Anda di halaman 1dari 21

SISTEM HUKUM DAN PENEMUAN HUKUM

(MAKALAH)

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Teori Hukum


Oleh :
KELOMPOK 1

PANJI MAULANA (2303201010001)


PUTRA NUSANTARA (2303201010013)
PUTRI BALQIS VILZA (2303201010009)
RIAN APRIESTA RAMSADEFA (2303201010016)
RINI SANTIA (2303201010028)

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SYIAH KUALA
BANDA ACEH
2023
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kami kemudahan sehingga kami
dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tanpa pertolongan-Nya tentunya kami
tidak akan sanggup untuk menyelesaikan makalah ini dengan baik. Shalawat serta salam semoga
terlimpah curahkan kepada baginda tercinta kita yaitu Nabi Muhammad SAW yang kita nanti-
natikan syafa’atnya di akhirat nanti.
Pada kesempatan kali ini kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada
bapak Dr. Iman Jauhari, S.H., M.Hum. selaku dosen yang membimbing kami dalam mata kuliah
Teori Hukum, kami juga mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang turut membantu
dalam pembuatan makalah yang berjudul “Sistem Hukum dan Penemuan Hukum” ini.
Penulis tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan masih
banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu, penulis mengharapkan
kritik serta saran dari pembaca untuk makalah ini, supaya makalah ini nantinya dapat menjadi
makalah yang lebih baik lagi. Demikian, dan apabila terdapat banyak kesalahan pada makalah
ini penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya.

Banda Aceh, 9 September 2023


Tertanda,

Kelompok 1

2
DAFTAR ISI

COVER …………………………………………………………………………………….... 1
KATA PENGANTAR ……………………………………………………………………… 2
DAFTAR ISI ………………………………………………………………………………… 3
BAB I PENDAHULUAN …………………………………………………………………… 4
A. Latar Belakang Masalah ………………………………………………………….. 4
B. Rumusan Masalah ………………………………………………………………… 5
C. Tujuan Penelitian………………………………………………………………….. 5

BAB II PEMBAHASAN ……………………………………………………………………. 6


A. Konsep Sistem Hukum Serta Pembagian Sistem Hukum …………………...…… 6
1. Konsep Sistem Hukum ……………………………………………………..… 6
2. Pembagian Sistem Hukum ……………………………………………………. 8
B. Penemuan Hukum serta penyebab adanya penemuan hukum …………….……... 10
1. Sistem penemuan hukum otonom adalah suatu sistem penemuan hukum
yang menekankan pada faktor dalam dirinya …………………………...….... 10
2. Sistem penemuan hukum Heteronom adalah suatu sistem penemuan
hukum yang dipengaruhi oleh faktor diluar dirinya, lingkungan, politik,
dan ekonomi ………………………………………………………………..... 11
3. Subjek-Subjek Yang Terdapat Dalam Penemuan Hukum ...………………… 11
4. Ajaran Metode Hukum ……………………………………………………… 14

BAB III PENUTUP …………………………………………………………………..……. 16

DAFTAR PUSTAKA .………………………………………………………………………17


BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Setiap ilmu melakukan penelitian yang berupa menghimpun, menata dan memaparkan
material penelitiannya. Kegiatan pemaparan tidak sepenuhnya netral dan obyektif. Tiap
pengetahuan tentang kenyataan selalu lebih dari sekedar mengamati dan mendata atau merekam
bentuk, keras-lembut, warna dan gerakan. Pengetahuan mengimplikasikan penstrukturan,
artinya dalam proses pengamatan dan pendataan, pikiran subyek meletakkan hubungan-
hubungan, membeda-bedakan dan memisah-misahkan unsur yang esensial dari yang tidak
esensial, mengelompokkan dan memisahkan berdasarkan sejumlah persamaan tertentu (yang
difungsikan sebagai kriteria pengelompok). Penstrukturan pada dasarnya adalah
mengkonstruksi teori yang kemudian digunakan untuk menata kenyataan, menganalisis dan
memahami. Karena itu juga pengetahuan sesungguhnya merupakan hipotesis yang diterima
sebagai “benar” atau sudah terbukti sepanjang ia atau yang melandasinya belum difalsifikasi.1

Demikian juga pada kajian hukum sebagai ilmu kenyataan penelitiannya berupa
inventarisasi dan deskripsi sistematis material hukum, yang pada tingkat pemaparan hukum
yang terjadi adalah kegiatan menentukan isi aturan hukum setepat mungkin. Pengembanan Ilmu
Hukum adalah kegiatan mengantisipasi dan menawarkan penyelesian masalah hukum konkrit
yang mungkin timbul dan harus dihadapi di dalam masyarakat, baik yang dihadapi individu
perorangan maupun masyarakat sebagai keseluruhan.

Kegiatan menentukan isi aturan hukum berarti menetapkan apa yang menjadi norma
hukum, pada dasarnya adalah merumuskan hipotesis tentang makna aturan hukum atau teks
undang- undang. Oleh karena itulah Aulis Aarnio mengatakan bahwa ilmu hukum adalah ilmu
tentang makna-makna.2 Menentukan makna dari sesuatu adalah menginterpretasi sesuatu itu.
Dengan demikian memaparkan aturan hukum adalah “menafsirkan” aturan hukum. Ini berarti
pengembanan hukum juga berpatisispasi dalam proses pembentukan hukum yang berupa
penemuan hukum (interpretasi hukum dan argumentasi hukum).3 Sistem hukum yang

1
Karl R. Popper, The Logic of Scientific Discovery, Science Editions, Vittorio Klostermann, Frankfrut,
dalam Bernard Arief Sidharta, Refleksi tentang Struktur Ilmu Hukum, (Bandung: Mandar Maju, 2000) Hlm. 149.
2
Aulis Aarnio, A Hermeneutik Approach in Legal Theory, Philosophical Perspective in Jurisprudence,
(Helsinki: 1983) Hlm. 64.
3
Ibid, Hlm. 135.

4
5

berkembang diberbagai lapisan masyarakat diseluruh belahan dunia ada karena adanya tatanan
masyarakat yang menjalin interaksi sosial dengan berbagai latar belakang budaya sehingga
lahirlah penemuan hukum. Berikut beberapa penjabaran mengenai sistem serta penemuan
hukum yang akan ditelusuri lebih lanjut oleh penulis.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan sistem hukum serta bagaimana pembagian sistem hukum?
2. Apa yang dimaksud dengan penemuan hukum serta apa saja penyebab adanya penemuan
hukum?
3. Bagaimana subjek-subjek yang tedapat dalam penemuan hukum serta ajaran metode
hukum ?

C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui sistem hukum serta bagaimana pembagian sistem hukum.
2. Untuk mengetahui penemuan hukum serta apa saja penyebab adanya penemuan hukum.
3. Untuk mengetahui subjek-subjek yang tedapat dalam penemuan hukum serta ajaran
metode hukum.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Konsep Sistem Hukum Serta Pembagian Sistem Hukum

1. Konsep Sistem Hukum


Sistem hukum adalah kesatuan yang tidak menghendaki adanya konflik di dalamnya.
Suatu kesatuan yang terpadu, suatu struktur “ed wholl”. Sistem hukum terdiri atas tiga unsur
yang memiliki kemandirian tertentu, identitas yang relatif jelas yang saling berkaitan adalah:
unsur idiil, unsur operasional, dan unsur actual. Dalam kedudukan asas-asas sebagai meta-
kaidah, fungsi asas dalam sistem hukum sifatnya ganda yaitu: Fondasi atau landasan dari sistem
hukum positif, tatanan asas-asas yang terletak pada landasan (basis) dari bidang hukum tertentu.
Batu uji kritis terhadap sistem hukum positif, berkenaan dengan putusan hakim, asas hukum
digunakan tolak ukur menyeleksi aturan-aturan/ kaidah hukum atas fakta-fakta yang dirumuskan
kedalam bahasa yuridis dan juga dalam hal hakim melakukan interpretasi asas-asas hukum
berperan.
Konflik didalam sistem mau tidak mau akan terjadi, karena masyarakat berinteraksi.
Pernyataan-pernyataan kita sebagai ilmuawan hanya mengkonstatir dan mencoba memberi
pembenaran yuridisnya. Seperti halnya konflik antara PP No. 10 Tahun 1983 Tentang izin
Perkawinan dan Perceraian bagi pegawai negeri Sipil dengan UU No 1 tahun 1974 Tentang
Perkawinan. Dalam konflik ini ada beberapa pendapat. Pertama, ada yang menggunakan Lex
Specalis derogate Legi generali”. Dalam hal ini masalahnya apakah itu benar ? karena tingkatan
peraturan itu sama. Kedua, sementara pendapat ini mendasarkan pada kepentingan masyarakat,
jadi landasannya adalah landasan moral. Asas asas inilah membuat sistem ini menjadi luwes.
Kalau terjadi konflik antara unsur-unsur dalam sistem itu maka jawabannya sudah ada didalam
sistem itu sendiri melalui penemuan hukum atau (rechtsvinding). Sistem hukum itu sendiri
dikenal bersifat terbuka, artinya terjadinya hubungan timbal balik dengan lingkungannya.
Unsur-unsur diluar isitem itu yang bukan merupakan bagian dari sistem mempunyai pengaruh
terhadap unsur-unsur sistem hukum itu.4

4
Iman jauhari, Teori Hukum (Medan, Pustaka Bangsa Press, 2008) Hlm, 41.

6
Sistem hukum itu mempunyai pembagian (Division) artinya bahwa didalam sistem itu
terdapat interaksi antara unsur-unsur dan bahagian-bahagian didalam sistem itu. Kemungkinan
antara suatu unsur dengan yang lainnya dapat terjadi konflik. Kalau konflik unsur-unsur itu
7

dibiarkan saja, akan timbul “chaos” padahal sistem itu dari unsur unsur itu dapat diadakan
klasifikasi dalam sistem itu. Sebagai contoh adalah pembahagian hukum nasional dan hukum
internasional.5 Konflik-konflik yang sering ditemukan di dalam sistem hukum adalah:

a. Konflik Undang-Undang Dengan Keputusan Hakim.


Misalnya :
- Pasal 108 dan 110 KUHperdata: seorang perempuan yang terikat dalam suatu
perkawinan, menjadi tidak cakap melakukan perbuatan hukum tanpa bantuan ijin
dari suaminya. Sementara dalam SEMA 3 Tahun 1963 (menyatakan perempuan
menikah tetap cakap melakukan perbuatan hukum tanpa bantuan suami).
- Pasal 209 KUHPerdata alasan perceraian: Zina, Meninggalkan tempat bersama
dengan sengaja, Hukuman penjara 5 tahun atau lebih, Melukai berat atau
menganiaya suami/istri sehingga membahayakan jiwa, atau menyebabkan luka
yang berbahaya. Sementara dalam Putusan hakim: Memutuskan perceraian
dengan dasar putusan karena adanya keretakan atau percekcokan antara suami
istri yang tidak dapat dipulihkan kembali.
b. Konflik Undang-Undang Dengan Undang Undang
Misalnya :
- Dalam UU No 35 tahun 2014 tentang Perubahan atas UU Nomor 23 Tahun 2002
Tentang perlindungan anak pasal a ayat (1) dijelaskan bahwa anak adalah
seseorang yang belum berusia 18 tahun. Dengan demikian seseorang dikatakan
dewasa apabila telah berumur 18 tahun. Sedangkan pada UU No 16 Tahun 2019
tentang perubahan atas UU No 1 Tahun 1974 tentang pasal perkawinan
menjelaskan bahwa perkawinan hanya diizinkan apabila pria dan wanita sudah
mencapai umur 19 tahun. Dari kedua Undang-Undang diatas terjadi benturan
pada perhitungan usia dewasa seorang anak.
c. Konflik Undang-Undang Dengan Kebiasaan
Misalnya :
- Pasal 19 PP 10 Tahun 1961 tentang pendaftaran tanah: Setiap perjanjian yang
bermaksud memindahkan tanah, memberikan hak baru atas tanah, menggadaikan
tanah atau meminjam uang dengan HAT sebagai tanggungan haris dibuktikan
dengan akta yang dibuat oleh dan dihadapan pejabat yang ditunjuk oleh mentri

5
Dewa Gede Atmadja, Asas-Asas Hukum Dalam Sistem Hukum, Jurnal Volume 12, Nomor 2 (Kertha
Wicaksana : 2018). Hlm, 148.
8

agraria…. (ket. Dalam hal ini adalah PPAT). Sedangkan pada kebiasaan yang
berlaku dalam masyarakat. Perjanjian yang menyebabkan peralihan hak harus
bersifat “terang”, artinya dilakukan dihadapan ketua adat (kades/lurah), jika tidak
maka belum sah secara hukum.
d. Konflik Keputusan Hakim Dengan Kebiasaan
Misalnya :
- Adat yang berlaku di sekitaran Aceh. Dimana selain menggunakan hukum faraid
namun ada juga sebagian yang dapat membagi warisan secara rata antara laki-
laki dengan perempuan. Berdasarkan Putusan Mahkamah Agung Nomor 913 K/
AG/ 2019 menyatakan bahwa masing-masing laki-laki mendapat bagian 35%
sedangkan perempuan mendapat bagian sebanyak 17,5 %

2. Pembagian Sistem Hukum


Sistem hukum merupakan kumpulan dari unsur yang masing-masing saling beriteraksi
dan bekerjasama untuk menacapai tujuan, sistem hukum dalam arti luas yaitu semua aturan
hukum yang telah disusun secara sistematis dan terpadu berdasarakan atas asas-asas tertentu.
Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa sistem hukum merupakan suatu susunan aturan-aturan
hidup yang terdiri dari bagian-bagian yang saling berhubungan sebagai satu kesatuan. Ada
beberapa jenis sistem hukum yang dianut oleh negara-negara yang ada saat ini, yaitu :
a. Sistem Hukum Sipil (Civil Law)
Sistem hukum ini berkembang di negara- negara Eropa daratan dan sering disebut
sebagai “Civil Law” yang semula berasal dari kodifikasi hukum yang berlaku di
kekaisaran Romawi pada masa pemerintahan Kaisar Justinianus abad VI sebelum
masehi. Sistem Civil Law mempunyai tiga karakteristik, yaitu adanya kodifikasi, hakim
tidak terikat kepada presiden sehingga undang- undang menjadi sumber hukum yang
terutama, dan sistem peradilan bersifat inkuisitorial.6
- Karakteristik utama Civil Law adalah hukum memperoleh kekuatan mengikat,
karena diwujudkan dalam peraturan-peraturan yang berbentuk undang-undang dan
tersusun secara sistematik di dalam kodifikasi.7
- Karakteristik kedua Civil Law tidak dapat dilepaskan dari ajaran pemisahan
kekusaan yang mengilhami terjadinya Revolusi Perancis. Menurut Paul Scolten,
bahwa maksud sesungguhnya pengorganisasian organ-organ negara Belanda

6
Dedi Soemardi, Pengantar Hukum Indonesia, (Jakarta: Indhillco, 1997). hlm. 73.
7
Ibid.
9

adalah adanya pemisahan antara kekuasaan pembuatan undang-undang, kekuasaan


peradilan, dan sistem kasasi adalah tidak dimungkinkannya kekuasaan yang satu
mencampuri urusan kekuasaan lainnya.
- Karakteristik ketiga Civil Law adalah apa yang oleh Lawrence Friedman disebut
sebagai digunakannya sistem Inkuisitorial dalam peradilan.8 Di dalam sistem itu,
hakim mempunyai peranan yang besar dalam mengarahkan dan memutuskan
perkara; hakim aktif dalam menemukan fakta dan cermat dalam menilai alat bukti.
b. Sistem Hukum Anglo-Saxon (Common Law)
Sistem hukum Anglo-Saxon adalah jenis sistem hukum yang diturunkan dari
hukum kasus, seperti keputusan hakim yang sebelumnya menyelesaikan suatu kasus,
yang kemudian menjadi dasar keputusan hakim berikutnya. Sistem hukum ini juga
digunakan oleh sejumlah negara seperti Irlandia, Britania Raya, Australia, Selandia
Baru, Afrika Selatan, Kanada (kecuali provinsi Québec) dan Amerika Serikat (seperti
Louisiana yang menggunakan sistem hukum ini di hubungannya dengan Sistem).
Hukum Eropa Kontinental Napoleon). Sistem hukum Anglo-Saxon sebenarnya
merupakan aplikasi yang lebih mudah, terutama di masyarakat dan di negara-negara
berkembang, bagi para profesional untuk bertemu dan para praktisi hukum untuk dengan
mudah menyelesaikan suatu masalah, lebih banyak kasus hukum.
c. Sistem Hukum Agama (Religious)
Sistem hukum agama adalah sistem hukum yang bersumber dari peraturan
khusus suatu agama. Sistem hukum agama ini kemudian banyak dijumpai dalam tulisan-
tulisan suci yang dijadikan pedoman hidup para pemeluk agama ini. Seperti halnya di
Indonesia, negara dengan banyak agama, sistem hukum agama yang diterapkan tidak
sama.
d. Sistem Hukum Adat
Hukum yang biasa digunakan di hampir semua negara adalah seperangkat aturan
dan aturan atau kebiasaan khusus yang berlaku di daerah tertentu. Dalam sistem hukum
ini, hukum adat pada umumnya selalu berlaku, seperti halnya seseorang atau sekelompok
orang yang melakukan kesalahan akan dihukum sesuai dengan hukum adat yang berlaku.

e. Sistem Hukum Negara-Negara Blok Timur (Socialistis)

8
Jeremias Lemek, Mancari Keadilan: Pandangan Kritis Terhadap Penegakan Hukum Di Indonesia,
(Jakarta: Galang Press, 2007), Hlm 45.
10

Sistem hukum sosialis adalah sistem hukum yang didasarkan pada ideologi
komunis. Sistem ini lebih berorientasi pada sosialisme, yaitu meletakkan dasar ideologi
negara komunis dengan keinginan untuk meminimalkan hak-hak individu. Selanjutnya,
negara juga mengatur dan mendistribusikan hak dan kewajiban warga negara. Dengan
demikian, dalam sistem hukum ini, kepentingan pribadi bercampur dengan kepentingan
bersama. Beberapa negara menerapkan sistem hukum sosialis seperti Bulgaria,
Yugoslavia, Kuba, dan bekas jajahan Soviet.

B. Penemuan Hukum Serta Penyebab Adanya Penemuan Hukum

Penemuan hukum adalah upaya untuk menemukan hukum karena hukum itu selalu
tersedia. Penemuan hukum terjadi jika ada sesuatu perundang-undangan yang belum diatur atau
dapat juga terjadi jika ada aturan yang tidak jelas peraturannya. Utrecht mengemukakan bahwa
penemuan hukum terjadi jika ada suatu perundang-undangan yang belum diatur atau dapat juga
terjadi jika ada aturan yang tidak jelas peraturannya. Penemuan hukum menurut sudikno
mertokusumo, “lazimnya diartikan sebagai proses pembentukan hukum oleh hakim atau
petugas-petugas hukum yang diberi tugas melaksanakan hukum atau menerapkan peraturan-
peraturan hukum terhadap suatu peristiwa yang konkret. Keharusan dalam menemukan hukum
baru bukan pada saat tidak ada kejelasan saja, tetap memang tidak ada, diperlukan pembentukan
hukum untuk memberikan penyelesaian yang hasilnya dirumuskan dalam suatu putusan yang
disebut dengan putusan hakim yang merupakan penerapa hukum.9

Dalam perkembangan sistem penemuan dikenal dua sistem penemuan hukum yaitu:10

1. Sistem penemuan hukum otonom adalah suatu sistem penemuan hukum yang
menekankan pada faktor dalam dirinya.
Sebagai prototype penemuan hukum otonom terdapat dalam sistem peradilan anglo
saxon yang menganut asas “The binding force precedent atau stare decisis et olio non movere”.
Disini hakim terkait pada putusan hakim yang telah dijatuhkan mengenai perkara sejenis dengan
yang akan diputus hakim yang bersangkutan. Memang disini putusan hakim terdahulu yang
mengikatnya, sehingga merupakan faktor diluar diri hakim yang akan memutuskan sehingga

9
Ibid.
10
Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum Cet I, (Yogyakarta : PT Citra
Aditya Bakti, 1993) Hlm 40-42.
11

menjadikan referensi hakim dalam memutus suatu perkara dengan menyatukan putusan hakim
terdahulu mengenai perkara yang sejenis.
2. Sistem penemuan hukum Heteronom adalah suatu sistem penemuan hukum yang
dipengaruhi oleh faktor diluar dirinya, lingkungan, politik, dan ekonomi.
Sebagai prototype penemuan hukum heteronom terdapat dalam sistem peradilan negera-
negara kontinental termasuk didalamnya indonesia. Di sini hakim bebas, tidak terikat pada
putusan hakim lain yang pernah dijatuhkan mengenai perkara sejenis. Hakim berfikir deduktif
dari bunyi undang-undang menuju ke peristiwa khusus dan akhirnya sampai pada putusan.
Dalam penemuan yang typis logistic atau heteronom hakim dalam memeriksa dan mengadili
perkara berdasarkan pada faktor-faktor diluar dirinya.11
Penemuan hukum adalah proses pembentukan hukum yang dilakukan hakim dan petugas
berdasarkan Undang-Undang untuk menyelesaikan peristiwa tertentu. Mengapa penemuan
hukum dapat terjadi, Sebab adanya dan timbulnya penemuan hukum adapun sebagai berikut:
a. Kekosongan hukum : terjadi jika belum atau tidak adanya peraturan yang mengatur
suatu peristiwa konkret yang dihadapi oleh hakim.
b. Kekaburan hukum : terjadi jika terdapat peraturan perundang-undangan yang
belum jelas maknanya dan belum ada penjelasan mendetail akan pengaturan pasal-
pasalnya menimbulkan multi tafsir.
c. Inkonsistensi hukum : terjadi jika terdapat pasal yang mengatur perbuatan yang
sama namun saling bertentangan. Peraturan yang bertentangan tersebut dapat
menyebabkan permasalahan bagi hakim dalam menentukan putusan.
3. Subjek-Subjek Yang Terdapat Dalam Penemuan Hukum
Subjek Hukum adalah segala sesuatu yang menurut hukum dapat menjadi pengemban
(dapat mempunyai) hak dan kewajiban. Subjek Hukum juga dapat di artikan siapa yang dapat
mempunyai hak dan cakap untuk bertindak di dalam hukum atau dengan kata lain siapa yang
cakap menurut hukum untuk mempunyai hak.12 Ada beberapa definisi yang dikemukan oleh
para ahli tentang subjek hukum, di antaranya :
a. Sudikno Mertokusumo menerangkan bahwa subjek hukum adalah segala sesuatu
yang dapat memperoleh hak dan kewajiban dari hukum.

11 http://journal.Iain-Manado.ac.Id. Rechtsvidinding : Penemuan Hukum Al-Mujtahid: Journal of Islamic


Family Law, Manado.
12
Harumiati Natadimaja, Hukum Perdata Mengenai Hukum Orang Dan Hukum Benda, (Yogyakarta,
Graha Ilmu,2009) Hlm. 7
12

b. Subekti menyatakan bahwa subjek hukum adalah pembawa hak atau subjek dalam
hukum, yaitu orang.
c. Subyek hukum menurut Chaidir Ali adalah manusia yang berkepribadian hukum,
dan segala sesuatu yang berdasarkan tuntutan kebutuhan masyarakat demikian itu
dan oleh hukum diakui sebagai pendukung hak dan kewajiban.
Dari pengertian di atas dapat disimpulkan subjek hukum adalah segala sesuatu yang
dapat memperoleh hak dan kewajiban dari hukum sehingga segala sesuatu yang dimaksud dalam
pengertian tersebut adalah manusia dan badan hukum. Jadi, manusia oleh hukum diakui sebagai
penyandang hak dan kewajiban sebagai subyek hukum atau sebagai orang. 13 Subyek hukum
mempunyai kedudukan dan peranan yang sangat penting dalam hukum, khususnya hukum
keperdataan karena subyek hukum tersebut yang dapat mempunyai wewenang hukum. Dalam
ranah hukum perdata dikenal sebagai salah satu bagian dari kategori hukum yang merupakan
suatu hal yang tidak dapat diabaikan karena subjek hukum merupakan suatu konsep dan
pengertian yang mendasar.14
Orang sebagai subjek hukum dibedakan dalam 2 pengertian, yaitu :15
a. Natuurlijke Persoon atau Menselijk Persoon disebut orang dalam bentuk manusia
atau manusia pribadi.
b. Rechts Persoon yang disebut orang dalam bentuk badan hukum atau orang yang
menciptakan hukum secara fiksi atau persona ficta. Kemudian badan hukum
dibedakan lagi dalam 2 macam, yaitu :
1) Badan hukum publik (Publiek Rechts Persoon) yang sifatnya terlihat unsur
kepentingan publik yang ditangani oleh negara.
2) Badan hukum privat (privaat Rechts persoon) yang sifatnya unsur-unsur
kepentingan individu dalam badan hukum swasta.
Ada beberapa pihak terkait dengan penemuan hukum, Instrumen-instrumen terkait yang
melakukan penemuan hukum itu adalah sebagai berikut :16

a. Penemuan Hukum oleh Pembetuk Undang-Undang

13
Rachmadi Usman, Aspek-Aspek Hukum Perorangan Dan Kekeluargaan Di Indonesia, (Jakarta : Sinar
Grafika, 2006) Hlm. 71.
14
Rosnidar Sembiring, Hukum Keluarga (Harta-Harta Benda Alam Perkawinan), (Jakarta : Raja Grafindo
Persada, 2016) Hlm. 7.
16
Iman jauhari, Op cit, Hlm, 41.
13

Penemuan Hukum oleh pembentuk undang-undang sifatnya preskriptif yang


memiliki arti mengharuskan sesuatu. Penemuan hukum yang dilakukan oleh
pembentuk undang-undang ini hasilnya merupakan hukum yang sekaligus juga
merupakan sumber hukum.
b. Penemuan hukum oleh Hakim
Penemuan hukum oleh hakim dipandang penting, karena bersifat conflictif dan
justisiil yang memiliki arti ada suatu sengketa yang harus ditetapkan status
hukumnya.17 Hakim dalam mengadili suatu perkara yang diajukan kepadanya harus
mengetahui dengan jelas tentang fakta dan peristiwa yang ada dalam perkara
tersebut. Oleh karena itu, Hakim sebelum menjatuhkan putusannya terlebih dahulu
harus menemukan fakta dan peristiwa yang terungkap dari Penggugat dan Tergugat,
serta alat-alat bukti yang diajukan oleh para pihak dalam persidangan.
Hakim harus mengonstatir dan mengkualifisir peristiwa dan fakta tersebut sehingga
ditemukan peristiwa atau fakta yang konkrit. Setelah Hakim menemukan peristiwa
dan fakta secara objektif, maka Hakim berusaha menemukan hukumnya secara tepat
dan akurat terhadap peristiwa yang terjadi itu. Jika dasar-dasar hukum yang
dikemukakan oleh pihak-pihak yang berperkara kurang lengkap, maka Hakim karena
jabatannya dapat menambah atau melengkapi dasar-dasar hukum itu sepanjang tidak
merugikan pihak-pihak yang berperkara.18 Keputusan hakim mengikat dan mulai
berlaku setelah keputusan itu diucapkan dan mempunyai kedudukan hukum yang
tetap.
c. Penemuan Hukum oleh Dosen atau Ilmuan
Penemuan hukum yang dilakukan oleh para Dosen atau Ilmuan merupakan refleksi
dari pendalaman teori-teorinya, dengan demikian hasil dari temuan para dosen atau
ilmuan tersebut tidak mempunyai kedudukan hukum sekalipun apa yang
ditemukannya itu benar dan tidak mempunyai kekuatan mengikat.
d. Penemuan Hukum oleh Orang Awam
Penemuan Hukum yang dilakukan oleh orang awam adalah penemuan yang
dilakukan oleh stiap orang yang mempunyai masalah hukum, bagi mereka yang
mempunyai masalah hukum maka mereka akan mencari jawaban untuk mengatahui
hukumnya tersebut. Dengan demikian karena tujuan ingin mentahuai hukum maka

17
Ibid. Hlm 42
18
Abdul Manan, Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Praktek Hukum Acara Di Peradilan Agama,
Jurnal Hukum dan Peradilan Vol 2. No.2, 2023. Hlm. 191.
14

Orang Awam akan berusaha menemukannya sendiri menurut caranya sendiri, artinya
mereka menemukan hukum itu tanpa metode tertentu dan hasil dari penemuan
tersebut bukanlah hukum yang memiliki kedudukan tetap.
4. Ajaran Metode Hukum
Ajaran Metode Hukum termasuk kedalam wilayah telaah dari Filsafat Hukum yang
terbagi atas 2 bagian, yaitu : Metodologi Pembentukan Hukum dan Metodologi Penerapan
Hukum.
a. Metedologi Pembentukan Hukum
berlawanan dengan penerapan hukum, terutama dengan penerapan hukum oleh
hakim, pembentukan hukum sampai saat ini secara relative memperoleh sedikit
perhatian dalam kepustakaan bidang Teori Hukum. Dalam metedologi pembentukan
hukum sekarang ini, teknik perundang-undangan menempati posisi sentral, sebab
suatu teknik perundang-undangan yang baik seharusnya mampu mencegah banyak
masalah-masalah inteprestasi. Teknik perundang-undangan dalam arti sempit harus
lebih dipandang termasuk wilayah telaah Teori Hukum. Pada kerangka dari Teknik
Perundang-undangan ini maka sejumlah masalah-masalah bidang Teori Hukum yang
relevan dapat dipelajari kegunaan dan pentingnya kodifikasi hukum, sifat khas dari
Bahasa hukum, ihwal penggunaan kaidah-kaidah yang sangat umum dan pengertian-
pengertian yang kabur.
Kemungkinan makna Sosiologi dan makna ekonomi bagi pembentukan hukum
seperti antara lain struktur-struktur pengambilan putusan yang optimal secara
ekonomikal yang di dalamnya perundang-undangan dapat terbentuk, dalam arti luas
suatu penelitian tentang kemungkinan-kemungkinanan dan kegunaan dari suatu
kerjasama antara kekuasaaan pembentukan undang-undang (legislatif) dan
kekuasaan (eksekutif) atau pembentukan hukum diluar perundang-undangan dalam
administrasi, peradilan,dan sejenisnya (dipandang dalam tataran metodologi).
b. Metedologi Penerapan Hukum adalah salah satu dan wilayah penelitian teori hukum
yang saling dipelajari, dalam hal ini perhatian sepenuhnya diarahkan pada penerapan
hukum oleh hakim. Setiap sengketa tentang suatu penerapan hukum konkret tidak
dapat dihindari akan diputus (diadili) oleh seorang hakim dan baru didalam
motivering dari putusan hakim bahwa metode yang diikut tampil ke permukaan
secara jelas dan menjadi terbuka bagi pengawasan (control) dan kritik
Dalam penerapan hukum orang masih dapat membedakan berbagai wilayah masalah
yang masing-masing menetapkan syarat-syarat (tuntutan-tuntutan) sendiri pada
15

tataran metodologi. Disamping interpretasi undang-undang yang sesungguhnya,


orang juga menghadapi masalah-masalah kekosongan dalam hukuum, antinomy-
antinomi. Dan penerapan “pengertian-pengertian yang kabur”, juga interpretasi atas
fakta-fakta menuntut suatu penanganan yang secara metodologikal dipertanggung
jawabkan.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

Sistem hukum merupakan kumpulan dari unsur yang masing-masing saling beriteraksi
dan bekerjasama untuk menacapai tujuan, sistem hukum dalam arti luas yaitu semua aturan
hukum yang telah disusun secara sistematis dan terpadu berdasarakan atas asas-asas tertentu.
Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa sistem hukum merupakan suatu susunan aturan-aturan
hidup yang terdiri dari bagian-bagian yang saling berhubungan sebagai satu kesatuan. Secara
garis besar, ada beberapa jenis sistem hukum yang dianut oleh negara-negara yang ada saat ini,
yaitu : Sistem Hukum Sipil (Civil Law), Hukum Anglo-Saxon (Common Law), Hukum Agama
(Religious), Hukum Adat, serta sistem Hukum Negara-Negara Blok Timur (Socialistis).
Penemuan hukum adalah upaya untuk menemukan hukum karena hukum itu selalu
tersedia, yakni proses pembentukan hukum yang dilakukan hakim dan petugas berdasarkan
Undang-Undang untuk menyelesaikan peristiwa tertentu. Sebab adanya dan timbulnya
penemuan hukum adalah karena adanya Kekosongan hukum, Kekaburan hukum dan
Inkonsistensi hukum.

Subjek Hukum dalam penemuan hukum artikan siapa yang dapat mempunyai hak dan
cakap untuk bertindak di dalam hukum atau dengan kata lain siap yang cakap menurut hukum
untuk mempunyai hak (termasuk dalam melakukan penemuan hukum). Orang sebagai subjek
hukum dibedakan dalam 2 pengertian (manusia pribadi dan badan hukum). Subjek terkait yang
melakukan penemuan hukum itu diantaranya :Penemuan Hukum oleh Pembentuk Undang-
Undang, Hakim, Dosen atau Ilmuan, serta oleh Orang Awam. Dalam ajaran metode hukum.
Ajaran Metode Hukum termasuk kedalam wilayah telaah dari Filsafat Hukum yang terbagi atas
2 bagian, yaitu : Metodologi Pembentukan Hukum dan Metodologi Penerapan Hukum.

16
DAFTAR PUSTAKA

A. Buku-Buku
Aulis Aarnio, A Hermeneutik Approach in Legal Theory, Philosophical Perspective
in Jurisprudence, Helsinki, 1983
Dedi Soemardi, Pengantar Hukum Indonesia, Jakarta: Indhillco, 1997
Harumiati Natadimaja, Hukum Perdata Mengenai Hukum Orang Dan Hukum
Benda, Yogyakarta, Graha Ilmu, 2009
Iman jauhari, Teori Hukum, Medan, Pustaka Bangsa Press, 2008
Jeremias Lemek, Mancari Keadilan: Pandangan Kritis Terhadap Penegakan
Hukum Di Indonesia, Jakarta: Galang Press, 2007
Karl R. Popper, The Logic of Scientific Discovery, Science Editions, Vittorio
Klostermann, Frankfrut, dalam Bernard Arief Sidharta, Refleksi tentang
Struktur Ilmu Hukum, Bandung, Mandar Maju, 2000
Rachmadi Usman, Aspek-Aspek Hukum Perorangan Dan Kekeluargaan Di
Indonesia, Jakarta : Sinar Grafika, 2006
Rosnidar Sembiring, Hukum Keluarga (Harta-Harta Benda Alam Perkawinan),
Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2016
Sudikno Mertokusumo dan A. Pitlo, Bab-Bab Tentang Penemuan Hukum Cet I,
Yogyakarta, PT Citra Aditya Bakti, 1993

B. Jurnal
Abdul Manan, Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Praktek Hukum Acara Di
Peradilan Agama, Jurnal Hukum dan Peradilan, Vol 2. No.2, 2023
Dewa Gede Atmadja, Asas-Asas Hukum Dalam Sistem Hukum, Jurnal Volume 12,
Nomor 2, Kertha Wicaksana, 2018
http://journal.Iain-Manado.ac.Id. Rechtsvidinding : Penemuan Hukum Al-
Mujtahid: Journal of Islamic Family Law, Manado.

17
18

Sesi Pertanyaan
Pertanyaan pertama : Safira Putri Rizkhi (2303201010050)
Dalam penemuan hukum secara otonom terdapat asas “The Binding force
precedent”. Apa maksud asas tersebut dan berikan contohnya !
Jawab :
The Binding force precedent adalah asas dimana putusan yang ada tidak
wajib diikuti oleh hakim setelahnya karena hakim terikat pada undang-
undang. Menurut Undang-Undang Kehakiman seorang hakim memiliki
kebebasan dalam menjatuhkan putusan.
Contohnya, seperti dalam buku Teori Hukum karangan Dr Iman Jauhari S.H
M.Hum, Dapat dilihat pada pasal 1917 KUHPdt yang berbunyi : Kekuatan
sesuatu putusan Hakim yang telah memperoleh kekuatan mutlak tidaklah
lebih luas daripada sekedar mengenai soal putusannya. Pada saat ini di
Inggris seorang hakim saat memutuskan perkara tidak terikat lagi dengan
putusan hakim lain atau hakim terdahulu. Contoh lain apabila seorang kuli
harus pengangkat beras dari truk ke gudang, namun ia mengangkutnya ke
tempat lain. Apakah itu termasuk pencurian atau penggelapan? Jika Hakim
memutuskan perkara itu berdasarkan keyakinan, maka dimana letak
kepastian hukum? Kelihatannya sekarang peradilan sudah berkiblat pada
yurisdrudence untuk menciptakan kepastian hukum.

Pertanyaan Kedua : Teuku Maulana (1903101010107)


Apa yang membuat indonesia sulit dalam membuat hukum sendiri?
Jawab:
Berikut beberapa faktor yang membuat Indonesia sulit untuk membuat
hukum sendiri. Faktor Pendidikan Menurut laporan Kemdikbud ristek pada
tahun 2021 ada 75.303 anak yang putus sekolah.
Artinya yang menyebabkan generasi muda bangsa Indonesia tidak
memahami hukum dengan demikian mengakibatkan masyarakat dalam
menaati hukum serta penerapan hukum, maupun dalam membuat hukum
menjadi kualahan. Jika hukum tersebut dibuat akan sulit dimengerti oleh
masyarakat awam karena kurangnya pengetahuan dalam pendidikan yang
mumpuni.
Faktor undang-undang yang sudah ada Menurut Soejono Soekanto faktor
Indonesia sulit membuat hukum karena faktor undang-undang yang
terkadang masih membingungkan dan belum terkodifikasi sehingga,
masyarakat masih sering berpedoman kepada hukum adat yang sudah ada
lebih dahulu dari hukum Eropa kontinental, padahal perkembangan hukum
seiringan dengan waktu berevolusi dan berubah2 sesuai dengan kebutuhan
masyarakat modern. Serta tidak hanya itu saja sebab2 lainnya menjadi
19

faktor penyebab Indonesia sulit membuat hukum bisa saja seperti faktor
budaya Indonesia yang begitu banyak suku dan ras serta adat2nya yang
berkembang dimasyarakat, faktor fasilitas yang kurang juga faktor aparat
penegak hukum yang kurang kompeten dalam memahami hukum. Dengan
demikian tolak ukur tersebut adalah pengetahuan hukum, pemahaman
hukum, sikap hukum, dan pola perilaku hukum itu sendiri.

Pertanyaan Ketiga : Zihan Fahira (2303201010040)


Dalam penemuan hukum terdapat istilah in abstracto atau in concreto,
Pada penemuan hukum sendiri, hakim lebih berpedoman pada in
abstracto atau in concreto?

Jawab:

Sebagaimana kita ketahui bahwa Berdasarkan Pasal 20 AB “Hakim harus


mengadili berdasarkan Undang-Undang” dan Pasal 22 AB + Pasal 14
Undang-undang No. 14 tahun 1970 mewajibkan “Hakim untuk tidak
menolak mengadili perkara yang diajukan kepadanya dengan alasan tidak
lengkap atau tidak jelas Undang-undang yang mengaturnya melainkan
wajib mengadilinya”. Jika terdapat kekosongan aturan hukum atau
ataurannya tidak jelas maka untuk mengatasinya diatur dalam pasal 27 UU
No. 14 Tahun 1970 menyebutkan : “Hakim sebagai penegak hukum dan
keadilan wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang
hidup didalam masyarakat”. Artinya seorang Hakim harus memiliki
kemampuan dan keaktifan untuk menemukan hukum (Recht vinding).
Indonesia yang menganut sistem common law mewajibkan hakim
memutuskan perkara harus bersifat konkrit atau in concreto untuk menjamin
adanya suatu kepastian hukum, namun dalam menafsirkan hukum ketika
melakukan penemuan hukum hakim menafsirkan undang-undang yang
bersifat abstrak atau in abstracto namun penemuan hakim tersebut tetap
harus berada pada muara yang bersifat putusan konkrit atau in concreto.

Anda mungkin juga menyukai