Disusun Oleh:
FERRY SIBUEA (201010200648)
MUHAMMAD AZIEZ AZHIEM (201010200635)
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS PAMULANG
TAHUN 2022
i
KATA PENGANTAR
Puji dan Syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, berkat rahmat dan
karunia- Nya pada akhirnya kami dapat menyelesaikan penelitian yang
berjudul “Penegakan Hukum Pidana Terhadap Tindak Pidana Penipuan
Berbasis Transaksi Elektronik Menurut UU No/19/2016 Pada Pasal 28
Ayat (1) UU ITE ”. Shalawat dan salam semoga selalu dilimpahkan kepada
manusia paling sempurna dimuka bumi yaitu Nabi Muhammad SAW, karena
berkat risalah beliau kita semua dapat tercerahkan dengan ilmu pengetahuan.
ii
ABSTRAK
ABSTRACT Fraudulent acts are currently flourishing following the era and
technology advancement. Laws and regulations are made to anticipate this, but
the existing laws and regulations seem like unable to combat the crime amid
their increase in occurrences. This research aims to: firstly, to identify law
enforcement against the ecommerce-based frauds; and secondly, to identify the
obstacles in criminal law enforcement against ecommerce- based frauds. This
research was conducted by using normative juridical method through literature
research by examining secondary data including legislation, research results,
scientific journals and references. The research results describe that the e-
commerce- based fraudulent acts in principle are similar to the conventional
frauds but differ in the evidences or means of action as the latter uses
electronic systems (computers, internet, telecommunications equipment).
Therefore, the legal enforcement against this kind of frauds is still under the
applicability of the Indonesian Criminal Code and the Law No. 19 of 2016
regarding Amendments to the Law No. 11 of 2008 regarding Information and
Electronic Transactions. Further, the law enforcement against the fraudulent
acts in electronic-based transactions has been prevented at least by the
following five factors, the laws and regulations, law enforcers, infra-structure
or facilities that support the law enforcement, community and cultural factors.
iii
ABSTRAK
Tindak pidana penipuan saat inisemakin berkembang mengikuti perkembangan zaman
dan kemajuan teknologi. Aturan hukum dibuat untuk mengantisipasi hal tersebut
namun aturan yang ada rupanya tidak membuat tindak pidana tersebut semakin
berkurang tetapi mengalami peningkatan. Penelitian ini bertujuan untuk: pertama,
mengetahui penegakan hukum terhadap tindak pidana penipuan berbasis e-commerce;
dan kedua, mengetahui faktor-faktor penghambat dalam penegakan hukum pidana
terhadap tindak pidana penipuan berbasis ecommerce. Penelitian ini dilakukan dengan
metode yuridis normatif melalui studi kepustakaan dengan menelaah data sekunder
meliputi peraturan perundang-undangan, hasil penelitian, jurnal ilmiah dan referensi.
Hasil penelitian menggambarkan bahwa tindak pidana penipuan berbasis e-commerce
pada prinisipnya sama dengan penipuan dengan cara konvensional namun yang
menjadi perbedaan terletak pada alat bukti atau sarana perbuatannya yakni
menggunakan sistem elektronik (komputer, internet, perangkat telekomunikasi). Oleh
karenanya penegakan hukum mengenai tindak pidana penipuan ini masih dapat
diakomodir oleh Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Undang-Undang Nomor
19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas UndangUndang Nomor 11 Tahun 2008 tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik. Selanjutnya, Hambatan dalam penegakan hukum
terhadap tindak pidana penipuan berbasis Transaksi elektronik masih dipengaruhi oleh
lima faktor yaitu faktor hukum, faktor penegak hukum, faktor sarana atau fasilitas yang
mendukung penegakan hukum, faktor masyarakat dan faktor kebudayaan.
iv
DAFTAR ISI
Contents
HALAMAN JUDUL.............................................................................................i
KATA PEGANTAR.............................................................................................ii
ABSTRAK..........................................................................................................iii
ABSTRAK..........................................................................................................iv
DAFTAR ISI........................................................................................................v
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................1
1.1 Latar Belakang..........................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah....................................................................................6
1.3 Tujuan Penelitian......................................................................................6
1.4 Manfaat Penelitian....................................................................................6
1.4.1 Manfaat teoritis.........................................................................................6
1.4.2 Manfaat Praktis.........................................................................................6
BAB II TINJAUAN TEORI...............................................................................8
2.1 Kerangka Konseptual................................................................................8
2.1.1 Definisi Penegak Hukum..........................................................................8
2.1.2 Faktor-Faktor Yang Mempegaruhi Penegak Hukum...............................14
2.2 Penegak Hukum Pidana..........................................................................17
2.2.1 Macam-Macam Hukum Pidana...............................................................18
2.3 Hambatan dalam penegakan hukum terhadap tindak pidana berbasis E-
Commerce...............................................................................................22
2.4 Bagaimana perlindungan hukum bagi pembeli dalam hal terjadi
penipuan jual beli online? Apa yang harus dilakukan apabila kita
mengalami penipuan jual beli online......................................................27
BAB III METODE PENELITIAN..................................................................35
3.1 Jenis Penelitian........................................................................................35
3.2 Spesifikasi Penelitian..............................................................................35
3.3 Jenis dan Sumber Data............................................................................36
3.4 Lokasi Penelitian.....................................................................................37
v
3.5 Tehnik Pengumpulan Data......................................................................37
3.6 Analisa Data............................................................................................38
BAB IV PEMBAHASAN.................................................................................39
4.1 Kerangka Teori.......................................................................................39
4.1.1 Kerangka Teori.......................................................................................39
4.1.2 Kerangka Teori.......................................................................................42
4.1.3 Kerangka Teori.......................................................................................43
4.1.4 Kerangka Teori.......................................................................................46
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN............................................................51
5.1 Keseimpulan...........................................................................................51
5.2 Saran.......................................................................................................52
vi
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
1
perdagangan antara penjual dan pembeli dengan media internet, dimana
untuk pemesanan, pengiriman sampai bagaimana sistem pembayaran
dikomunikasikan melalui internet. Keberadaan e-commerce merupakan
alternatif yang menjanjikan untuk diterapkan pada saat ini karena e-
commerce memberikan banyak kemudahan bagi kedua belah pihak
yaitu pihak penjual dan pihak pembeli di dalam melakukan
perdagangan sekalipun para pihak berada di dunia yang berbeda
2
Penegakan hukum yang kurang tegas dan jelas terhadap pelaku tindak
pidana penipuan bisnis online, seringkali menjadi pemicu tindak
pidana penipuan ini. Dimana kitab undang-undang hukum pidana
(KUHP) dan undang-undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang informasi
dan transaksi elektronik memberikan sanksi hukum terhadap pelaku
tindak pidana penipuan ini untuk kasus seperti ini maka akan ditegakan
dengan menggunakan kedua pasal ini yaitu sebagai berikut:
3
e-commerce atau elektronic commerce atau ED, EC pada dasarnya
adalah bagian dari elektonic business.
4
tantangan tersendiri bagi perkembangan hukum di Indonesia. Hukum di
Indonesia dituntut untuk dapat menyesuaikan dengan perubahan social
yang terjadi. Perubahan-perubahan sosial dan perubahan hukum atau
sebaliknya tidak selalu berlangsung Bersama-sama. Artinya pada
keadaan tertentu perkembangan hukum mungkin tertinggal oleh
perkembangan unsur-unsur lainya dari masyarakat serta kebudayaannya
atau mungkin hal yang sebaliknya.
5
Alasan peneliti tertarik memilih judul ini karena kasus penipuan
bisnis online semakin marak di dunia bahkan di Indonesia yang
menggunakan perkembangan teknologi maka penulis ingin
memaparkan dan mengkaji tentang “PENEGAKAN HUKUM
PIDANA TERHADAP TINDAK PIDANA PENIPUAN BERBASIS
TRANSAKSI ELEKTRONIK MENURUT UU NO/19/2016 PADA
PASAL 28 AYAT (1) UU ITE DIPOLDA METRO JAYA
JAKARTA SELATAN”
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1 Bagaimanakah aspek hukum pidana penipuan onlien pada media
elektronik?
1.2.2 Bagaimana sistem hukum penipuan berbasis transaksi elektronik
menurut UU No/19/2016 pada pasal 28 ayat (1) UU ITE?
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Untuk mengetahui aspek pidana penipuan online pada media
elektronik
1.3.2 Untuk mengetahui bagaimana sistem hukum penipuan online berbasis
media elektronik sesuai yang tercantum dengan UUD No/19/2016
Pasal 28 ayat (1) UU ITE.
1.4 Manfaat Penelitian
Adapun manfaat peneltian adalah:
1.4.1 Manfaat teoritis
Penelitian ini diharapkan bermanfaat menambah wawasan dan
pengetahuan dalam memahami bahaya penipuan jual beli online
khusunya pada tindak pidana informasi dan transaksi online (ITE).
1.4.2 Manfaat Praktis
Diharapkan penelitian ini dapat memberikan sumbangan
6
pemikiran kepada penegak hukum, jaksa dan polisi, dan pengacara
dalam menyelesaiakan permasalahan hukum serta mengambil
keputusan dan kebijakan dalam menangani kasus cybercrime.
1.5 Kerangka Teori
1.5.1 Penipuan
1.5.2 Transaksi elektronik
1.5.3 Dasar hukum dalam menggunakan media elektronik
7
BAB II
TINJAUAN TEORI
8
badan peradilan di bawahnya, tempat para hakim menjalankan tugas
pokok dan fungsinya. “Kekuasaan kehakiman dalah kekuasaan
negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna
menegakkan hukum...dst,” kata Pasal 1 UU No 4 Tahun 2004
tentang Kekuasaan Kehakiman.
4. Advokat
Advokat adalah penegak hukum namun tidak masuk daftar
penegak hukum versi hakim Sarpin dalam pertimbangan putusannya.
“Advokat berstatus sebagai penegak hukum, bebas dan mandiri yang
dijamin olehhukum dan peraturan perundang-undangan,” tegas Pasal
5 UU No 18 Tahun 2003 tentang Advokat.
Berdasarkan teori dalam hukum pidana mengenai penipuan,
terdapat dua sudut pandang yang tentunya dapat diperhatikan, yakni
menurut pengertian bahasa dan menurut pengertian yuridis. Dalam
pengertian bahasa, kata dasar dari penipuan adalah “tipu” yang
merupakan “perbuatan atau perkataan yang tidak jujur (bohong, palsu,
dan sebagainya) dengan maksud untuk menyesatkan, mengakali, atau
mencari untung; kecoh. Sementara menurut Muladi bahwa “penegakan
hukum diperlukan adanya unsur moral, adanya hubungan moral dengan
penegakan hukum ini yang menentukan suatu keberhasilan atau
ketidakberhasilan dalam penegakan hukum sebagaimana yang
diharapkan oleh tujuan hukum. 29 Lebih lanjut dalam “aspek moral dan
etika dalam penegakan hukum pidana merupakan suatu hal yang
berkaitan dengan penegakan hukum pidana seharusnya merupakan
proses penemuan fakta, yang tidak memihak (impartial) dan penuh
dengan resolusi atau pemecahan masalah yang harus dilakukan secara
adil dan patu. Muladi mengatakan bahwa “Penegakan hukum pidana
9
dirasakan selalu bersentuhan dengan moral dan etika, hal yang demikian
didasarkan empat alasan yaitu:
a. Sistem peradilan pidana secara khas melibatkan penggunaan
paksaan atau kekerasan (coercion) dengan kemungkinan terjadinya
kesempatan untuk menyalahgunakan kekuasaan (abuse of power).
b. Hampir semua profesional dalam penegakkan hukum pidana
merupakan pegawai pemerintah (public servant) yang memiliki
kewajiban khusus terhadap public yang dilayani;
c. Bagi setiap orang, etika dapat digunakan sebagai alat untuk
membantu memecahkan dilemma etis yang hadapi seseorang
didalam kehidupan profesionalnya (enlightened moral judgement);
d. Dalam kehid upan profesi sering dikatakan bahwa a set ethical
requiredments are as part of its meaningPersonil kepolisian
merupakan penegak dalam hukum dasarkan pada UU No 2 Tahun
2002 mengenai Kepolisian Negara RI khususnya bagian
Menimbang huruf a dan b; Pasal 1 angka 1, angka 5, dan angka 6;
Pasal 2; Pasal 3; Pasal 4; dan Pasal 5. Dari ketentuan pasal-pasal di
atas, intinya, personil polisi merupakan bagian dari kepolisian,
yang merupakan satu kesatuan, yang salah satu fungsinya adalah
penegakan hukum, dan keberadaannya bertujuan, salah satunya,
untuk mewujudkan tertib dan tegaknya hukum.
Dalam kaitannya dengan tulisan ini, penegakan hukum terhadap
tindak pidana penipuan berbasis e-commerce rupanya masih
didasarkan pada hukum positif yang ada (KUHP dan undang-undang
yang secara khusus mengatur hal tersebut) namun dalam
implementasinya penggunaan aturan hukum tersebut dirasakan masih
belum maksimal karena berdasarkan data yang disampaikan
10
sebelumnya mengalami peningkatan. Oleh karenanya penulis ingin
mengupas lebih dalam terkait aturan-aturan hukum yang dapat
menjerat para pelaku tindak pidana penipuan berbasis e-commerce.
378 HP tersebut terpenuhi seluruhnya, tetapi terdapat unsur dari
tindak pidana penipuan online yang tidak terpenuhi dalam pengaturan
Pasal 378 KUHP, yaitu:
a. Tidak terpenuhinya unsur media utama yang digunakan dalam
melakukan tindak pidana penipuan online yaitu media elektronik
yang belum dikenal dalam KUHP maupun KUHAP;
b. Cara-cara penipuan yang berbeda antara penipuan konvensional
dengan penipuan online; dan
c. TerdapatketerbatasandalamKUHPyaitutidak dapat membebankan
pertanggungjawaban pidana pada subyek hukum yang berbentuk
badan hukum (korporasi) yang melakukan tindak pidana penipuan
online.
Oleh karenanya untuk memberikan kepastian hukum dan
melakukan penegakan hukum terhadap tindak pidana penipuan berbasis
e-commerce maka Pemerintah Indonesia menerbitkan Undang- Undang
Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elekronik
(“UU ITE”) yang kemudian diubah oleh Undang-Undang Nomor 19
Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang- Undang Nomor 11
Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (“UU
19/2016”).
Sebagai Undang-Undang yang bersifat khusus (Lex Spesialis
Derogat Lex Generale), UU ITE paling tidak dapat menjadi pedoman
dan landasan hukum bagi anggota masyarakat dalam beraktivitas di
11
dunia siber. Selain itu, UU ITE juga memiliki kaitan terhadap beberapa
pasal-pasal yang diatur dalam KUHP yang bertujuan untuk
mempermudah dalam penyelesaian suatu perkara. Mengingat tantangan
dan tuntutan terhadap perkembangan komunikasi global, undang-
undang diharapkan sebagai ius constituendum yaitu peraturan
perundang-undangan yang akomodatif terhadap perkembangan serta
antisipatif terhadap permasalahan, termasuk dampak negatif dari
kemajuan teknologi informasi yang berdampak luas bagi masyarakat.
Suseno berpendapat bahwa “Pengaturan tindak pidana siber
(cybercrime) dalam UU ITE dan perundang-undangan lainnya
mengandung implikasi adanya perlindungan hukum terhadap
elektronik, dan sistem komputer atau sistem elektronik yang dilindungi
dan tidak bersifat publik, baik milik pribadi maupun negara serta
kepentingan hukum lainnya seperti kekayaan, kehormatan, kesusilaan,
keamanan negara, dan lain-lain yang dapat menjadi objek target atau
objek tindak pidana siber (cybercrime)”.
Berkaitan dengan perlindungan hukum yang diberikan UU ITE
saat ini juga dirasakan tidak secara langsung mengatur mengenai
tindak pidana penipuan konvensional maupun tindak pidana
penipuan online. Namun demikian, terkait dengan pengertian
penipuan tersebut yang berdampak pada timbulnya kerugian korban
dalam transaksi elektronik terdapat ketentuan yang mengatur
kerugian tersebut pada Pasal 28 Ayat (1) UU ITE yang menyatakan
bahwa “Setiap orang dengan sengaja, dan tanpa hak menyebarkan
berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian
konsumen dalam Transaksi Elektronik”. Suseno berpendapat bahwa
“Unsur-unsur di dalam Pasal 28 Ayat (1) UU ITE identik dan
12
memiliki beberapa kesamaan pada tindak pidana penipuan
konvensional yang diatur dalam Pasal 378 KUHP dan memiliki
karakteristik khusus yaitu telah diakuinya bukti, media elektronik,
dan adanya perluasan yurisdiksi dalam UU ITE”.
Dari paragraf sebelumnya dapat dipahami bahwa keterkaitan
antara Pasal 28 Ayat (1) UU ITE dan Pasal 378 KUHP dilihat dari
unsur-unsur yang mengatur perbuatan terhadap pasal tersebut. Unsur-
unsur yang terdapat pada Pasal 28 Ayat (1) UU ITE, yaitu:
a. Unsur obyektif:
1) Perbuatan menyebarkan;
13
Pengaturan mengenai penyebaran berita bohong dan
menyesatkan ini dapat dipahami sangat diperlukan dalam rangka
memberikan perlindungan terhadap konsumen yang melakukan
transaksi komersial secara elektronik atau e- commerce. Perdagangan
secara elektronik idealnya dapat dilaksanakan dengan mudah dan
cepat sehingga dalam proses transaksi harus didasarkan pada
kepercayaan antara pihak yang bertransaksi. Kepercayaan ini
diasumsikan dapat diperoleh apabila para pihak yang bertransaksi
mengenal satu sama lain yang didasarkan pengalaman transaksi
terdahulu atau hasil diskusi secara langsung sebelum transaksi
dilakukan.
14
2.1.2 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum
Proses Penegakan Hukum Pidana (Criminal Law Enforcement Process),
saling berkaitan dengan kriminologi, karena kriminologi dapat
memberikan masukan kepada hukum pidana, berdasarkan ilmu
krimonologi itu dapat membantu kepada penegakan hukum pidana yang
sedang di proses di Pengadilan. Kriminologi adalah ilmu pengetahuan
yang mempelajari sebab akibat, perbaikan dan pencegahan kejahatan
sebagai gejala manusia dalam menghimpun sumbangan-sumbangan
15
peraturan hukum akan semakin sukarlah penegakannya. Peraturan
yang baik itu adalah peraturan yang berlaku secara
juridis, sosiologis dan filosofis. Oleh karena itu, suatu kebijakan atau
tindakan yang tidak sepenuhnya berdasarkan hukum merupakan
sesuatu yang dibenarkan sepanjang kebijakan atau
tindakan itu tidak bertentangan dengan hukum, maka pada
hakikatnya, penyelenggaraan hukum bukan hanya mencakup law
enforcement (penegakan hukum), namun juga peace maintenance,
karena penyelenggaraan hukum sesungguhnya merupakan proses
penyerasasian antara nilai kaedah dan pola prilaku
yang bertujuan untuk mencapai keadilan.
b. Factor Penegak Hukum
Fungsi hukum, mentalitas atau kepribadian petugas penegak
hukum memainkan peranan penting, kalau peraturan sudah baik,
tetapi kualitas petugas kurang baik maka pasti akan timbul masalah.
Oleh karena itu, salah satu kunci keberhasilan dalam penegakan
hukum adalah mentalitas atau kepribadian dari penegak hukum.
c. Factor sarana atau fasilitas pendukung
Mencakup perangkat lunak dan perangkat keras, salah satu
contoh perangkat lunak adalah pendidikan. Pendidikan yang diterima
oleh Polisi dewasa ini cenderung pada hal-hal yang praktis
konvensional, sehingga dalam banyak hal ini polisi mengalami
hambatan di tujuannya, di antaranya adalah pengetahuan tentang
kejahatan komputer, dalam tindak pidana khusus ini masih diberikan
kepada Jaksa.Hal tersebut karena secara teknis yuridis polisi
dianggap belum mampu dan belum siap.Walaupun disadari pula
bahwa tugas yang diemban Polisi cukup luas dan
16
banyak.
d. Factor masyarakat
Penegak hukum berasal dari masyakat yang bertujuan untuk
mencapai kedamaian di dalam masyarakat. Setiap warga masyarakat
atau kelompok sedikit banyaknya mempunyai kesadaran hukum,
persoalan yang timbul adalah taraf kepatuhan hukum, yaitu
kepatuhan hukum yang tinggi, sedang, atau kurang. Adanya derajat
kepatuhan hukum masyarakat terhadap hukum, merupakan salah satu
indikator berfungsinya hukum yang bersangkutan.
e. Factor kebudayaan
Berdasarkan konsep kebudayaan sehari-hari, orang begitu begitu
sering membicarakan soal kebudayaan. Kebudayaan menurut
Soerjono Soekanto, mempunyai fungsi yang sangat besar bagi
manusia dan masyarakat yaitu, mengatur agar manusia dapat
mengerti bagaimana seharusnya bertindak, berbuat dan menentukan
sikapnya jika mereka berhubungan dengan orang lain. Dengan
demikian, kebudayaan adalah suatu garis pokok tentang perilaku
yang menetapkan peraturan apa yang harus dilakukan, dan apa yang
tidak.
2.2 Penegak Hukum Pidana
17
Penegakan hukum adalah suatu usaha untuk mewujudkan ide-ide
tentang keadilan-keadilan, kepastian hukum dan kemanfaatan sosial
menjadi kenyataan.
Penegakan hukum pidana adalah suatu usaha untuk mewujudkan
ide-ide tentang kedilan dalam hukum pidana dalam kepastian hukum dan
kemanfaatan sosial menjadi kenyataan hukum dalam kepastian hukum dan
kemanfaatan sosial menjadi kenyataan hukum dalam setiap hubungan
hukum.
Menurut Andi Hamzah, istilah penegakan hukum sering disalah
artikan seakan-akan hanya bergerak di bidang hukum pidana atau di
bidang represif. Istilah penegakan hukum disini meliputi baik yang
represif maupun yang preventif. Jadi kurang lebih maknanya sama dengan
istilah Belanda rechtshanhaving. Berbeda dengan istilah law enforcement,
yang sekarang diberi makna represif, sedangkan yang preventif berupa
pemberian informasi, persuasive, dan petunjuk disebut law compliance,
yang berarti pemenuhan dan penataan hukum. Oleh karena itu lebih tepat
jika dipakai istilah penanganan hukum atau pengendalian hukum.
2.2.1 Macam-Macam Hukum Pidana
Menurut Satjipto Rahardjo, penegakan hukum merupakan suatu
usaha untuk mewujudkan ide-ide dan konsep-konsep menjadi
kenyataan. Sedangkan menurut Soerjono Soekanto, secara
konsepsional, maka inti dari arti penegakan hukum terletak pada
kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang dijabarkan di dalam
kaidah-kaidah yang mantap dan sikap akhir untuk menciptakan,
memelihara dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup
Penegakan hukum pidana terdiri dari dua tahap inti yaitu:
a. Penegakan Hukum Pidana In Abstracto
18
Penegakan hukum pidana in abstracto merupakan tahap
pembuatan/perumusan (Tahap Formulasi) sudah berakhir saat
diundangkannya suatu peraturan perundang-undangan. Tahap
legislasi/formulasi dilanjutkan ke tahap aplikasi dan tahap
eksekusi. Dalam ketentuan perundang-undangan itu harus
diketahui tiga masalah pokok hukum pidana yang berupa, yaitu:
1) Tindak pidana (strafbaar feit/criminal act/actus reus)
2) Kesalahan (schuld/guit/mens rea)
3) Pidana (straf/punishment/poena)
Penegakan hukum pidana (PHP) merupakan bagian (sub-
sistem) dari keseluruhan sistem/kebijakan penegakan hukum
nasional, yang pada dasarnya juga merupakan bagian dari
sistem/kebijakan pembangunan nasional. Kebijakan hukum pidana
(penal policy), baik dalam arti PHP in abstracto dan in concreto,
merupakan bagian dari keseluruhan kebijakan sistem (penegakan)
hukum nasional dan merupakan bagian dari upaya menunjang
kebijakan pembangunan nasional (national development policy).
Sistem penegakan hukum pidana (SPHP) yang integral
perlu dilihat secara in abstracto (law making and law reform)
karena PHP in abstracto (pembuatan/perubahan undang-undang,
law making/ law reform) merupakan tahap pembuatan/perumusan
(formulasi) undang-undang leh badan legislatif (dapat disebut
tahap legislasi). Menurut Barda nawawi arief, penegakan hukum in
abstracto dilakukan melalui (proses legislasi/formulasi/pembuatan
peraturan perundangundangan) dilakukan melalui
legislasi/formulasi/pembuatan peraturan perundang-undangan.
Proses legislasi/formulasi ini merupakan awal yang sangat
19
strategis dari proses penegakan huku in concreto. SPHP yang ada
pada saat ini belum integral secara in abstracto (law making and
law reform) pada tahap proses pembuatan produk
perundangundangan. Karena belum adanya keterjalinan erat atau
satu kesatuan sari sub-sistem (komponen) sistem norma/subtansi
hukum pidana yang integral meliputi hukum pidana materiel,
hukum pidana formal, dan hukum pelaksanaan pidana yang
seharusnya integrated legal system atau integrated legal substance.
b. Penegakan Hukum Pidana In Concreto
Penegakan hukum pidana in concreto terdiri dari:
1) Tahap penerapan/aplikasi (penyidikan)
2) Tahap pelaksanaan undang-undang oleh aparat penegak
hukum, yang dapat disebut tahap judisial dan tahap
eksekusi.
Penegakan hukum pidana in concreto, pada hakikatnya merupakan
proses penjatuhan pidana atau proses pemidanaan. Proses pemidanaan
itu sendiri merupakan proses penegakan hukum pidana dalam rangka
menegakkan kebenaran dan keadilan. kedua tahap itu merupakan
aspek-aspek atau titik krusial dari penanganan dan penindakan suatu
perkara pidana karena penegakan hukum pidana akan diwarnai
sebagai berikut:
1) Masalah permainan kotor (perbuatan uang suap dan perbuatan
tercela lainnya).
2) Masalah optimalisasi pendekatan keilmuan (scientific
culture/approach) dalam penegakan hukum.
Penegakan hukum pidana pada tahap in concreto (tahap aplikasi) juga
masih dipengaruhi oleh kebiasaan/budaya permainan kotor dan jalan
20
pintas yang dilakukan oleh oknum apparat penegak hukum yang korup
dan kolutif dengan pelaku tindak pidana. Barda Nawawi Arief
menyatakan bahwa istilah permainan kotor lebih mengena dari pada
mafia peradilan, karena hanya memberi kesan pada bentuk-bentuk
perbuatan tercela yang terjadi selama proses pengadilan, padahal tidak
sedikit keluhan masyarakat yang menjadi objek pemerasan dan
perbuatan tercela/permainan kotor lainnya sebelum proses perkaranya
dilimpahkan ke pengadilan.
Masalah penegakan hukum merupakan masalah yang rumit
dikarenakan oleh sejumlah faktor yang mempengaruhi seperti :
1) Isi peraturan perundang-undangan;
2) Kelompok kepentingan dalam masyarakat;
3) Budaya hukum; serta
4) Moralitas para penegak hukum yang terlibat dalam proses
peradilan
Oleh karena itu penegakan hukum akan bertukar aksi dengan
lingkungannya, yang bisa disebut sebagai pertukaran aksi dengan
unsur manusia, sosial budaya, politik dan lain sebagainya. Untuk itu
dalam menegakkan hukum ada tiga hal yang harus diperhatikan, yaitu
kepastian hukum, kemanfaatan, dan keadilan.Berdasarkan hal tersebut
diatas, dapat dikatakan bahwa fungsi penegakan hukum adalah untuk
mengaktualisasikan aturan-aturan hukum agar sesuai dengan yang
dicitacitakan oleh hukum itu sendiri, yakni mewujudkan sikap atau
tingkah laku manusia sesuai dengan bingkai (frame work) yang telah
ditetapkan oleh suatu undang-undang atau hukum. Untuk menegakkan
hukum pidana harus melalui beberapa tahap yang dilihat sebagai suatu
usaha atau proses rasional yang sengaja direncakan untuk mencapai
21
suatu tujuan tertentu yang merupakan suatu jalinan mata rantai
aktifitas yang tidak termasuk bersumber dari nilai-nilai dan bermuara
pada pidana dan pemidanaan.
2.3 Hambatan Dalam Penegakan Hukum Terhadap Tindak Pidana
Berbasis E-Commerce
Penegakan hukum di Indonesia saat ini disinyalir mengalami
kesulitan dalam menghadapi merebaknya cybercrime. Hal yang demikian
dapat tercermin bahwa makin meningkatnya tindak pidana berbasis e-
commerce yang dapat dilihat pada pendahuluan dalam tulisan ini.
Sumadi mengatakan bahwa hambatan dalam penegakan hukum
“dilatarbelakangi masih sedikitnya aparat penegak hukum yang
memahami seluk beluk teknologi informasi (internet), terbatasnya sarana
dan prasarana, serta kurangnya kesadaran hukum masyarakat dalam upaya
22
b. Perbedaan Pendapat
Perbedaan pendapat yang terjadi diantara aparat penegak hukum
dalam hal menafsirkan cybercrime yang terjadi dengan penerapan pasal
oleh masyarakat, penyidik, penuntut umum, dan hakim akan
berpengaruh terhadap penyelesaian kasus tersebut, sehingga
menimbulkan ketidak pastian hukum bagi para korban yang mencari
keadilan.
c. Kemampuan Penyidik
Secara umum penyidik kepolisian masih kurang dalam hal
jumlah dan kualitas. Maka dari itu sangat diperlukan pelatihan untuk
mendidik penyidik kepolisian untuk bisa memahami dan menguasai
modus– modus operandi dari pelaku cybercrime
d. Kesadaran dan Perhatian
Masyarakat Kesadaran dan perhatian masyarakat untuk
melaporkan kasus cybercrime kepada polisi masih sangat minim.
Sebagian masyarakat merasa tidak masalah karena hanya kehilangan
sejumlah uang dengan nominal yang tidak terlalu besar, sehingga
mereka enggan untuk melaporkan. Mereka juga beranggapan bahwa
jika dibawa ke ranah pengadilan maka akan membutuhkan dana yang
lebih besar melebihi kerugian yang diderita. Padahal seharusnya
masyarakat tetap melaporkan pada polisi apabila terjadi cybercrime
agar membantu penegak hukum untuk memberantas para pelaku yang
selama ini berkeliaran di dunia maya.
Selanjutnya Tumalun menjelaskan mengenai faktor penghambat
dalam penanggulangan kejahatan komputer dan/atau sistem elektronik
yaitu:
23
a. Terbatasnya personil Tenaga Ahli;
Terbatasnya jumlah personil tenaga ahli antara Negara Indonesia
dan China sangatlah berbeda jauh dalam jumlah personilnya. Lebih
ironis lagi laporan tingkat kejahatan siber di Indoensia semakin
meningkat, dengan keterbatasan personil dan tenaga ahli di pihak
kepolisisan Indonesia maka penyelesaian kasus tersebut tidak bisa
diselesaikan dengan cepat. Akibatnya dirasakan langsung oleh pihak
korban atau kejahatan siber. Kualitas fasilitas teknologi informasi di
Indonesia memang sudah cukup baik, namun tidak sebanding dengan
jaminan keamanan oleh para pengguna. Barda Nawawi dalam Tumalun
mengatakan bahwa “Keterbatasan tenaga ahli pada pihak kepolisian
memang merupakan faktor yang sangat besar, dengan jumlah anggota
ahli yang terbatas ini pengungkapan dan penyidikan kasus kejahatan
dunia maya tidak bisa diselesaikan dengan waktu yang cepat, sehingga
akan membuat para pelaku lebih leluasa dalam beraksi”
b. Lemahnya pengawasan Pemerintah; dan
Lemahnya pengawasan penggunaan internet berpotensi besar
akan menciptakan peluang terjadinya kejahatan cyber crime (dunia
maya). Karena kejahatan dengan menggunakan teknologi terjadi jika
ada akses internet yang cukup memadai. Saat ini fasilitas internet di
sejumlah kota besar di Indonesia bisa dikatakan sudah memadai baik
dari segi kecepatan akses dan kemudahan pemasangan jaringan akses
internet. Namun dengan tidak adanya kebijakan dan langkah preventif
yang menjadi faktor utama, para pengguna bisa dengan bebas
mengakses data- data tertentu yang mana bisa disalahgunakan oleh
pengguna yang tidak bertanggung jawab.
c. Kendala Prosedural Hukum UU ITE
24
Lemahnya perangkat hukum UU ITE dapat terlihat pada Pasal
27 dan 37 mengenai perbuatan yang dilarang dimana para aparat
penegak hukum itu sendiri masih banyak yang belum memahami
makna dari pasal tersebut.
Penegakan hukum di Indonesia saat ini disinyalir mengalami
kesulitan dalam menghadap merebaknya cybercrime. Hal yang
demikian dapat tercermin bahwa makin meningkatnya tindak pidana
penipuan berbasis e-commerce yang dapat dilihat pada bagian
pendahuluan dalam tulisan ini.
Soerjono Soekanto mengatakan bahwa ada lima faktor yang
memengaruhi penegakan hukum, yaitu:
1) Faktor hukumnya sendiri, yang dibatasi dengan undang-undang
saja;
2) Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk
maupun yang menerapkan hukum;
3) Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum;
25
oleh negara untuk memberikan perlindungan kepada warga negaranya.
Dari rumusan-rumusan Pasal 28 Ayat (1) UU ITE dan Pasal 378
KUH Pidana tersebut, dapat kita ketahui bahwa keduanya mengatur hal
yang berbeda. Pasal 378 KUHPidana mengatur penipuan, sementara Pasal
28 Ayat (1) UU ITE mengatur mengenai berita bohong yang
menyebabkan kerugian konsumen dalam transaksi elektronik. Tapi,
rumusan Pasal 28 Ayat (1) UU ITE tidak mensyaratkan adanya unsur
menguntungkan diri sendiri atau orang lain sebagaimana diatur dalam
Pasal 378 KUH Pidana tentang penipuan sehingga dalam pembuktiannya
dirasakan masih terdapat kesulitan atau bahkan multitafsir bagi aparat
penegak hukum untuk menjerat pelaku tindak pidana penipuan berbasis
ecommerce. Oleh karenanya diperlukan pasal yang lebih spesifik yang
dapat dimasukkan ke dalam UU ITE untuk menjerat pelaku tindak pidana
penipuan berbasis e-commerce.
Dalam Seminar Cybercrime dan Cyber Porn dalam Perspektif
Hukum Teknologi dan Hukum Pidana, Barda Nawawi Arief dalam
Ginting mengatakan bahwa upaya Peningkatan Efektifitas dan
Pembaharuan Orientasi (Reformasi/ Rekonstruksi) Penegakan Hukum
Pidana Menghadapi Cybercrime perlu kiranya ditempuh beberapa
langkah (upaya) antara lain sebagai berikut:
a. Meningkatkan komitmen strategi/prioritas nasional dalam
penanggulangan kejahatan di bidang kesusilaan, yang seyogyanya
disejajarkan dengan upaya penanggulangan tindak pidana korupsi,
narkoba, terorisme dan sebagainya;
b. Melakukan pembaharuan pemikiran/ konstruksi juridis (juridical
construction reform), antara lain:
26
1) rekonstruksi penegakan hukum (pemikiran hukum) dalam
konteks kebijakan pembaharuan sistem hukum dan
pembangunan nasional;
2) melakukan konstruksi hukum yang konseptual/substansial
(substansial legal construction) dalam menghadapi kendala
juridis;
3) meningkatkan budaya/orientasi keilmuan (scientific
culture/scientific approach) dalam proses pembuatan dan
penegakan hukum pidana.
4) Upaya melakukan pembaharuan/ rekonstruksi pemikiran
yuridis (butir nomor 2 di atas) seyogyanya dilakukan untuk
semua bidang penegakan hukum pidana. Namun terutama
diperlukan dalam menghadapi masalah cybercrime (CC) karena
CC tidak dapat disamakan dengan tindak pidana konvensional,
sehingga tidak bisa dihadapi dengan penegakan hukum dan
pemikiran/ konstruksi hukum yang konvensional.
2.4 Bagaimana perlindungan hukum bagi pembeli dalam hal terjadi
penipuan jual beli online? Apa yang harus dilakukan apabila kita
mengalami penipuan jual beli online?
Jual beli online pada saat ini menjadi salah satu kegiatan yang umum
dilakukan oleh banyak orang. Selain lebih praktis, kegiatan jual beli
online lebih banyak diminati karena barang dan jasa yang ditawarkan
lebih beragam dan harganya juga lebih terjangkau. Berbagai online shop
hadir di banyak jenis platform media sosial, website, dan marketplace.
Meskipun diminati, kegiatan jual beli tanpa tatap muka ini banyak
menimbulkan masalah hukum, salah satunya terkait dengan tindak pidana
penipuan. Penipuan jual beli online sering terjadi karena pihak penjual dan
27
pembeli tidak melakukan tatap muka atau pertemuan saat bertransaksi.
Contoh penipuan online yang cukup marak ialah dalam hal pihak penjual
tidak mengirimkan barang yang sudah dibayar oleh pembeli, kemudian
penjual tidak bisa dihubungi dan menghilang.
Lantas, adakah pasal-pasal yang dapat digunakan untuk menjerat
penjual yang melakukan penipuan jual beli online?
Pasal mengenai penipuan secara umum diatur pada Pasal 378 dan 379
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yaitu:
Pasal 378 KUHP:
“Barangsiapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau
orang lain secara melawan hukum dengan menggunakan nama palsu
atau martabat (hoedaningheid) palsu; dengan tipu muslihat, ataupun
rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan
barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi utang maupun
menghapuskan piutang, diancam, karena penipuan, dengan pidana
penjara paling lama empat tahun.”
28
Tindak Pidana Ringan dan Jumlah Denda dalam KUHP menjadi Rp
2.500.000,- (dua juta lima ratus ribu rupiah).
Karena penipuan dilakukan secara online menggunakan media
elektronik, maka peraturan lain yang digunakan ialah Pasal 28 ayat (1)
UU ITE, yaitu “setiap orang dengan sengaja, dan tanpa hak menyebarkan
berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen
dalam Transaksi Elektronik.”
Sanksi Pasal 28 ayat (1) UU ITE diatur pada Pasal 45 ayat (2), yaitu
“setiap orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal
28 ayat (1) atau ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6
(enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu
miliar rupiah).”.
Kedua peraturan tersebut memang mengatur hal yang berbeda,
yaitu Pasal 378 dan 379 KUHP mengatur mengenai penipuan dan Pasal 28
ayat (1) jo. Pasal 45 ayat (2) UU ITE mengatur mengenai berita bohong
yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transkasi Elektronik.
Meski begitu, kedua pasal ini tak jarang digunakan bersamaan sebagai
sanksi pidana alternatif, karena belum ada peraturan yang secara spesifik
mengatur mengenai penipuan jual beli online sehingga diharapkan unsur-
unsur tindak pidana dapat memenuhi salah satu dari kedua pasal tersebut.
Perlindungan hukum terhadap pembeli juga diatur dalam Undang-
Undang Perlindungan Konsumen. Pasal 8 sampai Pasal 17 mengatur
perbuatan-perbuatan apa saja yang dilarang dilakukan oleh pelaku usaha
(penjual). Salah satu yang berkaitan dengan penipuan online ialah Pasal
16, yaitu:
“Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa melalui
pesanan dilarang untuk:
29
Tidak menepati pesanan dan/atau kesepakatan waktu penyelesaian sesuai
dengan yang dijanjikan;
Tidak menepati janji atas suatu pelayanan dan/atau prestasi.”
Atas pasal-pasal tersebut, Pasal 62 mengatur mengenai tuntutan pidana
terhadap pelaku usaha dan/atau pengurusnya, yaitu:
a. Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 13 ayat (2), Pasal 15, Pasal 17
ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf e ayat (2), dan Pasal 18
dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau
pidana denda paling banyak Rp 2.000.000.000,- (dua milyar rupiah);
b. Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13 ayat (1), Pasal 14, Pasal 16, dan
Pasal 17 ayat (1) huruf d dan huruf f dipidana dengan pidana penjara
paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak Rp
500.000.000,- (lima ratus juta rupiah).
Berbicara mengenai praktik, tak jarang penipuan jual beli online tidak
dilaporkan oleh pembeli ke aparat kepolisian karena harga barang yang
diperjualbelikan tidak begitu besar. Namun, sebagai pembeli kita tidak
bisa tinggal diam dan pasrah saja, mengingat penjual sebagai penipu akan
terus menjalankan aksinya dan merugikan banyak korban. Ada beberapa
langkah yang harus dilakukan apabila kita sebagai konsumen tertipu
dalam transkasi jual beli online, yaitu:
a. Melaporkan ke polisi
Tahap pertama yang harus dilakukan ialah melaporkan penipuan
online ke polisi. Tahap ini harus dilakukan terlebih dahulu agar bank
selanjutnya mau memproses kasus penipuan online. Pembeli sebagai
korban menceritakan kronologis, lalu memberikan bukti, baik bukti
30
transfer maupun screenshot bukti percakapan. Polisi akan
mengeluarkan Surat Tanda Penerimaan Laporan dan kemudian
melanjutkan laporan ke tahap penyelidikan dan penyidikan.
b. Mendatangi bank dimana penjual membuka rekening
Setelah mendapatkan surat dari polisi, pembeli mendatangi bank
dimana penjual membuka rekening dengan disertai beberapa
dokumen seperti fotokopi KTP, screenshot bukti percakapan, bukti
transfer, meterai. Apabila bank bersedia memproses, pembeli akan
diberikan surat kronologis, dan surat permohonan pembekuan
rekening yang harus ditandatangani di atas meterai. Apabila proses
berjalan lancar, bank akan memblokir rekening penjual dan kemudian
uang yang pembeli transfer akan dikembalikan ke pembeli jika uang
tersebut tersebut masih ada di rekening. Kebanyakan, saat rekening
diblokir, saldonya sudah kosong karena sudah dipindahkan ke
rekening lain sehingga pembeli sebagai korban tidak bisa
mendapatkan uangnya kembali.
c. Apabila pembeli ditolak, pembeli bisa mendatangi bank dimana
pembeli membuka rekening
Tak jarang, bank rekening penjual tidak mau memberikan
memproses dengan alasan menjaga rahasia nasabah. Apabila terjadi
hal tersebut, pembeli bisa mendatangi bank dimana pembeli
membuka rekening dan melakukan tahapan yang sama saat seperti
mendatangi bank rekening penjual.
melakukan tindakan criminal menggunakan elektronik dapat
mempermudah pelaku Tindak pidana penipuan berbasis e-commerce pada
prinisipnya sama dengan penipuan dengan cara konvensional namun yang
menjadi perbedaan terletak pada alat bukti atau sarana perbuatannya yakni
31
menggunakan sistem elektronik (komputer, internet, perangkat
telekomunikasi).
Rumusan unsur-unsur yang terkandung dalam Pasal 28 Ayat (1) UU
ITE dan Pasal 378 tersebut dapat dipahami mengatur objek berbeda.
Pasal 378 KUHP mengatur penipuan, sementara Pasal 28 Ayat (1) UU
ITE mengatur mengenai berita bohong yang menyebabkan kerugian
konsumen dalam transaksi elektronik.
Walaupun demikian, kedua pasal tersebut memiliki suatu kesamaan,
yaitu dapat mengakibatkan kerugian bagi orang lain. Pengaturan mengenai
penyebaran berita bohong dan menyesatkan ini dapat dipahami sangat
diperlukan dalam rangka memberikan perlindungan terhadap konsumen
yang melakukan transaksi komersial secara elektronik atau ecommerce.
Perdagangan secara elektronik idealnya dapat dilaksanakan dengan
mudah dan cepat sehingga dalam proses transaksi harus didasarkan pada
kepercayaan antara pihak yang bertransaksi. Kepercayaan ini diasumsikan
dapat diperoleh apabila para pihak yang bertransaksi mengenal satu sama
lain yang didasarkan pengalaman transaksi terdahulu atau hasil diskusi
secara langsung sebelum transaksi dilakukan.
Kemudian UU ITE juga menjelaskan mengenai prinsip-prinsip
dalam e-commerce walaupun tidak diatur secara mendetail namun secara
tersirat mengatur prinsip-prinsip kontrak dalam suatu transaksi elektronik.
Adapun prinsip-prinsip tersebut adalah sebagai berikut:
a. Prinsip Kepastian Hukum, yang tercantum dalam Pasal 18 Ayat (1)
UU ITE yang menyatakan bahwa “Transaksi elektronik yang
dituangkan ke dalam kontrak elektronik mengikat para pihak”.
b. Prinsip Itikad Baik, yang tercantum dalam Pasal 17 Ayat (2) UU ITE
yang menyatakan bahwa “Para pihak yang melakukan transaksi
32
elektronik dalam lingkup publik ataupun privat wajib beritikad baik
dalam melakukan interaksi dan/atau pertukaran informasi elektronik
dan/atau dokumen elektronik selama transaksi berlangsung”.
c. Prinsip Konsensualisme, yang tercantum dalam Pasal 20 UU ITE yang
menyatakan “Kecuali ditentukan lain oleh para pihak, Lebih lanjut
dalam Pasal 20 Ayat (2) UU ITE menyatakan bahwa “Persetujuan atas
penawaran transaksi elektronik sebagaimana dimaksud pada Ayat (1)
harus dilakukan dengan pernyataan penerimaan secara elektronik”.
Kedua pasal tersebut dapat dipahami bahwa kesepakatan terhadap
kontrak elektronik dapat terjadi pada saat penawaran transaksi
elektronik yang dikirim oleh pengirim diterima dan disetujui oleh
penerima dengan pernyataan secara elektronik.
d. Prinsip Keterbukaan atau Transparansi, yang tercantum dalam Pasal 9
UU ITE yang menyatakan bahwa “Pelaku usaha yang menawarkan
produk melalui sistem elektronik harus menyediakan informasi yang
lengkap dan benar berkaitan dengan syarat kontrak, produsen dan
produk yang ditawarkan”. Selanjutnya untuk memberikan
perlindungan dan penegakan hukum yang lebih maksimal, sejatinya
ketentuan Pasal 28 Ayat (1) UU ITE juga sejalan dengan Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang
bertujuan antara lain, untuk meningkatkan kesadaran dan kemandirian
konsumen untuk melindungi dirinya dan menciptakan sistem
perlindungan terhadap konsumen dengan memberikan kepastian
hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan
informasi. Pasal 4 UU Perlindungan Konsumen menyatakan bahwa
Hak Konsumen adalah:
e. hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam
33
mengkonsumsi barang dan/atau jasa; b. hak untukmemilih barang
dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai
dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;
f. hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan
jaminan barang dan/atau jasa; d. hak untuk didengar pendapat dan
keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan; transaksi
elektronik terjadi pada saat penawaran transaksi yang dikirim
pengirim telah diterima dan disetujui penerima”.
34
BAB III
METODE PENELITIAN
35
Uu No/19/2016 Pada Pasal 28 Ayat (1) UU Ite Di polda Metro Jaya
Jakarta Selatan”
a. Bahan Hukum Primer yaitu bahan hukum yang mengikat, yang terdiri
atas peraturan perundang-undangan, yurisprudensi, dan lain-lain.
Dalam penelitian ini, bahan hukum primernya terdiri atas:
b. Bahan Hukum Sekunder yang terdiri dari bahan acuan lainnya yang
berisikan informasi yang mendukung penulisan skripsi ini, seperti
buku-buku hukum, artikel, tulisan-tulisan, karya ilmiah, internet, dan
sebagainya.
36
menjelaskan istilah-istilah yang penulis gunakan baik secara
gramatikal, etimologis dan sebagainya.
Sedangkan sumber bahan hukum yang digunakan dalam penelitian
ini menggunakan metode penelitian pustaka (Library Research) yaitu
suatu metode pengumpulan bahan hukum dengan jalan membaca dan
menelusuri literatur-literatur yang berkaitan dengan judul yang
kebanyakan terdapat di perpustakaan-perpustakaan kemudian mengambil
hal-hal yang dibutuhkan baik secara langsung maupun saduran.
Contohnya: buku kepustakaan, artikel, peraturan perundang-undangan,
yurisprudensi, dan karya ilmiah yang ada hubungannya dengan objek
penelitian.
37
3.6 Analisa Data
Data yang telah diperoleh dari hasil penelitian ini disusun dan dianalisa
secara kualitatif, kemudian selanjutnya data tersebut diuraikan secara
deskriptif guna memperoleh gambaran yang dapat dipahami secara jelas
dan terarah untuk menjawab permasalahan yang penulis teliti.
38
BAB IV
PEMBAHASAN
39
akun palsu. Kesepakatan yang dilakukan antara penjual dan pembeli
juga didasarkan pada kepercayaan dan tidak bertemu secara langsung
maka dapat dengan mudah para pelaku kejahatan penipuan melakukan
aksinya. Langkah-langkah yang dilakukan pihak kepolisian adalah
melakukan pemeriksaan misalnya di warnet yang biasanya digunakan
oleh pelaku kejahatan, sekaligus mengumpulkan bukti, melacak, dan
melakukan penyitaan terhadap bukti elektronik seperti hard disk,
melakukan pengungkapan atau penahanan berdasarkan bukti permulaan
atau alat bukti yang cukup.
40
sepeda motor Yamaha.
41
“setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita
bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen
dalam Transaksi Elektronik”
42
address seorang pelaku yang diduga melakukan tindak pidana dengan
menggunakan layanan web site/homepage tertentu. Hal ini disebabkan
adanya perbedaan prosedur hukum antarnegara. Meskipun pemerintah
antar-negara melalui aparat penegak hukumnya telah membuat
perjanjian Mutual Legal Asistance (“MLA”) atau perjanjian bantuan
hukum timbal balik, pada kenyataannya MLA tidak serta merta berlaku
dalam setiap kasus yang melibatkan antarnegara. Permasalahan
yurisdiksi inilah yang sering menjadi penyebab tidak dan diprosesnya
atau tertentu cybercrime. 109Dalam proses penyidikan diperlukan alat
bukti yang terdapat pada dalam. Pasal 184 KUHAP (Kitab Undang-
Undang HukumAcaraPidana)Alat bukti yang sah ialah:
1) Keterangan saksi
2) Keterangan ahli
3) Surat;
4) Petunjuk
5) Keterangan terdakwa.
1) Undang-undang;
43
3) Yurisprudensi
44
undang-undang, maka ia dapat menjatuhkan hukuman kepada
terdakwa.
45
tersebut dapat disimpulkan dari
46
pengadilan. Dalam hukum acara, keyakinan hakim menjadi penentu
dari sebuah keputusan dalam sidang pengadilan. Keyakinan menumt
teori pembuktian Undang-Undang secara negatif bahwa keputusan dari
hakim haruslah memiliki keyakinan yang sepenuhnya, tanpa adanya
keyakinan maka hakim harus mencari keyakinan tersebut dengan
pertimbangan fakta-fakta yang terungkap dalam pengadilan.
1) Keterangan Saksi
47
rekaan ataupun keterangan ahli. Beriktnya ada lebih dari satu
orang saksi yang sesuai asas unus testis nulus testis. Selain itu
bukan keterangan yang ia peroleh dari orang lain, dan yang
terakhir adalah adanya persesuean antara keterangan saksi yang
satu dengan yang lain dan keterangan saksi dengan alat bukti yang
lain. Perlu diperhatikan beberapa pokok ketentuan yang harus
dipenuhi oleh seorang saksi, yaitu:
2) Keterangan Akhli
48
atas sumpah jabatan; Atau surat yang dikuatkan dengan sumpah.
5) Keterangan Terdakwa
49
diajukan di persidangan adalah alat bukti yang yang sah sehingga
dapat di gunakan dalarn persidangan sehingga unsur-unsur tindak
pidana sesuai dengan alat bukti yang diajukaN.
50
BAB V
KESIMPULAN
5.1 Kesimpulan
51
Selanjutnya terkait dengan hambatan dalam penegakan hukum
terhadap tindak pidana berbasis E-Commerce masih sesuai lima faktor
yang mempengaruhi penegakan hukum yaitu pertama, faktor hukum itu
sendiri dimana masih adanya aturan yang belum menjelaskan secara
spesifik terhadap tindak pidana penipuan berbasis e-commerce, kedua,
faktor penegak hukum, dimana masih ada aparat penegak hukum yang
belum memahami terhadap aturan yang ada sehingga dalam
implementasinya masih menjadi multitafsir, ketiga faktor sarana dan
prasarana yang mendukung penegakan hukum yang dapat membantu
mengungkap tindak pidana tersebut, keempat faktor masyarakat dimana
masih minimnya kesadaran masyarakat untuk memberikan keterangan
atau laporan terhadap permasalahan yang dihadapi serta keengganan
masyarakat untuk berproses dalam peradilan; dan faktor kebudayaan
dimana semakin tinggi budaya dan semakin modern suatu bangsa maka
semakin modern pula kejahatan itu dalam bentuk, sifat dan cara
pelaksanaannya.
5.2 Saran
52
paraaparatpenegakhukumuntukdapatmemberikan sarana dan prasarana
sesuai dengan spesifikasi yang diharapkan untuk dapat mengungkap dan
menangkap para pelaku tindak pidana. Kedua, Pihak kepolisian dengan
berbagai instansi terkait diharapkan dapat bekerjasama dan lebih aktif
untuk melakukan sosialisasi-sosialisasi mengenai bahaya tindak pidana
cybercrime khususnya mengenai penipuan yang dilakukan secara online
dan mensosialisasikan Undang-Undang Informasi dan Transaksi
Elektronik sebagai upaya preventif agar masyarakat mengetahui
bagaimana akibat jika terjadi pelanggaran terhadap informasi dan
transaksi elektronik. Selain itu diharapkan kesadaran masyarakat secara
langsung untuk melaporkan kepada pihak kepolisian apabila ada hal yang
patut dicurigai merupakan tindak pidana penipuan berbasis e-commerce.
Karena upaya pencegahan bukan hanya tugas aparat yang berwenang
melainkan kewajiban bersama untuk memberantas tindak pidana
cybercrime sebagai penipuan.
53
DAFTAR PUSTAKA
I Gusti Made Jaya Kesuma dan Ida Ayu Putu Widiati , Jurnal Preferensi
2018
pertumbuhan-e-commerce-tertinggi. html.
https://eprints.umm.ac.id/79003/2/
54