Anda di halaman 1dari 140

Oi Tidak Etis

ahmi Rizani

International Research
and Development for Hum an Beings
IRDH
PERILAKU TIDAK ETIS DAN KECURANGAN
DALAM DUNIA EKONOMI

Oleh:

FAHMI RIZANI

International Research and Development for Human Beings

Malang

2018
Penulis : Dr. Fahmi Rizani, MM., Ak., CA., CPA
ISBN : 978-602-6672-57-5
Editor : Mohammad Archi Maulyda, S.Pd.
Penyunting : Cakti Indra Gunawan, SE., MM., Ph.D
Layout & Cover : Bayu Febri Basudewo

Cetakan Pertama, Januari 2018

Diterbitkan oleh:

CV. IRDH (Research & Publishing)


Anggota IKAPI No. 159-JTE -2017
Office: Jl. A. Yani Gg. Sokajaya 59 Purwokerto
New Villa Bukit Sengkaling C9 No.1 Malang
HP. 081 357 217 319 WA. 089 621 424 412
www.irdhcenter.com
email: irdhresearch@gmail.com

Sanksi Pelanggaran Pasal 27 Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002


Tentang Hak Cipta:
1) Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan
sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (1) atau pasal 49 ayat (1)
dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling
singkat 1 (satu) bulan dan atau denda paling sedikit Rp 1.000.000,00
(satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun
dan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar
rupiah).
2) Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan,
mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang
hasil pelanggaran hak cipta atau hak terkait sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima)
tahun dan/atau denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus
juta rupiah).

ii
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan kepada Allah SWT atas segala limpahan
rahmat, petunjuk, serta berkah kesehatan dan kemampuan sehingga kami dapat
menyelesaikan penyusunan buku berjudul “Perilaku Tidak Etis dan
Kecurangan dalam Dunia Ekonomi” yang merupaka hasil buah pikir penulis
yang resah melihat situasi dan kondisi yang terjadi di dunia ekonomi
khususnya di Indonesia.
Masih maraknya oknum-oknum dalam dunia ekonomi yang melakukan
kecurangan merupakan sebuah cerminan bagaimana wajah ekonomi Indonesia
saat ini. Buku ini akan mengulas secara luas baik dalam skala nasional maupun
global berkaitan dengan perilaku tidak etis dan kecurangan yang dilakukan
dalam dunia ekonomi.
Kami menyadari bahwa penyusunan buku ini masih belum sempurna.
Oleh karena itu, kami mengharapkan saran dan kritik yang bersifat
membangun dari pembaca demi menyempurnakan Buku ini. Akhir kata
penulis berharap buku ini dapat memberikan sumbangsih terhadap dunia
ekonomi khususnya pada perilaku tidak etis dan kecurangan yang masih marak
terjadi.
Banjarmasin, Januari 2018
Penulis,

Fahmi Rizani

iii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................... iii


DAFTAR ISI ................................................................................................... iv
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................ 1
1.1 Latar Belakang .............................................................................. 1
1.2 Ruang Lingkup ............................................................................ 14
BAB II DEFINISI PERILAKU TIDAK ETIS .............................................. 34
2.1 Perilaku Tidak Etis dan Kecurangan ........................................... 34
2.2 Perilaku tidak Etis dan Kecurangan di Indonesia ....................... 51
BAB III PERKEMBANGAN PERILAKU TIDAK ETIS DAN
KECURANGAN .................................................................................. 58
3.1 Perkembangan Moral .................................................................. 58
3.2 Perkembangan Perilaku Tidak Etis secara Global ...................... 64
3.3 Perkembangan Perilaku Tidak Etis di Indonesia ........................ 71
BAB IV MEKANISME TERJADINYA PERILAKU TIDAK ETIS DAN
KECURANGAN .................................................................................. 80
4.1 Penyebab Perilaku Tidak Etis dan Kecurangan .......................... 80
4.2 Jenis-Jenis Perilaku Tidak Etis dan Kecurangan ........................ 89
BAB V CARA MENGATASI PERILAKU TIDAK ETIS ......................... 103
5.1 Rambu-Rambu Perilaku Tidak Etis dalam Akutansi dan
Manajemen ................................................................................ 103
5.2 Contoh Kasus Etika dalam Dunia Akuntasi Keuangan dan
Manajemen ................................................................................ 117
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 123
GLOSARIUM .............................................................................................. 129
INDEKS ....................................................................................................... 131
TENTANG PENULIS ................................................................................. 133

iv
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Manusia sekarang berpijak pada bumi yang semakin tua. Namun ibarat
istilah yang familiar kita dengar, ”Tua-tua keladi, makin tua makin jadi” hal
ini juga terjadi di dunia kita sekarang ini. Makin tua, dunia kita semakin maju
perkembanganya. Perkembangan ini terjadi di berbagai sektor dan bidang baik
yang berkaitan langsung atau tidak langsung dengan kehidupan manusia
(Kumurur, 2008).
Perkembangan didunia terjadi hampir di semua bidang kehidupan
manusia, mulai dari teknologi, pendidikan, ekonomi, bahkan senjata nuklir dan
masih banyak aspek-aspek kehidupan manusia lain yang berkembang
mengikuti arus global abad 21.
Perkembangan bidang ilmu pengetahuan dan teknologi atau sering kita
sebut IPTEK, tidak bisa kita pungkiri banyak memberikan manfaat bagi
manusia. Misalkan sebelumnya banyak pekerjaan-pekerjaan yang menguras
kekuatan fisik cukup besar, kini kerja otot manusia ini dialihkan kepada mesin-
mesin yang bekerja secara otomatis. Nugroho (2010) memaparkan bahwa
sistem kerja robotik saat ini mulai menggeser posisi tenaga otot manusia dalam
mengerjakan suatu tugas. Bahkan dengan mengginakan sistem kerja robotik
semacam ini, tugas dapat terselesaikan lebih cepat, akurat dan tentu saja lebih
terstruktur. Menurut Martono (2012) perkembangan IPTEK dapat memberikan
dampak positif dan negatif dalam berbagai bidang kehidupan sebagai berikut:

A. Bidang Informasi dan Komunikasi


Bidang informasi dan komunikasi mengalami kemajuan yang sangat
pesat seja awal muncul hingga abad 21 ini. Dampak dari berkembangnya
teknologi tentu langsung berimbas pada perubahan perilkau manusia dalam
berbagi informasi dan berkomunikasi. Siapa yang tidak menggunakan

1
Smartphone sekarang? Hampir semua orang memiliki alat ini. Alat yang
awalnya hanya menjadi kebutuhan tersier, dan hanya dimiliki oleh kalangan
dari menengah ke atas, sudah bergeser menjadi kebutuhan pokok yang wajib
dimiliki oleh setiap orang. Semua akses informasi dan komunikasi
menggunakan Smartphone sebagai perantaranya. Surat, koran, bahkan
Televisi, tidak mampu menandingi kecepatan informasi lewat alat ini.
Contoh kecilnya saja, seperti kasus maraknya penyedia ojek online yang
bermunculan membuat kisruh antara penyedia layanan ojek online dan ojek
konvensional. Hal ini merupakan bentuk nyata dari perkembangan teknologi
dibidang informasi dan komnikasi. Seorang yang ingin menggunakan ojek,
tidak perlu lagi berjalan menuju pangkalan ojek, dimanapun dia berada dia bisa
menggunakan ojek untuk bepergian. Dari kemajuan tersebut dapat kita rasakan
dampak positipnya antara lain:
• Informasi-informasi akan lebih cepat kita terima, selain itu
perkembangan teknologi khususnya internet akan membuat informasi
yang kita dapatkan lebih akurat. Jankauan yang luas memungkinkan
kitadapat mengakses informasi dari berbagai belahan dunia , apapun itu.
Sehingga wawasan kita juga akan lebih luas.

• Melalui handphone kita dapat berkomunikasi dengan saudara atau teman


yang berada dimanapun. Dengan berkembangnya alat-alat komunkasi
serupa, diikuti pula dengan berkembangnya situs-situs jejaring sosial
yang dapat menjadi media komunikasi yang mudah dan cepat.
• Selain informasi dan komunikasi, perkembangan teknologi juga
berdampak pada kemudahan kita dalam berbagai macam hal yang terkait
administrasi baik dengan instansi pemerintahan atau swasta. Misalnya
dulu jika kita ingin mengirim uang ke keluarga kita, kita harus datang ke
Bank. Namun saat ini hal tersebit tidak perlu dilakukan, kita hanya perlu
duduk dan menggunakan Handphone kita untuk mengirimkan uang.
Selain itu dalam membayar pajak, air, listrik dan transaksi lainya, kita

2
dapat melakukanya dengan mudah dan cepat lewat Handphone kita
masing-masing.

Namun disisi lain, perkembangan IPTEK yang pesat juga dapat


memberikan dampak negatif bagi kehidupan manusia antara lain:
• Pemanfaatan jasa komunikasi oleh jaringan teroris. Seperti kasus
terorisme yang terjadi tahun lalu di kawasan Thamrin, Jakarta Pusat dan
Kampung Melayu, menurut informasi yang disampaikan Kapolda Tito
Karnavian, teroris-teroris tersebut menggunakan telegram sebagai alat
untuk berkomunikasi dan bekoordinasi. Mulai dari perencanaan sampai
pada hari pemboman dilakukan, mereka berkomunkasi lewat telegram.
Telegram dipilih karena memiliki jaringan enkripsi yang sulit dibobol
sehingga percakapan mereka akan sulit untuk dideteksi oleh pihak
kepolisian (Kompas, 2016).
• Penggunaan informasi diinternet yang tidak terbatas, juga dapat
memberikan dampak negatif bagi manusia. Informasi yang diinternet
dapat dimanfaatkan untuk hal-hal yang tidak semestinya, misalkan anak-
anak dapat dengan mudah mengakses konten-konten yang tidak sesuai
dengan usianya. Kemudian yang sering terjadi adalah menggunakan
akun-akun media sosial palsuuntuk melakukan penipuan. Modus dan
metodenya semakin lama semakin berkembang mengikuti
perkembangan teknologi yang ada. Sebelum ada Whatsapp mereka
meggunakan SMS. Setelah Whatsapp muncul dan banyak digunakan,
para penipu ini menggunakan media Whatsapp dalam melancarkan
aksinya.
• Kerahasiaan alat tes semakin terancam Melalui internet kita dapat
memperoleh informasi tentang tes psikologi, dan bahkan dapat
memperoleh layanan tes psikologi secara langsung dari internet. Hal ini
mungkin memberikan keuntungan bagi kita sebagai pengguna intenet.
Namun dampaknya sangat fatal, karena semakin banyak beredar tes

3
psikologi di internet, maka orang-orang dapat melatih dirinya dalam
menyelesaikan soal tes tersebut. Akibatnya tes psikologi ini menjadi
berkurang kevalidanya karena tidak dapat benar-benar menggambarkan
kondisi dari individu tersebut. Dengan demikian lebih ekstrim akan
banyak orang-orang yang memiliki kepribadian ganda karena dapat
memanipulasi dirinya sendiri. Dalam dunia kerja, semakin sulit juga
untuk mencari orang-orang yang sesuai dengan kriteria karena mereka
sudah dapat memanipulasi kemampuan psikologinya tersebut.
• Perkembangan IPTEK juga berdampak pada perilaku manusia
(Zamroni, 2008). Perubahan perilaku ini terjadi karena manusia menjadi
jarang bersosialisasi dengan sesamanya. Jika hal ini berjalan terus
menerus akan menyebabkan tumbuhnya sikap egois dan hanya
mementingkan diri sendiri. Hal ini menyebabkan di era global ini banyak
manusia yang saling menjatuhkan, saling membunuh karakter, berbuat
curang, mengambil jalan pintas dan sebagainya. Sikap-sikap ini
sebenarnya adalah sebuah potret dari perilaku manusia yang semakin
egois.

B. Bidang Ekonomi dan Industri


Dalam bidang ekonomi teknologi berkembang sangat pesat. Dari
kemajuan teknologi dapat kita rasakan manfaat positifnya antara lain:
• Pertumbuhan ekonomi yang semakin tinggi, tidak dpat dipungkiri bahwa
pertumbuhan IPTEK yang semakin maju berdampak pada pertumbuhan
ekonomi. Dengan adanya teknologi, banyak transaksi-transaksi dapat
terjadi dengan mudah. Hal ini menyebabkan roda perekonomian dapat
berjalan lebih baik dan positif. Hal ini juga menyebabkan terjadinya
industrialisasi diberbagai macam jenis produk.
• Produktifitas dunia industri semakin meningkat. Kemajuan teknologi
akan meningkatkan kemampuan produktivitas dunia industri baik dari
aspek teknologi industri maupun pada aspek jenis produksi. Investasi dan

4
reinvestasi yang berlangsung secara besar-besaran yang akan semakin
meningkatkan produktivitas dunia ekonomi. Di masa depan, dampak
perkembangan teknologi di dunia industri akan semakin penting. Tanda-
tanda telah menunjukkan bahwa akan segera muncul teknologi bisnis
yang memungkinkan konsumen secara individual melakukan kontak
langsung dengan pabrik sehingga pelayanan dapat dilaksanakan secara
langsung dan selera individu dapat dipenuhi, dan yang lebih penting
konsumen tidak perlu pergi ke toko.
• Persaingan dalam dunia kerja sehingga menuntut pekerja untuk selalu
menambah skill dan pengetahuan yang dimiliki. Kecenderungan
perkembangan teknologi dan ekonomi, akan berdampak pada
penyerapan tenaga kerja dan kualifikasi tenaga kerja yang diperlukan.
Kualifikasi tenaga kerja dan jumlah tenaga kerja yang dibutuhkan akan
mengalami perubahan yang cepat. Akibatnya, pendidikan yang
diperlukan adalah pendidikan yang menghasilkan tenaga kerja yang
mampu mentransformasikan pengetahuan dan skill sesuai dengan
tuntutan kebutuhan tenaga kerja yang berubah tersebut.

C. Bidang Sosial dan Budaya


• Perbedaan kepribadian pria dan wanita. Banyak pakar yang berpendapat
bahwa kini semakin besar porsi wanita yang memegang posisi sebagai
pemimpin, baik dalam dunia pemerintahan maupun dalam dunia bisnis.
Bahkan perubahan perilaku ke arah perilaku yang sebelumnya
merupakan pekerjaan pria semakin menonjol. Data yang tertulis dalam
buku Megatrend for Women : From Liberation to Leadership yang ditulis
oleh Patricia Aburdene & John Naisbitt (1993) menunjukkan bahwa
peran wanita dalam kepemimpinan semakin membesar. Semakin banyak
wanita yang memasuki bidang politik, sebagai anggota parlemen,
senator, gubernur, menteri, dan berbagai jabatan penting lainnya.

5
• Meningkatnya rasa percaya diri. Kemajuan ekonomi di negara-negara
Asia melahirkan fenomena yang menarik. Perkembangan dan kemajuan
ekonomi telah meningkatkan rasa percaya diri dan ketahanan suatu
bangsa yang menjadi lebih kuat dan tidak goyah.
• Tekanan, kompetisi yang tajam di pelbagai aspek kehidupan sebagai
konsekuensi globalisasi, akan melahirkan generasi yang disiplin, tekun
dan pekerja keras.

Meskipun demikian kemajuan teknologi akan berpengaruh negatip pada


aspek budaya:
• Kemerosotan moral di kalangan warga masyarakat, khususnya di
kalangan remaja dan pelajar. Kemajuan kehidupan ekonomi yang terlalu
menekankan pada upaya pemenuhan berbagai keinginan material, telah
menyebabkan sebagian warga masyarakat menjadi “kaya dalam materi
tetapi miskin dalam rohani”.
• Kenakalan dan tindak menyimpang di kalangan remaja semakin
meningkat semakin lemahnya kewibawaan tradisi-tradisi yang ada di
masyarakat, seperti gotong royong dan tolong-menolong telah
melemahkan kekuatan-kekuatan sentripetal yang berperan penting
dalam menciptakan kesatuan sosial. Akibat lanjut bisa dilihat bersama,
kenakalan dan tindak menyimpang di kalangan remaja dan pelajar
semakin meningkat dalam berbagai bentuknya, seperti perkelahian,
corat-coret, pelanggaran lalu lintas sampai tindak kejahatan.
• Pola interaksi antar manusia yang berubah. Kehadiran komputer pada
kebanyakan rumah tangga golongan menengah ke atas telah merubah
pola interaksi keluarga. Komputer yang disambungkan dengan telpon
telah membuka peluang bagi siapa saja untuk berhubungan dengan dunia
luar. Program internet relay chatting (IRC), internet, dan e-mail telah
membuat orang asyik dengan kehidupannya sendiri. Selain itu
tersedianya berbagai warung internet (warnet) telah memberi peluang

6
kepada banyak orang yang tidak memiliki komputer dan saluran internet
sendiri untuk berkomunikasi dengan orang lain melalui internet. Kini
semakin banyak orang yang menghabiskan waktunya sendirian dengan
komputer. Melalui program internet relay chatting (IRC) anak-anak bisa
asyik mengobrol dengan teman dan orang asing kapan saja.

D. Bidang Pendidikan
Teknologi mempunyai peran yang sangat penting dalam bidang
pendidikan antara lain:
• Munculnya media massa, khususnya media elektronik sebagai sumber
ilmu dan pusat pendidikan. Dampak dari hal ini adalah guru bukannya
satu-satunya sumber ilmu pengetahuan.
• Munculnya metode-metode pembelajaran yang baru, yang memudahkan
siswa dan guru dalam proses pembelajaran. Dengan kemajuan teknologi
terciptalah metode-metode baru yang membuat siswa mampu
memahami materi-materi yang abstrak, karena materi tersebut dengan
bantuan teknologi bisa dibuat abstrak.
• Sistem pembelajaran tidak harus melalui tatap muka Dengan kemajuan
teknologi proses pembelajaran tidak harus mempertemukan siswa
dengan guru, tetapi bisa juga menggunakan jasa pos internet dan lain-
lain.

Disamping itu juga muncul dampak negatif dalam proses pendidikan


antara lain:
• Kerahasiaan alat tes semakin terancam Program tes inteligensi seperti tes
Raven, Differential Aptitudes Test dapat diakses melalui compact disk.
Implikasi dari permasalahan ini adalah, tes psikologi yang ada akan
mudah sekali bocor, dan pengembangan tes psikologi harus berpacu
dengan kecepatan pembocoran melalui internet tersebut.
• Penyalahgunaan pengetahuan bagi orang-orang tertentu untuk
melakukan tindak kriminal. Kita tahu bahwa kemajuan di badang

7
pendidikan juga mencetak generasi yang berepngetahuan tinggi tetapi
mempunyai moral yang rendah. Contonya dengan ilmu komputer yang
tingi maka orang akan berusaha menerobos sistem perbangkan dan lain-
lain.

E. Bidang politik
Beberapa dampak yang dapat ditimbulkan dalam bidang politik:
• Timbulnya kelas menengah baru Pertumbuhan teknologi dan ekonomi di
kawasan ini akan mendorong munculnya kelas menengah baru.
Kemampuan, keterampilan serta gaya hidup mereka sudah tidak banyak
berbeda dengan kelas menengah di negara-negera Barat. Dapat
diramalkan, kelas menengah baru ini akan menjadi pelopor untuk
menuntut kebebasan politik dan kebebasan berpendapat yang lebih
besar.
• Proses regenerasi kepemimpinan. Sudah barang tentu peralihan generasi
kepemimpinan ini akan berdampak dalam gaya dan substansi politik
yang diterapkan. Nafas kebebasan dan persamaan semakin kental.
• Di bidang politik internasional, juga terdapat kecenderungan tumbuh
berkembangnya regionalisme. Kemajuan di bidang teknologi
komunikasi telah menghasilkan kesadaran regionalisme. Ditambah
dengan kemajuan di bidang teknologi transportasi telah menyebabkan
meningkatnya kesadaran tersebut. Kesadaran itu akan terwujud dalam
bidang kerjasama ekonomi, sehingga regionalisme akan melahirkan
kekuatan ekonomi baru.

Sehingga, dari uraian diatas kita bisa menyimpulkan bahwa kemajuan


teknologi adalah sesuatu yang tidak bisa kita hindari dalam kehidupan ini,
karena kemajuan teknologi akan berjalan sesuai dengan kemajuan ilmu
pengetahuan. Teknologi yang sebenarnya merupakan alat bentu/ekstensi
kemampuan diri manusia. Dewasa ini, telah menjadi sebuah kekuatan otonom
yang justru ‘membelenggu’ perilaku dan gaya hidup kita sendiri. Dengan daya

8
pengaruhnya yang sangat besar, karena ditopang pula oleh system-sistem
sosial yang kuat, dan dalam kecepatan yang makin tinggi, teknologi telah
menjadi pengarah hidup manusia. Masyarakat yang rendah kemampuan
teknologinya cenderung tergantung dan hanya mampu bereaksi terhadap
dampak yang ditimbulkan oleh kecanggihan teknologi.
Perkembangan teknologi memang sangat diperlukan. Setiap inovasi
diciptakan untuk memberikan manfaat positif bagi kehidupan manusia.
Memberikan banyak kemudahan, serta sebagai cara baru dalam melakukan
aktifitas manusia. Khusus dalam bidang teknologi masyarakat sudah
menikmati banyak manfaat yang dibawa oleh inovasi-inovasi yang telah
dihasilkan dalam dekade terakhir ini. Namun manusia tiudak bisa menipu diri
sendiri akan kenyataan bahwa teknologi mendatangkan berbagai efek negatif
bagi manusia.
Dalam setiap kebudayaan selalu terdapat ilmu pengetahuan atau sains
dan teknologi, yang digunakan sebagai acuan untuk menginterpretasikan dan
memahami lingkungan beserta isinya, serta digunakan sebagai alat untuk
mengeksploitasi, mengolah dan memanfaatkannya untuk pemenuhan
kebutuhan-kebutuhan manusia. Sains dan tekhnologi dapat berkembang
melalui kreativitas penemuan (discovery), penciptaan (invention), melalui
berbagai bentuk inovasi dan rekayasa. Kegunaan nyata IPTEK bagi manusia
sangat tergantung dari nilai, moral, norma dan hukum yang mendasarinya.
IPTEK tanpa nilai sangat berbahaya dan manusia tanpa IPTEK mencermikan
keterbelakangan.
Perkembangan globalisasi tidak hanya membawa dampak positif, namun
juga membawa dampak negatif bagi kehidupan sosial masyarakat.
Perkembangan tersebut tidak selamanya merubah kehidupan seseorang
menuju arah yang lebih baik, dan hal itu tergantung bagaimana sikap seseorang
dalam menerima perubahan tersebut. Mila (2010) menyatakan bahwa beberapa
penelitian menunjukkan adanya perkembangan teknologi, komunikasi dan

9
perubahan sosial ekonomi telah merubah pola kehidupan generasi kita menjadi
pribadi yang individual, materialis dan cenderung kapitalis.
Karakteristik pribadi yang individual, materialis dan kapitalis
mendorong orang untuk melakukan hal yang negatif tanpa memikirkan
dampak atas perbuatan tersebut, salah satunya adalah melakukan kecurangan
(fraud) atau perilaku tidak etis. Perilaku tidak etis pada bidang profesi terutama
pada profesi akuntansi sudah menjadi isu terhangat di kalangan masyarakat
luas, kasus-kasus yang berkenaan dengan skandal keuangan yang selama ini
terjadi pada perusahaan-perusahaan swasta maupun lembaga pemerintahan
tidak bisa lepas dari campur tangan para profesi akuntan. Hal tersebut
menjadikan profesionalisme dan perilaku etis akuntan dipertanyakan oleh
masyarakat.
The National Commission on Fraudulent Financial Reporting (1987)
mengungkapkan bahwa berbagai kasus kecurangan mengenai laporan
keuangan berawal dari pelanggaran-pelanggran kecil. Oleh karena itu, etika
akuntan khususnya mengenai profesionalisme telah menjadi isu yang menarik
untuk didiskusikan. Perilaku etis adalah perilaku yang sesuai dengan norma,
aturan dan hukum yang ditetapkan. Oleh karena itu, tidak hanya kemampuan
dan keahlian khusus (skill) yang dibutuhkan dalam bidang profesi, perilaku
etis pun dibutuhkan. teori etika menyediakan kerangka yang memungkinkan
kita memastikan benar tidaknya keputusan moral kita (Bertens 2000: 66).
Larkin (2000) menjelaskan bahwa tiap profesi termasuk akuntan dan auditor
harus mempunyai kemampuan dalam mengidentifikasi perilaku etis. Namun,
menurut Wyatt (2004) akuntan memiliki kelemahan dalam profesinya, yaitu
keserakahan individu dan korporasi, pelanggaran independensi saat pemberian
jasa, sikap terlalu lunak pada klien dan peran serta dalam menghindari aturan
akuntansi yang ada. Dewasa ini bermunculan skandal etis pada profesi akuntan
yang melibatkan auditor atas tindakan penyelewengan pelaporan keuangan
oleh perusahaan-perusahan besar. Salah satunya Enron dengan KAP Arthur
Andersen yang telah menghebohkan percaturan bisnis global.

10
Fortune 500 yang dilansir Comunale et al (2006) mengungkapkan bahwa
Enron adalah satu dari tujuh perusahaan besar di Amerika yang memiliki
permasalahan mengenai krisis etis profesi dalam bidang akuntansi. Enron
merupakan perusahaan yang bergerak di bidang industri energi. Pada tahun
2001 Enron mengalami kerugian yang menghebohkan percaturan bisnis
global.
Kebangkrutan yang dialami oleh Enron disebabkan oleh beberapa faktor
yang menyangkut skandal etis dalam entitas bisnis tersebut dengan melakukan
manipulasi angka-angka pada pengungkapan laporan keuangan. Hal ini
dilakukan semata untuk menarik para investor agar laporan keuangan nampak
menarik, serta tampak memiliki kinerja yang baik. Lebih lanjut, Enron telah
melakukan penggelembungan (mark up) atas pendapatan sebesar US$ 600 juta
dan menyembunyikan utangnya sebesar US$ 1,2 miliar yang dilakukan oleh
manajemen Enron. Dalam hal ini Arthur Andersen sebagai auditor independen
yang memberikan jasa audit atas laporan keuangan perusahaan Enron, telah
melakukan pelanggaran atas kode etik profesional akuntan dengan
merekayasa laporan keuangan Enron dan lebih parahnya lagi Arthur Andersen
menghancurkan dokumen-dokumen penting terkait dengan bukti audit Enron.
Dalam praktek manipulasi ini dapat dikatakan telah terjadi sebuah kolusi
tingkat tinggi antara manajemen Enron, analisis keuangan, para penasihat
hukum dan Lebih lanjut, dijelaskan bahwa kontroversi lainnya dalam kasus
Enron adalah terbongkarnya juga kisah pemusnahan ribuan surat elektronik
dan dokumen lainnya yang berhubungan dengan audit Enron oleh petinggi di
firma audit Arthur. Comunale et al (2006) menjelaskan bahwa enam bulan
berikutnya, Andersen dijatuhi hukuman atas pelanggaran hukum (walaupun
pada tahun 2005 mengajukan banding, hanya saja terlambat menyelamatkan
Andersen), sehingga Andersen menjadi Kantor Akuntan Publik yang pertama
kalinya dijadikan tersangka, dan akhirnya Big 5 menjadi Big 4. Selain kasus
yang terjadi pada Enron dengan KAP Athur Andersen, ternyata KAP yang
telah terdaftar menjadi KAP big 4 telah terlibat beberapa kasus yang

11
melibatkan beberapa perusahaan besar atas skandal akuntansi meliputi, Tyco,
WorldCom, dan Adelphia.
Di Indonesia sendiri telah banyak bermunculan skandal etis profesi
akuntan yang merugikan banyak pihak, baik yang dilakukan oleh auditor,
manajer perusahaan, bahkan akuntan pemerintahan. Sebagai contoh,
keterlibatan 10 KAP yang terbukti telah melakukan praktik kecurangan
akuntansi dengan mengeluarkan laporan audit palsu yang mengungkapkan
bahwa laporan keuangan 37 bank dalam keadaan sehat. Selain itu, skandal etis
juga melibatkan beberapa perusahaan di Indonesia, seperti PT. Kimia Farma
dengan KAP Hans Tuanakotta & Mustofa (HT & M), PT. TELKOM dengan
KAP Eddy Pianto, PT. KAI, KAP Johan Malonda & Rekan dengan PT. Great
River International Tbk (Great River) tahun 2003, KAP Biasa Sitepu dengan
perusahaan Raden Motor tahun 2009, serta kasus mafia pajak yang dilakukan
oleh Gayus Tambunan sebagai akuntan internal pemerintahan tahun 2010.
Berbagai fenomena atas skandal etis profesi menggambarkan masih banyak
para profesi akuntan yang melanggar prinsip dasar etika profesi. Dalam hal ini
seharusnya etika menjadi perhatian utama sebelum individu terjun ke dunia
profesi akuntan.
Selain itu, para akuntan harus mempunyai komitmen yang tinggi
terhadap profesi mereka dalam dan menginvestigasi (audit) pelaporan keuang-
an terutama ketika ditemukan kecurangan (fraud) atas pelaporan keuangan
suatu organisasi. Dari pernyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa akuntan
mempunyai peranan dalam membuat dan menyajikan laporan keuangan.
Larkin (2000) mengatakan bahwa auditor internal memiliki kewajiban
untuk melakukan penilaian etis yang sehat untuk kepentingan organisasi
atau perusahaan dan masyarakat, oleh karena itu mereka sering dihadapkan
dengan dilema etis atau situasi yang menantang etika mereka dalam
memberikan keputusan etis. Sedangkan akuntan publik atau auditor eksternal
mempunyai peran dalam mengungkapkan laporan keuangan (disclosure) dan
memastikan bahwa laporan keuangan yang telah disajikan sesuai dengan

12
standar akuntansi keuangan tanpa mengandung unsur rekayasa pelaporan
keuangan atau kecurangan (fraud). Kasus pelanggaran etika seharusnya tidak
terjadi apabila setiap akuntan mempunyai pengetahuan, pemahaman dan
kemauan untuk menerapkan nilai-nilai moral dan etika secara memadai dalam
pelaksanaan pekerjaan profesionalnya (Ludigdo, 1999).
Sehingga kepedulian terhadap etika harus diawali dari kurikulum
akuntansi, jauh sebelum mahasiswa akuntansi masuk di dunia profesi
akuntansi (Mastracchio 2005). Pernyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa
individu yang akan terjun ke dunia profesi akuntan atau mahasiwa akuntansi
hendaknya dibekali pengenalan permasalahan yang berkaitan dengan etika
sebagai pengembangan kurikulum. Sehingga dengan adanya pengembangan
kurikulum tersebut diharapkan dapat mengetahui pertimbangan etis dan
keberanian dalam mengambil keputusan etis ketika melihat konflikkonflik
yang berhubungan dengan perilaku yang mengarah pada tindakan kecurangan
(fraud).
Novius (2008) menjelaskan kerasnya isu dalam hal pembuatan
keputusan moral terasa sangat penting dalam menegakkan kembali martabat
dan kehormatan profesi akuntan yang sedang dilanda krisis kepercayaan dari
masyarakat luas. Skandal etis yang selama ini terjadi khususnya di dunia
profesi akuntan dan corporate manager mencerminkan bahwa krisis etis telah
melanda dunia etika bisnis dan profesi akuntan. Mengingat mahasiswa
akuntansi sebagai akuntan masa depan, maka peneliti merasa bahwa
pentingnya melakukan penelitian berkenaan dengan persepsi atau
pertimbangan etis mereka terhadap isu-isu skandal etika yang terjadi di dunia
profesi akuntan.
Persepsi menurut Gibson (1996) dalam Dewi (2010) adalah proses
seseorang untuk memahami lingkungan yang meliputi orang, objek, simbol,
dan sebagainya yang melibatkan proses kognitif. Kognitif merupakan proses-
proses mental atau aktivitas pikiran dalam mencari, menemukan, atau
mengetahui dan memahami informasi. Setiap individu memiliki penafsiran

13
yang berbeda dalam menerima dan merespon informasi, maka masing-masing
individu dengan kognitif yang berbeda memiliki persepsi yang berbeda pula.
Proses kognitif adalah proses untuk memperoleh pengetahuan dalam
kehidupan yang diperoleh melalui pengalaman. Setiap mahasiswa mempunyai
persepsi moral, penilaian dan perilaku yang berbeda-beda, meskipun mereka
telah diberikan pendidikan etika dengan porsi yang sama (Smith 2009).
Etika merupakan moral yang ditanamkan di dalam diri individu yang
membentuk suatu filsafat moralitas, dan pada umumnya tidak tertulis. Namun,
hal tersebut tidak berlaku bagi sebuah profesi, dimana profesi membutuhkan
etika secara tertulis yang disebut kode etik. Ludigdo dan Mulawarman (2010)
mengatakan bahwa banyak penelitian juga merujuk bagaimana aspek etis
sebagai bagian dari proses pendidikan akuntansi untuk membekali mahasiswa
agar memiliki kesadaran etis dalam menjalankan profesinya. Oleh karena itu,
pendidikan etika memiliki tujuan untuk membentuk perkembangan moral dan
pola pikir mahasiswa untuk lebih menyadari dimensi sosial dan dimensi etika
dalam setiap pengambilan keputusan etis mengenai berbagai isu skandal
akuntansi yang selama ini terjadi. Pada dasarnya International Accounting
Education Standards Board (2006) menyatakan bahwa lingkungan pendidikan
harus mampu membentuk individu yang memiliki nilai etika dan perilaku
profesional dengan mengajarkan tentang nilai-nilai profesional, serta
mengembangkan dan menanamkan perilaku etis.

1.2 Ruang Lingkup


Di dalam buku ini, kita akan fokus pada perilaku-perilaku tidak etis dan
kecurangan yang dilakukan oleh akuntan. Di Indonesia sendiri, pemerintah
saat ini telah banyak melakukan inovasi dan kebijakan-kebijakan baru guna
mendukung upaya perkembangan sektor ekonomi. Menurut Wilopo (2006)
salah satu ujung tombak dari upaya perkembangan sektor ekonomi tersebut
adalah para akuntan-akuntan dan ahli di bidang ekonomi.

14
Perkembangan akuntansi sektor publik, khususnya institusi pemerintah
di Indonesia semakin pesat sejak memasuki era baru dalam pelaksanaan
otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Salah satu peraturan perundangan
penting adalah UU-RI No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Undang-undang tersebut memberikan dampak signifikan terhadap perubahan
pada sistem pemerintahan yang semula menganut pola sentralisasi beralih
menjadi pola desentralisasi, dimana daerah diberikan kewenangan seluas-
luasnya untuk menggali, mengelola dan memanfaatkan potensi daerah yang
dimiliki sekaligus harus dipertanggung jawabkan secara nyata.
Secara teoritis, desentralisasi ini diharapkan mempunyai dua manfaat
nyata, yaitu untuk mendorong peningkatan partisipasi, prakarsa dan kreativitas
masyarakat dalam pembangunan dalam rangka mendorong pemerataan hasil
pembangunan diseluruh daerah, dan memperbaiki alokasi sumber daya
produktif melalui pergeseran peran pengambil keputusan publik ketingkat
pemerintahan yang paling rendah yang memiliki informasi yang lengkap.
Dengan demikian terjadilah reformasi sektor publik dimana tidak hanya
sekedar perubahan format lembaga, akan tetapi mencakup pembaharuan alat-
alat yang digunakan untuk mendukung berjalannya lembaga-lembaga publik
tersebut secara ekonomis, efisien, efektif, transparan dan akuntabel sehingga
cita-cita reformasi yaitu menciptakan Pemerintahan yang bersih (good
governance) benar-benar tercapai (Mardiasmo, 2004).
Reformasi perundang-undangan penting lainnya adalah bidang
keuangan negara, yaitu UU-RI Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan
Negara, UU-RI Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, dan
UU-RI Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan
Tanggung Jawab Keuangan Negara. Ketiga undang-undang tersebut menjadi
dasar bagi institusi negara dalam mengubah pola pengelolaan keuangan negara
dari yang semula pola administrasi keuangan (financial administration)
menjadi pola pengelolaan keuangan (financial management).

15
Selanjutnya UU-RI Nomor 17/2003 mewajibkan Presiden dan
Gubernur/Bupati/Walikota untuk menyampaikan laporan pertanggung-
jawaban pelaksanaan APBN/APBD berupa laporan keuangan pemerintah,
minimal terdiri atas : Laporan Realisasi APBN/APBD, Neraca, Laporan Arus
Kas dan Catatan atas Laporan Keuangan, beserta lampiran. Sedangkan bentuk
dan isinya harus disusun dan disajikan sesuai dengan Standar Akuntansi
Pemerintahan (SAP) yang ditetapkan dengan PP-RI Nomor 24 Tahun 2005
tanggal 13 Juni 2005.
SAP merupakan pedoman bagi pemerintah dalam penyusunan dan
penyajian laporan keuangannya sesuai dengan prinsip-prinsip yang berlaku
secara internasional. Ketentuan ini menandai dimulainya era baru
pertanggungjawaban pelaksanaan APBN/APBD dalam rangka memenuhi
prinsip transparansi dan akuntabilitas. Dengan demikian diharapkan laporan
keuangan pemerintah dapat memberikan informasi yang lengkap dan andal
bagi pihak yang berkepentingan (stakeholders), sekaligus untuk tujuan
kepentingan : (a) Akuntabilitas, yaitu mempertanggung-jawabkan pengelolaan
sumber daya serta pelaksanaan kebijakan dalam mencapai tujuan secara
periodik; (b) Manajemen, yaitu membantu para pengguna untuk mengevaluasi
pelaksanaan kegiatan suatu entitas pelaporan dalam periode pelaporan
sehingga memudahkan fungsi perencanaan, pengelolaan dan pengendalian atas
seluruh aset, kewajiban, dan ekuitas dana pemerintah untuk kepentingan
masyarakat; dan (c) Transparansi, yaitu memberikan informasi keuangan yang
terbuka dan jujur kepada masyarakat berdasarkan pertimbangan bahwa
masyarakat memiliki hak untuk mengetahui secara terbuka dan menyeluruh
atas pertanggungjawaban pemerintah dalam pengelolaan sumber daya yang
dipercayakan kepadanya dan ketaatannya pada peraturan perundang-
undangan; serta (d). Keseimbangan Antargenerasi (intergenerational equity),
yaitu membantu para pengguna dalam mengetahui kecukupan penerimaan
pemerintah pada periode pelaporan untuk membiayai seluruh pengeluaran
yang dialokasikan dan apakah generasi yang akan datang diasumsikan akan

16
ikut menanggung beban pengeluaran tersebut. (PP No.24 Tahun 2005, KK-22,
p.7).
UU-RI Nomor 15 Tahun 2004 tentang Badan Pemeriksa Keuangan
Republik Indonesia menyatakan bahwa tugas utama BPK melaksanakan
pemeriksaan keuangan pemerintah (pusat/daerah) dengan memperoleh
keyakinan yang memadai (reasonable asurance) bahwa laporan keuangan
pemerintah pusat dan daerah tersebut telah disajikan secara wajar dalam semua
hal yang material, sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum di
Indonesia. Tujuan pemeriksaan adalah untuk memberikan pendapat / opini atas
kewajaran informasi keuangan yang disajikan dalam laporan keuangan. Opini
merupakan pernyataan profesional pemeriksa mengenai kewajaran informasi
keuangan yang disajikan dalam laporan keuangan. Kriteria pemberian opini :
(a) kesesuaian dengan SAP, (b) kecukupan pengungkapan (adequate
disclosures), (c) kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan, dan (d)
efektivitas sistem pengendalian intern.
Dalam melaksanakan fungsi pemeriksaan, BPK-RI berpedoman pada
Standar Pemeriksaan Keuangan Negara (SPKN) yang ditetapkan dalam
Peraturan BPK-RI Nomor : 1/2007. Berdasarkan SPKN tersebut, laporan hasil
pemeriksaan atas laporan keuangan harus mengungkapkan bahwa pemeriksa
telah melakukan pengujian atas kepatuhan terhadap peraturan peraturan
perundang-undangan yang berpengaruh langsung dan material terhadap
penyajian laporan keuangan. SPKN juga mengatur bahwa laporan atas
pengendalian intern harus mengungkapkan kelemahan dalam pengendalian
atas pelaporan keuangan yang dianggap sebagai “kondisi yang dapat
dilaporkan”. Menurut BulTek SPKN Nomor : 1/2007 tentang Pelaporan Hasil
Pemeriksaan atas Laporan Keuangan Pemerintah, paragraf 13 terdapat empat
jenis Opini, yaitu : (1). Wajar Tanpa Pengecualian (WTP); (2). Wajar Dengan
Pengecualian (WDP); (3). Tidak Wajar (TW); dan (4). Pernyataan Menolak
Memberikan Opini atau Tidak Memberikan Pendapat (TMP).

17
Kriteria penting dalam pemberian opini adalah evaluasi atas efektivitas
sistem pengendalian intern. Rancangan pengendalian intern dilingkup institusi
pemerintah berpedoman pada PP-RI Nomor 60/2008 tentang Sistem
Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP), meliputi lima unsur pengendalian : (1)
lingkungan pengendalian; (2) penilaian resiko; (3) kegiatan pengendalian; (4)
informasi & komunikasi; dan (5) pemantauan. Sistem pengendalian intern
dinyatakan efektif jika mampu memberikan keyakinan memadai atas
tercapainya efektivitas & efisiensi pencapaian tujuan entitas, keandalan
pelaporan keuangan, keamanan aset negara, dan kepatuhan terhadap ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dengan berbagai ketentuan tersebut di atas, seharusnya laporan
keuangan pemerintah daerah mampu memberikan informasi keuangan yang
dikelolanya secara wajar. Namun hasil pemeriksaan BPK-RI menunjukkan,
masih banyak LKPD yang belum mendapat opini WTP. Pemeriksaan BPK-RI
terhadap 522 LKPD seluruh Indonesia periode tahun 2010, hanya 34 LKPD
(6,5%) yang mendapatkan opini WTP, sisanya 488 LKPD (93,5%)
memperoleh opini non-WTP (WDP, RW dan TMP). Periode tahun 2011, dari
524 LKPD, hanya sebanyak 67 LKPD (12,8%) yang mendapatkan opini WTP,
sisanya 457 LKPD (87,2%) memperoleh opini WDP, TW dan TMP. (bpk.go.id
IHPS II 2012). Selanjutnya periode tahun 2012 dari 523 LKPD, yang
mendapatkan opini WTP naik menjadi 120 LKPD (23%), sisanya 403 LKPD
(77%) masih memperoleh opini WDP, TW dan TMP. (BPK-RI, IHP Semester
II Tahun 2013, Buku II Pemeriksaan Laporan Keuangan).
Di lingkup pemerintahan (provinsi/kabupaten/kota) Provinsi Kalimantan
Selatan selama periode tahun 2007 - 2012 belum ada pemerintah daerah yang
LKPDnya memperoleh opini WTP. Hal ini mengindikasikan bahwa laporan
keuangan yang disajikan pemerintah daerah saat itu secara keseluruhan masih
belum memenuhi prinsip-prinsip akuntabel dan transparansi, yang pada
gilirannya sistem good governance masih belum dapat diwujudkan secara
baik. Lebih jauh, tersirat makna bahwa pengelolaan keuangan daerah belum

18
berjalan sesuai peraturan perundang-undangan yang ada. Jika Laporan
keuangan pemerintah tidak akuntabel dan tidak transparan ada indikasi
kemungkinan terjadinya kecurangan (fraud), baik dalam pengelolaan sumber-
sumber ekonomi dan aset daerah maupun dalam penyajian laporan keuangan.
Khusus untuk Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan, opini WTP baru
diperoleh sejak LKPD tahun 2013 hingga sekarang. Hal ini menunjukkan
adanya perkembangan pengelolaan keuangan dan aset daerah kearah yang
lebih baik. Meskipun demikian, ternyata berdasarkan telaah khusus yang
dilakukan BPK-RI atas sistem pengendalian intern dan kepatuhan terhadap
peraturan perundang-undangan terungkap berbagai temuan adanya kelemahan
dan penyimpangan yang harus menjadi perhatian pemerintah Provinsi
Kalimantan Selatan secara serius.
Hasil temuan BPK-RI atas LKP Provinsi Kalimantan Selatan Tahun
2014, beberapa kelemahan sistem pengendalian intern : 1. Penatausahaan Aset
Tetap belum sepenuhnya tertib sehingga buku induk inventaris barang/daftar
barang milik daerah/daftar aset tetap dan daftar barang pengguna/kartu
inventaris barang belum sepenuhnya dapat menjadi dasar yang andal dalam
penyajian Aset Tetap di Neraca SKPD; 2. Penggunaan dan
pertanggungjawaban keuangan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS)
belum sesuai petunjuk teknis sehingga laporan penggunaan dana BOS belum
memenuhi prinsip transparansi dan akuntabel serta berpotensi tidak
dipergunakan sesuai ketentuan. (LHP BPK-RI Perwakilan Prov. Kal-Sel No.
14.B/LHP/XIX.BJM/05/2015 tgl. 25 Mei 2015).
Selanjutnya, resume LHP BPKRI atas LKP Prov. Kal-Sel Tahun 2014
tentang Pemeriksaan atas Kepatuhan terhadap perundang-undangan
disebutkan adanya ketidakpatuhan, kecurangan, dan ketidakpatutan dalam
pengujian kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan, yaitu : 1.
Piutang pihak III dan pasien umum pada RSUD Ulin dan RSJD Sambang
Lihum berpotensi tidak tertagih; 2. Kerjasama pemanfaatan aset belum sesuai
ketentuan, dan terdapat aset yang dalam sengketa sehingga berpotensi

19
penyalahgunaan dan kehilangan aset yang sedang dalam sengketa atau tidak
jelas pemanfataannya. (LHP BPK-RI No. 20.C/LHP/XIX.BJM/05/ 2015 tgl.
25 Mei 2015 ; i,vi).
Selanjutnya LHP BPK-RI atas Pengelolaan Aset Daerah pada
Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan TA 2012 & Semester I 2013
menyebutkan bahwa sistem pengendalian intern belum dirancang dan
dilaksanakan secara memadai dan pelaksanaan kegiatan penggunaan, penata-
usahaan, pengamanan dan pemeliharaan serta penghapusan aset daerah belum
sepenuhnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yaitu
: (1) Pengelolaan aset tanah, gedung & bangunan, peralatan dan mesin selain
kendaraan, dan aset tetap lainnya belum sesuai Perda tentang Pengelolaan
BMD; (2) Pengelolaan kendaraan dinas, aset jalan, irigasi dan jaringan belum
tertib. (LHP BPKRI No.: 25/LHP/XIX.BJM/ 12/2013 tgl. 24-12-2013 ; vi).
Kemudian berdasarkan data dari beberapa media masa tentang kasus-
kasus fraud yang terjadi dilingkup pemerintahan (provinsi/kabupaten/kota) di
wilayah provinsi Kalimantan Selatan antara lain sebagai berikut:

1. Kasus dugaan korupsi proyek pengembangan Bandara Syamsudin Noor


dengan terdakwa mantan kepala dinas perhubungan akhirnya sampai di
babak akhir. Dalam persidangan yang digelar di Pengadilan Negeri
Banjarmasin, Rabu (22/12), HIS diganjar hakim dengan hukuman
penjara selama 2 tahun. HIS juga dijatuhi hukuman denda Rp.100 juta
dengan ketentuan, jika tidak mampu membayar denda tersebut bisa
digantikan dengan hukuman penjara selama enam bulan. Namun dalam
putusannya, majelis hakim yang diketuai, Eko Purwanto SH, dengan
hakim anggota, Suprapti SH dan M Basyir SH, tidak menjatuhkan
hukuman membayar uang pengganti kepada HIS karena ybs tidak ada
menikmati hasil perbuatannya. Selain itu, dalam putusannya hakim juga
tidak memerintahkan agar HIS dijebloskan ke penjara. Hukuman yang
dijatuhkan majelis hakim tersebut lebih ringan dari tuntutan jaksa M

20
Irwan Cs yang meminta hakim agar HIS dijatuhi hukuman penjara
selama lima tahun dan membayar denda Rp.300 juta subsider enam
bulan kurungan. Jaksa juga menuntut HIS membayar uang pengganti
Rp.10.958.153.778. Jika uang pengganti tersebut tidak dibayar paling
lama satu bulan setelah putusan pengadilan mempunyai kekuatan hukum
tetap, harta bendanya dapat disita untuk dilelang jaksa. Pertimbangan
majelis hakim, HIS tidak terbukti menguntungkan diri sendiri namun
telah menguntungkan SD selaku pencetus pengembangan bandara dan
PT Hutama Karya sebagai pelaksana proyek. “Proyek tergesa-gesa dan
mengejar waktu adalah tidak wajar,” ungkap Eko. (budi arif rh) Sumber:
Banjarmasin Post, Kamis, 23-12-2010 (diedit penulis).

2. Wakil Bupati Banjar, FS yang telah ditetapkan sebagai tersangka kasus


dugaan korupsi penyaluran dana bansos Pemprov. Kalsel 2010 senilai
Rp27,5 miliar akhirnya menyerahkan diri, setelah sebelumnya sempat
dinyatakan masuk DPO. Kepala Seksi Penerangan dan Hukum
Kejaksaan Tinggi Kalsel, Erwan Suwarna mengatakan, FS datang
sendiri ke Kejati Kalsel pada Senin (25/8/2014) malam dan selanjutnya
ditahan di LP Teluk Dalam bersama empat tersangka lain. FS terjerat
kasus korupsi penyaluran bansos saat menjabat sebagai Karo Kesra
Pemprov Kalsel. Menurut Erwan, pengusutan kasus korupsi bansos ini
akan terus berlanjut. Pihak Kejaksaan pun sudah membidik keterlibatan
para anggota DPRD Kalsel periode 2009-2014. Selain kasus korupsi
dana bansos, kasus dugaan korupsi proyek pembebasan lahan bandara
Syamsuddin Noor, Banjarbaru juga menjadi salah satu kasus besar yang
ditangani Kejati Kalsel. Pihak kejaksaan telah menetapkan tiga tersangka
terkait kasus ini yaitu dari BPN, Sekda Kota Banjarbaru dan seorang
pengusaha. Kemarin, sejumlah pejabat di lingkungan Pemkot Banjarbaru
menjalani pemeriksaan di Kejati Kalsel terkait penanganan lanjutan
kasus dugaan korupsi proyek pembebasan lahan bandara seluas 108

21
hektar dengan nilai proyek sebesar Rp135 miliar. Sumber: http://news.
metrotvnews. com , Rabu, 27 Agustus 2014 (diedit penulis).

3. MY terlihat serius mendengarkan putusan yang dibacakan oleh Abdul


Siboro yang bertindak sebagai Ketua Majelis Tipikor PN Banjarmasin.
Dalam amar putusannya Abdul Siboro menghukum terdakwa MY
hukuman 1(satu) tahun penjara karena dinilai terbukti bersalah
melakukan tindak pidana korupsi sebesar Rp.143 juta tahun 2012 di
lingkungan Badan Narkotika Nasional Kab. Balangan, Kalsel. Selain itu,
kontraktor tersebut juga diwajibkan membayar denda sebesar Rp 50 juta,
kalau tidak dibayar maka ditambah hukuman selama 2 bulan penjara.
Vonis hukuman majelis hakim Tipikor tersebut sedikit lebih ringan dari
tuntutan JPU Alamsyah yang menuntut ibu dua anak itu dengan
hukuman penjara 1 tahun 6 bulan denda Rp 50 juta subsider 2 bulan
penjara. Sementara dua terdakwa lainnya dalam kasus yang sama, AR
dan AKh juga dinilai bersalah oleh majelis hakim. Dalam amar
putusannya, AR divonis hukuman penjara 1,5 bulan, denda Rp 50 juta
subsider 2 bulan penjara. AKh divonis 1,3 tahun penjara denda Rp 50
juta subsider 2 bulan. AR dan AKh masing-masing dituntut 1 tahun 6
bulan penjara, denda Rp 50 juta subsider 2 bulan penjara oleh JPU
Alamsyah. Atas putusan tersebut penasehat hukum terdakwa (Syamsul
Bahri) menyatakan "AR dan AKh pikir-pikir. Kalau MY menerima".
Sumber : http://banjarmasin.tribunnews.com (diedit penulis).

Berdasarkan hasil pemeriksaan dan temuan BPK-RI tersebut diatas dapat


disimpulkan bahwa meskipun laporan keuangan pemerintah Provinsi
Kalimantan Selatan telah memperoleh opini WTP, tapi belum menjamin
bahwa tidak terjadi adanya kelemahan sistem pengendalian intern dan ketidak
patuhan terhadap peraturan perundang-undangan, yang pada gilirannya
memberi peluang terjadinya penyimpangan dan kecurangan (fraud), baik
dilakukan pegawai secara individual maupun kolektif, yang pada gilirannya

22
sangat merugikan keuangan negara/daerah. Lebih jauh, berdasarkan fakta,
ternyata tindakan fraud, khususnya dalam bentuk korupsi juga terjadi di
lingkungan pemerintah daerah, baik pada tingkat provinsi maupun
kabupaten/kota, yang melibatkan mulai pejabat tinggi di daerah hingga
pegawai level rendah, baik secara individual maupun kolektif.
Kecurangan (fraud) secara umum selalu berkaitan dengan korupsi,
karena tindakan yang lazim dilakukan antara lain memanipulasi pencatatan,
penghilangan dokumen, dan mark-up yang pada gilirannya dapat merugikan
keuangan negara atau perekonomian negara. Menurut Association Of Certified
Fraud Examiners (ACFE), kecurangan (fraud) dapat digolongkan menjadi
tiga jenis yaitu : kecurangan dalam pelaporan keuangan, penyalahgunaan aset,
dan korupsi.
Munculnya berbagai kasus kecurangan (fraud) yang dilakukan pejabat
pemerintah (pusat maupun daerah) yang menjadi pemberitaan di media cetak
maupun televisi memperkuat dugaan terjadinya kasus kecurangan (fraud)
dalam pengelolaan keuangan negara (pusat maupun daerah). Hal tersebut
menunjukkan buruknya pengelolaan keuangan yang dilakukan pada sektor
publik. Kecurangan (fraud) yang terjadi selama ini sangat mengkhawatirkan
karena telah menjangkiti hampir di semua lini, mulai level pejabat sampai ke
tingkat pelaksana/pegawai paling bawah. Kecurangan (fraud) tersebut
berdampak negatif terhadap sektor ekonomi dan sosial. Dari segi ekonomi
sangat merugikan keuangan negara yang akhirnya merugikan rakyat banyak.
Kecurangan tersebut juga berdampak besar secara sosial karena menghambat
pembangunan yang akhirnya masyarakat miskin yang sangat dirugikan karena
terhambatnya pembangunan nasional.(Lediastuti & Subandijo, 2014:89-108).
Mengingat begitu buruknya dampak yang diakibatkan oleh kecurangan
(fraud), maka perlu dilakukan upaya pencegahannya secara serius. Pemerintah
dengan segala kewenangannya telah melakukan berbagai langkah strategis
dengan menetapkan berbagai peraturan perundang-undangan, seperti : TAP
MPR No. XVI Tahun 1998, UU-RI Nomor 28/1999 tentang Penyelenggaraan

23
Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN, UU-RI Nomor 31/1999 tentang
Pemberantasan Tipikor, Inpres RI Nomor 5/2004 tentang Percepatan
Pemberantasan Korupsi, PP-RI Nomor 71/2000 tentang Peran serta
Masyarakat dan Pemberian Penghargaan dalam Pencegahan dan
Pemberantasan Tipikor, UU-RI Nomor 20/2001 tentang Perubahan atas UU
Nomor 31/1999 tentang Pemberantasan Tipikor, UU-RI Nomor 30/2002
tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, UU-RI Nomor 13/2006 tentang
Perlindungan Saksi dan Korban, serta UU-RI Nomor 8/2010 tentang
Pencegahan & Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).
Perkembangan ini menunjukkan bahwa semua pihak sepakat untuk mengeli-
minir kecurangan (fraud) secara serius, untuk itu diperlukan lingkungan yang
kondusif dan dukungan dari semua pihak.
Walaupun disadari bahwa kecurangan (fraud) sudah merebak
sedemikian rupa di Indonesia, tetapi masih belum banyak kajian teoritis dan
empiris yang secara komprehensif untuk menelitinya. Oleh karenanya perlu
dilakukan identifikasi terhadap berbagai faktor penyebab utama terjadinya
kecurangan (fraud) dalam pengelolaan keuangan dan aset Negara/daerah.
Dengan diketahuinya faktor-faktor utama yang melatar belakangi terjadinya
kecurangan (fraud) dimaksud diharapkan dapat dirumuskan berbagai
kebijakan strategis untuk mengurangi atau mungkin mengeliminir terjadinya
kecurangan (fraud) tersebut yang berdampak signifikan terhadap kewajaran
penyajian laporan keuangan pemerintah, penyalahgunaan aset milik negara,
dan korupsi itu sendiri.
Dengan fenomena kecurangan (fraud) yang terus berkembang
sedemikian luas, kiranya tidak cukup bila hanya dikaji dengan pendekatan ilmu
akuntansi semata, tetapi perlu melibatkan disiplin ilmu lainnya seperti ilmu
ekonomi mikro dan makro, ilmu hukum, ilmu sosial, dan ilmu psikologi /
keperilakuan. Penanganan fraud memerlukan usaha yang intens, untuk itu
perlu dilakukan identifikasi terhadap sebab-sebab utama terjadinya
kecenderungan kecurangan (fraud). Dengan informasi tersebut dapat

24
dirumuskan strategi yang lebih tepat untuk menurunkan taraf terjadinya
kecenderungan kecurangan (fraud).
Teori keagenan (agency theory) sering digunakan untuk menjelaskan
fraud. Teori keagenan menjelaskan hubungan ini sebagai kontrak keagenan.
Teori keagenan bermaksud memecahkan dua problem yang terjadi dalam
hubungan keagenan. Pertama, problem keagenan yang muncul bila a)
keinginan atau tujuan prinsipal dan agen bertentangan, dan b) bila prinsipal
merasa kesulitan untuk menelusuri apa yang sebenarnya dilakukan agen.
Kedua, problem membagi risiko yang muncul bila prinsipal dan agen memiliki
sikap yang berbeda terhadap risiko. Bila masing-masing pihak (agen dan
prinsipal) berupaya memaksimalkan utilitasnya masing-masing, serta
memiliki kenginan dan motivasi yang berbeda maka diyakini bahwa agen
(misal : manajemen atau pemerintah) tidak akan selalu bertindak sesuai dengan
keinginan prinsipal (misal: pemegang saham atau masyarakat).
Ketidaksesuaian keinginan, motivasi dan utilitas antara agen dan prinsipal
sering mengakibatkan timbulnya kemungkinan agen melakukan tindakan yang
merugikan prinsipal.
Problem keagenan ini dapat menimbulkan perilaku tidak etis dan
kecenderungan kecurangan (fraud), baik yang dilakukan oleh manajemen
maupun karyawan sebagai individu. Jensen and Meckling (1976) menjelaskan
bahwa untuk kepentingannya, prinsipal dapat memecahkan permasalahan ini
dengan memberikan kompensasi yang sesuai kepada agen, serta mengeluarkan
biaya monitoring untuk membatasi tindakan agen yang menyimpang. Biaya
yang berkaitan dengan kegiatan ini disebut agency cost (biaya keagenan).
Dengan biaya keagenan diharapkan dapat mengurangi perilaku tidak etis dan
kecenderungan manajemen untuk melakukan kecurangan (fraud).
Untuk mendapatkan hasil monitoring yang baik, diperlukan
pengendalian intern yang efektif. Pengendalian intern merupakan proses
pengendalian yang dijalankan oleh dewan komisaris, manajemen, dan atau
personel lain yang didesain untuk memberikan keyakinan memadai

25
pencapaian tiga tujuan utama : (a) keandalan pelaporan keuangan, (b)
keefektifan dan efisiensi operasi, dan (c) kepatuhan terhadap hukum dan
peraturan yang berlaku (IAI, 2011). Pengendalian intern yang efektif akan
mampu mengeliminir permasalahan keagenan. Dengan demikian
pengendalian intern merupakan bagian dari biaya keagenan yang akan
memberikan pengaruh pada perilaku tidak etis dan terhadap kecenderungan
kecurangan (fraud).
Seperti dijelaskan sebelumnya, permasalahan keagenan juga dapat
terjadi jika prinsipal merasa kesulitan untuk menelusuri apa yang sebenarnya
dilakukan oleh agen. Situasi demikian disebut sebagai asimetri informasi.
Nicholson (1997: 487-489) mencatat bahwa tindakan yang dilakukan oleh
manajemen termasuk penyelenggara negara dipengaruhi oleh situasi asimetri
informasi. Artinya pemegang saham atau masyarakat tidak sepenuhnya dapat
mengetahui apa yang dilakukan manajemen atau penyelenggara pemerintahan.
Dengan demikian adanya asimetri informasi akan memberikan pengaruh pada
perilaku tidak etis dan kecenderungan kecurangan (fraud) yang dilakukan
manajemen atau penyelenggara pemerintahan.
Untuk mengatasi permasalahan keagenan tersebut, seharusnya
manajemen atau penyelenggara pemerintahan mampu melaksanakan
penegakan aturan dengan benar. Ketaatan pada aturan membuat institusi
menghasilkan laporan keuangan yang menggam-barkan keadaan dan operasi
perusahaan sebenarnya. Jika perusahaan melaksanakan aturan secara taat,
maka pemegang saham atau masyarakat tidak akan mengalami kesulitan untuk
mengetahui apa yang sebenarnya dilakukan manajemen. Dengan demikian
ketaatan pada aturan hukum dan perundang-undangan akan berpengaruh
terhadap perilaku tidak etis dan kecenderungan kecurangan (fraud) manajemen
atau penyelenggara pemerintahan.
Perilaku tidak etis dan kecenderungan kecurangan (fraud) yang
dilakukan oleh manajemen tidak hanya disebabkan perbedaan motivasi,
keinginan, dan utilitas antara pemegang saham dan manajemen, atau adanya

26
asimetri informasi, tetapi ada unsur yang lebih substansial, yaitu komitmen
organisasi. Perilaku tidak etis dan kecenderungan kecurangan (fraud) yang
dilakukan manajemen dan atau karyawan juga tergantung pada komitmen
mereka dalam mengelola perusahaan. Komitmen organisasi adalah komitmen
yang diciptakan oleh semua komponen individual dalam menjalankan
operasional organisasi (Kurniawan, 2014). Dengan demikian komitmen
organisasi juga akan memberi pengaruh pada perilaku tidak etis dan
kecenderungan kecurangan (fraud).
Beberapa penelitian terdahulu memperlihatkan adanya faktor-faktor
yang mempengaruhi perilaku tidak etis dan kecenderungan kecurangan
(fraud), antara lain : efektivitas pengendalian intern, kesesuaian kompensasi,
asimetri informasi, komitmen organisasi, dan penegakan aturan. Faktor
pertama yang mempengaruhi fraud adalah efektivitas pengendalian intern.
Pengendalian intern bertujuan untuk menjamin agar kegiatan operasional
perusahaan berjalan secara efektif dan efisien sehingga tujuan organisasi dapat
dicapai. Dengan pengendalian intern yang efektif diharapkan mampu
mengurangi adanya tindakan menyimpang yang dilakukan manajemen dan
karyawan, baik secara individual maupun kolektif. Manajemen atau karyawan
cenderung melakukan tindakan menyimpang berupa kecurangan (fraud) untuk
memaksimalkan keuntungan pribadi.
Penelitian Smith, et al.,(1998) menyimpulkan bahwa kecurangan
akuntansi (fraud) diindikasikan dengan lemahnya pengendalian intern. Hasil
yang serupa ditemukan pada penelitian Beasley (1996), Beasley et al., (2000),
Reinstein (1998) dan Matsumura (1992) yang menyimpulkan bahwa
pengendalian intern yang kuat dapat mencegah manajemen melakukan
kecurangan akuntansi. Namun hal yang berbeda ditemukan dalam penelitian
Wright (2003) yang menyimpulkan bahwa terjadinya berbagai skandal
kecurangan akuntansi di USA, bukan karena insentif, pengendalian dan sistem
yang buruk. Insentif, pengawasan dan sistem telah berjalan dengan baik. Tetapi

27
ternyata kecurangan dan ketidak jujuran para pemimpinlah yang membuat
terjadinya skandal kecurangan akuntansi tersebut.
Di Indonesia, penelitian mengenai pengaruh efektivitas pengendalian
intern terhadap kecenderungan kecurangan (fraud) dilakukan oleh Thoyibatun
(2009), Adelin (2013), Kusumastuti dan Meiranto (2012), dan Najahningrum
(2013). Hasil studi Wilopo (2006) menunjukkan bahwa bila pengendalian
intern berjalan secara efektif, termasuk pengawasan fisik, sistem akuntansi dan
pencatatan dengan bukti pendukung yang diotorisasi, maka penyalahgunaan
sumber daya perusahaan untuk kepentingan pribadi akan terhindarkan. Jika
pengendalian intern dalam suatu perusahaan telah efektif, maka dapat
memberikan perlindungan bagi entitas terhadap kelemahan manusia serta
untuk mengurangi kemungkinan kesalahan dan tindakan yang tidak sesuai
dengan aturan. Hal yang sama juga ditemukan dalam penelitian Thoyibatun
(2009), Adelin (2013, dan Najahningrum (2013) yang menyimpulkan bahwa
sistem pengendalian intern yang efektif akan menekan (menurunkan)
terjadinya perilaku tidak etis dan kecenderungan kecurangan (fraud). Hal yang
berbeda ditemukan dalam penelitian Kusumastuti dan Meiranto (2012 yang
menyimpulkan bahwa keefektifan pengendalian intern ternyata tidak
berpengaruh terhadap kecenderungan kecurangan akuntansi.
Tidak hanya pengendalian intern, manajemen dalam mengelola
perusahaan perlu diberikan kompensasi yang memadai. Menurut Jensen and
Meckling (1976), prinsipal dapat memecahkan permasalahan keagenan dengan
memberi kompensasi yang sesuai dengan agen. Dengan kompensasi yang
sesuai maka perilaku tidak etis dan kecurangan (fraud) diharapkan dapat
berkurang. Pihak agen diharapkan telah mendapat kepuasan dari kompensasi
tersebut dan tidak melakukan perilaku tidak etis serta tidak berlaku curang
untuk memaksimalkan keuntungan pribadi. Hal ini sesuai dengan penelitian
Zairi, et al. (2010) dan Wright (2003) yang menyatakan bahwa ketika
karyawan diberi kompensasi, penilaian, dan pengakuan bahwa mereka layak
lebih mungkin untuk menghargai organisasi, atau untuk berperilaku etis.

28
Namun hasil yang berbeda ditemukan dalam penelitian Dallas (2002),
Pritchard (1999), Ribstein (2002), dan Tang, et al. (2003) yang menyimpulkan
bahwa pemberian kompensasi sangat kecil dampak-nya terhadap pengurangan
kecenderungan kecurangan (fraud). Penambahan kompensasi kepada
karyawan justru cenderung akan meningkatkan rasa keserakahan sehingga
karyawan akan merasa "kurang" dan akhirnya bertindak tidak etis dan
cenderung melakukan kecurangan (fraud).
Untuk kasus di Indonesia, hasil penelitian Wilopo (2006) menyatakan
bahwa kesesuaian kompensasi tidak berpengaruh terhadap perilaku tidak etis
dan kecenderungan kecurangan akuntansi. Hasil penelitiannya menunjukkan
bahwa pemberian kompensasi yang sesuai pada perusahaan terbuka dan
BUMN di Indonesia tidak memperkecil perilaku tidak etis manajemen.
Peningkatan gaji tidak menurunkan penyalahgunaan kekuasaan (abuse power),
penyalahgunaan kedudukan / posisi (abuse position), sikap diam saja bila
terjadi tindakan yang merugikan perusahaan (no action) serta penyalahgunaan
sumberdaya perusahaan (abuse resources) secara signifikan. Hal ini sesuai
dengan hasil penelitian Pristiyanti (2012), Thoyibatun (2009) dan Kusumastuti
dan Meiranto (2012) yang menyimpulkan bahwa sistem kompensasi tidak
berpengaruh terhadap kecenderungan kecurangan (fraud). Namun hal yang
berbeda ditemukan pada penelitian Najahningrum (2013) yang menyimpulkan
bahwa kesesuaian sistem kompensasi berpengaruh terhadap kecenderungan
kecurangan (fraud).
Faktor lain yang juga dianggap berkontribusi terhadap perilaku tidak etis
dan kecenderungan kecurangan (fraud) adalah asimetri informasi, yaitu situasi
dimana terjadi ketidakselarasan informasi antara pihak yang memiliki atau
menyediakan dengan pihak yang membutuhkan informasi tersebut. Adanya
ketidak seimbangan informasi ini memberi peluang besar terjadinya perilaku
tidak etis dan kecurangan (fraud) dalam pengelolaan keuangan dan
penyalahgunaan aset (misappropriation of assets) negara / daerah. Hasil
penelitian Khang (2002) menyimpulkan bahwa asimetri informasi dapat

29
membuat manajemen dan pihak lainnya, termasuk karyawan secara individual
memanfaatkan ketidak-selarasan atau kesenjangan informasi tersebut untuk
motivasi dalam rangka memperoleh kompensasi bonus yang tinggi,
mempertahankan jabatan dan lain-lain, termasuk kebijakan dalam pemberian
dividen kepada pemegang saham. Hasil penelitian ini didukung oleh Scott
(2003), Albrecht (2004: 26-33), Green & Calderon (1999), COSO (2002),
Healy and Pelepu (2000), Lambert (2001) dan Reinstein (1998) yang
menyimpulkan, asimetri informasi akan menimbulkan problema perilaku
disfungsi-onal bagi agen yang mengarah pada peluang terjadinya kecurangan
(fraud).
Di Indonesia, penelitian tentang pengaruh asimetri informasi terhadap
perilaku tidak etis dan kecenderungan kecurangan antara lain oleh Wilopo
(2006) yang menyimpulkan bahwa pada BUMN dan perusahaan terbuka di
Indonesia keberadaan asimetri informasi akan meningkatkan perilaku tidak
etis dan kecende-rungan kecurangan bagi manajemen perusahaan. Sebaliknya
tidak adanya asimetri informasi akan mengurangi terjadinya perilaku tidak etis
dan kecenderungan kecurangan dari penanggung jawab penyusunan laporan
keuangan dan manajemen perusahaan. Ini selaras dengan penelitian
Thoyibatun (2009) dan Najahningrum (2013) yang menyimpulkan bahwa
asimetri informasi berpengaruh positif terhadap kecenderungan kecurangan,
yang artinya asimetri informasi membuka peluang terjadinya kecenderungan
kecurangan (fraud). Tetapi berbeda dengan hasil penelitian Kusumastuti
(2012) yang menyimpulkan bahwa asimetri informasi ternyata tidak
berpengaruh terhadap kecenderungan kecurangan akuntansi.
Teori agensi mengemukakan bahwa agen harus sejalan dengan prinsipal.
Hal ini dapat diwujudkan jika agen memiliki komitmen terhadap prinsipal.
Komitmen ini tercermin dalam komitmen organisasi, yaitu komitmen yang
diciptakan oleh semua komponen individual dalam menjalankan operasional
organisasi (Kurniawan, 2011). Komitmen tersebut dapat terwujud apabila
individu dalam organisasi menjalankan hak dan kewajibannya sesuai dengan

30
tugas dan fungsinya masing-masing. Semakin tinggi komitmen agen terhadap
tujuan organisasi, maka diduga akan menekan perilaku tidak etis dan tindakan
kecurangan dalam pengelolaan keuangan dan aset yang dilakukan pejabat
pengelola keuangan dan aset daerah.
Beberapa penelitian yang berkaitan dengan pengaruh komitmen
organisasi terhadap perilaku tidak etis dan kecenderungan kecurangan (fraud),
antara lain oleh Wilks (2011) yang mendukung hipotesis bahwa komitmen
organisasi dan kepuasan kerja berhubungan negatif terhadap perilaku tidak
etis. Hal ini selaras dengan penelitian Mustikasari (2013), Pristiyanti (2012)
dan Najahningrum (2013) yang menyimpulkan bahwa semakin tinggi
komitmen organisasi akan semakin rendah kecenderungan kecurangan (fraud)
yang mungkin terjadi.
Untuk mengatasi permasalahan keagenan, salah satu hal yang harus
dilakukan oleh sebuah institusi adalah melaksanakan semua aturan dengan
benar. Penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya untuk tegaknya
atau berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman
perilaku dalam lalu lintas atau hubungan-hubungan hukum dalam kehidupan
bermasyarakat dan bernegara (Asshiddiqie,2008). Kesadaran masyarakat akan
timbul bila penegakan aturan / hukum dapat berjalan dengan semestinya.
Penegakan aturan / hukum yang baik diharapkan dapat mengurangi perilaku
tidak etis pejabat pengelola keuangan dan aset pemerintah daerah. Diharapkan
dengan menurunnya perilaku tidak etis, maka diduga akan berdampak pada
menurunnya tindakan kecurangan (fraud) dalam pengelolaan keuangan dan
aset pemerintah. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa penegakan
aturan/hukum dapat mengurangi perilaku tidak etis dan kecurangan (fraud)
dalam pengelolaan keuangan dan aset pada pemerintah derah.
Roberts et al., (2002 : 23) berpendapat, cara profesi diorganisir antara
lain melalui kode etik dan ketaatan atas aturan akuntansi yang akan
memberikan pengaruh serta mengendalikan perilaku manajemen. Beberapa
penelitian yang mendukung pendapat tersebut, di antaranya penelitian Larkin

31
(2000), D’Aquila (2001), Wolk and Tearney (1997: 93-95) serta Adams et al.,
(2001). Dengan demikian semakin perusahaan taat pada aturan, semakin
rendah perilaku tidak etis dan kecenderungan kcurangan (fraud) manajemen
perusahaan dan individu.
Penelitian terkait dengan penegakan aturan / hukum termasuk ketaatan
aturan akuntansi di Indonesia, diantaranya dilakukan oleh Wilopo (2006) yang
memberi kesimpulan bahwa ketaatan aturan akuntansi berpengaruh terhadap
perilaku tidak etis dan kecenderungan kecurangan akuntansi. Hasil ini sesuai
dengan penelitian Pristiyanti (2012), Mustikasari (2013), Adelin (2013) dan
Najahningrum (2013) yang menyimpulkan bahwa penegakan peraturan
berpengaruh negatif terhadap kecenderungan kecurangan. Dalam suatu
instansi, apabila penegakan peraturan kurang efektif akan membuka peluang
bagi pegawai untuk melakukan pelanggaran peraturan yang bisa saja mengarah
pada perilaku menyimpang, salah satunya dengan melakukan kecurangan.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa semakin kuat penegakan peraturan
dalam suatu instansi, maka kecenderungan kecurangan yang mungkin terjadi
juga akan semakin rendah. Namun hasil penelitian yang berbeda ditunjukkan
dalam Pramudita (2013) bahwa penegakan hukum tidak berpengaruh terhadap
fraud di sektor pemerintahan.
Selain faktor-faktor yang telah diuraikan sebelumnya, perilaku tidak etis
juga merupakan salah satu faktor penting yang mempengaruhi kecenderungan
kecurangan (fraud). Perilaku tidak etis terdiri dari perilaku yang menyalah-
gunakan kedudukan, perilaku yang menyalahgunakan kekuasaan, perilaku
yang menyalahgunakan sumber daya organisasi, serta perilaku yang tidak
berbuat apa-apa. Menurut CIMA (2002), budaya perusahaan dengan standar
etika yang rendah akan memiliki resiko kecurangan akuntansi yang tinggi.
Menurut Dallas (2002), berbagai macam kecurangan yang dilakukan oleh
perusahaan Enron, WorldCom, Xerox dan perusahaan lainnya di USA
disebabkan karena adanya perilaku tidak etis dari pihak manajemen
perusahaan yang bersangkutan. Penyampaian fakta oleh Green and Calderon

32
(1999), Reinstein (1998), dan COSO (2002) menunjukkan bahwa perilaku
tidak etis dalam bentuk penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan,
kedudukan, dan berbagai sumber daya ekonomi organisasi mendorong
manajemen perusahaan melakukan kecurangan akuntansi.
Di Indonesia penelitian tentang pengaruh perilaku tidak etis terhadap
kecenderungan kecurangan (fraud) dilakukan oleh Thoyibatun (2009) yang
menyatakan bahwa perilaku karyawan yang etis mencerminkan terjadinya
interaksi individu dengan individu yang lainnya dalam konteks sosial atau
lingkungan organisasi yang merupakan wadah interaksi tersebut. Perilaku
tersebut dikatakan etis karena memenuhi standar kualitas kinerja yang berlaku
baik untuk manajemen ataupun karyawan. Dalam perjalanan memenuhi
standar tersebut adakalanya seseorang memiliki keinginan pribadi yang selaras
dengan kepentingan lingkungan dan pada situasi yang lain adakalanya harus
mengalahkan kepentingannya sendiri atau kepentingan lingkungan karena
adanya keinginan yang kuat untuk memenuhi kepentingan etika. Oleh karena
itu jika perilaku tidak etis yang dipilih manajemen atau karyawan, bentuk
pertanggungjawaban kerja yang dicapai semakin jauh dari standar yang
dikehendaki atau kecenderungan kecurangan (fraud) yang semakin meningkat
atau dengan kata lain semakin tinggi perilaku tidak etis seorang individu akan
mengarahkan pada tingginya tingkat kecenderungan kecurangan (fraud) pada
perusahaan. Hal yang sama juga ditemukan dalam penelitian Adelin (2013)
dan Wilopo (2006) yang menemukan bahwa perilaku tidak etis memberikan
pengaruh yang signifikan dan positif terhadap kecenderungan kecurangan
(fraud) pada perusahaan.

33
BAB II
DEFINISI PERILAKU TIDAK ETIS

2.1 Perilaku Tidak Etis dan Kecurangan


Etika (Yunani Kuno: “ethikos“, berarti “timbul dari kebiasaan”) adalah
sebuah sesuatu dimana dan bagaimana cabang utama filsafat yang mempelajari
nilai atau kualitas yang menjadi studi mengenai standar dan penilaian moral
(Forsyth, 1980). Etika mencakup analisis dan penerapan konsep seperti benar,
salah, baik, buruk, dan tanggung jawab.
Secara metodologis, Keraff (2010) memaparkan bahwa tidak setiap hal
menilai perbuatan dapat dikatakan sebagai etika. Etika memerlukan sikap
kritis, metodis, dan sistematis dalam melakukan refleksi. Karena itulah etika
merupakan suatu ilmu. Sebagai suatu ilmu, objek dari etika adalah tingkah laku
manusia. Akan tetapi berbeda dengan ilmu-ilmu lain yang meneliti juga
tingkah laku manusia, etika memiliki sudut pandang normatif. Maksudnya
etika melihat dari sudut baik dan buruk terhadap perbuatan manusia. Menurut
Robins & Judge (2008) etika terbagi menjadi tiga bagian utama:
1. Meta-etika (studi konsep etika)
2. Etika Normatif (studi penentuan nilai etika)
3. Etika Terapan (studi penggunaan nilai-nilai etika)
Sedangkan menurut Falah & Syaikul (2006) etika dapat dibagi menjadi
dua, yaitu:
• Etika Filosofis
Etika filosofis secara harfiah (fay overlay) dapat dikatakan sebagai etika
yang berasal dari kegiatan berfilsafat atau berpikir, yang dilakukan oleh
manusia. Karena itu, etika sebenarnya adalah bagian dari filsafat; etika lahir
dari filsafat.

34
Berikut ini merupakan dua sifat etika :
1. Non-empiris, filsafat digolongkan sebagai ilmu non-empiris. Ilmu
empiris adalah ilmu yang didasarkan pada fakta atau yang kongkret.
Namun filsafat tidaklah demikian, filsafat berusaha melampaui yang
kongkret dengan seolah-olah menanyakan apa di balik gejala-gejala
kongkret. Demikian pula dengan etika. Etika tidak hanya berhenti pada
apa yang kongkret yang secara faktual dilakukan, tetapi bertanya tentang
apa yang seharusnya dilakukan atau tidak boleh dilakukan.
2. Praktis, cabang-cabang filsafat berbicara mengenai sesuatu “yang ada”.
Misalnya filsafat hukum mempelajari apa itu hukum. Akan tetapi etika
tidak terbatas pada itu, melainkan bertanya tentang “apa yang harus
dilakukan”. Dengan demikian etika sebagai cabang filsafat bersifat
praktis karena langsung berhubungan dengan apa yang boleh dan tidak
boleh dilakukan manusia. Tetapi ingat bahwa etika bukan praktis dalam
arti menyajikan resep-resep siap pakai. Etika tidak bersifat teknis
melainkan reflektif. Maksudnya etika hanya menganalisis tema-tema
pokok seperti hati nurani, kebebasan, hak dan kewajiban, dsb, sambil
melihat teori-teori etika masa lalu untuk menyelidiki kekuatan dan
kelemahannya. Diharapakan kita mampu menyusun sendiri argumentasi
yang tahan uji.

• Etika Teologis
Ada dua hal yang perlu diingat berkaitan dengan etika teologis. Pertama,
etika teologis bukan hanya milik agama tertentu, melainkan setiap agama dapat
memiliki etika teologisnya masing-masing. Kedua, etika teologis merupakan
bagian dari etika secara umum, karena itu banyak unsur-unsur di dalamnya
yang terdapat dalam etika secara umum, dan dapat dimengerti setelah
memahami etika secara umum.

35
Secara umum, etika teologis dapat didefinisikan sebagai etika yang
bertitik tolak dari presuposisi-presuposisi teologis. Definisi tersebut menjadi
kriteria pembeda antara etika filosofis dan etika teologis.

Akuntan Publik yaitu seorang praktisi dan gelar profesional yang


diberikan kepada akuntan di Indonesia yang telah mendapatkan izin dari
Menteri Keuangan RI untuk memberikan jasa audit umum dan review atas
laporan keuangan, audit kinerja dan audit khusus serta jasa dalam bidang non-
atestasi lainnya seperti jasa konsultasi, jasa kompilasi, dan jasa-jasa lainnya
yang berhubungan dengan akuntansi dan keuangan (Bawono, 2006).
Ketentuan mengenai praktek Akuntan di Indonesia diatur dengan Undang-
Undang Nomor 34 Tahun 1954 yang mensyaratkan bahwa gelar akuntan hanya
dapat dipakai oleh mereka yang telah menyelesaikan pendidikannya dari
perguruan tinggi dan telah terdaftar pada Departemen keuangan R.I.
Menurut Muthmainah (2006) untuk dapat menjalankan profesinya
sebagai akuntan publik di Indonesia, seorang akuntan harus lulus dalam ujian
profesi yang dinamakan Ujian Sertifikasi Akuntan Publik (USAP) dan kepada
lulusannya berhak memperoleh sebutan “Bersertifikat Akuntan Publik”
(BAP). Sertifikat akan dikeluarkan oleh Ikatan Akuntan Indonesia. Sertifikat
Akuntan Publik tersebut merupakan salah satu persyaratan utama untuk
mendapatkan izin praktik sebagai Akuntan Publik dari Departemen Keuangan
(Comunale. dkk, 2006). Profesi ini dilaksanakan dengan standar yang telah
baku yang merujuk kepada praktek akuntansi di Amerika Serikat sebagai
negara maju tempat profesi ini berkembang. Rujukan utama adalah US GAAP
(United States Generally Accepted Accounting Principle’s) dalam
melaksanakan praktek akuntansi. Sedangkan untuk praktek auditing digunakan
US GAAS (United States Generally Accepted Auditing Standard),
Berdasarkan prinsip-prinsip ini para Akuntan Publik melaksanakan tugas
mereka, antara lain mengaudit Laporan Keuangan para pelanggan.

36
Kerangka standar dari USGAAP telah ditetapkan oleh SEC (Securities
and Exchange Commission) sebuah badan pemerintah quasijudisial
independen di Amerika Serikat yang didirikan tahun 1934. Selain SEC,
tcrdapat pula AICPA (American Institute of Certified Public Accountants)
yang bcrdiri sejak tahun 1945. Sejak tahun 1973, pengembangan standar
diambil alih oleh FASB (Financial Accominting Standard Board) yang
anggota-angotanya terdiri dari wakil-wakil profesi akuntansi dan pengusaha.
Menurut Himmah (2014) akutansi dapat dipandang dalam beberapa
sudut pandang antara lain; (1) Akuntan Pemerintah, adalah akuntan yang
bekerja pada badan-badan pemerintah seperti di departemen, BPKP dan BPK,
Direktorat Jenderal Pajak dan lain-lain. (2) Akuntan Pendidik, adalah akuntan
yang bertugas dalam pendidikan akuntansi yaitu mengajar, menyusun
kurikulum pendidikan akuntansi dan melakukan penelitian di bidang
akuntansi. (3) Akuntan Manajemen, adalah akuntan yang bekerja dalam suatu
perusahaan atau organisasi. Tugas yang dikerjakan adalah penyusunan sistem
akuntansi, penyusunan laporan akuntansi kepada pihak intern maupun ekstern
perusahaan, penyusunan anggaran, menangani masalah perpajakan dan
melakukan pemeriksaan intern.
Kode etik akuntan Indonesia memuat delapan prinsip etika, sebagai
berikut: (Mulyadi, 2001: 53)
• Tanggung jawab profesI
Seorang akuntan harus bertanggung jawab dan mempertimbangkan
moral dan profesional dalam segala kegiatan yang dilakukan.
• Kepentingan publik
Seorang akuntan harus melayani kepentingan publik, menghrmati publik
dan menjaga komitmen profesionalisme.
• Integritas
Seorang akuntan harus manjaga kepercayaan publik, memenuhi
tanggungjawab dan meningkatkan integritas setinggi mungkin.

37
• Obyektifitas
Seorang akuntan dalam memenuhi tanggungjawabnya harus menjaga
obyektifitas dan menjaga benturan dari kepentingan
• Kompetensi dan kehati-hatian
Seorang akuntan dituntut harus melaksanakan jasa profesionalnya
dengan penuh kehati-hatian, kompetensi, dan ketekunan, serta
mempunyai kewajiban untuk mempertahankan pengetahuan dan
keterampilan profesionalnya pada tingkat yang diperlukan untuk
memastikan bahwa klien atau pemberi kerja memperoleh manfaat dari
jasa profesional yang kompeten berdasarkan perkembangan praktik,
legislasi, dan teknik yang paling mutakhir.
• Kerahasiaan
Seorang akuntan harus menjaga kerahasiaan kepentingan kliennya dan
tidak boleh mengungkapkan informasi tanpa persetujuan kecuali ada hak
profesional dan hukum untuk mengungkapkannya.
• Perilaku profesional
Sebagai akuntan profesional dituntut konsisten dan selaras dengan
reputasi profesi yang baik dan menjauhkan perilaku yang dapat
menjatuhkan profesionalisme.
• Standar Teknis
Akuntan dalam menjalankan tugas profesionalnya harus mengacu dan
mematuhi standar teknis dan standar profesional yang relevan yang
sesuai dengan profesinya masing-masing (Siwahjoeni & Gudono, 2000).
Profesi adalah kata serapan dari sebuah kata dalam bahasa Inggris
“Profess”, yang dalam bahasa Yunani adalah “Επαγγελια”, yang
bermakna: “Janji untuk memenuhi kewajiban melakukan suatu tugas
khusus secara tetap/permanen”.

38
Profesi adalah pekerjaan yang membutuhkan pelatihan dan penguasaan
terhadap suatu pengetahuan khusus (Margawati, 2010). Suatu profesi biasanya
memiliki asosiasi profesi, kode etik, serta proses sertifikasi dan lisensi yang
khusus untuk bidang profesi tersebut. Contoh profesi adalah pada bidang
hukum, kedokteran, keuangan, militer, teknik, dan desainer.
Seseorang yang memiliki suatu profesi tertentu, disebut profesional.
Walaupun begitu, istilah profesional juga digunakan untuk suatu aktivitas yang
menerima bayaran, sebagai lawan kata dari amatir. Contohnya adalah petinju
profesional menerima bayaran untuk pertandingan tinju yang dilakukannya,
sementara olahraga tinju sendiri umumnya tidak dianggap sebagai suatu
profesi.
Karakteristik Profesi menurut Dzakirin (2013) terbagi menjadi 11, yaitu:
Profesi adalah pekerjaan, namun tidak semua pekerjaan adalah profesi. Profesi
mempunyai karakteristik sendiri yang membedakannya dari pekerjaan lainnya.
Daftar karakterstik ini tidak memuat semua karakteristik yang pernah
diterapkan pada profesi, juga tidak semua ciri ini berlaku dalam setiap profesi:
1. Keterampilan yang berdasar pada pengetahuan teoretis
Profesional diasumsikan mempunyai pengetahuan teoretis yang ekstensif
dan memiliki keterampilan yang berdasar pada pengetahuan tersebut dan
bisa diterapkan dalam praktik.
2. Asosiasi profesional
Profesi biasanya memiliki badan yang diorganisasi oleh para anggotanya,
yang dimaksudkan untuk meningkatkan status para anggotanya. Organisasi
profesi tersebut biasanya memiliki persyaratan khusus untuk menjadi
anggotanya.
3. Pendidikan yang ekstensif
Profesi yang prestisius biasanya memerlukan pendidikan yang lama dalam
jenjang pendidikan tinggi.

39
4. Ujian kompetensi
Sebelum memasuki organisasi profesional, biasanya ada persyaratan untuk
lulus dari suatu tes yang menguji terutama pengetahuan teoretis.
5. Pelatihan institutional
Selain ujian, juga biasanya dipersyaratkan untuk mengikuti pelatihan
istitusional dimana calon profesional mendapatkan pengalaman praktis
sebelum menjadi anggota penuh organisasi. Peningkatan keterampilan
melalui pengembangan profesional juga dipersyaratkan.
6. Lisensi
Profesi menetapkan syarat pendaftaran dan proses sertifikasi sehingga
hanya mereka yang memiliki lisensi bisa dianggap bisa dipercaya.
7. Otonomi kerja
Profesional cenderung mengendalikan kerja dan pengetahuan teoretis
mereka agar terhindar adanya intervensi dari luar.
8. Kode etika
Organisasi profesi biasanya memiliki kode etik bagi para anggotanya dan
prosedur pendisiplinan bagi mereka yang melanggar aturan.
9. Mengatur diri
Organisasi profesi harus bisa mengatur organisasinya sendiri tanpa campur
tangan pemerintah. Profesional diatur oleh mereka yang lebih senior,
praktisi yang dihormati, atau mereka yang berkualifikasi paling tinggi.
10. Layanan publik dan altruisme
Diperolehnya penghasilan dari kerja profesinya dapat dipertahankan selama
berkaitan dengan kebutuhan publik, seperti layanan dokter berkontribusi
terhadap kesehatan masyarakat.
11. Status dan imbalan yang tinggi
Profesi yang paling sukses akan meraih status yang tinggi, prestise, dan
imbalan yang layak bagi para anggotanya. Hal tersebut bisa dianggap
sebagai pengakuan terhadap layanan yang mereka berikan bagi masyarakat.

40
Akuntansi adalah pengukuran, penjabaran, atau pemberian kepastian
mengenai informasi yang akan membantu manajer, investor, otoritas pajak dan
pembuat keputusan lain untuk membuat alokasi sumber daya keputusan di
dalam perusahaan, organisasi, dan lembaga pemerintah. Akuntansi adalah seni
dalam mengukur, berkomunikasi dan menginterpretasikan aktivitas keuangan.
Secara luas, akuntansi juga dikenal sebagai “bahasa bisnis”.
Akuntansi bertujuan untuk menyiapkan suatu laporan keuangan yang
akurat agar dapat dimanfaatkan oleh para manajer, pengambil kebijakan, dan
pihak berkepentingan lainnya, seperti pemegang saham, kreditur, atau pemilik.
Pencatatan harian yang terlibat dalam proses ini dikenal dengan istilah
pembukuan. Akuntansi keuangan adalah suatu cabang dari akuntansi dimana
informasi keuangan pada suatu bisnis dicatat, diklasifikasi, diringkas,
diinterpretasikan, dan dikomunikasikan. Auditing, satu disiplin ilmu yang
terkait tapi tetap terpisah dari akuntansi, adalah suatu proses dimana pemeriksa
independen memeriksa laporan keuangan suatu organisasi untuk memberikan
suatu pendapat atau opini yang masuk akal tapi tak dijamin sepenuhnya
mengenai kewajaran dan kesesuaiannya dengan prinsip akuntansi yang
berterima umum.
Praktisi akuntansi dikenal sebagai akuntan. Akuntan bersertifikat resmi
memiliki gelar tertentu yang berbeda di tiap negara. Contohnya adalah
Chartered Accountant (FCA, CA or ACA), Chartered Certified Accountant
(ACCA atau FCCA), Management Accountant (ACMA, FCMA atau
AICWA), Certified Public Accountant (CPA), dan Certified General
Accountant (CGA). Di Indonesia, akuntan publik yang bersertifikat disebut
CPA Indonesia (sebelumnya: BAP atau Bersertifikat Akuntan Publik).
Akuntansi adalah pengukuran, penjabaran, atau pemberian kepastian
mengenai informasi yang akan membantu manajer, investor, otoritas pajak dan
pembuat keputusan lain untuk membuat alokasi sumber daya keputusan di
dalam perusahaan, organisasi, dan lembaga pemerintah. Akuntansi adalah seni
dalam mengukur, berkomunikasi dan menginterpretasikan aktivitas keuangan.

41
Secara luas, akuntansi juga dikenal sebagai “bahasa bisnis”. Akuntansi
bertujuan untuk menyiapkan suatu laporan keuangan yang akurat agar dapat
dimanfaatkan oleh para manajer, pengambil kebijakan, dan pihak
berkepentingan lainnya, seperti pemegang saham, kreditur, atau pemilik.
Pencatatan harian yang terlibat dalam proses ini dikenal dengan istilah
pembukuan. Akuntansi keuangan adalah suatu cabang dari akuntansi dimana
informasi keuangan pada suatu bisnis dicatat, diklasifikasi, diringkas,
diinterpretasikan, dan dikomunikasikan. Auditing, satu disiplin ilmu yang
terkait tapi tetap terpisah dari akuntansi, adalah suatu proses dimana pemeriksa
independen memeriksa laporan keuangan suatu organisasi untuk memberikan
suatu pendapat atau opini yang masuk akal tapi tak dijamin sepenuhnya
mengenai kewajaran dan kesesuaiannya dengan prinsip akuntansi yang
berterima umum.
Praktisi akuntansi dikenal sebagai akuntan. Akuntan bersertifikat resmi
memiliki gelar tertentu yang berbeda di tiap negara. Contohnya adalah
Chartered Accountant (FCA, CA or ACA), Chartered Certified Accountant
(ACCA atau FCCA), Management Accountant (ACMA, FCMA atau
AICWA), Certified Public Accountant (CPA), dan Certified General
Accountant (CGA). Di Indonesia, akuntan publik yang bersertifikat disebut
CPA Indonesia (sebelumnya: BAP atau Bersertifikat Akuntan Publik).
Etika akan selalu menjadi hal yang vital dalam hidup bermasyarakat.
Dalam dunia bisnis, etika bisnis merupakan prinsip yang sangat penting
diterapkan untuk membangun suasana bisnis yang adil dan kondusif. Bidang
akuntansi tidak lepas dari permasalahan etika. Perilaku etis seorang akuntan
profesional sangat diperlukan untuk menjaga status dan kredibilitas profesi
akuntan (Chan dan Leung, 2006). Ikatan Akuntan Publik Indonesia (IAPI)
menerbitkan Kode Etik Profesi Akuntan Publik. Setiap individu dalam kantor
akuntan publik (KAP), baik yang merupakan anggota IAPI maupun yang
bukan merupakan anggota IAPI, yang memberikan jasa profesional yang
meliputi jasa assurance dan jasa selain assurance seperti yang tercantum dalam

42
standar profesi dan kode etik profesi wajib menerapkan prinsip dasar dan
aturan etika profesi ini.
Profesi akuntan saat ini memiliki posisi yang penting. Salah satu produk
yang dihasilkan akuntan adalah laporan keuangan. Tujuan dasar laporan
keuangan yaitu untuk menyediakan informasi yang berguna untuk membuat
keputusan ekonomis (Wolk, Dodd, dan Rozycki, 2013). AICPA melalui The
Trueblood Committee Report menyatakan kegunaan laporan keuangan untuk
melayani para pengguna yang memiliki keterbatasan kewenangan,
kemampuan, atau sumber daya untuk mendapatkan informasi, dan yang
mengandalkan laporan keuangan sebagai sumber utama mereka untuk
mendapatkan informasi tentang situasi ekonomi suatu perusahaan. Para
pengguna, internal maupun eksternal, menggunakan informasi yang
terkandung dalam laporan keuangan sebagai dasar pengambilan keputusan.
Melalui laporan keuangan, seorang investor dapat memutuskan untuk
menanamkan sahamnya atau tidak ke perusahaan pelapor, seorang kreditur
dapat mempertimbangkan terkait pemberian kredit. Maka dari itu, akuntan
profesional dituntut untuk menyajikan informasi yang berkualitas dalam
laporan keuangan. Chen dan Leung (2006) menyatakan bahwa dalam
menjalankan praktik profesionalnya, akuntan profesional harus berinteraksi
dengan jaringan luas dari pemangku kepentingan termasuk individu, entitas,
dan organisasi. Interaksi tersebut, dalam banyak kasus, berpotensi
menimbulkan konflik kepentingan.
Dilema etika dalam mengambil sebuah keputusan akuntansi merupakan
cerminan konflik kepentingan yang seringkali dihadapi akuntan. Hal ini
berkaitan erat dengan pemahaman etika dalam diri individu tersebut. Untuk
menanamkan sejak dini kesadaran (awareness) mengenai pentingnya etika,
pendidikan etika telah menjadi salah satu mata kuliah wajib yang diajarkan
oleh hampir semua jurusan akuntansi di perguruan tinggi di Indonesia.
Pentingnya pendidikan etika untuk para calon akuntan ini mengingat telah
terjadi banyak skandal kecurangan akuntansi yang menimpa perusahaan-

43
perusahaan besar di masa lampau terkait dengan ketiadaan etika di dalam diri
akuntan. Skandal-skandal fraud ini menghancurkan kepercayaan publik
terhadap akuntan dan juga auditor (McBarnet, 2005).
Fraud, atau kecurangan, merupakan salah satu perbuatan tidak etis. Fraud
seperti yang didefinisikan dalam Black’s Law Dictionary, adalah tindakan
penyajian kebenaran yang keliru yang disengaja atau penyembunyian fakta
yang material untuk membujuk orang lain untuk melakukan kegiatan
merugikan yang diinginkannya. Association of Certified Fraud Examiners
(ACFE) mengklasifikasikan fraud dalam hubungan kerja ke dalam tiga
kelompok, yaitu korupsi (corruption), penyalahgunaan aset (asset
misappropriation), kecurangan laporan keuangan (financial statement fraud).
Berdasarkan 2016 Global Fraud Study oleh ACFE, lebih dari tiga perempat
dari total kasus fraud yang terjadi dilakukan oleh individu yang bekerja di salah
satu dari tujuh departemen di perusahaan: akuntansi, operasi, penjualan,
manajemen eksekutif, pelayanan konsumen, pembelian, dan keuangan.
Sebanyak 16.6% kecurangan di lingkungan kerja dilakukan oleh individu dari
divisi akuntansi. Kasus fraud terjadi baik di dalam negeri maupun di luar
negeri. Beberapa ada yang dampaknya sangat masif, bahkan mengganggu
stabilitas ekonomi negara.
Kejatuhan dramatis beberapa perusahaan besar seperti Enron,
WorldCom, Xerox, Global Crossing, dan juga kasus fraud yang dilakukan
Bernard Madoff melalui skema Ponzinya, telah mengikis kepercayaan pasar
finansial dan kepercayaan terhadap profesi akuntan. Skandal Enron yang
merupakan kasus fraud terbesar sepanjang abad ini yang dianggap bukan lagi
sekedar fraud, melainkan sebuah kegagalan bisnis, yang terjadi antara klien
dengan auditornya yang seharusnya independen (McBarnet, 2005). Pada saat
itu reputasi akuntan menjadi hanya dipandang sebelah mata. Banyak investor
enggan lagi mempercayai profesi akuntan. Akuntan memiliki peran vital dalam
proses pembuatan laporan keuangan.

44
Setiap pengambilan keputusan yang dilakukan oleh para akuntan pada
saat melaksanakan pekerjaannya akan beimplikasi pada laporan keuangan
sebagai produk akhir profesi ini. Proses pengambilan keputusan diawali
dengan melakukan proses pertimbangan (judgement) dalam menentukan
keputusan yang akan dibuat. Sikap personal memiliki hubungan erat dalam
proses judgemental (Nugroho, 1999). Beberapa penelitian sebelumnya
mengevaluasi etika dengan perbedaan individual. Bukti dalam penelitian-
penelitian tersebut menyatakan bahwa terdapat hubungan antara kepribadian
seseorang dengan pengambilan keputusan etis. Schloemer (1997) menyatakan
bahwa tipe kepribadian berpengaruh terhadap pengambilan keputusan. Hasil
penelitian oleh Gibbins (1984) menyatakan bahwa sikap personal dan
kepribadian memiliki peranan penting dalam pertimbangan pengambilan
keputusan.
Myers-Briggs Type Indicator (MBTI) merupakan alat ukur kepribadian
yang dipopulerkan oleh Katherine C. Briggs dan Isabel Briggs Myers yang
merupakan pengembangan dari teori kepribadian Carl G. Jung. MBTI
mengidentifikasi 16 tipe personal berdasarkan empat domain atau dimensi.
Domain ini dibedakan menjadi empat pasang preferensi untuk mengenali
reaksi individu mengenai: bagaimana fokus perhatian seseorang terhadap
ruang lingkup kehidupannya; bagaimana seseorang mendapatkan dan
memproses informasi; bagaimana individu menentukan keputusan dan
mengambil kesimpulan; dan bagaimana sikap individu terhadap dunia luar.
Stimulus dalam menerima, memproses, dan mengingat informasi
dikelompokkan menjadi preferensi Sensing dan Intuition. Sedangkan dimensi
yang menentukan bagaimana seseorang menentukan keputusan dan membuat
kesimpulan diklasifikasikan menjadi Feeling dan Thinking. Perbedaan sifat
tiap domain berimplikasi pada aplikasi teknik-teknik akuntansi (Smith, 1999).
Setiap pribadi manusia memiliki dominasi atau kecenderungan ke salah satu
preferensi. Locus of control merupakan salah satu karakteristik individu yang

45
berpengaruh terhadap perilaku etis. Karakteristik ini berhubungan dengan
pengendalian diri seseorang.
Suryaningrum, Hastuti, dan Suhartini (2012) dalam penelitiannya
mengenai perilaku etis mahasiswa dan dosen akuntansi mengungkapkan
bahwa individu dengan locus of control internal lebih enggan melakukan hal-
hal tidak etis dibandingkan dengan individu eksternal. Penelitian Penelitian
Reiss dan Mitra (1998) menunjukkan bahwa individu dengan locus of control
internal menganggap perilaku tidak etis sebagai hal yang tidak bisa diterima.
Hasil dari kedua penelitian tersebut bertolak belakang dengan penelitian
Lucyanda dan Endro (2012) yang menyatakan bahwa locus of control tidak
menunjukkan pengaruh terhadap perilaku etis mahasiswa.
Penalaran moral menurut Kohlberg adalah sebuah proses kognitif yang
digunakan individu dalam menentukan hal yang benar atau salah. Teori
penalaran moral menurut Kohlberg ini diterima secara luas sebagai teori yang
terkemuka mengenai penalaran moral (Chan dan Leung, 2006). Richmond
(2001) menyatakan bahwa mahasiswa akuntansi yang memiliki penalaran
moral tinggi cenderung lebih tidak setuju dengan perilaku tidak etis
dibandingkan dengan mahasiswa yang memiliki penalaran moral lebih rendah.
Seseorang memiliki kepribadian yang cenderung tidak berubah selama
hidupnya. Sementara penalaran moral dapat meningkat melalui pendidikan
etika yang didapatkan saat seseorang menempuh jenjang pendidikan.
Krisis dalam Profesi akuntan publik di Indonesia diperkirakan
akan terjadi dalam sepuluh tahun ke depan, disebabkan karena semakin
minimnya SDM akibat kurangnya minat generasi muda terhadap profesi
tersebut.Berdasarkan data Ikatan Akuntan Indonesia (IAI), sedikitnya 75%
akuntan publik yang berpraktek di Indonesia berusia di atas 55 tahun. Kondisi
ini, tentunya akan mengancam eksistensi profesi akuntan publik di Tanah Air
karena tidak ada regenerasi kepada kaum muda. Padahal, seiring dengan
semakin berkembangnya pertumbuhan industri di Indonesia, jasa akuntan
semakin dibutuhkan. Apabila keadaan ini tidak bisa diatasi, maka

46
diperkirakan dalam sepuluh tahun ke depan, profesi akuntan terancam mati.
Padahal semakin ke depan profesi ini akan sangat menjanjikan karena pesatnya
pertumbuhan industri. Pelaksanaan ekonomi di negeri ini ditunjang fungsi
akuntan publik oleh karena itu pemerintah mendesak RUU Akuntan Publik
guna segera disahkan Dewan Perwakilan Rakyat.
Melalui RUU akuntan publik ini, negara ingin mengatur peran dan
bagaimana akuntan publik bekerja. Pasalnya, saat ini terjadi ketimpangan
dalam dunia akuntan publik. Dari 16 ribu perusahaan yang selalu diaudit
shatiap tahun, 70 persennya hanya diaduit oleh 4 akuntan publik. Sisanya lebih
dari 400 akuntan publik dan 600 orang akuntan bekerja.
Undang Undang itu juga mengatur bagaimana profesi akuntan itu bisa
mendapatkan perhatian dan pembinaan, mulai dari ijin, menentukan standar
akuntansi juga mengawasi kode etik.Izin akuntan publik tetap dari pemerintah,
dan kemudian nantinya akan ada sebuah komite yang dibentuk yang terdiri dari
perwakilan pemerintah, asosiasi, dan emiten yang akan mengawasi dan
membina dalam pelaksanaan pekerjaan akuntan publik.
Dengan undang-undang ini juga diharapkan setiap akuntan publik bisa
bekerja secara profesional. Kedepannya Kementerian Keuangan, dalam hal ini
adalah Direktorat Jenderal Pajak mempercayakan audit laporan keuangan
perusahaan itu kepada akuntan publik. Jadi nantinya bagi setiap wajib pajak
yang laporan keuangannya sudah diaudit oleh akuntan publik dan statusnya
baik, maka laporan keuangan itu tidak akan diperiksa lagi oleh Ditjen Pajak
karena akuntan publik dipercaya mampu dan dapat memberikan laporan
yang benar sehingga dengan demikian Ditjen Pajak hanya tinggal berfokus
pada perusahaan yang memang bermasalah.
Profesi akuntansi yang krisis bahayanya adalah apabila tiap-tiap auditor
atau attestor bertindak di jalan yang salah, opini dan audit akan bersifat tidak
berharga. Suatu penggunaan untuk akuntan akan mengenakkan pajak preparers
dan wartawan keuangan tetapi fungsi audit yang menjadi jantungnya akuntansi

47
akan memotong keluar dari praktek untuk menyumbangkan hamper sia-sia
penyalahgunaannya.
Perusahaan melakukan pengawasan terhadap auditor-auditor yang
sedang bekerja untuk melaksanakan pengawasan intern, keuangan,
administratif, penjualan, pengolahan data dan fungsi pemasaran diantara orang
banyak.
Akuntan publik merupakan suatu wadah yang dapat menilai apakah
laporan keuangan sudah sesuai dengan prinsip-prinsip akuntansi ataupun audit.
Perbedaan akuntan publik dengan perusahaan jasa lainnya yaitu jasa yang
diberikan oleh KAP akan digunakan sebagai alat untuk membuat keputusan.
Kewajiban dari KAP yaitu jasa yang diberikan dipakai untuk make decision
atau memiliki tanggung jawab sosial atas kegiatan usahanya.
Bagi akuntan berperilaku etis akan berpengaruh terhadap citra KAP dan
membangun kepercayaan masyarakat serta akan memperlakukan klien dengan
baik dan jujur, maka tidak hanya meningkatkan pendapatannya tetapi juga
memberi pengaruh positif bagi karyawan KAP. Perilaku etis ini akan memberi
manfaat yang lebih bagi manager KAP dibanding bagi karyawan KAP yang
lain. Kesenjangan yang terjadi adalah selain melakukan audit juga melakukan
konsultan, membuat laporan keuangan, menyiapkan laporan pajak. Oleh
karena itu terdapat kesenjangan diatara profesi akuntansi dan keharusan profesi
akuntansinya.
Maraknya kecurangan di laporan keuangan, secara langsung maupun
tidak langsung mengarah pada profesi akuntan. Sederetan kecurangan telah
terjadi baik diluar maupun di Indonesia. Profesi akuntan saat ini tengah
menghadapi sorotan tajam terlebih setelah adanya sejumlah skandal akuntansi
yang dilakukan beberapa perusahaan dunia. Terungkapnya kasus manipulasi
yang dilakukan perusahaan Enron merupakan pemicu terjadinya krisis dalam
dunia profesi akuntan dan tengkurepnya kasus-kasus manipulasi akuntansi
lainnya seperti kasus worldCom, Xerox Corp, dan Merek Corp. Dan di
Indonesia yaitu kasus Kimia Farma, PT Bank Lippo, dan ditambah lagi kasus

48
penolakan laporan keuangan PT. Telkom oleh SEC, semakin menambah daftar
panjang ketidak percayaan terhadap profesi akuntan.
Dalam hasil Kongres Akuntan Sedunia (Word Congres Of Accountants
“WCOA” ke-16 yang diselenggarakan di Hongkong juga disimpulkan bahwa
kredibilitas profesi akuntan sebagai fondasi utama sedang
dipertaruhkan. Sebagai fondasi utama,tanpa sebuah kredibilitas profesi ini
akan hancur. Hal ini disebabkan oleh beberapa skandal terkait dengan profesi
akuntan yang telah terjadi. Namun, Profesi akuntan dapat saja mengatasi krisis
ini dengan menempuh cara peningkatan independensi, kredibilitas, dan
kepercayaan masyarakat. Oleh karena itu presiden International Federation of
Accountants IFAC menghimbau agar para akuntan mematuhi aturan profesi
untuk mendapatkan kepercayaan masyarakat agar krisis profesi akuntan tidak
lagi terjadi.
Setiap orang yang melakukan tindakan yang tidak etis maka perlu adanya
penanganan terhadap tindakan tidak etis tersebut. Tetapi jika pelanggaran
serupa banyak dilakukan oleh anggota masyarakat atau anggota profesi maka
hal tersebut perlu dipertanyakan apakah aturan-aturan yang berlaku masih
perlu tetap dipertahankan atau dipertimbangkan untuk dikembangkan dan
disesuaikan dengan perubahan dan perkembangan lingkungan.
Secara umum kode etik berlaku untuk profesi akuntan secara
keselurahan kalau melihat kode etik akuntan Indonesia isinya sebagian besar
menyangkut profesi akuntan publik. Padahal IAI mempunyai kompartemen
akuntan pendidik, kompartemen akuntan manajemen disamping kompartemen
akuntan publik. Perlu dipikir kode etik yang menyangkut akuntan manajemen,
akuntan pendidik, akuntan negara (BPKP, BPK, pajak).
Kasus yang sering terjadi dan menjadi berita biasannya yang
menyangkut akuntan publik. Kasus tersebut bagi masyarakat sering diangap
sebagai pelanggaran kode etik, padahal seringkali kasus tersebut
sebenarnya merupakan pelanggaran standar audit atau pelanggaran terhadap
SAK.

49
Terlepas dari hal tersebut diatas untuk dapat melakukan
penegakan terhadap kode etik ada beberapa hal yang harus dilakukan dan
sepertinya masih sejalan dengan salah satu kebijakan umum pengurus IAI
periode 1990 s/d 1994 yaitu :
1) Penyempurnaan kode etik yang ada penerbitan interprestasi atas
kode etik yang ada baik sebagai tanggapan atas kasus pengaduan
maupun keluhan dari rekan akuntan atau masyarakat umum. Hal ini
sudah dilakukan mulai dari seminar pemutakhiran kode etik IAI, hotel
Daichi 15 juni 1994 di Jakarta dan kongres ke-7 di Bandung dan masih
terus dansedang dilakukan oleh pengurus komite kode etik saat ini.
2) Proses peradilan baik oleh badan pengawas profesi maupun
dewan pertimbangan profesi dan tindak lanjutnya (peringatan
tertulis, pemberhentian sementara dan pemberhentian sebagai anggota
IAI).
3) Harus ada suatu bagian dalam IAI yang mengambil inisiatif
untuk mengajukan pengaduan baik kepada badan pengawasan profesi
atas pelanggaran kode etik meskipun tidak ada pengaduan dari pihak
lain tetapi menjadi perhatian dari masyarakat luas.

Di Indonesia, melalui PPAJP–Dep. Keu., Pemerintah melaksanakan


regulasi yang bertujuan melakukan pembinaan dan pengawasan terkait dengan
penegakkan etika terhadap kantor akuntan publik. Hal ini dilakukan sejalan
dengan regulasi yang dilakukan oleh asosiasi profesi terhadap anggotanya.
Perlu diketahui bahwa telah terjadi perubahan insitusional dalam asosiasi
profesi AP. Saat ini, asosiasi AP berada di bawah naungan
Institut Akuntan Publik Indonesia (IAPI). Sebelumnya asosiasi AP merupakan
bagian dari Institut Akuntan Indonesia (IAI), yaitu Kompartemen Akuntan
Publik.
Perkembangan terakhir dunia internasional menunjukkan bahwa
kewenangan pengaturan akuntan publik mulai ditarik ke pihak pemerintah,

50
dimulai dengan Amerika Serikat yang membentuk Public Company
Accounting Oversight Board (PCAOB). PCAOB merupakan lembaga semi
pemerintah yang dibentuk berdasarkan Sarbanes Oxley Act 2002. Hal ini
terkait dengan turunnya kepercayaan masyarakat terhadap
lemahnya regulasi yang dilakukan oleh asosiasi profesi, terutama sejak
terjadinya kasus Enron dan Wordcom yang menyebabkan bangkrutnya Arthur
Andersen sebagai salah satu the Big-5, yaitu kantor akuntan publik besar
tingkat dunia. Sebelumnya, kewenangan asosiasi profesi sangat besar, antara
lain:
(i) pembuatan standar akuntansi dan standar audit;
(ii) pemeriksaan terhadap kertas kerja audit; dan
(iii) pemberian sanksi.

Dengan kewenangan asosiasi yang demikian luas, diperkirakan bahwa


asosiasi profesi dapat bertindak kurang independen jika terkait dengan
kepentingan anggotanya. Berkaitan dengan perkembangan tersebut,
pemerintah Indonesia melalui Rancangan Undang-Undang tentang Akuntan
Publik (Draft RUU AP, Depkeu, 2006) menarik kewenangan pengawasan dan
pembinaan ke tangan Menteri Keuangan, disamping tetap melimpahkan
beberapa kewenangan kepada asosiasi profesi.
Di samping itu ditambahkan pula sanksi pidana kepada akuntan publik
palsu (atau orang yang mengaku sebagai akuntan publik) dan kepada akuntan
publik yang melanggar penerapan SPAP. Seluruh regulasi tersebut
dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas pelaporan keuangan,
meningkatkan kepercayaan publik serta melindungi kepentingan publik
melalui peningkatan independensi auditor dan kualitas audit.

2.2 Perilaku Tidak Etis dan Kecurangan di Indonesia


Di Indonesia, hingga kini masih sering terjadi kasus-kasus perihal
perilaku tidak etis dan kecurangan-kecurangan yang melibatkan akuntan.
Beberapa kasus bahkan tidak hanya berskala nasional, tapi sampai

51
internasional. Hal ini menunjukan bahwa peran akuntan akan sangat vital
dalam pergerakan perekonomian. Berikut adalah kasus-kasus kecurangan
akuntan yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir:
a) Kasus KPMG-Siddharta Siddharta& Harsono yang diduga menyuap
pajak.
September tahun 2001, KPMG-Siddharta Siddharta & Harsono harus
menanggung malu. Kantor akuntan publik ternama ini terbukti menyogok
aparat pajak di Indonesia sebesar US$ 75 ribu. Sebagai siasat, diterbitkan
faktur palsu untuk biaya jasa profesional KPMG yang harus dibayar kliennya
PT Easman Christensen, anak perusahaan Baker Hughes Inc. yang tercatat di
bursa New York.
Berkat aksi sogok ini, kewajiban pajak Easman memang susut drastis.
Dari semula US$ 3,2 juta menjadi hanya US$ 270 ribu. Namun, Penasihat Anti
Suap Baker rupanya was-was dengan polah anak perusahaannya. Maka,
ketimbang menanggung risiko lebih besar, Baker melaporkan secara suka rela
kasus ini dan memecat eksekutifnya.
Badan pengawas pasar modal AS, Securities & Exchange Commission,
menjeratnya dengan Foreign Corrupt Practices Act, undang-undang anti
korupsi buat perusahaan Amerika di luar negeri. Akibatnya, hampir saja Baker
dan KPMG terseret ke pengadilan distrik Texas. Namun, karena Baker mohon
ampun, kasus ini akhirnya diselesaikan di luar pengadilan. KPMG pun
terselamatan.
Analisa: pada kasus ini KPMG melanggar prinsip intergitas dimana dia
menyuap aparat pajak hanya untuk kepentingan kliennya, hal ini dapat
dikatakan tidak jujur karena KPMG melakukan kecurangan dalam
melaksanakan tugasnya sebagai akuntan publik sehingga KPMG juga
melanggar prinsip objektif

52
b) Manipulasi Laporan Keuangan PT KAI
Transparansi serta kejujuran dalam pengelolaan lembaga yang
merupakan salah satu derivasi amanah reformasi ternyata belum sepenuhnya
dilaksanakan oleh salah satu badan usaha milik negara, yakni PT Kereta Api
Indonesia. Dalam laporan kinerja keuangan tahunan yang diterbitkannya pada
tahun 2005, ia mengumumkan bahwa keuntungan sebesar Rp. 6,90 milyar
telah diraihnya. Padahal, apabila dicermati, sebenarnya ia harus dinyatakan
menderita kerugian sebesar Rp. 63 milyar.
Kerugian ini terjadi karena PT Kereta Api Indonesia telah tiga tahun
tidak dapat menagih pajak pihak ketiga. Tetapi, dalam laporan keuangan itu,
pajak pihak ketiga dinyatakan sebagai pendapatan. Padahal, berdasarkan
standar akuntansi keuangan, ia tidak dapat dikelompokkan dalam bentuk
pendapatan atau asset. Dengan demikian, kekeliruan dalam pencatatan
transaksi atau perubahan keuangan telah terjadi di sini.
Di lain pihak, PT Kereta Api Indonesia memandang bahwa kekeliruan
pencatatan tersebut hanya terjadi karena perbedaan persepsi mengenai
pencatatan piutang yang tidak tertagih. Terdapat pihak yang menilai bahwa
piutang pada pihak ketiga yang tidak tertagih itu bukan pendapatan. Sehingga,
sebagai konsekuensinya PT Kereta Api Indonesia seharusnya mengakui
menderita kerugian sebesar Rp. 63 milyar. Sebaliknya, ada pula pihak lain
yang berpendapat bahwa piutang yang tidak tertagih tetap dapat dimasukkan
sebagai pendapatan PT Kereta Api Indonesia sehingga keuntungan sebesar Rp.
6,90 milyar dapat diraih pada tahun tersebut. Diduga, manipulasi laporan
keuangan PT Kereta Api Indonesia telah terjadi pada tahun-tahun sebelumnya.
Sehingga, akumulasi permasalahan terjadi disini.
Analisa: PT Kereta Api Indonesia tidak boleh mengabaikan dimensi
organisasional penyusunan laporan keuangan dan proses audit. Setiap bagian
lembaga yang ada di dalamnya hendaknya diberi pemahaman masalah esensial
akuntansi dan keuangan yang ada agar tidak terjadi kesalahan dalam
menangani akuntansi serta keuangan secara khusus. Upaya ini penting untuk

53
dilakukan guna membangun kesepahaman (understanding) diantara seluruh
unsur lembaga. Selanjutnya, soliditas kelembagaan diharapkan tercipta
sehingga mempermudah penerapan sistem pengendalian manajemen di
dalamnya.
c) Kasus Mulyana W Kusuma.
Kasus ini terjadi sekitar tahun 2004. Mulyana W Kusuma sebagai
seorang anggota KPU diduga menyuap anggota BPK yang saat itu akan
melakukan audit keuangan berkaitan dengan pengadaan logistic pemilu.
Logistic untuk pemilu yang dimaksud yaitu kotak suara, surat suara, amplop
suara, tinta, dan teknologi informasi. Setelah dilakukan pemeriksaan, badan
dan BPK meminta dilakukan penyempurnaan laporan. Setelah dilakukan
penyempurnaan laporan, BPK sepakat bahwa laporan tersebut lebih baik
daripada sebelumnya, kecuali untuk teknologi informasi. Untuk itu, maka
disepakati bahwa laporan akan diperiksa kembali satu bulan setelahnya.
Setelah lewat satu bulan, ternyata laporan tersebut belum selesai dan
disepakati pemberian waktu tambahan. Di saat inilah terdengar kabar
penangkapan Mulyana W Kusuma. Mulyana ditangkap karena dituduh hendak
melakukan penyuapan kepada anggota tim auditor BPK, yakni Salman
Khairiansyah. Dalam penangkapan tersebut, tim intelijen KPK bekerja sama
dengan auditor BPK. Menurut versi Khairiansyah ia bekerja sama dengan KPK
memerangkap upaya penyuapan oleh saudara Mulyana dengan menggunakan
alat perekam gambar pada dua kali pertemuan mereka.
Penangkapan ini menimbulkan pro dan kontra. Salah satu pihak
berpendapat auditor yang bersangkutan, yakni Salman telah berjasa
mengungkap kasus ini, sedangkan pihak lain berpendapat bahwa Salman tidak
seharusnya melakukan perbuatan tersebut karena hal tersebut telah melanggar
kode etik akuntan.
Analisa: Hal yang dilakukan oleh Khairiansyah tidak dibenarkan karena
melanggar kode etik akuntan. Seorang auditor telah melanggar prinsip
objektivitas karena telah memihak kepada salah satu pihak dengan berpendapat

54
adanya kecurangan. Lalu auditor juga melanggar prinsip kompetensi dan
kehati-hatian profesional karena auditor tidak mampu mempertahankan
pengetahuan dan keterampilan profesional dalam melakukan audit keuangan
terkait dengan pengadaan logistic pemilu.

d) Malinda Palsukan Tanda Tangan Nasabah


Terdakwa kasus pembobolan dana Citibank, Malinda Dee binti
Siswowiratmo (49), diketahui memindahkan dana beberapa nasabahnya
dengan cara memalsukan tanda tangan mereka di formulir transfer.
Hal ini terungkap dalam dakwaan yang dibacakan Jaksa Penuntut Umum
di sidang perdananya, di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Selasa
(8/11/2011). "Sebagian tanda tangan yang ada di blangko formulir transfer
tersebut adalah tandatangan nasabah," ujar Jaksa Penuntut Umum, Tatang
Sutarna.
Malinda antara lain memalsukan tanda tangan Rohli bin Pateni.
Pemalsuan tanda tangan dilakukan sebanyak enam kali dalam formulir transfer
Citibank bernomor AM 93712 dengan nilai transaksi transfer sebesar 150.000
dollar AS pada 31 Agustus 2010. Pemalsuan juga dilakukan pada formulir
bernomor AN 106244 yang dikirim ke PT Eksklusif Jaya Perkasa senilai Rp
99 juta. Dalam transaksi ini, Malinda menulis kolom pesan, "Pembayaran
Bapak Rohli untuk interior".
Pemalsuan lainnya pada formulir bernomor AN 86515 pada 23
Desember 2010 dengan nama penerima PT Abadi Agung Utama. "Penerima
Bank Artha Graha sebesar Rp 50 juta dan kolom pesan ditulis DP untuk
pembelian unit 3 lantai 33 combine unit," baca jaksa.
Masih dengan nama dan tanda tangan palsu Rohli, Malinda mengirimkan
uang senilai Rp 250 juta dengan formulir AN 86514 ke PT Samudera Asia
Nasional pada 27 Desember 2010 dan AN 61489 dengan nilai uang yang sama
pada 26 Januari 2011. Demikian pula dengan pemalsuan pada formulir AN
134280 dalam pengiriman uang kepada seseorang bernama Rocky Deany C

55
Umbas sebanyak Rp 50 juta pada 28 Januari 2011 untuk membayar
pemasangan CCTV milik Rohli.
Adapun tanda tangan palsu atas nama korban N Susetyo Sutadji
dilakukan lima kali, yakni pada formulir Citibank bernomor No AJ 79016, AM
123339, AM 123330, AM 123340, dan AN 110601. Secara berurutan, Malinda
mengirimkan dana sebesar Rp 2 miliar kepada PT Sarwahita Global
Management, Rp 361 juta ke PT Yafriro International, Rp 700 juta ke
seseorang bernama Leonard Tambunan. Dua transaksi lainnya senilai Rp 500
juta dan 150 juta dikirim ke seseorang bernama Vigor AW Yoshuara.
Analisa : Dalam kasus ini malinda melakukan banyak pemalsuan tanda
tangan yang tidak diketahui oleh nasabah itu sendiri. Dalam kasus ini prinsip-
prinsip yang telah dilanggar adalah Tanggung jawab profesi, karena ia tidak
menggunakan pertimbangan professional dalam semua kegiatan yang
dilakukannya. Selain itu malinda juga melanggar prinsip Integritas, karena
tidak memelihara dan meningkatkan kepercayaan nasabah.

e) Kasus KAP Anderson dan Enron


Kasus KAP Anderson dan Enron terungkap saat Enron mendaftarkan
kebangkrutannya ke pengadilan pada tanggal 2 Desember 2001. Saat itu
terungkap, terdapat hutang perusahaan yang tidak dilaporkan, yang
menyebabkan nilai investasi dan laba yang ditahan berkurang dalam jumlah
yang sama. Sebelum kebangkrutan Enron terungkap, KAP Anderson
mempertahankan Enron sebagai klien perusahaan dengan memanipulasi
laporan keuangan dan penghancuran dokumen atas kebangkrutan Enron,
dimana sebelumnya Enron menyatakan bahwa periode pelaporan keuangan
yang bersangkutan tersebut, perusahaan mendapatkan laba bersih sebesar $
393, padahal pada periode tersebut perusahaan mengalami kerugian sebesar $
644 juta yang disebabkan oleh transaksi yang dilakukan oleh perusahaan-
perusahaan yang didirikan oleh Enron.

56
Analisa: Kecurangan yang dilakukan oleh Arthur Andersen telah banyak
melanggar prinsip etika profesi akuntan diantaranya yaitu melanggar prinsip
integritas dan perilaku profesional. KAP Arthur Andersen tidak dapat
memelihara dan meningkatkan kepercayaan publik sebagai KAP yang masuk
kategoti The Big Five dan tidak berperilaku profesional serta konsisten dengan
reputasi profesi dalam mengaudit laporan keuangan dengan melakukan
penyamaran data. Selain itu Arthur Andesen juga melanggar prinsip standar
teknis karena tidak melaksanakan jasa profesionalnya sesuai dengan standar
teknis dan standar profesional yang relevan.
(Sumber: kompas.com)

57
BAB III
PERKEMBANGAN PERILAKU TIDAK ETIS DAN KECURANGAN

3.1 Perkembangan Moral


Sebelum kita bicara tentang perkembangan perkembangan tidak etis dan
kecurangan, mari kita bica tentang hal yang lebih esensial terlebih dahulu,
yakni moral. Menurut Fauwzi (2011) moral merupakan penyebab munculnya
perilaku seseorang, baik yang etis (positif) atau yang tidak etis (negatif).
Tingkatan atau level moralitas yang dimiliki seseorang akan berbanding lurus
dengan sikap dan perilakunya, termasuk sikap yang berkaitan dengan dunia
bisnis.
Gambar 3.1 Hubungan antara sikap, kebiasaan dan kepribadian

Sumber: Teori Perkembangan Kognitive Jean Piaget, oleh Dr. Paul Suparno

Banyak teori-teori terkait moralitas manusia, yang melihat moral dari


berbagai sudut pandang yang berbeda. Moralitas berasal dari kata Latin Mos
(jamak – Mores) berarti adat istiadat atau kebiasaan. Pengertian harfiah dari
etika dan moralitas, sama-sama berarti sistem tentang bagaimana manusia
harus hidup baik sebagai manusia yang telah diinstitusionalisasikan dalam
sebuah adat kebiasaan. Kebiasaan ini kemudian akan diwujudkan dalam pola
perilaku yang ajek dan terulang dalam kurun waktu yang lama sebagaimana
laiknya sebuah kebiasaan (Rogers, 1977:56).

58
Etika sebagai filsafat moral tidak langsung memberi perintah konkret
sebagai pegangan siap pakai. Menurut Shaleh (2004), etika dapat dirumuskan
sebagai refleksi kritis dan rasional, sebagai berikut:
a) Nilai dan norma yang menyangkut bagaimana manusia harus hidup baik
sebagai manusia
b) Masalah kehidupan manusia dengan mendasarkan diri pada nilai dan norma
moral yang umum diterima
c) Mempersoalkan apakah nilai dan norma moral tertentu memang harus
dilaksanakan dalam situasi konkret terutama yang dihadapi seseorang, atau
d) Etika mempersoalkan apakah suatu tindakan yang kelihatan bertentangan
dengan nilai dan norma moral tertentu harus dianggap sebagai tindakan
yang tidak etis dan karena itu dikutuk atau justru sebaliknya
e) Apakah dalam situasi konkret yang saya hadapi saya memang harus
bertindak sesuai dengan norma yang ada dalam masyarakatku ataukah
justru sebaliknya saya dapat dibenarkan untuk bertindak sebaliknya yang
bahkan melawan nilai dan norma moral tertentu.

Gambar 3.2 Alur Perkembangan Sikap Manusia

Sumber: Piaget, 1976

Skema diatas menunjukan bahwa rambu-rambu norma yang berkaitan


dengan moral akan berperngaruh langsung terhadap 4 hal, termasuk perilaku
seseorang. Perilaku seseorang yang menjadi kebiasaan akan berimbas pada
caranya bersikap terhadap keluarga dan lingkungan. Selian itu bagaimana cara

59
dia menghadapi suatu permasalahan juga akan bergantung pada tingkat
moralitas yang dia miliki (Piaget, 1976).
Etika sebagai Ilmu menuntut orang untuk berperilaku moral secara kritis
dan rasional. Dengan menggunakan bahasa Nietzcshe, etika sebagai ilmu
menghimbau orang untuk memiliki moralitas tuan dan bukan moralitas hamba.
Dalam bahasa Kant, etika berusaha menggugah kesadaran manusia untuk
bertindak secara otonom dan bukan secara heteronom. Etika bermaksud
membantu manusia untuk bertindak secara bebas tetapi dapat
dipertanggungjawabkan (Tu’u, 2004).
1. Etika Teleologi
Berasal dari kata Yunani, telos = tujuan, yaitu mengukur baik buruknya
suatu tindakan berdasarkan tujuan yang mau dicapai dengan tindakan itu, atau
berdasarkan akibat yang ditimbulkan oleh tindakan itu.
Dua aliran etika teleologi :
a. Egoisme Etis
Inti pandangan egoisme adalah bahwa tindakan dari setiap orang
pada dasarnya bertujuan untuk mengejar pribadi dan memajukan dirinya
sendiri. Satu-satunya tujuan tindakan moral setiap orang adalah
mengejar kepentingan pribadi dan memajukan dirinya. Egoisme ini baru
menjadi persoalan serius ketika ia cenderung menjadi hedonistis, yaitu
ketika kebahagiaan dan kepentingan pribadi diterjemahkan semata-mata
sebagai kenikmatan fisik yang bersifat vulgar.
b. Utilitarianisme
Berasal dari bahasa latin utilis yang berarti “bermanfaat”. Menurut
teori ini suatu perbuatan adalah baik jika membawa manfaat, tapi
manfaat itu harus menyangkut bukan saja satu dua orang melainkan
masyarakat sebagai keseluruhan. Dalam rangka pemikiran
utilitarianisme, kriteria untuk menentukan baik buruknya suatu
perbuatan adalah “the greatest happiness of the greatest number”,
kebahagiaan terbesar dari jumlah orang yang terbesar. Teori ini cocok

60
sekali dengan pemikiran ekonomis, karena cukup dekat dengan Cost-
Benefit Analysis. Manfaat yang dimaksudkan utilitarianisme bisa
dihitung sama seperti kita menghitung untung dan rugi atau kredit dan
debet dalam konteks bisnis. Utilitarianisme, dibedakan menjadi dua
macam:
a) Utilitarianisme Perbuatan (Act Utilitarianism)
b) Utilitarianisme Aturan (Rule Utilitarianism)
Prinsip dasar utilitarianisme (manfaat terbesar bagi jumlah orang
terbesar) diterpakan pada perbuatan. Utilitarianisme aturan membatasi diri
pada justifikasi aturan-aturan moral.

2. Deontologi
Istilah deontologi berasal dari kata Yunani ‘deon’ yang berarti
kewajiban. ‘Mengapa perbuatan ini baik dan perbuatan itu harus ditolak
sebagai buruk’, deontologi menjawab: ‘karena perbuatan pertama menjadi
kewajiban kita dan karena perbuatan kedua dilarang’ yang menjadi dasar baik
buruknya perbuatan adalah kewajiban.
Pendekatan deontologi sudah diterima dalam konteks agama, sekarang
merupakan juga salah satu teori etika yang terpenting.
Ada tiga prinsip yg harus dipenuhi (Howard, 1974):
a) Supaya tindakan punya nilai moral, tindakan ini harus dijalankan
berdasarkan kewajiban.
b) Nilai moral dari tindakan ini tidak tergantung pada tercapainya tujuan dari
tindakan itu melainkan tergantung pada kemauan baik yang mendorong
seseorang untuk melakukan tindakan itu, berarti kalaupun tujuan tidak
tercapai, tindakan itu sudah dinilai baik.
c) Sebagai konsekuensi dari kedua prinsip ini, kewajiban adalah hal yang
niscaya dari tindakan yang dilakukan berdasarkan sikap hormat pada
hukum moral universal.

61
Bagi Kant, Hukum Moral ini dianggapnya sbg perintah tak bersyarat
(imperatif kategoris), yg berarti hukum moral ini berlaku bagi semua orang
pada segala situasi dan tempat. Perintah Bersyarat adalah perintah yg
dilaksanakan kalau orang menghendaki akibatnya, atau kalau akibat dari
tindakan itu mrpk hal yg diinginkan dan dikehendaki oleh orang tersebut.
Perintah Tak Bersyarat adalah perintah yg dilaksanakan begitu saja tanpa
syarat apapun, yaitu tanpa mengharapkan akibatnya, atau tanpa
mempedulikan apakah akibatnya tercapai dan berguna bagi orang tsb atau
tidak.

3. Teori Hak
Dalam pemikiran moral dewasa ini barangkali teori hak ini adalah
pendekatan yang paling banyak dipakai untuk mengevaluasi baik
buruknya suatu perbuatan atau perilaku. Teori Hak merupakan suatu
aspek dari teori deontologi, karena berkaitan dengan kewajiban. Hak dan
kewajiban bagaikan dua sisi uang logam yang sama. Hak didasarkan atas
martabat manusia dan martabat semua manusia itu sama. Karena itu hak sangat
cocok dengan suasana pemikiran demokratis.

4. Teori Keutamaan (Virtue)


Berarti memandang sikap atau akhlak seseorang. Tidak ditanyakan
apakah suatu perbuatan tertentu adil, atau jujur, atau murah hati dan
sebagainya. Keutamaan bisa didefinisikan sebagai berikut : disposisi
watak yang telah diperoleh seseorang dan memungkinkan dia untuk
bertingkah laku baik secara moral. Contoh keutamaan :

62
Gambar 3.5 Contoh keutamaan

Sumber: Velasquez (2005)

Ada 3 jenis masalah yang dihadapi dalam Etika yaitu:


a) Sistematik
Masalah-masalah sistematik dalam etika bisnis pertanyaan-pertanyaan
etis yang muncul mengenai sistem ekonomi, politik, hukum, dan sistem sosial
lainnya dimana bisnis beroperasi.
b) Korporasi
Permasalahan korporasi dalam perusahaan bisnis adalah pertanyaan-
pertanyaan yang dalam perusahaan-perusahaan tertentu. Permasalahan ini
mencakup pertanyaan tentang moralitas aktivitas, kebijakan, praktik dan
struktur organisasional perusahaan individual sebagai keseluruhan.
c) Individu
Permasalahan individual dalam etika bisnis adalah pertanyaan yang
muncul seputar individu tertentu dalam perusahaan. Masalah ini termasuk
pertanyaan tentang moralitas keputusan, tindakan dan karakter individual.
Etika bisnis merupakan studi yang dikhususkan mengenai moral yang
benar dan salah. Studi ini berkonsentrasi pada standar moral sebagaimana
diterapkan dalam kebijakan, institusi, dan perilaku bisnis (Velasquez, 2005).

63
Dapat ditarik kesimpulan bahwa ialah pengetahuan tentang cara ideal
pengaturan dan pengelolaan bisnis yang memperhatikan norma dan moralitas
yang berlaku secara universal serta implementasi norma dan moralitas untuk
menunjang maksud dan tujuan kegiatan bisnis.

3.2 Perkembangan Perilaku Tidak Etis Secara Global


Berikut perkembangan etika bisnis menurut Bertens (2000):
1. Situasi Dahulu Pada awal sejarah filsafat, Plato, Aristoteles, dan filsuf-
filsuf Yunani lain menyelidiki bagaimana sebaiknya mengatur
kehidupan manusia bersama dalam negara dan membahas bagaimana
kehidupan ekonomi dan kegiatan niaga harus diatur.
2. Masa Peralihan: tahun 1960-an ditandai pemberontakan terhadap kuasa
dan otoritas di Amerika Serikat (AS), revolusi mahasiswa (di ibukota
Perancis), penolakan terhadap establishment (kemapanan). Hal ini
memberi perhatian pada dunia pendidikan khususnya manajemen, yaitu
dengan menambahkan mata kuliah baru dalam kurikulum dengan nama
Business and Society. Topik yang paling sering dibahas adalah corporate
social responsibility.
3. Etika Bisnis Lahir di AS: tahun 1970-an sejumlah filsuf mulai terlibat
dalam memikirkan masalah-masalah etis di sekitar bisnis dan etika bisnis
dianggap sebagai suatu tanggapan tepat atas krisis moral yang sedang
meliputi dunia bisnis di AS.
4. Etika Bisnis Meluas ke Eropa: tahun 1980-an di Eropa Barat, etika bisnis
sebagai ilmu baru mulai berkembang kira-kira 10 tahun kemudian.
Terdapat forum pertemuan antara akademisi dari universitas serta
sekolah bisnis yang disebut European Business Ethics Network (EBEN).
5. Etika Bisnis menjadi Fenomena Global: tahun 1990-an tidak terbatas lagi
pada dunia Barat. Etika bisnis sudah dikembangkan di seluruh dunia.
Telah didirikan International Society for Business, Economics, and
Ethics (ISBEE) pada 25-28 Juli 1996 di Tokyo.

64
Norma-norma Moral yang umum pada taraf Internasional. Salah satu
masalah besar yang sudah lama disoroti serta didiskusikan dalam etika filosofis
adalah relatif tidaknya norma-norma moral. Kami berpendapat bahwa
pandangan yang menganggap norma-norma moral relatif saja tidak bisa
dipertahankan. Namun demikian, itu tidak berarti bahwa norma-norma moral
bersifat absolut atau tidak mutlak begitu saja. Jadi, pertanyaan yang tidak
mudah itu harus bernuansa.
Masalah teoritis yang serba kompleks ini kembali lagi pada taraf praktis
dalam etika bisnis internaasional. Apa yang harus kita lakukan ,jika norma di
Negara lain berbeda dengan norma yang dianut sendiri? Richard De George
membicarakan tiga jawaban atas pertanyaan tersebut, ada 3 pandangan
mengenai pertanyaan di atas sebagai berikut :
a. Menyesuaikan Diri
Untuk menunjukkan sikap yang tampak pada pandangan ini
menggunakan peribahasa’’Kalau di Roma, bertindaklah sebagaimana
dilakukan orang roma’’ Artinya perusahaan harus mengikuti norma dan aturan
moral yang berlaku di negara itu, yang sama dengan peribahasa orang
Indonesia ‘’Dimana bumi dipijak, disana langit dijunjung’’. Norma-norma
moral yang penting berlaku di seluruh dunia. Sedangkan norma-norma non-
moral untuk perilaku manusia bisa berbeda di berbagai tempat. Itulah
kebenaran yang terkandung dalam pandangan ini. Misalnya, norma-norma
sopan santun dan bahkan norma-norma hukum di semua tempat tidak sama.
Yang di satu tempat dituntut karena kesopanan, bisa saja di tempat lain
dianggap sangat tidak sopan.

b. Regorisme Moral
Pandangan kedua memilih arah terbalik. Pandangan ini dapat disebut
“rigorisme moral”, karena mau mempertahankan kemurnian etika yang sama
seperti di negerinya sendiri. Mereka mengatakan bahwa perusahaan di luar
negeri hanya boleh melakukan apa yang boleh dilakukan di negaranya sendiri

65
dan justru tidak boleh menyesuaikan diri dengan norma etis yang berbeda di
tempat lain. Mereka berpendapat bahwa apa yang dianggap baik di negerinya
sendiri, tidak mungkin menjadi kurang baik di tempat lain.
Kebenaran yang dapat ditemukan dalam pandangan regorisme moral ini
adalah bahwa kita harus konsisten dalam perilaku moral kita. Norma-norma
etis memang bersifat umum. Yang buruk di satu tempat tidak mungkin menjadi
baik dan terpuji di tempat di tempat lain. Namun para penganut rigorisme
moral kurang memperhatikan bahwa situasi yang berbeda turut mempengaruhi
keputusan etis.

c. Imoralisme Naif
Menurut pandangan ini dalam bisnis internasional tidak perlu kita
berpegang pada norma-norma etika. Kita harus memenuhi ketentuan-
ketentuan hukum (dan itupun hanya sejauh ketentuan itu ditegakkan di negara
bersangkutan), tetapi selain itu, kita tidak terikat norma-norma moral. Malah
jika perusahaan terlalu memperhatikan etika, ia berada dalam posisi yang
merugikan, karena daya saingnya akan terganggu.
Setelah kita mempelajari dua pandangan tentang peranan etika dalam
bisnis internasional ini, perlu kita simpulkan bahwa tidak satu pun di antaranya
bisa dipertahankan. Dalam pandangan “menyesuaikan diri” dapat kita hargai
perhatian untuk peranan situasi. Situasi yang berbeda-beda memang
mempengaruhi kualitas etis suatu perbuatan, tetapi tidak sampai
menyingkirkan sifat umum dari norma-norma moral, seperti dipikirkan
pandangan pertama ini. Pandangan kedua, rigorisme moral, terlalu ekstrem
dalam menolak pengaruh situasi, sedangkan mereka benar dengan pendapat
bahwa kita tidak meninggalkan norma-norma moral di rumah, biola kita
berangkat bebisnis ke luar negeri. Norma-norma moral mempunyai sifat
universal.
Dalam etika jarang prinsip-prinsip moral bias diterapkan dengan mutlak,
karena kondisi konkret sering kali sangat kompleks. Hal ini dapat

66
diilustrasikan pada bisnis internasional dengan Afrika Selatan yang
mempunyai sistem politik didasarkan pada diskriminasi ras (Apartheid)
bahkan sistem Apartheid ini didasarkan atas Undang-undang Afrika Selatan
sejak 1948.
Kebijakan Apartheid Afrika Selatan menimbulkan kesulitan moral untuk
perusahaan asing yang mengadakan bisnis di Afrika Selatan karena mereka
wajib mengikuti sistem Apartheid. Dalam mencari jalan keluar dari dilema ini
banyak perusahaan Barat memegang pada The Sullivan Principles yang
dirumuskan dan dipraktekkan oleh Leon Sullivan. Prinsip-prinsip Sullivan:
1. Leon Sullivan sebagai General Motors tidak akan menerapkan undang-
undang Apartheid.
2. Menghapus undang-undang Apartheid.
Salah satu topik yang jelas termasuk etika bisnis internasional
adalah dumpin produk, karena praktek kurang etis ini secara khusus
berlangsung dalam hubungan dengan negara lain. Yang dimaksudkan
dengan dumping adalah menjual sebuah produk dalam kuantitas besar di suatu
negara lain dengan harga di bawah harga pasar dan kadang-kadang malah di
bawah biaya produksi. Dapat dimengerti bahwa yang merasa keberatan
terhadap praktek dumping ini bukannya para konsumen, melainkan para
produsen dari produk yang sama di negara di mana dumping dilakukan. Para
konsumen justru merasa beruntung – sekurang-kurangnya dalam jangka
pendek – karena dapat membeli produk dengan harga murah, sedangkan para
produsen menderita kerugian, karena tidak sanggup menawarkan produk
dengan harga semurah itu.
Fenomena yang agak baru di atas panggung bisnis dunia adalah
korporasi multinasional, yang juga disebut korporasi transnasional. Yang
dimaksudkan dengannya adalah perusahaan yang mempunyai investasi
langsung dalam dua negara atau lebih. Jadi, perusahaan yang mempunyai
hubungan dagang dengan luar negeri, dengan demikian belum mencapai status

67
korporasi multi nasional (KMN), tetapi perusahaan yang memilki pabrik di
beberapa negara termasuk di dalamnya.
Bentuk pengorganisasian KMN bisa berbeda-beda. Biasanya
perusahaan-perusahaan di negara lain sekurang-kurangnya untuk sebagian
dimiliki oleh orang setempat, sedangkan manajemen dan kebijakan bisnis yang
umum ditanggung oleh pimpinan perusahaan di negara asalnya. KMN ini
untuk pertama kali muncul sekitar tahun 1950-an dan mengalami
perkembangan pesat. Contoh KMN seperti Coca-Cola, Johnson & Johnson,
General Motors, IBM, Mitsubishi, Toyota, Sony,Unilever yang memiliki
kegiatan di seluruh dunia dan menguasai nasib jutaan manusia. Di bawah ini
akan dibahas usulan De George tentang norma-norma etis yang terpenting bagi
KMN.

a. Korporasi multinasional tidak boleh dengan sengaja mengakibatkan


kerugian langsung.
Dengan sengaja mengakibatkan kerugian bagi orang lain selalu
merupakan tindakan yang tidak etis. Norma pertama ini mengatakan bahwa
suatu tindakan tidak etis, bila KMN dengan tahu dan mau mengakibatkan
kerugian bagi negara biarpun tidak dengan sengaja atau langsung- menurut
keadilan kompensatoris ia wajib memberi ganti rugi.

b. Korporasi multinasional harus menghasilkan lebih banyak manfaat


daripada kerugian bagi negara dimana mereka beroperasi.
Hampir semua kegiatan manusia mempunyai akibat jelek,bisnis tidak
tekecuali. Norma kedua menuntut secara menyeluruh akibat- akibat baik
melebihi akibat- akibat jelek. Norma ini tidak membatasi diri pada segi negatif,
tapi memerintahkan sesuatu yang positif da ditegasakan lagi bahwa yang
positif harus melebihi yang negatif.

c. Dengan kegiatannya korporasi multinasional itu harus memberi


kontribusi kepada pembangunan negara dimana dia beroperasi.

68
KMN harus menyumbangkan juga pada pembangunan negara
berkmbang. KMN harus bersedia melakukan alih teknologi dan alih keahlian.

d. Koorporasi multinasional harus menghormati HAM dari semua


karyawannya.
KMN harus memperhatikan tentang upah dan kondisi kerja di negara
berkembang.

e. Sejauh kebudayaan setempat tidak melanggar norma-norma etis,


korporasi multinasional harus menghormati kebudayaan lokal itu dan
bekerja sama dengannya, bukan menantangnya.
KMN akan merugikan negara dimana ia beroperasi, jika ia tidak
menghormati kebudayaan setempat. KMN harus menyesuaikan diri dengan
nilai- nilai budaya stempat dan tidak memaksakan nilai-nilainya sendiri.

f. Koorporasi multinasional harus membayar pajak yang “fair”


Setiap perusahaan multinasional harus membayar pajak menurut tarif
yang telah ditentukan dalam suatu negara. KMN akan mendukung dibuatnya
dan dilaksanakannnya peraturan internasional untuk menentukan pembayaran
pajak oleh perusahaan- perusahaan internasional.

g. Koorporsi multinasional harus bekerja sama dengan pemerintah


setempat dalam mengembangkn dan menegakkan “backgroud
institutions” yang tepat
Yang dimaksud “background institutions” adalah lembaga- lembaga
yang mengatur serta memperkuat kegiatan ekonomi dan industri suatu negara.

h. Negara yang memiliki mayoritas sham sebuah perusahaan harus


memikul tanggung jawab moral atas kegiatan dan kegagalan
perusahaan tersebut.
Norma ini mengatakan bahwa tanggung jawab moral harus dipikul oleh
pemilik mayoritas saham.

69
i. Jika suatu korporasi multinasional membangun pabrik yang berisiko
tinggi, ia wajib menjaga supaya pabrik itu aman dan dioperasikan
dengan aman.
Yang membangun pabrik- pabrik berisiko tinggi harus juga merundingka
prosedur- prosedur keamanan bagi mereka yang menjalankan pabrik tersebut.
KMN bertanggung jawab untuk membangun pabrik yang aman dan melatih
serta membina secara sebaik mungkin mereka yang akan mengoperasikan
pabrik itu.

j. Dalam mengalihkan teknologi berisiko tinggi kepada negara


berkembang, korporasi multinasional wajib merancang kembali sebuah
teknologi demikian rupa, sehingga dapat dipakai dengan aman dalam
negara yang belum berpengalaman.
Menurut norma ini prioritas harus diberikan kepada keamanan. Kalau
mungkin, teknologi harus dirancang sesuai dengan kebudayaan dan kondisi
stempat, sehingga terjamin keamanan optimal. Sepuluh norma tersebut bisa
bermanfaat untuk menciptakan suatu kerangka moral bagi kegiatan- kegiatan
KMN. Korupsi dalam bisnis tentu tidak hanya terjadi pada taraf internasional,
namun perhatian yang diberikan kepada masalah korupsi dalam literatur etika
bisnis terutama diarahkan kepada konteks internasional.

Skandal Suap Leockheed


Lockheed adalah produsen pesawat terbang Amerika Serikat yang
melakukan suap ke berbagai Negara dengan tujuan agar produknya dapat di
pasarkan, lalu terbulaka kasus ini dan dimuat diberbagai media massa yang
menimbulkan reaksi cukuP hebat. Lockheed merasa keberatan dengan
Undang-undang anti suap di Amerika. Terdapat dua keberatan yang sering
ditemukan yaitu:
a. Undang-undang ini mempraktekkan semacam imprealisme etis.

70
b. Undang-undang ini merugikan bisnis Amerika, karena melemahkan
daya saingnya.
Ada beberapa alasan mengapa mengetahui pemakaian uang suap
bertentangn dengan etika.
a. Bahwa praktek suap itu melanggar etika pasar. Denagan adanya praktek
suap, daya – daya pasar dilumpuhkan dan para pesaing yang sedikit pun
dapat mempengaruhi proses penjualan.
b. Bahwa orang yang tidak berhak, mendapat imbalan juga.
c. Banyak kasus lain di mana uang suap diberikan dalam keadaan
kelangkaan. Pembagian barang langka dengan menempuh praktek suap
mengakibatkan bahwa barang itu diterima oleh orang yng tidak berhak
menerimanya, sedangkan orang lain yang berhak tidak kebagian.
d. Bahwa praktek suap mengundang untuk melakukan perbuatan tidak etis
dan ilegal lainnya. Baik perusahaan yang memberi uang suap maupun
orang atau instansi yang menerimanya tidak bisa membukukkan uang
suap itu seperti mestinya.
Internasionalisasi bisnis yang semakin mencolok sekarang ini
menampilkan juga aspek etis yang baru. Tidak mengherankan jika terutama
tahun-tahun terakhir ini diberi perhatian khusus kepada aspek-aspek etis dalam
bisnis internasional. Dalam bab ini kita akan membahas beberapa masalah
moral yang khusus berkaitan dengan bisnis pada taraf internasional.

3.3 Perkembangan Perilaku Tidak Etis di Indonesia


Sejak merdeka tahun 1945, Indonesia mulai mengembangkan sektor
ekonomi untuk kemajuan negara. Selama proses perkembangan ini, para
akuntan sebagai salah satu stakeholder utama dalam berjalanya roda
perekonomian negara harus memiliki aturan dan batasan-batasan yang jelas.
Batasan dan aturan ini diberlakukan untuk menstandartkan profesionalisme
seorang akuntan. Profesi angkutan ini menjadi hal yang penting untuk
dikembangkan agar kualitas akuntan secara individu menjadi lebih baik.

71
Menurut Billy, Perkembangan Profesi Akuntan di Indonesia terbagi
menjadi empat fase yaitu,
1. Pra Revolusi Industri
2. Masa Revolusi Industri tahun 1900
3. Tahun 1900 – 1930
4. Tahun 1930 – sekarang
Dalam etika profesi, sebuah profesi memiliki komitmen moral yang
tinggi yang biasanya dituangkan dalam bentuk aturan khusus yang menjadi
pegangan bagi setiap orang yang mengembangkan profesi yang bersangkutan.
Aturan ini merupakan aturan main dalam menjalankan atau mengemban
profesi tersebut yang biasanya disebut sebagai kode etik yang harus dipenuhi
dan ditaati oleh setiap profesi. Menurut Chua dkk (1994) menyatakan bahwa
etika profesional juga berkaitan dengan perilaku moral yang lebih terbatas
pada kekhasan pola etika yang diharapkan untuk profesi tertentu.
Setiap profesi yang memberikan pelayanan jasa pada masyarakat harus
memiliki kode etik yang merupakan seperangkat moral-moral dan mengatur
tentang etika professional (Agnes, 1996). Pihak-pihak yang berkepentingan
dalam etika profesi adalah akuntan publik, penyedia informasi akuntansi dan
mahasiswa akuntansi (Suhardjo dan Mardiasmo, 2002). Di dalam kode etik
terdapat muatan-muatan etika yang pada dasarnya untuk melindungi
kepentingan masyarakat yang menggunakan jasa profesi. Terdapat dua sasaran
pokok dalam dua kode etik ini yaitu Pertama, kode etik bermaksud melindungi
masyarakat dari kemungkinan dirugikan oleh kelalaian baik secara disengaja
maupun tidak disengaja oleh kaum profesional.
Kedua, kode etik bertujuan melindungi keseluruhan profesi tersebut dari
perilaku-perilaku buruk orang tertentu yang mengaku dirinya profesional
(Keraf, 1998). Kode etik akuntan merupakan norma dan perilaku yang
mengatur hubungan antara auditor dengan para klien, antara auditor dengan
sejawatnya dan antara profesi dengan masyarakat. Kode etik akuntan
Indonesia dimaksudkan sebagai panduan dan aturan bagi seluruh anggota, baik

72
yang berpraktek sebagai auditor, bekerja di lingkungan usaha, pada instansi
pemerintah, maupun di lingkungan dunia pendidikan. Etika profesional bagi
praktek auditor di Indonesia dikeluarkan oleh Ikatan Akuntansi Indonesia
(Sihwajoni dan Gudono, 2000). Prinsip perilaku profesional seorang akuntan,
yang tidak secara khusus dirumuskan oleh Ikatan Akuntan Indonesia tetapi
dapat dianggap menjiwai kode perilaku IAI, berkaitan dengan karakteristik
tertentu yang harus dipenuhi oleh seorang akuntan.
Prinsip etika yang tercantum dalam kode etik akuntan Indonesia adalah
sebagai berikut:

1. Tanggung Jawab profesi


Dalam melaksanakan tanggung jawabnya sebagai profesional, setiap
anggota harus senantiasa menggunakan pertimbangan moral dan profesional
dalam semua kegiatan yang dilakukannya. Sebagai profesional, anggota
mempunyai peran penting dalam masyarakat. Sejalan dengan peran tersebut,
anggota mempunyai tanggung jawab kepada semua pemakai jasa profesional
mereka. Anggota juga harus selalu bertanggungjawab untuk bekerja sama
dengan sesama anggota untuk mengembangkan profesi akuntansi, memelihara
kepercayaan masyarakat dan menjalankan tanggung jawab profesi dalam
mengatur dirinya sendiri. Usaha kolektif semua anggota diperlukan untuk
memelihara dan meningkatkan tradisi profesi.

2. Kepentingan Publik
Setiap anggota berkewajiban untuk senantiasa bertindak dalam kerangka
pelayanan kepada publik, menghormati kepercayaan publik, dan menunjukan
komitmen atas profesionalisme. Satu ciri utama dari suatu profesi adalah
penerimaan tanggung jawab kepada publik. Profesi akuntan memegang peran
yang penting di masyarakat, dimana publik dari profesi akuntan yang terdiri
dari klien, pemberi kredit, pemerintah, pemberi kerja, pegawai, investor, dunia
bisnis dan keuangan, dan pihak lainnya bergantung kepada obyektivitas dan

73
integritas akuntan dalam memelihara berjalannya fungsi bisnis secara tertib.
Ketergantungan ini menimbulkan tanggung jawab akuntan terhadap
kepentingan publik. Kepentingan publik didefinisikan sebagai kepentingan
masyarakat dan institusi yang dilayani anggota secara keseluruhan.
Ketergantungan ini menyebabkan sikap dan tingkah laku akuntan dalam
menyediakan jasanya mempengaruhi kesejahteraan ekonomi masyarakat dan
negara. Kepentingan utama profesi akuntan adalah untuk membuat pemakai
jasa akuntan paham bahwa jasa akuntan dilakukan dengan tingkat prestasi
tertinggi sesuai dengan persyaratan etika yang diperlukan untuk mencapai
tingkat prestasi tersebut. Dan semua anggota mengikat dirinya untuk
menghormati kepercayaan publik. Atas kepercayaan yang diberikan publik
kepadanya, anggota harus secara terus menerus menunjukkan dedikasi mereka
untuk mencapai profesionalisme yang tinggi.

3. Integritas
Untuk memelihara dan meningkatkan kepercayaan publik, setiap
anggota harus memenuhi tanggung jawab profesionalnya dengan integritas
setinggi mungkin. Integritas adalah suatu elemen karakter yang mendasari
timbulnya pengakuan profesional. Integritas merupakan kualitas yang
melandasi kepercayaan publik dan merupakan patokan (benchmark) bagi
anggota dalam menguji keputusan yang diambilnya. Integritas mengharuskan
seorang anggota untuk, antara lain, bersikap jujur dan berterus terang tanpa
harus mengorbankan rahasia penerima jasa. Pelayanan dan kepercayaan publik
tidak boleh dikalahkan oleh keuntungan pribadi. Integritas dapat menerima
kesalahan yang tidak disengaja dan perbedaan pendapat yang jujur, tetapi tidak
menerima kecurangan atau peniadaan prinsip.

74
4. Objektivitas
Setiap anggota harus menjaga obyektivitasnya dan bebas dari benturan
kepentingan dalam pemenuhan kewajiban profesionalnya. Obyektivitasnya
adalah suatu kualitas yang memberikan nilai atas jasa yang diberikan anggota.
Prinsip obyektivitas mengharuskan anggota bersikap adil, tidak memihak,
jujur secara intelektual, tidak berprasangka atau bias, serta bebas dari benturan
kepentingan atau dibawah pengaruh pihak lain. Anggota bekerja dalam
berbagai kapasitas yang berbeda dan harus menunjukkan obyektivitas mereka
dalam berbagai situasi. Anggota dalam praktek publik memberikan jasa
atestasi, perpajakan, serta konsultasi manajemen. Anggota yang lain
menyiapkan laporan keuangan sebagai seorang bawahan, melakukan jasa audit
internal dan bekerja dalam kapasitas keuangan dan manajemennya di industri,
pendidikan, dan pemerintah. Mereka juga mendidik dan melatih orang orang
yang ingin masuk kedalam profesi. Apapun jasa dan kapasitasnya, anggota
harus melindungi integritas pekerjaannya dan memelihara obyektivitas.

5. Kompetensi dan Kehati-hatian Profesional


Setiap anggota harus melaksanakan jasa profesionalnya dengan berhati-
hati, kompetensi dan ketekunan, serta mempunyai kewajiban untuk
mempertahankan pengetahuan dan ketrampilan profesional pada tingkat yang
diperlukan untuk memastikan bahwa klien atau pemberi kerja memperoleh
manfaat dari jasa profesional dan teknik yang paling mutakhir. Hal ini
mengandung arti bahwa anggota mempunyai kewajiban untuk melaksanakan
jasa profesional dengan sebaik-baiknya sesuai dengan kemampuannya, demi
kepentingan pengguna jasa dan konsisten dengan tanggung jawab profesi
kepada publik. Kompetensi diperoleh melalui pendidikan dan pengalaman.
Anggota seharusnya tidak menggambarkan dirinya memiliki keahlian atau
pengalaman yang tidak mereka miliki. Kompetensi menunjukkan terdapatnya
pencapaian dan pemeliharaan suatu tingkat pemahaman dan pengetahuan yang
memungkinkan seorang anggota untuk memberikan jasa dengan kemudahan

75
dan kecerdikan. Dalam hal penugasan profesional melebihi kompetensi
anggota atau perusahaan, anggota wajib melakukan konsultasi atau
menyerahkan klien kepada pihak lain yang lebih kompeten. Setiap anggota
bertanggung jawab untuk menentukan kompetensi masing masing atau menilai
apakah pendidikan, pedoman dan pertimbangan yang diperlukan memadai
untuk bertanggung jawab yang harus dipenuhinya.

6. Kerahasiaan
Setiap anggota harus menghormati kerahasiaan informasi yang diperoleh
selama melakukan jasa profesional dan tidak boleh memakai atau
mengungkapkan informasi tersebut tanpa persetujuan, kecuali bila ada hak
atau kewajiban profesional atau hukum untuk mengungkapkannya.
Kepentingan umum dan profesi menuntut bahwa standar profesi yang
berhubungan dengan kerahasiaan didefinisikan bahwa terdapat panduan
mengenai sifat sifat dan luas kewajiban kerahasiaan serta mengenai berbagai
keadaan di mana informasi yang diperoleh selama melakukan jasa profesional
dapat atau perlu diungkapkan. Anggota mempunyai kewajiban untuk
menghormati kerahasiaan informasi tentang klien atau pemberi kerja yang
diperoleh melalui jasa profesional yang diberikannya. Kewajiban kerahasiaan
berlanjut bahkan setelah hubungan antar anggota dan klien atau pemberi jasa
berakhir.

7. Perilaku Profesional
Setiap anggota harus berperilaku yang konsisten dengan reputasi profesi
yang baik dan menjauhi tindakan yang dapat mendiskreditkan profesi.
Kewajiban untuk menjauhi tingkah laku yang dapat mendiskreditkan profesi
harus dipenuhi oleh anggota sebagai perwujudan tanggung jawabnya kepada
penerima jasa, pihak ketiga, anggota yang lain, staf, pemberi kerja dan
masyarakat umum.

76
8. Standar Teknis
Setiap anggota harus melaksanakan jasa profesionalnya sesuai dengan
standar teknis dan standar profesional yang relevan. Sesuai dengan
keahliannya dan dengan berhati-hati, anggota mempunyai kewajiban untuk
melaksanakan penugasan dari penerima jasa selama penugasan tersebut sejalan
dengan prinsip integritas dan obyektivitas.
Standar teknis dan standar professional yang harus ditaati anggota adalah
standar yang dikeluarkan oleh Ikatan Akuntan Indonesia. Internasional
Federation of Accountants, badan pengatur, dan pengaturan perundang-
undangan yang relevan.
Untuk mengawasi akuntan publik, khususnya kode etik, Departemen
Keuangan (DepKeu) mempunyai aturan sendiri yaitu Peraturan Menteri
Keuangan (PMK) No.17 Tahun 2008 yang mewajibkan akuntan dalam
melaksanakan tugas dari kliennya berdasarkan SPAP (Standar Profesi Akuntan
Publik) dan kode etik. SPAP dan kode etik diterapkan oleh asosiasi profesi
berdasarkan standar Internasional. Misalkan dalam auditing, SPAP berstandar
kepada International Auditing Standart.
Laporan keuangan mempunyai fungsi yang sangat vital, sehingga harus
disajikan dengan penuh tanggung jawab. Untuk itu, Departemen Keuangan
menyusun rancangan Undang-undang tentang Akuntan Publik dan RUU
Laporan Keuangan. RUU tentang Akuntan Publik didasari pertimbangan
untuk profesionalisme dan integritas profesi akuntan publik. RUU Akuntan
Publik terdiri atas 16 Bab dan 60 Pasal , dengan pokok-pokok mencakup
lingkungan jasa akuntan publik, perijinan akuntan publik, sanksi administratif,
dan ketentuan pidana. Sedangkan kode etik yang disusun oleh SPAP adalah
kode etik International Federations of Accountants (IFAC) yang
diterjemahkan, jadi kode etik ini bukan merupakan hal yang baru kemudian
disesuaikan dengan IFAC, tetapi mengadopsi dari sumber IFAC. Jadi tidak ada
perbedaaan yang signifikan antara kode etik SAP dan IFAC.

77
Adopsi etika oleh Dewan SPAP tentu sejalan dengan misi para akuntan
Indonesia untuk tidak jago kandang. Apalagi misi Federasi Akuntan
Internasional seperti yang disebut konstitusi adalah melakukan pengembangan
perbaikan secara global profesi akuntan dengan standar harmonis sehingga
memberikan pelayanan dengan kualitas tinggi secara konsisten untuk
kepentingan publik. Seorang anggota IFAC dan KAP tidak boleh menetapkan
standar yang kurang tepat dibandingkan dengan aturan dalam kode etik ini.
Akuntan profesional harus memahami perbedaaan aturan dan pedoman
beberapa daerah juridiksi, kecuali dilarang oleh hukum atau perundang-
undangan.
Meski sampai saat ini belum ada akuntan yang diberikan sangsi berupa
pemberhentian praktek audit oleh dewan kehormatan akibat melanggar kode
etik dan standar profesi akuntan, tidak berarti seorang akuntan dapat bekerja
sekehendaknya. Setiap orang yang memegang gelar akuntan, wajib menaati
kode etik dan standar akuntan, utamanya para akuntan publik yang sering
bersentuhan dengan masyarakat dan kebijakan pemerintah. Etika yang
dijalankan dengan benar menjadikan sebuah profesi menjadi terarah dan jauh
dari skandal.
Menurut Kataka Puradireja (2008), kekuatan dalam kode etik profesi itu
terletak pada para pelakunya, yaitu di dalam hati nuraninya. Jika para akuntan
itu mempunyai integritas tinggi, dengan sendirinya dia akan menjalankan
prinsip kode etik dan standar akuntan. Dalam kode etik dan standar akuntan
dalam memenuhi standar profesionalnya yang meliputi prinsip profesi
akuntan, aturan profesi akuntan dan interprestasi aturan etika akuntan. Dan
kode etik dirumuskan oleh badan yang khusus dibentuk untuk tujuan tersebut
oleh Dewan Pengurus Nasional (DPN).
Hal yang membedakan suatu profesi akuntansi adalah penerimaan
tanggungjawab dalam bertindak untuk kepentingan publik. Oleh karena itu
tanggungjawab akuntan profesional bukan semata-mata untuk memenuhi
kebutuhan klien atau pemberi kerja, tetapi bertindak untuk kepentingan publik

78
yang harus menaati dan menerapkan aturan etika dari kode etik.
Akuntan tidak independen apabila selama periode Audit dan periode
Penugasan Profesioanalnya, baik Akuntan, Kantor Akuntan Publik (KAP)
maupun orang dalam KAP memberikan jasa-jasa non-audit kepada klien,
seperti pembukaan atau jasa lain yang berhubungan dengan jasa akuntansi
klien, desain sistem informasi keuangan, aktuaria dan audit internal.
Konsultasi kepada kliennya dibidang itu menimbulkan benturan kepentingan.

79
BAB IV
MEKANISME TERJADINYA PERILAKU TIDAK ETIS DAN
KECURANGAN

4.1 Penyebab Perilaku Tidak Etis dan Kecurangan


Menurut Boynton (1996) kecurangan atau fraud adalah penipuan yang
direncanakan misalnya salah saji, menyembunyikan, atau tidak
mengungkapkan fakta yang material sehingga merugikan pihak lain. Statement
on Auditing Standards No. 99 mendefinisikan fraud sebagai “an intentional act
that result in a material misstatement in financial statements tahtare the subject
o an audit. Sedangkan menurut Black’s Law Dictionary dalam Kurniawan
(2012), fraud didefinisikan sebagai:
Mencakup semua macam yang dapat dipikirkan manusia, dan yang dapat
diupayakan oleh seseorang untuk mendapatkan keuntungan dari orang lain
dengan saran yang salah atau pemaksaan kebenaran, dan mencakup semua cara
yang tak terduga, penuh siasat licik atau tersembunyi, dan setiap cara yang
tidak wajar yang menyebabkan orang lain tertipu.
Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dalam Tanuakotta
(2007), menyebutkan beberapa pasal yang mencakup pengertian fraud seperti:
a. Pasal 362: Pencurian (definisi KUHP): mengambil barang sesuatu, yang
seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk
dimiliki secara melawan hukum.
b. Pasal 372: Penggelapan (definisi KUHP): dengan sengaja dan melawan
hukum memiliki barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah
kepunyaan orang lain, tetapi yang ada dalam kekuasaannya bukan karena
kejahatan. –
c. Pasal 378: Perbuatan curang (definisi KUHP): dengan maksud untuk
menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan
memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat, ataupun

80
rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan
barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi utang maupun
menghapuskan piutang.

Definisi Fraud juga diungkapkan menurut the Association of Certified


Fraud Examiners (ACFE) dalam Kurniawati (2012): Perbuatan-perbuatan
yang melawan hukum yang dilakukan dengan sengaja untuk tujuan tertentu
(manipulasi atau memberikan laporan keliru terhadap pihak lain) dilakukan
orang-orang dari dalam atau luar organisasi untuk mendapatkan keuntungan
pribadi ataupun kelompok yang secara langsung atau tidak langsung
merugikan pihak lain. Jadi, kecurangan merupakan suatu hal yang di sengaja
oleh pelaku nya. Hal tersebut lah yang membedakan antara kecurangan dan
kesalahan. Selain itu, kecurangan dilakukan dengan melanggar ketentuan yang
berlaku untuk mengambil keuntungan demi dirinya sendiri.
Menurut Suprajadi (2009), produk akhir dari proses pengolahan data
akuntansi adalah informasi akuntansi yang tertuang dalam laporan keuangan.
Dalam mengartikan angka-angka yang tercantum dalam laporan keuangan,
pengguna laporan keuangan perlu berhati-hati karena kemungkinan terjadinya
bias dalam penyampaian informasi. Kemungkinan bahwa laporan keuangan
disusun dengan itikad tidak baik (sengaja dilakukan) dengan tujuan tertentu.
Jika faktor kecurangan terjadi dalam penyusunan laporan keuangan dapat
dipastikan laporan keuangan disajikan tidak wajar.
Kecurangan (fraud) merupakan suatu kesalahan yang dilakukan secara
sengaja. Dalam lingkup akuntansi, konsep kecurangan (fraud) merupakan
penyimpangan dari prosedur akuntansi yang seharusnya diterapkan dalam
suatu entitas. Statement of auditing standart dalam Norbarani (2012)
mendefinisikan fraud sebagai tindakan kesengajaan untuk menghasilkan salah
saji material dalam laporan keuangan yang merupakan subyek audit.
Dalam lingkup entitas pemerintahan, laporan keuangan merupakan alat
komunikasi dan juga bentuk akuntabilitas kepada masyarakat. Oleh karena itu,

81
laporan keuangan dalam entitas pemerintah sangat erat hubungannya dengan
kepentingan publik sehingga angka yang tercantum di laporan keuangan harus
menunjukkan angka yang sebenarnya. Berdasarkan data forum indonesia
untuk transparansi anggaran (Fitra) provinsi daerah istimewa yogyakarta
merupakan provinsi paling bersih dari korupsi nomor 2 setelah bangka belitung
dengan nilai korupsi sebesar 4 miliar rupiah.
Berdasarkan data dari infokorupsi.com terdapat beberapa kasus korupsi
yang terjadi di yogyakarta yang menunjukkan nilai yang sangat berlawanan
dengan data yang diungkap fitra. Kasus tersebut antara lain kasus yang terjadi
di Provinsi DIY sendiri, Bantul, Sleman, Gunungkidul, dan Kulonprogo.
Kasus yang terjadi di Provinsi DIY antara lain kasus korupsi dana rekonstruksi
pasca gempa senilai 6,4 miliar dan yang terbaru kasus bus trans jogja yang
ditaksir merugikan negara senilai 12,5 miliar. Kasus yang terjadi di Bantul
antara lain kasus pengadaan buku ajar senilai 250 juta, kasus pembelian Bantul
Radio senilai 1,7 miliar dan kasus penjualan tanah kas Desa Bangunharjo
senilai 8 miliar. Kasus korupsi yang terjadi di Sleman adalah kasus korupsi
hibah koni Sleman senilai 1 miliar dan korupsi buku ajar senilai 12,1 miliar.
Kasus korupsi yang terjadi di Kulonprogo adalah kasus korupsi APBD senilai
12,1 miliar.
Sementara kasus korupsi yang terjadi di Gunungkidul adalah kasus
korupsi dana tunjangan anggota DPR dan kasus duplikasi anggaran asuransi
PNS masing-masing sebesar 2,8 miliar dan 1,7 miliar. Berdasarkan kasus-
kasus di atas, total semua kasus korupsi yang terjadi di Yogyakarta adalah
senilai 58,55 miliar. Belum lagi, menurut infokorupsi.com ada beberapa kasus
dugaan korupsi yang belum dilimpahkan ke PN.
Contoh kasus dugaan korupsi adalah kasus markup dana perjalanan dinas
dan kasus halte bus Transjogja. Motivasi seseorang melakukan kecurangan
atau fraud relatif bermacam-macam. Salah satu teori yang menjelaskan tentang
motivasi seseorang melakukan fraud adalah Fraud Triangle Theory. Fraud

82
Triangle terdiri atas tiga komponen yaitu kesempatan, tekanan, dan
rasionalisasi (Cressey dalam Tuannakota, 2013).
Kesempatan atau opportunity merupakan suatu kondisi yang
memungkinkan seseorang bisa melakukan kecurangan. Kondisi tersebut
sebenarnya dapat dikendalikan oleh perusahaan. Faktor-faktor yang dapat
mempengaruhi terjadinya kondisi tersebut dalam lingkup entitas pemerintahan
antara lain penegakan peraturan, keefektifan sistem pengendalian internal, dan
asimetri informasi.
Menurut Salam (2005) dalam Kurniawati (2012), tekanan (pressure)
yaitu insentif yang mendorong orang melakukan kecurangan karena tuntutan
gaya hidup, ketidakberdayaan dalam soal keuangan, perilaku gambling,
mencoba-coba untuk mengalahkan sistem dan ketidakpuasan kerja. Tekanan
merupakan faktor yang berasal dari kondisi individu yang menyebabkan
seseorang melakukan kecurangan. Tekanan dari dalam diri seseorang tersebut
dapat dipengaruhi oleh lingkungan tempat bekerja. Salah satu, faktor
lingkungan yang dapat menyebabkan tekanan pada seorang pegawai adalah
mengenai keadilan organisasional dalam perusahaan. Keadilan tersebut
berkaitan dengan bagaimana seseorang mendapatkan reward berupa gaji atau
kompensasi lain atas pekerjaan nya (keadilan distributif) dan bagaimana
prosedur berkaitan.
Menurut Skousen (2009) dalam Norbarani (2012) rasionalisasi adalah
komponen penting dalam banyak kecurangan, rasionalisasi menyebabkan
pelaku kecurangan mencari pembenaran atas perbuatannya. Rasionalisasi
merupakan bagian dari fraud triangle yang paling sulit diukur. Budaya
organisasi dan komitmen organisasi merupakan faktor yang diduga dijadikan
alasan pembenaran mengapa pegawai melakukan kecurangan. Beberapa
penelitian menunjukkan faktor-faktor yang mempengaruhi kecenderungan
kecurangan (fraud).
Penelitian Wilopo (2006) menunjukkan bahwa pengendalian intern,
ketaatan aturan akuntansi, asimetri informasi akuntansi dan moralitas

83
manajemen berpengaruh terhadap perilaku tidak etis dan kecenderungan
kecurangan akuntansi, sementara kesesuaian kompensasi tidak berpengaruh
terhadap perilaku tidak etis dan kecenderungan kecurangan akuntansi, dan
perilaku tidak etis berpengaruh terhadap kecenderungan kecurangan akuntansi.
Pristiyanti (2012) melakukan penelitian pada pemerintah kota dan
Kabupaten Semarang. Hasilnya menunjukkan bahwa keadilan distributif dan
keadilan prosedural tidak berpengaruh terhadap kecurangan, sementara sistem
pengendalian internal, kepatuhan pengendalian internal,budaya etis organisasi,
dan komitmen organisasi berpengaruh terhadap kecurangan. Penelitian
Kusumastuti (2012) menunjukkan bahwa keefektifan pengendalian internal,
kesesuaian kompensasi, dan asimetri informasi tidak berpengaruh terhadap
kecenderungan kecurangan akuntansi.
Di Indonesia informasi mengenai fraud belum spesifik, namun The
Association of Certified Fraud Examiners (ACFE) telah memproyeksikan
kecurangan laporan keuangan. Pada tahun 2014 kasus kecurangan laporan
keuangan yang terjadi di dunia meningkat menjadi 9% dengan median
kerugian satu triliyun US$ (ACFE, 2014). Meningkatnya kasus-kasus
kecurangan laporan keuangan menjadi perlu untuk diketahui, terutama motif
penyebab perilaku kecurangan laporan keuangan sebagai upaya mengurangi
perilaku tersebut.
Ada banyak kasus kecurangan laporan keuangan yang terjadi di dunia.
Salah satu kasus di luar negeri yang terjadi, yaitu Xerox pada bulan Juni tahun
2000 dengan memalsukan data keuangan sehingga laba meningkat hingga
USD 1,5 miliar. Di Indonesia ada beberapa kasus yang ditemukan Otorisasi
Jasa Keuangan selama tahun 2002 – 2006 dalam Rahmanti (2013) salah
satunya, yaitu PT Arona Binasejati dan PT Sugi Samapersada dengan
perdagangan semu atau manipulasi pasar dan ketidakwajaran transaksi saham.
Konsekuensi yang didapat perusahaan yaitu hukuman pidana dan sanksi
administratif. Terdapat bukti yang menunjukkan bahwa kecurangan laporan
keuangan adalah perilaku serius yang dipengaruhi oleh sikap pelaku potensial

84
tentang penipuan (Carpenter dan Reiners, 2005; Ugrin dan Odom, 2010; Ugrin,
Kovar, dan Pearsson, 2013 dalam Ugrin et al., 2014).
Teoritikus mengemukakan bahwa manfaat dan konsekuensi harus sangat
berpengaruh terhadap penipuan ketika sifat etis yang mendasari penipuan tidak
jelas (Murphy dan Dacin, 2011 dalam Ugrin et al., 2014) dan faktor-faktor
situasional seperti apakah perilaku curang memiliki efek positif pada orang
lain atau tidak (Ugrin et al., 2014). Dalam penelitian Ugrin et al., (2014)
menyebutkan bahwa ada 6 konsekuensi potensi kecurangan laporan keuangan,
yaitu hukuman pidana, denda, kritikan dari akuntan professional, surat
pemberhentian (pemecatan), perasaan malu dan bersalah. Konsekuensi ini
mungkin belum sepenuhnya diberikan oleh pihak eksternal bila pelaku atau
calon pelaku melakukan tindakan menyimpang dengan maksud
menguntungkan orang lain. Penelitian ini pada dasarnya mereplika penelitian
Ugrin et al., (2014). Teori Perilaku Rencanaan Carpenter dan Reimer (2005)
dalam Ugrin et al. (2014) menjelaskan bahwa Teori perilaku rencanaan
digunakan untuk menunjukkan niat akuntan melakukan kecurangan dalam
melaporkan data keuangan.
Sikap memiliki pengaruh yang signifikan terhadap niat berperilaku.
Sikap terhadap suatu tindakan atau perilaku dalam jumlah perasaan dan
keyakinan tentang biaya dan manfaat dari suatu tindakan individu (Ugrin et al.,
2014). Secara umum, teori perilaku rencanaan menyatakan bahwa semakin
besar dukungan sikap dan norma subyektif berhubungan dengan perilaku,
semakin kuat intensi (kendali) seseorang untuk melakukan suatu perilaku.
Semakin besar kendali perilaku persepsian yang dirasakan seseorang terhadap
suatu perilaku, semakin kuat intensi seseorang untuk melakukan perilaku yang
dipertimbangkan (Ajzen, 1991 dalam Respati, 2011). Sikap untuk
dilakukannya suatu perilaku tertentu berhubungan dengan keyakinan untuk
melakukan perilaku yang akan mendorong ke arah konsekuensi dan
penilaiannya terhadap konsekuensi tersebut (Ajzen dan Fishbein, 1975 dalam
Respati, 2011).

85
Sikap kearah suatu perilaku adalah fungsi dari keyakinan mengenai
konsekuensi perilakunya dan penilaian dari konsekuensi tersebut (Ajzen dan
Fishbein, 1975 dalam Respati, 2011). Sikap terhadap suatu tindakan atau
perilaku adalah jumlah perasaan dan keyakinan tentang biaya dan manfaat dari
suatu tindakan individu. Jadi sikap adalah fungsi dari hasil yang diharapkan
dan konsekuensi yang diharapkan.
Teori Pencegahan Umum (General Deterrence Theory) adalah utilitas
yang berbasis teori peradilan pidana, yang secara luas digunakan untuk
menunjukkan bahwa aktivitas terlarang dapat terhalang oleh sanksi (Beccaria,
1963; Becker, 1968 dalam Ugrin et al., 2014). Pencegahan umum ini
didasarkan pada model pilihan rasional dimana individu membuat keputusan
risiko/imbalan berdasarkan kepuasan yang diharapkan dari mengambil
keuntungan atau peluang terhadap kemungkinan yang dihadapkan dan tingkat
keparahan potensi konsekuensi (Ugrin et al., 2014).
Individu menggunakan pemikiran rasional untuk mengambil keputusan
terlibat dalam aktivitas apapun (Ugrin et al., 2014). Pada model teori
pencegahan umum, hukuman diperlukan untuk kegiatan yang terlarang
sehingga individu memikirkan biaya kegiatan yang terlarang tersebut (Perino,
2002 dan Ugrin et al., 2014). Dengan demikian faktor-faktor pendeteksian dan
penegakan peraturan mempengaruhi hukuman pidana dan denda yang lebih
berat untuk kegiatan yang melawan hukum. Dalam Penelitian yang dilakukan
oleh Ugrin et al. (2014) bahwa motivasi faktor altruisme menjadi hal yang
penting untuk diteliti dibandingkan dengan faktor keserakahan dari enam jenis
konsekuensi.
Tiga konsekuensi dari sanksi formal yang terdapat pada undang-undang
(misalnya SOX dan CSOX), yaitu: Hukuman Pidana, Denda, dan kritikan dari
Profesi Akuntan. Konsekuensi berikutnya adalah penghentian yang diikuti
dengan konsekuensi perasaan bersalah dan malu yang terbukti telah
mempengaruhi perilaku yang melanggar hukum (Diekhoff et al, 1999;

86
Grasmick dan Bursik, 1990; Grasmick, Bursik dan Arneklev, 1993; Grasmick,
Bursik dan Kinsey, 1991 dalam Ugrin et al., (2014)).

Gambar 4.1 Kecenderungan Kecurangan

Sumber: Diekhoff et al (1999)

Gambar Model Deteksi Perilaku Kecurangan


Pengaruh Motif Terhadap Antisipasi Konsekuensi Kecurangan Laporan
Keuangan Menurut Nichols (2002) dalam Ugrin et al., (2014) menggambarkan
keparahan dari kerugian yang disebabkan oleh pelanggaran adalah kerugian
bagi korban. Dengan korban yang jelas individu cenderung untuk terlibat
dalam perilaku terlarang dan tidak mempedulikan korbannya, Sastra dalam
filsafat, psikologi kognitif dan peradilan pidana cenderung berfokus pada
pelanggaran dan pelanggaran yang mengakibatkan kerusakan fisik. Namun
beberapa orang menunjukkan untuk merugikan orang lain (Blair, 1995 dalam
Ugrin et al., 2014). Namun terkadang Individu gagal untuk membuat
sambungan antara kecurangan dan efek akhirnya pada korban. Individu
memahami bahwa fraud memiliki korban tetapi bersaing masalah seperti efek
positif bagi diri sendiri atau orang lain (Jones, 1991 dalam Ugrin et al., 2014).
Pemahaman masalahnya menunjukkan bahwa uang yang dipertaruhkan,
orang cenderung khawatir kepada orang lain. Mungkin beberapa orang

87
menolak untuk berbohong uang ketika orang lain kehilangan uang. Namun
sifat altruistic cenderung memudar, karena ukuran keuntungan untuk
kebohongan meningkatkan kepedulian terhadap penurunan lain (Gneezy, 2006
dalam Ugrin et al., 2014). Altruisme adalah perhatian terhadap kesejahteraan
orang lain tanpa memperhatikan diri sendiri. Altruisme memusatkan perhatian
pada motivasi untuk membantu orang lain dan keinginan untuk melakukan
kebaikan tanpa memperhatikan ganjaran. Bila mengikuti pemikiran Gneezy
bahwa orang yang dalam pemikirannya terdapat efek positif dan negatif secara
langsung diakibatkan oleh kebohongan atau tindakan melawan hukum.
Contoh bonus untuk eksekutif akan diterima jika dapat melaporkan
informasi keuangan palsu akan ditimbang terhadap perasaan bersalah dan
malu. Konsekuensi eksternal dikenakan oleh pelaku potensial dan
kemungkinan konsekuensi dipengaruhi oleh motif di balik perilaku. (Ugrin et
al., 2014) Untuk mengurangi konflik, individu dapat mencari pembenaran lain
yang memungkinkan. Tingkat altruisme mengubah situasi, memudahkan
intuisi bertentangan dan menawarkan cara rasionalisasi. Ketika kecurangan
laporan keuangan berkomitmen dalam situasi yang menguntungkan orang
lain.Individu akan berharap bahwa konsekuensi negatif yang akan diterimanya
ketika kecurangan berkomitmen dengan kepentingan dalam pikirannya sendiri
(Ugrin et al., 2014). Ugrin et al. (2014) memaparkan, orang
mempertimbangkan implikasi dari tindakan mereka sebelum mereka
memutuskan untuk terlibat atau tidak terlibat dalam perilaku tertentu, dalam
hal ini adalah perilaku kecurangan laporan keuangan.
Dalam teori ini juga digunakan untuk menunjukkan motif akuntan
melakukan kecurangan dalam melaporkan data keuangan (Ugrin et al., 2014).
Karena pada Amaliah (2008) juga menjelaskan bahwa seseorang yang percaya
bahwa sebuah tingkah dapat menghasilkan konsekuensi yang positif begitu
juga sebaliknya, jika individu tersebut percaya bahwa dengan melakukannya
akan menghasilkan konsekuensi yang negatif, maka ia akan memiliki sikap
yang negatif terhadap tingkah laku tersebut. Dari uraian motif diatas,

88
menunjukkan bahwa motif yang digunakan pelaku dalam melakukan
kecurangan laporan keuangan dapat berpengaruh terhadap antisipasi
konsekuensi yang akan diterima oleh pelakunya.

4.2 Jenis-Jenis Perilaku Tidak Etis dan Kecurangan


Sebagai konsep legal yang luas, kecurangan menggambarkan setiap
upaya penipuan yang disengaja, yang dimaksudkan untuk mengambil harta
atau hak orang atau pihak lain. Dalam konteks audit atas laporan keuangan,
kecurangan didefinisikan sebagai salah saji laporan keuangan yang disengaja.
Dua kategori yang utama adalah pelaporan keuangan yang curang dan
penyalahgunaan aktiva.

a. Pelaporan Keuangan yang Curang


Pelaporan keuangan yang curang adalah salah saji atau pengabaian
jumlah atau pengungkapan yang disengaja dengan maksud menipu para
pemakai laporan keuangan itu. Pengabaian jumlah kurang lazim dilakukan,
tetapi perusahaan dapat saja melebihsajikan laba dengan mengabaikan utang
usaha dan kewajiban lainnya.
Meskipun kebanyakan kasus pelaporan keuangan yang curang
melibatkan upaya melebihsajikan laba, perusahaan juga mungkin sengaja
merendahsajikan laba ketika laba itu tinggi untuk membentuk cadangan laba
atau “cookie jar reserve”. Praktik semacam ini disebut income smoothing
(perataan laba) dan earnings management (pengaturan laba). Pengaturan laba
(earnings manajement) menyangkut tindakan manajemen yang disengaja
untuk memenuhi tujuan laba. Perataan laba (income smoothing) merupakan
salah satu bentuk pengaturan laba di mana pendapatan dan beban ditukar-tukar
di antara periode-periode untuk mengurangi fluktuasi laba. Salah satu teknik
untuk meratakan laba adalah dengan mengurangi nilai persediaan dan aktiva
lain perusahaan yang diperoleh pada saat akuisisi, yang menghasilkan laba
yang lebih tinggi ketika aktiva tersebut nanti dijual.

89
b. Penyalahgunaan Aktiva
Penyalahgunaan (misappropriation) aktiva adalah kecurangan yang
melibatkan pencurian aktiva entitas. Pencurian aktiva perusahaan sering kali
mengkhawatirkan manajemen, tanpa memerhatikan materialitas jumlah yang
terkait, karena pencurian bernilai kecil menggunung seiring dengan
berjalannya waktu.
Menurut perkiraan Association of Certified Fraud Examiners,
perusahaan rata-rata kehilangan enam persen pendapatannya akibat
kecurangan. Penyalahgunaan aktiva biasanya dilakukan pada tingkat hierarki
organisasi yang lebih rendah. Namun, dalam beberapa kasus yang heboh,
manajemen puncak terlibat dalam pencurian aktiva perusahaan.
Sebab terjadinya perilaku dapat di identifikasi dalam tiga kondisi.
Kondisi ini berasal dari pelaporan keuangan yang curang dan penyalahgunaan
aktiva diuraikan dalam SAS 99 (AU 316). Ketiga kondisi ini disebut sebagai
segitiga kecurangan (fraud triangle).
1. Insentif/Tekanan. Manajemen atau pegawai lain merasakan insentif atau
tekanan untuk melakukan kecurangan.
2. Kesempatan. Situasi yang membuka kesempatan bagi manajemen atau
pegawai untuk melakukan kecurangan.
3. Sikap/Rasionalisasi. Ada sikap, karakter, atau serangkaian nilai-nilai etis
yang membolehkan manajemen atau pegawai untuk melakukan tindakan
yang tidak jujur.
Salah satu pertimbangan penting yang dilakukan auditor dalam
mengungkap kecurangan adalah mengidentifikasi faktor-faktor yang
meningkatkan risiko kecurangan. Dalam segitiga kecurangan, pelaporan
keuangan yang curang dan penyalahgunaan aktiva terbagi tiga kondisi yang
sama, tetapi faktor-faktor risikonya berbeda. Insentif/Tekanan. Insentif yang
umum bagi perusahaan untuk memanipulasi laporan keuangan adalah
menurunnya prospek keuangan perusahaan. Perusahaan juga mungkin
memanipulasi laba untuk memenuhi prakiraan atau tolak ukur para analis

90
seperti laba tahun sebelumnya. Dalam beberapa kasus, manajemen akan
memanipulasi laba hanya demi menjaga reputasi mereka.
Meskipun laporan keuangan semua perusahaan mungkin saja menjadi
sasaran manipulasi, risiko bagi perusahaan yang berkecimpung dalam industri
yang melibatkan pertimbangan dan estimasi yang signifikan jauh lebih besar.
Perputaran personil akuntansi atau kelemahan lain dalam proses akuntansi
dapat menciptakan kesempatan terjadinya salah saji.
Sikap/Rasionalisasi. Sikap manajemen puncak terhadap pelaporan
keuangan merupakan faktor risiko yang sangat penting dalam menilai
kemungkinan laporan keuangan yang curang. Karakter manajemen atau
serangkaian nilai-nilai etis juga mungkin mempermudah analis merasionalisasi
tindakan yang curang.
SAS 99 memberikan pedoman bagi auditor dalam menilai risiko
kecurangan. Auditor harus mempertahankan tingkat skeptisisme profesional
ketika mempertimbangkan serangkaian informasi yang luas, termasuk faktor-
faktor risiko kecurangan , untuk mengidentifikasi dan menanggapi risiko
kecurangan.
a. Skeptisisme Profesional
SAS 1 menyatakan bahwa, dalam melaksanakan skeptisisme profesional
(profesional skepticisme), auditor “tidak mengasumsikan bahwa manajemen
tidak jujur tetapi juga tidak mengasumsikan kejujuran absolut.” Sebagian besar
auditor tidak akan pernah menemui kecurangan yang material selama karirnya.
Pikiran yang selalu mempertanyakan SAS 99 menekankan agar
mempertimbangkan kerentanan klien terhadap kecurangan, tanpa
mempedulikan bagaimana keyakinan auditor tentang kemungkinan
kecurangan serta kejujuran dan integritas manajemen.
Evaluasi kritis atas bukti audit ketika mengungkapkan informasi atau
kondisi lain yang mengindikasikan bahwa mungkin telah terjadi salah saji yang
material akibat kecurangan, auditor harus menyelidiki permasalahannya secara
mendalam, memperoleh bukti tambahan sebagaimana yang diperlukan, dan

91
berkonsultasi dengan anggota tim lainnya. Auditor juga harus berhati-hati
jangan sampai merasionalisasikan atau mengasumsikan salah saji itu adalah
kejadian yang berdiri sendiri.
Komunikasi di antara Tim Audit SAS 99 mewajibkan tim audit
mengadakan diskusi untuk berbagai wawasan di antara anggota tim audit yang
lebih berpengalaman serta untuk “curah pendapat” menyangkut hal-hal
berikut:
1. Bagaimana dan di mana menurut keyakinan mereka laporan keuangan
entitas mungkin rentan terhadap salah saji yang material akibat
kecurangan.
2. Bagaimana manajemen dapat melakukan dan menutupi pelaporan
keuangan yang curang.
3. Bagaimana seseorang dapat menyalahgunakan aktiva entitas.
4. Bagaimana auditor menanggapi kerentanan terhadap salah saji yang
material akibat kecurangan.
Pengajuan Pertanyaan kepada Manajemen SAS 99 mengharuskan
auditor untuk mengajukan pertanyaan spesifik tentang kecurangan dalam
setiap audit. Auditor harus menanyakan apakah manajemen mengetahui setiap
kecurangan atau mencurigai adanya kecurangan dalam perusahaan. Auditor
juga harus menanyakan tentang proses yang ditempuh manajemen dalam
menilai risiko kecurangan, sifat risiko kecurangan yang diidentifikasikan oleh
manajemen, setiap pengendalian internal yang diimplementasikan untuk
mengatasi risiko itu, serta setiap informasi tentang risiko kecurangan dan
pengendalian terkait yang telah dilaporkan oleh manajemen kepada pihak-
pihak yang bertanggung jawab atas tata kelola, seperti komite audit.
SAS 99 mengharuskan auditor menanyakan komite audit atau pihak lain
yang bertanggung jawab atas tata kelola mengenai pandangan terhadap risiko
kecurangan, dan apakah mereka mengetahui kecurangan atau mencurigai
adanya kecurangan. SAS 99 juga mengharuskan auditor mengajukan

92
pertanyaan kepada pihak-pihak lain dalam entitas yang tugasnya berada di luar
garis tanggung jawab pelaporan keuangan yang normal.
Faktor-faktor Risiko SAS 99 mengharuskan auditor mengevaluasi
apakah faktor-faktor risiko kecurangan mengindikasikan adanya insentif atau
tekanan untuk melakukan kecurangan, kesempatan untuk berbuat curang, atau
sikap atau rasionalisasi yang digunakan untuk membenarkan tindakan yang
curang.
Prosedur Analitis Auditor harus melaksanakan prosedur analitis selama
tahap perencanaan dan penyelesaian audit untuk membantu mengidentifikasi
transaksi atau peristiwa tidak biasa yang mungkin mengindikasikan adanya
salah saji yang material dalam laporan keuangan.
Karena keterjadian pelaporan keuangan yang curang sering kali
melibatkan manipulasi pendapatan, SAS 99 mengharuskan auditor
melaksanakan prosedur analitis atas akun-akun pendapatan. Dengan
membandingkan volume penjualan berdasarkan pendapatan yang tercatat
dengan kapasitas produksi aktual. Informasi Lain Auditor harus
mempertimbangkan semua informasi yang sudah diperoleh dalam setiap tahap
atau bagian audit ketika menilai risiko kecurangan.
SAS 99 mengharuskan auditor mendokumentasikan hal-hal berikut ini
yang berhubungan dengan pertimbangan auditor mengenai salah saji yang
material akibat kecurangan:
a. Diskusi antara personil tim penugas selama tahap perencanaan audit
tentang kerentanan laporan keuangan entitas terhadap kecurangan yang
material.
b. Prosedur yang ditempuh untuk memperoleh informasi yang diperlukan
untuk mengindentifikasi dan menilai risiko kecurangan yang material.
c. Risiko khusus tentang kecurangan yang material yang sudah
teridentifikasi, serta uraian tentang respon auditor terhadap risiko
tersebut.

93
d. Alasan yang mendukung kesimpulan bahwa tidak ada risiko yang
signifikan atas pengakuan pendapatan yang tidak tepat secara material.
e. Hasil dari prosedur yang ditempuh untuk menghadapi risiko pengabaian
pengendalian oleh manajemen.
f. Kondisi dan hubungan analitis lainnya yang menunjukkan bahwa
diperlukan prosedur auditing tambahan atau respon lainnya, serta
tindakan yang diambil auditor.
g. Sifat komunikasi tentang kecurangan yang disampaikan kepada
manajemen, komite audit, atau pihak lainnya.
Setelah risiko kecurangan diidentifikasi dan dikomunikasikan, auditor
harus mengevaluasi faktor-faktor yang mengurangi risiko kecurangan sebelum
mengembangkan respon yang tepat terhadap risiko kecurangan itu.
Manajemen bertanggung jawab mengimplementasikan tata kelola korporasi
prosedur pengendalian untuk meminimalkan risiko kecurangan, yang dapat
dikurangi melalui kombinasi antara tindakan mencegah, menghalangi, dan
mendeteksi.
Untuk membantu manajemen dan dewan direksi dalam memerangi
kecurangan, AICPA, bersama dengan beberapa organisasi profesional,
menerbitkan Manajemen Antifraud Programs and Controls: Guidance to Help
Prevent, Deter, and Detect Fraud. Pedoman ini mengidentifikasi tiga unsur
untuk mencegah, menghalangi, dan mendeteksi kecurangan:
1. Budaya jujur dan etika yang tinggi
2. Tanggung jawab manajemen untuk mengevaluasi risiko kecurangan
3. Pengawasan oleh komite audit.
Hasil riset membuktikan cara yang paling efektif untuk mencegah dan
menghalangi kecurangan adalah mengimplementasikan program serta
pengendalian antikecurangan, yang didasarkan pada nilai-nilai inti yang dianut
perusahaan. Nilai-nilai ini membantu menciptakan jujur dan etika yang
menjadi dasar tanggung jawab bagi pekerja dan karyawan. Penciptaan budaya
jujur dan etika yang tinggi meliputi enam unsur.

94
Menetapkan Tone at the Top Management dan dewan direksi
bertanggung jawab untuk menetapkan “tone at the top” terhadap perilaku etis
dalam perusahaan. Tone at the top yang dilandasi kejujuran dan integritas akan
menjadi dasar bagi kode perikalu yang lebih terinci. Menciptakan Lingkungan
Kerja yang Positif Tempat kerja yang positif dapat mendongkrak semangat
karyawan, yang dapat mengurangi kemungkinan karyawan melakukan
kecurangan terhadap perusahaan.
Mempekerjakan dan mempromosikan pegawai yang tepat agar berhasil
mencegah kecurangan, perusahaan yang dikelola dengan baik
mengimplementasikan kebijakan penyaringan yang efektif untuk mengurangi
kemungkinan mempekerjakan dan mempromosikan orang-orang yang tingkat
kejujurannya rendah, terutama yang akan menduduki jabatan yang
bertanggung jawab atau penting. Pelatihan Pelatihan kewaspadaan terhadap
kecurangan juga harus disesuaikan dengan tanggung jawab pekerjaan khusus
pegawai itu, misalnya pelatihan yang berbeda untuk agen pembelian dan agen
penjualan. Konfirmasi Sebagian besar perusahaan mengharuskan pegawainya
untuk secara periodik mengonfirmasikan tanggung jawab mematuhi kode
perilaku. Konfirmasi itu akan membantu mengokohkan kebijakan kode
perilaku dan juga membantu menghalangi pegawai melakukan kecurangan
atau pelanggaran etika lainnya.
Disiplin Pegawai harus mengetahui bahwa mereka akan dimintai
pertanggungjawaban jika tidak mengikuti kode perilaku perusahaan.
Penyelidikan secara tuntas atas semua pelanggaran dan respon yang tepat serta
konsisten dapat secara efektif menghalangi kecurangan. Tanggungjawab
manajemen untuk mengevaluasi risiko kecurangan
Manajemen bertanggungjawab untuk mengidentifikasi dan mengukur
risiko kecurangan, mengambil langkah-langkah untuk mengurangi risiko yang
teridentifikasi, serta memantau pengendalian internal yang mencegah dan
mendeteksi kecurangan. Mengidentifikasi dan mengukur risiko kecurangan
pengawasan yang efektif akan kecurangan dimulai dengan pengakuan

95
manajemen bahwa kecurangan mungkin terjadi, dan hampir semua pegawai
sanggup melakukan tindakan yang tidak jujur bila situasinya memungkinkan.
Mengurangi risiko kecurangan manajemen bertanggungjawab untuk
merancang dan mengimplementasikan program serta pengendalian untuk
mengurangi risiko kecurangan, dan dapat mengubah aktivitas serta proses
bisnis yang rentan terhadap kecurangan untuk mengurangi insentif dan
kesempatan untuk melakukan kecurangan. Memantau Program dan
Pengendalian dan Pencegahan Kecurangan Audit internal memainkan peran
yang penting dalam memantau aktivitas untuk memastikan bahwa program dan
pengendalian antikecurangan telah berjalan.efektif. mereka akan membantu
mendeteksi kecurangan dengan melaksanakan prosedur audit yang dapat
mengungkapkan pelaporan keuangan yang curang serta penyalahgunaan
aktiva.
Komite audit mengemban tanggungjawab utama mengawasi pelaporan
keuangan serta proses pengendalian internal organisasi. Komite audit juga
membantu menciptakan “tone at the top” yang efektif tentang pentingnya
kejujuran den perilaku etis dengan mendukung toleransi nol manajemen
terhadap kecurangan. Komite audit memainkan peran yang penting dalam
menetapkan tone at the top yang tepat, serta dalam mengawasi tindakan
manajemen.
Apabila risiko salah saji yang material sudah teridentifikasi, pertama
auditor harus membahas temuan tersebut dengan manajemen dan minta
pandangan manajemen mengenai potensi kecurangan serta pengendalian yang
ada yang dirancang untuk mencegah atau mendeteksi salah saji. Respons
auditor terhadap risiko kecurangan meliputi hal-hal berikut ini:
1. Mengubah pelaksanaan audit secara keseluruhan
2. Merancang dan melaksanakan prosedur audit untuk menangani risiko
kecurangan
3. Merancang dan melaksanakan prosedur untuk menangani pengabaian
pengendalian oleh manajemen.

96
Auditor dapat memilih di antara beberapa respons secara keseluruhan
bila risiko kecurangan meningkat. SAS 99 mengharuskan auditor memasukkan
unsur ketidakterdugaan dalam rencana audit. Auditor juga harus
memperhitungkan pengujian yang berhubungan dengan penyalahgunaan
aktiva, meskipun jumlahnya tidak material. Prosedur audit yang tepat yang
digunakan untuk menangani risiko kecurangan tertentu tergantung pada akun
yang diaudit dan jenis risiko kecurangan yang diidentifikasi. Auditor juga
harus mempertimbangkan prinsip akuntansi yang dipilih manajemen.
Risiko pengabaian pengendalian oleh manajemen selalu ada dalam
hampir semua audit. Karena manajemen memiliki posisi yang unik untuk
melakukan kecurangan dengan mengabaikan pengendalian yang sebenarnya
berjalan efektif, dalam setiap audit auditor harua melaksanakan prosedur untuk
menangani risiko pengabaian oleh manajemen. Ada tiga prosedur yang harus
dilaksanakan dalam setiap audit.
Memeriksa Ayat Jurnal dan Penyesuaian Lainnya untuk Mencari Bukti
Salah Saji yang Mungkin Akibat Kecurangan Pertama auditor harus
memahami proses pelaporan keuangan entitas, di samping pengendalian atas
ayat-ayat jurnal dan penyesuaian lainnya, serta mengajukan pertanyaan kepada
pegawai yang terlibat dalam proses pelaporan keuangan tentang aktivitas yang
tidak tepat atau tidak biasa dalam pemrosesan ayat jurnal dan penyesuaian
lainnya.
Me-review estimasi akuntansi untuk mengetahui adanya bias SAS 99
mengharuskan auditor memperhitungkan potensi bias manajemen saat me-
review estimasi tahun berjalan. Auditor juga diharuskan untuk “menengok ke
belakang”, dan melihat estimasi tahun sebelumnya yang signifikan guna
mengidentifikasi setiap perubahan proses perusahaan atau pertimbangan dan
asumsi manajemen yang mungkin mengindikasikan.
Mengevaluasi dasar pemikiran bisnis untuk transaksi tidak biasa yang
signifikan. SAS 99 lebih berfokus pada pemahaman yang melandasi dasar
pemikiran bisnis untuk transaksi tidak biasa yang signifikan. Auditor harus

97
memahami tujuan transaksi yang signifikan ini. Auditor harus mewaspadai
kondisi-kondisi berikut ketika melakukan audit:
a. Perbedaan dalam catatan akuntansi
b. Bukti audit yang bertentangan atau hilang
c. Hubungan yang serba salah
d. Jawaban yang tidak jelas atas pertanyaan yang diajukan audit atau yang
menghasilkan bukti yang tidak konsisten dengan bukti lainnya.

Suatu studi yang disponsori oleh Committee Of Sponsoring


Organizations (COSO) menemukan bahwa lebih dari separuh kecurangan
laporan keuangan melibatkan pendapatan dan piutang usaha. Risiko Pelaporan
Keuangan yang Curang atas Pendapatan Sebagai konsekuensi dari seringnya
kecurangan dalam laporan keuangan yang melibatkan pengakuan pendapatan,
pada akhir tahun 1990-an AICPA dan SEC mengeluarkan pedoman yang
berhubungan dengan pengakuan pendapatan. SAS 99 yang dikeluarkan oleh
Auditing Standards Board secara khusus mengharuskan auditor
mengidentifikasi pengakuan pendapatan sebagai risiko kecurangan dalam
kebanyakan audit.
Ada beberapa alasan yang membuat pendapatan rentan terhadap
manipulasi. Alasan yang terpenting adalah bahwa pendapatan hampir selalu
merupakan akun terbesar dalam laporan laba rugi, sehingga satu salah saji yang
merupakan persentase yang kecil dari pendapatan masih bisa berdampak besar
terhadap laba. Tiga jenis utama manipulasi pendapatan adalah:
1. Pendapatan fiktif
2. Pengakuan pendapatan prematur
3. Manipulasi atas penyesuaian pendapatan. Pendapatan Fiktif Bentuk
kecurangan pendapat yang paling menyolok melibatkan penciptaan
pendapatan-pendapatan fiktif.
Pelaku kecurangan sering kali bersedia bersusah payah mendukung
pendapatan fiktif. Pengakuan Pendapatan Prematur yaitu pengakuan

98
pendapatan sebelum persyaratan GAAP untuk mencatat pendapatan dipenuhi,
harus dibedakan dari kekeliruan pisah batas, di mana transaksi tanpa sengaja
dicatat dalam periode yang salah dalam bentuk pengakuan pendapatan
dipercepat yang paling sederhana, penjualan yang seharusnya dicatat dalam
periode berikutnya dicatat sebagai penjualan periode berjalan.
Manipulasi Penyesuaian Pendapatan Penyesuaian yang paling umum
dilakukan terhadap pendapatan menyangkut retur penjualan dan pengurangan
harga. Suatu perusahaan mungkin menyembunyikan retur penjualan dari
auditor untuk melebihsajikan penjualan dan laba bersih. Tanda-tanda
Peringatan Kecurangan Pendapatan Ada banyak tanda peringatan atau gejala
yang mengindikasikan kecurangan pendapatan. Dua diantaranya yang paling
bermanfaat adalah prosedur analitis dan perbedaan dokumenter.
Prosedur analitis sering kali mengisyaratkan adanya kecurangan
pendapatan, terutama persentase margin kotor dan perputaran piutang usaha.
Perbedaan Dokumenter meski para pelaku kecurangan sudah berusaha
sebisanya, transaksi fiktif jarang memiliki bukti dokumenter pada tingkat yang
sama seperti dalam transaksi yang sah. Penyalahgunaan Penerimaan yang
Melibatkan pendapatan meski penyalahgunaan penerimaan kas jarang terjadi
pelaporan pendapatan yang curang, kecurangannya semacam ini bisa
berdampak buruk terhadap organisasi karena aktiva langsung hilang.
Kelalaian mencatat penjualan salah satu kecurangan yang paling sukar
dideteksi adalah apabila penjualan tidak dicatat dan kas dari penjualan itu
dicuri. Kecurangan ini mudah dideteksi jika barang dikirim secara kredit
kepada pelanggan. Pencurian penerimaan kas setelah penjualan dicatat untuk
menyembunyikan pencurian, pelaku kecurangan harus mengurangi rekening
pelanggan dengan salah satu dari tiga cara:
1. Mencatat suatu retur penjualan atau pengurangan harga
2. Menghapus rekening pelanggan
3. Mencatat pembayaran dari pelanggan lain dalam rekening pelanggan itu,
yang disebut juga sebagai lapping.

99
Persediaan sering kali merupakan akun terbesar dalam neraca dan
auditor sering merasa sullit memverifikasi eksistensi dan penilaian persediaan.
Akibatnya persediaan rentan terhadap manipulasi oleh manajer yang ingin
mencapai tujuan pelaporan keuangan tertentu. Risiko Pelaporan Keuangan
yang Curang untuk Persediaan Walaupun auditor diharuskan memverifikasi
eksistensi persedian fisik, pengujian audit tetap dilakukan atas dasar sampel,
dan biasanya tidak semua lokasi persediaan diuji.
Tanda-tanda Peringatan Kecurangan Persediaan Serupa dengan
penipuan yang melibatkan piutang usaha, banyak tanda peringatan atau gejala
yang berpotensi menunjukan kecurangan persediaan. Prosedur Analitis
Terutama persentase margin kotor dan perputaran persediaan sering kali
membantu membongkar kecurangan persediaan. Persediaan fiktif akan
melebihsajiakan persentase margin kotor, dan pengakuan pendapatan prematur
juga melebihsajikan margin kotor jika HPP yang terkait tidak diakui.
Kasus pelaporan keuangan yang curang yang melibatkan utang usaha
relatif umum ditemui meski lebih jarang bila dibandingkan dengan kecurangan
yang melibatkan persediaan atau piutang usaha. Kurang saji yang disengaja
atas utang usaha biasanya menghasilkan kurang saji pembelian dan HPP serta
lebih saji laba bersih.
Risiko pelaporan keuangan yang curang untuk utang usaha perusahaan
mungkin melakukan upaya yang disengaja untuk merendahsajikan utang usaha
dan melebihsajikan laba. Hal ini dapat dicapai dengan tidak mencatat utang
usaha sampai periode berikutnya, atau dengan mencatat penurunan fiktif utang
usaha.
Penyalahgunaan dalam siklus akuisisi dan pembayaran kecurangan yang
paling umum dalam siklus akuisisi adalah pelaku melakukan pembayaran
kepada vendor fiktif dan menyimpan uang itu dalam rekening fiktif.
Kecurangan ini dapat dicegah dengan menetapkan bahwa pembayaran hanya
akan dilakukan kepada vendor yang sudah disetujui dan dengan meneliti secara

100
cermat dokumentasi yang mendukung akuisisi itu oleh personil yang
berwenang sebelum pembayaran dilakukan.
Meskipun beberapa akun lebih rentan dibandingkan yang lain, hampir
semua akun dapat dimanipulasi. Aktiva Tetap Merupakan akun neraca yang
besar sering kali didasarkan pada penilaian yang ditetapkan secara subjektif.
Akibatnya aktiva tetap dapat menjadi sasaran manipulasi, terutama bagi
perusahaan yang tidak memiliki piutang atau persediaan material.
Beban Penggajian Penggajian jarang menjadi bidang risiko yang
signifikan bagi pelaporan keuangan yang curang. Akan tetapi perusahaan
mungkin saja melebihsajikan persediaan dan laba bersih dengan mencatat
biaya tenaga kerja berlebih dalam persediaan.
Selama berlangsungnya audit, auditor terus mengevaluasi apakah bukti
yang dikumpulkan serta observasi lain yang dilakukan mengindikasikan
adanya salah saji yang material akibat kecurangan. Jenis-jenis Teknik
Pengajuan Pertanyaan Pengajuan pertanyaan dapat menjadi teknik
pengumpulan bukti audit yang efektif. Wawancara juga dapat membantu
menidentifikasi masalah-masalah yang tidak tercantum dalam dokumentasi
atau konfirmasi.
Pengajuan Pertanyaan Informasional Untuk memperoleh informasi
tentang fakta dan detail yang belum dimiliki auditor. Pengajuan Pertanyaan
Penilaian Untuk menguatkan atau menyangkal informasi sebelumnya.
Pengajuan Pertanyaan Interogatif Sering digunakan untuk memastikan apakah
setiap individu berbohong atau sengaja tidak mengungkapkan pengetahuan
penting tentang fakta, peristiwa atau situasi penting, terutama bila auditor
curiga si terwawancara sedang mengelabuhi atau menyembunyikan informasi.
Mengevaluasi Respons Atas Pengajuan Pertanyaan Agar pengajuan
pertanyaan efektif, auditor harus terampil menyimak dan mengevaluasi
respons atau pertanyaan yang diajukan.
Teknik Menyimak Sangat penting bagi auditor untuk memanfaatkan
keterampilan menyimak yang efektif selama proses pengajuan pertanyaan.

101
Auditor harus terus memperhatikan dengan mempertahankan kontak mata,
mengangguk sebagai tanda setuju, atau memperlihatkan tanda-tanda
pemahaman lain. Mengamati Petunjuk Perilaku Auditor yang mahir dalam
menggunakan pengajuan pertanyaan akan mengevaluasi petunjuk lisan dan
nonlisan ketika mendengarkan pihak yang diwawancarai.
Petunjuk-petunjuk lisan dapat mengindikasikan kegugupan,
ketidaktahuan atau bahkan kebohongan responden. Tanggungjawab lain
apabila dicurigai ada kecurangan apabila auditor curiga bahwa mungkin ada
kecurangan, SAS 99 mengharuskan auditor memperoleh bukti tambahan untuk
menentukan apakah kecurangan yang material memang sudah terjadi. Auditor
sering kali menggunakan pengajuan pertanyaan, seperti dibahas sebelumnya
sebagai bagian dari proses pengukuran informasi itu.

102
BAB V
CARA MENGATASI PERILAKU TIDAK ETIS

5.1 Rambu-Rambu Perilaku Tidak Etis dalam Akutansi dan


Manajemen
Akuntansi manajemen adalah disiplin ilmu yang berkenaan dengan
penggunaan informasi akuntansi oleh para manajemen dan pihak-pihak
internal lainnya untuk keperluan penghitungan biaya produk, perencanaan,
pengendalian dan evaluasi, serta pengambilan keputusan (Mulyadi, 2001).
Definisi akuntansi manajemen menurut Chartered Institute of Management
Accountant, yaitu Penyatuan bagian manajemen yang mencakup, penyajian
dan penafsiran informasi yang digunakan untuk perumusan strategi, aktivitas
perencanaan dan pengendalian, pembuatan keputusan, optimalisasi
penggunaan sumber daya, pengungkapan kepada pemilik dan pihak luar,
pengungkapan kepada pekerja. Akuntan manajemen mempunyai peran penting
dalam menunjang tercapainya tujuan perusahaan, dimana tujuan tersebut harus
dicapai melalui cara yang legal dan etis, maka para akuntan manajemen
dituntut untuk bertindak jujur, terpercaya, dan etis.
Bagi organisasi yang terdesentralisasi, keluaran atau hasil dari sebuah
divisi dipakai sebagai masukan bagi divisi lain. Transaksi antar divisi ini
menyebabkan timbulnya suatu mekanisme transfer pricing. Transfer pricing
didefinisikan sebagai suatu harga jual khusus yang dipakai dalam pertukaran
antar divisi untuk pendapatan divisi penjual dan biaya divisi pembeli. Transfer
pricing sering disebut juga intracompany pricing yang merupakan harga yang
diperhitungkan untuk keperluan pengendalian manajemen atas transfer barang
dan jasa antar anggota perusahaan. Bila dicermati secara lebih lanjut, transfer
pricing dapat menyimpang secara signifikan dari harga yang disepakati. Oleh
karena itu transfer pricing juga sering dikaitkan dengan suatu rekayasa harga

103
secara sistematis yang bertujuan untuk mengurangi laba yang nantinya akan
mengurangi jumlah pajak atau bea dari suatu negara.
Perlu dibuat beberapa kebijakan dalam usaha untuk membingkai etika
transfer pricing. Kebijakan transfer pricing perlu dibuat secara tersembunyi
untuk menghidari pemeriksaan dari otoritas pajak dan aspek lain selain pajak.
Hal yang dibahas dalam transfer pricing hanya dari segi komersial dan kurang
memperhatikan perdagangan dan harga. Pandangan Neo klasik perusahaan
telah terkonsentrasi untuk menentukan harga dalam transaksi transfer pricing.
Kesalahpahaman akuntansi yang umum dalam transfer pricingadalah masalah
biaya internal. Transfer pricing menimbulkan banyak sekali masalah dalam
produksi barang atau jasa pada perusahaan. Bahanbakuyang digunakan dapat
berupa bahanbakudengan kualitas yang rendah. Hal ini berpengaruh terhadapp
kualitas barang yang dihasilkan. Penghindaran pajak untuk maksimalisasi
labanya. Cara yang digunakan oleh setiap manajer divisi penjual atau pembeli
dalam menggunakan alat yang bernama transfer pricinguntuk menunjukan
kinerja yang bagus kepada perusahaan. Cara yang digunakan manajer dapat
dengan cara yang baik atau menghalalkan berbagai cara.

Gambar 5.1 Tanggung Jawab Akuntan

Perencanaan

Pelaporan Pengevaluasian

Pertanggung
Pengendalian
jawaban

Sumber: Ricky (2003)

104
Menurut Ricky (2003), tanggung jawab yang dimiliki oleh seorang
akuntan manajemen lebih luas dibandingkan tanggung jawab seorang akuntan
keuangan, yaitu:
a) Perencanaan, menyusun dan berpartisipasi dalam mengembangkan
sistem perencanaan, menyusun sasaran-sasaran yang diharapkan, dan
memilih cara-cara yang tepat untuk memonitor arah kemajuan dalam
pencapaian sasaran.
b) Pengevaluasian, mempertimbangkan implikasi-implikasi historical dan
kejadian-kejadian yang diharapkan, serta membantu memilih cara
terbaik untuk bertindak.
c) Pengendalian, menjamin integritas informasi finansial yang
berhubungan dengan aktivitas organisasi dan sumber-sumbernya,
memonitor dan mengukur prestasi, dan mengadakan tindakan koreksi
yang diperlukan untuk mengembalikan kegiatan pada cara-cara yang
diharapkan.
d) Menjamin pertanggungjawaban sumber, mengimplementasikan
suatu sistem pelaporan yang disesuaikan dengan pusat-pusat
pertanggungjawaban dalam suatu organisasi sehingga sistem pelaporan
tersebut dapat memberikan kontribusi kepada efektifitas penggunaan
sumber daya dan pengukuran prestasi manajemen.
e) Pelaporan eksternal, ikut berpartisipasi dalam proses mengembangkan
prinsip-prinsip akuntansi yang mendasari pelaporan eksternal.

Kebiasaaan beretika adalah sangat penting dalam menjalankan


perekonomian kita telah memicu berbagai perubahan peraturan dan
permintaan perundang-undangan baru. Dalam perekonomian yang baru,
digital, dan berbasis kepercayaan, kepentingan sangat dijunjung tinggi.
Kejujuran perusahaan, yang diwujudkan dalam merek dan reputasi,
meningkatkan kepercayaan pelanggan, karyawan dan investor. Pengalaman
menunjukkan bahwa aset semacam ini harus dibangun lama dan penuh

105
pengorbanan, namun cepat dapat hilang dalam sekejap, dan jika hilang, maka
kehilangan segalanya. Akhirnya, untuk kebaikan semua orang termasuk
perusahaan pencetak laba adalah sangat penting untuk menjalankan bisnis
dalam kerangka etika yang membangun dan menjaga kepercayaan.
Ikatan Akuntan Manajemen (Institute of Management Accountant –
IMA) di Amerika Serikat telah mengembangkan kode etik yang disebut
Standar Kode Etik untuk Praktisi Akuntan Manajemen dan Manajemen
Keuangan (Standards of Ethical Conduct for Practitioners of Management
Accounting and Financial Management).
Aisah (2010) memaparkan, ada empat standar etika untuk akuntan
manajemen yaitu:

1. Kompetensi
Artinya, akuntan harus memelihara pengetahuan dan keahlian yang
sepantasnya, mengikuti hukum, peraturan dan standar teknis, dan membuat
laporan yang jelas dan lengkap berdasarkan informasi yang dapat dipercaya
dan relevan. Praktisi manajemen akuntansi dan manajemen keuangan memiliki
tanggungjawab untuk:
• Menjaga tingkat kompetensi profesional sesuai dengan pembangunan
berkelanjutan, pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki.
• Melakukan tugas sesuai dengan hukum, peraturan dan standar teknis
yang berlaku.
• Mampu menyiapkan laporan yang lengkap, jelas, dengan informasi yang
relevan serta dapat diandalkan.

2. Kerahasiaan (Confidentiality)
Mengharuskan seorang akuntan manajemen untuk tidak
mengungkapkan informasi rahasia kecuali ada otorisasi dan hukum yang
mengharuskan untuk melakukan hal tersebut. Praktisi manajemen akuntansi
dan manajemen keuangan memiliki tanggung jawab untuk:

106
• Mampu menahan diri dari mengungkapkan informasi rahasia yang
diperoleh dalam pekerjaan, kecuali ada izin dari atasan atau atas dasar
kewajiban hukum.
• Menginformasikan kepada bawahan mengenai kerahasiaan informasi
yang diperoleh, agar dapat menghindari bocornya rahasia perusahaan.
Hal ini dilakukan juga untuk menjaga pemeliharaan kerahasiaan.
• Menghindari diri dari mengungkapkan informasi yang diperoleh untuk
kepentingan pribadi maupun kelompok secara ilegal melalui pihak
ketiga.

3. Integritas (Integrity)
Mengharuskan untuk menghindari “conflicts of interest”, menghindari
kegiatan yang dapat menimbulkan prasangka terhadap kemampuan mereka
dalam menjunjung etika. Praktisi manajemen akuntansi dan manajemen
keuangan memiliki tanggung jawab untuk:
• Menghindari adanya konflik akrual dan menyarankan semua pihak agar
terhindar dari potensi konflik.
• Menahan diri dari agar tidak terlibat dalam kegiatan apapun yang akan
mengurangi kemampuan mereka dalam menjalankan tigas secara etis.
• Menolak berbagai hadiah, bantuan, atau bentuk sogokan lain yang dapat
mempengaruhi tindakan mereka.
• Menahan diri dari aktivitas negati yang dapat menghalangi dalam
pencapaian tujuan organisasi.
• Mampu mengenali dan mengatasi keterbatasan profesional atau kendala
lain yang dapat menghalagi penilaian tanggung jawab kinerja dari suatu
kegiatan.
• Mengkomunikasikan informasi yang tidak menguntungkan serta yang
menguntungkan dalam penilaian profesional.
• Menahan diri agar tidak terlibat dalam aktivitas apapun yang akan
mendiskreditkan profesi.

107
4. Objektivitas (Objectifity)
Mengharuskan para akuntan untuk mengkomunikasikan informasi
secara wajar dan objektif, mengungkapan secara penuh (fully disclose) semua
informasi relevan yang diharapkan dapat mempengaruhi pemahaman user
terhadap pelaporan, komentar dan rekomendasi yang ditampilkan. Praktisi
manajemen akuntansi dan manajemen keuangan memiliki tanggung jawab
untuk:
• Mengkomunikasikan atau menyebarkan informasi yang cukup dan
objektif.
• Mengungkapkan semua informasi relevan yang diharapkan dapat
memberikan pemahaman akan laporan atau rekomendasi yang
disampaikan.

A. Creative Accounting
Istilah creative menggambarkan suatu kemampuan berfikir dan
menciptakan ide yang berbeda daripada yang biasa dilakukan, juga dapat
dikatakan mampu berfikir diluar kotak (out-of-the box). Jaman sekarang
diprofesi apapun kita berada senantiasa dituntut untuk selalucreative. Namun
pada saat kita mendengar istilah ‘creative accounting’, seperti sesuatu hal yang
kurang ‘etis’. Beberapa pihak menafsirkan negative, dan berpandangan skeptis
serta tidak menyetujui, namun beberapa melihat dengan pandangan netral
tanpa memihak.
Menurut Susiawan (2003) creative accounting adalah aktifitas badan
usaha untuk memanfaatkan teknik dan kebijakan akuntansi guna mendapatkan
hasil yang diinginkan, seperti penyajian nilai laba atau asset yang lebih tinggi
atau lebih rendah tergantung motivasi mereka melakukannya. Menurut
Myddelton (2009), akuntan yang dianggap kreatif adalah akuntan yang dapat
menginterpretasikan grey area standar akuntansi untuk mendapatkan manfaat
atau keuntungan dari interpretasi tersebut.

108
Akuntansi dengan standar yang berlaku, adalah alat yang digunakan
manajemen (dengan bantuan akuntan) untuk menyajikan laporan keuangan.
Praktek akuntansi tentunya tidak terlepas dari kebijakan manajemen dalam
memilih metode yang sesuai dan diperbolehkan. Kebijakan dan metode yang
dipilih dipengaruhi oleh kemampuan interpretasi standar akuntansi, dan
kepentingan manajemen sendiri. Standar akuntansi mengharuskan adanya
pengungkapan (dislosure) atas praktek dan kebijakan akuntansi yang dipilih,
dan diterapkan. Dalam proses penyajian laporan keuangan, potensial sekali
terjadinya ‘asimetri informasi’ atau aliran informasi yang tidak seimbang
antara penyaji (manajemen) dan penerima informasi (investor dan kreditor).
Dalam hal ini yang memiliki informasi lebih banyak (manajemen) “diduga”
potensial memanfaatkannya informasi yang dimiliki untuk mengambil
keuntungan maksimal.
Pelaku “creative accounting” sering juga dipandang sebagai opportunis.
Dalam teori keagenan (agency theory) dijelaskan, adanya kontrak antara
pemegang saham (principal) dengan manajer sebagai pengelola perusahaan
(agent), dimana manajer bertanggung jawab memaksimalkan kesejahteraan
pemegang saham, namun disisi lain manajer juga mempunyai kepentingan
pribadi mengoptimalkan kesejahteraan mereka sendiri melalui tercapainya
bonus yang dijanjikan pemegang saham. Beberapa studi empiris tentang
prilaku yang memotivasi individu atau badan usaha melakukan ‘creative
accounting’ adalah: Motivasi bonus, motivasi hutang, motivasi pajak, motivasi
penjualan saham, motivasi pergantian direksi serta motivasi politis.
Berdasarkan hal tersebut maka muncullah pertanyaan: Apakah “creative
accounting” atau “earning management” legal dan etis? Menurut Velasques
(2002) salah satu karakteristik utama standar moral untuk menentukan etis atau
tidaknya suatu perbuatan adalah perbuatan tersebut tidak merugikan orang
lain. Cara pandang seseorang dan pengalaman hidup seseoranglah yang akan
berpengaruh terhadap etis tidaknya suatu perbuatan. Sehingga acuan terbaik
dari “creative accounting” atau “earning management” adalah Standar moral

109
dan etika. Namun bagaimana menilai prilaku manajemen dalam pelaporan
keuangan? Pengungkapan atau discolusre yang memadai adalah sebuah media
yang diharuskan standar akuntansi, agar manajemen dapat menjelaskan
kebijakan dan praktek akuntansi yang dipilih. Dua jenis pengungkapan yang
dapat diberikan dalam laporan keuangan yaitu:
1. Mandatory disclosure (pengungkapan wajib)
2. Voluntary discolure (pengungkapan sukarela)
Tentunya jika manajemen dapat menggunakan media disclosure ini
dalam menjelaskan kebijakan dan praktek akuntansi yang dilakukan sehingga
para pengguna paham dan dapat menilai motivasi dibelakangnya, dan tidak
merasa dirugikan, sehingga kebijakan tersebut dapat dikatakan legal dan etis.

B. Whistle Blowing
Whistle blowing merupakan tindakan yang dilakukan oleh seseorang
atau beberapa orang karyawan untuk membocorkan kecurangan baik yang
dilakukan oleh perusahaan atau atasannya kepada pihak lain. Pihak yang
dilaporkan ini bisa saja atasan yang lebih tinggi ataupun masyarakat luas.
Rahasia perusahaan adalah sesuatu yang konfidensial dan memang harus
dirahasiakan, dan pada umumnya tidak menyangkut efek yang merugikan bagi
pihak lain, entah itu masyarakat atau perusahaan lain. Whistle blowing
menyangkut kecurangan tertentu yang merugikan perusahaan sendiri maupun
pihak lain, apabila dibongkar atau disebarluaskanakan merugikan perusahaan,
paling minimal merusak nama baik perusahaan tersebut. Whistle blowing
dibagi menjadi dua yaitu:
• Whistle Blowing internal, yaitu kecurangan dilaporkan kepada pimpinan
perusahaan tertinggi, pemimpin yang diberi tahu harus bersikap netral
dan bijak, loyalitas moral bukan tertuju pada orang, lembaga, otoritas,
kedudukan, melainkan pada nilai moral: keadilan, ketulusan, kejujuran,
dan dengan demikian bukan karyawan yang harus selalu loyal dan setia

110
pada pemimpin melainkan sejauh mana pimpinan atau perusahaan
bertindak sesuai moral.
• Whistle Blowing eksternal, yaitu membocorkan kecurangan perusahaan
kepada pihak luar seperti masyarakat karena kecurangan itu merugikan
masyarakat, motivasi utamanya adalah mencegah kerugian bagi banyak
orang, yang perlu diperhatikan adalah langkah yang tepat sebelum
membocorkan kecurangan terebut ke masyarakat, untuk membangun
iklim bisnis yang baik dan etis memang dibutuhkan perangkat legal yang
adil dan baik.

Akuntansi keuangan merupakan bidang akuntansi yang mengkhususkan


fungsi dan aktivitasnya pada kegiatan pengolahan data akuntansi dari suatu
perusahaan dan penyusunan laporan keuangan untuk memenuhi kebutuhan
berbagai pihak, yaitu pihak internal dan eksternal. Oleh karena tujuan
akuntansi keuangan adalah menyediakan informasi kepada pihak yang
berkepentingan, maka laporan keuangan harus bersifat umum sehingga dapat
diterima oleh semua pihak yang berkepentingan. Laporan keuangan yang
dimaksud harus mampu menunjukkan keadaan keuangan dan hasil usaha
perusahaan.
Laporan keuangan tersebut harus mampu memberikan suatu rangkaian
historis informasi dari sumber-sumber ekonomi, dan kewajiban-kewajiban
perusahaan, serta kegiatan-kegiatan yang mengabaikan perubahan terhadap
sumber-sumber ekonomi dan kewajiban-kewajiban tersebut, yang dinyatakan
secara kuantitatif dengan satuan mata uang.
Seorang akuntan keuangan bertanggungjawab untuk:
1. Menyusun laporan keuangan dari perusahaan secara integral, sehingga
dapat digunakan oleh pihak internal maupun pihak eksternal perusahaan
dalam pengambilan keputusan.
2. Membuat laporan keuangan yang sesuai dengan karakterisitk kualitatif
laporan keuangan yaitu dapat dipahami, relevan, materialitas, keandalan

111
(penyajian yang jujur, substansi mengungguli bentuk, netralitas,
pertimbangan sehat, kelengkapan), dapat diperbandingkan, kendala
informasi yang relevan dan handal (tepat waktu, keseimbangan antara
biaya dan manfaat, keseimbangan di antara karakterisitk kualitatif), serta
penyajian yang wajar.

Etika dalam akuntansi seringkali disebut sebagai suatu hal yang klasik.
Hal tersebut dikarenakan pengguna informasi akuntansi menggunakan
informasi yang penting serta membuat berbagai keputusan. Profesi dalam
akuntansi keuangan memegang rasa tanggung jawab yang tinggi kepada
publik. Tindakan akuntansi yang tidak benar, tidak hanya akan merusak bisnis,
tetapi juga merusak auditor perusahaan yang tidak mengungkapkan salah saji.
Kode etik yang kuat dan tingkat kepatuhan terhadap etika dapat menyebabkan
kepercayaan investor sehingga mengarah kepada hal yang kepastian dan
merupakan hal yang keamanan bagi para investor.
Para akuntan dan auditor dapat menghindari dilema etika dengan
memiliki pemahaman yang baik tentang pengetahuan etika. Hal tersebut
memungkinkan mereka dapat membuat pilihan yang tepat. Mungkin hal itu
tidak berdampak baik bagi perusahaan tetapi dapat menguntungkan
masyarakat yang bergantung pada akuntan atau auditor. Aturan kode etik yang
ada menjadi panutan bagi akuntan dan auditor untuk mempertahankan standar
etika dan memenuhi kewajiban mereka terhadap masyarakat profesi dan
organisasi yang mereka layani. Beberapa bagian kode yang disoroti adalah
integritas dan harus jujur dengan transaksi mereka, objektivitas dan kebebasan
dari konflik kepentingan, kebebasan auditor dalam penampilan dan kenyataan,
penerimaan kewajiban dan pengungkapan kerahasiaan informasi non luar,
kompetensi serta memiliki pengetahuan dan keterampilan untuk melakukan
pekerjaannya.
Kode Etik Ikatan Akuntan Indonesia dimaksudkan sebagai panduan dan
aturan bagi seluruh anggota, baik yang berpraktik sebagai akuntan publik,

112
bekerja di lingkungan dunia usaha, pada instansi pemerintah, maupun di
lingkungan dunia pendidikan dalam pemenuhan tanggung-jawab
profesionalnya. Tujuan profesi akuntansi adalah memenuhi tanggung-
jawabnya dengan standar profesionalisme tertinggi, mencapai tingkat kinerja
tertinggi, dengan orientasi kepada kepentingan publik. Untuk mencapai tujuan
tersebut terdapat empat kebutuhan dasar yang harus dipenuhi:
• Kredibilitas, masyarakat membutuhkan kredibilitas informasi dan
sistem informasi.
• Profesionalisme, diperlukan individu yang dengan jelas dapat
diidentifikasikan oleh pemakai jasa Akuntan sebagai profesional di
bidang akuntansi.
• Kualitas Jasa, terdapatnya keyakinan bahwa semua jasa yang diperoleh
dari akuntan diberikan dengan standar kinerja tertinggi.
• Kepercayaan, Pemakai jasa akuntan harus dapat merasa yakin bahwa
terdapat kerangka etika profesional yang melandasi pemberian jasa oleh
akuntan.

Kode Etik Ikatan Akuntan Indonesia terdiri dari tiga bagian:


1. Prinsip Etika,
2. Aturan Etika, dan
3. Interpretasi Aturan Etika.
Prinsip Etika memberikan kerangka dasar bagi aturan etika, yang
mengatur pelaksanaan pemberian jasa profesional oleh anggota. Prinsip etika
disahkan oleh Kongres dan berlaku bagi seluruh anggota, sedangkan aturan
etika disahkan oleh Rapat Anggota Himpunan dan hanya mengikat anggota
Himpunan yang bersangkutan. Interpretasi Aturan Etika merupakan
interpretasi yang dikeluarkan oleh badan yang dibentuk oleh Himpunan setelah
memperhatikan tanggapan dari anggota, dan pihak-pihak berkepentingan
lainnya, sebagai panduan dalam penerapan aturan etika, tanpa dimaksudkan
untuk membatasi lingkup dan penerapannya. Pernyataan Etika Profesi yang

113
berlaku saat ini dapat dipakai sebagai interpretasi dan atau aturan etika sampai
dikeluarkannya aturan dan interpretasi baru untuk menggantikannya.

C. Kepatuhan
Kepatuhan terhadap Kode Etik, seperti juga dengan semua standar dalam
masyarakat terbuka, tergantung terutama sekali pada pemahaman dan tindakan
sukarela anggota. Di samping itu, kepatuhan anggota juga ditentukan oleh
adanya pemaksaan oleh sesama anggota dan oleh opini publik, dan pada
akhirnya oleh adanya mekanisme pemrosesan pelanggaran Kode Etik oleh
organisasi, apabila diperlukan, terhadap anggota yang tidak menaatinya. Jika
perlu, anggota juga harus memperhatikan standar etik yang ditetapkan oleh
badan pemerintahan yang mengatur bisnis klien atau menggunakan laporannya
untuk mengevaluasi kepatuhan klien terhadap peraturan perundang-undangan
yang berlaku.

D. Prinsip Etika Profesi


Keanggotaan dalam Ikatan Akuntan Indonesia bersifat sukarela, Dengan
menjadi anggota, seorang akuntan mempunyai kewajiban untuk menjaga
disiplin diri di atas dan melebihi yang disyaratkan oleh hukum clan peraturan.
Prinsip Etika Profesi dalam Kode Etik Ikatan Akuntan Indonesia menyatakan
pengakuan profesi akan tanggungjawabnya kepada publik, pemakai jasa
akuntan, dan rekan. Prinsip ini memandu anggota dalam memenuhi tanggung
jawab profesionalnya dan merupakan landasan dasar perilaku etika dan
perilaku profesionalnya. Prinsip ini meminta komitmen untuk berperilaku
terhormat, bahkan dengan pengorbanan keuntungan pribadi. Prinsip-prinsip
berikut adalah:
a. Prinsip Pertama: Tanggungjawab Profesi
Dalam melaksanakan tanggung jawabnya sebagai professional, setiap
anggota harus senantiasa menggunakan pertimbangan moral dan professional
dalam semua kegiatan yang harus dilakukannya. Sebagai profesional, anggota

114
mempunyai peran penting dalam masyarakat. Sejalan dengan peranan tersebut,
anggota mempunyai tanggung jawab kepada semua pemakai jasa profesional
mereka. Anggota juga harus selalu bertanggung jawab untuk bekerja sarna
dengan sesama anggota untuk mengembangkan profesi akuntansi, memelihara
kepercayaan masyarakat, dan menjalankan tanggung-jawab profesi dalam
mengatur dirinya sendiri. Usaha kolektif semua anggota diperlukan untuk
memelihara dan meningkatkan tradisi profesi.

b. Prinsip Kedua: Kepentingan Publik


Setiap anggota berkewajiban untuk senantiasa bertindak dalam kerangka
pelayanan kepada publik, menghormati kepercayaan publik, dan menunjukkan
komitmen atas profesionalisme.

c. Prinsip Ketiga: Integritas


Untuk memelihara dan meningkatkan kepercayaan publik, setiap
anggota harus memenuhi tanggung jawab profesionalnya dengan integritas
setinggi mungkin.

d. Prinsip Keempat: Objektivitas


Setiap anggota harus menjaga obyektivitas dan bebas dari benturan
kepentingan dalam pemenuhan kewajiban profesionalnya.

e. Prinsip Kelima: Kompetensi dan Kehati-hatian Profesional


Setiap anggota harus melaksanakan jasa profesionalnya dengan kehati-
hatian, kompetensi dan ketekunan, serta mempunyai kewajiban untuk
mempertahankan pengetahuan dan ketrampilan professional pada tingkat yang
diperlukan untuk memastikan bahwa klien atau pemberi kerja memperoleh
manfaat dari jasa professional yang kompeten berdasarkan perkembangan
praktik, legislasi, dan teknik yang paling mutakhir.

115
f. Prinsip Keenam: Kerahasiaan
Setiap anggota harus menghormati kerahasiaan informasi yang diperoleh
selama melakukan jasa professional dan tidak boleh memakai atau
menggungkapkan informasi tersebut tanpa persetujuan, kecuali bila ada hak
atau kewajiban professional atau hukum untuk mengungkapkan.

g. Prinsip Ketujuh: Perilaku Profesional


Setiap anggota harus berperilaku yang konsisten dengan reputasi profesi
yang baik dan menjauhi tindakan yang dapat mendiskreditkan profesi.
Kewajiban untuk menjauhi tingkah laku yang dapat mendiskreditkan profesi
harus dipenuhi oleh anggota sebagai perwujudan tanggung jawabnya kepada
penerima jasa, pihak ketiga, anggota yang lain, staf, pemberi kerja dan
masyarakat umum.

h. Prinsip Kedelapan: Standar Teknis


Setiap anggota harus melaksanakan jasa professional yang relevan.
Sesuai dengan keahliannya dan dengan hati-hati, anggota mempunyai
kewajiban untuk melaksanakan penugasan dari penerima jasa selama
penugasan tersebut sejalan dengan prinsip integritas dan objektivitas. Standar
teknis dan standar profesional yang hams ditaati anggota adalah standar yang
dikeluarkan oleh lkatan Akuntan Indonesia, International Federation of
Accountants, badan pengatur, dan peraturan perundang-undangan yang
relevan.
Profesional adalah orang yang memiliki keahlian tertentu dan
menggunakan keahlian yang dimilikinya dan mampu mengemban tugas yang
diamanatkan oleh masyarakat. Dalam istilah umum, tugas yang diharapkan
dari seorang professional adalah mempertahankan:
• Memiliki kompetensi dalam bidang keahlian
• Objektifitas dalam melakukan pelayanan
• Integritas dalam menangani klien

116
• Konfidensial sehubungan dengan permasalahan klien
• Disiplin atas anggota yang tidak menjalankan tugas sesuai dengan
standar yang diharapkan.
• Mampu mengemban tugas yang diamanatkan oleh masyarakat
• Memiliki moral yang baik
• Memiliki kejujuran

5.2 Contoh Kasus Etika dalam Dunia Akuntasi Keuangan dan


Manajemen

a. Kasus KAP
Sembilan KAP yang diduga melakukan koalisi dengan kliennya. Jakarta,
19 April 2001. Indonesia Corruption Watch (ICW) meminta pihak kepolisian
mengusut sembilan Kantor Akuntan Publik, yang berdasarkan laporan Badan
Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP), diduga telah melakukan
kolusi dengan pihak bank yang pernah diauditnya antara tahun 1995-1997.
Koordinator ICW Teten Masduki kepada wartawan di Jakarta, Kamis,
mengungkapkan, berdasarkan temuan BPKP, sembilan dari sepuluh KAP yang
melakukan audit terhadap sekitar 36 bank bermasalah ternyata tidak
melakukan pemeriksaan sesuai dengan standar audit.
Hasil audit tersebut ternyata tidak sesuai dengan kenyataannya sehingga
akibatnya mayoritas bank-bank yang diaudit tersebut termasuk di antara bank-
bank yang dibekukan kegiatan usahanya oleh pemerintah sekitar tahun 1999.
Kesembilan KAP tersebut adalah AI & R, HT & M, H & R, JM & R, PU
& R, RY, S & S, SD & R, dan RBT & R. “Dengan kata lain, kesembilan KAP
itu telah menyalahi etika profesi. Kemungkinan ada kolusi antara kantor
akuntan publik dengan bank yang diperiksa untuk memoles laporannya
sehingga memberikan laporan palsu, ini jelas suatu kejahatan,” ujarnya.
Karena itu, ICW dalam waktu dekat akan memberikan laporan kepada pihak

117
kepolisian untuk melakukan pengusutan mengenai adanya tindak kriminal
yang dilakukan kantor akuntan publik dengan pihak perbankan.
ICW menduga, hasil laporan KAP itu bukan sekadar “human error” atau
kesalahan dalam penulisan laporan keuangan yang tidak disengaja, tetapi
kemungkinan ada berbagai penyimpangan dan pelanggaran yang dicoba
ditutupi dengan melakukan rekayasa akuntansi. Teten juga menyayangkan
Dirjen Lembaga Keuangan tidak melakukan tindakan administratif meskipun
pihak BPKP telah menyampaikan laporannya, karena itu kemudian ICW
mengambil inisiatif untuk mengekspos laporan BPKP ini karena kesalahan
sembilan KAP itu tidak ringan. “Kami mencurigai, kesembilan KAP itu telah
melanggar standar audit sehingga menghasilkan laporan yang menyesatkan
masyarakat, misalnya mereka memberi laporan bank tersebut sehat ternyata
dalam waktu singkat bangkrut. Ini merugikan masyarakat. Kita mengharapkan
ada tindakan administratif dari Departemen Keuangan misalnya mencabut izin
kantor akuntan publik itu,” tegasnya. Menurut Tetan, ICW juga sudah
melaporkan tindakan dari kesembilan KAP tersebut kepada Majelis
Kehormatan Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) dan sekaligus meminta supaya
dilakukan tindakan etis terhadap anggotanya yang melanggar kode etik profesi
akuntan.
Analisis Kasus: Dalam kasus diatas, akuntan yang bersangkutan banyak
melanggar kode etik profesi akuntan.
• Kode etik pertama yang dilanggar yaitu prinsip pertama tentang
tanggung jawab profesi: Prinsip tanggung jawab profesi ini mengandung
makna bahwa akuntan sebagai pemberi jasa professional memiliki
tanggung jawab kepada semua pemakai jasa mereka termasuk
masyarakat dan juga pemegang saham.Dalam kasus ini, dengan
menerbitkan laporan palsu, maka akuntan telah menyalahi kepercayaan
yang diberikan masyarakat kepada mereka selaku orang yang dianggap
dapat dipercaya dalam penyajian laporan keuangan.

118
• Kode etik kedua yang dilanggar yaitu prinsip kepentingan publik: Prinsip
kepentingan publik adalah setiap anggota berkewajiban untuk senantiasa
bertindak dalam kerangka pelayanan kepada publik, menghormati
kepercayaan publik, dan menunjukkan komitmen atas
profesionalisme.Dalam kasus ini, para akuntan dianggap telah
menghianati kepercayaan publik dengan penyajian laporan keuangan
yang direkayasa.
• Kode etik yang ketiga yang dilanggar yaitu prinsip integritas: Prinsip
integritas yaitu untuk memelihara dan meningkatkan kepercayaan
publik, setiap anggota harus memenuhi tanggung jawab profesionalnya,
dengan integritas setinggi mungkin.Dalam kasus ini, sembilan KAP
tersebut tidak bersikap jujur dan berterus terang kepada masyarakat
umum dengan melakukan koalisi dengan kliennya.
• Kode etik keempat yang dilanggar yaitu prinsip objektifitas: Prinsip
objektifitas yaitu setiap anggota harus menjaga obyektifitasnya dan
bebas dari benturan kepentingan dalam pemenuhan kewajiban
profesionalnya.Dalam kasus ini, sembilan KAP dianggap tidak objektif
dalam menjalankan tugas. Mereka telah bertindak berat sebelah yaitu,
mengutamakan kepentingan klien dan mereka tidak dapat memberikan
penilaian yang adil, tidak memihak, serta bebas dari benturan kepingan
pihak lain.

119
b. Solusi
Dilema etika merupakan suatu situasi yang dihadapi oleh seseorang
dimana ia harus membuat keputusan tentang perilaku seperti apa yang tepat
untuk dilakukannya.
Para auditor, akuntan, serta pelaku bisnis lainnya menghadapi banyak
dilema etika dalam karir bisnis mereka. Melakukan kontak dengan seorang
klien yang mengancam akan mencari seorang auditor baru kecuali jika auditor
itu bersedia untuk menerbitkan sutu pendapat wajar tanpa syarat, akan
mewakili suatu dilema etika yang serius terutama jika pendapat wajar tanpa
syarat bukanlah pendapat yang tepat untuk diterbitkan. Memutuskan apakah
akan berkonfrontasi dengan seorang atasan yang telah menyatakan nilai
pendapatan departemennya secara material lebih besar daripada nilai yang
sebenarnya agar dapat menerima bonus lebih besar merupakan suatu dilema
etika yang sulit. Tetap menjadi bagian manajemen sebuah perusahaan yang
selalu mengusik dan memperlakukan para pegawainya dengan tidak layak atau
melayani para pelanggannya secara tidak jujur merupakan suatu dilema moral,
khususnya jika ia memiliki keluarga yang harus dibiayai serta terdapat
persaingan yang sangat ketat dalam lapangan pekerjaan.
Terdapat banyak alternatif untuk menyelesaikan dilema-dilema etika
tetapi perhatin yang serius harus diberikan untuk menghindari terlaksananya
metode-metode yang merasionalisasikan perilaku tidak etis. Metode-metode
rasionalisasi yang digunakan yang dengan mudah dapat menghasilkan
tindakan tidak etis diantaranya:

1. Setiap orang melakukannya


Argumentasi bahwa merupakan perilaku yang wajar bila dapat
memalsukan pajak penghasilan, atau menjual produk yang cacat umumnya
berdasarkan pada rasionalisasi bahwa setiap individu lainnya pun melakukan
hal tersebut dan hal tersebut merupakan perilaku yang wajar.

120
2. Jika merupakan hal yang sah menurut hukum, hal itu etis
Menggunakan argumentasi bahwa semua perilaku yang sah menurut
hukum adalah perilaku yang etis sangat bersandarpada kesempurnaan hukum.
Dibawah filosofi ini, seseorang tidak memiliki kewajiban apapun untuk
mengembalikan suatu obyek yang hilang kecuali jika pihak lainnya dapat
membuktikan bahwa obyek tersebut miliknya.

3. Kemungkinan penemuan dan konsekuensinya


Filosofi ini bersandar pada evaluasi atas kemungkinan bahwa individu
lainnya akan menemukan perilaku tersebut. Biasanya pribadi itu akan menilai
pula kerasnya tingkat penalti ( konsekuensi ) yang akan diterimanya bila hal
tersebut terbongkar. Suatu contoh atas hal ini adalah memutuskan apakah akan
mengoreksi suatu kelebihan tagihan yang tak disengaja dibuat pada seorang
pelanggan saat pelanggan tersebut telah membayar seluruh tagihannya. Jika si
penjual percaya bahwa pelanggan itu akan mendeteksi kesalahan itu dan
sebagai responnya sang pelanggan tidak akan pernah membeli lagi kepadanya,
maka sang penjual akan segera menginformasikan kesalahan yang terjadi pada
sang pembeli, sebaliknya ia akan menunggu hingga pelanggan tersebut
memberikan pengaduannya.
Dalam tahun-tahun terakhir, kerangka-kerangka kerja resmi telah
dikembangkan untuk membantu masyarakat bahkan para akuntan publik
(auditor) dalam menyelesaikan dilema etika. Tujuan dari suatu kerangka kerja
adalah mengidentifikasikan berbagai isu etikadan memutuskan serangkaian
tindakan yang tepat dengan menggunakan nilai-nilai yang dianut oleh individu
itu. Pendekatan enam langkah berikut ini dimaksudkan agar dapat menjadi
suatu pendekatan yang relatif sederhana untuk menyelesaikan dilema etika.
1. Memperoleh fakta-fakta yang relevan.
2. Mengidentifikasi isu-isu etika berdasarkan fakta-fakta tersebut.

121
3. Menentukan siapa yang akan terkena pengaruh di keluaran (outcome)
dilema tersebut dan bagaimana cara masing-masing pribadi atau
kelompok itu dipengaruhi.
4. Mengidentifikasikan berbagai alternatif yang tersedia bagi pribadi yang
harus menyelesaikan dilema tersebut.
5. Mengidentifikasikan konsekuensi yang mungkin terjadi pada setiap
alternatif.
6. Memutuskan tindakan yang tepat untuk dilakukan.

122
DAFTAR PUSTAKA

Buku
Abdullah, Syukry dan Abdul Halim. 2002. Pengintegrasian Etika dalam
Pendidikan dan Riset Akuntansi . Kompak, STIE YO.

Aburdene, Patricia dan Naisbitt, John. 1990. Megatrends 2000. Jakarta:


Binarupa Aksara

Adelin, Vani. 2013. “Pengaruh Pengendalian Internal, Ketaatan Aturan


Akuntansi, dan Perilaku Tidak Etis Terhadap Kecenderungan
Kecurangan Akuntansi”.

Adi Nugroho. 2010. Rekayasa Perangkat Lunak Berbasis Objek dengan


Metode USDP. Andi. Yogyakarta.

Albrecht, W Steve, Albrecht, Connan C & Albrecht, Chad O. 2006. “Fraud


Examination”. Canada. Thomson South-Western.

Bertens. 2000. Etika. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Boynton,William A and Kell , Walter G.1996. Modern Auditing Sixth Edition.


New York : John Willey and Sons

Dallas, L. L. 2002. “A Preliminary Inqury into the Responsibility of


Corporations and their Directors and Officers for Corporate Climate:
the Psychology of Enron’s Demise”. www.ssrn.com. 5 Desember 2006

Green, B.P., dan Thomas G. Calderon. 1999. “Exploring Collusion through


Cosolidation of Position, Duties, and Controls as a Factor in Financial
Statement Fraud”. Working Paper

Hardjoeno, H. 2002. Filsafat Ilmu Pengetahuan, Teknologi dan Pertimbangan


untuk Keputusan dan Tindakan. Lembaga penerbit Unhas,Makasar.

Howard H., Kendler. 1974. Basic Psychology. Philipines:


Benyamin/Cummings

Institut Akuntan Publik Indonesia. 2011. “Standar Profesional Akuntan Publik


31 Maret 2011. Standar Audit (”SA”) 240. Tanggung Jawab Auditor
Terkait Dengan Kecurangan Dalam Suatu Audit atas Laporan
Keuangan”. Salemba Empat.

Keraf. A. Sonny. 1998. Etika Bisnis, Tuntutan dan Relevansinya. Penerbit


Kanisius.Yogyakarta.

123
Keraff, S. A., 2010. Etika ingkungan Hidup. Jakarta: Kompas Media
Nusantara.

Kurniawan, Ardeno. 2014. “Fraud di Sektor Publik dan Integritas Nasional”.


Edisi Pertama. BPFE – Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM.
Yogyakarta.

Ludigdo, Unti, 1999. Pengaruh Gender terhadap Etika Bisnis: Studi terhadap
Persepsi Akuntan dan Mahasiswa Akuntansi. Simposium Nasional
Akuntansi II IAI-KAPd September.

Mardiasmo. 2004. “Akuntansi Sektor Publik”. Andi. Yogyakarta.

Martono, Nanang. (2012). Sosiologi perubahan sosial: perspektif klasik,


modern, postmodern, dan postkolonial. Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada.

Mulyadi. 2001. Akuntansi Manajemen. BPFE : Yogyakarta

Mustikasari, Dhermawati Putri. 2013. “Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi


Fraud di Sektor Pemerintah Kabupaten Batang”. Accounting Analysis
Journal. Universitas Negeri Semarang: Semarang

Piaget, J. 1976. Psychology and Education. London: Hadder and Staunghto

Purnama dan Setiawan. 2003. Analisis pengaruh sumber-sumber keunggulan


bersaing Bidang pemasaran terhadap kinerja perusahaan Manufaktur di
Indonesia. Jurnal Bisnis.

Reinstein, A., and Bayou, M. E. 1998. “A Comprehensive Structure to Help


Analyse, Detect and Prevent Fraud”. Working paper,
mbayou@som.umd.emich.edu.

Ricky Griffin. (2003). Manajemen, Jilid 1. Jakarta: Erlangga.

Robbins dan Judge. 2008. Perilaku Organisasi, Edisi Dua belas, Penerbit
Salemba Empat : Jakarta.

Rogers, D. 1977. The Psychology of Adolescence. Englewood Cliff. New J


ersey: Prentice Hall.

Shaleh, Abd. Rahman. 2004. Psikologi Suatu Pengantar Dalam Perspektif


Islam. Jakarta: PT. Prenada media

Sukrisno Agoes. 1996. Penegakkan Kode Etik Akuntan Indonesia. Makalah


dalam Konvensi Nasional Akuntansi III. IAI.

124
Thoyibatun, Siti., Sudarma, Made dan Sukoharsono, Eko Ganis. 2009.
“Analysing The Influence of Internal Control Compliance and
Compensation System Against Unethical Behaviour and Accounting
Fraud Tendency”. SNA 12 Palembang Universitas Sriwijaya 3-9 Nov
2009.

Tu’u , Tulus. 2004. Peran Disiplin Pada Perilaku dan Persetasi Siswa. Jakarta:
PT. Grafindo Persad

Velasquez, Manuel G. 2005. Etika Bisnis : Konsep dan Kasus (Edisi Ke-5) .
Diterjemahkan oleh Ana Purwaningsih, Kurnianto, dan Totok Budi
Santoso, Yogyakarta: Penerbit Andi

Zamroni. 2008. The socio-cultural aspects of technological diffusion a reader


volume IV. Yogyakarta: Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta.

Jurnal
A.Kumurur, V. 2008. Pengetahuan, Sikap dan Kepedulian Mahasiswa
Pascasarjana Ilmu Lingkungan Terhadap Lingkungan Hidup kota
Jakarta. Jurnal EKOTON Vol.8 No.2, 1-24.

Bawono, Icuk Rangga, Novelsyah Mochamad dan Lutfia Arum. 2006.


“Persepsi Mahasiswa Jurusan Akuntansi, Reguler dan Non Reguler
Tentang Pendidikan ProfesiAkuntansi”.JAAI. Vol. 10, No 2. Desember
2006. pp 185-193.

Beasley, Mark S, J. V. Carcello, D. R. Hermanson, and T. L. Neal. 2000.


“Fraudulent Financial Reporting: Consideration of Industrial Traits and
Corporate Governance Mechanisms”. Accounting Horizons, Vol. 4, pp :
441-488.

Beasley, Mark S. 1996. “An Empirical Analysis of the Relation between the
Board of Director Composition and Financial Statement Fraud”. The
Accounting Revie, Vol. 71, No. 4, pp: 443-465.

Comunale, C, Thomas, S and Stephen Gara. 2006. “Professional Ethical


Crises: A Case Study of Accounting Majors”. Managerial Auditing
Journal, Vol.21, No. 6, pp 636-656.

Dewi, Herwinda N. 2010. “Pengaruh Orientasi Etis, Gender dan Tingkat


Pengetahuan terhadap Persepsi Mahasiswa Akuntansi atas Perilaku
Tidak Etis Akuntan (studi pada Universitas Kristen Satya Wacana)”.
Skripsi Universitas Diponegoro.

125
Dzakirin, M. Khairul.2013.”Orientasi Idealisme, Relativisme, Tingkat
Pengetahuan, dan Gender: Pengaruhnya pada Persepsi Mahasiswa
tentang Krisis Etika Akuntan Profesional”.http://jimfeb.ub.ac.id/.

Falah, Syaikhul. 2006. “Pengaruh Budaya Organisasi dan Orientasi Etika


terhadap Sensitivitas Etis”. Tesis. Semarang: Program Pascasarjana
Universitas Diponegoro.

Forsyth, D. 1980. A Taxonomy of Ethical Ideologies. Journal of Personality


and Social Psychology. Vol 39, pp 175-184.

Himmah, Elok Faiqoh.2013.”Abstaksi Persepsi Etis Mahasiswa Akuntansi


Mengenai Skandal Etis Auditor dan Corporate Manager”.
http://jimfeb.ub.ac.id/.Diakses tanggal 5 November 2014.

Jensen, M. C. and W. H. Meckling. 1976. “Theory of the Firm: Managerial


Behavior, Agency Cost, and Ownership Structure”. Journal of Financial
Economics 3, pp: 305-360.

Kusumastuti, Nur Ratri dan Meiranto, Wahyu. 2012. “Analisis Faktor-Faktor


yang Berpengaruh terhadap Kecenderungan Kecurangan Akuntansi
dengan Perilaku Tidak Etis sebagai Variabel Intervening”. Diponegoro
Journal of Accounting, Volume 1, Nomor 1, hal: 1-15.

Lambert, R. A. 2001. “Contracting Theory and Accounting”. Journal of


Accounting and Economics, 2001, Vol. 32, Issue 1-3, pp: 3-87.

Larkin, J. M. 2000. The Ability of Internal Auditor to Identify Ethicak


Dilemmas. Journal Of Business Ethics. 23, 401-409

Lediastuti, Vita & Subandijo, Umar. 2014. “Audit Forensik terhadap


Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Negara (Studi Kasus
pada Badan Pemeriksa Keuangan RI)“. e-Journal Magister Akuntansi
Trisakti, Vol. 1 No. 1, hal: 89 – 108.

Margawati, Retiana. 2010. “Persepsi Mahasiswa Akuntansi Terhadap Etika


Bisnis dan Etika Profesi Akuntan Dipandang dari Segi Gender”. Skripsi.
Universitas Muhammadiyah Surakarta

Mastracchio, N. J., 2005, ”Teaching CPAs About Serving the Public Interest”,
The CPA Journal.

Matsumura, E. M., and Robert R. Tucker. 1992. “Fraud Detection: A


Theoritical Foundation”. The Accounting Review, Vol. 67, No. 4, pp:
753-782.

126
Mila, A. 2010. Analisis pengaruh pemecahan saham terhadap volume
perdagangan saham dan abnormal return saham pada perusahaan yang
terdaftar di BEI tahun 2007-2009. Semarang.

Mulawarman, A. D. dan U. Ludigdo. 2010. Metamorfosis Kesadaran Etis


Holistik Mahasiswa Akuntansi: Implementasi Pembelajaran Etika Bisnis
dan Profesi Berbasis Integrasi IESQ. Jurnal Akuntansi Multiparadigma.
Vol. 1, No. 3. Desember. hal. 421-436.

Muthmainah, Siti.2006.”Studi Tentang Perbedaan Evaluasi Etis, Intensi Etis


(Ethical Intention)dan Orientasi Etis Dilihat dari Gender dan Disiplin
Ilmu : Potensi Rekruttmen StafProfesional”.Simposium Padang
Nasional Akuntansi IX.Padang. 23-26 Agustus 2006.

Najahningrum, Anik Fatun., Ikhsan, Sukardi., dan Sari, Mayla Pramono. 2013.
“Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kecenderungan Kecurangan
(Fraud): Persepsi Pegawai Dinas Provinsi DIY.” Jurnal. Simposium
Nasional Akuntansi XVI Manado 2013. Universitas Sam Ratulangi.
Manado.

Norbarani, Listiana. 2012. Pendeteksian Kecurangan laporan Keuangan


dengan Analisis Fraud Triangle yang Diadopsi dalam SAS No.99.
Skripsi.Semarang : Fakultas Ekonomi UNDIP

Novius,. A. 2008. Perbedaan Persepsi Intensitas Moral Mahasiswa Akuntansi


Dalam Proses Pembuatan Keputusan Moral. Simposium Nasional
Akuntansi XI Pontianak, hal. 1-22.

Sihwahjoeni dan Gudono, M. 2000. “Persepsi Akuntan terhadap Kode Etik


Akuntan”. Jurnal Riset Akuntansi Indonesia. Vol.3 (2) Juli: 168-184

Siti Aisah. 2010. Pengaruh Pengendalian Intern, Kepatuhan dan Integritas


Manajemen terhadap Perilaku Etis Karyawan Dalam Sistem Penggajian.
Skripsi. Universitas Pembangunan Nasional “Veteran”.

Smith, B. 2009. Ethical Ideology And Cultural Orientation: Understanding The


Individualized Ethical Inclinations Of Marketing Students. American
Journal of Business Education. Vol. 2, No. 8.

Smith, Robert W. and Mark Bertozzi. 1998. “Principals and agents: An


explanatory model of public budgeting”. Journal of Public Budgeting,
Accounting and Financial Management (Fall), pp: 325-353.

127
Suprajadi, Lusy. 2009. Teori Kecurangan, Fraud Awareness dan Metodologi
untuk Mendeteksi Kecurangan Pelaporan Keuangan. Jurnal Bina
Ekonomi. Vol. 12, No. 2: np

Wilopo. 2006. “Analisis Faktor-faktor yang Berpengaruh terhadap


Kecenderungan Kecurangan Akuntansi: Studi pada Perusahaan Publik
dan Badan Usaha Milik Negara di Indonesia”. Makalah. SNA IX Padang.

Wright, Patrick M., Gradner, Timothy M., dan Moynihan, Lisa M. 2003. “The
Impact of HR Practices on the Performance of Business Units”. Human
Resources Management Journal, Vol 13 No 3, pp: 21-36

Wyatt, A.R.. 2004, Accounting Professionalism- They just don't get it!.
Accounting Horizons, vol 18, pp 45-53.

Website
Kompas. http://nasional.kompas.com/read/2017/07/16/09033181/teroris-
pengguna-telegram-kasus-bom-thamrin-hingga-penusukan-polisi.

128
GLOSARIUM

1. Akuntan Publik : Adalah akuntan yang telah memperoleh izin dari


menteri keuangan untuk memberikan jasa
akuntan publik di Indonesia. Ketentuan
mengenai akuntan publik di Indonesia diatur
dalam Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 5 tahun 2011 tentang Akuntan Publik
dan Peraturan Menteri Keuangan Nomor
443/KMK.01/2011 tentang Penetapan Institut
Akuntan Publik Indonesia sebagai Asosiasi
Profesi Akuntan Publik Indonesia.

2. Dumping : Menjual sebuah produk dalam kuantitas besar di


suatu negara lain dengan harga di bawah harga
pasar dan kadang-kadang malah di bawah biaya
produksi.

3. Eksploitasi : Politik pemanfaatan yang secara sewenang-


wenang atau terlalu berlebihan terhadap sesuatu
subyek eksploitasi hanya untuk kepentingan
ekonomi semata-mata tanpa mempertimbangan
rasa kepatutan, keadilan serta kompensasi
kesejahteraan.

4. Ikatan Akuntan : Organisasi profesi yang menaungi seluruh


Indonesia (IAI) Akuntan Indonesia

5. Integritas : Kualitas yang melandasi kepercayaan publik dan


merupakan patokan (benchmark) bagi anggota
dalam menguji keputusan yang diambilnya

6. Kompetensi : Suatu hal yang dikaitkan dengan kemampuan,


pengetahuan/wawasan, dan sikap yang dijadikan
suatu pedoman dalam melakukan tanggung
jawab pekerjaan yang dikerjakan oleh pegawai.

7. Kredibilitas : Kualitas, kapabilitas, atau kekuatan untuk


menimbulkan kepercayaan.

8. Penalaran Moral : Sebuah proses kognitif yang digunakan individu


dalam menentukan hal yang benar atau salah.

129
9. Utilitarianisme : Suatu perbuatan adalah baik jika membawa
manfaat, tapi manfaat itu harus menyangkut
bukan saja satu dua orang melainkan masyarakat
sebagai keseluruhan.

10. Whistle Blowing : Merupakan tindakan yang dilakukan oleh


seseorang atau beberapa orang karyawan untuk
membocorkan kecurangan baik yang dilakukan
oleh perusahaan atau atasannya kepada pihak
lain.

130
INDEKS

Akuntan Publik, 13, 14, 38 Kode Etika, 42

Asosiasi Profesional, 41 Kompetensi, 42, 78, 109, 118

Attestor, 49 Korupsi, 21, 46, 54, 73

Auditor, 12-14, 49-50 Kredibilitas, 116

Creative Accounting, 111 Kualitas Jasa, 116

Deontologi, 63 Laporan Keuangan, 11-14, 17

Dumping, 69-70 Lisensi, 41, 42

Eksploitasi, 10 Media Massa, 8, 73

Era Global, 5 Moralitas, 15, 60-61, 66

Etika Teologi, 37 Otonomi Kerja, 42

Ikatan Akuntan Indonesia (IAI), Pelaporan Eksternal, 108


48, 51-52, 76, 121
Penalaran Moral, 48
Imoralisme Naif, 68
Pendapatan Fiktif, 101
Inovasi, 10-11, 16
Pendapatan Prematur, 101
Integritas, 77-80, 110, 118
Pengevaluasian, 107-108
Interpretasi, 10, 43-44, 116
Penyalahgunaan Aktiva, 92-93,
IPTEK, 1-3, 5 99-100

Kecurangan (Fraud), 24-27 Prinsip Etika Profesi, 59, 117

Kepatuhan, 18-19, 117 Regorisme Moral, 68

Kepentingan Publik, 118, 122 Skeptisisme Profesional, 94

Kepercayaan, 116, 118, 122 Standar Teknis, 109, 119

Kerahasiaan, 4, 9, 40, 79, 109-110 Tanggungjawab Profesi, 117

131
Teori Hak, 65 Ujian Kompetensi, 42

Teori Keutamaan, 65 Utilitarianisme, 63,

Teori Pencegahan Umum, 89 Whistle Blowing, 113

Teoritikus, 88

132
TENTANG PENULIS

Fahmi Rizani, adalah dosen tetap pada


Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas
Lambung Mangkurat, Banjarmasin. Ia
menyelesaikan pendidikan jenjang S1 Jurusan
Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah
Mada pada tahun 1981 dan memperoleh gelar
Sarjana Ekonomi (Drs) dan gelar Akuntan (Ak).
Kemudian ia melanjutkan pendidikan ke jenjang
S2 pada program Magister Manajemen
konsentrasi Manajemen Keuangan (financial management) Program
Pascasarjana Universitas Mulawarman dan selesai tahun 2003 dengan
memperoleh gelar Master Manajemen (MM). Selanjutnya ia mengikuti
pendidikan lanjutan jenjang S3 (Doktor) pada Program Pascasarjana Fakultas
Ekonomi dan Bisnis Universitas Airlangga Surabaya dan selesai dengan
memperoleh gelar Doktor (Dr) pada tahun 2016.
Sebagai tenaga edukatif, disamping melaksanakan tugas pokoknya pada
Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Lambung Mangkurat, penulis juga
menjadi dosen luar biasa pada beberapa perguruan tinggi swasta (PTS) di
Kalimantan Selatan, antara lain: Jurusan Akuntansi Sekolah Tinggi Ilmu
Ekonomi Indonesia (STIEI) YKPN Banjarmasin, Sekolah Tinggi Ekonomi
Nasional (STIENAS) Banjarmasin, Akademi Koperasi (AKOP) Barabai,
Akademi Akuntansi Banjarmasin (AAB) Banjarmasin.
Sebagai dosen tetap Jurusan Akuntansi, penulis mengampu beberapa
mata kuliah, antara lain: Akuntansi Pengantar, Akuntansi Keuangan
Menengah, Akuntansi Biaya, Akuntansi Manajemen, Auditing, Sistem
Informasi Akuntansi. Beberapa karya tulis yang dihasilkannya berupa bahan
ajar, modul, buku referensi terkait dengan disiplin bidang akuntansi dan

133
auditing seperti Akuntansi Keuangan Menengah, Akuntansi Biaya, Akuntansi
Manajemen, Aditing – Pengantar, Sistem Akuntansi.
Selain ini beberapa riset yang pernah dilakukannya terkait dengan topik
akuntansi keuangan (sektor privat dan publik, sistem informasi, auditing, dan
keperilakuan. Kemudian untuk kegiatan pengabdian kepada masyarakat,
antara instansi/aparat pemerintah daerah, dan pelaku bisnis serta instansi
pendidikan level menengah (SMA/SMK) maupun organisasi kemasyarakatan
lainnya berupa kegiatan sosialisasi, diklat, pendampingan, konsultansi,
monitoring & evaluasi. Pengalamannya di dunia bisnis antara lain sebagai
Direktur Keuangan PT. Multy Agrimecs Contractor, Banjarmasin (1981-
1982), dan kemudian sebagai Direktur Bank Umum Kalimantan Selatan (BUK
Kalsel) tahun 1983-1985. Selama periode 1995-1998 penulis juga pernah
menjabat sebagai representatif KAP. HADORI & REKAN untuk wilayah
Kalimantan Selatan/Tengah.
Pada tahun 1999 penulis telah memperoleh Izin Praktik Akuntan Publik
dan Izin Usaha KAP dari Departemen Keuangan Republik Indonesia. Praktik
Akuntan Publik tersebut dijalankannya hingga sekarang. Berbagai pelatihan,
diklat, workshop telah diikutinya, baik yang dilaksanakan oleh IAPI, IAI, BPK,
BPKP dan lembaga penyelenggara lainnya. Topik yang dikuti meliputi
auditing berdasarkan SPAP berbasis ISA, penyusunan laporan keuangan
berdasarkan SAK berbasis IFRS maupun SAK-ETAP dan UMKM. Tahun
2010 penulis mengikuti Pelatihan Pelaksanaan Audit untuk lingkungan
instansi pemerintah yang dilaksanakan atas kerjasama IAPI dengan BPK-RI.
Atas keikutsertaannya tersebut, ia terdaftar dan diberi hak bertindak untuk dan
atas nama BPK-RI melaksanakan pekerjaan audit di lingkungan instansi
pemerintah.

134
r -| rX l
■ar' /JM

Diterbitkan Oleh
CV.IRDH (Research & Publishing)
Anggota IKAPI No.159-JTE-2017

Head Office
New Villa Bubit Sengbaling
Blob C9 No.1 Dau. Malang, Indonesia

Branch Office Purwoberto


il. Sobajaya 59 Purwoberto, Indonesia

P: *6 2 8 9 6 2142 4412
E: irdhreiearclii3gm ail.com or adm in3 ird h ce nter.com

Anda mungkin juga menyukai