Anda di halaman 1dari 63

KONSEP POLRI PRESISI SEBAGAI ACUAN

ETIKA PENYELENGGARAAN NEGARA GUNA MENDORONG

REFORMASI BIROKRASI DALAM

KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

Diajukan untuk Memenuhi Tugas Makalah Akhir Mata Kuliah

Etika Penyelenggaraan Negara

Dosen Pengampu:

Prof. Dr. Satya Arinanto, S.H., M.H.

Oleh:

Muhammad Bardan Salam

NPM: 5220220021

Nomor Urut Presensi: 7

2021

PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS PANCASILA

1
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas

rahmat-Nya, penulis dapat menyelesaikan Tugas Makalah Etika Penyelenggaraan

Negara yang berjudul “Konsep Polri Presisi Sebagai Acuan Etika Penyelenggara

Negara Guna Mendorong Reformasi Birokrasi dalam Kepolisian Republik

Indonesia” dengan baik. Penyusunan Tugas Makalah bertujuan untuk memenuhi tugas

dalam mata kuliah Etika Penyelenggaraan Negara di Magister Fakultas Hukum

Universitas Pancasila.

Secara khusus penulis menyampaikan rasa terima kasih dan penghargaan yang

setinggi-tingginya kepada Prof. Dr. Satya Arinanto, S.H., M.H.,

yang sudah membimbing penulis dalam mata kuliah Etika Penyelenggaraan Negara

sehingga dapat menyelesaikan Tugas Makalah ini.

Penulis menyadari bahwa masih terdapat berbagai kekurangan dalam penulisan

Tugas Makalah ini. Hal tersebut disebabkan keterbatasan pengetahuan serta

pengalaman yang penulis miliki. Semoga segala keterbatasan dan kekurangan yang

penulis miliki dapat disempurnakan di masa yang akan datang. Akhir kata, semoga

penulisan tugas akhir ini dapat memberikan manfaat bagi semua pihak.

Hormat

Muhammad Bardan Salam

5220220021

2
DAFTAR ISI

Kata Pengantar.................................................................................................................2

Daftar Isi ...........................................................................................................................3

Daftar Tabel………………………………………………………………………………………4

Daftar Lampiran

BAB I PENDAHULUAN………………………………………………………………..……….5

A. Latar Belakang………………………………………………………………………5

B. Pokok Permasalahan………………………………………………………...……10

C. Maksud dan Tujuan Penelitian……………………………………………………11

D. Kerangka Teori dan Kerangka Konsep………………………………………….12

E. Metode Penelitian………………………………………………………………….23

F. Sistematika Penulisan……………………………………………………………..26

BAB II PROBLEMATIKA ETIKA PENYELENGGARA NEGARA DAN

PROFESIONALISME DALAM TUBUH POLRI ……………………………………………28

A. Pelanggaran HAM………………………………………………………………….…28

B. Terlibat Narkoba………………………………………………………………………34

C. Penegakan Hukum ……………………………………………………………….… 38

BAB III KONSEP POLRI PRESISI SEBAGAI IKHTIAR POLRI MEWUJUDKAN

REFORMASI BIROKRASI…………………………………………………………………..44

BAB IV SISTEM REFORMASI KEPOLISIAN DI AMERIKA SERIKAT……………….51

BAB V Penutup………………………………………………………………..……………..55

Daftar Pustaka………………………………………………………………..……………..56

3
DAFTAR TABEL

Tabel 1.1 Survey Kepercayaan Publik Terhadap Lembaga Polri…………….8

Tabel 2.2 Jumlah Anggota Kepolisian Terlibat Narkoba………………………36

4
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG PENELITIAN

Dalam satu bulan terakhir ini institusi Kepolisian Republik Indonesia (Polri) menjadi

sorotan dan juga perbincangan. Baik di media mainstream maupun media sosial, Polri

menjadi topik hangat yang menghiasi ruang diskusi publik. Ironisnya perbincangan yang

mencuat terhadap Polri mayoritas bernuansa kritik bahkan cenderung negatif. Kejadian

demi kejadian yang dilakukan oleh beberapa oknum Polri menjadi sorotan yang

mendorong publik untuk melemparkan kritik. Bahkan, tagar #PercumaLaporPolisi sempat

menjadi Trending Topic di Twitter.

Situasi di atas dapat mengarah kepada menurunnya tingkat kepercayaan

masyarakat terhadap Polri. Delegetimasi Polri oleh masyarakat seharusnya tidak boleh

terjadi karena Polri merupakan institusi negara yang berfungsi untuk memelihara

keamanan dan ketertiban sekaligus menjadi penegak hukum yang melindungi,

mengayomi serta melayani masyarakat.1 Sebagaimana pendapat Sajtipto Rahardjo yang

juga mengutip pendapat Bitner menyatakan bahwa polisi adalah institusi yang

menentukan secara konkrit apa yang disebut sebagai penegak ketertiban, apabila hukum

bertujuan untuk melahirkan ketertiban dalam masyarakat.2

Akan menjadi dilema tatkala lembaga yang diberikan amanah oleh undang-

undang untuk mewujudkan ketertiban masyarakat, tetapi di sisi lain masyarakat tidak

memiliki kepercayaan terhadap lembaga tersebut. Ketertiban masyarakat hanya akan

menjadi angan-angan semata. Padahal, ahli Hukum Pidana Barda Nawawi Arief pernah

1
Lihat Pasal 2 Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia
2
Satjipto Rahardjo, Penegakan Hukum Suatu Tinjauan Sosiologis, (Yogyakarta: Genta Publishing, 2009), hlm 111.

5
menyatakan bahwa Polri dalam menjalankan tugasnya memiliki peranan ganda yakni

sebagai penegak hukum itu sendiri, maupun sebagai pekerja sosial pada aspek sosial

kemasyarakatan yang bertugas memberikan pelayanan dan pengabdian.3

Salah satu kasus yang mencuat ke publik adalah perihal pelanggaran Prosedural

yang mengarah kepada kekerasan oknum Polri terhadap seorang mahasiswa yang

sedang melalukan demonstrasi di Kabupaten Tanggerang. Meskipun yang bersangkutan

sudah meminta maaf secara langsung kepada korban, akan tetapi publik pelanggaran

bernuansa kekerasan seakan menjadi permasalahan yang senantiasa menerpa Polri.

Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo bahkan secara tegas Surat Telegram No.

ST/2162/X/HUK.2.8./2021 tentang Mitigasi dan Pencegahan Kasus Kekerasan

Berlebihan Yang Dilakukan Oleh Anggora Polri Tidak Kembali Terulang.

Sejatinya persoalan yang menerpa Polri adalah persoalan klasik yang dan umum

yang terjadi pada seluruh lembaga kepolisian di dunia. Persoalan tersebut adalah perihal

pembenahan Etika dan Profesiinalisme sebagai penegak hukum. Etika yang dimaksud

adalah Etika Pemerintahan, yakni suatu pedoman untuk berperilaku yang baik serta

benar agar sesuai dengan nilai-nilai keutamaan hakikat manusia. Lebih sempitnya,

Sumaryadi menjelaskan bahwa Etika Pemerintahan adalah acuan terhadap kode etik

profesional bagi aparat pemerintahan.4

Sementara profesionalisme berkaitan erat dengan kecocokan antara kemampuan

birokrat dengan kebutuhan tugas. Seorang aparat negara dapat dikatakan profesional

apabila mampu menghadirkan kecocokan diantara kedua nilai tersebut. Hal tersebut

dikarenakan keahlian dan kemampuan aparat negara dalam merefleksikan arah dan

3
Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2005), hlm 5.
4
I Nyoman Sumaryadi, Sosiologi Pemerintahan, (Bogor: Ghalia, 2010,) hlm23.

6
tujuan yang ingin dicapai oleh sebuah organisasi.5 Baik etika maupun nilai

profesionalisme adalah kedua nilai yang saling berkaitan dan menentukan citra Polri

sebagai institusi negara dan penegak hukum.

Polri sebenarnya sudah memiliki beberapa kaidah internal yang mengatur

mengenai kedua persoalan di atas. Mulai dari Surat Edaran Kapolri, Peraturan Kapolri

hingga Surat Telegram Kapolri sudah dikeluarkan guna memberikan pedoman bagi

seluruh jajaran Polri dalam menjalankan tugasnya. Salah satu yang paling terpenting

adalah Peraturan Kapolri No, 8 Tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar

Hak Asasi Manusia Dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik

Indonesia. Usia Peraturan Kapolri tersebut sudah mencapai 12 tahun akan tetapi sampai

saat ini kita masih bisa menjumpai kasus yang oknum Polri yang diduga melanggar hak

asasi manusia.

Komisi Nasional Perlindungan Hak Asasi Manusia bahkan melaporkan bahwa

Polri menjadi institusi yang paling banyak diadukan melakukan pelanggaran HAM dengan

total 1.122 laporan dalam periode 2016-2020.6 Meskipun, Komnas HAM menyatakan

bahwa Polri begitu responsive dan terbuka dalam menerima aduan tersebut. Akan tetapi

penulis melihat masih terdapat sejumlah permasalahan yang perlu dibenahi baik dari hulu

maupun hilir dalam institusi Polri.

Salah satu indikator penilaian publik adalah dengan diadakannya berbagai macam

survei yang mengukur kepercayaan publik terhadap suatu institusi, termasuk Polri. Kritik

yang mengarah kepada Polri serta berbagai kejadian penyimpangan yang dilakukan oleh

5
Kurniawan Agung, Transformasi Pelayanan Publik, (Yogyakarta: Pembaharuan, 2005), hlm 74.
6
Fey/Pris, “Komnas HAM: Polisi Paling Banyak Diadukan Langgar HAM”, CNN Indonesia, diakses melalui
https://www.cnnindonesia.com/nasional/20210407145521-12-627049/komnas-ham-polisi-paling-banyak-
diadukan-langgar-ham, pada 2 Oktober 2021.

7
segelintir oknum tentu mempengaruhi tingkat kepercayaan publik terhadap Polri. Berikut

penulis merangkum sejumlah survey tingkat kepercayan Publik terhadap Polri dalam

tahun 2021:7

Tabel 1.1

Survey Kepercayaan Publik Terhadap Polri

No. Nama Survey Persentase Kepercayaan Peringkat Polri dengan

Publik Terhadap Polri Lembaga Negara Lain

1 Indikator Politik 71 % 3

2 Cyrus Network 86,2 % 1

3 SMRC 58 % Paling Rendah

4 Kedai Kopi 66,3 % Paling Rendah (Diantara

Penegak Hukum)

5 Alvara Strategi 86,5 % Tidak Ada Pemeringkatan

Indonesia karena fokus pada

Lembaga Polri

6. Indostrategic 73,4 % 4

7. Charta Politica 72,2 % 3

8. Litbang Polri 83,14 % Tidak Ada Pemeringkatan

karena fokus pada

Lembaga Polri

7
Data Diperoleh dari Berbagai Sumber di Internet salah satunya , Kanda, “Syukuri Capaian Hasil Kinerja, Kapolri:
Kepercayaan Masyarakat Semakin Meningkat”, Kompolnas, diakses melalui
https://kompolnas.go.id/index.php/blog/syukuti-capaian-hasil-kinerja-kapolri-kepercayaan-masyarakat-semakin-
meningkat, pada 2 Oktober 2021.

8
Jika kita melihat dari sejumlah hasil survey di atas, sejatinya kita dapat menilai

bahwa masih terdapat sejumlah masyarakat yang memiliki kepercayaan terhadap Polri.

Fakta di atas menjadi harapan yang cukup cerah bagi citra Polri di mata masyarakat.

Meskipun begitu masih juga dapat ditemukan catatan minor dari beberapa lembaga

survey terhadap Polri. Sehingga menjadi kewajiban bagi Polri untuk menghilangkan

catatan minor tersebut dengan perbaikan internal Polri. Serta menghadirkan Polri yang

menjujung tinggi etika penyelenggara negara dan profesionalisme penegak hukum.

Asa perbaikan manajemen etika penyelenggara negara dan profesionalisme Polri

sejatinya semakin menguat tatkala Kapolri yang saat ini menjabat yakni Jenderal Listyo

Sigit Prabowo mengenalkan konsep Polri Presisi yang merupakan singkatan dari

Prediktif, Responsibilitas, Transparansi, dan Berkeadilan. Konsep tersebut dipaparkan

secara gamblang dalam agenda fit & proper test beliau sebagai Calon Kapolri pada Rabu,

20 Januari 2021. Konsep Polri Presisi hadir menurut beliau melalui penekanan terhadap

upaya pendekatan pemolisian yang prediktif. Jenderal Listyo Sigit Prabowo

menambahkan bahwa konsep ini mengedepankan kemampuan untuk memprediksi

situasi dan kondisi yang menjadi permasalahan serta potensi gangguan keamanan dan

ketertiban masyarakat.8

Konsep Polri Presisi hadir sebagai konsep yang segar dan memperbaharui konsep

Promoter yang dicetuskan oleh Jenderal Purnawirawan Tito Karnavian. Konsep Promoter

kemudian diteruskan oleh Jenderal Purnawirawan Idham Azis dengan tema “Penguatan

Polri yang Promoter Menuju Indonesia Maju”.9 Keterbaruan tidak dilakukan oleh Idham

8
Hinca IP Pandjaitan, Menguji Polri Presisi: Bukan Konsep Ilusi, Tapi Sebuah Revolusi, (Jakarta: RM Books, 2021),
hlm 146-147.
9
HInca IP Pandjaitan, 14 Bulan, Idham Azis Bisa Apa?, (Jakarta: RM Books, 2020), hlm 133.

9
Azis karena beliau hanya menjabar selama 14 bulan saja mendekati masa purna tugas

beliau. Banyak pihak menilai gagasan yang ditawarkan oleh Kapolri Listyo Sigit Prabowo

adalah angin segar bagi perbaikan instansi Kepolisian, termasuk penulis.

Oleh karena itu penulis tertarik untuk menyelami permasalahan dalam tubuh Polri

melalui kacamata sebagai akademisi. Penulis tertarik untuk mendalami akar pikiran dari

konsep Polri Presisi guna menemukan solusi bagi permasalahan yang terjadi dalam

tubuh Polri, Maka judul dalam Tugas Makalah Terstrukrut Mata Kuliah Etika

Penyelenggara Negara ini adalah Konsep Polri Presisi Sebagai Acuan Etika

Penyelenggara Negara Guna Mendorong Reformasi Birokrasi dalam Kepolisian

Republik Indonesia.

B. POKOK PERMASALAHAN

Berdasarkan Latar Belakang di atas maka Tugas Makalah Terstruktur ini akan

berfokus pada pokok permasalahan sebagai berikut:

1. Sejauh Mana Permasalahan Etika dan Profesionalisme Yang Terjadi Dalam

Tubuh Polri?

2. Bagaimana Konsep Polri Presisi Menjawab Kebutuhan Reformasi Dalam

Tubuh Polri?

3. Bagaimana Sistem Reformasi Kepolisian di Kepolisian di Amerika Serikat?

C. MAKSUD DAN TUJUAN PENELITIAN

10
Maksud dari penelitian ini adalah untuk memenuhi tugas makalah terstruktur

dalam mata kuliah Etika Penyelenggaraan Negara. Sedangkan tujuan dari penulisan

makalah ini adalah sebagai berikut:

1. Mengetahui, menkaji serta menganalisa permasalahan Etika dan Profesionalisme

yang terjadi dalam tubuh Polri.

2. Menelaah Konsep Polri Presisi dalam Menjawab Kebutuhan Reformasi Birokrasi

dalam Institusi Polri?

3. Mengetahui Perbandingan Konsep Reformasi Kepolisian di Kepolisian di Amerika

Serikat.

D. KERANGKA TEORI DAN KERANGKA KONSEP

Dalam rangka membangun kesepahaman dalam menentukan teori dan konsep

yang digunakan dalam penelitian ini maka penulis berfokus kepada beberapa teori dan

konsep sebagai berikut:

1. Etika Penyelenggaraan Negara yang Baik

Dasar daripada Etika Penyelenggaraan Negara yang baik adalah nilai Etika itu

sendiri. Secara etimologi (bahasa) Etika bersumber dari bahasa Yunani kuno yakni ethos.

Ethos memiliki banyak makna antara lain: kebiasaan, adat, akhlak, kandang, watak,

perasaan, sikap, hingga cara berpikir. Arti tersebutlah yang kemudian menjadi latar

belakang terbentuknya istilah ‘etika’ yang sudah dipakai oleh Aristotele dalam mejelaskan

filsafat moral (384-322 SM). Oleh karena itu, etika dapat juga dimaknai sebagai sebuah

ilmu perigal adat kebiasaan.10 Istilah yang memiliki makna yang sama dengan etika

adalah ‘moral’, yang juga kita kenal bersama. Perbedaannya bahwa kata moral berasal

10
K. Bartens, Etika, (Jakarta: Gramedia Pustaka, 2000), hlm. 5.

11
Bahasa Latin yakni dari kata Mos dan dalam bentuk jamak disebut Mores dengan arti

yang serupa yakni adat kebiasaan.11

Menurut Franz Magnis-Suseno Etika terbagi ke dalam dua kategori, yakni Etika

Umum dan Etika Khusus. Etika umum mempertanyakan prinsip-prinsip dasar yang

berlaku bagi segenap tindakan manusia, sedangkan etika khusus berbicara tentang

prinsip-prinsip tersebut dalam hubungan dengan kewajiban manusia dalam berbagai

lingkup kehidupannya.12 Selanjutnya dalam kehidupan adanya etika individual yang

mempertanyakan kewajiban manusia sebagai individu, terutama terhadap dirinya sendiri

dan melalui suara hati terhadap yang ilahi. Etika sosial memiliki lingkup yang jauh lebih

luas dibandingkan dengan etika individual. Hal tersebut disebabkan karena hampir

seluruh kewajiban manusia harus bergandengan dengan kenyataan bahwa dirinya

adalah makhluk sosial.13

Etika merupakan tentang moral dalam arti yang utama, yakni seluruh kaidah dan

nilai.14 Etika secara umum dapat dipahami sebagai sebuah pemikiran filosoif mengenai

segala seuatu yang dianggap baik atau buruk dalam perilaku manusia. Setiap perilaku

manusia bersamaan denga norma serta prinsip-prinsip yang menjadi acuan itu sering

disebut dengan moralitas atau etika.15 Secara harfiah. Etika dapat diartikan sebagai

sebuah keilmuan yang mengacu kepada filsafat moral dan merupakan kajian kritis

tentang baik dan buruk.

11
Ibid.
12
Franz Magnis-Suseno, Etika Politik, (Jakarta: Gramedia Pustaka, 2016), hlm 8.
13
Ibid.
14
Bruggink. Refleksi Tentang Hukum, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1999), hlm 225.
15
M. Sastrapratedja, Etika dan Hukum, (Yogyakarta: Kanisius, 2002), hlm. 81.

12
Pada dasarnya Etika mendorong manusia untuk melakukan kebiasaan baik dalam

menjalani kehidupan sosial. Setidaknya terdapat empat unsur keutamaan yang pokok

dalam nilai kebaikan hidup manusia yang juga disebut sebagi (the four cardinal virtues)

yakni:16

- Kebijaksanaan atau pertimbangan yang baik (prudence);

- Keadilan (justice);

- Kekuatan Moral (fortitude);

- Kesederhanaan dan pengendalian diri (temperance).

Ismail menjelaskan dari banyak pengertian dan definisi mengenai etika terdapat

beberapa pokok berbeda yang dapat ditarik kesimpulan dan dikelompokan menjadi

empat kelompok sebagai berikut:17

- Prinsip-Prinsip moral yang termasuk dalam ilmu tentang kebaikan dan sifat dari

hak (The Principles of morality, including the science of good and the nature of the

rights);

- Pedoman perilaku, yang berkaitan dengan memperhatikan bagian utama dari

kegiatan manusia (The rules of conduct, recognize in respect to a particular class

of human actions);

- Ilmu tentang watak manusia dalam tahapan ideal serta prinsip moral sebagai

individu (The science of human character in its ideal state, and moral principles

as of an individual);

- Ilmu perihal suatu kewajiban (The science of duty).

16
Muhadam Labolo, Modul Etika Pemerintahan, (Jatinangor: IPDN, 2004) Hlm. 6-7
17
Ismail, Etika Pemerintahan: Norma, Konsep, dan Praktek Etika Pemerintahan, (Yogyakarta: Lintang Rasi Aksara
Books, 2017), hlm 2-3.

13
Berdasarkan seluruh pemahaman di atas maka dapat diperoleh kesimpulan

bahwa etika merupakan suatu nilai yang sangat dibutuhkan dalam pola kehidupan

manusia. Termasuk dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Etika kehidupan

berbangsa dan negara juga biasa disebut dengan Etika penyelenggaraan negara serta

etika pemerintahan. Etika pemerintahan dalam penyelenggaraan pemerintahan adalah

satu hal yang wajib dipahami dan dijadikan pedoman oleh pemimpin pemerintahan.

Sepanjang sejarah manusia, sudah menjadi kodratnya untuk tidak terlepas dari etika.18

Etika pemerintahan adalah ajaran untuk berperilaku yang baik dan benar sesuai

dengan nilai-nilai keutamaan yang berhubungan dengan hakikat manusia. Dalam

menelaah etika pemerintahaan akan selalu timbul pertanyaan: Apakah sebaiknya yang

saya lakukan sebagai aparat negara. Selain itu juga mencakup di dalamnya problematika

kesusilaan dan kesopanan dalam perilaku aparat lembaga negara.19 Etika pemerintahan

adalah etika terapan yang berfungsi dalam mengatur tata kelola pemerintahan. Etika

pemerintahan merupakan bagian dari yurisprudensi praktis atau filosofi hukum yang

mengatur urusan pemerintah dalam hubungannya dengan orang-orang yang mengatur

dan menjalankan lembaga pemerintahan.20

Etika pemerintahan juga mencakup permasalahan tentang kejujuran dan

transparansi dalam pemerintahan, yang pada gilirannya berurusan dengan hal-hal

seperti: penyuapan (bribery), korupsi politik (political corruption), korupsi polisi (police

corruption), etika legislatif (legislative ethics), etika peraturan (regulatory ethics), konflik

kepentingan (conflict of interest), pemerintahan yang terbuka (open of government) serta

18
Muhadam Labolo, Op, Cit., hlm. 33.
19
Ibid. Hlm. 34.
20
Ismail, Op, Cit. hlm 12.

14
etika hukum.(legal ethics).21 Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara etika

pemerintahan menjadi sangat penting artinya. Karena hal tersebut senantiasa berkaitan

erat dengan nilai-nilai keutamaan yang berhubungan dengan hak-hak dasar warga

negara selaku makhluk sosial.

Di Indonesia, kesadaran akan pentingnya etika dalam menjalankan pemerintahan

dan negara dituangkan dalam Ketetapan MPR Nomor VI/MPR/2001 tentang Etika

Kehidupan Berbangsa. Di dalam TAP MPR tersebut dijelaskan bahwa Etika Kehidupan

Berbangsa merupakan rumusan yang bersumber dari ajaran agama, khususnya yang

bersifat universal, dan nilai-nilai luhur budaya bangsa yang tercermin dalam Pancasila

sebagai acuan dasar dalam berpikir, bersikap dan bertingkah laku dalam kehidupan

berbangsa.22 Artinya, etika berbangsa tidak terlepas dari ajaran agama dan nilai-nilai

luhur budaya bangsa, termasuk di dalamnya nilai-nilai budaya hukum masyarakat

Indonesia. Di tengah kompetisi bangsa-bangsa yang semakin ketat, pembentukan etika

kehidupan berbangsa menjadi sangat vital guna mendorong terciptanya etos kerja,

kedisiplinan dan kepatuhan hukum yang diperlukan bagi pertumbuhan ekonomi dan

kemajuan bangsa.

Adapun Pokok-Pokok Etika Kehidupan Berbangsa yang diatur dalam TAP MPR

Etika Kehidupan Berbangsa adalah sebagai berikut:23

- Etika Sosial Budaya

Bertolak dari rasa kemanusiaan yang mendalam dengan menampilkan

Kembali sikap jujur, saling peduli, saling memahami dan saling menolong di

21
Ibid.
22
Hartati dan Firmansyah Putra, “Etika Politik dalam Politik Hukum di Indonesia (Pancasila Sebagai Suatu Sistem
Etika), Jurnal Majelis MPR RI EDISI 6, Juni 2019, hlm 52.
23
Lihat Lampiran Ketetapan MPR Nomor VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa

15
antara sesama manusia dan warga negara.

- Etika Politik dan Pemerintahan

Dimaksudkan untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih, efisien, dan

efektif serta menumbuhkan suasana politik yang demokratis yang

bercirikan keterbukaan, rasa bertanggungjawab.

- Etika Ekonomi dan Bisnis

Dimaksudkan agar prinsip dan perilaku ekonomi dan bisnis, baik oleh

perseorangan, institusi, maupun pengambil keputusan dalam bidang

ekonomi dapat melahirkan kondisi dan realitas ekonomi yang bercirikan

persaingan yang jujur, berkeadilan.

- Etika Penegakan Hukum yang Berkeadilan

Dimaksudkan untuk menumbuhkan kesadaran bahwa tertib sosial,

ketenangan dan keteraturan hidup bersama hanya dapat diwujudkan

dengan ketaatan terhadap hukum dan seluruh peraturan yang berpihak

kepada keadilan.

- Etika Keilmuan

Dimaksudkan untuk menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, ilmu

pengetahuan dan teknologi agar warga bangsa mampu menjaga harkat

dan martabatnya, berpihak kepada kebenaran untuk mencapai

kemaslahatan dan kemajuan sesuai dengan nilai-nilai agama dan budaya.

- Etika Lingkungan

Menegaskan pentingnya kesadaran menghargai dan melestarikan

16
lingkungan hidup serta penataan tata ruang secara berkelanjutan dan

bertanggungjawab.

Senada dengan semangat TAP MPR tentang Etika Kehidupan Berbangsa,

Presiden Ke enam Republik Indonesia Soesilo Bambang Yudhoyono dalam satu

kesempatan pernah memberikan pendapatnya perihal pentingnya menanam etika

berbangsa dan bernegara. Beliau menyatakan penting bagi bangsa Indonesia untuk

membangun tata kehidupan masyarakat yang baik (good society), dan peradaban

bangsa yang unggul dan mulia (great civilization). Kedua kondisi tersebut perlu dimiliki

agar Indonesia agar benar-benar menjadi bangsa yang maju, bermartabat dan sejahtera

di abad XXI.24 Etika pemerintahan juga merupakan bagian dari agenda negara untuk

mewujudkan reformasi birokrasi serta melahirkan good governance.

2. Reformasi Birokrasi dan Good Governance

Reformasi secara tata Bahasa dapar diartikan sebagai sebuah perubahan yang

mengarah terhadap kebaikan. Dalam penelitian ini yang menjadi objek untuk

disandingkan dengan istilah reformasi birokasi adalah istilah “birokrasi”. Konsdiep

birokrasi yang paling terkenal di kalangan akademisi adalah konsep yang ditawarkan oleh

Sosiolog asal Jerman yakni Maximilian Weber. Menurutnya birokrasi dipandang sebagai

organisasi penyelenggara negara yang rasional berdasarkan kewenangan yang dominan

terhadap organisasi lainnya.25 Mudahnya, birokrasi dapat diartikan mencakup

keseluruhan organisasi penyelenggara negara dari tingkat tertinggi hinggat tingkat yang

terendah. Birokrasi disini dihunakan untuk mengorganisasikan secara teratur pekerjaan

yang harus dilakukan dan menjadi tanggung jawab beberap pihak.

24
Ahmad Basuki, Jalan Harus Terang: Sisi Religius SBY dalam Gaduhnya Politik, (Jakarta: Kompas, 2015), hlm. 376.
25
Samodra Wibawa, Evaluasi Kebijakan Publik, (Jakarta: PT Grafindo Persada, 1994), hlm. 23.

17
Jadi secara harfiah kita dapat memaknai bahwa reformasi birokrasi bertujuan

untuk menghadirkan pemerintahan yang professional dengan karakteristik yang adaptif,

berintegritas serta terbebas dari unsur-unsur korupsi, kolusi dan nepotisme. Sehingga

dapat melayani publik secara netral dan sejahtera. Hasil akhir dari berjalannya reformasi

birokrasi diharapkan dapat meningkatkan kualitas pelayanan kepada masyarakat serta

meningkatnya kapasitas dan akuntabilitas kinerja aparat penyelenggara negara.26

Sementara itu, konsep reformasi birokrasi bukanlah barang baru di Indonesia.

Konsep ini bahkan sudah dikenal sejak era pemerintahan orde lama yang dipimpin oleh

Presiden pertama RI yakni Ir. Soekarno. Beliau pernah membentuk Panitia Retooling

Aparatur Negara yang ditugaskan untuk memaksimalkan fungsi birokrasi dalam sistem

pelayanan publik. Akan tetapi kebijakan tersebut belum berjalan dengan sempurna

karena ditemukan masih terdapat intervensi dari penguasa yang terlalu dominan

sehingga peran Lembaga tersebut menjadi bisa.27

Begitu juga pada masa Orde Baru dengan berbagai kebijakan mulai dari

Keputusan Presidium Kabinet Ampera No. 75 tentang Penerbitan Aparatur dan

Administrasi Pemerintahan. Serta dengan dibentuknya Kementerian Penyempurnaan

dan Pembersihan Aparatur Negara pada tahun 1974 (cikal bakal Kementerian

Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi). Namun karena sifat

pemerintahan Orde Baru yang cenderung sentralistik dan otoritarian, maka reformasi

26
Muhtar, “Efek Implementasi Kebijakan Reformasi Birokrasi Terhadap Kepuasan Penerima Layanan pada PSPA
Satria, PSMP Antasena dan BBRSBD Prof Dr Soeharso, Jurnal PKS Vol 13 No. 4, Desember 2014, hlm 377.
27
Kristian Widya Wicaksono, Administrasu dan Birokrasi Pemerintah, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2006) hlm. 2-3.

18
birokrasi justru cenderung digunakan sebagai alat untuk memperkokoh visi sentralistik

tersebut.28

Dalam perkembangan terakhir, pembahasan mengenai birokrasi atau pelayanan

publik menjadi lebih banyak mendapat perhatian utamanya jika berkaitan dengan good

governance. Pemerintahan yang baik (good governance) adalah pemerintahan yang

digerakan oleh kesadaran dan sikap responsif dari para masyarakat yang membutuhkan

pelayanan publik.29 Gore mengungkapkan bahwa dalam rangka menjalankan roda

pemerintahan yang baik dan dapat mengefektifkan biaya operasional pemerintah perlu

memperhatikan keempat hal berikut:30

- Pertama, mereduksi ukuran dan jumlah Lembaga pemerintahan, program dan

staf;

- Kedua, mempermudah prosedur;

- Ketiga, mereformasi Lembaga-lembaga secara struktural agar menjalankan

tugasnya dengan baik;

- Keempat, melimpahkan fungsi kepada sektor swasta yang lebih mumpuni;

Selanjutnya, United Nations Development Programe memberikan karakteristik

tentang good governance yang teridiri dari Sembilan karakteristik yakni: 31

a. Participation;

b. Rule of law;

28
Muhammad Thahir Haning, Reformasi Birokrasi: Desain Organisasi yang Mendukung Pelayanan Publik di
Indonesia, (Yogyakarta: Ilmu Giri, 2015), hlm 154-155.
29
Gore dalam Sahya Anggara, Ilmu Administrasi Negara: Kajian Konsep, Teori dan Fakta dalam Upaya Menciptakan
Good Governance, (Bandung: Pustaka Setia, 2012, hlm 555.
30
Ibid. hlm. 556.
31
Muhammad Alfisyahrin, Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik di Indonesia, (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor
Indonesia, 2017), hlm. 17-18

19
c. Transparency;

d. Responsiveness;

e. Consensus Orientation;

f. Equity;

g. Effectiveness and efeciency;

h. Accountability;

i. Strategic Vision.

Dalam konteks responsif, pelayanan publik diharapkan dapab melayani

kepentingan publik. Konsekuensinya adalah pengelolaan pelayanan publik menuju good

governance, diperlukan perubahan peran organisasi publik. Alasannya adalah semakin

kompleksnya permasalahan di sektor publik, turunnya kepercayaan akan kemampuan

organisasi publik dalam memecahkan masalah-masalah publik, perubahan tuntutan

masyarakat dalam hal nilai pelayanan, dan fakta bahwa swasta lebih baik dalam

memberikan pelayanan.32

Oleh karena itu diperlukan perubahan paradigma dalam pengelolaaan organisasi

publik, termasuk dalam hal manajemen pemerintahan. Dalam era modern ini, manajemen

pemerintahan tidak lagi berorientasi kepada kekuasaan semata (from government),

melainkan menekankan pada proses pengelolaan (to governance). Pemerintahan yang

kuat itu bukan lagi terletak pada besarnya organisasi pemerintah yang otoriter dan

sentralistik. Melainkan mengacu kepada pemerintahan yang efektif, egalitarian dan

demorkratis.33 Begitu juga dengan Polri, sebagai Lembaga penegak hukum sekarang

32
Ibid. hlm. 18.
33
Ibid. hlm 19.

20
dipandang bukan sekedar sebagai Lembaga penjaga ketertiban, melainkan juga sebagai

Lembaga yang hadir di tengah masyarakat.

3. Kepolisian Masyarakat

Lembaga Kepolisian adalah salah satu Lembaga paling penting dalam setiap

negara. Tidak ada satupun negara yang tidak memiliki lembaga kepolisian. Fakta

tersebut menjadi sangat logis karena peranan utama dari lembaga tersebut adalah

menjaga keamanan serta ketertiban dalam masyarakat (kamtibmas). Kamtibmas

melahirkan stabilitas negara, sehingga peran lembaga kepolisian menjadi sangat

penting. Secara umum kita dapat memahami bahwa polisi adalah suatu pranata umum

sipil yang mengatur tata tertib dan hukum. Namun kadangkala lembaga ini memiliki corak

militeristik, seperti yang pernah terjadi di Indonesia sebelum Polri dipisahkan dari ABRI.

Selain itu, dalam lingkup yudikatif polisi biasanya bertugas sebagai penyidik. Dengan

memiliki kewajdiban dalam mencaring barang bukti, mengumpulkan keterangan dari

berbagai sumber baik dari saksi maupun saksi ahli.34

Berdasarkan uraian di atas, kita dapat melihat bahwa fungsi utama dari polisi

adalah untuk menegakkan hukum dan melayani kepentingan masyarakat umum. Oleh

karena itu, dapat juga diambil kesimpulan bahwa polisi juga melakukan pencegahan

terjadinya kejahatan serta memberikan perlindungan kepada masyarakat.35 Keseluruhan

tugas pokok tersebut diatur secara tegas dalam Pasal 13 Undang-Undang No. 2 Tahun

2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia. Kata polisi juga dapat mengacu kepada tiga

34
Warsiti Adi Utoimo, Hukum Kepolisian di Indonesia, (Jakarta: Prestasi Pustaka, 2005), hlm. 3
35
Mahmud Mulyadi, Kepolisian dalam Sistem Peradilan Pidana, (Medan: USU Press, 2009), hlm 40.

21
objek yakni berkenaan dengan orang, institusi serta fungsi. Polisi yang diartikan sebagai

institusi biasa disebut dengan Lembaga Kepolisian. Sedangkan arti polisi sebagai fungsi

bersumber dari Bahasa inggris ‘to police’ yakni pekerjaan untuk mengamati, memantau,

mengawasi segala sesuatu untuk menangkap gejala yang terjadi. Berdasarkan dari

gejala tersebut polisi wajib merespon dan mengupayakan agar situasi menjadi normal

Kembali atau sesuai dengan norma yang berlaku dalam masyarakat..36

Masyarakat cenderung mengalami perubahan, sehingga cara hukum dan

lembaga negara dalam menghadapi dan memberikan pelayanan juga harus turut

berubah mengikuti perkembangan jaman, tak terkecuali untuk lembaga kepolisian.

Satjipto Rahardjo menyatakan bahwa gagasan untuk melakukan modernisasi polisi di

Indonesia memang merupakan langkah yang perlu diambil, mengingat pesatnya

perkembangan dalam bidan ilmu dan teknologi.37 Tidak hanya dalam teknologi, polisi

juga dituntut untuk mengikuti pola perubahan dalam masyarakat.

Semua perkembangan da perubahan tersebut harus disimak dengan baik oleh

lembaga kepolisian. Jika polisi memang berkehendak agar dapat menjadi polisi yang baik

bagi masyarakat. Menempatkan diri sebagai bagian dari birokrasi eksekutif semata tidak

akan cukup. Diperlukan pula untuk memahami peran birokrasi kepolisian yang sensitive

dan kreatif. Apabila polisi memang ingin mendapatkan legitimasi serta penghormatan

yang tinggi dari masyarakat, memang begitulah langkah yang wajib dilalui oleh lembaga

kepolisian.38

36
Erma Yulihasti, Bekerja Sebagai Polisi, (Jakarta: Erlangga, 2008), hlm. 3.
37
Satjipto Rahardjo dalam Kunarto, Merenungi Kritik Terhadap Polri: Buku I, (Jakarta: Cipta Manunggal, 1995), hlm.
387.
38
Satipto Rahardjo dan Anton Tabah, Polisi Pelaku dan Pemikir, (Jakarta: Gramedia, 1993), hlm 75.

22
Polri juga merupakan bagian dari sistem administrasi penegakan hukum,

selayaknya jaksa dan hakim. Akan tetapi Polisi memiliki keisitimewaan tersendiri dari

kedua lembaga penegak hukum di atas. Sekalipun merupakan bagian dari jajaran aparat

penegak hukum, akan tetapi polisi memliki corak pembeda yakni yang disebut oleh

Satjipto Rahardjo sebagai badan kemasyarakatan. Sifat yang demikian itu berhubungan

erat dengan sifat pekerjaan polisi yang wajib berada dan bergerak di tengah-tengah

masyarakat. Oleh karena itu menjadi sangat logis tatkala polisi berkewajiban untuk

memelihara kontak-kontak yang intensif dengan lingkungan sosialnya.39

Polisi Indonesia perlu kembali menyadari bahwa meskipun negara telah

memberikan kewenangan untuk melaksanakan kontrol sosial, akan tetapi tugas yang

diembang alah tugas yang cukup kompleks, Dalam situasi pertukaran antara kontrol

formal dan informal yang rumit. Polri wajib mengemban tugasnya bersama dengan

masyarakat. Dalam hubungan tersebut dapat dikatakan, bahwa polisi tidak boleh menjadi

antagonis bagi masyarakat. Melainkan Polri wajib menjadi protagonis yang dekat dengan

masyarakat sehingga masyarakat dengan terbuka membantu tugas polri bahkan

memberikan masukan kepada Polri.40

E. METODE PENELITIAN

Tugas makalah terstruktur dalam Mata Kuliah Etika Penyelenggaraan Negara

adalah bagian dari melakukan penelitiam hukum. Penelitian hukum merupakan suatu

kegiatan ilmiah, yang didasarkan pada metode, sistematika, dan pemikiran tertentu yang

bertujuan mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan

39
Satjiptio Rahardjo dalam Mochtar Lubis, Citra Polisi, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1988), hlm 176.
40
Satipto Rahardjo dan Anton Tabah, Op, Cit. hlm. 15.

23
menganalisanya.41Sedangkan penelitian hukum normatif adalah penelitian yang

dilakukan terhadap peraturan-peraturan tertulis maupun bahan-bahan hukum lain. Oleh

karena itu, sesuai dengan sifatnya, data-data yang digunakan dalam penlitian ini lebih

didominasi oleh data-data sekunder yang memaparkan secara jelas dan menyeluruh

tentang etika penyelenggara negara dalam institusi Polisi . Dalam penelitian ini, beberapa

metode dan sistematika penulisan digunakan demi mencapai kesempurnaan penelitian.

Adapun metode-metode yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah:

1. Metode Pendekatan

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode

pendekatan yuridis normatif. Adapun yang dimaksud dengan penelitian yuridis

normatif adalah penelitian hukum kepustakaan.42 Data yang digunakan

merupakan data sekunder yang dipakai dalam penelitian yang memiliki

perhatian khusus terhadap etika penyelenggaraan negara serta perihal

kepolisian.

2. Spesifikasi Penelitian

Spesifikasi penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah spesifikasi

penelitian yang bersifat deskriptif analitis, yaitu menghubungkan peraturan

hukum dengan yang berlaku dan teori hukumnya.43 Artinya peraturan hukum

dan teori hukum yang berlaku dengan praktik pelaksanaan kepolisian di

Indonesia

3. Tahap Penelitian

41
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: Universitas Indonesia, 1984), hlm. 43.
42
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: UI Press,
2003), hlm. 23.
43
Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1990), hlm. 97.

24
Penulis membagi proses pengerjaan dalam melakukan penelitian ini menjadi

dua tahapan yang terdiri dari:

a. Tahap pengumpulan data yakni proses yang dilakukan penulis dalam

mengumpulkan bahan-bahan penelitian hukum yang merupakan data

sekunder berkaitan dengan objek penelitian.

b. Tahap analisis data yakni proses pengolahan data yang dilakukan dengan

mempelajari serta menganalisis bahan-bahan penelitian yang telah

terkumpul. Berdasarkan analisis tersebut kemudian akan diperoleh

kesimpulan yang merupakan hasil penelitian.

4. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data sebagian besar dilakukan dengan cara studi

kepustakaan dengan mempelajari serta meneliti bahan-bahan hukum tertulis

yang berkaitan dengan materi penelitian. Studi kepustakaan dilakukan untuk

memperoleh sumber data utama, yang meliputi:

a. Bahan hukum primer yakni bahan hukum yang bersifat mengikat44, terdiri

dari:

1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945

2) TAP MPR RI No. VI/MPR/2021 tentang Etika Kehidupan Berbangsa dan

Bernegara

3) Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik

Indonesia

44
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Op, Cit., hlm. 34.

25
4) Sejumlah Peraturan Internal Polri mulai dari Peraturan Kapolri, Surat

Edaran Kapolri serta Surat Telegram Kapolri.

b. Bahan hukum sekunder yakni yang memberikan penjelasan mengenai

bahan hukum primer, seperti hasil penelitian, jurnal-jurnal, karya dari

kalangan hukum, dan sebagainya.

c. Bahan hukum tersier

1) Bahan – bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan

terhadap hukum primer dan sekunder seperti ensiklopedia dan juga

kamus.

2) Bahan-bahan primer, sekunder, dan tersier di luar bidang hukum,

misalnya yang berasal dari bidang sosiologi, geografi, dan lain-lain.

5. Metode yang penulis gunakan adalah metode yuridis kualitatif yakni dengan

melakukan interpretasi data yang telah diinventarisasi. Selanjutnya hasil

analisis akan disajikan dalam bentuk deskriptif untuk ditarik suatu kesimpulan.

F. SISTEMATIKA PENULISAN

Secara garis besar skripsi ni terdiri dari 5 (lima) bab dengan beberapa sub bab.

Agar mendapatkan arah dan gambaran yang jelas mengenai hal yang tertulis, berikut ini

sistematika penulisannya secara lengkap:

BAB I: PENDAHULUAN

Pada bab ini membahas latar belakang masalah, pokok permasalahan, maksud dan

tujuan penelitian, kerangka teori dan konsep, metodelogi penelitian, dan sistematika

26
penulisan. Penjelasan dalam Bab I ini adalah untuk memberikan gambaran awal

mengenai hal-hal yang dijelaskan dan dipaparkan dalam penelitian ini.

BAB II: PROBLEMATIKA ETIKA PENYELENGGARA NEGARA DAN

PROFESIONALISME DALAM TUBUH POLRI

Bab ini merupakan hasil analisa dari Pokok Permasalahan Pertama. Pada bab ini

diuraikan tentang sejumlah permasalahan yang menerpa tubuh Polri mulai dari etika

sebagai penegak hukum serta tingkat profesionalisme Polri dalam menjalankan

tugasnya.

BAB III: KONSEP POLRI PRESISI SEBAGAI IKHTIAR POLRI MEWUJUDKAN

REFORMASI BIROKRASI

Bab ini merupakan hasil analisa Pokok Permasalahan Kedua. Pada bab ini dijelaskan

tentang Konsep Polri Presisi, 16 Program Prioritas Kapolri Listyo Sigit Prabowo serta

Peranan Kapolri dalam memastikan berjalannya Konsep Polri Presisi.

BAB IV: SISTEM REFORMASI KEPOLISIAN DI AMERIKA SERIKAT

Bab ini merupakan hasil analisa dari Pokok Permasalahan Ketiha. Pada bab ini

diuraikan hasil perbandingan Konsep Kepolisian di Amerika Serikat serta upaya

untuk menghadirkan Lembaga Kepolisian yang berkualitas sebagai perbandingan.

BAB V: PENUTUP

Bab ini merupakan bagian akhir dari tulisan yang menjadi hasil dari penelitian yang

telah dilakukan berisi kesimpulan-kesimpulan yang didapat penulis dari hasil

penelitian dan berisi saran-saran dari penulis terkait dengan permasalahan-

permasalahan yang diteliti.

27
BAB II

PROBLEMATIKA ETIKA PENYELENGGARA NEGARA DAN

PROFESIONALISME DALAM TUBUH POLRI

28
A. PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA

Dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Polri disebutkan ada sejumlah

tugas pokok kepolisian. Penulis menggarisbawahi dua tugas pokok tersebut ialah

memelihara keamanan dan memberikan perlinungan kepada masyarakat. Pelindung,

pengayom dan pelayan masyarakat sering kali terdengar saat kita menyebutkan kata

‘polisi’. Deretan kata tersebut menempatkan polisi sesungguhnya pada derajat yang

mulia. Tugas yang melekat dan hanya bisa dilakukan oleh polisi, tidak oleh profesi lainnya

sebagaimana yang diungkap Sajtipto sebagai badan kemasyarakatan.45. Oleh karena itu

penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia patut menjadi perhatian Polri. Utamanya

jika tugas yang dilakukan bersentuhan dengan masyarakat.

Pada tahun 2020 Polri dan Pelanggaran HAM menjadi topik yang sepanjang tahun

dibicarakan. Setidaknya yang menjadi perhatian bagi penulis terjadi pada 2 momen yaitu

pada saat demonstrasi omnibus law serta tewasnya 6 laskar FPI. Untuk peristiwa yang

kedua, sudah banyak catatan minor bagi kepolisian dalam penanganan aksi demonstasi.

Dari Aliansi Jurnalis Independen misalnya melaporkan selama aksi demonstrasi omnibus

law setidaknya terjadi 28 kekerasan terhadap jurnalis pada saat meliput. Mayoritas

pelaku kekerasan tersebut adalah oknum aparat kepolisian.46

Kontras juga melaporkan bahwa selama periode aksi, lembaga tersebut menerima

setidaknya 1.500 aduan kekerasan yang dilakukan oleh oknum polisi.47 Sejalan dengan

45
Mochtar Lubis, Op, Cit, Hlm. 176.
46
Andita Rahma, “AJI; 28 Jurnalis Alami Kekerasan Oleh Polisi Saat Omnibus Law”, Tempo, diakses melalui
https://nasional.tempo.co/read/1394697/aji-28-jurnalis-alami-kekerasan-oleh-polisi-saat-liput-demo-omnibus-
law, pada 22 Oktober 2021.
47
Vitorio Mantalean, “Kontras Terima 1.500 Aduan Kekerasan Aparat Selama Demo Cipta Kerja”, Kompas, diakses
melalui https://megapolitan.kompas.com/read/2020/10/09/14024141/kontras-terima-1500-aduan-kekerasan-
aparat-selama-demo-tolak-uu-cipta?page=all pada 22 Oktober 2021.

29
fakta tersebut, Amnesty Internasional pada akhir tahun 2020 merilis laporannya yang

menyatakan bahwa ada 43 insiden kekerasan yang dilakukan oleh beberapa oknum

polisi yang terpisah di seluruh Indonesia. Amnesty mengidentifikasi setidaknya 51 video

kekerasan yang terjadi pada saat demonstrasi omnibus law.48 Untuk jumlah korban

sendiri menurut catatan Amnesty mencapai 402 korban kekerasan polisi yang tersebar

di 15 provinsi da 6.658 orang ditangkap di 21 provinsi.

Peristiwa kedua terjadi Pada Desember 2020, (menjelang masa pensiun Idham

Azis). 6 mantan anggota FPI dinyatakan tewas dalam penindakan yang dilakukan oleh

Polri saat melakukan pengintaian terhadap Habib Rizieq Shihab. Terlepas dari

pengakuan versi Polisi dan FPI yang saling bertolak belakang. Komnas HAM menilai

bahwa telah terjadi pelanggaran HAM oleh Polisi berkaitan dengan tewasnya 4 anggota

FPI. Komnas HAM menilai ada penghilangan nyawa di luar pengadilan dikarenakan

seharusnya polisi masih bisa melakukan tindakan lain sebelum jatuhnya lebih banyak

korban.49 Dan saat ini kedua oknum pelaku pembunuhan tersebut sudah didakwa dan

diproses dalam pengadilan.

Pada tahun 2021 Komnas HAM juga telah mengeluarkan data bahwa Lembaga

Polri menjadi lembaga yang paling banyak dilaporkan terhadap pelanggaran HAM.

Komnas HAM mencatat setidaknya terdapat 1.122 laporan dan aduan pelanggaran HAM

yang dilakukan oleh oknum aparat kepolisian dalam kurun waktu 2016-2020. Umumnya

48
Irfan Kamil, “Amnesty: 43 Insiden Kekerasan oleh Polisi dalam Aksi UU Cipta Kerja”, Kompas diakses melalui
https://nasional.kompas.com/read/2020/12/02/16021301/amnesty-ada-43-insiden-kekerasan-oleh-polisi-dalam-
aksi-penolakan-uu-
cipta?page=all#:~:text=JAKARTA,%20KOMPAS.com%20%E2%80%93%20Amnesty,Oktober%20hingga%2010%20No
vember%202020. pada 22 Oktober 2021.
49
Fathiyah Wardah, “Komnas HAM: Polisi Langgar HAM dalam Peristiwa Tewasnta 4 Laskar FPI”, Voa Indonesia,
diakses melalui https://www.voaindonesia.com/a/komnas-ham-polisi-langgar-ham-dalam-peristiwa-tewasnya-4-
anggota-laskar-fpi/5730914.html, pada 22 Oktober 2021.

30
aksus yang dilaporkan berkaitan dengan lambatnya penanganan kasus, kriminaliasi,

penganiyaan, hingga proses hukum yang dinilai tidak prosedural. Meskipun begitu Polri

juga dinilai sebagai lembaga yang paling responsif dalam menerima aduan dari Komnas

HAM.

Peristiwa lainnya menjadi perhatian pemerhati HAM adalah bagaimana masih

sering dijumpainya kekerasan yang dilakukan oleh oknum aparat kepolisian dalam

rangka melakukan penyidikan. Dalam sebuah laporan, Komisi Untuk Orang Hilang dan

Korban Tindak Kekerasan (Kontras) menyatakan dalam kurun waktu Juni 2019 hingga

Mei tahun 2020 telah terjadi setidaknya 48 kasus penyiksaan yang dilakukan oleh oknum

Polisi. Sebagian besar korban yang mendapatkan penyiksaan tersebut merupakan

berstatus warga sipil maupun tersangka. Kontras kemudian melanjutkan bahwa 40 kasus

penyiksaan yang terjadi betujuan untuk mendapatkan pengakuan semata.50 Data di atas

menunjukan bahwa dalam proses penyelidikan dan proses penggalian informasi dalam

pengungkapan suatu tindak pidana rentan terjadi penyiksaan.

Selanjutnya dalam Laporan Tahunan hari Bhayangkara ke-74 oleh Kontras

ditemukan data yang lebih rinci lagi. Penyiksaan dilaporkan mayoritas terjadi di ranah

Polres dengan total 29 kasus, disusul Polsek 11 kasus, serta pada tingkat Polda yang

mencapai 8 kasus. Adapaun instrumen penyiksaan yang paling sering digunakan adalah

dengan menggunakan tangan kosong yang mencapai 35 kasus, diikuti dengan benda

keras 12 kasus, senjata api 7 kasus serta dengan menggunakan listrik hingga 4 kasus.51

Praktik ini sudahlah sangat usang, sudah saatnya ditinggalkan. Terlebih sekarang

sudah berkembang pesat konsep Restorative Justice yakni mengedepankan keadilan

50 Kontras, Laporan Situasi dan Kondisi Praktik Penyiksaan di Indonesia Periode Juni 2019-Mei 2020, hlm 10.
51 Kontras, Tak Kenal Prioritas, Semua Diterabas: Laporan tahunan Hari Bhayangkara ke-74, hlm 6.

31
bagi masyarakat yang terlibat dalam suatu tindak pidana baik itu terhadap korban, saksi

bahkan kepada tersangka. Prakti penyiksaan oleh aparat adalah warisan gaya lama yang

seharusnya kita sudah kita pendam lama sejak reformasi 1998. Herbert L. Packer.

menyatakan dalam proses peradilan pidana terdapat dua model yang saling

berseberangan satu sama lain model tersebut adalah Crime Control Model (CCM) serta

Due Process Model.52 Kedua model ini memudahkan setiap orang untuk memahami

anatomi normatif dalam pelaksanaan hukum pidana di suatu negara.

Berkaitan dengan pembahasan dalam Bab ini, model pertama yakni Crime Control

Model (CCM) perlu kita bedah bersama. Pakker menyatakan bahwa model CCM

menitikberatkan kepada efisiensi mencakup kecepatan, ketelitian dan daya guna

administratif di dalam memproses pelaku tindak pidana. Setiap penegakan hukum harus

dilakukan dengan cepat dan harus segera selesai. Bahkan Packer menyebutkan bahwa

doktrin yang digunakan dalam model ini adalah presumption of guilt atau praduga

bersalah.53

Doktrin di atas digunakan dalam rangka mengurangi sekecil mungkin adanya

perlawanan dari pihak lain yang dapat menghambat penyelesaian perkara. Penerapan

model CCM haruslah didukung dengan eksistensi kekuasaan yang melakukan kontrol

kuat terhadap setiap kejahatan dan pelaku kejahatan yang dilaksanakan oleh pejabat

kepanjangan tangan kekuasaan seperti polisi, jaksa serta hakim. Proses penegakkan

hukum harus dilaksanakan semaksimal mungkin meskipun seringkali harus

mengabaikan nilai-nilai hak asasi manusia.54

52 Herbert L Packer, The Limits of the Criminal Sanction, (California: Stanford-University Press, 1968), hlm 153.
53
Ibid.
54
Ibid.

32
Jika kita memahami secara utuh pendekatan Crime Control Model di atas tentu

sangat akrab dengan praktik penegakkan hukum yang dilaksanakan oleh negara yang

bercorak otoritarianisme. Indonesia pernah mengalami fase tersebut tatkala masih

berada dalam naungan kolonial Belanda dan Jepang serta pada saat rezim orde baru

berkuasa selama 32 tahun. Dalam kedua fase tersebut sering ditemukan pendekatan

kekuasaan dalam melaksanakan penegakkan hukum, sehingga seringkali terjadi

penyiksaan dalam oleh aparat dalam prosesnya.

Pada saat jaman kolonial, Henk Schulte Nordholdt seorang sejarawan

menyatakan bahwa Negara Hindia Belanda saat itu adalah negara yang penuh dengan

kekerasan. Sehingga fungsi polisi pada saat itu adalah sebagai perpanjangan tangan

pemerintah yang secara aktif menegakan rust en orde guna memajukan kepentingan

ekonomi dan kekuasaaan politiknya.55 Sehingga tak jarang masyarakat Indonesia yang

tidak bersalah pada saat itu ditangkap dan disiksa oleh aparat kepolisian dalam rangka

membungkam perlawanan.

Pendekatan kekerasan ini berlanjut pada saat Presiden Soeharto berkuasa dan

menggantikan Presiden Soekarno. Pasca tragedi Pemberontakan G30SPKI banyak

orang-orang yang tidak memiliki kaitan langsung dengan kejadian tersebut diadili secara

tidak manusiawi bahkan hingga menyebabkan kematian tanpa proses peradilan yang

tepat. Banyak aktivis dan tahanan politik rezim Orde Baru yang dibui hanya karena

mengkritik pemerintahan Soeharto dan tak jarang proses penegakkan hukum mereka

dilakukan tanpa mengindahkan hak asasi manusia.

55Bonnie Triyana, “Polisi Zaman Kumpeni”, Historia.id, diakses melalui https://historia.id/politik/articles/polisi-zaman-kumpeni-


v2jZv/page/1 pada 22 Oktober 2021.

33
Poin penulis terhadap dua contoh di atas adalah bahwa praktik penyiksaan dalam

suatu penyelidikan dan penyidikan tindak pidana adalah warisan kelam dari masa

lampau. Masa dimana langit Indonesia masih dinaungi oleh payung otoritarianisme yang

begitu gelap. Masa dimana hak asasi manusia bukanlah menjadi hal utama, melainkan

kelanggengan kekuasaan.

B. OKNUM POLRI TERLIBAT NARKOBA

Sampai saati ini masih juga ditemukan sejumlah kasus yang menemukan

keterlibatan oknum dari kepolisian. Terbaru pada Oktober 2021, ditemukan 11 Oknum

Polisi di Tanjung balai yang menjaul belasan kg Sabu hasil sitaan.56 Kasus ini menjadi

tamparan keras bagi Korps Bhayangkara, mengingat Polri adalah ujung tombak

masyarakat untuk memberantas narkoba yang mengancam anak cucu bangsa

Indonesia. Padahal sejatinya kinerja Polri dalam memberantas dan mencegah narkoba

sudah sangat baik. Sebelumnya Di sepanjang tahun 2020, Polri berhasil memproses

sebanyak 48.948 tersangka. Barang bukti yang berhasil disita adalah 50,1 ton ganja, 5,53

ton sabu, 737.384 butor XTC, 41.765 gram heroin, 330 gram kokain, 104,321 gram

tembakau gorila dan 64,5 gram. Wilayah laut dan darat sudah dijaga betul oleh Polri

sepanjang tahun 2020 tersebut.57

56
David Olive Purba, ”11 Anggota Polisi Tanjungbalai Kompak Jual Sabu Hasil Tangkapan”, Kompas.com, diakses
melalui https://regional.kompas.com/read/2021/10/21/192534378/11-anggota-polisi-tanjungbalai-kompak-jual-
narkoba-hasil-tangkapan-berawal?page=all, pada 22 Oktober 2021.
57
HUMAS POLRI, “Prestasi Polri di Bidang Narkoba Selama Tahun 2020”, Polri.go.id diakses melalui
https://humas.polri.go.id/2020/12/22/prestasi-polri-di-bidang-narkoba-selama-tahun-2020-sita-553-ton-sabu-50-
ton-ganja/, pada 22 Oktober 2021.

34
Sayangnya catatan gemilang di atas harus dirusak dengan segelintir kasus yang

melibatkan anggota Polri dalam kasus narkoba. Pada tahun 2020 Polri telah memecat

129 anggotanya yang terbukti telah melakukan pelanggaran dan juga tindak pidana.

Mayoritas dari anggota yang dipecat tersebut memiliki indikasi terlibat dengan kasus

narkoba. Meskipun tidak dirinci angka pastinya sudah dapat dipastikan pada tahun 2020

masih ada oknum Polisi yang terjerembab dalam lubang hitam narkoba baik itu sekedar

menggunakan maupun turut serta dalam mengedarkan narkoba.58

Sebelumnya pada tahun 2019 Polri telah mengamankan sejumlah 37.337 orang

yang terlibat dalam kasus narkotika. Direktorat Tindak Pidana Narkotika menyatakan 515

diantara jumlah tersangka tersebut merupakan oknum Polisi yang tertangkap.59 Artinya

prevalensi keterlibatan oknum polisi dalam peredaran narkotika tahun 2019 mencapai

1,37% dari total jumlah tersangka. Angka ini meningkat dari tahun-tahun sebelumnya.

Pada tahun 2018 oknum polisi yang di proses pidana karena kejahatan narkotika hanya

mencapai 244 orang. Sedangkan pada tahun 2017 jumlah polisi yang yang terlibat kasus

dan dijerat pidana hanya sejumlah 76 orang.60

Peningkatan jumlah yang sangat signifikan tersebut sungguh mengkhawatirkan.

Bahkan dapat dikatakan bahwa setiap tahun kenaikan jumlah oknum polisi yang terjerat

kasus narkotika mencapai 2 kali lipat atau lebih dari tahun sebelumnya. Belum lagi fakta

yang ditemukan oleh Kapolri Jenderal (Purn) Tito Karnavian pada tahun 2018 bahwa

58
Hinca IP Pandjaitan, Menguji Polri Presisi… Op, Cit., hlm 27.
59
Bisnis, Tahun 2019, “Ada 515 Oknum Polri yang Terlibat Kasus Narkoba”, Bisnis.com, diakses melalui
https://kabar24.bisnis.com/read/20191230/16/1185534/tahun-2019-ada-515-oknum-polri-yang-terlibat-kasus-
narkoba pada 22 Oktober 2021.
60
Detik, “Kapolri: Jumlah Polisi yang Terjerat Narkoba Tahun ini Meningkat”. Detik.com, diakses melalui
https://news.detik.com/berita/d-4361056/kapolri-jumlah-polisi-yang-terjerat-narkoba-tahun-ini-meningkat, pada
pada 22 Oktober 2021.

35
anggota Polri yang kedapatan mengkonsumsi narkotika mencapai 297 orang meningkat

dari tahun sebelumnya yakni sejumlah 289 orang. Ada peningkatan sekitar 2,8%

terhadap polisi yang mengkonsumsi barang haram tersebut.61

Tabel 2.1

Jumlah Oknum Polri Terlibat Narkoba

No. Tahun Jumlah Oknum

Polisi Terpapar Narkoba

1. 2017 365 (289 Memakai Narkoba, 76 Terlibat)

2. 2018 541 (289 Memakai Narkoba, 244 Terlibat)

3. 2019 515 (Tersangka saja)

4. 2020 129 (Dipecat)

Pada tahun 2018 Indonesia juga pernah dihebohkan dengan tertangkap

tangannya polisi berpangkat tinggi yang membawa narkotika jeni sabu. AKBP Hartono

kedapatan telah menyelundupkan sabu seberat 28,3 gram saat memasuki area Bandara

Soekarno Hatta. Hartono dicurigai oleh petugas Avsec karena dirinya menunjukan

gelagat tidak kooperatif setelah membawa pistol berisikan 12 butir peluru. Polri pun

langsung merespon dengan mengeluarkan Surat Telegram bernomor:

ST/1855/VIII/KEP/2018 yang berisikan pencopotan Hartono dari jabatannya sebagai

61
Hinca IP Pandjaitan, BNN: Bubar Atau Sangar, (Jakarta: RM Books, 2020), hlm. 177.

36
Wakil Direktur Resesre Narkotika Polda Kalimantan Barat. Hartono juga langsung

ditetapkan sebagai tersangka dan diperiksa oleh Divisi Propam Mabes Polri. 62

Penulis begitu ironis menyaksikan kasus tersebut. Bagaimana bisa seorang

penegak hukum yang bertugas khusus untuk kejahatan narkotika malah tenggelam

menjadi pemain ataupun pemakai barang haram tersebut. Kondisi ini tentunya

melahirkan paradoks dalam pemberantasan narkotika di Indonesia. Jika paradoks terus

berlanjut sudah barang tentu masyarakat perlahan akan memiliki opini yang buruk

terhadap pemberantasan narkotika yang dilakukan oleh Polri. Saat opini publik sudah

buruk, saat itu pula Polri sebagai lembaga penegak hukum kehilangan kredibilitasnya

karena tingkat kepercayaan yang menurun. Oleh karena itu, kondisi seperti ini harus

segera dihentikan sebelum memberikan dampak yang sangat mengerikan dalam sistem

penegakkan hukum narkotika di Indonesia.

Oknum polisi yang terjerat dalam kasus narkotika Tidak hanya berkenaan dengan

peredaran dan penyalahgunaan semata. Adrianus Meilala pada tahun 2017 selaku

Ombudsman RI menemukan fakta bahwa masih sering terjadi pelanggaran

maladministrasi di Instansi Penerima Wajib Laport (IPWL). Ombudsman RI menyatakan

ada dugaan maladministrasi yang berujung pada pungutan liar terhadap para pecandu

yang menjalani rehabilitasi.63 Ombudsman menyatakan peluang maladministrasi tersebut

dapat terletak di lembaga kepolisian dalam rangka jual-beli perkara. Artinya banyak

62
Muhammad Akbar Wijaya, Kasus-Kasus Polisi Terjerat Narkoba dan Kriti katas Hukuman Mereka, Tirto.id ,
diakses melalui https://tirto.id/kasus-kasus-polisi-terjerat-narkoba-dan-kritik-atas-hukuman-mereka-cQcC pada 22
Oktober 2021.
63
Tirto, Adrianus Meilala: Polisi Jangan Diberi Peluang untuk Bermain Narkoba” Tirto, diakses melalui
https://tirto.id/polisi-jangan-diberi-peluang-untuk-bermain-narkoba-cty2 pada 22 Oktober 2021.

37
hambatan yang harus dilewati oleh para korban penyalahguna atau pecandu untuk

mendapatkan rehabilitasi.

Penulis sepakat dengan pernyataan Adrianus Meilala bahwa Polisi sama sekali

jangan diberi peluang untuk bermain narkoba. Polisi adalah lembaga penegak hukum

yang seharusnya mewujudkan keamanan dan ketertiban dalam masyarakat. Jika diberi

ruang untuk menyalahgunakan wewenangnya, sudah barang tentu akan melahirkan

kekacauan dalam masyarakat apalagi menyangkut soal kejahatan narkotika. Paradoks

tersebut harus dihentikan dengan memperbaiki moralitas dan etika polisi sebagai

penegak hukum.

Ajaran moral sifatnya mendasar, sedangkan hukum memiliki kecenderungan

untuk mengikuti cita moral masyarakat yang dapat berubah seiring dengan

perkembangan kesadaran moral masyarakat.64Artinya jika polisi selaku penegak hukum

ingin melaksanakan penegakkan hukum yang benar tentu tidak terlepas bagian-bagian

dari moral. Oleh karena itu, dalam penanganan kejahatan narkotika aparat kepolisian

harus memegang teguh moral kebenaran sehingga sama sekali tidak tergoda untuk turut

serta dalam kejahatan narkotika.

Kemudian selain moral, Polri wajib menekankan kepada seluruh jajarannya untuk

memperdalam etika. Karena setiap polisi sudah pasati memiliki moral, akan tetapi belum

tentu setiap dari mereka memiliki pemikiran yang kritis terhadap moralnya sendiri.

Pemikiran kritis tentang moral tersebut lah yang disebut sebagai etika.65 Etika juga

menjadi elemen penting yang harus dimiliki oleh para Polisi dalam berhadapan dengan

64
E, Sumaryono, Etika Profesi Hukum, Norma-Norma bagi Penegak Hukum, (Bandung: Alumni, 1976), hlm 35.
65
Darji Darmodiharjo & Sidharta,Penjabaran Nilai-Nilai Pancasila Dalam Sistem Hukum Indonesia, (Jakarta: Raja
Grafindo Persada) 1996, hlm 33.

38
para pecandu dan penyalahguna narkotika. Etika untuk memanusiakan manusia serta

berwawasan terhadap pendekatan kesehatan bagi para pecandu. Apabila etika tersebut

dimiliki oleh para aparat kepolisian yang berada di garis terdepan sudah barang tentu,

tidak akan ada lagi kasus pemungutan liar bagi korban penyalahguna narkotika.

C. PROFESIONALISME PENEGAKAN HUKUM

Pasal 1 Ayat (3) UUD 1945 secara gamblang menjelaskan bahwa Indonesia

adalah negara hukum atau yang biasa dikenal dalam kaidah ketatanegaraan sebagai

rechstaat. Sehingga sudah jelas bahwa Indonesia bukanlah merupakan negara yang

berdasarkan kekuasaan. Untuk membedakannya, A.V Dicey menguraikan bahwa yang

menjadi ciri pokok dalam setiap negara hukum adalah dengan terlaksananya supremacy

of law, equality before the law, dan due process of law.66

Perlu diingat, implementasi dari prinsip negara hukum adalah proses penegakan

hukum itu sendiri. Mengadaptasi dari pemikiran Gustav Radbruch, penegakan hukum

haruslah memenuhi tiga nilai dasar hukum yaitu nilai keadilan, nilai kepastian dan juga

nilai kemanfaatan.67 Salah satu pihak yang paling bertanggung jawab dalam menjaga

keserasian 3 nilai dasar tersebut adalah aparat penegak hukum yang dalam hal ini

penulis maksudkan kepada lembaga kepolisian khususnya pada kepemimpinan Jenderal

(Purn) Idham Azis.

Sebuah lembaga internasional yang bernama World Justice Project setiap

tahunnya mengumumkan hasil riset mereka berkaitan dengan pelaksanaan negara

66
Philipus M Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia: Sebuah Studi Tentang Prinsip-Prinsipnya,
Penanganannya Oleh Pengadilan Dalam Lingkungan Peradilan Umum dan Pembentukan Peradilan Administasi
Negara, (Surabaya: Bina Ilmu, 1987), hlm 75.
67
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Citra Aditya Bakti: Bandung, 2012), hlm 19.

39
hukum. Tahun kemarin, hasil penelitian bertajuk Rule of Law Index 2020 telah berhasil

mereka susun. Indeks tersebut merupakan alat ukur kuantitatif untuk mengukur

bagaimana praktik rule of law negara-negara yang dikaji. Indonesia menjadi bagian dari

126 negara yang diteliti oleh lembaga tersebut.

Secara khusus, Indonesia mengalami kenaikan peringkat dari tahun sebelumnya

dengan total angka mencapai 0,53 dan menempati peringkat 59 dari 128 negara. 68

Padahal sebelumnya Indonesia menempati peringkat 62. Selain itu catatan minor yang

penulis cetak tebal pada buku sebelumnya juga mengalami perbaikan. Ada 3 parameter

yang menjadi perhatian penulis. Pertama adalah absence of corruption, Indonesia masih

mendapatkan peringkat yang buruk yakni 91 dari 128 negara dengan nilai hanya 0,39 69

(naik 6 peringkat dari tahun 2019).

Kedua adalah soal civil justice di mana Indonesia mendapatkan skor 0,46 dengan

peringkat 95 dunia70 (naik 7 peringkat dari tahun 2019). Sedangkan yang Ketiga, adalah

berkenaan dengan dengan persoalan criminal justice Indonesia mendapatkan peringkat

79 dari 128 negara peserta dengan skor 0,3971 (naik 7 peringkat dari tahun 2019).

Meskipun secara keseluruhan Indonesia mengalami kenaikan, akan tetapi ini masih ada

catatan merah yang harus diperbaiki oleh para penegak hukum di Indonesia, khususnya

Polisi.

Dalam pendahuluan telah penulis ungkapkan sebelumnya bahwa tagar

#PercumaLaporPolisi sempat menjadi puncak perbincangan di Media Sosial. Banyak

netizen yang mengungkapkan kekecewaannya pada saat melaporkan suatu kejadian ke

68
World Justice Project, Rule of Law Index 2020, (Washington DC: World Justice Project, 2020), hlm 16.
69
Ibid. hlm 23.
70
Ibid. hlm 28.
71
Ibid. hlm 29.

40
Polisi. Mulai dari mendapat perlakuan yang tidak sesuai prosedur, pelayanannya yang

lama serta lain hal yang memperburuk citra polisi. Dalam sub-bab sebelumbya juga telah

diungkapkan bahwa ditemukan beberapa kasus yang menyertai kekerasan dalam proses

pengungkapan perkara. Padahal penggunaan kekerasan dalam pengungkapan perkara

justru dapat merugikan penegakan hukum itu sendiri. Dalam kasus Marsinah oada

akhirnya terdakwa divonis bebas oleh Mahkamah Agung setelah menemukan adanya

penggunaan kekerasan dalam pemeriksaan oleh Polisi.72

Artinya terdapat problematika dalam manajemen perkara Polri yang perlu segera

diperbaiki. Meskipun begitu permasalahan sejatinya Polri memiliki catatan yang cukup

baik dalam hal manajemen perkara. 190.193 kasus kejahatan konvensional selama 2020

di meja petugas Polri di seluruh Indonesia. Dari sejumlah kasus tersebut Polri mampu

menyelesaikan perkaranya hingga tuntas mencapai 71% atau setara dengan 134.469

kasus.73 Jika dirincikan ke dalam berbagai jenis kasus dan kejahatan konvensional

berikut kinerja Polri tahun 2020:74

a. Kasus Pengeroyokan

Jumlah Kasus : 7.855 kasus.

Penyelesaian : 5.582 kasus.

b. Kasus Curanmor

Jumlah Kasus : 16.329 kasus.

Penyelesaian : 8.469 kasus.

72
Satjipto Rahardjo dalam Kunarto, Merenungi Kritik Terhadap Polri: Buku II, (Jakarta: Cipta Manunggal, 1995),
hlm. 73.
73
Anita Permata Dewi, “2020 Polri Selesaikan 71 Persen Total Kasus Kejahatan Konvensional”, Antaranews.
diakses melalui https://www.antaranews.com/berita/1908524/2020-polri-selesaikan-71-persen-total-kasus-
kejahatan-konvensional, pada 22 Oktober 2021.
74
Ibid.

41
c. Kasus Penggelapan

Jumlah Kasus : 13.991 kasus.

Penyelesaian : 9.647 kasus.

d. Kasus Pencurian Biasa

Jumlah Kasus : 18.439 kasus.

Penyelesaian : 10.868 kasus.

e. Kasus Penganiayaan Berat

Jumlah Kasus : 13.891kasus.

Penyelesaian : 10.904 kasus.

f. Kasus Penipuan

Jumlah Kasus : 20.039 kasus.

Penyelesaian : 12.754 kasus.

g. Kasus Pencurian Pemberatan

Jumlah Kasus : 24.279 kasus.

Penyelesaian : 17.832 kasus.

Lebih Polri juga telah mampu menyelesaikan kasus kejahatan yang beimplikasi

kontijensi sebanyak 89 % dari total 320 kasus. Kejahatan transnasional Polri

menuntaskan sebanyak 82 % dari total 43.658. Sedangkan untuk kasus TPPO polri

berhasil menyelesaikan 85 % dari total 148 kasus. Untuk kasus street crime, Polri berhasil

menuntaskan 3.900 perkara dari 5.349 kasus atau setara 79 %.75

Secara umum, permasalahan profesionalisme polri dalam menyelesaikan perkara

dapat dikatakan cukup baik. Meskipun begitu, Polri tetap memerlukan pembenahan

75
Ibid.

42
maksimal dalam rangka mengembalikan kepercayaan publik terhadap Polri. Tidak boleh

ada lagi kalimat dari masyarakat yang mengungkapkan kemalasan untuk melapor polisi.

Permudah birokrasi dan tingkatkan kualitas pelayanan publik yang mumpuni.

BAB III

KONSEP POLRI PRESISI SEBAGAI IKHTIAR POLRI MEWUJUDKAN

REFORMASI BIROKRASI

A. MENGENAL POLRI PRESISI

43
Semua lembaga negara tak terkecuali Polri diamanatkan untuk terus melakukan

agenda Reformasi Birokrasi dalam rangka mewujudkan good governance dan

meningkatkan kualitas pelayanan publik. Secara umum reformasi birokrasi merupakan

proses untuk menata ulang, mengubah, memperbaiki dan menyempurnakan birokrasi

agar menjadi lebih baik. Baik dalam artian menghadirkan pelayanan publik yang

professional, bersih, efisien, efektif dan produktif.76 Dasar hukum pelaksanaan Reformasi

Birokrasi bersumber dari Peraturan Presiden No. 81 Tahun 2010 tentang Grand Design

Reformasi Birokrasi 2010-2025 serta Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur

Negara dan Reformasi Birokrasi No. 11 tahun 2015 tentang Road Map Reformasi

Birokrasi 2015-2019. Artinya, reformasi birokrasi bukan hanya sekedar konsep melainkan

sudah menjadi hukum positif yang perlu dipatuhi oleh seluruh aparat negara termasuk

Polri.

Transisi kepimpipinan Polri dari Idham Azis kepada Listyo Sigit Prabowo juga

mengakitbatkan transisi konsep pembenahan Polri. Konsep pembenahan Polri sejatinya

sudah disusun secara bertahap dan berkesinambungan. Mulai dari Kapolri Badrodin

Haiti yang mencanangkan Program Pemantapan yang mengutamakan soliditas dan

profesionalisme Polri. Kapolri Tito Karnavian dengan Program Promoter yang berfokus

pada upaya meningkatkan kinerja, memperbaiki kultur, dan melakukan manajemen

media. Hingga yang terakhir Jenderal Idham Azis yang mengusung Penguatan Promoter

yang mendorong penguatan Polri yang Promoter menuju Indonesia Maju.77

76
Kemeterian ESDM, Buku Saku Reformasi Birokrasi, (Jakarta: Dirjen Ketenalistrikan Kementerian ESDM, 2019),
hlm. 1.
77
Hinca IP Pandjaitan, Menuju Polri Presisi.., Op, Cit., hlm 147.

44
Dan terakhir tentu Polri Presisi yang gaungkan oleh Listyo Sigit Prabowo yang

berjanji akan menghadirkan transformasi menuju Polri yang prediktif, responsibilitas dan

transparansi yang berkeadilan. Kesinambungan memang dibutuhkan dalam membangun

keberhasilan. Tidak ada pemimpin yang dapat memimpin dengan baik jika tanpa peran

dan hasil kerja dari pemimpin yang sebelumnya. melalui penekanan kepada upaya

pendekatan pemolisian yang prediktif. Gagasan tersebut terinspirasi dari sejumlah ahli

kepolisian di luar negeri yang menuliskan tentang Polisi Prediktif seperti Mohammad A.

Tayebi dan Uwe Glasser (2016), Dawn L. Rothe dan David Kauzlarich; serta Erik Bakke

(2018). Komjen Listyo menjelaskan bahwa konsep Polisi Prediktif mengedepankan

kemampuan untuk memprediksi situasi dan kondisi yang menjadi permasalahan serta

potensi gangguan Kamtibmas.78

Pemolisian prediktif ini mengambil pemahaman dasar bahwa manusia sebagai

pelaku tindak pidana menjalani hidupnya dengan berpola. Sebagai makhluk sosial setiap

manusia memiliki pola perilaku dan dengan demikian berkorelasi bahwa setiap tindak

pidana memiliki pola tertentu yang dapat berulang dan dengan demikian dapat diprediksi.

Pada strategi ini, terdapat tiga pilihan tindakan yang dapat diambil, meliputi:79

1. Generic:

Meningkatkan sumber daya, dalam hal ini keberadaan anggota kepolisian pada

daerah rawan tindak pidana;

2. Pendekatan Kejahatan Spesifik:

78
Ibid.
79
Listyo Sigit Prabowo, Transformasi Menuju Polri Yang Presisi, disampaikan dalam aganeda fit & proper test Calon
kapolri pada Rabu, 20 Januari 2021, hlm. 19.

45
Intervensi dilakukan terkait dengan tindak pidana tertentu yang terjadi dan hanya

terfokus pada jenis tindak pidananya;

3. Pendekatan Masalah:

Melakukan pendekatan pada lokasi spesifik dan menyasar

masalah-masalah yang menjadi factor pemicu terjadinya tindak pidana.

Secara keseluruhan Konsep Polri Presisi terdiri dari 4 Kebijakan Transformasi, 16

Program Prioritas 51 Giat serta 177 Aksi. 80 Adapun 4 Kebijakan Transformasi yang

dimaksud adalah sebagai berikut:

1. Trasnformasi Organisasi

Diuraikan ke dalam 4 Program yakni Penataan Kelembagaan, Program

Perubahan Sistem dan Metode Organisasi, Menjadikan SDM Polri yang unggul

serta Perubahan Teknologi Kepolisian Modern Police 4.0

2. Transformasi Operasional

Diuraikan ke dalam 6 Program yakni Pemantapan kinerja pemeliharaan

kamtibmas, Peningkatan kinerja penegakan hukum, Pemantapan dukungan

Polri dalam penanganan Covid-19, Pemulihan Ekonomi Nasional

, Menjamin keamanan program prioritas nasional, dan penguatan penanganan

konflik sosial.

3. Transformasi Pelayanan Publik

80
Hinca IP Pandjaitan, Menguji Polri Presisi…, OP, Cit, hlm 354.

46
Diuraikan ke dalam 3 (tiga) program yaitu: Peningkatan kualitas pelayanan

publik Polri, Mewujudkan pelayanan publik Polri yang terintegrasi, dan

Pemantapan komunikasi publik.

4. Transformasi Pengawasan

Dijabarkan ke dalam 3 (tiga) program, yaitu pengawasan pimpinan terhadap

setiap kegiatan, penguatan fungsi pengawasan dan pengawasan oleh

masyarakat (public complaint).

Unsur-unsur yang Menyusun Polri Presisi merupakan unsur yang saling berkaitan.

4 Kebijakan Tranformasi merupakan target yang harud dipenuhi dengan menuntaskan

16 Program prioritas. Sedangkan 16 Program prioritas sendiri hanya bisa dipenuhi

apabila secara terpadu telah dilaksanakan 51 kegiatan yang terdiri total mencapai 177

aksi. Kapolri Listyo Sigit Prabowo mengelompokan dalam 3 tahapan agar keseluruhan

agenda dalam Polri Presisi dapat berjalan maksimal. Tahap I 100 hari pertama dimana

sudah dilalui pada 8 Mei 2021 lalu. Tahap II itu pada masa 2021-2022 sedangkan Tahap

III 2023-2024. Pemantapan konsep Polri Presisi ini merupakan bagian dari Rencana

Pembangunan Jangka Panjang Polri 2005-2025 sebagai berikut:81

1. Tahap I (periode 2005-2010) membangun kepercayaan (Trust building).

2. Tahap II (periode 2011-2015) membangun kemitraan (Partnership building).

3. Tahap III (periode 2016-2020) menuju organisasi yang unggul (Strive for

excellence).

4. Tahap IV (periode 2021-2025) organisasi yang unggul (Excellent)

81
Listyo Sigit Prabowo, Op, Cit, hlm. 4.

47
Implementasi polri Presisi di Indonesia dapat dikembangkan dengan

mengedepankan pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat (harkamtibmas)

melalui pelaksanaan fungsi-fungsi terdepan kepolisian dalam sistem deteksi. Jika itu

terwujud, akan membuahkan agregat data hasil deteksi yang dapat dikelola melalui

optimalisasi pemanfaatan teknologi digital berupa Artificial Intelligence, Internet of Things

(IOT) dan Analysis Big Data termasuk sistem pendukung lainnya dalam taksonomi bloom

penguatan kelembagaan Polri. Adapun pengembangan SDM Polri difokuskan untuk

berkreasi, mengevaluasi, dan menerapkan kebijakan yang dikelola melalui sistem

pengambilan keputusan pemolisian guna menjaga stabilitas nasional dengan

menampilkan wajah polisi yang melayani dan dekat dengan masyarakat dalam

melaksanakan tugas secara cepat, tepat, responsif, humanis, transparan, bertanggung

jawab, dan berkeadilan.82

B. PERAN BESAR KAPOLRI

Konsep Polri Presisi hadir tidak bisa dilepaskan dari gagasan besar Kapolri Listyo

Sigit Prabowo sebagai jenderal tertinggi dalam institusi Polri. Gagasan segar yang

dibawanya membawa angin segar bagi reformasi dalam tubuh Polri. Sebagai pemimpin

beliau bertanggung jawab penuh terhadap implementasi konsep yang beliau bawa.

Kepemimpinan beliau dinantikan banyak pihak untuk membawa perubahan yang

signifikan. Menurut MC Shane, kepemimpinan merupakan kemampuan seseorang untuk

mempengaruhi dan memotivasi anggotanya agar mau dan mampu memberikan

kotnribusi pada pencapaian tujuan organisasi.83

82
Ibid.
83
Asep Kurniawan, Pemimpin dan Kepemimpinan Efektif, disampaikan dalam Seminar Bisnis dan Teknologi
Darmajaya pada 15-16 Desember 2014. Hlm. 1.

48
Suatu organisasi akan berjalan jaug lebih baik tatkala mendapatkan arahan serta

dukungan dari seorang pemimpin. Pemimpin memiliki peran untuk merumuskan visi, misi

juga apa yang menjadi tujuan organisasi. Pemimpin juga berperan aktif dalam

menentukan berbagai macam strategi serta mampu mengarahkan anggotanya dalam

upaya pencapaian tujuan organisasi. Perumusan konsep Polri Presisi yang begitu

mendetail menjadi pertanda bahwa Kapolri Listyo Sigit Prabowo memiliki visi yang jelas

untuk memajukan institusi Polri. Fakta bahwa, beliau menjadi Kapolri dan diajukan

Presiden Jokowi adalah wujud dari pengakuan kemampuan beliau dalam melaksanakan

tugasnya sebagai aparat kepolisian.

Kapolri bertanggung jawab penuh terhadap implementasi dari konsep Polri

Presisi. Pasal 9 Undang-Undang Polri menjabarkan tugas dari Kapolri adalah sebagai

berikut:

1. Kapolri menetapkan, menyelenggarakan, dan mengendalikan kebijakan teknis

kepolisian.

2. Kapolri memimpin Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan

tugas dan tanggung jawab atas:

a. Penyelenggaraan kegiatan operasional kepolisian dalam rangka

pelaksanaan tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia; dan

b. Penyelenggaraan pembinaan kemampuan Kepolisian Negara Republik

Indonesia.

Oleh karena itu, dalam jangka waktu 30 hari kerja Listyo Sigit Prabowo sebagai

Kapolri, beliau membentuk Posko Polri Presisi guna mengawasi implementasi

keseluruhan 177 aksi yang menjadi pilar-pilar berjalannya konsep Polri Presisi.

49
Pengawasan dilakukan terhadap seluruh jajaran baik dari tingkat Pusat, Polda, Polres

hingga Polsek. Sejumlah petinggi Polri diberikan amanat dan tanggung jawab tambahan

untuk mengawasi seluruh agenda dalam Polri Presisi. Posko Polri Presisi dipimpin oleh

Brigjen Pol Slamet Uliandi selaku Direktur Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri. Posko

Polri Presisi dilengkapi oleh satu Command Centre yang mampu terhubung dengan

seluruh jajaran Polri.84

Dalam Command Centre tersebut akan terlihat kinerja dari seluruh jajaran Polri.

Mulai dari dari tingkat Polsek hingga pusat akan mendapatkan evaluasi berkala yang

diawasi langsung oleh Brigjen Slamet Uliandi dan dilaporkan langsung kepada Kapolri.85

Kehadiran Posko Polri Presisi ini menjadi bukti kuat dari keseriusan Kapolri Listyo Sigit

Prabowo dalam mereformasi tubuh Polri.

Selain membentuk Posko Polri Presisi, Kapolri Listyo Sigit Prabiwi juga

mengeluarkan produk hukum internal dalam rangka mendukung upaya untuk pencapaian

Polri Presisi. Berikut beberapa Peraturan dan juga surat edaran yang dikeluarkan oleh

Listyo Sigit Prabowo:

1. Surat Edaran Kapolri Nomor SE/2/II/2021

Dalam surat edaran ini mengkehendaki agar Polri memprioritaskan

pendekatan restorative justice dalam perkara UU ITE

2. Surat Telegram No, ST/216/X/HUK/2/8/2021

Dalam ST ini Kapolri mengkejhendaki agar anggota polisi yang melakukan

kekerasan untuk dihukum dan diawasi proses hukumnya secara terbuka oleh

masyarakat.

84
Hinca IP Pandjaitan, Menguji Polri Presisi..Op., Cit. hlm 351-352.
85
Ibid. hlm. 357.

50
BAB IV

REFORMASI INSTITUSI KEPOLISIAN DI AMERIKA SERIKAT

A. MENGENAL KEPOLISIAN AMERIKA SERIKAT

Sebagai Negara demokratis Amerika Serikat memiliki sistem kepolisian yang

berbeda dengan Indonesia. Indonesia cenderung sentralistik dan terpadu sedangkan

Amerika Serikat menganut fragmented system of policing atau sistem polisi yang datang

dengan terpisah dan berdiri sendiri. Hal ini disebabkan karena sistem desentralisasi dari

wewenang kepolisian yang memiliki yurisdiksi otonomi. Pegnawasan yang dilakukan

pada sistem ini diawasi oleh pemerintahan Negara bagian, karena departemen kepolisian

negara bagian bertangung jawab kepada pemerintah negara bagian.86

Sistem ini lahir untuk mencegah terjadinya terpusatnya wewenang kepolisan oleh

pemerintah pusat. Karena ada kekhawatiran itu lah sistem ini lahir dan dibentuk atas

dasar ciri – ciri dari kesesuaian dari negara bagian masing – masing. Sistem Kepolisian

Amerika Serikat, disusun dalam tiga tingkat, yaitu Federal atau pemerintah pusat,

Negara Bagian, dan juga lokal. Konstitusi Amerika Serikat tidak mengatur bentuk

Kepolisian Terpusat, sehingga yang menyelenggarakan fungsi Kepolisian secara utuh

adalah pemerintah lokal dalam hal ini negara bagian. Akan tetapi dalam menghadapi

segala urusan khusus seperti kejahatan khusus, sabotase, mata-mata dll dibebankan

kepada lembaga Kepolisian Federal seperti FBI, DEA, US.Marshal, dan US.Atorney

General, US.Secret Service, dimana lembaga-lembaga Kepolisian ini berada dibawah

beberapa Departement.87

86
Brewer D. Jhon., The Police Public Order And The State, (London: Macmillan press LTD, 1996), hlm. 110.
87
Noor M Aziz, Laporan Akhir Tim Pengkajian Hukum tentang Format Kepolisian ri Di Masa Depan, (Jakarta: BPHN,
2011), hlm 23.

51
Adapun ciri-ciri dari sistem kepolisian di Amerika Serikat adalah sebagai berikut:88

1. Kewenangan terbatas

Tugas dan wewenang yang dimiliki oleh lembaga kepolisian tersebut hanya

sebatas wilayah negara bagian dimana lembaga kepolisian itu berada.

2. Pengawasan Lokal

Pada Polisi Federal pengawasan dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri,

sementara untuk negara bagian pengawasan kepolisian dilaksanakan oleg

Gubernur, sedangkan tingkat kota diawasi oleh Dewan Kota.

3. Penegakan Hukum Terpisah

Suatu Lembaga Kepolisian tidak dapat menindak kejahatan yang terjadi diluar

negara bagian lain. Karena bisa jadi antar negara bagian memiliki hukum yang

berbeda dan kewenangan kepolisian yang terbatas.

B. NEW PROFESIONALISM SEBAGAI AJANG PERBAIKAN POLISI DI

AMERIKA SERIKAT

Di Amerika Serikat, bahkan sudah setingkat lebih maju mengenai persoalan ini.

Kepolisian di sana bahkan mengusung tema “New Profesionalism”. Tidak hanya di

Kepolisian Federal, konsep ini mereka perjuangkan kepada seluruh Organisasi

Kepolisian di negara bagian. Dalam New Profesionalism ini tersusun empat prinsip yang

tidak boleh hilang dalam pelaksanaan kepolisian yakni accountability, legitimacy,

innovation, and coherence. Keempat prinsip tersebut menjadi pembeda utama kegiatan

88
Ibid

52
kepolisian di Amerika Serikat 20 tahun ke belakang dibandingkan dengan kondisi 50 atau

100 tahun yang lalu.89

Konsep New Profesionalism tersebut digunakan sebagai kerangka kerja

konseptual yang dapat membantu semua Polisi. Baik itu Pimpinan, polisi di garis depan,

hingga kepada Polisi pelaksana, hingga masyarakat itu sendiri agar dapat memahami

serta mengarahkan pekerjaan dari Kepolisian ke depannya. 90 Dalam lingkup law

enforcement, konsep ini sangat menghormati keterlibatan masyarakat dan juga

komunitas. Aspirasi dari masyarakat mengenai kebutuhan mereka akan kepolisian begitu

dihargai. Menurut Christopher Stone91 Kepolisian yang profesional dapat menjadi simbol

bahwa demokrasi tumbuh berkembang sehingga lembaga kepolisian dapat mencapai

dukungan publik dan selalu belajar menemukan inovasi dan melampaui parochialism.92

New Profesionalism ini disusun bukan dengan pendekatan taktik maupun strategi,

melainkan dengan pendekatan konsep dan karakter kepolisian. Ide besar ini dilahirkan

untuk mengatur pola pikir di balik pemilihan dan implementasi kebijakan tersebut. Pola

pikir yang dibentuk adalah polisi sebagai birokrasi yang rasional, efisien, terorganisir

secara ilmiah, canggih secara teknologi saat beroperasi hingga terlapas dari konflik

sosial. Penegakan hukum harus bersifat obyektif dan agresif. Agresif dalam artian harus

cepat dan tanggap bukan mengarah kepada represif. Harus dibangun pola pemikiran

bahwa Kepolisian itu adalah suatu sistem bukan perilaku setiap individu di dalamnya.93

89
Christopher Stone and Jeremy Travis, “Toward a New Profesionalism in Policing”, New Perspectives in Policing:
Harvard Kennedy School & National Institute of Justice, March 2011, hlm 1.
90
Ibid, hlm 2.
91
Ibid, hlm 20-21.
92
Parochialism adalah pandangan yang sangat sempit, hanya mengutamakan kedekatan semata dan tidak
memperdulikan pandangan dari masyarakat.
93
David Alan Sklansky, “The Persistent Pull of Police Profesionalism” New Perspectives in Policing: Harvard Kennedy
School & National Institute of Justice, March 2011, hlm 2.

53
Meskipun secara pelaksanaan di Amerika Serikat masih belum maksimal. Terbukti

dengan gegernya kasus kematian George Floyd yan tewas akibat terlalu represifnya

penangkapan polisi tahun lalu. Kematian tersebut bahkan memicu gelombang protes

yang menggema di seluruh dunia bertajukan Black Lives Matter.94 Pekerjaan rumah yang

besar memang bagi kepolisian di seluruh dunia, konsep dan sistem yang dibangun

modern sedemikian rupa tidak akan berguna tatkala ada beberapa individu yang tidak

mengindahkan peraturan yang sudah dibuat. Begitu pula dengan Polri dengan Presisi

yang dibawa sebagai gagasan dari Listyo Sigit Prabowo untuk membawa Polri lebih

profesional lagi.

94
Evan Hill, “How George Floyd Was Killed in Police Custody”, New York Time, diakses melalui
https://www.nytimes.com/2020/05/31/us/george-floyd-investigation.html, pada 22 Oktober 2021.

54
BAB V

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Masih ditemukan sejumlah permasalahan yang menerpa etika serta

profesionalisme Polri sebagai lembaga penegak hukum. Mulai dari masih ditemukannya

kasus-kasus pelanggaran HAM baik saat penanganan demonstrasi, maupun dalam

rangka proses penegakan hukum seperti saat sedang melakukan penyidikan. Oknum

Polri yang terlibat narkoba juga masih banyak ditemukan bahkan sempat memiliki

kecenderungan yang meningkat pada tahun 2018 hingga 2019. Sementara itu Polri

masih disorot publik terkait profesionalitas penanganan perkara, walaupun catatan yang

diberikan Polri cukup baik sejatinya.

Peran Kapolri Listyo Sigit Prabowo dalam memperbaiki etika penyelnggara negara

dalam tubuh Polri sangatlah besar. Sebagai pemimpin institusi Polri, Listyo bertanggung

jawab dalam mengimplementasikan Konsep Polri Presisi. Konsep Polri Presisi sendiri

terdiri dari 4 kebijakan transformasi, 16 Program Prioritas 51 kegiatan serta 177 aksi yang

saling berkesinambungan.

Amerika Serikat memang memiliki sistem kepolisian yang berbeda dengan

Indonesia. Akan tetapi nilai-nilai new prefesionalim patut ditiru sebagai pemantik dalam

menyukseskan program Polri Presisi. Kita tentu mendambakan apabila Polri melakukan

penegakan hukum yang bersifat obyektif dan agresif. Agresif dalam artian harus cepat

dan tanggap bukan mengarah kepada represif.

55
B. SARAN

Kapolri perlu melakukan Tindakan tegas terhadap anggotanya tidak mematuhi

atau melenceng dari Polri Presisi. Harus dilaksanakan evaluasi berkala dan diumumkan

kepada publik sebagai wujud akuntabilitas Polri. Setiap pelanggaran harus dapat tindak

tegas, apalagi jika ada unsur pidana. Juga sebaliknya, Kapolri perlu memberikan reward

bagi jajaran yang berprestasi dan sukses dalam menerapkan Program Polri Presisi baik

itu dengan Naik jabatan maupun diberikan beasiswa untuk meraih prestasi akademik.

56
DAFTAR PUSTAKA

BUKU

Agung, Kurniawan., Transformasi Pelayanan Publik, (Yogyakarta: Pembaharuan, 2005).

Alfisyahrin, Muhammad., Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik di Indonesia, (Jakarta:

Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2017).

Anggara, Sahya., Ilmu Administrasi Negara: Kajian Konsep, Teori dan Fakta dalam

Upaya Menciptakan Good Governance, (Bandung: Pustaka Setia, 2012).

Arief, Barda Nawawi., Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, (Bandung: PT Citra

Aditya Bakti, 2005).

Aziz, Noor M. Laporan Akhir Tim Pengkajian Hukum tentang Format Kepolisian ri Di Masa

Depan, (Jakarta: BPHN, 2011),

Bartens, K., Etika, (Jakarta: Gramedia Pustaka, 2000).

Basuki, Ahmad. Jalan Harus Terang: Sisi Religius SBY dalam Gaduhnya Politik, (Jakarta:

Kompas, 2015).

Bruggink. Refleksi Tentang Hukum, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1999).

Darmodiharjo, Darji & Sidharta, Penjabaran Nilai-Nilai Pancasila Dalam Sistem Hukum

Hadjon, Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada)

Philipus M., Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia: Sebuah Studi Tentang Prinsip-

Prinsipnya, Penanganannya Oleh Pengadilan Dalam Lingkungan Peradilan Umum

dan Pembentukan Peradilan Administasi Negara, (Surabaya: Bina Ilmu, 1987).

Haning, Muhammad Thahir., Reformasi Birokrasi: Desain Organisasi yang Mendukung

Pelayanan Publik di Indonesia, (Yogyakarta: Ilmu Giri, 2015).

57
Ismail, Etika Pemerintahan: Norma, Konsep, dan Praktek Etika Pemerintahan,

(Yogyakarta: Lintang Rasi Aksara Books, 2017).

Jhon., Brewer D. The Police Public Order And The State, (London: Macmillan press LTD,

1996)

Kemeterian ESDM, Buku Saku Reformasi Birokrasi, (Jakarta: Dirjen Ketenalistrikan

Kementerian ESDM, 2019),

Kunarto, Merenungi Kritik Terhadap Polri: Buku I, (Jakarta: Cipta Manunggal, 1995).

Kunarto, Merenungi Kritik Terhadap Polri: Buku II, (Jakarta: Cipta Manunggal, 1995).

Labolo, Muhadam., Modul Etika Pemerintahan, (Jatinangor: IPDN, 2004).

Lubis, Mochtar., Citra Polisi, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1988)

Mulyadi, Mahmud., Kepolisian dalam Sistem Peradilan Pidana, (Medan: USU Press,

2009).

Packer, Herbert L., The Limits of the Criminal Sanction, (California: Stanford-University

Press, 1968).

Pandjaitan, HInca IP., 14 Bulan, Idham Azis Bisa Apa?, (Jakarta: RM Books, 2020).

Pandjaitan, Hinca IP., Menguji Polri Presisi: Bukan Konsep Ilusi, Tapi Sebuah Revolusi,

(Jakarta: RM Books, 2021).

Pandjaitan, Hinca IP., BNN: Bubar Atau Sangar, (Jakarta: RM Books, 2020).

Rahardjo, Satjipto., Penegakan Hukum Suatu Tinjauan Sosiologis, (Yogyakarta: Genta

Publishing, 2009).

Rahardjo, Satipto dan Tabah, Anton., Polisi Pelaku dan Pemikir, (Jakarta: Gramedia,

1993).

Rahardjo, Satjipto., Ilmu Hukum, (Citra Aditya Bakti: Bandung, 2012).

58
Sastrapratedja, M., Etika dan Hukum, (Yogyakarta: Kanisius, 2002).

Soekanto, Soerjono., Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: Universitas Indonesia,

1984).

Soekanto, Soerjono dan Mamudji, Sri., Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan

Singkat, (Jakarta: UI Press, 2003).

Soemitro, Ronny Hanitijo., Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, (Jakarta: Ghalia

Indonesia, 1990).

Sumaryadi, I Nyoman., Sosiologi Pemerintahan, (Bogor: Ghalia, 2010).

Sumaryono, E., Etika Profesi Hukum, Norma-Norma bagi Penegak Hukum, (Bandung:

Alumni, 1976)

Suseno, Franz Magnis., Etika Politik, (Jakarta: Gramedia Pustaka, 2016).

Utomo, Warsiti Adi., Hukum Kepolisian di Indonesia, (Jakarta: Prestasi Pustaka, 2005).

Wibawa, Samodra., Evaluasi Kebijakan Publik, (Jakarta: PT Grafindo Persada, 1994).

Wicaksono, Kristian Widya., Administrasi dan Birokrasi Pemerintah, (Yogyakarta: Graha

Ilmu, 2006).

World Justice Project, Rule of Law Index 2020, (Washington DC: World Justice Project,

2020).

Yulihasti, Erma., Bekerja Sebagai Polisi, (Jakarta: Erlangga, 2008).

JURNAL

Hartati dan Putra, Firmansyah., “Etika Politik dalam Politik Hukum di Indonesia (Pancasila

Sebagai Suatu Sistem Etika), Jurnal Majelis MPR RI EDISI 6, Juni 2019, hlm 52.

59
Muhtar, “Efek Implementasi Kebijakan Reformasi Birokrasi Terhadap Kepuasan

Penerima Layanan pada PSPA Satria, PSMP Antasena dan BBRSBD Prof Dr

Soeharso, Jurnal PKS Vol 13 No. 4, Desember 2014, hlm 377.

Sklansky, David Alan “The Persistent Pull of Police Profesionalism” New Perspectives in

Policing: Harvard Kennedy School & National Institute of Justice, March 2011, hlm

2.

Stone, Christopher. and Travis, Jeremy., “Toward a New Profesionalism in Policing”, New

Perspectives in Policing: Harvard Kennedy School & National Institute of Justice,

March 2011, hlm 1.

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Lampiran Ketetapan MPR Nomor VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa

Undang-Undang No. 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia.

INTERNET

Andita Rahma, “AJI; 28 Jurnalis Alami Kekerasan Oleh Polisi Saat Omnibus Law”,

Tempo, diakses melalui https://nasional.tempo.co/read/1394697/aji-28-jurnalis-

alami-kekerasan-oleh-polisi-saat-liput-demo-omnibus-law, pada 22 Oktober

2021.

60
Anita Permata Dewi, “2020 Polri Selesaikan 71 Persen Total Kasus Kejahatan

Konvensional”, Antaranews. diakses melalui

https://www.antaranews.com/berita/1908524/2020-polri-selesaikan-71-persen-

total-kasus-kejahatan-konvensional, pada 22 Oktober 2021.

Bonnie Triyana, “Polisi Zaman Kumpeni”, Historia.id, diakses melalui

https://historia.id/politik/articles/polisi-zaman-kumpeni-v2jZv/page/1 pada 22

Oktober 2021.

Bisnis, Tahun 2019, “Ada 515 Oknum Polri yang Terlibat Kasus Narkoba”, Bisnis.com,

diakses melalui https://kabar24.bisnis.com/read/20191230/16/1185534/tahun-

2019-ada-515-oknum-polri-yang-terlibat-kasus-narkoba pada 22 Oktober 2021.

David Olive Purba, ”11 Anggota Polisi Tanjungbalai Kompak Jual Sabu Hasil

Tangkapan”, Kompas.com, diakses melalui

https://regional.kompas.com/read/2021/10/21/192534378/11-anggota-polisi-

tanjungbalai-kompak-jual-narkoba-hasil-tangkapan-berawal?page=all, pada 22

Oktober 2021.

Detik, “Kapolri: Jumlah Polisi yang Terjerat Narkoba Tahun ini Meningkat”. Detik.com,

diakses melalui https://news.detik.com/berita/d-4361056/kapolri-jumlah-polisi-

yang-terjerat-narkoba-tahun-ini-meningkat, pada pada 22 Oktober 2021.

Evan Hill, “How George Floyd Was Killed in Police Custody”, New York Time, diakses

melalui https://www.nytimes.com/2020/05/31/us/george-floyd-investigation.html,

pada 22 Oktober 2021.

61
Irfan Kamil, “Amnesty: 43 Insiden Kekerasan oleh Polisi dalam Aksi UU Cipta Kerja”,

Kompas diakses melalui

https://nasional.kompas.com/read/2020/12/02/16021301/amnesty-ada-43-

insiden-kekerasan-oleh-polisi-dalam-aksi-penolakan-uu-

cipta?page=all#:~:text=JAKARTA,%20KOMPAS.com%20%E2%80%93%20Amn

esty,Oktober%20hingga%2010%20November%202020. pada 22 Oktober 2021.

Fathiyah Wardah, “Komnas HAM: Polisi Langgar HAM dalam Peristiwa Tewasnta 4

Laskar FPI”, Voa Indonesia, diakses melalui

https://www.voaindonesia.com/a/komnas-ham-polisi-langgar-ham-dalam-

peristiwa-tewasnya-4-anggota-laskar-fpi/5730914.html, pada 22 Oktober 2021.

Fey/Pris, “Komnas HAM: Polisi Paling Banyak Diadukan Langgar HAM”, CNN Indonesia,

diakses melalui https://www.cnnindonesia.com/nasional/20210407145521-12-

627049/komnas-ham-polisi-paling-banyak-diadukan-langgar-ham, pada 2

Oktober 2021.

HUMAS POLRI, “Prestasi Polri di Bidang Narkoba Selama Tahun 2020”, Polri.go.id

diakses melalui https://humas.polri.go.id/2020/12/22/prestasi-polri-di-bidang-

narkoba-selama-tahun-2020-sita-553-ton-sabu-50-ton-ganja/, pada 22 Oktober

2021.

Muhammad Akbar Wijaya, Kasus-Kasus Polisi Terjerat Narkoba dan Kriti katas Hukuman

Mereka, Tirto.id , diakses melalui https://tirto.id/kasus-kasus-polisi-terjerat-

narkoba-dan-kritik-atas-hukuman-mereka-cQcC pada 22 Oktober 2021.

Kanda, “Syukuri Capaian Hasil Kinerja, Kapolri: Kepercayaan Masyarakat Semakin

Meningkat”, Kompolnas, diakses melalui

62
https://kompolnas.go.id/index.php/blog/syukuti-capaian-hasil-kinerja-kapolri-

kepercayaan-masyarakat-semakin-meningkat, pada 2 Oktober 2021.

Vitorio Mantalean, “Kontras Terima 1.500 Aduan Kekerasan Aparat Selama Demo Cipta

Kerja”, Kompas, diakses melalui

https://megapolitan.kompas.com/read/2020/10/09/14024141/kontras-terima-

1500-aduan-kekerasan-aparat-selama-demo-tolak-uu-cipta?page=all pada 22

Oktober 2021.

LAIN-LAIN

Asep Kurniawan, Pemimpin dan Kepemimpinan Efektif, disampaikan dalam Seminar

Bisnis dan Teknologi Darmajaya pada 15-16 Desember 2014. Hlm. 1.

Kontras, Laporan Situasi dan Kondisi Praktik Penyiksaan di Indonesia Periode Juni 2019-

Mei 2020, hlm 10.

Kontras, Tak Kenal Prioritas, Semua Diterabas: Laporan tahunan Hari Bhayangkara ke-

74, hlm 6.

Listyo Sigit Prabowo, Transformasi Menuju Polri Yang Presisi, disampaikan dalam

aganeda fit & proper test Calon kapolri pada Rabu, 20 Januari 2021, hlm. 19.

63

Anda mungkin juga menyukai