Anda di halaman 1dari 18

TINDAK PIDANA PEMERASAN DAN PENGANCAMAN DENGAN

MODUS MENYEBARKAN FOTO

ANALISIS PUTUSAN HAKIM PENGADILAN NEGERI MAGELANG


NOMOR: 50/PID.B/2015/PN MGG

Disusun Oleh:

Fitria Hidayanti

FAKULTAS ILMU POLITIK ILMU SOSIAL ILMU HUKUM

UNIVERSITAS SERANG RAYA

2022
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadiran allah SWT yang telah mencurahkan segala rahmat dan karunianya
kepada kita semua. Karena hanya dengan berkat rahmat dan hidayah-Nya saya dapat
menyelesaikan tugas makalah mata kuliah Cyber Law yang berjudul “Tindak Pidana
Pemerasan Dan Pengancaman Dengan Modus Menyebarkan Foto Analisis Putusan Hakim
Pengadilan Negeri Magelang Nomor: 50/Pid.B/2015/Pn Mgg” sesuai dengan waktu yang telah
ditentukan.

Dengan selesainya makalah ini saya ucapkan terimakasih kepada Yth. Ibu Neneng Pratiwi
Azahra S.H.,M.H. selaku dosen mata kuliah Cyber Law. Kepada orangtua saya yang terus
memberikan dorongan motivasi kepada saya sehingga saya dapat menyelesaikan makalah ini.
Akhir kata saya mohon maaf bila terdapat banyak kekurangan. Kritik dan saran dari para
pembaca sangat saya harapkan agar dapat menjadi acuan untuk dapat membuat makalah
selanjutnya yang jauh lebih baik.

Serang, 29 Mei 2022

Hormat Saya,

Fitria Hidayanti

2
DAFTAR ISI

Kata Pengantar ................................................................................................. 2

Daftar Isi ........................................................................................................... 3

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ................................................................................... 4


B. Rumusan Masalah .............................................................................. 6
C. Tujuan Makalah.................................................................................. 6

BAB II PEMBAHASAN

A. Tinjauan Umum Tindak Pidana ......................................................... 7


B. Tinjauan Umum Pemerasan dan Pengancaman ................................. 9
C. Analisis Putusan Hakim Pengadilan Negeri Magelang Nomor
50/Pid.B/2015/PN Mgg Berdasarkan Hukum Positif
Yang Berlaku Di Indonesia .............................................................. 12

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan....................................................................................... 17
B. Saran ................................................................................................. 17

DAFTAR PUSTAKA--------------------------------------------------------------18

3
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Ilmu pengetahuan dalam bidang teknologi telah berkembang dengan sangat pesat, salah
satu produk dari teknologi tersebut ialah teknologi informasi ataupun teknologi
telekomunikasi. Telekomunikasi adalah setiap pemancaran, pengiriman, dan/atau penerimaan
dari setiap informasi dalam bentuk tanda-tanda, isyarat, tulisan, gambar, suara dan bunyi
melalui sistem kawat, optik, radio atau sistem elektronik lainnya.

Salah satu media elektronik yang banyak digunakan masyarakat dalam kegiatan sehari-
harinya yakni telepon genggam (handphone). Dengan adanya telepon genggam sehingga
memudahkan kita untuk berbicara dengan orang lain tanpa harus bertemu dengan orang
tersebut. Telepon genggam adalah alat komunikasi yang hampir semua orang memiliki, baik
untuk melakukan panggilan atau mengirim pesan. Didukung juga dengan Internet yang dapat
diakses oleh semua masyarakat. Selain itu, masyarakat juga dapat berhubungan dengan dunia
luar tanpa harus bertatap muka secara langsung yaitu dengan melalui media sosial, misalnya
dengan facebook, twitter, blogger, instagram, whatsapp dan sebagainya. Maka banyak pihak
yang menggunakan handphone atau teknologi sebagai suatu tindakan kejahatan yang biasa
disebut sebagai cybercime.1

Cybercrime adalah tindak pidana yang dilakukan dengan memanfaatkan teknologi


informasi. Istilah “Hukum Siber” diartikan sebagai padanan kata dari Cyber Law, yang saat
ini secara internasional digunakan untuk istilah hukum yang terkait dengan pemanfaatan
teknologi informasi. Istilah lain yang juga digunakan adalah hukum Teknologi Informasi
(Law Of 2 Information Technology) Hukum Dunia Maya (Virtual World Law) dan Hukum
Mayantara. Istilah-istilah tersebut lahir mengingat kegiatan internet dan pemanfaatan
teknologi informasi berbasis virtual.2

Salah satu contoh Cybercrime atau kejahatan yang dilakukan melalui media elektronik
atau melalui media sosial ialah “dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau
mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen
Elektronik yang memiliki muatan pemerasan dan/atau pengancaman” sebagaimana diatur dan

1
Adami Chazawi, Ardi Ferdian, Tindak Pidana Informasi & Transaksi Elektronik, Media Nusa Creative, Malang,
2015, hal 121
2
Matheus Josia Sesar, Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Pemerasan Dan/Atau Pengancaman Yang Dilakukan
Melalui Media Elektronik (Studi Putusan pengadilan Makasar),Jurnal Uhn,2021,hal.2
4
diancam pidana menurut Pasal 45 ayat (4) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang
perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Transaksi
Elektronik.

Pemerasan dan/atau pengancaman adalah merupakan kasus delik aduan yang merupakan
tindak pidana yang hanya dapat dilakukan penuntutan setelah adanya laporan pengaduan dari
orang yang menderita, dirugikan oleh kejahatan tersebut. Pemerasan dan/atau pengancaman
diatur dalam pasal 368 dan 369 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang memiliki persamaan
dan perbedaan. Kedua tindak pidana tersebut, Undang-Undang telah mensyaratkan tentang
adanya pemaksaan terhadap seseorang agar orang tersebut : Menyerahkan sesuatu benda yang
sebagian atau seluruhnya adalah kepunyaan orang tersebut atau kepunyaan pihak ketiga;
mengadakan perikatan utang piutang sebagai pihak yang berutang atau meniadakan piutang.
Kedua tindak pidana tersebut mempunyai unsur subjektif sama yakni dengan maksud untuk
menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum. Perbedaannya ialah, pada
tindak pidana pemerasan pemaksaan itu dilakukan dengan ancaman akan memfintah dengan
lisan, memfitnah dengan tulisan atau akan mengumumkan suatu rahasia, sedangkan pada tindak
pidana pemerasan, pemaksaan itu dilakukan dengan memakai kekerasan atau ancaman
kekerasan.3

Setiap perbuatan pemerasan/pengancaman pada dasarnya dapat dipidana berdasarkan


hukum di Indonesia. Pemerasan/pengancaman melalui internet pada prinsipnya sama dengan
pemerasan/pengancaman secara konvensional. Yang membedakan hanya sarananya yakni
melalui media internet, sehingga video dan foto pribadi termasuk ke dalam informasi elektronik
dan/atau dokumen elektronik. Ancaman mengunggah video pribadi termasuk foto pribadi ke
publik ditengarai merupakan modus baru dalam pemerasan di era digital saat ini. Seperti kasus
yang terjadi di wilayah yurisdiksi Pengadilan Negeri Magelang, dimana tersangka yang awalnya
berkenalan melalui facebook dengan korban, menjelaskan bahwa dia bisa menyembuhkan orang
sakit. Melalui beberapa kali pertemuan, tersangka mampu meyakinkan korban terkait hal itu.
Dengan alasan ingin mengobati korban dari jarak jauh, tersangka meminta foto korban tanpa
memakai busana, yang akhirnya dikabulkan oleh korban. Dengan menggunakan foto tersebut,
tersangka mengancam akan menyebarkan foto korban tanpa busana ke media sosial facebook,
apabila tidak menyerahkan uang sejumlah Rp. 30.000.000, - (Tiga puluh juta rupiah). Dalam

3
P.A.F Lamintang, Delik-Delik Khusus Kejahatan Terhadap Harta Kekayaan, SinarGrafika, Jakarta,
2009, hal 68

5
kasus ini terdapat ketidaak sesuaian antara Pasal yang dijatuhkan oleh Majelis hakim Pengadilan
Negeri Magelang, dengan hukum positif yang berlaku di Indonesia. Terdakwa dijatuhi Pasal 368
KUHP oleh Majelis hakim, padahal terkait tindak pidana yang dilakukan dengan media
elektronik, Indonesia telah memiliki regulasi khusus untuk mengaturnya. Sehingga karena hal
tersebut, penulis tertarik untuk mengkaji lebih lanjut mengenai putusan hakim Pengadilan
Negeri Magelang Nomor: 50/Pid.B/2015/Pn Mgg Tentang tindak pidana pemerasan dengan
modus menyebarkan foto.

pemerintah sangat melarang perbuatan tersebut karena dapat meresahkan masyarakat.


Beberapa kasus pemerasan dengan cara tersebut telah dilaporkan kepada Penyidik POLRI
maupun Penyidik Kementerian Komunikasi dan Informatika (Sub Direktorat Penyidikan dan
Penindakan Direktorat Keamanan Informasi). Kasus pemerasan dengan ancaman penyebaran
video atau foto pribadi diyakini banyak terjadi, namun minim laporan. Hal ini disebabkan
kekhawatiran korban atas ancaman pelaku. Maka dari itu dalam kasus pemerasan dan/atau
pengancaman yang dilakukan melalui media elektronik tersebut diperlukan kerjasama dari
korban agar segera melaporkan jika terjadi pemerasan dan/atau pengancaman yang dilakukan
melalui media elektronik agar dapat memberantas kasus tersebut sehingga memberikan efek jera
terhadap pelaku dan untuk mengurangi kejahatan pemerasan dan/atau pengancaman yang
dilakukan melalui media elektronik.

Berdasarkan uraian tersebut di atas penulis tertarik untuk mengkaji lebih dalam terkait
tindak pidana yang dilakukan dlam ranah cyber crime yang di tuangkan dlam makalah yang
berjudul “TINDAK PIDANA PEMERASAN DAN PENGANCAMAN DENGAN MODUS
MENYEBARKAN FOTO ANALISIS PUTUSAN HAKIM PENGADILAN NEGERI
MAGELANG NOMOR: 50/PID.B/2015/PN MGG”

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah pemerasan dan pengancaman dapat di katakan memenuhi unsur-unsur
dalam tindak pidana ?
2. Bagaimankah analisa hukum terhadap putusan hakim Nomor: 50/Pid.B/2015/Pn Mgg
Berdasarkan hukum positif yang berlaku di Indonesia ?
C. Tujuan Makalah
1. Untuk mengetahui pemeresan dan pengancaman dapat dikatakan memenuhi unsur-
unsur dalam tindak pidana.
2. Untuk mengetahui analisa hukum terhadap putusan hakim Nomor: 50/Pid.B/2015/Pn
Mgg Berdasarkan Hukum Positif Yang Berlaku Di Indonesia.
6
BAB II
PEMBAHASAN

1. Tinjauan Umum Tindak Pidana

a. Pengertian Tindak Pidana

Menurut beberapa ahli hukum, tindak pidana dikemukakan dengan pengertian dan penjelasan
seperti di bawah ini:

Di dalam bukunya yang berjudul Asas-asas Hukum Pidana, Moeljatno mengemukakan


istilah perbuatan pidana yakni suatu perbuatan yang dilarang oleh aturan hukum larangan di
mana terdapat penyertaan ancaman (sanksi) bagi siapa saja yang melanggar aturan tersebut
dalam beberapa pidana tertentu. Moeljatno juga menambahkan bahwa perbuatan pidana dapat
pula dikatakan sebagai perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan dan dapat diancam pidana.
Perlu diingan bahwa larangan di sini ditujukan terhadap perbuatan, yakni suatu kejadian atau
keadaan yang dilakukan oleh orang, sedang ancaman pidananya ditujukan kepada orang yang
menimbulkan kejadian tersebut.4

Bambang Purnomo dalam bukunya yang berjudul Asas-asas Hukum Pidana juga memberikan
penjelasan tindak pidana di mana perbuatan pidana diartikan sebagai suatu istilah yang
mengandung pengertian dasar dalam ilmu hukum pidana. Istilah ini terbentuk dengan kesadaran
dalam menampilkan ciri tertentu terhadap peristiwa hukum pidana, perbuatan pidana
memmpunyai pengertian yang abstrak dari peristiwa-peristiwa konkrit dalam lapangan hukum
pidana, sehingga perbuatan pidana haruslah diberikan arti yang bersifat ilmiah dan ditentukan
dengan jelas untuk dapat memisahkan dengan istilah yang dipakai sehari-hari dalam kehidupan
masyarakat.5

Tindak pidana dirumuskan pula dalam rancangan KUHP September 2019 sebagaimana tertuang
dalam BAB II mengenai tindak pidana dan pertanggung jawaban pidana, dalam Pasal 12
Rancangan KUHP 2019 disebutkan bahwa:6

4
Moeljatno, 1993, Asas-asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, hlm. 54.
5
Bambang Purnomo, 1994, Asas-asas Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, Jakarta, hlm.16.

6
Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia, 2019, Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Dewan
Perwakilan Rakyat, hlm 5.

7
1. Tindak Pidana merupakan perbuatan yang oleh peraturan perundang- undangan diancam
dengan sanksi pidana dan/atau tindakan;

2. Untuk dinyatakan sebagai tindak pidana, suatu perbuatan yang diancam sanksi pidana
dan/atau tindakan oleh peraturan perundang-undangan harus bersifat melawan hukum atau
bertentangan dengan hukum yang hidup dalam masyrakat;

3. Setiap tindak pidana selalu bersifat melawan hukum,kecuali ada alasan pembenar.

b. Unsur-Unsur Tindak Pidana

Unsur tindak pidana pada umumnya yang terdapat dalam KUHP dapat dijabarkan ke dalam
dua unsur sesuai dengan penjelasan Lamintang di mana kedua unsur tersebut adalah unsur
objektif dan unsur subjektif.7 Unsur objektif memiliki pengertian sebagai unsur- unsur yang
memiliki hubungan dengan suatu keadaan seperti pada keadaan-keadaan mana suatu tindakan
pelaku harus dilakukan. Sedangkan unsur subjektif adalah unsur-unsur yang melekat pada diri
pelaku dan sesuatu yang berhubungan dengan diri pelaku.

Menurut Lamintang unsur-unsur Subyektif, dari suatu tindak pidana adalah:

1. Kesengajaan atau tidak sengaja (dolusatauculpa);

2. Maksud atau voornemen pada suatu percobaan atau poging seperti yang dimaksud di dalam
pasal 53 ayat 1 KUHP;

3. Macam-macam maksud atau oogmerk seperti yang terdapat misalnya di dalam kejahatan-
kejahatan pencurian, penipuan,pemerasan, pemalsuan, dan lain-lain;

4. Merencanakan terlebih dahulu atau voorbedhacte read seperti yang misalnya yang terdapat di
dalam kejahatan pembunuhan menurut Pasal 340 KUHP;

5. Perasaan takut atau vress seperti yang antara lain terdapat di dalam rumusan tindak pidana
menurut Pasal 308 KUHP.

Unsur-unsur objektif dari suatu tindak pidana itu adalah:

1. Sifat melanggar atau wederrechtelijkheid;

7
P.A.F. Lamintang, 1997, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, Cetakan III, PT. Citra
Aditya Bakti, Bandung, hlm. 193.

8
2. Kualitas dari si pelaku mislanya; “keadaan sebagai seorang pegawai negeri” di dalam
kejahatan jabatan menurut Pasal 415 KUHP atau “keadaan sebagai pengurus atau komisaris
dari perseroan terbatas” di dalam kejahatan menurut Pasal 398 KUHP;

3. Kausalitas,yakni hubungan antara sesuatu tindakan sebagai penyebab dengan sesuatu


kenyataan sebagai akibat. Menurut Moeljanto, unsur-unsur tindak pidana adalah:

a) Perbuatan;

b) Yang dilarang (oleh aturan hukum)

c) Ancaman pidana (bagi yang melanggar hukum)8

Menurut Adami Chazawi unsur-unsur tindak pidana terdiri dari 11 unsur tindak pidana, yaitu:

a) Unsur tingkah laku

b) Unsur melawan hukum

c) Unsur kesalahan

d) Unsur konstitutif

e) Unsur akibat yang menyertai

f) Unsur syarat tambahan

g)Unsur syarat tambahan untuk memperberatpidana

h) Unsur syarat tambahan untuk dapatnya dipidana

i) Unsur objek hukum tindak pidana

j) Unsur kualitas subjek hukum tindak pidana

k) Unsur syarat tambahan memperingan pidana

c. Tinjauan Umum Pemerasan dan Pengancaman

1. Pengertian Pemerasan dan Pengancaman

Pada KUHPidana telah mengatur suatu perbuatan yang bisa dikategorikan sebagai suatu
tindak pidana (strafbaar feit) apabila suatu perbuatan yang dinyatakan dilarang oleh peraturan
perundang-undangan dan dapat diancam sebagai pidana. Tindak pidana yang telah diatur di
dalam KUHPidana salah satunya adalah tindak pidana pemerasan dan pengancaman (afpersing

8
P.A.F. Lamintang, Ibid, hlm. 194.

9
dan afdreiging) di mana saat ini telah menjadi fenomena kejahatan yang jumlahnya kian
meningkat yang dapat disebabkan oleh peningkatan efektifitas bersosial pada era digital.9

Istilah afpersing dan afdreiging dalam bahasa belanda memiliki pengertian sebagai tindak pidana
pemerasan dan pengancaman yang menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) pemerasan
memiliki arti sebagai suatu tindakan untuk mengambil keuntungan sebanyak-banyaknya dari
orang lain dengan cara memeras, dapat berupa meminta uang dan sebagainya menggunakan
ancaman. Sedangkan pengancaman ialah tindakan dengan menyatakan suatu niat (maksud atau
rencana) kepada orang lain yang dapat menyulitkan, merugikan, menyusahkan, atau
mencelakakan pihak lain.10

Pengaturan terkait pemerasan dan pengancaman sesungguhnya telah diatur dalam KUHP
dan beberapa Undang- Undang lain yang juga memuat ketentuan pemerasan dan pengancaman
dalam beberapa pasalnya. Dalam KUHP, ketentuan mengenai pemerasan dalam bentuk pokok
diatur dalam Pasal 368 ayat (1) KUHP, pemerasan yang diperberat diatur dalam Pasal 368 ayat
(2) KUHP, sedangkan pengancaman pokok diatur dalam Pasal 369 KUHP dan pengancaman
dalam kalangan keluarga diatur dalam Pasal 370 KUHP. Kedua macam tindak pidana tersebut
mempunyai sifat yang sama, yaitu suatu perbuatan yang bertujuan untuk mengancam orang lain,
sehingga tindak pidana ini diatur dalam bab yang sama yaitu BAB XXIII KUHP. 11

Adapun persamaan dan perbedaan antara tindak pidana pemerasan dan pengancaman menurut
Mukhlis, Tarmizi, Ainal Hadi dalam buku dalam buku Hukum Pidana (2009:238), yaitu
persamaannya terletak pada:

1. Perbuatan materiilnya masing-masing berupa memaksa,

2. Perbuatan memaksa ditujukan pada orang tertentu,

3. Tujuan yang sekaligus merupakan akibat dari perbuatan; memaksa agar orang menyerahkan
benda, memberi hutang dan/atau menghapuskan piutang,

4. Unsur kesalahan masing-masing berupa maksud yang ditujukan pada menguntungkan diri
sendiri atau orang lain secara melawan hukum.

9
M. Lutfi Chakim, Afpersing dan Afdreiging (http://www.lutfichakim.com/2017/07/afpersing-dan-
afdreiging.html diakses pada Mei 2022).
10
Ibid.
11
Agit Egi Sampeliling, Analisis Hukum Terhadap Tindak Pidana Tanpa Hak
Mendistribusikan Dan Mentransmisikan Muatan Pemerasan Dan Pengancaman Melalui
Facebook (Studi Kasus Pengadilan Negeri Masamba), Skripsi Unhas,2021,hal. 21

10
Sedangkan perbedaannya terletak pada:

1. Cara-cara yang digunakan dalam dalam melaksanakan perbuatan materiilnya, yaitu :

• Pada pemerasan, dengan menggunakan kekerasan dan ancaman kekerasan,

• Pada pengancaman, dengan menggunakan ancaman pencemaran dan akan membuka rahasia.

2. Pemerasan merupakan tindak pidana biasa. Pengancaman merupakan tindak pidana aduan
absolute.

3. Mengenai ancaman pidananya. Kemudian perlu di ingat, bahwa tindak pidana pemerasan dan
pengancaman sebagaimana diatur dalam Pasal 368 dan Pasal 369 KUHP merupakan delik
aduan, artinya tindak pidana tersebut harusdiadukan oleh orang yang merasa dirugikan.12

2. Unsur-unsur Tindak Pidana Pemerasan dan Pengancaman Tindak pidana pemerasan biasa
pula disebut tindak pidana pengancaman

Tindak pidana ini diatur dalam pasal 368 KUHP:

“Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara
melawan hukum, memaksa orang lain dengan kekerasan, untuk memberikan suatu barang
yang seluhruhnya atau sebagian adalah milik orang lain, atau supaya memberikan hutang
maupun menghapus piutang, diancam, karena pemerasan, dengan pidana paling lama 9
tahun.”

Menurut R. Soesilo, unsur-unsur yang ada di dalam pasal ini adalah sebagai berikut:13

1. Memaksa orang lain;

2. Untuk memberikan barang yang sama sekali atau sebagian termasuk kepunyaan orang itu
sendiri atau kepunyaan orang lain, atau membuat utang atau menghapuskan piutang;

3. Dengan maksud hendak menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan hak;

4. Memaksanya dengan memakai kekerasan atau ancaman kekerasan.

Isitilah memaksa yang dimaksudkan ialah melakukan pendesakan kepada orang sehingga orang
tersebut melakukan tindakan yang tidak dikehendaki oleh dirinya sendiri. Memaksa di sini juga

12
A. Ian Nuary Pratama,Tindak Pidana Kekerasan dan Pengancaman Kekerasan
yang dilakukan Secara Bersama-sama dan Penguasaan Tanpa Hak Senjata
Tajam, Skripsi,Universitas Hasanuddin, 2013, Hlm. 36.

13
R. Soesilo, 1995, Kitab undang-undang hukum pidana (KUHP): serta komentar-komentarnya lengkap
pasal demi pasal , Politeia, Bogor, hlm. 256.
11
tergolong jika orang yang tengah dalam tekanan untuk menyerahkan barang atau harta
kekayaannya sendiri.

Defenisi memaksa dapat dilihat dalam pasal 89 yang berbunyi: “yang disamakan melalui
kekerasan itu, membuat orang jadi pingsan atau tidak berdaya lagi (lemah)”.

Soesilo memberikan penjelasan tentang maksud dari istilah kekerasan yakni tindakan dengan
menggunakan kekuatan fisik di mana penggunaannya dinilai tidak kecil. Dalam pasal ini,
kekerasan termasuk di dalamnya dengan cara memukul menggunakan tangan, menendang, dan
sebagainya.14

Kehadiran kekerasan atau ancaman kekerasan ini menjadi persyaratan unsur ini agar pemilik
barang dapat menyerahkan barang tersebut kepada pemeras. Kekerasan atau ancaman kekerasan
digunakan berdasarkan niat agar aksi berjalan mulus dan pemilik barang mau menyerahkan
barangnya.

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (“UU ITE”)
sebagaimana yang telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan
Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (“UU
19/2016”) mengatur tentang pemerasan/pengancaman di dunia siber dalam Pasal 27 ayat (4) UU
ITE, yang menyatakan sebagai berikut:

Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan
dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang
memiliki muatan pemerasan dan/atau pengancaman.

Ancaman pidana dari Pasal 27 ayat (4) UU ITE tersebut diatur dalam Pasal 45 ayat (4) UU
19/2016 yaitu pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1
miliar.

Sebagaimana disebutkan dalam penjelasan Pasal 27 ayat (4) UU 19/2016, ketentuan pemerasan
dan/atau pengancaman yang diatur dalam Pasal 27 ayat (4) UU ITE dan perubahannya mengacu
pada pemerasan dan/atau pengancaman pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”).

2. Analisis Putusan Hakim Pengadilan Negeri Magelang Nomor 50/Pid.B/2015/PN Mgg


Berdasarkan Hukum Positif Yang Berlaku Di Indonesia

Kasus Posisi dalam perkara yang menjadi yurisdiksi Pengadilan Negeri Magelang
berdasarkan putusan Nomor: 50/PID.B/2015/PN Mgg yaitu, MK yang merupakan inisial

14
Ibid, hlm. 98.
12
terdakwa dalam kasus pemerasan dengan modus menyebarkan foto terhadap korban IW. Dari
facebook terdakwa bercerita bahwa dirinya dapat mengobati orang sakit. Pada pertemuan
pertama di Magelang terdakwa MK melakukan pengobatan dengan cara mencabuli korban
IW. Kedatangan terdakwa MK ketiga kalinya meminta agar korban difoto dalam kedaan
telanjang setengah badan dengan alasan akan dilakukan pengobatan dengan jarak jauh.
Setelah 10 kali pertemuan, melakukan pengobatan, saksi akhirnya berani bercerita hal yang
sebenarnya kepada suami korban. Terdakwa MK mulai mengancam dan memaksa korban
melalui telepon dan SMS untuk mengirimkan uang Rp 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah
rupiah), namun saat itu IW tidak setuju dan sampai pada kesepakatan akan mengirim uang
Rp.30.000.000 (tiga puluh juta rupiah) yang juga disetujui oleh MK. IW menerima tiga kali
SMS yang berisi ancaman dari MK agar segera mengirimkan uang, apabila tidak segera
dikirim, ia akan menyebarkn foto IW yang tidak mengenakan busana, ke facebook dan kakak
dari IW. Setelah uang sebanyak Rp.30.000.000 (tiga puluh juta) tersebut di kirimkan kepada
MK secara bertahap yaitu tanggal 09 Januari 2015 sejumlah Rp 20.000.000 (dua puluh juta
rupiah) dan pengiriman kedua tangga 12 Januari 2015 sejumlah Rp10.000.000 (Sepuluh juta
rupiah) MK tetap merealisasikan ancamannya tersebut, yakni mengirim foto IW kepada Jun
yang merupakan kakak korban.15

Dalam kasus ini MK diancam pidana dengan Pasal 368 ayat (1) KUHP yang berbunyi
“Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan
hukum, memaksa orang lain dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, untuk memberikan
sesuatu barang, yang seluruhnya atau sebagian adalah milik orang lain, atau supaya
memberikan hutang maupun menghapus piutang, diancam, karena pemerasan, dengan
pidana penjara paling lama sembilan tahun”. Karena Majelis hakim dalam memutus harus
mempertimbangkan dalam hal-hal yang memperberat dan juga hal-hal yang meringankan,
MK oleh Majelis hakim dijatuhi hukuman pidana penjara selama 6 (enam) tahun. Berdasarkan
kasus yang telah diputus oleh Pengadilan Negeri Magelang pada tanggal 26 Mei 2016, terkait
dengan tindak pidana pemerasan dengan modus menyebarkan foto, Pasal yang dijatuhkan
Majelis hakim terhadap terdakwa MK tidak sesuai dengan hukum positif yag berlaku di
Indonesia. Terdakwa MK dijatuhi pidana Pasal 368 ayat (1) KUHP dengan pidana penjara

15 Yustisi Yudhasmara,Ismunarno, Analisis Putusan Hakim Pengadilan Negeri Magelang Tentang Tindak
Pidana Pemerasan Dengan Modus Menyebarkan Foto.(Studi Kasus Pengadilan Negeri Magelang).Jurnal
Universitas Sebelas Maret Surakarta, Vol 3.No 3, 2014,Hal.4

13
selama 6 (enam) tahun. Pasal 368 ayat (1) berbunyi “Barang siapa dengan maksud untuk
menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, memaksa orang lain
dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, untuk memberikan sesuatu barang, yang
seluruhnya atau sebagian adalah milik orang lain, atau supaya memberikan hutang maupun
menghapus piutang, diancam, karena pemerasan, dengan pidana penjara paling lama
sembilan tahun”.

KUHP sebagai dasar hukum pemidanaan utama di Indonesia telah mengatur tentang
aturan yang melarang tindak pidana pemerasan yang tertera pada Pasal 368 KUHP. Unsur
pemerasan dalam Pasal 368 KUHP masih bersifat pemerasan secara konvensional, yaitu
pemerasan yang umumnya terjadi dan di peruntukan pada semua hal yang ada dalam dunia
nyata. Penggunaan Pasal 368 KUHP kurang tepat apabila digunakan untuk menjerat tindak
pidana pemerasan dengan menyebarkan foto yang terdapat pada dunia maya (cyberspace)
dengan menggunakan media elektronik sebagai sarana untuk melakukan tindak pidananya.
Dalam hal ini Indonesia telah memiliki regulasi yang tepat untuk dijatuhkan kepada MK yaitu
Pasal 27 ayat (4) Juncto Pasal 45 ayat (1) Undang- Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang
Informasi dan traksaksi elektronik dapat di gunakan untuk membebani pelaku untuk
mempertanggungjawabkan perbuatannya dalam hal tindak pidana pemerasan dengan modus
menyebarkan foto Pasal 27 ayat (4) berbunyi “Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak
mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi
Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan pemerasan dan/atau
pengancaman”.

Pasal yang lebih sesuai untuk dijatukan kepada terdakwa MK adalah Pasal 27 ayat (4)
Undang- Undang ITE yang merupakan Lex Specialis dari Pasal 368 yang merupakan Lex
Generalis. Konsekuensi yuridis dari penggunaan Pasal 27 ayat (4) Undang-Undang ITE
terhadap Pasal 368 KUHP pada tindak pidana pemerasan dengan menyebarkan foto adalah
kedua Pasal dalam dua Undang-Undang tersebut saling mengesampingkan dan
mengecualikan. Perbuatan pidana khusus mengesampingkan hukum pidana umum itu
didasarkan pada Pasal 103 KUHP yang berbunyi “Ketentuan-ketentuan dalam Bab I sampai
Bab VIII buku ini juga berlaku perbuatan-perbuatan yang oleh ketentuan perundang-udangan
lainnya diancam dengan pidana, kecuali jika oleh undang-undang ditentukan lain”.

Melihat perbandingan pengaturan antara kedua Pasal tersebut, maka untuk pembebanan
pertanggungjawaban pidana tentu saja akan memiliki perbedaan yaitu perbedaan sanksi
pidana pada Pasal 368 ayat (1) KUHP dan Pasal 27 ayat (4), bila pada Pasal 368 ayat (1)
14
KUHP terdapat sanksi pidana penjara selama 9 tahun, sedangkan dalam Pasal 27 ayat (4)
Undang-Undang ITE tidak secara langsung mencantumkan sanksi pidana melainkan tertera
pada Pasal 45 ayat (1) Undang-Undang ITE yaitu sanksi pidana penjara 6 (enam) tahun
dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Berdasarkan putusan yang telah dijatuhkan oleh Majelis hakim pengadilan negeri Magelang,
Meskipun unsur-unsur dalam Pasal 368 ayat (1) KUHP tersebut terpenuhi seluruhnya, tetapi
terdapat unsur dari tindak pidana pemerasan dengan modus menyebarkan foto yang tidak
terpenuhi dalam pengaturan Pasal 368 ayat (1) KUHP, yaitu :

1. Tidak terpenuhinya unsur media utama yang digunakan dalam melakukan tindak pidana
pemerasan dengan modus menyebarkan foto yaitu media elektronik yang belum dikenal
dalam KUHP maupun KUHAP

2. Cara-cara pemerasan yang berbeda antara pemerasan konvensional dengan pemerasan


yang melibatkan sarana elektronik dalam menjalankan perbuatannya tersebut.

Pasal 27 ayat (4) Undang-Undang ITE memiliki karakteristik unsur yang lebih spesifik
dibandingankan Pasal 368 KUHP dalam konteks pemidanaan pada tindak pidana pemerasan
dengan menyebarkan foto, dapat dikatakan bahwa Pasal 27 ayat (4) Undang-Undang ITE
merupakan lex specialis derogat legi generalis dari Pasal 368 KUHP. Selain karena memiliki
karakteristik unsur yang lebih spesifik dalam konteks pemidanaan pada tindak pidana pemerasan
dengan menyebarkan foto, Pasal 27 ayat (4) Undang- Undang ITE telah memenuhi beberapa
prinsip dalam asas lex specialis derogat legi generalis yaitu:

1. Ketentuan-ketentuan yang didapati dalam aturan hukum umum tetap berlaku, kecuali
yang diatur khusus dalam aturan hukum khusus tersebut.

2. Ketentuan-ketentuan lex specialis harus sederajat dengan ketentua-ketentuan lex generalis


(Undang- Undang dengan Undang-Undang).

3. Ketentuan-ketentuan lex specialis harus berada dalam lingkungan hukum (rezim) yang
sama dengan lex generalis 16

Konsekuensi yuridis dari penggunaan Pasal 27 ayat (4) Undang-Undang ITE terhadap
Pasal 368 KUHP pada tindak pidana pemerasan dengan modus menyebarkan foto adalah kedua
Pasal dalam dua Undang-Undang tersebut saling mengesampingkan dan mengecualikan. Pasal
27 ayat (4) Undang- Undang ITE hanya dapat di gunakan pada tindak pidana pemerasan
dengan modus menyebarkan foto yang berkarakteristik pada aktivitas di dunia maya atau

16
(http://ditjenpp.kemenkumham.go.id/htn-dan-puu/421-harmonisasi-peraturan- perundang-
undangan.html, diakses 29 Mei 2022).
15
berkaitan dengan media yang digunakan yaitu media elektronik, sedangkan pada Pasal 368
KUHP hanya dapat di gunakan untuk menjerat pelaku tindak pidana pemerasan konvensional,
dengan kata lain Pasal 27 ayat (4) Undang-Undang ITE merupakan lex specialis dari Pasal 368
KUHP yang merupakan lex generalis dari tindak pidana pemerasan. Melihat unsur dan modus
pemerasan yang semakin canggih dan mengikuti perkembangan zaman, penggunaan Pasal 27
ayat (4) Undang-Undang ITE sudah tepat untuk langsung di dakwakan terhadap pelaku agar
tidak akan timbul kekhawatiran lolosnya pelaku dari pembebanan pemidanaan pada
tindakannya.
perbuatannya dalam hal tindak pidana pemerasan dengan modus menyebarkan foto Pasal
27 ayat (4) berbunyi “Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau
mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau
Dokumen Elektronik yang memiliki muatan pemerasan dan/atau pengancaman”.
Pasal yang lebih sesuai untuk dijatukan kepada terdakwa MK adalah Pasal 27 ayat (4)
Undang- Undang ITE yang merupakan Lex Specialis dari Pasal 368 yang merupakan Lex
Generalis. Konsekuensi yuridis dari penggunaan Pasal 27 ayat (4) Undang-Undang ITE
terhadap Pasal 368 KUHP pada tindak pidana pemerasan dengan menyebarkan foto adalah
kedua Pasal dalam dua Undang-Undang tersebut saling mengesampingkan dan
mengecualikan. Perbuatan pidana khusus mengesampingkan hukum pidana umum itu
didasarkan pada Pasal 103 KUHP yang berbunyi “Ketentuan-ketentuan dalam Bab I sampai
Bab VIII buku ini juga berlaku perbuatan-perbuatan yang oleh ketentuan perundang-udangan
lainnya diancam dengan pidana, kecuali jika oleh undang-undang ditentukan lain”.
Melihat perbandingan pengaturan antara kedua Pasal tersebut, maka untuk pembebanan
pertanggungjawaban pidana tentu saja akan memiliki perbedaan yaitu perbedaan sanksi
pidana pada Pasal 368 ayat (1) KUHP dan Pasal 27 ayat (4), bila pada Pasal 368 ayat (1)
KUHP terdapat sanksi pidana penjara selama 9 tahun, sedangkan dalam Pasal 27 ayat (4)
Undang-Undang ITE tidak secara langsung mencantumkan sanksi pidana melainkan tertera
pada Pasal 45 ayat (1) Undang-Undang ITE yaitu sanksi pidana penjara 6 (enam) tahun
dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Berdasarkan putusan yang telah dijatuhkan oleh Majelis hakim pengadilan negeri Magelang,
Meskipun unsur-unsur dalam Pasal 368 ayat (1) KUHP tersebut terpenuhi seluruhnya, tetapi
terdapat unsur dari tindak pidana pemerasan dengan modus menyebarkan foto yang tidak
terpenuhi dalam pengaturan Pasal 368 ayat (1) KUHP, yaitu :
1. Tidak terpenuhinya unsur media utama yang digunakan dalam melakukan tindak pidana
pemerasan dengan modus menyebarkan foto yaitu media elektronik yang belum dikenal
dalam KUHP maupun KUHAP
2. Cara-cara pemerasan yang berbeda antara pemerasan konvensional dengan pemerasan
yang melibatkan sarana elektronik dalam menjalankan perbuatannya tersebut.

16
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Tindakan Pengancaman dan Pemerasan melalui media sosial dapat dikatakan sebagai
tindak pidana apabila memenuhi unsur-unsur yang telah di atur dalam KUHP maupun
Undang-Undang ITE Nomor 11 tahun 2018.

2. tindak pidana pemerasan dengan modus menyebarkan foto, Pasal yang dijatuhkan
Majelis hakim terhadap terdakwa MK tidak sesuai dengan hukum positif yang
berlaku di Indonesia. Pasal yang lebih sesuai untuk dijatukan kepada terdakwa MK
adalah Pasal 27 ayat (4). Undang-Undang ITE merupakan Lex Specialis dari Pasal
368 yang merupakan Lex Generalis. Konsekuensi yuridis dari penggunaan Pasal 27
ayat (4) Undang-Undang ITE terhadap Pasal 368 KUHP pada tindak pidana
pemerasan dengan menyebarkan foto adalah kedua Pasal dalam dua Undang-
Undang tersebut saling mengesampingkan dan mengecualikan.

B. Saran

1. Masyarakat sebaiknya bijak dan berhati hati dalam menggunakan media sosial khususnya dalam
menguggah foto maupun video yang bersifat pribadi agar tidak di salah gunakan oleh orang orang
yang tidak bertanggug jawab untuk melakukan pemerasan maupun pengancaman.

2. Kepada para penegak hukum mulai dari Kepolisian, Jaksa, dan Majelis Hakim sebaiknya
menerapkan Undang-Undang ITE Nomor 11 tahun 2018 dalam memeriksa dan memutus setiap
tindak pidana yang terjadi di dalam media sosial.

17
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Adami Chazawi, Ardi Ferdian, 2015,Tindak Pidana Informasi & Transaksi Elektronik,
Malang : Media Nusa Creative.
Moeljatno, 1993, Asas-asas Hukum Pidana, Jakarta : Rineka Cipta.
Bambang Purnomo, 1994, Asas-asas Hukum Pidana, Jakarta : Ghalia
Indonesia.
Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia, 2019, Rancangan Kitab Undang-undang Hukum
Pidana, Dewan Perwakilan Rakyat
P.A.F Lamintang, 2009,Delik-Delik Khusus Kejahatan Terhadap Harta Kekayaan, Jakarta :
Sinar Grafika, Jakarta
P.A.F. Lamintang, 1997, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia,
Bandung : Cetakan III, PT. CitraAditya Bakti.
R. Soesilo, 1995, Kitab undang-undang hukum pidana (KUHP): serta komentar-
komentarnya lengkap pasal demi pasal , Politeia, Bogor

Jurnal/Skripsi
Matheus Josia Sesar, 2021,Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Pemerasan
Dan/Atau Pengancaman Yang Dilakukan Melalui Media Elektronik (Studi Putusan
pengadilan Makasar),Jurnal Uhn
Agit Egi Sampeliling, 2021, Analisis Hukum Terhadap Tindak Pidana
Tanpa Hak Mendistribusikan Dan Mentransmisikan Muatan Pemerasan
Dan Pengancaman Melalui Facebook (Studi Kasus Pengadilan Negeri
Masamba), Skripsi Unhas
Ian Nuary Pratama, 2013,Tindak Pidana Kekerasan dan Pengancaman
Kekerasan yang dilakukan Secara Bersama-sama dan Penguasaan Tanpa
Hak Senjata Tajam, Skripsi, Universitas Hasanuddin.
Yustisi Yudhasmara,Ismunarno, 2014, Analisis Putusan Hakim Pengadilan Negeri Magelang
Tentang Tindak Pidana Pemerasan Dengan Modus Menyebarkan Foto.(Studi Kasus
Pengadilan Negeri Magelang).Jurnal Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Internet

M. Lutfi Chakim, Afpersing dan Afdreiging (http://www.lutfichakim.com/2017/07/afpersing-


dan- afdreiging.html diakses pada Mei 2022).
(http://ditjenpp.kemenkumham.go.id/htn-dan-puu/421-harmonisasi-peraturan- perundang-
undangan.html, diakses 29 Mei 2022).
Peraturan Perundang-Undangan
Kitab Undang Undang Hukum Pidana
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

18

Anda mungkin juga menyukai