Anda di halaman 1dari 8

Hak Memilih Bagi Anggota TNI dan Polri

Kapita Selekta Hukum Tata Negara

Dosen: Dr. Hernadi Affandi S.H., LL.M.

Wicaksana Dramanda S.H.

Oleh

Ulya Fajri Amriyeny 110110120148

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS PADJADJARAN

BANDUNG

2014
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hak pilih warga negara dalam Pemilihan Umum adalah salah satu substansi
terpenting dalam perkembangan demokrasi, sebagai bukti adanya eksistensi dan
kedaulatan yang dimiliki rakyat dalam pemerintahan. Pemilu sebagai lembaga
sekaligus praktik politik menjadi sarana bagi perwujudan kedaulatan rakyat sekaligus
sebagai sarana artikulasi kepentingan warga negara untuk menentukan wakil-wakil
mereka.

Demokrasi konstitusional yang tumbuh dan berkembang dengan pesat di


Indonesia ini mengharuskan adanya penyelarasan antara teori-teori dan pengetahuan
yang dimiliki oleh segenap komponen bangsa dengan bentuk-bentuk dan
implementasi dari prinsip-prinsip demokrasi yang ada termasuk dalam persoalan
Pemilu. Penerapan prinsip ini diharapkan dapat menciptakan tatanan kehidupan
ketatanegaraan yang berjalan dengan penuh keseimbangan menuju ke arah tujuan
NKRI yakni terciptanya masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan
UUD 1945. 

Pemilu ini sendiri, sebagai sarana warga negara untuk menggunakan hak
pilihnya, hingga kini masih menimbulkan pertanyaan besar berkaitan dengan boleh
atau tidaknya beberapa elemen masyarakat yang tergabung dalam beberapa korps
profesi seperti Tentara Nasional Indonesia (TNI), Kepolisian Negara Republik
Indonesia (POLRI), dan Pegawai Negeri Sipil  (PNS) di seluruh jajaran untuk
menggunakan hak memilih dan hak dipilihnya dalam Pemilihan Umum. Akan tetapi
isu yang paling hangat berkaitan dengan penggunaan hak pilih dalam Pemilihan
Umum di Indonesia adalah yang melibatkan anggota TNI dan Polri sebagai alat
pertahanan negara sekaligus sebagai insan politik.

Pro-kontra gagasan untuk memberikan hak pilih bagi TNI dan Polri menandai
kemajuan diskursus demokrasi di Indonesia. Sebagian besar kelompok anti-hak pilih
anggota TNI dan Polri menggunakan argumentasi historis kekelaman sejarah politik
TNI dan Polri pada masa Orde Baru dan lambannya reformasi di tubuh TNI dan Polri
sampai dengan hari ini. Sementara sebagian yang pro memandang bahwa gagasan
tersebut sebagai media ‘kanalisasi’ hak politik TNI dan Polri yang masih tersisa,
setelah secara resmi TNI dan Polri tidak lagi terlibat di parlemen sebagaimana
diamanatkan Ketetapan MPR RI No VII/MPR/2000 Tentang Peran TNI dan Polri.

B. Rumusan Masalah
1. Apakah terdapat perbedaan hakikat dan kedudukan antara anggota TNI
dan Polri dengan masyarakat sipil?
2. Apakah anggota TNI dan Polri dapat diberikan hak untuk memilih?
BAB II

PEMBAHASAN

A. Apakah terdapat perbedaan hakikat dan kedudukan antara anggota TNI


dan Polri dengan masyarakat sipil?

Pada hakikatnya, tidak ada perbedaan kedudukan antara anggota TNI dan
Polri dengan masyarakat sipil. UUD 1945 Pasal 27 ayat (1) menyebutkan “Segala
Warga Negara bersamaan kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan dan wajib
menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”. Berdasarkan
pasal tersebut, bahwa semua Warga Negara (termasuk anggota TNI dan Polri)
mempunyai kedudukan yang sama di bidang politik, yang berarti bahwa anggota TNI
dan Polri memiliki hak yang sama untuk memilih dan dipilih dalam Pemilu. Pasal 43
ayat (1) UU No. 39 Tahun 1999 juga memberikan jaminan bagi warga negara untuk
memilih dan dipilih dalam Pemilu yang ketentuannya berbunyi sebagai
berikut: “Setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan
umum berdasarkan persamaan hak melalui pemungutan suara yang langsung, umum,
bebas, rahasia, jujur, dan adil sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan”.

Namun sejak awal kemerdekaan, militer Indonesia telah membangun persepsi


dan pencitraan diri bahwa militer adalah lembaga yang melahirkan dirinya sendiri
(self creation) dan merumuskan dirinya sendiri. Hal inilah yang kemudian menjadi
bibit pretorianisme dimana militer menjadi otonom atas sikap dan tindakannya. Citra-
diri (self-concept) ini diperkuat dengan kemampuan mereka untuk membiayai dirinya
sendiri (self financing) ketika pemerintah memang tidak mampu untuk memenuhi
kebutuhan-kebutuhan militer. Hal ini terwujud sepanjang pengalaman tentara
bergerilya bersama rakyat. Dengan demikian, sejak lahirnya TNI sudah memiliki
elemen embrionik sebagai pelaku ekonomi politik baik pada tataran tata-pikir (mind
set) maupun rumusan tafsir atas ideologi yang kemudian dibangunnya.1

1
Tim Peneliti Kontras, Ketika Moncong Senjata Ikut Berniaga: Keterlibatan Militer Dalam
Bisnis di Bojonegoro, Boven Digoel dan Poso (Ringkasan Eksekutif) (Kontras: Jakarta, 2004)
hlm. 5
B. Apakah anggota TNI dan Polri dapat diberikan hak untuk memilih?

Dari sisi gagasan, tidak ada yang aneh. Sebagai warga negara, anggota TNI
dan Polri secara individual juga memiliki hak dan kewajiban sama dengan kalangan
sipil lainnya. Jika dilihat dari kekhawatiran pengaruh suara politik anggota TNI dan
Polri yang bisa mempengaruhi proses pembuatan kebijakan, rasanya terlalu
berlebihan, mengingat jumlah prajurit secara keseluruhan hanya sekitar 400.000 atau
tidak sampai 2 kursi di parlemen. Artinya sangat tidak signifikan. Kalau pun ada
kekhawatiran penyalahgunaan wewenang, tentu menjadi tugas kalangan politisi di
parlemen untuk membuat aturan main soal ini.

Maka, jawaban atas pertanyaan di atas ialah bisa saja, jika telah ada Undang-
undang yang mengaturnya, dan hal tersebut telah menjadi konsensus bersama dalam
undang-undang. Maka TNI dan Polri akan bisa menggunakan hak pilih mereka, jika
telah diberikan kewenangan oleh undang-undang.

Namun untuk saat ini, setiap anggota TNI dan Polri tetap tidak dapat
menggunakan hak pilihnya. Hal ini sejalan dengan masa lalu, yakni ketika TNI dan
Polri dilibatkan dalam politik sehingga banyak terjadi penyimpangan yang pada
akhirnya merugikan negara dan segenap warganya.

Sebagaimana juga diakui kalangan perwira pro-reformasi, bahwa pada masa


Orde Baru TNI telah menjadi satu kekuatan sosial, politik dan ekonomi sebagai
dampak dari keperluan rezim membangun stabilitas sebagai pilar pembangunan. TNI
bukan dibentuk sebagai alat pertahanan an sich sebagaimana lazimnya militer di
negara-negara demokratis, melainkan sebagai alat kontrol kehidupan sosial, politik
dan ekonomi. Hampir seluruh struktur dan fungsi dibangun mengikuti kehendak
okupasi politik dengan pelibatan total dalam kehidupan yang bersifat sipil seperti
parlemen, administrasi pemerintahan pusat dan daerah, bahkan partai politik. Dengan
kata lain militer memandang bahwa misi mereka tidak pernah lepas dari politik
(political objectives).2

Studi Harold Crouch perihal tentara Indonesia pada masa 1945-1965


menggambarkan dengan jelas hal tersebut. Crouch menemukan fakta bahwa sejak
masa Revolusi 1945 Militer Indonesia tidak pernah membatasi dirinya sebagai
2
Hubungan Sipil-Militer dan Transisi Demokrasi di Indonesia: Persepsi Sipil dan
Militer (Jakarta: CSIS, 1999), hlm. 10-13
kekuatan militer an sich, sebab klaim keterlibatan mereka dalam perjuangan
kemerdekaan mengandaikan keterlibatan perjuangan politik dan militer.3

Gerakan reformasi pada 1998 telah berhasil mendorong TNI melakukan


perubahan paradigma, peran, fungsi dan tugasnya dan penghapusan hak-hak istimewa
mereka selama Orde Baru. Hal ini diwujudkan melalui beberapa kebijakan dan
peraturan yang meliputi pengaturan tentang pemisahan TNI dan Polri (Tap MPR
No.VI/2000), pengaturan tentang peran TNI dan peran Polri (Tap MPR No.VII/2000),
Undang-Undang No. 3 tahun 2002 tentang Pertahanan Negara dan Undang Undang
No 34 tentang Tentara Nasional Indonesia. Peraturan-peraturan tersebut pada
prinsipnya adalah upaya mewujudkan TNIprofesional yang tidak berbisnis, tidak
berpolitik, menghargai HAM dan berada di bawah supremasi sipil.4

Memang semua proses di atas belum sepenuhnya berjalan maksimal. Dalam


skala yang lebih kecil dibandingkan pada masa Orde Baru, peran sosial politik TNI
masih berlangsung, misalnya keikutsertaan Panglima TNI yang seharusnya
direpresentasikan Menteri Pertahanan dalam rapat kabinet yang notabene adalah
mekanisme penentuan kebijakan politik negara yang bersifat sipil dan
diperbolehkannya TNI aktif ikut serta untuk mencalonkan diri dalam pemilihan
kepala daerah (Pilkada) secara langsung yang juga merupakan aktifitas bersifat sipil.
Munculnya peran politik TNI tersebut lantaran UU No 34 tahun 2004 tentang TNI
tetap menempatkan kedudukan TNI langsung di bawah Presiden, setara dengan
Menteri dan memiliki hak untuk ikut menentukan kebijakan politik negara.
Keikutsertaan TNI aktif dalam Pilkada terjadi karena ketidaktegasan implementasi
UU TNI yang melarang seluruh anggota TNI aktif berpolitik praktis. Termasuk
beberapa perwira TNI yang masih mendapatkan impunitas terhadap abuse of
power dan pelanggaran HAM yang dilakukannya.

3
Harold Crouch, Militer dan Politik di Indonesia (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1999), hlm.
21.
4
Mouvfti Makaarim, MEMPERTIMBANGKAN HAK PILIH TNI:Konsistensi Reformasi TNI dan
Demokratisasi Politik Indonesia, (Universitas Bengkulu, 2006), hlm. 3
BAB III

PENUTUP

Hak pilih warga negara dalam Pemilihan Umum adalah salah satu substansi
terpenting dalam perkembangan demokrasi, sebagai bukti adanya eksistensi dan
kedaulatan yang dimiliki rakyat dalam pemerintahan. Pemilu sebagai lembaga
sekaligus praktik politik menjadi sarana bagi perwujudan kedaulatan rakyat sekaligus
sebagai sarana artikulasi kepentingan warga negara untuk menentukan wakil-wakil
mereka.

Pada hakikatnya, tidak ada perbedaan kedudukan antara anggota TNI dan
Polri dengan masyarakat sipil. UUD 1945 Pasal 27 ayat (1) menyebutkan “Segala
Warga Negara bersamaan kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan dan wajib
menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”.

Lalu timbul pertanyaan, apakah anggota TNI dan Polri dapat menggunakan
hak pilihnya? Jawabannya adalah bisa saja, asalkan telah ada Undang-undang yang
mengaturnya, dan hal tersebut telah menjadi konsensus bersama dalam undang-
undang. Maka TNI dan Polri akan bisa menggunakan hak pilih mereka, jika telah
diberikan kewenangan oleh undang-undang.
Daftar Pustaka

Tim Peneliti Kontras, Ketika Moncong Senjata Ikut Berniaga: Keterlibatan Militer


Dalam Bisnis di Bojonegoro, Boven Digoel dan Poso (Ringkasan Eksekutif), Kontras:
Jakarta, 2004

Hubungan Sipil-Militer dan Transisi Demokrasi di Indonesia: Persepsi Sipil dan


Militer, Jakarta: CSIS, 1999

Harold Crouch, Militer dan Politik di Indonesia, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1999

Mouvfti Makaarim, MEMPERTIMBANGKAN HAK PILIH TNI:Konsistensi


Reformasi TNI dan Demokratisasi Politik Indonesia, Universitas Bengkulu, 2006

Anda mungkin juga menyukai