Anda di halaman 1dari 35

LAPORAN TENGAH SEMESTER

PENELITIAN

“ANALISIS PELANGGARAN KODE ETIK PROFESI POLISI TERHADAP


ANGGOTA YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA NARKOTIKA”

TIM PENGUSUL :

MUHAMMAD HAFIS NIM. 213030601342

WIDIA WATI NIM. 213030601329

LUSYA APRILITA NIM. 213030601278

PEBRIANTO NIM. 213030601273

MICHAEL EDY. C NIM. 213030601306

KEMENTERIAN RISET TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI

UNIVERSITAS PALANGKA RAYA

FAKULTAS HUKUM
2023
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ................................................................................................................................... 2

BAB I PENDAHULUAN ................................................................................................................ 4

1.1 Latar Belakang ................................................................................................................... 4

1.2 Rumusan Masalah .............................................................................................................. 6

1.3 Tujuan Penelitian................................................................................................................ 6

1.4 Manfaat Penelitian .............................................................................................................. 6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA...................................................................................................... 8

2.1 Tinjauan Umum Kepolisian ................................................................................................ 8

2.1.1 Pengertian Kepolisian ............................................................................................. 8

2.1.2 Tugas dan Wewenang POLRI ................................................................................ 9

2.2 Tinjauan Umum Kode Etik ................................................................................................. 14

2.2.1 Pengertian Kode Etik POLRI .................................................................................. 14

2.2.2 Dasar Hukum Kode Etik Profesi POLRI ................................................................. 16

2.2.3 Fungsi dan Tujuan Kode Etik ................................................................................. 17

2.3 Tinjauan Umum Tindak Pidana Narkotika .......................................................................... 19

2.3.1 Pengertian Tindak Pidana Narkotika ....................................................................... 19

BAB III METODE PENELITIAN ................................................................................................. 22

3.1 Tipe Penelitian Normatif .................................................................................................... 22

3.2 Aspek Penelitian ................................................................................................................. 22

3.3 Pendekatan Masalah ........................................................................................................... 23

3.4 Jenis Bahan Hukum ............................................................................................................ 23

2
3.5 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum .................................................................................. 23

3.6 Analisis Bahan Hukum ....................................................................................................... 24

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ................................................................. 25

4.1 Ketentuan Kode Etik POLRI Sebagai Landasan Dalam Menjalankan Profesi Polisi ..................... 25

4.2 Penegakan Pelanggaran Kode Etik Dalam Kasus Tindak Pidana Narkotika Yang Dilakukan Oleh Anggota
Polri .................................................................................................................................................. 28

BAB V PENUTUP ........................................................................................................................... 32

5.1 Kesimpulan ................................................................................................................................. 32

5.2 Saran ........................................................................................................................................... 33

DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................................................... 34

3
BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Permasalahan kejahatan tindak pidana Narkotika telah menjadi permasalahan bangsa
dan bangsa-bangsa didunia yang selalu dibicarakan. Perkembangan penggunaan
Narkotika dewasa ini yang semakin meningkat dan tidak untuk tujuan kepentingan
pengobatan ilmu pengetahuan tetapi berbalik fungsi bertujuan memperoleh
keuntungan yang sangat besar.
Setiap negara hukum memiliki aparat penegak hukum termasuk kepolisian yang secara
universal mempunyai tugas dan fungsi menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat sesuai
dengan ketentuan – ketentuan Hukum yang berlaku untuk mewujudkan kepastian Hukum dan
keadilan,fungsi dan tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Kepolisian Negara Republik Indonesia (POLRI) merupakan institusi dalam susunan
ketatanegaraan yang mengemban tugas pokok sebagai pemeliharaankeamanan dan ketertiban
masyarakat, pelindung, pengayom dan pelayan masyarakatserta sebagai aparat penegak
hukum yang dalam pelaksanaan tugasnya senantiasa dekat dan bersama-sama dengan
masyarakat memelihara keamanan dan ketertibanmasyarakat dalam rangka mewujudkan
stabilitas keamanan dalam negeri, demi terwujudnya dan terpenuhinya tuntutan dan harapan
masyarakat pada era reformasi.
Institusi kepolisian di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002
tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Sebagai alat negara, polisi menjadi pengawal
dan penegak peraturan dan hukum, dimana posisinya yang berhadapan langsung dengan
masyarakat membuat polisi membawa tanggungjawab moral dan kebenaran pada aspek
penegakan hukum, dalam artian polisi berada pada pihak yang netral, tidak pilih kasih, dan
profesional dalam menegakkan hukum. Kepolisian, sebagai lembaga yang didirikan untuk
melaksanakan tugas tersebut, membawa beban tanggung jawab yang besar dari masyarakat.
Kode etik profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia secara mendasar merupakan
panduan bagi semua pelaku fungsi kepolisian dalam menjalankan tugas sesuai dengan
peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu, kode etik profesi memainkan peran penting
dalam mewujudkan profesionalisme polisi.
Kode etik bagi profesi kepolisian tidak hanya didasarkan pada kebutuhan profesional,
tetapi juga telah diatur secara normatif dalam Pasal 34 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002
tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia memperluas fungsi dan tugas Kepolisian yang

4
meliputi pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum perlindungan
dan pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat dengan menjunjung tinggi Hak Asasi
Manusia. Peran penegak hukum dalam negara sangat menentukan baik buruknya proses
hukum di negara ini, jadi itu menjadi sesuatu yang harus ditanggapi serius oleh aparat penegak
hukum Kepolisian.

Dalam kode etik kepolisian, salah satunya disebutkan bahwa setiap anggota Polri
harus” menjauhkan diri dari perbuatan dan sikap tercela, serta mempelopori setiap tindakan
mengatasi kesulitan masyarakat sekelilingnya”. Disamping itu, setiap insan Polri juga
diharapkan ”mampu mengendalikan diri dari perbuatan-perbuatan penyalahgunaan
wewenang”.

Pada kenyataan di lapangan masih banyak ditemukan pelanggaran yang dilakukan oleh
anggota Polri, hal tersebut telah membawa dampak terhadap terciptanya opini publik yang
negatif dan timbulnya citra buruk serta sikap antipati masyarakat, sehingga pelaksanaan tugas
di lapangan tidak dapat dilaksanakan secara optimal karena kurang didukung dan adanya rasa
ketidakpercayaan masyarakat terhadap Polri.
Pelanggaran kode etik Polri adalah setiap perbuatan yang dilakukan oleh anggota Polri
yang bertentangan dengan kode etik profesi Polri. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi
terjadinya pelanggaran kode etik oleh anggota Polri, mulai dari turunnya integritas moral,
hilangnya independensi, adanya tuntutan ekonomi, minimnya penghasilan, lemahnya
pengawasan, sampai dengan ketidakpatuhan terhadap kode etik profesi hukum yang
mengikatnya.
Bahwa pada dasarnya anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia itu tunduk pada
kekuasaan peradilan umum seperti halnya warga sipil pada umumnya. Hal tersebut diatur
dalam Pasal 29 ayat (1) Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara
Republik Indonesia. Anggota Polri juga tunduk pada Peraturan Disiplin dan Kode Etik Profesi
yang diatur dalam Peraturan Kepolisian Nomor 7 Tahun 2022 tentang Kode Etik Profesi dan
Komisi Kode Etik Kepolisian Negara Republik Indonesia. Dengan adanya hal itu maka
terdapat penjatuhan hukuman ganda bagi anggota Polri yang melakukan tindak pidana, yakni
menerima sanksi pidana dan juga sanksi hukuman disiplin.
Salah satu kasus pelanggaran kode etik oleh anggota kepolisian yaitu telah melakukan
tindak pidana, maka dari itu anggota polisi tersebut harus mengikuti sidang kode etik. Namun,
anggota polisi ini baru melaksanakan sidang kode etiknya pada 8 September 2022 yang mana
terpaut jauh dari sidang peradilan umum yang telah dilaksanakan pada tahun 2019. Sidang

5
kode etik dilaksanakan paling lambat 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak diterbitkan
keputusan pembentukan KKEP. Dengan adanya hal ini, terdapat ketidaksesuaian dalam proses
sidang kode etik anggota kepolisian ini.

Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka penulis tertarik untuk membuat laporan
penelitian dengan judul “ANALISIS PENEGAKAN PELANGGARAN KODE ETIK
POLRI TERHADAP ANGGOTA YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA
NARKOTIKA”.

1.2. Rumusan Masalah


Permasalahan/Pertanyaan penelitian ini dirumuskan sebagai berikut :

1. Bagaimanakah ketentuan kode etik polri sebagai landasan dalam menjalankan profesi polisi?

2. Bagaimanakah penegakan pelanggaran kode etik dalam kasus tindak pidana narkotika yang
dilakukan oleh anggota polri?

Rumusan masalah tersebut sekaligus merupakan batasan dalam lingkup penelitian yang
akan dilakukan.

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, tujuan penelitian menurut penulis adalah :

3. Untuk mengetahui ketentuan kode etik polri sebagai landasan dalam menjalankan tugas profesi
polisi.

4. Untuk mengkaji dan mengetahui penegakan pelanggaran kode etik dalam kasus tindak pidana
narkotika yang dilakukan oleh anggota polri.

1.4. Manfaat Penelitian

Selanjutnya penelitian ini juga diharapkan mendatangkan manfaat yang berupa :


1. Manfaat secara Teoritis

Penelitian ini dapat bermanfaat memberikan masukan dan kontribusi pemikiran


sekaligus menambah ilmu pengetahuan dan literatur dalam dunia akademis, khususnya tentang
hal yang berhubungan dengan kode etik terkhususnya pada POLRI. Selain itu dapat dijadikan
bahan kajian lebih lanjut untuk melahirkan konsep ilmiah yang dapat memberikan masukan

6
bagi perkembangan hukum di Indonesia.

2. Manfaat secara Praktis

Secara praktis, penelitian ini dapat memberi pengetahuan tentang kasus pelanggaran
kode etik profesi terutama pada polisi yang terjadi dewasa ini dan bagaimana penegakan dan
pertanggung jawaban hukum POLRI atas terjadinya pelanggaran tersebut. Selain itu juga
sebagai pedoman dan masukan baik bagi aparat penegak hukum maupun masyarakat umum
dalam menjalankan profesionalitas dari sebuah profesi sebagai pelayanan public.

7
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Tinjauan Umum Kepolisian
2.1.1. Pengertian Kepolisian
Polisi berasal dari kata Yunani yaitu Politea. Kata ini pada mulanya dipergunakan
untuk menyebut “orang yang menjadi warga Negara dari kota Athena, kemudian pengertian itu
berkembang menjadi kota dan dipakai untuk menyebut semua usaha kota. Polisi mengandung
arti sebagai organ dan fungsi, yakni sebagai organ pemerintah dengan tugas mengawasi, jika
perlu menggunakan paksaan agar yang diperintah menjalankan badan tidak melakukan
larangan-larangan perintah.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Polisi ialah; 1.Badan pemerintah yang
bertugas memelihara keamanan dan ketertiban umum (menangkap orang yang melanggar
undang-undang dan sebagainya); 2. Anggota badan pemerintah (pegawai negara yang bertugas
menjaga keamanan dan sebagainya)1 ;
Pada awalnya, Polri berada di lingkungan kementerian dalam negeri karena masih
dalam suasana transisi, pada masa penjajahan Belanda, administrasi Kepolisian dilaksanakan
oleh Departement Van Binnen lasch Bestuur (Departemen Dalam Negeri). Sedangkan dalam
masa penjajahan Jepang, pengaturan pola-pola Kepolisian sesuai dengan peraturan
Pemerintahan Jepang, Oleh sebab itu sejak tanggal 8 Agustus 1942 di Jawa, dibentuk Keimubu
(Departemen Kepolisian) yang berdiri sendiri, tidak berada dibawah Departemen Dalam Negeri
atau Departemen Kehakiman.
Perubahan mulai terjadi, yaitu militerisasi Kepolisian. Dengan adanya Instruksi Dewan
Pertahanan Negara (DPN) dengan TAP No. 112/DPN/1947, 1 Agustus 1947, bahwa kewajiban
Kepoisian Negara secara umum tetap berlaku menurut peraturan yang ada, kecuali ditentukan
lain dalam Penetapan Dewan Pertahanan Negara No. 39 Tahun 1946, 19 September 1945, dan
dalam penetapan tersebut memuat hal-hal yang mengatur fungsi Kepolisian sebagai militer.
Dalam Penetapan Dewan Pertahanan Negara (DPN), diatur beberapa ketentuan tentang
Kepolisian yang menyatakan tentang militerisasi Kepolisian yaitu : Kepolisian Negara
menjalankan perintah-perintah dan putusan-putusan DPN yang diberikan dengan Surat
Penetapan atau Surat Perintah. Dalam keadaan mendesak, perintah diberikan dengan lisan yang
kemudian disusul dengan surat. Kepolisian Negara mempunyai kedudukan yang sama dengan

1
Badan Pusat Pengembangan dan Pembinaan Bahasa. (n.d.). Polisi. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia. Balai Pustaka.
https://kbbi.web.id/polisi

8
tentara, dengan Peraturan Tata Tertib Militer (bukan pidana militer) dan pengadilan tentara
berlaku bagi segenap anggota Kepolisian Negara.
Berdasarkan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian
Republik Indonesia, yang dimaksud kepolisian adalah segala hal ihwal yang berkaitan dengan
fungsi dan lembaga polisi sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Di Indonesia istilah “polisi” dikemukakan oleh salah satu pakar ilmu hukum yang
bernama Dr.Sadjijono Menurut Sadjijono istilah “polisi” adalah sebagai organ atau lembaga
pemerintah yang ada dalam negara, sedangkan istilah “Kepolisian” adalah sebagai organ dan
sebagai fungsi. Sebagai organ, yakni suatu lembaga pemerintahan yang teroganisasi dan
terstruktur dalam organisasi negara. Sedangkan sebagai fungsi, yakni tugas dan wewenang
serta tanggungjawab lembaga atas kuasa undang-undang untuk menyelenggarakan fungsinya,
antara lain memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan,
pengayom dan pelayan masyarakat 2.
Dari uraian-uraian tentang istilah “polisi” dan “kepolisian” di atas maka dapat dimaknai
sebagai berikut: istilah polisi adalah sebagai organ atau lembaga pemerintah yang ada dalam
negara. Sedangkan istilah Kepolisian sebagai organ dan fungsi. Sebagai organ, yakni suatu
lembaga pemerintah yang terorganisasi dan terstruktur dalam ketatanegaraan yang oleh
undang-undang diberi tugas dan wewenang dan tanggung jawab untuk menyelenggarakan
kepolisian.

2.1.2. Tugas dan Kewenangan POLRI


Polisi merupakan salah satu penegak hukum yang sering kali mendapat sorotan karena
polisi merupakan garda terdepan dalam penegakan hukum pidana, sehingga tidaklah
berlebihan jika polisi dikatakan sebagai hukum pidana yang hidup, yang menterjemahkan dan
menafsirkan law in thebook menjadi law in action. Meskipun polisi dikatakan sebagai garda
terdepan, akan tetapi dapat terjadi pada tahap awal penyelesaian suatu perkara pidana dapat
berakhir, karena polisi mempunyai kewenangan yang disebut diskresi. Polisi dalam
menjalankan tugasnya sebagai penegak hukum, bukan hanya harus tunduk pada hukum yang
berlaku sebagai aspek luar, mereka dibekali pula dengan etika kepolisian sebagai aspek
dalam kepolisian3.
Tugas kepolisian merupakan bagian dari pada tugas Negara dan untuk mencapai
keseluruhannya tugas itu, maka diadakanlah pembagian tugas agar mudah dalam pelaksanaan
2
Sadjijono and Kurnadi (2010) Memahami Hukum kepolisian. Yogyakarta: LaksBang PRESSindo.
3
Rahardjo, S. (2002) Polisi Sipil Dalam Perubahan Sosial di Indonesia. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

9
dan juga koordinasi, karena itulah dibentuk organisasi polisi yang kemudian mempunyai
tujuan untuk mengamankan dan memberikan perlindungan kepada masyarakat yang
berkepentingan, terutama mereka yang melakukan suatu tindak pidana. Dalam pasal 13
Undang-Undang Nomor 2 tahun 2002 tentang kepolisian, tugas pokok Kepolisian Negara
Republik Indonesia adalah:
 Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat;
 Menegakkan hukum; dan
 Memberikan perlindungan, pengayoman dan perlindungan kepada masyarakat.

Selanjutnya dalam pasal 14 ayat (1), Kepolisian Negara Republik Indonesia bertugas:
a. Melaksanakan pengaturan, pengawasan, penjagaan, pengawalan, dan patroli terhadap
kegiatan masyarakat dan pemerintah sesuai kebutuhan;
b. menyelenggarakan segala kegiatan dalam menjamin keamanan, ketertiban, dan
kelancaran lalu lintas dijalan;
c. Membina masyarakat untuk meningkatkan partisipasi masyarakat, kesadaran hukum
masyarakat serta ketaatan warga masyarakat terhadap hukum dan peraturan
perundang-undangan;
d. Turut serta dalam pembinaan hukum Nasional;
e. Memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum;
f. Melakukan koordinasi, pengawasan, dan pembinaan teknis terhadap kepolisian
khusus, penyidik, pegawai negeri sipil dan bentuk-bentuk pengamanan swakarsa;
g. Melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan
hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya;
h. Menyelenggarakan identifikasi kepolisian, kedokteran kepolisian, laboratorium
forensic dan psikologi kepolisian untuk kepentingan tugas kepolisian;
i. Melindungi keselamatan jiwa raga, harta benda, masyarakat,dan lingkungan hidup
dari gangguan ketertiban dan/atau bencana termasuk memberikan bantuan dan
pertolongan dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia;
j. Melayani kepentingan warga masyarakat untuk sementara sebelum ditangani oleh
instansi dan/atau pihak yang berwenang;
k. Memberikan pelayanan kepada masyarakat sesuai dengan kepentingannya dalam
lingkup tugas kepolisian; serta
l. melaksanakan tugas lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

10
Tugas kepolisian dalam melaksanakan tanggung jawabnya di masyarakat juga
tercantum dalam ketentuan Pasal 1 Undang-Undang Nomor. 8 Tahun 1981 tentang Hukum
Acara Pidana, maka kepolisan bertugas :
a. Memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum, mencegah dan memberantas
menjalarnya penyakit-penyakit masyarakat, memelihara keselamatan orang, benda
dan masyarakat, termasuk memeberikan perlindungan dan pertolongan,
mengusahakan ketaatan warga negara dan masyarakat terhadap peraturan-peraturan
negara.
b. Dalam bidang peradilan mengadakan penyelidikan atas kejahatan dan pelanggaran
menurut ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang Hukum Acara Pidana dan
peraturan Negara lainnya.
c. Mengawasi aliran-aliran kepercayaan yang daat membahayakan masyarakat dan
negara.
d. Melaksanakan tugas-tugas khusus lain yang diberikan kepadanya oleh suatu peraturan
negara.
Menurut G. Gewin (Djoko Prakoso, 1987:136) memberikan perumusan yang lebih
lugas tentang tugas polisi yaitu "tugas polisi adalah bagian dari tugas negara, perundang-
undangan dan pelaksanaan untuk menjamin tata tertib ketentraman dan keamanan
menegakkan negara, menanamkan penertiban ketaatan dan kepatuhan4.
Agar POLRI dapat bertindak secara lancar dalam melaksanakan tugasnya dan untuk
keabsahan suatu tindakan yang dilakukan dalam pelaksanaan tugas,maka harus berdasarkan
kepada suatu wewenang yang diberikan oleh Undang-Undang kepada petugas kepolisian.
Berdasarkan Undang-Undang No.2 Tahun 2002 tentang kepolisian Negara Republik
Indonesia, wewenang POLRI dikelompokkan menjadi tiga bagian, yaitu pertama, wewenang
secara umum yang di atur dalam pasal 15 ayat 1. Kedua, wewenang sesuai peraturan
perundang-undangan lainnya yang di atur dalam pasal 15 ayat 2, serta yang ketiga adalah
wewenang dalam bidang proses pidana yang di atur dalam pasal 16.

Menurut pasal 15 ayat 1 Undang-Undang No.2 Tahun 2002 tentang kepolisian Negara
Republik Indonesia, wewenang POLRI adalah:
a. Menerima laporan dan /atau pengaduan;
b. Membantu menyelesaikan perselisihan warga masyarakat yang dapat mengganggu

4
Prakoso, D. (1987) Dalam Polri Sebagai penyidik Dalam Penegakan hukum. Jakarta: Bina Aksara, hlm. 136.

11
ketertiban umum;
c. Mencegah dan menanggulangi tumbuhnya penyakit masyarakat;
d. Mengawasi aliran yang dapat menimbulkan perpecahan atau mengancam persatuan
dan kesatuan bangsa;
e. Mengeluarkan peraturan kepolisian dalam lingkup kewenangan administratif
kepolisian;
f. Melaksanakan pemeriksaan khusus sebagai bagian dari tindakan kepolisian dalam
rangka pencegahan;
g. Melakukan tindakan pertama di tempat kejadian;
h. Mengambil sidik jari dan identitas lainnya serta memotret seseorang;
i. Mencari keterangan dan barang bukti;
j. Menyelenggarakan Pusat Informasi Kriminal Nasional;
k. Mengeluarkan surat izin danatau surat keterangan yang diperlukan dalam rangka
pelayanan masyarakat;
l. Memberikan bantuan pengamanan dalam sidang dan pelaksanaan putusan
pengadilan, kegiatan instansi lain, serta kegiatan masyarakat;
m. Menerima dan menyimpan barang temuan sebagai barang bukti untuk sementara
waktu.

Dalam penjelasan pasal 15 ayat 1 huruf C Undang-Undang No.2 Tahun 2002 tersebut
menjelaskan bahwa yang dimaksud. dengan "penyakit masyarakat" antara lain pengemisan
dan pergelandangan, pelacuran, Perjudian, penyalahgunaan obat dan narkotika, memabukan,
perdagangan manusia, penghisapan atau praktek lintah darat dan pungutan liar. Wewenang
ini dilaksanakan secara terakomodasi dengan instansi terkait sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.

Berdasarkan Pasal 15 ayat (2) dinyatakan Kepolisian Negara Republik Indonesia


sesuai dengan peraturan perundang-undangan lainnya berwenang :
a. Memberi izin dan mengawasi kegiatan keramaian umum dan kegiatan masyarakat
lainnya;
b. Menyelenggarakan registrasi dan identifikasi kendaraan bermotor;
c. Memberikan surat izin mengemudi kendaraan bermotor;
d. Menerima pemberitahuan tentang kegiatan politik;
e. Memberikan izin dan melakukan pengawasan senjata api, bahan peledak, dan senjata

12
tajam;
f. Memberikan izin operasional dan melakukan pengawasan terhadap badan usaha di
bidang jasa pengamanan;
g. Memberikan petunjuk, mendidik, dan melatih kepolisian khusus dan petugas
pengamanan swakarsa dalam bidang teknis kepolisian;
h. Melakukan kerjasama dengan kepolisian negara lain dalam menyelidiki dan
menberantas kejahatan internasional;
i. Melakukan pengawasan fungsional kepolisian terhadap orang asing yang berada di
wilayah Indonesia dengan koordinasi instansi terkait;
j. Mewakili Pemerintah Republik Indonesia dalam organisasi kepolisian internasional;
k. Melaksanakan tugas lain yang termasuk dalam lingkup tugas kepolisian.

Selain Kewenangan Kepolisian yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun


2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia di atas, wewenang polisi dalam
melakukan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana juga diatur dalam Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Wewenang polisi selaku
penyelidik dirumuskan dalam pasal 5 ayat (1), yaitu:

1) Menerima laporan atau pengduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana;
2) Mencari keterangan dan barang bukti;
3) Menyuruh berhenti seseorang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda
pengenal diri dan;
4) Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.

Wewenang polisi sebagai penyidik dalam melakukan penyidikan dirumuskan dalam


pasal 7 ayat (1) KUHAP adalah :
1) Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana;
2) Melakukan tindakan pertama pada saat ditempat kejadian;
3) Menyuruh berhenti seseroang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri
tersangka;
4) Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan;
5) Melakukan pemeriksaan dan peyitaan surat;
6) Mengambil sidik jari dan memotret seseorang;

13
7) Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;
8) Mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan
perkara;
9) Mengadakan penghentian penyidikan;
10) Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.
Untuk menjaga agar tugas POLRI tetap pada jalan yang benar dan menghindari
penyimpangan oleh anggota-anggota POLRI dalam menjalankan fungsi, tugas dan
wewenangnya, Undang-Undang No.2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik
Indonsia juga melandasi nilai-nilai religius dan norma-norma kehidupan seperti yang termuat
dalam pasal 19 ayat 1, yang menyatakan bahwa "Dalam melaksanakan tugas dan
wewenangnya, pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia senantiasa bertindak
berdasarkan norma hukum dan mengindahkan norma agama, kesopanan, kesusilaan, serta
menjunjung tinggi hak asasi manusia".

2.2. Tinjauan Umum Kode Etik


2.2.1. Pengertian Kode Etik POLRI
Kode etik adalah sistem norma, nilai dan aturan profesional tertulis yang secara tegas
menyatakan apa yang benar dan baik, dan apa yang tidak benar dan tidak baik bagi profesional.
Kode etik menyatakan perbuatan apa yang benar atau salah, perbuatan apa yang harus
dilakukan dan apa yang harus di hindari.
Hornby, dkk. (1962) mendefinisikan kode etik secara leksikal sebagai berikut:
a. Code as collection of laws arranged in a system; or, system of rules and principles that has
been accepted by society or a class or group of people. (Kode merupakan kumpulan aturan
yang disusun dalam sebuah sistem; atau sistem aturan dan prinsip-prinsip yang diterima oleh
masyarakat atau sebuah kelas atau sekelompok orang).
b. Ethic as system of moral principles, rules of conduct (Etik merupakansistem dari prinsip-
prinsip moral, aturan dari tingkah laku) 5.
Kode etik dapat diartikan sebagai pola aturan, tata cara, tanda, atau pedoman etis dalam
melakukan suatu kegiatan, pekerjaan, bahkan berperilaku. Istilah kode etik itu bila di kaji maka
terdiri dari dua kata yakni kode dan etik. Secara harfiah, Kode artinya aturan, dan etik yang

5
Prakoso, D. (1987) Dalam Polri Sebagai penyidik Dalam Penegakan hukum. Jakarta: Bina Aksara, hlm. 136.

14
berasal dari bahasa Yunani, ethos yang berarti watak, adab atau cara hidup, kesopanan (tata
susila), atau hal-hal yang berhubungan dengan kesusilaan dalam mengerjakan suatu pekerjaan.
Kode etik akan menjadi rujukan untuk mewujudkan perilaku etika dalam melakukan
tugas-tugas pekerjaan. Dengan kode etik itu pula perilaku etika para pekerja akan dikontrol,
dinilai, diperbaiki, dan dikembangkan. Semua anggota harus menghormati, menghayati, dan
mengamalkan isi dari semua kode etik yang telah disepakati bersama.
Kode etik keprofesian (professional code of ethic) pada hakekatnya merupakan suatu
sistem peraturan atau perangkat prinsip-prinsip keprilakukan yang telah diterima oleh
kelompok orang-orang yang tergabung dalam himpunan organisasi keprofesian tertentu.
Kode etik suatu profesi adalah norma-norma yang harus diindahkan oleh setiap anggota
profesi dalam melaksanakan tugas-tugas profesinya dan dalam mengaungi kehidupannya di
masyarakat. Norma-norma tersebut berisi petunjuk- petunjuk bagi para anggota profesi tentang
bagaimana mereka melaksanakan profesinya.
Polri dalam menjalankan tugas dan wewenangnya harus menjunjung tinggi kehormatan
dan martabat Negara, Pemerintah, dan Kepolisian Negara Republik Indonesia. Apabila ada
anggota polisi yang melakukan pelanggaran dan terbukti melanggar Kode Etik Profesi maka
akan dijatuhi sanksi melalui Komisi Kode Etik Polri berupa tindakan disiplin dan/atau
hukuman disiplin.
Kode Etik Profesi Polri mengandung jabaran pedoman perilaku setiap anggota Polri
dalam berhubungan dengan masyarakat, baik ketika menjalankan tugas dan wewenangnya
maupun ketika tidak sedang menjalankan tugas dan wewenangnya di tengah-tengah
masyarakat. Norma-norma yang terkandung dalam Kode Etik Profesi Polri dijabarkan dalam
Peraturan Kepolisian Nomor 7 Tahun 2022 tentang Tentang Kode Etik Profesi dan Komisi
Kode Etik Kepolisian Negara Republik Indonesia yang memiliki kekuatan mengikat, yang
menjadi pedoman bagi anggota Polri untuk berperilaku sesuai dengan nilai-nilai moral.
Dalam mekanisme internalnya, Polri memiliki tim PROPAM (Bidang Profesi dan
Pengamanan) yang bertugas menerima pelaporan dan membuat penyelidikan internal terhadap
pelanggaran maupun kejahatan yang dilakukan oleh aparat kepolisian yang akan
ditindaklanjutkan dengan sidang Kode Etik Kepolisian.
Pemeriksaan terhadap anggota Polri yang melanggar Kode Etik Polri yakni Divisi
Profesi dan Pengamanan (PROPAM) dalam satuan Kepolisian Republik Indonesia, Satuan
PROPAM ini akan memberikan dampak terhadap penegakan disiplin anggota Polri terutama
dalam penegakan kode etik Polri. Profesionalitas Polri menjadi dambaan bukan saja oleh
anggota Polri tetapi seluruh masyarakat Indonesia, karena fungsi pengayom dan pelindung

15
masyarakat didukung adanya profesionalitas Polri dan semua itu tidak lepas dari peranan
PROPAM dalam penegakan kode etik profesi Polri.
2.2.2. Dasar Hukum Kode Etik Profesi POLRI
Kode Etik Profesi Polisi dan Komisi Kode Etik Polisi diatur dengan Perpol No. 7 tahun
2022 tentang KEPP dan KKEP. Peraturan Kepolisian ini memberikan penegasan dalam latar
belakang penerbitannya bahwa setiap pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam
melaksanakan tugas dan wewenangnya harus dapat mencerminkan kepribadian bhayangkara
negara seutuhnya, menghayati dan menjiwai etika profesi kepolisian yang tercermin pada sikap
dan perilakunya dalam kode etik profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai
kristalisasi nilai-nilai yang terkandung dalam Tribrata dan Catur Prasetya yang dilandasi dan
dijiwai oleh Pancasila.
Perpol 7 tahun 2022 tentang KEPP dan KKEP adalah Peraturan Kepolisian yang baru
dan menggantikan Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 Tahun
2011 tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Peraturan Kepala
Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2012 tentang Organisasi dan Tata
Kerja Komisi Kode Etik Kepolisian Negara Republik Indonesia. Hal ini dikarenakan adanya
perkembangan teknologi yang cukup pesat dan terjadinya perubahan nilai etika, budaya, dan
perilaku yang terjadi di masyarakat berpengaruh pada sikap perilaku pejabat Polri dalam
pelaksanaan tugas, tanggung jawab dan wewenangnya.
Perpol 7 tahun 2022 tentang KEPP dan KKEP merupakan pelaksanaan ketentuan Pasal
34 ayat (3) dan Pasal 35 ayat (2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian
Negara Republik Indonesia. POLRI adalah alat negara yang berperan dalam memelihara
keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan,
pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam
negeri.
Dalam pasal 1 ayat (1) Peraturan Kepolisian Nomor 7 Tahun 2022 Tentang Kode Etik
Profesi Dan Komisi Kode Etik Kepolisian Negara Republik Indonesia disebutkan bahwa:
“Kode Etik Profesi Polri yang selanjutnya disingkat KEPP adalah norma atau aturan moral
baik tertulis maupun tidak tertulis yang menjadi pedoman sikap, perilaku dan perbuatan pejabat
Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas, wewenang, tanggung jawab
serta kehidupan sehari-hari. Kemudian, pasal 1 ayat (2) bahwa: “Komisi Kode Etik Kepolisian
Negara Republik Indonesia yang selanjutnya disingkat KKEP adalah komisi yang dibentuk di
lingkungan Kepolisian Negara Republik Indonesia untuk penegakan KEPP”.
Pejabat Polri wajib memedomani KEPP dengan menaati setiap kewajiban dan larangan.

16
Etika-etika yang wajib dipedomani dalam Perpol No. 7 tahun 2022 tentang KEPP dan KKEP
ada 4 Etika yaitu (Pasal 1) :
 Etika Kenegaraan merupakan norma-norma dalam KEPP yang memuat pedoman
bersikap dan berperilaku setiap Pejabat Polri terhadap Negara Kesatuan Republik
Indonesia, Pancasila, UUD 1945, dan kebhinekatunggalikaan.
 Etika Kelembagaan yaitu norma-norma dalam KEPP yang memuat pedoman bersikap
dan berperilaku setiap Pejabat Polri dalam hubungannya dengan pelaksanaan tugas,
wewenang, dan tanggung jawab kewajiban hukum dan penggunaan kewenangan profesi
Polri sesuai dengan bidang tugas, wewenang, dan tanggung jawab pada masing-masing
fungsi kepolisian.
 Etika Kemasyarakatan merupakan norma-norma dalam KEPP yang memuat pedoman
bersikap dan berperilaku setiap Pejabat Polri dalam hubungannya dengan pelaksanaan
tugas, wewenang, dan tanggung jawab kewajiban hukum dan penggunaan kewenangan
profesi Polri, yang berhubungan dengan masyarakat.
 Etika Kepribadian adalah norma-norma dalam KEPP yang memuat pedoman bersikap
dan berperilaku setiap Pejabat Polri dalam kapasitasnya sebagai pribadi yang terikat
dengan moralitas etika pribadinya, baik di dalam maupun di luar pelaksanakan tugas,
wewenang, dan tanggung jawab dan penggunaan kewenangan profesinya dalam
kehidupan sehari-hari.
Dasar hukum Perpol 7 tahun 2022 tentang KEPP dan KKEP adalah Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 2, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4168).

2.2.3. Fungsi dan Tujuan Kode Etik POLRI


Etika Profesi adalah sikap hidup berupa keadilan untuk memberikan pelayanan
professional terhadap masyarakat dengan penuh tanggung jawab dan keahlian sebagai
pelayanan dalam rangka melaksanakan tugas berupa kewajiban terhadap masyarakat yang
akan dilayani.
Kode Etik Profesi itu merupakan sarana untuk membantu para pelaksana sebagai
seseorang yang professional supaya tidak dapat merusak etika Profesi. Ada tiga hal pokok
yang merupakan fungsi dari Kode Etik Profesi:
a) Kode Etik Profesi memberikan pedoman bagi setiap anggota Profesi tentang prinsip

17
profesionalitas yang digariskan. Maksudnya bahwa dengan Kode Etik Profesi,
pelaksana Profesi mampu mengetahui suatu hal yang boleh dilakukan dan yang tidak
boleh dilakukan.
b) Kode Etik Profesi merupakan sarana kontrol sosial bagi masyarakat atas Profesi yang
bersangkutan. Maksudnya bahwa etika Profesi dapat memberikan suatu pengetahuan
kepada masyarakat agar juga dapat memahami arti pentingnya suatu Profesi, sehingga
memungkinkan pengontrolan terhadap para pelaksana di lapangan kerja (kalangan
sosial).
c) Kode Etik Profesi mencegah campur tangan pihak di luar organisasi Profesi tentang
hubungan etika dalam keanggotaan Profesi. Arti tersebut dapat dijelaskan bahwa para
pelaksana Profesi pada suatu instansi atau perusahaan yang lain tidak boleh
mencampuri pelaksanaan Profesi di lain instansi atau perusahaan.

Kode Etik Profesi Kepolisian, memuat kajian mengenai prinsip atau norma-norma
dalam kaitan dengan hubungan antara professional dengan masyarakat yang dilayani, antara
para professional sendiri, antara organisasi Profesi serta organisasi Profesi dengan
pemerintah.
Pada dasarnya tujuannya adalah berusaha meletakkan Etika Kepolisian secara
proposional dalam kaitannya dengan masyarakat. Sekaligus juga bagi polisi berusaha
memberikan bekal keyakinan bahwa internalisasi Etika kepolisian yang benar, baik dan kokoh,
akan merupakan sarana untuk :
a. Mewujudkan kepercayaan diri dan kebanggan sebagai seorang polisi, yang kemudian
dapat menjadi kebanggan bagi masyarakat.
b. Mencapai sukses penugasan.
c. Membina kebersamaan, kemitraan sebagai dasar membentuk partisipasi masyarakat.
d. Mewujudkan polisi yang professional, efektif, efesien dan modern, yang bersih dan
berwibawa, dihargai dan dicintai masyarakat.
Untuk mendukung tujuankepolisian di atas, polisi juga memiliki tugas- tugas tertentu
sebagaimana tercantum dalam Pasal 2 Peraturan Kepala Kepolisian Republik Inddonesia
mengenai tujuan Kode Etik Polisi adalahsebagai berikut :

 Menerapkan nilai-nilai Tribrata dan Catur Prasetya dalam pelaksanaan tugas dan
wewenang umum kepolisian;

18
 Memantapkan profesionalisme, integritasdan akuntabilitas Anggota Polri;
 Menyamakan pola pikir,sikap dan tindak Anggota Polri;
 Menerapkan standar profesi Polri dalam pelaksanaan tugas Polri dan;
 Memuliakan profesi Polri dengan penegakan KEPP.
2.3. Tinjauan Umum Tindak Pidana Narkotika
2.3.1. Pengertian Tindak Pidana Narkottika
Pengertian tindak pidana dalam Kitab UndangUndang Hukum Pidana (KUHP) dikenal
dengan istilah strafbaar feit dan dalam kepustakaan tentang hukum pidana sering
mempergunakan istilah delik. Moeljatno berpendapat bahwa: “suatu perbuatan disebut tindak
pidana apabila perbuatan yang dilakukan melanggar larangan yang ditentukan oleh aturan
hukum dan diancam dengan sanksi pidana”.
Strafbaar feit (bahasa Belanda), mempunyai dua unsur pembentukan kata, yaitu
strafbaar dan feit. Kata feit dalam bahasa Belanda berarti “sebagian dari kenyataan”, sedangkan
strafbaar berarti “dapat hukuman”. Secara harfiah, perkataan strafbaar feit adalah sebagian dari
kenyataan yang dapat dihukum.
Tindak pidana adalah istilah yang dikenal dengan “strafbaar feit”, yang sebenarnya
merupakan istilah resmi dalam Strafwetboek atau Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, yang
sekarang berlaku di Indonesia. Menurut Wirjono Prodjodikoro: “tindak pidana berarti suatu
perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana”6 .
Istilah lain yang pernah digunakan untuk menggambarkan perbuatan yang dapat
dipidana adalah: 1) peristiwa pidana, 2) perbuatan pidana, 3) pelanggaran pidana, 4) perbuatan
yang dapat dihukum.
Kemudian, Secara umum Narkotika adalah obat-obatan atau zat yang dapat
menyebabkan menghilangkan atau mengurangi hilang rasa atau nyeri dan menimbulkan
ketergantungan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, narkoba atau narkotika adalah obat
yang dapat menenangkan syaraf, menghilangkan rasa sakit, menimbulkan rasa ngantuk atau
merangsang7.
Secara etimologis narkoba atau narkotika berasal dari bahasa Inggris narcoseatau
narcosisyang berarti menidurkan dan pembiusan. Narkotika berasal dari bahasa Yunani yaitu
narkeatau narkamyang berarti terbius sehingga tidak merasakan apa-apa.
Pengertian narkotika menurut Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang

6
Prodjodikoro, W. (1967) Dalam Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia. Bandung: Eresco.
7
Badan Pusat Pengembangan dan Pembinaan Bahasa. (n.d.). Narkotika. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia. Balai Pustaka.
https://kbbi.web.id/narkotika

19
Narkotika Pasal 1 angka 1 adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman
baik sintetis maupun semi sintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan
kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat
menimbulkan ketergantungan, atau ketagihan yang sangat berat. Narkotika yang terkenal di
Indonesia sekarang ini berasal dari kata “Narkoties”, yang sama artinya dengan kata narcosis
yang berarti membius. Dulu di Indonesia dikenal dengan sebutan madat.
Dalam Undang Undang Nomor 35 tahun 2009, Narkotika dibedakan dalam 3 jenis
golongan, yaitu :
• Narkotika golongan I, yaitu jenis narkotika yang berpotensi sangat tinggi menyebabkan
ketergantungan, hanya digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan..
• Narkotika golongan II, adalah narkotika yang berpotensi tinggi menyebabkan
ketergantungan, memiliki khasiat sebagai obat namun penggunaannya hanya sebagai
opsi terakhir dan dapat digunakan dalam terapi serta bertujuan mengembangkan ilmu
pengetahuan.
• Narkotika golongan III, adalah narkotika yang berpotensi ringan menyebabkan
ketergantungan, memiliki khasiat pengobatan dan kerap digunakan dalam terapi
dan/atau bertujuan mengembangkan ilmu pengetahuan.
Masalah penyalahgunaan Narkotika di Indonesia, sekarang ini sudah sangat
memprihatinkan. Hal ini disebabkan beberapa hal antara lain karena Indonesia yang terletak
pada posisi di antara tiga benua dan mengingat perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi,
maka pengaruh globalisasi, arus transportasi yang sangat maju dan penggeseran nilai
matrialistis dengan dinamika sasaran opini peredaran gelap.
Tindak pidana narkotika merupakan tindak pidana khusus diluar KUHP hal tersebut
dinyatakan secara tegas dalam Pasal 25 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1960 yang
mulai berlaku pada tanggal 9 Juni 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Pemeriksaan
Tindak Pidana.
Penyalahgunaan narkotika merupakan suatu tindak kejahatan dan pelanggaran yang
mengancam keselamatan, baik fisik maupun jiwa si pemakai dan juga terhadap masyarakat di
sekitar secara sosial,maka dengan pendekatan teoritis,penyebab dari penyalahgunaan narkotika
adalah merupakan delik materil, sedangkan perbuatannya untuk di tuntut pertanggungjawaban
pelaku, merupakan delik formil.
Pidana itu berkaitan erat dengan hukum pidana. Dan hukum pidana merupakan suatu
bagian dari tata hukum, karena sifatnya yang mengandung sanksi. Oleh karena itu, seorang
yang dijatuhi pidana ialah orang yang bersalah melanggar suatu peraturan hukum pidana atau

20
melakukan tindak pidana atau tindak kejahatan. Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang
Narkotika menentukan beberapa tindak pidana narkotika, yakni dalam Pasal 111 sampai Pasal
148 Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.
Dalam Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika ditentukan bahwa
pidana yang dapat dijatuhkan berupa pidana mati, pidana penjara, pidana kurungan dan pidana
denda. Pidana juga dapat dijatuhkan pada korporasi yakni berupa pencabutan izin usaha;
dan/atau. Pencabutan status badan hukum. Subyek hukum yang dapat dipidana kasus
penyalahgunaan narkotika adalah orang perorangan (individu) dan korporasi (badan hukum).
Undang Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika membedakan pelaku pidana
narkotika menjadi 2 yaitu :
1) Pengedar narkotika. meliputi : orang yang secara melawan hukum memproduksi
narkotika; menjual narkotika; mengimpor atau mengekspor narkotika, melakukan
pengangkutan (kurir) dan melakukan peredaran gelap narkotika.
2) Pengguna narkotika, dibedakan menjadi 2 yaitu pecandu narkotika dan penyalah guna
narkotika. Pecandu narkotika adalah orang yang menggunakan narkotika dan memiliki
ketergantungan terhadap narkotika baik secara fisik maupun psikis. Sedangkan penyalah
guna narkotika adalah orang secara melawan hukum, aktif menggunakan narkotika.
Adapun sanksi terhadap pelaku kejahatan narkotika telah diatur dalam undang-undang
nomor 35 tahun 2009, sehingga dalam setiap perbuatan melanggar hukum pasti ada balasan
hukum yang setimpal dan dapat memberikan efek jera bagi pelakunya.

Dalam hukum positif di Indonesia, ancaman hukuman terhadap pelaku tindak pidana
terdapat dalam kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). KUHP menetapkan jenis-jenis
tindak pidana atau hukuman yang termasuk di dalam Pasal 10 KUHP, yang terbagi dalam dua
bagian yaitu hukuman pokok dan hukum tambahan.

21
BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Tipe Penelitian Normatif


Penelitian hukum normatif (normative law research) menggunakan studi kasus
normatif berupa produk perilaku hukum, misalnya mengkaji Undang-Undang. Pokok
kajiannya adalah hukum yang dikonsepkan sebagai norma atau kaidah yang belaku dalam
masyarakat dan menjadi acuan perilaku setiap orang 8. Sehingga penelitian hukum normatif
berfokus pada inventarisasi hukum positif, asas-asas dan doktrin hukum, penemuan hukum
dalam perkara in concreto, sistematik hukum, taraf sinkronisasi, perbandingan hukum dan
sejarah hukum. Berdasarkan penjelasan di atas, penulis memutuskan menggunakan metode
penelitian hukum normatif untuk meneliti dan menulis pembahasan skripsi ini sebagai metode
penelitian hukum.

3.2 Aspek Penelitian


Penelitian ini menggunakan metode deskriptif analitik dengan pendekatan kualitatif.
Yang memiliki karakteristik sebagai berikut :
1. Sumber data langsung dalam situasi yang wajar
2. Bersifat deskriptif
3. Mengutamakan proses daripada produk atau hasil
4. Analisis data secara deskriptif, dan
5. Mengutamakan makna
Data yang diperoleh dari penelitian disusun serta dijelaskan untuk selanjutnya dianalisa
berdasarkan teori yang ada kemudian ditarik kesimpulan Situasi yang wajar (natural setting)
merujuk kepada proses dan aktivitas pengumpulan informasi melalui observasi oleh peneliti
terhadap situasi dan manusia yang diobservasi. Tujuannya adalah untuk mendeskripsikan apa-
apa yang saat ini. Didalamnya terdapat upaya deskripsi, pencatatan, analisis dan
menginterpretasikan kondisi-kondisi yang sekarang ini terjadi dan ada". Disamping itu,
penelitian kualitatif juga merupakan tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial yang
secara fundamental bergantung pada pengamatan manusia dalam kawasannya sendiri dan
berhubungan dengan orang-orang tersebut dalam bahasanya dan dalam peristilahannya dan
diartikan juga sebagai penelitian yang tidak mengadakan perhitungan.
Bentuk penelitian kualitatif yang digunakan disini bercirikan deskriptif analitik, karena

8
Mukti Fajar Yulianto Achmad, 2010, Dualisme Penelitian Hukum Normatif & Empiris, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, hlm. 34 & 51

22
"untuk memperoleh gambaran tentang status gejala pada saat penelitian (expose de facto) atau
(“untuk melihat kondisi apa yang ada dalam situasi"). Sedangkan "data-data yang diperoleh
dari' penelitian ini merupakan hasil pengamatan, hasil wawancara, hasil pemotretan, cuplikan
tertulis dari dokumen, catatan lapangan, disusun peneliti di lokasi lapangan, tidak dituangkan
dalam bentuk dan bilangan statistik".

3.3 Pendekatan Masalah


Di dalam penelitian hukum terdapat beberapa pendekatan, dengan pendekatan tersebut
peneliti akan mendapatkan informasi dari berbagai aspek mengenai isu yang sedang dicoba
untuk dicari jawabannya. Metode pendekatan dalam penelitian ini adalah pendekatan
peraturan perUndang- Undangan (statue approach). Suatu penelitian normatif tentu harus
menggunakan pendekatan perUndang-Undangan, karena yang akan diteliti adalah berbagai
aturan hukum yang menjadi fokus sekaligus tema sentral suatu penelitian.

3.4 Jenis Bahan Hukum


Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah bahan-bahan hukum primer dan
bahan hukum sekunder. Bahan hukum primer terdiri dari perundang-undangan, catatan-catatan
resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-undangan dan putusan hakim. Bahan hukum
sekunder terdiri dari publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen - dokumen
resmi meliputi buku-buku teks, kamus-kamus hukum dan jurnal hukum.

3.5 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum


Teknik yang dilakukan untuk mengumpulkan data – data dilakukan dengan cara yakni
:
1. Studi Kepustakaan

Penelitian kepustakaan yaitu penelitian yang dilakukan untuk mendapatkan data


yang bersifat teoritis9, dengan mempelajari sumber – sumber bacaan yang erat
hubungannya dengan permasalahan dalam penelitian skripsi ini. Penelitian kepustakaan
terdiri atas :

a. Bahan Hukum Primer yaitu perundang – undangan yang berkaitan dengan objek
penelitian, diantaranya :
1. Secara normatif dalam Pasal 34 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang

9
Mestika Zed, “Jenis dan Sifat Penelitian”, Jurnal Hukum, 2003

23
Kepolisian Negara Republik Indonesia.

2. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

3. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)

4. Perpol no 7 tahun 2022 Perpol ini mencabut Perkap Nomor 14 Tahun 2011 tentang
Kode Etik Profesi Polri dan Perkap Nomor 19 Tahun 2012 tentang Organisasi dan
Tata Kerja Komisi Kode Etik Polri

Manfaat yang didapatkan dari studi kepustakaan yaitu :

a. Di dapatkan dari teori dan konsep yang memiliki sifat umum yang berhubungan
denganmasalah penelitian

b. Untuk menarik suatu kesimpulan secara khusus maka harus melewati tahapan logika
yang bersifat deduksi agar mendapatkan jawaban.

3.6 Analisis Bahan Hukum


Data yang diperoleh dalam penelitian ini dianalisis dengan menggunakan metode
kualitatif, yaitu metode analisis data dengan cara mengelompokkan dan menseleksi data yang
diperoleh dari penelitian lapangan menurut kualitas dan kebenarannya kemudian disusun
secara sistematis, yang selanjutnya dikaji dengan metode berfikir secara deduktif dihubungkan
dengan teori-teori dari studi kepustakaan (data sekunder), kemudian dibuat kesimpulan yang
berguna untuk menjawab rumusan masalah dalam penelitian ini 10. Hasil analisis tersebut di
paparkan secara deskriptif, yaitu cara menggambarkan keadaan sebenarnya di lapangan
sehingga diperoleh uraian hasil penelitian yang bersifat deskriptif - kualitatif yang nantinya
akan diperoleh arti dan kesimpulan untuk menjawab permasalahan.’

10
Dr. Hj. Endang Purwaningsih, S.H., M.Hum., M.Kn, 2022, Metode Penelitian Hukum, Bandung,Mandar Maju, hlm. 87 -97

24
BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1 Ketentuan Kode Etik POLRI Sebagai Landasan Dalam Menjalankan Profesi Polisi
Organisasi Kepolisian, sebagaimana organisasi pada umumnya, memiliki “Etika” yang
menunjukan perlunya bertingkah laku sesuai dengan peraturan-peraturan dan harapan yang
memerlukan “kedisiplinan” dalam melaksanakan tugasnya sesuai misi yang diembannya
selalu mempunyai aturan intern dalam rangka meningkatkan kinerja, profesionalisme, budaya
organisasi serta untuk menjamin terpeliharanya tata tertib dan pelaksanaan tugas sesuai tujuan,
peranan, fungsi, wewenang dan tanggung jawab dimana mereka bertugas dan semua itu demi
untuk masyarkat.
Persoalan-persoalan etika adalah persoalan-persoalan kehidupan manusia. Tidak
bertingkah laku semata-mata menurut naluri atau dorongan hati, tetapi bertujuan dan
bercitacita dalam satu komunitas. Etika berasal dari bahasa latin disebut ethos atau ethikos.
Kata ini merupakan bentuk tunggal, sedangkan dalam bentuk jamak adalah ta etha istilah ini
juga kadang kadang disebut juga dengan mores, mos yang juga berarti adat istiadat atau
kebiasaan yang baik sehingga dari istilah ini lahir penyebutan moralitas atau moral.
Rangkuman Etika Polri yang dimaksud telah dituangkan dalam pasal 34 dan pasal 35
Undang-undang Nomor 2 tahun 2002. Pasal-pasal tersebut mengamanatkan agar setiap
anggota Polri dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya harus dapat mencerminkan
kepribadian bhayangkara negara seutuhnya. Mengabdikan dirinya sebagai alat Negara
penegak hukum, yang tugas dan wewenangnya bersangkut paut dengan hak dan kewajiban
warga Negara secara langsung, diperlukan kesadaran dan kecakapan teknis yang tinggi, oleh
karena itu setiap anggota Polri harus menghayati dan menjiwai etika profesi kepolisian dalam
sikap dan perilakunya.
1) Sanksi dilanggarnya kode etik POLRI
Pada dasarnya, POLRI harus menjunjung tinggi kehormatan dan martabat Negara,
Pemerintah, dan Kepolisian Negara Republik Indonesia dan mentaati peraturan perundang-
undangan yang berlaku, baik yang berhubungan dengan tugas kedinasan maupun yang berlaku
secara umum. Dengan melakukan tindak pidana, ini berarti POLRI melanggarperaturan
disiplin.
Dalam Pasal 1 ayat (21) Perpol No. 7 Tahun 2022 : “Pelanggaran adalah setiap
perbuatan yang dilakukan oleh Pejabat Polri yang bertentangan dengan KEPP.
Pelanggaran Peraturan Disiplin adalah ucapan, tulisan, atau perbuatan anggota
25
Kepolisian Negara Republik Indonesia yang melanggar peraturan disiplin. Anggota Kepolisian
Negara Republik Indonesia yang ternyata melakukan pelanggaran Peraturan Disiplin Anggota
Kepolisian Negara Republik Indonesia dijatuhi sanksi berupa tindakan disiplin dan/atau
hukuman disiplin. Tindakan disiplin berupa teguran lisan atau Tindakan fisik (Pasal 8 ayat (1)
Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2003 tentang Pelaksanaan Teknis Institusional
Peradilan Umum Bagi Anggota Kepolisian). Tindakan disiplin tersebut tidak menghapus
kewenangan Atasan yang berhak menghukum (Ankum) untuk menjatuhkan Hukuman
Disiplin. Adapun hukuman disiplin tersebut berupa (Pasal 9 Peraturan Pemerintah Nomor 3
Tahun 2003 tentang Pelaksanaan Teknis Institusional Peradilan Umum Bagi Anggota
Kepolisian) :
• Teguran tertulis;
• Penundaan mengikuti pendidikan paling lama 1 (satu) tahun;
• Penundaan kenaikan gaji berkala;
• Penundaan kenaikan pangkat untuk paling lama 1 (satu) tahun;
• Mutasi yang bersifat demosi;
• Pembebasan dari jabatan;
• Penempatan dalam tempat khusus paling lama 21 (dua puluh satu) hari.
Sebagaimana proses hukum oknum Polisi yang melakukan tindak pidana, pelanggaran
terhadap aturan disiplin dan kode etik akan diperiksa dan bila terbukti akan dijatuhi sanksi.
Penjatuhan sanksi disiplin serta sanksi atas pelanggaran kode etik tidak menghapus tuntutan
pidana terhadap anggota polisi yang bersangkutan. Oleh karena itu, polisi yang melakukan
tindak pidana tersebut tetap akan diproses secara pidana walaupun telah menjalani sanksi
disiplin dan sanksi pelanggaran kode etik.
Adapun proses peradilan pidana bagi anggota POLRI secara umum dilakukan menurut
hukum acara yang berlaku di lingkungan peradilan umum. Sidang Komisi Kode Etik Polri
(KKEP) adalah siding untuk memeriksa dan memutus perkara pelanggaran Kode Etik Profesi
POLRI (KEPP) yang dilakukan oleh Anggota Polri sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1
angka 5 Perpol No.7 Tahun 2022.
Dalam Perkap Nomor 14 Tahun 2011 Tentang Kode Etik Profesi Polri Pasal 21
dijelaskan bahwa ada tujuh (7) jenis sanksi pelanggaran Kode Etik Profesi Polri dimana
anggota Polri yang dinyatakan sebagai Pelanggar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat
(2) Peraturan Kapolri Nomor 14 tahun 2011 tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Negara
Republik Indonesia dikenakan sanksi pelanggaran Kode Etik Profesi Polri berupa :
a) Perilaku Pelanggar dinyatakan sebagai perbuatan tercela.

26
b) Kewajiban Pelanggar untuk meminta maaf secara lisan dihadapan Sidang Komisi Kode
Etik Profesi dan/atau secara tertulis kepada pimpinan Polri dan pihak yang dirugikan.
c) Kewajiban Pelanggar untuk mengikuti pembinaan mental kepribadian, kejiwaan,
keagamaan dan pengetahuan profesi, sekurang-kurangnya 1 (satu) minggu dan paling
lama 1 (satu) bulan.
d) Dipindahtugaskan ke jabatan berbeda yang bersifat Demosi sekurang-kurangnya 1
(satu) tahun.
e) Dipindahtugaskan ke fungsi berbeda yang bersifat Demosi sekurang-kurangnya 1 (satu)
tahun.
f) Dipindahtugaskan ke wilayah berbeda yang bersifat Demosi sekurang-kurangnya 1
(satu) tahun dan/atau
g) PTDH sebagai anggota Polri.
Pasal 13 Peraturan Pemerintah Nomor 3 Tahun 2003 tentang Pelaksanaan Teknis
Institusional Peradilan Umum Bagi Anggota Kepolisian: “Anggota Kepolisian Negara
Republik Indonesia yang dijatuhi hukuman disiplin lebih dari 3 (tiga) kali dan dianggap tidak
patut lagi dipertahankan statusnya sebagai anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia,
dapat diberhentikan dengan hormat atau tidak dengan hormat dari dinas Kepolisian Negara
Republik Indonesia melalui Sidang Komisi Kode Etik.
Beberapa hal yang menunjukkan tujuan pemidaan dapat memberikan harapan bahwa
hal itu menjadi bentuk dalam melindungi masyarakat serta bentuk rehabilitas sekaligus
resosaliasi terhadap aspek psikologis pelaku. Ada 3 tujuan pemidanaan, yang diuraikan
sebagaimana berikut:
1. Menjadi sarana perubahan diri;
2. Saran memberikan rasa jera atas perbuatan pidana yang dilakukannya;
3. Sebagai bentuk sarana untuk menghentikan kejahatan-kejahatan guna tidak menjadi-
jadi dan melahirkan penjahat-penjahat baru serta metode kejahatan lainnya.
Dari uraian di atas, sebagai bentuk akuntabilitas kinerja Polri serta agar memberikan
efek jera bagi setiap anggota Polri yang melakukan pelanggaran Kode Etik Profesi Polri, maka
penindakan harus diproses secara transparan, tegas dan bertanggung jawab. Sehingga setiap
anggota Polri yang melakukan pelanggaran disiplin dan pelanggaran administratif dapat
menerapkan sanksi tersebut sebagaimana mestinya.

27
4.2 Penegakan Pelanggaran Kode Etik Dalam Kasus Tindak Pidana Narkotika Yang Dilakukan
Oleh Anggota Polri

Penegakan hukum diartikan sebagai suatu proses untuk mewujudkan keinginan-


keinginan hukum yaitu pikiran-pikiran dari badan-badan pembuat undang-undang yang
dirumuskan dan ditetapkan dalam peraturan-peraturan hokum yang kemudian menjadi
kenyataan. Penegakan hukum terhadap anggota Kepolisian yang telah terbukti melakukan
tindak pidana khususnya tindak pidana narkoba maka penyelesaian perkaranya sama dengan
masyarakat pada umumnya yaitu melalui peradilan umum. Selain peradilan umum anggota
polisi yang melakukan tindak pidana juga akan ada tambahan lain yaitu dari internal
Kepolisian sendiri yang berupa penegakan hukum melalui sidang kode etik polisi.
Suatu perbuatan yang dilakukan oleh anggota Polri dianggap sebagai pelanggaran kode
etik, apabila anggota Polri tersebut melakukan perbuatan yang tidak sesuai dengan ketentuan
Kode Etik Profesi Polri. Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia yang
selanjutnya disingkat KEPP adalah norma atau aturan moral baik tertulis maupun tidak tertulis
yang menjadi pedoman sikap, perilaku dan perbuatan pejabat Kepolisian Negara Republik
Indonesia dalam melaksanakan tugas, wewenang, tanggung jawab serta kehidupan sehari-hari.
Seorang anggota kepolisian yang telah terbukti melakukan tindak pidana narkotika
maka harus mengkuti sidang di peradilan umum terlebih dahulu, sama seperti warga sipil
lainnya. Setelah terlewatinya proses di peradilan maka proses selanjutnya yang dilewati oleh
terdakwa anggota kepolisian yang melakukan tindak pidana adalah bentuk penegakan kode
etik profesi Polri.
Polri memiliki tim Propam (bidang profesi dan pengamanan) yang bertugas menerima
laporan dan membuat penyelidikan terhadap pelanggaran maupun kejahatan yang dilakukan
anggota kepolisian dan selanjutnya akan diproses dengan Sidang komisi kode etik kepolisian.
Pemeriksaan terhadap anggota Polri yang melanggar Kode Etik Polri yaitu SIPROPAM yang
merupakan suatu kesatuan dalam kepolisian.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2003 Tentang Pelaksanaan
Teknis Institusional Peradilan Umum Bagi Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia
Proses peradilan pidana bagi anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia secara umum
dilakukan menurut hukum acara yang berlaku di lingkungan peradilan umum. Tugas untuk
menanggulangi dan menangani suatu tindak pidana oleh Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) diberikan kepada Kepolisian
Negara Republik Indonesia.

28
Dalam Pasal 4 menyebutkan Penyidikan terhadap anggota Kepolisian Negara Republik
Indonesia yang melakukan tindak pidana dilakukan oleh penyidik sebagaimana diatur menurut
hukum acara pidana yang berlaku di lingkungan peradilan umum. Bagi Anggota Polri yang
melakukan pelanggaran kode etik berupa tindak pidana dan telah menjalani proses peradilan
umum serta memperoleh putusan yang berkekuatan hukum tetap dengan hukuman pidana
minimum lebih dari 3 (tiga) bulan, maka anggota tersebut dapat direkomendasikan untuk
dilaksanakan Sidang Kode Etik Polri untuk mempertimbangkan masih layak atau tidak
mengemban tugas/profesi Kepolisian.
Oleh karenanya apabila hukuman pidananya kurang dari 3 (tiga) bulan, maka tidak
diharuskan untuk direkomendasikan ke Sidang Kode Etik Polri, melainkan anggota tersebut
tetap menjalani hukuman pidana maupun hukuman disiplin dan dalam Pengawasan
Provos/Propam serta jajaran pimpinan sampai hak-haknya sebagai anggota Polri dikembalikan
lagi.
Dalam kasus ini, anggota kepolisian an H. Bagus Supriadi bin H. Adang Suhanda telah
mendapatkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap yaitu berupa pidana penjara
selama 12 (dua belas) tahun dengan denda sebesar Rp. 1.000.000.000 (satu milyar rupiah)
subsidier 2 (dua) bulan penjara. Maka, H. Bagus Supriadi bin H. Adang Suhanda telah
memenuhi syarat dan dapat direkomendasikan untuk mengikuti Sidang Kode Etik Polri
(SKEP) untuk mempertimbangkan masih layak atau tidak untuk mengemban tugas/profesi
sebagai anggota Kepolisian Republik Indonesia.
Dalam Pasal 7 Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 2003 tentang Peraturan Disiplin
Kepolisian Negara Republik Indonesia menyebutkan bahwa anggota Kepolisian Negara
Republik Indonesia yang ternyata melakukan pelanggaran Peraturan Disiplin Anggota
Kepolisian Negara Republik Indonesia dijatuhi sanksi berupa tindakan disiplin dan/atau
hukuman disiplin.
Untuk menegakkan Etika Profesi Polri maka setiap pimpinan disetiap tingkatan Polri
(Polsek, Polres, Polwil, Polda dan Mabes), dituntut mampu memberikan sanksi kepada
Anggota Polri yang melakukan pelanggaran melalui Sidang Komisi Kode Etik Profesi
(KKEP) maupun Sidang Disiplin. Penegakan etika dan disiplin kepada Anggota Polri
diharapakan dapat dilaksanakan oleh setiap Kepala Satuan Organisasi Polri selaku Atasan
Yang Berhak Menghukum (Ankum) di-seluruh tingkatan sehingga pelanggaran sekecil apapun
harus ditindak-lanjuti dengan tindakan korektif atau sanksi. Apabila kondisi ini selalu
terpelihara, maka pelanggaran-pelanggaran hukum yang akan dilakukan oleh Anggota Polri
dapat diminimalisir.

29
Penyelesaian pelanggaran disiplin disebutkan dalam Pasal 14 PP No. 2 tahun 2003
tentang Peraturan Disiplin Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia. Pelanggaran yang
dilakukan oleh anggota kepolsian tersebut dapat dikelompokan kedalam beberapa kategori
untuk mempermudah proses berjalannya sidang kode etik yang akan dilakukan. Terdapat 3
kategori pelanggaran KEPP yaitu terbagi kedalam kategori ringan, kategori sedang, dan
kategori berat.
Sidang kode etik terdiri dari sidang dengan acara pemeriksaan cepat dan biasa Kategori
sidang dengan acara pemeriksaan cepat untuk pelanggaran kode etik ringan. Sedangkan
kategori sidang dengan acara pemeriksaan biasa, untuk pelanggaran kode etik berat.
Karena anggota kepolisian tersebut terbukti melakukan tindak pidana narkotika dan
termasuk pelanggaran kode etik berat, maka menggunakan sidang acara pemeriksaan biasa.
Sidang acara pemeriksaan biasa dijelaskan dalam Pasal 62 Peraturan Kepolisian Nomor 7
Tahun 2022.
Seorang anggota kepolisian yang melakukan tindak pidana termasuk kedalam
pelanggaran KEPP kategori berat. Hal ini dijelaskan dalam Pasal 17 ayat (3) huruf e Peraturan
Kepolisian Nomor 7 Tahun 2022 tentang Kode Etik Profesi Dan Komisi Kode Etik Kepolisian
Negara Republik Indonesia yang berisi “Pelanggaran KEPP kategori berat sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) huruf b angka 3, dengan kriteria melakukan tindak pidana
dan telah mendapatkan putusan yang berkekuatan hukum tetap”.
Kemudian pada Pasal 107 Peraturan Kepolisian Nomor 7 Tahun 2022, Pejabat Polri
yang melakukan Pelanggaran KEPP dikenakan sanksi berupa: sanksi etika dan/atau sanksi
administratif.
Sanksi etika dikenakan terhadap pelanggar yang melakukan pelanggaran ringan dan
dijelaskan dalam Pasal 108 Peraturan Kepolisian Nomor 7 Tahun 2022. Sedangkan sanksi
administratif dikenakan terhadap terduga pelanggar yang melakukan pelanggaran dengan
kategori sedan dan kategori berat.
Sesuai dengan Pasal 17 ayat (3) huruf e Peraturan Kepolisian Nomor 7 Tahun 2022,
anggota kepolisian dalam kasus ini termasuk kedalam pelanggaran KEPP kategori berat
karena telah melakukan tindak pidana narkotika. Maka, sanksi yang dapat dikenakan dalam
pelangaran KEPP kategori berat adalah sanksi administratif. Sanksi administratif ini dijelaskan
lebih lanjut dalam Pasal 109 Peraturan Kepolisian Nomor 7 Tahun 2022 yaitu meliputi :
a) Mutasi Bersifat Demosi paling singkat 1 (satu) tahun;
b) penundaan kenaikan pangkat paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga
tahun);

30
c) penundaan pendidikan paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga tahun);
d) penempatan pada Tempat Khusus paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja; dan
e) PTDH.
Dengan terbuktinya anggota kepolisian tersebut telah melanggar kode etik menurut
Propam, maka akan dilakukan penegakan kode etik dengan pemberhentian tidak hormat atau
dicopot dari kesatuan Polri. Hal ini juga memberikan tanggungjawab kepada anggota yang
dicopot untuk memegang kerahasian dalam satuan Polri setelah dia dicopot dari kesatuan.
Pemberhentian Tidak Dengan Hormat yang selanjutnya disingkat PTDH adalah
pengakhiran masa dinas Kepolisian oleh pejabat yang berwenang terhadap Pejabat Polri
karena sebab-sebab tertentu. Pemberhentian Tidak Dengan Hormat dijelaskan dalam Pasal 11
PP No. 1 Tahun 2003 tentang Pemberhentian Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia
yaitu, Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang diberhentikan tidak dengan
hormat apabila:
1. melakukan tindak pidana;
2. melakukan pelanggaran;
3. meninggalkan tugas atau hal lain.
Dijelasan pula pada Pasal 12 ayat (1) huruf a Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun
2003 Tentang Pemberhentian Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yaitu Anggota
Kepolisian Negara Republik Indonesia, diberhentikan tidak dengan hormat dari dinas
Kepolisian Negara Republik Indonesia apabila dipidana penjara berdasarkan putusan
pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan menurut pertimbangan pejabat
yang berwenang tidakdapat dipertahankan untuk tetap berada dalam dinas Kepolisian Negara
Republik Indonesia.
Sebagaimana telah dijelaskan dalam Pasal 109 Peraturan Kepolisian Nomor 7 Tahun
2022, Pasal 11 PP No. 1 Tahun 2003, serta Pasal 12 PP No. 1 Tahun 2003 diatas, Maka, sudah
pantas dan layak anggota kepolisian ini mendapat rekomendasi sanksi administratif berupa
Pemberhentian Dengan Tidak Hormat (PTDH).

31
BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Fungsi Kode Etik Kepolisian adalah dalam Mencegah Penyalahgunaan Wewenang


Kepolisian. Implementasi dari Peraturan Kapolri Nomor 7 Tahun 2022 tentang Kode Etik
Profesi dan Komisi Kode Etik Kepolisian Negara Republik Indonesia masih terbilang rendah
sehingga menyebabkan masih sering terjadi pelanggaran terhadap kode etik. Hal tersebut
dapat dilihat dari masih banyaknya tingkat pelanggaran terhadap kode etik itu sendiri yang
dilakukan oleh anggota Polri.
Penyelesaian terhadap pelanggaran kode etik sendiri dirasa belum menyeluruh. Kode
Etik kepolisian telah berfungsi dan belum maksimal dalam menetralisir pelanggaran yang
terjadi melalui sidang komisi etik juga kurang optimal dalam mencegah penyalahgunaan
wewenang mengingat banyak sekali penyalahgunaan wewenang yang dilakukan anggota polri
yang mengakibatkan terjadinya pelanggaran terhadap kode etik itu sendiri yang belum
memunculkan efek jera bagi personel Polri lainnya.
Faktor-faktor yang cenderung mendominasi masih banyaknya pelanggaran terhadap
kode etik antara lain faktor ekonomi meliputi kebutuhan rumah tangga dan kebutuhan pribadi
dalam melaksanakan tugas dan faktor psikologi yang meliputi gaya hidup dan hobi anggota
polri yang memancing mereka untuk berperilaku diluar kode etik mereka. Kode Etik yang
telah berfungsi secara terstruktur melalui pengawasan internal dan eksternal akan lebih
berfungsi apabila disandingkan dengan peningkatan kualitas SDM, Pembinaan Mental, dan
Perbaikan Kesejahteraan Hidup anggota Polri.
Seorang anggota kepolisian yang telah terbukti melakukan tindak pidana narkotika
maka harus mengikuti sidang di peradilan umum terlebih dahulu, sama seperti warga sipil
lainnya. Setelah terlewatinya proses di peradilan maka proses selanjutnya yang dilewati oleh
terdakwa adalah penegakan kode etik profesi Polri yang dilakukan oleh Propam. Dengan
adanya hal ini maka terdapat dua penjatuhan hukuman bagi terdakwa anggota polri yang
melakukan tindak pidana, yakni sanksi pidana dan sanksi disiplin.
Sesuai dengan pasal 17 ayat (3) huruf e Peraturan Kepolisian Nomor 7 Tahun 2022,
anggota kepolisian yang menggunakan dan mengedarkan narkotika termasuk kedalam
pelanggaran berat. Maka anggota kepolisian yang terbukti melakukan tindakan pidana
natkotika dan sudah diputus dalam putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap dapat

32
direkomendasikan untuk mendapatkan sanksi administratif dari instansi Polri berupa
Pemberhentian Tidak Dengan Hormat (PTDH)

5.2 Saran
Dari analisa diatas dapat kami simpulkan bahwa saran yang bisa kami berikan terhadap
pelanggaran kode etik profesi polisi terhadap anggota yang melakukan tindak pidana narkotika
adalah sebagai berikut.
a. Dengan memastikan proses penegakan hukum terhadap anggota yang terlibat dalam tindak
pidana narkotik dilakukan dengan adil, tanpa adanya perlakuan khusus atau diskriminasi.
b. Melakukan penyelidikan internal terhadap anggota yang terlibat, termasuk memastikan bahwa
proses hukum dilakukan secara benar dan profesional.
c. Memastikan bahwa anggota yang terbukti bersalah dalam tindak pidana narkotik diberikan
pengadilan yang adil dan hak-hak mereka dihormati.
d. Memberikan sangsi yang sesuai dengan hukum dan peraturan yang berlaku, seperti pemecatan
atau penonaktifan sesuai dengan tingkat pelanggaran maka akan mengurangi pelanggaran
terhadap anggota polisi.
e. Meningkatkan pendidikan dan pelatihan dalam pencegahan penggunaan narkotik di antara
anggota polisi, serta penyadaran akan bahaya tindak pidana narkotik pada aparat kepolisian.
f. Melakukan konseling dan rehabilitasi terhadap anggota yang terlibat dalam tindak pidana
narkotik harus diberikan kesempatan untuk mendapatkan konseling dan rehabilitasi agar dapat
memperbaiki perilaku mereka.
g. Bersifat transparansi/keterbukaan dan bertanggung-jawaban di mana harus dipastikan bahwa
tindakan yang diambil terhadap anggota yang melanggar kode etik polisi dalam kasus narkotik
dilakukan secara transparan, dan masyarakat diberikan informasi yang cukup.
h. Bekerjasama dengan lembaga penegak hukum dan lembaga pencegahan narkotik lainnya
untuk mengatasi permasalahan narkotik secara holistik atau secara keselurahan.
i. Melakukan pencegahan korupsi agar memperkuat langkah-langkah untuk mencegah korupsi
dalam tubuh Kepolisian, yang bisa menjadi faktor peningkatan kasus penyalahgunaan
narkotik.
j. Selalu melakukan evaluasi rutin terhadap kebijakan dan tindakan yang telah diambil untuk
memastikan efektivitas dalam menangani kasus pelanggaran narkotik di kalangan anggota
polisi.

33
DAFTAR PUSTAKA
Perundang-Undangan

Dewan Pertahanan Negara. (1946). Penetapan Dewan Pertahanan Negara No. 39 Tahun 1946. Jakarta.

Dewan Pertahanan Negara. (1947). Instruksi Dewan Pertahanan Negara (DPN) dengan TAP No.

112/DPN/1947. Jakarta.

Indonesia. (1960). Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 1960 tentang Pengusutan,

Penuntutan dan Pemeriksaan Tindak Pidana. Jakarta.

Indonesia. (2003). Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2003 Tentang Pemberhentian

Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yaitu Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Jakarta.

Indonesia. (2003). Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2003 tentang Peraturan

Disiplin Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia. Jakarta.

Indonesia. (2003). Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2003 tentang Pelaksanaan

Teknis Institusional Peradilan Umum Bagi Anggota Kepolisian. Jakarta.

Kepolisian Republik Indonesia. (2011). Peraturan Kapolri Nomor 14 tahun 2011 tentang Kode Etik Profesi

Kepolisian Negara Republik Indonesia. Jakarta.

Kepolisian Republik Indonesia. (2022). Peraturan Kepolisian Nomor 7 Tahun 2022 tentang Kode Etik Profesi

dan Komisi Kode Etik Kepolisian Negara Republik Indonesia. Jakarta.

Pemerintah Indonesia. (1981). Undang-Undang Nomor. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Jakarta:

Sekretariat Negara.

Pemerintah Indonesia. (2002). Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik

Indonesia tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Jakarta: Sekretariat Negara.

34
Pemerintah Indonesia. (2009). Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika. Jakarta: Sekretariat

Negara.

Buku

Achmad, M. Y. (2010). Dualisme Penelitian Hukum Normatif & Empiris. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Prakoso, D. (1987) dalam Polri Sebagai penyidik Dalam Penegakan hukum. Jakarta: Bina Aksara, hlm. 136.

Prodjodikoro, W. (1967) dalam Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia. Bandung: Eresco.

Rahardjo, S. (2002) Polisi Sipil dalam Perubahan Sosial di Indonesia. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

Sadjijono and Kurnadi (2010) Memahami Hukum kepolisian. Yogyakarta: LaksBang PRESSindo.

Wajdi, F., Imran and Hasanuddin, M.I. (2020) in Pengawasan Hakim Dan Penegakan Kode Etik di komisi
yudisial. Jakarta: Sinar Grafika, hlm. 309.

Purwaningsih, E. (2022). Metode Penelitian Hukum. Bandung: Mandar Maju.

Zed, M. (2003). Jenis dan Sifat Penelitian. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.

Jurnal

Zed, M. (2003). Jurnal Hukum. Jenis dan Sifat Penelitian.

Website

Narkotika dan Sanksi Hukumnya. (diakses 2 Oktober 2023). Diambil kembali dari Badan Narkotika Nasional

Kabupaten Muna: https://munakab.bnn.go.id/narkotika-sanksi-hukumnya/

Narkotika, Polisi. (diakses 2 Oktober 2023). Diambil kembali dari Kamus Besar Bahasa Indonesia Daring:

https://www.kbbi.web.id/

35

Anda mungkin juga menyukai