Bea Meterai
MODUL
Diklat Teknis Substantif Dasar Pajak I
BAHAN AJAR
Oleh:
Darwin
WIDYAISWARA UTAMA
DAFTAR ISI
REFERENSI ...................................................................................................... 48
DTSD Pajak II i
PBB Sektor P3 dan Bea Meterai
ii DTSD Pajak II
BEA METERAI
PENDAHULUAN ............................................................................................... 51
iv DTSD Pajak II
PAJAK BUMI DAN BANGUNAN
SEKTOR PERKEBUNAN, PERHUTANAN
DAN PERTAMBANGAN
DTSD Pajak II 1
PENDAHULUAN
Sebelum tahun 1985 disadari bahwa saat itu berlaku sistem perpajakan atas
tanah dan bangunan khususnya yang menyangkut pajak kebendaan dan pajak
kekayaan yang diciptakan sejak zaman Belanda, telah menimbulkan tumpang
tindih antara satu pajak dengan pajak lainnya sehingga menyebabkan pajak
berganda bagi masyarakat. Sesuai dengan amanat yang terkandung dalam
GBHN perlu diadakan pembaharuan sistem perpajakan yang berlaku dengan
sistem yang memberikan kepercayaan kepada wajib pajak dalam melaksanakan
kewajibannya serta memenuhi haknya di bidang perpajakan sehingga dapat
mewujudkan perluasan dan peningkatan kesadaran kewajiban perpajakan serta
meratakan pendapatan masyarakat.
DTSD Pajak II 3
PBB Sektor P3 dan Bea Meterai
A. DASAR HUKUM
Objek dari PBB adalah Bumi dan/atau Bangunan. Menurut UU PBB, Bumi dapat
diartikan sebagai permukaan bumi dan tubuh bumi yang ada dibawahnya.
Sedangkan permukaan bumi meliputi tanah dan perairan pedalaman serta laut
wilayah Indonesia. Bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau
dilekatkan secara tetap pada tanah dan/atau perairan. Di dalam memori
penjelasan UU PBB yang termasuk bangunan adalah :
jalan lingkungan dalam suatu komplek bangunan
jalan tol
kolam renang
pagar mewah , taman mewah
tempat olah raga
galangan kapal , dermaga
tempat penampungan/kilang minyak, air dan gas, pipa minyak
fasilitas lain yang memberi manfaat
Di dalam UU PBB juga diatur beberapa objek pajak yang tidak dikenakan PBB
yaitu:
1. objek yang digunakan semata-mata untuk kepentingan umum dibidang
ibadah, sosial, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan nasional yang
tidak dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan
4 DTSD Pajak II
2. Objek yang digunakan untuk kuburan, peninggalan purbakala atau yang
sejenis dengan itu
3. Objek yang merupakan hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata,
taman nasional, tanah penggembalaan yang dikuasai oleh desa, tanah
negara yang belum dibebani suatu hak
4. Objek yang dipergunakan oleh perwakilan diplomatik, konsulat
berdasarkan azas perlakuan timbal balik
5. Objek yang digunakan oleh badan atau perwakilan organisasi
internasional yang ditentukan oleh Menteri Kuangan
Subjek dari PBB adalah orang atau badan yang secara nyata mempunyai suatu
hak atas bumi, dan/atau memperoleh manfaat atas bumi, dan/atau memiliki,
menguasai dan/atau memperoleh manfaat atas bangunan. Apabila subjek pajak
tersebut dikenakan kewajiban membayar pajak maka subjek pajak tersebut
menjadi wajib pajak.
C. TARIF
PBB mempunyai tarif tunggal (single tarif) sebesar 0,5% yang berlaku sejak UU
PBB tahun 1985 sampai dengan sekarang.
D. DASAR PENGENAAN
Yang menjadi Dasar Pengenaan PBB adalah Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) yang
mempunyai pengertian sebagai berikut: “harga rata-rata yang diperoleh dari
transaksi jual beli yang terjadi secara wajar, dan bilamana tidak terdapat
transaksi jual beli, NJOP ditentukan melalui perbandingan harga dengan objek
lain yang sejenis, atau nilai perolehan baru, atau nilai jual objek pajak pengganti”.
DTSD Pajak II 5
PBB Sektor P3 dan Bea Meterai
NJOP ditetapkan oleh Menteri Keuangan setiap 3(tiga) tahun, kecuali daerah
tertentu setiap tahun sesuai dengan perkembangan sosial dan ekonomi
setempat. Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 150/PMK.03/2010,
klasifikasi bumi(tanah) dan bangunan terbagi atas dua bagian besar yaitu
pertama, untuk sektor perdesaan dan perkotaan dan kedua adalah untuk sektor
perkebunan, perhutanan dan pertambangan. Untuk sektor perdesaan dan
perkotaan, kelas bumi(tanah) terdiri dari 100 kelas sedangkan bangunan terdiri
dari 40 kelas, sedangkan untuk sektor perkebunan, perhutanan dan
petambangan, kelas bumi(tanah) terdiri dari 200 kelas sedangkan bangunan
terdiri dari 100 kelas.
6 DTSD Pajak II
DASAR PERHITUNGAN DAN CARA
MENGHITUNG PBB
Yang menjadi dasar perhitungan PBB adalah Nilai Jual Kena Pajak (NJKP) yaitu
suatu persentase tertentu dari NJOP. Berdasarkan UU PBB, NJKP ditentukan
serendah-rendahnya 20% dan setinggi-tingginya 100% dari NJOP. Berdasarkan
Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2002 tanggal 13 Mei 2002 ditetapkan
bahwa untuk objek pajak dengan nilai jual satu milyar atau lebih serta objek pajak
sektor perkebunan, perhutanan dan pertambangan NJKPnya sebesar 40% dari
NJOP dan untuk objek pajak lainnya sebesar 20% dari NJOP.
Di dalam pengenaan PBB terdapat suatu batas nilai yang tidak dikenakan pajak
yang disebut Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NJOPTKP). Berdasarkan
Peraturan Menteri Keuangan No: 23/PMK.03/2014 tanggal 3 Pebruari 2014
ditetapkan batas NJOPTKP sebesar Rp12 juta per Wajib Pajak.
Dari beberapa parameter yang telah disebutkan di atas maka besarnya PBB
terutang dapat dihitung dengan menggunakan formula:
DTSD Pajak II 7
PBB Sektor P3 dan Bea Meterai
A. TATACARA PEMBAYARAN
B. TATACARA PENAGIHAN
Jatuh tempo SPPT adalah 6 (enam) bulan. Pembayaran setelah lewat jatuh
tempo WP akan dikenakan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% per
bulan maksimum 24 bulan (48%). Setelah jatuh tempo dan WP belum juga
membayar PBB akan dikeluarkan Surat Tagihan Pajak (STP) yang jatuh
temponya 1(satu) bulan. Kemudian berturut-turut akan dikeluarkan Surat Paksa
(SP), Surat Perintah Melakukan Penyitaan (SPMP) dan akhirnya barang sitaan
8 DTSD Pajak II
akan dilelang untuk membayar PBB (Tata Urutan Penagihan diatur lebih lanjut
dalam Undang Undang Penagihan Pajak).
1. SPOP tidak kembali. SPOP yang dikirim ke Wajib Pajak harus dikembalikan
dalam waktu 30 (tigapuluh) hari sejak tanggal diterima oleh WP. Lewat waktu
akan ditetapkan secara jabatan dengan mengeluarkan SKP. Jumlah
ketetapan pajak dalam SKP adalah jumlah pokok pajak (secara jabatan)
ditambah denda administrasi sebesar 25%. Jatuh tempo SKP adalah 1(satu)
bulan. Lewat jatuh tempo akan diberlakukan UU Penagihan Pajak.
SPPT, SKP dan STP adalah merupakan dasar penagihan PBB (Pasal 12 UU
PBB).
DTSD Pajak II 9
PBB Sektor P3 dan Bea Meterai
A. KEBERATAN PBB
4. Dalam jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan sejak tanggal surat
keberatan diterima, Direktorat Jenderal Pajak harus memberikan keputusan
atas pengajuan keberatan.
10 DTSD Pajak II
8. Wajib Pajak dapat mengajukan banding kepada badan peradilan pajak
terhadap Keputusan Keberatan.
B. BANDING PBB
C. PENGURANGAN PBB
a. Wajib pajak orang pribadi atau badan karena kondisi tertentu objek pajak
yang ada hubungannya dengan subjek pajak atau sebab-sebab tertentu
lainnya yaitu :
2). Objek pajak yang dimiliki, dikuasai dan atau dimanfaatkan oleh wajib
pajak orang pribadi yang berpenghasilan rendah yang nilai jualnya
meningkat akibat adanya pembangunan atau perkembangan
lingkungan..
3). Objek pajak yang dimiliki, dikuasai dan atau dimanfaatkan oleh wajib
pajak orang pribadi yang penghasilannya semata-mata dari
pensiunan, sehingga kewajiban PBB-nya sulit dipenuhi..
DTSD Pajak II 11
PBB Sektor P3 dan Bea Meterai
4). Objek pajak yang dimiliki, dikuasai dan atau dimanfaatkan oleh wajib
pajak orang pribadi yang berpenghasilan rendah, sehingga kewajiban
PBB-nya sulit dipenuhi.
5). Objek pajak yang dimiliki, dikuasai dan atau dimanfaatkan oleh Wajib
Pajak veteran pejuang kemerdekaan dan veteran pembela
kemerdekaan termasuk janda/dudanya.
6). Objek pajak yang dimiliki, dikuasai dan atau dimanfaatkan oleh wajib
pajak badan yang mengalami kerugian dan kesulitan likuiditas yang
serius sepanjang tahun, sehingga tidak dapat memenuhi kewajiban
rutin perusahaan.
b. Wajib Pajak orang pribadi dalam hal objek pajak terkena bencana alam
seperti gempa bumi, banjir, tanah longsor, gunung meletus dan
sebagainya serta sebab-sebab lain yang luar biasa seperti kebakaran,
kekeringan, wabah penyakit dan hama tanaman.
b. Sejak terjadinya bencana alam atau sebab-sebab lain yang luar biasa.
12 DTSD Pajak II
PEMBAGIAN HASIL DAN KETENTUAN PIDANA
Hasil penerimaan PBB yang diterima oleh Bank/Kantor Pos TP dari para WP
dalam jangka waktu satu minggu (setiap hari Jum’at) harus dilimpahkan ke
Bank/Kantor Pos Persepsi. Oleh Bank/Kantor Pos Persepsi kemudian
dilimpahkan ke Bank/Kantor Pos Operasional III juga pada setiap hari Jum’at.
Kemudian oleh Bank/Kantor Pos Operasional III pelimpahan penerimaan PBB
dari Bank/Kantor Pos Persepsi tersebut pada setiap hari Jum’at dibagikan
kepada yang berhak menerimanya yaitu :
10 % untuk bagian Pemerintah Pusat
9 % untuk bagian Biaya Pemungutan
16,2 % untuk bagian Pemerintah Propinsi
64,8 % untuk bagian Pemerintah Kabupaten/Kota
B. KETENTUAN PIDANA
Apabila WP :
1. Karena alpa/lupa :
tidak mengembalikan/menyampaikan SPOP kepada DJP;
menyampaikan SPOP, tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap
dan/atau melampirkan keterangan yang tidak benar;
sehingga menimbulkan kerugian pada Negara, dipidana dengan pidana
kurungan selama-lamanya 6 (enam) bulan atau denda setinggi-tingginya
sebesar 2 (dua) kali pajak yang terhutang.
2. Karena sengaja :
tidak mengembalikan/menyampaikan SPOP;
DTSD Pajak II 13
PBB Sektor P3 dan Bea Meterai
14 DTSD Pajak II
PBB SEKTOR PERKEBUNAN, PERHUTANAN,
DAN PERTAMBANGAN
A. SEKTOR PERKEBUNAN
DTSD Pajak II 15
PBB Sektor P3 dan Bea Meterai
Dalam penentuan SIT ini terdapat beberapa istilah yang perlu diketahui sebagai
berikut:
Tanaman berumur panjang adalah tanaman yang berumur lebih dari satu tahun
dan pemungutan hasilnya dilakukan lebih dari satu kali dan tidak dibongkar sekali
panen.
Tanaman berumur pendek adalah tanaman yang berumur sampai dengan satu
tahun dan pemungutan hasilnya dilakukan satu kali dan dibongkar sekali panen.
Satuan Biaya Tanam (SBT) adalah satuan biaya yang diinvestasikan tiap tahun
berdasarkan umur dan jenis tanaman.
16 DTSD Pajak II
Departemen Pertanian. SBPK yang diterbitkan ini dikelompokkan menjadi 6
(enam) wilayah, yaitu:
1. Jawa Barat, Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Timur,
Banten, Bali
2. Sumatera Selatan, Jambi, Bengkulu, Lampung, Sumatera Barat, Bangka
Belitung
3. Nanggroe Aceh Darussalam, Sumatera Utara, Riau, Kalimantan Barat,
Kalimantan Selatan, Kepulauan Riau
4. Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur
5. Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara,
Gorontalo, Sulawesi Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur
6. Maluku, Maluku Utara, Papua, Papua Barat
Secara empiris besarnya biaya tenaga kerja, bahan dan alat adalah sebesar 71%
dari biaya dalam SBPK, sedangkan sisanya sebesar 29% merupakan biaya
infrastruktur, sertifikasi lahan, management fee dan administrasi. Contoh SBPK
tahun 2009 seperti tabel berikut.
DTSD Pajak II 17
PBB Sektor P3 dan Bea Meterai
Indeks Biaya Tanaman yang selanjutnya disebut IBT adalah angka yang
digunakan sebagai dasar penentuan SBT untuk fase TM dan disusun oleh
Direktorat Jenderal Pajak sebagaimana tabel berikut.
18 DTSD Pajak II
2. SIT pada suatu tahun dalam fase TM ditetapkan sebesar SIT pada fase
TBM terakhir (TBMn) ditambah dengan SBT pada fase TM tahun tersebut.
a. SBT pada fase TBM1 adalah sebesar 71% dari SBPK untuk
kegiatan P0 dan kegiatan P1
b. SBT pada fase TBM2 adalah sebesar 71% dari SBPK untuk
kegiatan P2 dan seterusnya
DTSD Pajak II 19
PBB Sektor P3 dan Bea Meterai
SBTt = SBTt-1 x ( 1 + i )
dimana:
SBTt = SBT tahun pajak berjalan
SBTt-1 = SBT tahun pajak sebelumnya
i = tingkat diskonto yang ditetapkan sebesar 10%
2. SBT pada fase TM ditetapkan sebesar SBT pada fase TBM terakhir
(TBMn) dikalikan dengan IBT pada fase TM tersebut.
Contoh perhitungan SIT Kelapa Sawit tahun 2011 dan penjelasannya adalah
sebagai berikut.
20 DTSD Pajak II
Penjelasan:
Kolom 1: Fase tanaman dikelompokkan menjadi fase TBM dan fase TM.
Fase TBM terdiri dari TBM1 (kegiatan P0 dan P1), TBM2 (kegiatan
P2) dan seterusnya. Fase TM terdiri dari TM1 sampai dengan TM22
Kolom 2: Umur tanaman kelapa sawit mulai dari umur 1 tahun sampai 25
tahun
Kolom 3: IBT yang digunakan sebagai dasar perhitungan SBT pada fase TM
Kolom 4: SBPK per ha yang diterbitkan Direktorat Jenderal Perkebunan pada
tahun sebelum tahun pajak berjalan pada fase TBM.
Kolom 5: SBT per ha pada fase TBM untuk tahun pajak berjalan.
Kolom 7: SIT per ha untuk Tahun Pajak berjalan, merupakan nilai tanaman
sesuai umurnya, dihitung dengan cara sebagai berikut:
DTSD Pajak II 21
PBB Sektor P3 dan Bea Meterai
g. Dan seterusnya
Di dalam suatu wilayah perkebunan terdapat beberapa jenis areal yaitu: a) areal
produktif, b) areal belum produktif, c) areal emplasemen dan d) areal lainnya.
22 DTSD Pajak II
pembukaan lahan, sedangkan nilai tanah untuk areal yang belum diolah
merupakan perkalian luas tanah belum diolah dengan nilai dasar tanah
areal belum diolah per meter persegi.
Perhitungan nilai tanah per meter persegi suatu areal perkebunan adalah dengan
jalan membagi nilai tanah seluruh areal dengan luas tanah seluruh areal. Hasil
perhitungan ini yang merupakan nilai tanah per meter persegi suatu areal kebun
kemudian dikonversi ke dalam Tabel Klasifikasi Tanah untuk menentukan NJOP
per meter persegi dari areal perkebunan tersebut sebagai dasar untuk
menghitung PBB terutang.1
1
Pola perhitungan seperti ini menimbulkan bias terhadap nilai yang sebenarnya dari masing-
masing areal, karena kemungkinan terdapat perbedaan nilai tanah yang sangat signifikan dari
masing-masing areal. Sebaiknya digunakan perhitungan masing-masing nilai tanah di dalam suatu
areal langsung dikonversi ke Tabel Klasifikasi.
DTSD Pajak II 23
PBB Sektor P3 dan Bea Meterai
A. Tanah
1. Areal kebun :
a. Usia tanaman 2 tahun : 100 Ha, Nilai Dasar Tanah (NDT) = Rp1.700,-
/ M2. SIT (TBM2) : Rp22.966.086,- per Ha
b. Tanaman sudah menghasilkan : 300 Ha, NDT = Rp1.700,-/M2
S I T ( TM1 ) : Rp35.714.709,- per Ha
2. Areal emplasemen :
a. Kantor : 0,5 Ha , NDT = Rp14.000,- / M2
b. Gudang : 1 Ha , NDT = Rp10.000,- / M2
c. Pabrik : 2 Ha, NDT = Rp10.000,- / M2
B. Bangunan :
a. Kantor : 500 M2 , Nilai Bangunan = Rp700.000,- / M2
b. Gudang : 1.000 M2, Nilai Bangunan = Rp505.000,- / M2
c. Pabrik : 4.000 M2 , Nilai Bangunan = Rp365.000,- / M2
Jawaban:
A. Nilai Tanah:
1. Areal Kebun :
a. Usia tanaman 2 tahun : 100 x 10.000 x Rp1.700 = Rp 1.700.000.000,-
SIT (TBM2): 100 x Rp22.966.086,- = Rp 2.296.608.600
b. Tanaman sdh menghasilkan : 300 x 10.000 x Rp1.700= Rp
5.100.000.000,- SIT (TM1): 300 x Rp35.714.709,-=
Rp10.714.412.700,-
2. Areal Emplasemen :
a. Kantor : 0,5 x 10.000 x Rp14.000,- = Rp 70.000.000,-
b. b. Gudang : 1 x 10.000 x Rp10.000,- = Rp 100.000.000,-
c. c. Pabrik : 2 x 10.000 x Rp10.000,- = Rp 200.000.000,-
Nilai Tanah ( 1 + 2 ) = Rp20.181.021.300,-
Nilai Tanah/M2 = Rp20.181.021.300/4.035.000 = Rp5.001,49/M2
Hasil konversi : Kelas 161 = Rp5.000,- /M2
24 DTSD Pajak II
NJOP Tanah seluruhnya = 4.035.000 x Rp5.000 = Rp20.175.000.000,-
B. Nilai Bangunan :
a. Kantor : 500 x Rp700.000,- = Rp 350.000.000,-
b. Gudang : 1.000 x Rp505.000,- = Rp 505.000.000,-
c. Pabrik : 4.000 x Rp365.000,- = Rp 1.460.000.000,-
Nilai Bangunan seluruhnya = Rp 2.315.000.000,-
NJOPTKP = Rp 10.000.000,-
B. SEKTOR PERHUTANAN
DTSD Pajak II 25
PBB Sektor P3 dan Bea Meterai
Areal produktif adalah merupakan areal hutan yang telah ditanami pada hutan
tanaman, atau areal blok tebangan pada hutan alam. Areal belum produktif
merupakan areal yang sudah diolah tetapi belum ditanami pada hutan tanaman,
atau areal hutan yang dapat ditebang selain blok tebangan pada hutan alam.
Areal emplasemen adalah areal yang digunakan untuk berdirinya bangunan dan
sarana pelengkap lainnya dalam perhutanan termasuk areal jalan yang
diperkeras, sedangkan yang dimaksud areal lain adalah areal hutan selain dari
areal produktif, areal belum produktif, dan areal emplasemen.
26 DTSD Pajak II
instansi terkait yaitu Dinas Kehutanan atau instansi lainnya yang mengeluarkan
izin usaha di bidang kehutanan.
1. Nilai tanah untuk hutan tanaman ditentukan sebesar nilai dasar tanah,
kecuali untuk areal produktif ditambah dengan Standar Investasi
Tanaman (SIT). Nilai dasar tanah diperoleh melalui proses penilaian yang
dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak, sedangkan SIT adalah jumlah
biaya tenaga kerja, bahan dan alat yang diinvestasikan untuk pembukaan
lahan, penanaman, dan pemeliharaan tanaman. Nilai tanah per meter
persegi dihitung dengan jalan membagi nilai tanah seluruh areal
perhutanan dengan luas seluruh areal perhutanan, kemudian dikonversi
ke dalam tabel klasifikasi sesuai Peraturan Menteri Keuangan nomor
PER-150/PMK.03/2010 untuk memperoleh NJOP per meter persegi areal
tanah perhutanan.
2. Nilai tanah untuk hutan alam ditentukan sebesar nilai dasar tanah, kecuali
untuk areal produktif sebesar perkalian pendapatan bersih setahun
dengan Angka Kapitalisasi. Pendapatan bersih setahun ditentukan
sebesar pendapatan kotor (jumlah produksi kayu dan bukan kayu
dikalikan harga satuan produksi) setahun dikurangi Biaya Produksi
setahun, sebelum tahun pajak. Biaya produksi setahun ditentukan
sebesar Rasio Biaya Produksi dikalikan pendapatan kotor setahun. Angka
Kapitalisasi dan Rasio Biaya Produksi ditetapkan dengan keputusan
Direktur Jenderal Pajak.
DTSD Pajak II 27
PBB Sektor P3 dan Bea Meterai
SBPHT SBPHT
Dalam hal SBPHTB pada tahun sebelum Tahun Pajak tidak diterbitkan, SBT
ditentukan berdasarkan penyesuaian SBT Tahun Pajak sebelumnya dengan
tingkat diskonto 10%, dengan formula sebagai berikut:
28 DTSD Pajak II
Jawa Timur Sulawesi Tenggara
Sumatera Utara
Banten
Nilai Tanah
a. Areal Produktif = Luas x (Nilai Dasar Tanah/m2 + SIT/m2)
Total Nilai Tanah : Total Luas Tanah b. Areal Belum Produktif = Luas x Nilai Dasar Tanah/m2
c. Areal Emplasemen = Luas x Nilai Dasar Tanah/m2
d. Areal Lainnya = Luas x Nlilai Dasar Tanah/m2
NJOP
Total Nilai Bangunan : Total Luas Bangunan Tarif NJKP NJOP TKP
Nilai Bangunan
DTSD Pajak II 29
PBB Sektor P3 dan Bea Meterai
Nilai Tanah
a. Areal Produktif = Nilai Tanah Areal Produktif
b. Areal Belum Produktif = Luas x Nilai Dasar Tanah/m2
Total Nilai Tanah : Total Luas Tanah
c. Areal Emplasemen = Luas x Nilai Dasar Tanah/m2
d. Areal Lainnya = Luas x Nlilai Dasar Tanah/m2
NJOP
Total Nilai Bangunan : Total Luas Bangunan Tarif NJKP NJOP TKP
Nilai Bangunan
A. Bumi/Tanah
1. Areal produktif
a. Tanah yang ditanami komoditas hutan industri dan telah
menghasilkan :
Tanaman sonokeling : 500 Ha, Nilai Dasar Tanah: Rp5.000,- / M2 )
Standar Investasi Tanaman (SIT) = Rp29.308.000,- / Ha.
b. Tanah yang belum menghasilkan :
Sonokeling tahun ke-4 : 100 Ha, NDT = Rp5.000,-/M2
SIT = Rp24.278.000,- / Ha
Sonokeling tahun ke-5 : 200 Ha, NDT = Rp5.000,-/M2
SIT = Rp27.698.000,- / Ha
30 DTSD Pajak II
2. Log Ponds (perairan) : 20 Ha, NDT = Rp140,- /M2
4. Areal Emplasemen :
a. Pabrik : 10.000 M2 , NDT = Rp1.200,- / M2
b. Gudang : 5.000 M2 , NDT = Rp1.200,-/M2
c. Kantor : 1.000 M2 , NDT = Rp1.200,-/M2
d. Perumahan : 10.000 M2 , NDT = Rp1.200,-/M2
B. Bangunan :
1. Pabrik : 3.000 M2 ; Nilai = Rp225.000,- / M2
2. Gudang : 500 M2 ; Nilai = Rp225.000,-/M2
3. Kantor : 200M2 ; Nilai = Rp310.000,- / M2
4. Perumahan : 1.000 M2 ; Nilai = Rp225.000,-/M2
Hitung PBB yang menjadi kewajiban PT. Wanasetra tersebut apabila NJOPTKP
ditentukan sebesar Rp10.000.000,-
Jawaban
A. NJOP Bumi/Tanah
1. Areal Produktif
a. Tanah sudah menghasilkan tanaman sonokeling :
500 x 10.000 x Rp5.000,- = Rp25.000.000.000,-
SIT = 500 x Rp29.308.000,- = Rp14.654.000.000,-
b. Tanaman belum menghasilkan :
Sonokeling tahun ke-4 : 100x10.000xRp5.000,- = Rp 5.000.000.000,-
SIT = 100 x Rp24.278.000,- = Rp 2.427.800.000,-
Sonokeling tahun ke-5 : 200x10.000xRp5.000,- = Rp10.000.000.000,-
SIT = 200 x Rp27.698.000,- = Rp 5.539.600.000,-
DTSD Pajak II 31
PBB Sektor P3 dan Bea Meterai
B. NJOP Bangunan :
1. Pabrik = 3.000 x Rp225.000,- = Rp 675.000.000,-
2. Gudang = 500 x Rp225.000,- = Rp 112.500.000,-
3. Kantor = 200 x Rp310.000,- = Rp 62.000.000,-
4. Perumahan = 1.000 x Rp225.000,- = Rp 225.000.000,-
Nilai Bangunan = Rp 1.074.500.000,-
Nilai Bangunan/M2 = 1.074.500.000/4.700 = Rp228.617,02
Hasil konversi: Klas 090 = Rp225.000,-/M2
NJOP Bangunan seluruhnya = 4.700 x Rp225.000,- = Rp1.057.500.000,-
A. Bumi/Tanah
1. Areal produktif: tanah hutan blok tebangan : 200 Ha.
2. Areal belum/tidak produktif : Tanah hutan non blok tebangan : 4.000 Ha ;
NDT = Rp200,-/M2
3. a. Log ponds : 10 Ha; NDT = Rp140,-/M2
32 DTSD Pajak II
b. Log yards : 5 Ha; NDT = Rp200,-/M2
4. Areal lainnya (rawa, payau) : 100 Ha; NDT = Rp140,- / M2
5. Areal Emplasemen :
a. Pabrik : 20.000 M2 ; NDT = Rp660,-/M2
b. Gudang : 2.000 M2 ; NDT = Rp660,-/M2
c. Kantor : 1.000 M2 ; NDT = Rp660.-/M2
d. Perumahan : 10.000 M2 ; NDT = Rp910,-/ M2
B. Bangunan
Hitung PBB yang menjadi kewajiban PT. Wanalestari tersebut bila NJOPTKP =
Rp10.000.000,-!!
Jawaban:
A. NJOP Bumi/Tanah:
1. Areal produktif : 8,5 x Rp1.000.000.000,- = Rp 8.500.000.000,-
2. Areal belum produktif : 4.000 x 10.000 x Rp200,- = Rp 8.000.000.000,-
3. a. Log ponds : 10 x 10.000 x Rp140,- = Rp 14.000.000,-
b. Log yards : 5 x 10.000 x Rp200,- = Rp 10.000.000,-
4. Areal lainnya : 100 x 10.000 x Rp140,- = Rp 140.000.000,-
5. Areal Emplasemen :
1. Pabrik : 20.000 x Rp660,- = Rp 13.200.000,-
2. Gudang : 2.000 x Rp660,- = Rp 1.320.000,-
3. Kantor : 1.000 x Rp660,- = Rp 660.000,-
4. Perumahan : 10.000 x Rp910,- = Rp 9.100.000,-
Nilai Bumi (1+2+3+4+5) = Rp16.688.280.000,-
Nilai Bumi/M2 = 16.688.280.000/43.183.000 = Rp386,45/M2
DTSD Pajak II 33
PBB Sektor P3 dan Bea Meterai
B. NJOP Bangunan :
a.Pabrik : 1.000 x Rp264.000,- = Rp 264.000.000,-
b.Gudang : 500 x Rp264.000,- = Rp 132.000.000,-
c. Kantor : 200 x Rp310.000,- = Rp 62.000.000,-
d. Perumahan : 5.000 x Rp310.000,- = Rp1.550.000.000,-
Nilai Bangunan : = Rp2.008.000.000,-
Nilai Bangunan/M2 = 2.008.000.000/6.700 = Rp299.701,49/M2
Hasil konversi: Klas 086 = Rp310.000,-/M2
NJOP Bangunan seluruhnya = 6.700 x Rp310.000,- = Rp2.077.000.000,-
C. SEKTOR PERTAMBANGAN
34 DTSD Pajak II
1. Bahan galian strategis dalam arti strategis bagi pertahanan dan
keamanan serta perekonomian negara, antara lain seperti minyak bumi,
bitumen cair, lilin bumi, gas alam, bitumen padat, aspal, batubara,
uranium dan bahan radio aktif lainnya, nikel, timah.
2. Bahan galian vital dalam arti dapat menjamin hajat hidup orang banyak,
antara lain seperti besi, mangaan, wolfram, tembaga, emas, perak,
platina, yodium, belerang.
3. Bahan galian yang tidak termasuk jenis a atau b dalam arti karena
sifatnya tidak langsung memerlukan pasaran yang bersifat internasional,
antara lain seperti nitrat-nitrat, garam batu, asbes, batu permata, pasir
kwarsa, batu apung, batu kapur, granit, andesit.
Sektor pertambangan adalah objek Pajak Bumi dan Bangunan yang meliputi
areal usaha penambangan bahan-bahan galian dari semua jenis golongan yaitu
bahan galian strategis, bahan galian vital dan bahan galian lainnya. Pajak Bumi
dan Bangunan sektor pertambangan dapat diklasifikasikan ke dalam 3(tiga) jenis
yaitu:
Pertambangan Mineral dan Batu Bara (Minerba)
Pertambangan Minyak dan Gas Bumi (Migas)
Pertambangan Energi Panas Bumi
DTSD Pajak II 35
PBB Sektor P3 dan Bea Meterai
Objek pajak bumi dapat dibagi 2(dua) yaitu pertama, permukaan bumi yang
meliputi tanah dan/atau perairan pedalaman (onshore) dan/atau perairan lepas
pantai (offshore) dan kedua adalah tubuh bumi yang berada di bawah
permukaan bumi. Sedangkan objek bangunan adalah konstruksi teknik yang
ditanam atau dilekatkan secara tetap pada areal onshore dan/atau areal offshore.
Permukaan bumi untuk areal onshore meliputi: areal produktif, areal belum
produktif (areal cadangan produksi dan areal yang belum dimanfaatkan), areal
tidak produktif, areal emplasemen, dan areal pengaman. Tubuh bumi yang
berada di bawah permukaan bumi terdiri dari tubuh bumi untuk kegiatan
eksplorasi dan tubuh bumi untuk kegiatan operasi produksi.
Dasar pengenaan dari PBB sektor pertambangan Minerba adalah NJOP yang
merupakan penjumlahan dari NJOP bumi dan NJOP bangunan. NJOP bumi
areal onshore atau areal offshore merupakan hasil perkalian antara total luas
areal yang dikenakan dengan NJOP bumi per meter persegi, sedangkan NJOP
tubuh bumi baik yang eksplorasi atau yang kegiatan operasi produksi merupakan
hasil perkalian antara luas Wilayah Kerja dengan NJOP bumi per meter persegi.
NJOP bumi per meter persegi tersebut merupakan hasil konversi nilai bumi per
meter persegi ke dalam klasifikasi NJOP bumi yang tercantum di dalam
Peraturan Menteri Keuangan tentang klasifikasi NJOP Bumi. NJOP bangunan
merupakan hasil perkalian antara total luas bangunan dengan NJOP bangunan
per meter persegi, dimana NJOP bangunan per meter persegi merupakan hasil
konversi nilai bangunan per meter persegi ke dalam klasifikasi NJOP bangunan
yang tercantum di dalam Peraturan Menteri Keuangan tentang klasifikasi NJOP
Bangunan.
Nilai bumi per meter persegi masing-masing areal ditentukan sebagai berikut:
1. Areal onshore merupakan hasil pembagian antara total nilai bumi dengan
total luas areal onshore. Total nilai bumi merupakan jumlah dari perkalian
luas masing-masing areal dengan nilai bumi per meter persegi masing-
masing areal, dimana nilai bumi per meter persegi untuk areal belum
36 DTSD Pajak II
dimanfaatkan dan areal emplasemen ditentukan melalui perbandingan
harga tanah sejenis, dan areal cadangan produksi, areal tidak produktif,
dan areal pengaman ditentukan melalui penyesuaian terhadap nilai bumi
per meter persegi untuk areal belum dimanfaatkan.
DTSD Pajak II 37
PBB Sektor P3 dan Bea Meterai
Jawaban:
A. NJOP Bumi/Tanah :
1. Tubuh Bumi Operasi Prouduksi = 9,5 x Rp1milyar = Rp9.500.000.000,-
2. Areal Produktif = 200 x 10.000 x 400 = Rp 800.000.000,-
3. Areal Belum Produktif :
a. Areal Cadangan Produksi = 500 x 10.000 x 300 = Rp1.500.000.000,-
b. Areal Belum Dimanfaatkan = 100 x 10.000 x 300 =Rp 300.000.000,-
4. Areal tidak produktif : 100 x 10.000 x Rp200,- = Rp 200.000.000,-
5. Areal Emplasemen :
a. Pabrik : 20 x 10.000 x Rp1.200,- = Rp 240.000.000,-
b. Gudang : 2 x 10.000 x Rp1.200,- = Rp 24.000.000,-
c. Kantor : 1 x 10.000 x Rp5.000,- = Rp 50.000.000,-
d. Perumahan : 5 x 10.000 x Rp10.000,- = Rp 500.000.000,-
Nilai Bumi/Tanah ( 1+2+3+4+5) : = Rp13.114.000.000,-
Nilai Bumi/M2 = 13.114.000.000/9.280.000 = Rp1.413,15/M2
Hasil konversi: Klas 180 = Rp1.440,-/M2
NJOP Bumi seluruhnya = 9.280.000 x Rp1.440,- = Rp13.363.200.000,-
B. NJOP Bangunan
1. Pabrik : 50.000 x Rp310.000,- = Rp15.500.000.000,-
2. Gudang : 5.000 x Rp310.000,- = Rp 1.550.000.000,-
3. Kantor : 2.000 x Rp365.00,- = Rp 730.000.000,-
38 DTSD Pajak II
4. Perumahan : 10.000 x Rp429.000,- = Rp 4.290.000.000,-
Nilai Bangunan ( 1+2+3+4 ) : = Rp22.070.000.000,-
Nilai Bangunan/M2 = 22.070.000.000/67.000 = Rp329.402,98/M2
Hasil konversi: Klas 086 = Rp310.000,-/M2
NJOP Bangunan seluruhnya = 67.000 x 310.000 = Rp20.770.000.000,-
Objek Pajak Bumi dan Bangunan sektor pertambangan meliputi bumi dan
bangunan. Objek pajak bumi dapat dibagi 2(dua) yaitu pertama, permukaan bumi
yang meliputi tanah dan/atau perairan pedalaman (onshore) dan/atau perairan
lepas pantai (offshore) dan kedua adalah tubuh bumi yang berada di bawah
permukaan bumi. Sedangkan objek bangunan adalah konstruksi teknik yang
ditanam atau dilekatkan secara tetap pada areal onshore dan/atau areal offshore.
Permukaan bumi untuk areal onshore meliputi: areal produktif, areal belum
produktif, areal tidak produktif, areal emplasemen, dan areal pengaman. Tubuh
DTSD Pajak II 39
PBB Sektor P3 dan Bea Meterai
bumi yang berada di bawah permukaan bumi terdiri dari tubuh bumi untuk
kegiatan eksplorasi dan tubuh bumi untuk kegiatan eksploitasi.
Dasar pengenaan dari PBB sektor Migas adalah NJOP yang merupakan
penjumlahan dari NJOP bumi dan NJOP bangunan. NJOP bumi areal onshore
atau areal offshore merupakan hasil perkalian antara total luas areal yang
dikenakan dengan NJOP bumi per meter persegi, sedangkan NJOP tubuh bumi
baik yang eksplorasi atau yang eksploitasi merupakan hasil perkalian antara luas
Wilayah Kerja dengan NJOP bumi per meter persegi. NJOP bumi per meter
persegi tersebut merupakan hasil konversi nilai bumi per meter persegi ke dalam
klasifikasi NJOP bumi yang tercantum di dalam Peraturan Menteri Keuangan
tentang klasifikasi NJOP Bumi. NJOP bangunan merupakan hasil perkalian
antara total luas bangunan dengan NJOP bangunan per meter persegi, dimana
NJOP bangunan per meter persegi merupakan hasil konversi nilai bangunan per
meter persegi ke dalam klasifikasi NJOP bangunan yang tercantum di dalam
Peraturan Menteri Keuangan tentang klasifikasi NJOP Bangunan.
Nilai bumi per meter persegi masing-masing areal ditentukan sebagai berikut:
1. Areal onshore merupakan hasil pembagian antara total nilai bumi dengan
total luas areal onshore. Total nilai bumi merupakan jumlah dari perkalian
luas masing-masing areal dengan nilai bumi per meter persegi masing-
masing areal, dimana nilai bumi per meter persegi untuk areal dimana
nilai bumi per meter persegi untuk areal belum produktif dan areal
emplasemen ditentukan melalui perbandingan harga tanah sejenis, dan
areal produktif, tidak produktif, dan areal pengaman ditentukan melalui
penyesuaian terhadap nilai bumi per meter persegi untuk areal belum
produktif.
40 DTSD Pajak II
ditentukan dengan mempertimbangkan rata-rata nilai bumi untuk areal
daratan terdekat dengan areal offshore di wilayah Indonesia.
PT. Mutiara Hitam, sebuah usaha tambang minyak bumi yang beroperasi di
pedalaman Kalimantan menguasai/memperoleh manfaat dari bumi dan
bangunan dengan rincian sbb:
A. Bumi (Tanah )
1. Areal Produktif : 200 Ha; Nilai = Rp300,-/M2
2. Areal Belum Produktif : 300 Ha; Nilai = Rp200,-/M2
3. Areal tidak produktif : 100 Ha; Nilai = Rp150,-/M2
4. Areal Pengaman: 1 Ha; Nilai = Rp150,-/M2
5. Areal Emplasemen :
a. Pabrik : 20 Ha; Nilai = Rp900,-/M2
b. Gudang : 2 Ha; Nilai = Rp900,-/M2
c. Kantor : 1 Ha; Nilai = Rp1.000,-/M2
d. Perumahan : 5 Ha; Nilai = Rp1.100,-/M2
B Bangunan :
1. Pabrik : 50.000 M2; Nilai = Rp365.000,-/M2
2. Gudang : 5.000 M2; Nilai = Rp429.000,-/M2
3. Kantor : 2.000 M2; Nilai = Rp505.000,-/M2
4. Perumahan : 10.000 M2; Nilai = Rp595.000,-/M2
DTSD Pajak II 41
PBB Sektor P3 dan Bea Meterai
Jawaban:
Hasil Penjualan minyak bumi setahun sebagai berikut:
Triwulan pertama: 25.000 x 45 x 9.150 = Rp10.293.750.000,-
Triwulan kedua: 30.000 x 46 x 9.150 = Rp12.627.000.000,-
Triwulan ketiga: 33.000 x 45,5 x 9.150 = Rp13.738.725.000,-
Triwulan keempat: 34.000 x 46 x 9.150 = Rp14.310.600.000,- +
Total hasil penjualan setahun = Rp50.970.075.000,-
A. NJOP Bumi:
a. Tubuh bumi eksploitasi = 9,5 x 50.970.075.000 = Rp484.215.713.000,-
b. Areal Produktif = 200 x 10.000 x 300,- = Rp 600.000.000,-
c. Areal Belum Produktif = 300 x 10.000 x 200 = Rp 600.000.000,-
d. Areal Tidak Produktif: 100 x 10.000 x 150 = Rp 150.000.000,-
e. Areal Pengaman = 1 x 10.000 x 150 = Rp 1.500.000,-
f. Areal Emplasemen:
1. Pabrik: 20 x 10.000 x 900 = Rp 180.000.000,-
2. Gudang: 2 x 10.000 x 900 = Rp 18.000.000,-
3. Kantor: 10.000 x 1.000 = Rp 10.000.000,-
4. Perumahan: 5 x 10.000 x 1.100 = Rp 55.000.000,- +
Jumlah Nilai Bumi: = Rp485.830.213.000,-
Nilai Bumi/M2 = 485.830.213.000/6.290.000 = Rp77.238,51
Hasil konversi: Klas 105 = Rp78.000,-/M2
NJOP Bumi seluruhnya = 6.290.000 x Rp78.000 = Rp490.620.000.000,-
B. NJOP Bangunan:
1. Pabrik: 50.000 x 365.000 = Rp 18.250.000.000,-
2. Gudang: 5.000 x 429.000 = Rp 2.145.000.000,-
3. Kantor: 2.000 x 505.000 = Rp 1.010.000.000,-
4. Perumahan: 10.000 x 595.000 = Rp 5.950.000.000,- +
Jumlah Nilai Bangunan: = Rp 27.355.000.000,-
Nilai Bangunan/M2 = 27.355.000.000/67.000 = Rp408.283,58
42 DTSD Pajak II
Hasil konversi: Klas 082 = Rp408.000,-/M2
NJOP Bangunan seluruhnya = 67.000 x Rp408.000,- = Rp27.336.000.000,-
Objek PBB Panas Bumi adalah bumi dan/atau bangunan yang berada di dalam
Wilayah Kerja atau sejenisnya terkait dengan pertambangan Panas Bumi yang
diperoleh haknya, dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh Pengusaha
Panas Bumi. Objek pajak bumi dapat dibagi 2(dua) yaitu pertama, permukaan
bumi yang meliputi tanah dan/atau perairan pedalaman (onshore) dan/atau
perairan lepas pantai (offshore) dan kedua adalah tubuh bumi yang berada di
bawah permukaan bumi. Sedangkan objek bangunan adalah konstruksi teknik
yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada areal onshore dan/atau areal
offshore. Permukaan bumi untuk areal onshore meliputi: areal produktif, areal
DTSD Pajak II 43
PBB Sektor P3 dan Bea Meterai
belum produktif, areal tidak produktif, areal emplasemen, dan areal pengaman.
Tubuh bumi yang berada di bawah permukaan bumi terdiri dari tubuh bumi untuk
kegiatan eksplorasi dan tubuh bumi untuk kegiatan eksploitasi.
Dasar pengenaan dari PBB Panas Bumi adalah NJOP yang merupakan
penjumlahan dari NJOP bumi dan NJOP bangunan. NJOP bumi areal onshore
atau areal offshore merupakan hasil perkalian antara total luas areal yang
dikenakan dengan NJOP bumi per meter persegi, sedangkan NJOP tubuh bumi
baik yang eksplorasi atau yang eksploitasi merupakan hasil perkalian antara luas
Wilayah Kerja dengan NJOP bumi per meter persegi. NJOP bumi per meter
persegi tersebut merupakan hasil konversi nilai bumi per meter persegi ke dalam
klasifikasi NJOP bumi yang tercantum di dalam Peraturan Menteri Keuangan
tentang klasifikasi NJOP Bumi. NJOP bangunan merupakan hasil perkalian
antara total luas bangunan dengan NJOP bangunan per meter persegi, dimana
NJOP bangunan per meter persegi merupakan hasil konversi nilai bangunan per
meter persegi ke dalam klasifikasi NJOP bangunan yang tercantum di dalam
Peraturan Menteri Keuangan tentang klasifikasi NJOP Bangunan.
Nilai bumi per meter persegi masing-masing areal ditentukan sebagai berikut:
1. Areal onshore merupakan hasil pembagian antara total nilai bumi dengan
total luas areal onshore. Total nilai bumi merupakan jumlah dari perkalian
luas masing-masing areal dengan nilai bumi per meter persegi masing-
masing areal, dimana nilai bumi per meter persegi untuk areal belum
produktif dan areal emplasemen ditentukan melalui perbandingan harga
tanah sejenis, dan areal produktif, tidak produktif, dan areal pengaman
ditentukan melalui penyesuaian terhadap nilai bumi per meter persegi
untuk areal belum produktif.
44 DTSD Pajak II
listriknya tidak dikelola sendiri oleh Pengusaha Panas Bumi. Besarnya
Angka Kapitalisasi ditetapkan dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak.
B Bangunan :
a. Pabrik : 50.000 M2; Nilai = Rp365.000,-/M2
b. Gudang : 5.000 M2; Nilai = Rp365.000,-/M2
c. Kantor : 2.000 M2; Nilai = Rp505.000,-/M2
d. Perumahan : 10.000 M2; Nilai = Rp595.000,-/M2
DTSD Pajak II 45
PBB Sektor P3 dan Bea Meterai
4. Triwulan keempat produksi sebesar 165 Kwh dengan harga US $30 per
Kwh
Angka Kapitalisasi = 9,5
Kurs yang berlaku: 1 US $ = Rp9.150,00
Hitung PBB yang menjadi kewajiban PT. Sapta Pertala tersebut apabila
NJOPTKP ditentukan sebesar Rp12.000.000,00
Jawaban:
A. NJOP Bumi:
a. Tubuh Bumi eksploitasi = 9,5 x 141.687.750,- = Rp1.346.033.630,-
b. Areal Produktif:= 200 x 10.000 x 400 = Rp 800.000.000,-
c. Areal Belum Produktif = 200 x 10.000 x 350 = Rp 700.000.000,-
d. Areal Tidak Produktif: 100 x 10.000 x 300 = Rp 300.000.000,-
e. Areal Pengaman = 1 x 10.000 x 200 = Rp 2.000.000,-
f. Areal Emplasemen:
1. Pabrik: 20 x 10.000 x 3.500 = Rp 700.000.000,-
2. Gudang: 2 x 10.000 x 5.000 = Rp 100.000.000,-
3. Kantor: 1 x 10.000 x 5.000 = Rp 50.000.000,-
4. Perumahan: 5 x 10.000 x 10.000 = Rp 500.000.000,- +
Jumlah Nilai Bumi: = Rp4.498.033.630,-
Nilai Bumi/M2 = 4.498.033.630/5.290.000 = Rp850,29/M2
Hasil konversi: Klas 186 = Rp820,-/M2
NJOP Bumi seluruhnya = 5.290.000 x Rp820,- = Rp4.337.800.000,-
B. NJOP Bangunan:
1. Pabrik: 50.000 x 365.000 = Rp18.250.000.000,-
2. Gudang: 5.000 x 365.000 = Rp 1.825.000.000,-
46 DTSD Pajak II
3. Kantor: 2.000 x 505.000 = Rp 1.010.000.000,-
4. Perumahan: 10.000 x 595.000 = Rp 5.950.000.000,- +
Jumlah Nilai Bangunan: = Rp27.035.000.000,-
Nilai Bangunan/M2 = 27.035.000.000/67.000 = Rp403.507,46/M2
Hasil konversi: Klas 082 = Rp408.000,-/M2
NJOP Bangunan seluruhnya = 67.000 x Rp408.000,- = Rp27.336.000.000,-
DTSD Pajak II 47
PBB Sektor P3 dan Bea Meterai
REFERENSI
48 DTSD Pajak II
BEA METERAI
DTSD Pajak II 49
PENDAHULUAN
Pajak sebagai salah satu sumber penerimaan negara yang paling besar sudah
sepatutnya dikelola dengan sebaik-baiknya agar penerimaan negara dapat
terjaga kesinambungannya guna mendukung kegiatan pemerintahan umum dan
pembiayaan pembangunan yang dijalankan Pemerintah. Jumlah penerimaan
pajak pada APBN 2008 sebesar Rp.601,476 trilyun, dimana Rp 3,341 trilyun
lebih berasal dari penerimaan pajak lainnya termasuk bea meterai. Bila kita amati
dari kegiatan ekonomi masyarakat Indonesia pada dewasa ini, pengelolaan bea
meterai oleh Pemerintah dirasa belum optimal, ini dapat dilihat dari masih banyak
praktik-praktik melawan hukum yang sulit dicegah maupun diambil tindakan oleh
penegak hukukm, seperti pemalsuan bea meterai, ketidaklancaran distribusi,
sampai pada pembuatan dokumen yang tidak dipenuhi kewajiban bea
meterainya.
Bahan ajar ini disusun dalam rangka memenuhi kebutuhan bahan ajar di
lingkungan Pusdiklat Pajak Jakarta. Mengingat batasan waktu yang tersedia
untuk penyajian materi dalam diklat, maka kedalaman isi bahan ajar ini
disesuaikan dengan jumlah pelatihan yang tersedia serta diselaraskan dengan
tujuan Diklat Teknis Substantif Dasar II Pajak..
DTSD Pajak II 51
PBB Sektor P3 dan Bea Meterai
Tujuan umum pembelajaran Bea Meterai ini adalah agar peserta diklat
memahami ketentuan-ketentuan perundang-undangan tentang bea meterai dan
tugas-tugas DJP dalam pengelolaan bea meterai.
Adapun Tujuan Khusus dari pembelajaran Bea Meterai ini agar peserta diklat :
52 DTSD Pajak II
PENGERTIAN BEA METERAI
Bila kita amati dalam kehidupan sehari-hari, dari berbagai hal yang berlangsung
di masyarakat berkaitan dengan bea meterai, tampak bahwa pemahaman
masyarakat tentang bea meterai memang masih rendah. Bea meterai lebih
sering dianggap sebagai suatu keharusan yang mutlak dilakukan dalam
pembuatan dokumen. “Surat perjanjian itu tidak sah karena tidak diberi meterai”
misalnya. Atau Setiap tanda terima uang harus diberi meterai supaya sah, tanpa
tahu apa yang dimaksud dengan sah itu. Mengenai pemenuhan bea meterai
apakah sesuai dengan kententuan atau tidak sering kali tidak diperhatikan oleh
masyarakat. Kondisi ini tentunya harus diperbaiki mengingat bea meterai
merupakan salah satu sumber penerimaan negara yang diterapkan di seluruh
indonesia. Masyarakat perlu memahami mengapa harus melunasi bea meterai
dan bagaimana ketentuan yang benar. Selanjutnya bea meterai dapat diterima
sebagai salah satu jenis pajak di Indonesia, dimana pembayarannya hanya untuk
kepentingan pajak dan tidak ada kaitannya dengan hal – hal lain diluar pajak.
Bea meterai adalah pajak, ini dapat dibuktikan dengan melihat ciri-ciri yang
melekat pada pengertian bea meterai dengan disandingkan dengan ciri-ciri pajak.
Ciri-ciri yang melekat pada pengertian pajak antara lain :
1. Pajak adalah peralihan kekayaan dari orang/badan ke Pemeerintah
2. Pajak dipungut berdasarkan ketentuan undang-undang serta aturan
pelaksanaannya sehingga dapat dipaksakan;
3. Dalam pembayaran pajak, tidak dapat ditunjukkan kontraprestasi
langsung secara individual yang diberikan oleh Pemerintah;
4. Pajak dipungut oleh negara, baik oleh Pemerintah Pusat maupun
Pemerintah Daerah;
5. Pajak diperuntukkan bagi pengeluaran-pengeluaran pemerintah, yang bila
dari pemaasukannya masih terdapat surplus, maka surplus tersebut
digunakan untuk investasi publik.
DTSD Pajak II 53
PBB Sektor P3 dan Bea Meterai
6. Pajak dapat digunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan tertentu dari
Pemerintah.
7. Pajak dapat dipungut secara langsung atau tidak langsung.
Selanjutnya tentang bea meterai dijelaskan dalam Pasal 1 ayat (1) Undang –
Undang Nomor. 13 tahun 1985 tentang Bea Meterai :”Dengan nama bea meterai
dikenakan pajak atas dokumen yang disebut dalam undang – undang ini”. Hal ini
menunjukkan bahwa UU Bea Meterai dengan tegas menyatakan bahwa bea
meterai adalah pengenaan pajak atas dokumen.
54 DTSD Pajak II
Ditinjau dari ciri-ciri tersebut di atas, tentu dapat dikatakan bahwa bea meterai
memenuhi kriteria pungutan yang dimaksud dalam pajak. Bea meterai adalah
pajak.
DTSD Pajak II 55
PBB Sektor P3 dan Bea Meterai
formal ini adalah untuk melindungi fiskus dan wajib pajak serta memberi jaminan
agar hukum pajak material dapat diselenggaraan dengan tepat.
Dalam UU Bea Meterai dapat ditemui ketentuan tentang apa yang menjadi objek,
tarif, pihak yang terutang, saat terutang, dan cara pelunasan bea meterai yang
merupakan bagian dari hukum pajak material. Di bagian lain juga dapat ditemui
ketentuan tentang ketentuan bagi pejabat yang dalam jabatannya berhubungan
dengan dokumen, sanksi administrasi bagi wajib bea meterai yang tidak
memenuhai kewajibannya sebagaimana mestinya, dan ketentuan pidana
terhadap barang siapa yang meniru dan memalsukan benda meterai, yang pada
dasarnya merupakan bagian dari hukum pajak formal.
1. Pengertian Dokumen
Pasal 1 ayat (2) UU Bea Meterai memberikan definisi dokumen sebagai kertas
yang berisikan tulisan yag mengandung arti dan maksud tentang perbuatan,
keadaan, atau kenyataan bagi seseorang dan atau pihak-pihak yang
berkepentingan. Definisi ini memberikan pengertian dokumen secara sempit,
yaitu terbatas pada kertas yang berisikan tulisan. Dikatakan secara sempit
karena dalam kehidupan sehari-hari dokumen tidak hanya terbatas dalam bentuk
kertas yang berisikan tulisan, tetapi juga bentuk lain seperti film, rekaman vidio,
kaset, dan sebagainya.
Pengertian dokumen secara harfiah dapat dilihat pada Kamus Besar Bahasa
Indonesia yang disusun oleh Tim Penyusun Pusat Pembinaan dan
56 DTSD Pajak II
Pengembangan Bahasa Departemen Pedidikan Nasional, dokumen memiliki tiga
pengertian, yaitu:
1. Surat yang tertulis atau tercetak yang dapat dipakai sebagai bukti
keterangan (seperti kelahiran, surat nikah, dan surat perjanjian);
2. Barang cetakan atas naskah karangan yang dikirim melalui pos; atau
3. Rekaman suara, gambar di film, dan sebagainya yang dapat dijadikan
bukti keterangan.
Hanya saja, karena secara umum yang digunakan oleh masyarakat (setidaknya
sampai dengan 1983 pada saat UU Bea Meterai dibuat) adalah kertas sebagai
dokumen yang membuktikan adanya perbuatan hukum, keadaan, atau
kenyataan bagi seseorang dan atau pihak-pihak yang berkepentingan, maka
dokumen yang dikenakan pajak dalam UU Bea Meterai dibatasi hanya pada
kertas yang berisi tulisan.
Surat dapat dibedakan dalam dua jenis, yaitu surat di bawah tangan dan surat
autentik. Selanjutnya surat dibawah tangan dapat dibedakan menjadi surat biasa
dan akta di bawah tangan, dan surat autentik dapat dibedakan menjadi akta
autentik dan surat dinas. Lebih lanjut, akta autentik dibagi menjadi dua, yaitu akta
autentik menurut Hukum Publik dan akta autentik menurut Hukum Perdata.
Untuk mempermudah pemahaman mengenai dokumen dapat diperhatikan
skema pada gambar 1 di bawah ini:
DTSD Pajak II 57
PBB Sektor P3 dan Bea Meterai
Keterangan :
58 DTSD Pajak II
kuitansi, surat perjanjian pemborongan pekerjaan, dan sebagainya. Isi surat
perjanjian yang tidak mungkin dapat dilaksanakan, misalnya saja jual beli tanah
di bulan atau perjanjian mengenai perbuatan yang dilarang, tidak menjadi
penghalang untuk mengenakan bea meterai atas surat perjanjian mengenai hal-
hal tersebut.
Jumlah uang ataupun harga nominal yang disebut pada huruf d, e, dan f diatas
juga dimaksudkan termasuk jumlah uang atau harga nominal yang dinyatakan
dalam mata uang asing. Untuk menentukan nilai rupiahnya, jumlah uang atau
harga nominal tersebut dikalikan dengan nilai tukar yang ditetapkan oleh Menteri
DTSD Pajak II 59
PBB Sektor P3 dan Bea Meterai
Keuangan yang berlaku pada saat dokumen itu dibuat, sehingga dapat diketahui
apakah dokumen tersebut dikenakan atau tidak dikenakan bea meterai.
60 DTSD Pajak II
SUBJEK, SAAT TERUTANG, DAN TARIF BEA
METERAI
Pasal 6 UU Bea Meterai menentukan bahwa Bea Meterai terhutang oleh pihak
yang menerima atau pihak yang mendapat manfaat dari dokumen, kecuali pihak
atau pihak-pihak yang bersangkutan menentukan lain.
Saat terutang bea meterai sangat perlu diketahui karena akan menentukan
besarnya tarif bea meterai yang berlaku dan juga berguna untuk menentukan
daluarsa pemenuhan bea meterai dan denda admininistrasi yang terutang. Saat
terutang bea meterai ditentukan oleh jenis dan di mana suatu dokumen dibuat.
Pasal 5 UU Bea Meterai menentukan saat terutang bea meterai sebagai berikut:
a. Dokumen yang dibuat oleh satu pihak, adalah pada saat dokumen itu
diserahkan;
DTSD Pajak II 61
PBB Sektor P3 dan Bea Meterai
Lebih jauh dijelaskan bahwa yang dimaksud saat dokumen itu diserahkan
termasuk juga bahwa pada saat itu dokumen tersebut diterima oleh pihak
untuk siapa dokumen itu dibuat, bukan pada saat ditandatangani, misalnya
kuintansi, cek, dan sebagainya.
b. Dokumen yang dibuat oleh lebih dari salah satu pihak, adalah pada saat
selesainya dokumen dubuat, yang ditutup dengan pembubuhan tanda tangan
dari yang bersangkutan. Sebagai contoh surat perjanjian jual beli. Bea
Meterai terhutang pada saat ditandatanganinya perjanjian tersebut.
c. Dokumen yang dibuat di luar negeri adalah pada saat digunakan di
Indonesia.
Tarif bea meterai pada dasarnya dibagai dua, yaitu (1) tarif berdasarkan jenis
dokumen dan (2) tarif berdasarkan jumlah nominal yang disebutkan dalam
dokumen tersebut. Pembagian ini memang tidak disebutkan secara jelas dalam
UU Bea meterai, namun secara implisit dapat dilihat dalam Pasal 2, yaitu
dokumen yang merupakan surat ya.ng dibuat dengan tujuan untuk digunakan
sebagai barang bukti di pengadilan, seperti akta notaris dan akta PPAT
dikenakan tarif yang sama tanpa melihat isi dari dokumen tersebut. Selain itu
dokumen yang memuat jumlah uang akan dikenakan tarif bea meterai
berdasarkan jumlah uang yang termuat dalam dokumen itu.
62 DTSD Pajak II
kedua diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 2000, yaitu tarif bea
meterai ditentukan sebesar Rp 3.000,-- dan Rp 6.000,-.
Perkembangan tarif bea meterai per jenis dokumen tercantum dalam tabel 1
berikut:
DTSD Pajak II 63
PBB Sektor P3 dan Bea Meterai
Keterangan :
64 DTSD Pajak II
PELUNASAN BEA METERAI
Secara umum bea meterai atas dokumen yang terutang dilunasi denga dua cara,
yaitu dengan menggunakan benda meterai atau menggunakan cara lain yang
ditetapkan oleh Menteri Keuangan. Pada umumnya bea meterai atas dokumen
dilunasi dengan benda meterai menurut tarif yang ditentukan dalam undang-
undang dan pelaturan pemerintah. Benda meterai yang dapat digunakan untuk
melunasi bea meterai yang terutang adalah meterai tempel dan kertas meterai.
Disampig itu, dengan Keputusan Menteri Keuangan dapat ditetapkan cara lain
bagi pelunasan bea meterai, misalnya membubuhkan tanda tera sebagai
pengganti benda meterai diatas dokumen dengan mesin-teraan, sesuai dengan
pelaturan perundang-undangan yang ditentukan untuk itu.
Benda meterai yang dapat digunakan sebagai sarana pelunasan benda meterai
terutang adalah benda meterai sebagaimana dimaksud dalm Pasal 1 ayat (2)
huruf b UU Bea Meterai, yaitu meterai tempel dan kertas metereai yang
dikeluarkan oleh Pemerintah Republik Indonesia.
1. Meterai Tempel
DTSD Pajak II 65
PBB Sektor P3 dan Bea Meterai
d. Jika digunakan lebih dari satu meterai tempel, tanda tangan harus
dibubuhkan sebagian di atas semua meterai tempel dan sebagian di atas
kertas.
Letak perekatan meterai tempel bergantung kepada dimana letak tanda
tangan akan dibubuhkan diatas kertas yang bersangkutan. Pada umumnya di
bawah tulisan yang sudah selesai. Jika suatu dokumen yang dibubuhi
meterai tempel harus ditanda-tangani oleh lebih dari satu orang, penanda
tanga pertama harus mempergunakan meterai tempel tersebut.
2. Kertas Meterai
Kertas meterai yang sudah digunakan tidak boleh digunakan lagi. Hal ini berarti
bahwa sehelai kertas meterai hanya dapat digunakan untuk sekali pemakai,
sekalipun dapat saja terjadi tulisan atau keterangan yang dimuat dalam kertas
meterai tersebut hanya menggunakan sebagian saja dari kertas meterai.
Andaikan bagian yang masih kosong atau tidak terisi tulisan atau keterangan
akan dimuat tulisan atau keterangan lain, maka atas pemuatan tulisan atau
keterangan lain tersebut terutang bea meterai tersendiri yang besarnya
disesuaikan dengan besarnya tarif bea meterai yang berlaku. Jika sehelai kertas
66 DTSD Pajak II
meterai karena suatu hal tidak jadi digunakan dan dalam hal ini belum
ditandatangani oleh pembuat atau yang berkepentingan, sedangkan dalam
kertas meterai telah terlanjur ditulis dengan beberapa kata atau kalimat yang
belum merupakan suatu dokumen yang selesai, kemudian tulisan yang ada pada
kertas meterai tersebut dicoret dan dimuat tulisan atau keterangan baru, maka
kertas meterai yang demikian dapat digunakan dan tidak perlu dibubuhi meterai
lagi.
Apabila ketentuan tentang bentuk, ukuran, warna meterai tempel, dan kertas
meterai, demikian pula pencetakan, serta tata cara pelunasan bea meterai tidak
dipenuhi, maka dokumen yang bersangkutan dianggap tidak bermeterai.
Pelunasan bea meterai lainnya adalah dengan menggunakan cara lain yang
ditetapkan oleh Menteri Keuangan. Sesuai dengan Keputusan Menteri Keuangan
Nomor 104/KMK.04/1986 tanggal 22 Februari 1986, pelunasan bea meterai
degan menggunakan cara lain adalah dengan menggunakan mesin teraan
meterai atau alat lain dengan teknologi tertentu, yang penggunaannya harus
mendapat izin tertululis dari Direktur Jendral Pajak. Izin penggunaan diberikan
kepada pemakai yang memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan oleh Direktur
Jendral Pajak. Ketentuan dengan cara lain ini telah mengalami berbagai
perubahan, seiring dengan perkembangan teknologi yang dapat dipergunakan
untuk memperlancar pelunasan bea meterai. Terakhir, ketentuan mengenai
pemeteraian dengan cara lain diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor
133b/KMK.04/2000 tanggal 28 April 2000 sebagai berikut:
DTSD Pajak II 67
PBB Sektor P3 dan Bea Meterai
68 DTSD Pajak II
harus mengajukan permohonan ijin secara tertulis kepada Kepala Kantor
Pelayanan Pajak setempat dengan mencantumkan jenis/merk dan tahun
pembuatan mesin teraan meterai yang akan digunakan, serta
melampirkan surat pernyataan tentang jumlah rata-rata dokumen yang
harus dilunasi Bea Meterai setiap hari.
c. Penerbit dokumen yang akan melakukan pelunasan Bea Meterai dengan
membubuhkan tanda Bea Meterai Lunas dengan mesin teraan meterai
harus melakukan penyetoran Bea Meterai di muka minimal sebesar Rp
15.000.000,- (lima belas juta rupiah) dengan menggunakan Surat Setoran
Pajak Ke Kas Negara melalui Bank Presepsi.
d. Penerbit dokumen yang mendapatkan ijin penggunaan mesin teraan
meterai mempunyai kewajiban sebagai berikut :
(1) Menyampaikan laporan bulanan penggunaan mesin teraan meterai
kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak setempat paling lambat
tanggal 15 setiap bulan.
(2) Menyampaikan laporan kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak
setempat paling lambat satu bulan setelah mesin teraan meterai tidak
dipergunakan lagi atau terjadi perubahan alamat/tempat kedudukan
pemilik/pemegang ijin penggunaan mesin teraan meterai.
e. Ijin penggunaan mesin teraan meterai berlaku selama 2 (dua) tahun sejak
tanggal ditetapkannya, dan dapat diperpanjang selama memenuhi
persyaratan.
f. Bea meterai yang belum dipergunakan karena mesin teraan meterai
rusak atau tidak dipergunakan lagi, dapat dialihkan untuk pengisian
deposit mesin teraan meterai lain atau pencetakan tanda Bea Meterai
Lunas dengan teknologi percetakan ataupun dengan sistem
komputerisasi.
g. Penerbit dokumen yang akan melakukan pengalihan Bea Meterai, harus
mengajukan permohonan secara tertulis kepada Kepala Kantor
Pelayanan Pajak setempat dengan mencantumkan alasan dan jumlah
Bea Meterai yang akan dialihkan.
h. Penggunaan mesin teraan meterai tanpa ijin tertulis dari Direktur Jenderal
Pajak dikenakan sanksi pidana berdasarkan Pasal 14 Undang-undang
Nomor 13 Tahun 1985 tentang Bea Meterai.
DTSD Pajak II 69
PBB Sektor P3 dan Bea Meterai
Pada prinsipnya hal-hal yang diatur dalam peraturan ini sama dengan hal-hal
yang diatur dalam Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor Kep - 122b/Pj./2000
tanggal 29 Oktober 2009. Namun terdapat beberapa hal baru yang diatur antara
lain :
a. Aplikasi Kode Deposit; adalah aplikasi yang diinstal dalam server milik
distributor Mesin Teraan Meterai Digital yang ditempatkan pada Kantor
Pusat Direktorat Jenderal Pajak yang berfungsi sebagai penerbit Kode
Deposit Mesin Teraan Meterai Digital setelah mendapat informasi hasil
verifikasi pembayaran deposit dari Aplikasi e- meterai;
b. Aplikasi e- meterai adalah aplikasi yang diinstal dalam server milik
Direktorat Jenderal Pajak yang melayani pendaftaran Mesin Teraan
Meterai Digital, verifikasi pembayaran deposit, dan pelaporan Bea
Meterai, yang dapat diakses melalui portal intranet Direktorat Jenderal
Pajak,
c. Petugas Kantor Pelayanan Pajak meneliti dan meng-input data yang
disampaikan oleh wajib Pajak ke Aplikasi e- meterai.
70 DTSD Pajak II
d. Petugas Kantor Pelayanan Pajak mencetak Surat Izin Pembubuhan
Tanda Bea Meterai Lunas Dengan Mesin Teraan Meterai Digital dari
Aplikasi e- meterai.
e. Wajib Pajak setelah membayar deposit Mesin Teraan Meterai Digital akan
memperoleh Kode Deposit paling lambat 3 (tiga) hari kerja sejak tanggal
pembayaran deposit dilakukan.
f. izin pembubuhan tanda Bea Meterai Lunas dengan Mesin Teraan
Meterai Digital berlaku selama 4 (empat) tahun sejak tanggal ditetapkan,
dan dapat diperpanjang selama memenuhi persyaratan.
g. Kepala Kantor Pelayanan Pajak dapat menerbitkan surat pemberitahuan
akan berakhirnya izin pembubuhan tanda Bea Meterai Lunas dengan
Mesin Teraan Meterai Digital. Surat pemberitahuan tersebut dikirimkan
kepada Wajib Pajak paling lambat 1 (satu) bulan sebelum batas waktu
berakhirnya izin pembubuhan tanda Bea Meterai Lunas dengan Mesin
Teraan Meterai Digital.
h. Apabila sampai dengan berakhirnya batas waktu berlakunya izin
pembubuhan Wajib Pajak tidak melakukan perpanjangan izin
pembubuhan, maka Kepala Kantor Pelayanan Pajak wajib mengirim
Surat Teguran kepada Wajib Pajak paling lambat 5 (lima) hari sejak
berakhirnya batas waktu berlakunya izin pembubuhan.
i. Wajib Pajak yang tidak melakukan perpanjangan izin pembubuhan dalam
jangka waktu 15 (lima belas) hari sejak tanggal pengiriman Surat
Teguran, dikenakan sanksi penangguhan perpanjangan izin pembubuhan
selama 1 (satu) tahun dimulai sejak tanggal diterbitkannya Surat
Keputusan Penangguhan Perpanjangan Izin Pembubuhan Tanda Bea
Meterai Lunas Dengan Mesin Teraan Meterai Digital.
j. Surat Keputusan Penangguhan Perpanjangan Izin Pembubuhan Tanda
Bea Meterai Lunas Dengan Mesin Teraan Meterai Digital harus
diterbitkan paling lambat akhir bulan setelah bulan berakhirnya batas
waktu berlakunya izin pembubuhan.
k. Penangguhan Perpanjangan Izin Pembubuhan Tanda Bea Meterai Lunas
Dengan Mesin Teraan Meterai Digital diatur sebagai berikut:
1) Apabila sampai dengan berakhirnya batas waktu berlakunya izin
pembubuhan tanda Bea Meterai Lunas dengan Mesin Teraan Meterai
DTSD Pajak II 71
PBB Sektor P3 dan Bea Meterai
72 DTSD Pajak II
7) Prosedur pengalihan saldo deposit diatur sebagai berikut:
a) Wajib Pajak harus mengajukan Surat Permohonan Pengalihan
Deposit kepada kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib
Pajak terdaftar, dengan:
- Mencantumkan jumlah saldo deposit yang akan dialihkan, dan
- Memberitahukan perhitungan ke setoran pajak yang lain untuk
dilakukan pemindahbukuan atas saldo deposit yang akan
dialihkan.
b) Untuk mengetahui jumlah saldo deposit yang dialihkan Petugas
Kantor Pelayanan Pajak wajib melakukan penelitian fisik dan
administrasi terhadap Mesin Teraan Meterai Manual yang hasilnya
dibuatkan Berita Acara sebagaimana dimaksud dalam lampiran 10
Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-07/PJ.5/2001
tanggal 18 April 2001 tentang Pembubuhan Tanda Bea Meterai
Lunas Dengan Mesin Teraan Meterai.
c) Berdasarkan Berita Acara sebagaimana dimaksud pada huruf b
Kepala Kantor Pelayanan Pajak menerbitkan Surat Pengalihan
Saldo Deposit Bea Meterai sebagaimana dimaksud dalam
lampiran 13 Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-
07/PJ.5/2001 tanggal 18 April 2001 tentang Pembubuhan Tanda
Bea Meterai Lunas Dengan Mesin Teraan Meterai.
d) Kepala Kantor Pelayanan Pajak wajib menyelesaikan
pemindahbukuan (Pbk) terhadap saldo deposit yang dialihkan dan
mengirimkan Surat Pengalihan Saldo Deposit Bea Meterai paling
lambat 10 (lima) hari kerja sejak Surat Permohonan Pengalihan di
terima lengkap oleh Kantor Pelayanan Pajak.
e) Peraturan Direktur Jenderal Pajak ini berlaku sejak tanggal
ditetapkan dan mempunyai daya laku surut sejak tanggal 29 April
2008.
DTSD Pajak II 73
PBB Sektor P3 dan Bea Meterai
74 DTSD Pajak II
(3) Pelunasan denda administrasi seperti tersebut pada ayat (2) di atas
dilakukan dengan menyetorkan ke Kas Negara melalui Bank
Persepsi dengan menggunakan Surat Setoran Pajak.
(4) Bea Meterai yang telah dibayar atas tanda Bea Meterai Lunas yang
tercetak pada cek, bilyet giro, dan efek dengan nama dan dalam
bentuk apapun yang belum dipergunakan dapat dialihkan untuk
pengisian deposit mesin teraan Meterai, pembubuhan tanda Bea
Meterai Lunas lainnya dengan teknologi percetakan atau
pembubuhan tanda Bea Meterai Lunas dengan sistem komputerisasi.
(5) Penerbit dokumen yang akan melakukan pengalihan Bea Meterai,
harus mengajukan permohonan secara tertulis kepada Direktur
Jenderal Pajak dengan mencantumkan alasan dan jumlah Bea
Meterai yang akan dialihkan.
e. Penerbit dokumen yang melakukan pelunasan Bea Meterai dengan
membubuhkan tanda Bea Meterai Lunas dengan teknologi percetakan
tanpa ijin tertulis Direktur Jenderal Pajak dikenakan sanksi pidana
berdasarkan Pasal 14 Undang-undang Nomor 13 tahun 1985 tentang Bea
Meterai.
f. Perusahaan Umum Percetakan Uang Republik Indonesia (Perum Peruri)
atau perusahaan sekuriti yang melakukan pembubuhan tanda Bea
Meterai Lunas tanpa adanya ijin tertulis dari Direktur Jenderal Pajak
dikenakan sanksi pidana berdasarkan Pasal 14 Undang-undang Nomor
13 Tahun 1985 tentang Bea Meterai dan pencabutan ijin penunjukan
sebagai pelaksana pembubuhan tanda BeaMeterai Lunas dengan
teknologi percetakan.
g. Penyampaian laporan bulanan kepada Direktur Jenderal Pajak yang
melewati batas waktu yang telah ditentukan dikenakan sanksi pencabutan
ijin penunjukan sebagai pelaksana pembubuhan tanda Bea Meterai
Lunas dengan teknologi percetakan.
DTSD Pajak II 75
PBB Sektor P3 dan Bea Meterai
76 DTSD Pajak II
g. Bea Meterai yang belum dipergunakan karena sesuatu hal, dapat
dialihkan untuk pengisian deposit mesin teraan meterai, atau pencetakan
tanda Bea Meterai Lunas dengan teknologi percetakan.
h. Penerbit dokumen yang akan melakukan pengalihan Bea Meterai
sebagaimana dimaksud ayat (1), harus mengajukan permohonan secara
tertulis kepada Direktur Jenderal Pajak dengan mencantumkan alasan
dan jumlah Bea Meterai yang akan dialihkan.
i. Pelunasan Bea Meterai dengan membubuhkan tanda Bea Meterai Lunas
dengan sistem komputerisasi tanpa ijin tertulis Direktur Jenderal Pajak
dikenakan sanksi pidana berdasarkan Pasal 14 ndang-undang Nomor 13
tahun 1985 tentang Bea.
j. Bea Meterai kurang bayar yang disebabkan oleh kelebihan pemakaian
dari pembayaran di muka yang dilakukan, dikenakan sanksi denda
administrasi sebesar 200 % dari Bea Meterai kurang bayar.
k. PembubuhanTanda Bea Meterai Lunas dengan sistem komputerisai yang
melewati masa berlakunya ijin yang diberikan, dikenakan sanksi
pencabutan ijin.
l. Penyampaian laporan kepada Direktur Jenderal Pajak yang melewati
batas waktu yang telah ditentukan dikenakan sanksi pencabutan ijin.
Pelunasan bea meterai, baik dengan menggunakan benda bea meterai maupun
dengan cara lain, harus memenuhi ketentuan yang telah dikemukakan di atas.
Apabila ternyata ketentuan pelunasan bea meterai tidak dipenuhi, maka
dokumen tersebut dinyatakan tidak ber meterai dan tentunya dikenakan sanksi
sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Undang-Undang bea meterai dengan
tegas menentukan apabila ketentuan tentang cara pelunasan bea meterai tidak
dipenuhi, maka berlaku ketentuan di bawah ini.
DTSD Pajak II 77
PBB Sektor P3 dan Bea Meterai
sanksi berupa denda administrasi sebesar 200% dari bea meterai yang tidak
dibayar.
2) Dalam hal pemenuhan dengan menggunakan mesin teraan meterai atau cara
lainnya sebagaimana dimaksudkan dalm Pasal 7 ayat (2) huruf b UU Bea
Meterai dilakukan tanpa izin, maka berdasarkan Pasal 14, perubahan
tersebut merupakan kejahatan sehingga dapat diancam dengan pidana
penjara selama-lamanya tujuh tahun.
Benda meterai yang saat ini masih berlaku di Indonesia sebagai sarana
pelunasan bea meteai adalah benda meterai desain tahun 2005, yang diterbitkan
berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 15/PMK.03/2005 dan mulai
diberlakukan sejak tanggal 1 April 2005. Satu hal yang perlu diperhatikan dalam
peraturan Menteri Keuangan Nomor 15/PMK.03/2005 adalah peraturan tersebut
pada dasarnya hanya mengubah ketentuan tentang meterai tempel, yaitu
mengganti meterai tempel desain tahun 2002 dengan desain tahun 2005. hanya
saja ternyata dalam ketentuan penutup peraturan tersebut menyatakan bahwa
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 323/KMK.03/2002 dinyatakan tidak
berlaku. Hal ini berarti dasar hukum pemberlakuan kertas meterain desai tahun
2002 juga dinyatakan tidak berlaku lagi.
78 DTSD Pajak II
meterai tempel dinyatakan tidak berlaku.” Dengan demikian, sebenarnya
ketentuan tentang kertas meterai yang diatur dalam Keputusan Menteri
Keuangan Nomor 323/KMK. 03/2002 tetap berlaku. Dengan berlakunya
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 90/PMK.03/2005 memberikan kepastian
hukum tentang tetap berlakunya kertas meterai sebagai sarana pelunasan bea
meterai terutang. .
Saat ini tata cara dan persyaratan pengelolaan dan penjualan benda meterai
diatur oleh Menteri Keuangan dalam Keputusan Menteri Keuangan Nimor
133a/KMK.04/2000 tentangPengadaan, Pengelolaan, dan Penjualan Benda
Meterai, dan ditetapkan tanggal 28 April 2000 dan mulai berlaku tanggal 1 Mei
2000. sesuai dengan Keputusan Menteri Keuangan tersebut pencetakan dalam
rangka pengadaan benda meterai dilaksanakan oleh Perusahaan Umum (Perum)
Percatakan Uang Republik Indonesia (Perurit). Hasil pencetakan benda meterai
dilaporkan kepada Direktur Jenderal Pajak. Tata cara dan persyaratan
pencetakan diatur lebih lanjut oleh Direktur Jenderal Pajak. Adapun pengelolaan
dan penjualan benda meterai dilaksanakan oleh PT Pos Indonesia dan atau
DTSD Pajak II 79
PBB Sektor P3 dan Bea Meterai
badan usaha lain yang ditunjuk. Hasil penjualan dan persediaan Benda Materai
dilaporkan kepada Direktur Jenderal Pajak.
Sebagai imbalan atas perannya mengelola dan menjual benda meterai maka
kepada PT Pos Indonesia diberikan provisi atas penjualan benda meteai.
Besarnya provisi penjualan benda meterai ditetapkan oleh Direktur Jendersl
Pajak. Untuk melaksanakan ketentuan ini Direktur Jenderal Pajak telah
mengeluarkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor 448/PJ./2000 tanggal
17 Oktober 2000 tentang Besarnya Provisi Penjualan Benda Meterai. Dalam
keputusan tersebut diatur provisi penjualan benda meterai desain tahun 2000
kopur Rp. 3.000,00 dan Rp.6000,00 sebesar Rp.110,00 (seratus sepuluh rupiah)
per lembar/keping. Keputusan ini mulai berlaku sejak tanggal 1 Agustus 2000.
Benda meterai yang tidak berlaku lagi dan benda meterai yang rusak, cacat, atau
kotor sehingga tidak jelas lagi ciri-ciri keasliannya dimusnahkan berdasarkan
keputusan Direktur Jenderal Pajak, dan Tata cara pemusnahan benda meterai
ditetapkam oleh Direktur Jenderal Pajak. Pelaksanaan pemusnahan dilakukan
oleh Direktur Jenderal Pajak, yang terdiri dari unsur Direktur Jenderal Pajak, PT
Pos Indonesia, dan Perum Peruri. Biaya pemusnahan dibebankan pada mata
anggaran Direktur Jenderal Pajak sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
80 DTSD Pajak II
Pajak (SSP) standar bagi Kantor Pos Pemeriksa yang belum on line atau
SSP khusus bagi Kantor Pos Pemeriksa yang sudah on line, kepada Kantor
Pelayanan Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat kedudukan Kantor
Pos Pemeriksa, paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya.
DTSD Pajak II 81
PBB Sektor P3 dan Bea Meterai
G. PEMETERAIAN KEMUDIAN
Pemeteraian kemudian merupakan salah satu cara pelunasan bea meterai selain
pelunasan dengan menggunakan benda meterai dan pelunasan dengan cara
lain. Hal ini untuk memberikan kemudahan Wajib Pajak dan dalam rangka
melaksanakan ketentuan Pasal 10 Undang-undang Nomor 13 Tahun 1985 yang
menyatakan : Pemeteraian kemudian dilakukan atas:
a. Dokumen yang semula tidak terutang Bea Meterai namun akan digunakan
sebagai alat pembuktian di muka pengadilan.
b. Dokumen yang Bea Meterainya tidak atau kurang dilunasi sebagaimana
mestinya.
c. Dokumen yang dibuat di luar negeri yang akan digunakan di Indonesia.
82 DTSD Pajak II
1. Ketentuan Pelaksanaan Pemeteraian Kemudian
DTSD Pajak II 83
PBB Sektor P3 dan Bea Meterai
84 DTSD Pajak II
476/KMK.03/2002 tentang Pelunasan bea Meterai Dengan Cara
Pemeteraian Kemudian dengan menggunakan SSP.
c. Pemegang dokumen yang Bea Meterainya tidak atau kurang dilunasi
sebagairnana mestinya vvajib membayar denda administrasi sebesar
200% dari Bea Meterai yang tidak atau kurang dilunasi dengan
menggunakan SSP terpisah dengan SSP yang digunakan untuk
memeteraikan kemudian.
d. Cara pengisian SSP adalah sebagai berikut
1) SSP yang digunakan untuk melunasi pemeteraian kemudian, diisi
dengan Kode Jenis Pajak (MAP) 0171.
2) SSP yang digunakan untuk membayar denda administrasi, diisi
dengan Kode Jenis (MAP) 0174.
e. Daftar dokumen yang dimeteraikan kemudian dan SSP yang telah
digunakan untuk membayar pemeteraian kemudian dicap "TELAH
DIMETERAIKAN KEMUDIAN SESUAI UNDANG-UNDANG NOMOR 13
TAHUN 1985 sebagaimana diatur lebih lanjut dengan KEPUTUSAN
MENTERI KEUANGAN NOMOR 476/KMK.03/2002" oleh Pejabat Pos
disertai dengan tanda tangan, nama terang dan Nomor Pegawai Pejabat
Pos yang bersangkutan.
DTSD Pajak II 85
PBB Sektor P3 dan Bea Meterai
f.
Salah satu daya paksa yang dapat dilakukan oleh fiskus untuk menerapkan pajak
terhadap masyarakat atau wajib pajak adalah adanya sanksi yang tegas
terhadap barang siapa yang melakukan pelanggaran ketentuan perpajakan. Hal
ini juga berlaku dalam pengenaan dan pemungutan bea meterai. Pasal 8 UU
Undang Bea Meterai dengan tegas mengatur bahwa dokumen yang bea
meterainya tidak atau kurang dilunasi sebagaimana mestinya dikenakan denda
administrasi sebesar 200% dari bea meterai yang tidak atau kurang dibayar.
Pemegang dokumen dimaksud harus melunasi bea meterai yang terutang berikut
dendanya dengan cara pemeteraian kemudian. Pengenaan sanksi denda ini
dapat dilihat pada contoh di bawah ini.
86 DTSD Pajak II
B. DALUWARSA BEA METERAI
Dokumen yang dibuat di luar negeri pada dasarnya tidak terutang bea meterai
pada saat dokumen tersebut dibuat di luar negeri. Kewajiban bea meterai
Indonesia baru timbul pada saat dokumen tersebut dipergunakan di Indonesia.
Dengan demikian, tentunya daluwarsa bea meterai Indonesia atas dokumen
tersebut tidak bisa dihitung sejak tanggal dibuatnya dokumen tersebut (di luar
negeri), melainkan seharusnya dihitung sejak tanggal dipergunakan di Indonesia.
Apabila dokumen tersebut dipergunakan di Indonesia enam tahun setelah dibuat
di luar negeri, tentunya apabila menurut ketentuan tentang daluwarsa bea
meterai menurut UU Bea Meterai, maka pemenuhan kewajiban bea meterai di
Indoesia telah daluwarsa sehingga dokumen tersebut dapat dipergunakan di
Indonesia tanpa perlu membayar bea meterai Indonesia. Hal ini tentunya
bertentangan dengan ketentuan Pasal 12 UU Bea Meterai yang menegaskan
bahwa justru pada saat dokumen dipergunakan di Indonesia (walaupun setelah
DTSD Pajak II 87
PBB Sektor P3 dan Bea Meterai
enam tahun sejak dokumen dibuat di luar negeli) pada saat itulah terutang bea
meterai Indonesia.
C. KETENTUAN KHUSUS
Dalam UU Bea Meterai terdapat ketentuan khusus bagi para pejabat tertentu
yang tidak dibenarkan untuk melakukan sesuatu jika dokumen yang diajukan
kepadanya ternyata bea meterainya tidak atau kurang dilunasi sesuai dengan
tarif yang berlaku. Sesuai Pasal 11 UU Bea Meterai pejabat pemerintah,
hakim, panitera, juru sita, notaris, dan pejabat umum lainnya, masing-masing
dalam tugas atau jabatannya tidak dibenarkan untuk melakukan tindakan di
antaranya:
88 DTSD Pajak II
bersangkutan. Misalnya bagi pegawai negeri sipil dapat diterapkan Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia No. 30 Tahun 1980. Bagi Notaris dapat
diterapkan Peraturan Jabatan Notaris (Stbl 1860 No.3).
D. KETENTUAN PIDANA
Sebagaimana dengan jenis pajak lainnya, pada bea meterai juga terdapat
kemungkinan terjadinya tindak pidana yang dilakukan oleh pihak-pihak terkait
terutama oleh wajib pajak bea meterai. Untuk menjaga agar ketentuan dalam
bea meterai dapat dijalankan secara benar, maka terhadap pihak yang
melakukan tindak pidana dikenakan sanksi pidana sesuai dengan ketentuan
yang berlaku. Sesuai Pasal 13 dan 14 UU Bea Meterai, ketentuan berkaitan
dengan tindak pidana di bidang bea adalah sebagai berikut:
DTSD Pajak II 89
PBB Sektor P3 dan Bea Meterai
E. KETENTUAN PERALIHAN
90 DTSD Pajak II
PENEGAKAN HUKUM BEA METERAI
Bea meterai merupakan pajak yang menjadi salah satu sumber penerimaan
negara yang memberikan kontribusi penerimaan yang cukup besar. Hal ini
menuntut fiskus sebagai pejabat negara yang diberi tugas dan kewenangan
untuk menatausahakan bea meterai harus dapat memasyarakatkan, memantau,
dan mengawasi agar bea meterai dapat dilaksanakan secara benar oleh
masyarakat. Untuk pengamanan dan kelancaran pelaksanaan ketentuan tentang
bea meterai, fiskus perlu memerhatikan dan melakukan beberapa tindakan di
antaranya :
DTSD Pajak II 91
PBB Sektor P3 dan Bea Meterai
92 DTSD Pajak II
C. PEMBERIAN IZIN DAN PENGAWASAN PENGGUNAAN MESIN
TERAAN BEA METERAI
Pemberian izin penggunaan mesin teraan bea meterai dilakukan atas dasar
pertimbangan kemudahan dan pemberian pelayanan yang secepatya kepada
para pemakai mesin teraan bea meterai. Dan memberikan jaminan keamanan
yang memadai bagi penerimaan negara. Mesin teraan bea meterai merupakan
mesin buatan manusia yang mungkin saja mengalami kerusakan dalam
pemakaiannya. Apabila terjadi kerusakan salah satu implikasi yang perlu
diperhatikan adalah status deposit pembayaran dimuka untuk mendapatkan izin
pemakaian mesin tersebut, apakah masih dapat digunakan, dianggap hangus,
atau dapat diminta kembali oleh pemilik / atau pemegang izin mengunakan mesin
teraan bea meterai.
Pada dasarnya apabila mesin teraan bea meterai rusak masih menyimpan
deposit atau sisa deposit, maka sisa deposit tersebut dapat dipakai untuk
pengisian deposit yang akan dilaksanakan kemudian, setelah mesin teraan
bea meterai diperbaiki dan dapat dipergunakan dengan semestinya. Dengan
demikian, tidak dilakukan pengembalian atas pembayaran bea meterai yang
telah disetor.
Untuk setiap pembukaan dan pemasangan segel mesin teraan bea meterai
baik untuk keperluan perbaikan mesin teraan bea meterai yang
bersangkutan maupun untuk pengisian deposit, dibuat Berita Acara
Pembukaan dan Pemasangan Segel dan dicatat pada buku register
pengisian deposit mesin teraan bea meterai. Setiap pengisian deposit mesin
teraan bea meterai dicatat juga dalam Kartu Pengawasan Pengisian Deposit
Mesin Teraan bea meterai. Untuk pengawasan, terhadap pemakai mesin
teraan bea meterai yang ada dilakukan pendataan sehingga dapat diketahui
jumlah pemakai, jumlah mesin teraan bea meterai, merek mesin teraan, dan
ketertiban pengiriman laporan pemakaian mesin teraan.
Terhadap para pemilik / pemegang izin mesin teraan bea meterai perlu
dilakukan pengawasan agar mereka tidak menyalahgunakan izin yang
diberikan kepadanya. Dalam rangka meningkatkan pengawasan terhadap
para pemilik pemegang izin menggunakan mesin teraan bea meterai, fiskus
DTSD Pajak II 93
PBB Sektor P3 dan Bea Meterai
94 DTSD Pajak II
melakukan pemeriksaan untuk memastikan kebenaran laporan
tersebut. Pemeriksaan dilakukan dengan cara melakukan
pembukaan segel mesin teraan untuk mengetahui jumlah deposit
yang masih tersedia, untuk selanjutnya dikompensasikan untuk
pengisian deposit mesin teraan bea meterai yang baru, atau terus
digunakan hingga habis setelah mesin yang rusak tersebut
diperbaiki.
6. Untuk menjaga kerapihan dokumen pemegang izin mesin teraan
meterai, fiskus perlu membuat berkas khusus bagi setiap pemilik /
pemegang izin mesin teraan bea meterai, yang menampung
dokumen-dokumen berupa: arsip Surat Keputusan Pemberian Izin,
surat setoran deposit, laporan bulanan, arsip surat peringatan, arsip
surat teguran, arsip Surat Keputusan Perpanjangan Izin, arsip Berita
Acara Pemasangan Segel, arsip Berita Acara Pembukaan dan
Pemasangan Segel, serta surat-surat lain yang berkenaan dengan
pemilik mesin teraan
Benda meterai yang dapat digunakan sebagai sarana perunasan bea meterai
selalu mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Perubahan ini dapat terjadi
karena adanya perubahan tarif bea meterai terutang yang diatur dengan
peraturan pemerintah, untuk menghindari upaya pemalsuan dari pihak yang tidak
bertanggung jawab, maupun karena alasan teknis perubahan angka tahun dari
abad ke-20 menjadi abad ke-21. Umumnya apabila dilakukan perubahan desain
benda meterai tidak begitu saja membuat benda meterai desain yang lama
(sebelumnya) menjadi tidak berlaku pada saat keputusan Menteri Keuangan
tentang desain benda meterai yang baru dikeluarkan atau diberlakukan. Selalu
ada jangka waktu pemberlakuan benda meterai yang lama agar tidak terjadi
kekosongan benda meterai di masyarakat. Selanjutnya apabila masa ·berlaku
benda meterai desain lama telah terlampaui benda meterai desain lama masih
dapat ditukarkan dengan benda meterai desain yang baru dengan nilai tukar
yang sarna sampai jangka waktu tertentu. Penukaran dapat dilakukan pada
kantor-kantor pos di seluruh Indonesia.
DTSD Pajak II 95
PBB Sektor P3 dan Bea Meterai
Dalam praktik masih sering dijumpai Kantor pos melakukan penjualan benda
meterai desain lama walaupun masa berlaku benda meterai tersebut telah
berlalu. Hal ini tentunya tidak dapat dibenarkan. Oleh karena itu, fiskus harus
senantiasa memantau penjualan benda meterai dan meminta kantor pos untuk
segera menghentikan penjualan tersebut Apabila benda meterai desain lama
temyata masih ada di kantor-kantor pos, fiskus harus meminta IT Pos Indonesia
(Persero) untuk segera menariknya ke gudang Kantor Pusat IT Pos Indonesia
(Persero) di Bandung.
Penukaran benda meterai desain lama dengan benda meterai desain yang baru
dapat dilakukan apabila masa berlaku benda meterai desain lama sebagai
sarana pelunasan bea meterai telah dilampaui. Apabila jangka waktu tersebut
masih belum dilampaui, benda meterai desain lama tidak dapat ditukarkan
dengan desain yang baru karena pada dasamya dalam jangka waktu tersebut
benda meterai desain lama masih dinyatakan sebagai sarana pelunasan bea
meterai. Apabila sampai batas waktu terakhir penukaran benda meterai desain
lama terlampaui dan temyata masyarakat masih memiliki benda meterai desain
lama, orang atau badan yang memiliki benda meterai tersebut tidak dapat lagi
melakukan penukaran dengan benda meterai desain baru. Hal ini perlu
disampaikan kepada masyarakat umum agar memahami kapan saat penukaran
benda meterai desain lama dapat dilakukan.
96 DTSD Pajak II
dilakukan dengan cara pembubuhan tanda bea meterai lunas
dengan sistem kamputerisasi;
Demi tertib administrasi pemberian izin pelunasan bea meterai dengan cara
lain, perusahaan dapat meminta kepada Direktur Jenderal Pajak untuk
diberikan izin yang baru dengan. logo perusahaan yang baru. Dalam hal ini
akan diberikan izin yang baru, di mana pembayaran di muka yang telah
dilakukan oleh perusahaan tersebut untuk memperoleh izin sebelumnya
dapat dialihkan untuk pembayaran di muka bea meterai atas cek dan bilyet
giro guna mendapatkan izin yang baru sehubungan dengan perubahan logo
perusahaan.
DTSD Pajak II 97
PBB Sektor P3 dan Bea Meterai
98 DTSD Pajak II
pernbayaran di muka karena perusahaan melakukan perubahan logo
perusahaan.
Bentuk surat kolektif saham adalah sesuai dengan ketentuan yang berlaku
pada saat diterbitkannya saham tersebut. Pada penerbitan tersebut bea
meterai harus dilunasi oleh pemegang saham. Dalam praktik bisnis
dimungkinkan adanya perubahan bentuk sura kolektif saham, antara lain
disebabkan oleh adanya perubahan peraturan yang ditetapkan oleh bursa
efek dan adanya perubahan modal dasar dari daftar pemegang saham
perseroan. Hal ini berakibat surat kolektif saham yang telah diterbitkan
sebelumnya dinyatakan tidak berlaku/tidak dapat dipakai lagi. Salah satu
konsekuensi dari hal ini terkait dengan pelunasan bea meterai yang telah
dilakukan atas surat kolektif saham yang lama.
Dalam praktik dimungkinkan saham yang telah dicetak tidak laku seluruhnya
dibeli oleh pihak luar perusahaan. Apabila karena suatu hal terjadi
perubahan bentuk surat kolektif saham, surat kolektif saham yang lama yang
belum laku tidak berlaku lagi. Dalam kondisi demikian, bea meterai yang
telah dilunasi pada saat pencetakan surat saham yang lama dan ternyata
DTSD Pajak II 99
PBB Sektor P3 dan Bea Meterai
belum dibeli oleh pihak luar perusahaan dapat dialihkan pada pencetakan
bilyet giro yang baru milik perusahaan yang menerbitkan saham dimaksud.
Hal ini dimaksudkan agar perusahaan tersebut tidak dirugikan karena
adanya perubahan bentuk surat saham kolektif yang lama.
Salah satu dokumen yang menjadi objek bea meterai adalah tanda terima
pembayaran tagihan (billing statement) kartu kredit. Tanda terima ini selain
berfungsi sebagai bukti penerimaan uang juga berfungsi sebagai dokumen
yang berbentuk surat yang berisi pengakuan bahwa utang uang seluruhnya
atau sebagiannya telah dilunasi atau diperhitungkan. Ketentuan tentang
batas nilai nominal uang yang menentukan terutang atau tidaknya dan
berapa tarif bea meterai yang terutang atas dokumen tersebut disesuaikan
dengan ketentuan yang berlaku pada saat dibuatnya dokumen dimaksud.
Pelunasan bea meterai atas dokumen tersebut dapat dilakukan dengan
sistem komputerisasi ataupun dengan menggunakan meterai temple.
Nilai dalam tagihan kartu kredit yang dipergunakan sebagai harga nominal
yang dikenakan bea meterai adalah nilai pembayaran yang dilakukan oleh
pemegang kartu kredit dalam satu periode tagihan karena jumlah tersebut
menunjukkan suatu pengakuan dari penerbit kartu kredit atas pelunasan