0 penilaian0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
19 tayangan4 halaman
Dokumen tersebut membahas mazhab hukum mana yang paling tepat diterapkan dalam sistem hukum Indonesia. Saat ini sistem hukum di Indonesia masih didominasi oleh mazhab positivisme hukum dimana hukum bersumber dari kekuasaan negara. Namun, mazhab sosiologis hukum yang mempertimbangkan faktor masyarakat diyakini akan menjadi tumpuan sistem hukum Indonesia kelak guna mewujudkan penegakan hukum yang adil
Dokumen tersebut membahas mazhab hukum mana yang paling tepat diterapkan dalam sistem hukum Indonesia. Saat ini sistem hukum di Indonesia masih didominasi oleh mazhab positivisme hukum dimana hukum bersumber dari kekuasaan negara. Namun, mazhab sosiologis hukum yang mempertimbangkan faktor masyarakat diyakini akan menjadi tumpuan sistem hukum Indonesia kelak guna mewujudkan penegakan hukum yang adil
Dokumen tersebut membahas mazhab hukum mana yang paling tepat diterapkan dalam sistem hukum Indonesia. Saat ini sistem hukum di Indonesia masih didominasi oleh mazhab positivisme hukum dimana hukum bersumber dari kekuasaan negara. Namun, mazhab sosiologis hukum yang mempertimbangkan faktor masyarakat diyakini akan menjadi tumpuan sistem hukum Indonesia kelak guna mewujudkan penegakan hukum yang adil
Diajukan untuk Memenuhi Ujian Akhir Semester Mata Kuliah Filsafat Hukum Dosen Pengampu:
Myrna Asnawati Safitri, SH. MA. Ph.D.
Dr. Jum Anggraini, SH. MH.
Oleh:
Muhammad Bardan Salam
NPM: 5220220021
PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS PANCASILA
MAZHAB HUKUM PALING TEPAT DALAM
PELAKSANAAN SISTEM HUKUM INDONESIA
Muhammad Bardan Salam
Pada 17 Agustus tahun 1945, Bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaannya
sebagai sebuah bangsa dan berdaulat dari cengkeraman kolonialisme Belanda. Akan tetapi secara sistem hukum, Bangsa Indonesia saat itu belum merdeka dan terlepas sepenuhnya dari pengaruh Belanda. Asas Konkordansi Hukum yang telah lama melekat di seluruh wilayah Indonesia membuat para pendiri bangsa saat itu sepakat untuk menggunakan warisan hukum belanda melalui Herzien Inlandsch Reglement (HIR) dan Wetboek van Stafrecht (WvB). Meskipun telah banyak mengalami pembaharuan hukum akan tetapi kedua kitab hukum tersebut masih eksis menjadi hukum positif yang berlaku di Indonesia setelah 75 tahun merdeka. Berbicara mengenai Mazhab Hukum mana yang paling tepat diterapkan dalam rangka membangun pelaksanaan sistem hukum yang baik di Indonesia adalah perdebatan yang cukup rumit untuk diperbandingkan. Biar bagaimanapun, Negara Kesatuan Republik Indonesia memiliki beberapa keunikan dalam pemberlakuan hukumnya. Sebagai negara yang menganut Negara Kesatuan, seharusnya setiap daerah memiliki pendekatan hukum yang sama tanpa terkecuali. Akan tetapi, Indonesia memiliki Provinsi Aceh yang memiliki otonomi khusus dalam rangka penegakkan hukum. Di Aceh diberlakukan Qanun atau hukum yang berbasis kepada syariat Islam. Artinya di Provinsi Aceh penegakkan hukum mengikuti Mazhab Hukum Islam yang menempatkan agama serta Tuhan sebagai sumber utama hukum. Mazhab Hukum Islam sejatinya memiliki corak yang sama dengan Mazhab Hukum Alam yang dikemukakan oleh Thomas Aquinas, Mazhab Hukum Islam yang dianut oleh Provinsi Aceh serupa dengan Lex Livina (Hukum Ketuhanan). Lex Livina mengkehendaki bahwa hukum itu bersumber dari ajaran-ajran Tuhan yang tercantum di dalam Kitab Suci, dalam kasus ini adalah Al-Qur’an. Selain Aceh, tentunya masih banyak lagi daerah di Indonesia yang memiliki kekhususan tertentu semisal Papua, Papua Barat hingga Daerah Istimewa Yogyakarta yang masih memegang teguh sistem monarki dalam tataran pemerintahan daerahnya. Namun, secara umum penulis berpendapat bahwa Mazhab yang paling kental dengan sistem hukum di Indonesia saat ini adalah Mazhab Positivisme Hukum. Penulis berpendapat paling kental dalam artian adalah karena corak penegakan hukum saat ini di Indonesia masih bercorak Legisme, bukan berarti paling tepat untuk era saat ini. Menurut John Austin hukum itu bersumber dari kekuasaan tertinggi yaitu negara yang dibuat oleh pihak berwenang seperti Dewan Perwakilan Rakyat sebagai badan Perundang-Undangan. Dalam aliran ini, hukum itu dipandang sebagai sesuatu yang sakral dan wajib ditaati tanpa syarat sekalipun dirasakan tidak adil. Situasi di atas tentunya banyak terjadi di Indonesia, kasus-kasus seperti Kakek Samirin, Nenek Minah dan banyak kasus yang menggugah hati nurani lainnya masih sering terjadi di Indonesia. Hukum ditegakkan semata-mata tanpa memperhatikan kebaikan dan keburukannya. Terlebih Hukum adalah perintah dari pihak yang berkuasa sehingga acapkali Hukum hanya tajam memandang ke bawah. Jauh dari Teori Hukum Murni yang tidak mengkehendaki adanya anasir-anasir lain seperti politik yang mengintervensi hukum. Artinya situasi Indonesia saat ini adalah berada pada mazhab Positivisme Hukum. Perlu dicatat, Mazhab Positivisme tidaklah buruk sepenuhnya. Positivisme Hukum mengedepankan ketertiban dan kepastian hukum, yang juga merupakan tujuan daripada pemberlakuan hukum itu sendiri. Dalam ilmu hukum Dalam ilmu hukum yang legalitis positivistis, hukum hanya dianggap sebagai institusi pengaturan yang kompleks telah direduksi menjadi sesuatu yang sederhana, linier, mekanistik, dan deterministik, terutama untuk kepentingan profesi. Dalam konteks hukum Indonesia, doktrin dan ajaran hukum demikian yang masih dominan, termasuk kategori “legisme”nya Schuyt. Hal ini dikarenakan “legisme” melihat dunia hukum dari teleskop perundang-undangan belaka untuk kemudian menghakimi peristiwa-peristiwa yang terjadi Tentunya, sebagai seorang akademisi kita perlu mengkritisi dan memberikan masukan kepada penyelenggara negara dalam rangka menghadirkan tidak hanya ketertiban, kepastian dan juga keadilan. Era Orde Baru adalah sebuah pembelajaran sejarah yang penting, pemerintah tidak boleh mengabaikan salah satu dari ketiga tujuan hukum tersebut. Karena jika salah satu dihilangkan, yang hadir adalah kelaliman karena hukum dibentuk berdasarkan kesewenang-wenangan tanpa melihat sisi keadilan. Mazhab Sosilologis kemudian lahir seakan bagai bentuk protes terhadap Positivisme Hukum yang tidak memperhatikan sisi keadilan. Pelopor aliran ini ialah Eugen Ehrlich, Max Weber serta Hammaker. Menurut aliran ini, pemberlakuan hukum itu tergantung kepada penerimaan masyarakat dalam artian setiap masyarakat menciptakan sendiri hukum yang hidup dan mereka taati. Faktor masyarakat menjadi sangat penting untuk mengetahui efektitifas hukum di dalam masyarakat. Menurut Leon Duguit, hukum itu berlaku sebagai suatu realita bahwa hukum itu diperlukan oleh manusia yang secara bersama hidup dalam masyarakat. Hukum itu tidak bergantung kepada kehendak penguasa melainkan bergantung kepada kenyataan sosial yang dibutuhkan oleh masyarakat. Berlakunya hukum itu adalah bentuk dari solidaritas masyarakat dalam mentaati hukum. Hukum dibentuk untuk kebutuhan manusia, sehingga suatu peraturan adalah hukum apabila mendapat dukungan dari masyarakat secara efektif. Pembentuk undang-undang tidak menciptakan hukum melainkan hanya mentransformasikan hukum yang sudah ada dan hidup dalam masyarakat menjadi bentuk yang bersifat teknis yuridis. Pemahaman tersebut sejatinya tidak berbeda jauh dengan pemahaman Bung Karno terhadap Pancasila. Menurutnya, Pancasila bukan dibuat oleh beliau maupun panitia BPUPKI lainnya. Pancasila adalah nilai-nilai yang digali oleh Bung Karno dari sendi kehidupan bangsa Indonesia. Secara tidak langsung, pendiri bangsa ini sadar bahwa nilai-nilai yang dianut dalam sendi bermasyarakat adalah nilai yang sangat penting bahkan hingga dirumuskan sebagai Dasar Negara. Sesungguhnya Indonesia tidak asing dengan Mazhab ini dikarenakan di Indonesia masih dikenal dengan Hukum Adat yang di beberapa wilayah masih berlaku dan kental dilaksanakan. Meskipun masih kental dengan corak Positivisme Hukum, penulis meyakini Mazhab Sosiologi kelak akan menjadi tumpuan sistem hukum di Indonesia dalam rangka menghadirkan penegakan hukum yang berkeadilan, karena hukum yang dibentuk adalah hukum yang dibutuhkan oleh masyarakat, bukan oleh penguasa.