Anda di halaman 1dari 6

Nama : Yosefina Rumondang Satiti Hasibuan

NPM : 110110160027

Kelas : A

Mata Kuliah : Antropologi Hukum

1. Sejarah Perkembangan Antropologi Hukum

Awal pemikiran antroplogis tentang hukum dimulai dengan studi-studi yang dilakukan oleh
kalangan ahli antropologi, bukan dari kalangan sarjana hukum. Awal kelahiran antropologi
hukum biasanya dikaitkan dengan karya klasik Sir Henry Maine yang bertajuk The Ancient
Law yang diterbitkan pertama kali pada tahun 1861. Ia dipandang sebagai peletak dasar studi
antropologis tentang hukum melalui introduksi teori evolusionistik mengenai masyarakat dan
hukum. Secara umum tema kajian/teori-teori AH dapat dikelompokkan dalam 3 fase, yaitu
Fase Evolusionisme, Fase Fungsionalisme, Fase Pluralisme.

Fase Evolusionisme (1861-1926)


Tema-tema kajian yang dominan pada fase evolusionisme/awal perkembangan AH adalah
berkisar pada eksistensi hukum. Perspektif pada fase ini adalah adanya anggapan hukum
berevolusi/berkembang sesuai dengan perkembangan masyarakatnya. Studi evolusionistik
AH dimulai oleh Sir Henry Maine dalam bukunya The Ancient Law (1861), yang mengatakan
bahwa perkembangan hukum menyesuaikan dengan perkembangan masyarakatnya, yang
dimulai dari masyarakat purba, masyarakat suku, dan masyarakat wilayah bersama.
Menurut Maine, pada masyarakat purba, masyarakatnya masih disibukkan dengan urusan
makanan dan melangsungkan keturunan, sehingga dikatakan pada waktu itu belum ada
hukum. Kemudian masyarakat suku menyadari bahwa mereka berasal dari keturunan yang
sama. Kesadaran ini membentuk ikatan hubungan darah yang disebut masyarakat suku (tribal
society). Pada masyarakat suku ini, kata Maine pada dasarnya masih belum ada hukum, tetapi
dikatakan ada hukum jika hukum tersebut berlaku secara kontinyu bukan secara insidental.
Kemudian masyarakat suku timbul kesadaran baru bahwa suku-suku yang ada bertempat
tinggal pada teritorial bersama, sehingga terbentuk masyarakat wilayah bersama. Pada
masyarakat ini sudah terbentuk pemerintahan baik monarki maupun republik. Perkembangan
hukum pada masyarakat ini dibedakan menjadi dua, masyarakat wilayah bersama yang statis
(diluar Eropa dan Amerika Utara) hukumnya masih sederhana, sedangkan pada masyarakat
wilayah bersama yang dinamis, bentuk hukumnya sudah kompleks dan modern.
Tokoh kedua pada fase evolusionisme adalah J.J. Bachofen dengan bukunya Das Mutterecht
(terbit 1861). Menurut Bachofen perkembangan masyarakat dimulai dari Gemeinschaft
menuju masyarakat gesselschaft. Masyarakat Gemeinschaft adalah suatu masyarakat yang
masih menjunjung tinggi semangat kesersamaan, kekeluargaan, gotong-royong dalam
kehidupannya. Pada masyarakat ini bentuk hukumnya mengikuti masyarakatnya, artinya
hukum yang terbentuk masih mengutamakan hal-hal yang sifatnya komunal. Kemudian pada
masyarakat gesselschaft adalah suatu masyarakat yang sudah menggunakan rasionalisme,
individualisme, dan ekonomis dalam kehidupannya. Demikian pula hukum yang terbentuk
pada masyarakat ini menempatkan kepentingan pribadi, rasionalitas dan ekonomis di atas
kepentingan bersama.
Fase Fungsionalisme (awal abad ke-20)
Selanjutnya pada fase fungsionalisme ini, terjadi perdebatan apa itu hukum, apakah hukum
ada pada semua masyarakat, dari para peminat AH. Dimulai dari A.R. Radcliffe Brown yang
mengatakan hukum adalah suatu sistem pengendalian sosial yang hanya muncul dalam
kehidupan masyarakat yang berada dalam suatu bangunan negara. Alasannya, hanya dalam
suatu organisasi sosial seperti negara terdapat pranata-pranata hukum seperti polisi,
pengadilan, penjara dan lain-lain sebagai pranata neara yang mutlak harus ada untuk menjaga
keteraturan sosial dalam masyarakat. Oleh karena itu dalam masyarakat-masyarakat
bersahaja yang tidak terorganisasi secara politis sebagai suatu negara tidak mempunyai
hukum. Walaupun tidak mempunyai hukum, ketertiban sosial dalam masyarakat tersebut
diatur dan dijaga oleh tradisi-tradisi yang ditaati oleh warga masyarakat secara otomatis-
spontan (automatic spontaneus submission to tradition).
Pendapat Brown ini, yang mengatakan bahwa hukum tidak semata-mata terdapat dalam
masyarakat yang terorganisasi suatu negara, tetapi hukum sebagai sarana pengendalian sosial
terdapat dalam setiap bentuk masyarakat. Hukum dalam masyarakat sederhana, dikritik oleh
Bronislaw Malinowski dalam bukunya Crime and Punishment in Savage Society yang terbit
tahun 1926menurut Malinowski juga bukan ditaati karena adanya tradisi ketaatan yang
bersifat otomatis, tetapi hukum harus diberi pengertian luas, yaitu sebagai suatu sistem
pengendalian sosial (legal order system) yang didasarkan pada prinsip timbal-balik (principle
of reciprocity) dan publisitas (principle of publicity) yang secara empiris berlangsung dalam
kehidupan masyarakat.
Pendapat Malinowski ini memperoleh komentar dan kritik dari Paul Bohannan (Law and
Warfare, Studies in the Anthopology of Conflict, 1967:45-49) yang mengatakan sebagai
berikut:

1. Mekanisme resiprositas dan publisitas sebagai kriteria untukmengatur hak dan


kewajiban dalamkehidupan masyarakat pada dasarnya bukanlah merupakan
hukum, tetapi hanya merupakan suatu kebiasaan (custom) yang digunakan
masyarakat untuk menjaga keteraturan sosial.

2. Pengertian hukum harus dibedakan dengan tradisi (tradition) atau kebiasaan, atau
lebih spesifik norma hukum mempunyai pengertian yang berbeda dengan
kebiasaan. Norma hukum adalah peraturan yang mencerminkan tingkah laku
yang seharusnya (ought) dilakukan dalam hubungan antar individu. Sedangkan
kebiasaan merupakan seperangkat norma yang diwujudkan dalam tingkah laku
dan berlangsung dalam kurun waktu yang lama. Kadang kala kebiasaan bisa sama
dan sesuai dengan hukum, tetapi bisa juga bertentangan dengan norma-norma
hukum.

Oleh karena itu Bohannan mengajukan definisi hukum sebagai seperangkat kewajiban yang
dipandang sebagai hak warga masyarakat dan kewajiban bagi warga masyarakat yang lain,
yang telah dilembagakan ulang menjadi institusi hukum untuk mencapai tujuan agar
kehidupan masyarakat dapat berfungsi dan teratur. Karena itu, dikatakan bahwa resiprositas
berada pada basis kebiasaan, tetapi kebiasaan yang telah dilembagakan sebagai norma hukum
melalui tahapan yang disebut double institutionalization of norm atau pelembagaan kembali
norma. Selanjutnya, Leopold Pospisil (Anthopology of Law, A Comparative Study, 1971: 39-
35) juga mengkritik Malinowski bahwa pengertian hukumnya terlalu luas,
sehingga hukum yang dimaksudkan juga dimaksudkan juga mencakup pengertian kebiasaan-
kebiasaan, bahkan semua bentuk kewajiban-kewajiban yang berhubungan dengan aspek religi
dan juga kewajiban-kewajiban yang bersifat moral dalam kehidupan masyarakat. Untuk itu
Pospisil mengajukan definisi hukum sebagai suatu aktivitas kebudayaan yang berfungsi
sebagai alat untuk pengendalian sosial. Untuk membedakan peraturan hukum dengan noram-
norma lain, yang sama-sama mempunyai fungsi sebagai sarana pengendalian sosial, maka
peraturan hukum dicirikan mempunyai 4 atribut (attributes of law) yaitu :

1. Atribut kekuasaan/otoritas (attribute of authority), adalah keputusan-keputusan


dari pemegang otoritas untuk menyelesaikan sengketa.

2. Atribut penerapan secara universal (attribute of intention of universal aplication)

artinya keputusan-keputusan pemegang otoritas juga akan diaplikasikan terhadap


peristiwa-peristiwa yang sama secara universal.

3. Atribut obligasio (attribute of obligation) berarti keputusan pemegang otoritas


tersebut mengandung suatu pernyataan bahwa pihak pertama memiliki hak untuk
menagih sesuatu dari pihak kedua, dan pihak kedua mempunyai kewajiban untuk
memenuhi hak pihak pertama.

4. Atribut sanksi (attribute of sanction) keputusan-keputusan dari pihak pemegang


otoritas tersebut juga disertai penjatuhan sanksi.
Dalam konteks hukum adat di Indonesia, konsep hukum yang semata-mata berdasarkan
atribut otoritas, juga diperkenalkan oleh Ter Haar dengan teorinya teori Keputusan
(beslissingenleer/ decision theory) yang mendefinisikan hukum sebagai keputusan-keputusan
kepala adat terhadap kasus sengketa dan non sengketa.

Fase Pluralisme Hukum (1940-sekarang)


Fase ini terbagi menjadi sub-sub fase antara lain: 1) Fase antropologi hukum penyelesaian
sengketa (1940-1950-an); 2). Fase pluralisme hukum penyelesaian sengketa dan non sengketa
(1960- 1970-an); 3). Fase pluralisme hukum pengelolaan sumber daya alam, lingkungan
hidup dan lain-lain (1990- sekarang).
Pada fase AH penyelesaian sengketa, teori-teori evolusionisme dan fungsionalisme mulai
ditinggalkan dan bergeser ke arah untuk memahami mekanisme-mekanisme penyelesaian
sengketa (dispute settlement) dalam masyarakat. Metode penelitian juga sudah berganti dari
studi pustaka/dokumen menjadi studi lapangan (fields research). Karya klasik dari Karl
Llewellyn dan E.A. Hoebel, bertajuk The Cheyenne Way(1941) merupakan hasil studi
lapangan kolaborasi dari seorang sarjana hukum (Llewellyn) dengan ahli antropologi
(Hoebel) dalam masyarakat Indian Cheyenne di AS. Kemudian Hoebel mempublikasikan
hasil studinya dengan judul The Law of Primitive Man (1954), disusul karya Gluckman,
mengenai hukum orang Barotse dan lozi di Afrika, juga karya Bohannan mengenai hukum
orang Tiv, dan Gulliver mengenai hukum orang Arusha dan Ndenduli, serta karya Pospisil
tentang hukum orang Kapauku di Papua. Pada fase ini, kajian yang menonjol adalah
penemuan hukum dengan menelusuri kasus sengketa. Pada masa itu, untuk menemukan
hukum pada masyarakat yang belum mengenal tulisan dipakai metode 3 jalan raya hukum
yaitu :
- Metode ideologis, adalah cara penemuan hukum dengan mencari aturan atau norma
yang dipersepsikan sebagai hukum/pedoman perilaku.
- Metode deskriftif, ialah cara penemuan hukum dengan mengamati perilaku anggota
masyarakat untuk diabstraksikan menjadi hukum.
- Metode kasus sengketa, adalah cara penemuan hukum dengan mengikuti, mengamati
dan menelaah kasus yang telah atau sedang terjadi di masyarakat.
Menurut Hoebel, metode pertama dan kedua mempunyai kelemahan yaitu pada metode
pertama kita hanya mendapatkan aturan yang belum tentu dipraktekkan dalam kasus yang
sedang dihadapi. Sedangkan pada metode kedua, perilaku yang muncul belum tentu
menunjukkan keadaan yang sebenarnya, jika sedang menghadapi sengketa. Oleh karena itu,
metode ketiga sangat cocok dan komplit, karena di dalamnya kita dapat menemukan apa yang
ditemukan dalam metode pertama dan kedua. Selain itu metode ini dipandang lebih ilmiah
karena menerapkan metode induktif (dari khusus ke umum).

2.Sejarah Perkembangan Sosiologi Hukum


1. Pengaruh Dari Filsafat Hukum
Pengaruhnya yang khas adalah dari istilah ‘Law In Action’, yaitu beraksinya atau
berprosesnya hukum. Menurut Pound, bahwa hukum adalah suatu proses yang mendapatkan
bentuk dalam pembentukan peraturan perundang-undangan dan keputusan hakim atau
pengadilan. Dengan maksud yaitu kegiatan untuk menetralisasikan atau merelatifkan
dogmatif hukum. Juga hukum sebagai sarana untuk mengarahkan dan membina masyarakat.
2. Ilmu Hukum (Hans Kelsen)
Ajaran Kelsen “The Pure Theory of Law” (Ajaran Murni Tentang Hukum), mengakui bahwa
hukum dipengaruhi oleh faktor-faktor politisi sosiologis, filosofis dan seterusnya. Kelsen juga
mengemukakan bahwa setiap data hukum merupakan susunan daripada kaedah-kaedah
(stufenbau), yang berisikan hal-hal sebagai berikut :
a. Suatu tata kaedah hukum merupakan sistem kaedah-kaedah hukum secara hierarkis.
b. Susunan kaedh-kaedah hukum yang sangat disederhanakan dari tingkat terbawah keatas,
adalah :
1). Kaedah-kaedah individuil dari badan-badan pelaksana hukum terutama pengadilan.
2). Kaedah-kaedah umum didalam undang-undang atau hukum kebiasaan.
3). Kaedah daripada konstitusi
c. Sahnya kaedah hukum dari golongan tingkat yang lebih rendah tergantung atau ditentukan
oleh kaedah yang termasuk golongan tingkat yang lebih tinggi.
3. Sosiologi (Pengaruh ajaran-ajaran Durkheim dan Weber)
Durkheim berpendapat bahwa hukum sebagai kaedah yang bersanksi, dimana berat ringan
sanksi tergantung pada sifat pelanggaran, anggapan serta keyakinan masyarakat tentang baik
buruknya perikelakuan tertentu, peranan sanksi tersebut dalam masyarakat. Setiap kaedah
hukum mempunyai tujuan berganda yaitu :
a. menetapkan dan merumuskan kewajiban-kewajiban
b. menetapkan dan merumuskan sanksi-sanksi.
Sedangkan ajaran-ajaran yang menarik dari Max Weber adalah tipe-tipe ideal dari hukum
yang sekaligus menunjukkan suatu perkembangan yaitu :
a. hukum irrasionil dan materiel, dimana pembentuk undang-undang dan hakim mendasarkan
keputusan-keputusannya semata-mata pada nilai-nilai emosional tanpa mengacu pada suatu
kaedah hukum.
b. hukum irrasionil dan formil, dimana pembentuk undang-undang dan hakim berpedoman
pada kaedah-kaedah yang didasarkan pada wahyu dan ramalan-ramalan.
c. hukum irrasionil dan materiel dimana keputusan para pembentuk undang-undang dan
hakim didasarkan ada kitab suci, idiologi atau kebijaksanaan penguasa.
d. hukum irrasionil dan formil, dimana hukum dibentuk atas dasar konsep-konsep dari ilmu
hukum.

Anda mungkin juga menyukai