“Sengketa antara KPK dan KAPOLRI dalam kasus korupsi simulator SIM”
OLEH :
NPM : 213014905
KELAS : C
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS BALIKPAPAN
BALIKPAPAN 2023
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT Tuhan Yang Maha Esa, yang telah memberikan rahmat dan
karunia-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan sebaik-
baiknya. Penulis menyusun skripsi dengan judul “Pengaruh Financial Distress, Debt
Manufaktur Sektor Barang dan Konsumsi Yang Terdaftar Di Bursa Efek Indonesia
Periode 2018-2020.”
Dalam proses penyusunan skripsi ini penulis menjumpai habatan, namun berkat
dukungan materil dari berbagai pihak, akhirnya penyusun dapat menyelesaikan tugas ini
dengan cukup baik. Pada kesempatan ini penyusun menyampaikan terima kasih dan
1. Bapak Dr. Ir. M. Isradi Zainal, S.T., M.M., M.H., CAAE., IPU, A.Eng selaku Rektor
Universitas Balikpapan.
2. Bapak Dr. Drs. H. Tamzil Yusuf, M.M. selaku Dekan Fakultas Ekonomi Universitas
Balikpapan.
3. Bapak Yanzil Azizil Yudaruddin, S.E., M.Acc., Ak selaku Ketua Program Studi
Akuntansi.
Ibu Dr. Miswaty, S.E., M.Si., Ak., CA selaku Dosen Pembimbing I dan Ibu Satriawaty
HALAMAN SAMPUL
HALAMAN PENGESAHAN
HALAMAN PENGESAHAN.................................................................................i
SURAT PERNYATAAN........................................................................................i
KATA PENGANTAR............................................................................................v
DAFTAR ISI.......................................................................................................viii
DAFTAR TABEL................................................................................................xii
DAFTAR GAMBAR..........................................................................................xiii
DAFTAR LAMPIRAN.......................................................................................xiv
BAB I PENDAHULUAN..................................................................................1
1.1. Latar Belakang...............................................................................1
1.2. Perumusan Masalah.......................................................................6
1.3. Tujuan Penelitian...........................................................................7
1.4. Manfaat Penelitian.........................................................................8
1.5. Sistematika Penulisan....................................................................8
BAB II TINJAUAN PUSTAKA.......................................................................11
2.1 Teori Keagenan............................................................................11
2.2 Konservatisme Akuntansi............................................................12
2.3 Financial Distress (Tingkat Kesulitan Keuangan)......................14
2.4 Debt Covenant (Kontrak Hutang)................................................16
2.5 Firm Size (Ukuran Perusahaan)...................................................17
2.6 Penelitian Terdahulu....................................................................18
2.7 Kerangka Konseptual...................................................................21
2.8 Hipotesis.......................................................................................22
BAB III METODE PENELITIAN....................................................................25
3.1 Definisi Operasional Variabel......................................................25
3.2 Ruang Lingkup Penelitian............................................................28
3.3 Jenis Penelitian.............................................................................28
3.4 Populasi dan Sampel....................................................................28
3.5 Metode Pengumpulan Data..........................................................32
3.6 Metode Analisis Data...................................................................32
3.7 Uji Asumsi Klasik........................................................................33
3.8 Analisis Regresi Linier Berganda................................................35
3.9 Uji Hipotesis................................................................................36
BAB I
PENDAHULUAN
1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia. Aturan tersebut harus di taati
oleh masyarakat Indonesia, sebagai warga negara yang baik kita harus patuh dan taat kepada
hukum yang ada. Dalam rangka mencapai tujuan Nasional yang ditandai oleh terjaminya
keamanan, ketertiban dan tegaknya hukum serta menjaga Kesatuan Republik Indonesia, perlu
penegak hukum yaitu Tentara Nasional Indonesia dan Polisi Republik Indonesia.
tindak pidana korupsi di Indonesia sangat kompleks. Korupsi telah merambat di lembaga,
legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Bahwa tidak jarang lagi korupsi itu dikategorikan
kejahatan luar biasa (extraordinary crime), jadi pemberantasan korupsi harus dilakukan
dengan cara yang luar biasa juga (extraordinary enforcement) dikarenakan masalah korupsi
Sistem peradilan pidana (Criminal Justice System) sebagai suatu sistem dalam
mengendalikan atau membatasi kejahatan agar berada dalam batas-batas toleransi masyarakat.
Komponen-komponen yang berkerja dalam sistem ini meliputi Kepolisian, Kejaksaan, Kpk,
pengadilan dan lembaga pemasyarakatan. Empat komponen ini diharapkan dapat bekerjasama
sehingga menghasilkan suatu keterpaduan yang kita kenal dengan integrated criminal justice
system.
Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah pegawai negeri pada kepolisian Negara
Republik Indonesia, Pejabat kepolisian Negara Republik Indonesia adalah anggota Kepolisian
Kepolisian. Fungsi kepolisian salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan
keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman dan
pelayanan kepada masyarakat, tujuan Kepolisian untuk mewujudkan keamanan dalam negeri
yang meliputi terpeliharanya keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya
ketangan Kepolisian Republik Indonesia itu sesuai Pasal 6 Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Piodana menyebutkan penyidik adalah Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia dan
Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh Undang-
Undang,syarat kepangkatan pejabat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) akan diatur dalam
perarturan pemerintah, ini berarti bahwa kepolisian adalah penyidik tunggal didalam Kitab
Undang Hukum Aacara Pidana.1. Salah satu proses yang penting dalam penyelesaian tindak
pidana korupsi adalah proses penyidikan. Kewenangan penyidikan dalam tindak pidana
korupsi menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku selalu dikaitkan dengan aparat
penegak hukum Kepolisian yaitu di kepala satuan resort criminal di unit tipikor (tindak pidana
korupsi). Karena tugas inti dari kepolisian republik Indonesia adalah mengayomi, melindungi
serta memberikan rasa kemanan juga ketertiban kepada masyarakat. Penyidikan yang
dimaksud yaitu tentang penangkapan yang dilakukan aparat penegak hukum yaitu POLRI,
Penangkapan sendiri memiliki arti Penangkapan adalah suatu tindakan penyidik berupa
pengekangan sementara waktu kebebasan tersangka atau terdakwa apabila terdapat cukup
bukti guna kepentingan penyidikan atau penuntutan dan atau peradilan dalam hal serta
menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini dan ada juga lain dari penangkapan yaitu
tangkap tangan yaitu Tertangkap Tangan adalah tertangkapnya seorang pada waktu sedang
melakukan tindak pidana, atau dengan segera sesudah beberapa saat tindak pidana itu
dilakukan, atau sesaat kemudian diserukan oleh khalayak ramai sebagai orang yang
melakukannya atau pabila sesaat kemudian padanya ditemukan benda yang diduga keras telah
di pergunakan untuk melakukan tindak pidana itu yang menunjukkan bahwa ia adalah
pelakunya atau turut melakukan atau membantu melakukan tindak pidana itu.
pidana berdasarkan bukti cukup, dengan surat perintah menangkap dari pejabat yang
berwenang, surat penangkapan memuat identitas, alasan, uraian singkat tindak pidana, surat
tugas dari pejabat yang berwenang yaitu dari kasatreskrim atau kanit tipikor atau penyidik,
pelaksana penangkapan adalah Polisi Republik Indonesia, cara-cara dan Proses Penyelidikan-
jabatan khusus yaitu penyidik serta penyidik pembantu. Maka dari itu peneliti ingin
dibuat dasar/acuan aparat penegak hukum Polisi Republik Indonesia dalam melakukan
penangkapan yang dilakukan aparat penegak hukum Polisi Republik Indonesia dalam
menangani tindak pidana korupsi, peneliti juga ingin menjelaskan kepada masyrakat bahwa
1. Apa Yang Menjadi Dasar Hukum Polri Dalam Melakukan Penyidikan penangkapan Tidak
Pidana Korupsi ?
2. Bagaimana Proses Polri dalam melakukan penyidikan penangkapan tindak pidana korupsi?
3. Apa kendala yang dialami Polri dalam melakukan penyidikan penangkapan tindak pidana
korupsi?
1. Untuk Mengetahui Dasar Hukum Polri Dalam Melakukan Penyidikan penangkapan Tidak
Pidana Korupsi ?
2. Untuk Mengetahui Proses Polri dalam melakukan penyidikan penangkapan tindak pidana
korupsi?
3. Untuk Mengetahui kendala yang dialami Polri dalam melakukan penyidikan penangkapan
PEMBAHASAN
2.1 Dasar Hukum Polri Dalam Melakukan Penyidikan penangkapan Tidak Pidana
Korupsi
Dasar hukum Polri dalam melakukan penyidikan Penangkapan Tindak Pidana Korupsi
Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 Hukum Acara Pidana, Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 28 Tahun 1999 Penyelenggaraan Negara Yang Bersih Dan Bebas Dari
Korupsi, Kolusi Dan Nepotisme, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001
Pemerintah Daerah, Peraturan Pemerintah Negara Republik Indonesia Nomer 18 Tahun 2016
Tentang Perangkat Daerah, Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomer
Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomer 16 Tahun 2010 Tentang Tata Cara
Presiden Republik Indonesia Nomer 192 Tahun 2014 Tentang Badan Pengawasan Keuangan
Dan Pembangunan.
penyidikan, surat perintah tugas penyelidik dan Penyidik. Jadi Setiap Polri/Petugas dalam
menjalankan kewajiban dan wewenangnya selalu berpedoman dengan aturan atau perundang-
undangan yang berlaku. Apabila ada petugas penyelidik ataupun Penyidik pada waktu
menjalankan tugasnya tidak sesuai aturan atau SOP Polri, maka perlu mendapatakan teguran
Sedangkan dasar hukum yang digunakan oleh Penyidik tindak pidana Korupsi di
Kejaksaan adalah berdasarkan ketentuan Pasal 284 ayat (2) KUHAP jo Pasal 30 ayat (1) UU
No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI khususnya Tindak Pidana Ekonomi (UU No. 7 drt
Tahun 1955 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi) dan
Tindak Pidana Korupsi (UU No. 31 43 Tahun 1999 jo UU No. 20 2001) masih dimungkinkan
30 Tahun 2002 menyatakan bahwa KPK dalam melakukan penyelidikan, penyidikan, dan
penuntutan tunduk kepada hukum acara yang berlaku. Jadi, inti UU No 30 Tahun 2002 adalah
membentuk lembaga negara baru yang dinamai KPK guna menjalankan ketentuan UU yang
telah ada, baik UU materiil maupun formilnya. Dengan demikian, menindak pelaku-pelaku
tipikor yang dilakukan sebelum KPK dibentuk tidak boleh diartikan bahwa UU itu berlaku
surut. Sumber hukum dalam melakukan penyidikan tindak pidana korupsi dari ketiga lembaga
tersebut di atas, sama-sama memiliki sumber hukum yang jelas dan berlaku.
2.2 Proses Polri dalam melakukan penyidikan penangkapan tindak pidana korupsi
Munculnya sengketa kewenangan dalam penyidikan tindak pidana korupsi karena ada
ketidakjelasan batasan wewenang dari tiga instansi yang didasarkan pada kekaburan hukum
Dalam pelaksanaanya sering kali dijumpai aturan hukum yaitu kekosongan hukum (leemtem
in hes recht), konflik antar norma hukum (antinomy norm) dan norma yang kabur (vage
norm) atau norma yang tidak jelas. Dalam konteks dasar hukum yang dijadikan dasar
penyidikan tindak pidana korupsi oleh ketiga lembaga terkait cenderung termasuk pada
kekaburan hukum tentang batasan wewenang antar lembaga sehingga seringkali
masing. Hal ini yang menyebabkan seringkali terjadinya tumpang tindih wewenang dalam
satu kasus tindak pidana korupsi, seperti kasus simulator SIM. Kekaburan hukum tentang
wewenang penyidikan tindak korupsi dari Polri, Kejaksaan, dan KPK juga terlihat dari
keterpaksaan tiga lembaga tersebut membuat sebuah MoU yang membahas tentang
penyidikan tindak pidana korupsi dari tiga instansi tersebut secara tegas menyebutkan batas
wewenang masing-masing instansi yang terkait, maka MoU seperti ini tidak akan diperlukan.
Salah satu contoh pasal yang dijadikan dasar oleh Polri dan Kejaksaan dalam
melakukan penyidikan tindak pidana korupsi. Karena tidak ada peraturan perundang-
undangan yang membagi batas kewenangan kedua instansi tersebut secara tegas dalam
tindih kewenangan antara kedua instansi ini. Lebih jelasnya dalam KUHAP pada Pasal 1 ayat
(1) “Penyidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri
sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan
penyidikan”. Jelas terlihat dengan disebutkan dalam pasal di atas, bahwa polisi memiliki
wewenang melakukan penyidikan, dalam hal ini penyidikan terhadap setiap tindak pidana
yang terjadi, termasuk tindak pidana korupsi, padahal Jaksa juga memiliki wewenang
penyidikan terhadap tindak pidana korupsi tersebut. Ketentuan mengenai kewenangan Jaksa
di atas sebenarnya sekaligus memperkuat Pasal 284 ayat (2) KUHAP yang mendasari
kewenangan Jaksa dalam melakukan penyidikan terhadap tindak pidana korupsi, yaitu dalam
dua tahun setelah undang-undang ini (KUHAP) diundangkan, maka terhadap semua perkara
diberlakukan ketentuan ini, dengan pengecualian untuk sementara mengenai ketentuan khusus
acara pidana sebagaimana tersebut dalam undang-undang tertentu, sampai ada perubahan dan
atau dinyatakan tidak berlaku lagi. Penjelasan Pasal di atas menyebutkan bahwa: Yang
dimaksud dengan semua perkara adalah perkara yang telah dilimpahkan ke Pengadilan.
Yang dimaksud dengan “ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut dalam undang-
undang tertentu” ialah khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada, antara lain:
Undang-undang tentang pengusustan, penuntutan dan peradilan Tindak Pidana Ekonomi (UU
No. 7 Drt Tahun 1955) Undang-undang tentang pemberantasan korupsi (UU No. 3 Tahun
1971). Kepolisian berpendapat bahwa apabila “jangka waktu dua tahun” maka polisi memiliki
wewenang melakukan penyidikan terhadap semua tindak pidana, termasuk tindak pidana
khusus. Bukti tersebut menjelaskan sudah adanya tumpang tindih kewenangan antara dua
Instansi ini, namun dalam realitanya seakan tidak ada masalah dengan adanya ketumpang
tindihan tersebut. Pada prakteknya hubungan antara kedua Instansi tersebut baik-baik saja,
namun sebenarnya ada background perselisihan antara kedua instansi tersebut setelah
diundangkannya KUHAP, khususnya mengenai Pasal 284 ayat (2). KUHAP Pasal 284 Ayat
(2) inilah yang menjadi acuan kewenangan Kejaksaan melakukan penyidikan terhadap tindak
pidana korupsi. Dalam pasal tersebut sebenarnya terdapat pembatasan dengan adanya redaksi
undang-undang tindak pidana Korupsi mulai dari UU No. 3 Tahun 1971, UU No. 31 Tahun
1999, sampai dengan UU No. 20 Tahun 2001 tidak terdapat pengaturan yang tegas mengenai
apakah kejaksaan tetap memiliki kewenangan untuk melakukan penyidikan terhadap tindak
mengartikan kewenangan tersebut. Menurut OC. Kaligis, semula kewenangan tersebut hanya
dipertahankan dalam waktu 2 (dua) tahun atau sampai ada pergantian UU khusus seperti UU
tentang Tindak Pidana Korupsi dan UU Tindak Pidana Ekonomi. Yang artinya kewenangan
Jaksa melakukan penyidikan terhadap Tindak Pidana Korupsi dan UU Tindak Pidana
Ekonomi sudah habis masa berlakunya. Kewenangan tersebut diberikan hanya sampai UU
terkait dengan Tindak Pidana Korupsi dan UU Tindak Pidana Ekonomi diperbarui dan posisi
kejaksaan dikembalikan sebagai pengawas terhadap penyidikan yang dilakukan oleh polisi
Namun pergantian UU khusus tersebut tidak pernah terealisasi sampai saat ini, bahkan
sebagai penyidik. Oleh karena itu, jelas kewenangan Kejaksaan yang ganda tersebut secara
kelembagaan tidak ada yang mengendalikannya atau mengkontrol sebagaimana cita-cita atau
Selanjutnya, dalam pasal 11 ayat (3) UU KPK ayat (3) dijelaskan bahwa KPK berhak
melakukan penyidikan tindak pidana korupsi apabila menyangkut kerugian negara paling
sedikit 1.000.000.000 (1 miliar) rupiah, namun di dalam pasal 50 ayat (3) UU KPK dijelaskan
bahwa Dalam hal Komisi Pemberantasan Korupsi sudah mulai melakukan penyidikan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kepolisian atau kejaksaan tidak berwenang lagi
melakukan penyidikan;. Membaca pasal 50 ayat (3) UU KPK seakan-akan KPK dalam
melakukan penyidikan tindak korupsi tidak mengenal batasan minimal kerugian negara
sehingga semua kerugian negara dapat dilakukan penyidikan oleh KPK. Padahal di pasal 11
ayat (3) sudah jelas bahwa ranah wewenang penyidikan KPK apabila negara mengalami
kerugian minimal 1 miliar. Selain itu, dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a UU Nomor 8 Tahun
“Penyidik adalah: pejabat polisi negara Republik Indonesia”. Selanjutnya, pada Pasal 7 ayat
(1) UU Nomor 8 Tahun 1981 berbunyi; Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat
a. menerima Iaporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindak pidana;
c. menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka;
g. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;
perkara;
Sedangkan, pada tahun 2002 diundangkan UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, bahwa dalam Pasal 50 ayat (3) UU Nomor 30 Tahun
2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi berbunyi: “Dalam hal Komisi
Pemberantasan Korupsi sudah mulai melakukan penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat
Dalam penggunaan frasa “kepolisian atau kejaksaan tidak berwenang lagi melakukan
penyidikan” tidak secara jelas merumuskan wewenang penyidikan yang diatur di Undang-
Undang yang mana yang semula dimiliki oleh kepolisian dan kejaksaan yang menjadi hilang
atau dihapuskan setelah KPK mulai melakukan penyidikan. Ketidakjelasan ini merupakan
fakta hukum yang nyata dan dapat kita lihat pada kasus penyidikan dugaaan korupsi simulator
SIM dimana institusi Polri, bukan sekadar oknum terbukti tetap melakukan penyidikan
perkara yang sudah disidik oleh KPK karena menurut mereka wewenang penyidikan mereka
di atur dalam KUHAP. Ketidakjelasan yang timbul karena frasa “kepolisian atau kejaksaan
sebagaimana terjadi dalam “penyidikan ganda” dalam kasus dugaan korupsi pengadaan
simulator Surat Izin Mengemudi (SIM) yang saat itu sedang disidik secara bersamaan oleh
Kepolisian Republik Indonesia (Polri) dan Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
(KPK). Bahkan dalam penyidikan yang dilakukan secara terpisah tersebut, Polri dan KPK
menetapkan seorang tersangka yang sama. “Penyidikan ganda” dalam kasus dugaan korupsi
pengadaan simulator SIM timbul karena baik KPK maupun Polri sama-sama merasa memiliki
hak untuk menyidik perkara tersebut. Penyidikan ganda yang dilakukan oleh Polri dan KPK
dalam perkara yang sama dan dengan tersangka yang sama jelas bertentangan dengan asas
kepastian hukum karena menjadi tidak jelas atas dasar penyidikan yang mana kelak
terjadi dalam kasus dugaan korupsi pengadaan simulator SIM sangat mungkin telah sering
dan akan terus terjadi kembali dalam perkara-perkara tindak pidana korupsi lain.