Anda di halaman 1dari 27

Disusun sebagai tugas terstruktur Ujian Tengah Semester (UTS) mata kuliah

Sosiologi Hukum

Dosen Pengampu:
Dr. Taufiq Ramdani, S.Th.I., M.Sos

Disusun Oleh:

Nama : Zul Ma’arij


NIM : L1C018113

Prodi/Kelas : Sosiologi ( Kelas C )

PROGRAM STUDI SOSIOLOGI


FAKULTAS FISIPOL

UNIVERSITAS MATARAM
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur Alhamdulillah penulis haturkan kepada ALLAH SWT rahmat dan
hidayah-Nya lah penulis dapat kesempatan untuk menyelesaikan tugas ujian tengah
semester pada matakuliah sosiologi hukum ini.,penyusunan artikel ini sebagai
pemenuhan tugas ujian tengah semester yang terjadwalkan karena system perkuliahan
yang berbasis daring. Dengan segala kemampuan yang ada,penulis berusaha untuk
mengoptimalkan pengnyusunan tugas ini, walaupun dirasakan masih banyak kekurangan
dan keterbatasan yang dimiliki oleh penulis untuk itu segala keritik dan saran yang
membangun guna memperbaiki tugas ini, penulis harapkan.
Akhir kata,semoga tugas ini bermanfaat,khususnya bagi saya pribadi untuk
meningkatkan pemahaman dan pengetahuan saya selaku sebagai mahasiswa dan bagi
pihak-pihak yang mau menjadikan bahan pembahasan,dan tentunya keritik dan saranlah
yang dapat membuat tugas ini menjadi sempurna.
Terima kasih ,semoga bapak/ibu dosen selalu dalam lindungan yang maha
kuasa,serta selalu diberi kesehatan oleh ALLAH SWT.

Rumak,12 Oktober 2021


Zul Ma’arij (L1C018113)

ii
DAFTAR ISI
JUDUL …………………………………………………………………… (i)

KATA PENGANTAR …………………………………………………… (ii)


DAFTAR ISI …………………………………………………………….. (iii)

1. Pengertian, Konsep, Serta Ruang Lingkup Sosiologi Hukum …… (1)


A. Pengertian sosiologi hukum …………………………………. (1)
B. Ruang lingkup sosiologi hukum …………………………….. (3)
2. Hukum Dalam Perspektif Teori Fungsional Struktural, Interaksionisme Simbolik,
Serta Teori Strukturasi ………………………………. (6)
A. Perspektif teori fungsional struktural ………………………. (6)
B. Perspektif teori interaksionisme simbolik ………………….. (11)
C. Perspektif teori strukturasi ………………………………….. (13)
3. Urgensi Dan Justifikasi Kehadiran Hukum Di Dalam Interaksi Sosial Masyarakat
……………………………………………………… (16)
DAFTAR PUSTAKA

iii
1. PENGERJXTIAN, KONSEP, SERTA RUANG LINGKUP SOSIOLOGI
HUKUM.
A. PENGERTIAN SOSIOLOGI HUKUM
Sejarah diperkenalkannya sosiologi hukum untuk pertama kalinya yaitu oleh
seorang Itali yang bernama Anzilotti, pada tahun 1882. Sosiologi hukum pada
hakekatnya lahir dari hasil-hasil pemikiran para ahli, baik di bidang filsafat hukum,
ilmu maupun sosiologi.Seiring dengan zaman yang semakin modern dan
kompleksnya hubungan antar masyarakat saat ini, maka sosiologi hukum juga
sedang berkembang pesat. Ilmu ini diarahkan untuk menjelaskan hukum positif yang
berlaku artinya isi dan bentuknya berubah-ubah menurut waktu dan tempat, dengan
bantuan faktor kemasyarakatan.
Sosiologi hukum merupakan suatu Cabang ilmu pengetahuan yang antara Lain
meneliti mengapa manusia patuh Pada hukum dan mengapa dia gagal Untuk menaati
hukum tersebut serta Faktor-faktor sosial lain yang mempengaruhinya. Sosiologi
hukum merupakan suatu cabang dari sosiologi umum.
Pengertian Sosiologi Hukum ini menganalisa bagaimana jalannya suatu
Hukum dalam masyarakat, yang merupakan hal utama bagi para pengguna Hukum
agar tahu betapa berpengaruhnya Hukum dalam suatu masyarakat, hal inilah yang
membuat betapa harus kita belajar mengenai Sosiologi Hukum.Definisi Sosiologi
Hukum dan ruang lingkupnya menurut beberapa ahli adalah sebagai berikut:
a. Soerjono Soekanto
Sosiologi Hukum adalah suatu cabang ilmu pengetahuan yang secara
analitis dan empiris menganalisa atau mempelajari hubungan timbal balik antara
hukum dengan gejala-gejala lainnya.
b. Satjipto Raharjo
Sosiologi Hukum (sosiologi of law) adalah pengetahuan hukum terhadap
pola perilaku masyarakat dalam konteks sosial.
c. R. Otje Salman
Sosiologi Hukum adalah ilmu yang mempelajari hubungan timbal balik
antara hukum dan gejala-gejala sosial lainnya secara empiris analitis.
d. H.L.A. Hart
H.L.A. Hart tidak mengemukakan definisi tentang sosiologi hokum. Namun,
definisi yang dikemukakannya mempunyai aspek sosiologi hukum. Hart
mengungkapkan bahwa suatu konsep tentang hokum memngandung unsur-unsur
kekuasaan yang terpusatkan kepada kewajiban tertentu di dalam gejala hukum
yang tampak dari kehidupan bermasyarakat. Menurut Hart, inti dari suatu sistem
hukum terletak pada kesatuan antara aturan utama (primary rules) dan aturan
tambahan (secondary rules).Aturan utama merupakan ketentuan informal
tentang kewajiban-kewajiban warga masyarakat yang bertujuan untuk
memenuhi kebutuhan pergaulan hidup sedangkan aturan tambahan terdiri atas :

1
a) Rules of recognition, yaitu aturan yang menjelaskan aturan utama yang
diperlukan berdasarkan hierarki urutannya,
b) Rules of change, yaitu aturan yang mensahkan adanya aturan utama yang
baru.
c) Rules of adjudication, yaitu aturan yang memberikan hak-hak kepada
orang perorangan untuk menentukan sanksi hukum dari suatu peristiwa
tertentu apabila suatu aturan utama dilanggar oleh warga masyarakat.
e. J.Hall
Sosiologi hukum adalah ilmu teoritis yang berisikan generalisasi tentang
fenomena masyarakat,sejauh yang menyangkut dengan substansi,aplikasi dan
akibat dari aturan hukum.
f. Roscoe Pound
Sosiologi hukum adalah studi tentang hukum sebagai sarana kontrol sosial.
Kemudian, di awal abad ke-20 sampai dengan paruh abad ke-20, pakar
sosiologi hukum memberikan pengertian dan definisi hukum secara sosiologis
sebagai berikut:

1) Hukum merupakan suatu sistem aturan untuk menilai hubungan kemasyarakatan.


2) Hukum merupakan prinsip atau aturan tingkah laku yang dibuat untuk melakukan
justifikasi terhadap prediksi-prediksi dengan kepastian yang logis (resonable
certanty),bahwa hukum tersebut akan diterapkan oleh pengadilan jika otoritas
dari hukum tersebut kemudian dipersengketakan. (Benjamin Cardozo, 1924)
3) Hukum merupakan pembatasan terhadap kebebasan setiap individu untuk
kepentingan perdamaian umum (general peace) yang diformulasikan dalam
bentuk tingkah laku (rule of conduct) dalam pergaulan antar sesama manusia.
(May, 1925)
4) Hukum merupakan sekumpulan aturan, baik yang bersifat memaksa atau yang
permisif, dimana pelanggaran terhadapnya akan menimbulkan perasaan
ketidakpuasan dalam kelompok sosial yang memberlakukan hukum tersebut.
Netralisir yang cepat terhadap rasa ketidakpuasan tersebut sangat diperlukan
dalam rangka menjaga karakter perdamaian dalam suatu hubungan
kemasyarakatan dalam suatu kelompok. (Stoop, 1927)
5) Hukum adalah suatu kumpulan aturan yang mempunyai otoritas untuk
menyelesaikan berbagai persoalan manusia dan masyarakat. (Roscoe Pound,
1952).

B. RUANG LINGKUP SOSIOLOGI HUKUM


Dalam beberapa hukum dan sosiologi sebagai sebuah disiplin intelektual
dan bentuk praktik professional memiliki kesamaan ruang lingkup. Namun, sama
sekali berbeda dalam tujuan dan metodenya. Hukum sebagai sebuah disiplin
ilmu memfokuskan pada studi ilmiah terhadap fenomena sosial. Perhatian
utamanya adalah masalah preskriptif dan teknis. Sedangkan sosiologi

2
memfokuskan pada studi ilmiah terhadap fenomena sosial. Meskipun demikian,
kedua disiplin ini memfokuskan pada seluruh cakupan bentuk-bentuk signifikan
dari hubungan-hubungan sosial. Dan dalam praktiknya kriteria yang menentukan
hubungan mana yang signifikan seringkali sama, yang berasal dari asumsi-
asumsi budaya atau konsepsi-konsepsi relevansi kebijakan yang sama.
Sosiologi hukum, mempunyai objek kajian fenomena hukum, dituliskan
oleh Curzon, bahwa Roscou Pound menunjukan studi sosiologi hukum sebagai
studi yang didasarkan pada konsep hukum sebagai alat pengendalian sosial.
Sementara Llyod, memandang sosiologi hukum sebagai suatu ilmu deskriptif,
yang memanfaatkan teknis-teknis empiris. Hal ini berkaitan dengan perangkat
hukum dengan tugas-tugasnya. Ia memandang hukum sebagai suatu produk
sistem sosial dan alat untuk mengendalikan serat mengubah sistem itu.
Kita dapat membedakan sosiologi hukum dengan ilmu normatif, yaitu
terletak pada kegiatannya. Ilmu hukum normatif lebih mengarahkan kepada
kajian lawh in books, sementara sosiologi hukum lebih mengkaji kepada law in
action. Sosiologi hukum lebih menggunakan pendekatan empiris yang bersifat
deskriptif, sementara ilmu hukum normatif lebih bersifat preskriptif. Dalam
jurisprudentie model, kajian hukum lebih memfokuskan kepada produk
kebijakan atau produk aturan, sedangkan dalam sociological model lebih
mengarah kepada struktur sosial. Sosiologi hukum merupakan cabang khusus
sosiologi, yang menggunakan metode kajian yang lazim dikembangkan dalam
ilmu-ilmu sosiologi.
Untuk mengetahui hal dimaksud, kita bertitik tolak dengan apa yang
disebut disiplin ilmu, yaitu sistem ajaran tentang kenyataan yang meliputi
disiplin analitis dan disiplin ilmu (preskriptif). Disiplin analitis, dapat
dikemukakan contohnya: sosiologis, psikologis antropologis, sejarah dan
sebagainya; sedangkan disiplin hukum meliputi ilmu-ilmu yang terpecah lagi
menjadi: ilmu tentang kaidah (kaidah patokan tentang kelakuan yang sepatasnya,
seharusnya, seyogyanya), ilmu tentang pengertian dasar hukum, obyek hukum,
hubungan hukum); ilmu tentang pengertian-pengertian dasar dan sistem dari
hukum (ilmu yang mempelajari hubungan timbal balik antara hukum dengan
gejala sosial lainnya secara empiris analitis), antropologi hukum (ilmu yang
mempelajari pola-pola sengketa dan bagaimana penyelesaiannya pada
masyarakat sederhana dan pada masyarakat modern). Psikologi hukum (ilmu
yang mempelajari bahwa hukum itu merupakan perwujudan jiwa manusia. dan
masih banyak lagi cabang ilmu-ilmu yang lain seperti sejarah hukum,
perbandingan hukum, politik hukum dan filsafat hukum.Sementara yang
menjadi objek sosiologi hukum adalah :
1. Sosiologi hukum mengkaji hukum dalam wujudnya atau Government Social
Control. Dalam hal ini, sosiologi mengkaji seperangkat kaidah khusus yang
berlaku serta dibutuhkan, guna menegakkan ketertiban dalam kehidupan
bermasyarakat.

3
2. Sosiologi hukum mengkaji suatu proses yang berusaha membentuk warga
masyarakat sebagai mahluk sosial. Sosiologi hukum menyadari
eksistensinya sebagai kaidah sosial yang ada dalam masyarakat.

Berdasarkan uraian di atas, dapat ditentukan bahwa letak atau ruang lingkup
sosiologi hukum ada 2 (dua) hal, yaitu:

1. Dasar-dasar Sosial dari hukum atau basis sosial dari hukum. Sebagai
contoh dapat disebut misalnya: hukum nasional di Indonesia, dasar
sosialnya adalah Pancasila, dengan ciri-cirinya adalah gotong royong,
musyawarah, dan kekeluargaan;
2. Efek-efek hukum terhadap gejala-gejala sosial lainnya, sebagai
contoh dapat disebut misalnya:
• Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan
terhadap gejala kehidupan rumah tangga
• Undang-undang No. 22 tahun 1997 dan Undang-undang No.
23 Tahun 1999 tentang narkotika dan narkoba terhadap gejala
konsumsi obat-obat terlarang dan semacamnya
• Undang-undang No. 19 tahun 2002 tentang hak cipta terhadap
gejala budaya
• Undang-undang mengenai pemilihan presiden secara
langsung terhadap gejala politik Dan sebagainya.
Selain itu, sejak abad ke-19 telah diusahakan oleh para sarjana sosiologi dan
hukum untuk memberikan batasan-batasan tertentu pada ruang lingkup sosiologi
hukum. Pembatasan tersebut diadasari oleh ilmu hukum yang erat hubungannya
dengan ilmu-ilmu perilaku lainnya (behavioral sciences) seperti yang telah
diungkapkan di atas. Pembatasan dimaksud memunculkan berbagai pendapat.
Secara umum dapat dikelompokkan pada empat pendekatan, yang biasanya
dinamakan pendekatan instrumental, pendekatan hukum alam dan pendekatan
positivistic, dan pendekatan paradigmatik.
1. Pendekatan Instrumental Adalah menurut pendapat Adam Podgorecki yang
dikutip oleh Soerjono Soekanto yaitu bahwa sosiologi hukum merupakan
suatu disiplin Ilmu teoritis yang umumnya mempelajari ketentraman dari
berfungsinya hukum, dengan tujuan disiplin ilmu adalah untuk mendapatkan
prinsip-prinsip hukum dan ketertiban yang didasari secara rasional dan
didasarkan pada dogmatis yang mempunyai dasar yang akurat.
2. Pendekatan Hukum Alam Adalah menurut Philip Seznik yaitu bahwa
pendekatan instrumental merupakan tahap menengah dari perkembangan atau
pertumbuhan sosiologi hukum dan tahapan selanjutnya akan tercapai, bila ada
otonomi dan kemandirian intelektual. Tahap tersebut akan tercapai apabila
para sosiolog tidak lagi berperan sebagai teknisi, akan tetapi lebih banyak
menaruh perhatian pada ruang lingkup yang lebih luas. Pada tahap ini,

4
seorang sosilog harus siap untuk menelaah pengertian legalitas agar dapat
menentukan wibawa moral dan untuk menjelaskan peran ilmu sosial dalam
menciptakan masyarakat yang didasarkan pada keseimbangan hak dan
kewajiban yang berorientasi pada keadilan.( Rule of Law menurut Philip
Seznick).
3. Pendekatan positivistic mengandalkan kemampuan pengamatan secara
langsung (empiris) penalaran yang digunakan induktif. Ilmu pengetahuan juga
filsafat yang menyelidiki fkta dan hubungan yang terdapat antara fakta-fakta.
4. pendekatan paradigmatic menurut Thomas S.khun yang menyebut sebagai
paradigma dominan mencakup unsur-unsur kepercayaan nilai-nilai, aturan-
aturan, cra-cara dan dugaan-dugaan yang dipunyai keluarga masyarakat
tertentu.

Dari batasan ruang lingkup maupun perfektif sosiologi hukum maka dapat
dikatakan bahwa kegunkaan sosilogi hukum didalam kenyataannya adalah
sebagai berikut :
1) Sosiologi berguna untuk memberikan kemampuan bagi pemahaman terhadap
hukum didalam konteks sosial.
2) Penguasaan konsep -konsep sosiologi hukum dapat memberikan kemampuan
untuk mengadakan analisa terhadap efektivitas hukum dalam masyarakat.
3) Sosiologi hukum memberiakan kemungkinan serta kemampuan untuk
mengadakan avaluasi terhadap efektivitas hukum didalam masysrakat.

2. HUKUM DALAM PERSPEKTIF TEORI FUNGSIONAL STRUKTURAL,


INTERAKSIONISME SIMBOLIK, SERTA TEORI STRUKTURASI.
A. PERSPEKTIF TEORI FUNGSIONAL STRUKTURAL
Hukum adalah keseluruhan kaidah serta semua asas yang mengatur pergaulan
hidup dalam masyarakat dan bertujuan untuk memelihara ketertiban serta meliputi
berbagai lembaga dan proses guna mewujudkan berlakunya kaidah sebagai suatu

5
kenyataan dalam masyarakat (Latipulhayat,2014). Dalam pemikiran Sosiological
Juresprudence Roscoe Pound (1870-1964), ditegaskan bahwa kehidupan hukum
terletak pada pelaksanaannya (Rahardjo, 1982). Bagi Pound hukum adalah "an
ordening of conduct so as to make the good of existence and the means of satistying
claims go round as for as possible with the least friction and waste (Juwana, tt).
(tatanan tingkah laku untuk menciptakan eksistensi yang baik dan sarana tuntutan
kepuasan sebanyak mungkin dengan
meminimalkan gesekan dan pemborosan).
Relasi hukum dengan kelembagaan hukumnya dan juga prosesnya adalah relasi
khas dalam konsep pembangunan hukum di Amerika Serikat (Rasyidi & Putra,
1993). Analisis ini menguatkan dugaan adanya pengaruh yang cukup berarti dari
para arsitek reformasi hukum di Amerika Serikat, khususnya Roscoe Pound
(Latipulhayat, 2014). Bagi Mochtar Kusumaatmadja, kaidah dan asas merupakan
elemen tradisional dari sebuah pengertian hukum - elemen yang harus senatiasa
hadir dalam sebuah bangunan hukum. Ketika hukum berperan dan memerankan
dirinya sebagai sarana perubahan (pembangunan), maka diperlukan elemen yang
memiliki kekuatan mengubah, yaitu kelembagaan dan proses (Latipulhayat, 2014).
Penegakan hukum merupakan usaha untuk mewujudkan ide-ide dan konsep-
konsep hukum yang diharapkan rakyat menjadi kenyataan karena itu penegakan
hukum merupakan suatu proses yang melibatkan banyak hal (Dellyana, 1988).
Penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya untuk tegaknya atau
berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam
lalu lintas atau hubungan-hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan
bernegara (Rahardjo, 2006).
Jimly Asshiddiqie, berpendapat bahwa penegakan hukum dapat ditinjau dari
sudut subjeknya dan dari sudut objeknya. Dari sudut subjeknya, penegakan hukum
itu dapat dilakukan oleh subjek yang luas dan dapat pula diartikan sebagai upaya
penegakan hukum oleh subjek dalam arti yang terbatas atau sempit. Dalam arti
luas, proses penegakan hukum itu melibatkan semua subjek hukum dalam setiap
hubungan hukum, sehingga siapa saja yang menjalankan aturan normatif atau
melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu dengan mendasarkan diri pada
norma aturan hukum yang berlaku, berarti menjalankan atau menegakkan aturan
hukum. Dalam arti sempit, dari segi subjeknya itu, penegakan hukum itu hanya
diartikan sebagai upaya aparatur penegakan hukum tertentu untuk menjamin dan
memastikan bahwa suatu aturan hukum berjalan sebagaimana seharusnya. Dalam
memastikan tegaknya hukum itu, apabila diperlukan, aparatur penegak hukum itu
diperkenankan untuk menggunakan daya paksa (Zulfadli, 2016). Penegakan
hukum itu dapat pula ditinjau dari sudut objeknya, yaitu dari segi hukumnya.
Dalam pengertian luas, penegakan hukum itu mencakup pula nilai-nilai keadilan
yang terkandung di dalamnya bunyi aturan formal maupun nilai-nilai keadilan
yang hidup dalam masyarakat. sedangkan dalam arti sempit, penegakan hukum itu
hanya menyangkut penegakan peraturan yang formal dan tertulis saja. Karena itu,

6
terjemahan “law enforcement” dapat berarti “penegakan hukum” atau “penegakan
peraturan”.Pembedaan antara formalitas aturan hukum yang tertulis dengan
cakupan nilai keadilan juga timbul dalam bahasa Inggris dengan dikembangkannya
istilah ‘the rule of law’ versus ‘the rule of just law’ atau dalam istilah “the rule of
law and not of man” versus istilah “the rule by law” yang berarti “the rule of man
by law”. Dalam istilah “the rule of law” mengandung makna pemerintahan oleh
hukum, tetapi bukan dalam artinya yang formal, melainkan mencakup pula nilai
keadilan yang terkandung di dalamnya, sehingga digunakan istilah “the rule of just
law”. Istilah “the rule of law and not of man” untuk menegaskan bahwa pada
hakikatnya pemerintahan negara hukum modern dilakukan oleh hukum, bukan
oleh orang. Sedangkan Istilah “the rule by law” bermakna pemerintahan oleh orang
yang menggunakan hukum sekedar sebagai alat kekuasaan (Zulfadli, 2016).
Soerjono Soekanto mengatakan bahwa secara konsepsional inti dan arti
penegakan hukum terletak pada kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang
terjabarkan dalam kaidah-kaidah yang mantap dan mengejawantahkan sikap tindak
sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir untuk menciptakan, memelihara
dan mempertahankan kedamaian dalam pergaulan hidup (Suparman, 2013).
Namun, pengertian penegakan hukum berbeda dengan penegakan keadilan.
Penegakan hukum dapat dikaitkan dengan pengertian “law enfocement” dalam arti
sempit,sedangkan penegakan hukum dalam arti hukum materil, diistilahkan
dengan penegakan keadilan.Dalam bahasa Inggris juga dibedakan antara konsepsi
“court of law” dalam arti pengadilan hukum dan “court of justice” atau pengadilan
keadilan. Bahkan dengan semangat yang sama pula, Mahkamah Agung di Amerika
serikat disebut dengan istilah “Supreme Court of Justice.” (Subroto,2001).
Fungsionalisme struktural yang dikemukakan oleh Talcott Parson merupakan
teori yang dapat digunakan untuk memahami korelasi atau keterkaitan indikator
penegakan hukum sebagai suatu sistem, sehingga kajian ini menjadi penting
karena bertujuan untuk menentukan indikator tersebut.
Dalam perspektif teori struktur sosial hanya melihat bahwa masyarakat adalah
strukturstruktur, sedangkan teori fungsional melihat kepada fungsi dan sistem,
saling ketergantungan,mempunyai fungsi masing-masing dan tidak dapat
digantikan dan berjalan dengan baik jika masing-masing fungsi seimbang, seperti
suatu organisme jika ada yang rusak maka semuanya akan rusak, fungsi-fungsi ini
tercipta karena terjadi dengan sendirinya dan sistem tersebut tidak diciptakan oleh
manusia tetapi ini sangat dibutuhkan oleh masyarakat (Yeahcaptain, 2018). Oleh
karena itu, pendekatan yang ideal adalah memadukan teori struktur sosial dengan
teori fungsional sebagaimana dikemukakan oleh Parson.
Keterkaitan antara penegakan hukum dengan teori fungsionalisme struktural
adalah bahwa indikator penegakan hukum terhadap pembajakan karya cipta
merupakan suatu sistem yang tidak dapat dipisahkan tetapi dapat dibedakan, dan
bersifat kompherensif integral, dalam arti setiap indikator memiliki saling
ketergantungan terhadap indikator lainnya sehingga analisisnya harus dilihat

7
secara keseluruhan dari masing masing indikator tetapi merupakan satu kesatuan
yang utuh.
Penegakan hukum dapat berjalan dengan baik dalam perspektif teori
fungsionalisme struktural Talcott Parson adalah apabila realitas sosial tersebut
(penegakan hukum) sebagai hubungan sistem dalam arti berada dalam
keseimbangan, yakni kesatuan yang terdiri dari bagianbagian yang saling
tergantung (diantara kelima indikator), sehingga perubahan satu bagian dipandang
menyebabkan perubahan lain dari sistem. Menurut Durkheim, teori struktural
fungsional melihat (penegakan hukum) dalam masyarakat sebagai sebuah
keseluruhan sistem yang bekerja untuk menciptakan tatanan dan stabilitas sosial.
Menurut fungsionalisme struktural, setiap elemen atau institusi dalam
masyarakat (penegakan hukum terhadap penbajakan karya cipta) memberikan
dukungan terhadap stabilitas (keberlakuan hukum hak cipta). Apabila ada satu
elemen dalam struktur tersebut tidak berfungsi (misalnya mentalitas penegak
hukum yang tidak baik), maka struktur tersebut menjadi tidak stabil, sehingga
hukum hak cipta tidak efektif. Menurut teori struktural fungsional seperti yang
dikemukakan Parson bahwa masyarakat akan berada dalam kedaaan harmonis dan
seimbang apabila institusi/atau lembaga (penegakan hukum) mampu menjaga
stabilitas pada masyarakat tersebut. Penegakan hukum yang baik berjalan sesuai
dengan fungsinya karena tetap menjaga nilai dan norma yang dijunjung tinggi oleh
masyarakat akan menciptakan stabilitas pada masyarakat itu sendiri (Craib,1986).
Menurut Parson agar dapat bertahan sebuah sistem (dalam hal ini penegakan
hukum terhadap pembajakan karya cipta) harus memiliki dari 4 fungsi (AGIL),
yaitu : Adaptation (adaptasi); Goal attainment (pencapaian tujuan); Integration
(integrasi); dan Latency (pemeliharaan pola).
Pertama, adaptation (adaptasi), sistem (penegakan hukum) harus
menyesuaikan diri dengan lingkungan dan menyesuaikan lingkungan tersebut
dengan kebutuhannya. Contoh pembajakan karya cipta yang terus berkembang
memerlukan solusi berupa pemahaman UU Hak Cipta, karena itu kebutuhan untuk
melakukan sosialisasi atau penyuluhan hukum secara komprehensif terhadap para
pengguna karya cipta orang lain menjadi urgen.
Kedua, goal attainment (pencapaian tujuan), sebuah sistem mendefinisikan dan
mencapai tujuan utamanya. Dalam kaitan dengan penegakan hukum terhadap
pembajakan karya cipta, kegiatan tersebut bertujuan untuk meningkatkan
kesadaran hukum warga masyarakat terhadap hukum positif (dalam hal ini UU No
28 Tahun 2014). Adagium teori fiksi yang mengatakan bahwa “setiap orang
dianggap tahu hukum” (apabila telah diundangkan dalam Lembaran Negara), tidak
memadai dalam rangka pencapaian tujuan agar masyarakat taat hukum. Kesadaran
hukum adalah konsepsi-konsepsi abstrak di dalam diri manusia, tentang
keserasaian antara ketertiban dengan ketentraman yang dikehendaki atau yang
sepantasnya (Soekanto, 1982). Menurut Kutschincky,Indikator dari masalah
kesadaran hukum tersebut adalah (Soekanto, 1982): (a) Pengetahuan tentang

8
peraturan-peraturan hukum (law awareness); (b) Pengetahuan tentang isi
peraturan-peraturan hukum (law acquaintance); (c) Sikap terhadap peraturan-
peraturan hukum (legal attitude) ; (d) Pola-pola perikelakuan hukum (legal
behavior).
Setiap indikator tersebut di atas menunjuk pada tingkat kesadaran hukum
tertentu mulai dari yang terendah sampai dengan yang tertinggi. Pengatahuan
tentang hukum tidak berpengaruh secara positif atau negatif terhadap tingkat
kesadaran hukum, sebagai contoh orang yang memiliki pengetahuan tentang
hukum hak cipta tidak serta merta kesadaran hukumnya tinggi untuk tidak
melakukan pembajakan karya cipta orang lain.Pengetahuan tentang isi peraturan-
hukum juga tidak secara tegas berarti taat pada hukum atau sulit menentukan
derajat kepatuhan hukum karena dapat terjadi seseorang taat pada hukum bukan
karena kesadaran pribadinya, tetapi ada faktor lain yang mempengaruhinya contoh
mekanisme pengawasan yang ketat (sanksi yang berat) pada undangundang Hak
cipta mengakibatkan orang tidak melakukan pembajakan karya cipta atau faktor
teladan dari pihak lain (penegak hukum), dalam arti masyarakat tidak melakukan
pembajakan karya cipta apabila penegak hukum memberikan teladan agar
menghormati hak cipta orang lain sehingga tidak melakukan pembajakan. Sikap
adalah kecenderungan bertindak, sikap hukum berarti kecenderung bertindak
sesuai atau tidak sesuai dengan hukum. Sikap hukum tidak dapat menentukan
tinggi atau rendahnya kesadaran hukum karena prilakunya belum terjadi secara
nyata baru kecenderungan bertindak meskipun demikian ada beberapa faktor yang
mempengaruhi terhadap kecenderungan bertindak (sikap hukum ) tersebut, seperti
derajat pengetahuan tentang isi peraturan, sikap instrumental (adanya pengetahuan
tentang isi peraturan dan menonjolnya kepentingan pribadi), dan sikap
fundamental (umur, tingkat pendidikan, dan jangka waktu bertempat tinggal).
Pola-pola perikelakuan hukum dapat menentukan tingkat kesadaran hukum karena
prilakunya telah terjadi sehingga dapat ditentukan bahwa tingkat kesadaran hukum
tinggi, apabila prilaku atau pola-pola perikelakuan hukum sesuai dengan hukum
positif dan sebaliknya (Soekanto, 1982).
Ketiga, integration (integrasi), sebuah sistem harus mengatur antar hubungan
bagian-bagian yang menjadi komponennya dan mengelola antar hubungan ketiga
fungsi penting lainnya (A, G, L) agar dapat berfungsi maksimal (Ritzer & Dauglas,
2005). Kelima komponen penegakan hukum adalah bagian-bagian yang tidak
dapat dipisahkan karena merupakan suatu sistem, karena itu apabila satu
komponen tidak berfungsi dengan baik (misalnya budaya masyarakat yang tidak
mendukung proses penegakan hukum terhadap pembajakan karya cipta), contoh
budaya masyarakat yang lebih senang membeli barang murah berakibat pada
sulitnya pencapaian tujuan penegakan hukum dibidang UU No. 28 Tahun tentang
Hak Cipta berkaitan dengan pembajakan, karena biasanya barang bajakan lebih
murah dibandingkan dengan produk aslinya karena itu diperlukan pendekatan
secara ekonomi, yaitu harga CD atau DVD tidak terlalu jauh perbedaannya,

9
sehingga konsumen cenderung memilih produk yang asli. Produk bajakan
dilakukan melalui pengcopian terhadap produk asli karena itu perlu pendekatan
teknologi agar pada saat dilakukan pengkopian, hasilnya tidak dapat dibaca atau
dilihat. Hal ini menunjukan bahwa pendekatan hukum untuk menanggulangi
pembajakan karya cipta melalui sanksi yang berat dalam UU No 28 Tahun 2014
tidak cukup, perlu sub sistem lain yaitu pendekatan ekonomi dan pendekatan
teknologi.
Keempat, latency (pemeliharaan pola), sebuah sistem harus melengkapi,
memelihara, dan memperbaiki, baik motivasi individu maupun pola-pola kultural
yang menciptakan dan menopang motivasi (Ritzer & Dauglas, 2005). Penegakan
hukum harus terus menerus dilakukan secara berkesinambungan dengan
melakukan berbagai evaluasi terhadap komponen yang perlu ditingkatkan dari
kelima indikator tersebut. Apabila kelemahan terletak pada faktor hukumnya (UU
No 28 Tahun 2014), maka upaya untuk merevisi atau mengubah peraturannya
perlu dilakukan karena dapat terjadi norma atau kaidah hukum tersebut tidak sesuai
lagi dengan perkembangan masyarakat. Namun juga perlu hati-hati dalam
melakukan perubahan terhadap norma hukum karena dapat terjadi perubahan
tersebut justru bersifat degresif. Misalnya UU Hak Cipta yang lama (UU No 19
Tahun 2002) menganut delik biasa diubah menjadi delik aduan dalam UU No 28
Tahun 2014.Kelemahan pada aspek penegak hukum, dilakukan dengan
memperbaiki mentalitas aparat penegak hukum termasuk memberikan imbalan
atau gaji yang sepadan dan pemberian imbalan (reward) atau penjatuhan sanksi
yang tegas. Apabila kelemahan pada aspek fasilitas atau sarana pendukung, maka
perbaikan atau penambahan sarana fisik maupun non fisik perlu dilakukan.Dalam
hal kelemahan pada sisi masyarakat, dalam arti tingkat kesadaran masyarakat
kurang dalam menghargai hak cipta orang lain, maka upaya memberikan
pemahaman pentingnya mentaati norma hukum (hak cipta) untuk menjaga
keteraturan hidup bermasyarakat dan berbangsa melalui penyuluhan hukum yang
intensif. Sedangkan kelemahan budaya (masyarakat) dapat diperbaiki melalui
mekanismne pegawasan yang efektif dan teladan dari para pemimpin atau penegak
hukum,mengingat masyarakat Indonesia bersifat paternalistik dalam arti keteladan
pemimpin merupakan kunci berhasilan penegakan hukum, serta tumbuhnya
budaya malu dan merasa bersalah (shame culture and guilty feeling) apabila
melanggar (membajak) hak cipta orang lain.
Dengan demikian, teori fungsionalisme struktural dapat digunakan untuk
mendeskripsikan bahwa penegakan hukum terhadap pembajakan karya cipta dapat
berjalan dengan baik apabila ke 5 (lima) indikator penegakan hukum sebagai suatu
sistem saling berhubungan dan saling menunjang, sehingga hukum hak cipta
menjadi efektif karena tujuan hukum kepastian, keadilan dan kemanfaatan
tercapai.

B. PERSPEKTIF TEORI INTERAKSIONISME SIMBOLIK

10
Teori Interaksi Simbolik yang masih merupakan pendatang baru dalam studi
ilmu komunikasi, yaitu sekitar awal abad ke-19 yang lalu. Sampai akhirnya teori
interaksi simbolik terus berkembang sampai saat ini, dimana secara tidak langsung
SI merupakan cabang sosiologi dari perspektif interaksional (Ardianto. 2007: 40).
Teori interaksi simbolik memiliki perspektif teoritik yang cenderung
menekankan perilaku manusia dalam masyarakat atau kelompok, pada pola-pola
dinamis dari tindakan sosial, dan hubungan sosial. Hubungan dan struktur sosial
dikonseptualisasikan secara lebih kompleks, lebih tak terduga, dan aktif.
Interaksi simbolik menurut perspektif interaksional, merupakan salah satu
perspektif yang ada dalam studi komunikasi, yang barangkali paling bersifat
”humanis” (Ardianto. 2007: 40). Dimana, perspektif ini sangat menonjolkan
keagungan dan maha karya nilai individu diatas pengaruh nilai-nilai yang ada
selama ini. Perspektif ini menganggap setiap individu di dalam dirinya memiliki
esensi kebudayaan, berinteraksi di tengah sosial masyarakatnya, dan menghasilkan
makna ”buah pikiran” yang disepakati secara kolektif. Dan pada akhirnya, dapat
dikatakan bahwa setiap bentuk interaksi sosial yang dilakukan oleh setiap individu,
akan mempertimbangkan sisi individu tersebut, inilah salah satu ciri dari perspektif
interaksional yang beraliran interaksionisme simbolik.
Teori interaksi simbolik menekankan pada hubungan antara simbol dan
interaksi, serta inti dari pandangan pendekatan ini adalah individu (Soeprapto.
2007). Banyak ahli di belakang perspektif ini yang mengatakan bahwa individu
merupakan hal yang paling penting dalam konsep sosiologi.
Mereka mengatakan bahwa individu objek yang bisa secara langsung ditelaah
dan dianalisis melalui interaksinya dengan individu yang lain. Menurut Ralph
Larossa dan Donald C.Reitzes (1993) dalam West-Turner (2008:96), interaksi
simbolik pada intinya menjelaskan tentang kerangka referensi untuk memahami
bagaimana manusia,bersama dengan orang lain,menciptakan dunia simbolik dan
bagaimana cara dunia membentuk perilaku manusia.
Interaksi simbolik ada karena ide-ide dasar dalam membentuk makna yang
berasal dari pikiran manusia (Mind) mengenai diri (Self), dan hubungannya di
tengah interaksi sosial, dan bertujuan akhir untuk memediasi, serta
menginterpretasi makna di tengah masyarakat (Society) dimana individu tersebut
menetap. Seperti yang dicatat oleh Douglas (1970) dalam Ardianto (2007: 136),
makna itu berasal dari interaksi, dan tidak ada cara lain untuk membentuk makna,
selain dengan membangun hubungan dengan individu lain melalui interaksi.

Definisi singkat dari ke tiga ide dasar dari interaksi simbolik, antara lain:
1) Pikiran (Mind) adalah kemampuan untuk menggunakan simbol yang
mempunyai makna sosial yang sama, dimana tiap individu harus
mengembangkan pikiran mereka melalui interaksi dengan individu lain,
2) Diri (Self) adalah kemampuan untuk merefleksikan diri tiap individu dari
penilaian sudut pandang atau pendapat orang lain, dan teori interaksionisme

11
simbolis adalah salah satu cabang dalam teori sosiologi yang mengemukakan
tentang diri sendiri (The-Self) dan dunia luarnya.
3) Masyarakat (Society) adalah jejaring hubungan sosial yang diciptakan,
dibangun, dan dikonstruksikan oleh tiap individu ditengah masyarakat, dan tiap
individu tersebut terlibat dalam perilaku yang mereka pilih secara aktif dan
sukarela, yang pada akhirnya mengantarkan manusia dalam proses
pengambilan peran di tengah masyarakatnya.

Tiga tema konsep pemikiran George Herbert Mead yang mendasari interaksi
simbolik antara lain:

• Pentingnya makna bagi perilaku manusia.


• Pentingnya konsep mengenai diri
• Hubungan antara individu dengan masyarakat
Tema pertama pada interaksi simbok berfokus pada pentingnya membentuk
makna bagi perilaku manusia,dimana dalam teori interaksi simbolik tidak bisa
dilepaskan dari proses komunikasi, karena awalnya makna itu tidak ada artinya,
sampai pada akhirnya di konstruksi secara interpretatif oleh individu melalui
proses interaksi, untuk menciptakan makna yang dapat disepakati secara bersama.

Hal ini sesuai dengan tiga dari tujuh asumsi karya Herbert Blumer (1969)
dalam West-Turner (2008: 99) dimana asumsi-asumsi itu adalah sebagai berikut:

a) Manusia bertindak terhadap manusia lainnya berdasarkan makna yang


diberikan orang lain kepada mereka.
b) Makna diciptakan dalam interaksi antar manusia.
c) Makna dimodifikasi melalui proses interpretif.
Tema kedua pada interaksi simbolik berfokus pada pentingnya ”Konsep diri”
atau ”Self-Concept”.Dimana, pada tema interaksi simbolik ini menekankan pada
pengembangan konsep diri melalui individu tersebut secara aktif, didasarkan pada
interaksi sosial dengan orang lainnya. Tema ini memiliki dua asumsi tambahan,
menurut LaRossan & Reitzes (1993) dalam West-Turner (2008:101), antara lain:

1) Individu-individu mengembangkan konsep diri melalui interaksi denganorang


lain.
2) Konsep diri membentuk motif yang penting untuk perilaku.
Tema terakhir pada interaksi simbolik berkaitan dengan hubungan antara
kebebasan individu dan masyarakat,dimana asumsi ini mengakui bahwa norma-
norma sosial membatasi perilaku tiap individunya, tapi pada akhirnya tiap
individu-lah yang menentukan pilihan yang ada dalam sosial kemasyarakatannya.
Fokus dari tema ini adalah untuk menjelaskan mengenai keteraturan dan perubahan
dalam proses sosial. Asumsi-asumsi yang berkaitan dengan tema ini adalah:

12
• Orang dan kelompok masyarakat dipengaruhi oleh proses budaya dan
sosial.
• Stuktur sosial dihasilkan melalui interaksi sosial.
Interaksi simbolik menanggapi sebuah inkonsistensi yang melibatkan masalah
determinisme, dimana individu tidak memiliki banyak pilihan kecuali
memandang dunia dengan cara yang sudah ditentukan, padahal dalam realitas
sebenarnya, manusia bebas untuk memilih setiap pilihannya secara aktif, dan
independen, serta pada akhirnya individu akan menseleksi setiap pilihan yang
terbaik untuk dirinya, tanpa dibatasi oleh aturan yang mengikat.
Ciri khas dari interaksi simbolik terletak pada penekanan manusia dalam proses
saling menterjemahkan, dan saling mendefinisikan tindakannya, tidak dibuat
secara langsung antara stimulus-response, tetapi didasari pada pemahaman makna
yang diberikan terhadap tindakan orang lain melalui penggunaan simbol-
simbol,interpretasi, dan pada akhirnya tiap individu tersebut akan berusaha saling
memahami maksud dan tindakan masingmasing, untuk mencapai kesepakatan
bersama.

C. PERSPEKTIF TEORI STRUKTURASI


Teori Strukturasi adalah teori yang memadukan agen dan struktur. Hubungan
antara agen dan struktur tersebut berupa relasi dualitas yang kedua unsurnya saling
menunjang. Dualitas tersebut tejadi dalam praktik sosial yang berulang dan terpola
dalam lintas ruang dan waktu.
Hukum merupakan sarana untu mengatur kehidupan social, namun satuhal
yang menarik adalah justru hukum tertinggal dibelakang objek yang diaturnya,
dengan demikian selalu terdapat gejala bahwa antara hukum dan perilaku sosial
terdapat suatu jarak perbedaan yang sangat mencolok. Apabila hal ini terjadi, maka
akan timbul ketegangan yang semestinya segera disesuaikan supaya tidak
menimbulkan ketegangan yang berkelanjutan, tetapi usaha kearah ini selalu
terlambat dilakukan. Semenstinya pada waktu itulah dapat ditunjukkan adanya
hubungan yang nyata diantara perubahan social dan hukum yang mengaturnya,
sebab perubahan hukum akan terjadi apabila sudah bertemunya dua unsur pada
titik singgung yaitu adanya suatu keadaan baru dan adanya kesadaran akan
perlunya perubahan pada masyarakat yang bersangkutan.
Menurut Sadjipto raharjo, Hukum adalah sebuah tatanan (Hukum ada dalam
sebuah tatanan yang paling tidak dapat dibagi kedalam tiga yaitu : tatanan
transedental, tatanan sosial dan tatanan politik.) yang utuh (holistik) selalu
bergerak, baik secara evolutif maupun revolusioner. Sifat pergerakan itu
merupakan sesuatu yang tidak dapat dihilangkan atau ditiadakan, tetapi sebagai
sesuatu yang eksis dan prinsipil.
Sadjipto juga mengungkapkan pengaruh pemegang peran penegakan hukum
dalam perspektif sosiologis sangat menentukan proses dan hasil akhir dari

13
penegakan hukum itu. Di dalam konteks pentingnya pemegang peran inilah
Satjipto Rahardjo mengintrodusir konsep penegakan hukum progresif; sebuah
konsep yang asumsi-asumsinya sarat dengan pandangan dari pendekatan sosial
terhadap hukum.
Ketegangan analisis antara tataran pelaku (agency) dan tataran struktu
(structure) telah lama menjadi perbincangan hangat dikalangan para ilmuwan
sosial. Anthony Giddens berusaha menjembatani dualisme tersebut dengan
memilih titik temu diantara keduanya dengan mengemukakan Teori Strukturasi.
Giddens menyatakan bahwa “tidak ada struktur tanpa pelaku, sebagaimana tidak
ada tindakan tanpa struktur”.Struktur, masih menurut Giddens, adalah aturan
(rules) dan sumberdaya (resources) yang terbentuk dari dan membentuk
perulangan praktik sosial. Dualisme struktur dan pelaku terletak dalam proses
dimana struktur sosial merupakan hasil (outcome) dan sekaligus sarana (medium)
praktik sosial.

Pandangan yang sedikit berbeda diberikan oleh Lawrence M. Friedman yang


mengartikulasikan struktur sebagai“skeletal framework; it is the permanent shape,
the institutional body of the system, the tough, rigid bones that keep the process
flowing within bones”Jika berbicara mengenai struktur sistem hukum di Indonesia,
maka didalamnya termasuk struktur institusi-institusi penegakan hukum, seperti
kepolisian,kejaksaan, dan pengadilan. Termasuk juga dalam hal ini hierarki
peradilan umum di Indonesia, mulai dari yang terendah adalah pengadilan negeri
hingga yang tertinggi adalah Mahkamah Agung RI, jumlah dan jenis pengadilan
serta yurisdiksinya.
Kedudukan peraturan perundangundangan dalam sistem hukum, masih
menurut Friedman, bukan bagian dari struktur hukum, melainkan termasuk bagian
dari substansi (substance) yang diartikan sebagai “substantive rules and rules
about how institutions should be have”Substansi dalam konsep Friedman tersebut
dapat juga berarti pola perilaku nyata manusia yang berada dalam sistem itu.
Substansi disatu sisi diapahami sebagai produk yang dihasilkan dalam sistem
tersebut (law in the books), dan di sisi lain juga dapat dipahami sebagai living law
(hukum yang secara nyata hidup ditengah-tengah masyarakat).
Mendasarkan pada strukturasi tersebut, penelitian ini berusaha untuk memecah
paradigma yang selama ini berkembang bahwa “pelaku” dan “perilaku” adalah
satu-satunya unsur determinan dalam pembahasan mengenai penegakan hukum.
Pada akhirnya peraturan perundang-undangan jugalah, sebagai bagian dari struktur
hukum, yang memberikan corak otoritas pada kekuasaan penegak hukum, untuk
menjalankan perannya sebagai pengawal undang-undang, termasuk juga
wewenang diskresi yang meskipun diberikan dalam kerangka kebebasan
mengambil keputusan, tetap saja tidak bisa dilepaskan dari corak otoritas yang
diberikan peraturan perundang-undangan.derung menganut system hukum yang

14
positifistik memberikan batasan diskresi yang Kewenangan untuk
menyampingkan perkara pidana itu sendiri dikenal sebagai perwujudan asas
oportunitas yang hanya dimiliki oleh Jaksa Agung. Dalam praktiknya pun
sebenarnya di tingkat penyidikan kepolisian sering terbentur dengan tata acara
pidana formil apabila hendak mengesampingkan sebuah perkara pidana, diskresi
yang dimiliki oleh polisi tidak melingkupi kewenangannya untuk menilai sebuah
perkara untuk terus dilanjutkan atau dihentikan, takarannya hanya terbatas pada
bukti tindak pidana yang cukup. Apabila ada bukti telah terjadi sebuah tindak
pidana, polisi akan terus meneruskan perkara tersebut.
Sistem hukum dalam sifatnya sebagai sistem terbuka rentan terhadap
perubahan, tetapi dengan adanya struktur yang memberikan corak identitas kepada
sistem, maka sistem dapat bertahan sebagai satu kesatuan. Sistem hukum Indonesia
sekalipun mengalami perubahan-perubahan, tetap merupakan sistem hukum
Indonesia.

Pada tataran ini lah konsep Giden dapat di terjemahkan dalam kontek
ketimpangan penegakan hukum di Indonesia jika dikaitkan dengan perbedaan
dalam struktur sosial,penguasaan ekonomi, serta otoritas politik. Yang kemudian
secara praktik terjadi perubahan yang signifikan oleh pemegang otoritas terhadap
Struktur Pembenaran atau Legitimasi (legitimation) yang terkait penegakan hukum
di Indonesia dalam rangka mengubah rutinitas tindakan sosial yang akan turut
membentuk struktur hukum dalam sistem penegakan hukum.
Tema definisi yang berulang dalam literatur sosiologi terhadap perubahan
sosial menekankan perubahan (alterations) dalam struktur dan fungsi dari
masyarakat dan perubahan dalam hubungan sosial dari waktu ke waktu. Tanpa
penjelasan selanjutnya, hal ini bukan konsep yang bisa membantu usaha untuk
mencoba mengerti apa yang dimaksud denganperubahan. Selain itu, ketika kita
membahas tentang hubungan antara hukum dan perubahan sosial, dan memandang
hukum sebagai instrumen dari perubahan sosial, maka akan sangat membantu bila
kita bisa menspesifikasikan identitas dari perubahan, di tingkatan yang sedang
terjadi di masyarakat, arahnya, besarannya, dan laju kecepatannya.

15
3. URGENSI DAN JUSTIFIKASI KEHADIRAN HUKUM DI DALAM
INTERAKSI SOSIAL MASYARAKAT
Tidak dapat dipungkiri bahwa masyarakat, adalah sekumpulan individu yang
tentunya memiliki karakter berbeda, karena perbedaan karakter tersebut maka
manusia membutuhkan sebuah aturan yang dapat menselaraskan perbedaan itu.
Aturan yang dimaksud kemudian sering disebut hukum. Berkenaan dengan
eksistensi masyarakat sebagai kelompok manusia yang mempunyai hasrat hidup
damai, tentram dan aman seorang filosof bernama Cicero sekitar 2000 tahun yang
lalu mengungkapkan suatu adigium ubi societas ibi ius, dimana ada masyarakat di
situ ada hukum. Masyarakat dalam keadaan bagaimanapun, mulai dari masyarakat
sederhana sampai yang paling modern pastilah mempunyai sistem hukum yang
mengatur satu dengan yang lain. Walaupun demikian dalam hubungan inilah Frans
E.Likaja mengungkapkan, adagium ubi societas ibi ius pada masa sekarang sudah
mengalami perkembangan. Di tengah hutan belantara yang tidak dihuni manusia,
ternyata hukumpun ada dengan mengatur fenomena alam.
Pentingnya hukum bagi kehidupan masyarakat, karena unsur-unsur pokok
yang ada di dalam masyarakat itulah yang menghendakinya. Unsur-unsur pokok
yang dimaksud adalah (1) Setiap individu manusia mempunyai hasrat untuk hidup
bersama; (2) Hidup dan kehidupan bersama dalam masyarakat merupakan suatu
kesatuan yang bersifat menyeluruh; dan (3) Hidup dan kehidupan bermasyarakat
merupakan suatu sistem dan tiap-tiap sub-sistem saling pengaruh-mempengaruhi.

16
Di Indonesia, posisi hukum dalam kehidupan berbangsa, bernegara dan
bermasyarakat belum berada pada tempat dan posisis yang semestinya. Hukum
masih berada dalam bayang-bayang politik dan kekuasaan. Sebuah kebijakan publik
dari semua lapisan kehidupan ini, termasuk dalam bidang pembangunan
ekonomi,sangat dipengaruhi oleh keompok-kelompok kepentingan tertentu. Besar
kecil pengaruhnya ditentukan oleh kesamaan paradigma hukum dari keompok
kepentingan tersebut.
Hidup masyarakat ditata berdasarkan norma-norma sosial dan peraturan-
peraturan institusional yang mapan. Perilaku seorang warga masyarakat dituntun
oleh norma-norma sosial yang mendefenisikan apa yang hendak dilakukannya dalam
berbagai situasi. Namun bentukbentuk kehidupan sosial tidak selamanya berjalan
normal sesuai dengan norma-norma sosial serta peraturan-peraturan institusional
yang ada. Hal ini tampak jelas dalam perilaku kolektif.Yang dimaksud dengan
perilaku kolektif adalah berfikir, berasa dan bertindak yang berkembang dikalangan
sebagian besar warga masyarakat dan yang relatif baru tidak terdefinisikan dengan
baik. Sejarah manusia penuh dengan episode-episode yang ditandai dengan
perampasan-perampasan kolektif, serangan-serangan kelompok, delusi-delusi dan
kegilaan-kegilaan massa, dan patologi-patologi kelompok. Memang sejak zaman
kuno, tidak sedikit orang yang mencampakkan diri mereka sendiri ke dalam berbagai
tipe perilaku massa,termasuk dalam keresahan sosial, kerusuhan sosial, panik sosial,
pembunuhan massa dan dalam berbagai pemberontakan.
Hal tersebut di atas tidak bisa dinafikan karena kehidupan masyarakat yang
mejemuk tentunya dituntut untuk mengalami perubahan karena pada dasarnya
perubahan itu adalah sebuah keharusan, seperti yang disampaikan message Ilahi
dalam al-Quran bahwa “sesungguhnya Tuhan tidak merubah suatu kaum kecuali
mereka yang merubah dirinya,”terlepas dari apakah perubahan itu membawa
kemaslahatan atau kemudaratan yang jelasnya dinamika kehidupan manusia sebagai
mahluk sosial tentunya mengalami pasang surut.
Peran hukum sangat penting bagi manusia sebagai pemberi makna atas
kehidupan manusia itu sendiri. Peranan yang paling mendasar dari hukum adalah
menjamin keadilan dan kebenaran dalam tatanan sosial. Oleh karena itu dalam ranah
etika, hukum dihargai dan pembatasnnya dibenarkan.
Hukum dibentuk untuk menjaga keseimbangan kepentingan masyarakat,
sehingga tercipta ketertiban dan keadilan yang dapat dirasakan oleh semua orang
dalam masyarakat yang bersangkutan.Bahkan dalam mazhab sejarah dinyatakan
bahwa keseluruhan hukum sungguh-sunguh terbentuk melalui kebiasaan dan
perasaan kerakyatan, yaitu melalui pengoperasian kekuasaan secara diam-diam.
Hukum berakar pada sejarah, di mana akarnya dihidupkan oleh kesadaran,
keyakinan dan kebiasaan warga masyarakat.
Eksistensi dan peranan hukum itu merupakan perwujudan lebih lanjut dari tujuan
hakiki dari setiap negara, yaitu menciptakan kesejahteraan dan keamanan bagi warga
masyarakatnya. Menurut konsep negara kesejahteraan (welvaartstaat), negara harus

17
ikut campur tangan secara aktif dalam menyelenggarakan kesejahteraan warga
masyarakat. Bahkan hukum pun harus ikut campur tangan dalam mengatur
penyelenggaraan berbagai upaya kesejahteraan, seperti kesehatan, pendidikan dan
kebutuhan publik lainnya.
Roscou Pound yang merupakan pionir dari aliran sociological jurisprudences
berpendapat bahwa hukum harus dilihat sebagai suatu hubungan kemasyarakatan
yang berfungsi untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan sosial. Selanjutnya Roscou
Pound berpendapat bahwa hukum itu merupakan a tool of social engineering yang
terjemahannya hukum sebagai pranata sosial atau hukum sebagai alat untuk
membangun masyarakat.
Dalam hukum terdapat asas everyone equal before the law (semua orang
berkedudukan sama di hadapan hukum). Ini berarti semua orang berhak
mendapatkan keadilan yang seyogyanya dijamin oleh hukum itu sendiri, sebab
keadilan itu merupakan inti dan hakikat hukum. Kepentingan warga negara terutama
untuk mendapatkan keadilan seyogyanya dijamin kelangsungannya oleh hukum
yang dalam pelaksanaannya dilakukan oleh aparat penegak hukum. Dalam negara
hukum yang mencita-citakan keadilan telah dimainkan menjadi negara undang-
undang yang menekankan ketertiban semata.
Asas tersebut di atas juga dianut oleh Undang-undang Dasar Tahun 1945 dalam
pasal 27 ayat (1) yang menegaskan bahwasegala warga negara bersamaan
kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan,dan wajib menjungjung hukum
dan pemerintahan itu dengan tidak ada pengecualiannya. Ketentuan dalam
Undangundang dasar ini jelas sekali, bahwa hukum tidak membeda-bedakan semua
warga negara dalam wilayah Republik Indonesia, meskipun kenyataannya ada
lapisan-lapisan sosial dalam masyarakat Indonesia.
Pekerjaan rumah yang masih harus dikerjakan oleh Indonesia sebagai suatu
negara hukum adalah bagaimana agar hukum itu membumi, artinya
sungguhsungguh dapat menyejahterakan masyrakat dan yang pada akhirnya
menyadari bahwa kita bernegara hukum untuk membuat rakyat merasa bahagian
hidup dalam negara hukum Indonesia. Unsur rakyat sangat konkret rakyatlah yang
memiliki kepentingan agar negara itu dapat berjalan dengan baik.
Harus disadari bahwa memposisikan hukum sungguh-sungguh sebagai
penyeimbang kepentingan manusia Indoensia sangat tergantung dari kemauan
politik (political will) pemerintahnya (dalam hal ini pemerintah Indoensia) yang baik
dan berpihak kepada semua manusia Indonesia. Pemerintah dalam hal ini mulai dari
pemerintah pusat sampai dengan pemrintah tingkat provinsi dan tingkat
kabupaten/kota. Tentu yang diharapkan adalah adanya pemerintah yang baik, yaitu
pemerintah berpihak kepada rakyatnya dan hal tersebut harus terlihat dalam undang-
undang yang dibuat, yaitu undang-undang yang dapat meningkatkan kesejahteraan
dan keadilan bagi rakyatnya. Untuk pemerintah tingkat provinsi dan kabupaten/kota
keberpihakan itu harus terlihat dari pertauran daerah yang dapat memberdayakan
kesejahteraan dan keadilan masyarakatnya.

18
Pemerintahan yang baik sering diterjemahkan dengan “Good Government
” yaitu suatu kesepakatan menyangkut pengaturan negara yang diciptakan
bersama oleh pemerintah, masyarakat madani (civil society) dan sektor swasta.
Kesepakatan tersebut mencakup keseluruhan bentuk mekanisme, proses dan
lembaga-lembaga di mana warga dan kelompok masyarakat mengutamakan
kepentingannya, menggunakan hak hukum, memenuhi kewajiban dan menjembatani
perbedaan di antara mereka.
Akan tetapi dalam kenyataannya tidak selalu asas hukum tersebut di atas
terlaksana dengan baik. Banyak hambatan yang menyebabkan asas hukum itu tidak
terlaksana dengan baik. Menyikapi kondisi yang demikian itu, Esmi Warassih
mengatakan bahwa dalam kenyataannya hukum sering disalahguhnakan terutama
untuk mempertahankan status quo dan kepentingan-kepentingan kelompok tertentu.
Kecenderungan seperti ini semakin kuat disebabkan oleh paradigma pembangunan
hukum yang digunakan selama ini lebih berorietasi kepada kekuasaan.
Hasil penelitian Rikky Ermawan Syahputra menunjukkan bahwa hukum itu
ternyata “bergerak” dan dinamis, yang berarti hukum itu tidak hanya berhenti pada
peraturan yang ada, namun lebih dari itu, dari tahap peraturan itu dibuat sampai pada
peraturan itu selesai dan disahkan, ada terselip sesuatu yang bernama “kepentingan”
(orang atau kelompok tertentu). Pada hakikatnya kehadiran hukum dalam
masyarakat adalah untuk mengintegrasikan dan mengkoordinasikan
kepentingankepentingan orang dalam masyarakat yang kerap kali berbenturan satu
sama lainnya. Pengkoordinasian kepentingan tersebut dilakukan dengan membatasi
dan melindungi kepentingan-kepentingan tersebut.Namun pada kenyataannya
kepentingan bersama yang menjadi tujuan dari dibentuknya hukum, dikalahkan oleh
kepentingan yang mengatasnamakan pribadi dan golongan.
Fungsi hukum lainnya yaitu hukum sebagai a tool of social control (fungsi
hukum sebagai alat pengendalian sosial).Fungsi hukum sebagai alat pengendalian
sosial maka hukum itu bertugas untuk menjaga agar masyarakat tetap dapat berada
di dalam pola-pola tingkah laku yang telah diterima olehnya. Di dalam peranannya
yang demikian ini, hukum hanya mempertahankan apa saja yang telah menjadi
sesuatu yang tetap dan diterima dalam masyarakat atau hukum sebagai penjaga
status quo, tetapi di luar itu hukum masih dapat menjalankan fungsinya yang lain,
yaitu denga tujuan utuk mengadakan perubahan-perubahan di dalam masyarakat.
hukum juga berfungsi sebagai mekanisme untuk integrasi. Talcott Parson
menempatkan hukum sebagai salah satu sub sistem dalam sistem sosial yang lebih
besar.Di samping hukum terdapat sub-sub sistem lain yang memiliki logika dan
fungsi yang berbeda-beda. Sub-sub sistem dimaksud adalah budaya, politik dan
ekonomi.Budaya berkaitan dengan nilai-nilai yang dianggap luhur dan mulia, dan
oleh karena itu harus dipertahankan. Sub sitem ini berfungsi mempertahankan pola-
pola ideal dalam masyarakat. Hukum menunjuk pada aturan-aturan sebagai aturan
main bersama (rule of the game) fungsi utama sub sistem ini mengkoordinir dan
mengontrol segala penyimpangan agar sesuai dengan aturan main. Politik

19
bersangkut paut dengan kekuasaan dan kewenangan. Tugasnya adalah
pendayagunaan kekuasaan dan kewenangan untuk mencapai tujuan. Sedangkan
ekonomi menunjuk pada sumber daya material yang dibutuhkan menopang hidup
sistem. Tugas sub sistem ekonomi adalah mejalankan fungsi adaptasi berupa
kemampuan menguasai saransarana dan fasilitas utuk kebutuhan system.
Dalam pengertiannya yang paling konkret, perubahan sosial berarti
kebanyakan orang terlibat dalam kegiatan-kegiatan kelompok dan hubungan-
hubungan kelompok yang berbeda dengan apa yang telah mereka lakukan atau apa
yang telah orangtuanya lakukan sebelumnya. Masyarakat adalah suatu jaringan
kompleks dari pola-pola hubungan dimana semua orang berpartisipasi dengan
derajat keterkaitannya masing-masing. Hubungan-hubungan ini berubah dan
perilaku juga berubah pada saat yang sama. Individu-individu dihadapkan dengan
situasi baru yang harus mereka respons. Situasi-situasi ini merefleksikan faktor-
faktor tertentu seperti teknologi, cara baru untuk mencari penghasilan, perubahan
tempat domisili, dan inovasi baru, ide baru, serta nilai-nilai baru. Sehingga,
perubahan sosial adalah perubahan bagaimana orang bekerja, membesarkan anak-
anaknya, mendidik anak-anaknya, menata dirinya sendiri, dan mencari arti yang
lebih dari kehidupannya. Perubahan sosial juga bisa berarti suatu restrukturisasi
dalam cara-cara dasar dimana orang di dalam masyarakat terlibat satu dengan
lainnya mengenai pemerintahan, ekonomi, pendidikan, agama, kehidupan keluarga,
rekreasi,bahasa, dan aktivitas-aktivitas lainnya.
Dalam masyarakat modern, peranan hukum dalam perubahan sosial lebih
daripada hanya interest teoritis saja. Dalam banyak bidang kehidupan sosial, seperti
pendidikan, hubungan rasial, perumahan, transportasi, penggunaan energi, dan
perlindungan lingkungan, hukum telah disandari sebagai instrumen perubahan yang
penting. Di Amerika Serikat, hukum telah digunakan sebagai mekanisme utama
untuk meningkatkan posisi politik dan sosial kaum kulit hitam (blacks). Sejak tahun
1960, pengadilan dan Kongres telah membatalkan sistem kasta rasial yang termaktub
(embedded) di dalam hukum dan yang telah dipraktekkan selama beberapa generasi.
Orde lama telah disapu bersih oleh legislasi, termasuk Undang-Undang Persamaan
Hak tahun 1964 (Civil Rights Act of 1964) dan Undang-Undang Hak Pemilihan
tahun 1965 (Voting Rights Act of 1965), diikuti dengan komitmen milyaran dollar
untuk program kesejahteraan sosial.
Begitu pula di negara-negara Eropa Timur, hukum telah menjadi instrumen
penting untuk mentransformasikan masyarakat sejak Perang Dunia II dari
masyarakat borjuis ke masyarakat sosialis. Perundangan hukum telah memulai dan
meligitimasi pengaturan ulang dalam hal properti (hak rumah, tanah) dan hubungan
kekuasaan, mentransformasikan institusi sosial dasar seperti pendidikan dan
pelayanan kesehatan, dan membuka jalan raya baru untuk mobilitas sosial bagi
segmen besar dari populasi. Legislasi telah mengarahkan pengaturan kembali
produksi pertanian dari kepemilikan pribadi ke pertanian kolektif, pembuatan kota-
kota baru,dan pengembangan ala sosialis dari ekonomi produksi, distribusi, dan

20
konsumsi. Perubahanperubahan ini, pada gilirannya akan mempengaruhi nilai-nilai,
kepercayaan, pola sosialisasi, dan struktur hubungan sosial.
Dror mengatakan bahwa “hukum memainkan peranan tak langsung dalam
perubahan sosial dengan membentuk berbagai institusi sosial, yang pada gilirannya
mempunyai dampak langsung terhadap masyarakat“. Ia menggunakan ilustrasi
sistem wajib belajar yang memainkan peranan penting tidak langsung dalam
perubahan dengan memperkuat operasi institusi-institusi pendidikan, yang pada
gilirannya akan memainkan peranan langsung dalam perubahan sosial. Ia
menekankan bahwa hukum berinteraksi secara langsung dalam banyak kasus dengan
institusi-institusi sosial, membentuk adanya hubungan langsung antara hukum dan
perubahan sosial. Sebagai contoh, hukum yang diundangkan untuk melarang
poligami mempunyai pengaruh besar langsung terhadap perubahan sosial, dengan
tujuan utamanya perubahan dalam pola-pola perilaku yang penting. Namun ia
mewanti-wanti, bahwa perbedaannya tidaklah absolut tapi relatif : pada banyak
kasus penekanannya lebih kepada dampak langsung dan kurang pada dampak tidak
langsung terhadap perubahan sosial, yang dalam kasus lainnya hal kebalikannya
yang berlaku”.
Di sisi lain Achmad Ali mengungkapkan, bahwa ada dua hal yang penting yang
berhubungan dengan perubahan-perubahan hukum dan perubahan-perubahan
masyarakat yaitu:
a) Perubahan masyarakat harus mendapatkan penyesuain oleh hukum. Dengan kata
lain; hukum menyesuaikan diri dengan perubahan masyarakat dan ini
menunjukkan sifat pasif hukum
b) Hukum berperan untuk menggerakkan masyarakat menuju suatu perubahan yang
terencana. Disini hukum berperan aktif, dan inilah yang sering disebut sebagai
fungsi hukum a tool of social engineering, sebagai alat rekayasa masyarakat.
Pengakuan (recognition) peranan hukum sebagai suatu instrumen dari
perubahan sosial telah semakin menguat di masyarakat kontemporer. “Hukum-
melalui respons legislatif dan administratif terhadap kondisi-kondisi sosial dan ide-
ide baru, selain melalui interpretasi kembali dari konstitusi, statuta atau preseden-
secara meningkat tidak hanya mengartikulasikan /mengambil peranan penting tetapi
juga menentukan arah dari perubahan-perubahan sosial besar“ Sehingga,
“Perubahan sosial yang dicoba, melalui hukum, adalah suatu jejak (trait) dasar dari
dunia modern“.
Dengan demikian, menjadi semakin jelas bahwa hukum dan perubahan sosial
memiliki korelasi yang sangat erat karena di antara hukum dan perubahan sosial
mempunyai saling ketergantungan. Pada satu sisi perubahan-perubahan sosial harus
seiring dengan kaidah-kaidah hukum, dan pada sisi yang lain justru kaidah-kaidah
hukum yang harus menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan sosial tertentu.
Masyarakat sederhana dan modern sangat membutuhkan sistem hukum yang
mengatur interaksi antara satu dengan yang lain. Hidup masyarakat ditata
berdasarkan norma-norma sosial dan peraturan-peraturan institusional yang mapan.

21
Namun bentuk-bentuk kehidupan sosial tidak selamanya berjalan normal sesuai
dengan norma-norma sosial serta peraturanperaturan institusional yang ada. Dengan
demikian perubahan sosial merupakan suatu keniscayaan dalam masyarakat.
Perubahan sosial erat kaitannya dengan hukum. Hukum memiliki korelasi yang
sangat erat dengan perubahan sosial karena diantara hukum dan perubahan sosial
mempunyai saling ketergantungan. Pada satu sisi perubahan-perubahan sosial harus
seiring dengan kaidah-kaidah hukum, dan pada sisi yang lain justru kaidah-kaidah
hukum yang harus menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan sosial tertentu.

DAFTAR PUSTAKA

Anwar dan Adang, Pengantar Sosilogi Hukum, PT. Grasindo, Jakarta, 2008, hlm, 109.
Zainudin Ali, Sosiologi Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2006, hlm, 1-2

Roger Cotterrel, Sosiologi Hukum (The Sosiologi Of Law), Nusa Media, Bandung,
2012, hlm. 6

Sosiologi Hukum : Pendekatan Sosial dan Hukum Juni 15, 2018dalam "Artikel Bebas
Sosiologi Hukum"

Sosiologi Hukum Menurut Karl Marx dan Realitasnya di IndonesiaJuni 2, 2018dalam


"Artikel Bebas Sosiologi Hukum"

Sosiologi HukumMaret 21, 2018dalam "Artikel Bebas Sosiologi Hukum"


Soerjono. Pokok-pokok Sosiologi Hukum. Cet. VII; Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
1994.
Ali, Achmad. Mempelajari Kajian Empiris Terhadap Hukum. Cet. I; Jakarta: Yasrif
Watampone, 1998.
Dr H.Ishaq, S.H, M.Hum “dasar dasar ilmu hukum”, sinar grafika, Jakarta:2016. Hal:
272

Dr H.Ishaq, S.H, M.Hum “dasar dasar ilmu hukum”, sinar grafika, Jakarta:2016. Hal:
277-278

Craib, I. (1986). Teori-teori Sosiologi Modern. Jakarta: Rajawali.


Dellyana, S. (1988). Konsep Penegakan Hukum. Yogyakarta: Liberty.

22
Emeritus, dkk. (2012). Hukum Sebagai Suatu Sistem. Bandung: Fikahati Anesta.

Friedman, L. M. (2001). American Law An Introduction. Penerjemah Wisnu Basuki.


Jakarta: Tatanusa.

Kristiana, Y. (2009). Menuju Kejaksaan Progresif: Studi tentang Penyelidikan,


Penyidikan, dan Penuntutan Tindak Pidana. Yogyakarta: LSHP.

Manan, B. (2005). Sistem Peradilan Berwibawa. Yogyakarta: FH UII Press.


Rahardjo, S. (1982). Ilmu Hukum. Bandung: Alumni.

Rahardjo, S. (2006). Sisi-Sisi lain dari Hukum di Indonesia. Jakarta: Kompas.


Rahardjo, S. & Tabah, A. (1993). Polisi, Pelaku dan Pemikir. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama.

Rasyidi, L. & Putra, I.B.W. (1993). Hukum Sebagai Suatu Sistem. Bandung: Rosda
Karya.

Rianto, A. (2012). Sosiologi Hukum Kajian Hukum Secara Sosiologis. Jakarta: Yayasan
Obor.

Ritzer, G. & Douglas, J. G, (2005). Teori Sosiologi Modern. Jakarta: Prenada Media.
Soekanto, S. (1982). Kesadaran Hukum & Kepatuhan Hukum. Jakarta: CV Rajawali.

Soekanto, S. (2008). Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. Jakarta:


Raja Grafindo Persada.

Syahrani, R. (1991). Himpunan Peraturan Hukum Acara Perdata Indonesia. Bandung:


Alumni.

Artikel Jurnal
Atmadja, H. T. (2003). Perlindungan Hak Cipta Musik Atau Lagu di Indonesia. Jurnal
Hukum dan Pembangnan, 33 (2).
Latipulhayat, A. (2014). Khazanah: Mochtar Kusumaatmadja. Padjadjaran Jurnal Ilmu
Hukum, 1 (3).
Mubayyinah, F. (2016). Memotret Penegakan Hukum di Indonesia. Al Hikmah, Jurnal
Studi Keislaman, 6 (1).
Sanyoto. (2008). Penegakan Hukum di Indonesia. Jurnal Dinamika Hukum,. 8 (3).
Suhardin, Y. (2009). Fenomena Mengabaikan Keadilan Dalam Penegakan Hukum.
Jurnal Mimbar Hukum, 21 (2).
Suparman, A. (2013). Penegakan Hukum terhadap Penyelenggaraan Pelayanan Publik.
Jurnal Wawasan Hukum, 29 (1).

23
Juwana, H. (tt). “Teori Hukum”, Jakarta: Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum,
Universitas Indonesia.
Artikel Jurnal Atmadja, H. T. (2003). Perlindungan Hak Cipta Musik Atau Lagu di
Indonesia. Jurnal Hukum dan Pembangnan, 33 (2).
Latipulhayat, A. (2014). Khazanah: Mochtar Kusumaatmadja. Padjadjaran Jurnal Ilmu
Hukum, 1 (3). Mubayyinah, F. (2016). Memotret Penegakan Hukum di Indonesia.
Al Hikmah, Jurnal Studi Keislaman, 6 (1)

Novita, R. A., Prasetyo, A. B. & Suparno. (2017). Efektivitas Pelaksanaan Undang-


Undang Nomor 2 Tahun 1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil Tanah Pertanian
(Tanah Kering) di Desa Bringin, Kecamatan Bayan, Kabupaten Purworejo.
Diponegoro Law Journal, 6 (2).
Sanyoto. (2008). Penegakan Hukum di Indonesia. Jurnal Dinamika Hukum,. 8 (3).

Suhardin, Y. (2009). Fenomena Mengabaikan Keadilan Dalam Penegakan Hukum.


Jurnal Mimbar Hukum, 21 (2).

Suparman, A. (2013). Penegakan Hukum terhadap Penyelenggaraan Pelayanan Publik.


Jurnal Wawasan Hukum, 29 (1).

24

Anda mungkin juga menyukai