Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH PANCASILA

“PANCASILA SEBAGAI SUMBER DARI SEGALA SUMBER


HUKUM”

Disusun oleh:

Muhammad Ihsanudin

B1B122280

JURUSAN MANAJEMEN

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS HALUOLEO

2022

DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN………………………………………………………………1

1.1 Latar Belakang………………………………………………………………1


1.2 Rumusan Masalah………………………………………………………….1

BAB II PEMBAHASAN……………………………………………………………….2

2.1 Sumber Hukum………………………………………………………………2

2.2 Pancasila Sebagai Sumber Dari Segala Sumber Hukum………….6

2.3 Menerapkan Pancasila sebagai Sumber Segala Sumber Hukum10

BAB III PENUTUP……………………………………………………………………..17

3.1 Kesimpulan………………………………………………………………….17

3.2 Saran…………………………………………………………………………..17

DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………………18

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pancasila merupakan pandangan hidup bangsa, memiliki fungsi


utama sebagai dasar negara Indonesia. Dengan demikian, Pancasila
mempunyai kedudukan sebagai dasar negara Indonesia yaitu sebagai
identitas, jati diri, landasan huku, dan ideologi bagi bangsa Indonesia.
Maknanya, Pancasila digunakan sebagai landasan oleh seluruh elemen
masyarakat dan pemerintah Indonesia dalam menjalankan kehidupan
sehari-hari dan dalam pemerintahan.

Indonesia terdiri dari berbagai suku dan bangsa yang dipersatukan


oleh Pancasila. Itu sebabnya sering kali Pancasila dianggap sebagai ideologi
yang sakti bahkan Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum.
Siapapun yang mencoba menggulingkannya, maka akan berhadapan
langsung dengan seluruh komponen-komponen kekuatan hukum negara
Indonesia.

1.2 Rumusan Masalah

Kurangnya memaknai arti sesungguhnya dari Pancasila, terutama


Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum di Indonesia. Maka
diperlukan untuk mendalami Pancasila agar lebih mengerti bahwa
Pancasila merupakan pedoman dan anutan daripada hukum bangsa
Indonesia.

Adapun rumusan masalahnya sebagai berikut:

1. Sumber hukum
2. Bagaimana Pancasila dapat dijadikan sebagai sumber dari segala
sumber hukum?

1
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Sumber Hukum

Menurut Satjipto Rahardjo, menyatakan; salah satu aspek dalam


hukum adalah kepastian, yakni hukum berkehendak untuk menciptakan
kepastian dalam hubungan antar individu dalam masyarakat. Salah satu
hal yang berkaitan erat dengan masalah kepastian tersebut ialah masalah
dari hukum itu berasal. Kepastian mengenai asal atau sumber hukum
menjadi penting sejak hukum menjadi Lembaga yang semakin formal.
Dalam konteks perkembangan yang demikian itu pertanyaan mengenai
“sumber yang manakah yang kita anggap sah, itu menjadi penting”.

Sumber hukum dapat dilihat dari berbagai segi, baik dari segi hukum
atau ilmu hukum, sosiologis dan filosofis. Dan menurut Satjipto Rahardjo
sumber hukum yang melahirkan hukum bisa di golongkan dalam dua
kategori besar, yaitu sumber yang bersifat hukum dan yang bersifat sosial.
Sumber yang pertama merupakan sumber yang diakui oleh hukum sendiri
sehingga secara langsung bisa melahirkan atau menciptakan hukum.
Adapun sumber yang kedua merupakan sumber yang tidak mendapatkan
pengakuan secara formal oleh hukum, sehingga tidak secara langsung bisa
diterima sebagai hukum.

Dilihat dari sisi historis, menurut sejarawan hukum, sumber hukum


mempunyai dua arti, yaitu dalam arti sumber tempat orang-orang untuk
mengetahui hukum dan sumber bagi pembentuk undang-undang menggali
bahan untuk penyusunan undang-undang.

Dilihat dari sisi sosiologis, sumber hukum berarti faktor-faktor yang


benar-benar menyebabkan hukum benar-benar berlaku. Faktor-faktor
tersebut adalah fakta-fakta dan keadaan yang menjadi tuntutan sosial

2
untuk menciptakan hukum. Dari segi sosiologis, hukum tidak lebih
dari

pencerminan realita sosial. Oleh karena itu hukum di kondisikan oleh


faktor-faktor politik, ekonomi, agama, geografis dan sosial dalam
menggunakan undang-undang dan memutuskan perkara. Tanpa
mempertimbangkan faktor-faktor tersebut, maka hukum tidak lebih dari
pada kehendak penguasa.

Didalam perspektif filsafat, istilah sumber hukum mempunyai arti


keadilan yang merupakan esensi hukum. Sumber hukum menetapkan
kriterium untuk menguji apakah hukum yang berlaku sudah
mencerminkan keadilan dan fairness. Secara filosofis, hukum di pandang
sebagai aturan tingkah laku, sudut pandang ini akan menela’ah lebih
dalam mengenai esensi hukum. Titik berat filosofis terhadap hukum, bahwa
hukum harus betul-betul memuat nilai-nilai keadilan dan fairness, dengan
memperhatikan faktor politik, ekonomi, budaya, dan sosial serta aspek fisik
dan eksistensial manusia. Didalam pandangan Eropa Kontinental, selain
sumber hukum dalam artian historis, sosiologis, dan filosofis, sumber
hukum dapat pula dalam arti formal dan sumber hukum dalam arti formal
bersifat operasional, artinya berhubungan langsung dengan penerapan
penerapan hukum.

Anglo-America membedakan sumber hukum dalam arti formal dan


dalam arti materi’il. Menurut Salmond sumber hukum dalam arti formal
adalah sumber berasalnya kekuatan mengikat dan validitas, sedangkan
sumber hukum dalam arti materi’il adalah sumber berasalnya substansi
hukum. Bodenheinner mengartikan sumber hukum dalam arti formal
adalah sumber yang tersedia dalam formulasi-formulasi tekstual yang
berupa dokumen resmi.

Di dalam sistem Civil Law, sumber hukum dalam arti formal berupa
peraturan perundang-undangan, kebiasaan-kebiasaan, dan yurisprudensi.
Didalam menemukan keadilan, maka harus berpedoman pada sumber
hukum tersebut. Dan peraturan perundang-undangan menjadi acuan
pertama sebagai dasar penyelesaian masalah dan atau suatu perbuatan
hukum. Dalam sistem Common Law sumber penerapan hukum pada kasus
tertentu adalah putusan pengadilan (yurisprudensi) atau Precident.

Sedangkan di Indonesia dalam praktek penerapan hukum secara


umum bersumber pada undang-undang (hukum Tertulis).

Van apeldoorn sebagai pewaris sistem hukum Civil Law yang berasal
dari keluarga hukum Romano-Germanic yang menempatkan “Enacted Law
of Legislation” sebagai sumber hukum yang di utamakan (the....of law par
excellence) mengatakan; konsep hukum tidak selamanya undang-undang ,
akan tetapi di dalam undang-undang terlihat suatu tentang hukum.

Pernyataan van apeldoorn tersebut dapat di tafsiri bahwa selain


undang-undang (hukum tertulis), ada juga kebiasaan yang diartikan
sebagai hukum tidak tertulis dan ini merupakan pengakuan van apeldoorn
terhadap eksistensi hukum tidak tertulis.

Hans kelsen sebagai tokoh penggagas teori hukum murni,


berpendapat bahwa norma hukum selalu berada dalam sebuah sistem yang
tersusun secara hierarkis, dan secara teoritis antara norma hukum yang
satu dengan yang lainnya semestinya tidak selalu bertentangan, yang
semuanya bersumber dari satu sistem besar yang merupakan satu norma
dasar (groundnorm), yaitu konstitusi

Namun disisi lain Hans kelsen berpendapat bahwa suatu kaidah


hukum bisa saja bertentangan dengan kaidah hukum lainnya, dan hal ini
sangat wajar, karena apabila orang berbicara pada tatanan lebih konkret,
maka akan terjadi berbagai penafsiran yang satu sama lain saling berbeda
dan saling bertentangan.

Hans kelsen mengakui bahwa pembentukan norma hukum itu


berasal dari suatu sumber norma hukum besar (Groundnorm) yaitu
konstitusi, yang berarti sumber atau pijakan dasar terbentuknya suatu
aturan hukum. Secara umum ada 2 (dua) bentuk hukum, yaitu bentuk
tertulis (written) dan bentuk hukum tidak tertulis (unwritten).

Didalam masyarakat hukum yang masih sederhana, hukum


cenderung berbentuk tidak tertulis, hukum ini merupakan suatu formulasi
kaidah yang ada, hidup, tumbuh, dan berkembang di dalam masyarakat,
dan bentuk ini merupakan proses hukum yang diterima dan ditaati oleh
masyarakat.

Sumber Hukum pada hakekatnya tidak dapat dilepaskan dari


kebiasaan-kebiasaan yang diformulasikan dalam kehidupan masyarakat itu
sendiri, yang tumbuh dan berkembang seiring dengan pertumbuhan dan
perkembangan masyarakat, yang kemudian menjadi cita hukum, seperti
Pancasila bagi negara Republik Indonesia.

A.Hamid S.Attamini, menyatakan ; bagi seorang ahli hukum, sumber


hukum itu terbagi menjadi 2 (dua), sumber hukum dalam arti materi’il
adalah yang menentukan isi suatu kaidah atau norma hukum, antara lain
berupa tindakan-tindakan manusia, dan sumber hukum dalam arti formal,
adalah yang menyebabkan hukum dapat berlaku dan mempunyai kekuatan
mengikat.

Dan diantara para ahli hukum beranggapan sumber hukum yang


formal ini yang terpenting, karena hukum dapat terus berlaku meskipun
isinya berganti-ganti dan dirasakan tidak adil.

2.2 Pancasila Sebagai Sumber Dari Segala Sumber Hukum


Bagaimana Pancasila menjadi sumber dari segala sumber hukum ?
Untuk menjawab permasalahan ini diketengahkan teori Hans Kelsen yang
banyak mendapat perhatian dari para ahli hukum, teori hierarki norma
hukum dan rantai validitas yang membentuk piramida hukum (Stufen
Theory).

Teori ini dikembangkan oleh Hans Nawiasky murid dari Hans Kelsen
dengan teorinya Theorie Von Stufenufban Der Rechtsordnung. Susunan
norma hukum menurut teori Nawiasky adalah :

1. Norma Fundamental negara (Staatsfundamental Norm)


2. Aturan dasar negara (Staatsgrundgesetz)
3. Undang-undang formal (Formal gesetz) ; dan
4. Peraturan pelaksanaan dan peraturan otonom (Verordnungs en
autonome satzung)

Staatsfundamental norm adalah norma yang merupakan dasar


bagi pembentukan konstitusi atau Undang-Undang Dasar
(Staatsverfassung) dari suatu negara.

A.Hamid S.attamini, membandingkan teori Hans Kelsen


dengan teori Nawiasky menggambarkannya dalam bentuk piramida .

Lebih lanjut beliau menunjukan Struktur hierarki tata hukum


indonesia dengan menggunakan teori Nawiasky adalah sebagai
berikut :

1. Staatsfundamentalnorm : Pancasila (Pembukaan UUD 1945)


2. Staatsgrundgesetz : Batang Tubuh UUD 1945, Tap MPR, dan
konvensi ketatanegaraan

3. Formel gesetz : Undang-Undang

4. Verordnung en autonome satzung : Secara hierarkis mulai dari


Peraturan Pemerintah hingga keputusan Bupati atau walikota

Penempatan Pancasila sebagai Staatsfundamentalnorm


pertama kali disampaikan oleh Notonegoro.

Pancasila dilihat sebagai cita hukum (Richtside) merupakan


bintang pemandu. Posisi ini mengharuskan pembentukan hukum
positiv adalah untuk mencapai ide-ide dalam pancasila, serta dapat
digunakan untuk menguji hukum positif.

Ditetapkannya Pancasila sebagai Staatsfundamentalnorm


maka pembentukan hukum, penerapan, dan pelaksanaanya tidak
dapat dilepaskan dari nilai-nilai pancasila.

Pancasila sebagai sumber segala sumber hukum diartikan


dalam konteks hukum positif, tidak terkait dengan hukum-hukum
yang bersumber pada ajaran agama, hukum yang terkait dalam
penyelenggaraan negara Republik Indonesia.

Hal ini tercermin dalam pernyataan & hasil diskusi tokoh


Nahdhotul Ulama (NU) K.H. As’ad Syamsul Arifin, K.H. Mahrus Ali,
K.H. Ali Maksum dan K.H. Masykur pada muktamar NU 1984 di
Situbondo yang menyatakan Pancasila adalah Ideologi dan Ideologi
bukan agama. Islam adalah agama bukan Ideologi. Agama diciptakan
oleh Allah, Ideologi dibuat oleh manusia. Jadi Agama tidak bisa di-
Pancasilakan dan Pancasila tidak bisa di-Agamakan.

Pancasila bukan sebagai agama, tetapi nilai-nilai yang


terkandung di dalam Pancasila tidak bertentangan dengan ajaran
suatu agama, bahkan nilai-nilai yang tercermin dalam pancasila
merupakan bagian dari nilai-nilai yang terkandung dalam nilai-nilai
ajaran agama. Dan nilai-nilai inilah yang harus tercermin dalam
seluruh perundang-undangan yang menjadi hukum positif dalam
negara Republik Indonesia.

Pancasila dilihat dari teori Hans Kelsen dan Nawiasky


diletakkan pada posisi teratas dalam tata urutan / hierarkis hukum
di Indonesia sebagai Fundamentalnorm atau Groundnorm dalam
istilah Hans Kelsen, yang berarti bahwa segala peraturan hukum
dibawahnya harus mencerminkan nilai-nilai Pancasila, dalam arti
bersumberkan pada Pancasila.

Di dalam Tap MPRS No. XX/MPRS /1966 di tetapkan


Pancasila sebagai sumber segala sumber hukum, Tap MPR
No.III/MPR/2000 tentang sumber hukum dan Tata Urutan
Perundang-undangan menetapkan Pancasila sebagai sumber segala
sumber hukum, dan didalam pasal 2 Undang-undang No. 10 Tahun
2004 tentang “Pembentukan Peraturan Perundang-undangan”,
dinyatakan : “Pancasila merupakan sumber dari segala sumber
hukum”.

Secara politis meletakan Pancasila sebagai sumber dari segala


sumber hukum merupakan agrement politik bangsa Indonesia yang
berkehendak untuk mewujudkan Negara Kesatuan Republik
Indonesia, yang berBhineka Tunggal Ika. Frans Magnis-Susino,
menyatakan :
“Pancasila begitu tinggi dan mutlak nilainya bagi kelestarian
bangsa dan negara Indonesia karena merupakan wahana dimana
berbagai suku, golongan, agama, kelompok budaya, dan ras dapat
hidup dan bekerjasama dalam usaha untuk membangun kehidupan
bersama, tanpa adanya alienasi dan identitas mereka sendiri.”

Staatsfundamentalnorm, menurut Nawiasky isinya ialah


norma yang merupakan dasar bagi pembentukan konstitusi atau
undang-undang dasar dari suatu negara (Staatsverfassung),
termasuk norma untuk pengubahannya. Dan hakikatnya
staatsfundamentalnorm ialah syarat bagi berlakunya suatu
konstitusi atau undang-undang dasar ; ia ada terlebih dahulu
sebelum adanya konstitusi atau undang-undang dasar.

Staatsfundamentalnorm mempunyai akar langsung pada


kehendak sejarah suatu bangsa, dasar yang membentuk negara
tersebut, yang menurut Carl Schmitt merupakan keputusan bersama
atau konsensus tentang sifat dan bentuk suatu kesatuan politik (eine
gesammtentscheidung uber aet und form einer politischen einheit)
yang diambil bangsa tersebut.

Dan bagi bangsa Indonesia adalah Pancasila, hal ini sebagai


yang tercermin dalam sejarah sidang-sidang BPUPKI sebagaimana
yang terurai diatas.

2.3 Menerapkan Pancasila sebagai Sumber Segala Sumber Hukum

Tergerusnya Pancasila sebagai sumber segala sumber hukum


mengakibatkan Pancasila tidak lagi memiliki daya mengikat dalam sistem
hukum nasional. Realitas berhukum yang jauh dari koridor norma dasar
negara ini menyebabkan materi muatan hukum dan pelaksanaan hukum
di Indonesia tidak menemukan suatu bentuk yang jelas. Apalagi dengan
adanya sikap-sikap resistensi terhadap Orba dan menguatnya pluralisme
hukum menambah tidak beridentitasnya sistem hukum nasional.

Meskipun Pancasila sebagai sumber segala sumber hukum


memiliki rumah hukum baik melalui TAP MPR maupun UU No. 10 Tahun
2004 yang kemudian diganti dengan UU No. 12 Tahun 2011 tetap saja
tidak menjamin kedudukan Pancasila dalam sistem hukum nasional
Indonesia. Oleh karena itu, diperlukan beberapa upaya agar Pancasila
sebagai sumber segala sumber hukum tidak hanya sebatas memiliki
rumah hukum tetapi dapat diterapkan dalam sistem hukum. Terdapat
dua upaya untuk itu, yaitu: menjadikan Pancasila sebagai suatu aliran
hukum positif dan mendudukan Pancasila sebagai puncak peraturan
perundang-undangan.

1. Menjadikan Pancasila sebagai suatu aliran hukum


Jika dicermati dalam literasi-literasi hukum yang membahas
tentang aliran hukum, maka dapat ditemukan suatu pola dinamis
terkait terbentuk dan eksisnya suatu aliran hukum. Terbentuknya
suatu aliran hukum berawal dari adanya suatu pemikiran tentang
hukum ideal yang dikemukakan oleh seseorang ataupun beberapa
orang ahli hukum berdasarkan realitas dan kebutuhan sosial
masyarakat dalam suatu waktu dan wilayah tertentu. Misalnya,
pemikiran tentang kepastian hukum atau positivisme hukum berawal
dari John, seorang ahli hukum Inggris.

10
Menurut Austin, hukum terlepas dari soal keadilan dan dari
soal baik dan buruk. Karena itu, ilmu hukum tugasnya hanyalah
menganalisis unsur-unsur yang secara nyata ada dalam sistem
hukum modern. Ilmu hukum hanya berurusan dengan hukum positif
yaitu hukum yang diterima tanpa memperhatikan kebaikan dan
keburukannya. Hukum adalah perintah dari kekuasaan politik yang
berdaualat dalam suatu negara. Jadi, pemikiran Austin mengidealkan
hukum sebagai perintah penguasa.
Pemikiran yang melegitimasi kekuasaan absolut penguasa
tersebut kemudian disempurnakan menurut kebutuhan dan
perkembangan masyarakat dan zaman. Pemikiran kepastian Austin
yang meletakan kepastian hukum pada perintah penguasa tersebut
disempurnakan (dikembangkan) oleh Hans Kelsen menjadi kepastian
hukum terdapat pada segala peraturan tertulis atau legisme.
Meskipun telah disempurnakan, harus diingat bahwa keberadaan
suatu aliran hukum senantiasa ditentukan oleh relevansinya. Artinya,
suatu aliran hukum akan tetap benar apabila sesuai dengan ruang
dan waktu tertentu. Contohnya, aliran positivisme hukum akan tetap
dianggap benar dan ideal untuk diterapkan di Indonesia asalkan
masih relevan dengan kebutuhan dan perkembangan masyarakat
Indonesia.
Berdasarkan terbentuknya suatu aliran hukum di atas maka
Pancasila layak sebagai aliran hukum. Secara rangkaian proses
terbentuknya, Pancasila dikemukakan oleh Soekarno pada 1 Juni
1945 kemudian disempurnakan oleh Panitia Sembilan yang
menghasilkan Mukadimmah/Genlement Agreement/Piagam Jakarta
22 Juni 1945. Kemudian, disempurnakan kembali dengan mencoret
tujuh kata dalam rumusan sila pertama lalu ditetapkan secara final
pada 18 Agustus 1945.

11
Rangkaian proses ini sudah menunjukkan Pancasila layak
sebagai suatu aliran pemikiran. Begitu pula secara prinsip relevansi
atau kesesuaian dengan kebutuhan dan perkembangan masyarakat,
Pancasila sudah memenuhinya. Dengan demikian, jika Pancasila
dijadikan sebagai suatu aliran hukum maka itu berarti aliran hukum
yang lahir dan berkembang menurut realitas kehidupan, kebutuhan
dan perkembangan bangsa Indonesia. Tujuan penting menjadikan
Pancasila menjadi suatu aliran hukum tentu bukan untuk melawan
aliran-aliran hukum yang masih relevan untuk diterapkan sebagai
hukum positif tetapi terutama agar negara Indonesia memiliki suatu
sistem hukum nasional yang jelas, utuh dan imparsial.
Terutama pula, secara paradigma bernegara para pendiri negara
telah memilih suatu paradigma bernegara yang tidak hanya mengacu
pada tradisi hukum Barat, melainkan juga berakar pada tradisi asli
bangsa Indonesia. Paradigma bernegara itu dirumuskan dengan
memadukan secara paripurna 5 (lima) prinsip bernegara, yakni
Ketuhanan (theisme), kemanusiaan (humanisme), kebangsaan
(nasionalisme), kerakyatan (demokrasi), dan keadilan sosial
(sosialisme) ke dalam suatu konsep Pancasila. Kelima prinsip
Pancasila itu mengandung nilai universal, tetapi juga memiliki basis
partikularitas pada tradisi bangsa Indonesia. Dimensi universalitas
dan partikularitas itu menyebabkan adanya ketegangan konseptual
dalam Pancasila yang menunjukkan bahwa para pendiri negara
Indonesia hendak mendirikan negara-bangsa berciri modern, tetapi
tetap berbasis pada tradisi bangsa Indonesia.

12

Pancasila sebagai suatu aliran hukum tentu kelak


menghilangkan pluralisme sistem hukum dalam berhukum karena
semakin plural atau beragamnya hukum yang diterapkan maka
semakin banyak pula kontradiksi-kontradiksi yang terjadi antarsistem
hukum tersebut. Hukum Islam tidak mungkin pararel dengan
common law begitu pula hukum adat tidak mungkin pararel dengan
civil law. Keberagaman sistem hukum seperti inilah yang membuat
hukum menjadi tidak produktif dan berakibat semakin sulitnya
menggapai cita hukum Indonesia seperti kepastian, keadilan dan
kemanfaatan juga kemakmuran dan kesejahteraan. Untuk itu,
Pancasila harus hadir sebagai suatu aliran hukum guna
mendamaikan disharmoniasasi hukum yang disebabkan oleh
keberagaman hukum. Terutama pula, agar dapat mencapai cita
hukum nasional Indonesia.
2. Mendudukan Pancasila sebagai puncak hirarki peraturan perundang-
undangan Pancasila sebagai sumber segala sumber hukum memang
telah memiliki rumah hukum atau legitimasi yuridis, akan tetapi
belum memiliki kedudukan dalam hirarki peraturan perundang-
undangan. Terkait Pancasila dalam sistem hirarki perundang-
undangan, selama ini kerap terpelihara suatu pandangan yang tidak
produktif bahwa Pancasila tidak etis dimasukan dalam hirarki
peraturan perundang-undangan karena Pancasila merupakan dasar
negara sudah menjadi sumber tertib hukum. Akan tetapi, apabila
merujuk pada stufenbautheory Kelsen dan Nawiasky yang
mengharuskan puncak hirarkis norma adalah norma dasar atau
Grundnorm/Staatfundamentalnorm maka Pancasila sebagai norma
dasar seharusnya berada dalam puncak tata urutan norma tersebut.

13

Dengan demikian, tata urutan peraturan perundang-undangan


dari atas ke bawah menjadi sebagai berikut:

a) Pancasila,
b) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
c) Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia,
d) Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
e) Peraturan Pemerintah,
f) Peraturan Presiden,
g) Peraturan Daerah Provinsi; dan
h) Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.
Kedudukan Pancasila sebagai puncak hirarki peraturan
perundang-undangan bukan bermaksud mengurangi keberadaan
Pancasila sebagai pandangan hidup dan dasar negara melainkan
sebagai upaya untuk menghindari penyimpangan-penyimpangan
peraturan perundang-undangan. Pancasila sebagai sumber tertib
hukum atau sumber segala sumber hukum dalam tatanan hukum
Indonesia telah menjadi sesuatu yang bermakna formalitas belaka.
Fakta telah membuktikan, begitu banyaknya peraturan perundangan-
undangan yang telah menyimpang dari Pancasila. Pembatalan
terhadap 139 perda oleh Mendagri merupakan bukti adanya
penyimpangan terhadap Pancasila dalam peraturan perundang-
undangan. Penyimpangan-penyimpangan tersebut tentu saja akan
tetap berpotensi terulang kembali jika Pancasila tidak termasuk dalam
hirarki peraturan perundang-undangan. Dengan demikian, Pancasila
sebagai norma dasar harus dimasukkan dalam hirarki peraturan
perundang-undangan agar memiliki daya mengikat bagi segala
peraturan perundang-undangan.

14
Selain mengikuti ajaran hirarki norma Kelsen diatas, apabila
ditinjau secara sistem perundang-undangan, segala peraturan
perundang-undangan senantiasa diikat oleh asas lex superiori derogat
legi inferiori yaitu suatu aturan hukum yang kedudukannya lebih
rendah tidak boleh bertentangan dengan yang lebih tinggi. Maka dari
itu, peraturan perundang-undangan yang lebih rendah kedudukannya
tidak boleh bertentangan dengan yang lebih tinggi. Ini artinya,
peraturan perundang-undangan yang kedudukannya lebih rendah
sebenarnya merupakan konkretisasi dari yang lebih tinggi misalnya
undang-undang merupakan konkretisasi dari UUD 1945. Walaupun
menurut asas dalam sistem perundang-undangan demikian, akan
tetapi masih terdapatnya disharmonisasi dalam pelaksanaannya.
Pembatalan undang-undang No. 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya
Air karena bertentangan dengan UUD 1945 oleh MK adalah salah satu
bukti disharmonisasi dalam peraturan perundang-undangan.26
Disharmonisasi antara peraturan perundang-udangan tersebut
memiliki dua makna yaitu: pertama, UU tersebut tidak mampu
menjadi konkritisasi UUD 1945 dan mengingkari Pancasila
sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD 1945. Kedua, UUD
1945 yang termasuk dalam hirarki peraturan perundang-undangan
saja masih memberi ruang untuk dilanggar apalagi Pancasila yang
tidak termasuk dalam tata urutan peraturan perundangundangan.
Oleh karena itu, merujuk pada aliran positivisme hukum yang
mengedepankan unsur kepastian hukum atau legisme maka segala
sesuatu alat kelengkapan aturan hukum harus diberi kepastian
hukum yang jelas. Salah satu upaya memberi kepastian hukum
adalah dengan memasukkan segala alat kelengkapan aturan tersebut
dalam tatanan peraturan perundangundangan.

15
Dengan demikian, Pancasila sebagai salah satu alat
kelengkapan aturan yaitu sebagai norma dasar haruslah dimasukkan
ke dalam hirarki peraturan perundang-undangan.

Menjadikan Pancasila sebagai suatu aliran hukum dan


mendudukan Pancasila sebagai puncak hirarki peraturan perundang-
undangan sekiranya akan menguatkan keberadaan Pancasila sebagai
sumber segala sumber hukum dalam tatanan hukum naional. Dengan
demikian, wajah hukum yang bersifat pluralisme ataupun praktek
berhukum yang kerap menjadikan Pancasila sebagai simbolis belaka
tidak memiliki tempat lagi dalam sistem hukum nasional. Begitu pula,
sikap resistensi terhadap Orba yang telah memanfaatkan status
Pancasila sebagai sumber tertib hukum untuk kepentingan
kekuasaan dan memperkuat pemerintahan otoriter; tidak akan terus
menghantui bangsa Indonesia. Optimisme penulis terhadap
pengamalan Pancasila sebagai sumber segala sumber hukum dalam
sistem hukum nasional ditambah dengan terbentuknya Peraturan
Presiden Nomor 54 Tahun 2017 tentang Unit Kerja Presiden-
Pembinaan Ideologi Pancasila (UKP-PIP). Diharapkan dengan adanya
Perpres tersebut, penegakkan terhadap Pancasila tidak hanya dalam
tatanan kehidupan sehari-hari baik dalam masyarakat, pendidikan
maupun birokrasi. Akan tetapi, juga dalam tatanan hukum sehingga
keberadaan Pancasila sebagai sumber segala sumber hukum benar-
benar diterapkan dalam tatanan hukum nasional

16

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Dari uraian sebagaimana tersebut diatas, maka dapat disimpulkan


sebagai berikut :

1. Pancasila merupakan Cermin dari nilai-nilai yang hidup, tumbuh,


dan berkembang didalam kehidupan bangsa Indonesia.
2. Sumber hukum adalah sumber berasalnya suatu hukum, baik
berupa kaidah, nilai-nilai atau suatu norma hukum
3. Pancasila sebagai sumber segala sumber hukum adalah
merupakan fundamentalnorm sebagai dasar pembentukan
konstitusi negara Republik Indonesia, yang harus tercermin dan
menjiwai seluruh isi hukum (Peraturan Perundang-undangan)

3.2 Saran

Semoga dengan penjabaran tadi mengenai Pancasila sebagai sumber


dari segala sumber hukum di Indonesia menjadi suatu Langkah awal kita
untuk menumbuhkan rasa cinta tanah air di dalam diri masyarakat
Indonesia, serta mendorong tumbuhnya rasa rela berkorban dan selalu
ingin mengabdikan diri kepada nusa, bangsa dan negara.

17

DAFTAR PUSTAKA

Prof.Dr.Kaelani,Ms.

Pendidikan Pancasila. Pen.

Paradigma. Yogyakarta.2008

Dr.MunirFu’adi,Sh.MH.LLM.

“Teori Teori Besar(Grand


Theory) Dalam Hukum”. Pen.

Kencana Prenada Media.

Jakarta.2013

Peter Mahmud

Marzuki.”Pengantar Ilmu

Hukum”. Pen. Kencana

Prenada Media Group.

Jakarta.2008

Prof.Dr.Romli

Atmasasmita,SH.LLM.”teori

Hukum Integratif”. Pen. Genta

Publishing. Yogyakarta.2012

18

Prof.Dr,Satjipto

Rahardjo,SH.”Ilmu Hukum”.

Pen. Citra Aditya Bakti.

Bandung.2000

Oetojo Oesman dan

Alfian.”Pancasila Sebagai

Ideologi, Dalam Berbagai

Kehidupan Masyarakat

Berbangsa Dan Bernegara”.


Pen. BP_7 Pusat. Jakarta.1992

Undang

-Undang Nomor : 10

Tahun 2004 Tentang

“Pembentukan Peraturan

Perundang

-undangan

A.B Kusuma, 2004, Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945, Jakarta: Badan


Penerbit

Fakultas Hukum Universitas Indonesia.

19

Achmad Ali, 2009, Menguak Teori Hukum Dan Teori Peradilan, Vol. 1
Pemahaman

Awal, Jakarta: Kencana Premedia Group.

. Hans Kelsen, 2014, Teori Umum Tentang Hukum Dan Negara


(diterjemahkan dari

buku Hans Kelsen, Generaly Theory of Law and State;New York: Russel and

Russel, 1971), Bandung: Nusa Media.

Jawahir Thontowi, 2016, Pancasila Dalam Perspektif Hukum;Pandangan


Terhadap

Ancaman The Lost Generation, Yogyakarta: UII Press.


Maria Farida Indrati S., 2007, Ilmu Perundang-Undangan I (Jenis, Fungsi
Dan

Materi Muatan), Yogyakarta: Penerbit PT. Kanisius

Mahfud MD, 2003, Demokrasi Dan Konstitusi Di Indonesia (Studi Tentang


Interaksi

Politik Dan Kehidupan Ketatanegaraan), Cetakan Kedua, Jakarta: Penerbit

Rineka Cipta.

Miriam Budiardjo, 2008, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Edisi Revisi Cet.Pertama,

Jakarta: PT Gramedia

Mohammad Hatta dkk, 1978, Uraian Pancasila, Jakarta: Mutiara.

Roeslan Saleh, 1979, Penjabaran Pancasila dan UUD 1945, Jakarta: Aksara
baru.

Satjipto Rahardjo, 1986, Ilmu Hukum, Cetakan Kedua, Bandung: Alumni.

20

Anda mungkin juga menyukai