Anda di halaman 1dari 4

RONALD DWORKIN

Riwayat Hidup

Lahir pada 1931 di Providence, Rhode Island, Amerika Serikat. Ia


menyelesaikan sekolahnya di Harvard University dan Magdalen College,
Oxford, sebuah kolese yang didirikan pada 1485 oleh William of Waynflete,
seorang uskup di Winchester. Pendidikan Dworkin di kolese tersebut
tergapai setelah ia menerima Rhodes Scholar, sebuah beasiswa yang
prestisius diberikan oleh Rhodes Trust, sebuah lembaga yang didirikan oleh
Cecil John Rhodes (5 July 1953-26 Maret 1902), seorang pebisnis,
penambang besar dan politisi di Afrika Selatan. Rhodes sendiri adalah
pendiri sebuah perusahaan berlian besar; De Beers, yang menguasai 40%
pasar berlian di dunia, bahkan pernah hampir 90% pasar berlian dunia.
Rhodes adalah seorang penyokong ide kolonialisme dan imperialisme. Ia
pun menjadi pendiri negara Rhodesia, sebuah negara yang mengambil
nama dari nama keluarganya. Belakangan negara ini terpecah menjadi
Zambia dan Zimbabwe, di bagian utara dan selatannya. Rhodes pun dikenal
sebagai pendiri Rhodes University, termasuk Rhodes Scholar.

Dworkin pada saat menjadi siswa di Magdalen College, dibimbing oleh salah
satu gurunya yang terkenal; Sir Rupert Cross Rupert Neale Cross (15 Juni
1912-12 September 1980), seorang advokat dan akademisi. Ia pernah
menjadi Vinegrian Professor of English Law di Oxford University. Cross
adalah seorang tuna netra pada usia 1 tahun, akibat kanker mata. Namun ia
tidak menghambatnya menjadi ahli hukum berpengaruh dan pemain catur
yang tangguh.

Setelah menamatkan studinya di Harvard University, Dworkin menjadi


asisten (paralegal) Hakim Billings Learned Hand (27 Januari 1872-18
Agustus 1961), seorang hakim yang amat terk. Karirnya terentang dari
negara bagian New York hingga ia kemudian menjadi hakim agung di
Supreme Court. Hakim Hand lulus dari Harvard University. Pandangan-
pandangan politik dan hukumnya dikenal berwatak progresif dan liberal.
Namun di lain sisi ia dikenal sebagai pembela judicial restraints, sebuah
posisi pemikiran yang mendukung eksistensi prinsip stare decisis.

Karir Dworkin beranjak. Ia kemudian bekerja di sebuah firma hukum


terkenal; Sullivan & Cromwell. Firma ini didirikan oleh Algernon Sydney
Sullivan dan William Nelson Cromwell pada tahun 1879. Firma ini pernah
mewakili kepentingan perusahaan Thomas A. Edison; General Electric,
termasuk United State Steel Corporation (1901) dan Otoritas Terusan
Panama, ketika kanal Panama didirikan. Salah satu advokat terkenal yang
pernah bekerja untuk firma ini adalah John Foster Dulles, yang juga pernah
menjadi menteri luar negeri AS dengan politik luar negerinya yang amat
antikomunis.

Setelah itu, Dworkin berpindah profesi. Ia menjadi profesor di Yale


University, di situ ia menjabat jabatan Wesley N. Hohfeld Chair of
Jurisprudence. Kemudian pada tahun 1969, Dworkin diangkat dalam jabatan
Chair of Jurisprudence di Oxford, sebuah posisi yang sebelumnya dijabat
oleh H. L. A. Hart, seorang filosof hukum yang pemikirannya banyak
bertentangan dengan dirinya. Setelah pensiun dari Oxford, Dworkin
kemudian menjadi Quain Professor of Jurisprudence di University College
London. Setelah itu ia diangkat menjadi Bentham Professor of Jurisprudence
hingga tahun 2008.

Saat ini ia menjabat Frank Henry Sommer Professor of Law di New York
University School of Law dan profesor filsafat di New York University (ia
mulai mengajar di sini sejak akhir 1970an). Saat ini pula ia menjadi pengajar
pendamping bersama Thomas Nagel dalam bidang politik, politik dan
filsafat sosial. Nagel sendiri adalah seorang akademisi di New York
University yang berminat dalam bidang etika dan moral yang liberal,
termasuk bidang teori-teori politik.

Karya-karya intelektualnya amat banyak, diantaranya adalah Taking Rights


Seriously (1977), The Philosophy of Law (1977), A Matter of Principle (1985),
Law's Empire. Cambridge (1986), Philosophical Issues in Senile Dementia
(1987), A Bill of Rights for Britain (1990), Life's Dominion: An Argument
About Abortion, Euthanasia, and Individual Freedom (1993), Freedom's Law:
The Moral Reading of the American Constitution (1996) Sovereign Virtue:
The Theory and Practice of Equality (2000), A Badly Flawed Election:
Debating Bush v. Gore, the Supreme Court, and American Democracy
(editor) (2002), From Liberal Values to Democratic Transition: Essays in
Honor of Janos Kis (editor) (2004), Justice in Robes (2006), Is Democracy
Possible Here? Principles for a New Political Debate (2006), The Supreme
Court Phalanx: The Court's New Right-Wing Bloc (2008) dan Justice for
Hedgehogs (2011).
Latar Belakang Pemikiran

Dworkin menegaskan bahwa untuk memahami hukum itu haruslah bermula


dari pengetahuan kita tentang kebudayaan itu sendiri. Hukum bisa berarti
beragam tergantung dari budaya setempat masing-masing. Kebudayaan
Anglo-Amerika masa kini menjauhkan penggunaan kekuatan yang koersif
dalam menerapkan hukum kepada masyarakat.

Intisari Gagasan Filsafat Hukum

1. Negara dan Masyarakat

Dworkin secara tajam menyoroti persoalan kekuatan negara yang


membenarkan tindakan pemaksaan negara terhadap warga negaranya.
Menurut Dworkin, pemaksaan itu sebenarnya disebabkan oleh alasan moral,
dan oleh sebab itu, Dworkin menolak pemikiran yang menyatakan berkat
kekuasaanlah, negara dapat memaksakan kehendaknya pada warganya.

2. Integritas Hukum

Dasar moral tadi menempatkan Dworkin berseberangan posisi dengan Hart.


Moralitas itu ada karena hukum itu tidak hanya memuat aturan, namun juga
memuat prinsip atau asas. Oleh sebab, setiap hakim dalam menentukan
putusannya harus berdasarkan pada sebuah tanggung jawab politik yang
konsisten dengan putusan-putusan lainnya. Putusan-putusan tersebut
bukan sebuah hal yang terisolasi, namun adalah sebuah kesatuan yang
komprehensif dengan prinsip dan kebijakan umum lainnya (The Rights
Theory). Posisi Dworkin yang demikian menegaskan bahwa ia
berseberangan dengan kaum positivis hukum yang setuju pada gagasan
legisme abad ke-19.

The Rights Theory yang mengedepankan asas sebagai patokan yang


bersifat moral ini bukan berarti bertujuan untuk menjembatani antara moral
dan hukum. Menurut Dworkin, moralitas itu adalah moral dalam suatu
sistem hukum, bukanlah moralitas yang bersifat pribadi.

3. Implikasi Epistemologis

Posisi intelektual Dworkin mengenai hukum itu tadi menegaskan bahwa


Dworkin tidak bermaksud menjelaskan hukum itu secara konseptual
maupun deskriptif, sebagaimana layaknya kaum positivis hukum. Dworkin
hanya berniat menjelaskan bahwa dalam hukum ada alasan moral,
sehingga setiap pembenaran akan penggunaan kekuatan hukum terhadap
warga masyarakat, itu semata-mata disebabkan oleh alasan kesetaraan
yang bersifat etis dan berlaku umum.

Begitu pula dalam hal penafsiran hukum, Dworkin mengingatkan tentang


eksistensi integritas (moral) yang menjadi patokan legislatif dan peradilan
dalam menetapkan undang-undang dan hukum. Namun, ia juga menyadari
bahwa tafsir peradilan itu pada prakteknya bukan sama dengan penafsiran.
Baginya itu adalah aplikasi hukum semata. Dworkin oleh sebab itu
menawarkan 3 tahap penafsiran, yakni; (1) pra-interpretasi, (2) interpretasi
dan (3) pascainterpretasi, menurut hemat dia, mencerminkan gagasan
tentang penafsiran itu sendiri.

Pandangan Dworkin yang demikian itu disebabkan oleh keyakinannya


bahwa hukum itu sebagaimana layaknya novel berseri yang satu sama
lainnya memiliki kesinambungan cerita. Baginya jika hukum tidak memiliki
kesinambungan, maka eksistensi hukum akan hilang di hadapan
masyarakat.

4. Peranan Peradilan

Dengan posisi filosofis demikian, Dworkin mengharapkan sebuah proses


peradilan yang memiliki koherensi yang komprehensif dalam membuat
hukum dan putusan. Koherensi yang komprehensif itu artinya tidak semata-
mata berada dalam lingkup peradilan semata, namun juga menjangkau
pada bidang politik. Itu bisa mungkin apabila hukum dan politik sama-sama
menempatkan moral sebagai prinsip utama.

Anda mungkin juga menyukai