningkatkan kapasitas dan kapabilitas aparatur pemerintah agar mampu
melaksanakan tugas pokok dan fungsinya di bidang keuangan daerah secara optimal.
Setelah mengikuti dengan aktif dan lulus dari pelatihan ini, peserta dapat mengetahui, memahami,
dan menguasai konsep, struktur, dan aspek teknis berkaitan dengan pendapatan daerah dan kaitannya
terhadap perekonomian daerah.
D. Metode Pembelajaran
Setidaknya ada 5 metode pembelajaran utama yang dapat digunakan dalam penyampaian materi
pendapatan daerah dalam latihan ini, yakni:
1) Ceramah, yaitu penyampaian materi latihan secara oral oleh pengajar atau instruktur, digunakan
terutama untuk konsep, teori, atau pengertian yang umumnya diberikan secara satu arah. Alat
bantu yang sering digunakan dalam ceramah adalah slide atau power point yang berisi pokok-
pokok materi ajar.
2) Metode atau pendekatan partisipatif (participatory method atau participative approach), yaitu mengajak
peserta pelatihan untuk terlibat aktif memberikan kontribusi dalam kegiatan pelatihan baik secara
individu maupun berkelompok. Digunakan terutama untuk curah pendapat, investigasi pengetahuan
dasar, berbagi pengalaman praktis (best practice sharing), koleksi isu-isu terkini, dan tanya-jawab.
3) Diskusi, yaitu pembahasan atau pencarian solusi bersama secara terpandu terhadap suatu bagian
materi, isu, atau kasus, dengan penekanan kepada pendapat dan argumentasi.
4) Presentasi, yaitu penyampaian secara visual dan oral hasil diskusi, penugasan, atau kerja kelompok.
Dalam kegiatan presentasi, diberikan kepada kelas kesempatan untuk menyampaikan tambahan
informasi, saran, kritik, mapun sanggahan, sebagai pelengkap, pengkaya, dan peningkat penguasaan
materi.
5) Latihan atau praktek, yaitu kegiatan untuk meningkatkan penguasaan aspek teknis materi pelatihan
dengan menggunakan instrumen yang sesuai. Termasuk dalam teknik pembelajaran ini adalah
observasi dan koleksi data pada obyek tertentu yang relevan dengan materi pelatihan.
HUBUNGAN
PUSAT DAN DAERAH
Hubungan Pusat Dan Daerah
Deskripsi:
Topik ini menjelaskan hubungan antar tingkat pemerintahan, hubungan keuangan
antar tingkat pemerintahan, serta hubungan antara APBN dan APBD.
APBN dan APBD Struktur APBN, Struktur APBD, Keterkaitan APBN dan APBD,
Anggaran pembiayaan
Referensi:
1. UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.
2. UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
3. UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan
Pemerintahan Daerah
4. UU No. 12/2008 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 32 Tahun 2004.
5. Rondinelli, Denis, 'What is Decentralization? in Decentralization Briefing Notes, World
Bank Institute, available in http:/www.worldbank.org/.
6. Pelengkap Buku Pegangan Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah,
Pelaksanaan Desentralisasi Fiskal di Indonesia, berbagai tahun, dapat di download dari
http://www.djpk.depkeu.go.id/
Dalam suatu negara, hubungan kewenangan antar tingkat pemerintahan sangatlah penting. Hubungan
tersebut menentukan oleh siapa dan bagaimana pengaturan kehidupan serta upaya-upaya pemenuhan
kewajiban maupun hak masyarakat di negara bersangkutan diselenggarakan. Pengaturan kewenangan
yang jelas, akan menghindarkan tumpang tindih hak dan tanggung jawab, serta menghindarkan
terabaikannya suatu urusan. Kejelasan pengaturan kewenangan, juga akan mengefisienkan biaya
penyelenggaraan kehidupan bernegara.
Negara federal, umumnya terbentuk dari bergabungnya negara-negara yang berdaulat. Oleh sebab
itu, setiap negara bagian/provinsi juga merupakan wilayah yang berdaulat. Negara bagianlah yang
berwenang mengatur peri kehidupan secara internal. Masing-masing negara bagian biasanya memiliki
sistem hukum sendiri. Negara bagian berhak membuat undang-undang negara yang berlaku di negara
bagian tersebut, termasuk undang-undang tentang pemerintah daerah. Sebagai konsekuensinya,
pemerintah daerah merupakan bentukan pemerintah negara bagian, bukan bentukan pemerintah
federal. Sistem pemerintahan daerah juga dapat berbeda antara satu negara bagian dengan negara
bagian yang lain, karena setiap negara bagian berhak menentukan sistemnya sendiri. Contoh negara
federal adalah: Australia, Canada, Jerman, USA.
Di negara kesatuan, kedaulatan pada dasarnya ada di pemerintah pusat. Provinsi dan daerah adalah
bentukan pusat. Pusat dapat memilih untuk melakukan desentralisasi ataupun sentralisasi. Jumlah provinsi
dan daerah dalam negara kesatuan ditentukan oleh pusat, sehingga penggabungan dan pemekaran
provinsi atau daerah dapat terjadi. Contoh negara kesatuan adalah: Belanda, China, Indonesia, Inggris,
Jepang, Thailand.
Meskipun demikian, di negara kesatuan tetap dimungkinkan adanya sistem pemerintahan daerah yang
berbeda dari satu wilayah ke wilayah yang lain (desentralisasi asimetrik). Di Inggris, sistem pemerintahan
daerah di wilayah England berbeda dengan sistem pemerintahan daerah di Scotland ataupun Wales. Di
Indonesia, sistem pemerintahan daerah di Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Daerah Otonomi Khusus Aceh,
dan Daerah Istimewa Yogyakarta, berbeda dengan sistem pemerintahan daerah lainnya.
Di Indonesia, yang dikenal hanya tiga dari empat istilah di atas. Sebagaimana diatur dalam Pasal 1 Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2004 (UU 32 Tahun 2004) tentang Pemerintahan Daerah:
1) Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada daerah
otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
2) Dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada Gubernur
sebagai wakil Pemerintah dan/atau kepada instansi vertikal di wilayah tertentu.
3) Tugas pembantuan adalah penugasan dari Pemerintah kepada daerah dan/atau desa, dari
pemerintah provinsi kepada kabupaten/kota dan/atau desa, serta dari pemerintah kabupaten/kota
kepada desa, untuk melaksanakan tugas tertentu.
Secara teoretis, devolusi atau desentralisasi politik dimaknai sebagai pemberian kewenangan dalam
membuat keputusan dan pengawasan tertentu terhadap sumber-sumber daya yang diberikan kepada
badan-badan pemerintah regional dan lokal atau lembaga politik di daerah. Pemberian wewenang ini
dimaksudkan untuk memberdayakan kemampuan lokal (empowerment local capacity).
Sebagai perbandingan terhadap definisi pada UU No. 32 Tahun 2004, Rondinelli mengklasifikasikan
bentuk hubungan antar pemerintahan, sebagai berikut:
1) Deconsentration (dekonsentrasi), yaitu penyelenggaraan urusan pemerintah pusat kepada daerah
melalui wakil perangkat pusat yang ada di daerah. Pelaksanaan dekonsentrasi dapat dilakukan
melalui dua bentuk yaitu field administration dan local administration. Seterusnya local administration
dapat dilaksanakan secara integrated dan unintegrated.
2) Delegation to semi-outonomous and parastatal organizations, adalah suatu pelimpahan kewenangan
dalam pembuatan keputusan dan manajerial dalam melaksanakan tugas-tugas khusus kepada suatu
organisasi yang tidak langsung berada di bawah pengawasan pemerintah pusat.
3) Devolution to local government (devolusi), yaitu penjelmaan dari desentralisasi dalam arti luas, yang
berakibat bahwa pemerintah pusat harus membentuk unit-unit pemerintahan di luar pemerintah
pusat, dengan menyerahkan fungsi dan kewenangan untuk dilaksanakan secara sendiri atau
disebut dengan desentralisasi teritorial.
4) Delegation to non-government institutions, yaitu penyerahan atau transfer fungsi dari pemerintah
kepada organisasi/institusi non pemerintah. Dengan sebutan lain sebagai privatisasi, yaitu suatu
bentuk pemberian wewenang dari pemerintah kepada badan-badan sukarela, swasta, LSM/NGO’s,
tetapi juga merupakan penyatuan badan-badan milik pemerintah yang kemudian di swastakan,
seperti BUMN dan BUMD dilebur menjadi Perseroan Terbatas (PT).
Di Indonesia, pembentukan pemerintahan otonom terkadang tidak disertai dengan pembentukan
institusi dan kewenangan yang jelas. Belajar dari berbagai literatur terkait otonomi, sebuah organisasi
pemerintahan yang otonom paling tidak memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1) Organisasi yang legal.
2) Memiliki kewenangan dan fungsi yang jelas.
3) Paling sedikit mempunyai lembaga eksekutif dan lembaga perwakilan konstituen.
4) Memiliki kewenangan untuk mengangkat dan memberhentikan pegawainya sendiri.
5) Memiliki budget (anggaran) sendiri.
6) Akuntabilitas ke konstituen dan peraturan perundang-undangan.
Sejak masa kemerdekaan, ada enam undang-undang (UU) dan satu Instruksi Presiden (Inpres) tentang
aspek politik dan administrasi pemerintah daerah, yakni UU No. 1 Tahun 1945, UU No. 22 Tahun 1948, UU
No. 1 Tahun 1957, Instruksi Presiden No. 6 Tahun 1959, UU No. 18 Tahun 1965, UU No. 5 Tahun 1974, UU No.
22 Tahun 1999, dan UU No. 32 Tahun 2004. Tiap-tiap undang-undang tersebut memberikan pendekatan
yang berbeda untuk sistem desentralisasi. Berdasarkan data dari Kementerian Dalam Negeri, pada bulan
Mei 2013, di Indonesia terdapat 34 provinsi, 407 kabupaten, dan 99 kota. Setiap tingkatan pemerintahan
daerah, diberi tanggung jawab tertentu.
Provinsi di Indonesia memiliki fungsi yang terbatas. Wewenang utama pemerintah provinsi adalah dalam
hal yang berkaitan dengan urusan dan layanan multi-jurisdiksi atau lintas daerah/regional. Provinsi juga
menjalankan fungsi lokal yang tidak dapat dijalankan oleh pemerintah kabupaten/kota karena keterbatasan
sumber daya. Termasuk didalamnya adalah fungsi perencanaan makro regional, pengembangan dan
penelitian sumber daya manusia, pengelolaan pelabuhan regional, perlindungan lingkungan hidup,
perdagangan dan promosi pariwisata, pengendalian/karantina hama; dan perencanaan tata ruang.
Namun, hampir semua fungsi berkenaan dengan pelayanan publik lokal ditangani oleh kabupaten/kota.
Pemerintah kabupaten/kota memiliki tanggung jawab keuangan untuk sekurang-kurangnya empat
belas urusan pemerintahan dan layanan lokal, seperti: pekerjaan umum lokal, layanan kesehatan dasar,
layanan pendidikan primer dan sekunder dan budaya, lingkungan setempat, pertanahan, koperasi dan
tenaga kerja, dan lain-lain. Tanggung jawab tersebut meliputi kegiatan, seperti perencanaan, penerapan
pembiayaan, monitoring dan evaluasi, dan pemeliharaan.
Secara umum, konsep otonomi menurut UU No. 32 Tahun 2004 dapat diuraikan sebagai berikut:
1) General competency untuk kabupaten/kota (kewenangan selain kewenangan Pemerintah dan
provinsi).
2) Terjadi pembagian kewenangan antara Pemerintah, pemerintah daerah provinsi, dan pemerintah
daerah kabupaten/kota.
3) Berlaku prinsip subsidiarity (concurrent), yaitu kewenangan di setiap bidang dan dapat dibagi antar
tingkatan pemerintahan.
4) Kewenangan sebuah kota besar akan berbeda dengan kewenangan sebuah kota kecil. Kota besar
dapat saja memiliki kewenangan pilihan yang jauh lebih banyak dibanding kota kecil. Kabupaten
dapat memiliki kewenangan yang berbeda dengan kota.
5) Otonomi terbatas di provinsi (kewenangan provinsi di batasi oleh Peraturan Pemerintah Nomor 32
Tahun 2007).
6) Hubungan pemerintah daerah provinsi dengan pemerintah daerah kabupaten/kota, tidak bersifat
hirarkis.
7) Provinsi diberi tugas koordinasi dan supervisi dan fungsi lintas Kabupaten/Kota.
Pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 38 Tahun 2007 tentang pembagian
urusan pemerintahan antara Pemerintah, pemerintahan daerah provinsi, dan pemerintahan daerah
kabupaten/kota, sebagai penjabaran dari Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan
daerah. PP ini secara rinci menjelaskan urusan Pemerintah, pemerintahan provinsi dan pemerintahan
kabupaten/kota untuk 31 bidang urusan pemerintahan. Ketigapuluhsatu urusan pemerintahan tersebut
dibagi berdasarkan kriteria eksternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi, dengan memperhatikan keserasian
hubungan antar tingkatan dan/atau susunan pemerintahan. Penyerahan urusan pemerintahan kepada
daerah, disertai dengan sumber pendanaan, pengalihan sarana dan prasarana, serta kepegawaian sesuai
dengan urusan yang didesentralisasikan. Sedangkan urusan pemerintahan yang dilimpahkan kepada
Gubernur, disertai dengan pendanaan sesuai dengan urusan yang didekonsentrasikan.
Pasal 2 ayat (2) PP No. 38 Tahun 2007, sebagaimana pasal 10 ayat (3) UU No. 32 Tahun 2004, menyatakan
bahwa urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah, adalah: politik luar negeri,
pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional, dan agama. Dalam penyelenggaraan urusan
pemerintahan tersebut, Pemerintah dapat menyelenggarakan sendiri atau dapat melimpahkan sebagian
urusan pemerintahan kepada perangkat Pemerintah atau wakil Pemerintah di daerah, atau dapat
menugaskan kepada pemerintahan daerah dan/atau pemerintahan desa.
Urusan yang menjadi kewenangan pemerintahan daerah, terbagi atas urusan wajib (obligatory) dan
urusan pilihan (optional). Urusan wajib adalah urusan pemerintahan yang wajib diselenggarakan oleh
pemerintahan daerah provinsi dan pemerintahan daerah kabupaten/kota, berkaitan dengan pelayanan
dasar, meliputi 26 bidang urusan pemerintahan. Sedangkan urusan pilihan adalah urusan pemerintahan
yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan
kondisi, kekhasan, dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan, meliputi: kelautan dan perikanan,
pertanian, kehutanan, energi dan sumber daya mineral, pariwisata, industri, perdagangan, dan
ketransmigrasian.
Penyelenggaraan urusan wajib berpedoman pada standar pelayanan minimal yang ditetapkan Pemerintah
dan dilaksanakan secara bertahap. Dalam hal pemerintahan daerah melalaikan penyelenggaraan urusan
pemerintahan yang bersifat wajib, maka penyelenggaraan urusan tersebut diambilalih dan dilaksanakan
oleh Pemerintah dengan pembiayaan bersumber dari atau dibebankan kepada anggaran pendapatan
dan belanja daerah yang bersangkutan.
Skema pembagian urusan antara pemerintah dan pemerintah daerah dapat dilihat pada Gambar-1.1.
Gambar 1.1 : Pembagian
Penyelenggaran Urusan PENYELENGGARAAN URUSAN
Pemerintah PEMERINTAHAN
Daerah
usat dan
MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH
7 Kementerian Keuangan Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan
es, World
an Daerah,
Hubungan Pusat Dan Daerah
Hubungan keuangan antar tingkatan pemerintahan paling sedikit mencakup antara lain:
1) Pembagian kewenangan Pendapatan (Perpajakan).
2) Sistem dan mekanisme untuk mengatasi ketimbangan vertikal (kesenjangan fiskal antara pusat dan
daerah).
3) Sistem dan mekanisme untuk mengatasi ketimpangan horizontal (ketimpangan fiskal antar daerah).
Dari segi pendapatan, pemerintah daerah diberikan kewenangan untuk mengelola jenis pendapatan
tertentu. Kewenangan perpajakan pemerintah daerah dirumuskan oleh undang-undang. Sampai saat ini
terdapat tiga undang-undang tentang pajak daerah dan retribusi daerah, yaitu: UU No. 18 Tahun 1997, UU
No. 34 Tahun 2000, dan terakhir UU No. 28 Tahun 2009.
Selain pembagian kewenangan perpajakan untuk setiap tingkat pemerintahan, hubungan keuangan
pusat-daerah juga ada dalam bentuk lain yaitu transfer dari sebagian Pendapatan Pemerintah Pusat
(pendapatan negara) kepada pemerintah daerah. Transfer dari pemerintah pusat ke daerah bertujuan
untuk memenuhi kebutuhan fiskal pemerintah daerah yang tidak dapat dipenuhi dengan pendapatan
asli daerah. Dengan kata lain, transfer itu adalah untuk mengurangi kesenjangan fiskal antara pemerintah
pusat dan daerah (kesenjangan vertikal). Selain itu kesenjangan antara kebutuhan daerah dengan
kapasitas fiskal juga disebabkan oleh ketimpangan fiskal horizontal (ketimpangan fiskal antar daerah)
yang disebabkan oleh berbedanya potensi fiskal dan kebutuhan antar daerah.
Disisi belanja, diberikannya kewenangan fiskal kepada sebuah daerah otonom didasarkan kepada prinsip
agar alokasi sumber daya lebih efisien dan efektif. Pemerintah Daerah yang lebih dekat ke masyarakat
diasumsikan lebih tahu kebutuhan masyarakat dibandingkan dengan pemerintah pusat yang jauh.
Sehingga alokasi sumber daya yang dilakukan oleh Pemerintah daerah akan lebih responsif dan
menjawab kebutuhan masyarakat. Sedangkan disisi pendapatan, diberikannya kewenangan perpajakan
kepada daerah dimaksudkan agar partisipasi masyarakat untuk mendanai pelayanan publik lebih tinggi
karena masyarakat dapat merasakan langsung manfaat dari pembayaran pajak/retribusi tersebut. Skema
hubungan keuangan antar tingkat pemerintahan di Indonesia terkait pendapatan dapat dilihat pada
Gambar-1.2.
Sumber
Pendapatan
2 Nasional 1
Hubungan keuangan antara pusat dan daerah di Indonesia ditandai dengan besarnya dana transfer yaitu
sekitar 87% dari pendapatan kabupaten/kota, dan 55% dari pendapatan pemerintah provinsi selama
periode 2008-2010 (lihat Tabel-1.1).
Ada dua bentuk transfer yang telah dipraktekkan di Indonesia selama tiga dekade terakhir. Yang pertama
adalah dengan mentransfer sebagian pendapatan tertentu dari pajak pusat dan non-pajak kepada
daerah penghasil. Hal ini biasa disebut pendapatan bagi hasil (Dana bagi hasil atau DBH). Sebagai contoh,
Pajak Penghasilan pribadi yang dikelola oleh Kantor Pajak Pusat harus dibagi ke daerah penghasil. Bentuk
kedua dari transfer itu adalah bantuan Pemerintah Pusat untuk daerah. Ada dua bantuan utama di
Indonesia, yaitu: Dana Alokasi Umum (DAU) yang merupakan bantuan dengan tujuan umum dan Dana
Alokasi Khusus (DAK) yang merupakan bantuan dengan tujuan khusus. Selain itu, ada juga bantuan untuk
daerah otonomi khusus dan berbagai bantuan berjenis khusus yang disebut dana penyesuaian. Secara
keseluruhan, dana transfer untuk pemerintah daerah mencapai sekitar 34% dari pendapatan negara
selama periode 2001-2010 (lihat Tabel-1.2).
Tabel 1.2 : Rasio Dana Transfers Terhadap Pendapatan Negara dan PDB Tahun 2001 – 2013
Pendapatan
Tahun PDB Negara Transfer ke Ratio Transfer Ratio Transfer
Anggaran (Triliun Rupiah) (Triliun Rupiah) Daerah Thd PN (%) Thd PDB (%)
Bentuk lain hubungan keuangan antar pemerintahan di Indonesia adalah hibah, dana dekonsentrasi, dan
tugas pembantuan. Secara teknis, dana-dana tersebut tidak dianggap sebagai bagian dari transfer ke
pemerintah daerah. Dana dari Pemerintah dikategorikan sebagai hibah, jika bersumber dari pinjaman
atau hibah dari negara lain atau lembaga internasional. Dengan kata lain, Pemerintah hanyalah menjadi
penyalur dana untuk pemerintah daerah. Hibah tidak dimasukkan sebagai bagian dari transfer karena
dananya tidak teratur dan prosedur administratifnya unik.
Dana tugas pembantuan dan dekonsentrasi pada dasarnya bertujuan untuk membiayai fungsi
Pemerintah yang dijalankan atau dibantu oleh pemerintah daerah. Dana tersebut tidak termasuk ke dalam
kategori pendapatan pemerintah daerah melainkan pengeluaran Pemerintah yang dilaksanakan oleh
atau melalui pemerintah daerah. Antara provinsi dan kabupaten/kota, juga terdapat beberapa bentuk
hubungan keuangan. Di Indonesia, pendapatan pajak daerah suatu provinsi dibagi dengan kabupaten/
kota yang berada di wilayah provinsi tersebut. Pembagian tersebut diatur dalam UU pajak dan retribusi
daerah. Selain itu, walaupun tidak ada undang-undang yang menetapkannya, beberapa provinsi juga
menyediakan bantuan untuk kabupaten/kota.
Sejak berlakunya desentralisasi, ada dua Undang-Undang tentang dana transfer dari pemerintah pusat
ke pemerintah daerah di Indonesia. Pertama, UU No. 25 Tahun 1999, yang diterapkan tahun anggaran
2001 – 2005. Pada akhir tahun 2004, undang-undang tersebut diganti dengan UU No. 33 Tahun 2004
yang efektif berlaku dari tahun 2006 sampai sekarang.
Transfer ke pemerintah daerah dihitung rata-rata sekitar 33,7% dari penerimaan negara atau sekitar 5,8%
dari PDB selama periode 2002-2010. Seperti terlihat pada Tabel-2.2, jumlah transfer bervariasi dari 4,9 - 6,8
dari PDB. Transfer mencapai rasio tertinggi terhadap PDB pada tahun anggaran 2006, yakni sebesar 6,8%.
APBN dapat mengalami satu atau dua kali perubahan dalam satu tahun, tergantung kondisi perekonomian
dan perubahan asumsi dalam tahun tersebut. Sehingga terdapat APBN, Perubahan APBN, yang setiap
tahun ditetapkan dengan undang-undang. Selain itu terdapat Pertanggungjawaban APBN yang
merupakan laporan realisasi yang juga ditetapkan dengan undang-undang.
Pada masa Orde Baru, APBN berlaku dari tanggal 1 April sampai dengan 31 Maret tahun berikutnya.
Sedang untuk saat ini APBN dihitung sejak tanggal 1 Januari sampai dengan 31 Desember.
Fungsi APBN
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara harus memenuhi fungsi alokasi, distribusi, dan stabilisasi.
1) Fungsi Alokasi
Fungsi alokasi pada dasarnya adalah menggunakan berbagai sumber pendapatan untuk
menyediakan pelayanan publik. Di dalam APBN diuraikan sumber pendapatan dan
pendistribusiannya. Pendapatan yang paling besar dari pemerintah berasal dari pajak. Pendapatan
dari pajak dapat dialokasikan ke berbagai sektor pembangunan.
2) Fungsi Distribusi
Pendapatan negara dari pajak dan bukan pajak tidak semua digunakan secara langsung untuk
menyediakan pelayanan publik. Tetapi dapat juga didistribusikan dalam bentuk dana subsidi dan
dana pensiun. Pengeluaran pemerintah semacam ini disebut transfer payment.
3) Fungsi Stabilisasi
APBN sebagai ujud kebijakan fiskal bersama-sama kebijakan moneter berfungsi untuk menjaga
stabilitas harga, stabilitas nilai tukar, dan lain-lain. Perekonomian yang stabil adalah prasyarat dapat
berjalannya berbagai aktifitas masyarakat.
Dalam penyusunan APBN, indikator-indikator ekonomi makro yang digunakan sebagai dasar penyusunan
adalah pertumbuhan ekonomi, tingkat inflasi, suku bunga Surat Perbendaharaan Negara (SPN) 3 bulan,
nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat, harga minyak mentah Indonesia (Indonesia Crude Oil
Price/ICP), dan lifting minyak.
Indikator-indikator tersebut merupakan asumsi dasar yang menjadi acuan penghitungan besaran-besaran
pendapatan, belanja, dan pembiayaan dalam APBN. Apabila realisasi variabel-variabel tersebut berbeda
dengan asumsinya, maka besaran-besaran pendapatan, belanja dan pembiayaan dalam APBN juga akan
berubah. Oleh karena itu, variasi-variasi ketidakpastian dari indikator ekonomi makro merupakan faktor
risiko yang akan mempengaruhi APBN.
Klasifikasi Belanja
Sumber: UU APBN
Definisi:
Menurut fungsi pengelolaan Negara digunakan untuk tujuan keselarasan dan keterpaduan pengelolaan
keuangan negara terdiri dari:
1) Pelayanan umum;
2) Ketertiban dan keamanan;
3) Ekonomi;
4) Lingkungan hidup;
5) Perumahan dan fasilitas umum;
6) Kesehatan;
7) Pariwisata dan budaya;
8) Agama;
9) Pendidikan; serta
10) Perlindungan sosial.
Semua penerimaan daerah dan pengeluaran daerah harus dicatat dan dikelola dalam APBD. Penerimaan
dan pengeluaran daerah tersebut adalah dalam rangka pelaksanaan tugas-tugas desentralisasi.
Sedangkan penerimaan dan pengeluaran yang berkaitan dengan pelaksanaan Dekonsentrasi atau Tugas
Pembantuan tidak dicatat dalam APBD.
Tahun anggaran APBD sama dengan tahun anggaran APBN yaitu mulai 1 Januari dan berakhir tanggal 31
Desember tahun yang bersangkutan. Sehingga pengelolaan, pengendalian, dan pengawasan keuangan
daerah dapat dilaksanakan berdasarkan kerangka waktu tersebut.
Catatan:
Definisi
Definisi dana dekonsentrasi yang dirumuskan dalam UU No. 33 Tahun 2004 sebagaimana tercantum pada
pasak 1.26 adalah sebagai berikut:
“Dana Dekonsentrasi adalah dana yang berasal dari APBN yang dilaksanakan oleh gubernur sebagai
wakil pemerintah yang mencakup semua penerimaan dan pengeluaran yang dalam rangka
pelaksanaan Dekonsentrasi, tidak termasuk dana yang dialokasikan untuk instansi vertikal pusat di
daerah.”
Definisi di atas sejalan dengan definisi dekonsentrasi menurut UU No. 33 Tahun 2004 yang lebih
dipersempit sebagaimana tertulis di Pasal 1.9:
“Dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah ke Gubernur
sebagai wakil pemerintah.”
UU No. 33 Tahun 2004 mempersempit definisi dekonsentrasi menjadi hanya pelimpahan wewenang ke
gubernur, tidak termasuk pelimpahan wewenang ke kantor wilayah/cabang. Dengan kata lain, seluruh
dana pelaksanaan tugas kementrian/lembaga yang dilaksanakan sendiri oleh kementrian/lembaga
tersebut di daerah bukan dikategorikan sebagai dana dekonsentrasi.
Sedangkan Dana Tugas Pembantuan adalah dana yang berasal dari APBN yang dilaksanakan oleh daerah
otonom dan desa yang mencakup semua penerimaan dan pengeluaran dalam rangka pelaksanaan
tugas pembantuan.
Dana Dekonsentrasi dan Dana Tugas Pembantuan terkait dengan pendanaan urusan pemerintahan yang
menjadi kewenangan dan urusan pemerintahan Pusat. Diantara urusan pemerintahan yang menjadi
urusan Pemerintah Pusat tersebut adalah Urusan mutlak Pemerintah Pusat dan Urusan pemerintahan
yang dibagi bersama antar tingkatan dan/atau susunan pemerintahan.
Urusan pemerintahan yang mutlak menjadi urusan pemerintah pusat, meliputi:
1) Politik luar negeri;
2) Pertahanan;
3) Keamanan;
4) Yustisi;
5) Moneter dan fiskal nasional;
6) Agama.
Dalam menyelenggarakan 6 urusan mutlak pemerintahan tersebut (pasal 10 ayat 3 UU No. 32 Tahun
2004), Pemerintah dapat:
1) menyelenggarakan sendiri;
2) melimpahkan sebagian urusan pemerintahan kepada perangkat Pemerintah atau wakil Pemerintah
di daerah, atau
3) menugaskan kepada pemerintahan daerah dan/atau pemerintahan desa.
Urusan pemerintahan yang dibagi bersama antar tingkatan dan/atau susunan pemerintahan, yaitu
semua urusan pemerintahan di luar urusan mutlak pemerintah pusat, meliputi 31 bidang sebagaimana
diatur dalam Pasal 2 PP No. 38 Tahun 2007. Untuk penyelenggaraan urusan pemerintahan di luar 6 urusan
tersebut, Pemerintah dapat:
1) menyelenggarakan sendiri sebagian urusan pemerintahan, atau
2) melimpahkan sebagian urusan pemerintahan kepada Gubernur selaku wakil pemerintah, atau
3) menugaskan sebagian urusan kepada pemerintah daerah dan/atau pemerintahan desa berdasarkan
asas tugas pembantuan.
Urusan pemerintahan yang diserahkan kepada daerah disertai dengan sumber pendanaan, pengalihan
sarana dan prasarana, serta kepegawaian sesuai dengan urusan yang didesentralisasikan. Urusan
pemerintahan yang dilimpahkan kepada Gubernur juga disertai dengan pendanaan sesuai dengan
urusan yang didekonsentrasikan.
Pelaksanaan asas dekonsentrasi diletakkan pada wilayah provinsi dalam kedudukannya sebagai wilayah
administrasi untuk melaksanakan kewenangan pemerintahan yang dilimpahkan kepada gubenur
sebagai wakil pemerintah di wilayah provinsi. Gubernur sebagai kepala daerah provinsi berfungsi
pula selaku wakil Pemerintah di daerah, dalam pengertian untuk menjembatani dan memperpendek
rentang kendali pelaksanaan tugas dan fungsi Pemerintah termasuk dalam pembinaan dan pengawasan
terhadap penyelenggaraan urusan pemerintahan di daerah kabupaten/kota. Dasar pertimbangan dan
tujuan diselenggarakannya asas dekonsentrasi yaitu:
1) terpeliharanya keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia;
2) terwujudnya pelaksanaan kebijakan nasional dalam mengurangi kesenjangan antar daerah;
3) terwujudnya keserasian hubungan antar susunan pemerintahan dan antar pemerintahan di daerah;
4) teridentifikasinya potensi dan terpeliharanya keaneka-ragaman sosial budaya daerah;
5) tercapainya efisiensi dan efektifitas penyelenggaraan pemerintahan, serta pengelolaan
pembangunan dan pelayanan terhadap kepentingan umum masyarakat; dan
6) terciptanya komunikasi sosial kemasyarakatan dan sosial budaya dalam sistem administrasi Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
Ruang lingkup dekonsentrasi dan tugas pembantuan mencakup aspek penyelenggaraan, pengelolaan
dana, pertanggungjawaban dan pelaporan, pembinaan dan pengawasan, pemeriksaan, serta sanksi.
(1) Penyelenggaraan dekonsentrasi meliputi:
a). pelimpahan urusan pemerintahan;
b). tata cara pelimpahan;
c). tata cara penyelenggaraan; dan
d) tata cara penarikan pelimpahan.
Urusan pemerintahan yang dapat ditugaskan dari Pemerintah kepada pemerintah provinsi atau
kabupaten/kota dan/atau pemerintah desa merupakan sebagian urusan pemerintahan di luar 6 (enam)
urusan yang bersifat mutlak yang menurut peraturan perundang-undangan ditetapkan sebagai urusan
Pemerintah. Urusan pemerintahan yang dapat ditugaskan dari pemerintah provinsi kepada pemerintah
kabupaten/kota dan/atau pemerintah desa merupakan sebagian urusan pemerintahan yang menurut
peraturan perundang-undangan ditetapkan sebagai urusan pemerintah provinsi. Urusan pemerintahan
yang dapat ditugaskan dari pemerintah kabupaten/kota kepada pemerintah desa merupakan sebagian
urusan pemerintahan yang menurut peraturan perundang-undangan ditetapkan sebagai urusan
pemerintah kabupaten/kota.
Urusan yang dapat ditugaskan dari Pemerintah dijabarkan dalam bentuk program dan kegiatan
kementerian/lembaga yang sudah ditetapkan dalam Renja-KL yang mengacu pada RKP. Urusan yang
dapat ditugaskan dari pemerintah provinsi kepada pemerintah kabupaten/kota dan pemerintah desa
dijabarkan dalam bentuk program dan kegiatan pemerintah provinsi yang sudah ditetapkan dalam
Rencana Kerja Satuan Kerja Perangkat Daerah (Renja SKPD) provinsi yang mengacu pada Rencana Kerja
Pemerintah Daerah (RKPD) provinsi. Urusan yang dapat ditugaskan dari pemerintah kabupaten/kota
kepada pemerintah desa dijabarkan dalam bentuk program dan kegiatan pemerintah kabupaten/kota
yang sudah ditetapkan dalam Renja SKPD kabupaten/kota yang mengacu pada RKPD kabupaten/kota.
Urusan yang dapat ditugaskan wajib memperhatikan kriteria eksternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi,
serta keserasian pembangunan nasional dan wilayah.
PUSAT DAERAH
K/L
Belanja
Pemerintah
Pusat
• Belanja Pegawai
• Belanja Barang Belanja Belanja
• Belanja Modal
Pusat di Pusat di
• Pembayaran
Bunga Utang
Pusat Daerah
• Subsidi
• Belanja Hibah
• Bantuan Sosial
• Belanja Lain- lain
Dilimpahkan ke Dana
Gubernur Dekonsentrasi
Belanja
Transfer
Daerah
APBD
Dana Dana Otonomi Dana
Perimbangan Khusus Penyesuaian Dana
Desentralisasi
Dana Darurat
Hibah
PENGANTAR
PENDAPATAN DAERAH
Pengantar Pendapatan Daerah
Deskripsi:
Topik ini menjelaskan konsep
dan struktur pendapatan daerah.
Latihan
Referensi:
1. Nick Devas (1989).
2. Mardiasmo (2007), Perpajakan.
3. UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat Dan
Pemerintahan Daerah.
4. UU No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
5. PP No. 7 Tahun 2008 tentang Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan.
6. PP No. 97 Tahun 2012 tentang Retribusi Pengendalian Lalu Lintas dan Retribusi
Perpanjangan IMTA.
Pendapatan daerah meliputi semua penerimaan uang melalui rekening kas umum daerah, yang
menambah ekuitas dana, merupakan hak daerah dalam satu tahun anggaran dan tidak perlu dibayar
kembali oleh daerah. Pendapatan daerah dirinci menurut urusan pemerintahan daerah, organisasi,
kelompok, jenis, obyek dan rincian obyek pendapatan. Pendapatan daerah merupakan semua sumber
pendapatan daerah yang penting guna membiayai pelaksanaan pemerintahan daerah, antara lain
pajak daerah dan retribusi daerah dan lain-lain pendapatan daerah yang sah, serta pendanaan melalui
pemerintah pusat, yang disebut juga sebagai dana transfer, yang dilaksanakan berdasarkan prinsip
demokrasi, pemerataan dan keadilan, peran serta masyarakat, dan akuntabilitas dengan memperhatikan
potensi daerah
Pendapatan Asli Daerah (PAD) merupakan salah satu sumber pendapatan daerah yang penting guna
membiayai pelaksanaan pemerintahan daerah. Kebijakan PAD dilaksanakan berdasarkan prinsip
demokrasi, pemerataan dan keadilan, peran serta masyarakat, dan akuntabilitas dengan memperhatikan
potensi daerah.
Desentralisasi fiskal memberikan kewenangan yang besar kepada daerah untuk menggali potensi
yang dimiliki sebagai sumber pendapatan daerah untuk membiayai pengeluaran daerah dalam rangka
pelayanan publik. Berdasarkan Undang-Undang No. 33 Tahun 2004, salah satu sumber pendapatan
daerah adalah Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang terdiri dari hasil pajak daerah, hasil retribusi daerah,
hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan dan lain-lain PAD yang sah. Peningkatan PAD
diharapkan dapat meningkatkan investasi belanja modal pemerintah daerah sehingga kualitas pelayanan
publik semakin baik, tetapi yang terjadi adalah peningkatan pendapatan asli daerah tidak diikuti dengan
kenaikan anggaran belanja modal yang signifikan. Hal ini disebabkan karena pendapatan asli daerah
tersebut banyak tersedot untuk membiayai belanja lainnya.
Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (UU PDRD) memberikan
kewenangan yang lebih besar kepada daerah dalam perpajakan dan retribusi sejalan dengan semakin
Dana Perimbangan
PAJAK
DAERAH
LAIN-LAIN
PAD YANG
SAH
RETRIBUSI
DAERAH
besarnya tanggung jawab daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat.
Selain itu, undang-undang ini bertujuan untuk meningkatkan akuntabilitas daerah dalam penyediaan
layanan dan penyelenggaraan pemerintahan dan sekaligus memperkuat otonomi daerah. Selanjutnya,
tujuan yang tak kalah penting adalah untuk memberikan kepastian bagi dunia usaha mengenai jenis-jenis
pungutan daerah dan sekaligus memperkuat dasar hukum pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah.
Ada beberapa prinsip pengaturan pajak daerah dan retribusi daerah yang dipergunakan dalam
penyusunan UU No. 28 Tahun 2009, yaitu:
1) Pemberian kewenangan pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah tidak terlalu membebani
rakyat dan relatif netral terhadap fiskal nasional.
2) Jenis pajak dan retribusi yang dapat dipungut oleh daerah hanya yang ditetapkan dalam undang-
undang (Closed-List).
3) Pemberian kewenangan kepada daerah untuk menetapkan tarif pajak daerah dalam batas tarif
minimum dan maksimum yang ditetapkan dalam undang-undang.
4) Pemerintah daerah dapat tidak memungut jenis pajak dan retribusi yang tercantum dalam undang-
undang sesuai kebijakan pemerintahan daerah.
5) Pengawasan pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah dilakukan secara preventif dan korektif.
Adapun materi yang diatur dalam UU Pajak Daerah dan Retribusi Daerah adalah sebagai berikut:
1) Penambahan jenis pajak daerah.
Terdapat penambahan 4 jenis pajak daerah, yaitu 1 jenis pajak provinsi dan 3 jenis pajak kabupaten/
kota. Dengan tambahan tersebut, secara keseluruhan terdapat 16 jenis pajak daerah, yaitu 5 jenis
pajak provinsi dan 11 jenis pajak kabupaten/kota. Jenis pajak provinsi yang baru adalah Pajak Rokok,
sedangkan 3 jenis pajak kabupaten/kota yang baru adalah PBB Perdesaan dan Perkotaan, BPHTB,
dan Pajak Sarang Burung Walet. Sebagai catatan, untuk kabupaten/kota ada penambahan 1 jenis
pajak yaitu Pajak Air Tanah yang sebelumnya merupakan pajak provinsi.
a. Pajak Kendaraan Bermotor dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor, termasuk kendaraan
pemerintah;
b. Pajak Hotel, mencakup seluruh persewaan di hotel; dan
c. Pajak Restoran, termasuk katering/jasa boga.
4) Perluasan Basis Retribusi Daerah
Perluasan basis retribusi daerah dilakukan dengan mengoptimalkan pengenaan Retribusi Izin
Gangguan, sehingga mencakup berbagai retribusi yang berkaitan dengan lingkungan yang selama
ini telah dipungut, seperti Retribusi Izin Pembuangan Limbah Cair, Retribusi AMDAL, serta Retribusi
Pemeriksaan Kesehatan dan Keselamatan Kerja.
5) Kenaikan Tarif Maksimum Pajak Daerah.
Untuk memberi ruang gerak bagi daerah mengatur sistem perpajakannya dalam rangka peningkatan
pendapatan dan peningkatan kualitas pelayanan, penghematan energi, dan pelestarian/perbaikan
lingkungan.
6) Bagi Hasil Pajak Provinsi.
Dalam rangka pemerataan pembangunan dan peningkatan kemampuan keuangan kabupaten/
kota dalam membiayai fungsi pelayanan kepada masyarakat.
7) Earmarking.
Untuk meningkatkan kualitas pelayanan secara bertahap dan terus menerus dan sekaligus
menciptakan good governance dan clean government, penerimaan beberapa jenis pajak daerah
wajib dialokasikan (di-earmark) untuk mendanai pembangunan sarana dan prasarana yang secara
langsung dapat dinikmati oleh pembayar pajak dan seluruh masyarakat.
Kelompok Pendapatan Asli Daerah (PAD) dibagi menurut jenis pendapatan, yang terdiri atas:
1) pajak daerah;
2) retribusi daerah;
3) hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan; dan
4) lain-lain pendapatan asli daerah yang sah.
Jenis pajak daerah dan retribusi daerah dirinci menurut obyek pendapatan sesuai dengan undang-
undang tentang pajak daerah dan retribusi daerah. Sedangkan Jenis hasil pengelolaan kekayaan daerah
yang dipisahkan dirinci menurut obyek pendapatan yang mencakup:
1) bagian laba atas penyertaan modal pada perusahaan milik daerah/BUMD;
2) bagian laba atas penyertaan modal pada perusahaan milik pemerintah/BUMN;
3) bagian laba atas penyertaan modal pada perusahaan milik swasta atau kelompok usaha masyarakat.
Jenis lain-lain pendapatan asli daerah yang sah, disediakan untuk menganggarkan penerimaan daerah
yang tidak termasuk dalam jenis pajak daerah, retribusi daerah, dan hasil pengelolaan kekayaan daerah
yang dipisahkan, dirinci menurut objek pendapatan yang mencakup:
1) hasil penjualan kekayaan daerah yang tidak dipisahkan;
2) jasa giro;
3) pendapatan bunga;
4) penerimaan atas tuntutan ganti kerugian daerah;
5) penerimaan komisi, potongan ataupun bentuk lain sebagai akibat dari penjualan dan/atau
pengadaan barang dan/atau jasa oleh daerah;
6) penerimaan keuntungan dari selisih nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing;
7) pendapatan denda atas keterlambatan pelaksanaan pekerjaan;
8) pendapatan denda pajak;
9) pendapatan denda retribusi;
10) pendapatan hasil eksekusi atas jaminan;
11) pendapatan dari pengembalian;
12) fasilitas sosial dan fasilitas umum;
13) pendapatan dari penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan; dan
14) pendapatan dari angsuran/cicilan penjualan.
1) Pasal 5 ayat (1), Pasal 18, Pasal 18A, Pasal 18B, Pasal 20 ayat (2), Pasal 22D, dan Pasal 23A Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
2) Undang- Undang No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
3) Undang-Undang No. 33 tahun 2004 tentang perimabngan keuangan pusat dan daerah
4) Undang- Undang No. 28 tahun 2009 tentang Pajak daerah dan Retribusi daerah
5) Peraturan daerah yang mengatur mengenai Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
Setiap daerah mempunyai kemampuan keuangan yang tidak sama dalam mendanai kegiatan-
kegiatannya, hal ini menimbulkan ketimpangan fiskal antara satu daerah dengan daerah lainnya. Oleh
karena itu, untuk mengatasi ketimpangan fiskal ini Pemerintah mengalokasikan dana yang bersumber
dari APBN untuk mendanai kebutuhan daerah dalam pelaksanaan desentralisasi. Salah satu dana
perimbangan dari pemerintah ini adalah Dana Alokasi Umum (DAU) yang pengalokasiannya menekankan
aspek pemerataan dan keadilan yang selaras dengan penyelenggaraan urusan pemerintahan (UU No.
32 Tahun 2004). Dengan adanya transfer dana dari pusat ini diharapkan pemerintah daerah bisa lebih
mengalokasikan PAD yang didapatnya untuk membiayai belanja modal di daerahnya.
Dana transfer dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah selain DAU adalah Dana Alokasi Khusus
(DAK) yaitu dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah tertentu
dengan tujuan untuk membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah dan sesuai
dengan prioritas nasional (UU No. 33 tahun 2004). DAK ini penggunaannya diatur oleh Pemerintah Pusat
dan hanya digunakan untuk kegiatan pendidikan, kesehatan, keluarga berencana, infrastruktur jalan
dan jembatan, infrastruktur irigasi, infrastruktur air minum dan sanitasi, prasarana pemerintah daerah,
lingkungan hidup, kehutanan, sarana prasarana pedesaan, perdagangan, pertanian serta perikanan
dan kelautan yang semuanya itu termasuk dalam komponen belanja modal dan pemerintah daerah
diwajibkan untuk mengalokasikan dana pendamping sebesar 10% dari nilai DAK yang diterimanya untuk
mendanai kegiatan fisik.
Kelompok Dana Perimbangan dibagi menurut jenis pendapatan yang terdiri atas:
1) dana bagi hasil;
2) dana alokasi umum; dan
3) dana alokasi khusus.
Jenis dana bagi hasil dirinci menurut objek pendapatan yang mencakup:
1) bagi hasil pajak; dan
2) bagi hasil sumber daya alam.
Jenis dana alokasi umum hanya terdiri atas objek pendapatan dana alokasi umum. Sedangkan jenis dana
alokasi khusus dirinci menurut objek pendapatan menurut kegiatan yang ditetapkan oleh pemerintah.
Kelompok lain-lain pendapatan daerah yang sah dibagi menurut jenis pendapatan yang mencakup:
1) hibah berasal dari pemerintah, pemerintah daerah lainnya, badan/lembaga/ organisasi swasta
dalam negeri, kelompok masyarakat/perorangan, dan lembaga luar negeri yang tidak mengikat;
2) dana darurat dari pemerintah dalam rangka penanggulangan korban/kerusakan akibat bencana
alam;
3) dana bagi hasil pajak dari provinsi kepada kabupaten/kota;
4) dana penyesuaian dan dana otonomi khusus yang ditetapkan oleh pemerintah; dan
5) bantuan keuangan dari provinsi atau dari pemerintah daerah lainnya.
Hibah adalah penerimaan daerah yang berasal dari pemerintah negara asing, badan/lembaga asing,
badan/lembaga internasional, pemerintah, badan/lembaga dalam negeri atau perorangan, baik dalam
bentuk devisa, rupiah maupun barang dan/atau jasa, termasuk tenaga ahli dan pelatihan yang tidak perlu
dibayar kembali.
Deskripsi:
Topik bertujuan untuk menjelaskan arti penting PAD dalam perekonomian daerah,
serta isu-isu terkini berkaitan dengan pajak daerah dan retribusi daerah.
Latihan
Referensi:
1. UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan
Pemerintahan Daerah
2. UU No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
3. PP No. 91 Tahun 2010 tentang Jenis Pajak Daerah yang Dipungut Berdasarkan Penetapan
Kepala Daerah atau Dibayar Sendiri oleh Wajib Pajak.
4. PP No. 97 Tahun 2012 tentang Retribusi Pengendalian Lalu Lintas dan Retribusi
Perpanjangan IMTA.
Dalam era otonomi daerah ini, daerah diberikan kewenangan yang lebih besar untuk mengatur dan
mengurus rumah tangganya sendiri. Hal ini berarti, idealnya pelaksanaan otonomi daerah harus
mampu mengurangi ketergantungan terhadap pemerintah pusat, daerah menjadi lebih mandiri, yang
salah satunya diindikasikan dengan meningkatnya kontribusi pendapatan asli daerah (PAD) dalam hal
pembiayaan daerah. Pemerintah Daerah diharapkan lebih mampu menggali sumber-sumber keuangan
secara maksimal khususnya untuk memenuhi kebutuhan pembiayaan pemerintahan dan pembangunan
di daerahnya melalui Pendapatan Asli Daerah (PAD). Tentu saja hal ini dilakukan dalam koridor peraturan
perundang-undangan yang berlaku, termasuk diantaranya adalah pajak daerah dan retribusi daerah yang
menjadi unsur PAD yang utama.
Pendapatan Asli Daerah (PAD) merupakan komponen penting bagi pertumbuhan dan kemandirian
ekonomi daerah. PAD yang besar dapat menjadi salah satu tolok ukur kesejahteraan masyarakat.
Berdasarkan Pasal 6 ayat (1) UU No. 33 Tahun 2004, Pendapatan Asli Daerah (PAD) bersumber dari
pajak daerah, retribusi daerah, hasil perusahaan milik daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang
dipisahkan, dan lain-lain pendapatan asli daerah yang sah.
Dalam rangka mencapai kesejahteraan masyarakat daerah, perlu dilakukan optimalisasi PAD. Langkah
awal yang harus diperhatikan dalam optimalisasi PAD ialah aspek perencanaan, karena perencanaan
PAD yang merupakan salah satu fungsi pengelolaan dapat mempengaruhi realisasi PAD. Perencanaan
PAD dalam hal ini dimaksudkan sebagai kegiatan terstruktur terkait dengan konsekuensi potensi yang
difokuskan pada upaya efisiensi dan efektivitas dalam pengelolaan PAD.
Upaya peningkatan PAD tersebut antara lain dapat dilihat dari pendapatan APBD kabupaten/kota Tahun
2007-2011. Pertumbuhan rata-rata total pendapatan APBD seluruh kabupaten/kota sebesar 17,7 persen,
sedangkan pertumbuhan rata-rata PAD seluruh kabupaten/kota sebesar 14,1 persen. Pertumbuhan rata-
rata PAD selama kurun waktu 5 tahun ini memberikan gambaran yang cukup baik dalam memperkuat
kemandirian daerah. Selanjutnya, rasio PAD seluruh kabupaten/kota pada tahun 2007 tercatat sebesar
56,6 persen, sedangkan pada tahun 2011 adalah sebesar 59,59 persen. (Lihat Tabel-4.1 dan Tabel-4.2).
35.177,1
30000
20000 22.196.6
11.042,4 12.013,4
9.963,7
26,2%
10000 4.737,0 4.658,2
0
2007 2008 2009 2010 2011
Lain-lain
Lain-lain
Lain-lain 11,1%
7,6% PAD
Lain-lain Lain-lain
4,8% 45,9%
7,6% 7,6%
PAD
Dana 46,0%
PAD Dana
Dana Perimbangan
56,6% 59,2% Perimbangan
Perimbangan
35,7% 43,0%
Lain-lain Lain-lain
Lain-lain 10,1%
9,7%
7,6%
PAD
PAD Dana
Dana 46,3% 50,1%
Perimbangan
Perimbangan
44% 39,8%
2010 2011
Walaupun pertumbuhan rata-rata PAD tersebut sudah menunjukkan kondisi yang relatif baik, namun
Pemda masih perlu melakukan langkah-langkah strategis terkait pentingnya optimalisasi peningkatan
PAD melalui pajak daerah dan retribusi daerah (PDRD), bagi hasil pajak daerah, dan hasil pengelolaan
kekayaan daerah yang dipisahkan. Melalui penguatan sistem perpajakan daerah (local taxing power) di
dalam struktur pendapatan daerah, peranan PAD juga diharapkan dapat memberikan dampak positip
terhadap pertumbuhan ekonomi, selain menjadi alternatip pendanaan bagi penyediaan prasarana dan
saran pelayanan di daerah. Hal ini sejalan dengan prinsip penggunaan hasil pungutan retribusi menurut
Pasal 161 UU No. 28/2009 bahwa pemanfaatan dari penerimaan setiap jenis retribusi diutamakan untuk
mendanai kegiatan yang berkaitan langsung dengan penyelenggaraan pelayanan yang bersangkutan.
Dengan tersedianya sarana dan prasarana yang memadai diharapkan dapat mendorong terciptanya
iklim investasi yang kondusif sekaligus membuka lapangan kerja baru bagi masyarakat daerah. Dengan
terciptanya lapangan kerja yang baru, diharapkan akan berpengaruh pada peningkatan pendapatan
masyarakat sehingga pertumbuhan ekonomi dapat meningkat.
tersebut. Kerugian ini harus dipertimbangkan dengan kerugian efisiensi sehingga penetapan harga
di atas biaya marjinal dapat tercapai.
Terdapat pertentangan pandangan dengan konsep “keadilan” (fairness): (1) Hanya mereka yang
menerima manfaat yang harus membayar, sementara mereka yang tidak menerima manfaat tidak
harus berkontribusi dalam sistem perpajakan; (2) Semua konsumen harus membayar sama, tanpa
memandang biaya penyediaan pelayanan tersebut (khususnya biaya pelayanan bagi rakyat miskin
umumnya tinggi). Bagian pertama menjelaskan prinsip Marginal Cost Pricing, dan prinsip manfaat,
sementara bagian kedua lebih mengarah kepada kerugian atas ekonomi efisiensi yang dihasilkan
dari penetapan harga sama dibandingkan dengan penetapan harga marjinal.
Eksternalitas konsumsi, seperti manfaat air bersih untuk mencuci dan memasak bagi kesehatan
masyarakat secara signifikan dapat mengubah “harga efisiensi” yang telah ditentukan berdasarkan
biaya marjinal. Pada kondisi ini, dapat dibenarkan apabila pelayanan tersebut disubsidi atau bahkan
gratis sampai dengan titik tertentu.
Pada akhirnya, berdasarkan pertimbangan keadilan maka orang kaya harus membayar lebih, setidaknya
untuk pelayanan seperti air bersih, di mana diskriminasi harga (misalnya, tarif progresif) atas pelayanan
dapat dilakukan. Namun demikian, hal ini menyalahi syarat efisiensi.
1) Bagaimana peranan PAD dalam mengurangi ketergantungan terhadap pemerintah pusat dan
membangun kemandirian daerah?
2) Jelaskan mengapa pengukuran dan pemungutan menjadikan penetapan harga berdasarkan biaya
marjinal sulit diimplementasikan?
3) Apa yang dimaksud dengan dampak eksternalitis atas sebuah pelayanan?
PAJAK DAERAH
Pajak Daerah
Deskripsi:
Topik ini menjelaskan definisi pajak daerah (baik pajak propinsi maupun pajak kabupaten/kota),
fungsi pajak daerah, serta masalah-masalah yang dihadapi dalam penerapan pajak daerah.
Latihan
Referensi:
1. Nick Devas (1989).
2. Mardiasmo (2005), Perpajakan, Andi, Yogyakarta, 2009.
3. UU No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
4. PP No. 97 Tahun 2012 tentang Retribusi Pengendalian Lalu Lintas dan
Retribusi Perpanjangan IMTA.
4. PAJAK DAERAH
Sebagai salah satu komponen penerimaan PAD, potensi pungutan pajak daerah lebih banyak memberikan
peluang bagi daerah untuk dimobilisasi secara maksimal bila dibandingkan dengan komponen-
komponen penerimaan PAD lainnya. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, terutama karena potensi
pungutan pajak daerah mempunyai sifat dan karakteristik yang jelas, baik ditinjau dari tataran teoritis,
kebijakan, maupun dalam tataran implementasinya.
Sedangkan pengertian Pajak menurut Abut (2007) menyatakan bahwa: “Pajak merupakan iuran kepada
negara, yang dapat dipaksakan dan terhutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan,
dengan tidak mendapat prestasi kembali, yang langsung dapat ditunjuk, dan yang gunanya adalah
untuk membiayai pengeluaran umum berhubungan dengan tugas negara untuk menyelenggarakan
pemerintahan.”
Dari beberapa pengertian pajak tersebut dapat disimpulkan bahwa pajak merupakan iuran wajib dari
rakyat kepada negara sebagai wujud peranserta dalam pembangunan, yang pengenaannya didasarkan
pada undang-undang dan tidak mendapat imbalan secara langsung, serta dapat dipaksakan kepada
mereka yang melanggarnya.
Sejalan dengan penjelasan diatas, UU N0. 28 Tahun 2009 tentang PDRD, sebagai pengganti dari UU
N0. 18 Tahun 1997 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 34 Tahun 2000 juga lebih mempertegas
pengertian pajak dalam tataran pemerintahan yang lebih rendah (daerah), sebagai berikut: “Pajak daerah
adalah kontribusi wajib kepada daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat
memaksa berdasarkan undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan
digunakan untuk keperluan Daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.”
Fungsi pengaturan dari pajak daerah dapat dilakukan dengan mengenakan pajak daerah yang tinggi
terhadap kegiatan masyarakat yang kurang dibutuhkan. Sebaliknya, untuk kegiatan prioritas yang
memberikan dampak positif bagi pengembangan ekonomi masyarakat dikenakan pajak daerah yang
rendah.
Dalam berbagai literatur dan peraturan perundang-undangan, peningkatan pendapatan asli daerah
(yang di dalamnya termasuk pajak daerah) seolah-olah terkait secara langsung dengan kinerja pemerintah
daerah. Peningkatan pendapatan asli daerah kadangkala digunakan sebagai indikator keberhasilan
daerah. Hal ini mendorong pemerintah daerah berusaha menciptakan berbagai jenis pajak daerah yang
berdasarkan pemahaman pemerintahan daerah dapat meningkatkan pendapatan asli daerah tanpa
mempertimbangkan dampak dari pengenaan pajak tersebut bagi masyarakat dan bagi kelangsungan
kegiatan ekonomi di daerahnya.
Fungsi pengaturan dari pajak daerah belum banyak dimanfaatkan oleh daerah. Beberapa daerah
memang sudah mengakomodir fungsi pendapatan dan fungsi pengaturan dalam perumusan kebijakan
pajak daerah, antara lain melalui penerapan tarif yang berbeda antar golongan masyarakat. Kebijakan ini
dapat membantu golongan masyarakat tertentu dalam pemenuhan kewajiban perpajakannya, namun
belum memberikan dampak positif yang signifikan bagi pengembangan ekonomi. Langkah yang belum
banyak dipertimbangkan oleh daerah adalah pemberian insentif pajak daerah dalam rangka menarik
investasi di daerahnya.
Suatu pajak daerah harus memenuhi beberapa prinsip umum, sehingga pemungutannya dapat
dilaksanakan secara efisien dan efektif. Dari sejumlah prinsip yang umum digunakan di bidang perpajakan,
di bawah ini diuraikan beberapa prinsip pokok dari suatu pajak yang baik, antara lain:
cara pemungutannya. Adanya kepastian akan menjamin setiap orang untuk tidak ragu-ragu dalam
menjalankan kewajiban membayar pajak daerah, karena segala sesuatunya diatur secara jelas.
Untuk mempertahankan prinsip-prinsip tersebut, maka perpajakan daerah harus memiliki ciri-ciri tertentu.
Adapun ciri-ciri dimaksud, khususnya yang terjadi di banyak negara sedang berkembang, adalah:
1) pajak daerah secara ekonomis dapat dipungut, yang berarti perbandingan antara penerimaan
pajak harus lebih besar dibandingkan ongkos pemungutannya;
2) Relatif stabil, artinya penerimaan pajak tidak berfluktuasi terlalu besar, kadang-kadang meningkat
secara drastis dan adakalanya menurun secara tajam;
3) Basis pajaknya harus merupakan perpaduan antara prinsip keuntungan (benefit) dan kemampuan
untuk membayar (ability to pay).
2) Objek pajak terletak atau terdapat di wilayah daerah kabupaten/kota yang bersangkutan dan
mempunyai mobilitas cukup rendah, serta hanya melayani masyarakat di wilayah daerah
kabupaten/kota yang bersangkutan.
3) Objek dan dasar pengenaan pajak tidak bertentangan dengan kepentingan umum.
Pajak ditujukan untuk kepentingan bersama yang lebih luas antara pemerintah dan masyarakat
dengan memperhatikan aspek ketentraman dan kestabilan politik, ekonomi, sosial, budaya, serta
pertahanan dan keamanan.
4) Potensi pajak memadai, artinya hasil penerimaan pajak harus lebih besar dari biaya pemungutan.
5) Objek Pajak bukan merupakan objek pajak pusat.
Jenis pajak yang bertentangan dengan kriteria ini, antara lain adalah pajak ganda (double tax), yaitu
pajak dengan objek dan/atau dasar pengenaan yang tumpang tindih dengan objek dan/atau dasar
pengenaan pajak lain yang sebagian atau seluruh hasilnya diterima oleh daerah.
6) Tidak memberikan dampak ekonomi yang negatif.
Pajak tidak mengganggu alokasi sumber ekonomi dan tidak merintangi arus sumber daya ekonomi
antardaerah maupun kegiatan ekspor-impor.
7) Memperhatikan aspek keadilan dan kemampuan masyarakat.
Aspek keadilan, antara lain:
• objek dan subjek pajak harus jelas sehingga dapat diawasi
• pemungutannya;
• jumlah pembayaran pajak dapat diperkirakan oleh wajib pajak;
• tarif pajak ditetapkan dengan memperhatikan keadaan wajib pajak.
Dalam mempertimbangkan pemungutan suatu pajak daerah, ada beberapa kriteria yang perlu
diperhatikan, utamanya yield atau hasil yang diperkirakan dapat diperoleh dan pemenuhan unsur-unsur
keadilan.
Yield/Hasil
Gambar 4.1 : Kriteria Memilih Pajak Daerah
TAN KE
GU CU
UN K
M
UP
E
AP
UA
BIAY
N
IA N
EL
ST
AS
PA
IS
KE
T
IT
AS Y A
BIA
1) Kecukupan: hasil dari pajak harus sesuai dengan pengeluaran yang akan dibiayai. Beberapa pajak
yang memberikan hasil kecil cenderung tidak efisien dan menciptakan resistensi dari wajib pajak
2) Kepastian dan dapat diprediksi: hasil dari pajak sebaiknya tidak mengalami fluktuasi yang besar
dari tahun ke tahun, karena hal tersebut menyulitkan dalam perencanaan pengeluaran. Beberapa
pajak atas produksi hasil pertanian kemungkinan sulit untuk diprediksi karena faktor iklim yang tidak
menentu.
3) Elastisitas: idealnya, hasil dari pajak sebaiknya meningkat secara otomatis seiring dengan inflasi,
pertumbuhan populasi dan meningkatnya pendapatan. Pajak penghasilan progresif elastis
terhadap ketiga hal tersebut, sementara “poll tax” hanya elastis terhadap populasi dan tidak kepada
dua aspek yang lain. Pajak “ad valorem” (yaitu, persentase pajak dari nilai objek pajak akan jauh lebih
elastis dibandingkan dengan pajak yang jumlahnya tetap dalam bentuk nilai uang). Catatan yang
perlu diingat bahwa: tarif pajak dapat ditingkatkan seiring dengan inflasi, dan apabila keputusan
politik atau tindakan administrasi dibutuhkan maka hal tersebut tidak dapat terjadi secara otomatis.
4) Biaya pemungutan: rasio antara biaya pemungutan dan hasil dari pajak sebaiknya sekecil mungkin.
Populasi penduduk dengan tingkat penyebaran yang luas, masalah transportasi dan infrastruktur
menyebabkan biaya pemungutan di negara-negara berkembang menjadi tinggi. Hal ini
menyebabkan pajak atas kegiatan sektor informal menjadi mahal karena biaya pemungutan yang
tinggi.
Keadilan
PRINSIP KEADILAN
Gambar 4.2 : Prinsip Keadilan
PRINSIP PRINSIP
VERTIKAL MANFAAT
PRINSIP
KEADILAN
PRINSIP
HORISONTAL
Beban pajak sebaiknya “adil” dan sesui dengan kemampuan membayar wajib pajak. Oleh karena itu,
terdapat beberapa aspek yang perlu dipertimbangkan:
1) jelas tidak sembarangan: dasar pengenaan pajak dan kewajiban membayar harus jelas dan mudah
dipahami. Hal ini penting dalam rangka menghindari tindakan sewenang-wenang dan ketidakadilan
dalan penetapan pajak.
2) prinsip manfaat: adalah prinsip yang menyatakan bahwa mereka yang menerima manfaat (atau
paling diuntungkan) atas pelayanan pemerintah harus memberikan kontribusi (atau berkontribusi
lebih banyak) atas pelayanan tersebut. Hal ini memberikan pengertian luas untuk perpajakan atau
batas geografis bagi perpajakan (misalnya, wajib pajak pada satu daerah tidak harus membiayai
pelayanan pada daerah lain), atau mengenakan retribusi langsung atas pelayanan yang diberikan
kepada pembayar. Namun demikian, secara umum, prinsip ini tidak digunakan sebagai dasar untuk
mengalokasikan beban pajak di antara individu.
3) keadilan horisontal: artinya orang-orang dalam lingkungan ekonomi yang sama harus diperlakukan
sama, misalnya, penghasilan dari pertanian harus dikenakan pajak pada tingkat yang sama dengan
penghasilan dari sektor industri atau sektor lainnya.
4) keadilan vertikal: adalah keadilan yang dikaitkan antara beban pajak dengan kemampuan untuk
membayar. Oleh karena itu, perpajakan sebaiknya proporsional (artinya, semua kelompok penghasilan
memberikan persentase kontribusi yang sama dari penghasilan tersebut) atau progresif (artinya,
kelompok dengan penghasilan tinggi memberikan persentase kontribusi yang lebih besar, seperti
pada pajak penghasilan). Sementara, terdapat beberapa pajak yang regresif misalnya pajak “poll”.
No. Pajak Provinsi Tarif Maksimal No. Pajak Kabupaten/Kota Tarif Maksimal
1. Pajak Kendaraan Bermotor; 1%-2% 1. Pajak Hotel 10 %
Bea Balik Nama Kendaraan
2. 20 % 2. Pajak Restoran 10 %
Bermotor;
Pajak Bahan Bakar Kendaraan
3. 10 % 3. Pajak Hiburan 75 %
Bermotor;
4. Pajak Air Permukaan; dan 10% 4. Pajak Reklame 25 %
5. Pajak Rokok. 10 % 5. Pajak Penerangan Jalan 10 %
6. Pajak Parkir 30 %
Pajak Mineral Bukan Logam
7. 25 %
dan Batuan
8. Pajak Air Tanah 20 %
9. Pajak Sarang Burung Walet 10 %
10. PBB Perdesaan Perkotaan 0,3 %
Bea Perolehan Hak Atas
11. 5%
Tanah dan Bangunan
Pajak daerah memiliki beberapa perbedaan sesuai dengan Jenis Pajak Daerah, Objek Pajak Daerah dan
Subjek Pajak Daerah. Beberapa perbedaan ini menimbulkan pengaturan yang berbeda pula sesuai
dengan UU 28 Tahun 2009.
Tabel 4.2 : Pengelompokan Pajak Daerah Berdasarkan Jenis, Objek dan Subjeknya
1 Pajak Kendaraan Bermotor (oficial Kepemilikan dan/atau penguasaan Orang pribadi atau Badan yang memiliki dan/
assesment) Kendaraan Bermotor atau menguasai Kendaraan Bermotor
2 Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor Penyerahan Kepemilikan Kendaraan Orang pribadi atau Badan yang dapat
(oficial assesment) Bermotor menerima penyerahan Kendaraan Bermotor
3 Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bahan Bakar Kendaraan Bermotor yang Konsumen Bahan Bakar Kendaraan Bermotor
Bermotor (oficial assesment) disediakan atau dianggap digunakan
untuk kendaraan bermotor, termasuk
bahan bakar yang digunakan untuk
kendaraan di air
4 Pajak Rokok (oficial assesment) Konsumsi Rokok Konsumen Rokok
5 Pajak Air Permukaan (Self Assesment) Pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Orang pribadi atau Badan yang dapat
Permukaan melakukan pengambilan dan/atau
pemanfaatan Air Permukaan
6 Pajak Hotel (Self Assesment) Pelayanan yang disediakan oleh Hotel Orang pribadi atau Badan yang melakukan
dengan pembayaran, termasuk jasa pembayaran kepada Orang pribadi atau
penunjang sebagai kelengkapan Hotel Badan yang mengusahakan Hotel
yang sifatnya memberikan kemudahan
dan kenyamanan, termasuk fasilitas
olahraga dan hiburan
7 Pajak Restoran (Self Assesment) Pelayanan yang disediakan oleh Restoran Orang pribadi atau Badan yang membeli
makanan/minuman dari Restoran
8 Pajak Hiburan (Self Assesment) Jasa penyelenggaraan Hiburan dengan Orang pribadi atau Badan yang menikmati
dipungut bayaran Hiburan
9 Pajak Reklame (Self Assesment) Semua penyelenggaraan Reklame Orang pribadi atau Badan yang
menggunakan Reklame
10 Pajak Penerangan Jalan (oficial Penggunaan tenaga listrik, baik yang Orang pribadi atau Badan yang dapat
assesment) dihasilkan sendiri maupun yang diperoleh menggunakan tenaga listrik
dari sumber lain.
11 Pajak Parkir (Self Assesment) Penyelenggaraan tempat Parkir diluar Orang pribadi atau Badan yang melakukan
badan jalan, baik yang disediakan parkir kendaraan bermotor
berkaitan dengan pokok usaha maupun
yang disediakan sebagai suatu usaha,
termasuk penyediaan tempat penitipan
kendaraan bermotor.
12 Pajak Mineral Bukan Logam dan Kegiatan pengambilan Mineral Bukan Orang pribadi atau Badan yang dapat
Batuan (Self Assesment) Logam dan Batuan. mengambil Mineral Bukan Logam dan
Batuan
13 Pajak Air Tanah (Self Assesment) Pengambilan dan/atau pemanfaatan Air Orang pribadi atau Badan yang melakukan
Tanah pengambilan dan/atau pemanfaatan Air
Tanah
14 Pajak Sarang Burung Walet (Self Pengambilan dan/atau pengusahaan Orang pribadi atau Badan yang melakukan
Assesment) Sarang Burung Walet pengambilan dan/atau mengusahakan
Sarang Burung Walet
15 PBB Perdesaan & Perkotaan (oficial Bumi dan/atau Bangunan yang dimiliki, Orang pribadi atau Badan yang secara nyata
assesment) dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh mempunyai suatu hak atau Bumi dan /atau
orang pribadi atau Badan, kecuali memperoleh manfaat atas Bumi, dan/atau
kawasan yang digunakan untuk kegiatan memiliki, menguasai, dan atau memperoleh
usaha perkebunan, perhutanan, dan manfaat atas Bangunan.
pertambangan
16 Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Orang pribadi atau Badan yang memperoleh
Bangunan (oficial assesment) Bangunan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan
Terdapat beberapa permasalahan ketika merancang sistem pajak yang adil, khususnya di negara
berkembang, karena:
1) Tingkat rata-rata pajak rendah di mana penghasilan dan jumlah orang kaya relatif kecil, berarti tidak
ada alternatif lain kecuali mengenakan pajak pada masyarakat miskin;
2) Kurangnya data yang akurat berkaitan dengan dasar pengenaan pajak;
3) Ketidak-akuratan penilaian ditambah dengan penyelundupan (evation) pajak yang dilakukan oleh
orang kaya, menyebabkan apapun bentuk dan sistem pajak cenderung akan memberikan beban
lebih berat pada masyarakat miskin;
4) Dorongan atas pengaruh negatif dari pajak progresif berdampak pada pertumbuhan ekonomi.
Gambar 4.3 :
KAN EK
ANA ON
KS
OM
LA
ME
IE
MASALAH -
FISI
AMPUAN
MASALAH
ENSI
DALAM
PENERAPAN
KEM
PAJAK DAERAH
I
NE
TRA N OM
LIT A S E K O
Dalam sistem pasar, harga (dalam arti luas) melakukan fungsi utama sebagai alokasi sumber daya,
dan ditentukan oleh hubungan antara penawaran (supply) dan permintaan (demand). Sebagian pajak
mempengaruhi harga relatif dan karenanya mempengaruhi keputusan ekonomi melalui konsumer dan
produser (keputusan berkaitan dengan apa yang harus dibeli, kombinasi atas input, pilihan antara kerja
dan waktu santai, serta antara konsumsi dan investasi, dll)
Kerugian ekonomi dapat berdampak luas daripada hanya sekedar biaya tambahan pajak konsumen, atau
sejumlah uang yang dihasilkan dari pajak. Misalnya, terdapat beberapa pembeli yang hilang dari suatu
barang, atau pembeli beralih ke komoditas lain, semua karena pajak. Jumlah total dari kerugian tersebut
dikenal sebagai “excess burden” atau “deadweight loss” dalam ilmu ekonomi berkaitan dengan perpajakan.
Kemampuan Melaksanakan
1) Kemampuan diterima secara politis: tidak ada pajak yang populer, tetapi terdapat beberapa pajak
yang lebih populer dibandingkan dengan yang lainnya. Kesemuanya banyak tergantung pada
visibilitas pajak, seperti pajak yang pembayarannya dilakukan secara langsung (misalnya, pajak
properti atau pajak “poll”) kemungkinan akan jauh lebih populer daripada pajak yang disamarkan
(misalnya, pajak penjualan atau withholding pajak).
Beberapa jenis pajak kemungkinan sensitif di negara-negara tertentu (misalnya, pajak atas tanah,
sapi). Political will dibutuhkan untuk merevisi tarif pajak dalam rangka meyakinkan penilaian yang
adil dan untuk mengambil tindakan penegakan hukum bagi yang menghindari pajak. Adanya
kepentingan tertentu sering menjadi faktor penghambat dalam pelaksanaan sistim perpajakan
yang efektif, khususnya pajak progresif.
Mengalokasikan pendapatan pajak untuk tujuan tertentu (earmark) membuat pajak tersebut secara
politis tidak terlalu sensitif, tetapi cenderung mengurangi fleksibilitas anggaran dan pembayar pajak
tidak terdorong untuk membayar pelayanan yang kurang populer (misalnya administrasi umum).
2) Kapasitas administratif: hal ini berkaitan dengan keahlian, ketrampilan dan kejujuran sumber daya
manusia dari suatu negara untuk mengelola pajak yang kompleks secara efisien dan efektif. Beberapa
pajak lebih mudah dan sederhana untuk dikelola dibandingkan dengan yang lain (misalnya, bea
balik nama kendaraan bermotor dibandingkan dengan pajak bumi dan bangunan perdesaan dan
perkotaan). Administrasi dapat difasilitasi oleh organisasi pada suatu tempat di mana pajak tersebut
dikumpulkan (misalnya pajak hotel dan pajak restoran).
Penilaian/Penetapan Pajak
Tidak ada pajak yang sempurna. Tujuan dari kebijakan fiskal adalah untuk merancang serangkaian
pajak yang dapat meminimalisasi pelanggaran atas kriteria-kriteria pajak di atas. Perlu diingat bahwa
kemungkinan konflik di antara kriteria-kriteria tersebut dapat terjadi, misalnya:
1) Antara keadilan dan efisiensi
2) Antara kemudahan administrasi dan keadilan
3) Antara hasil dan ekonomi efisiensi, dan lainnya
Namun demikian, kehati-hatian dalam merancang instrumen pajak dapat memperbaiki trade-off di antara
kriteria tersebut.
Dalam pelaksanaan UU No. 28 Tahun 2009 terdapat sejumlah permasalahan dan tantangan
yang memerlukan penanganan dalam rangka mengoptimalkan PAD dan memberikan kepastian
hukummengenai pungutan daerah yang menjadi kewajiban masyarakat. Sebagian isu yang timbul
adalah terkait dengan gugatan masyarakat terhadap rumusan dalam UU No. 28 Tahun 2009 dan sebagian
lainnya terkait dengan implikasi dari pengalihan PBB-P2 dan BPHTB ke daerah.
3) Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBN-KB) objek alat berat
Berdasarkan UU No. 28 Tahun 2009, alat-alat berat dan alat-alat besar termasuk dalam kategori
kendaraan bermotor yang dikenakan Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) dan Bea Balik Nama Kendaraan
Bermotor (BBN-KB). Beberapa asosiasi alat berat mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi
agar membatalkan ketentuan ini. Namun Mahkamah Konstitusi menolak permohonan tersebut,
sehingga atas penguasaan dan pemilikan alat berat tetap dikenakan PKB dan atas penyerahan
kepemilikan alat berat dikenakan BBN-KB.
Ada beberapa pandangan dan kritik terhadap pengenaan PKB dan BBNKB atas alat berat, antara lain:
• UU No. 28 tahun 2009 maupun UU No. 34 tahun 2000 tidak memberikan penjelasan, pengertian,
maupun definisi alat berat dan alat-alat besar sehingga mengaburkan maksud dan jenis alat berat
mengingat banyaknya jenis, ragam dan fungsi alat berat sebagaimana dijelaskan berikut ini.
• Alat berat dan alat konstruksi pada umumnya di bagi sesuai dengan sektor pemakaian alat
tersebut, setelah itu baru di kategori dalam jenis dan fungsi alat-alat tersebut dan kemudian
dibagi lagi sesuai ukuran dan beratnya. APPAKSI selalu berkomunikasi dengan asosiasi
internasional sejenis seperti American Rental Association, Japan Heavy Equipment Industry
Association, Korean Machinery Rental Association, dan beberapa asosiasi di negara-negara ASEAN,
termasuk Australia.
• Dalam beberapa kesempatan berdiskusi di acara pameran international seperti Bauma German
dan Conexpo di Amerika, APPAKSI telah mengecek pengenaan Pajak Kendaraan Bermotor (Road
Tax) untuk alat berat dan alat besar. Dari informasi yang diperoleh dari beberapa negara seperti
Amerika, Japan, Korea, Malaysia maupun Australia memang tidak dikenakan PKB (Road Tax) untuk
alat besar dan alat berat. Bahkan untuk merangsang pembangunan konstruksinya, Amerika
memperpanjang Tax Relief Act 2010 section 179 Boost for Small Business dalam Tax Incentives For
Equipment Purchase untuk tahun 2011 dan 2012. Ini berarti untuk pembelian alat baru atau re-
kondisi dengan nilai diatas US $ 500.000 dapat dikompensasi 30% dari pajak penghasilan diluar
depresiasi.
Terdapat beberapa daerah yang tidak dapat mengenakan PBB-P2 karena NJOP tanah di daerah
tersebut sangat kecil sehingga tidak dapat dikenakan PBB-P2 secara optimal. Daerah seperti ini
mengusulkan agar NJOP-TKP ditinjau kembali dan membuka kemungkinan untuk mentapkan
NJOP-TKP yang lebih rendah.
1) Jelaskan bagaimana keterkaitan aspek keadilan horisontal dan aspek keadilan vertikal! Yang mana
harus didahulukan?
2) Mengapa hasil merupakan syarat yang penting dalam menentukan sebuah usulan pajak?
3) Bagaimana kemampuan administratif pemerintah daerah dalam mengimplementasikan pajak
daerah dan retribusi daerah secara menyeluruh?
PENGELOLAAN PBB-P2
Pengelolaan PBB-P2
Deskripsi:
Topik ini menjelaskan konsep PBB P2, fungsi, optimalisasi PBB-P2,
serta masalah yang dihadapi dalam penerapan PBB P2.
Latihan
Referensi:
1. UU No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
2. PP No. 69 Tahun 2010 tentang Tatacara Pemberian dan Pemanfaatan Insentif
Pemungutan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
3. PP No. 91 Tahun 2010 tentang Jenis Pajak Daerah Yang Dipungut Berdasarkan
Penetapan Kepala Daerah Atau Dibayar Sendiri Oleh Wajib Pajak
4. Permendagri No. 56 Tahun 2010 tentang Perubahan atas Permendagri Nomor 57
Tahun 2007 tentang Petunjuk Teknis Penataan Organisasi Perangkat Daerah.
5. Peraturan Bersama Menkeu dan Mendagri No. 186 Tahun 2010 dan No. 213 Tahun
2010 tentang Tahapan Persiapan Pengalihan PBB-P2 menjadi Pajak Daerah.
6. Darwin (2010).
Berpindahnya pengelolaan PBB-P2 yang sebelumnya dikelola oleh Direktorat Jenderal Pajak sebagai
pajak pusat menjadi pajak daerah yang dikelola oleh Pemerintah Daerah berdampak pada beberapa hal
terkait pelaksanaan operasional pajak. PBB-P2 pada dasarnya merupakan pajak objektif yang mengacu
pada objeknya dan memiliki karakter yang berbeda dengan jenis pajak lain, seperti Pajak Penghasilan
(PPh) atau Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Siapapun pemiliknya, penggunanya, maupun yang mendapat
manfaat dari suatu objek PBB-P2 akan menjadi subjek pajak yang apabila memenuhi kriteria akan menjadi
wajib pajak.
PBB-P2 yang selama ini dikelola oleh pemerintah pusat, dalam hal ini oleh Direktorat Jenderal Pajak,
telah memiliki sistem aplikasi dan database yang sudah sejak lama dibangun dan dikumpulkan. Suatu
sistem dibuat untuk mempermudah suatu pekerjaan menjadi lebih efektif dan efisien. Begitu juga
dengan sistem yang telah dibangun untuk pengelolaan PBB-P2 ini. Beberapa sistem yang digunakan
antara lain adalah Sistem Manajemen Informasi Objek Pajak (SISMIOP) yang memudahkan fiskus dalam
mengadministrasikan maupun menganalisis kebijakan apa saja yang akan diambil dalam rangka
memaksimalkan penerimaan dan kepatuhan wajib pajak. Selain itu, Sistem Informasi Geografis PBB (SIG
PBB) dalam pengelolaan PBB-P2 tidak dapat begitu saja diabaikan karena dengan menggunakan sistem
ini dapat diketahui posisi relatif terhadap kondisi sekitarnya.
Sistem yang sudah dibangun sejak lama tersebut telah menghasilkan banyak sekali data yang berada di
database Direktorat Jenderal Pajak. Data tersebut nilainya sangat tinggi dan merupakan hasil kerja bertahun-
tahun. Seiring dengan berpindahnya pengelolaan PBB-P2 dari pemerintah ke pemerintah daerah maka
semua sistem dan data yang terkait harus ditransfer ke pemerintah daerah. Cukup kompleksnya sistem
dan data yang sudah dimiliki Direktorat Jenderal Pajak menjadikan semua sistem yang terkait dengan
PBB-P2 menjadi sesuatu yang sangat berharga apabila dapat dikelola oleh pemerintah daerah setempat.
Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) merupakan pajak yang telah dipungut dalam kurun waktu yang sangat
lama, yaitu mulai dari jaman kerajaan, jaman penjajahan, jaman kemerdekaan, hingga sampai saat ini.
Dalam melakukan pemungutan PBB, pemerintah daerah harus memahami sejarah pemungutan PBB
dengan mempelajari sejarah pengaturan dan praktek pemungutan PBB, hubungan antara pemajakan
atas tanah dengan kepemilikan tanah, permasalahan sosial serta konsekwensi hukum yang timbul karena
dikeluarkannya produk hukum pemungutan PBB (seperti Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang (SPPT)).
Pemungutan Pajak Atas Tanah Setelah Kemerdekaan
Pajak bumi digantikan dengan Pajak Hasil Bumi berdasarkan Undang-undang No 14 tahun 1951 (L.N 1951
No 84) tentang Penggantian Pajak Bumi dengan Pajak Peralihan Tahun 1944. Dalam perkembangannya,
pemerintah menyempurnakan Undang-undang No 14 tahun 1951 dengan mengeluarkan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 11 Tahun 1959 tentang Pajak Hasil Bumi (L.N. 1959 No
104) dan ditetapkan kembali dengan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1961. Undang-undang ini hanya
mengatur tentang pungutan pajak atas tanah adat (tidak termasuk tanah hak barat).
Dengan diberlakukannya UUPA pada tahun 1960 serta ditegaskan lagi dengan Keputusan Presidium
Kabinet Tanggal 10 Februari Tahun 1967 Nomor 87/Kep/U/4/1967, maka Undang-undang Nomor 11
Tahun 1959 tentang Pajak Hasil Bumi yang menjadi landasan Pajak Hasil Bumi harus ditafsirkan bahwa
semua tanah di Indonesia dipungut Pajak Hasil Bumi. Termasuk tanah-tanah yang diatur dalam Ordonansi
Verponding Indonesia tahun 1923 dan tahun 1928. Pungutan Pajak hasil Bumi pada saat itu dikelola oleh
Jawatan Pajak Hasil Bumi yang pada tahun 1963 diubah menjadi Direktorat Pajak Hasil Bumi.
Dengan pemberian otonomi dan desentralisasi kepada pemerintah Daerah, Pajak Hasil Bumi kemudian
namanya diubah menjadi IPEDA (Iuran Pembangunan Daerah) berdasarkan Surat Keputusan Menteri Iuran
Negara No.PM.PPU 1-1-3 Tanggal 29 November 1965 yang berlaku mulai 1 November 1965. Kelembagaan
Direktorat Pajak Hasil Bumi diubah menjadi Direktorat Iuran Pembangunan Daerah (Di Bawah Ditjen
Moneter). IPEDA merupakan pungutan yang dilakukan oleh pemerintah pusat atas tanah, yang kemudian
hasil pemungutan tersebut seluruhnya dikembalikan kepada daerah untuk kegiatan pembangunan.
Dengan keputusan Presiden RI No. 12 tahun 1976 tanggal 27 Maret 1976, Direktorat IPEDA diserahkan dari
Direktorat Jenderal Moneter kepada Direktorat Jenderal Pajak.
Pada tanggal 27 Desember 1985 dengan diberlakukannya Undang-undang RI No. 12 tahun 1985
Direktorat IPEDA berganti nama menjadi Direktorat Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Demikian juga unit
kantor di daerah yang semula bernama Inspeksi IPEDA diganti menjadi Inspeksi Pajak Bumi dan Bangunan,
dan Kantor Dinas Luar IPEDA diganti menjadi Kantor Dinas Luar PBB. Perubahan yang terjadi dengan
diberlakukannya Undang-undang Nomor 12 tahun 1985 (Undang-undang PBB) adalah dengan hanya
menerapkan satu jenis pajak yang dipungut atas objek pajak berupa tanah dan atau bangunan yang
sebelumnya dikenakan atasnya beberapa jenis pajak. Ketentuan Pajak Bumi dan Bangunan diberlakukan
atas sektor P2 dan P3 sebagaimana juga jenis sektor yang diberlakukan dalam IPEDA.
Dijelaskan dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE–62/PJ.7/1988 tentang penggunaan
nama (penyebutan) formulir pembukuan bahwa :
1) KP. PBB-38 disamakan dengan buku A
2) KP. PBB-39 disamakan dengan buku B
3) KP. PBB-40 disamakan dengan buku C
4) KP. PBB-41 disamakan dengan girik/petok D 1
Dengan diberlakukanya ketentuan yang baru maka dalam rangka kadaster pajak juga dilakukan upaya
pembaharuan data PBB. Ketentuan pembaharuan data PBB tersebut diatur sebagai berikut (Surat Edaran
Dirjen Pajak Nomor SE-96/PJ.7/1987 tentang Tata Cara Pendataan/Pembaharuan Data Pajak Bumi dan
Bangunan):
1) Untuk obyek pajak eks IPEDA sektor Perkotaan pada umumnya dapat dilaksanakan dengan
memberikan Surat Pemberitahuan Objek Pajaka (SPOP) kepada subyek pajaknya. Namun mengingat
jumlah subyek/obyek pajak yang demikian banyak serta dengan sifat-sifat yang heterogen,
maka pendataan/pembaharuan data PBB dapat dilaksanakan pula dengan jalan pemetaan dan
pengukuran obyek pajak/rincikan objek pajak.
2) Untuk tanah eks IPEDA sektor Pedesaan, pembaharuan datanya tetap dilaksanakan dengan cara
Klasiran Praktis sesuai Pedoman Klasiran Praktis (Vide SE-01/PJ.7/1984 tanggal 4 anuari 1984).
Dalam pelaksanaannya dibuatkan lebih dahulu Peta Ikhtisar kelurahan/Desa yang terbagi menjadi
persil-persil Sawah (S) dan Darat (D) lengkap dengan nomor-nomor persil. Pembukuan dari hasil
pembaharuan data ini berupa Register Desa, Buku A, Buku B. Buku Abjad/Carakan, Buku C dan lain-
lain.
3) Mengingat banyaknya subyek pajak eks IPEDA, serta kemampuannya untuk mengisi SPOP, maka
dibuat bentuk formulir SPOP kolektif.
Sistem pembukuan PBB tersebut selanjutnya diubah dengan komputerisasi melalui aplikasi SISTEP
(Sistim Tempat Pembayaran) yang dimulai tahun 1990 s/d tahun 1993. Langkah awal yang dilakukan
adalah dengan melakukan perekaman data (hasil rekaman dicetak pada DHR dan divalidasi). Sistem
ini mengganti formulir pembukuan data PBB yang diadministrasikan sebelumnya secara manual. Hasil
Keluaran berupa Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang (SPPT), Surat Tanda Terima Setoran (STTS), Daftar
Hasil Rekaman (DHR) dan Daftar Himppunan Ketetapan Pajak (DHKP) dicetak secara otomasi.
Namun demikian, meskipun telah terbentuk SISTEP, Kantor Pelayanan PBB masih menerbitkan Girik/Petuk
D/Kekitir/Keterangan Objek Pajak (KP.PBB 41). Pada kenyataannya sampai saat tersebut masih banyak
Kepala KP.PBB yang menerbitkan Girik/Petak D/Kekitir/Keterangan Obyek Pajak (KP.PBB 41) atau salinannya
atas permintaan perseorangan atau badan yang akan digunakan oleh yang bersangkutan sebagai alat
pembuktian hak atas tanah. Dan hal ini telah banyak menimbulkan masalah dan mengganggu tugas
pokok KP.PBB
Sehubungan dengan hal tersebut, maka diterbitkan Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor SE-15/PJ.6/1993
tentang Larangan Penerbitan Girik/Petuk D/Kekitir/Keterangan Objek Pajak (KP.PBB 41). Apabila masyarakat
memerlukan pelayanan yang berhubungan dengan penentuan status hukum/hak atas tanah disarankan
agar menghubungi Kantor Pertanahan setempat, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Peraturan
Menteri Pertanian dan Agraria Nomor 2 Tahun 1962 tanggal 1 Agustus 1962, Keputusan Menteri Dalam
Negeri Nomor: SK.26/DDA/1970 tanggal 14 Mei 1970 juncto Keputusan Mahkamah Agung RI Nomor: Reg.
34.K/Sip/1960 tanggal 10 Februari 1960.
Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan adalah pajak atas
bumi dan/atau bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan
oleh orang pribadi atau badan, kecuali kawasan yang digunakan untuk
kegiatan usaha perkebunan, perhutanan, dan pertambangan
(Pasal 1 angka 37 UU 28/2009)
Dalam hal memenuhi panggilan dari instansi Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, maupun instansi
Pemerintah lainnya yang berkaitan dengan masalah girik, maka Kantor Pelayanan PBB agar tetap
berpedoman kepada: Instruksi Menteri Keuangan RI Nomor: 05/IMK.01/ 1978 dan Surat Edaran Direktur
Jenderal Pajak Nomor: SE-21/PJ.7/1991 tanggal 26 September 1991.
Setelah SISTEP terbentuk, maka Direktorat Jenderal Pajak mengembangkan aplikasi SISMIOP yang sampai
saat ini masih digunakan. Pembentukan Basis Data SISMIOP dilakukan dengan konversi data SISTEP atau
dengan melakukan pendataan (dalam rangka pembentukan Basis Data SISMIOP). Sesuai dengan SE -04/
PJ.6/1994 maka mulai tahun pajak 1994 seluruh program pencetakan data keluaran penetapan PBB
menggunakan aplikasi SISMIOP. Mengingat pembentukan basis data SISMIOP memerlukan biaya dan
waktu yang cukup besar, maka sampai saat ini belum semua daerah telah diadministrasikan dengan pola
SISMIOP (masih diadministrasikan dengan pola SISTEP).
Dalam rangka meningkatkan kemampuan keuangan daerah agar dapat melaksanakan otonomi,
khususnya yang berasal dari pajak daerah dan retribusi daerah, Pemerintah menetapkan berbagai
kebijakan perpajakan daerah, diantaranya dengan menetapkan UU No.28 Tahun 2009 tentang Pajak
Daerah dan Retribusi Daerah. sebagai pengganti UU No. 34 Tahun 2000 dan UU No. 18 Tahun 1997.
Pelaksanaan UU No.28 Tahun 2009 diharapkan dapat meningkatkan pendapatan daerah dalam rangka
memperbaiki kualitas pelayanan kepada masyarakat.
Setelah adanya perubahan kebijakan pajak daerah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No 28
Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, ada beberapa perubahan yang cukup signifikan
yang berpengaruh pada hubungan keuangan pusat dan daerah. Salah satu di antaranya adalah
pengalihan pajak yang sebelumnya merupakan pajak pusat menjadi pajak daerah, yaitu PBB-P2 (PBB
Perdesaan dan Perkotaan) dan BPHTB (Bea Perolehan Hak Atas tanah dan Bangunan). Ketika PBB-P2 dan
BPHTB merupakan pajak pusat, maka daerah mendapat bagi hasil dari pendapatan yang dipungut oleh
pusat. Namun, setelah PBB-P2 dan BPHTB dijadikan pajak daerah, maka tidak ada lagi dana bagi hasil dari
kedua jenis pajak tersebut .
Pajak Bumi dan Bangunan Pedesaan dan Perkotaan mempunyai fungsi sebagai pajak atas kekayaan/
kepemilikan perorangan atau badan. Salah satu pertimbangan diundangkannya UU PBB adalah
adanya pajak berganda yang dikenakan pada satu bidang tanah/bangunan. Jenis pajak yang dicabut
dengan diberlakukannya Undang-undang PBB adalah sebagai berikut: (1) Pajak Rumah Tangga 1908; (2)
Verponding Indonesia 1923; (3) Verponding 1928; (4) Pajak Kekayaan 1932; (5) Pajak Jalan 1942; (6) Pasal 14
huruf j, k, dan i Undang-Undang Nomor 11 Drt Tahun 1957 tentang Peraturan Umum Pajak Daerah; dan
(7) Pajak Hasil Bumi/ IPEDA
Optimalisasi peningkatan PAD melalui Pajak Bumi dan Bangunan sektor Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2)
dan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) belum seluruhnya dapat dilakukan di seluruh
kabupaten/kota mengingat PBB-P2 dan BPHTB sifatnya masih relatif baru, dalam arti merupakan pajak
pusat yang dialihkan menjadi pajak daerah berdasarkan UU N0. 28 Tahun 2009 tentang PDRD. Sementara
pengalihan pajak tertentu dari provinsi ke kabupaten/kota sudah dapat diimplementasikan dalam perda
sejak berlakunya UU N0. 28 Tahun 2009.
Berdasarkan pengalaman dalam pengelolaan PBB yang selama ini, kita dapat mengambil pelajaran guna
keberhasilan dalam pengelolaan PBB-P2 oleh kabupaten/kota, antara lain:
1. Aspek hukum.
Meskipun tidak terkait dengan bukti (atas hak) atas suatu kepemilikan tanah, penerbitan SPPT (baru)
harus dilakukan dengan prinsip kehati-hatian. Banyak permohonan penerbitan SPPT dengan bukti
pendukung berupa fotocopy segel yang menyatakan terdapat jual beli antara pihak penjual dan
pembeli, yang dilampiri dengan surat pengantar dari kelurahan (seharusnya surat keterangan lurah),
di kemudian hari ternyata bersangkutan dengan permasalahan persengketaan tanah dan kasus
hukum lainnya.
2. Pendataan.
Karena jumlah wajib pajak badan terbatas, di masa lalu optimalisasi dukungan teknologi informasi
di pemerintah kabupaten/kota dengan menggunakan teknologi komputer yang bersifat stand-
alone sudah dapat dianggap cukup memadai. Namun, ketika jumlah wajib pajak meningkat karena
kemudian mayoritas wajib pajaknya adalah perseorangan, pemerintah kabupaten/kota harus
mengoptimalkan teknologi komputer berbasis jaringan (network). Sebab, pemberian layanan ke
wajib pajak perseorangan yang jumlahnya banyak tidak lagi bisa diberikan oleh satu atau dua orang
pegawai pemerintah kabupaten/kota saja. Keseluruhan pegawai pemerintah kabupaten/kota harus
terlibat dalam proses pemberian layanan tersebut. Untuk itu, mereka harus didukung oleh suatu
teknologi informasi yang andal, terutama perangkat komputer yang berbasis jaringan. Bahkan,
dengan perkembangan teknologi informasi dan tuntutan masyarakat, optimalisasi teknologi
informasi berbasis web dan mobile sudah harus dipertimbangkan oleh pemerintah kabupaten/
kota. Sebab, wajib pajak perseorangan akan menuntut layanan yang mudah diakses berbagai
saluran komunikasi, sesuai dengan perangkat yang dimilikinya.
3. Penilaian
Selama ini KPP tidak pernah menerbitkan formulir konfirmasi tentang PBB-P2 yang diterima dari
setiap wajib pajak. KPP hanya menerbitkan SPPT tahun berjalan. Akhirnya, wajib pajak kurang
dapat mengendalikan berapa sebenarnya pajak terhutang mereka. Mereka baru mengetahui pajak
terhutang mereka ketika mereka datang ke KPP. Hal ini terjadi ketika wajib pajak akan melakukan
transaksi menjual tanah/bangunannya. Sebab, salah satu prasyarat untuk melakukan transaksi
penjualan tanah/bangunan melalui notaris adalah SSP-BPHTB yang tervalidasi. Untuk kepentingan
validasi di KPP, wajib pajak harus membayar hutang-hutang pajak sebelumnya.
Sementara itu, mengelola teknologi informasi berbasis jaringan akan berbeda dengan mengelola
teknologi informasi berbasis stand-alone. Jika pada teknologi berbasis stand-alone pengelola
teknologi informasi dapat merangkap sebagai pengguna aplikasi yang juga melakukan updating
data secara langsung, pada teknologi informasi berbasis jaringan peran antara pengelola teknologi
informasi dan pengguna harus dipisahkan. Hal ini terutama untuk menjaga terimplementasinya
tata kelola teknologi informasi, di mana check and balances tetap terjaga di antara para pihak. Jika
tidak, updating data tidak akan terkendali.
4. Penetapan.
Lambatnya proses pemutakhiran data PBB-P2 di KPP selama ini juga terjadi pada sistem pembayaran.
Mengingat banyaknya pintu gerbang untuk melakukan pembayaran PBB-P2, KPP harus secara
rutin melakukan rekonsiliasi dan verifikasi data. Untuk penerimaan pembayaran PBB-P2 yang tidak
online, bahkan KPP juga harus merekam data pembayaran ini satu per satu. Rumitnya, keseluruhan
proses rekonsiliasi, verifikasi, dan perekaman data pembayaran ini dilakukan oleh Seksi PDI. Hal ini
menjadi penyebab seringnya komplain dari masyarakat bahwa mereka merasa telah melakukan
pembayaran, tetapi di database KPP ternyata masih dianggap belum melakukan pembayaran.
Karena itu, sampai sekarang masih muncul keraguan mengenai akurasi saldo piutang PBB-P2 per
wajib pajak
5. Penagihan.
Sementara itu, jika diamati, baik di pemerintah kabupaten/kota ataupun kantor pelayanan pajak
(KPP), saat ini tidak terjadi pemisahan fungsi pengihan. Pada praktiknya, pengelola teknologi
informasi masih merangkap sebagai pengolah data/informasi. Hal ini pun banyak terjadi di
instansi pemerintah lain. Pengelola teknologi informasi di instansi pemerintah masih merangkap
fungsi updating data transaksi. Padahal, dengan teknologi berbasis jaringan, pengolahan data/
informasi harus dilakukan langsung oleh pemilik data (data owner), yang dalam hal ini adalah seksi/
bagian lain di luar seksi/bagian teknologi informasi. Di KPP sendiri, walaupun pada dasarnya telah
menggunakan teknologi informasi berbasis jaringan, umumnya setiap data transaksi yang masuk
dientri sendiri oleh Seksi Pengolahan Data/Informasi (PDI). Sementara itu, seksi-seksi lain lebih fokus
ke pengurusan substansi perpajakan. Sebagai contoh, ketika wajib pajak mengajukan permohonan
perubahan data pemilik di SPPT, petugas layanan hanya bertugas memberikan tanda-terima
permohonan tersebut. Selanjutnya, permohonan tersebut akan direview oleh seksi-seksi terkait.
Kemudian, jika disetujui, barulah Seksi PDI melakukan updating data. Karena itu, dapat dimaklumi
jika sampai sekarang terdapat banyak keluhan tentang data SPPT yang menurut wajib pajak tidak
update di beberapa daerah.
6. Pelayanan.
Wajib Pajak PBB-P2 meliputi masyarakat dari semua kalangan masyarakat dari beberapa strata sosial
dan ekonomi. Demikian pula bidang tanah (objek pajak) yang diadministrasikan cukup banyak.
Pengelolaan PBB memerlukan ketentuan perudang-undangan (tax law) serta administrasi (tax
administrasion) yang handal namun efisien/tidak terlalu birokratis sehingga dapat memberikan
pelayanan yang memuaskan kepada Wajib Pajak.
7. Daya Pikul.
Kenaikan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) tanah/bangunan dilakukan secara cermat dengan
memperhatikan kondisi data pasar properti dan daya pikul masyarakat.
1) Meskipun NJOP hanya sebagai dasar penetapan PBB-P2 terhutang, akan tetapi juga digunakan
untuk banyak kepentingan seperti: dasar perhitungan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan
(BPHTB), dasar ganti rugi dalam rangka pembebasan tanah dll. Oleh karena itu, nilai NJOP dalam
setiap penerbitan SPPT harus ditentukan dengan benar, baik letak bidang objek pajak serta nilai
NJOPnya.
2) Kegiatan pemungutan melalui petugas pemungut/kolektor yang selama ini telah dilakukan oleh
pemerintah daerah sebaiknya dilanjutkan dan ditingkatkan efektifitasnya. Salah satu keuntungan
(advantage) dialihkannya pengelolaan PBB-P2 sepenuhnya kepada pemerintah daerah adalah
efektifias penagihannya. Hal ini terkait dengan kedudukan pemerintah daerah sebagai “penguasa
daerah” serta mempunyai kewenangan otonom untuk mengkaitkan kewajiban pembayaran
PBB-P2 dengan ketentuan daerah lainnya.
3) Administrasi pengelolaan komputer melalui aplikasi SISMIOP dengan komponen basis data SISMIOP
dan peta digital (SIG) harus dipertahankan, dengan pertimbagan:
• Diskontinuitas dalam fiskal kadaster yang telah berlangsung selama ini menyebabkan
terputusnya riwayat tanah atas bidang tanah yang belum bersertifikat.
• Sebaiknya di wilayah Republik Indonesia tersedia tata kelola fiskal kadaster yang seragam
RETRIBUSI DAERAH
Retribusi Daerah
Deskripsi:
Topik ini menjelaskan definisi retribusi daerah, fungsi retribusi daerah,
serta masalah-masalah yang dihadapi dalam penerapan retribusi daerah.
Latihan/Diskusi
Referensi:
1. Nick Devas (1989).
2. Mardiasmo(2005,2007), Perpajakan.
3. UU No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
4. PP No. 69 Tahun 2010 tentang Tatacara Pemberian dan
Pemanfaatan Insentif Pemungutan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
5. PP No. 97 Tahun 2012 tentang Retribusi Pengendalian Lalu Lintas dan
Retribusi Perpanjangan IMTA.
6. PP No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian kewenangan antara pemerintah pusat,
pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota.
6. Retribusi Daerah
Definisi atau pengertian retribusi daerah adalah iuran yang dibayarkan oleh rakyat kepada daerah yang
dapat dipaksakan yang mendapat prestasi kembalinya secara langsung, misalnya retribusi perizinan
tertentu, yang penerapannya berlaku umum. Dari pengertian retribusi daerah unsur paksanya bersifat
ekonomis sehingga pada hakikatnya diserahkan kepada pihak yang berkepentingan untuk membayar
retribusi perzinan tertentu, agar orang tersebut dapat memperoleh izin yang diperlukan.
Sejalan dengan penjelasan di atas, UU No. 28 Tahun 2009 tentang Retribusi Daerah, sebagai pengganti
dari UU No. 18 Tahun 1997 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 34 Tahun 2000, lebih mempertegas
pengertian retribusi dalam tataran pemerintahan yang lebih rendah, sebagai berikut: “Retribusi daerah
adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus
disediakan dan/atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan orang pribadi atau Badan.”
Berdasarkan UU No. 28 Tahun 2009, setiap pungutan retribusi daerah harus dilakukan sesuai dengan
kriteria yang telah ditentukan.
Berdasarkan kriteria-kriteria pungutan daerah tersebut di atas, UU No. 28 Tahun 2009, yang menganut
sistem closed list, menetapkan 30 jenis retribusi daerah yang dapat dipungut oleh provinsi/kabupaten/kota.
Jumlah ini bertambah menjadi 32 jenis setelah diterbitkannya Peraturan Pemerintah No. 97 Tahun 2012.
Retribusi daerah dapat dikelompokkan ke dalam 3 (tiga) golongan, yaitu retribusi jasa umum, retribusi
jasa usaha, dan retribusi perizinan tertentu.
1. Retribusi Pelayanan Kesehatan 1. Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah 1. Izin Tempat Penjualan
Minuman Beralkohol
2. Retribusi Persampahan/ Kebersihan 2. Retribusi Pasar Grosir/Pertokoan 2. Retribusi Izin Mendirikan
Bangunan
3. Retribusi KTP dan Akte Capil 3. Retribusi Tempat Pelelangan 3. Retribusi Izin Gangguan
4. Retribusi Pemakaman/ Pengabuan Mayat 4. Retribusi Terminal 4. Retribusi Izin Trayek
5. Retribusi Parkir di Tepi Jalan Umum 5. Retribusi Tempat Khusus Parkir 5. Retribusi Izin Usaha
Perikanan
6. Retribusi Pelayanan Pasar 6. Retribusi Tempat Penginapan/ 6. Retribusi Perpanjangan IMTA
Pesanggrahan/ Villa
7. Retribusi Pengujian Kendaraan Bermotor 7. Retribusi Rumah Potong Hewan
8. Retribusi Pemeriksaan Alat Pemadam 8. Retribusi Pelayanan Kepelabuhanan
Kebakaran
9. Retribusi Penggantian Biaya Cetak Peta 9. Retribusi Tempat Rekreasi dan Olahraga
10. Retribusi Pelayanan Tera/ Tera Ulang 10. Retribusi Penyeberangan di Air
11. Retribusi Penyedotan Kakus 11. Retribusi Penjualan Produksi Usaha Daerah
12. Retribusi Pengolahan Limbah Cair
13. Retribusi Pelayanan Pendidikan
14. Retribusi Pengendalian Menara
Telekomunikasi
15. Retribusi Pengendalian lalu-lintas
1. Retribusi Jasa Umum adalah pungutan atas pelayanan yang disediakan atau diberikan pemerintah
daerah untuk tujuan kepentingan dan kemanfaatan umum serta dapat dinikmati oleh orang pribadi
atau badan.
Objek Retribusi Jasa Umum adalah pelayanan yang disediakan oleh daerah untuk tujuan
kepentingan dan kemanfaatan umum serta dapat dinikmati oleh orang pribadi atau badan.
Berikut ini adalah jenis-jenis Retribusi Jasa Umum:
1) Retribusi pelayanan kesehatan, adalah pungutan atas pelayanan kesehatan di puskesmas, balai
pengobatan, RSU daerah, dan tempat pelayanan kesehatan lainnya yang sejenis yang dimiliki/
dikelola oleh pemerintah daerah (tidak termasuk pelayanan pendaftaran).
2) Retribusi pelayanan persampahan/kebersihan, adalah pungutan atas pelayanan persampahan/
kebersihan yang diselenggarakan oleh pemrintah daerah, meliputi: pengambilan, pengangkutan,
dan pembuangan serta penyediaan lokasi pembuangan/pemusnahan sampah rumah tangga
dan perdagangan; tidak termasuk pelayanan kebersihan jalan umum, taman, tempat ibadah,
dan sosial.
3) Retribusi Penggantian Biaya Cetak KTP dan Akte Catatan Sipil, adalah pungutan atas pelayanan
KTP, kartu keterangan bertempat tinggal, kartu identitas kerja, kartu penduduk sementara,
kartu identitas penduduk musiman, kartu keluarga, dan akta catatan sipil (akta perkawinan, akta
perceraian, akta pengesahan dan pengakuan anak, akta ganti nama bagi warga negara asing,
dan akta kematian).
4) Retribusi pemakaman dan pengabuan mayat, adalah pungutan atas pelayanan pemakaman
dan pengabuan mayat yang meliputi pelayanan penguburan/ pemakaman termasuk
penggalian dan pengurugan, pembakaran/pengabuan mayat, dan sewa tempat pemakaman
atau pembakaran.pengabuan mayat yang dimiliki atau dikelola oleh daerah.
5) Retribusi Pelayanan Parkir di tepi jalan umum, adalah pungutan atas pelayanan parkir ditepi
jalan umum yang disediakan oleh daerah.
6) Retribusi pelayanan pasar, adalah pungutan atas penggunaan fasilitas pasar tradisional/
sederhana berupa pelataran, los yang dikelola daerah, dan khusus disediakan untuk pedagang,
tidak termasuk yang dikelola oleh BUMN, BUMD dan pihak swasta.
7) Retribusi pengujian kendaraan bermotor, adalah pungutaj atas pelayanan pengujian kendaraan
bermotor sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang diselenggarakan
oleh daerah.
8) Retribusi pemeriksaan alat pemadam kebakaran, adalah pungutan atas pelayanan pemeriksaan
dan pengujian oleh daerah terhadap alat-alat pemadam kebakaran yang dimiliki dan/atau
dipergunakan oleh masyarakat.
9) Retribusi penggantian biaya cetak peta, adalah pungutan atas pemanfaatan peta yang dibuat
oleh pemerintah daerah; seperti peta dasar (garis), peta foto, peta digital, peta tematik, dan peta
teknis (struktur).
10) Retribusi penyediaan dan/atau penyedotan kakus, adalah pungutan atas pelayanan penyedotan
kakus/jamban yang dilakukan oleh daerah, tidak termasuk yang dikelola BUMD dan swasta.
11) Retribusi pengolahan limbah cair, adalah pungutan yang dikenakan atas pelayanan pengolahan
limbah cair rumah tangga, perkantoran dan industri yang dimiliki dan dikelola oleh pemerintah
daerah.
12) Retribusi Pelayanan Tera/Tera Ulang, adalah pungutan atas pelayanan pengujian alat-alat ukur,
takar, timbang, dan perlengkapannya dan pengujian barang dalam keadaan terbungkus yang
diwajibkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
13)
Retribusi pelayanan pendidikan, adalah pungutan yang dikenakan atas pelayanan
penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan teknis oleh pemerintah daerah.
14) Retribusi pengendalian menara telekomunikasi, adalah pungutan yang dikenakan atas
pemanfaatan ruang untuk menara telekomunikasi.
15) Retribusi Pengendalian Lalu Lintas, adalah pungutan yang dikenakan atas penggunaan ruas
jalan tertentu, koridor tertentu, kawasan tertentu pada waktu tertentu, dan tingkat kepadatan
tertentu.
2. Retribusi Jasa Usaha adalah pungutan atas pelayanan yang disediakan oleh pemerintah daerah
dengan menganut prinsip komersial yang meliputi:
• Pelayanan dengan menggunakan/memanfaatkan kekayaan daerah yang belum dimanfaatkan
secara optimal; dan/atau
• Pelayanan oleh pemerintah daerah sepanjang belum dapat disediakan secara memadai oleh
pihak swasta.
Berikut ini adalah jenis-jenis Retribusi Jasa Usaha:
1) Retribusi pemakaian kekayaan daerah, adalah pungutan atas pemakaian kekayaan daerah,
antara lain pemakaian tanah dan bangunan, pemakaian ruangan untuk pesta, pemakaian
kendaraan/alat-alat berat/alat-alat besar milik daerah. Tidak termasuk penggunaan tanah yang
tidak mengubah fungsi dari tanah tersebut, misalnya pemancangan tiang listrik/telepon, dan
lain-lain.
2) Retribusi pasar Grosir dan/atau pertokoan, adalah pungutan atas penyediaan fasilitas pasar
grosir berbagai jenis barang, dan fasilitas pasar/pertokoan yang dikontrakkan, yang disediakan/
diselenggarakan oleh daerah. Tidak termasuk yang disediakan BUMD dan swasta.
3) Retribusi Tempat Pelelangan adalah pungutan atas pemakaian tempat pelelangan yang secara
khusus disediakan oleh Pemerintah Daerah untuk melakukan pelelangan ikan, ternak, hasil
bumi, dan hasil hutan termasuk jasa pelelangan serta fasilitas lainnya yang disediakan di tempat
pelelangan Termasuk objek Retribusi adalah tempat yang dikontrak oleh Pemerintah Daerah
dari pihak lain untuk dijadikan sebagai tempat pelelangan. Dikecualikan dari objek Retribusi
adalah tempat pelelangan yang disediakan, dimiliki dan/atau dikelola oleh BUMN, BUMD, dan
pihak swasta.
4) Retribusi terminal, adalah pungutan atas pemakaian tempat pelayanan penyediaan parkir
untuk kendaraan penjumpang dan bis umum, tempat kegiatan usaha,dan fasilitas lainnya di
lingkungan terminal, yang dimiliki dan/atau dikelola oleh daerah, tidak termasuk pelayanan
peron.
5) Retribusi tempat khusus parkir, adalah pungutan atas pemakaian tempat parkir yang khusus
disediakan, dimiliki dan/atau dikelola oleh daerah, tidak termasuk yang disediakan dan dikelola
oleh BUMD dan Swasta.
6) Retribusi tempat penginapan/pesanggrahan/villa, adalah pungutan atas pemakaian tempat
penginapan/pesanggrahan/villa yang dimiliki dan atau dikelola oleh daerah, tidak termasuk
yang dikelola BUMD dan swasta.
7) Retribusi rumah potong hewan, adalah pungutan atas pelayanan penyediaan fasilitas
pemotongan hewan ternak termasuk pelayanan pemeriksaan kesehatan hewan sebelum dan
sesudah di potong, yang dimiliki dan/atau dikelola oleh daerah.
8) Retribusi Pelayanan Kepelabuhanan, adalah pungutan atas pelayanan jasa kepelabuhanan,
termasuk fasilitas lainnya di lingkungan pelabuhan yang disediakan, dimiliki, dan/atau dikelola
oleh Pemerintah Daerah.
9) Retribusi tempat rekreasi dan olahraga, adalah pungutan atas pemakaian tempat rekreasi,
pariwisata, dan olahraga yang dimiliki dan dikelola daerah.
10) Retribusi penyeberangan diatas air, adalah pungutan atas pelayanan penyeberangan orang/
barang dengan menggunakan kendaraan di atas air yang dimiliki dan/ atau dikelola oleh daerah.
11) Retribusi penjualan produksi usaha daerah, adalah pungutan atas perolehan hasil produksi
usaha daerah, antara lain: bibit/benih tanaman, bibit ternak, dab bibit/benih ikan.
3. Retribusi Perizinan Tertentu adalah pungutan atas pelayanan perizinan tertentu oleh pemerintah
daerah kepada orang pribadi atau badan yang dimaksudkan untuk pengaturan dan pengawasan
atas kegiatan pemanfaatan ruang, penggunaan sumber daya alam, barang, prasarana, sarana, atau
fasilitas tertentu guna melindungi kepentingan umum dan menjaga kelestarian lingkungan.
Berikut ini adalah jenis-jenis Retribusi Perizinan Tertentu.
1) Retribusi Izin Mendirikan Bangunan (IMB), adalah pungutan atas pelayanan pemberian izin
untuk mendirikan suatu bangunan.
2) Retribusi izin tempat penjualan minuman beralkohol, aalah pungutan atas pelayanan pemberian
izin untuk melakukan penjualan minuman beralkohol di suatu tempat tertentu.
3) Retribusi izin gangguan, adalah pungutan atas pelayanan pemberian izin tempat usaha/
kegiatan di lokasi tertentu yang dapat menimbulkan bahaya, kerugian atau gangguan, tidak
termasuk tempat usaha/kegiatan yang telah ditentukan oleh daerah.
4) Retribusi izin trayek, adalah pungutan atas pelayanan pemberian izin usaha untuk menyediakan
pelayanan angkutan penumpang umum pada satu atau beberapa trayek tertentu.
5) Retribusi izin usaha perikanan, adalah pungutan atas pemberian izin untuk melakukan kegiatan
usaha penangkapan dan pembudidayaan ikan.
6) Retribusi perpanjangan Izin Mempekerjakan Tenaga Asing (IMTA), adalah pungutan atas
pemberian perpanjangan IMTA kepada pemberi kerja tenaga kerja asing.
Pemanfaatan hasil penerimaan dari masing-masing jenis retribusi daerah diutamakan untuk mendanai
kegiatan yang berkaitan dengan jenis layanan bersangkutan yang pengalokasiannya ditetapkan
dengan Perda.
Untuk ekonomi efisiensi: ketika individu-individu bebas memilih berapa banyak pelayanan
yang akan mereka konsumsi, maka mekanisme harga memegang peranan penting dalam
mengalokasi sumber daya melalui:
• Perasionalan permintaan: didasarkan pada asumsi bahwa mereka yang mengkonsumsi
barang atau pelayanan paling banyak akan membayar lebih besar
• Pemberian insentif untuk menghindari pemborosan
• Pemberian sinyal dan insentif kepada pemasok tentang skala produksi
• Penyediaan sumber daya kepada pemasok untuk menjaga sistem dan meningkatkan
pasokan.
Tanpa harga, permintaan (demand) dan penawaran (supply) cenderung tidak akan mencapai
ekuilibrium (keseimbangan), dengan demikian alokasi sumber daya secara ekonomi tidak akan
efisien. Contoh: penyediaan air bersih, obat-obatan.
Tetapi:
• Pasar sering tidak sempurna: dalam banyak kasus, pemerintah menjadi pemasok monopoli.
Dalam kondisi ini, pemerintah tidak dapat memanfaatkan situasi tersebut (monopoly power)
untuk memaksimalkan keuntungan, seperti, penyediaan air bersih.
• Apabila pelayanan tersebut memiliki sifat barang publik (misalnya, eksternalitas positif),
maka akan lebih baik jika mengenakan retribusi atas pelayanan tersebut kurang dari harga
penuh (full price), atau tanpa harga sama sekali (gratis).
• Distribusi yang tidak merata dari penghasilan berarti bahwa orang kaya dapat membayar
lebih besar dari orang miskin
Prinsip Manfaat: apabila pelayanan tidak bersifat universal atau tidak sama untuk setiap orang
(misalnya, pasokan air bersih untuk rumah tangga, sekolah, perusahaan industri), maka retribusi
secara langsung bagi mereka yang menerima manfaat dianggap adil berkaitan dengan prinsip
ini. Jadi, mereka yang tidak menerima manfaat atas pelayanan air bersih tidak harus membayar.
Pemungutan retribusi dapat dilakukan sepanjang individu yang tidak membayar pelayanan
dapat dikecualikan.
1. Perda bermasalah.
Sebelum berlakunya UU No. 28 Tahun 2009 tentang PDRD, pemerintah telah membatalkan sejumlah
perda PDRD yang bermasalah. Penyebabnya antara lain, substansi pungutan daerah yang diatur
dalam UU No. 34 Tahun 2000 masih bersifat open list sehingga kondisi ini membuka peluang bagi
pemda menciptakan pungutan daerah yang tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan di bidang perpajakan dan retribusi daerah. Disamping itu, pungutan daerah yang diatur
dalam perda dimaksud saling tumpang tindih dan bertentangan dengan kepentingan umum serta
menghambat lalu lintas barang dan jasa.
2. Masih lemahnya pengawasan terhadap Perda PDRD.
Mekanisme pengawasan Perda PDRD yang diatur dalam UU No. 28 Tahun 2009 disesuaikan dengan
ketentuan yang terdapat dalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang emerintahan daerah. Pelanggaran
atas mekanisme pengawasan dapat dikenakan sanksi. Sanksi berupa penundaan atau pemotongan
dana perimbangan. Tata cara penundaan atau pemotongan dana perimbangan ditetapkan dengan
peraturan meteri keuangan. Sanksi tegas kepada daerah yang tidak taat aturan (khususnya terhadap
Perda yang bermasalah).
3. Kurangnya kapasitas daerah dalam penetapan subyek, obyek dan tarif retribusi daerah.
4. Pengenaan pajak dan retribusi tidak sebanding dengan kualitas pelayanan yang diberikan oleh daerah.
Deskripsi:
Topik ini menjelaskan: 1. prinsip yang harus diperhatikan dalam menentukan potensi pajak daerah
yang ditetapkan; 2. pendekatan yang digunakan dalam melakukan perencanaan penerimaan
pajak daerah; 3. teknik perhitungan potensi penerimaan dan tarif pajak daerah serta
batasan-batasan dalam penetapan dan pemungutan pajak daerah.
Referensi:
1. Buku statistik (berbagai penulis).
2. Buku statistik daerah (daerah dalam angka).
Ada banyak teknik yang dapat digunakan untuk melakukan penaksiran pertumbuhan, mulai dari
yang sederhana sampai yang kompleks. Intinya, penaksir yang baik adalah penaksir yang paling kecil
simpangannya terhadap data yang diwakili oleh penaksir bersangkutan (ordinary least square estimation
= OLSE).
Salah satu teknik sederhana untuk melakukan penaksiran pertumbuhan, adalah teknik ekstrapolasi, yaitu
melakukan penaksiran dengan menggunakan dua data terpilih untuk mewakili sebaran data yang akan
disusun penaksirnya. Dengan demikian, teknik ekstrapolasi mengasumsikan bahwa pertambahan nilai
variabel terikat untuk setiap satuan perubahan nilai variabel bebas, bersifat tetap (linear). Tentu saja oleh
karena kesederhanaannya, teknik ini bisa menghasilkan nilai taksiran yang rendah akurasinya bahkan
kadang-kadang dapat menyesatkan. Namun, pada kondisi tertentu (misalnya ketika sedang berada di
lapangan yang jauh dari fasilitas teknis, atau oleh karena keterbatasan data yang tersedia sebagai dasar
penaksiran), teknik ekstrapolasi dapat sangat membantu untuk melihat gambaran kasar.
Teknik ekstrapolasi tidak lain adalah mencari persamaan penaksir berupa garis lurus yang melalui 2 titik:
A(xA,yA) dan B(xB,yB)
Persamaannya:
yt – yA xt – xA
yB – yA = xB – xA
yB – yA
yt – yA = xB – xA
(xt – xA)
yB – yA
yt = xB – xA
(xt – xA) + yA atau
Tingkat pertumbuhan diperoleh dengan membandingkan perubahan nilai y (yaitu: yt – yt-1) dengan nilai
yt-1. Jadi, tingkat pertumbuhan berdasarkan persamaan garis lurus yt adalah:
Ambil contoh data hipotetis penerimaan pajak daerah Kabupaten Percontohan sebagai berikut:
Penerimaan
No Tahun x Pajak Daerah Koordinat
(Juta Rp)
1. 2012 0 300.000 C (0; 300.000)
2. 2013 1 310.000 D (1; 310.000)
3. 2014 2 ? E (2; ?)
4. 2015 3 ? F (3;?)
Persamaan garis lurus penaksir penerimaan pajak daerah Kabupaten Percontohan dengan menggunakan
data tahun 2012 tahun 2013 dan tersebut di atas adalah:
yt = {(310.000 – 300.000)/(1 - 0)}(xt – 1) + 300.000
yt = 10.000 (xt – 0) + 300.000
yt = 10.000 xt + 300.000
Penerimaan pajak daerah Kabupaten Percontohan pada tahun 2014 berdasarkan persamaan penaksir di
atas adalah sebesar:
y2014 = 10.000 x2014 + 300.000
y2014 = 10.000 (2) + 300.000 = 320.000
Tingkat pertumbuhan pada tahun 2014, ditaksir sebesar:
r2014 = {(y2014 – y2013) / y2013} x 100%
r2014 = {(320.000 – 310.000) / 310.000} x 100%
r2014 = 3,22%
Bagaimana dengan taksiran besarnya penerimaan (y2015) dan pertumbuhan penerimaan (x2015) pajak
daerah Kabupaten Percontohan untuk tahun 2015? Ah, operasinya sama saja dengan penaksiran untuk
tahun 2014 di atas. Langkah-langkahnya, persis.
y2015 = 10.000 x2015 + 300.000
y2015 = 10.000 (3) + 300.000 = 330.000
Tingkat pertumbuhan pada tahun 2015, ditaksir sebesar:
r2015 = {(y2015 – y2014) / y2014} x 100%
r2015 = {(330.000 – 320.000) / 320.000} x 100%
r2015 = 3,12%
Berdasarkan 2 penaksiran tersebut di atas (untuk tahun 2014 dan tahun 2015), terlihat bahwa pertambahan
nilai y bersifat konstan (yaitu sebesar 10.000 per tahun), namun tingkat pertumbuhannya berbeda dari
tahun ke tahun, yaitu 3,22% pada tahun 2014 dan menurun menjadi 3,12% pada tahun 2015. Hal yang
sama akan diperoleh untuk penaksiran tahun 2016 dan seterusnya.
Dalam hal pertambahan nilai y secara faktual memang (relatif) konstan, penaksiran dengan menggunakan
teknik ekstrapolasi tersebut memang tidak (terlalu) bermasalah. Permasalahan serius akan muncul jika
secara faktual, nilai y untuk tahun-tahun yang akan dipergunakan sebagai basis penaksiran, ternyata
berfluktuasi atau tidak beraturan perubahannya.
Baiklah, kita ambil contoh menghitung perkiraan pertumbuhan penerimaan pajak daerah Kabupaten
Percobaan untuk tahun 2014, dengan data hipotetis tahun 2010 sampai dengan tahun 2013 sebagai
berikut (dibulatkan):
Penerimaan
No Tahun x Pajak Daerah Koordinat
(Juta Rp)
1. 2010 0 300.000 A (0; 300.000)
2. 2011 1 332.000 B (1; 332.000)
3. 2012 2 310.000 C (2; 310.000)
4. 2013 3 320.000 D (3; 320.000)
5. 2014 4 ? E (4; ?)
Jika data tersebut kita sebarkan ke dalam diagram sebar (scatter diagram), akan diperoleh grafik sebagai
berikut:
340.000
B E
1
332.000
E
D 2
320.000
E
C 3
310.000
A
300.000
0 1 2 3 4
2010 2011 2012 2013 2014
Jika digunakan teknik ekstrapolasi untuk menaksir penerimaan pajak daerah Kabupaten Percontohan
pada tahun 2014, muncul persoalan: 2 data mana yang akan digunakan sebagai basis penyusunan fungsi
penaksir? Kemungkinan pemilihan data dan implikasi yang dapat timbul oleh karenanya, adalah:
a) Menggunakan data tahun 2012 dan tahun 2013 sebagai basis (garis penaksir CDE1), dengan implikasi
terjadi penaksiran terlalu optimis atau terlalu tinggi (over estimate) karena dalam kenyataannya
terjadi penurunan penerimaan pajak daerah pada tahun 2012.
CDE1 yt = {(320.000 – 310.000)/(3 - 2)}(xt – 2) + 310.000
CDE1 Yt = 10.000 (xt – 2) + 310.000
CDE1 yt = 10.000 xt + 290.000
y2014 = 10.000 (4) + 290.000 = 330.000
r2014 = {(y2014 – y2013) / y2013} x 100%
r2014 = {(330.000 – 320.000) / 320.000} x 100%
r2014 = 3,12%
b) Menggunakan data tahun 2011 dan tahun 2013 sebagai basis (garis penaksir BDE3), dengan implikasi
terjadi penaksiran terlalu pesimis atau terlalu rendah (under estimate) karena dalam kenyataannya
selama kurun waktu 2010-2013, lebih sering terjadi kenaikan dibandingkan penurunan penerimaan
pajak daerah.
c) Menggunakan data tahun 2010 dan tahun 2013 sebagai basis (garis penaksir ADE2), dengan implikasi
diperoleh penaksiran yang optimis namun tidak terlalu optimis sebagaimana penaksir CDE1. Pilihan
ini memang menghasilkan penaksir terbaik di antara 3 penaksir yang kita buka kemungkinannya
(CDE1, BDE3, ADE2), namun belum tentu penaksir ini merupakan penaksir yang baik (memenuhi
syarat OLSE).
Untuk lebih memperhalus hasil penaksiran, dalam praktek biasanya digunakan data rata-rata dari setiap
2 data yang berurutan, sehingga pada akhirnya hanya tertinggal 2 data saja yang selanjutnya digunakan
sebagai basis data penaksiran.
Dalam contoh kita tadi, data tahun 2010 dan tahun 2011 diambil nilai rata-ratanya (diperoleh data AB2010-
2011); kemudian data tahun 2012 dan tahun 2013 juga diambil nilai rata-ratanya (diperoleh data CD2012-
2013).
Penerimaan
No Tahun x Pajak Daerah Koordinat
(Juta Rp)
1. 2010 - 2011 0,5 316.000 AB (0,5; 316.000)
2. 2012 – 2013 2,5 315.000 CD (2,5; 315.000)
3. 2014 4 ? E (4; ?)
Dengan 2 data hasil perhitungan rata-rata tadi, yaitu AB(0,5; 316.000) dan CD(2,5; 315.000), dapat dilakukan
penaksiran pertumbuhan penerimaan pajak daerah Kabupaten Percontohan sebagai berikut:
yt = {(315.000 – 316.000)/(2,5 – 0,5)}(xt – 0,5) + 316.000
yt = -2 (xt – 0,5) + 316.000
yt = -2 xt + 317.000
y2014 = -2 (4) + 317.000 = 309.000
r2014 = {(y2014 – y2013) / y2013} x 100%
r2014 = {(309.000 – 315.000) / 315.000} x 100%
r2014 = -1,90%
(3) Efisiensi ekonomi: pajak daerah hendaknya mendorong penggunaan sumber daya secara efisien
dan efektif dalam kehidupan ekonomi, mencegah jangan sampai pilihan konsumen dan produsen
menjadi salah arah, dan memperkecil beban lebih pajak.
(4) Kemampuan melaksanakan: pajak daerah harus dapat dilaksanakan baik dari aspek politik maupun
administratif.
(5) Kecocokan sebagai sumber penerimaan daerah.
Meskipun UU No. 28 Tahun 2009 sudah berlaku, pedoman yang dapat diterapkan terkait dengan
kronologi yuridis, sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 2 ayat (4) UU No. 34 Tahun 2000 tentang
Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, penetapan potensi pajak daerah harus memperhatikan prinsip
sebagai berikut:
a) Bersifat pajak dan bukan retribusi;
b) Obyek pajak terletak atau terdapat di wilayah kabupaten/kota yang bersangkutan dan
mempunyai mobilitas yang cukup rendah, serta hanya melayani masyarakat di wilayah daerah
kabupaten/kota yang bersangkutan;
c) Obyek dan dasar pengenaan pajak tidak bertentangan dengan kepentingan umum;
d) Obyek pajak bukan merupakan obyek pajak provinsi dan/atau obyek pajak pusat;
e) Potensinya memadai;
f) Tidak memberikan dampak ekonomi yang negatif;
g) Memperhatikan aspek keadilan dan kemampuan masyarakat; dan
h) Menjaga kelestarian lingkungan.
Dengan memperhatikan prinsip tersebut, potensi pajak yang ditetapkan sebagai target penerimaan
akan lebih mendekati realisasi yang diharapkan. Selain juga harus berpedoman pada asas
pemungutan pajak secara umum, yaitu: asas equity (asas keseimbangan dengan kemampuan atau
asas keadilan); asas certainty (asas kepastian hukum), asas convenience of payment (asas pemungutan
pajak yang tepat waktu atau asas kesenangan); dan asas efficiency (asas efisiensi atau asas ekonomis).
Pajak daerah - secara teori – hendaknya memenuhi beberapa persyaratan, antara lain:
a) Tidak bertentangan atau searah dengan kebijakan pemerintah pusat.
b) Sederhana dan tidak banyak jenisnya.
c) Biaya administrasinya rendah.
d) Tidak mencampuri sistem perpajakan pusat.
e) Kurang dipengaruhi oleh “business cycle” tapi dapat berkembang dengan meningkatnya
kemakmuran.
f) Beban pajak relatif seimbang dan “tax base” yang sama diterapkan secara nasional.
Pajak daerah yang baik merupakan pajak yang akan mendukung pemberian kewenangan kepada
daerah dalam rangka pembiayaan desentralisasi, yang juga berarti memberikan suatu local taxing
power. Untuk itu pemerintah daerah dalam melakukan pungutan pajak harus tetap menempatkan
sesuai dengan fungsinya, yaitu:
(1) Fungsi Budgeter, adalah fungsi anggaran, yaitu sebagai sumber penerimaan untuk membiayai
pengeluaran. Fungsi ini mempunyai sifat tetap dan selalu meningkat. Kriteria tetap dalam arti
selalu dapat diharapkan sebagai sumber penerimaan, sedangkan kriteria selalu meningkat,
artinya akan selalu mengalami kenaikan penerimaan.
(2) Fungsi Regulerent (Fungsi Pengaturan), yaitu sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan
kebijakan pemerintah dalam bidang sosial dan ekonomi, (mengatur redistribusi barang dan
jasa) dalam hal ini termasuk layanan.
Hal yang juga tidak dapat dipungkiri adalah terdapatnya berbagai kendala dalam melaksanakan
pemungutan pajak daerah, antara lain:
a) Kesadaran masyarakat yang masih rendah terhadap pembayaran pajak.
b) Banyak masyarakat yang belum memahami apa kegunaan pajak.
c) Kurangnya sosialisasi terhadap masyarakat. Kurangnya kesadaran masyarakat terhadap
pembayaran pajak semestinya ditindaklanjuti degan sosialisasi.
d) Banyak petugas pajak yang belum mempunyai keterampilan yang memadai dalam
melaksanakan tugasnya.
Pendekatan inkremental lebih praktis dan pragmatis untuk diterapkan pada perencanaan
penerimaan pajak daerah. Metode yang digunakan dalam pendekatan inkremental ini dilakukan
melalui perhitungan realisasi penerimaan tahun sebelumnya dengan penyesuaian terhadap
pertumbuhan ekonomi dan tingkat inflasi. Penyesuaian dapat juga dilakukan terhadap variabel
lain seperti bunga, harga dan produkasi migas, PDRB, kurs rupiah terhadap dollar, dan faktor lain.
Sementara pola variabel tax base dapat dijadikan sebagai pilihan dalam melakukan proyeksi
penerimaan pajak dengan memperhatikan faktor yang mempengaruhinya antara lain:
1) Kondisi ekonomi makro;
2) Daya beli masyarakat;
3) Penyediaan jasa;
4) Kebijakan publik;
5) Mobilisasi penduduk.
Dalam melakukan penetapan proyeksi penerimaan pajak daerah, perlu ditentukan klasifikasi potensi
penerimaan untuk setiap jenis pajak daerah. Klasifikasi ini secara umum dapat digunakan untuk jenis
pungutan lainnya (retribusi daerah). Klasifikasi potensi penerimaan pajak dapat digolongkan menjadi:
a. Penerimaan Prima
Pajak daerah yang termasuk klasifikasi penerimaam prima jika rasio tambahan (pertumbuhan) lebih
besar atau sama dengan satu.
b. Penerimaan Potensial
Pajak daerah yang termasuk klasifikasi penerimaan potensial jika rasio tambahan (pertumbuhan)
lebih kecil atau sama dengan satu dan rasio proporsi atau sumbangannya terhadap rata-rata total
penerimaan pajak atau retribusi daerah lebih besar atau sama dengan satu.
c. Berkembang
Pajak daerah yang termasuk klasifikasi berkembang jika rasio tambahan (pertumbuhan) lebih besar
atau sama dengan satu dan ratio proporsi atau sumbangannya terhadap rata-rata total penerimaan
pajak daerah lebih besar atau sama dengan satu.
d. Terbelakang.
Pajak daerah yang termasuk klasifikasi berkembang jika rasio tambahan (pertumbuhan) atau
sumbangannya terhadap rata-rata total penerimaan pajak daerah keduanya lebih kecil atau sama
dengan satu.
Untuk menentukan potensi penerimaan pajak daerah ke dalam klasifikasi tersebut di atas diperlukan 2
indikator pokok, yaitu:
a) Ratio Proporsi
Penentuan ratio proporsi dilakukan dengan membandingkan antara realisasi penerimaan jenis pajak
daerah tertentu dengan rata-rata penerimaan pajak daerah. Rata-rata pajak daerah diperoleh dari
perhitungan jumlah seluruh penerimaan pajak daerah dibagi dengan jumlah jenis pajak daerah.
b) Ratio Tambahan
Penentuan ratio tambahan dilakukan dengan membandingan pertumbuhan jenis pajak tertentu
dengan pertumbuhan total pajak daerah.
Selama ini penentuan target penerimaan pajak daerah lebih didasarkan pada kaidah inkremental
(dinaikkan sekian persen dari penerimaan tahun lalu), bukan didasarkan pada potensi penerimaan.
Potensi penerimaan daerah untuk masing masing jenis pajak daerah belum dihitung secara menyeluruh.
Pengukuran prestasi kerja dalam penerimaan pajak daerah masih didasarkan pada rasio pengumpulan
(collection ratio), yaitu rasio yang digunakan untuk mengukur persentase realisasi penerimaan pajak
daerah dari target penerimaan pajak daerah, bukan ukuran rasio cakupan (coverage ratio), yang meliputi
rasio proporsi dan rasio pertumbuhannya. Sedangkan rencana tindakan (action plan) peningkatan
pendapatan daerah lebih dianggap sebagai kegiatan rutin instansi pemungut.
Realisasi xi
RPPxi X 100%
Taget xi
450.000.000
RPPxi = X 100% = 112,5%
400.000.000
Artinya: realisasi penerimaan Pajak Hotel pada tahun 2011 mencapai 112,5% dari target penerimaan.
Sedangkan untuk mengetahui berapa persen pertumbuhan Pajak Daerah dari tahun lalu dapat dipakai
rumus sebagai berikut:
Xi(t) – Xi(t-1)
rPxi(t) = X 100%
Xi(t-1)
450.000.000 – 400.000.000
rPxi(2011) = X 100%
400.000.000
Rasio Proporsi
Xi
>1
Xi
<1
rPXi
Rasio Pertumbuhan
Rata-rata X Rata-rata X Pertumbuhan penerimaan jenis Pajak Daerah
rPXi
>1 Prima Berkembang rPXtotal
rPXtotal
Pertumbuhan total penerimaan seluruh Pajak
rPXi <1 Potensial Terbelakang Daerah
Xi
rPXtotal
Rata rata penerimaan seluruh Pajak Daerah
Artinya:
• Jika Rasio Proporsi > 1 dan Rasio Pertumbuhan > 1, maka penerimaannya prima atau sangat
potensial.
• Jika Rasio Proporsi > 1 dan Rasio Pertumbuhan < 1, maka penerimaannya potensial.
• Jika Rasio Proporsi < 1 dan Rasio Pertumbuhan > 1, maka penerimaannya berkembang atau masih
ada potensi untuk dikembangkan.
• Jika Rasio Proporsi < 1 dan Rasio Pertumbuhan < 1, maka penerimaannya terbelakang atau kurang
potensial.
Realisasi Penerimaan
No. Jenis Pajak Daerah Tahun 2010 Tahun 2011 Pertumbuhan
(Rp) (Rp)
1 Pajak Hotel 300.000.000 350.000.000 0,17
2 Pajak Restoran 250.000.000 260.000.000 0,04
3 Pajak Hiburan 100.000.000 120.000.000 0.20
4 Pajak Reklame 75.000.000 80.000.000 0.07
5 Pajak Penerangan Jalan 50.000.000 60.000.000 0,20
6 Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan 80.000.000 85.000.000 0,06
7 Pajak Parkir 90.000.000 95.000.000 0,06
8 Pajak Air Tanah 40.000.000 45.000.000 0,13
Total 1.595.000.000
Rata rata 159.500.000
Rasio Rasio
No. Jenis Pajak Daerah Keterangan
Proporsi Pertumbuhan
1 Pajak Hotel 2,19 1,73 Prima
2 Pajak Restoran 1,63 0,42 Potensial
3 Pajak Hiburan 0,75 2,08 Berkembang
4 Pajak Reklame 0,50 0,69 Terbelakang
5 Pajak Penerangan Jalan 0,38 2,08 Berkembang
6 Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan 0,53 0,65 Terbelakang
7 Pajak Parkir 0,60 0,58 Terbelakang
8 Pajak Air Tanah 0,28 1,30 Berkembang
Dari contoh hasil perhitungan tersebut di atas, dapat diketahui pertumbuhan penerimaan dari tahun
sebelumnya, rasio proporsi, dan rasio pertumbuhan 8 jenis pajak daerah, sehingga dapat diambil
kesimpulan sebagai berikut:
1) Pajak Hotel dengan rasio proporsi 2,19 dan rasio pertumbuhan 1,73 merupakan pajak daerah yang
penerimaannya prima artinya penerimaannya sangat potensial, karena rasio proporsi dan rasio
pertumbuhannya lebih dari satu, sehingga untuk proyeksi potensi penerimaan pajak daerah ini
kedepan sangat layak untuk diteruskan pemungutannya, karena penerimaannya sangat potensial.
2) Pajak Restoran dengan rasio proporsi 1,63 dan rasio pertumbuhan 0,42 merupakan pajak
daerah yang penerimaannya potensial, karena rasio proporsinya lebih dari satu sedangkan rasio
pertumbuhannya kurang dari satu, sehingga untuk proyeksi potensi penerimaan pajak daerah ini
kedepan masih layak untuk diteruskan pemungutannya, karena penerimaannya yang potensial.
3) Pajak Hiburan dengan rasio proporsi 0,75 dan rasio pertumbuhan 2,08, Pajak Penerangan Jalan
dengan rasio proporsi 0,38 dan rasio pertumbuhan 2,08, dan Pajak Air Tanah dengan rasio proporsi
0,28 dan rasio pertumbuhan 1,30 merupakan pajak daerah yang penerimaannya berkembang
artinya masih ada potensi untuk dikembangkan, karena rasio proporsinya kurang dari satu sedangkan
rasio pertumbuhannya lebih dari satu, sehingga untuk proyeksi potensi penerimaan pajak daerah
ini kedepan dapat dipertimbangkan untuk diteruskan pemungutannya, karena potensinya masih
dapat dikembangkan.
4) Pajak Reklame dengan rasio proporsi 0,5 dan rasio pertumbuhan 0,69, Pajak Mineral Bukan Logam
dan Batuan dengan rasio proporsi 0,53 dan rasio pertumbuhan 0,65, dan Pajak Parkir dengan
rasio proporsi 0,60 dan rasio pertumbuhan 0,58, merupakan pajak daerah yang penerimaannya
terbelakang artinya kurang potensial, karena rasio proporsi dan rasio pertumbuhannya kurang dari
satu, sehingga untuk proyeksi potensi penerimaan pajak daerah ini kedepan dipertimbangkan
kembali untuk diteruskan pemungutannya, karena potensinya kurang.
Upaya untuk meningkatkan penerimaan Pendapatan Asli Daerah agar mendekati atau bahkan
bahkan sama dengan potensinya, secara umum ada dua cara, yaitu dengan cara instensifikasi dan
ekstensifikasi.
a) Cara intensifikasi adalah melakukan pemungutan secara efektif dan efisien pada objek dan
subjek pajak daerah yang sudah ada misalnya melakukan perhitungan potensi, penyuluhan,
peningkatan pengawasan dan pelayanan.
b) Cara ekstensifikasi adalah melakukan usaha-usaha untuk menjaring wajib pajak baru melalui
pendataan dan pendaftaran atau menggali pajak baru.
Alternatif kebijakan atau upaya yang dapat diambil atau diterapkan dalam usaha meningkatkan setiap
jenis klasifikasi yang disebut diatas akan berbeda-beda. Jika jenis pajak daerah termasuk prima, maka
kebijaksanaan yang telah diterapkan pada tahun-tahun sebelumnya dapat tetap digunakan dengan
mempertahankan tingkat pertumbuhan dan kontribusinya. Jika jenis pajak termasuk penerimaan yang
potensial, maka upaya yang perlu dilakukan adalah dengan mengintensifkan pemungutan dari sumber
penerimaan yang ada sehingga terjadi pertumbuhan penerimaan. Untuk pajak daerah dengan klasifikasi
berkembang, upaya peningkatan yang dilakukan adalah dengan menggali sumber-sumber baru
dengan tingkat pertumbuhan seperti pada tahun-tahun sebelumnya. Jika pajak daerah dalam klasifikasi
terbelakang, maka upaya peningkatannya dilakukan dengan menggali sumber-sumber penerimaan baru
dan meningkatkan penerimaan dari tahun sebelumnya dari sumber peneriman yang ada.
Deskripsi:
Topik ini menjelaskan tentang jenis retribusi daerah yang berpotensi atau yang tidak berpotensi
untuk dilakukan pemungutan dengan mengacu pada penerimaan retribusi daerah.
Latihan
Referensi:
1. Buku statistik (berbagai penulis).
2. Buku statistik daerah (daerah dalam angka).
Tarif retribusi daerah adalah nilai rupiah atau persentase tertentu yang ditetapkan untuk menghitung
besarnya retribusi daerah yang terutang. Tarif retribusi daerah dapat ditentukan seragam atau bervariasi
menurut golongan sesuai dengan prinsip dan sasaran dalam penetapan tarif retribusi, misalnya
perbedaan tarif retribusi untuk masuk tempat rekreasi antara anak dan dewasa, perbedaan tarif retribusi
untuk kendaraan parkir di tepi jalan umum antara mobil roda 4 dan roda 6 dan sebagainya.
Struktur dan besarnya tarif retribusi daerah merupakan diskresi Pemerintah Daerah untuk menetapkan
dalam Peraturan Daerah dengan memperhatikan peraturan sektoral yang berkaitan dengan jenis retribusi
tersebut, misalnya untuk menetapkan struktur tarif Retribusi Izin Trayek, maka harus memperhatikan
peraturan sektoralnya yang mengatur mengenai Izin Trayek yaitu UU No.22 Tahun 2009 tentang
Lalu Lintas dan Angkutan Jalan dan Keputusan Menteri Perhubungan Nomor 35 Tahun 2003 tentang
Penyelenggaraan Angkutan Orang di Jalan dengan Kendaraan Umum. Pemerintah Daerah tidak boleh
menetapkan tarif retribusi dengan Peraturan atau Keputusan Kepala Daerah, karena struktur dan besarnya
tarif retribusi merupakan muatan minimal yang diatur dalam Peraturan Daerah tentang Pajak Daerah
dan Retribusi Daerah sesuai dengan Pasal 156 ayat (3) UU No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak daerah dan
Retribusi Daerah.
Peninjauan Tarif
Tarif retribusi dapat ditinjau kembali secara berkala dengan memperhatikan prinsip dan sasaran
dalam penetapan tarif retribusi, Hal ini dimaksudkan untuk mengantisipasi perkembangan
perekonomian daerah berkaitan dengan objek retribusi yang bersangkutan. Dalam Pasal 155 UU
No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, peninjauan kembali tarif retribusi
daerah, dapat dilakukan paling lama 3 (tiga) tahun sekali dengan memperhatikan indeks harga dan
perkembangan perekonomian dan ditetapkan dengan Peraturan Kepala Daerah.
Prinsip dasar untuk mengenakan retribusi biasanya didasarkan pada total cost (biaya penyediaan
jasa) dari pelayanan yang disediakan. Akan tetapi akibat adanya perbedaan-perbedaan tingkat
pembiayaan mengakibatkan tarif retribusi tetap dibawah tingkat biaya (full cost). Ada 4 alasan
utama mengapa hal ini terjadi:
a) Apabila suatu pelayanan pada dasarnya merupakan kepentingan umum (public good) yang
disediakan karena untuk melayani kepentingan umum masyarakat (jasa umum). Penetapan
tarif retribusi disini memperhatikan biaya penyediaan jasa yang bersangkutan, kemampuan
masyarakat, aspek keadilan dan efektivitas pengendalian atas pelayanan tersebut. Karena
tarif retribusi disini memperhatikan kemampuan masyarakat dan aspek keadilan, maka tidak
ada unsur keuntungan yang diperoleh, sehingga tingkat biaya yang dikeluarkan dapat lebih
tinggi dari penerimaan retribusi yang diterima.
b) Apabila suatu pelayanan merupakan bagian dari swasta (jasa usaha) dan sebagian lagi
merupakan good public (jasa umum). Misalnya tarif Retribusi Pasar Grosir dan/atau Pertokoan.
Disatu sisi Pemerintah Daerah menyediakan Pasar Grosir dan/atau Pertokoan sebagai jasa
usaha untuk mencari keuntungan, tetapi disisi lain Pemerintah Daerah juga menyediakan
Pasar Grosir dan/atau Pertokoan untuk memenuhi kepentingan umum, sehingga hal ini
dapat berimplikasi pada tingkat biaya yang dikeluarkan dapat lebih tinggi dari penerimaan
retribusi yang dihasilkan.
c) Pelayanan seluruhnya merupakan private good yang dapat disubsidi jika hal ini merupakan
permintaan terbanyak dan Kepala Daerah enggan menghadapi masyarakat dengan full cost.
Disatu sisi private good merupakan kepentingan pribadi, sehingga Pemerintah Daerah tidak
perlu harus menyediakannya, tetapi kalau kepentingan yang bersifat pribadi tersebut banyak
yang meminta, akhirnya menjadi kepentingan umum, sehingga dengan pertimbangan
kepentingan umum, Pemerintah Daerah perlu untuk menyediakannya. Misalnya fasilitas
rekreasi dari kolam renang. Kalau banyak masyarakat yang meminta fasilitas rekreasi dari
kolam renang, maka fasilitas tersebut yang seharusnya bersifat private good (kepentingan
pribadi) menjadi public good (kepentingan umum), akibatnya biaya yang dikeluarkan untuk
penyediaan jasa retribusi tersebut dapat lebuh tinggi dari penerimaan retribusinya.
d) Private good yang dianggap sebagai kebutuhan dasar manusia dan kelompok berpenghasilan
rendah. Apabila private good yang merupakan kepentingan pribadi merupakan kebutuhan
dasar bagi masyarakat yang berpenghasilan rendah, maka sifatnya dapat berubah menjadi
public good karena ketidak mampuan masyarakat untuk mencapai private good tersebut
Misalnya kebutuhan masyarakat akan kesehatan yang merupakan private good, tetapi
karena ketidak mampuan mereka untuk membayar biaya kesehatan tersebut, maka private
good yang merupakan kebutuhan dasar manusia, dapat mengakibatkan biaya penyediaan
jasa yang bersangkutan yaitu biaya pelayanan kesehatan lebih tinggi dari penerimaan
Retribusinya.
= Realisasi xi X 100%
RPRxi
Taget xi
RPR = Rasio Pengumpulan Retribusi
xi = Jenis Retribusi tahun berkenaan
Sedangkan untuk mengetahui berapa persen pertumbuhan Retribusi dari tahun lalu dapat dipakai
rumus sebagai berikut:
= Xi(t) – Xi(t-1)
rRxi(t) X 100%
Xi(t-1)
rR = Pertumbuhan Retribusi Daerah
Xi(t) = Penerimaan Jenis Retribusi Daerah tahun ke t.
Xi(t-1) = Penerimaan Jenis Retribusi Daerah tahun ke t-1.
Rasio Proporsi
Xi Xi
Rasio Pertumbuhan >1 <1
Rata-rata X Rata-rata X
rPXi = Pertumbuhan penerimaan jenis Pajak
rPXi
rPXtotal
>1 Prima Berkembang Daerah
rPXtotal = Pertumbuhan total penerimaan seluruh
rPXi <1 Potensial Terbelakang Pajak Daerah
Xi = Rata rata penerimaan seluruh Pajak
rPXtotal
Daerah
Artinya:
• Jika Rasio Proporsi > 1 dan Rasio Pertumbuhan > 1, maka penerimaannya prima atau sangat
potensial.
• Jika Rasio Proporsi > 1 dan Rasio Pertumbuhan < 1, maka penerimaannya potensial.
• Jika Rasio Proporsi < 1 dan Rasio Pertumbuhan > 1, maka penerimaannya berkembang atau
masih ada potensi untuk dikembangkan.
• Jika Rasio Proporsi < 1 dan Rasio Pertumbuhan < 1, maka penerimaannya terbelakang atau
kurang potensi.
Contoh proyeksi potensi penerimaan 10 jenis Retribusi Daerah:
1) Pertumbuhan jenis Pajak Daerah Tahun 2011 dari Tahun 2010:
Realisasi Penerimaan
No. Jenis Retribusi Daerah Pertumbuhan
Tahun 2010 (Rp) Tahun 2011 (Rp)
Dari contoh hasil perhitungan tersebut di atas, dapat diketahui pertumbuhan penerimaan dari tahun
sebelumnya, rasio proporsi dan rasio pertumbuhan 10 jenis retribusi daerah, sehingga dapat diambil
kesimpulan sebagai berikut:
1) Retribusi Pelayanan Kesehatan merupakan retribusi yang penerimaannya prima artinya
penerimaannya sangat potensial, karena rasio proporsi dan rasio pertumbuhannya lebih dari satu,
sehingga untuk proyeksi potensi penerimaan retribusi ini kedepan sangat layak untuk diteruskan
pemungutannya, karena penerimaannya sangat potensial.
2) Retribusi Pelayanan Pasar dan Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi merupakan
retribusi yang penerimaannya potensial, karena rasio proporsinya lebih dari satu sedangkan rasio
pertumbuhannya kurang dari satu, sehingga untuk proyeksi potensi penerimaan retribusi ini
kedepan masih layak untuk diteruskan pemungutannya, karena penerimaannya yang potensial.
3) Retribusi Pelayanan Parkir di Tepi Jalan Umum, Retribusi Pelayanan Pemakaman dan Pengabuan
Mayat, dan Retribusi Pemeriksaan Alat Pemadam Kebakaran merupakan retribusi yang
penerimaannya berkembang artinya masih ada potensi untuk dikembangkan, karena rasio
proporsinya kurang dari satu sedangkan rasio pertumbuhannya lebih dari satu, sehingga untuk
proyeksi potensi penerimaan retribusi ini kedepan dapat dipertimbangkan untuk diteruskan
pemungutannya, karena potensinya masih dapat dikembangkan.
4) Retribusi Penggantian Biaya Cetak KTP dan Akta Catatan Sipil, Retribusi Pelayanan Persampahan/
Kebersihan, Retribusi Pengujian Kendaraan Bermotor dan Retribusi Pelayanan Tera/Tera Ulang
merupakan retribusi yang penerimaannya terbelakang artinya kurang potensial, karena rasio
proporsi dan rasio pertumbuhannya kurang dari satu, sehingga untuk proyeksi potensi penerimaan
retribusi ini kedepan dipertimbangkan kembali untuk diteruskan pemungutannya, karena
potensinya kurang.
Selain dengan cara menghitung penerimaan jenis retribusi dan penerimaan total retribusi, rasio proporsi
dan rasio pertumbuhan, proyeksi potensi penerimaan dan penentuan tarif retribusi juga dapat diketahui
dari beberapa hal sebagai berikut:
1) Kebutuhan / permintaan masyarakat akan jasa pelayanan tersebut.
Semakin tinggi kebutuhan/permintaan masyarakat akan jasa pelayanan terhadap suatu jenis retribusi,
maka tarif yang ditetapkan dapat semakin tinggi sesuai dengan kebutuhan/permintaan tersebut
dan sebaliknya semakin rendah kebutuhan/permintaan akan jasa pelayanan tersebut, maka tarif
yang ditetapkan juga semakin rendah atau dengan kata lain kebutuhan/permintaan jasa pelayanan
berbanding lurus dengan tarif yang akan ditetapkan. Hal ini sesuai dengan prinsip ekonomi, yaitu
semakin tinggi permintaan akan suatu barang/jasa, maka akan semakin tinggi pula harga barang/
jasa yang ditawarkan dan semakin rendah permintaan akan harga barang/jasa, maka akan semakin
rendah juga harga barang/jasa yang ditawarkan. Apabila prinsip tersebut dilanggar, maka akan
mengakibatkan kerugian, contoh kebutuhan/permintaan masyarakat akan jasa pelayanan tempat
penginapan rendah, tetapi tarif yang ditetapkan untuk pelayanan tempat penginapan tersebut
tinggi, maka akan banyak tempat penginapan yang kosong, karena masyarakat semakin enggan
menggunakan jasa yang tarifnya tinggi tersebut sementara mereka tidak begitu membutuhkan
pelayanan tersebut. Contoh lain, yaitu rumah sakit atau tempat pelayanan kesehatan lainnya.
Selama masyarakat di wilayah daerah tersebut membutuhkan akan pelayanan kesehatan di rumah
sakit atau tempat pelayanan kesehatan lainnya, maka potensi penerimaan dari sektor Retribusi
Pelayanan Kesehatan akan meningkat, demikian pula sebaliknya apabila masyarakat di daerah
tersebut tidak begitu membutuhkan pelayanan kesehatan di rumah sakit atau tempat pelayanan
kesehatan lainnya karena mungkin mereka memilih berobat dengan cara non medis, misalnya
dengan cara menggunakan ramuan atau herbal, maka potensi penerimaan dari sektor Retribusi
Pelayanan Kesehatan akan menurun. Pemerintah Daerah perlu memberikan pengertian kepada
masyarakat akan pentingnya pelayanan tersebut bagi mereka, yang pada akhirnya masyarakat akan
merasa membutuhkan pelayanan tersebut dan berimplikasi terhadap potensi penerimaan retribusi
daerah menjadi meningkat.
2) Besarnya Tarif retribusi yang ditetapkan.
Besarnya tarif retribusi daerah merupakan diskresi Pemerintah Daerah untuk menetapkannya, namun
demikian dalam menetapkan tarif retribusi daerah hendaknya juga memperhatikan tarif retribusi di
wilayah daerah lain yang berdekatan. Apabila di wilayah daerah lain yang berdekatan menetapkan
tarif retribusi untuk jenis retribusi yang sama lebih rendah, maka dikhawatirkan masyarakat akan
memilih pelayanan yang ditawarkan oleh daerah lain atau berpindah menggunakan jasa pelayanan
di daerah lain yang tarif retribusinya lebih rendah, sehingga hal ini akan mengakibatkan kerugian
bagi daerah yang menetapkan tarif retribusi lebih tinggi dari daerah lain dan berdampak pada
penerimaan kas daerah yang menurun karena potensi penerimaan untuk jenis retribusi tersebut
akan berkurang. Sebaliknya apabila daerah lain menetapkan tarif retribusi lebih tinggi untuk jenis
retribusi yang sama, maka merupakan keuntungan bagi daerah yang tarif retribusinya lebih rendah,
karena disamping masyarakat di daerah tersebut akan menggunakan jasa pelayanan yang tarifnya
lebih rendah, daerah tersebut juga dapat menarik masyarakat di daerah lain yang tarif retribusinya
lebih tinggi untuk jenis retribusi yang sama untuk menggunakan jasa pelayanan tersebut,
sehingga menguntungkan daerah yang tarif retribusinya lebih rendah dan berdampak positif bagi
pendapatan kas daerah yang meningkat karena potensi penerimaannya meningkat. Contohnya
tarif Retribusi Pengujian Kendaraan Bermotor. Apabila tarif Retribusi Pengujian Kendaraan Bermotor
di daerah tersebut lebih rendah, maka masyarakat di daerah tersebut akan melakukan pengujian
kendaraan bermotor di daerahnya bahkan tidak menutup kemungkinan masyarakat di daerah
lain akan melakukan pengujian kendaraan bermotor di daerah yang tarifnya lebih rendah, tetapi
apabila tarif retribusi Pengujian Kendaraan Bermotor di daerah lebih tinggi dari daerah lain, maka
tidak menutup kemungkinan masyarakat di daerah tersebut akan melakukan pengujian kendaraan
bermotor di daerah lain yang tarifnya lebih rendah.
3) Sarana prasarana yang mendukung pelayanan tersebut
Sarana prasarana yang tersedia dapat mempengaruhi proyeksi potensi penerimaan dan
penentuan tarif retribusi, karena dengan sarana prasarana yang tersedia lengkap, masyarakat akan
senang untuk menggunakan jasa pelayanan tersebut. Tarif retribusi yang ditetapkan hendaknya
disesuaikan dengan sarana prasarana yang tersedia Apabila sarana prasarana yang mendukung
pelayanan tersebut kurang memadai, maka hendaklah tarif yang ditetapkan jangan lebih tinggi.
Sebaliknya apabila sarana prasarana yang mendukung pelayanan tersebut memadai, maka tarif
yang ditetapkan dapat lebih tinggi. Contoh penetapan tarif retribusi tempat rekreasi dan olah
raga, hendaknya melihat apakah sarana prasarana yang mendukung tempat rekreasi dan olah
raga tersebut sudah mencukupi atau bahkan lebih baik. Kalau sarana prasarana yang dibuat masih
minim atau bahkan Pemda hanya sedikit membangun sarana prasarana untuk tempat rekreasi atau
fasilitas lainnya yang mendukung tempat rekreasi tersebut dengan kata lain semuanya masih alami,
maka apabila tarif retribusi yang ditetapkan lebih tinggi, maka masyarakat akan merasa enggan
untuk mendatangi tempat rekreasi tersebut, sebaliknya apabila Pemda sudah membangun sarana
prasarana yang bagus untuk tempat rekreasi tersebut dan fasilitas lainnya, maka seandainya tarif
yang ditetapkan Pemda agak lebih tinggi, kemungkinan masyarakat akan tetap mendatangi tempat
rekreasi tersebut karena merasa nyaman, aman dan terhibur. Contoh lain sarana prasarana yang
tersedia pada rumah sakit atau tempat kesehatan lainnya. Dengan sarana prasarana yang tersedia
lengkap, maka diharapakan masyarakat di wilayah daerah tersebut akan mendatangi pelayanan
kesehatan di rumah sakit atau tempat kesehatan lainnya yang ada di wilayah daerah tersebut
dan tidak akan mendatangi pelayanan kesehatan di rumah sakit atau tempat kesehatan lainnya
di wilayah daerah lain, sehingga potensi penerimaan dari sektor Retribusi Pelayanan Kesehatan
di wilayah daerah tersebut diharapkan akan meningkat seiring dengan meningkatnya sarana
prasarana yang tersedia. Sebaliknya jika sarana prasarana yang tersedia kurang baik dan kurang
lengkap, maka dikhawatirkan masyarakat diwilayah tersebut akan mancari pelayanan kesehatan
di wilayah daerah lain yang lebih lengkap sarana prasarananya, sehingga hal ini dapat berimplikasi
pada proyeksi penerimaan dari sektor pelayanan kesehatan yang menurun.
4) Tingkat/kualitas pelayanan yang diberikan.
Tingkat/kualitas pelayanan juga dapat mempengaruhi proyeksi potensi penerimaan retribusi dan
penetapan tarif retribusi. Apabila kualitas pelayanan yang diberikan baik, maka banyak masyarakat
yang menginginkan pelayanan tersebut, sehingga tarif yang ditetapkan dapat lebih tinggi dan
berimplikasi pada penerimaan kas daerah yang meningkat karena potensi penerimaan retribusi
meningkat. Sebaliknya apabila kualitas pelayanan yang diberikan kurang baik, dan tarif yang
ditetapkan lebih tinggi, maka masyarakat akan mencari pelayanan yang sejenis di daerah lain yang
lebih baik dan mungkin tarifnya lebih rendah, sehingga hal ini dapat merugikan Pemerintah Daerah
dari segi penerimaan karena ada potensi penerimaan yang hilang untuk jenis retribusi yang sama.
Contoh pada Retribusi Pelayanan Kesehatan di rumah sakit atau tempat kesehatan lainnya. Apabila
pelayanan kesehatan di rumah sakit atau tempat kesehatan lainnya di daerah tersebut baik, maka
diharapakan masyarakat di wilayah daerah tersebut akan mendatangi pelayanan kesehatan di
rumah sakit atau tempat kesehatan lainnya yang ada di wilayah daerah tersebut dan tidak akan
mendatangi pelayanan kesehatan di rumah sakit atau tempat kesehatan lainnya di wilayah daerah
lain, sehingga penerimaan dari sektor pelayanan kesehatan dapat meningkat karena potensi
penerimaannya meningkat. Tetapi jika pelayanan rumah sakit atau tempat kesehatan lainnya
tersebut kurang baik, maka masyarakat akan mencari pelayanan kesehatan di rumah sakit atau
tempat kesehatan lainnya di daerah lain yang pelayanannya lebih baik, sehingga penerimaan dari
rumah sakit atau tempat kesehatan lainnya tersebut ke kas daerah menurun karena ada potensi
penerimaan yang hilang. Dengan pelayanan rumah sakit atau tempat kesehatan lainnya yang
baik, diharapkan potensi penerimaan dari jenis retribusi tersebut akan meningkat seiring dengan
meningkatnya kualitas pelayanan. Sebaliknya dengan kualitas pelayanan yang kurang baik, maka
dikhawatirkan masyarakat didaerah tersebut akan mancari pelayanan kesehatan di daerah lain yang
lebih baik pelayanannya, sehingga hal ini dapat berimplikasi pada potensi penerimaan dari sektor
pelayanan kesehatan.
Besaran tarif retribusi merupakan diskresi pemerintah daerah untuk menetapkan besarannya, tetapi
khusus untuk tarif retribusi pengendalian menara telekomunikasi, besaran tarifnya dibatasi maksimal
yaitu paling tinggi 2% dari Nilai Jual Objek Pajak PBB menara telekomunikasi, sesuai dengan penjelasan
Pasal 124 UU No.28 Tahun 2009. Pemerintah daerah dalam menetapkan tarif retribusi pengendalian
menara telekomunikasi disarankan memakai batasan tersebut dan tidak memakai besaran lumpsum,
karena kalau memakai besaran lumpsum dan ternyata setelah dihitung berdasarkan batasan maksimal
tersebut jumlahnya melebihi 2% dari NJOP PBB menara telekomunikasi, maka akan dilakukan restitusi
untuk mengembalikan kelebihan pembayaran tersebut.
Realisasi Penerimaan
No. Jenis Retribusi Daerah
Tahun 2010 (Rp) Tahun 2011 (Rp)
4 Retribusi Penggantian Biaya Cetak KTP dan Akta Capil 85.000.000 90.000.000
Pertanyaan:
1. Berapakah pertumbuhan penerimaan tiap jenis retribusi daerah dari tahun 2010 ke 2011?
2. Berapakah rasio proporsi tiap jenis retribusi daerah tersebut ?
3. Berapakah rasio pertumbuhan tiap jenis retribusi daerah tersebut ?
4. Dari penghitungan tersebut, jenis retribusi daerah manakah yang dapat dikategorikan pemungutan
prima (sangat potensial), potensial, berkembang dan terbelakang (kurang potensial) ?
5. Jenis retribusi daerah manakah yang masih dapat diteruskan pemungutannya dan yang sebaiknya
dihentikan pemungutannya ?
Deskripsi:
Topik ini menjelaskan hasil perusahaan milik daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah,
dan lain-lain pendapatan asli daerah yang sah (LPADS).
Latihan
Referensi:
1. UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat
dan Pemerintahan Daerah.
2. Peraturan Daerah yang terkait
Sebagaimana telah dibahas pada bagian sebelumnya, terlihat struktur APBD yang merupakan satu
kesatuan dan tidak dapat dipisahkan, sebagai berikut:
a) pendapatan daerah;
b) belanja daerah; dan
c) pembiayaan daerah.
Kelompok pendapatan asli daerah dibagi menurut jenis pendapatan yang terdiri atas:
a) pajak daerah;
b) retribusi daerah;
c) hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan; dan
d) lain-lain pendapatan asli daerah yang sah.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang Sah (LPADS) adalah
merupakan pendapatan yang tidak dapat dipisahkan dari pendapatan yang secara keseluruhan masuk
dalam Pendapatan Pemerintah/Daerah. LPADS ini merupakan wewenang dari daerah untuk mengelola
dan menggunakannya sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Sedangkan dalam Catatan atas Laporan Keuangan, Lain-lain PAD Yang Sah tersebut disajikan sebagai
berikut:
Jenis lain-lain pendapatan asli daerah yang sah disediakan untuk menganggarkan penerimaan daerah
yang tidak termasuk dalam jenis PAD lainnya (pajak daerah, retribusi daerah, dan hasil pengelolaan
kekayaan daerah) yang dirinci menurut obyek pendapatan yang mencakup:
a) hasil penjualan kekayaan daerah yang tidak dipisahkan;
b) jasa giro dan pendapatan bunga;
c) penerimaan atas tuntutan ganti kerugian daerah;
d) penerimaan komisi, potongan ataupun bentuk lain sebagai akibat dari penjualan dan/atau
pengadaan barang dan/atau jasa oleh daerah;
e) penerimaan keuntungan dari selisih nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing;
f) pendapatan denda atas keterlambatan pelaksanaan pekerjaan;
g) pendapatan denda pajak dan pendapatan denda retribusi;
h) pendapatan hasil eksekusi atas jaminan;
i) pendapatan dari pengembalian;
j) fasilitas sosial dan fasilitas umum;
k) pendapatan dari penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan; dan
l) pendapatan dari angsuran/cicilan penjualan.
m) Hasil pengelolaan dana bergulir.
Kepala Daerah juga diberi kewenangan untuk membuka Rekening Kas Umum Daerah pada Bank Sentral
atau Bank umum, yang dimuat dalam sebuah perjanjian yang antara lain mengatur pemberian bunga/
jasa giro/bagi hasil atas saldo rekening yang terdapat dalam Rekening Kas Umum Daerah. Pendapatan
dari hasil penempatan dana inilah yang selanjutnya dianggarkan dalam APBD dan dilaporkan dalam LRA
sebagai pendapatan Jasa Giro dan Pendapatan Bunga.
Jasa Giro adalah penerimaan yang bersumber dari bunga (imbalan) yang diberikan oleh bank atas dana
Pemda yang tersimpan dalam rekening giro.
Sedangkan pendapatan bunga adalah penerimaan yang bersumber dari bunga (imbalan) yang diberikan
oleh bank atas dana Pemda yang tersimpan baik dalam rekening tabungan biasa, maupun deposito (baik
jangka pendek maupun jangka panjang).
Permendagri 13 tahun 2006 menyatakan bahwa setiap kerugian daerah yang disebabkan oleh tindakan
melanggar hukum atau kelalaian seseorang harus segera diselesaikan sesuai dengan ketentuan
perundang-undangan. Kepala SKPD dapat melakukan tuntutan ganti rugi, setelah mengetahui bahwa
dalam SKPD yang bersangkutan terjadi kerugian akibat perbuatan dari pihak manapun, baik atas uang
maupun barang daerah.
Penerimaan komisi, potongan ataupun bentuk lain sebagai akibat dari penjualan dan/atau
pengadaan barang dan/atau jasa oleh daerah;
Dalam proses penjualan dan/atau pengadaan barang dan/atau jasa oleh daerah, tidak jarang Pemda
memperoleh penerimaan dari proses tersebut. Komponen penerimaan ini adalah untuk menampung
penerimaan daerah yang bersumber dari penjualan dan/atau pengadaan barang dan/atau jasa oleh
daerah.
Penerimaan keuntungan dari selisih nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing;
Tidak jarang Pemda melakukan pembayaran, penerimaan, atau simpanan dalam bentuk mata uang
asing. Pada saat transaksi, tidak jarang juga Pemda mendapatkan keuntungan atas selisih kurs. Komponen
penerimaan ini adalah untuk menampung penerimaan daerah yang bersumber dari adanya selisih kurs
tersebut.
biaya pelatihan dibebankan kepada peserta tersebut. Pembayaran dari peserta tersebut dilaporkan
dalam Pendapatan dari penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan. Antara lain:
• Uang Pendaftaran/Ujian Masuk
• Uang Sekolah/Pendidikan dan Pelatihan
• Uang Ujian Kenaikan Tingkat/Kelas
Dalam rangka melaksanakan pengelolaan Lain-lain Pendapatan asli Daerah Yang Sah, maka telah
diterbitkan beberapa peraturan perundang-undangan terkait yaitu:
a) Undang-undang Nomor 5 tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah;
b) Undang-undang Nomor 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara;
c) Undang-Undang Nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak dan Retribusi Daerah;
d) Peraturan Pemerintah Nomor 1 tahun 2008 tentang Investasi Pemerintah;
e) Peraturan Pemerintah Nomor 58 tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah;
f) Peraturan Pemerintah Nomor 6 tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah;
g) Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Uang Negara dan Daerah;
h) Peraturan Pemerintah Nomor 71 tahun 2010 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan;
i) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan
Daerah, sebagaimana diubah dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 59 tahun 2007 dan
Peraturan Pemerintah Nomor 21 tahun 2011;
j) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 17 tahun 2007 tentang Pedoman Pengelolaan Barang Milik
Daerah;
Optimalisasi LPADS dapat dilakukan baik melalui usaha intensifikasi maupun ekstensifikasi. Intensifikasi
dimaksudkan adalah bagaimana upaya untuk meningkatkan LPADS dengan cara meningkatkan usaha
pemungutan dari obyek LPADS yang selama ini belum dilakukan secara optimal; sehingga realisasinya
akan meningkat. Sedangkan usaha ekstensifikasi dilakukan melalui usaha-usaha untuk mengembangkan
obyek LPADS yang terbaru yang sebelumnya tidak dilakukan; seperti misalnya pengenaan pajak atas
sewa untuk kost pelajar/mahasiswa. Selain itu perlu dilakukan pemutakhiran data objek LPADS sehingga
dapat diketahui potensi LPADS.
Isu-isu yang berkembang saat ini yang berkaitan dengan LPADS, dengan akan dilakukan swastanisasi
dari BUMN/BUMD serta fasilitas pemerintah lainnya, maka akan membawa dampak pada kepemilikan
asset tersebut, sehingga masing-masing daerah akan mengambil langkah-langkah dalam pengelolaan
pengalihan asset yang bersangkutan. Isu lainnya adalah pemindahan pengelolaan PBB oleh daerah yang
dimulai tahun 2014 akan membawa dampak terhadap pengelolaan LPADS.
Deskripsi:
Topik ini menjelaskan konsep dan aspek teknis dasar sistem dan prosedur administrasi pajak daerah
dan retribusi daerah,menyangkut pemahaman self assesment versus official assesment, pendataan,
penetapan, serta penagihan dan penerapan sanski.
Latihan
Referensi:
1. Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 43 Tahun 1999 tentang Sistem dan Prosedur
Pengelolaan Pajak Daerah, Retribusi Daerah dan Penerimaan Pendapatan Lain-lain.
2. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 55 Tahun 2008 tentang Tata Cara Penatausahaan dan
Penyusunan Laporan Pertanggungjawaban Bendahara serta Penyampaiannya.
1) Hak daerah untuk memungut pajak daerah dan retribusi daerah serta melakukan pinjaman.
Kewajiban daerah untuk menyelenggarakan urusan pemerintah daerah dan membayar tagihan
pihak ketiga;
2) Penerimaan daerah;
3) Pengeluaran daerah;
4) Kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang,
barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan
pada perusahaan daerah;
5) Kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah daerah dalam rangka penyelenggaraan tugas
pemerintah daerah dan/atau kepentingan umum.
Memperhatikan ke empat aturan dasar tersebut dan mengingat aturan pedoman pelaksanaan
tentang pajak dan retribusi daerah serta pentingnya pedoman pengadministrasian pendapatan
maka dipandang perlu untuk menyusun Sistem dan Prosedur Pengelolaan Pajak Daerah yang
merupakan bagian dari Sistem dan Prosedur Pengelolaan Keuangan Daerah, yang diperlukan untuk
mendukung terciptanya tata kelola pemerintahan yang akuntabel terutama dibidang pendapatan.
Penyusunan Sistem dan Prosedur Pengelolaan Pajak Daerah dimaksudkan untuk mendukung
terselenggaranya tertib administrasi pengelolaan pendapatan daerah di lingkungan Pemerintah Daerah.
Adapun tujuannya adalah sebagai pedoman dan petunjuk bagi seluruh SKPD untuk mengadministrasikan
pemungutan, pembukuan dan pelaporan atas pajak daerah yang dikelolanya. Dengan demikian terdapat
kesamaan pemahaman bagi seluruh SKPD dalam pengadministrasian pengelolaan pajak daerah.
Urutan penyajian penyusunan Sistem dan Prosedur Pajak Daerah dalam modul ini yaitu:
Pajak daerah yang selanjutnya disebut Pajak, adalah kontribusi wajib kepada Daerah yang terutang
oleh Orang Pribadi atau Badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak
mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan Daerah bagi sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat.
Wajib Pajak adalah orang pribadi atau Badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut
pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan perpajakan daerah.
Sistem dan prosedur administrasi pajak daerah mengatur tata cara urutan pelaksanaan pekerjaan
administrasi perpajakan, dalam suatu proses yang berkesinambungan dalam suatu fungsi, untuk
menghasilkan masukan bagi pelaksanaan kegiatan pada fungsi lain.
d) Bagan Alur
Bagan 10.1. Sisdur Pendaftaran Dengan Cara Penetapan Oleh Bupati (Official Assessment)
Mulai
Form
Persiapkan Pendaftaran
tanda
Form terima
Form
Pendaftaran
dicatat tanda
terima
Isi dan
tanda Lengkapi
terima
Setelah di
tanda tangani
Daftar Form
Pendaftaran
Form
Pendaftaran Form
Pendaftaran
Ya
Kartu
NPWPD
Sumber: Permendagri
Sumber: Permendagri Keputusan
Keputusan Menteri
Menteri Dalam
Dalam NegeriNomor
Negeri Nomor 43
43Tahun
Tahun1999
1999
2) Kegiatan Pendataan Untuk Wajib Pajak Baru Dengan Cara Penetapan Oleh Bupati (Official
Assessment)
a) Pengertian
Sistem dan prosedur ini menjelaskan proses pendataan wajib pajak baru secara penetapan
oleh Bupati atau secara Official Assessment.
b) Pihak-pihak Yang Terkait
Pihak-pihak yang terkait dalam sistem dan prosedur pendataan WP baru adalah:
(1) Seksi Pendaftaran dan Pendataan, dan
(2) Wajib Pajak.
c) Prosedur
(1) Seksi Pendaftaran dan Pendataan menyiapkan Formulir Pendataan (Surat Pemberitahuan
Pajak Daerah/SPTPD);
(2) Menyampaikan Formulir Pendataan (SPTPD) kepada WP setelah dicatat dalam Daftar
SPTPD dan dibuatkan tanda terimanya;
(3) Setelah Formulir Pendataan (SPTPD) diterima WP dan tanda terima telah ditandatangani
oleh WP atau yang diberi kuasa, Seksi Pendaftaran dan Pendataan mengarsipkan tanda
terimanya;
(4) WP atau yang diberi kuasa mengisi formulir pendataan (SPTPD) dan melengkapi lampiran
yang diperlukan dan menyerahkan kembali ke DIPENDA;
(5) Berdasarkan formulir pendataan dari WP, Seksi Pendaftaran dan Pendataan menerima
dan memeriksa kebenaran dan kelengkapan pengisiannya:
(a) Apabila pengisiannya telah benar dan lampirannya lengkap, dalam Daftar Formulir
Pendataan diberi tanda dan tanggal penerimaan;
(b) Apabila belum lengkap Formulir Pendataan (SPTPD) dan lampirannya dikembalikan
kepada WP untuk dilengkapi dan diserahkan kembali ke DIPENDA;
(6) Mencatat data pajak daerah dalam Kartu Data yang selanjutnya dilakukan proses
penetapan.
d) Bagan alur.
Lihat Bagan 10.2.
Bagan 10.2. Sisdur Pendataan Untuk Wajib Pajak Baru Dengan Cara Penetapan Oleh Bupati (Official Assessment)
Mulai
Form
Persiapkan Pendaftaran
tanda
Form terima
Form
Pendaftaran
dicatat tanda
terima
Isi dan
tanda Lengkapi
terima
Setelah di
tanda tangani
Daftar Form
Pendaftaran
Form
Pendaftaran Form
Pendaftaran
dicatat tanggal
diterimanya Benar
& Lengkap Tidak
Ya
Kartu
NPWPD
3) Kegiatan Pendataan WP Yang Sudah Memiliki NPWPD Dengan Cara Penetapan Bupati (Official
Assessment)
a) Pengertian
Sistem dan prosedur ini menjelaskan proses pendataan wajib pajak yang sudah memiliki
NPWPD secara penetapan oleh Bupati atau secara Official Assessment.
b) Pihak-pihak yang terkait
Pihak-pihak yang terkait dalam sistem dan prosedur pendaftaran WP Lama adalah:
(1) Seksi Pendaftaran dan Pendataan, dan
(2) Wajib pajak.
c) Prosedur
(1) Berdasarkan Daftar WP, Seksi Pendaftaran dan Pendataan menyiapkan Formulir
Pendataan (SPTPD);
(2) Menyerahkan Formulir Pendataan (SPTPD) kepada WP, setelah dicatat dalam Daftar
SPTPD dan dibuatkan tanda terimanya;
(3) Setelah Formulir Pendaftaran diterima WP dan tanda terima telah ditandatangani oleh
WP atau yang diberi kuasa, Seksi Pendaftaran dan Pendataan mengarsipkan tanda
terimanya;
(4) WP atau yang diberi kuasa mengisi formulir pendataan (SPTPD) dan melengkapi lampiran
yang diperlukan dan menyerahkan kembali ke DIPENDA;
(5) Berdasarkan SPTPD dari WP, Seksi Pendaftaran dan Pendataan menerima dan memeriksa
kebenaran dan kelengkapan pengisiannya:
(a) Apabila pengisiannya benar dan lampirannya lengkap, dalam Daftar Formulir
Pendataan diberi tanda dan tanggal penerimaan;
(b) Apabila belum lengkap, Formulir Pendataan (SPTPD) dikembalikan kepada WP untuk
dilengkapi dan diserahkan kembali ke DIPENDA;
(6) Mencatat data pajak daerah dalam Kartu Data untuk selanjutnya digunakan sebagai
sumber data untuk proses Penetapan.
d) Bagan alur.
Lihat Bagan 10.3.
Bagan 10.3.Sisdur Pendataan WP Yang Sudah Memiliki NPWPD Dengan Cara Penetapan Bupati (Official Assessment)
Mulai Daftar
WP
Persiapkan
Form
Form
Pendaftaran
Form
dicatat tanda
Pendaftaran terima
tanda tanda
terima terima
Setelah di
tanda tangani Isi dan
Daftar
Lengkapi
SPTPD
Form
Pendaftaran
STPD
Form
Pendaftaran
dicatat tanggal STPD
Benar
diterimanya
& Lengkap
Tidak
Ya
4) Kegiatan pendataan WP yang sudah memiliki NPWPD dengan cara dibayar sendiri (Self Assessment)
a) Pengertian
Sistem dan prosedur ini menjelaskan proses pendataan wajib pajak yang sudah memiliki
NPWPD dengan cara dibayar sendiri atau secara Self Assessment.
b) Pihak -pihak Yang Terkait
Pihak-pihak yang terkait dalam sistem dan prosedur pendaftaran WP Lama adalah:
(1) Seksi Pendaftaran dan Pendataan, dan
(2) Wajib Pajak.
c) Prosedur
(1) Seksi Pendaftaran dan Pendataan mempersiapkan Formulir pendataan (SPTPD);
(2) Menyerahkan Formulir Pendataan (SPTPD) kepada WP, setelah dicatat dalam Daftar
SPTPD dan dibuatkan tanda terimanya;
(3) Setelah Formulir Pendataan diterima WP dan tanda terima telah ditandatangani oleh WP
atau yang diberi kuasa, Seksi Pendaftaran dan Pendataan mengarsipkan tanda terimanya;
(4) WP atau yang diberi kuasa mengisi formulir pendataan (SPTPD) dan melengkapi lampiran
yang diperlukan termasuk Rekapitulasi Penerimaan Pembayaran dan Rekapitulasi
Penerimaan per Jenis Layanan, dan menyerahkan kembali ke DIPENDA;
(5) Berdasarkan SPTPD dari WP, Seksi Pendaftaran dan Pendataan memeriksa kebenaran
dan kelengkapan pengisiannya:
(a) Apabila pengisiannya benar dan lampirannya lengkap, dalam Daftar Formulir
Pendataan diberi tanda dan tanggal penerimaan;
(b) Apabila belum lengkap, Formulir Pendataan (SPTPD) dikembali kan kepada WP untuk
melengkapi;
(6) Mencatat data pajak daerah dalam Kartu Data dan ke dalam Daftar SPTPD WP Self
Assessment.
d) Bagan alur.
Lihat Bagan 10.4.
Bagan 10.4. Sisdur Pendataan WP Yang Sudah Memiliki NPWPD Dengan Cara Dibayar Sendiri (Self Assessment)
Mulai Daftar
WP
Persiapkan
Form
Form
Pendaftaran
Form
dicatat tanda
Pendaftaran terima
tanda tanda
terima terima
Setelah di
tanda tangani Isi dan
Daftar
Lengkapi
SPTPD
Form
Pendaftaran
STPD
Form
Pendaftaran
dicatat tanggal STPD
Benar
diterimanya Tidak
& Lengkap
Ya
2. Penetapan
Kegiatan penetapan jumlah pajak yang harus dibayar oleh WP dapat melalui cara penetapan oleh
Bupati selaku Kepala Daerah (Official Assessment) atau Self Assessment. Kegiatan ini terdiri dari
beberapa sub kegiatan dengan uraian dibawah ini.
1) Kegiatan Penetapan Dengan Cara Penetapan Bupati (Official Assessment)
a) Pengertian
Sistem dan prosedur ini menjelaskan proses penetapan jumlah pajak yang harus dibayar
oleh WP dengan cara penetapan oleh Bupati selaku Kepala Daerah (Official Assessment).
b) Pihak-pihak yang terkait
Pihak-pihak yang terkait dalam pelaksanaan sistem dan prosedur ini antara lain:
(1) Seksi Penetapan;
(2) Bidang Akuntansi dan Pelaporan;
(3) Wajib Pajak;
(4) Seksi Penagihan; dan
(5) Bidang Perencanaan dan Pengendalian Pendapatan(P3).
c) Prosedur
(1) Berdasarkan Kartu Data dari Seksi Pendaftaran dan Pendataan, Seksi Penetapan membuat
Nota Perhitungan Pajak Daerah;
(2) Berdasarkan Nota Perhitungan Pajak Daerah, diterbitkan SKPD atau SKPDT jika terdapat
tambahan obyek pajak yang sama sebagai akibat ditemukannya data baru dan
mencatatnya ke dalam Daftar SKPD/SKPDT;
(3) SKPD/SKPDT ditandatangani oleh Kepala Bidang Pendapatan I atas nama Kepala DIPENDA
dan Daftar SKPD/SKPDT ditandatangani oleh Kepala Bidang Pendapatan I dan disiapkan
tanda terimanya. SKPD/SKPDT dibuat rangkap 5 (lima), dengan distribusi sebagai berikut:
(a) Asli untuk Wajib Pajak;
(b) Tembusan masing-masing untuk Bidang Akuntansi dan Pelaporan, Seksi Penagihan
dan Bidang Perencanaan dan Pengendalian Pendapatan;
(c) Arsip.
(4) Seksi Penetapan mendistribusikan tembusan SKPD/SKPDT kepada pihak-pihak terkait.
Sedangkan Asli SKPD/SKPDT disampaikan kepada Wajib Pajak dan dibuatkan tanda
terimanya;
(5) Setelah Asli SKPD/SKPDT diterima wajib pajak dan tanda terima ditandatangani, Seksi
Penetapan mengarsipkannya. Daftar penetapan ditembuskan kepada Bidang Akuntansi
dan Pelaporan, dan Bidang Perencanaan dan Pengendalian Pendapatan;
(6) Apabila SKPD/SKPDT yang diterbitkan tidak atau kurang dibayar setelah lewat waktu
paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak SKPD/SKPDT diterima, dikenakan sanksi administrasi
Bagan 10.5.
berupa bunga sebesar 2 % (dua persen) tiap bulan dengan menerbitkan Surat Tagihan
Kegiatan PajakPenetapan
Daerah (STPD).
Dengan Cara Penetapan Bupati
(Official Assessment)
d) Bagan alur.
Lihat Bagan 10.5.
Bagan 10.5. Kegiatan Penetapan Dengan Cara Penetapan Bupati (Official Assessment)
Mulai
Kartu Perhitungan
Data Pajak Terulang
Nota Perhit
Pajak Daerah
Tembusan SKPD
juga
DIsampaikan Kepada SKPD/
Bidang P3 SKPDT Lunas
Lebih dari
tanda
terima 30 Hari
Tidak
Ya
Daftar Pembuatan
SKPD STPD
tanda Selesai
terima STPD
Setelah di
tanda tangani
Selesai
(6) Seksi Penetapan mendistribusikan tembusan SKPDKB, SKPDN, dan SKPDKBT kepada
pihak-pihak terkait. Sedangkan Asli SKPDKB, SKPDN, dan SKPDKBT disampaikan kepada
Wajib Pajak dan dibuatkan tanda terimanya;
(7) Setelah SKPDKB, SKPDN, dan SKPDKBT Asli diterima wajib pajak dan tanda terima telah
ditandatangani, Seksi Penetapan mengarsipkannya;
(8) Sanksi administrasi atas jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam SKPDKB, SKPDKBT
berupa kenaikan pokok dan bunga
(9) Apabila SKPDKB, SKPDKBT yang diterbitkan tidak atau kurang dibayar setelah lewat waktu
paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak SKPDKB, SKPDKBT diterbitkan, WP dikenakan sanksi
administrasi berupa bunga sebesar 2 % (dua persen) setiap bulan dengan menerbitkan
STPD.
d) Bagan Alur.
Lihat Bagan 10.6 Sisdur Kegiatan Penetapan Dengan Cara Dibayar Sendiri atau Self Assessment
Selesai
Daftar STPD
SKPDKB/ SKPDN/
SKPDKBT/ SKPDLB
tanda
terima
Selesai
Setelah di
tanda tangani
(7) Jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam SKPDKB karena kewajiban mengisi
SPTPD tidak dipenuhi dan pajak yang terutang ditetapkan secara jabatan, dikenakan
sanksi administrasi berupa kenaikan dari pokok pajak ditambah sanksi administrasi
berupa bunga dihitung dari pajak yang kurang atau terlambat dibayar untuk jangka
waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan dihitung sejak saat terutangnya pajak;
Sanksi administrasi atas jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam SKPDKB, berupa
kenaikan pokok dan bunga diatur dalam Peraturan Daerah Kabupaten Tangerang
Nomor:10 Tahun 2010 tentang Pajak Daerah;
(8) Apabila SKPD/SKPDKB yang diterbitkan tidak atau kurang dibayar setelah jatuh tempo
Baganyaitu
10.7. paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja setelah saat terutangnya pajak, wajib pajak
Sisdur
dikenakan sanksi Secara
Penetapan Jabatan
administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) sebulan dengan
menerbitkan Surat Tagihan Pajak Daerah atau STPD.
d) Bagan alur.
Lihat Bagan 10.7. Sisdur Penetapan Secara Jabatan
SEKSI PENETAPAN BIDANG AKUTANSI WAJIB PAJAK SEKSI
& PELAPORAN PENAGIHAN
Mulai
SKPD/ SKPD/ SKPD/
SKPDKB SKPDKB
Perhitungan SKPDKB
Kartu Data Pajak Terutang tanda
hasil
terima
Pemeriksaan
dan
Ket lainnya Nota Perhit
Pajak Daerah Lunas
Lebih dari
30 Hari
Penerbitan
SKPD/ SKPDKB Tidak
Ya
Daftar
SKPD/ SKPDKB
Selesai
tanda
terima
Setelah di
tanda tangani
3. Penagihan
Penagihan pajak dilakukan apabila sampai batas waktu yang ditentukan WP belum melakukan
kewajibannya. Proses penagihan dalam sisdur administrasi pajak meliputi beberapa kegiatan
yaitu: penagihan dengan surat teguran, penagihan dengan surat paksa, penagihan dengan surat
perintah melaksanakan penyitaan yang dilanjutkan dengan pengumuman dan pelaksanaan lelang
atau pencabutan penyitaan dan pengumuman lelang bila WP beritikad baik dan melaksanakan
kewajibannya yang tertunda. Kegiatan penagihan ini terdiri dari beberapa sub kegiatan yang
diuraikan lebih lanjut dibawah ini.
1) Kegiatan Penagihan dengan Surat Teguran
a) Pengertian
Sistem dan prosedur ini menjelaskan langkah-langkah yang dilakukan dalam rangka
melakukan penagihan kepada wajib pajak atas ketetapan pajak daerah yang sudah jatuh
tempo tetapi belum ada pembayaran.
b) Pihak-pihak yang terkait
Pihak-pihak yang terkait dalam pelaksanaan sistem dan prosedur ini antara lain:
(1) Wajib Pajak;
(2) Bidang Pendapatan I - Seksi Penagihan;
(3) Juru Sita;
(4) Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara (BUPLN);
(5) Seksi Akuntansi dan Pelaporan;
(6) Bupati.
c) Prosedur
(1) Berdasarkan tunggakan per WP, Seksi Penagihan melakukan pengolahan data Wajib
Pajak yang telah 7 (tujuh) hari setelah batas waktu jatuh tempo pembayaran tapi belum
ada pembayaran dan membuat Surat Teguran. Surat Teguran dibuat rangkap 3 (tiga)
dengan distribusi:
(a) Asli untuk Wajib Pajak;
(b) Satu tembusan untuk Seksi Akuntansi dan Pelaporan;
(c) Arsip.
(2) Berdasarkan Surat Teguran, Seksi Penagihan mencatat dalam Daftar Surat Teguran/Surat
Paksa;
(3) Selanjutnya Surat Teguran disampaikan ke Kepala DIPENDA untuk diotorisasi dan
mencatatnya dalam Kartu Kendali;
(4) Seksi Penagihan mendistribusikan Surat Teguran kepada WP dan pihak yang terkait.
Daftar
Tunggakan
per WP
Olah Data
& Pembuatan
Surat Teguran
Pembuatan
Surat Teguran
SURAT
TEGURAN
SURAT
TEGURAN
Otorisasi
Daftar
Surat
Teguran /
Surat
Paksa
SURAT
TEGURAN
SURAT
TEGURAN SURAT SURAT
TEGURAN TEGURAN
Kartu
Selesai Kendali
Daftar
Tunggakan
per WP
Pemilahan Surat
Teguran yang belum
dilunasi dalam 21 Hari
Pembuatan
Surat Paksa
SURAT
PAKSA
SURAT
PAKSA
Otorisasi
Daftar
Surat
Teguran /
Surat
Paksa
SURAT
PAKSA
SURAT
melalui juru sita paajak
PAKSA SURAT SURAT
PAKSA PAKSA
Kartu
Selesai Kendali
d) Bagan alur.
Lihat Bagan 10.10.
Mulai
Daftar
SUrat Teguran/
Surat Paksa
Pemilahan Surat
Teguran yang belum
dilunasi dalam 2x 24 jam
SPM SPM
Pembuatan PENYITAAN PENYITAAN
SPM Penyitaan
SPM
PENYITAAN Pelaksana
Penyitaan
SPM
PENYITAAN BA
Pelaksanaan
Otorisasi Sita
Daftar
SPM
Penyitaan Pelaporan
SPM
PENYITAAN
Lap.Pelaksana
Penyitaan
SPM
PENYITAAN
Kartu
Kendali Selesai
(3) Setelah dicatat, Seksi Penagihan mendistribusikan Surat Perintah Penagihan Seketika
dan Sekaligus (SPPS & S) tersebut, yaitu: asli untuk Wajib Pajak dan tembusan untuk Juru
Sita Pajak dan arsip;
(4) Berdasarkan tembusan Surat Perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus (SPPS & S), Juru
Sita Pajak melaksanakan penagihan;
(5) Selanjutnya membuat laporan pelaksanaan surat perintah penagihan seketika dan
sekaligus dengan diketahui oleh Kepala DIPENDA. Laporan dibuat rangkap 3 (tiga)
dengan distribusi sebagai berikut:
(a) Seksi Penagihan;
(b) Seksi Akuntansi dan Pelaporan;
(c) Arsip
(6) Setelah ditandatangani Kepala DIPENDA, Juru Sita Pajak mendistribusikan kepada pihak
yang terkait.
d) Bagan alur.
Lihat Bagan 10.11. Sisdur Penagihan dengan Surat Perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus
Mulai
Buku
Penerimaan
SPPS & S
dan
Penyetoran
Pelaksanaan
Penagihan Seketika
SPPS & S & Sekaligus
SPPS & S
Jelaskan kelemahan dari sisdur berikut ini, berikan solusi untuk memperbaiki sisdur bersangkutan.
Mulai
Daftar
SUrat Teguran/
Surat Paksa
Pemilahan Surat
Teguran yang belum
dilunasi dalam 2x 24 jam
SPM SPM
Pembuatan PENYITAAN PENYITAAN
SPM Penyitaan
SPM
PENYITAAN Pelaksana
Penyitaan
SPM
BA
PENYITAAN Pelaksanaan
Sita
Otorisasi
Daftar
SPM BA
Penyitaan Pelaksanaan
Sita
SPM
PENYITAAN Pelaporan
SPM
PENYITAAN
Lap.Pelaksana
Penyitaan
Kartu
Kendali Selesai
LATIHAN PROSES
PENYUSUNAN PERDA
TENTANG PDRD
Latihan Proses Penyusunan Perda tentang PDRD
Deskripsi:
Topik ini adalah latihan menjelaskan: 1. mekanisme dan tahapan penyusunan Peraturan Daerah
Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. 2. muatan-muatan yang wajib dicantumkan dalam penyusunan
Peraturan Daerah Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. 3. ketentuan pengawasan penyusunan
Peraturan Daerah Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
Latihan
Referensi:
1. UU No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
2. Irawan S. (1993).
3. Jazim H. (2005).
4. Template Peraturan Daerah dan Kepala Daerah (DJPK)
Pemungutan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah kepada
masyarakat harus berdasarkan Peraturan Daerah. Pemungutan Pajak Daerah yang bersifat memaksa,
serta pemungutan retribusi atas pelayanan jasa yang disediakan Pemerintah Daerah tentu memerlukan
keterlibatan DPRD sebagai wakil rakyat, yang akan menilai kelayakan tarif yang akan dikenakan
kepada masyarakat. Pembentukan Peraturan Daerah mencakup tahapan perencanaan, penyusunan,
pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan.
Dalam penyusunan Rancangan Peraturan Daerah tentang Pajak Daerah, ketentuan minimal yang harus
dimuat adalah mengenai:
1) nama, objek, dan subjek pajak;
2) dasar pengenaan, tarif, dan cara penghitungan pajak;
3) wilayah pemungutan;
4) masa pajak;
5) penetapan;
6) tata cara pembayaran dan penagihan;
7) kedaluwarsa;
Peraturan Daerah tentang Retribusi Daerah dapat juga mengatur ketentuan mengenai:
1. masa retribusi;
2. pemberian keringanan, pengurangan, dan pembebasan dalam hal-hal tertentu atas pokok
3. retribusi dan/atau sanksinya; dan/atau
4. tata cara penghapusan piutang Retribusi yang kedaluwarsa.
Selanjutnya Pembahasan Rancangan Peraturan Daerah dilakukan oleh DPRD bersama Pemerintah Daerah
melalui beberapa kali pembahasan yang dilakukan melalui rapat komisi/panitia/badan/alat kelengkapan
DPRD yang khusus menangani bidang legislasi dan rapat paripurna.
Peraturan Daerah dengan ketentuan UU Nomor 28 Tahun 2009 dan peraturan perundang-undangan
lain yang lebih tinggi. Menteri Dalam Negeri dalam melakukan evaluasi berkoordinasi dengan Menteri
Keuangan.
Hasil evaluasi yang telah dikoordinasikan dengan Menteri Keuangan dapat berupa persetujuan atau
penolakan. Selanjutnya hasil evaluasi disampaikan oleh Menteri Dalam Negeri kepada gubernur dalam
jangka waktu paling lambat 15 (lima belas) hari kerja sejak diterimanya Rancangan Peraturan Daerah
dimaksud. Dalam hal hasil evaluasi berupa persetujuan, Rancangan Peraturan Daerah dimaksud dapat
langsung ditetapkan. Apabila hasil evaluasi berupa penolakan, maka penyampaian hasil evaluasi harus
disertai alasan penolakan. Kemudian Rancangan Peraturan Daerah yang ditolak dapat diperbaiki oleh
gubernur, untuk kemudian disampaikan kembali kepada Menteri Dalam Negeri dan Menteri Keuangan
untuk dievaluasi kembali..
Hasil evaluasi yang telah dikoordinasikan dengan Menteri Keuangan dapat berupa persetujuan atau
penolakan. Dalam hal hasil evaluasi berupa persetujuan, Rancangan Peraturan Daerah dimaksud dapat
langsung ditetapkan. Namun apabila hasil evaluasi berupa penolakan maka disampaikan dengan disertai
alasan penolakan. Dalam hal hasil evaluasi berupa penolakan, Rancangan Peraturan Daerah dimaksud
dapat diperbaiki oleh bupati/walikota bersama DPRD Kabupaten/Kota yang bersangkutan, untuk
kemudian disampaikan kembali kepada gubernur dan Menteri Keuangan.
Jika provinsi/kabupaten/kota tidak dapat menerima keputusan pembatalan Peraturan Daerah dengan
alasan-alasan yang dapat dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan, Kepala Daerah dapat
mengajukan keberatan kepada Mahkamah Agung. Putusan Mahkamah Agung dapat berupa menolak
atau mengabulkan (sebagian atau seluruhnya) keberatan Kepala Daerah. Dalam hal keberatan diterima,
putusan Mahkamah Agung dapat menyatakan Peraturan Presiden menjadi batal dan tidak mempunyai
kekuatan hukum. Jika Pemerintah tidak mengeluarkan Peraturan Presiden untuk membatalkan suatu
Peraturan Daerah, maka Peraturan Daerah dimaksud dinyatakan berlaku.
5. Sanksi
Apabila terjadi pelanggaran atas ketentuan di bidang pajak daerah dan retribusi daerah, maka daerah
dapat dikenakan sanksi berupa penundaan atau pemotongan Dana Alokasi Umum dan/atau Dana
Bagi Hasil atau restitusi. Ketentuan mengenai sanksi atas pelanggaran peraturan di bidang PDRD diatur
dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 11/MK.07/2010 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi terhadap
Pelanggaran Ketentuan di bidang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, dengan pokok-pokok sebagai
berikut:
1) Pengenaan sanksi berupa penundaan DAU atau Dana Bagi Hasil PPh bagi daerah yang
melakukan pelanggaran Menetapkan Perda PDRD tanpa melalui proses evaluasi, menetapkan
Perda PDRD tidak sejalan dengan hasil evaluasi, atau tidak menyampaikan Perda yang telah
ditetapkan. Besaran penundaan DAU ditetapkan 10% alokasi DAU atau 10% DBH PPh bagi
daerah yang tidak memperoleh DAU untuk setiap penyaluran.
2) Pengenaan sanksi berupa pemotongan DAU atau DBH PPh bagi Daerah yang tetap
melaksanakan pemungutan atas dasar Perda yang telah dibatalkan. Besaran pemotongan DAU
atau DBH PPh ditetapkan sejumlah perkiraan PDRD yang dipungut berdasarkan Perda yang telah
dibatalkan. Apabila jumlah PDRD yang dipungut tidak dapat diperkirakan, maka pemotongan
DAU ditetapkan sebesar 5% dari DAU atau DBH PPh (mana yang terbesar).
Pemerintah Daerah Kabupaten AB dalam menyusun Raperda Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang
memuat seluruh jenis Pajak Daerah dan sebagian Retribusi Daerah yang diperkenankan peraturan
perundang-undangan dimulai pada awal tahun anggaran 2011.
1. Mempertimbangkan jangka waktu Perda lama yang diperkenankan berlaku hanya sampai
dengan akhir tahun 2011, apa yang dapat dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten AB dalam teknis
penyusunan perda terkait dengan penggolongan pajak daerah dan Retribusi Daerah.
2. Apabila ada beberapa perda jenis pajak daerah yang tidak dapat ditetapkan sampai dengan akhir
tahun 2011, apakah Pemda AB dapat tetap melakukan pemungutan dengan menggunakan perda
PDRD yang lama?
STUDI KASUS
OPTIMALISASI PAD
Studi Kasus Optimalisasi PAD
Deskripsi:
Topik ini menjelaskan latihan mengenai: 1. kebijakan terkait Pendapatan Asli Daerah;
2 ruang lingkup Pendapatan Asli Daerah; 3 pengelolaan Pendapatan Asli Daerah.
Mendiskusikan kasus
Referensi:
Referensi :
UU No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah) sebagai salah satu representasi adanya kehidupan
demokrasi, tampaknya harusbenar-benar diperhatikan ketersediaan dan kualitasnya. Karena APBD adalah
alat ukur kualitas suatu pemerintahan.
APBD Gunung Kidul TA. 2010 telah menggunakan format sesuai dengan Permendagri No. 13
Tahun 2006tentang Pengelolaan Keuangan Daerah dan Permendagri No. 26 Tahun 2006 tentang
PedomanPenyusunan Angggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Tahun 2007.APBD ini ditetapkan
tanggal 25 Januari 2010.
Dalam membiayai program kegiatan pemerintahan daerah sebagai upaya untuk melaksanakan
pembangunan dan memenuhi kebutuhan masyarakat sangat tergantung pada jumlah pendapatan
daerah.
Berkaitan dengan UU No. 28 Tahun 2009 yang efektif berlaku mulai 1 Januari 2010, Pemda Kabupaten
Gunung Kidul pada tahun 2010 belum sepenuhnya melaksanakan pemungutan sesuai UU yang baru
tersebut. Hal ini tercermin dari Peraturan Daerah (Perda) tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
(PDRD) yang masih menggunakan Perda PDRD yang lama (masih berdasarkan UU No. 34 Tahun 2000).
Namun demikian, secara legal hal ini masih dibenarkan oleh UU, bahwa Perda PDRD yang sudah tidak
diatur lagi dalam UU No. 28 Tahun 2009 masih dapat diberlakukan sampai dengan 31 Desember 2010,
sedangkan Perda PDRD lama yang masih diatur dalam UU No. 28 Tahun 2009 dapat diberlakukan sampai
dengan 31 Desember 2011.
Kembali kepada Penerimaan Daerah, Penerimaan Daerah dalam pelaksanaan Desentralisasi Fiskal terdiri
atas Pendapatan Daerah dan Pembiayaan Daerah. Berdasarkan definisi, Pendapatan Daerah adalah
hak Pemerintah Daerah yang diakui sebagai penambah nilai kekayaan bersih dalam periode tahun
bersangkutan, yang bersumber dari:
1) Pendapatan Asli Daerah (PAD);
2) Dana Perimbangan; dan
3) Lain-lain Pendapatan.
Sedangkan Pembiayaan Daerah adalah setiap penerimaan yang perlu dibayar kembali dan/atau
pengeluaran yang akan diterima kembali, baik pada tahun anggaran yang bersangkutan maupun tahun-
tahun anggaran berikutnya, yang bersumber dari:
1) Sisa lebih perhitungan anggaran Daerah;
2) Penerimaan Pinjaman Daerah;
3) Dana Cadangan Daerah; dan
4) Hasil penjualan kekayaan Daerah yang dipisahkan.
Dipandang dari sudut tujuan, PAD bertujuan memberikan kewenangan kepada Pemerintah Daerah
untuk mendanai pelaksanaan Otonomi Daerah sesuai dengan potensi Daerah sebagai perwujudan
Desentralisasi Fiskal dalam rangka Otonomi Daerah, Dana Perimbangan bertujuan mengurangi
kesenjangan fiskal antara Pemerintah dan Pemerintahan Daerah dan antar-Pemerintah Daerah, Pinjaman
Daerah bertujuan memperoleh sumber pembiayaan altematif dalam rangka penyelenggaraan urusan
Pemerintahan Daerah, sedangkan Lain-lain Pendapatan bertujuan memberi peluang kepada Daerah
untuk memperoleh pendapatan selain pendapatan tersebut diatas.
Tabel 12.1. Perbandingan Pendapatan APBD Gunung Kidul, Tahun 2007 – 2010 (Rupiah)
Milyar Rupiah
400
300
200 Rp. 70,638,960,400
Rp. 27,473,888,570 Rp. 38,718,181,000 Rp. 31,950,621,272
100 Rp. 16,989,098,300 Rp. 25,239,545,458 Rp. 39,756,344,801
Rp. 54,444,725,100
0
2007 2008 2009 2010
PAD yang dikelola oleh Pemerintah Kabupaten Gunung Kidul dikumpulkan dari Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah yang dilakukan oleh 14 SKPD, terdiri dari penerimaan Pajak Daerah, Retribusi Daerah,
Hasil pengelolaan kekayaan Daerah yang dipisahkan, dan Lain-lain PAD yang sah. Dengan porsi berkisar
antara 4% sampai dengan 6% dari total Pendapatan di APBD, jumlah PAD ini masih tergolong kecil dan
pendapatan dalam APBD masih didominasi dari Dana Perimbangan.
Apabila dilihat dari jumlah PAD, penyumbang terbesar adalah Retribusi Pelayanan Kesehatan di RSUD
yang mencapai 35% dari PAD, ditambah Retribusi Pelayanan Kesehatan yang dikelola oleh Dinas
Kesehatan sebesar 8%, sehingga retribusi dari bidang kesehatan sendiri menyumbang 43% dari total PAD.
Penyumbang terbesar lainnya adalah Pajak Penerangan Jalan yang mencapai 14,6% dari PAD.
13.981.449.000
15
Dinas Pengelola Pasar
12 Disparbud
5.800.000.000
Dinas Kesehatan
9 5.412.500.000
5.242.318.675 Penyairan Modal BUMD
6 3.156.535.000 Lain-lain pendapatan
1.455.650.400
3 PPJU
1.000.887.400
RSUD
0
Bidang Kesehatan
Kesehatan merupakan hak dasar dari warga negara yang harus dipenuhi oleh Pemerintah, baik Pemerintah
Pusat maupun Pemerintah Daerah. Data tahun 2007, di kabupaten ini jumlah keluarga hampir miskin,
miskin dan miskin sekali sebanyak 95.722 keluarga dari 185.878 jumlah keluarga atau sekitar 51,49%. Dengan
tingkat kemiskinan yang masih cukup tinggi, Pemerintah Daerah harus memperhatikan pemenuhan hak
dasar warga negara, terutama bagi keluarga miskin, termasuk untuk mendapatkan pelayanan kesehatan
yang murah dan berkualitas.
Kebijakan Otonomi Daerah telah mendorong Pemerintah Daerah untuk berupaya meningkatkan PAD
sebagai bagian dalam memenuhi kebutuhan belanja daerah. Diantara upaya yang dilakukan oleh
Pemerintah Daerah adalah dengan mengubah Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) yang sebelumnya
bernaung dibawah Dinas Kesehatan, lembaga Pemerintah Daerah yang berfungsi pelayanan menjadi
Badan Layanan Umum Daerah (BLUD). Dengan demikian RSUD didorong untuk bisa mencukupi
kebutuhan operasionalnya yang berakibat pada peningkatan Retribusi Pelayanan Kesehatan. Kenaikan
Retribusi Pelayanan Kesehatan RSUD Wonosari ini diatur dalam Peraturan Daerah (Perda) nomor 6 Tahun
2007.
Pertimbangan kenaikan Retribusi Pelayanan Kesehatan selain karena kenaikan biaya operasional dan
bahan-bahan logistik dan peralatan, juga karena untuk warga miskin telah mendapatkan jaminan
kesehatan berupa jamkessos dan jamkesmas. Sehingga diharapkan kenaikan Retribusi Pelayanan
Kesehatan tidak berdampak pada keluarga miskin. Namun kenyataanya, tidak semua warga miskin
mempunyai kartu berobat gratis. Disisi lain, masyarakat yang berobat menggunakan fasilitas askeskin,
mereka mengeluhkan bahwa pelayanan yang diberikan oleh pihak rumah sakit tidak sebaik dengan
pasien yang membayar.
Milyar Rupiah
15
13.981.449.000
12
11.461.170.000
9
9.041.584.008
6 7.604.224.000
3
0
2007 2008 2009 2010
Diolah
Diolah dari Dokumen
dari: Gunungkidul APBD
dalam angka 2008 2007 -2010
Realisasi Perda tentang Retribusi Pelayanan Kesehatan di RSUD Wonosari dapat dilihat daritarget
pendapatan yang selalu naik secara signifikan dari tahun ke tahun. Pada tahun 2008 ada kenaikan 18,90%
dibanding tahun 2007, dimana mencapai Rp.9.041.584.008,00, sedangkan untuk tahun 2009 menjadi
Rp.11.461.170.000,00, yang berarti naik 26,76%. Kemudian pada tahun 2010 ditargetkan ada kenaikan
anggaran sebesar 21,98% dari tahun sebelumnya atau mencapai Rp.13.981.449.000,00. Apabila dilihat
kenaikan pendapatan retribusi RSUD dari tahun 2008 sampai tahun 2010, rata-rata mengalami kenaikan
sekitar Rp.2,5 miliar setiap tahun.
Table 12.2.
Beberapa Sumber Pendapatan dari Retribusi RSUD
SUMBER PENDAPATAN TAHUN %
2008 2009 2010
PAD 9.041.584.000 1.461.170.000 3.981.449.000 21,99%
Adanya kenaikan 21,99% untuk Retribusi Pelayanan Kesehatan pada tahun 2010 dibanding tahun yang lalu
lebih banyak diperoleh dari klaim jaminan askes. Selain ada retribusi yang naik, namun ada juga beberapa
sektor yang mengalami penurunan hasil retribusi. Retribusi Pelayanan Kesehatan yang mengalami
penurunan tertinggi ada pada Pemulasaraan Jenazah, Obat-Obatan dan Jasa Sarana Poliklinik Anak.
Selain itu penurunan target retribusi juga terjadi pada poliklinik fisiotherapi dan laboratorium walaupun
jumlahnya tidak begitu banyak.
Gambar 12.3. Jumlah dan Jenis Layanan Kesehatan (Pemerintah dan Swasta) di Gunung Kidul, Tahun 2007
Diolah
Diolah dari: Gunungkidul dari:
dalam Gunungkidul
angka 2008 dalam angka 2008
Selain pendapatan yang dihasilkan dari pelayanan kesehatan di RSUD, Pendapatan Asli Daerah dari sektor
kesehatan adalah pendapatan yang diperoleh dari Retribusi PUSKESMAS, Retribusi Rumah Bersalin dan
Rumah Sakit Swata Kelas D, yang dikelola oleh Dinas Kesehatan. Pada tahun 2010 ditargetnya mengalami
kenaikan 97,35%, dari Rp1.599.884.000 pada tahun 2009 menjadi Rp3.156.635.000 pada tahun 2010.
Kenaikan tertinggi terjadi pada biaya rawat jalan yang mengalami kenaikan 183,6%, kemudian disusul
retribusi rawat inap yang ditargetkan mengalami kenaikan 113,9%. Pada tahun 2010 ini tidak ada retribusi
pelayanan kesehatan yang dikelola oleh Dinas Kesehatan yang ditargetkan mengalami penurunan.
Tabel 12.3.
Retribusi Pelayanan Kesehatan yang dikelola oleh DINAS
KESEHATAN
SUMBER PENDAPATAN TAHUN %
2008 2009 2010
PAD 580.563.000 1.599.884.000 3.156.635.000 97,30%
Rawat inap 106.400.000 330.000.000 706.125.000 113,98%
Rawat jalan 324.400.000 348.000.000 986.960.000 183,61%
Tindakan medik 730.800.000 1.100.000.000 50,52%
Penunjang Medik 73.080.000 150.000.000 105,25%
UGD 20.880.000 97.500.000 366,95%
Ambulan 10.900.000 4.100.000 29,36%
Rujukan Medik 3.160.000 9.500.000 200,63%
Seperti yang terjadi pada Retribusi Pelayanan Kesehatan di RSUD, kenaikan pendapatan dari pelayanan
kesehatan dari layanan rawat inap dan rawat jalan juga cukup tinggi. Khusus untuk penyakit Demam
Berdarah, justru terjadi peningkatan jumlah penderita, dimana pada tahun 2005 hanya 107 penderita,
sedangkan pada tahun 2007 ada 327 penderita. Walaupun tidak ada data berapa persen jumlah penderita
yang berasal dari keluarga miskin, namun dengan adanya kenaikan Retribusi Pelayanan Kesehatan baik di
Puskesmas, Puskesmas Pembantu dan di RSUD, berarti menambah beban bagi masyarakat miskin.
Gambar 12.3. Jumlah dan Jenis Layanan Kesehatan (Pemerintah dan Swasta) di Gunung Kidul, Tahun 2007
3,26% Diare
14.651 Influenza
3,27%
12,22 %
14.680 Gangguan Sendi
3,53 % 54.889
15.836 Rheumatoid Artihitis
3,65% Asma
9,35 %
16.382 Hipertensi
41.994
Gangguan jaringan Otot
Desmatitis
4,58 5,74%
Catritis
20.594 25.738
5,37%
Nasopharingitis
5,07% 24.112
22.777 5,28% ISPA
23.730
Diolah dari:dalam
Diolah dari: Gunungkidul Gunungkidul dalam angka 2008
angka 2008
Pendapatan Asli Daerah di Dinas Pekerjaan Umum mengandalkan Retribusi Persampahan dan Retribusi
IMB, serta pemakaiaan alat berat. Untuk tahun 2010, Retribusi Persampahan di pasar dan tempat wisata
tidak lagi dikelola oleh Dinas Pekerjaan Umum seperti tahun sebelumnya, sehingga tidak ditargetkan
adanya kenaikan dari tahun sebelumnya, dan yang terjadi adalah pendapatan yang dikelola oleh Dinas
PU mengalami penurunan.
Sekalipun hanya mengalami kenaikan 2,5% dari tahun sebelumnya, Retribusi IMB masih menempati
urutan tertinggi, yaitu Rp123.000.000,00 atau menyumbang 48% dari pendapatan yang dikelola oleh
Dinas Pekerjaan Umum. Mengingat setiap tahun selalu ada perkembangan pemukiman, pertokoan dan
infrastruktur, maka sudah selayaknya ada kenaikan retribusi IMB dan persampahan sekalipun jumlahnya
tidak besar.
Tabel 12.4.
PAD yang Dikelola Oleh Dinas Pekerjaan Umum
Terkait dengan sarana layanan publik, Pajak Penerangan Jalan (PPJ) ditargetkan adanya peningkatan
sampai 20,83% dari tahun sebelumnya, namun pengelolaan PPJ ini bukan oleh Dinas PU, melainkan oleh
Badan Pengelolaan Kekayaan dan Keuangan Daerah (BPKKD) yang menangani seluruh jenis Pajak Daerah.
Dengan demikian diprediksikan pada tahun 2010 akan terjadi peningkatan konsumsi listrik minimal 20%
di daerah Gunung Kidul, baik dilakukan dengan pamasangan baru maupun penambahan daya.
Tabel 12.5.
Beberapa sumber pendapatan yang dikelola
oleh Dinas Perhubungan, Komunikasi dan Informasi
SUMBER PENDAPATAN TAHUN %
2008 2009 2010
PAD 633.264.000 722.482.000 738.972.500 2,28%
Dinas Perhubungan, Komunikasi dan Informasi hanya mentargetkan adanya kenaikan pendapatan 2,28%
pada tahun 2010, yaitu sebesar Rp722.482.000,00 pada tahun 2009 meningkat menjadi Rp738.972.500,00.
Salah satu sumber pandapatannya dari Retribusi Tempat Khusus Parkir yang diatur dengan Perda Nomor
3 Tahun 2000, dimana disebutkan bahwa tarif parkir untuk sepeda motor Rp 200,- mobil Rp 500,- dan bus,
truck Rp 1.000,-/sekali parkir. Target kenaikan pendapatan dari retribusi 97,41% pada tahun 2009 tentunya
sudah dengan pertimbangan pertumbuhan kendaraan dan pertumbuhan sarana umum. Beberapa
sumber pendapatan ditargetkan sama dengan tahun yang lalu, namun ada juga sumber pendapatan
yang justru ditargetkan menurun secara signifikan atau bahkan tidak ada lagi. Retribusi di Taman Parkir
Wonosari justru turun lebih dari 50% dari tahun yang lalu. Sedangkan beberapa pendapatan yang tidak
ada pada tahun 2010 adalah Pengelolaan parkir dengan kerjasama pihak ke III dan tunggakan retribusi
parkir tahun 2003/2004.
Pada tahun 2011, akan ada penerimaan baru yang signifikan menyumbang PAD Kabupaten Gunung
Kidul, dengan diundangkannya beberapa Perda pungutan yang sesuai dengan UU No. 28 Tahun 2009, di
antaranya adalah:
1) Perda Kabupaten Gunung Kidul Nomor 2 Tahun 2011 tentang Retribusi Pengujian Kendaraan
Bermotor; dan
2) Perda Kabupaten Gunung Kidul Nomor 10 Tahun 2011 tentang Retribusi Pelayanan Parkir di Tepi
Jalan Umum.
Untuk mendapatkan Akta Kelahiran, beberapa daerah mempunyai kebijakan tersendiri, berbeda dengan
KTP dan KK. Akta Kelahiran bisa diperoleh secara gratis. Adapun penerimaan yang ada dari pelayanan Akta
Kelahiran adalah dari pencetakan atau penerbitan Kutipan Kedua dan seterusnya, dan/atau pelayanan
pembuatan Salinan Akta, dan/atau pencetakan ulang akta karena hilang atau rusak.
Pada tahun 2010, pemerintah Kabupaten Gunung Kidul tidak mentargetkan adanya kenaikan retribusi
untuk surat-surat yang terkait dengan urusan kependudukan, seperti retribusi dari KTP, KK, Akta Catatan Sipil
dan kebutuhan surat menyurat lainnya. Dengan demikian pemerintah Gunung Kidul mengansumsikan
bahwa kebutuhan surat menyurat bagi masyarakat diprediksikan sama dengan tahun sebelumnya.
Tabel 12.6.
Beberapa sumber pendapatan yang Dikelola Oleh
Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil
SUMBER PENDAPATAN TAHUN %
2008 2009 2010
PAD 247.260.000 425.000.000 425.000.000 0,00%
KTP 112.500.000 264.000.000 264.000.000 0,00%
KK 25.000.000 51.000.000 51.000.000 0,00%
Akta Catatan Sipil 102.000.000 102.000.000 102.000.000 0,00%
Legalsasi 1.000.000 1.240.000 1.240.000 0,00%
Bidang Ekonomi
Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) merupakan salah satu pencerminan kemajuan perekonomian
suatu daerah, yang didefinisikan sebagai keseluruhan nilai tambah barang dan jasa yang dihasilkan dalam
waktu satu tahun di wilayah tersebut. PDRB Kabupaten Gunung Kidul atas dasar harga berlaku tahun
2007 sebesar Rp 4.872.123.000.000,- dengan kontribusi terbesar diberikan oleh sektor pertanian sebesar
34,03%, kemudian disusul oleh sektor jasa dengan sumbangan sebesar 18,25%. Apabila dilihat dari tahun
2006, PDRB Kabupaten Gunung Kidul terjadi kenaikan 10,4%, di mana kenaikan ini terjadi di setiap sektor
dengan prosentase yang tidak sama.
Tabel 12.7.
PDRB Atas Dasar Harga Berlaku (Tahun 2006 – 2007) (Rp juta)
LAPANGAN USAHA 2006 2007 %
Pertanian 1,568,130 1,657,982 5.73%
Jasa-jasa 766,398 889,062 16.01%
Perdagangan, Hotel dan Restoran 615,467 806,670 31.07%
Industri Pengolahan 482,494 490,155 1.59%
Bangunan 365,068 430,013 17.79%
Angkutan dan Komunikasi 291,060 329,625 13.25%
Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan 200,748 233,880 16.50%
Pertambangan dan Galian 92,421 98,466 6.54%
Listrik, Gas dan Air Bersih 31,058 36,271 16.78%
Pertanian
Di bidang tanaman pangan dan holtikultura kiranya tidak bisa diandalkan menjadi sumber PAD yang
bisa dikembangkan. Justru pada tahun 2010 ini ada penurunan pendapatan sebesar 14,39% dari tahun
sebelumnya. Bahkan untuk kebun Jeruksari dan Tawarsari, mulai tahun 2008 sudah tidak memberikan
kontribusi terhadap PAD. Apabila memang kebun-kebun yang selama ini dikelola oleh Dinas Tanaman
Pangan dan Holtikultura dijadikan sumber pandapatan, seharusnya dikelola secara optimal.
Tabel 12.8.
PAD yang Dikelola Oleh Dinas Tanaman Pangan Dan
Holtokultura
SUMBER PENDAPATAN TAHUN %
2008 2009 2010
PAD 12,500,000 13,000,000 11,128,425 -14.40%
Kebun Karangmojo 10,000,000 10,400,000 9,128,425 -12.23%
Peternakan
Walaupun terkenal dengan daerah rawan kekeringan, namun Kabupaten Gunung Kidul cukup berpotensial
dalam bidang peternakan, bahkan tahun ini mulai dikembangan usaha perikanan darat. Jumlah ternak
besar maupun ternak kecil mengalami kenaikan dari tahun ke tahun. Untuk ternak Sapi jumlah pada
tahun 2003 sebanyak 106.804 ekor, kemudian terus bertambah dan pada tahun 2007 mencapai 114.139
ekor. Begitu juga dengan jumlah ternak kambing yang pada tahun 2003 berjumlah118.504 ekor, pada
tahun 2007 bertambah menjadi 145.232 ekor.
Tabel 12.9.
PAD yang dikelola oleh Dinas Peternakan
SUMBER TAHUN %
PENDAPATAN
2007 2008 2009 2010
PAD 4,202,100,000 453,409,000 330,750,000 160,910,000 -51.35%
Ternak Sapi/Kerbau 16,800,000 20,160,000 22,560,000 23,910,000 5.98%
Ret. Penjualan Straw 146,250,000 165,750,000 165,750,000 - -100.00%
Ret. Penjualan Peng- 4,024,145,000 252,000,000 126,000,000 112,000,000 -11.11%
gemukan Sapi Potong
Sumber PAD yang dikelola oleh Dinas Peternakan berasal dari 3 bidang, yaitu Retribusi Pemeriksaan
Hewan, Retribusi Rumah Potong Hewan dan Retribusi Penjualan Produksi. Secara keseluruhan PAD
yang dikelola oleh Dinas Peternakan mengalami penurunan sampai 51,34% dari tahun sebelumnya.
Hal ini karena pada tahun 2010 tidak ada lagi pendapatan untuk penjualan Straw yang pada tahun lalu
menyumbang Rp 165.750.000. Kenaikan pendapatan yang terjadi pada Retribusi Penjualan Ternak Tidak
Layak dari Rp 4.000.000 pada tahun lalu menjadi Rp 12.500.000 pada tahun ini atau naik sampai 212,5%.
Kehutanan dan Perkebunan. Luas hutan Kabupaten Gunung Kidul 29.340,5 ha atau (19,75 %) dari luas
wilayah, yang terdiri dari Hutan Negara seluas 13.221,5 ha dan Hutan Rakyat seluas 16.119 ha. Berdasarkan
fungsinya Hutan Negara terdiri :
• Hutan suaka marga satwa seluas : 619,66 hektar.
• Taman Hutan Raya seluas : 617 hektar.
• Hutan produksi seluas : 11.359,84 hektar.
• Hutan pendidikan (Wanagama) seluas : 625 hektar.
Disamping itu, Kabupaten Gunung Kidul juga memiliki tanah AB seluas 1.700 ha yang direkomendasikan
oleh Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta untuk difungsikan sebagai hutan. Pengelolaan hutan negara
yang diarahkan lebih pada fungsi konservasi sehingga memiliki peran sangat strategis untuk mendukung
ekonomi wilayah (bioregion), ekowisata, pusat pendidikan (Wanagama), dan ekonomi masyarakat.
Keberadaan jenis tegakan hutan di Kabupaten Gunung Kidul sangat bervariasi yaitu jenis tegakan jati,
akasia, mahoni, sonokeling, kayu putih, dan lain-lain.
Melihat luas wilayah hutan di Kabupaten Gunung Kidul, kiranya mempunyai potensi untuk dioptimalkan
sebagai penyumbang PAD, baik dari sektor pariwisata, penjualan bibit tanaman hutan serta penjualan
hasil hutan. Apabila dilihat dari APBD tahun 2009, peningkatan PAD di sektor kehutanan hanya dari hasil
penjualan bibit tanaman hutan yang jumlahnya masih sangat kecil. Sedangkan fungsi sebagai hutan
produksi (kayu putih) tidak terlihat dalam pendapatan Dinas Kehuatanan dan Perkebunan. Padahal
pohon kayu putih selalu dipanen setiap tahun dengan biaya produksi yang cukup rendah. Hal ini karena
pengelolaan hutan kayu putih melibatkan partisipasi masyarakat dengan memanfaatkan lahan di bawah
tegakan.
Tabel 12.10.
PAD yang Dikelola oleh Dinas Kehutanan dan Perkebunan
SUMBER PENDAPATAN TAHUN %
2008 2009 2010
PAD 510,000,000 514,000,000 539,000,000 4.86%
Ret. Pengukuran dan 500,000,000 500,000,000 525,000,000 5.00%
Pengujian Hasil Hutan
Gambar 12.3. Jumlah dan Jenis Layanan Kesehatan (Pemerintah dan Swasta) di Gunung Kidul, Tahun 2007
2000000
1.691.942
1500000
1000000
656.097 715.700
617.100
436.111 591.400
500000
0
Tahun 2002 Tahun 2003 Tahun 2004 Tahun 2005 Tahun 2006 Tahun 2007
Melihat data produksi ikan laut dari tahun 2002 sampai tahun 2007, pada tahun 2007 terjadi peningkatan
186% dibanding tahun sebelumnya. Untuk Retribusi Tempat Pelelangan Ikan telah diatur dengan Perda
nomor 3 tahun 2002, yang menetapkan besarnya retribusi lelang ikan sebesar 8% dari harga transaksi
yang dibebankan pada pihak penjual dan pihak pembeli.
Pada tahun 2010, Dinas Kelautan dan Perikanan hanya mentargetkan adanya kenaikan retribusi kurang
dari 1%. Apabila dilihat produksi ikan laut untuk konsumsi pada tahun 2007 meningkat sampai 186%,
sedangkan PAD dari retribusi tempat pelelangan ikan hanya Rp 150.000.000,- berarti produksi ikan laut
pada tahun 2008 mengalami peningkatan lebih besar lagi. Hal ini karena ada kenaikan PAD dari Retribusi
Tempat Pelelangan Ikan dari Rp 150.000.000,- pada tahun 2007 meningkat menjadi Rp 510.000.000,-
pada tahun 2008 dan tahun 2009 yang kemudian pada tahun 2010 meningkat menjadi Rp 515.000.000.
Karena dengan berlandaskan Perda nomor 3 tahun 2002, berarti sampai tahun ini tidak ada kenaikan
tarif retribusi, namun kenaikan PAD terjadi karena produksi ikan yang meningkat dan/atau harga jual ikan
mengalami kenaikan.
Table 12.11.
PAD yang Dikelola oIeh Dinas Kelautan dan Perikanan
SUMBER TAHUN %
PENDAPATAN
2007 2008 2009 2010
PAD 50,000,000 510,000,000 510,000,000 515,000,000 0.98%
Retribusi Tempat 135,000,000 500,000,000 500,000,000 500,000,000 0.00%
Pelelangan Ikan
Penjualan Hasil 15,000,000 10,000,000 10,000,000 15,000,000 50.00%
Perikanan
Sumber: APBD Gunung Kidul 2007-2010
Potensi bahan galian industri di wilayah Kabupaten Gunung Kidul antara lain batu kapur, zeolit, kaolin,
breksi batu apung, pasir tufan, dan batuan andesit. Ekploitasi bahan galian telah diatur dalam Perda
Nomor 7 Tahun 2003 tentang Usaha Pertambangan Bahan Galian. Sub sektor Pertambangan dan
Galian selalu mengikuti perkembangan PDRB. Apabila pada tahun 2003 Sub sektor Pertambangan dan
Galian mencapai 17.835 juta rupiah, maka pada tahun 2009 meningkat menjadi 98.455 juta rupiah atau
menempati urutan kedelapan.
Khusus untuk pajak galian golongan C yang sekarang nomenklatur-nya menjadi Pajak Mineral Bukan
Logam dan Batuan diatur dalam Perda nomor 5 tahun 1998 tentang Pajak Pengambilan dan Pengolahan
Bahan Galian Golongan C, dengan tarif pajak eksploitasi ditetapkan sebesar 20% dari nilai jual. Pajak usaha
pertambangan bahan galian tidak dikelola langsung oleh Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi
dan Pertambangan, namun dikelola oleh Dinas Pendapatan, Pengelola Keuangan dan Aset Daerah.
Terkait dengan Retribusi Izin Gangguan telah diatur dengan Perda nomor 12 Tahun 2000 tentang Retribusi
Izin Gangguan. Kenaikan 15,38% dari Retribusi Izin Gangguan bagi perusahaan memperlihatkan adanya
perkembangan jumlah perusahaan maupun perubahan status dari perusahaan kecil menjadi perusahaan
besar. Pertumbuhan perusahaan tentunya akan mendukung perekonomian masyarakat, apalagi jika
pemilik perusahaan tersebut adalah masyarakat lokal. Dengan demikian masyarakat lokal akan menjadi
pemain langsung, bukan hanya sebagai penonton.
Tabel 12.12.
PAD di Dinas Perindustrian, Perdagangan, Koperasi dan
Pertambangan
SUMBER PENDAPATAN TAHUN %
2008 2009 2010
PAD 111,000,000 153,300,000 173,850,000 13.41%
Retribusi Ijin Gangguan Kemanan 90,000,000 130,000,000 150,000,000 15.38%
Gambar 12.6. Jumlah SIUP dan TDP yang diterbitkan dari tahun 2003-2007.
300 286
233
250
188
200 177
150 124
116
91 Tahun 2007
100 75 79
60 Tahun 2006
Tahun 2005
50 Tahun 2004
Tahun 2003
0
SIUP TDP
Diolah dari: dalam
Diolah dari: Gunungkidul Gunungkidul dalam angka 2008
angka 2008
Peningkatan hasil Retribusi Izin Gangguan tentunya akan seiring dengan peningkatan hasil Retribusi
Surat Ijin Usaha Perdagangan. Namun untuk Retribusi Wajib Daftar Perusahaan yang telah diatur dalam
Perda nomor 8 tahun 2003 tentang Retribusi Wajib Daftar Perusahaan tidak mengalami kenaikan.
Dalam perda tersebut disebutkan bahwa retribusi berlaku untuk tanda daftar perusahaan (TDP) baru,
perubahan, penggantian maupun pendaftaran ulang dan pembaharuan TDP. Begitu juga apabila dilihat
dari jumlah SIUP dan TDP yang dikeluarkan oleh pemerintah Kabupaten Gunung Kidul dari tahun 2003 –
3007 selalu mengalami peningkatan. Sehingga perlu dipertanyakan alasannya apabila pada tahun 2009
tidak ditargetkan adanya peningkatan jumlah retribusi untuk TDP.
Pembangunan infrastruktur pasar juga sering menimbulkan persoalan bagi pedagang yang menempati.
Keberadaan infrastruitur pasar yang lebih baik, lebih tertata dan lebih bersih menjadi sebuah alasan
bagi Pemerintah Daerah untuk menaikkan Retribusi maupun Sewa Tempat/Kios. Bagi pedagang yang
mempunyai modal cukup, kenaikan retribusi dan sewa kios tidak begitu menjadi persoalan, namun bagi
pedagang-pedagang kecil, mereka terancam gulung tikar. Hal ini akan menimbulkan persoalan tersendiri,
karena mereka yang tidak lagi bisa berdagang di pasar tersebut dan harus mencari sumber pendapatan
lain untuk mencukupi kebutuhan keluarganya. Munculnya pengepul-pengepul hasil pertanian juga
menjadi salah satu faktor menurunnya pendapatan retribusi untuk beberapa pasar. Dimana para petani
tidak perlu menjual hasil pertaniannya kepasar, namun para pengepul sudah mengambil dirumah
mereka.
Tabel 12.13.
PAD yang Dikelola Oleh Kantor Pengelolaan Pasar
SUMBER PENDAPATAN TAHUN %
2008 2009 2010
PAD 1,480,513,200 949,826,300 1,000,887,400 5.38%
Retribusi Pasar 551,300,000 564,400,000 648,950,000 14.98%
Pada tahun 2010 Retribusi Pasar hanya ditargetkan mengalami kenaikan sebesar 5,2%, dimana padatahun
2009 justru mengalami penurunan dibanding tahun 2008. Namun untuk Retribusi Sewa Kios justru
mengalami penurunan 19,46%, kemudian Retribusi untuk Peanjangan Sewa Kios mengalami penurunan
sampai 26,25%, serta Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah mengalami penurunan lebih besar lagi sampai
34,26%. Adanya penurunan hasil sewa kios dimungkinkan karena pedagang-pedagang merasakan
keberatan karena tarif sewa yang mahal. Apabila pedagang-pedagang kecil meresa keberatan untuk
membayar sewa kios, maka nantinya akan dikuasai oleh pedagang-pedagang yang mempunyai modal
besar. Dengan demikian pedagang-pedagang dengan modal kecilakan semakin tergusur.
Kenaikan Retribusi Pasar yang sangat kecil dikarenakan adanya perubahan pengelolaan retribusi dari
beberapa lokasi. Untuk kios dan pasar di lokasi terminal sekarang dikelola oleh Dinas Perhubungan,
sedangkan kios dan pasar yang berada di lokasi pariwisata dikelola oleh Dinas Kebudayaan dan
Pariwisata. Sehingga walalupun secara umum ada peningkatan hasil retribusi disetiap sektor, namun
karena beberapa wilayah tidak lagi dikelola oleh Dinas Pengelola Pasar, maka kenaikannya hanya kecil.
Pada tahun 2010, Pemerintah Daerah mentargetkan pendapatan untuk Dinas Pariwisata dan Kebudayaan
sebesar 1.465.650.400 atau naik 22,13% dari tahun sebelumnya, dimana target terbesar untuk retribusi
melalui pintu wisata pantai Baron (Kemadang) yang mencapai 1.242.650.650.000. Kabupaten Gunung
Kidul yang mempunyai potensi kawasan wisata yang cukup banyak sangat layak untuk dikembangkan
dan nantinya bisa menjadi sumber Pendapatan Asli Daerah yang dapat diandalkan.
Tabel 12.14.
PAD yang dikelola oleh Dinas Pariwisata dan Kebudayaan
SUMBER PENDAPATAN TAHUN %
2008 2009 2010
PAD 975.000.000 1.199.999.472 1.465.650.400 22,14%
Ret. Tempat Wisata Baron/ 777.976.800 1.004.399.472 1.242.650.000 23,72%
Kemadang
Seperti pada tahun 2009, pada tahun 2010 obyek wisata Gua Cerme yang berada diperbatasan kabupaten
Bantul dan Gunung Kidul dan Gelora Handayani sudah tidak ditargetkan adanya pendapatan. Sebagai
sarana oleh raga, apabila yang menggunakan adalah klub-klub oleh raga lokal, kiranya perlu mendapatkan
perlakuan khusus dengan tidak membayar retribusi. Namun apabila digunakan untuk envent-event yang
besar tentunya perlu adanya retribusi sebagai biaya perawatan tempat tersebut. Seperti tertuang dalam
Perda nomor 6 Tahun 2000 tentang Retribusi Tempat Rekreasi dan Olahraga.
Perda nomor 6 tahun 2000 menyebutkan bahwa untuk Kawasan Wisata Baron, Kukup, Drini, Krakal dan
Sundak dilaksanakan pada 3 pintu masuk, yaitu dari sisi barat, tengah dan timur, dengan tarif Rp.1.500
untuk dewasa dan Rp.750 untuk anak-anak ditambah parkir Rp.500,- sekali datang, tarif tersebut
masih sangat murah, karena dengan sekali membayar retribusi sudah bisa menikmati ke 4 pantai
tersebut. Mungkin kedepannya perlu dipikrkan bagaimana pengelolaan kawasan pantai tersebut bisa
menyumbang PAD yang besar tanpa harus memberatkan pengujung dan penyedia layanan wisatawan.
Apabila memungkinkan diatur retribusi setiap kawasan wisata tersebut Rp.1.000/orang, berarti dari 4
kawasan wisata pantai tersebut sudah memperoleh Rp.4.000,-/orang/sekali kedatangan.
Tabel 12.15.
Pendapatan Asli Daerah yang Dikelola
oleh Badan Pengelolaan Keuangan dan Kekayaan Daerah
SUMBER PENDAPATAN TAHUN %
2008 2009 2010
PAD 10.386.672.250 3.751.479.100 7.326.422.075 26,00%
Pajak Hotel 8.750.000 10.000.000 12.000.000 20,00%
Dari sekian sektor sumber pendapatan yang dikelola oleh BPKKD semuanya ditargetkan naik dari tahun
sebelumnya. Kenaikan paling tinggi sebesar 39,53% ditargetkan untuk pendapatan dari Pajak Hiburan,
walau jumlahnya hanya sedikit. Sedangkan untuk pendapatan terbesar diperoleh dari Pajak Penerangan
Jalan yang mencapai 5.800.000.000,-.
Target kenaikan untuk Pajak Hotel, Restoran, Hiburan dan Reklame mengindikasikan bahwa ada
perkembangan dibidang pariwisata maupun hiburan. Perkembangan jumlah losmen dan hotel
mempunyai dampak positif maupun negatif. Dampak positif dari perkembangan hotel dan losmen akan
mendukung bidang pariwisata, namun adanya orentasi pemilik hotel dan losmen hanya sekedar untuk
mencari keuntungan, tidak dipungkiri bahwa ada beberapa pengelola hotel dan losmen yang melanggar
aturan yang ada.
Penyertaan modal pada BUMD yang ditargetkan mengalami kenaikan sebesar 31,36%, ini lebih kecil dari
tahun sebelumnya yang mengalami kenaikan mencapai 59,25%. Pemerintah Daerah perlu melakukan
upaya-upaya nyata untuk mendorong perkembangan BUMD, karena perkembangan BUMD tidak hanya
akan meningkatkan PAD, tetapi juga akan berdampak pada peningkatan perekonomian masyarakat.
12.2. Penutup
Secara keseluruhan jumlah Pendapatan Asli Daerah (PAD) pada tahun 2010 mengalami kenaikan 24,43%
dibanding tahun 2009. Hanya saja jumlah pendapatan yang mengalami peningkatan cukup signifikan
justru dari Retribusi Pelayanan Kesehatan RSUD yang mencapai 2,5 M. Dengan diberlakukannya Perda
Nomor 6 Tahun 2007 tentang Retribusi Pelayanan Kesehatan RSUD Wonosari dan Perda Nomor 7 Tahun
2007 tentang Retribusi Pelayanan Kesehatan di PUSKESMAS justru menambah kerentanan masyarakat.
Pemerintah Daerah seharusnya memperhatikan mana saja sumber-sumber pendapatan yang apabila
dinaikan akan menambah kapasitas masyarakat. Jangan sampai pendapatan yang digali akan berdampak
pada pengeluaran yang jauh lebih banyak karena munculnya berbagai persoalan baru. Apabila dilihat
dari kebijakan tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, kebijakan yang terbaru adalah tentang Retribusi
Pelayanan Kesehatan di RSUD dan PUSKESMAS, Sedangkan kebijakan-kebijakan yang lain dikeluarkan
antara tahun 2000 – 2003. Bahkan untuk kebijakan tentang Pajak Pengambilan Bahan Galian C, Pajak
Reklame, Pajak Hotel dan Restoran dan Retribusi Penggunaan Alat-Alat Berat Milik Pemerintah dikeluarkan
pada tahun 1997 dan 1998. Tentunya tarif yang ditentukan padatahun 1997 atau tahun 1998 sudah tidak
sesuai lagi diberlakukan pada tahun sekarang. Kebijakan tarif Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang
disesuaikan dengan nilai tukar rupiah dan laju inflasi akan meningkatkan PAD.
Selama ini sepertinya pihak-pihak pengambil kebijakan perencanaan pembangunan dan penganggaran
masih memprioritaskan anggaran belanja. Begitu juga dengan pihak-pihak diluar Pemerintah masih
terfokus untuk menyoroti dari sisi belanja, namun masih sangat sedikit atau malah belum ada yang
mengkritisi masalah pendapatannya. Menginngat anggaran belanja tergantung pada pendapatan, maka
disisi pendapatan daerah perlu mendapatkan perhatian bersama.
Kedepan, dengan kebijakan baru di bidang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang diatur dalam UU No. 28
Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Kabupaten Gunung Kidul telah mempersiapkan
beberapa instrumen pemungutan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang lebih baik dan menyesuaikan
dengan ketentuan yang baru.
Beberapa Perda tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang baru akan menggantikan Perda-Perda
lama yang sudah usang, diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Perda Kabupaten Gunung Kidul No. 3 Tahun 2011 tentang Pajak Daerah; mengatur Pajak Hotel,Pajak
Restoran,Pajak Hiburan,Pajak Reklame,Pajak Penerangan Jalan,Pajak Mineral Bukan Logam dan
Batuan,Pajak Parkir,Pajak Air Tanah,Pajak Sarang Burung Walet, dan Bea Perolehan Hak atas Tanah
dan/atau Bangunan (BPHTB).
2. Perda Kabupaten Gunung Kidul No. 16 Tahun 2010 tentang Retribusi Izin Gangguan;
3. Perda Kabupaten Gunung Kidul No. 18 Tahun 2010tentang Retribusi Penggantian Biaya Cetak KTP
dan Akta Catatan Sipil;
4. Perda Kabupaten Gunung Kidul No. 2 Tahun 2011 tentangRetribusi Pengujian Kendaraan Bermotor;
5. Perda Kabupaten Gunung Kidul No. 8 Tahun 2011 tentangRetribusi Pelayanan Pasar;
6. Perda Kabupaten Gunung Kidul No. 9 Tahun 2011 tentang Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah;
7. Perda Kabupaten Gunung Kidul No. 10 Tahun 2011 tentang Retribusi Pelayanan Parkir di Tepi Jalan
Umum.
12.3. Analisa
1) Adanya kenaikan penerimaan dari beberapa jenis pelayanan kesehatan baik di RSUD, Puskesmas
termasuk layanan rawat inap dan rawat jalan, dapat disimpulkan bahwa pada tahun 2010 terjadi
kenaikan jumlah pasien. Apabila memang diprediksikan terjadi kenaikan jumlah pasien, hal ini ada
2 kemungkinan, yang pertama adalah masyarakat sudah mulai sadar akan pentingnya menjaga
kesehatan, sehingga sebelum mereka jatuh sakit sudah memeriksakan ke rumah sakit, dokter
atau sarana kesehatan yang lain. Yang kedua bisa juga dikarenakan memang jumlah masyarakat
yang sakit semakin banyak, jika demikian yang terjadi, maka upaya Pemerintah Daerah dalam
Gua Cerme agar tetap diminati oleh wisatawan sedikit banyak juga merupakan tanggungjawab
Pemerintah Gunung Kidul, dengan alokasi dana yang tidak sedikit.
Apa yang bisa dilakukan oleh Pemerintah Daerah Gunung Kidul untuk dapat memperoleh PAD dari
Kawasan Wisata Gua Cerme?
Deskripsi:
Topik ini menjelaskan konsep, peranan, dan kebijakan dana transfer ke daerah
yang ditetapkan oleh Pemerintah, serta mampu membandingkan
antara kebijakan dengan implementasinya di daerah.
Perkiraan
Waktu Sub Topik Kata Kunci
10 menit Konsep dan Peranan Kesenjangan vertikal
Dana Transfer
10 menit Diskusi/Latihan
Referensi:
1. UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan
Pemerintahan Daerah.
2. PP No. 55 Tahun 2005 tentang Dana Perimbangan.
3. Nota Keuangan RAPBN Tiap Tahunnya dapat di download dari web
http://www.anggaran.depkeu.go.id
4. Pelengkap Buku Pegangan Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah,
Pelaksanaan Desentralisasi Fiskal di Indonesia, berbagai tahun, dapat di download dari
http://www.djpk.depkeu.go.id/
5. PMK tahun berjalan
Dana Transfer di Indonesia adalah instrumen dari kebijakan desentralisasi fiskal. Sedangkan desentralisasi
fiskal adalah kebijakan, bukan suatu tujuan. Desentralisasi fiskal adalah salah satu pilihan dalam mengelola
pembangunan guna mendorong perekonomian daerah maupun nasional. Melalui mekanisme hubungan
keuangan yang lebih baik diharapkan akan tercipta kemudahan dalam pelaksanaan pembangunan di
daerah, sehingga akan berimbas kepada kondisi perekonomian yang lebih baik dan pada gilirannya
adalah terujudnya kesejahteraan masyarakat.
Desentralisasi fiskal di Indonesia adalah desentralisasi fiskal di sisi pengeluaran yang didanai terutama
melalui dana transfer ke daerah. Dengan desain desentralisasi fiskal ini maka esensi otonomi pengelolaan
fiskal daerah dititikberatkan pada diskresi (kebebasan) untuk membelanjakan dana sesuai kebutuhan
dan prioritas masing-masing daerah. Penerimaan negara tetap sebagian besar dikuasai oleh pemerintah
Pusat, dengan tujuan untuk menjaga keutuhan berbangsa dan bernegara dalam kerangka Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
Dalam konteks itulah, dana transfer secara keseluruhan dapat dipandang sebagai pengisi kesenjangan
fiskal vertikal. Kesenjangan yang dimaksud disebabkan karena kapasitas fiskal yang dimiliki oleh seluruh
Pemerintah Daerah tidak mencukupi untuk mendanai seluruh kebutuhan belanja Pemda. Kapasitas fiskal
daerah yang sangat rendah terlihat dari kecilnya sumbangan Pendapatan Asli Daerah (PAD) terhadap
total pendapatan daerah. Sementara itu kebutuhan belanja daerah dapat terlihat secara jelas dengan
besarnya tanggungjawab daerah untuk mendanai berbagai urusan. Salah satu yang terbesar adalah
kebutuhan Pemda kabupaten/kota untuk membayar gaji PNS daerah sebesar Rp. 203 triliun, jauh melebihi
jumlah PAD kabupaten/kota yang hanya sebesar Rp. 37,7 triliun di tahun 2012. Kebutuhan Pemda untuk
penyediaan pelayanan publik di daerah termasuk belanja PND daerah secara relatif terpenuhi dengan
jumlah dana transfer sebesar 478 triliun di tahun 2012.
Sebagai ilustrasi, diawal desentralisasi tahun 2001 kesenjangan fiskal meningkat tajam dengan penyerahan
kewenangan dan fungsi kepada daerah. Namun hal itu diikuti dengan penyerahan dan tambahan sumber
pendapatan daerah dalam bentuk dana transfer. Rasio dana transfer terhadap Pendapatan Dalam Negeri
(PDN) naik tajam dari hanya 16% di tahun 2000 menjadi 31% di tahun 2001. Sejak tahun 2001 hingga saat
ini rasio dana transfer terhadap PDN berada dalam range 31-34%. Tentu sudah saatnya untuk dievaluasi
apakah rasio dana transfer hingga menjadi 34% di tahun 2010 memang setara dengan kebutuhan
keseluruhan Pemda.
Dana transfer secara keseluruhan merupakan bagian dari Kebijakan Fiskal Nasioal. Proporsi transfer dalam
belanja negara, dalam periode 2002-2013, stabil pada tingkat 31%.
Dana Transfer di Indonesia terdiri dari:
1) Dana Perimbangan,
2) Dana Otonomi Khusus (Aceh dan Papua),
3) dan Dana Penyesuaian
Sementara itu Dana Perimbangan yang diatur oleh UU 33 Tahun 2004, terdiri dari
1) Dana Alokasi Umum (DAU)
2) Dana Bagi Hasil (DBH) dan
3) Dana Alokasi Khusus (DAK)
Ketiga dana perimbangan merupakan satu kesatuan dengan peranan untuk mengatasi ketimpangan
vertikal dan horizontal. DBH terutama berperan untuk mengurangi ketimpangan vertikal, sedangkan
DAU ditujukan untuk mengurangi ketimpangan horizontal. Sementara itu DAK selain untuk mengurangi
ketimpangan horizontal, juga bertujuan untuk mendanai urusan daerah yang menjadi prioritas nasional.
DAU dan DBH adalah merupakan unconditional transfer yaitu dana yang bebas dialokasikan oleh daerah.
Sedangkan DAK harus dibelanjakan untuk bidang dan kegiatan yang didikte oleh Pemerintah Pusat.
Dana Otonomi Khusus diatur dalam UU otonomi khusus Papua dan UU No 11/2006 tentang Pemerintahan
Aceh. Khusus untuk Propinsi Aceh dan Papua (Propinsi Papua dan Propinsi Papua Barat), dana otsus paling
sedikit 2% DAU untuk Papua selama 20 tahun dari tahun 2002 dan 2% DAU untuk Aceh pada 15 tahun
pertama dan 1% untuk tahun ke 16 sampai 20. Selain itu ada dana infrastruktur untuk Papua dan Papua
Barat
Dana Penyesuaian merupakan bagian dari kebijakan fiskal tahunan diatur setiap tahunnya dalam UU
APBN.
350
300
250
200
150
100
50
0
2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013
Bagi hasil DAU DAK Data Otsus Dana Penyesuaian
Dana transfer memiliki tujuan untuk mengurangi kesenjangan fiskal, baik vertikal maupun horizontal.
Dana transfer secara keseluruhan bertujuan mengurangi kesenjangan fiskal antara pemerintah pusat
dan daerah. Urusan desentralisasi (urusan daerah) memerlukan pendanaan yang besar, namun daerah
tidak memiliki kapasitas fiskal yang cukup. Selain itu, dana transfer juga bertujuan untuk mengurangi
ketimpangan fiskal antar daerah. Keberagaman potensi daerah mengakibatkan perbedaan kapasitas fiskal
yang tajam antar daerah. Untuk itu terdapat jenis dana transfer yang tujuan utamanya untuk mengurangi
kesejangan fiskal horizontal tersebut, yaitu Dana Alokasi Umum.
Dana transfer keseluruhan diharapkan juga dapat dialokasi oleh daerah untuk penyediaan dan pelayanan
publik dan pembangunan daerah. Dengan adanya kewenangan/keleluasaan untuk pemanfaatan dana
transfer oleh Pemda, maka diharapkan terujud efisiensi alokasi sumber daya nasional, karena Pemda lebih
tahu dari Pemerintah Pusat kondisi daerah dan diharapkan Pemda dapat mengalokasikan dana untuk
merespon kebutuhan masyarakat.
Dana transfer sebagai bagian dari kebijakan fiskal nasional, tidak bisa berdiri sendiri, namun tetap dalam
kerangka mendukung kesinambungan fiskal dalam kebijakan ekonomi makro. Keterbatasan sumber
daya nasional, mengakibatkan jumlah dana transfer juga terbatas. Pemerintah tidak bisa memaksakan
diri untuk menyediakan dana bagi kebutuhan daerah dalam bentuk dana transfer, jika kebijakan itu akan
memperlebar defisit anggaran yang pada gilirannya akan mengganggu keberlanjutan fiskal nasional dan
stabilitas makro ekonomi.
Deskripsi:
Topik ini menjelaskan tentang: 1. Bagaimana memahami mengenai dasar filosofis,
konsep kebijakan dan alokasi DBH Pajak. 2. Esensi kebijakan dan alokasi DBH Pajak.
3.Alokasi sementara, alokasi definitif dan mekanisme penyaluran DBH Pajak.
Bagi Hasil Pajak Bumi dan Basis PPB P3, Perhitungan PBB Migas
Bangunan Sektor
Perkebunan, Perhutanan,
dan Pertambangan (DBH
PBB P3)
Referensi:
1. UU No. 12 Tahun 1994
2. UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan
z Pemerintahan Daerah.
3. UU No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
4. PP No. 55 Tahun 2005 tentang Dana Perimbangan.
5. PP PPh Perseorangan
6. UU No 39 Tahun 2007 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995
Tentang Cukai
7. Pelengkap Buku Pegangan Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah,
Pelaksanaan Desentralisasi Fiskal di Indonesia, berbagai tahun, dapat di download dari
http://www.djpk.depkeu.go.id/
8. Peraturan Menteri Keuangan No 84/PMK/07/2008
Dana Bagi Hasil (DBH) merupakan pendapatan pemerintah yang dibagihasilkan dengan daerah/
wilayah dimana lokasi pendapatan itu dihasilkan sesuai dengan proporsi tertentu atas dana yang sudah
dikumpulkan (proportionality of collection). Pengertian dan definisi dari DBH ini juga mengindikasikan
bahwa fokus dari DBH adalah untuk mengatasi ketimpangan vertikal antara pemerintah pusat dan
daerah. Ketimpangan Vertikal disebabkan oleh penguasaan sumber pendapatan oleh pusat jauh melebihi
penguasaan sumber pendapatan oleh daerah, sehingga daerah tidak akan dapat membiayai urusannya
tanpa adanya transfer/bagi hasil atas pendapaan pusat tersebut. Ketimpangan vertikal juga bisa diartikan
sebagai kesenjangan antara potensi sumber pendapatan daerah dengan kebutuhan pendanaan urusan
daerah.
Dibandingkan dengan jenis dana transfer lainnya DBH merupakan dana transfer yang relatif penting
didalam menjamin tingkat desentralisasi (high degree of decentralization) melalui unconditionality
dalam penggunaan dana. Dana transfer DBH umumnya bersifat unconditional (bebas digunakan oleh
penerima). Penggunaan DBH yang diatur dan diarahkan juga akan mengaburkan tujuan dari alokasi dana
bagi hasil itu sendiri.
DBH yang diterapkan selama ini memiliki issue terkait dengan: 1) proporsi bagi hasil, 2) penentuan total
penerimaan yang dibagihasilkan, 3) eligibility untuk daerah penerima DBH, dan 4) alokasi periode PNBP
(pool revenue) yang dibagihasilkan.
Tabel 14.1.
Porsi Bagi Hasil antara Pemerintah Pusat dan Daerah
berdasarkan jenis DBH dan peraturan terkait
UU 33 Tahun 2004 Papua dan Papua Nanggroe Aceh
Barat Darrussalam
Pusat Daerah Pusat Daerah Pusat Daerah
Bagi Hasil Pajak
PPh Individu 80 20 80 20 80 20
PBB-P3 10 90 10 90 10 90
CHT 1) 98 2 98 2 98 2
Bagi Hasil SDA
Minyak Bumi 85 15 30 70 30 70
Gas 70 30 30 70 30 70
Pertambangan Umum 20 80 20 80 20 80
Kehutanan 20 80 20 80 20 80
Perikanan 20 80 20 80 20 80
Geothermal 20 80 20 80 20 80
Tabel 5 menggambarkan proporsi bagi hasil untuk pemerintah pusat dan total proporsi bagi hasil untuk
pemerintah propinsi dan pemerintah kabupaten/kota. Khusus bagi hasil pajak PPh Individu dan bagi
hasil cukai dan hasil tembakau, yang dimaksud dengan proporsi bagi hasil daerah adalah bagi hasil untuk
tingkat pemerintahan propinsi. Proporsi bagi hasil pajak cukup besar untuk pajak-pajak yang selayaknya
diklasifikasikan sebagai pajak daerah, namun demikian proporsi bagi hasil untuk daerah relatif rendah
untuk pajak yang termasuk sebagai pajak pusat. PBB-P2 dan BPHTB dialihkan menjadi dengan UU No.
28 Tahun 2009. pajak daerah dalam perkembangannya merupakan proses panjang yang dimulai melalui
mekanisme bagi hasil terutama dengan proporsi bagi hasil PBB dan BPHTB yang memang sudah besar
untuk daerah.
Untuk bagi hasil sumber daya alam (SDA), proporsi bagi hasil juga terkait dengan pengelolaan sumber
daya alam terkait oleh daerah. Penetapan propinsi Papua, Papua Barat, dan propinsi Nangroe Aceh
Darussalam sebagai wilayah yang memperoleh otonomi yang diperluas (otonomi khusus), berimplikasi
pada penetapan bagi hasil SDA untuk minyak bumi dan gas yang lebih besar untuk daerah.
Dasar pelaksanaan DBH Pajak tertuang dalam UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan
Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah serta PP Nomor 55 tentang Dana Perimbangan.
Selanjutnya untuk pelaksanaan DBH Cukai Hasil tembakau merupakan amanat dari UU Nomor 39 Tahun
2007 dan amanat MK 54/PUU-VI/2008. Sebagai pedoman mekanisme Penyaluran Dana Transfer pada
umumnya dan DBH pajak khususnya telah diterbitkan PMK No. 06/PMK.07/2012 tentang Pelaksanaan dan
Pertanggungjawaban Anggaran Transfer dan PMK No 165/PMK.07/2012 tentang Pengalokasian Anggaran
Transfer ke Daerah.
14.2. Bagi Hasil Pajak Bumi dan Bangunan Sektor Perkebunan, Perhutanan, dan
Pertambangan (PBB-P3)
Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) memiliki peran yang cukup besar bagi kelangsungan dan kelancaran
pembangunan, sehingga perlu ditangani dan dikelola lebih intensif. Penanganan dan pengelolaan
tersebut diharapkan mampu menuju tertib administrasi serta mampu meningkatkan partisipasi
masyarakat dalam pembiayaan pembangunan.
Subyek Pajak Bumi dan Bangunan adalah orang atau badan yang nyata-nyata memiliki dan/atau
menguasai bumi dan/atau bangunan. Obyek Pajak Bumi dan Bangunan adalah bumi dan bangunan.
Bumi adalah tubuh bumi, permukaan bumi atau tanah, bangunan yang ada di atasnya, perairan maupun
udara di atas tanah tersebut. Sedangkan yang dimaksud dengan bangunan adalah gedung, jalan, kolam
renang, pagar, tempat olahraga, dermaga, tanaman, dan lain-lain yang memberikan manfaat. Wajib pajak
adalah orang atau badan yang memenuhi. syarat-syarat obyektif yaitu yang memiliki obyek yang nilai
jualnya melebihi nilai minimum yang dibebankan dari pengenaan pajak.
Berdasarkan karakteristik objek pajaknya, Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dapat dikelompokan menjadi:
1) PBB Sektor Pedesaaan adalah objek PBB dalam suatu wilayah yang memiliki ciri-ciri pedesaan
seperti sawah, ladang, empang tradisional dan lain-lain.
2) PBB Sektor Perkotaan adalah objek PBB dalam suatu wilayah yang memiliki fasilitas perkotaan,
seperti: pemukiman penduduk yang memiliki fasilitas perkotaan, real state, komplek pertokoan,
industri, perdagangan daan jasa.
3) PBB Sektor Perkebunan adalah objek PBB yang diusahakan dalam bidang budidaya perkebunan,
baik yang diusahakan oleh BUMN, BUMD, maupun swasta.
4) PBB Sektor Perhutanan adalah objek PBB di bidang usaha yang menghasilkan komoditas hasil
hutan, seperti kayu tebangan, rotan, dammar, dan lain-lain.
5) PBB Sektor Pertambangan adalah objek PBB di bidang usaha yang menghasilkan komoditas hasil
tambang seperti emas, batubara, minyak, dan gas bumi dan lain-lain.
Dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah (selanjutnya disebut UU PDRD), maka PBB sektor Perdesaan dan Perkotaan (PBB P2) diserahkan
menjadi pajak daerah. Untuk itu Pemerintah Daerah (dalam hal ini pemerintah kabupaten/kota) harus
mengelola sendiri PBB P2. Selama ini PBB P2 dikelola dan dipungut oleh Pemerintah Pusat, kemudian
daerah menerima sebagian besar hasil pemungutannya. Dengan UU PDRD pengelolaan dan pemungutan
PBB P2 sepenuhnya menjadi menjadi tanggungjawab dan hak pemerintah daerah kota/kabupaten
tanpa harus ‘membagi’ kepada pemerintah pusat. Pemerintah Pusat dalam hal ini DJP (Direktorat
Jendral Pajak) Kementrian Keuangan bertanggung jawab mengelola PBB P2 sampai 31 Desember 2013
sepanjang belum dilaksanakan oleh Kabupaten/Kota berdasarkan Perda. Akan tetapi mulai 1 Januari 2014
pengelolaan PBB sepenuhnya menjadi tanggung jawab Kabupaten/Kota. Sementara itu, PBB P3 tetap
merupakan penerimaan pemerintah pusat yang dibagihasilkan dengan daerah
Ketika PBB P2 dikelola oleh pemerintah pusat maka Penerimaan Negara dari PBB dibagi
antara daerah provinsi, daerah kabupaten/kota dan pemerintah dengan rincian sebagai
berikut:
a. 10% Bagian Pemerintah pusat;
b. 16,2% Bagian provinsi yang bersangkutan;
c. 64,8% Bagian kabupaten/kota yang bersangkutan; dan
d. 9% Biaya pemungutan.
Bagian Pemerintah pusat sebesar 10% dibagi kembali ke daerah dengan rincian sebagai
berikut:
a. 6,5% dibagi secara merata kepada seluruh Kabupaten/Kota.
b. 3,5% dibagikan sebagai insentif kepada Daerah Kabupaten/ Kota yang realisasi
penerimaan PBB sektor pedesaan dan perkotaan pada TA sebelumnya mampu
mencapai/ melampaui rencana penerimaan yang ditetapkan.
Adapun penyaluran Dana Bagi Hasil PBB dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut:
a) Untuk DBH PBB bagian provinsi (16,2%) bagian kabupaten/kota (64,8%) dan biaya pemungutan
PBB (9%) dari sektor perdesaan, perkotaan, perkebunan, perhutanan dan pertambangan non
migas. Penyaluran dilaksanakan secara mingguan melalui penerbitan SPM oleh KPPN setempat
berdasarkan realisasi pembayaran PBB di masing-masing kabupaten/kota kecuali untuk penyaluran
DBH PBB sektor pertambangan migas dan sektor pertambangan panas bumi.
b) Untuk DBH PBB sektor pertambangan migas dan sektor pertambangan panas bumi bagian daerah,
alokasi sementara DBH PBB sektor pertambangan migas dan sektor pertambangan panas bumi yang
bersumber dari rencana penerimaan PBB sektor pertambangan migas dan sektor pertambangan
panas bumi dalam APBN tahun anggaran berjalan digunakan sebagai dasar penyaluran triwulan
I, II dan III tahun anggaran berjalan, masing-masing sebesar 25% dari alokasi sementara. Realisasi
PBB sektor pertambangan migas dan sektor pertambangan panas bumi tahun anggaran berjalan
ditetapkan sebagai alokasi definitif DBH PBB sektor pertambangan migas dan sektor pertambangan
panas bumi. Penyaluran triwulan IV merupakan selisih antara alokasi definitif dengan jumlah dana
yang telah dicairkan pada triwulan I s.d III. Khusus untuk alokasi DBH PBB sektor pertambangan
migas dihitung dengan formula yang memperhatikan jumlah penduduk, luas wilayah, PAD dan
potensi produksi sumber daya migas.
Penyaluran DBH PBB bagian pemerintah menggunakan alokasi sementara yang menjadi dasar penyaluran
tahap I dan II, dimana ditetapkan masing-masing sebesar 25% dan 50% dari perkiraan alokasi sementara.
Untuk penyaluran DBH PBB bagian pemerintah tahap III, prognosa realisasi penerimaan yang ditetapkan
oleh Ditjen Pajak digunakan sebagai dasar alokasi definitif. Penyaluran tahap III merupakan selisih antara
alokasi definitif dengan jumlah dana yang telah dicairkan selama tahap I dan II. Dalam penyaluran tahap
III ini disalurkan pula insentif kepada kabupaten dan/kota yang realisasi penerimaan PBB sektor Pedesaan
dan Perkotaan pada tahun anggaran sebelumnya mencapai/ melampaui rencana penerimaan yang
ditetapkan.
Perhitungan alokasi DBH PBB migas dan panas bumi ditatausahakan dengan ketentuan sebagai berikut:
1) PBB migas onshore dan panas bumi ditatausahakan berdasarkan letak dan kedudukan objek pajak
dan dibagi by origin;
2) PBB migas offshore dan PBB migas tubuh bumi ditatausahakan per kabupaten/kota dengan
menggunakan formula dan dibagi sesuai persentase DBH PBB, dimana perhitungan PBB migas
offshore dan PBB migas tubuh bumi per kabupaten/kota dari PBB migas yang ditanggung
Pemerintah ditetapkan:
• 10% menggunakan formula
• 90% dibagi secara proporsional sesuai realisasi PBB migas tahun anggaran sebelumnya.
Perhitungan alokasi DBH PBB migas dan panas bumi ditatausahakan dengan ketentuan sebagai berikut:
1) PBB migas onshore dan panas bumi ditatausahakan berdasarkan letak dan kedudukan objek pajak
dan dibagi by origin;
2) PBB migas offshore dan PBB migas tubuh bumi ditatausahakan per kabupaten/kota dengan
menggunakan formula dan dibagi sesuai persentase DBH PBB, dimana perhitungan PBB migas
offshore dan PBB migas tubuh bumi per kabupaten/kota dari PBB migas yang ditanggung
Pemerintah ditetapkan:
• 10% menggunakan formula
• 90% dibagi secara proporsional sesuai realisasi PBB migas tahun anggaran sebelumnya.
Formula yang digunakan untuk menghitung PBB migas yang ditanggung pemerintah:
PBB Migas
20% x rasio JP + 10% x rasio LW Off Shore dan
PBB per Kabupaten/ Kota = + (5% x rasio PAD + (65% x rasio x PBB Migas tubuh
lifting Migas) bumi
PBB migas yang dibayar langsung oleh KKKS ke bank persepsi menggunakan formula:
PBB Migas
Off Shore dan
PBB per Kabupaten/ Kota = Rasio lifting Migas x PBB Migas tubuh
bumi
14.3. Bagi Hasil Pajak Penghasilan (DBH PPh Pasal 21 dan Pasal 25/29 Wajib Pajak Orang
Pribadi Dalam Negeri)
Pajak penghasilan adalah pajak yang dikenakan atas tambahan kemampuan ekonomis dalam bentuk
apapun, baik diperoleh dari Indonesia atau luar negeri, digunakan untuk konsumsi atau menambah
kekayaan wajib pajak. Secara umum ada dua jenis pajak penghasilan, yaitu (i) pajak penghasilan (PPh)
badan dan (ii) pajak penghasilan (PPh) individu. PPh Badan tidak dibagihasilkan dan sepenuhnya menjadi
pendapatan pemerintah pusat. Sedangkan PPh Individu termasuk jenis yang dibagihasilkan dengan
daerah otonom. Jenis PPh yang dibagihasilkan adalah PPh yang diatur pada pasal 21 dan pasal 25/29.
Pajak penghasilan Pasal 21 adalah pajak atas penghasilan atas gaji, upah, honorarium, tunjangan, dan
pembayaran lain dengan nama dan dalam bentuk apapun sehubungan dengan pekerjaan atau jabatan,
jasa, dan kegiatan yang dilakukan oleh WPOP dalam negeri. Pajak Penghailan Pasal 21 dipotong, disetor,
dan dilaporkan oleh Pemotong Pajak, yaitu pemberi kerja, bendaharawan pemerintah, dana pensiun,
badan, perusahaan dan penyelenggaraan kegiatan. Pelaporan penerimaan PPh Pasal 21 dilakukan
berdasarkan tempat kerja
PPh Pasal 25 terkait dengan Pajak Penghasilan orang pribadi dalam negeri yang menjalankan kegiatan
usaha atau pekerjaan bebas atau memperoleh penghasilan teratur lainnya yang bersifat tidak final yang
diangsur setiap bulannya. Sedangkan PPh Pasal 29 adalah Pajak Penghasilan yang harus dilunasi oleh
Wajib Pajak Orang Pribadi sebagai akibat PPh Terutang dalam Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Pajak
Penghasilan lebih besar dari pada kredit pajak yang telah disetor sendiri. Pencatatan penerimaan PPh
Pasal25/29 berdasarkan asas domisili wajib pajak
Secara umum dapat dikatakan bahwa PPh pasal 21 adalah pajak yang dikenakan atas penghasilan yang
diterima dari pemberi kerja, sedangka PPh pasal 25 adalah pajak yang harus dibayar sendiri oleh wajib
pajak pada tiap bulan.
Objek pajak penghasilan, yaitu:
a) Penghasilan yang diterima atau diperoleh pegawai tetap, baik berupa penghasilan yang bersifat
teratur maupun tidak teratur;
b) Penghasilan yang diterima atau diperoleh penerima pensiun secara teratur berupa uang pensiun
atau penghasilan sejenisnya;
c) Penghasilan sehubungan dengan pemutusan hubungan kerja dan penghasilan sehubungan
dengan pensiun yang diterima secara sekaligus berupa uang pesangon, uang manfaat pensiun,
tunjangan hari tua atau jaminan hari tua, dan pembayaran lain sejenis;
d) Penghasilan pegawai tidak tetap atau tenaga kerja lepas, berupa upah harian, upah mingguan,
upah satuan, upah borongan, atau upah yang dibayarkan secara bulanan;
e) Imbalan kepada bukan pegawai, antara lain berupa honorarium, komisi, fee, dan imbalan sejenis
dengan nama dan dalam bentuk apapun sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan, jasa,
dan kegiatan yang dilakukan;
f) Imbalan kepada peserta kegiatan, antara lain berupa uang saku, uang representasi, uang rapat,
honorarium, hadiah atau penghargaan dengan nama dan dalam bentuk apapun, dan imbalan
sejenis dengan nama apapun.
Penerimaan Negara dari PPh Pasal 21 dan Pasal 25/29 WPOPDN yang dibagihasilkan ke daerah sebesar
20% dari realisasi penerimaan PPh Pasal 21 dan Pasal 25/29 WPOPDN dengan rincian sebagai berikut:
a) Bagian Provinsi sebesar 8%.
b) Bagian Kabupaten atau Kota sebesar 12%, dengan rincian:
1) 8,4% untuk kabupaten/kota tempat wajib pajak terdaftar
2) 3,6% untuk seluruh kabupaten/kota dalam provinsi yang bersangkutan dengan bagian yang
sama besar.
Penyaluran DBH PPh Pasal 21 dan Pasal 25/29 WPOPDN dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut:
a) Alokasi sementara, yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan paling lambat 2 (dua) bulan sebelum
tahun anggaran yang bersangkutan dilaksanakan, digunakan sebagai dasar penyaluran triwulan I, II
dan III tahun anggaran berjalan masing-masing sebesar 20% dari alokasi sementara.
b) Alokasi definitif, yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan paling lambat pada bulan pertama
triwulan IV tahun anggaran berjalan, digunakan sebagai dasar penyaluran triwulan IV dengan
memperhitungkan jumlah dana yang telah dicairkan selama triwulan I, II dan III.
Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT) merupakan dana bagi hasil yang diberikan pemerintah
pusat kepada pemerintah daerah penghasil dari pembayaran pajak berupa cukai tembakau. Pembayar
cukai tembakau adalah konsumen pemakai bahan baku produksi yang memiliki pita cukai dan hasil
tembakau mentah yang dijualbelikan untuk produksi pabrik
Sesuai amanat UU 39 Tahun 2007 mulai tahun 2008 cukai hasil tembakau dibagihasilkan sebesar 2%
dari penerimaan cukai hasil tembakau kepada kabupaten/kota/provinsi yang menghasikan cukai hasil
tembakau dengan rincian pembagian sebagai berikut:
a) 30% untuk provinsi penghasil
b) 40% untuk kabupaten/kota penghasil
c) 30 % untuk kabupaten/kota lainnya
Penggunaan DBH CHT bersifat specific grant yaitu untuk :
a) Peningkatan kualitas bahan baku
b) Pembinaan industri
c) Pembinaan lingkungan sosial
d) Sosialisasi ketentuan di bidang cukai
e) Pemberantasan barang kena cukai ilegal.
Melalui keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 54/PUU-VI/2008 tanggal 14 April 2009, DBH CHT yang
semula hanya dibagihasilkan kepada daerah penghasil cukai hasil tembakau, mulai tahun 2010 juga
dibagihasilkan kepada daerah penghasil tembakau.
Pembagian alokasi DBH CHT per provinsi sesuai PMK No 197/PMK.07/2012 tentang Alokasi Definitif Dana
Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau adalah sebagai berikut :
a) Penerimaan cukai hasil tembakau sebesar 57,5%;
b) Rata-rata produksi tembakau kering sebesar 37,5%;
c) Indeks Pembangunan Manusia sebesar 3%;
d) Tingkat penyerapan CHT sebesar 1%; dan
e) Tingkat pemberantasan cukai ilegal sebesar 1%.
Setelah alokasi DBH CHT per provinsi ditetapkan, selanjutnya pembagian alokasi DBH CHT untuk bagian
provinsi dan kabupaten/kota dalam provinsi, merupakan wewenang gubernur yang dituangkan dalam
Peraturan Gubernur.
Sesuai dengan PMK Nomor 06/PMK.07/2012 penyaluran DBH CHT dilakukan secara triwulanan dengan
perincian sebagai berikut:
a) Triwulan I sebesar 20% dari alokasi sementara.
b) Triwulan II sebesar 30% dari alokasi sementara
c) Triwulan III sebesar 30% dari alokasi sementara
d) Triwulan IV selisih antara alokasi definitif dengan alokasi yang sudah disalurkan pada triwulan I s.d
triwulan IV
Khusus untuk penyaluran triwulan IV dipersyaratkan laporan realisasi penggunaan alokasi DBH CHT
semester I tahun anggaran bersangkutan.
Deskripsi:
Topik ini menjelaskan tentang :
1. Filosofis, konsep dan kebijakan DBH SDA. 2. Berbagai jenis DBH SDA di Indonesia
3. Prinsip pengalokasian DBH SDA dan mekanisme penyalurannya.
Alokasi DBH SDA (Migas, Formula Bagi Hasil, Perhitungan Perkiraan, Realisasi
Pertambangan Umum,
Kehutanan, Perikanan, Panas
Bumi)
Latihan/Diskusi
Referensi:
Referensi
1. UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan
Pemerintahan Daerah.
2. PP No. 55 Tahun 2005 tentang Dana Perimbangan.
3. Bappenas - LPEM UI (2000)
4. Nota Keuangan RAPBN Tiap Tahunnya dapat di download dari web
http://www.anggaran.depkeu.go.id
5. Pelengkap Buku Pegangan Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah,
Pelaksanaan Desentralisasi Fiskal di Indonesia, berbagai tahun, dapat di download dari
http://www.djpk.depkeu.go.id/
6. Peraturan Menteri Keuangan No. 06/2012
7. Peraturan Menteri Keuangan No. 165/2012
Sumber penerimaan SDA adalah bersifat Non Renewable Resources atau tidak dapat diperbaharui.
Hal ini telah menjadi bahan diskusi para akademisi di berbagai Negara mengenai batasan dan kriteria
penerimaan SDA mana yang dapat dibagihasilkan kepada daerah. Beberapa sektor SDA yang menurut
best practices dapat dibagihasilkan antara lain sumber daya mineral yang berasal dari minyak bumi, gas
bumi, pertambangan umum, dan geothermal karena diasumsikan memiliki keterbatasan input dan tidak
terbarukan. Namun demikian, terdapat sektor SDA lainnya seperti kehutanan dan perikanan dapat pula
dibagihasilkan walaupun secara teoritis termasuk sumber daya yang terbarukan (replenishable) karena
hal ini dimungkinkan dengan asumsi masa pemulihan yang relatif lama, tingkat eksploitasi dan konsumsi
lebih tinggi daripada upaya untuk memperbaharuinya, dan memiliki nilai ekonomi yang cukup signifikan
terhadap penerimaan negara.
Di Indonesia, Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam (DBH SDA) adalah Pendapatan Negara dari SDA yang
dibagihasilkan dengan daerah dimana lokasi SDA itu berasal. DBH SDA merupakan salah satu bentuk
dana transfer ke daerah yang merupakan bagian dari dana perimbangan dan sangat penting bagi
daerah-daerah yang memiliki SDA di daerahnya. Sebagai bagian dari dana transfer, DBH lebih ditujukan
untuk mengurangi ketimpangan vertikal, yaitu ketimpangan antara Pusat dan Daerah. Pembagian hasil
pendapatan Negara dari SDA ke daerah didasari oleh alasan antara lain:
Selain social cost, hal lain yang paling banyak membutuhkan biaya adalah biaya infrastruktur. Eksplorasi
dan Eksploitasi SDA harus difasilitasi dengan infrastruktur pendukung agar dapat memperlancar proses
produksi dan transportasi termasuk jalan, utilitas umum, fasilitas pelabuhan, dan infrastruktur pendukung
lainnya. Biaya-biaya lainnya yang perlu diantisipasi adalah terkait dengan pelayanan kepada masyarakat
sekitar lokasi produksi bahkan dapat lebih besar daripada biaya untuk melayani pegawai perusahaan
yang meliputi biaya pendidikan, kesehatan, penegakan hukum, dan pelayanan masyarakat umum lainnya.
Meskipun menurut UUD 45 SDA adalah milik Negara, namun SDA seringkali dianggap sebagai “warisan”
oleh masyarakat di daerah penghasil yang dapat dijadikan sumber bagi kesejahteraan masyarakat di
daerah tersebut. Berbeda dengan warisan keindahan alam dan budaya untuk pariwisata yang masa
“eksploitasi”nya tidak terbatas, SDA dibatasi oleh jumlah kandungan deposit cadangan mineral yang
tidak dapat diperbaharui. Apabila dibandingkan dengan sektor perpajakan yang selalu meningkat seiring
dengan pertumbuhanan ekonomi dan jumlah penduduk, SDA dibatasi hanya pada masa tertentu sesuai
dengan dengan periode eksploitasinya yang suatu ketika akan berakhir. Dengan demikian, argumen
bahwa SDA yang bersifat terbatas harus dioptimalkan untuk meningkatkan penerimaan negara dan
terutama bagi daerah penghasil dan daerah lain di sekitarnya dalam satu provinsi.
Meskipun demikian, keberadaan DBH SDA memiliki berbagai permasalahan, antara lain:
1) DBH SDA berpotensi tidak stabil
Pendapatan yang bersumber dari DBH SDA secara inheren tidak stabil, sehingga alokasi belanja
dalam APBD untuk penyediaan pelayanan di daerah tidak boleh bertumpu pada sumber pendanaan
yang tidak stabil.
2) DBH SDA berpotensi menimbulkan ketimpangan keuangan antar daerah
Tujuan utama dari pelaksanaan bagi hasil sumber daya alam adalah untuk mengurangi ketimpangan
vertikal (memenuhi kebutuhan belanja daerah penghasil). Namun disisi lain, DBH SDA berpotensi
menimbulkan ketimpangan antar daerah, karena sumberdaya alam yang belokasi di daerah tertentu saja.
Dasar hukum DBH SDA saat ini adalah Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 yang ditindaklanjuti
dengan Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2005. Pada Pasal 1 ayat 20, disebutkan:
Dana Bagi Hasil adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada
daerah berdasarkan angka persentase untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka
pelaksanaan Desentralisasi.
Dari definisi di atas terlihat bahwa DBH SDA ditujukan untuk membiayai kebutuhan pendanaan tugas
daerah karena desentralisasi, bukan tugas Pusat di daerah. DBH dialokasikan berdasarkan prinsip by
origin, yaitu ke daerah penghasil (baik daerah propinsi maupun daerah kabupaten/kota). Sedangkan
penyaluran DBH dilakukan berdasarkan prinsip by actual, dimana besarnya DBH yang disalurkan kepada
daerah didasarkan atas realisasi penyetoran Penerimaan Negara Pajak (PNP) dan Penerimaan Negara
Bukan Pajak (PNBP) tahun anggaran berjalan.
DBH SDA yang diatur saat ini berasal dari PNPB bidang kehutanan, pertambangan umum, perikanan,
pertambangan minyak bumi, pertambangan gas bumi, dan pertambangan panas bumi. Perhitungan
Dana Bagi Hasil SDA dilakukan berdasarkan Penerimaan Negara bukan Pajak dari masing-masing jenis
sumber daya alam yang menurut ketentuan Undang-Undang Nomor 33 tahun 2004 dibagihasilkan
kepada daerah. Dasar perhitungan DBH SDA adalah sebagai berikut:
1) DBH SDA Minyak bumi, dihitung berdasarkan produksi minyak yang terjual (lifting) dan produksi
gas yang terjual dari masing-masing Kontraktor Kontrak Kerjasama (KKKS) setelah dikurangi dengan
Domestic Market Obligation (DMO), Fee Usaha Hulu Migas, Pajak-pajak (PPN dan PBB), serta Pajak
Daerah dan Retribusi Daerah.
2) DBH SDA Pertambangan Umum, dihitung berdasarkan penerimaan dari iuran yang diterima negara
sebagai imbalan atas kesempatan penyelidikan umum, eksplorasi atau eksploitasi pada suatu
wilayah kerja (Landrent) dan iuran produksi pemegang kuasa usaha pertambangan atas hasil dari
kesempatan eksplorasi/eksploitasi (Royalty).
3) DBH SDA Kehutanan, dihitung berdasarkan penerimaan negara dari Iuran Izin Usaha Pemanfaatan
Hutan (IIUPH), Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH), dan Dana Reboisasi (DR). IIUPH merupakan
pungutan yang dikenakan kepada Pemegang Izin Usaha Pemanfaatan Hutan atas suatu kawasan
hutan tertentu yang dilakukan sekali pada saat izin usaha diberikan. PSDH adalah pungutan yang
dikenakan sebagai pengganti nilai intrinsik dari hasil yang dipungut dari Hutan Negara. Sedangkan
DR adalah dana yang dipungut dari Pemegang Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan dari Hutan
Alam yang berupa kayu dalam rangka reboisasi dan rehabilitasi hutan.
4) DBH SDA Perikanan, dihitung berdasarkan Pungutan Pengusahaan Perikanan (P3) dan Pungutan
Hasil Perikanan (PHP). Pungutan Pengusahaan Perikanan adalah pungutan negara yang dikenakan
kepada pemegang Izin Usaha Perikanan dan/ atau Persetujuan Penggunaan Kapal Asing (PPKA)
sebagai imbalan atas kesempatan yang diberikan oleh Pemerintah untuk melakukan usaha
perikanan dalam Wilayah Perikanan Republik Indonesia. Pungutan Hasil Perikanan adalah pungutan
negara yang dikenakan kepada pemegang Surat Penangkapan Ikan (SPI) dan atau Surat Izin Kapal
Penangkap dan Pengangkut Ikan Indonesia (SIKPPII) dan atau Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI)
sesuai dengan hasil produksi perikanan yang diperoleh dan dijual di dalam negeri dan atau luar
negeri.
5) DBH SDA Panas Bumi, dihitung berdasarkan setoran bagian Pemerintah setelah dikurangi
kewajiban perpajakan dan pungutan lainnya atas dasar kontrak pengusahaan panas bumi yang
ditandatangani sebelum Undang-undang Nomor 27 Tahun 2003 tentang Panas Bumi ditetapkan
dan Iuran Tetap dan Iuran Produksi. Iuran Tetap merupakan iuran yang dibayarkan kepada negara
sebagai kesempatan atas eksplorasi, studi kelayakan, dan ekspoitasi pada suatu wilayah, sedangkan
Iuran Produksi adalah iuran yang diberikan kepada negara atas hasil yang diperoleh dari usaha
pertambangan panas bumi.
Dana Bagi Hasil SDA memegang peranan cukup dominan dalam memberikan kontribusi terhadap
penerimaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) terutama kepada daerah-daerah penghasil
yang bersumber dari Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara (APBN).
Penerimaan DBH SDA diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2005, bersumber dari PNBP
dalam APBN yang dibagihasilkan kepada daerah dengan angka persentase tertentu didasarkan atas
daerah penghasil untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. DBH SDA
berasal dari penerimaan:
a. Pertambangan Minyak Bumi;
b. Pertambangan gas Bumi;
c. Pertambangan umum;
d. Pertambangan Panas Bumi;
e. Kehutanan; dan
f. Perikanan.
Alokasi DBH SDA ditunjukkan dalam skema berikut ini:
Bagi Hasil
Sumber Iuran Hak Pusat 20%
Daya Alam Penguasaan Provinsi (16%)
Hutan (IHPH) Daerah 80%
Kabupaten/Kota (64%)
Provisi Sumber Pusat 20% Provinsi (16%)
Kehutanan Daya Hutan
(PSDH) Daerah 80% Kabupaten/Kota Penghasil (32%)
Pungutan
Pusat 20%
Pengusahaan
Perikanan
Perikanan
Pungutan Hasil
Kabupaten/Kota 80%
Perikanan
Pusat 84,5% Kabupaten/Kota Penghasil (6,2%) 0,2% Untuk Anggaran Pendidikan Dasar
Pertambangan
Minyak Bumi Daerah 15,5% Kabupaten/Kota Dalam 1 Provinsi (6,2%) 0,2% Untuk Anggaran Pendidikan Dasar
Pertambangan Pusat 69,5% Kabupaten/Kota Penghasil (12,2%) 0,2% Untuk Anggaran Pendidikan Dasar
Gas Bumi
Daerah 30,5% Kabupaten/Kota Dalam 1 Provinsi (12,2%) 0,2% Untuk Anggaran Pendidikan Dasar
1. DBH SDA Pertambangan Minyak dan Gas Bumi (DBH SDA Migas)
Seluruh Kab/Kota
dalam provinsi yang 5% 15% 6% Kab/ Kota Penghasil
bersangkutan
6% Kab/Kota dalam provinsi yang bersangkutan
+
Provinsi Penghasil 0,17% 0,1% Provinsi Yang bersangkutan
Seluruh Kab/Kota
0,5%
dalam provinsi yang 0,33% 0,2% Kab/ Kota Penghasil
bersangkutan
Untuk
Pendidikan
Dasar 0,2% Kab/Kota dalam provinsi yang bersangkutan
Seluruh Kab/Kota
dalam provinsi yang 20% 30% 12% Kab/ Kota Penghasil
bersangkutan
12% Kab/Kota dalam provinsi yang bersangkutan
+
Provinsi Penghasil 0,17% 0,1% Provinsi Yang bersangkutan
Seluruh Kab/Kota
0,5%
dalam provinsi yang 0,33% 0,2% Kab/ Kota Penghasil
bersangkutan
Pola pembagian tersebut tidak berlaku untuk Daerah Otonomi Khusus yaitu Provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam (NAD) dan Papua Barat, selain mendapatkan DBH Migas, daerah otonomi khusus tersebut
mendapatkan tambahan DBH Migas yang merupakan bagian dari penerimaan pemerintah provinsi
dengan ketentuan sebagai berikut:
• bagian dari pertambangan Minyak Bumi sebesar 55%; dan
• bagian dari pertambangan Gas Bumi sebesar 40%.
Perkiraan DBH SDA Migas per provinsi/kabupaten/kota yang dihitung oleh Ditjen Perimbangan
Keuangan, selanjutnya dituangkan ke dalam Peraturan Menteri Keuangan mengenai Perkiraan Alokasi
Dana Bagi Hasil SDA Migas. Dalam perhitungan tersebut, data yang digunakan disupply oleh berbagai
instansi, antara lain:
a) Prognosa lifting per daerah penghasil berdasarkan Surat Keputusan Menteri Energi dan Sumber
Daya Mineral tentang Penetapan Daerah Penghasil Migas dan Dasar Perhitungan DBH SDA Migas;
b) Surat Dirjen Anggaran-Kementerian Keuangan tentang Perkiraan PNBP Migas per KKKS (per jenis
minyak khusus untuk minyak bumi, kecuali PT PERTAMINA EP).
Dalam perhitungan, Ditjen Perimbangan Keuangan melakukan grouping per KKKS (per jenis minyak
khusus untuk minyak bumi, kecuali PT PERTAMINA EP) berdasarkan data Prognosa lifting dalam Surat
Keputusan Menteri ESDM tentang penetapan daerah penghasil Migas dan Dasar Perhitungan DBH SDA
Migas yang disampaikan oleh Ditjen Migas dengan data perkiraan PNBP per KKKS yang disampaikan
Ditjen Anggaran. Lifting yang tersusun perdaerah penghasil per KKKS pada data Ditjen migas dikonsolidasi
dengan data lifting per KKKS dari Ditjen Anggaran sehingga didapatkan data lifting per KKKS per
daerah penghasil; data hasil grouping tersebut di persentasekan dengan total lifting per KKKS sehingga
didapat rasio lifting per KKKS per daerah penghasil. Rasio lifting dimaksud untuk mengetahui porsi
lifting yang dihasilkan KKKS pada daerah penghasil tertentu. Rasio tersebut dikalikan dengan PNBP per
KKKS (sebagaimana yang tercantum dalam Surat Dirjen Anggaran tentang Perkiraan PNBP Migas) untuk
mengetahui PNBP per KKKS per daerah penghasil. PNBP per KKKS per daerah penghasil yang berada
pada daerah penghasil yang sama dijumlahkan sehingga didapatkan PNBP per daerah penghasil. PNBP
per daerah penghasil dihitung porsi DBH-nya untuk bagian Pemerintah, daerah penghasil, dan daerah
pemerataan berdasarkan undang-undang dan peraturan pemerintah. porsi DBH dari masing-masing
daerah penghasil tersebut dijumlah sehingga didapat perkiraan alokasi DBH SDA Migas per provinsi/
kabupaten/kota untuk selanjutnya ditetapkan dalam peraturan Menteri Keuangan.
2) dana yang dibagihasilkan adalah penerimaan negara dari wilayah daerah yang bersangkutan
setelah dikurangi komponen pajak dan pungutan lainnya sesuai peraturan perundang-undangan;
3) mekanisme perhitungan realisasi DBH SDA Migas hampir sama dengan penghitungan perkiraan
alokasi DBH SDA Migas, yang membedakannya adalah data yang dirasiokan yakni data Realisasi
Gross Revenue, sedangkan pada mekanisme penghitungan perkiraan alokasi DBH SDA Migas
yang digunakan adalah data prognosa lifting. Hal ini dikarenakan Realisasi Gross Revenue sudah
berbentuk satuan mata uang, sehingga perhitungan yang dihasilkan dianggap lebih mendekati
dibanding jika menggunakan realisasi lifting;
4) Data yang disajikan baik oleh Ditjen Migas maupun Ditjen Anggaran dalam mekanisme
penghitungan realisasi DBH SDA Migas ini merupakan kumulatif triwulanan, sehingga dikenal data
realisasi triwulan I, realisasi s.d. triwulan II, realisasi s.d. triwulan III, dan realisasi s.d. triwulan IV.
Proses pelaksanaan perhitungan dalam dilihat pada diagram berikut:
DEP. KEU
Dit. PNBP DJA
PNBP per Daerah
PNBP per KKKS
Dep. Keu
DJP
PBB. MIGAS
DBH per Daerah
Hasil rekonsiliasi dituangkan dalam berita acara rekonsiliasi yang kemudian menjadi dasar penyaluran
DBH SDA Migas ke rekening umum kas provinsi/kabupaten/kota penerima DBH SDA Migas.
Format penyaluran DBH SDA Migas sudah mengalami beberapa perubahan sejalan dengan kebijakan
Dirjen Perimbangan Keuangan. Penyaluran DBH Migas mulai dari tahun 2008 dilakukan secara triwulan
dengan ketentuan sebagai berikut:
a) Penyaluran DBH Migas triwulan I dan triwulan II masing-masing dilaksanakan sebesar 20% dari
pagu perkiraan alokasi sebagaimana ditetapkan dalam Peraturan Menteri Keuangan. DBH SDA
Migas triwulan I disalurkan pada bulan Maret dan triwulan II pada bulan Juni;
b) Penyaluran DBH Migas triwulan III memperhitungkan realisasi DBH SDA Migas bulan Desember
s.d. Mei dikurangi penyaluran triwulan I dan triwulan II. DBH SDA Migas triwulan III disalurkan pada
bulan September;
c) Penyaluran DBH Migas triwulan IV memperhitungkan realisasi DBH SDA Migas bulan Desember s.d.
Agustus dikurangi penyaluran triwulan I s.d. triwulan III. DBH SDA Migas triwulan IV disalurkan pada
bulan Desember;
d) Penyaluran DBH Migas rampung (bersumber dari dana cadangan) memperhitungkan realisasi DBH
SDA Migas bulan Desember s.d. November (satu tahun anggaran) dikurangi penyaluran triwulan
I s.d. triwulan IV dengan batas maksimal sebesar pagu perkiraan alokasi sebagaimana ditetapkan
dalam Peraturan Menteri Keuangan. Sisa rampung DBH SDA Migas tersebut disalurkan pada bulan
Februari tahun anggaran berikutnya;
e) Apabila penyaluran DBH SDA Migas terdapat kekurangan yakni Pemerintah kurang bayar, maka
penyaluran dilakukan melalui mekanisme APBN dan/atau APBN-P tahun berikutnya;
f) Realisasi penyaluran DBH SDA Migas tidak boleh melebihi 130% dari asumsi dasar harga Minyak
dan Gas Bumi dalam APBN. Apabila melebihi maka penyaluran dilakukan melalui mekanisme APBN
Perubahan.
DitJen Pajak
DJA/DPNBP DJPK
SPM
PBB Perhitungan Dengan Ratio
PNBP Per KKKS
PNBP Netto per Daerah
DJPB
BP. MIGAS DBH Migas Per Daerah
DIPA
Lifting, Gross, Revenue,
Cost Recovery, FTP,
Lifting BGN Pemerintah, DitJen Migas
PPN SP2D
Lifting
Pemda BI
KKKS
Selanjutnya mekanisme penyaluran DBH Migas dan proporsi pencairan dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
Tabel 15.1.
Pola Penyaluran DBH Pertambangan Minyak Bumi dan
Gas Bumi
Triwulan Periode Realisasi Besaran Penyaluran Waktu
Penyaluran
I Tidak mempertimbangkan 20% dari perkiraan alokasi Maret
realisasi
II Tidak mempertimbangkan 20% dari perkiraan alokasi Juni
realisasi
III Desember s/d Mei Realisasi dikurangi penyaluran September
Tw I dan Tw II
IV Desember s/d Agustus Realisasi dikurangi penyaluran Desember
Tw I s/d Tw III
V Desember s/d November Realisasi dikurangi penyaluran Februari
Tw I s/d Tw IV
Pada Departemen ESDM. Dalam peraturan tersebut, tarif iuran tetap merupakan tarif satuan atas nilai
US$ per luas area eksploitasi/eksplorasi (hektar). Besarnya tarif dibedakan atas dasar tahap kegiatan dan
status (perpanjangan atau tidak) untuk Kuasa Pertambangan, tarif iuran tetap yang dikenakan pada Kuasa
Pertambangan merupakan tarif satuan atas nilai rupiah per satuan luas eksploitasi/ eksplorasi (hektar)
dan besarnya tarif juga dibedakan atas dasar tahap kegiatan dan status (perpanjangan atau tidak).
Pemungutan iuran tetap, yang dikenakan di sektor pertambangan dilakukan setiap semester.
Iuran Eksplorasi/Eksploitasi (royalty) adalah iuran produksi yang diterima Negara dalam hal Pemegang
Kuasa Pertambangan Eksplorasi mendapat hasil berupa bahan galian yang tergali atas kesempatan
eksplorasi yang diberikan kepadanya serta atas hasil yang diperoleh dari usaha pertambangan eksploitasi
satu atau lebih bahan galian. Royalty adalah pembayaran kepada Pemerintah berkenaan dengan produksi
mineral yang berasal dari area penambangan. Royalti harus dibayar dalam satuan rupiah atau satuan
lainnya yang disetujui bersama. Tarif royalti untuk pertambangan mineral dan batubara ditetapkan
melalui Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2003, tarif royalti bersifat advalorem (dalam persentase)
dan dikenakan terhadap harga jual yang telah dikalikan dengan jumlah produksi.
Besarnya tarif berbeda-beda untuk setiap jenis dan kualitas bahan galian. Peraturan Pemerintah Nomor
45 Tahun 2003 ini juga memasukkan peraturan mengenai besarnya tarif royalti untuk bahan tambang
batubara. Sebelumnya pengenaan royalti untuk batubara sudah termasuk dalam bagian Pemerintah
dari Dana Hasil Produksi Batubara (DHPB) yang diatur dalam Keputusan Presiden Nomor 75 Tahun 1996.
Dalam peraturan tersebut, Pemerintah mendapat 13,5% dari produksi batubara (dana hasil produksi
batubara/DHPB). Bagian Pemerintah sebesar 13,5% tersebut sudah mencakup pembayaran royalti yang
diestimasikan sebesar 3,3% dari 13,5% DHPB.
Iuran Tetap (landrent/deadrent) adalah seluruh penerimaan iuran yang diterima Negara sebagai imbalan
atas kesempatan penyelidikan umum, eksplorasi atau eksploitasi pada suatu Wilayah Kuasa Pertambangan
(dalam hal ini termasuk Kontrak Karya dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara).
Selanjutnya untuk perhitungan DBH SDA Pertambangan umum sebagaimana diatur dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 55 Tahun 2005, bagian daerah dari landrent adalah sebesar 80% dengan rincian 16% untuk
provinsi yang bersangkutan dan 64% untuk kabupaten/kota penghasil (lihat gambar 3.9). Untuk bagian daerah
dari royalti adalah sebesar 80% dengan rincian 16% untuk provinsi yang bersangkutan, 32% untuk kabupaten/
kota penghasil, dan 32% untuk kabupaten/kota lainnya dalam provinsi yang bersangkutan.
DitJen Pajak
Provinsi Kab/ Kota Penghasil Provinsi Kab/ Kota Penghasil Kab/Kota lain dalam
provinsi yang
bersangkutan
16% 64% 16% 32%
32%
Selanjutnya, porsi pembagian DBH SDA Pertambangan Umum berdasarkan jenis DBH dapat dilihat pada tabel
di bawah ini.
Tabel 15.2.
Porsi Pembagian DBH SDA Pertambangan Umum
JENIS DBH PERTAMBANGAN % PORSI
UMUM UNTUK DAERAH UNTUK PROV KAB/ KOTA KAB/
DAERAH PENGHASIL KOTA LAIN
DALAM
PROV
LAND RENT PENGHASIL KAB/KOTA 80% 16% 64% -
LAND RENT PENGHASIL PROVINSI 80% 80% - -
ROYALTI PENGHASIL KAB/KOTA 80% 16% 32% 32%
ROYALTI PENGHASIL PROVINSI 80% 26% - 54%
Dana Bagi Hasil SDA Kehutanan berasal dari Penerimaan Negara Bukan Pajak dari sektor kehutanan terdiri:
a) Iuran Izin Usaha Pemanfaatan Hutan (IIUPH); adalah pungutan yang bersifat license fee (terkait
dengan perizinan) yang dikenakan kepada Pemegang Izin Usaha Pemanfaatan Hutan atas suatu
kawasan hutan tertentu yang dilakukan sekali pada saat izin tersebut diberikan. Tarif IIUPH terakhir
diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 59 Tahun 1998. Di dalam peraturan tersebut dinyatakan
bahwa tarif yang dikenakan adalah tarif satuan Rupiah per satuan luas Hak Pengusahaan Hutan (HPH)
(hektar). Besarnya tarif tergantung dari (1) kategori wilayah dan (2) status HPH (baru/ perpanjangan/
HPHTI). IHPH dikenakan satu kali untuk jangka waktu berlakunya HPH (atau sekitar 20 tahun).
b) Dana Reboisasi (DR); adalah dana yang dipungut dari pemegang Izin Usaha Pemanfaatan Hasil
Hutan dari Hutan Alam yang berupa kayu dalam rangka reboisasi dan rehabilitasi hutan.
c) Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH); adalah pungutan yang dikenakan sebagai pengganti nilai
intrinsik dari hasil yang dipungut dari Hutan Negara.
Tarif PSDH tertuang dalam Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor 859/Kpts-
II/1999. Dalam peraturan tersebut, tarif yang dikenakan adalah tarif satuan Rupiah per m3, yang besarnya
tergantung dari (1) kategori wilayah dan (2) kelompok jenis kayu/bukan kayu. Provisi Sumber Daya Hutan
(PSDH) dikenakan terhadap pemegang HPH, pemegang Hak Pemungutan Hasil Hutan (HPHH) dan
pemegang Izin Pemanfaatan Kayu (IPK) (lihat Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 juga Peraturan
Pemerintah Nomor 6 Tahun 1999). Pada HPH, untuk penyaluran produksi ke industri terkait dengan HPH,
pembayaran dilakukan oleh pihak industri penerima. Untuk produksi yang disalurkan ke industri yang tidak
terkait dengan pemegang HPH, pembayaran dilakukan oleh pemegang HPH pada saat pengangkutan.
Pembayaran dilakukan setiap bulan atas dasar produksi bulan sebelumnya, disetor langsung ke Rekening
Menteri Kehutanan dan Perkebunan.
Perhitungan jumlah kayu yang dikenai kewajiban untuk membayar PSDH dan Dana Reboisasi didasarkan
dari Laporan Hasil Penebangan (LHP). Sistem pelaporan produksi hasil hutan tersebut bersifat self
assessment yaitu perusahaan pemegang HPH mengisi volume produksi dan jenis tanaman. Setelah
itu diterbitkan dokumen Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan (SKSHH) yang sebelumnya disebut Surat
Angkutan Kayu Olahan (SAKO). Pengesahan LHP dilakukan setelah diadakan pengukuran sampling 10%
dari area produksi oleh petugas kehutanan untuk menguji kebenaran pengisian dokumen LHP. Jika
terjadi penyimpangan volume <5%, LHP tetap disahkan, namun tidak berlaku untuk kesalahan pengisian
jenis tanaman.
IUUPH PSDH DR
20 % 16 % 64 % 20 % 16 % 32 % 32 % 40 %
Bagian Pusat Bagian Bagian Bagian Pusat Bagian Bagian Pemerataan Bagian
Kab/ Kota Kab/ Kota Kab/ Kota
Provinsi Provinsi untuk Kab/Kota
Penghasil Penghasil Penghasil
lain dalam Provinsi
Mulai tahun 2006 dilakukan pengalihan sumber penerimaan yang berasal dari kehutanan yakni semula
Dana Alokasi Khusus Dana Reboisasi (DAK-DR) menjadi DBH Dana Reboisasi (DBH-DR) serta Penetapan
DBH PPh Wajib Pajak orang Pribadi Dalam Negeri (WPOPDN) dan PPh Psl 21 masing-masing kabupaten/
kota yang sebelumnya ditetapkan oleh Gubernur mulai tahun 2006 ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
Dalam perkembangannya, realisasi DBH senantiasa menunjukkan kecenderungan meningkat dari tahun
ke tahun seiring dengan meningkatnya realisasi penerimaan dalam negeri yang dibagihasilkan.
Tarif Dana Reboisasi diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 92 Tahun 1999 Tentang Perubahan Kedua
Atas Peraturan Pemerintah Nomor 59 Tahun 1998 Tentang Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan
Pajak Yang Berlaku Pada Departemen Kehutanan Dan Perkebunan. Tarif Dana Reboisasi merupakan tarif
satuan US $ per m3, dimana besarnya tergantung dari (1) kategori wilayah dan (2) kelompok jenis kayu/bukan
kayu. Menurut undang¬undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, pungutan Dana Reboisasi ini
dikenakan terhadap pemegang Hak Pengusahaan Hutan (HPH) dan pemegang Hak Pemungutan Hasil Hutan.
Perhitungan bagian daerah akan ditetapkan berdasarkan rencana produksi hasil hutan dan rencana
penerbitan izin Hak Pengusahaan Hutan (HPH) atau Usaha Pemanfaatan Hutan (UPH) dengan perhitungan
sebagai berikut:
• Perkiraan penerimaan IHPH/IIUPH, baik hutan alam maupun tanaman yang dihitung dari luas areal
yg akan diterbitkan izin HPH/UPH dikalikan tarif IHPH yang berlaku;
• Perkiraan penerimaan PSDH yang dihitung dari target produksi hasil hutan kayu dan bukan dan
dikali tarif PSDH yang berlaku;
• Perkiraan Penerimaan PSDH dan yang bersumber dari tunggakan PSDH.
Pungutan Pengusahaan Perikanan (PPP) bersifat license fee, dikenakan satu kali pada saat pengajuan
permohonan Surat Ijin Kapal Perikanan. Tarif PPP merupakan tarif nominal (US$) dan didasarkan atas
ukuran kapal penangkapan ikan (Dead weight Ton - DWT). Dalam hal ini tarif dikenakan atas dasar berat
kosong kapal. Adapun Pungutan Hasil Perikanan (PHP) dikenakan pada hasil produksi sektor perikanan
yang diekspor. Tarif yang dikenakan bersifat ad valorem (persentasi), dimana besar tarif dibedakan
menurut kelompok jenis ikan.
a) Pungutan Pengusahaan Perikanan, obyek yang penting dalam penghitungan PPP adalah: Kapal
Penangkapan Ikan.
Rumus yang dipakai untuk menghitung PPP adalah:
PPP = Tarif (US $) x Ukuran Kapal (DWT)
Data yang dibutuhkan untuk dapat menghitung PPP adalah:
1) Data Jumlah Surat Izin Kapal Perikanan yang dikeluarkan.
2) Daftar Tarif Pungutan Pengusahaan Perikanan (PPP)
Tabel 15.3.
Tabel 15.4.
Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam Pertambangan Panas Bumi diperhitungkan berdasarkan Penerimaan
Negara Bukan Pajak yang berasal dari:
a) Setoran Bagian Pemerintah
Setoran pengusahaan panas bumi yang diterima pemerintah sebesar 34% dari pemerimaan bersih
usaha atau Net Operating Income (NOI) setelah dikurangi kewajiban perpajakan. Setoran bagian
pemerintah ini dikenakan atas kontrak pengusahaan panas bumi yang ditandatangani sebelum
berlakunya UU No. 27 Tahun 2003 tentang Panas Bumi.
b) Iuran Tetap dan Iuran Produksi
Iuran Tetap adalah Iuran yang dibayarkan kepada negara sebagai kesempatan atas eksplorasi, studi
kelayakan, dan eksploitasi SDA pada suatu wilayah. Sedangkan Iuran Produksi adalah iuran yang
diberikan kepada negara atas hasil yang diperoleh dari usaha pertambangan panas bumi.
Penerimaan Iuran Tetap dan Iuran Produksi ini dikenakan atas kontrak pengusahaan panas bumi
yang ditandatangani setelah berlakunya UU No. 27 Tahun 2003 tentang Panas Bumi.
PNBP dari pertambangan panas bumi sampai dengan tahun 2011 (existing) masih berasal dari Setoran
Bagian Pemerintah yang ditempatkan pada Rekening Panas Bumi nomor 508.000084 pada Bank
Indonesia. Selain untuk menampung penerimaan setoran bagian Pemerintah, rekening tersebut juga
digunakan untuk membayarkan pengeluaran kewajiban Pemerintah terkait dengan kegiatan usaha
panas bumi yaitu:
• Pembayaran kembali (reimbursment) Pajak Pertambahan Nilai (PPN);
• Pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan (PBB);
• Pembayaran lainnya.
Selisih dari penerimaan dan pembayaran kewajiban pemerintah tersebut merupakan penerimaan negara
yang dapat dibagihasilkan kepada daerah dalam bentuk DBH SDA Panas Bumi.
DBH SDA Panas Bumi sesuai Pasal 14 huruf g UU No. 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan
Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah dibagi dengan imbangan 20% bagian Pemerintah
dan 80% bagian daerah. Bagian daerah dengan rincian: 16% bagian provinsi, 32% bagian kab/kota
penghasil dan 32% bagian kab/kota lainnya dalam provinsi yang bersangkutan.
Penetapan Alokasi DBH SDA diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 55 tahun 2005 pasal 27 sebagai
berikut:
1) Menteri Teknis menetapkan daerah penghasil dan dasar penghitungan DBH SDA paling lambat 60 (enam
puluh) hari sebelum tahun anggaran bersangkutan dilaksanakan setelah berkonsultasi dengan Menteri
Dalam Negeri.
2) Dalam hal sumber daya alam berada pada wilayah yang berbatasan atau berada pada lebih dari
satu daerah, Menteri Dalam Negeri menetapkan daerah penghasil sumber daya alam berdasarkan
pertimbangan menteri teknis terkait paling lambat 60 (enam puluh) hari setelah diterimanya usulan
pertimbangan dari menteri teknis.
Per Kab/Kota
SK Daerah
(dalam rupiah
Penghasil
Volume Produksi)
Per Kab/Kota
Penetapan (dalam rupiah)
Perkiraan Alokasi PMK Alokasi
MenKeu DBH SDA
a. Ketetapan Menteri Dalam Negeri sebagaimana dimaksud menjadi dasar penghitungan DBH
sumber daya alam oleh menteri teknis.
b. Ketetapan Menteri teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Menteri
Keuangan.
c. Menteri Keuangan menetapkan perkiraan alokasi DBH SDA untuk masing-masing daerah paling
lambat 30 (tiga puluh) hari setelah diterimanya ketetapan dari menteri teknis.
d. Perkiraan alokasi DBH SDA Minyak Bumi dan/atau Gas Bumi untuk masing-masing daerah ditetapkan
paling lambat 30 (tiga puluh) hari setelah menerima ketetapan dari menteri teknis sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), perkiraan bagian pemerintah, dan perkiraan unsur-unsur pengurang
lainnya.
Pasal 6 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara menyatakan bahwa Presiden
selaku Kepala Pemerintahan memegang kekuasaan pengelolaan keuangan negara sebagai bagian dari
kekuasaan pemerintahan. Dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah, kekuasaan pengelolaan keuangan
negara tersebut diserahkan kepada gubernur/bupati/ walikota selaku kepala pemerintahan daerah untuk
mengelola keuangan daerah dan mewakili pemerintahan daerah dalam kepemilikan kekayaan daerah
yang dipisahkan. Hal ini berarti, pemerintah daerah melakukan sendiri pengelolaan keuangan daerah
mulai dari perencanaan, penganggaran, pelaksanaan sampai dengan pertanggungjawabannya.
Sejalan dengan amanat undang-undang tersebut, dalam upaya menyempurnakan bagan akun standar
Menteri Keuangan telah mengelompokkan bagan akun yang terkait dengan pengalokasian Dana
Perimbangan dan Dana Otonomi Khusus dan Penyesuaian ke dalam kelompok bagan akun tersendiri
yaitu ”Kelompok Transfer ke Daerah” menggantikan ”Kelompok Belanja ke Daerah”. Hal ini diatur dalam
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 91/PMK.06/2007 tentang Bagan Akun Standar. Spada tahun 2008,
perubahan ini diimplementasikan ke dalam perubahan nomenklatur APBN dari sebelumnya ”Belanja ke
Daerah” menjadi ”Transfer ke Daerah” dan diikuti pula dengan perubahan mendasar dalam pelaksanaan
penyalurannya dari kas negara ke kas daerah. Pelaksanaan penyaluran ini terakhir diatur dalam Permenkeu
No. 126/PMK.07/2010 tentang Pelaksanaan dan Pertanggungjawaban Anggaran Transfer ke Daerah.
Penyaluran angggaran Transfer ke Daerah dilakukan dengan cara pemindahbukuan dari rekening Kas
Umum Negara ke Rekening Kas Umum Daerah. Dalam rangka penyaluran tersebut, Bendaharawan
Umum Daerah (BUD) atau Kuasa BUD membuka rekening pada bank sentral atau bank umum untuk
menampung penyaluran semua anggaran Transfer ke Daerah (DBH Pajak, DBH SDA, DAU, dan DAK)
dengan nama Rekening Kas Umum Daerah.
Secara umum, pola penyaluran DBH SDA dilaksanakan secara triwulanan, yaitu:
a) Triwulan I sebesar 20% dari pagu di Peraturan Menteri Keuangannya;
b) Triwulan II sebesar 20% dari pagu di Peraturan Menteri Keuangannya;
1. Jelaskan Pengertian DBH dan perbedaan dengan Dana Alokasi Umum (DAU)
2. Kenapa DBH berpotensi menimbulkan ketimpangan fiskal antar daerah
3. Apa saja jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari SDA yang dibagihasilkan di Indonesia
4. Jelaskan Formula Alokasi DBH Migas antara daerah dengan status Otonomi Khusus dengan daerah
otonom lainnya
5. Apa yang dimaksud dengan Triwulan ke V dalam penyaluran DBH.
Deskripsi:
Topik ini menjelaskan tentang: • Konsep, tujuan dan fungsi Dana Alokasi Khusus
• Formula DAK dan peranan masing-masing variabel dalam penentuan
jumlah DAK setiap daerah
Referensi:
1. UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan
Pemerintahan Daerah.
2. UU No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
3. PP No. 55 Tahun 2005 tentang Dana Perimbangan.
4. Nota Keuangan RAPBN Tiap Tahunnya dapat di download dari web
http://www.anggaran.depkeu.go.id
5. Pelengkap Buku Pegangan Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah,
Pelaksanaan Desentralisasi Fiskal di Indonesia, berbagai tahun, dapat di download dari
http://www.djpk.depkeu.go.id/
6. PMK Tahun berjalan.
Dana Alokasi Umum (DAU) diberbagai Negara disebut General Purpose Grants adalah salah satu jenis
transfer yang menjadi pendapatan umum bagi penerimanya. Jenis transfer ini juga disebut unconditional
grant dimana grant yang diberikan tidak dikaitkan dengan persyaratan apapun oleh sipemberi.
Unconditional grant bukanlah satu-satunya bentuk transfer antar pemerintahan. Terdapat berbagai
jenis transfer dari Pemerintah Pusat ke daerah yang dipraktekkan di dunia antara lain seperti grant untuk
bidang tertentu (specific grant), matching grant, grant untuk menutupi defisit (deficit grant) dan kondisi
tak terduga (emergency grant), dll.
Unconditional grant yang penggunaannya bebas adalah bentuk transfer dalam rangka mendukung
pelaksanaan desentralisasi fiskal yang memberikan keleluasaan kepada daerah penerima untuk
mengalokasikannya sesuai dengan prioritas daerah (local priorities). Dengan kata lain, tujuan pemberian
grant ini adalah untuk mendukung ketersediaan dana bagi Pemerintah Daerah dalam menjalankan fungsi
yang telah didesentralisasikan. Tujuan pemberian grant ini sangat berbeda dengan tujuan berbagai
jenis specific grants yang biasanya diberikan kepada daerah untuk pencapaian tujuan nasional (national
priorities) tertentu yang pelaksanaan tugasnya sudah menjadi tanggungjawab daerah.
Dengan sifatnya yang bebas digunakan, unconditional grant pada umumnya juga digunakan sebagai
instrumen utama pemerataan kemampuan fiskal antar daerah. Sehingga jenis tranfer ini juga dinamai
equalization grant (grant pemerataan). Program pemerataan kemampuan fiskal dipraktekkan oleh banyak
negara di dunia, baik negara federasi maupun negara kesatuan. Program ini dapat dianggap sebagai
upaya untuk menempatkan daerah-daerah pada posisi fiskal yang sama untuk menjalan tugasnya.
Program pemerataan fiskal dilakukan dengan berbagai cara didasarkan kepada prinsip tertentu dan
sasaran yang ingin dicapat oleh negara tersebut. Di Kanada, sebagai contoh, sasarannya adalah untuk
memberdayakan setiap propinsinya dapat menyediakan pelayanan publik pada tingkat yang relatif sama
kepada seluruh penduduknya dengan pengenaan tingkat pajak yang relatif sama pula. Demikian juga
halnya dengan Australia dimana sasaran yang dideklarasikan adalah untuk mengoreksi ketidakmerataan
fiskal horizontal (ketidak merataan antar negara bagian) untuk menyediakan pelayanan dengan standar
nasional tertentu kepada penduduknya
Meskipun beberapa negara memiliki sasaran yang hampir sama untuk program pemerataan
fiskalnya, namun penerapannya bisa saja berbeda. Sebagai contoh, Australia dan Kanada memiliki
sasaran pemerataan fiskal yang sama, namun metode yang digunakan dalam mengalokasikan
dana sangat berbeda. Sistem di Kanada hanya mengupayakan pemerataan kapasitas fiskal tanpa
mempertimbangkan kebutuhan fiskal dari propinsi-propinsinya. Sedangkan sistem pemerataan fiskal di
Australia mengakomodasi keduanyanya (kapasitas fiskal dan kebutuhan fiskal). Sistem Pemerataan Fiskal
di Australia dikenal sebagai salah satu sistem yang paling komprehensif di dunia.
Namun secara umum dapat dikatakan bahwa program pemerataan fiskal dirancang untuk membantu
daerah yang rendah pendapatannya dan/atau tinggi biaya penyediaan pelayanannya dengan
pengorbanan daerah yang tinggi pendapatannya dan/atau rendah biaya pelayanannya (Walsh &
Thomson, 1994). Meskipun demikian, tidak akan pernah ada sistem pemerataan fiskal yang sempurna.
Yang terjadi pada prakteknya adalah upaya untuk mengurangi ketimpangan fiskal diantara daerah yang
se- tingkat sampai ke tingkat yang dapat diterima (acceptable level).
Dalam praktek di berbagai negara, ada dua cara untuk mengalokasikan equalisation transfer ke daerah yaitu
dengan formula dan tanpa formula. Bagaimanapun juga pengalokasian dengan formula memiliki banyak
kelebihan. Diantaranya yang paling penting sebagaimana yang dijelaskan Ma(1997) adalah terhindarinya
upaya untuk melakukan lobi oleh Pemerintah daerah. Dengan penggunaan formula diharapkan terjadinya
sistem alokasi yang adil dan transparan. Pengunaan formula sudah dilakukan oleh banyak negara maju
seperti Australia, Inggris, Kanada, Jerman, Swiss dan Jepang. Namun, formula memerlukan ketersediaan
data yang dapat diandalkan untuk memperkirakan kebutuhan belanja dan kapasitas fiskal daerah. Sistem
grant pemerataan di Inggris, misalnya, menggunakan sekitar 30 variabel dalam tujuh kategori belanja
pemerintah daerah untuk mengestimasi kebutuhan belanjanya1. Commonwealth Grant Commission (CGC)
di Australia, sebagai contoh, menggunakan sekitar 11 kategori belanja dengan 5 variabel pada setiap
kategori untuk mengukur kebutuhan fiskal negara bagiannya2. Perhitungan yang sangat komprehensif di
Australia dan di Inggris adalah hasil dari pengembangan sistem dalam beberapa dekade.
Sumber dana dari equalization transfer biasanya ada dua macam. Pertama dari penerimaan pemerintah
pusat dan kedua dari kumpulan dana tertentu di tingkat negara bagian/propinsi/daerah. Di beberapa
negara seperti Inggris, Jepang dan Korea, sumber dana equalisation transfer adalah penerimaan
pemerintah pusatnya. Namun di Jerman, sumber transfer adalah kumpulan dari penerimaan negara
bagian yaitu pajak pertambahan nilai (PPN) dan pembayaran pemerataan antar negara bagian (Ma, 1997
& Spahn, 1997). Lotz (1997, p.200) menyebut model jerman sebagai model Robin-Hood dimana sumber daya
diambil dari wilayah yang kaya dan diberikan ke wilayah miskin tanpa adanya dana dari Pemerintah Pusat.
Dalam menentuan jumlah dana yang ditransfer untuk pemerataan, beragam cara dipraktekkan di dunia.
Di beberapa negara jumlahnya dipatok sebagai prosentase tertentu dari penerimaan pemerintah pusat.
Namun di negara tertentu, jumlah yang di transfer sepenuhnya merupakan kewenangan dari pemerintah
pusat untuk menentukannya. Yang menjadi perhatian disini adalah adalah keandalan (reliability) dan
prediktabilitas dari dana. Apabila jumlahnya dipatok sebagai prosentase tertentu dari penerimaan
pemerintah pusat, maka reliable dan predictable dari jumlah dana akan mengikuti kondisi penerimaan
negara. Namun jika jumlah yang ditransfer ditentukan oleh pemerintah pusat, akan ada ketidakpastian
dalam hal jumlah yang akan ditransfer.
Indonesia sejak tahun 2001 telah mendistribusikan Dana Alokasi Umum (DAU). DAU didistribusikan oleh
Pemerintah Pusat kepada Pemerintah daerah dengan sasaran untuk memeratakan kemampuan fiskal
antar daerah, sebagaimana tertulis pada pasal 1 ayat 18 UU No. 25 Tahun 1999 dan juga pasal 1 ayat 21
UU No. 33 Tahun 2004 sebagai berikut:
Dana Alokasi Umum adalah dana yang berasal dari APBN, yang dialokasikan dengan tujuan
pemerataan kemampuan keuangan antar-daerah untuk membiayai kebutuhan pengeluarannya
dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi
Dana Alokasi Umum (DAU) adalah bagian dari dana perimbangan yang ditransfer oleh Pemerintah
Pusat ke Pemerintah Daerah untuk tujuan mengurangi ketimpangan fiskal horizontal (horizontal fiscal
imbalance). Itu berarti DAU juga disebut equalization grant yaitu grant (bantuan) yang ditujukan untuk
memeratakan kemampuan keuangan daerah. Daerah yang “miskin” (kemampuan keuangan yang rendah)
akan mendapat DAU yang relatif lebih besar dari daerah yang “kaya” (kemampuan keuangan yang tinggi).
Sebagai general purpose grant, keberadaan DAU dilandasi oleh prinsip categorical equity (keadilan
kategori) menyatakan bahwa seluruh warga negara dimanapun berada berhak mendapatkan pelayanan
dasar (seperti pendidikan dasar, pelayanan kesehatan, infrastruktur daerah, dll) pada standar minimum
tertentu. Oleh karena pelayanan dasar adalah merupakan tanggungjawab Pemerintah Daerah, maka
Pemda yang “miskin” harus diberi bantuan dana agar dapat menyediakan pelayanan dasar dengan
standar minimum tersebut. Artinya pengalokasian DAU yang optimal adalah dapat memeratakan
kemampuan keuangan daerah untuk mendanai penyediaan pelayanan dasar tertentu pada standar
minimum nasional.
a) UUD 1945 Pasal 18A ayat (2): Hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintahan
daerah diatur dan dilaksanakan berdasarkan undang-undang.
b) UU No.17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara Bab V Pasal 22 Ayat (1): Pemerintah Pusat
mengalokasikan Dana Perimbangan kepada Pemerintah Daerah.
c) UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat Dengan
Pemerintahan Daerah.
d) PP No. 55 Tahun 2005 tentang Dana Perimbangan.
DAU adalah dana yang bersumber dari Pendapatan APBN yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan
kemampuan keuangan antar daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan
Desentralisasi. Dari definisi yang diberikan UU 33 Tahun 2004, jelas bahwa DAU merupakan instrumen
transfer yang ditujukan untuk meminimumkan ketimpangan fiskal antar daerah.
Dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 porsi Dana Alokasi Umum (DAU) ditetapkan sekurang-
kurangnya 26 persen dari Penerimaan Dalam Negeri Netto. Sementara itu, proporsi pembagian DAU
adalah bagian 10% untuk Provinsi dan bagian 90 persen untuk Kabupaten/Kota.
Pengalokasian DAU didasarkan atas formula dengan konsep Alokasi Dasar dan Celah Fiskal (Fiscal Gap),
yaitu selisih antara Kebutuhan Fiskal dengan Kapasitas Fiskal.
a. Variabel DAU
1) Variabel Alokasi Dasar adalah belanja pegawai yang dicerminkan oleh jumlah gaji Pegawai
Negeri Sipil Daerah (PNSD).
2) Variabel kebutuhan fiskal terdiri dari jumlah penduduk, luas wilayahdarat dan perairan, Indeks
Pembangunan Manusia, Indeks Kemahalan Konstruksi, dan Produk Domestik Regional Bruto
(PDRB) per kapita (sesuai Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004).
3) Variabel kapasitas fiskal yang merupakan sumber pendanaan daerah yang berasal dari
Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan DBH Pajak dan DBH SDA.
Dimana:
TBR = Total Belanja Rata-rata APBD;
IP = Indeks Jumlah Penduduk;
IW = Indeks Luas Wilayah;
IPM = Indeks Pembangunan Manusia;
IKK = Indeks Kemahalan Konstruksi;
IPDRB/kap = Indek Produk Domestik Regional Bruto per kapita;
α1, α2, α3, α4, α5 = Bobot dari masing-masing indeks variabel;
α1 + α2 + α3 + α4 + α5 = 100%.
2) Kapasitas (KpF):
KpF = PAD + DBH Pajak + DBH SDA
DBH Pajak = PBB + BPHTB + PPh + CHT
Keterangan:
PAD : Pendapatan Asli Daerah;
DBH : Dana Bagi Hasil;
PBB : Pajak Bumi dan Bangunan;
BPHTB : Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan;
PPh : Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 dan Pasal 25 dan 29, PPh WPOPDN;
CHT : Cukai Hasil Tembakau;
SDA : Sumber Daya Alam
2) Kebutuhan Fiskal.
Kebutuhan Fiskal Daerah merupakan kebutuhan pendanaan daerah untuk melaksanakan fungsi
layanan dasar umum. Setiap kebutuhan pendanaan daerah untuk melaksanakan fungsi layanan
dasar umum diukur secara berturut-turut dengan:
(a) jumlah penduduk
(b) luas wilayah
(c) Indeks Kemahalan Konstruksi (IKK)
(d) Indeks Pembangunan Manusia (IPM)
(e) Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) per Kapita
3) Kapasitas Fiskal.
Kapasitas fiskal daerah merupakan sumber pendanaan daerah yang berasal dari:
(a) Pendapatan Asli Daerah (PAD), meliputi pajak daerah, retribusi daerah, laba perusahaan milik
daerah, dan lain-lain pendapatan asli daerah yang sah.
(b) Dana Bagi Hasil Pajak.
(c) Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam.
6) Variasi Hasil Perhitungan DAU (Hasil penerapan formula dan pengolahan data dasar):
Variasi Hasil Perhitungan DAU 2012 dibanding DAU 2011:
(a) Naik: pada umumnya terjadi di daerah yang Kapasitas Fiskalnya rendah, yaitu daerah yang
menerima DBH Pemerataan dan PAD-nya rendah.
(b) Sama: sejak tahun 2008 sangat jarang bahkan tidak ada daerah yang menerima DAU sama
dengan tahun sebelumnya. Hal ini terkait dengan kondisi data dasar dan kebijakan Formula
DAU yang berubah setiap tahunnya.
(c) Turun: pada umumnya terjadi pada daerah yang mengalami kenaikan Kapasitas Fiskal yang
berarti.
(d) Nol: daerah yang tidak mendapatkan DAU bukan karena TIDAK DIHITUNG melainkan karena
HASIL PERHITUNGAN menunjukkan NILAI MINUS atau NOL. Hasil demikian pada umumnya
terjadi pada daerah dengan Kapasitas Fiskal Tinggi dan mengalami kenaikan yang cukup
berarti.
Pagu/Total DAU dan pembagiannya untuk provinsi dan kabupaten/kota sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 1 ayat (4) Peraturan Presiden Nomor 53 Tahun 2009, dapat digambarkan sebagai
berikut:
Gambar 16.1. Total DAU dan Pembagiannya Untuk Provinsi dan Kabupaten/Kota
26%
Penerimaan Dana Penerimaan
Dalam Negri Bagi Hasil Dalam Total DAU
(PDN) (DBH) Negri
Dikurangi Netto
Semua daerah (524 daerah) terdiri 33 provinsi dan 491 kabupaten/kota, mendapatkan DAU TA. 2012,
karena: Pendapatan Dalam Negeri (PDN) dalam APBN meningkat signifikan à besaran PDN Neto juga
meningkat à pagu DAU Nasional meningkat cukup tinggi (dari Rp.225,5 Triliun menjadi Rp.273.8 Triliun).
Rincian DAU TA. 2013 untuk provinsi dan kabupaten/kota di Indonesia, dapat diperiksa dalam lampiran
modul ini (Lampiran Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2013).
DAU sebagai instrumen fiskal hanya dapat mengatasi ketimpangan fiskal antar daerah. Sementara itu
ketimpangan tingkat pelayanan publik antar daerah tidak otomatis dapat diselesaikan dengan DAU karena
akan sangat tergantung bagaimana daerah mengalokasikannya. Secara statistik, ketimpangan fiskal antar
daerah dapat diukur dengan berbagai metode seperti (1) koefisien variasi (KV), (2) Indeks Williamson (IW),
dan (3) rasio pendapatan perkapita maksimum terhadap pendapatan perkapita minimum (RMM). Hasil
perhitungan ketimpangan fiskal antar daerah di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir dapat dilihat
pada tabel di bawah ini:
Tabel 16.1.
Tingkat Ketimpangan Fiskal Antar Daerah
Pendapatan Pendapatan Pendapatan Pendapatan Pendapatan
Perkapita Perkapita Perkapita Perkapita Perkapita
1999/2000 2001 2002 2008 2010
Rata-rata (rupiah) 205,044 616,643 705,198 2,505,932 2.838.845
Koefisien Variasi (KV) 0,76 1,16 1,02 1,13 1,16
Rasio Pendapatan Per 32:1 60:1 42:1 69:1 75:1
Kapita Maksimum dan
Minimum (RMM)
Williamson Index - 0,70 0,67 0,70 0,70
Sumber: Diolah dari data di Kemenkeu RI dan Handra (2005
Dari tabel di atas, ada beberapa hal yang bisa kita simpulkan:
1) Angka koefisien variasi memperlihatkan bahwa ketimpangan fiskal antar daerah kabupaten/kota
dalam periode 2001-2010 tidak mengalami perbaikan dan juga tidak mengalami pemburukan.
Namun tingkat ketimpangan fiskal dalam periode ini masih lebih tinggi dibanding tingkat
ketimpangan tahun 1999/2000. Jika pada tahun 2001 KV terhitung sebesar 1,16 (yang berarti
besarnya standar deviasi adalah 1,16 kali dari rata-rata), maka pada tahun 2010 KV tetap terhitung
1,16.
2) Rasio pendapatan perkapita maksimum dengan minimum (RMM) memperlihatkan bahwa dalam
periode 2001-2010 terjadi peningkatan ketimpangan. Jika pada tahun 2001 RMM adalah 60:1
(pendapatan perkapita daerah terkaya adalah 60 kali pendapatan perkapita daerah termiskin), maka
pada tahun 2010 RMM meningkat menjadi 75:1.
3) Angka indeks williamson (IW) juga memperlihatkan tidak adanya peningkatan ketimpangan fiskal
antar daerah. Pengamatan pada tahun 2001, 2008 dan 2010, angka IW tetap berada pada posisi 0,7.
Artinya, diukur dengan IW, ketimpangan fiskal antar daerah tidak mengalami pemburukan, namun
juga tidak membaik.
Tidak adanya perbaikan dalam tingkat ketimpangan fiskal antara daerah dalam periode 2001-2010
tidaklah berarti bahwa DAU tidak punya peran. Peranan DAU dalam menurunkan kesenjangan fiskal antar
daerah sesungguhnya dapat dilihat dari kemampuannya menurunkan ketimpangan ketimpangan fiskal
yang ditimbulkan oleh pendapatan daerah lainnya terutama PAD dan DBH. Tabel 2 memperlihatkan
kesenjangan pendapatan antara daerah kabupaten/Kota yang berasal dari PAD dan DBH pada tahun 2010
diukur dengan koefisien variasi adalah 210%. Namun setelah DAU yang diterima daerah diperhitungkan,
mana kesenjangan fiskal tahun 2010 menurun menjadi 125%. Penurunan angka koefisien variasi setelah
DAU diperhitungkan menunjukkan bahwa peranan DAU dalam pemerataan kemampuan fiskal daerah
memang sangat besar. Tanpa DAU, maka perbedaan kemampuan fiskal antara daerah yang “miskin”
dengan daerah yang kaya sangat lebar.
Tabel 16.2.
Peranan DAU dalam menurunkan kesenjangan fiskal
antar kabupaten/kota Tahun 2002 dan 2010
Rupiah Perkapita APBD 2002 APBD 2010
PAD+DBH PAD+DBH+DAU PAD+DBH PAD+DBH+DAU
Rata-Rata 199,420 705,198 601.083 2.390.927
Standar Deviasi 470,180 717,377 1.261.775 2.977.434
Koefisien Variasi 236% 102% 210% 125%
Sumber: Diolah dari Data Ringkasan APBD 2002 dan 2010, Kemenkeu RI.
Tabel 3 secara sederhana memperlihatkan bagaimana DAU berperan mengurangi ketimpangan fiskal
antar daerah. Keempat Provinsi tersebut hampir setara dalam jumlah penduduk. Propinsi Kalimantan
Barat (Kalbar) dan Propinsi NTT yang memiliki PAD dan Dana Bagi Hasil (DBH) yang jauh lebih rendah dari
Propinsi Riau dan Propinsi Kalimantan Timur. Kapasitas fiskal kedua propinsi (Kalbar dan NTT) menjadi
lebih baik setelah mendapatkan DAU yang relatif lebih besar.
Tabel 16.3
Perbandingan DAU Tahun 2012 Empat Propinsi
(dalam Juta Rp)
Uraian Prov. Riau Prov. Prov. Prov. Nusa
Kalimantan Kalimantan Tenggara
Barat Timur Timur
PAD 1.824.504,00 1.113.388,00 4.295.804,00 389.647,00
Dana Perimbangan 2.998.999,00 1.207.643,00 4.392.796,00 1.102.993,00
DBH 2.447.327,00 140.500,00 4.287.267,00 105.258,00
DAU 489.180,00 1.023.230,00 52.638,00 940.647,00
DAK 62.491,00 43.913,00 52.891,00 57.089,00
Lain-lain Pendapatan yang Sah 664.274,00 516.378,00 414.013,00 714.538,00
Total Pendapatan 5.487.776,00 2.837.409,00 9.102.613,00 2.207.179,00
Tabel 16.4.
Rasio PAD terhadap Pendapatan Daerah Kabupaten/Kota
se Indonesia
2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012
Pendapatan 79,0 96,9 112,6 112,0 124,9 183,3 147,5 200,4 285,7 300,7 360,1 414,3
Dana Alokasi 54,0 59,6 68,0 68,4 70,2 109,9 97,3 126,3 167,7 173,2 203,8 246,1
Umum
DAU/Total 68% 62% 60% 61% 56% 60% 66% 63% 59% 58% 57% 59%
Pendapatan
Diolah dari data Ringkasan APBD beberapa tahun, Kemenkeu R
Sementara itu pendapatan daerah Propinsi, tidak terlalu tergantung kepada DAU, karena DAU hanya
sekitar 17% pada tahun 2012. Terlihat juga kecenderungan penurunan ketergantungan terhadap DAU.
Tabel 16.5.
Rasio PAD terhadap
Pendapatan Daerah Propinsi
se Indonesia
2006 2012
Pendapatan 64,253 162,758
DAU 13,751 27,052
DAU/ 21% 17%
Pendapatan
Terdapat beberapa kelemahan kelemahan dalam formulasi DAU yang berlaku saat ini, terutama terkait
dengan pemekaran daerah. Formula DAU memberikan insentif jika terjadi pemekaran. Dengan kata lain,
jika satu daerah mekar menjadi dua daerah, maka pertumbuhan total DAU yang diterima kedua daerah
akan jauh lebih besar dari pertumbuhan DAU yang hanya oleh satu daerah. Penjelasannya adalah sbb:
1) Saat ini terdapat lima variabel yang digunakan untuk mengestimasi kebutuhan fiskal, yaitu jumlah
penduduk, luas wilayah, indeks pembangunan manusia (IPM), indeks kemahalan konstruksi (IKK)
dan PDRB per kapita.
2) Tiga variabel yang mengestimasi kebutuhan fiskal, yaitu IPM, IKK dan PDRB Perkapita mengandung
insentif bagi pemekaran daerah. Sebagai contoh, sebuah daerah A yang memiliki penduduk 400
ribu mekar menjadi dua daerah B dan C. Maka jumlah penduduk kedua daerah baru akan tetap 400
orang, demikian juga luas wilayah. Namun variabel IPM, IKK dan PDRB Perkapita tidak akan terbagi
ketika terjadi pemekaran daerah. Jika daerah A yang memiliki IPM 70 maka kemungkinan besar
kedua daerah baru B dan C akan memiliki IPM yang sama-sama 70. Ketika variabel IPM diperlakukan
berdiri sendiri dan memiliki bobot sendiri dalam menghitung kebutuhan fiskal, maka kedua daerah
baru ini akan dihitung memiliki kebutuhan fiskal yang sama untuk meningkatkan kualitas manusia.
Artinya pemekaran daerah akan diberi insentif oleh variabel IPM, IKK dan PDRB Perkapita yang tidak
terbagi dalam menghitung kebutuhan fiskal
3) Adanya Alokasi Dasar (AD) dalam formula DAU saat ini yang dihitung dari kebutuhan belanja
pegawai daerah tentunya akan menjadi insentif bagi daerah untuk mengusulkan pengangkatan
pegawai sebanyak-banyaknya. Dapat juga dikatakan bahwa dengan adanya AD, paling tidak daerah
tidak punya insentif untuk mengurangi jumlah pegawai ke tingkat yang rasional. Penambahan
jumlah pegawai negeri sipil daerah (PNSD) yang tidak rasional dan melebihi pertumbuhan DAU,
menyebabkan sebagian besar DAU akan terserap untuk keperluan belanja pegawai tersebut. Tidak
bisa dihindari bahwa adanya AD dalam formula DAU menimbulkan kesan bahwa DAU memang
diperuntukkan untuk membayar gaji.
Tabel berikut memperlihatkan Kabupaten Pontianak yang dimekarkan pada tahun 2008 mengalami
kenaikan DAU yang luar biasa pada tahun 2010 setelah dalam formula dihitung sebagai dua daerah,
kabupaten Pontianak dan Kabupaten Kubu Raya. Peningkatan DAU yang dialami kedua kabupaten pada
tahun 2010 juga dapat dibandingkan dengan peningkatan DAU kabupaten/kota yang lain di Indonesia.
Tabel 16.6.
Perbandingan Kenaikan DAU daerah pemekaran dengan
lainnya, Tahun 2010
2008 2009 Naik 2009 2010 Naik 2010
Kab P+KR 531.739 561.076 29.338 5,5% 727.916 166.839 29,7%
Kab. Pontianak 185.529 313.155 127.626 68,8%
Kab. Kubu Raya 375.547 414.760 39.213 10,4%
Kab. Sambas 422.843 447.339 24.496 5,8% 463.406 16.067 3,6%
Kota Pontianak 399.351 404.247 4.896 1,2% 408.180 3.933 1,0%
Kab. Ponorogo 538.600 550.746 12.146 2,3% 563.868 13.122 2,4%
Sumber: Diolah dari data Kemenkeu RI beberapa tahun.
16.5. Isu-Isu Berkaitan dengan DAU (Perubahan Formula, Daerah dengan DAU Nol atau
Minus, Luas Wilayah Laut dan lain lain)
Perkembangan formulasi DAU sejak 2001 juga ditandai dengan adanya perubahan-perubahan antara lain
perubahan variabel dan perubahan data yang digunakan. Perubahan tersebut tidak terlepas dari proses
politik yang terjadi. DAU yang dimulai pada tahun anggaran 2001 adalah pengalaman pertama Indonesia
mengalokasikan dana dengan formula yang menggunakan pendekatan mengurangi kesenjangan fiskal
(fiscal gap). Namun formula pertama ini ditandai dengan modifikasi dengan penambahan variabel transisi.
Yang dijadikan variabel transisi adalah Dana Rutin Daerah (DRD) dan Dana Pembangunan Daerah (DPD)
tahun 2000. Dengan DPR dan DPD tidak terjadi fluktuasi tinggi dari transfer yang diterima oleh daerah.
Formula DAU diperbaiki pada tahun 2002 karena dianggap terdapat banyak kelemahan dalam formula
tahun 2001. Perbaikan dilakukan terutama terhadap formula kapasitas fiskal. Namun formula DAU
2002 tetap memasukkan variabel transisi yaitu gaji PNS daerah dan sejumlah lumpsum yang secara
keseluruhan disebut Alokasi Minimum. Secara umum terjadi perbaikan pada formula DAU 2002 dengan
meningkatnya peranan kesenjangan dari 20% menjadi 40%. Namun implementasinya ternyata tidak
mudah secara politis. Formula tersebut ternyata mengakibatkan sejumlah daerah yang memiliki kapasitas
fiskal tinggi mengalami penurunan DAU dan bahkan ada yang tidak mendapat DAU sama sekali. Simulasi
formula ini kemudian memunculkan perlawanan politik dari beberapa daerah propinsi dan kabupaten/
kota, khususnya yang kaya sumber daya alam (SDA). Tuntutan daerah kaya SDA tersebut kemudian
diakomodasi dalam sebuah kesepakatan politik antara Pemerintah dan DPR yang mengharuskan alokasi
DAU tahun 2002 tidak boleh lebih kecil dari tahun 2001. Kesepakatan ini disebut kebijakan holdharmless.
Untuk tahun 2003, 2004 dan 2005, formula DAU hampir tidak mengalami perubahan yang mendasar.
Yang terlihat diperbaiki dari tahun ke tahun adalah peranan kesenjangan fiskal dalam formula DAU
ditingkatkan sejalan dengan penurunan peran variable transisi. Peningkatan perananan kesenjangan
fiskal secara berkelanjutan dalam formula adalah sebuah strategi untuk menuju penerapan formula
murni. Namun kesepakatan politik tahun 2001 tentang holdharmless tetap dilanjutkan. Kesepakatan yang
tidak membolehkan satu daerah pun mengalami penurunan DAU berakibat strategi untuk menerapkan
formula murni tidak berjalan. Salah satu indikasinya adalah jumlah dana penyeimbang yang harus
disediakan sebagai kompensasi untuk daerah yang mengalami penurunan DAU meningkat terus.
Formula DAU kemudian diubah oleh UU 33 Tahun 2004 dengan adanya variabel Alokasi Dasar (AD) yang
dihitung berdasarkan kebutuhan belanja pegawai daerah. Berbeda dengan formula yang diatur oleh UU
25/1999, variabel Penghitung kebutuhan fiskal ditambah dengan memasukkan PDRB (produk domestik
regional bruto) sebagai penghitung kebutuhan. Selain itu Juga terdapat salah satu kelebihan UU 33
Tahun 2004 yang membuat peranan pemerataan DAU lebih baik yaitu menghilangkan holdharmless. UU
33 Tahun 2004 secara eksplisit menyatakan bahwa sebuah daerah dapat saja menerima DAU lebih kecil
dari DAU sebelumnya atau bahkan nol jika Kebutuhan Fiskal ditambah AD nya lebih kecil dari Kapasitas
Fiskal nya (lihat penjelasan pasal 32 UU 33 Tahun 2004). Kebijakan ini diterapkan oleh Pemerintah pada
tahun 2008 dengan adanya daerah yang mendapat DAU nol dan turun dari tahun sebelumnya.
Dalam perkembangannya, pada tahun 2009 juga terjadi perubahan penggunaan data, khususnya data
luas wilayah dalam formulasi DAU. Keputusan Pemerintah bersama DPR dalam pembahasan formulas
DAU menyepakati bahwa luas wilayah laut perlu ditambahkan ke total luas wilayah sebuah daerah, baik
propinsi maupun kabupaten/kota. Dalam perhitungan total luas wilayah untuk DAU 2010 digunakan
perhitungan berikut:
Luas wilayah Propinsi = 100% x wilayah darat + 30% x Luas laut Propinsi
Luas Wilayah Kabupaten/Kota = 100% x wilayah darat + 35% x Luas Laut kab/kota
Data luas wilayah yang digunakan untuk penghitungan alokasi DAU meliputi data luas wilayah daratan
(administratif) bersumber dari Kementerian Dalam Negeri dan data luas wilayah perairan (laut) bersumber
dari Bakosurtanal. Luas wilayah merupakan variabel yang mencerminkan kebutuhan atas penyediaan
sarana prasarana per satuan wilayah. Data luas wilayah daratan DAU 2010 berdasarkan Peraturan Menteri
Dalam Negeri No 6/2008 tanggal 21 Januari 2008 beserta revisinya terkait dengan Daerah Otonom Baru/
Daerah Pemekaran. Data luas wilayah lautan yang digunakan untuk DAU 2010 berdasarkan Surat Ka
Bakosurtanal No. SV.03.02/1017B-PD/VII/ 2009 tanggal 23 Juli 2009 tentang data luas wilayah perairan
dalam rangka perhitungan DAU 2010. Data luas wilayah darat secara nasional untuk perhitungan DAU
tahun 2011 yang berasal dari Kementerian Dalam Negeri sebesar 1.910.931,32 km2 atau sama dengan data
luas wilayah darat perhitungan DAU tahun 2010.
Deskripsi:
Topik ini menjelaskan pengertian dan tujuan Dana Alokasi Khusus,
formula perhitungan alokasi per daerah, dan mekanisme penyalurannya.
Kriteria DAK (Kriteria Umum, Indeks fiskal netto, indeks karakteristik kewilayahan, indeks
Khusus, dan Teknis) teknis, formula DAK
Isu-isu Terbaru tentang DAK Pengalihan Dana Dekonsentrasi dan Dana Tugas
Pembantuan
Referensi:
1. UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
2. UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan
Pemerintahan Daerah.
3. PP No. 55 Tahun 2005 tentang Dana Perimbangan.
4. Pelengkap Buku Pegangan Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah,
Pelaksanaan Desentralisasi Fiskal di Indonesia, berbagai tahun, dapat di download dari
http://www.djpk.depkeu.go.id/
DAK (Dana Alokasi Khusus) adalah salah satu jenis dana transfer (grant) dari Pemerintah Pusat ke Daerah
di Indonesia. Secara umum terdapat dua jenis grant dari Pemerintah Pusat ke Pemerintah Daerah, yaitu:
a) General Purpose Grant (Grant Bersifat Umum)
b) Specific Grant (Grant Bersifat Khusus)
Grant bersifat umum (general purpose grant) atau bantuan tanpa syarat (unconditional grant) yang di
Indonesia disebut Dana Alokasi Umum (DAU) adalah jenis bantuan yang bebas digunakan oleh si
penerima. Tidak ada arahan terhadap penggunaan dana tersebut dan umumnya ditujukan untuk
pemerataan kemampuan fiskal antar daerah. Sementara itu Specific Grant sesuai namanya merupakan
grant bersifat khusus atau bantuan bersyarat (conditional grant). Grant spesifik biasanya ditujukan untuk
membiayai bidang tertentu yang telah menjadi kewenangan daerah otonom, namun Pemerintah Daerah
(Pemda) sebagai si penerima tidak boleh menggunakan dana tersebut kecuali untuk kegiatan yang telah
ditentukan oleh pemberi.
Specific grant sangat beragam jenisnya dengan berbagai tujuan yang dirancang oleh si pemberi,
diantaranya:
a) Untuk mencapai tujuan nasional tertentu, namun fungsi dan kewenangannya urusannya telah
didesentralisasikan ke daerah otonom.
b) Untuk mempengaruhi pola belanja daerah penerima.
c) Untuk mengakomodasi spillover benefit (penyediaan pelayanan publik oleh daerah tertentu tetapi
dimanfaatkan oleh penduduk daerah lain/tetangga).
Bantuan spesifik dapat digunakan oleh pemberi (pemerintah pusat) untuk tujuan dan prioritas nasional,
misalnya untuk mencapai tujuan nasional di bidang pelayanan pendidikan, kesehatan dan infrastrutur
namun urusannya telah didesentralisasikan ke daerah. Karena pusat tidak dapat mendikte daerah
untuk penggunaan dana bantuan umum, maka pusat dapat melakukannya dengan menyediakan
bantuan spesifik. Bantuan spesifik dapat juga ditujukan untuk mempengaruhi pola belanja daerah.
Dengan penggunaannya yang spesifik dan mensyaratkan dana pendamping dari sumber pendapatan
daerah lainnya, akan tersedia sejumlah dana yang harus dibelanjakan oleh daerah untuk bidang yang
diinginkan pusat. Lebih spesifik lagi, bantuan dapat disediakan oleh si pemberi untuk mengakomodasi
beban pembiayaan bagi daerah tertentu, misalnya daerah yang menyediakan pelayanan yang juga
dimanfaatkan oleh penduduk daerah lain. Bantuan spesifik tentunya juga dapat disediakan oleh pusat
untuk mengakomodasi kekhususan daerah, yang terkait dengan ketidakmampuan daerah tersebut
untuk membiayai pelayanan khusus.
Berbagai jenis specific grant (bantuan khusus) dipraktek didunia, antara lain:
a) Grant untuk program/kegiatan/pelayanan tertentu (specific grant),
b) Grant yang mengharuskan dana pendamping dari penerima (matching grant),
c) Grant untuk menutupi defisit (deficit grant),
d) Grant untuk membantu daerah menghadapi situasi darurat/emergensi (emergency grant),
e) Grant untuk belanja modal (capital grant),
Kemudian dari sisi penentuan jumlah bantuan spesifik yang akan ditransfer ke daerah, dapat pula
dikelompokkan pada dua jenis (lihat Bergvall, et al, 2006):
a) Closed-ended grant (jumlah yang akan ditransfer ke daerah telah ditetapkan dari awal dan realisasinya
sama dengan pagu anggaran).
b) Open-ended grant (jumlah jumlah akhir dari grant ditentukan oleh realisasi belanja daerah dan
biasanya jenis bantuan ini dirancang sangat menantang untuk dapat direalisasikan oleh daerah).
Dengan variasi yang demikian, pemerintah dapat memilih jenis bantuan khusus sesuai dengan sasaran
yang diinginkan. Untuk tujuan mencapai standar pelayanan minimum nasional di seluruh daerah, jenis
bantuan yang paling direkomendasi adalah bantuan khusus tanpa dana pendamping, yang diikuti
dengan spesifikasi penggunaan dana bagi standar pelayanan minimum. Untuk tujuan mengakomodasi
spillover benefit (pelayanan yang disediakan suatu daerah yang juga dimanfaatkan penduduk daerah lain)
direkomendasikan jenis bantuan khusus dengan dana pendamping (matching grant), dengan tingkat
dana pendamping yang bervariasi. Bagi daerah yang tingkat spillover benefit nya tinggi, dana pendamping
tentunya lebih rendah. Sedangkan untuk tujuan mempengaruhi pola belanja daerah di bidang yang
merupakan prioritas nasional disarankan untuk menggunakan open-ended matching grant (bantuan
khusus dengan dana pendamping dengan jumlah akhir yang dapat saja lebih kecil ataupun lebih besar
dari pagunya). Open-ended grant mengisyaratkan bahwa jumlah bantuan yang diterima oleh setiap
daerah ditentukan oleh realisasinya untuk bidang yang telah ditentukan dalam jangka waktu tertentu.
Dana Alokasi Khusus (DAK) di Indonesia diatur oleh UU 33 Tahun 2004 dan PP 55 Tahun 2005.
Namun demikian pengaturan yang sama juga ada di UU 32 Tahun 2004. Dari peraturan tersebut DAK di
Indonesia dapat dikatakan sebagai specific matching grant, yaitu bantuan yang bersifat khusus dengan
mensyaratkan dana pendamping. Namun dalam peraturan perundang-undangan tidak ditentukan
apakah DAK ini merupakan close-ended grant atau open-ended grant. Dalam prakteknya selama ini
DAK merupakan close-ended grant dalam arti jumlah yang akan diterima oleh daerah untuk satu tahun
anggaran sudah ditentukan dari awal tahun anggaran. Seterusnya apabila daerah tidak bisa menggunakan
DAK sebagaimana ketentuan teknisnya, sisa DAK diakhir tahun anggaran akan menjadi SILPA (sisa lebih
perhitungan anggaran) dan dapat digunakan untuk tujuan yang sama pada tahun anggaran berikutnya.
Dengan itu dapat dipahami bahwa DAK di Indonesia tidak mencakup berbagai jenis specific grant lainnya
seperti bantuan khusus tanpa dana pendamping, bantuan defisit, bantuan emergensi, dll.
Apa sesungguhnya tujuan DAK di Indonesia? Tujuan DAK menurut UU 32 Tahun 2004 dan UU 33 Tahun
2004 adalah untuk membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah dan sesuai
dengan prioritas nasional. Seterusnya dijelasan bahwa DAK dialokasikan kepada daerah tertentu yang
memenuhi kriteria yang ditetapkan (kriteria umum, kriteria teknis dan kriteria khusus). Dengan demikian
tidak semua daerah mendapatkan alokasi DAK (lihat tabel 1)
Sebagai tambahan dari regulasi tersebut, DAK juga diatur oleh PP 55 Tahun 2005 tentang dana
perimbangan yang membatasi DAK hanya untuk kegiatan yang bersifat fisik, sebagaimana tertulis pada
pasal 60 ayat 3 yang berbunyi sbb:
DAK tidak dapat digunakan untuk mendanai administrasi kegiatan, penyiapan kegiatan fisik,
penelitian, pelatihan, dan perjalanan dinas.
Pembatasan DAK lebih lanjut di PP No. 55 Tahun 2005 mengakibatkan tidak adanya DAK untuk kegiatan
yang bersifat non-fisik.
Tabel 17.1.
Definisi DAK menurut UU 32 Tahun 2004
dan UU 33 Tahun 2004
UU 32 Tahun 2004 UU 33 Tahun 2004
Pasal 162 Pasal 1 Ayat 23, Pasal 38-41
1. DAK dialokasikan dari APBN kepada 1. DAK untuk membantu mendanai kegiatan
daerah tertentu dalam rangka pendanaan khusus yang merupakan urusan daerah
pelaksanaan desentralisasi untuk: dan sesuai dengan prioritas nasional
9. Dana pendamping:
• Minimal 10% dari alokasi DAK
• Dianggarkan dalam APBD
• Pengecualian bagi daerah dengan
kapasitas fiskal yang rendah
Terdapat tiga kriteria yang akan menentukan daerah penerima serta jumlah DAK yang akan diterima
daerah, yaitu:
a. Kriteria Umum.
Kriteria umum dihitung untuk melihat kemampuan APBD untuk membiayai kebutuhan-kebutuhan
dalam rangka pembangunan daerah yang dicerminkan dari penerimaan umum APBD dikurangi
belanja pegawai. Daerah yang memiliki kemampuan keuangan di bawah rata-rata nasional
mendapatkan alokasi DAK.
1) Kemampuan Keuangan Daerah (KKD) = Penerimaan Umum APBD – Belanja Pegawai Daerah.
2) Penerimaan Umum = DBH + PAD + DAU.
3) Belanja Pegawai Daerah = gaji PNSD.
b. Kriteria Khusus
1) Ditetapkan dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan yaitu otonomi khusus
NAD dan Papua.
2) Karakteristik wilayah: daerah pesisir dan kepulauan, daerah perbatasan dengan negara-negara
lain, daerah tertinggal/terpencil, dan daerah yang masuk ketegori ketahanan pangan.
3) Hasil kesepakatan Pemerintah dan DPR menambah karakteristik wilayah yaitu: daerah rawan
banjir/lonsor, daerah penampung dan penerima pengungsi, daerah penerima transmigrasi,
daerah pasca konplik, daerah rawan pangan/kekeringan dan daerah yang memiliki pulau terluar.
c. Kriteria Teknis.
Ditetapkan oleh kementrian negara/departemen teknis, yang dicerminkan dengan indikator
indikator yang dapat digunakan untuk menggambarkan kondisi sarana/prasarana pada masing-
masing bidang/kegiatan yang akan didanai oleh DAK, antara lain:
1) Bidang Pendidikan
(a) Jumlah ruang kelas setara SD yang mengalami kerusakan berat.
(b) Indeks kemahalan konstruksi (IKK).
2) Bidang Kesehatan
(a) Human Poverti Indeks (Indeks Kemiskinan Masyarakat/IKM).
(b) Jumlah Puskesmas (perawatan dan non perawatan), puskesmas pembantu (Pustu), Polindes,
Pusling (perairan dan roda empat), Rumah dinas dokter dan paramedis.
(c) Indeks kemahalan konstruksi (IKK).
3) Bidang Infrastruktur.
(a) Infrastruktur Jalan.
• Panjang prasarana jalan (km).
• Panjang prasarana jalan dalam kondisi mantap (km).
• Indeks kemahalan konstruksi (IKK).
(b) Infrastruktur Irigasi.
• Luas daerah irigasi keseluruhan (ha).
• Luas daerah irigasi fungsional (ha).
• Kondisi kerusakan irigasi (ha).
• Produksi padi (ton).
• Indeks kemahalan konstruksi (IKK).
(c) Infrastruktur Air Bersih Pedesaan.
• Jumlah desa (desa).
• Jumlah desa rawan air bersih (desa).
• Indeks kemahalan konstruksi (IKK).
5) Bidang Pertanian.
(a) Jumlah balai perbenihan/pembibitan (unit).
(b) Populasi ternak (ekor).
(c) Luas lahan pertanian (ha).
(d) Jumlah kantor penyuluh pertanian (unit).
(e) Jumlah penyuluh (orang).
(f) Indeks kemahalan konstruksi (IKK).
Besaran alokasi DAK suatu daerah ditentukan berdasarkan perhitungan kriteria pengalokasian, yaitu
Indeks Fiskal Netto (IFN) mewakili kriteria umum, Indeks Karakteristik Wilayah (IKW) mewakili kriteria
khusus dan Indeks Teknis (IT) mewakili kriteria teknis.
Pengalokasian DAK diprioritaskan untuk daerah-daerah yang mempunyai kemampuan fiskal dibawah
rata-rata, yaitu dengan Indeks Fiskal Netto kurang dari satu (IFN < 1) Indeks Fiskal NettoIFN adalah rasio
Fiskal Netto daerah dengan Fiskal Netto seluruh daerah dikalikan dengan jumlah daerah.
FNi
IFNi = xN
FNn
dimana:
i = daerah ke 1, 2, ......... N.
FNi = Fiskal netto daerah ke-i.
N = Jumlah daerah.
KKDi,t-2 = Kemampuan Keuangan Daerah i pada waktu t – 2.
BPi,t-2 = Belanja pegawai daerah i pada waktu t – 2.
Bagi daerah yang kemampuan fiskal riilnya diatas rata-rata ( IFN > 1), maka perlu dilihat dulu Indeks
karakteristik wilayahnya (IKW). Dengan rumus:
(X1 + X2 + ....... + X7 )
IKW i = XN
(X1 + X2 + ....... + X7 )n
di mana:
N = jumlah daerah. X5 = Daerah ketahanan pangan;
X1 ... X7 = bobot karakteristik wilayah, di mana: X6 = Daerah tertinggal dan terpencil;
X1 = Daerah perbatasan darat; X7 = Daerah yang menampung program
X2 = Daerah pesisir dan kepulauan; transmigran;
X3 = Daerah pasca kerusuhan;
X4 = Daerah rawan banjir dan longsor;
Perlakuan invers pada IFN, untuk menyamakan arah pengaruh dengan IKW, karena IFN adalah filter
pertama maka a1 = a2 = 0,5, ditentukan beradasarkan simulasi yang terbaik.
Penentuan Indeks Daerah (ID):
IDi = (IFWi)-1
Daerah yang layak berdasarkan Indeks Daerahnya adalah daerah yang kondisi fiskal netto dan
kerakteristik wilayahnya dikategorikan belum mampu menjamin kebutuhan dasar publik, yaitu daerah
yang mempunyai ID < 1 (ID di bawah rata-rata).
Table 17.2. Jenis dan Jumlah DAK dari Tahun 2003 sampai 2011 (dalam Triliun Rupiah)
Pendidikan 623,4 638,2 1.196,1 2.919,5 5.195,3 7.015,4 9.334,9 9.334,9 10.041,3
Kesehatan 375,0 447,8 607,7 2.406,8 3.381,3 3.817,4 4.017,4 2.829,8 3.000,8
Infrastruktur Jalan 842,5 844,0 992,3 3.924,4 3.113,1 4.044,7 4.500,9 2.810,2 3.900,0
Infrastruktur 338,5 369,9 397,1 1.214,0 858,9 1.497,2 1.549,0 968,4 1.311,8
Irigasi
Prasarana 88,0 276,0 144,0 834,4 539,1 362,0 562,0 386,3 400,0
Pemerintah
Kelautan dan - 320,8 327,9 1.489,6 1.100,4 1.100,4 1.100,4 1.207,8 1.500,0
Perikanan
Infrastruktur Air - - 221,2 1.169,8 1.064,5 1.142,3 1.142,3 357,2 419,6
Minum
Pertanian - - 169,6 2.106,8 1.492,2 1.492,2 1.492,2 1.543,6 1.806,1
Mekanisme penyaluran DAK diatur dengan berbagai peraturan terutama Peraturan Menteri Keuangan.
UU 33 Tahun 2004 tidak mengatur secara detail mengenai mekanisme penyaluran DAK, sebagaimana
pada pasal 42 UU 33 Tahun 2004 disebutkan bahwa “ketentuan lebih lanjut mengenai DAK diatur
dalam peraturan pemerintah”. Peraturan pemerintah di maksud adalah PP 55 Tahun 2005 tentang dana
perimbangan. Pada PP tersebut pasal 62 dijelaskan bahwa “DAK disalurkan dengan cara pemindahbukuan
dari Rekening Kas Umum Negara ke Rekening Kas Umum Daerah”. Untuk itu (pasal 63) Kepala daerah
menyampaikan laporan triwulan yang memuat laporan pelaksanaan kegiatan dan penggunaan DAK
kepada :
1) Menteri Keuangan;
2) Menteri teknis; dan
3) Menteri Dalam Negeri.
Dalam PP juga dijelaskan bahwa penyaluran DAK dapat ditunda apabila Daerah tidak menyampaikan
laporan, dan penundaan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Menteri Keuangan. Sekaligus kemudian pada
pasal 65 PP 55 Tahun 2005 disebutkan bahwa “Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penetapan
program dan kegiatan, penyaluran, dan pelaporan diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan”
Mekanisme penyaluran DAK yang telah berjalan hampir satu dekade terus berubah sejalan perubahan
institusi yang menanganinya di Kementrian Keuangan. Institusi pengelola tersebut awalnya bernama
Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah (DJPKPD), kemudian Direktorat Jenderal
Anggaran dan Perimbangan Keuangan (DJAPK), lalu terakhir bernama Direktorat Jenderal Perimbangan
Keuangan (DJPK). Penyaluran DAK 2007, misalnya, diatur lebih lanjut melalui Peraturan Dirjen
Perbendaharaan Nomor 01/PB/2007 Tahun 2007 tentang Petunjuk Teknis Pengesahan dan Pencairan
daftar isian Pelaksanaan Anggaran DAK TA 2007, yang secara garis besar menyebutkan bahwa pencairan
dana DAK dilakukan secara bertahap, yaitu:
1) Tahap I sebesar 30% berdasarkan Surat Perintah Membayar (SPM) yang dilampiri Daftar Penggunaan
DAK dan copy DPA-SKPD/DASK
2) Tahap II dan seterusnya maksimal sebesar 30% dibayarkan apabila sisa dana DAK di KASDA maksimal
10% dari yang sudah dicairkan, berdasarkan copy SP2D (Surat Perintah Pencairan Dana) daerah,
Daftar Penggunaan Dana dan copy PPh/PPN.
Kemudian mekanisme penyaluran DAK pada tahun 2010 diatur melalui PMK Nomor 126/PMK.07/2010
Tahun 2010 tentang Pelaksanaan dan Pertanggung Jawaban Anggaran Transfer Ke Daerah, yang secara
garis besar menyebutkan bahwa pencairan dana DAK dilakukan secara bertahap, yaitu Tahap I sebesar
30%, Tahap II dan Tahap III masing-masing sebesar 45% dan 25%.
Terakhir, Mekanisme penyaluran DAK diatur dengan PMK 06/PMK.07/2012, pada pasal 26 yang pada
intinya merupakanb penyederhanaan mekanisme dengan cara pemindahbukuan dari Rekening Kas
Umum Negara ke Rekening Kas Umum Daerah yang dilaksanakan secara bertahap, yaitu sebagai berikut:
1) Tahap I : disalurkan sebesar 30% dari pagu alokasi DAK, dilaksanakan paling cepat pada bulan
februari setelah Direktorat Jendral Perimbangan Keuangan (DJPK) menerima Perda APBD tahun
anggaran berjalan, laporan penyerapan penggunaan DAK tahun anggaran sebelumnya, laporan
realisasi penyerapan DAK tahap III tahun anggaran sebelumnya, dan surat pernyataan penyediaan
dana pendamping.
2) Tahap II : disalurkan sebesar 45% dari pagu alokasi DAK, dilaksanakan paling lambat 15 hari kerja
setelah DJPK menerima laporan realisasi penyerapan DAK tahap I tahun anggaran berjalan yang
secara kumulatif telah mencapai 90%.
3) Tahap III : disalurkan sebesar 25% dari pagu alokasi DAK, dilaksanakan paling lambat 15 hari kerja
setelah DJPK menerima laporan realisasi penyerapan DAK tahap II tahun anggaran berjalan.
Dalam pelaksanaannya, penyaluran DAK yang terbanyak terjadi pada triwulan terakhir (Oktober-
Desember) setiap tahunnya. Keterlambatan penyaluran terutama disebabkan persoalan perencanaan
dan pelaksanaan anggaran di daerah serta terlambatnya petunjuk teknis pelaksanaan dari Kementrian/
Lembaga terkait.
Dalam perencanaan dan penganggaran dalam APBD, daerah penerima harus menyediakan dana
pendamping dalam APBD sekurang-kurangnya 10% dari alokasi DAK. Dana pendamping ini dapat
digunakan untuk administrasi kegiatan; penyiapan kegiatan fisik; penelitian; pelatihan; dan perjalanan
pegawai daerah.
Untuk meningkatkan efektifitas pelaksanaan DAK dapat dibentuk Tim Koordinasi pada masing-masing
pemerintah daerah yang bersifat fungsional, yang bertugas mengkoordinasikan kegiatan DAK dalam:
1. Perencanaan, pelaksanaan, pelaporan dan pemantauan.
2. Melakukan sinkronisasi dan sinergi, serta menghindari tumpang tindih dengan kegiatan
pembangunan lainnya, serta.
3. Mengkoordinasikan pelaksanaan kegiatan yang terkait dengan aspek transparansi, partisipasi, dan
akuntabilitas pada masing-masing kegiatan DAK.
Salah satu isu tentang DAK adalah Pengalihan Dana Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan ke DAK,
sebagaimana UU 33 Tahun 2004 pada pasal 108, menyatakan sebagai berikut:
Dana Dekonsentrasi dan Dana Tugas Pembantuan yang merupakan bagian dari anggaran
kementrian negara/lembaga yang digunakan untuk melaksanakan urusan yang menurut peraturan
perundang-undangan menjadi urusan daerah, secara bertahap dialihkan menjadi Dana Alokasi
Khusus.
Kebijakan pengalihan Dana Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan yang membiayai urusan desentralisasi
menjadi Dana Alokasi Khusus adalah sebuah kebijakan penting dalam rangka peningkatan disiplin fiskal
dan penguatan desentralisasi fiskal. Kebijakan ini juga akan mendukung akuntabilitas, mengurangi
standar ganda di daerah, mendukung efektifitas DAK, serta memperkuat mekanisme pemerataan fiskal
antar daerah.
Namun kebijakan ini tidak dengan mudah dapat dilaksanakan. Paling sedikit ada 3 masalah/tantangan
dalam pengalihan Dana Dekon dan TP menjadi DAK. Berikut uraiannya:
a. Kejelasan pembagian urusan antara pusat, propinsi dan kabupaten/kota.
Tantangan utama yang dihadapi dalam upaya menerapkan kebijakan fiscal discipline ini adalah
kejelasan pembagian urusan antar tingkat pemerintahan. Pengalihan Dana Dekon dan TP menjadi
DAK menuntut kejelasan tetang pembagian urusan tersebut. Sudah ada PP 38/2007 tentang
pembagian urusan pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Propinsi dan pemerintah
Kabupaten/Kota. Namun tetap ada bidang urusan tertentu yang menyisakan permasalahan.
b. Sempitnya Definisi DAK mengurangi fleksibilitas dalam menampung berbagai cara Kementrian/
Lembaga untuk menyalurkan dana sektoral.
DAK dalam peraturan perundang-undangan kita diatur sangat sempit. DAK yang sekarang
dipraktekkan pada dasarnya adalah sejenis matching grant, yaitu bantuan spesifik yang
mensyaratkan dana pendamping. Padahal bantuan spesifik itu sangat beragam jenisnya, mulai dari
bantuan spesifik yang diblok untuk bidang pelayanan tertentu sampai kepada bantuan spesifik
yang dikompetisikan (competitive grant). Sempitnya definisi DAK di peraturan perundang-undangan
menyulitkan kementrian/lembaga untuk mengalihkan Dana Dekon dan TP ke DAK. Kementrian/
lembaga punya berbagai macam cara/metode dalam mengalokasi anggarannya ke daerah dan
belum tentu kesemuanya dapat diakomodasi oleh DAK menurut aturan yang sedang berlaku.
c. Resistensi Kementrian/Lembaga Pusat
Pengalihan Dana Dekon dan TP yang membiayai urusan daerah menjadi DAK memiliki konsekuensi
berkurangnya anggaran kementerian/lembaga. Konsekuensi inilah yang biasanya sulit diterima
oleh lembaga pemerintahan di Indonesia. Lembaga pemerintahan di Indonesia sudah terbiasa
dengan praktek anggaran tradisional yang bersifat line-item dan incremental. Turunnya anggaran,
meskipun akibat pengalihan itemnya ke lembaga lain seringkali dianggap sebagai punishment bagi
lembaga tersebut.
Selain itu, pengalihan akan mengurangi peranan kementrian/lembaga pusat terhadap program sektoral
di daerah. Meskipun kementrian/lembaga pusat dapat memiliki peranan dalam membuat petunjuk
teknis penggunaan DAK, namun sebagian kontrol terhadap alokasi dana tersebut ke daerah ditarik oleh
mekanisme dana perimbangan.
Isu lain adalah terkait dengan penggunaan DAK di berbagai daerah yang cenderung belum optimal.
Berbagai faktor turut menyumbangkan terhadap permasalahan ini:
1) Kegiatan DAK lebih diutamakan untuk kegiatan fisik. Hal ini sejalan dengan keinginan UU No.33 Tahun
2004 dan PP 55 Tahun 2005 yang mengutamakan kegiatan pembangunan dan/atau pengadaan
dan/atau peningkatan dan/atau perbaikan sarana dan prasarana fisik pelayanan dasar. Dalam
prakteknya, peraturan ini mempersulit pemanfaatan DAK di daerah, karena berbagai program yang
bersifat non-fisik, yang mana masih sangat dibutuhkan oleh daerah, seperti program penyuluhan
keluarga berencana dan keluarga sehat, yang juga merupakan prioritas nasional, menjadi tidak
terbantu oleh DAK. Di pihak lain, fasilitas fisik berupa gedung puskesmas di daerah mungkin sudah
relatif terpenuhi.
2) DAK dianggarkan secara tahunan, padahal berbagai proyek fisik memerlukan waktu penyelesaian
lebih dari satu tahun anggaran. DAK yang hanya ditetapkan setiap tahun akan menyebabkan tidak
efektifnya pencapaian tujuan DAK. Sebagai contoh, dengan penentuan tahunan, maka program
yang ditetapkan daerah bisa terputus, jika tahun berikutnya tidak turun DAK bersangkutan ke
daerah tersebut.
3) DAK dianggap tidak sesuai dengan yang dibutuhkan oleh daerah meskipun mekanisme alokasi DAK
kepada daerah sudah menggunakan kombinasi pendekatan yang bersifat top-down serta bottom-up.
4) Untuk beberapa daerah yang kurang mampu, alokasi DAK sangatlah dibutuhkan untuk memperbaiki
kondisi pelayanan sesuai dengan standar nasional. Namun demikian, daerah-daerah tersebut
terkendala dalam melaksanakan DAK karena diharuskannya untuk menyediakan dana pendamping
(matching grant).
Untuk tahun 2013 ada terobosan untuk mengatasi berbagai kelemahan DAK dengan payung UU APBN
2013. Pemerintah bersama DPR bersepakat untuk menyediakan DAK tambahan yang mekanismenya
berbeda dengan DAK Reguler. Salah satunya yaitu, DAK tambahan tersebut disediakan tanpa dana
pendampingnya untuk daerah yang KKD nya sangat rendah.
Deskripsi:
Tujuan Instruksional Khusus. Topik ini menjelaskan tentang:
1. Dana Otonomi Khusus 2. Dana Penyesuaian. 3. Beberapa Jenis Dana Penyesuaian:
BOS, DID, TPG, Tamsil Guru serta aspek-aspeknya. 4. Kriteria alokasi dan penggunaan dana.
Referensi:
Referensi
1. UU No. 33/2004
2. PP No. 55/2005
3. Bappenas - LPEM UI (2000)
4. UU APBN dan Nota Keuangan RAPBN Tiap Tahunnya dapat di download dari web
http://www.anggaran.depkeu.go.id
5. Pelengkap Buku Pegangan Penyelenggaraan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah,
Pelaksanaan Desentralisasi Fiskal di Indonesia, berbagai tahun, dapat di download dari
http://www.djpk.depkeu.go.id/
6. PMK 06/2012
7. PMK 165/2012
Alokasi Dana Otsus untuk Papua ditetapkan sebesar 2% (dua persen) dari plafon DAU Nasional per-
tahunnya dan berlaku selama 20 (dua puluh) tahun. Dari Alokasi tersebut, ditetapkan bahwa Provinsi
Papua mendapatkan proporsi 70% (tujuh puluh persen) dan sisanya untuk Provinsi Papua Barat.
Selain dana Otsus, kepada Provinsi Papua dan Papua Barat juga mendapatkan alokasi Dana Tambahan
Infrastruktur yang besarnya disesuaikan kemampuan keuangan negara dan tambahan porsi DBH SDA
Minyak Bumi dan DBH SDA Gas Bumi masing-masing sebesar 55% dan 40% dari PNBP SDA Minyak Bumi
dan SDA Gas Bumi yang berasal dari wilayah propinsi yang bersangkutan.
Dana Otsus untuk Provinsi Aceh adalah berdasarkan Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 tentang
Pemerintahan Aceh. Dana Otsus ini juga berlaku untuk jangka waktu 20 (dua puluh) tahun, dengan
rincian untuk tahun pertama sampai dengan tahun ke-15 besarnya setara dengan 2 % (dua persen)
plafon DAU Nasional dan untuk tahun ke-16 sampai dengan tahun ke-20 besarnya setara dengan 1 %
(satu persen) plafon DAU Nasional. Sedangkan tambahan porsi DBH SDA Minyak Bumi dan DBH SDA
Gas Bumi besarnya sama dengan untuk Propinsi Papua dan Papua Barat yaitu masing-masing sebesar
55% dan 40% dari PNBP SDA Minyak Bumi dan SDA Gas Bumi yang berasal dari wilayah propinsi yang
bersangkutan.
Penyaluran Dana Otsus tersebut dilaksanakan setelah mendapatkan pertimbangan dari Menteri Dalam
Negeri. Penyaluran Dana Otonomi Khusus Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat, Dana Otonomi
Khusus Provinsi Aceh serta Dana Tambahan Infrastruktur dalam rangka Otonomi Khusus Provinsi Papua
dan Provinsi Papua Barat dilaksanakan secara bertahap dan tidak dapat dilakukan sekaligus, yaitu:
2. Dana Penyesuaian
Dana Penyesuaian adalah dana transfer yang bersifat adhoc. Pada dasarnya dana penyesuaian ini
bertujuan untuk menampung program-program tertentu yang tidak tertampung dalam definisi dana
perimbangan, terutama tidak tertampung dalam definisi DAK di Indonesia. Berbagai program prioritas
Pemerintah yang menjadi tugas pemerintah daerah dan menimbulkan beban keuangan di daerah
namun tidak tertampung dalam dana perimbangan, dimunculkan dalam bentuk dana penyesuaian.
Sebagai contoh adalah dana penyesuaian dialokasikan untuk tambahan tunjangan kependidikan guru
Pegawai Negeri Sipil Daerah (PNSD), muncul karena adanya UU Guru dan Dosen yang mengharuskan
Pemerintah untuk menyediakan tambahan dana untuk membayar guru yang sudah disertifikasi. Demikian
juga Dana BOS yang muncul sebagai kebijakan untuk memberikan bantuan operasional ke sekolah dasar,
namun harus disalurkan sebagai bagian dari Dana Transfer ke daerah mengingat sekolah dasar adalah
merupakan urusan Pemda.
Berikut contoh berbagai jenis Dana Penyesuaian di APBN dan APBNP 2010:
• Data Tambahan tunjangan guru PNSD
• Dana Insentif Daerah
• Kurang Bayar DAK 2008
• Kurang Bayar Dana Infrastruktur Sarana dan Prasarana (DISP)
• Dana Penguatan Desentralisasi Fiskal dan Percepatan Pembangunan Daerah
• Dana Penguatan Infrastruktur dan Prasarana Daerah
• Dana Percepatan Pembangunan Infrastruktur Pendidikan
Sedangkan Dana Penyesuaian pada tahun 2011 di APBN dan APBNP adalah:
• Data Tambahan penghasilan guru PNSD
• Dana Insentif Daerah
• Tunjangan Profesi Guru
• Bantuan Operasional Sekolah
• Dana Penyesuaian Infrsatruktur Daerah (DPID)
• Kurang Bayar Dana Sarana dan Prasarana Infrastruktur Propinsi Papua Barat Tahun 2008
Dasar Hukum
Pelaksanaan program Bantuan Operasional Sekolah (BOS) diatur dengan beberapa peraturan menteri
yaitu:
1. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 201/PMK.07/2011 tentang Pedoman Umum dan Alokasi Dana
Bantuan Operasional Sekolah Tahun Anggaran 2012. Peraturan Menteri ini antara lain mengatur
mekanisme penyaluran dana BOS dari Kas Umum Negara ke Kas Umum Daerah serta pelaporannya.
2. Peraturan Menteri Keuangan Nomor 26/PMK.07/2012 tentang Pedoman Umum dan Alokasi Dana
Bantuan Operasional untuk Sekolah di Daerah Terpencil Tahun Anggaran 2012.
3. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 62 Tahun 2011 tentang Pedoman Pengelolaan Bantuan
Operasional Sekolah (BOS). Peraturan Menteri ini antara lain mengaturmekanisme pengelolaan
dana BOS di daerah dan mekanisme penyaluran dari Kas Umum Daerah Propinsi ke Sekolah dengan
hibah.
4. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 51 tahun 2011 tentang Petunjuk Teknis
tentang Penggunaan Dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dan Laporan Keuangan BOS tahun
anggaran 2012. Peraturan Menteri ini antara lain mengatur mekanisme pengalokasian dana BOS
dan penggunaan dana BOS di Sekolah.
Dana BOS merupakan dana yang dialokasikan kepada daerah kabupaten dan kota untuk meringankan
beban masyarakat terhadap pembiayaan pendidikan dalam rangka wajib belajar 12 (duabelas) tahun
yang bermutu. Adapun sekolah penerima BOS adalah Sekolah Dasar/Sekola Dasar Luar Biasa (SD/SDLB)
dan Sekolah Menengah Pertama/Sekolah Menengah Pertama Luar Biasa/Sekolah Menengah Pertama
Terbuka (SMP/SMPLB/SMPT) baik Negeri maupun swasta, termasuk SD-SMP Satu Atap (SATAP)Sekolah
Menengah Atas dan yang sederajad dan Tempat Kegiatan Belajar Mandiri (TKBM) yang diselenggarakan
oleh masyarakat, baik negeri maupun swasta di seluruh provinsi di Indonesia.
Bantuan Operasional Sekolah (BOS) adalah dana yang digunakan terutama untuk biaya non personalia
bagi satuan pendidikan dasar sebagai pelaksana program wajib belajar dan dapat dimungkinkan untuk
mendanai beberapa kegiatan lain sesuai pertunjuk teknis Menteri Pendidikan dan Kebudayaan.
Sejak tahun 2011 penyaluran BOS dilakukan melalui transfer langsung dari Rekening Kas Umum Negara
ke Rekening Kas Umum Daerah, menggantikan mekanisme sebelumnya dimana dana BOS disalurkan
melalui DIPA Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sebagaimana konsep dekonsentrasi. Untuk tahun
2011 dana BOS disalurkan langsung kepada Pemerintah Kabupaten/Kota, dilaksanakan secara triwulanan
masing-masing sebesar ¼ (satu perempat) dari pagu alokasi kepada pemerintah. Selanjutnya pemerintah
daerah wajib menyalurkan BOS kepada masing-masing sekolah paling lambat 7 (tujuh) hari kerja setelah
diterima di Rekening KUD.
Penyaluran BOS dilakukan secara triwulanan (tiga bulanan) masing-masing sebesar ¼ (satu perempat)
dari alokasi BOS yaitu:
• Triwulan Pertama (bulan Januari sampai dengan bulan Maret) dilakukan paling lambat 14 (empat
belas) hari kerja pada awal bulan Januari 2012;
• Triwulan Kedua (bulan April sampai dengan bulan Juni) dilakukan paling lambat 7 (tujuh) hari kerja
pada awal bulan April 2012;
• Triwulan Ketiga (bulan Juli sampai dengan bulan September) dilakukan paling lambat 7 (tujuh) hari
kerja pada awal pada bulan Juli 2012; dan
• Triwulan Keempat (bulan Oktober sampai dengan bulan Desember) dilakukan paling lambat 7
(tujuh) hari kerja pada awal bulan Oktober 2012.
Pemerintah Provinsi wajib menyalurkan BOS kepada masing-masing sekolah paling lambat 7 (tujuh)
hari kerja setelah diterima di Rekening Kas Umum Daerah Provinsi setiap triwulannya. Penyaluran
BOS tersebut mengacu kepada rincian alokasi BOS masing-masing sekolah per kabupaten/kota yang
dihitung/ditetapkan berdasarkan data nama sekolah dan jumlah siswa serta ditetapkan oleh Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan dalam Petunjuk Teknis Penggunaan Dana BOS.
Mulai tahun 2012 dana BOS disalurkan melalui Pemerintah Propinsi secara triwulanan masing-masing
sebesar ¼ (satu perempat) dari pagu alokasi, selanjutnya Pemerintah Propinsi menyalurkan langsung
kepada sekolah dengan mekanisme hibah kepada masing-masing sekolah paling lambat 7 (tujuh) hari
kerja setelah diterima di Rekening KUD Propinsi.
Dana BOS 2012 membedakan antara penyaluran daerah non terpencil dan terpencil, untuk daerah
terpencil penyaluran dilakukan secara semesteran. Pada Semester I, DJPK menyalurkan BOS utk daerah
terpencil ke Pemda Provinsi paling lambat 14 hari setelah PMK alokasi diundangkan. Besaran penyaluran
sebesar 50% dari alokasi untuk tiap semester-nya. Pemda Propinsi menyalurkan ke masing-masing
sekolah paling lambat 7 hari kerja setelah dana diterima di RKUD.
Untuk tahun angaran 2012 alokasi untuk SD dan SMP per siswa per tahun diberikan sebesar:
• SD/SDLB di kabupaten dan kota sebesar Rp. 580.000,00 per siswa per tahun;
• SMP/SMPLB/SMPT di Kabupaten dan kota sebesar Rp. 710.000,00 per siswa per tahun.
Total alokasi BOS TA 2012 adalah sebesar Rp. 23.594.800.000.000,00 (dua puluh tiga triliun lima ratus
sembilan puluh empat miliar delapan ratus juta rupiah) disediakan untuk daerah dengan rincian sebagai
berikut:
• BOS yang dialokasikan ke kabupaten/kota melalui propinsi sebesar Rp. 22.441.115.420.000 untuk
36.579.003 siswa yang terdiri dari 27.153.667 siswa SD dan 9.425.336 siswa SMP; dan
• Dana Cadangan BOS (Buffer fund) sebesar Rp. 1.153.684.580.000,00 yang dipergunakan untuk
mengantisipasi jumlah siswa yang belum terhitung atau bertambahnya jumlah siswa dari perkiraan
semula per triwulannya pada tahun anggaran berjalan.
Pencairan Dana Cadangan (Buffer Fund) dan Perlakuan atas Lebih Salur
Dana cadangan BOS (Buffer fund) pencairannya dilakukan setelah mendapatkan rekomendasi kurang
salur BOS dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan berdasarkan ketersediaan dan perkembangan
data jumlah siswa per triwulan dalam tahun anggaran berjalan.
Informasi terkait kurang salur BOS selanjutnya ditindaklanjuti dengan penyampaian rekomendasi oleh
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan kepada Menteri Keuangan untuk menjadi dasar pencairan dana
cadangan BOS yang selanjutnya akan disalurkan ke provinsi.
Apabila terdapat lebih salur, maka lebih salur tersebut akan diperhitungkan sebagai pengurang
dalam penyaluran alokasi BOS triwulan berikutnya. Untuk lebih salur pada Triwulan Keempat akan
diperhitungkan sebagai pengurang dalam penyaluran Triwulan Pertama tahun anggaran berikutnya
setelah memperhatikan rekomendasi dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Kriteria Penilaian
DID dialokasikan kepada daerah provinsi dan kabupaten/kota dengan mempertimbangkan kriteria
daerah yang berprestasi yang memenuhi 3 (tiga) kriteria tertentu, yaitu Kriteria Utama, Kriteria Kinerja,
dan Batas Minimum Kelulusan Kinerja.
a. Kriteria Utama, meliputi sekurang-kurangnya mendapatkan opini Wajar Dengan Pengecualian
(WDP) dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atas laporan keuangan dan penetapan APBD yang
tepat waktu.
b. Kriteria Kinerja, terdiri dari Kriteria Kinerja Keuangan, Kriteria Kinerja Pendidikan, dan Kriteria Kinerja
Ekonomi dan Kesejahteraan.
(1) Kriteria Kinerja Keuangan meliputi daerah yang mampu meningkatkan dan empertahankan
kualitas Laporan Keuangannya untuk memperoleh opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) atau
WDP dari BPK, daerah yang menetapkan Peraturan Daerah tentang APBD secara tepat waktu,
dan kenaikan Pendapatan Asli Daerah (PAD) di atas rata-rata Nasional.
(2) Kriteria Kinerja Pendidikan meliputi daerah yang mampu mencapai Angka Partisipasi Kasar
Sekolah Dasar dan sederajatnya di atas rata-rata nasional dan/atau daerah yang mampu
mencapai Angka Partisipasi Kasar Sekolah Menengah Pertama dan sederajatnya di atas rata-
rata nasional, dan daerah yang mampu mengurangi jarak indeks Pembangunan Manusia (IPM)
terhadap IPM ideal (100) di atas rata-rata nasional.
(3) Kriteria Kinerja Ekonomi dan Kesejahteraan meliputi daerah yang mampu mencapai tingkat
pertumbuhan ekonomi di atas rata-rata tingkat pertumbuhan ekonomi nasional, daerah yang
mampu mengurangi tingkat kemiskinan di atas rata-rata pengurangan tingkat kemiskinan
nasional, daerah yang mampu mengurangi tingkat pengangguran di atas rata-rata tingkat
pengangguran nasional, dan daerah yang memiliki Kemampuan Fiskal Daerah terhadap IPM-
nya di atas atau di bawah rata-rata nasional.
c. Batas Minimum Kelulusan Kinerja adalah nilai minimum tertentu atas hasil pembobotan terhadap
masing-masing unsur penilaian dan Kriteria Kinerja Keuangan, Kriteria Kinerja Pendidikan, serta
Kriteria Kinerja Ekonomi dan Kesejahteraan.
Alokasi Minimum
Dalam alokasi DID Tahun Anggaran 2012 juga dikenal adanya alokasi minimum yang diberikan kepada
daerah yang telah memenuhi minimal persyaratan penilaian atas kriteria utama diberikan alokasi minimal
sebesar Rp2.000.000.000,- sedangkan bagi daerah yang menyampaikan LKTD ke BPK tepat waktu
mendapatkan insentif tambahan sebesar Rp.3.000.000.000,-.
Penggunaan DID
DID dialokasikan untuk membantu daerah dalam rangka melaksankan fungsi pendidikan sebgai kebijakan
pemerintah pusat. Pengalokasian fungsi belanja pendidikan dalam APBD menjadi kewenangan/urusan
daerah untuk membiayai penyelenggaraan pendidikan yang menjadi tanggung jawab pemerintah
daerah. Penggunaan DID diutamakan untuk kegiatan penuntasan reahabilitasi ruang kelas SD dan
SMP yang rusak. Selain itu dapat juga untuk kegiatan-kegiatan lain dalam rangka pelaksanaan fungsi
kendidikan dengan jenis belanja modal, barang, pegawai, bantuan keuangan dan hibah.
Kegiatan yang tidak dapat dibiayai dari DID meliputi pendanaan untuk dana pendamping DAK, kegiatan
yang dibiayai dari DAK, BOS, pendidikan kedinasan dan hibah kepada perusahaan daerah.
Penyaluran
Penyaluran DID dilakukan secara sekaligus melalui transfer dari Rekening Kas Umum Negara kepada
Rekening Kas Umum Daerah setelah daerah penerima menyampaikan Perda APBD tahun berjalan, Surat
Pernyataan pencantuman DID dalam APBD/ APBD-P, dan Rencana penggunaan DID kepada Dirjen
Perimbangan Keuangan.
Dana TPG
Dana Tunjangan Profesi Guru diberikan kepada Guru Pegawai Negeri Sipil Daerah yang telah memiliki
sertifikat pendidik dan memenuhi persyaratan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Tunjangan Profesi Guru-PNSD diberikan sebesar maksimal 1 kali gaji pokok PNS yang bersangkutan.
Penyaluran TPGuru-PNSD dilaksanakan dengan cara pemindahbukuan dari RKUN ke RKUD secara
triwulanan pada akhir triwulan yang bersangkutan, masing-masing triwulan sebesar 25% pagu alokasi
per daerah. Penyaluran Triwulan II dilakukan setelah Laporan Realisasi Semester II Dana TPGuru-PNSD TA
2011 diterima oleh Dirjen Perimbangan Keuangan.
Mulai tahun 2009, DTP Guru PNSD merupakan komponen Anggaran Transfer ke Daerah dalam Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara. Dalam hal DTP Guru PNSD yang telah disalurkan oleh Pemerintah Pusat
kepada Pemerintah Daerah tidak mencukupi kebutuhan pembayaran DTP Guru PNSD, Pemerintah Daerah
dapat melaksanakan optimalisasi penyerapan DTP Guru PNSD yang tersalur dengan cara melaksanakan
pembayaran DTP Guru PNSD kepada Guru PNSD berdasarkan jumlah bulan.
Apabila masih terdapat selisih anatra pagu yang ditrasnfer dengan realisasinya akan diperhitungkan
dengan alokasi DTP Guru PNSD Tahun Anggaran berikutnya
Dengan adanya Dana Transfer Lainnya akan sangat membantu dalam operasional daerah baik Kabupaten
maupun Kota. di samping adanya keuntungan juga terdapat kekurangan didalam pelaksanaannya.
Seperti misalnya untuk Dana Otonomi Khusus terdapat penyimpangan dalam penggunaannya; yang
semestinya untuk percepatan pembangunan daerah akan tetapi digunakan untuk mendanai operasional
pemerintahan. Sedangkan untuk yang lainnya adalah tidak sampainya dana tersebut kepada sasaran dan
sering terjadi penyelewengan.
Deskripsi:
Topik ini menjelaskan konsep Lain-lain Pendapatan Daerah yang Sah (LPDS),
optimalisasi LPDS, dan Isu-isu Terkini tentang LPDS.
Latihan
Referensi:
1. UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan
Pemerintahan Daerah.
2. PP No. 55 Tahun 2005 tentang Dana Perimbangan.
3. PP No. 57 Tahun 2005 tentang Hibah.
4. PP No. 10/2011 tentang Tatacara pinjaman LN dan Penerimaan Hibah.
5. PMK tahun berjalan
19.1. Konsep, Jenis, dan Sumber Lain-Lain Pendapatan Daerah yang Sah
Sebagaimana telah dibahas pada bagian sebelumnya, struktur APBD merupakan satu kesatuan dan tidak
dapat dipisahkan, yaitu sebagai berikut:
a. pendapatan daerah;
b. belanja daerah; dan
c. pembiayaan daerah.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Lain-lain Pendapatan Daerah yang Sah (LPDS) adalah
merupakan pendapatan yang tidak dapat dipisahkan dari pendapatan yang secara keseluruhan masuk
dalam Pendapatan Pemerintah/Daerah. LPDS ini merupakan wewenang dari daerah untuk mengelola
dan menggunakannya sesuai dengan peraturan yang berlaku. Perlu diperhatikan bahwa “LPDS” (Lain-lain
Pendapatan Daerah yang Sah) berbeda dengan “LPADS” (Lain-lain PAD yang Sah).
Tabel 19.1
PEMERINTAH KABUPATEN SUBANG
RINGKASAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA
DAERAH TAHUN ANGGARAN 2013
No Uraian Jumalah
1. PENDAPATAN DAERAH 1.499.668.098.462,00
1.1. PENDAPATAN ASLI DAERAH 119.940.035.200,00
1.1.1. HASIL PAJAK DAERAH 1) 42.415.500.000,00
1.1.2. HASIL RETRIBUSI DAERAH 1) 18.569.535.200,00
1.1.3. HASIL PENGELOLAAN KEKAYAAN DAERAH YANG DIPISAHKAN 11.410.000.000,00
1.1.4. LAIN-LAIN PENDAPATAN ASLI DAERAH YANG SAH 47.545.000.000,00
1.2. DANA PENGEMBANGAN 1.310.990.826.663,00
1.2.1. DANA BAGI HASIL PAJAK/BAGI HASIL BUKAN PAJAK 218.926.194.663,00
1.2.2. DANA ALOKASI UMUM 1.032.567.532.000,00
1.2.3. DANA ALOKASI KHUSUS 59.497.100.000,00
1.3. LAIN-LAIN PENDAPATAN DAERAH YANG SAH 68.737.236.599,00
1.3.1. PENDAPATAN HIBAH 2.425.100.000,00
1.3.3. DANA BAGI HASIL PAJAK DARI PROPINSI DAN PEMERINTAH 66.312.136.599,00
DAERAH LAINNYA
Semua jenis pendapatan yang sah yang tidak masuk kepada kategori PAD dan Dana Perimbangan adalah
merupakan lain-lain pendapatan daerah yang sah. Jenisnya antara lain:
1. Pendapat Hibah
2. Dana Bagi Hasil Pajak dari Provinsi dan Pemerintah daerah lainnya
3. Bantuan Keuangan dari Provinsi atau Pemerintah Daerah lainnya
4. Dana Penyesuaian dan Otonomi Khusus
5. Dana Darurat
6. Lainnya.
Pada bagian berikutnya akan diuraikan beberapa jenis lain-lain pendapatan daerah yang sah yang cukup
besar. Terkait dana penyesuaian dan dana otonomi khusus, penjelasannya ada di bagian dana transfer
lainnya.
Sebagaimana diamanatkan oleh UU 32 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah
Pusat dan Pemerintahan Daerah, salah satu sumber pendanaan Pemerintahan Daerah adalah Pendapatan
Asli Daerah (PAD), yang bersumber dari pemungutan Pajak dan Retribusi Daerah, hasil pengelolaan
kekayaan daerah yang dipisahkan, dan lain-lain PAD yang sah. Lebih lanjut, pelaksanaan pemungutan
Pajak dan Retribusi Daerah tersebut diatur dengan Undang-undang tersendiri, yang saat ini adalah UU 28
Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
Berdasarkan UU 28/2009 tersebut, pendapatan pajak provinsi yang harus dibagihasilkan kepada
kabupaten/kota dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Tabel 19.2.
Pendapatan Pajak Provinsi yang
Dibagihasilkan Kepada Kabupaten/Kota
Jenis Pajak Proporsi Bagi Hasil
Provinsi Kab/Kota
Pajak Kendaraan Bermotor 70% 30%
Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor 70% 30%
Pajak Bahan Bakar Kendaraan 30% 70%
Bermotor
Pajak Rokok 30% 70%
Pajak Air Permukaan 50% 50%
20% 80%
Selanjutnya bagian kabupaten/kota dialokasikan per kabupaten/kota yang ada di provinsi tersebut, dengan
memperhatikan aspek pemerataan dan/atau potensi antar kabupaten/kota.
Contoh Kasus
1) Penerimaan Pajak Kendaraan Bermotor Provinsi X senilai Rp500 miliar. Provinsi X terdiri dari 1 Kota dan
4 Kabupaten. Buatlah beberapa alternatif Bagi Hasil yang dapat diterapkan oleh Pemerintah Provinsi X
dengan memperhitungkan aspek pemerataan dan/atau potensi (buat asumsi potensi setiap kabupaten/
kota).
2) Penerimaan Pajak Air Permukaan Provinsi Y senilai Rp1 miliar. Provinsi Y terdiri dari 1 kota dan 4 kabupaten.
Penerimaan Pajak Air Permukaan diperoleh dari pemanfaatan sungai yang mengaliri 1 kota dan 1
kabupaten. Buatlah beberapa alternatif Bagi Hasil yang dapat diterapkan oleh Pemerintah Provinsi Y
dengan memperhitungkan aspek pemerataan dan/atau potensi (buat asumsi potensi setiap kabupaten/
kota).
Konsep Dasar
Pendapatan Hibah adalah pendapatan yang diterima Pemerintah Daerah, baik berupa barang/jasa
ataupun uang dari dari berbegai pihak (seperti Pemerintah, Pemerintah Daerah, BUMN, individu/badan
swasta dalam negeri) yang tidak perlu dibayar kembali.
Sesuai dengan definisi di atas Pendapatan Hibah Pemerintah Daerah dapat bersumber dari Pemerintah
(pusat), pemerintah daerah lain, badan/lembaga organisasi swasta dalam negeri, dan atau kelompok
masyarakat/perorangan dalam negeri. Hibah dari lembaga internasional/pemerintah asing ke Pemerintah
Daerah harus melalui Pemerintah Pusat. Sehingga hibah dari Pemerintah (pusat) sendiri dapat bersumber
dari pendapatan APBN, pinjaman luar negeri, dan/atau hibah luar negeri. Hibah dari Pemerintah Pusat
yang bersumber dari Luar Negeri disebut juga penerusan hibah ke daerah. Nilai dari keseluruhan hibah
ke daerah khususnya dari Pemerintah (pusat) selama beberapa tahun ini memang tidak terlalu signifikan
jika dibandingkan dengan transfer ke daerah.
Hibah kepada Pemerintah Daerah dapat digunakan untuk mendukung pelaksanaan kegiatan urusan
pemerintahan yang merupakan kewenangan Pemerintah Daerah. Untuk Hibah yang bersumber dari
penerimaan dalam negeri APBN dan dari pihak lain di dalam negeri dituangkan dalam Naskah Perjanjian
Hibah Daerah (NPHD). Sedangkan Hibah yang bersumber dari luar negeri (baik dari pinjaman luar
negeri maupun hibah luar negeri yang diterus hibahkan) dilakukan melalui Pemerintah Pusat melalui
penandatanganan Naskah Perjanjian Penerusan Hibah (NPPH) antara Pemerintah c.q. Menteri Keuangan
atau kuasanya dengan kepala daerah. Khusus untuk hibah dari Pemerintah (pusat) yang bersumber dari
pinjaman luar negeri, prioritas diberikan kepada daerah berkapasitas fiskal rendah berdasarkan peta
kapasitas fiskal yang ditetapkan dalam Peraturan Menteri Keuangan dan atau prioritas sebagaimana
ditetapkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang/Menengah (RPJP/RPJM).
Apabila dalam naskah Perjanjian Hibah Daerah dipersyaratkan untuk menyediakan dana pendamping,
maka hibah diberikan kepada penerima hibah yang bersedia menyediakan dana pendamping.
Hibah mempunyai 3 bentuk, yaitu:
1) Hibah dalam bentuk uang;
2) Hibah dalam bentuk barang dapat berupa tanah, peralatan dan mesin, gedung dan bangunan jalan
irigasi jaringan, aset tetap lainnya sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan;
3) Hibah dalam bentuk jasa dapat berupa bantuan teknis pendidikan, pelatihan, penelitian dan jasa
Iainnya.
Ruang lingkup hibah daerah meliputi:
1) Hibah Daerah, meliputi:
a. Hibah kepada Pemerintah Daerah;
b. Hibah dari Pemerintah Daerah.
Mekanisme Penyaluran
Penyaluran hibah kepada pemerintah daerah berdasarkan Rencana Tahunan untuk setiap permintaan
penyaluran hibah kepala daerah wajib menyampaikan surat permintaan penyaluran hibah yang dilampiri
dengan Surat Tanggung Jawab Mutlak dan dokumen terkait kepada Kuasa Pengguna Anggaran Hibah
kepada Pemerintah Daerah. Permintaan penyaluran dilakukan setelah ada pengesahan Daftar Isian
Pelaksanaan Anggaran Hibah kepada Pemerintah Daerah. Dokumen terkait tersebut harus mendapat
pertimbangan dari kementerian lembaga terkait sebelum disampaikan Kuasa Pengguna Anggaran –
Hibah Kepada Pemerintah Daerah (KPA-HPD).
Penyaluran hibah berupa uang yang sumbernya berasal dari pendapatan APBN dilakukan melalui
pemindahbukuan dari RKUN ke RKUD. Pemerintah daerah dalam rangka penyaluran hibah membuka
rekening tersendiri yang bersifat khusus untuk menampung dana hibah sebagai bagian dari RKUD sesuai
peraturan perundang-undangan. Kepala Daerah atau kuasanya menyampaikan nomor rekening, nama
rekening dan nama bank kepada KPA- HPD yang dilampiri dengan copy bukti pembukaan rekening.
Permintaan atas penyaluran hibah untuk tahap pertma dilampiri dengan dokumen terkait:
a) Rencana penggunaan hibah
b) Copy DPA – SKPD dan dokumen pendukung terkait
c) Copy SPM yang disampaikan oleh SKPD kepada BUD dalam rangka pencairan dana hibah dan
dokumen pendukung terkait.
Permintaan atas penyaluran hibah sebagaimana dimaksud untuk tahap berikutnya dilampiri dengan
dokumen terkait:
a) Rencana penggunaan hibah
b) Copy SPM yang disampaikan oleh SKPD kepada BUD dan copy rekening Koran dalam rangka
pencairan dana hibah dan dokumen pendukung terkait
c) Laporan kemajuan pelaksanaan kegiatan dan dokumen terkait
d) Copy SP2D yang disahkan oleh BUD untuk tahap sebelumnya dan dokumen terkait
e) Laporan penggunaan hibah dan laporan penggunaan dana pendamping untuk tahap sebelumnya
yang ditetapkan oleh SKPD dan BUD serta dokumen pendukung terkait
Dalam hal penyaluran hibah tahap terakhir telah dilakukan oleh KPA – HDP, Kepala Daerah atau kuasanya
menyampaikan dokumen antara lain:
a) Copy SP2D yang disahkan oleh BUD dan dokumen pendukung terkait.
b) Laporan penggunaan hibah dan laporan penggunaan dana pendamping secara keseluruhan yang
ditetapkan oleh SKPD dan dokumen pendukung terkait.
19.4. Dasar Hukum, Optimalisasi, dan Isu Terkini tentang Lain-Lain Pendapatan Daerah
yang Sah
Dasar Hukum
Dalam rangka melaksanakan pengelolaan Lain-lain Pendapatan Daerah Yang Sah, maka telah diterbitkan
beberapa peraturan perundang-undangan terkait yaitu:
1) Undang-undang Nomor 5 tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah;
2) Undang-undang Nomor 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara;
3) Undang-Undang Nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak dan Retribusi Daerah;
4) Peraturan Pemerintah Nomor 1 tahun 2008 tentang Investasi Pemerintah;
5) Peraturan Pemerintah Nomor 58 tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah;
6) Peraturan Pemerintah Nomor 6 tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah;
7) Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Uang Negara dan Daerah;
8) Peraturan Pemerintah Nomor 71 tahun 2010 tentang Standar akuntansi Pemerintahan;
9) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan
Daerah, sebagaimana diubah dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 59 tahun 2007 dan
Peraturan Pemerintah Nomor 21 tahun 2011;
10) Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 17 tahun 2007 tentang Pedoman Pengelolaan Barang Milik
Daerah.
Optimalisasi
Optimalisasi LPDS dapat dilakukan baik melalui usaha intensifikasi maupun ekstensifikasi. Intensifikasi
dimaksudkan adalah bagaimana upaya untuk meningkatkan LPDS dengan cara meningkatkan usaha
pemungutan dari obyek LPDS yang selama ini belum dilakukan secara optimal; sehingga realisasinya
akan meningkat. Sedangkan usaha ekstensifikasi dilakukan melalui usaha-usaha untuk mengembangkan
obyek LPDS yang terbaru yang sebelumnya tidak dilakukan. Optimalisasi LPDS yang berada dalam
lingkup kewenangan Pemerintah Daerah adalah terkait dengan Bagi Hasil Pajak Propinsi. Jika Pemerintah
Kabupaten/Kota dapat membantu Pemerintah Propinsi untuk mengoptimalkan pendapatan pajak
propinsi, maka Pemerintah Kabupaten/Kota akan menerima bagihasil yang semakin besar.
Isu Terkini
Isu-isu yang berkembang saat ini yang berkaitan dengan LPDS adalah dengan semain banyaknya jenis
dana penyesuaian (dalam bentuk dana transfer dari Pusat ke daerah) yang bersifat ad hoc tentu akan
mengganggu kepastian pendapatan daerah. Dana yang bersifat ad hoc tidak bisa diandalkan sebagai
sumber pendanaan pelayanan publik di daerah karena bisa mengganggu keberlanjutan pelayanan jika
hanya bersifat temporer. Namun ada juga LPDS yang berasal dari dana penyesuaian yang sudah menjadi
rutinitas tahunan seperti Dana BOS. Dana ini sebaiknya ke depan dipindahkan ke kelompok transfer rutin,
bukan di LPDS.
1. Jelaskan penyajian Lain-lain Pendapatan Daerah Yang Sah dalam Laporan Realisasi Anggaran!
2. Jelaskan perbedaan antara LPDS dengan Lain-lan PAD yang sah!
3. Jelaskan komponen Lain-lain Pendapatan Daerah Yang Sah!
Deskripsi:
Topik ini menjelaskan tentang : • Azas umum penatausahaan keuangan daerah;
• Sisdur penerimaan pendapatan SKPD dan PPKD; • Sisdur penyetoran pendapatan
ke kas daerah; • Sisdur restitusi penerimaan pendapatan.
Latihan
Referensi:
1. PP No. 58/2005
2. Permendagri No. 13/2006 jo. 59/2007 jo 21/2011
3. Permendagri No. 55/2008
4. PP No. 60/2008
5. Abdul Halim (2012)
6. SE Ditjen DJPK ttg Sisdur.
Sebagaimana dinyatakan dalam pasal 184 Permendagri 13/2006, azas umum penatausahan keuangan
daerah meliputi 2 hal yaitu:
1) Kewajiban penyelenggaraan penatausahaan.
Bahwa Pengguna Anggaran/Kuasa pengguna anggaran, bendahara penerimaan/pengeluaran
dan orang atau badan yang menerima atau menguasai uang/barang/kekayaan daerah wajib
menyelenggarakan penatausahaan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(2) Tanggung jawab kebenaran material atas bukti penerimaan dan/atau pengeluaran.
Bahwa Pejabat yang menandatangani dan/atau mengesahkan dokumen yang berkaitan dengan
surat bukti yang menjadi dasar penerimaan dan/atau pengeluaran atas pelaksanaan APBD
bertanggungjawab terhadap kebenaran material dan akibat yang timbul dari penggunaan surat
bukti dimaksud.
Berdasarkan Permendagri 55 tahun 2008 tentang Tata Cara Penatausahaan dan Pertanggungjawaban
Bendahara serta Penyampaiannya, disebutkan jenis penatausahaan penerimaan pendapatan meliputi :
a. Dasar penerimaan
Penerimaan pendapatan didasarkan pada Surat Ketetapan Pajak (SKP) Daerah dan/atau Surat
Ketetapan Retribusi (SKR) dan/atau dokumen lain yang dipersamakan dengan SKP/SKR dari wajib
pajak dan/atau wajib retribusi dan/atau pihak ketiga yang berada dalam pengurusannya.
b. Prinsip umum
• Setiap penerimaan pendapatan yang diterima oleh Bendahara penerimaan SKPD harus disetor
ke rekening Kas Umum Daerah paling lambat 1 (satu) hari kerja berikutnya.
Untuk daerah yang kondisi geografisnya sulit dijangkau dengan komunikasi dan transportasi
sehingga melebihi batas waktu penyetoran, maka hal ini akan ditetapkan dengan peraturan
kepala daerah (SE-900/316/BAKD Tahun 2007).
• Penyetoran penerimaan pendapatan ke rekening Kas Umum Daerah pada bank pemerintah
yang ditunjuk dianggap sah setelah kuasa BUD menerima nota kredit dari bank.
• Bendahara penerimaan dilarang menyimpan uang, cek atau surat berharga yang dalam
penguasaannya lebih dari 1 (satu) hari kerja dan/atau atas nama pribadi pada bank atau giro
pos.
• Penerimaan SKPD tidak boleh digunakan langsung untuk membiayai pengeluaran.
• Bendahara penerimaan pada SKPD wajib menyelenggarakan pembukuan terhadap seluruh
penerimaan dan penyetoran atas penerimaan yang menjadi tanggungjawabnya.
• Bendahara penerimaan pada SKPD wajib menyampaikan laporan pertanggungjawaban
penerimaan kepada PPKD paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya.
2) Pengguna Anggaran
• Berwenang menetapkan Surat Ketetapan Retribusi (SKR)
• Menerima dan mengesahkan Laporan Pertanggungjawaban Penerimaan dari Bendahara
Penerimaan melalui PPK SKPD
3) PPK SKPD
• Berwenang melakukan verifikasi harian atas penerimaan
4) Bendahara Penerimaan
• Bertugas menerima pembayaran sejumlah uang yang tertera pada SKP Daerah/SKR dari Wajib
Pajak/Retribusi
• Memverifikasi kesesuaian jumlah uang yang diterima dengan dokumen SKR yang diterimanya
dari Pengguna Anggaran
• Membuat Surat Tanda Setoran (STS) dan Surat Tanda Bukti Pembayaran/Bukti lain yang sah
• Menyerahkan Tanda Bukti Pembayaran/tanda bukti lain yang sah kepada Wajib Pajak/Retribusi
• Membuat dan menyampaikan Laporan Pertanggungjawaban Penerimaan kepada Pengguna
Anggaran dan PPKD selaku BUD
5) PPKD selaku BUD
• Bertugas menerima Laporan Pertanggungjawaban Penerimaan dari Bendahara Penerimaan
• Melakukan verifikasi, evaluasi, serta analisis atas laporan pertanggungjawaban bendahara
penerimaan SKPD dalam rangka rekonsiliasi penerimaan.
Sumber: diolah.
2) Pengguna Anggaran menyerahkan Surat Ketetapan Retribusi (SKR) yang telah diterbitkan
kepada Bendahara Penerimaan dan Wajib Pajak/Retribusi. Bagi Bendahara Penerimaan, SKP
Daerah dan SKR tersebut nantinya digunakan untuk keperluan melakukan verifikasi pada
saat penerimaan pendapatan;
3) Wajib Pajak/Retribusi membayarkan sejumlah uang sesuai dengan yang tertera dalam SKP
Daerah/SKR kepada Bendahara Penerimaan;
4) Bendahara Penerimaan memverifikasi kesesuaian jumlah uang yang diterima dari Wajib
Pajak/Retribusi dengan dokumen SKP Daerah/SKR;
5) Jika hasil verifikasi diperoleh kesesuaian antara jumlah uang yang diterima dari Wajib Pajak/
Retribusi dengan SKP Daerah/SKR, maka Bendahara Penerimaan menerbitkan Surat Tanda
Bukti Pembayaran/Bukti lain yang sah dan membuat Surat Tanda Setoran (STS);
7) Bank mengotorisasi STS dan membuat Nota Kredit. STS yang telah diotorisasi diserahkan
kembali ke Bendahara Penerimaan sedangkan Nota Kredit diserahkan ke BUD.
PEMERINTAH
NO. URUT
PROVINSI/KABUPATEN/KOTA SURAT KETETAPAN PAJAK DAERAH (SKP-DAERAH)
: ………..
……….
:
…………………………………………
MASA …
:
…………………………………………
TAHUN …
NAMA : ……………………………………………
ALAMAT : ……………………………………………
NOMOR POKOK WAJIB PAJAK DAERAH
(NPWPD) : ……………………………………………
TANGGAL JATUH TEMPO : ……………………………………………
JUMLAH
NO KODE REKENING URAIAN PAJAK DAERAH
(Rp)
1
2
3
4
Jumlah Ketetapan Pokok Pajak
Jumlah Sanksi: a. Bunga
b. Kenaikan
Jumlah Keseluruhan
Dengan huruf : ……………………………………………………………………………………………………………..
PERHATIAN :
1. Harap penyetoran dilakukan pada Bank/ Bendahara Penerimaan …………….
2. Apabila SKPD ini tidak atau kurang dibayar lewat waktu paling lama 30 hari setelah SKPD diterima
(tanggal jatuh tempo) dikenakan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2 % perbulan
………………...Tanggal ………………
(Tanda tangan)
(nama lengkap)
NIP.
_ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ potong di sini_ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _
______ _
NO. URUT
:
…………
TANDA TERIMA …
(Tanda tangan)
(Nama Lengkap)
NO. URUT :
SURAT KETETAPAN RETRIBUSI
PEMERINTAH ………..
PEMERINTAH SURAT KETETAPAN RETRIBUSI
NO. URUT :
PROVINSI/KABUPATEN/KOTA
(SKR) ………..
..........
MASA : …………………………
TAHUN : …………………………
NAMA : ……………………………………
ALAMAT : ……………………………………
NO. POKOK WAJIB RETRIBUSI (NPWR) : ……………………………………
TANGGAL JATUH
TEMPO : ……………………………………
………………...Tanggal ………………
(Tanda tangan)
(nama lengkap)
NIP.
_ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ potong di sini_ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _
_______
NO. URUT :
TANDA
TERIMA ……………
………………...Tanggal
NAMA : …………………………………………… ………………
ALAMAT : ……………………………………………
Yang menerima,
(Tanda tangan)
(nama lengkap)
Bank :
STS No. … … … … … … ……………
No. Rekening :
……………
Adapun bagan alir (flowchart) penerimaan pendapatan secara tunai dapat dilihat pada Bagan 20.2.
Diserahkan
Uang Uang Ke BUD
SKP Daerah /
SKP STS STS Nota Kredit
STS
ket. warna
Uraian :
1. Pengguna Anggaran Menyerahkan 2. Wajib Pajak/ Retribusi membayarkan 3. Bendahara Penerimaan memverifikasi
SKP Daerah/SKR kepada Bendahara sejumlah uang tertera dalam SKP kesesuaian jumlah uang yang
Penerimaan dan Wajib Pajak/Retribusi Daerah/ SKR kepada Bendahara diterimanya dengan dokumen SKP
Penerimaan Daerah/ SKR yang diterimanya dari
pengguna anggaran
4. Setelah diverifikasi, Bendahara 5. Bendahara menyerahkan Tanda Bukti 6. Bank Membuat Nota Kredit dan
penerimaan akan menerbitkan STS Pembayaran/ Bukti lain yang Sah mengotorisasi STS. Bank kemudian
dan Surat Tanda Bukti Pembayaran/ kepada Wajib Pajak/ Retribusi dan menyerahkan kembali STS kepada
Bukti lain yang sah menyerahkan uang yang diterimanya Bendahara Penerimaan. Nota Kredit
tadi beserta STS kepada Bank disampaikan Kepada BUD
3) Bank menerbitkan Slip Setoran/Bukti lain yang sah dan Nota Kredit;
4) Bank menyerahkan slip setoran/bukti lain yang sah kepada Wajib Pajak/Retribusi dan Nota
Kredit kepada BUD;
5) Wajib Pajak/Retribusi menyerahkan slip setoran/bukti lain yang sah kepada Bendahara
Penerimaan.
PEMERINTAH PROVINSI/KABUPATEN/KOTA..........
TANDA BUKTI PEMBAYARAN
NOMOR BUKTI ….
Tanggal diterima
f. uang : ….……………………………..
Mengetahui,
Bendahara Penerimaan Pembayar/Penyetor
Adapun bagan alir (flowchart) penerimaan pendapatan melalui rekening Kas Umum Daerah dapat dilihat
pada Bagan 20.3.
Bagan 20.3. Bagan Alir (Flowchart) Penerimaan Pendapatan melalui Kas Umum Daerah
Slip Setoran/
SKP Daerah /
Bukti lain
SKR
yang sah
Nota
Kredit
Uang
Slip Setoran/
Bukti lain
yang sah
Slip Setoran/
SKP Daerah /
Uang Bukti lain
SKR
yang sah
ket. warna
Uraian :
1. Pengguna Anggaran Menyerahkan 4. Bank Kasda menyerahkan Slip
SKP Daerah/ SKR kepada wajib Setoran/ Bukti lain yang sah kepada
pajak/ retribusi dan Bendahara WP/ Retribusi dan Nota Kredit
penerimaan kepada BUD
3) Bank lain membuat Slip Setoran/Bukti lain yang sah dan Nota Kredit. Slip setoran/bukti
lain yang sah diserahkan ke Wajib Pajak/Retribusi sedangkan uang beserta Nota Kredit
diserahkan ke Bank Kas Umum Daerah;
4) Bank Kas Umum Daerah menyerahkan Nota Kredit kepada BUD;
5) Wajib Pajak/Retribusi menyerahkan slip setoran/bukti lain yang sah kepada Bendahara
Penerimaan.
Adapun bagan alir (flowchart) penerimaan pendapatan melalui Bank lain dapat dilihat pada
Bagan 20.4
Bagan 20.4. Bagan Alir (Flowchart) Penerimaan Pendapatan melalui Bank lain
1. Pengguna Anggaran
menyerahkan SKP SKP Daerah /
SKR
Daerah/ SKR kepada
Wajib Pajak/ Retribusi
dan Bendahara SKP Daerah / SKP Daerah /
SKR SKR
Penerimaan.
4. WP/Retribusi Slip
menyerahkan Slip setoran/
Setoran/ Bukti lain bukti lain
yang sah kepada yang sah
Bendahara
Penerimaan
Bagan 20.5. Bagan Alir (Flowchart) Penatausahaan Pendapatan oleh Bendahara Penerimaan
SPJ
SPJ Penerimaan
Penerimaan
Pembantu
Tgl 10 Bln Berikutnya
SPJ
Penerimaan
SPJ
Tgl 10 Bln Berikutnya
Penerimaan
ket. warna
Uraian :
1. Berdasarkan dokumen SKP Daerah, SKR, Pembantu, Bendahara Penerimaan 6. Setelah diotorisasi, pengguna Anggaran
STS, dan Surat Tanda Bukti Pembayaran/ membuat SPJ Penerimaan. Lampiran SPJ menyerahkan SPJ penerimaan kepada BUD
Bukti lain yang sah, Bendahara Penerimaan Penerimaan yaitu : BKU; Buku Pembantu paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya.
melakukan Penatausahaan penerimaan. perincian objek penerimaan; buku
rekapitulasi penerimaan harian; bukti 7. Dalam rangka rekonsiliasi penerimaan,
2. Dari proses penatausahaan penerimaan, penerimaan lain yang sah. BUD memverivikasi, mengevaluasi,
bendahara penerimaan akan menganalisis SPJ penerimaan.
menghasilkan dokumen berupa : BKU 4. Bendahara penerimaan menyerahkan SPJ
Penerimaan; Buku Pembantu (Rincian penerimaan kepada PPK-SKPD paling 8. Kemudian BUD mengesahkan SPJ
Objek Penerimaan); Buku Rekapitulasi lambat tanggal 10 bln berikutnya. penerimaan.
penerimaan harian 5. PPK-SKPD menyerahkan SPJ penerimaan
kepada pengguna anggaran paling lambat 9. BUD menyerahkan Surat pengesahan SPJ
3. Berdasarkan ketiga dokumen tadi tanggal 10 bulan berikutnya. kepada pengguna Anggaran.
ditambah dokumen SPJ Penerimaan
Bukti Bukti
Memorial Memorial
Register Buku
Besar BKPD
Neraca Saldo
BKPD
ket. warna
Uraian :
1. PPK-SKPD Menjurnal: SPJ Penerimaan Bukti memorial transaksi selain kas
MATERI PELATIHAN PENDAPATAN DAERAH
281 dalam
Kementerian register
Keuangan jurnalIndonesia,
Republik penerimaan kas;Jenderal Perimbangan
Direktorat di buat berdasarkan bukti transaksi
Keuangan
SPJ Pengeluaran dan SP2D dalam yang terdiri dari: BAPenerimaan
register jurnal pengeluaran kas; Bukti barang; SK penghapusan barang;
ket. warna
Uraian :
1. PPK-SKPD Menjurnal: SPJ Penerimaan Bukti memorial transaksi selain kas
dalam register jurnal penerimaan kas; di buat berdasarkan bukti transaksi
SPJ Pengeluaran dan SP2D dalam yang terdiri dari: BAPenerimaan
register jurnal pengeluaran kas; Bukti barang; SK penghapusan barang;
memorial transaksi aset tetap dalam Surat pengiriman barang; SK mutasi
register jurnal umum; Bukti memorial barang; BA pemusnahan barang; BA
transaksi selain kas dalam register jurnal Serah terima barang; BA penilaian.
umum.
2. Jurnal- Jurnal tersebut oleh
Bukti Memorial transaksi aset tetap PPK-SKPD dipostingke Register Buku
dibuat berdasarkan bukti transaksi yang Besar SKPD.
terdiri dari: BA penerimaan barang; SK
Penghapusan barang; SK Mutasi barang; 3. Berdasarkan Buku Besar SKPD,
BA pemusnahan barang; BA serah PPSKPD membuat Neraca Saldo
terima barang; BA penilaian; BA SKPD
Penyelesaian Pekerjaan.
2) Sebagian dari kelompok lain-lain pendapatan asli daerah yang sah, yang meliputi:
a) Jasa giro;
b) Pendapatan bunga;
c) Penerimaan atas tuntutan ganti kerugian daerah;
d) Penerimaan keuntungan dari selisih nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing;
e) Pendapatan denda pajak;
f) Pendapatan hasil eksekusi atas jaminan;
Selain tersebut di atas, menurut Permendagri Nomor 13 Tahun 2006, pasal 30 (1) dinyatakan
bahwa ”...lain-lain pendapatan asli daerah yang sah yang ditransfer langsung ke kas daerah,
...”, dianggarkan oleh SKPKD, sehingga merupakan pendapatan PPKD
Berdasarkan penerimaan tersebut, Bank membuat Nota Kredit yang memuat informasi tentang
penerimaan tersebut, baik berupa informasi pengiriman, jumlah rupiah maupun kode rekening yang
terkait. Bendahara penerimaan wajib mendapatkan nota kredit tersebut melalui mekanisme yang telah
ditetapkan.
b) Kemudian bendahara penerimaan PPKD mengidentifikasi dan mencatat jenis dan kode
rekening pendapatan.
c) Setelah itu, bendahara penerimaan PPKD mencatat nilai transaksi pada kolom jumlah.
Prosedur pembukuan penerimaan pendapatan dan pembiayaan di Bendahara Penerimaan
PPKD dapat digambarkan dalam bagan alir berikut.
Proses Penerimaan
di kas umum Nota Melakukan Buku
daerah yang telah Kredit/Bukti Pengisian Buku Penerimaan
diatur dalam Lain yang sah Penerimaan PPKD
PerKDH mengenai PPKD
system dan
Uraian :
1. Bendahara penerimaan PPKD 2. Berdasarkan Nota Kredit/bukti lain
menerima Nota Kredit/bukti lain yang sah Bendahara Penerimaan
yang sah dari penyetoran melalui PPKD mencatat penerimaan di
rekening kas daerah. Rekening kas umum daerah itu
pada Buku Penerimaan PPKD
3. Hasil akhir dari proses ini adalah Buku
Pendapatan PPKD .
Cara Pengisian:
1. Judul diisi dengan nama PROVINSI/KABUPATEN/KOTA,
2. Kolom 1 diisi dengan nomor urut
3. Kolom 2 diisi dengan tanggal penerimaan
4. Kolom 3 diisi dengan nomor nota kredit penerimaan
5. Kolom 4 diisi dengan nomor bukti lain apa bila tidak menggunakan nota kredit
6. Kolom 5 diisi dengan kode rekening pendapatan
7. Kolom 6 diisi dengan uraian pendapatan
8. Kolom 7 diisi dengan jumlah pendapatan
9. Kolom 8 diisi dengan keterangan jika diperlukan
10. Jumlah bulan ini adalah total penerimaan selama satu bulan*
11. Jumlah sampai dengan bulan lalu adalah saldo pendapatan sampai dengan bulan lalu
12. Jumlah akhir adalah jumlah antara jumlah bulan ini ditambah jumlah sampai dengan bulan lalu
13. Kolom tanda tangan ditandatangani oleh Bendahara Penerimaan PPKD dan PPKD disertai nama
jelas
14. Diisi hanya pada saat penutupan di akhir bulan untuk keperluan penyusunan Laporan
Pertanggungjawaban Bendahara Penerimaan PPKD.
STUDI KASUS
PENDAPATAN ASLI DAERAH
Studi Kasus Pendapatan Asli Daerah
Deskripsi:
Topik adalah latihan untuk menganalisis upaya-upaya
mendorong pertumbuhan pendapatan asli daerah.
Referensi:
1. UU No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
2. Modul pelatihan tentang Pajak Daerah.
21.1. Upaya Meningkatkan Pendapatan Asli Daerah Melalui Sektor Wisata di Kabupaten
Kuningan
Penyerahan urusan pemerintahan dan pembangunan kepada daerah kabupaten/kota disertai juga
dengan penyerahan kewenangan kepada daerah dalam mencari sumber - sumber pembiayaan untuk
menyelenggarakan urusan - urusan tersebut. Sumber – sumber pembiayaan itu berasal dari Pendapatan
Asli Daerah (PAD), bantuan pemerintah pusat dan sumber- sumber lain yang sah.
Di antara berbagai sumber pembiayaan tersebut, PAD merupakan sumber yang mempunyai arti
penting karena mencerminkan kemandirian daerah dalam menyelenggarakan otonomi daerah.
Kenyataan menunjukkan banyak daerah yang masih tergantung pada bantuan pemerintah pusat
dalam pembiayaannya karena minimnya PAD . Padahal banyak daerah kabupaten/kota yang memiliki
potensi PAD yang cukup besar, tetapi potensi-potensi tersebut belum dapat digali dengan baik. Hal ini
memberikan tantangan kepada daerah kabupaten/kota untuk meningkatkan PAD dari sektor-sektor
potensial melalui kebijakan intensifikasi maupun ekstensifikasi penggalian PAD dari berbagai sektor yang
potensial.
Kabupaten Kuningan merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Jawa Barat yang memiliki potensi yang
cukup besar dalam PAD -nya. Salah satu potensi PAD Kabupaten Kuningan adalah dari sektor pertanian
dan pariwisata yang merupakan keunggulan kompetitif Kabupaten Kuningan karena letak dan kondisi
geografisnya di daerah dataran tinggi dengan iklim yang sejuk dan tanah yang subur. Secara geoggrafis
Kabupaten Kuningan berada di Region III dengan Cirebon sebagai Pusat Kegiatan Nasional (PKN). Oleh
karena itu arah pembangunan Kabupaten Kuningan dalam posisi ini akan berperan sebagai buffer zone ,
yang secara global akan memberikan daya dukung berupa catchment area, penyedia air bersih, pereduksi
polusi/karbon, jasa pariwisata dan alternatif hunian yang nyaman.
Salah satu potensi besar yang dapat menjadi modal pembangunan di Kabupaten Kuningan adalah
kekayaan potensi pariwisata berbasis alam. Sektor pariwisata merupakan salah satu sektor andalan
Kabupaten Kuningan dalam meningkatkan PAD, sehingga dalam rencana pembangunan menempatkan
pariwisata sebagai komponen pembangunan yang utama. Di dalam Rencana Pembangunan Jangka
Panjang (RPJP) 2005-2025 dan sesuai dengan Peraturan Daerah Nomor 13 Tahun 2010, Pemerintah
Kabupaten Kuningan telah menargetkan menjadi “Kabupaten Agropolitan dan Wisata Termaju di Jawa
Barat Tahun 2027”. Target tersebut dijabarkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM)
tahun 2009-2013 dengan menetapkan tujuan pembangunan selama 5 tahun seperti yang dimuat dalam
visi RPJM yaitu “Kuningan Lebih Sejahtera Berbasis Pertanian dan Pariwisata Yang Maju Dalam Lingkungan
Yang Lestari dan Agamis Tahun 2013”. Prioritas dan dukungan bagi pengembangan pariwisata akan
menempati tempat utama dalam kebijakan dan perencanaan pembangunan daerah. Hal tersebut
didukung pula dengan adanya Rencana Strategis Pembangunan Pariwisata Kabupaten Kuningan 2009-
2013 melalui Dinas Kebudayaandan Pariwisata.
Pariwisata yang dikembangkan di Kabupaten Kuningan sebagian besar merupakan wisata alam
dan saat ini Kabupaten Kuningan memiliki 38 obyek wisata, 5 diantaranya masih merupakan potensi
yang belum dikembangkan. Beberapa obyek wisata di Kabupaten Kuningan sudah dikenal di tingkat
regional dan nasional seperti Linggajati, Cibulan, Waduk Darma, Sangkanhurip, dan Curug Sidomba.
Obyek-obyek wisatatersebut diharapkan dapat memberikan kontribusi pendapatan yang optimal
sehingga dapat meningkatkan PAD Kabupaten Kuningan Potensi Peningkatan PAD dari Pariwisata
Dalam melakukan perjalanan wisata, seorang wisatawan memerlukan bermacam jasa dan produk wisata
yang dibutuhkannya. Berbagai macam jasa dan produk wisata inilah yang disebut dengan Komponen
Pariwisata . Komponen pariwisata ini dapat disediakan oleh pihak pengusaha, masyarakat atau siapapun
yang berminat untuk menyediakan jasa pariwisata. Komponen pariwisata ini bisa meliputi:
1) Objek dan daya tarik wisata
2) Akomodasi
3) Angkutan Wisata
4) Sarana dan fasilitas wisata
5) Prasarana wisata.
Dengan mengetahui komponen pariwisata diatas, maka arah pengembangan pembangunan pariwisata
bisa terarah dengan baik. Banyak sekali manfaat yang bisa didapat jika pembangunan pariwisata ini
terarah dan bisa memancing minat wisatawan untuk berkunjung.
4) Manfaat Bagi Lingkungan, Arah pembangunan pariwisata agar dapat memenuhi keinginan
wisatawan seperti bersih, jauh dari populasi, santai, dan sejuk akan memberikan upaya dalam
pengembangan untuk melestarikan lingkungan supaya hijau dan bersih.
Sasaran
yang akan dicapai dalam rangka otonomi daerah seperti yang tertuang dalam UU Nomor 32 Tahun 2004,
pemerintah daerah dalam pelaksanaan pembangunan dalam meningkatkan kesejahteraan rakyat harus
dapat menggali potensi-potensi yang ada di daerah. Dalam hal ini potensi-potensi yang ada di daerah
berkenaan dengan pariwisata yang bertujuan dapat peningkatan PAD.
Curug Landung - - - - - -
(Potensi)
Situ Janggala - - - - - -
Embah Dalem - - - - - -
Cageur (Potensi)
Kebon Balong - - - - - -
(Potensi)
Strategi Peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Dari Sektor Pariwisata di Kabupaten Kuningan
Sektor pariwisata merupakan salah satu sektor andalan Kabupaten Kuningan dalam meningkatkan PAD,
sehingga dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) 2005-2025 dan sesuai dengan Peraturan
Daerah Nomor 13 Tahun 2010, Pemerintah Kabupaten Kuningan telah menargetkan menjadi “Kabupaten
Agropolitan dan Wisata Termaju di Jawa Barat Tahun 2027”. Target tersebut dijabarkan dalam Rencana
Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) tahun 2009-2013 dengan menetapkan tujuan pembangunan
selama 5 tahun seperti yang dimuat dalam visi RPJM yaitu “Kuningan Lebih Sejahtera Berbasis Pertanian
dan Pariwisata Yang Maju Dalam Lingkungan Yang Lestari dan Agamis Tahun 2013”. Prioritas dan dukungan
bagi pengembangan pariwisata akan menempati tempat utama dalam kebijakan dan perencanaan
pembangunan daerah. Hal tersebut didukung pula dengan adanya Rencana Strategis Pembangunan
Pariwisata Kabupaten Kuningan 2009-2013 melalui Dinas Kebudayaan dan Pariwisata.
Dalam rangka meningkatan pariwisata di Kabupaten Kuningan, pemerintah daerah setempat telah
menetapkan Peraturan daerah Nomor 7 Tahun 2009 tentang Rencana Induk pengembangan
Pariwisata Daerah (RIPPDA). RIPPDA ini disusun dengan pertimbangan bahwa potensi kepariwisataan di
Kabupaten Kuningan perlu dikembangkan guna menunjang Pembangunan Daerah dan Pembangunan
Kepariwisataan pada khususnya. RIPPDA adalah rumusan pokok-pokok kebijaksanaan perencanaan dan
pemanfaatan pembangunan pariwisata di daerah yang didalamnya mencakup aspek ketataruangan,
usaha pariwisata, faktor penunjang dan pengembangan kepariwisataan secara berlanjut dan berwawasan
lingkungan. RIPPDA merupakan landasan bagi semua kegiatan pemanfaatan potensi pariwisata secara
optimal, serasi, selaras, seimbang, terpadu, tertib, lestari dan berkelanjutan. RIPPDA berfungsi sebagai :
1) Pedoman pembinaan dan pengembangan kawasan pariwisata, obyek dan daya tarik wisata, sarana
dan prasarana wisata, pemasaran wisata, promosi, kelembagaan kepariwisataan, sumber daya
manusia kepariwisataan, serta investasi pembangunan di bidang kepariwisataan.
2) Pedoman bagi pengawasan dan pengendalian pengembangan pariwisata,obyek dan daya tarik
wisata.
3) Pedoman penyusunan rencana pembangunan Daerah sub sektor pariwisata.
4) Penjabaran pemanfaatan ruang sub sektor kepariwisataan berdasarkan Rencana Tata Ruang
Wilayah (RTRW) Kabupaten Kuningan.
2) Ruang lingkup Pekerjaan RIPPDA memfokuskan pada perencanaan satu atau beberapa obyek
wisata yang menjadi atau akan menjadi unggulan Daerah.
3) Ruang lingkup Substansi RIPPDA, meliputi :
a) Kebijaksanaan makro dan mikro pariwisata Daerah;
b) Obyek dan Daya Tarik Wisata(ODTW);
c) Sarana dan Prasarana pendukung wisata;
d) Karakteristik Pasar Wisatawan;
e) Kawasan wisata unggulan dan prioritas pengembangan wisata;
f) Kebijaksanaan, strategi dan program pengembangan kepariwisataan.
Pelaksanaan RIPPDA berbentuk program pembangunan pariwisata daerah yang diselenggarakan oleh
pemerintah, perseorangan, kelompok masyarakat, atau badan usaha swasta yang harus memperhatikan
aspirasi yang berkembang di masyarakat. Program pembangunan pariwisata Daerah meliputi beberapa
tahapan, yaitu:
1) Prioritas Rencana Tindak, meliputi:
a) Rencana Tindak Pengembangan Sarana dan Prasarana.
b) Pentahapan Insentif dan disinsentif Program Investasi.
c) Pentahapan Program Investasi.
d) Prosedur Kemitraan.
2) Prioritas Program, meliputi:
a) Prioritas Program Penanganan.
b) Prioritas Penanganan Kawasan
c) Tahapan Pelaksanaan Program, meliputi:
d) Indikasi Program.
e) Indikasi Program Pembangunan Sektoral.
f) Indikasi Program Pembangunan.
RIPPDA ditetapkan pada tahun 2009 dan mulai efektif diimplementasikan pada tahun 2010. Oleh karena
itu, keberhasilan strategi pengembangan pariwisata yang ditetapkan dalam RIPPDA dapat dilihat dari
realisasi penerimaan PAD dari sektor pariwisata tahun 2010 dan 2011 (sesudah RIPPDA dilaksanakan)
dengan membandingkannya dengan tahun 2009 (sebelum RIPPDA dilaksanakan). Mengenai hal tersebut,
dengan berdasarkan data pada tabel 4.4 dan 4.5 di muka, maka dapat diketahui bahwa :
1) Berdasarkan data pada Tabel di atas, nilai nominal realisasi PAD dari sektor pariwisata dibandingkan
dengan targetnya, dari tahun ke tahun memang terus meningkat tetapi tidak berbanding lurus
dengan prosentasi realisasinya. Pada tahun 2009 (sebelum RIPPDA dilaksanakan), persentase
realisasinya adalah sebesar 107,81 %. Tetapi pada tahun 2010 dan 2011 (setelah RIPPDA dilaksanakan),
prosentase realisasinya justru terus menurun yaitu sebesar 104,13 % pada tahun 2010 dan 103,62 %
pada tahun 2011. Hal ini disebabkan oleh adanya pengalihan pengelolaan beberapa obyek wisata
dari Disparda Kabupaten Kuningan dan pihak ketiga kepada PD. Aneka Usaha.
2) Berdasarkan data pada Tabel di atas, nilai nominal kontribusi sektor pariwisata terhadap PAD memang
terus mengalami kenaikan, tetapi tidak berbanding lurus dengan prosentase kontribusinya. Pada
tahun 2009 (sebelum RIPPDA dilaksanakan) prosentase kontribusinya adalah sebesar 1,06 %, tetapi
pada tahun 2010 dan 2011 (setelah RIPPDA dilaksanakan) kontribusinya berfluktuasi yaitu meningkat
menjadi 1,65 % pada tahun 2010 tetapi menurun menjadi 0,92 % pada tahun 2011. Hal ini juga
disebabkan oleh adanya pengalihan pengelolaan beberapa obyek wisata dari Disparda Kabupaten
Kuningan dan pihak ketiga kepada PD. Aneka Usaha (PDAU), tetapi PDAU sendiri pada tahun 2011
belum memberikan kontribusi berupa Bagian Laba Perusahaan Daerah terhadap PAD.