Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH HUKUM ACARA KONSTITUSI

SENGKETA KEWENANGAN LEMBAGA NEGARA

“Sengketa antara KPK dan KAPOLRI dalam kasus korupsi simulator SIM”

OLEH :

NAMA : EKO SUMARDI

NPM : 213014905

KELAS : C

DOSEN : MANGGARA GULTOM, S.H, M.H.

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS BALIKPAPAN

BALIKPAPAN 2023
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT Tuhan Yang Maha Esa, yang telah memberikan rahmat dan

karunia-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan sebaik-

baiknya. Penulis menyusun skripsi dengan judul “Pengaruh Financial Distress, Debt

Covenant dan Firm Size Terhadap Konservatisme Akuntansi Pada Perusahaan

Manufaktur Sektor Barang dan Konsumsi Yang Terdaftar Di Bursa Efek Indonesia

Periode 2018-2020.”

Dalam proses penyusunan skripsi ini penulis menjumpai habatan, namun berkat

dukungan materil dari berbagai pihak, akhirnya penyusun dapat menyelesaikan tugas ini

dengan cukup baik. Pada kesempatan ini penyusun menyampaikan terima kasih dan

penghargaan setinggi-tingginya kepada semua pihak terkait yang telah membantu

terselesaikannya tugas ini, khususnya kepada:

1. Bapak Dr. Ir. M. Isradi Zainal, S.T., M.M., M.H., CAAE., IPU, A.Eng selaku Rektor

Universitas Balikpapan.

2. Bapak Dr. Drs. H. Tamzil Yusuf, M.M. selaku Dekan Fakultas Ekonomi Universitas

Balikpapan.

3. Bapak Yanzil Azizil Yudaruddin, S.E., M.Acc., Ak selaku Ketua Program Studi

Akuntansi.

Ibu Dr. Miswaty, S.E., M.Si., Ak., CA selaku Dosen Pembimbing I dan Ibu Satriawaty

Migang, S.E., M.Si., Ak., CA selaku Dosen Pembimbing II


DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL
HALAMAN PENGESAHAN
HALAMAN PENGESAHAN.................................................................................i
SURAT PERNYATAAN........................................................................................i
KATA PENGANTAR............................................................................................v
DAFTAR ISI.......................................................................................................viii
DAFTAR TABEL................................................................................................xii
DAFTAR GAMBAR..........................................................................................xiii
DAFTAR LAMPIRAN.......................................................................................xiv
BAB I PENDAHULUAN..................................................................................1
1.1. Latar Belakang...............................................................................1
1.2. Perumusan Masalah.......................................................................6
1.3. Tujuan Penelitian...........................................................................7
1.4. Manfaat Penelitian.........................................................................8
1.5. Sistematika Penulisan....................................................................8
BAB II TINJAUAN PUSTAKA.......................................................................11
2.1 Teori Keagenan............................................................................11
2.2 Konservatisme Akuntansi............................................................12
2.3 Financial Distress (Tingkat Kesulitan Keuangan)......................14
2.4 Debt Covenant (Kontrak Hutang)................................................16
2.5 Firm Size (Ukuran Perusahaan)...................................................17
2.6 Penelitian Terdahulu....................................................................18
2.7 Kerangka Konseptual...................................................................21
2.8 Hipotesis.......................................................................................22
BAB III METODE PENELITIAN....................................................................25
3.1 Definisi Operasional Variabel......................................................25
3.2 Ruang Lingkup Penelitian............................................................28
3.3 Jenis Penelitian.............................................................................28
3.4 Populasi dan Sampel....................................................................28
3.5 Metode Pengumpulan Data..........................................................32
3.6 Metode Analisis Data...................................................................32
3.7 Uji Asumsi Klasik........................................................................33
3.8 Analisis Regresi Linier Berganda................................................35
3.9 Uji Hipotesis................................................................................36
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Negara Indonesia adalah Negara hukum, sebagaimana diamanatkan di ketentuan pasal

1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia. Aturan tersebut harus di taati

oleh masyarakat Indonesia, sebagai warga negara yang baik kita harus patuh dan taat kepada

hukum yang ada. Dalam rangka mencapai tujuan Nasional yang ditandai oleh terjaminya

keamanan, ketertiban dan tegaknya hukum serta menjaga Kesatuan Republik Indonesia, perlu

penegak hukum yaitu Tentara Nasional Indonesia dan Polisi Republik Indonesia.

Permasalahan korupsi di Indonesia sudah memprihatinkan banyak pihak, karena

tindak pidana korupsi di Indonesia sangat kompleks. Korupsi telah merambat di lembaga,

legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Bahwa tidak jarang lagi korupsi itu dikategorikan

kejahatan luar biasa (extraordinary crime), jadi pemberantasan korupsi harus dilakukan

dengan cara yang luar biasa juga (extraordinary enforcement) dikarenakan masalah korupsi

berakar dalam kehidupan kita berbangsa dan bernegara.

Sistem peradilan pidana (Criminal Justice System) sebagai suatu sistem dalam

masyarakat untuk menanggulangi masalah kejahatan dimaknai sebagai upaya untuk

mengendalikan atau membatasi kejahatan agar berada dalam batas-batas toleransi masyarakat.

Komponen-komponen yang berkerja dalam sistem ini meliputi Kepolisian, Kejaksaan, Kpk,

pengadilan dan lembaga pemasyarakatan. Empat komponen ini diharapkan dapat bekerjasama

sehingga menghasilkan suatu keterpaduan yang kita kenal dengan integrated criminal justice

system.

Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah pegawai negeri pada kepolisian Negara

Republik Indonesia, Pejabat kepolisian Negara Republik Indonesia adalah anggota Kepolisian

Negara Repulik Indonesia yang berdasarkan undang-undang memiliki wewenang umum

Kepolisian. Fungsi kepolisian salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan
keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman dan

pelayanan kepada masyarakat, tujuan Kepolisian untuk mewujudkan keamanan dalam negeri

yang meliputi terpeliharanya keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya

hukum, terselenggaranya perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat, serta

terbinanya ketenteraman masyarakat dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia.

Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, kewenangan penyidikan jatuh

ketangan Kepolisian Republik Indonesia itu sesuai Pasal 6 Kitab Undang-Undang Hukum

Acara Piodana menyebutkan penyidik adalah Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia dan

Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh Undang-

Undang,syarat kepangkatan pejabat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) akan diatur dalam

perarturan pemerintah, ini berarti bahwa kepolisian adalah penyidik tunggal didalam Kitab

Undang Hukum Aacara Pidana.1. Salah satu proses yang penting dalam penyelesaian tindak

pidana korupsi adalah proses penyidikan. Kewenangan penyidikan dalam tindak pidana

korupsi menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku selalu dikaitkan dengan aparat

penegak hukum Kepolisian yaitu di kepala satuan resort criminal di unit tipikor (tindak pidana

korupsi). Karena tugas inti dari kepolisian republik Indonesia adalah mengayomi, melindungi

serta memberikan rasa kemanan juga ketertiban kepada masyarakat. Penyidikan yang

dimaksud yaitu tentang penangkapan yang dilakukan aparat penegak hukum yaitu POLRI,

Penangkapan sendiri memiliki arti Penangkapan adalah suatu tindakan penyidik berupa

pengekangan sementara waktu kebebasan tersangka atau terdakwa apabila terdapat cukup

bukti guna kepentingan penyidikan atau penuntutan dan atau peradilan dalam hal serta

menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini dan ada juga lain dari penangkapan yaitu

tangkap tangan yaitu Tertangkap Tangan adalah tertangkapnya seorang pada waktu sedang

melakukan tindak pidana, atau dengan segera sesudah beberapa saat tindak pidana itu

dilakukan, atau sesaat kemudian diserukan oleh khalayak ramai sebagai orang yang

melakukannya atau pabila sesaat kemudian padanya ditemukan benda yang diduga keras telah
di pergunakan untuk melakukan tindak pidana itu yang menunjukkan bahwa ia adalah

pelakunya atau turut melakukan atau membantu melakukan tindak pidana itu.

Penangkapan mempunyai syarat-syarat yaitu adanya dugaan keras melakukan tindak

pidana berdasarkan bukti cukup, dengan surat perintah menangkap dari pejabat yang

berwenang, surat penangkapan memuat identitas, alasan, uraian singkat tindak pidana, surat

tugas dari pejabat yang berwenang yaitu dari kasatreskrim atau kanit tipikor atau penyidik,

pelaksana penangkapan adalah Polisi Republik Indonesia, cara-cara dan Proses Penyelidikan-

Penyidikan-Penangkapan dan Polisi Republik Indonesia menunjuk petugas yang mempunyai

jabatan khusus yaitu penyidik serta penyidik pembantu. Maka dari itu peneliti ingin

memberikan pengetahuan kepada masyarakat tentang aturan-aturan/Undang-Undang yang

dibuat dasar/acuan aparat penegak hukum Polisi Republik Indonesia dalam melakukan

penyidikan penangkapan tindak pidana korupsi, peneliti juga memberikan pengetahuan

kepada masyarakat tentang bagaimana proses penyelidikan sampai penyidikan sampai

penangkapan yang dilakukan aparat penegak hukum Polisi Republik Indonesia dalam

menangani tindak pidana korupsi, peneliti juga ingin menjelaskan kepada masyrakat bahwa

adapun kendala-kendala polisi republik Indonesia dalam menangani penyidikan penangkapan

dalam tindak pidana korupsi.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apa Yang Menjadi Dasar Hukum Polri Dalam Melakukan Penyidikan penangkapan Tidak

Pidana Korupsi ?

2. Bagaimana Proses Polri dalam melakukan penyidikan penangkapan tindak pidana korupsi?

3. Apa kendala yang dialami Polri dalam melakukan penyidikan penangkapan tindak pidana

korupsi?

1.3 Tujuan Masalah

1. Untuk Mengetahui Dasar Hukum Polri Dalam Melakukan Penyidikan penangkapan Tidak

Pidana Korupsi ?
2. Untuk Mengetahui Proses Polri dalam melakukan penyidikan penangkapan tindak pidana

korupsi?

3. Untuk Mengetahui kendala yang dialami Polri dalam melakukan penyidikan penangkapan

tindak pidana korupsi?


BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Dasar Hukum Polri Dalam Melakukan Penyidikan penangkapan Tidak Pidana

Korupsi

Dasar hukum Polri dalam melakukan penyidikan Penangkapan Tindak Pidana Korupsi

yaitu Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, Undang-Undang Republik

Indonesia Nomor 2 Tahun2002 Tentang Kepolisian Republik Indonesia, Undang-Undang

Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 Hukum Acara Pidana, Undang-Undang Republik

Indonesia Nomor 28 Tahun 1999 Penyelenggaraan Negara Yang Bersih Dan Bebas Dari

Korupsi, Kolusi Dan Nepotisme, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang Republik Indonesia Nomer 15 tahun

2006 Tentang Badan Pemeriksa Keuangan, Undang-Undang Republik Indonesia Nomer 36

Tahun 1999 Tentang Telekomunikasi, Peraturan Pemerintah Negara Republik Indonesia 52

Tahun 2000 Penyelenggaraan Telekomunikasi, Peraturan Pemerintah Negara Republik

Indonesia Nomer 12 Tahun 2017 Tentang Pembinaan Dan Pengawasan Penyelenggaraan

Pemerintah Daerah, Peraturan Pemerintah Negara Republik Indonesia Nomer 18 Tahun 2016

Tentang Perangkat Daerah, Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomer

14 Tahun 2012 Tentang Manajemen Penyidikan Kepolisian Republik Indonesia, Peraturan

Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomer 16 Tahun 2010 Tentang Tata Cara

Pelayanan Informasi Publik Di Lingkungan Kepolisian Negara Republik Indonesia, Peraturan

Presiden Republik Indonesia Nomer 192 Tahun 2014 Tentang Badan Pengawasan Keuangan

Dan Pembangunan.

Dalam Melakukan Penyelidikan Penangkapan Tindak Pidana Korupsi dasar hukum yg

digunakan POLRI sudah sesuai dengan aturan Perundang-undangan, memakai Standar

Operasional Prosedur, Surat Perintah Penangkapan, Surat Pemberitahuan dimulainya

penyidikan, surat perintah tugas penyelidik dan Penyidik. Jadi Setiap Polri/Petugas dalam
menjalankan kewajiban dan wewenangnya selalu berpedoman dengan aturan atau perundang-

undangan yang berlaku. Apabila ada petugas penyelidik ataupun Penyidik pada waktu

menjalankan tugasnya tidak sesuai aturan atau SOP Polri, maka perlu mendapatakan teguran

dari atasan atau Provos bahkan kritik dari masyarakat.

Sedangkan dasar hukum yang digunakan oleh Penyidik tindak pidana Korupsi di

Kejaksaan adalah berdasarkan ketentuan Pasal 284 ayat (2) KUHAP jo Pasal 30 ayat (1) UU

No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI khususnya Tindak Pidana Ekonomi (UU No. 7 drt

Tahun 1955 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi) dan

Tindak Pidana Korupsi (UU No. 31 43 Tahun 1999 jo UU No. 20 2001) masih dimungkinkan

penyidikan dilakukan oleh Kejaksaan.

Adapun KPK melakukan penyidikan tindak pidana korupsi didasarkan pada UU No

30 Tahun 2002 menyatakan bahwa KPK dalam melakukan penyelidikan, penyidikan, dan

penuntutan tunduk kepada hukum acara yang berlaku. Jadi, inti UU No 30 Tahun 2002 adalah

membentuk lembaga negara baru yang dinamai KPK guna menjalankan ketentuan UU yang

telah ada, baik UU materiil maupun formilnya. Dengan demikian, menindak pelaku-pelaku

tipikor yang dilakukan sebelum KPK dibentuk tidak boleh diartikan bahwa UU itu berlaku

surut. Sumber hukum dalam melakukan penyidikan tindak pidana korupsi dari ketiga lembaga

tersebut di atas, sama-sama memiliki sumber hukum yang jelas dan berlaku.

2.2 Proses Polri dalam melakukan penyidikan penangkapan tindak pidana korupsi

Munculnya sengketa kewenangan dalam penyidikan tindak pidana korupsi karena ada

ketidakjelasan batasan wewenang dari tiga instansi yang didasarkan pada kekaburan hukum

sehingga menyebabkan multitafsir dalam melaksanakan penyidikan tindak pindak korupsi.

Dalam pelaksanaanya sering kali dijumpai aturan hukum yaitu kekosongan hukum (leemtem

in hes recht), konflik antar norma hukum (antinomy norm) dan norma yang kabur (vage

norm) atau norma yang tidak jelas. Dalam konteks dasar hukum yang dijadikan dasar

penyidikan tindak pidana korupsi oleh ketiga lembaga terkait cenderung termasuk pada
kekaburan hukum tentang batasan wewenang antar lembaga sehingga seringkali

menyebabkan multitafsir karena hanya disesuaikan dengan penafsiran lembaga masing-

masing. Hal ini yang menyebabkan seringkali terjadinya tumpang tindih wewenang dalam

satu kasus tindak pidana korupsi, seperti kasus simulator SIM. Kekaburan hukum tentang

wewenang penyidikan tindak korupsi dari Polri, Kejaksaan, dan KPK juga terlihat dari

keterpaksaan tiga lembaga tersebut membuat sebuah MoU yang membahas tentang

kewenangan tindak pidana korupsi. Padahal, apabila Undang-undang tentang kewenangan

penyidikan tindak pidana korupsi dari tiga instansi tersebut secara tegas menyebutkan batas

wewenang masing-masing instansi yang terkait, maka MoU seperti ini tidak akan diperlukan.

Salah satu contoh pasal yang dijadikan dasar oleh Polri dan Kejaksaan dalam

melakukan penyidikan tindak pidana korupsi. Karena tidak ada peraturan perundang-

undangan yang membagi batas kewenangan kedua instansi tersebut secara tegas dalam

melakukan penyidikan terhadap tindak pidana korupsi, sehingga menimbulkan tumpang

tindih kewenangan antara kedua instansi ini. Lebih jelasnya dalam KUHAP pada Pasal 1 ayat

(1) “Penyidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri

sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan

penyidikan”. Jelas terlihat dengan disebutkan dalam pasal di atas, bahwa polisi memiliki

wewenang melakukan penyidikan, dalam hal ini penyidikan terhadap setiap tindak pidana

yang terjadi, termasuk tindak pidana korupsi, padahal Jaksa juga memiliki wewenang

penyidikan terhadap tindak pidana korupsi tersebut. Ketentuan mengenai kewenangan Jaksa

di atas sebenarnya sekaligus memperkuat Pasal 284 ayat (2) KUHAP yang mendasari

kewenangan Jaksa dalam melakukan penyidikan terhadap tindak pidana korupsi, yaitu dalam

dua tahun setelah undang-undang ini (KUHAP) diundangkan, maka terhadap semua perkara

diberlakukan ketentuan ini, dengan pengecualian untuk sementara mengenai ketentuan khusus

acara pidana sebagaimana tersebut dalam undang-undang tertentu, sampai ada perubahan dan
atau dinyatakan tidak berlaku lagi. Penjelasan Pasal di atas menyebutkan bahwa: Yang

dimaksud dengan semua perkara adalah perkara yang telah dilimpahkan ke Pengadilan.

Yang dimaksud dengan “ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut dalam undang-

undang tertentu” ialah khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada, antara lain:

Undang-undang tentang pengusustan, penuntutan dan peradilan Tindak Pidana Ekonomi (UU

No. 7 Drt Tahun 1955) Undang-undang tentang pemberantasan korupsi (UU No. 3 Tahun

1971). Kepolisian berpendapat bahwa apabila “jangka waktu dua tahun” maka polisi memiliki

wewenang melakukan penyidikan terhadap semua tindak pidana, termasuk tindak pidana

khusus. Bukti tersebut menjelaskan sudah adanya tumpang tindih kewenangan antara dua

Instansi ini, namun dalam realitanya seakan tidak ada masalah dengan adanya ketumpang

tindihan tersebut. Pada prakteknya hubungan antara kedua Instansi tersebut baik-baik saja,

namun sebenarnya ada background perselisihan antara kedua instansi tersebut setelah

diundangkannya KUHAP, khususnya mengenai Pasal 284 ayat (2). KUHAP Pasal 284 Ayat

(2) inilah yang menjadi acuan kewenangan Kejaksaan melakukan penyidikan terhadap tindak

pidana korupsi. Dalam pasal tersebut sebenarnya terdapat pembatasan dengan adanya redaksi

“sementara”. Namun dalam kenyataannya, setelah sekian banyak pergantian mengenai

undang-undang tindak pidana Korupsi mulai dari UU No. 3 Tahun 1971, UU No. 31 Tahun

1999, sampai dengan UU No. 20 Tahun 2001 tidak terdapat pengaturan yang tegas mengenai

apakah kejaksaan tetap memiliki kewenangan untuk melakukan penyidikan terhadap tindak

pidana korupsi.Terkait dengan diksi “sementara” terdapat beberapa pendapat dalam

mengartikan kewenangan tersebut. Menurut OC. Kaligis, semula kewenangan tersebut hanya

dipertahankan dalam waktu 2 (dua) tahun atau sampai ada pergantian UU khusus seperti UU

tentang Tindak Pidana Korupsi dan UU Tindak Pidana Ekonomi. Yang artinya kewenangan

Jaksa melakukan penyidikan terhadap Tindak Pidana Korupsi dan UU Tindak Pidana

Ekonomi sudah habis masa berlakunya. Kewenangan tersebut diberikan hanya sampai UU

terkait dengan Tindak Pidana Korupsi dan UU Tindak Pidana Ekonomi diperbarui dan posisi
kejaksaan dikembalikan sebagai pengawas terhadap penyidikan yang dilakukan oleh polisi

sesuai dengan sistem yang diatur dalam KUHAP (Kaligis, 2006).

Namun pergantian UU khusus tersebut tidak pernah terealisasi sampai saat ini, bahkan

muncul disparitas berbagai undang-undang yang memberikan kewenangan kepada Kejaksaan

sebagai penyidik. Oleh karena itu, jelas kewenangan Kejaksaan yang ganda tersebut secara

kelembagaan tidak ada yang mengendalikannya atau mengkontrol sebagaimana cita-cita atau

tujuan pembentukan KUHAP.

Selanjutnya, dalam pasal 11 ayat (3) UU KPK ayat (3) dijelaskan bahwa KPK berhak

melakukan penyidikan tindak pidana korupsi apabila menyangkut kerugian negara paling

sedikit 1.000.000.000 (1 miliar) rupiah, namun di dalam pasal 50 ayat (3) UU KPK dijelaskan

bahwa Dalam hal Komisi Pemberantasan Korupsi sudah mulai melakukan penyidikan

sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kepolisian atau kejaksaan tidak berwenang lagi

melakukan penyidikan;. Membaca pasal 50 ayat (3) UU KPK seakan-akan KPK dalam

melakukan penyidikan tindak korupsi tidak mengenal batasan minimal kerugian negara

sehingga semua kerugian negara dapat dilakukan penyidikan oleh KPK. Padahal di pasal 11

ayat (3) sudah jelas bahwa ranah wewenang penyidikan KPK apabila negara mengalami

kerugian minimal 1 miliar. Selain itu, dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a UU Nomor 8 Tahun

1981 (Kitab Undangundang Hukum Acara Pidana /KUHAP) berbunyi:

“Penyidik adalah: pejabat polisi negara Republik Indonesia”. Selanjutnya, pada Pasal 7 ayat

(1) UU Nomor 8 Tahun 1981 berbunyi; Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat

(1) huruf a karena kewajibannya mempunyai wewenang:

a. menerima Iaporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindak pidana;

b. melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian;

c. menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka;

d. melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan;

e. melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;


f. mengambil sidik jari dan memotret seorang;

g. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;

h. mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan

perkara;

i. mengadakan penghentian penyidikan;

j. mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab

Sedangkan, pada tahun 2002 diundangkan UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, bahwa dalam Pasal 50 ayat (3) UU Nomor 30 Tahun

2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi berbunyi: “Dalam hal Komisi

Pemberantasan Korupsi sudah mulai melakukan penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat

(1), kepolisian atau kejaksaan tidak berwenang lagi melakukan penyidikan”.

Dalam penggunaan frasa “kepolisian atau kejaksaan tidak berwenang lagi melakukan

penyidikan” tidak secara jelas merumuskan wewenang penyidikan yang diatur di Undang-

Undang yang mana yang semula dimiliki oleh kepolisian dan kejaksaan yang menjadi hilang

atau dihapuskan setelah KPK mulai melakukan penyidikan. Ketidakjelasan ini merupakan

fakta hukum yang nyata dan dapat kita lihat pada kasus penyidikan dugaaan korupsi simulator

SIM dimana institusi Polri, bukan sekadar oknum terbukti tetap melakukan penyidikan

perkara yang sudah disidik oleh KPK karena menurut mereka wewenang penyidikan mereka

di atur dalam KUHAP. Ketidakjelasan yang timbul karena frasa “kepolisian atau kejaksaan

tidak berwenang lagi melakukan penyidikan” tersebut menimbulkan ketidakpastian hukum

sebagaimana terjadi dalam “penyidikan ganda” dalam kasus dugaan korupsi pengadaan

simulator Surat Izin Mengemudi (SIM) yang saat itu sedang disidik secara bersamaan oleh

Kepolisian Republik Indonesia (Polri) dan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

(KPK). Bahkan dalam penyidikan yang dilakukan secara terpisah tersebut, Polri dan KPK

menetapkan seorang tersangka yang sama. “Penyidikan ganda” dalam kasus dugaan korupsi

pengadaan simulator SIM timbul karena baik KPK maupun Polri sama-sama merasa memiliki
hak untuk menyidik perkara tersebut. Penyidikan ganda yang dilakukan oleh Polri dan KPK

dalam perkara yang sama dan dengan tersangka yang sama jelas bertentangan dengan asas

kepastian hukum karena menjadi tidak jelas atas dasar penyidikan yang mana kelak

persidangan terhadap perkara tersebut akan dilaksanakan. Penyidikan ganda sebagaimana

terjadi dalam kasus dugaan korupsi pengadaan simulator SIM sangat mungkin telah sering

dan akan terus terjadi kembali dalam perkara-perkara tindak pidana korupsi lain.

Anda mungkin juga menyukai