Anda di halaman 1dari 60

PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA

PENIPUAN BERBASIS TRANSAKSI ELEKTRONIK MENURUT UU


NO/19/2016 PADA PASAL 28 AYAT (1) UU ITE DIPOLDA METRO
JAYA JAKARTA SELATAN

Disusun Oleh:
FERRY SIBUEA (201010200648)
MUHAMMAD AZIEZ AZHIEM (201010200635)

FAKULTAS HUKUM

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM S-1

UNIVERSITAS PAMULANG

TAHUN 2022

i
KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, berkat rahmat dan
karunia- Nya pada akhirnya kami dapat menyelesaikan penelitian yang
berjudul “Penegakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Penipuan
Berbasis Transaksi Elektronik Menurut UU No/19/2016 Pada Pasal 28
Ayat (1) UU ITE ”. Shalawat dan salam semoga selalu dilimpahkan kepada
manusia paling sempurna dimuka bumi yaitu Nabi Muhammad SAW, karena
berkat risalah beliau kita semua dapat tercerahkan dengan ilmu pengetahuan.

Penelitian ini kami lakukan semata-mata ingin menghadirkan literasi baru


terkait Penegakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Penipuan Berbasis
Transaksi Elektronik Menurut UU No/19/2016 Pada Pasal 28 Ayat (1). Dalam
kesempatan ini kami ingin mengucapkan rasa terimakasih yang sebesar-
besarnya kepada semua pihak yang telah membantu di dalam kegiatan
penelitian ini. Secara khusus kami ucapan terimakasih kepada Ketua Yayasan
Sasmita Jaya Grup Bapak Dr. (HC) Drs H Darsono, kepada Bapak Rektor
Universitas Pamulang Bapak Dr. E. Nurzaman AM., M.M., M.Si, kepada
Dekan Fakultas Hukum Universitas Pamulang Bapak Dr.Oksidelfa Yanto, S.H,
serta semua pihak yang telah membantu terselesaikannya penelitian ini.
Penelitian ini tentu masih jauh dari kata sempurna, karena itu segala saran
dan kritik tentu sangat kami harapkan demi kesempurnaan penelitian ini
dikemudian hari. Akhir kata semoga penelitian ini dapat bermanfaat bagi
semua pihak dan menambah khazanah keilmuan hukum.

ii
ABSTRAK

ABSTRACT Fraudulent acts are currently flourishing following the era and
technology advancement. Laws and regulations are made to anticipate this, but
the existing laws and regulations seem like unable to combat the crime amid
their increase in occurrences. This research aims to: firstly, to identify law
enforcement against the ecommerce-based frauds; and secondly, to identify the
obstacles in criminal law enforcement against ecommerce- based frauds. This
research was conducted by using normative juridical method through literature
research by examining secondary data including legislation, research results,
scientific journals and references. The research results describe that the e-
commerce- based fraudulent acts in principle are similar to the conventional
frauds but differ in the evidences or means of action as the latter uses
electronic systems (computers, internet, telecommunications equipment).
Therefore, the legal enforcement against this kind of frauds is still under the
applicability of the Indonesian Criminal Code and the Law No. 19 of 2016
regarding Amendments to the Law No. 11 of 2008 regarding Information and
Electronic Transactions. Further, the law enforcement against the fraudulent
acts in electronic-based transactions has been prevented at least by the
following five factors, the laws and regulations, law enforcers, infra-structure
or facilities that support the law enforcement, community and cultural factors.

Keywords: law enforcement; fraud; electronic transactions.

iii
ABSTRAK
Tindak pidana penipuan saat inisemakin berkembang mengikuti perkembangan zaman
dan kemajuan teknologi. Aturan hukum dibuat untuk mengantisipasi hal tersebut
namun aturan yang ada rupanya tidak membuat tindak pidana tersebut semakin
berkurang tetapi mengalami peningkatan. Penelitian ini bertujuan untuk: pertama,
mengetahui penegakan hukum terhadap tindak pidana penipuan berbasis e-commerce;
dan kedua, mengetahui faktor-faktor penghambat dalam penegakan hukum pidana
terhadap tindak pidana penipuan berbasis ecommerce. Penelitian ini dilakukan dengan
metode yuridis normatif melalui studi kepustakaan dengan menelaah data sekunder
meliputi peraturan perundang-undangan, hasil penelitian, jurnal ilmiah dan referensi.
Hasil penelitian menggambarkan bahwa tindak pidana penipuan berbasis e-commerce
pada prinisipnya sama dengan penipuan dengan cara konvensional namun yang
menjadi perbedaan terletak pada alat bukti atau sarana perbuatannya yakni
menggunakan sistem elektronik (komputer, internet, perangkat telekomunikasi). Oleh
karenanya penegakan hukum mengenai tindak pidana penipuan ini masih dapat
diakomodir oleh Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Undang-Undang Nomor
19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas UndangUndang Nomor 11 Tahun 2008 tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik. Selanjutnya, Hambatan dalam penegakan hukum
terhadap tindak pidana penipuan berbasis Transaksi elektronik masih dipengaruhi oleh
lima faktor yaitu faktor hukum, faktor penegak hukum, faktor sarana atau fasilitas yang
mendukung penegakan hukum, faktor masyarakat dan faktor kebudayaan.

Kata kunci: penegakan hukum; penipuan; transaksi elektronik.

iv
DAFTAR ISI

Contents
HALAMAN JUDUL.............................................................................................i
KATA PEGANTAR.............................................................................................ii
ABSTRAK..........................................................................................................iii
ABSTRAK..........................................................................................................iv
DAFTAR ISI........................................................................................................v
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................1
1.1 Latar Belakang..........................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah....................................................................................6
1.3 Tujuan Penelitian......................................................................................6
1.4 Manfaat Penelitian....................................................................................6
1.4.1 Manfaat teoritis.........................................................................................6
1.4.2 Manfaat Praktis.........................................................................................6
BAB II TINJAUAN TEORI...............................................................................8
2.1 Kerangka Konseptual................................................................................8
2.1.1 Definisi Penegak Hukum..........................................................................8
2.1.2 Faktor-Faktor Yang Mempegaruhi Penegak Hukum...............................14
2.2 Penegak Hukum Pidana..........................................................................17
2.2.1 Macam-Macam Hukum Pidana...............................................................18
2.3 Hambatan dalam penegakan hukum terhadap tindak pidana berbasis E-
Commerce...............................................................................................22
2.4 Bagaimana perlindungan hukum bagi pembeli dalam hal terjadi
penipuan jual beli online? Apa yang harus dilakukan apabila kita
mengalami penipuan jual beli online......................................................27
BAB III METODE PENELITIAN..................................................................35
3.1 Jenis Penelitian........................................................................................35
3.2 Spesifikasi Penelitian..............................................................................35
3.3 Jenis dan Sumber Data............................................................................36
3.4 Lokasi Penelitian.....................................................................................37

v
3.5 Tehnik Pengumpulan Data......................................................................37
3.6 Analisa Data............................................................................................38
BAB IV PEMBAHASAN.................................................................................39
4.1 Kerangka Teori.......................................................................................39
4.1.1 Kerangka Teori.......................................................................................39
4.1.2 Kerangka Teori.......................................................................................42
4.1.3 Kerangka Teori.......................................................................................43
4.1.4 Kerangka Teori.......................................................................................46
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN............................................................51
5.1 Keseimpulan...........................................................................................51
5.2 Saran.......................................................................................................52

vi
BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Perkembangan teknologi Internet telah menciptakan sebuah


masyarakat baru yang disebut sebagai masyarakat berjejaring yang
melakukan interaksi sosial secara maya. Seperti juga dalam interaksi
sosial tanpa media, dalam interaksi maya terdapat perilaku menyimpang
dari peserta interaksi. Salah satunya adalah penipuan dalam media sosial.
Lahirnya media sosial dengan fasilitas teknologi yang lengkap
membuat penggunanya dapat berkomunikasi dengan pengguna lain yang
secara berjauhan, namun seolah-olah mereka berada pada jarak yang
dekat. Kehadiran media sosial juga memberikan banyak kemudahan,
mulai dari mudahnya bertukar pesan dan informasi, sampai pada
kemudahan seorang pengguna yang ingin mempublikasikan karyanya
agar dapat diketahui orang lain, menghilangkan batasan generasi dan
memperluas wacana yang dapat di pertukarkan. Media sosial juga sudah
banyak berperan dalam bidang ekonomi dan perdagangan dengan
kemampuannya mendukung kegiatan pemasaranproduk sampai pada
kegiatan jual beli.
Ketika internet telah menjadi kebutuhan bagi sebagian masyarakat
proses jual beeli melali internet sudah tidak asing lagi. Karena internet
bukan hanya konsumsi golongan tertentu saja seperti bertahun-tahun yang
lalu, tapi sudah merambah ke masyarakat golongan menengah ke bawah.
Dimana proses jual beli online/bisnis online disebut e- commerce atau
elektronik commerce pada dasarnya bagian dari elektronik business.

Transaksi elektronik (E-commerce) merupakan suatu kontak transaksi

1
perdagangan antara penjual dan pembeli dengan media internet, dimana
untuk pemesanan, pengiriman sampai bagaimana sistem pembayaran
dikomunikasikan melalui internet. Keberadaan e-commerce merupakan
alternatif yang menjanjikan untuk diterapkan pada saat ini karena e-
commerce memberikan banyak kemudahan bagi kedua belah pihak
yaitu pihak penjual dan pihak pembeli di dalam melakukan
perdagangan sekalipun para pihak berada di dunia yang berbeda

Bisnis secara online memang mempermudah para pelaku


penipuan dalam melakukan aksinya. Penipuan dengan modus penjualan
di via internet akhirakhir ini, dengan mengklaim harga murah di
pasaran sehingga membuat banyak orang tertarik untuk membelinya,
meski sebagian penipuan bisnis online sudah terkuak, namun
penindakan oknum tehadap tindakan tersebut banyak yang belum
sampai karena hukum. Ini disebabkan para korban penipuan online
enggan untuk melaporkan kepada penegak hukum sedangkan tindak
pidana penipuan dikategorikan sebagai delik biasa.
Hukum merupakan keseluruhan peraturan tingkah laku yang
berlaku dalam suatu kehidupan Bersama yang dapat dipaksakan dengan
suatu sanksi. Pelaksanaan hukum dapat berlangsung secara formal dan
damai tetapi dapat terjadi juga karena pelanggaran hukum harus
ditegakan.4 laporan kasus penipuan bisnis online yang tercatat di Polda
Metro Jaya mencapai 294 kasus per bulan januari sampai dengan bulan
desember tahun 2018. kasus penipuan bisnis online yang dalam proses
penanganan pihak Polda Metro Jaya sebanyak 17 kasus. Kemudian,
tercatat 10 kasus yang telah berhasil diselesaikan. Sedangkan 831 kasus
belum berhasil diselesaikan dan dilimpahkan kepada pihak kepolisian
yang berada di daerah korban masing-masing.

2
Penegakan hukum yang kurang tegas dan jelas terhadap pelaku tindak
pidana penipuan bisnis online, seringkali menjadi pemicu tindak
pidana penipuan ini. Dimana kitab undang-undang hukum pidana
(KUHP) dan undang-undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang informasi
dan transaksi elektronik memberikan sanksi hukum terhadap pelaku
tindak pidana penipuan ini untuk kasus seperti ini maka akan ditegakan
dengan menggunakan kedua pasal ini yaitu sebagai berikut:

Pasal 378 KUHP.


Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri
atau orang lain dengan melawan hukum, dengan memakai nama palsu
atau martabat palsu, dengan tipu muslihat ataupun dengan rangkaian
kebohongan menggerakan orang lain untuk menyerahkan sesuatu
benda kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan
piutang, diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling lama
4 tahun.

Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 tahun 2016:


“Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita ohong
dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam
transaksi elektronik”
Dengan adanya internet pembeli dapat melihat langsung barang
yang diperdagangkan dalam dunia maya, membayarnya dengan transfer
bankdan hanya menunggu beberapa saat hingga barang itu tiba. Di
zaman ketika internet telah menjadi kebutuhan bagi sebagiann
masyarakat, proses jual-beli melalui internet sudah tidak asing lagi.
Karena internet bukan hanya konsumsi golongan tertentu seperti tahun-
tahun yang lalu, tetapi sudah merambah ke masyarakat golongan
menengah kebawah. Proses jual-beli melalui internet ini lazim disebut

3
e-commerce atau elektronic commerce atau ED, EC pada dasarnya
adalah bagian dari elektonic business.

E-commerce merupakan suatu kontak transaksi perdagangan antara penjual


dan pembeli dengan menggunakan media internet, dimana untuk
pemesanan, pengiriman sampai bagaimana system pembayaran
dikomunikasikan melalui internet. Keberadaan e- commerce merupakan
alternatif bisnis yang cukup menjanjikan untuk diterapkan pada saat ini,
karena e-commerce memberikan banyak kemudahan bagi kedua bela
pihak yaitu pihak penjual (merchant) dan pihak pembeli (buyer)
didalam melakukan transaksi perdagangan sekalipun para pihak berada
didua dunia berbeda. Dengan e-commerce setiap transaksi yang
dilakukan kedua bela pihak yang terlibat (penjual dan pembeli) tidak
memerlukan pertemuan langsung atau tatap muka untuk melakukan
negosiasi.
Sekelumit mengenai kondisi yang terjadi dalam masyarakat ini
dapat menimbulkan berbagai isu dalam penyelesaian tindak pidana di
bidang teknologi informasi. Kondisi paper-less ini menimbulkan
masalah dalam pembuktian mengenai informasi yang diproses,
disimpan, atau dikirim secara elektronik. Mudahnya seseorang
menggunakan identitas apa saja untuk melakukan berbagai jenis
transaksi elektronik dimana saja dapat menyulitkan aparat penegak
hukum dalam menentukan identitas dan lokasi pelaku yang sebenarnya.
Eksistensi alat bukti elektronik tersebut dapat diterima di persidangan
sebagai alat bukti yang sah akan menjadi topik penting dalam beberapa
tahun ke depan, terlebih dengan ditetapkan undang-undang nomor 19
tahun 2016 tentang informasi dan transaksi elektronik. Perkembangan
teknologi informasi termasuk internet di dalamnya juga memberikan

4
tantangan tersendiri bagi perkembangan hukum di Indonesia. Hukum di
Indonesia dituntut untuk dapat menyesuaikan dengan perubahan social
yang terjadi. Perubahan-perubahan sosial dan perubahan hukum atau
sebaliknya tidak selalu berlangsung Bersama-sama. Artinya pada
keadaan tertentu perkembangan hukum mungkin tertinggal oleh
perkembangan unsur-unsur lainya dari masyarakat serta kebudayaannya
atau mungkin hal yang sebaliknya.

Cybercrime merupakan bentuk-bentuk kejahatan yang timbul


karena pemanfaatan teknologi internet. Perkembangan yang pesat
dalam pemanfaatan jasa internet mengundang untuk terjadinay
kejahatan. Dengan meningkatnya jumlah permintaan terhadap akses
internet, kejahatan terhadap pengguna teknologi informatika semakin
meningkat mengikuti perkembangan dari teknologi itu sendiri. Semakin
banyak pihak yang dirugikan atas perbuatan dari pelaku kejahatan cyber
tersebut apabila tidak ada ketersediaan hukum yang mengaturnya.
Sebelum diberlakukan undang-undang ITE, aparat hukum
emnggunakan KUHP dalam menangani kasus-kasus kejahatan dunia
cyber
Berdasarkan uraian latar belakang di atas menurut penulis,
ternyata perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang pesat
selalu diikuti atau diiringi dengan perkembangan kejahatan atau tindak
pidana yang makin canggih dan maju pula. Hal ini ditandai dengan
pesatnya perkembangan cara melakukan modus operandi maupun alat
yang digunakannya. Oleh karenanya perlu diketahui lebih jauh
mengenai tindak pidana penipuan bisnis online ini serta peraturan apa
saja yang digunakan untuk upaya penanggulanganya oleh aparat
penegakan hukum.

5
Alasan peneliti tertarik memilih judul ini karena kasus penipuan
bisnis online semakin marak di dunia bahkan di Indonesia yang
menggunakan perkembangan teknologi maka penulis ingin
memaparkan dan mengkaji tentang “PENEGAKAN HUKUM
PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA PENIPUAN BERBASIS
TRANSAKSI ELEKTRONIK MENURUT UU NO/19/2016 PADA
PASAL 28 AYAT (1) UU ITE DIPOLDA METRO JAYA
JAKARTA SELATAN”
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1 Bagaimanakah aspek hukum pidana penipuan onlien pada media
elektronik?
1.2.2 Bagaimana sistem hukum penipuan berbasis transaksi elektronik
menurut UU No/19/2016 pada pasal 28 ayat (1) UU ITE?
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Untuk mengetahui aspek pidana penipuan online pada media
elektronik
1.3.2 Untuk mengetahui bagaimana sistem hukum penipuan online berbasis
media elektronik sesuai yang tercantum dengan UUD No/19/2016
Pasal 28 ayat (1) UU ITE.
1.4 Manfaat Penelitian
Adapun manfaat peneltian adalah:
1.4.1 Manfaat teoritis
Penelitian ini diharapkan bermanfaat menambah wawasan dan
pengetahuan dalam memahami bahaya penipuan jual beli online
khusunya pada tindak pidana informasi dan transaksi online (ITE).
1.4.2 Manfaat Praktis
Diharapkan penelitian ini dapat memberikan sumbangan

6
pemikiran kepada penegak hukum, jaksa dan polisi, dan pengacara
dalam menyelesaiakan permasalahan hukum serta mengambil
keputusan dan kebijakan dalam menangani kasus cybercrime.
1.5 Kerangka Teori
1.5.1 Penipuan
1.5.2 Transaksi elektronik
1.5.3 Dasar hukum dalam menggunakan media elektronik

7
BAB II

TINJAUAN TEORI

2.1 Kerangka Konseptual


2.1.1 Definisi Penegak Hukum
Penegak hukum adalah sesorang yang diberi wewenang olehperaturan
perundang-undangan untuk melakukan penyelidikan,penindakan,
penuntutan, peradilan, dan pembelaan.
1. Polisi
Personil kepolisian merupakan penegak dalam hukum dasarkan
pada UU No 2 Tahun 2002 mengenai Kepolisian Negara RI
khususnya bagian Menimbang huruf a dan b; Pasal 1 angka 1, angka
5, dan angka 6; Pasal 2; Pasal 3; Pasal 4; dan Pasal 5. Dari ketentuan
pasal-pasal di atas, intinya, personil polisi merupakan bagian dari
kepolisian, yang merupakan satu kesatuan, yang salah satu fungsinya
adalah penegakan hukum, dan keberadaannya bertujuan, salah
satunya, untuk mewujudkan tertib dan tegaknya hukum
2. Jaksa
Personil kejaksaan (jaksa) baik itu sebagai pejabat struktural,
fungsional maupun penuntut umum adalah penegak hukum dibawah
komando Jaksa Agung didasarkan pada ketentuan UU No 16 Tahun
2004 khususnya Pasal 1, Pasal 2, Pasal 33, dan Pasal 35.
3. Hakim
Kekuasaan kehakiman di mana dia menjalankan fungsi
penegakan hukum yang diselengarakan oleh Mahkamah Agung dan

8
badan peradilan di bawahnya, tempat para hakim menjalankan tugas
pokok dan fungsinya. “Kekuasaan kehakiman dalah kekuasaan
negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna
menegakkan hukum...dst,” kata Pasal 1 UU No 4 Tahun 2004
tentang Kekuasaan Kehakiman.
4. Advokat
Advokat adalah penegak hukum namun tidak masuk daftar
penegak hukum versi hakim Sarpin dalam pertimbangan putusannya.
“Advokat berstatus sebagai penegak hukum, bebas dan mandiri yang
dijamin olehhukum dan peraturan perundang-undangan,” tegas Pasal
5 UU No 18 Tahun 2003 tentang Advokat.
Berdasarkan teori dalam hukum pidana mengenai penipuan,
terdapat dua sudut pandang yang tentunya dapat diperhatikan, yakni
menurut pengertian bahasa dan menurut pengertian yuridis. Dalam
pengertian bahasa, kata dasar dari penipuan adalah “tipu” yang
merupakan “perbuatan atau perkataan yang tidak jujur (bohong, palsu,
dan sebagainya) dengan maksud untuk menyesatkan, mengakali, atau
mencari untung; kecoh. Sementara menurut Muladi bahwa “penegakan
hukum diperlukan adanya unsur moral, adanya hubungan moral dengan
penegakan hukum ini yang menentukan suatu keberhasilan atau
ketidakberhasilan dalam penegakan hukum sebagaimana yang
diharapkan oleh tujuan hukum. 29 Lebih lanjut dalam “aspek moral dan
etika dalam penegakan hukum pidana merupakan suatu hal yang
berkaitan dengan penegakan hukum pidana seharusnya merupakan
proses penemuan fakta, yang tidak memihak (impartial) dan penuh
dengan resolusi atau pemecahan masalah yang harus dilakukan secara
adil dan patu. Muladi mengatakan bahwa “Penegakan hukum pidana

9
dirasakan selalu bersentuhan dengan moral dan etika, hal yang demikian
didasarkan empat alasan yaitu:
a. Sistem peradilan pidana secara khas melibatkan penggunaan
paksaan atau kekerasan (coercion) dengan kemungkinan terjadinya
kesempatan untuk menyalahgunakan kekuasaan (abuse of power).
b. Hampir semua profesional dalam penegakkan hukum pidana
merupakan pegawai pemerintah (public servant) yang memiliki
kewajiban khusus terhadap public yang dilayani;
c. Bagi setiap orang, etika dapat digunakan sebagai alat untuk
membantu memecahkan dilemma etis yang hadapi seseorang
didalam kehidupan profesionalnya (enlightened moral judgement);
d. Dalam kehid upan profesi sering dikatakan bahwa a set ethical
requiredments are as part of its meaningPersonil kepolisian
merupakan penegak dalam hukum dasarkan pada UU No 2 Tahun
2002 mengenai Kepolisian Negara RI khususnya bagian
Menimbang huruf a dan b; Pasal 1 angka 1, angka 5, dan angka 6;
Pasal 2; Pasal 3; Pasal 4; dan Pasal 5. Dari ketentuan pasal-pasal di
atas, intinya, personil polisi merupakan bagian dari kepolisian,
yang merupakan satu kesatuan, yang salah satu fungsinya adalah
penegakan hukum, dan keberadaannya bertujuan, salah satunya,
untuk mewujudkan tertib dan tegaknya hukum.
Dalam kaitannya dengan tulisan ini, penegakan hukum terhadap
tindak pidana penipuan berbasis e-commerce rupanya masih
didasarkan pada hukum positif yang ada (KUHP dan undang-undang
yang secara khusus mengatur hal tersebut) namun dalam
implementasinya penggunaan aturan hukum tersebut dirasakan masih
belum maksimal karena berdasarkan data yang disampaikan

10
sebelumnya mengalami peningkatan. Oleh karenanya penulis ingin
mengupas lebih dalam terkait aturan-aturan hukum yang dapat
menjerat para pelaku tindak pidana penipuan berbasis e-commerce.
378 HP tersebut terpenuhi seluruhnya, tetapi terdapat unsur dari
tindak pidana penipuan online yang tidak terpenuhi dalam pengaturan
Pasal 378 KUHP, yaitu:
a. Tidak terpenuhinya unsur media utama yang digunakan dalam
melakukan tindak pidana penipuan online yaitu media elektronik
yang belum dikenal dalam KUHP maupun KUHAP;
b. Cara-cara penipuan yang berbeda antara penipuan konvensional
dengan penipuan online; dan
c. TerdapatketerbatasandalamKUHPyaitutidak dapat membebankan
pertanggungjawaban pidana pada subyek hukum yang berbentuk
badan hukum (korporasi) yang melakukan tindak pidana penipuan
online.
Oleh karenanya untuk memberikan kepastian hukum dan
melakukan penegakan hukum terhadap tindak pidana penipuan berbasis
e-commerce maka Pemerintah Indonesia menerbitkan Undang- Undang
Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elekronik
(“UU ITE”) yang kemudian diubah oleh Undang-Undang Nomor 19
Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang- Undang Nomor 11
Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (“UU
19/2016”).
Sebagai Undang-Undang yang bersifat khusus (Lex Spesialis
Derogat Lex Generale), UU ITE paling tidak dapat menjadi pedoman
dan landasan hukum bagi anggota masyarakat dalam beraktivitas di

11
dunia siber. Selain itu, UU ITE juga memiliki kaitan terhadap beberapa
pasal-pasal yang diatur dalam KUHP yang bertujuan untuk
mempermudah dalam penyelesaian suatu perkara. Mengingat tantangan
dan tuntutan terhadap perkembangan komunikasi global, undang-
undang diharapkan sebagai ius constituendum yaitu peraturan
perundang-undangan yang akomodatif terhadap perkembangan serta
antisipatif terhadap permasalahan, termasuk dampak negatif dari
kemajuan teknologi informasi yang berdampak luas bagi masyarakat.
Suseno berpendapat bahwa “Pengaturan tindak pidana siber
(cybercrime) dalam UU ITE dan perundang-undangan lainnya
mengandung implikasi adanya perlindungan hukum terhadap
elektronik, dan sistem komputer atau sistem elektronik yang dilindungi
dan tidak bersifat publik, baik milik pribadi maupun negara serta
kepentingan hukum lainnya seperti kekayaan, kehormatan, kesusilaan,
keamanan negara, dan lain-lain yang dapat menjadi objek target atau
objek tindak pidana siber (cybercrime)”.
Berkaitan dengan perlindungan hukum yang diberikan UU ITE
saat ini juga dirasakan tidak secara langsung mengatur mengenai
tindak pidana penipuan konvensional maupun tindak pidana
penipuan online. Namun demikian, terkait dengan pengertian
penipuan tersebut yang berdampak pada timbulnya kerugian korban
dalam transaksi elektronik terdapat ketentuan yang mengatur
kerugian tersebut pada Pasal 28 Ayat (1) UU ITE yang menyatakan
bahwa “Setiap orang dengan sengaja, dan tanpa hak menyebarkan
berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian
konsumen dalam Transaksi Elektronik”. Suseno berpendapat bahwa
“Unsur-unsur di dalam Pasal 28 Ayat (1) UU ITE identik dan

12
memiliki beberapa kesamaan pada tindak pidana penipuan
konvensional yang diatur dalam Pasal 378 KUHP dan memiliki
karakteristik khusus yaitu telah diakuinya bukti, media elektronik,
dan adanya perluasan yurisdiksi dalam UU ITE”.
Dari paragraf sebelumnya dapat dipahami bahwa keterkaitan
antara Pasal 28 Ayat (1) UU ITE dan Pasal 378 KUHP dilihat dari
unsur-unsur yang mengatur perbuatan terhadap pasal tersebut. Unsur-
unsur yang terdapat pada Pasal 28 Ayat (1) UU ITE, yaitu:
a. Unsur obyektif:

1) Perbuatan menyebarkan;

2) Yang disebarkan adalah berita bohong dan menyesatkan;


3) Dari perbuatan tersebut timbul akibat konstitutifnya yaitu
kerugian konsumen dalam transaksi elektronik.
b. Unsur subyektif:

1) Unsur kesalahan yaitu dengan sengaja melakukan perbuatan


menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang
mengakibatkan kerugian konsumen dalam transaksi
elektronik;

2) Melawan hukum tanpa hak

Rumusan unsur-unsur yang terkandungdalam Pasal 28 Ayat


(1) UU ITE dan Pasal 378 tersebut dapat dipahami mengatur objek
yang berbeda. Pasal 378 KUHP mengatur penipuan, sementara Pasal
28 Ayat (1) UU ITE mengatur mengenai berita bohong yang
menyebabkan kerugian konsumen dalam transaksi elektronik.
Walaupun demikian, kedua pasal tersebut memiliki suatu kesamaan,
yaitu dapat mengakibatkan kerugian bagi orang lain.

13
Pengaturan mengenai penyebaran berita bohong dan
menyesatkan ini dapat dipahami sangat diperlukan dalam rangka
memberikan perlindungan terhadap konsumen yang melakukan
transaksi komersial secara elektronik atau e- commerce. Perdagangan
secara elektronik idealnya dapat dilaksanakan dengan mudah dan
cepat sehingga dalam proses transaksi harus didasarkan pada
kepercayaan antara pihak yang bertransaksi. Kepercayaan ini
diasumsikan dapat diperoleh apabila para pihak yang bertransaksi
mengenal satu sama lain yang didasarkan pengalaman transaksi
terdahulu atau hasil diskusi secara langsung sebelum transaksi
dilakukan.

Kemudian UU ITE juga menjelaskan mengenai prinsip-


prinsip dalam e-commerce walaupun tidak diatur secara mendetail
namun secara tersirat mengatur prinsip-prinsip kontrak dalam suatu
transaksi elektronik. Adapun prinsip- prinsip tersebut adalah sebagai
berikut:
a. Prinsip Kepastian Hukum, yang tercantum dalam Pasal 18 Ayat
(1) UU ITE yang menyatakan bahwa “Transaksi elektronik yang
dituangkan ke dalam kontrak elektronik mengikat para pihak”.
b. Prinsip Itikad Baik, yang tercantum dalam Pasal 17 Ayat (2) UU
ITE yang menyatakan bahwa “Para pihak yang melakukan
transaksi elektronik dalam lingkup publik ataupun privat wajib
beritikad baik dalam melakukan interaksi dan/atau pertukaran
informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik selama
transaksi berlangsung”.
c. Prinsip Konsensualisme, yang tercantum dalam Pasal 20 UU ITE
yang menyatakan “Kecuali ditentukan lain oleh para pihak,

14
2.1.2 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum
Proses Penegakan Hukum Pidana (Criminal Law Enforcement Process),
saling berkaitan dengan kriminologi, karena kriminologi dapat
memberikan masukan kepada hukum pidana, berdasarkan ilmu
krimonologi itu dapat membantu kepada penegakan hukum pidana yang
sedang di proses di Pengadilan. Kriminologi adalah ilmu pengetahuan
yang mempelajari sebab akibat, perbaikan dan pencegahan kejahatan
sebagai gejala manusia dalam menghimpun sumbangan-sumbangan

sebagai ilmu pengetahuan.


Menurut Sutterland, Cressey: Criminology is the body of
knowledge regarding crime as a social phenomenom. Dalam hal ini,
kriminologi merupakan batang tubuh ilm pengetahuan yang
mengandung pengertian kejahatan sebagai suatu fenomena sosial.
Fenomena ini tergambar di dalam penegakan hukum yang dilakukan
oleh aparatur penegak hukum di mana dalam praktek masih rendahnya
komitmen aparatur penegak hukum dalam memberantas kejahatan
sehingga dalam penegakannya selalu terjadi penyimpangan-
penyimpangan dalam penegakan hukum pidana.
Berdasarkan penjelasan-penjelasan di atas dapatlah ditarik suatu
kesimpulan sementara, bahwa masalah pokok penegakan hukum
sebenarnya terletak pada faktor- faktor yang mungkin
mempengaruhinya. Faktor-faktor tersebut mempunyai arti yang
netral, sehingga dampak positif dan negatifnya terletak pada isi faktor-
faktor tersebut. Faktor-faktor tersebut, adalah sebagai berikut:
a. Factor Hukum itu sendiri
Semakin baik suatu peraturan hukum yang ada akan semakin
memungkinkan penegakannya. Sebaliknya semakin tidak baik suatu

15
peraturan hukum akan semakin sukarlah penegakannya. Peraturan
yang baik itu adalah peraturan yang berlaku secara
juridis, sosiologis dan filosofis. Oleh karena itu, suatu kebijakan atau
tindakan yang tidak sepenuhnya berdasarkan hukum merupakan
sesuatu yang dibenarkan sepanjang kebijakan atau
tindakan itu tidak bertentangan dengan hukum, maka pada
hakikatnya, penyelenggaraan hukum bukan hanya mencakup law
enforcement (penegakan hukum), namun juga peace maintenance,
karena penyelenggaraan hukum sesungguhnya merupakan proses
penyerasasian antara nilai kaedah dan pola prilaku
yang bertujuan untuk mencapai keadilan.
b. Factor Penegak Hukum
Fungsi hukum, mentalitas atau kepribadian petugas penegak
hukum memainkan peranan penting, kalau peraturan sudah baik,
tetapi kualitas petugas kurang baik maka pasti akan timbul masalah.
Oleh karena itu, salah satu kunci keberhasilan dalam penegakan
hukum adalah mentalitas atau kepribadian dari penegak hukum.
c. Factor sarana atau fasilitas pendukung
Mencakup perangkat lunak dan perangkat keras, salah satu
contoh perangkat lunak adalah pendidikan. Pendidikan yang diterima
oleh Polisi dewasa ini cenderung pada hal-hal yang praktis
konvensional, sehingga dalam banyak hal ini polisi mengalami
hambatan di tujuannya, di antaranya adalah pengetahuan tentang
kejahatan komputer, dalam tindak pidana khusus ini masih diberikan
kepada Jaksa.Hal tersebut karena secara teknis yuridis polisi
dianggap belum mampu dan belum siap.Walaupun disadari pula
bahwa tugas yang diemban Polisi cukup luas dan

16
banyak.
d. Factor masyarakat
Penegak hukum berasal dari masyakat yang bertujuan untuk
mencapai kedamaian di dalam masyarakat. Setiap warga masyarakat
atau kelompok sedikit banyaknya mempunyai kesadaran hukum,
persoalan yang timbul adalah taraf kepatuhan hukum, yaitu
kepatuhan hukum yang tinggi, sedang, atau kurang. Adanya derajat
kepatuhan hukum masyarakat terhadap hukum, merupakan salah satu
indikator berfungsinya hukum yang bersangkutan.
e. Factor kebudayaan
Berdasarkan konsep kebudayaan sehari-hari, orang begitu begitu
sering membicarakan soal kebudayaan. Kebudayaan menurut
Soerjono Soekanto, mempunyai fungsi yang sangat besar bagi
manusia dan masyarakat yaitu, mengatur agar manusia dapat
mengerti bagaimana seharusnya bertindak, berbuat dan menentukan
sikapnya jika mereka berhubungan dengan orang lain. Dengan
demikian, kebudayaan adalah suatu garis pokok tentang perilaku
yang menetapkan peraturan apa yang harus dilakukan, dan apa yang
tidak.
2.2 Penegak Hukum Pidana

Penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya untuk


tegaknya atau berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai
pedoman prilaku dalam lalu lintas atau hubungan-hubungan hukum dalam
kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Ditinjau dari sudut subyeknya,
penegakan hukum itu dapat dilakukan oleh subyek yang luas dan dapat
pula diartikan sebagai upaya penegakan hukum itu melibatkan semua
subyek.

17
Penegakan hukum adalah suatu usaha untuk mewujudkan ide-ide
tentang keadilan-keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan sosial
menjadi kenyataan.
Penegakan hukum pidana adalah suatu usaha untuk mewujudkan
ide-ide tentang kedilan dalam hukum pidana dalam kepastian hukum dan
kemanfaatan sosial menjadi kenyataan hukum dalam kepastian hukum dan
kemanfaatan sosial menjadi kenyataan hukum dalam setiap hubungan
hukum.
Menurut Andi Hamzah, istilah penegakan hukum sering disalah
artikan seakan-akan hanya bergerak di bidang hukum pidana atau di
bidang represif. Istilah penegakan hukum disini meliputi baik yang
represif maupun yang preventif. Jadi kurang lebih maknanya sama dengan
istilah Belanda rechtshanhaving. Berbeda dengan istilah law enforcement,
yang sekarang diberi makna represif, sedangkan yang preventif berupa
pemberian informasi, persuasive, dan petunjuk disebut law compliance,
yang berarti pemenuhan dan penataan hukum. Oleh karena itu lebih tepat
jika dipakai istilah penanganan hukum atau pengendalian hukum.
2.2.1 Macam-Macam Hukum Pidana
Menurut Satjipto Rahardjo, penegakan hukum merupakan suatu
usaha untuk mewujudkan ide-ide dan konsep-konsep menjadi
kenyataan. Sedangkan menurut Soerjono Soekanto, secara
konsepsional, maka inti dari arti penegakan hukum terletak pada
kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang dijabarkan di dalam
kaidah-kaidah yang mantap dan sikap akhir untuk menciptakan,
memelihara dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup
Penegakan hukum pidana terdiri dari dua tahap inti yaitu:
a. Penegakan Hukum Pidana In Abstracto

18
Penegakan hukum pidana in abstracto merupakan tahap
pembuatan/perumusan (Tahap Formulasi) sudah berakhir saat
diundangkannya suatu peraturan perundang-undangan. Tahap
legislasi/formulasi dilanjutkan ke tahap aplikasi dan tahap
eksekusi. Dalam ketentuan perundang-undangan itu harus
diketahui tiga masalah pokok hukum pidana yang berupa, yaitu:
1) Tindak pidana (strafbaar feit/criminal act/actus reus)
2) Kesalahan (schuld/guit/mens rea)
3) Pidana (straf/punishment/poena)
Penegakan hukum pidana (PHP) merupakan bagian (sub-
sistem) dari keseluruhan sistem/kebijakan penegakan hukum
nasional, yang pada dasarnya juga merupakan bagian dari
sistem/kebijakan pembangunan nasional. Kebijakan hukum pidana
(penal policy), baik dalam arti PHP in abstracto dan in concreto,
merupakan bagian dari keseluruhan kebijakan sistem (penegakan)
hukum nasional dan merupakan bagian dari upaya menunjang
kebijakan pembangunan nasional (national development policy).
Sistem penegakan hukum pidana (SPHP) yang integral
perlu dilihat secara in abstracto (law making and law reform)
karena PHP in abstracto (pembuatan/perubahan undang-undang,
law making/ law reform) merupakan tahap pembuatan/perumusan
(formulasi) undang-undang leh badan legislatif (dapat disebut
tahap legislasi). Menurut Barda nawawi arief, penegakan hukum in
abstracto dilakukan melalui (proses legislasi/formulasi/pembuatan
peraturan perundangundangan) dilakukan melalui
legislasi/formulasi/pembuatan peraturan perundang-undangan.
Proses legislasi/formulasi ini merupakan awal yang sangat

19
strategis dari proses penegakan huku in concreto. SPHP yang ada
pada saat ini belum integral secara in abstracto (law making and
law reform) pada tahap proses pembuatan produk
perundangundangan. Karena belum adanya keterjalinan erat atau
satu kesatuan sari sub-sistem (komponen) sistem norma/subtansi
hukum pidana yang integral meliputi hukum pidana materiel,
hukum pidana formal, dan hukum pelaksanaan pidana yang
seharusnya integrated legal system atau integrated legal substance.
b. Penegakan Hukum Pidana In Concreto
Penegakan hukum pidana in concreto terdiri dari:
1) Tahap penerapan/aplikasi (penyidikan)
2) Tahap pelaksanaan undang-undang oleh aparat penegak
hukum, yang dapat disebut tahap judisial dan tahap
eksekusi.
Penegakan hukum pidana in concreto, pada hakikatnya merupakan
proses penjatuhan pidana atau proses pemidanaan. Proses pemidanaan
itu sendiri merupakan proses penegakan hukum pidana dalam rangka
menegakkan kebenaran dan keadilan. kedua tahap itu merupakan
aspek-aspek atau titik krusial dari penanganan dan penindakan suatu
perkara pidana karena penegakan hukum pidana akan diwarnai
sebagai berikut:
1) Masalah permainan kotor (perbuatan uang suap dan perbuatan
tercela lainnya).
2) Masalah optimalisasi pendekatan keilmuan (scientific
culture/approach) dalam penegakan hukum.
Penegakan hukum pidana pada tahap in concreto (tahap aplikasi) juga
masih dipengaruhi oleh kebiasaan/budaya permainan kotor dan jalan

20
pintas yang dilakukan oleh oknum apparat penegak hukum yang korup
dan kolutif dengan pelaku tindak pidana. Barda Nawawi Arief
menyatakan bahwa istilah permainan kotor lebih mengena dari pada
mafia peradilan, karena hanya memberi kesan pada bentuk-bentuk
perbuatan tercela yang terjadi selama proses pengadilan, padahal tidak
sedikit keluhan masyarakat yang menjadi objek pemerasan dan
perbuatan tercela/permainan kotor lainnya sebelum proses perkaranya
dilimpahkan ke pengadilan.
Masalah penegakan hukum merupakan masalah yang rumit
dikarenakan oleh sejumlah faktor yang mempengaruhi seperti :
1) Isi peraturan perundang-undangan;
2) Kelompok kepentingan dalam masyarakat;
3) Budaya hukum; serta
4) Moralitas para penegak hukum yang terlibat dalam proses
peradilan
Oleh karena itu penegakan hukum akan bertukar aksi dengan
lingkungannya, yang bisa disebut sebagai pertukaran aksi dengan
unsur manusia, sosial budaya, politik dan lain sebagainya. Untuk itu
dalam menegakkan hukum ada tiga hal yang harus diperhatikan, yaitu
kepastian hukum, kemanfaatan, dan keadilan.Berdasarkan hal tersebut
diatas, dapat dikatakan bahwa fungsi penegakan hukum adalah untuk
mengaktualisasikan aturan-aturan hukum agar sesuai dengan yang
dicitacitakan oleh hukum itu sendiri, yakni mewujudkan sikap atau
tingkah laku manusia sesuai dengan bingkai (frame work) yang telah
ditetapkan oleh suatu undang-undang atau hukum. Untuk menegakkan
hukum pidana harus melalui beberapa tahap yang dilihat sebagai suatu
usaha atau proses rasional yang sengaja direncakan untuk mencapai

21
suatu tujuan tertentu yang merupakan suatu jalinan mata rantai
aktifitas yang tidak termasuk bersumber dari nilai-nilai dan bermuara
pada pidana dan pemidanaan.
2.3 Hambatan Dalam Penegakan Hukum Terhadap Tindak Pidana
Berbasis E-Commerce
Penegakan hukum di Indonesia saat ini disinyalir mengalami
kesulitan dalam menghadapi merebaknya cybercrime. Hal yang demikian
dapat tercermin bahwa makin meningkatnya tindak pidana berbasis e-
commerce yang dapat dilihat pada pendahuluan dalam tulisan ini.
Sumadi mengatakan bahwa hambatan dalam penegakan hukum
“dilatarbelakangi masih sedikitnya aparat penegak hukum yang
memahami seluk beluk teknologi informasi (internet), terbatasnya sarana
dan prasarana, serta kurangnya kesadaran hukum masyarakat dalam upaya

penanggulangan tindak pidana teknologi informasi”.60 Lebih lanjut


dikatakan bahwa “di samping itu aparat penegak hukum di daerah pun
belum siap dalam mengantisipasi maraknya kejahatan ini karena masih
banyak aparat penegak hukum yang gagap teknologi (gaptek) hal ini
disebabkan oleh masih banyaknya institusi- institusi penegak hukum di
daerah yang belum didukung dengan jaringan internet”.
Sementara Perkasa, Nyoman dan Bambang menjelaskan
berdasarkan hasil penelitian terkait dengan kendala dalam penegakan
hukum terhadap tindak pidana penipuan berbasis e-commerce
diantaranya:
a. Bukti Digital
Pencarian alat bukti digital merupakan hal yang masih sulit
dilakukan, karena membutuhkan kemampuan dan sarana prasarana
yang memadai untuk mendapatkan bukti tersebut.

22
b. Perbedaan Pendapat
Perbedaan pendapat yang terjadi diantara aparat penegak hukum
dalam hal menafsirkan cybercrime yang terjadi dengan penerapan pasal
oleh masyarakat, penyidik, penuntut umum, dan hakim akan
berpengaruh terhadap penyelesaian kasus tersebut, sehingga
menimbulkan ketidak pastian hukum bagi para korban yang mencari
keadilan.
c. Kemampuan Penyidik
Secara umum penyidik kepolisian masih kurang dalam hal
jumlah dan kualitas. Maka dari itu sangat diperlukan pelatihan untuk
mendidik penyidik kepolisian untuk bisa memahami dan menguasai
modus– modus operandi dari pelaku cybercrime
d. Kesadaran dan Perhatian
Masyarakat Kesadaran dan perhatian masyarakat untuk
melaporkan kasus cybercrime kepada polisi masih sangat minim.
Sebagian masyarakat merasa tidak masalah karena hanya kehilangan
sejumlah uang dengan nominal yang tidak terlalu besar, sehingga
mereka enggan untuk melaporkan. Mereka juga beranggapan bahwa
jika dibawa ke ranah pengadilan maka akan membutuhkan dana yang
lebih besar melebihi kerugian yang diderita. Padahal seharusnya
masyarakat tetap melaporkan pada polisi apabila terjadi cybercrime
agar membantu penegak hukum untuk memberantas para pelaku yang
selama ini berkeliaran di dunia maya.
Selanjutnya Tumalun menjelaskan mengenai faktor penghambat
dalam penanggulangan kejahatan komputer dan/atau sistem elektronik
yaitu:

23
a. Terbatasnya personil Tenaga Ahli;
Terbatasnya jumlah personil tenaga ahli antara Negara Indonesia
dan China sangatlah berbeda jauh dalam jumlah personilnya. Lebih
ironis lagi laporan tingkat kejahatan siber di Indoensia semakin
meningkat, dengan keterbatasan personil dan tenaga ahli di pihak
kepolisisan Indonesia maka penyelesaian kasus tersebut tidak bisa
diselesaikan dengan cepat. Akibatnya dirasakan langsung oleh pihak
korban atau kejahatan siber. Kualitas fasilitas teknologi informasi di
Indonesia memang sudah cukup baik, namun tidak sebanding dengan
jaminan keamanan oleh para pengguna. Barda Nawawi dalam Tumalun
mengatakan bahwa “Keterbatasan tenaga ahli pada pihak kepolisian
memang merupakan faktor yang sangat besar, dengan jumlah anggota
ahli yang terbatas ini pengungkapan dan penyidikan kasus kejahatan
dunia maya tidak bisa diselesaikan dengan waktu yang cepat, sehingga
akan membuat para pelaku lebih leluasa dalam beraksi”
b. Lemahnya pengawasan Pemerintah; dan
Lemahnya pengawasan penggunaan internet berpotensi besar
akan menciptakan peluang terjadinya kejahatan cyber crime (dunia
maya). Karena kejahatan dengan menggunakan teknologi terjadi jika
ada akses internet yang cukup memadai. Saat ini fasilitas internet di
sejumlah kota besar di Indonesia bisa dikatakan sudah memadai baik
dari segi kecepatan akses dan kemudahan pemasangan jaringan akses
internet. Namun dengan tidak adanya kebijakan dan langkah preventif
yang menjadi faktor utama, para pengguna bisa dengan bebas
mengakses data- data tertentu yang mana bisa disalahgunakan oleh
pengguna yang tidak bertanggung jawab.
c. Kendala Prosedural Hukum UU ITE

24
Lemahnya perangkat hukum UU ITE dapat terlihat pada Pasal
27 dan 37 mengenai perbuatan yang dilarang dimana para aparat
penegak hukum itu sendiri masih banyak yang belum memahami
makna dari pasal tersebut.
Penegakan hukum di Indonesia saat ini disinyalir mengalami
kesulitan dalam menghadap merebaknya cybercrime. Hal yang
demikian dapat tercermin bahwa makin meningkatnya tindak pidana
penipuan berbasis e-commerce yang dapat dilihat pada bagian
pendahuluan dalam tulisan ini.
Soerjono Soekanto mengatakan bahwa ada lima faktor yang
memengaruhi penegakan hukum, yaitu:
1) Faktor hukumnya sendiri, yang dibatasi dengan undang-undang
saja;
2) Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk
maupun yang menerapkan hukum;
3) Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum;

4) Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut


berlaku dan diterapkan;
5) Faktor kebudayaan, sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang
didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.
Kelima faktor sebelumnya sebenarnya dapat diminimalisir ketika pemerintah
dalam hal ini negara serius dalam memenuhi kewajibannya untuk
melindungi masyarakatnya. Dapat dipahami bahwa saat ini kejahatan
dapat terjadi dan dilakukan dimana saja, baik dalam ruang nyata maupun
ruang maya (cyberspace). Hal ini terjadi karena era globalisasi membuka
beberapa peluang terjadinya kejahatan, sehingga diperlukan keseriusan

25
oleh negara untuk memberikan perlindungan kepada warga negaranya.
Dari rumusan-rumusan Pasal 28 Ayat (1) UU ITE dan Pasal 378
KUH Pidana tersebut, dapat kita ketahui bahwa keduanya mengatur hal
yang berbeda. Pasal 378 KUHPidana mengatur penipuan, sementara Pasal
28 Ayat (1) UU ITE mengatur mengenai berita bohong yang
menyebabkan kerugian konsumen dalam transaksi elektronik. Tapi,
rumusan Pasal 28 Ayat (1) UU ITE tidak mensyaratkan adanya unsur
menguntungkan diri sendiri atau orang lain sebagaimana diatur dalam
Pasal 378 KUH Pidana tentang penipuan sehingga dalam pembuktiannya
dirasakan masih terdapat kesulitan atau bahkan multitafsir bagi aparat
penegak hukum untuk menjerat pelaku tindak pidana penipuan berbasis
ecommerce. Oleh karenanya diperlukan pasal yang lebih spesifik yang
dapat dimasukkan ke dalam UU ITE untuk menjerat pelaku tindak pidana
penipuan berbasis e-commerce.
Dalam Seminar Cybercrime dan Cyber Porn dalam Perspektif
Hukum Teknologi dan Hukum Pidana, Barda Nawawi Arief dalam
Ginting mengatakan bahwa upaya Peningkatan Efektifitas dan
Pembaharuan Orientasi (Reformasi/ Rekonstruksi) Penegakan Hukum
Pidana Menghadapi Cybercrime perlu kiranya ditempuh beberapa
langkah (upaya) antara lain sebagai berikut:
a. Meningkatkan komitmen strategi/prioritas nasional dalam
penanggulangan kejahatan di bidang kesusilaan, yang seyogyanya
disejajarkan dengan upaya penanggulangan tindak pidana korupsi,
narkoba, terorisme dan sebagainya;
b. Melakukan pembaharuan pemikiran/ konstruksi juridis (juridical
construction reform), antara lain:

26
1) rekonstruksi penegakan hukum (pemikiran hukum) dalam
konteks kebijakan pembaharuan sistem hukum dan
pembangunan nasional;
2) melakukan konstruksi hukum yang konseptual/substansial
(substansial legal construction) dalam menghadapi kendala
juridis;
3) meningkatkan budaya/orientasi keilmuan (scientific
culture/scientific approach) dalam proses pembuatan dan
penegakan hukum pidana.
4) Upaya melakukan pembaharuan/ rekonstruksi pemikiran
yuridis (butir nomor 2 di atas) seyogyanya dilakukan untuk
semua bidang penegakan hukum pidana. Namun terutama
diperlukan dalam menghadapi masalah cybercrime (CC) karena
CC tidak dapat disamakan dengan tindak pidana konvensional,
sehingga tidak bisa dihadapi dengan penegakan hukum dan
pemikiran/ konstruksi hukum yang konvensional.
2.4 Bagaimana perlindungan hukum bagi pembeli dalam hal terjadi
penipuan jual beli online? Apa yang harus dilakukan apabila kita
mengalami penipuan jual beli online?
Jual beli online pada saat ini menjadi salah satu kegiatan yang umum
dilakukan oleh banyak orang. Selain lebih praktis, kegiatan jual beli
online lebih banyak diminati karena barang dan jasa yang ditawarkan
lebih beragam dan harganya juga lebih terjangkau. Berbagai online shop
hadir di banyak jenis platform media sosial, website, dan marketplace.
Meskipun diminati, kegiatan jual beli tanpa tatap muka ini banyak
menimbulkan masalah hukum, salah satunya terkait dengan tindak pidana
penipuan. Penipuan jual beli online sering terjadi karena pihak penjual dan

27
pembeli tidak melakukan tatap muka atau pertemuan saat bertransaksi.
Contoh penipuan online yang cukup marak ialah dalam hal pihak penjual
tidak mengirimkan barang yang sudah dibayar oleh pembeli, kemudian
penjual tidak bisa dihubungi dan menghilang.
Lantas, adakah pasal-pasal yang dapat digunakan untuk menjerat
penjual yang melakukan penipuan jual beli online?
Pasal mengenai penipuan secara umum diatur pada Pasal 378 dan 379
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yaitu:
Pasal 378 KUHP:
“Barangsiapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau
orang lain secara melawan hukum dengan menggunakan nama palsu
atau martabat (hoedaningheid) palsu; dengan tipu muslihat, ataupun
rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan
barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi utang maupun
menghapuskan piutang, diancam, karena penipuan, dengan pidana
penjara paling lama empat tahun.”

Pasal 379 KUHP:


“Perbuatan yang dirumuskan dalam Pasal 378, jika barang yang
diserahkan itu bukan ternak dan harga daripada barang, hutang atau
piutang itu tidak lebih dari dua puluh lima rupiah diancam sebagai
penipuan ringan dengan pidana penjara paling lama tiga bulan atau
pidana denda paling banyak dua ratus lima puluh rupiah.”

Harga barang Rp 25,- (dua puluh lima rupiah) telah disesuaikan


berdasarkan Perppu No. 16 Tahun 1960 tentang Beberapa Perubahan
dalam KUHP dan Perma No. 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan

28
Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP menjadi Rp
2.500.000,- (dua juta lima ratus ribu rupiah).
Karena penipuan dilakukan secara online menggunakan media
elektronik, maka peraturan lain yang digunakan ialah Pasal 28 ayat (1)
UU ITE, yaitu “setiap orang dengan sengaja, dan tanpa hak menyebarkan
berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen
dalam Transaksi Elektronik.”
Sanksi Pasal 28 ayat (1) UU ITE diatur pada Pasal 45 ayat (2), yaitu
“setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal
28 ayat (1) atau ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6
(enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu
miliar rupiah).”.
Kedua peraturan tersebut memang mengatur hal yang berbeda,
yaitu Pasal 378 dan 379 KUHP mengatur mengenai penipuan dan Pasal 28
ayat (1) jo. Pasal 45 ayat (2) UU ITE mengatur mengenai berita bohong
yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transkasi Elektronik.
Meski begitu, kedua pasal ini tak jarang digunakan bersamaan sebagai
sanksi pidana alternatif, karena belum ada peraturan yang secara spesifik
mengatur mengenai penipuan jual beli online sehingga diharapkan unsur-
unsur tindak pidana dapat memenuhi salah satu dari kedua pasal tersebut.
Perlindungan hukum terhadap pembeli juga diatur dalam Undang-
Undang Perlindungan Konsumen. Pasal 8 sampai Pasal 17 mengatur
perbuatan-perbuatan apa saja yang dilarang dilakukan oleh pelaku usaha
(penjual). Salah satu yang berkaitan dengan penipuan online ialah Pasal
16, yaitu:
“Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa melalui
pesanan dilarang untuk:

29
Tidak menepati pesanan dan/atau kesepakatan waktu penyelesaian sesuai
dengan yang dijanjikan;
Tidak menepati janji atas suatu pelayanan dan/atau prestasi.”
Atas pasal-pasal tersebut, Pasal 62 mengatur mengenai tuntutan pidana
terhadap pelaku usaha dan/atau pengurusnya, yaitu:
a. Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 13 ayat (2), Pasal 15, Pasal 17
ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf e ayat (2), dan Pasal 18
dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau
pidana denda paling banyak Rp 2.000.000.000,- (dua milyar rupiah);
b. Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13 ayat (1), Pasal 14, Pasal 16, dan
Pasal 17 ayat (1) huruf d dan huruf f dipidana dengan pidana penjara
paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak Rp
500.000.000,- (lima ratus juta rupiah).
Berbicara mengenai praktik, tak jarang penipuan jual beli online tidak
dilaporkan oleh pembeli ke aparat kepolisian karena harga barang yang
diperjualbelikan tidak begitu besar. Namun, sebagai pembeli kita tidak
bisa tinggal diam dan pasrah saja, mengingat penjual sebagai penipu akan
terus menjalankan aksinya dan merugikan banyak korban. Ada beberapa
langkah yang harus dilakukan apabila kita sebagai konsumen tertipu
dalam transkasi jual beli online, yaitu:
a. Melaporkan ke polisi
Tahap pertama yang harus dilakukan ialah melaporkan penipuan
online ke polisi. Tahap ini harus dilakukan terlebih dahulu agar bank
selanjutnya mau memproses kasus penipuan online. Pembeli sebagai
korban menceritakan kronologis, lalu memberikan bukti, baik bukti

30
transfer maupun screenshot bukti percakapan. Polisi akan
mengeluarkan Surat Tanda Penerimaan Laporan dan kemudian
melanjutkan laporan ke tahap penyelidikan dan penyidikan.
b. Mendatangi bank dimana penjual membuka rekening
Setelah mendapatkan surat dari polisi, pembeli mendatangi bank
dimana penjual membuka rekening dengan disertai beberapa
dokumen seperti fotokopi KTP, screenshot bukti percakapan, bukti
transfer, meterai. Apabila bank bersedia memproses, pembeli akan
diberikan surat kronologis, dan surat permohonan pembekuan
rekening yang harus ditandatangani di atas meterai. Apabila proses
berjalan lancar, bank akan memblokir rekening penjual dan kemudian
uang yang pembeli transfer akan dikembalikan ke pembeli jika uang
tersebut tersebut masih ada di rekening. Kebanyakan, saat rekening
diblokir, saldonya sudah kosong karena sudah dipindahkan ke
rekening lain sehingga pembeli sebagai korban tidak bisa
mendapatkan uangnya kembali.
c. Apabila pembeli ditolak, pembeli bisa mendatangi bank dimana
pembeli membuka rekening
Tak jarang, bank rekening penjual tidak mau memberikan
memproses dengan alasan menjaga rahasia nasabah. Apabila terjadi
hal tersebut, pembeli bisa mendatangi bank dimana pembeli
membuka rekening dan melakukan tahapan yang sama saat seperti
mendatangi bank rekening penjual.
melakukan tindakan criminal menggunakan elektronik dapat
mempermudah pelaku Tindak pidana penipuan berbasis e-commerce pada
prinisipnya sama dengan penipuan dengan cara konvensional namun yang
menjadi perbedaan terletak pada alat bukti atau sarana perbuatannya yakni

31
menggunakan sistem elektronik (komputer, internet, perangkat
telekomunikasi).
Rumusan unsur-unsur yang terkandung dalam Pasal 28 Ayat (1) UU
ITE dan Pasal 378 tersebut dapat dipahami mengatur objek berbeda.
Pasal 378 KUHP mengatur penipuan, sementara Pasal 28 Ayat (1) UU
ITE mengatur mengenai berita bohong yang menyebabkan kerugian
konsumen dalam transaksi elektronik.
Walaupun demikian, kedua pasal tersebut memiliki suatu kesamaan,
yaitu dapat mengakibatkan kerugian bagi orang lain. Pengaturan mengenai
penyebaran berita bohong dan menyesatkan ini dapat dipahami sangat
diperlukan dalam rangka memberikan perlindungan terhadap konsumen
yang melakukan transaksi komersial secara elektronik atau ecommerce.
Perdagangan secara elektronik idealnya dapat dilaksanakan dengan
mudah dan cepat sehingga dalam proses transaksi harus didasarkan pada
kepercayaan antara pihak yang bertransaksi. Kepercayaan ini diasumsikan
dapat diperoleh apabila para pihak yang bertransaksi mengenal satu sama
lain yang didasarkan pengalaman transaksi terdahulu atau hasil diskusi
secara langsung sebelum transaksi dilakukan.
Kemudian UU ITE juga menjelaskan mengenai prinsip-prinsip
dalam e-commerce walaupun tidak diatur secara mendetail namun secara
tersirat mengatur prinsip-prinsip kontrak dalam suatu transaksi elektronik.
Adapun prinsip-prinsip tersebut adalah sebagai berikut:
a. Prinsip Kepastian Hukum, yang tercantum dalam Pasal 18 Ayat (1)
UU ITE yang menyatakan bahwa “Transaksi elektronik yang
dituangkan ke dalam kontrak elektronik mengikat para pihak”.
b. Prinsip Itikad Baik, yang tercantum dalam Pasal 17 Ayat (2) UU ITE
yang menyatakan bahwa “Para pihak yang melakukan transaksi

32
elektronik dalam lingkup publik ataupun privat wajib beritikad baik
dalam melakukan interaksi dan/atau pertukaran informasi elektronik
dan/atau dokumen elektronik selama transaksi berlangsung”.
c. Prinsip Konsensualisme, yang tercantum dalam Pasal 20 UU ITE yang
menyatakan “Kecuali ditentukan lain oleh para pihak, Lebih lanjut
dalam Pasal 20 Ayat (2) UU ITE menyatakan bahwa “Persetujuan atas
penawaran transaksi elektronik sebagaimana dimaksud pada Ayat (1)
harus dilakukan dengan pernyataan penerimaan secara elektronik”.
Kedua pasal tersebut dapat dipahami bahwa kesepakatan terhadap
kontrak elektronik dapat terjadi pada saat penawaran transaksi
elektronik yang dikirim oleh pengirim diterima dan disetujui oleh
penerima dengan pernyataan secara elektronik.
d. Prinsip Keterbukaan atau Transparansi, yang tercantum dalam Pasal 9
UU ITE yang menyatakan bahwa “Pelaku usaha yang menawarkan
produk melalui sistem elektronik harus menyediakan informasi yang
lengkap dan benar berkaitan dengan syarat kontrak, produsen dan
produk yang ditawarkan”. Selanjutnya untuk memberikan
perlindungan dan penegakan hukum yang lebih maksimal, sejatinya
ketentuan Pasal 28 Ayat (1) UU ITE juga sejalan dengan Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang
bertujuan antara lain, untuk meningkatkan kesadaran dan kemandirian
konsumen untuk melindungi dirinya dan menciptakan sistem
perlindungan terhadap konsumen dengan memberikan kepastian
hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan
informasi. Pasal 4 UU Perlindungan Konsumen menyatakan bahwa
Hak Konsumen adalah:
e. hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam

33
mengkonsumsi barang dan/atau jasa; b. hak untukmemilih barang
dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai
dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;
f. hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan
jaminan barang dan/atau jasa; d. hak untuk didengar pendapat dan
keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan; transaksi
elektronik terjadi pada saat penawaran transaksi yang dikirim
pengirim telah diterima dan disetujui penerima”.

34
BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Penelitian hukum merupakan suatu proses untuk menemukan aturan


hukum, prinsip-prinsip hukum atau doktrin-doktrin hukum untuk
menjawab isu-isu hukum yang dihadapi. Jenis penelitian yang digunakan
di dalam melakukan penelitian adalah tipe penelitian normatif (doctrinal)
yakni tipe penelitian yang mengkaji tentang asas-asas, norma, kaidah dari
peraturan perundang – undangan dan putusan pengadilan. Normatif atau
penelitian perpustakaan ini merupakan penelitian yang mengkaji studi
dokumen, yakni menggunakan berbagai data sekunder seperti peraturan
perundang-undangan, keputusan pengadilan, teori hukum, dan dapat
berupa pendapat para sarjana. Penelitian jenis normatif ini menggunakan
analisis kualitatif yakni dengan menjelaskan data-data yang ada dengan
kata-kata atau pernyataan bukan dengan angka-angka.

3.2 Spesifikasi Penelitian

Permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini dan agar


dapat memberikan hasil yang bermanfaat maka penelitian ini dilakukan
dengan penelitian yuridis normatif. Penelitian merupakan penelitian
secara spesifik terkait dengan objek penelitian, Maka, dalam hal ini
penulis melakukan penelitian terhadap Undang- Undang Nomor 11 Tahun
2008 tentang Informasi dan Elektronik, Undang-Undang Nomor 19 Tahun
2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 20008
tentang Informasi dan Elektronik terkait Penegakan Hukum Pidana
Terhadap Tindak Pidana Penipuan Berbasis Transaksi Elektronik Menurut

35
Uu No/19/2016 Pada Pasal 28 Ayat (1) UU Ite Di polda Metro Jaya
Jakarta Selatan”

3.3 Sumber dan Jenis Data

Dalam penelitian ini maka sumber data yang diperlukan adalah


Penelitian ini menggunakan jenis data sekunder, yaitu data yang diperoleh
dari bahan kepustakaan atau literatur yang mempunyai hubungan dengan
objek penelitian. Jenis data tersebut diklasifikasikan dalam 3 (tiga) bahan
yaitu: bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum
tersier

a. Bahan Hukum Primer yaitu bahan hukum yang mengikat, yang terdiri
atas peraturan perundang-undangan, yurisprudensi, dan lain-lain.
Dalam penelitian ini, bahan hukum primernya terdiri atas:

1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

2) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas


Undang- Undang Nomor 11 Tahun 20008 tentang Informasi dan
Elektronik

3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan


Elektronik

b. Bahan Hukum Sekunder yang terdiri dari bahan acuan lainnya yang
berisikan informasi yang mendukung penulisan skripsi ini, seperti
buku-buku hukum, artikel, tulisan-tulisan, karya ilmiah, internet, dan
sebagainya.

c. Bahan Hukum Tersier yaitu bahan hukum pendukung yang


memperjelas dan mendukung argumentasi ilmiah penulis, yang dapat

36
menjelaskan istilah-istilah yang penulis gunakan baik secara
gramatikal, etimologis dan sebagainya.
Sedangkan sumber bahan hukum yang digunakan dalam penelitian
ini menggunakan metode penelitian pustaka (Library Research) yaitu
suatu metode pengumpulan bahan hukum dengan jalan membaca dan
menelusuri literatur-literatur yang berkaitan dengan judul yang
kebanyakan terdapat di perpustakaan-perpustakaan kemudian mengambil
hal-hal yang dibutuhkan baik secara langsung maupun saduran.
Contohnya: buku kepustakaan, artikel, peraturan perundang-undangan,
yurisprudensi, dan karya ilmiah yang ada hubungannya dengan objek
penelitian.

3.4 Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan dalam wilayah kota Tanggerang. Lokasi


penelitian yang dipilih adalah Perpustakaan (library research) Fakultas
Hukum Universitas Pamulang di tempat ini penulis mengambil data
berupa bahan pustaka dan data serta informasi yang diperlukan yang
berkaitan dengan permasalahan yang dibahas dalam kasus ini guna

mempermudah pembahasan dan proses penyelesaian penulisan.

3.5 Tehnik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan bahan hukum yang digunakan Penulis dalam


penelitian ini ialah menggunakan teknik studi dokumentasi yaitu dengan
cara mengumpulkan data, membaca, dan menelaah beberapa literatur,
buku, koran, media internet serta peraturan perundang-undangan yang
berhubungan dengan masalah yang diteliti.

37
3.6 Analisa Data

Data yang telah diperoleh dari hasil penelitian ini disusun dan dianalisa
secara kualitatif, kemudian selanjutnya data tersebut diuraikan secara
deskriptif guna memperoleh gambaran yang dapat dipahami secara jelas
dan terarah untuk menjawab permasalahan yang penulis teliti.

38
BAB IV

PEMBAHASAN

4.1 Proses Penegakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Penipuan


Trnasaksi Elektronik

Berdasarkan hasil yang telah penulis lakukan, diperoleh jawaban


atas permasalahan mengenai peran kepolisian dalam penyidikan tindak
pidana penipuan jual beli online adalah sebagai berikut :

4.1.1 Proses Penyelidikan

Penyelidikan yang dilakukan Polda metro jaya terhadap tindak


pidana penipuan berbasis transaksi elektronik dilakukan oleh Polisi
Unit Tindak Pidana Tertentu Polda Metro Jaya. Tahap penyelidikan
merupakan tahap pertama yang dilakukan penyelidik dalam melakukan
penyelidikan tindak pidana serta tahap tersulit dalam proses
penyidikan, hal ini disebabkan dalam tahap ini penyelidik harus dapat
membuktikan tindak pidana yang terjadi serta bagaimana dan sebab-
sebab dari tindak pidana tersebut dalam upaya penanggulangan.

Dalam penyelidikan kasus penipuan berbasis transaksi


elektronik, pihak kepolisian banyak mengalami kendala dan kesulitan,
karena kasus yang berhubungan dengan kejahatan dunia maya
penanganannya berbeda dengan kasus tindak pidana biasa atau
konvensional. Apalagi pelaku kejahatan tersebut bisa melakukan
aksinya kapan saja tanpa sepengetahuan orang lain dan menggunakan

39
akun palsu. Kesepakatan yang dilakukan antara penjual dan pembeli
juga didasarkan pada kepercayaan dan tidak bertemu secara langsung
maka dapat dengan mudah para pelaku kejahatan penipuan melakukan
aksinya. Langkah-langkah yang dilakukan pihak kepolisian adalah
melakukan pemeriksaan misalnya di warnet yang biasanya digunakan
oleh pelaku kejahatan, sekaligus mengumpulkan bukti, melacak, dan
melakukan penyitaan terhadap bukti elektronik seperti hard disk,
melakukan pengungkapan atau penahanan berdasarkan bukti permulaan
atau alat bukti yang cukup.

Melakukan Penyelidikan Terhadap Pelaku Kejahatan Seperti


yang diuraikan dalam contoh kasus penipuan jual beli online
pengaduan penipuan jual beli online. Para korban pelapor mengatakan,
produk yang ditawarkan di dalam akun media sosial seperti tokopedia,
buka lapak, dan lazada.Penjualan barang tersebut beraneka ragam, di
antaranya sepeda motor, jam tangan, batu akik, sepeda, mobil, dan
telepon genggam berbagai merk, serta jenis.

“Setelah menerima transfer dari korban, kelompok tersebut


langsung mengambil uang dan tidak mengirim barang yang sudah
dipesan korban. Pada dasarnya, seluruh barang tersebut tidak pernah
ada,” ujarnya.

Lima orang diringkus terkait kasus tersebut yakni H (34), AS


(23), Z (49), R (33), dan B (32). Kelimanya ditangkap di kawasan
sidrap, sulawesi selatan, senin pekan lalu bulan Agustus tanggal 2.

Selain tersangka polisi juga mengamankan sejumlah barang


bukti kejahatan di antaranya 14 buah telepon genggam, 32 rekening
berbagai bank, satu unit laptop, satu mobil honda Freed, dan sebuah

40
sepeda motor Yamaha.

Mujiyono menyatakan kasus tersebut terungkap berdasarkan


banyaknya laporan yang masuk ke Polda Metro Jaya. Sepanjang tahun
2015 hingga awal 2016, kata dia, ada 93 laporan warga yang mengaku
tertipu usai membeli produk dari akun palsu tersebut. “Dari hasil
peyelidikan awal ditemukan laporan polisi dengan total kerugian dari
korban-korban tersebut adalah sekitar Rp10.1 miliar,” ujarnya.

Atas perbuatanya, para tersangka dijerat pasal 28 ayat (1)


undang-undang nomor 19 tahun 2016 tentang iinformasi dan transaksi
elektronik juncto pasal 378 kitab undang-undang hukum pidana tentang
penipuan, dan dijerat UU Tindak Pidana pencucian uang (TPPU)
dengan ancaman kurungan penjara diatas 15 tahun penjara.

“penggunaan pasal berlapis ditujukan untuk menimbulkan efek


jera. Karena selain kerugian materi korban, kerugian imateril berupa
nama baik perusahaan menjadi tercemar sehingga kepercayaan
pelanggan berkurang,” ujarnya.

Pasal 378 KUHP mengatur sebagai berikut:

Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkam diri sendiri atau


oranglain secara melawan hukum dengan memakai nama palsu atau
martabat palsu, dengan tipu muslihat ataupun rangkaian kebohongan,
menggerakkan orang lain untukmenyerahkan barang sesuatu
kepadanya, atau supaya memberi utang maupun menghapus piutang,
diancam karena penipuan, dengan pidana penjara paling lama empat
tahun. Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang No. 19 Tahun 2016 tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik mengatur sebagai berikut :

41
“setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita
bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen
dalam Transaksi Elektronik”

Menurut penulis, upaya penindakan yang dilakukan pihak kepolisian dalam


penyidikan tindak pidana penipuan transaksi berbasis elektronik akan
mengalami banyak hambatan dimana akan kesulitan menemukan
dimana pelaku berada karena biasanya pelaku menggunakan akun palsu
dan identitas palsu dalam pembuatan nomor rekening .Maka tindakan
kepolisian juga seharusnya menghimbau masyarakat agar lebih berhati-
hati dalam melakukan transaksi jual beli online.

4.1.2 Proses Penyelidikan

Karena hal tersebut sangat penting dilakukan dalam mengumpulkan


barang bukti, penyitaan terhadap bukti elektronik pelaku kejahatan
cybercrime. Penyidikan yang dilakukan oleh kepolisian akan
menelusuri sumber dokumen elektronik tersebut. Dalam praktiknya,
biasanya pertama-tama penyidik akan melacak keberadaan pelaku
dengan menelusuri alamat Internet Protocol (“IP Address”) pelaku
berdasarkan logIP Address yang tersimpan dalam server pengelola
website/homepage yang dijadikan sarana pelaku dalam melakukan
penipuan. Permasalahannya adalah, penyidik akan menemui kesulitan
jika website/homepage tersebut pemiliknya berada di luar wilayah
yurisdiksi Indonesia (seperti facebook, google, twitter, yahoo, dll.).
Meskipun saat ini APH (polisi maupun Penyidik Pegawai Negeri
Sipil/PPNS Kementerian Komunikasi dan Informatika) telah bekerja
sama dengan beberapa pengelola website/homepage di luar wilayah
Indonesia, dalam praktiknya tidak mudah untuk mendapatkan IP

42
address seorang pelaku yang diduga melakukan tindak pidana dengan
menggunakan layanan web site/homepage tertentu. Hal ini disebabkan
adanya perbedaan prosedur hukum antarnegara. Meskipun pemerintah
antar-negara melalui aparat penegak hukumnya telah membuat
perjanjian Mutual Legal Asistance (“MLA”) atau perjanjian bantuan
hukum timbal balik, pada kenyataannya MLA tidak serta merta berlaku
dalam setiap kasus yang melibatkan antarnegara. Permasalahan
yurisdiksi inilah yang sering menjadi penyebab tidak dan diprosesnya
atau tertentu cybercrime. 109Dalam proses penyidikan diperlukan alat
bukti yang terdapat pada dalam. Pasal 184 KUHAP (Kitab Undang-
Undang HukumAcaraPidana)Alat bukti yang sah ialah:

1) Keterangan saksi

2) Keterangan ahli

3) Surat;

4) Petunjuk

5) Keterangan terdakwa.

4.1.3 Proses Pembuktian dalam Perkara Pidana

Sistem pembuktian adalah pengaturan tentang macam-macam


alat bukti yang boleh dipergunakan, penguraian alat bukti dan cara-cara
bagaimana alat bukti itu dipergunakan dan dengan cara bagaimana
hakim harus membentuk keyakinannya.

Sumber-sumber hukum pembuktian adalah:

1) Undang-undang;

2) doktrin atau ajaran;

43
3) Yurisprudensi

Pembuktian tentang benar tidaknya terdakwa melakukan


perbuatan yang didakwakan, merupakan bagian yang terpenting acara
pidana. Dalam hal ini pun hak asasi manusia dipertaruhkan. Bagaimana
akibatnya jika seseorang yang didakwa dinyatakan terbukti melakukan
perbuatan yang didakwakan berdasarkan alat bukti yang ada disertai
keyakinan hakim, padahal tidak benar. Untuk inilah maka hukum acara
pidana bertujuan untuk mencari kebenaran materiil, berbeda dengan
hukum acara perdata yang cukup puas dengan kebenaran formal.

Sejarah perkembangan hukum acara pidana menunjukkan bahwa


ada beberapa sistem atau teori untuk membuktikan perbuatan yang
didakwakan. Sistem atau teori pembuktian ini bervariasi menurut waktu
dan tempat (negara).

Berikut ini penulis akan menguraikan keempat sistem atau teori


pembuktian tersebut di atas sebagai berikut:

1) Sistem atau teori pembuktian berdasarkan undang-undang secara


positif (Positief Wettelijke Bewijs Theorie) Dikatakan secara
positif, karena hanya didasarkan kepadaundang-undang melulu.
Artinya jika telah terbukti suatu perbuatan sesuai dengan alat-alat
bukti yang disebut oleh undang-undang, maka keyakinan hakim
tidak diperlukan sama sekali. Sistem ini disebut juga teori
pembuktian formal (formale bewijstheorie).

Sistem ini menitikberatkan pada adanya bukti yang sah


menurut undang-undang. Meskipun hakim tidak yakin akan
kesalahan terdakwa, namun apabila ada bukti yang sah menurut

44
undang-undang, maka ia dapat menjatuhkan hukuman kepada
terdakwa.

2) Sistem atau teori pembuktian berdasar keyakinan hakim melulu

Sistem atau teori ini terlalu besar memberi kebebasan


kepada hakim sehingga sulit untuk diawasi. Sehingga dengan
adanya hal demikian terdakwa atau penasehat hukumnya sulit
untuk melakukan pembelaan.

3) Sistem atau teori pembuktian berdasar keyakinan hakim atas


alasan yang logis (La Conviction Rais onnee) .

Menurut teori ini hakim dapat memutuskan seseorang


bersalah berdasar keyakinannya, keyakinan mana didasarkan
kepada dasar-dasar pembuktian disertai dengan suatu kesimpulan
yang berlandaskan kepada aturan-aturan pembuktian tertentu.

Sistem atau teori pembuktian ini disebut juga pembuktian


bebas karena hakim bebas untuk menyebut alasan-alasan
keyakinannya. Sistem ini memberi kebebasan kepada hakim
terlalu besar, sehingga sulit diawasi. Di samping itu, terdakwa
atau penasehat hukumnya sulit untuk melakukan pembelaan.
Dalam hal ini hakim dapat memidana terdakwa berdasarkan
keyakinannya bahwa ia telah melakukan apa yang didakwakan.

4) Teori pembuktian berdasarkan undang-undang secara negatif


(Negatief Wettelijk)

HIR maupun KUHAP, begitu pula Ned.Sv yang lama dan


yang baru semuanya menganut sistem atau teori pembuktian
berdasar undangundang secara negatif (negatief wettelijk). Hal

45
tersebut dapat disimpulkan dari

Pasal 183 KUHAP, dahulu Pasal 294 HIR. Pasal 183


KUHAP berbunyi: “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana
kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua
alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak
pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah
melakukannya”.

Dari ketentuan Pasal 183 KUHAP tersebut di atas nyata


bahwa pembuktian harus didasarkan kepada undang-undang
(KUHAP), yaitu alat-alat bukti yang sah, disertai dengan
keyakinan hakim yang diperoleh dari alat-alat bukti tersebut.

Hak tersebut dapat dikatakan sama saja dengan ketentuan


yang tersebut pada Pasal 294 ayat (1) Herziene Inlands
Reglement (HIR) yang berbunyi: “Tidak seorangpun boleh
dikenakan pidana, selain jika hakim mendapat keyakinan dengan
alat bukti yang sah, bahwa benar telah terjadi. Perbuatan yang
dapat dipidana dan bahwa orang yang didakwa itulah yang
bersalah melakukan perbuatan itu”.

4.1.4 Proses Persidangan

Para penegak hukum harus dapat membuktikan dengan berbagai


cara dan dengan alat-alat bukti yang sudah di atur menurut undang-
undang. Penegak hukum tidak boleh keluar dari ketentuan yang sudah
diatur dalam UndangUndang mengenai cara dan ketentuan alat bukti,
apabila keluar dari aturan tersebut, maka cara maupun bukti-
bukti tersebut tidak sah ataupun tidak layak di tampilkan dalam sidang

46
pengadilan. Dalam hukum acara, keyakinan hakim menjadi penentu
dari sebuah keputusan dalam sidang pengadilan. Keyakinan menumt
teori pembuktian Undang-Undang secara negatif bahwa keputusan dari
hakim haruslah memiliki keyakinan yang sepenuhnya, tanpa adanya
keyakinan maka hakim harus mencari keyakinan tersebut dengan
pertimbangan fakta-fakta yang terungkap dalam pengadilan.

Fakta-fakta yang terungkap dalam pengadilan pun harus


memiliki dasar yang kuat, dasar ini adalah alat-alat bukti yang di
tampilkan dalam sidang pengadilan. Alat bukti ini pun harus di peroleh
dengan cara yang sudah diatur dan di tetapkan dalam Undang-Undang.
Selaian sistem pembuktian di atas, pembuktian juga harus di sertai
dengan alat bukti. Alat bukti ini yang akan memperkuat suatu tuntutan
atas tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku. KUHAP mengatur
secara limitative mengenai alat bukti. Semua alat bukti dinyatakan sah
apabila telah memenuhi persyaratan formil maupun ketentuan materiil.
Kekuatan pembuktian dari semua alat bukti bersifat bebas, maksudnya
alat-alat bukti tersebut tidak bersifat sempurna dan bersifat tidak
mengikat atau menentukan. Sedangkan nilai pembuktian dari seluruh
alat bukti berdasarkan pada menilaian hakim. Ada lima alat bukti yang
diakui dalam Kitab Hukum Acara Pidana adalah pada pasal 184, yaitu:

1) Keterangan Saksi

Ditinjau dari segi nilai dan kekuatan pembuktian, agar


keterangan saksi atau kesaksian mempunyai nilai serta kekuatan
pembuktian. Syarat materiil untuk keterangan saksi anatara lain,
keterangan yang diberikan ialah peristiwa yang ia dengar, lihat dan
alami sendiri dengan alasan pengetahuannya, bukan pendapat atau

47
rekaan ataupun keterangan ahli. Beriktnya ada lebih dari satu
orang saksi yang sesuai asas unus testis nulus testis. Selain itu
bukan keterangan yang ia peroleh dari orang lain, dan yang
terakhir adalah adanya persesuean antara keterangan saksi yang
satu dengan yang lain dan keterangan saksi dengan alat bukti yang
lain. Perlu diperhatikan beberapa pokok ketentuan yang harus
dipenuhi oleh seorang saksi, yaitu:

a) Harus mengucapkan sumpah atau janji

b) Keterangan saksi yang bernilai sebagai bukti;

c) Keterangan saksi harus diberikan di sidang pengadilan;

d) Keterangan seorang saksi saja dianggap tidak cukup;

e) Keterangan beberapa saksi yang yang berdiri sendiri.

2) Keterangan Akhli

Dalam pasal 186 yang di maksud dengan keterangan ahli


adalah apa yang seorang ahli nyatakan di sidang pengadilan. Pasal
184 ayat 1 KUHAP menetapkan, keterangan ahli sebagai alat bukti
yang sah. Keterangan ahli ialah keterangan yang diberikan oleh
seseorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang
diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna
kepentingan pemeriksaan dan harus mengangkat sumpah atau janji
di hadapan pengadilan.

3) Alat Bukti Surat

Menurut ketentuan, surat yang dapat dinilai sebagai alat


bukti yang sah menurut Undang-Undang ialah: Surat yang di buat

48
atas sumpah jabatan; Atau surat yang dikuatkan dengan sumpah.

4) Alat Bukti Petunjuk

Alat bukti petunjuk adalah suatu isyarat yang dapat di tarik


dari suatu perbuatan, kejadian atau keadaan dimana isyarat itu
mempunyai persesuaian antara yang satu dengan yang lain
maupun isyarat itu mempunyai persesuaian dengan tindak pidana
itu sendiri, dan dari isyarat yang bersesuaian tersebut melahirkan
atau mewujudkan suatu petunjuk yang membentuk kenyataan
terjadinya suatu tindak pidana dan terdakwalah pelakunya. KUHP
mengatur secara jelas mengenai sumber petunjuk, yaitu petunjuk
hanya dapat diperoleh dari keterangan saksi, surat, dan keterangan
terdakwa. Berdasarkan KUHAP yang dapat menentukan alat bukti
petunjuk adalah hakim yang dilakukan setelah memeriksa ketiga
alat bukti tersebut dengan penuh kecermatan dan penuh
keseksamaan berdasarkan keyakinannya dan penelitian atas
petunjuk, yaitu kekuatan pembuktiannya dilakukan dengan arif
dan bijaksana.

5) Keterangan Terdakwa

Keterangan terdakwa sebagai alat bukti, sekaligus meliputi


pernyataan pengakuan dan pengingkaran dan penyerahan
penilaiannya kepada hakim, yang mana dari keterangan terdakwa
sebagai ungkapan pengakuan yang mana pula dari keterangan itu
bagian yang berisi pengingkaran.

Ketentuan mengenai alat bukti yang diatur dalam KUHAP


seperti yang dijelaskan di atas di maksudkan agar alat bukti yang

49
diajukan di persidangan adalah alat bukti yang yang sah sehingga
dapat di gunakan dalarn persidangan sehingga unsur-unsur tindak
pidana sesuai dengan alat bukti yang diajukaN.

50
BAB V

KESIMPULAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dipaparkan


dalam bab terdahulu, maka dapat diambilkesimpulan bahwa : 1. Tindak
pidana penipuan berbasis transaksi elektronik pada prinsipnya sama
dengan penipuan dengan cara konvensional. Yang menjadi perbedaan
terletak pada alat bukti atau sarana perbuatannya yakni menggunakan
sistem elektronik (komputer, internet, dan perangkat telekomunikasi).
penegakan hukum pidana terhadap erhadap pelaku penipuan bisnis online
dilakukan sesuai dengan aturan hukum pidana yaitu kitab Undang –
Undang hukum pidana ( KUHP ). Karena di dalam kasus terdapat unsur
penipuan dikenakan pasal 378 KUHP dimana penegakan hukumnya
dimulai dari beberapa tahapan. Tetapi karena didalam pasal 378 KUHP
untuk ancaman pidananya terlalu ringan maka aparat kepolisian
menggunakan pasal 28 ayat (1) dan pasal 45A ayat (1) Undang-Undang
nomor 19 tahun 2016 tentang informasi dan transaksi elektronik maka
dapat juga dikenakan pasal tersebut. Dalam kasus penipuan bisnis online
ini yaitu proses dilakukan penyelidikan oleh pihak kepolisian apakah
benar telah terjadi peristiwa penipuan kemudian dilakukan penyedikan
dengan cara olah tempat kejadian perkara (TKP) oleh pihak kepolisian.
Tetapi hal tersebut memiliki kesulitan. Aparat kepolisian yang berperan
sebagai penyidik mempunyai kesulitan karena terkendalanya bukti -bukti
yang didapat untuk menguatkan kasus ini supaya bisa masuk ke
kejaksaan. Sehingga sehingga untuk perkara penipuan bisnis onine tidak
bisa dilanjutkan ke kejaksaan.

51
Selanjutnya terkait dengan hambatan dalam penegakan hukum
terhadap tindak pidana berbasis E-Commerce masih sesuai lima faktor
yang mempengaruhi penegakan hukum yaitu pertama, faktor hukum itu
sendiri dimana masih adanya aturan yang belum menjelaskan secara
spesifik terhadap tindak pidana penipuan berbasis e-commerce, kedua,
faktor penegak hukum, dimana masih ada aparat penegak hukum yang
belum memahami terhadap aturan yang ada sehingga dalam
implementasinya masih menjadi multitafsir, ketiga faktor sarana dan
prasarana yang mendukung penegakan hukum yang dapat membantu
mengungkap tindak pidana tersebut, keempat faktor masyarakat dimana
masih minimnya kesadaran masyarakat untuk memberikan keterangan
atau laporan terhadap permasalahan yang dihadapi serta keengganan
masyarakat untuk berproses dalam peradilan; dan faktor kebudayaan
dimana semakin tinggi budaya dan semakin modern suatu bangsa maka
semakin modern pula kejahatan itu dalam bentuk, sifat dan cara
pelaksanaannya.

5.2 Saran

Dalam tulisan ini dapat disampaikan beberapa saran diantaranya


pertama, pemerintah Indonesia melalui lembaga terkait sebaiknya dapat
mengikutsertakan para aparat penegak hukum dalam kegiatan pendidikan
dan pelatihan secara khusus untuk meningkatkan kualitas dan kemampuan
bagi aparat penegak hukum dalam mengungkap kasus-kasus cybercrime
sehingga dapat memahami secara menyeluruh terhadap aturan-aturan yang
dapat dikenakan kepada pelaku tindak pidana penipuan berbasis transaksi
elektronik dan tidak terjadi multitafsir dalam penerapan pasal-pasal
tersebut. Selain itu Pemerintah sebaiknya dapat mengakomodir bagi

52
paraaparatpenegakhukumuntukdapatmemberikan sarana dan prasarana
sesuai dengan spesifikasi yang diharapkan untuk dapat mengungkap dan
menangkap para pelaku tindak pidana. Kedua, Pihak kepolisian dengan
berbagai instansi terkait diharapkan dapat bekerjasama dan lebih aktif
untuk melakukan sosialisasi-sosialisasi mengenai bahaya tindak pidana
cybercrime khususnya mengenai penipuan yang dilakukan secara online
dan mensosialisasikan Undang-Undang Informasi dan Transaksi
Elektronik sebagai upaya preventif agar masyarakat mengetahui
bagaimana akibat jika terjadi pelanggaran terhadap informasi dan
transaksi elektronik. Selain itu diharapkan kesadaran masyarakat secara
langsung untuk melaporkan kepada pihak kepolisian apabila ada hal yang
patut dicurigai merupakan tindak pidana penipuan berbasis e-commerce.
Karena upaya pencegahan bukan hanya tugas aparat yang berwenang
melainkan kewajiban bersama untuk memberantas tindak pidana
cybercrime sebagai penipuan.

53
DAFTAR PUSTAKA

Ahmadi, Fahmi M. dan Jaenal Aripin, Metode Penelitian Hukum, Ciputat

Lembaga Penelitian UIN Jakarta, 2010.

Ana Mitfatul Janna, Penegakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana

Penipuan Bisnis Online Di Polda Metro Jaya Menurut Hukum Positif

Dan Hukum Islam, Jakarta, 2018

I Gusti Made Jaya Kesuma dan Ida Ayu Putu Widiati , Jurnal Preferensi

Hukum Penegakkan Hukum Terhadap Penipuan Melalui Media

Elektronik Vol.1 No 2, 2020

Tony Yuri Rahmanto, Penegakan Hukum Terhadaptindak Pidana Penipuan

Berbasis Transaksi Elektronik, Jurnal De Jure (Penelitian Hukum),

2018

Aryanto., Agus. “5 Negara Dengan Pertumbuhan E-Commerce Tertinggi.”

Wartaekonomi. Co.Id. Last modified 2018. Accessed December 20,

2018. https://www. wartaekonomi.co.id/read194905/5-negaradengan-

pertumbuhan-e-commerce-tertinggi. html.

Kamus Besar Bahasa Indonesia. “Pengertian Penipuan.” KBBI.Web.Id. Last

modified 2018. Accessed December 22, 2018. https:// kbbi.web.id/tipu.

https://eprints.umm.ac.id/79003/2/

54

Anda mungkin juga menyukai