Anda di halaman 1dari 20

Konsep Keadilan ditinjau dari Filsafat Hukum

Oleh:

Muhammad Dwi Septiyo

(15010348)

YAYASAN SEMARAK BENGKULU

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS PROF. DR. HAZAIRIN, S.H.

2021

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
hidayah-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul
“Konsep Keadilan Ditinjau dari Filsafat Hukum” ini tepat pada waktunya.
Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi
tugas pada bidang mata kuliah Filsafat Hukum. Selain itu, makalah ini juga
bertujuan untuk menambah wawasan bagi para pembaca dan juga bagi penulis.
Saya mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membagi
sebagian pengetahuannya sehingga saya dapat menyelesaikan makalah ini.
Saya menyadari, makalah yang saya tulis ini masih jauh dari kata sempurna.
Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun akan saya nantikan demi
kesempurnaan makalah ini.

Bengkulu, November 2021

Penulis

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN DEPAN......................................................................................i
KATA PENGANTAR....................................................................................ii
DAFTAR ISI.................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN...............................................................................1
1. Latar Belakang....................................................................................1
2. Rumusan Masalah...............................................................................2
3. Tujuan Dan Manfaat Penulisan..........................................................2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA....................................................................4
1. Konsep Keadilan.................................................................................4
2. Keadilan dalam Hukum di Indonesia.................................................6
BAB III PEMBAHASAN...............................................................................7
1. Pengertian Keadilan............................................................................8
Konsep Keadilan dalam Filsafat Hukum..........................................10
BAB IV PENUTUP......................................................................................16
1. Kesimpulan ......................................................................................16
2. Saran.................................................................................................16

DAFTAR PUSTAKA...................................................................................17

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Standar keadilan sering ditafsirkan berbeda. Keadilan itu sendiri
juga berbeda dalam berbagai disiplin ilmu seperti ekonomi dan hukum.
Berbicara tentang keadilan selalu menjadi topik yang penting dan menarik
karena selalu dikaitkan dengan perbandingan penegakan hukum. Ada
banyak proses yang tidak dapat diselesaikan atau diputuskan secara adil
karena terlibat dalam masalah politik. Karena kebenaran hukum dan
keadilan dimanipulasi secara sistematis, lembaga peradilan tidak dapat
mengambil keputusan yang adil karena belum melalui proses yang
semestinya, dan proses peradilan yang tidak bijaksana karena tidak
memuaskan masyarakat.
Keadilan merupakan persoalan pokok di dalam hukum. Keadilan
juga merupakan salah satu tujuan dari hukum. Namun banyak pula yang
menganggap bahwa keadilan masih tidak dapat dicapai melalui hukum
saat ini. Keadilan tidak sama dan sesederhana dengan sama rata. Keadilan
pada perkembangannya pun memiliki definisi yang berubah-ubah seiring
dengan perkembangan zaman dan pola pikir manusia. Hakekat definisi
keadilan yang sebenarnya sulit ditentukan. Bahkan setiap orang memiliki
pandangan yang subjektif tentang bagaimana itu keadilan.
Seperti diketahui, istilah keadilan selalu bertentangan dengan
istilah ketidakadilan. Di mana ada konsep keadilan, ada juga konsep
ketidakadilan. Oleh karena itu, tugas filsafat hukum adalah menjelaskan
secara filosofis nilai-nilai dasar hukum, yang dapat merumuskan cita
keadilan, tatanan kehidupan, sehingga filsafat hukum merupakan
hubungan hukum yang konkret.
Mengenai fungsi filsafat hukum, Roscoe Pound (1972)
menemukan bahwa para filsuf memecahkan masalah gagasan,
menciptakan hukum yang lengkap yang harus bertahan selamanya, dan

1
bahwa hukum itu disahkan, serta kekuatannya tidak akan pernah
dipertanyakan lagi.1
Filsafat hukum, kadang-kadang disebut filsafat hukum,
sebenarnya merupakan cabang dari filsafat manusia yang disebut etika
atau filsafat manusia. Filsafat Hukum dan Filsafat Hukum adalah ilmu-
ilmu yang mempelajari hukum secara filosofis, sehingga subjeknya adalah
hukum. Mengenai perbedaan antara hukum dan keadilan, Mr. Carzon
mengatakan bahwa hukum mencakup dan membahas semua masalah yang
berkaitan dengan hukum. Skala masalah yang ditangani ilmu ini begitu
besar sehingga memicu pendapat orang bahwa “tidak ada batasan yang
ditetapkan” (Rahardjo, 2000).2
Sehingga dari permasalahan di atas, penulis tertarik untuk menulis
makalah mengenai keadilan dengan judul “Konsep Keadilan Ditinjau dari
Filsafat Hukum”.

B. Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah dari latar belakang di atas adalah:


Bagaimanakah konsep keadilan ditinjau dari filsafat hukum?

C. Tujuan Dan Manfaat Penulisan

1. Tujuan Penulisan
Sebagaimana latar belakang dan rumusan masalah di atas, maka yang
menjadi tujuan penulisan adalah sebagai berikut untuk mengetahui
bagaimanakah konsep keadilan ditinjau dari filsafat hukum.
2. Manfaat Penulisan

1
Roscoe Pound, 1972, Pengantar Filsafat Hukum, Jakarta: Bhatara.
2
Satjipto Rahardjo, 2005, Scope and Purpose of Sociological Jurisprudence. USA: Havard Law
Review. Vol. 25, hlm. 7-8.

2
Diharapkan makalah ini dapat memberikan manfaat pengetahuan bagi
penulis, masyarakat, mahasiswa dan para pembaca mengenai konsep
keadilan ditinjau dari filsafat hukum.

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Keadilan
Masalah keadilan telah lama menjadi fokus para filosof Yunani. Ide
ini dilatarbelakangi oleh gejolak sosial, konflik internal, seringnya transisi
kekuasaan, dan banyak tirani dan kesewenang-wenangan. Humerus
mengklaim bahwa keadilan masih identik dengan perintah dan otoritas.
3
Para filosof Yunani berusaha menemukan esensi keadilan, mengakui
adanya pergolakan sosial, ketidakpuasan terhadap sistem pemerintahan
aristokrat, dan konflik antara hukum positif dan keadilan yang didasarkan
pada penyalahgunaan banyak otoritas. Misalnya, Platon yang menjadi dasar
konsep keadilan dari inspirasi, dan Aristoteles, yang mengembangkannya
berdasarkan penelitian ilmiah berdasarkan prinsip-prinsip rasional dan latar
belakang model dan hukum politik yang ada. Keduanya sepakat bahwa
keadilan adalah aspek mutlak dari "kebajikan".
Karya Plato mengenai keadilan termuat dalam Republic dan The
Law. Keadilan menurut Plato adalah kebijakan dalam arti keselarasan dan
keseimbangan batin. Aristoteles dalam Retorica mengemukakan bahwa
keadilan itu adalah cita-cita semua orang dan harus dipertahankan dalam
semua bidang kehidupan. Kemudian oleh Ulpianus, seorang ahli hukum
Romawi menegaskan dalam Digesta Institutiones dael I sebagai berikut:
Justitia est perpetua et constans voluntas jus suum cuique tribuendi,
keadilan adalah suatu keseimbangan yang berisi berilah kepada seseorang
apa yang menjadi bagian/haknya, suum cuique tribuere, memberikan apa
yang menjadi bagian/hak seseorang.

3
W. Friedmann, 1967, Legal Theory, New York: Columbia University Press.

4
Ternyata bahwa apa yang dikemukakan oleh Ulpianus di atas,
merupakan pengembangan dari teori keadilan Aristoteles yang membagi
keadilan atas : 4
 Justitia Distributiva
Keadilan yang memberikan kepada masing-masing
bagiannya atas dasar perbedaan, dimana diperhitungkan perbedaan
kualitasnya. Terjadi ketidakadilan apabila yang sama diberlakukan
tidak sama, dan yang tidak sama diberlakukan sama. Demikian
yang dialami Yesus, pada saat disalibkan di kayu salib di Golgota
berdasarkan putusan Pontius Pilatus.
 Justitia Vindicativa
Keadilan yang memberikan kepada masing-masing
bagiannya atas dasar keseimbangan (proporsi) masing-masing,
misalnya hukuman seimbang dengan kejahatan.
 Justitia Creativa
Keadilan yang memberikan kepada masing-masing bagian
kebebasan untuk menciptakan sesuatu atas kreativitasnya di bidang
ilmu dan kebudayaan.
 Justitia Prativa
Keadilan yang memberikan pengayoman kepada manusia.
Pertimbangan didasarkan kepada bahwa semua kekuasaan manusia
terhadap manusia harus dibatasi, yaitu pembatasan terhadap
kekuasaan yang membatasi hak dan kewajiban dasar manusia.
 Justitia Legalis
Kebajikan yang menyeluruh dalam hubungannya dengan
kepentingan umum dalam masyarakat. Agar penguasa setia kepada
janji dan bertindak menurut itikad baik.

4
Herman Sihombing, 1995, Keadilan di Bidang Hukum, Majalah Honeste Vivere No. 28 Tahun
VII.

5
Dun Scotus mengemukakan bahwa hanya pada Tuhan ada
keadilan, karena diatas Tuhan tidak ada hukum. Sementara Kelsen
mengemukakan bahwa terdapat dua tipe dasar perihal keadilan,
yaitu tipe rasionalistis dan tipe metafisis. Tokoh rasionalistis
adalah Aristoteles yang berusaha mencari hakikat keadilan melalui
kajian ilmiah secara logis. Sedangkan tipe metafisis yang
dipelopori Plato, percaya bahwa keadilan itu ada akan tetapi
sebagai kualitas yang fungsinya tidak dapat disamakan oleh
manusia. Keadilan terdapat dalam dunia lain, di luar pengalaman
manusia, dan akal manusia yang esensial bagi keadilan tunduk
pada cara-cara Tuhan yang tidak dapat diubah.
 Justitia Commutative
Keadilan yang memberikan kepada masing-masing
bagiannya atas dasar persamaan.

B. Keadilan dalam Hukum di Indonesia


Untuk mempertimbangkan keadilan hukum Indonesia, pertama-
tama kita perlu menjelaskan apa yang dimaksud dengan hukum. Undang-
undang dalam arti luas mengikat isi dan mencakup semua peraturan yang
berlaku umum bagi seluruh rakyat Indonesia. Intinya, apa yang terdapat
dalam TAP MPR(S) No. XX/MPR(S)/1966 jo TAP MPR No. V/ MPR/1973
tentang Tata Urutan Peraturan Perundangan Republik Indonesia, yaitu: 5
 UUD 1945
 TAP MPR
 Undang Undang dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang
Undang

5
Edward M.L. Panjaitan, 2018, Hukum Dan Keadilan dalam Persfektif Filsafat Hukum, Tô-râ:
Volume 4 Nomor 2, hlm. 47-51.

6
 Peraturan Pemerintah Keputusan Presiden Instruksi Presiden
 Dan Seterusnya
Sementara itu, melalui UU No. 11 Tahun 2012 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang Undangan ditetapkan yang merupakan
hukum dalam pengertian materil adalah : 6
 UUD Tahun 1945
 TAP MPR
 Undang Undang
 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang (Perpu)
 Peraturan Presiden (Perpres)
 Peraturan Pemerintah
 Keputusan Presiden
 Instruksi Presiden.
Dalam prakteknya, wujud keadilan dapat dilihat secara nyata dalam
setiap keputusan Hakim yang mengakhiri persengketaan para pihak
melalui lembaga peradilan. Dalam mengambil putusannya, sistem
peradilan (hukum formal) Indonesia sangat memungkinkan ketidakadilan,
oleh karena putusan Hakim sangat tergantung kepada keyakinan
hukumnya (subjektivitas). Jurisprudensi merupakan hal yang paling
penting untuk melihat pengakuan dan penerapan keadilan dalam hukum di
Indonesia disamping undang-undang itu sendiri. Jurisprudensi merupakan
hukum dalam prakteknya. Pancasila dan filosofinya telah dituangkan
dalam Batang Tubuh UUD 1945 dalam pasal-pasalnya. Pasalnya UUD itu
dirumuskan dalam hukum perundang-undangan dalam segala bentuknya
adalah hukum in Agemen dan in Abstracto. 7

BAB III

PEMBAHASAN
6
Edward M.L. Panjaitan, Op. Cit, hlm 6.
7
Ibid.

7
A. Pengertian Keadilan
Justice atau keadilan dalam bahasa Inggris memiliki banyak arti dan
makna karena merupakan bagian dari nilai abstrak. Dari awal perkembangan
peradaban manusia di dunia hingga saat ini, dari seluruh sejarah keadilan,
keadilan sering berubah wajah dan secara teratur membentuk berbagai
bentuk keadilan.8
Masalah keadilan sejalan dengan perkembangan filsafat hukum.
Evolusi filsafat hukum sebagai bagian dari evolusi filsafat secara
keseluruhan berkisar pada pertanyaan-pertanyaan spesifik yang muncul:
keadilan, kesejahteraan, dan kebenaran. Dari sekian banyak persoalan
tersebut, persoalan keadilan yang paling menonjol adalah soal hukum,
karena peraturan perundang-undangan seharusnya adil, namun sering kali
tidak konsisten dan bahkan diabaikan.
Hukum selalu diasosiasikan dengan keadilan, tetapi cukup empiris,
seperti yang dikatakan oleh Cicero, “Karena hukum harus adil, sifat hukum
tidak dapat disangkal sebagai ketidakadilan.” 9Sering kali tidak diakui. Hak
tanpa keadilan seperti membuat kari tanpa daging, yang bisa dikatakan tidak
ada artinya. Keadilan tanpa hukum, di sisi lain, seperti menyeberangi sungai
tanpa jembatan dan menyeret kaki Anda.
Keadilan adalah masalah hukum yang mendasar. Para naturalis
mengatakan bahwa tujuan utama hukum adalah keadilan. Namun, peradilan
memiliki relativisme karena tujuan hukum sering mengambang karena
sifatnya yang abstrak, meluas dan kompleks. Oleh karena itu, tujuan hukum
harus lebih realistis. Tujuan hukum yang sangat realistis adalah kepastian
hukum dan kemanfaatan hukum. Tetapi meskipun positivisme menekankan
kepastian hukum dan fungsionalis mengutamakan kemanfaatan hukum, kita
juga dapat mengatakan summ ius, summa injuria, summa lex, summa crux
(kecuali keadilan dapat membantu, hukum yang ketat dapat merugikan).

8
Efran Helmi Juni, 2012, Filsafat Hukum, Bandung: Pustaka Setia Buku.
9
http://telaahhukum.blogspot.com/2016/02/konsep-keadilan-ditinjau-dari-filsafat.html diakses
tanggal 13 November 2021 pukul 11:00 wib.

8
Tujuan hukum bukan sekedar keadilan, tetapi tujuan utama hukum adalah
keadilan.
Aristoteles, seorang pemikir Yunani mengatakan bahwazunicuique
suum tribuere (memberikan kepada setiap orang sesuatu yang menjadi
haknya) dan neminem laedere (janganlah merugikan orang lain) atau
lengkapnya menurut Kant, honeste vivere, neminem laeder, suum quique
tribuere/tribuendi. Berdasarkan pemikiran yang demikian, titik berat para
pejuang keadilan berusaha untuk memperjuangkan agar negara memberikan
keadilan kepada yang berhak memperolehnya. Jika seseorang mempunyai
hak atas sesuatu, maka kita wajib memberikan hak itu kepadanya.
Keadilan dapat mengacu pada tiga hal: situasi, tuntutan, dan
kebajikan. Keadilan sebagai suatu kondisi menyatakan bahwa setiap orang
berhak untuk memperoleh apa yang distribusikan kepada mereka dan untuk
memperlakukan mereka secara setara.
a. Keadilan sebagai tuntutan adalah bahwa setiap orang mengambil
tindakan yang diperlukan (bertindak bila perlu dan rasional dalam arti
keadilan) atau menjauhi tindakan yang tidak adil (berbuat baik dan
menghindari ketidakadilan), artinya memiliki hak untuk menuntut
terciptanya keadilan. Keadilan sebagai prioritas selalu merupakan
tekad untuk berpikir, berbicara dan bertindak secara adil, yang
merupakan kejujuran yang substansial.10
b. Keadilan adalah kondisi kebenaran yang ideal secara moral untuk
segala sesuatu, baik itu seseorang atau seseorang. Inti dari keadilan
adalah menempatkan segala sesuatu pada tempatnya.11
c. Keadilan material adalah keadilan yang dapat dinikmati oleh semua
warga negara. Dalam perwujudan tersebut terdapat keseimbangan,
keselarasan dan relevansi antara keadilan individu dan keadilan
kolektif atau sosial.12

10
Dominikus Rato, 2011, Filsafat Hukum: Mencari, Menemukan, dan Memahami Hukum,
Surabaya: LaksBang Justitia.
11
https://id.wikipedia.org/wiki/Keadilan diakses tanggal 13 November 2021 pukul 11:08 wib.
12
Dominikum Rato, Op. Cit, hlm. 9.

9
B. Konsep Keadilan dalam Filsafat Hukum
a. Menurut Plato
Menurut Socrates, filsuf Yunani yang luar biasa ini tidak secara
khusus berbicara tentang keadilan. Gagasannya tentang keadilan
tercermin dalam pandangan Plato. Menurut Plato, keadilan hanya dapat
ada dalam undang-undang dan tata cara yang dikeluarkan oleh para ahli
yang menanganinya secara khusus. Dalam bukunya, The Laws, Plato
tidak hanya memperluas pemikirannya tentang hukum, tetapi juga
keadilan. Di sisi lain, khususnya hukum ada dalam bukunya yang lain,
Republik.
Keadilan dan Hukum memiliki ikatan yang sangat kuat. Keadilan
dicapai melalui penegakan hukum. Menurut Plato, hak adalah badan
legislatif yang maha tahu, hukum positif negara. Baginya, negara adalah
satu-satunya sumber hukum. Dengan mengatakan bahwa keadilan hanya
ada pada hukum yang dibuat oleh negara, maka ia tergolong monisme
hukum, dan sebenarnya monisme hukum lahir dari Plato. Monisme
berasal dari kata “sesuatu” yang berarti tunggal atau adil.
Oleh karena itu, filsafat hukum Plato mengingatkan pada filsafat
nasional totaliter modern, yang menempatkan semua aspek kehidupan
individu di bawah kendali hukum dan administrasi negara. Menurut
Plato, hukum adalah sungai emas, perwujudan dari “cara berpikir yang
benar” (the right way of thinking). Namun, isi dan sumber ide-ide ini
oleh Plato tidak dijelaskan.13 Plato menanggapinya dengan membuat
standar keadilan “baik” dalam arti keselarasan dan pertimbangan
internal, tetapi tidak dapat dikenali atau dijelaskan dengan argumen-
argumen yang “masuk akal”. Plato melihat keadilan sebagai hubungan
yang harmonis dengan berbagai organisme sosial. Semua warga negara
harus menunaikan tugasnya sesuai dengan kedudukan dan sifatnya.14
13
Ibid.

14
Efran Helmi Juni, Op. Cit, hlm. 8.

10
b. Menurut Aristoteles
Aristoteles adalah filosof pertama yang merumuskan arti
keadilan. Ia mengatakan bahwa keadilan akan memberikan kepada
setiap orang apa yang menjadi hak mereka, fiat jutitia bereatmundus.
Dalam pengertian ini, Aristoteles membedakan antara dua jenis
keadilan: Justitia correctiva (keadilan) dan justitia distributor (keadilan
distributif). Justitia correctiva disebut juga sebagai keadilan refitikator,
yang mirip dengan keadilan komutatif Thomas Aquinas, atau keadilan
berdasarkan transaksi yang dilakukan secara sukarela atau wajib.
Keadilan ini biasanya terjadi di bidang hukum privat, seperti jual beli,
barter, dan leasing.
Justitia distributiva adalah keadilan distributif yang menghendaki
adanya pembagian imbalan. Keadilan ini berkaitan dengan hukum
publik. Perwujudan keadilan menyangkut kesediaan mereka untuk
bertindak adil atau tidak adil, tetapi juga terhadap ketertiban umum,
yaitu struktur proses politik, ekonomi, sosial dan budaya dalam
masyarakat dan bangsa pada umumnya. Misalnya, apakah upah seorang
pekerja adil, tidak adil, atau ditetapkan dengan tidak semestinya, tidak
hanya bergantung pada rasa keadilan majikan, tetapi juga pada kondisi
sosial, politik, dan ekonomi secara umum.
Keadilan (justitia correctiva) adalah keadilan yang memberikan
jumlah yang sama kepada setiap orang. Prinsip kesetaraan berlaku di
sini terlepas dari layanan atau amal. Ia berperan dalam hubungan hukum
antara pertukaran barang atau jasa. Di sana, harus ada sebanyak
mungkin kesamaan antara pertukaran. Penjara memiliki kontrol yang
lebih baik atas hubungan hukum antar individu. Pengertian ini mirip
dengan konsep keadilan komutatif atau Justitia commutativa oleh
Thomas Aquinas.
Menurut Aristoteles, situasi keadilan adalah situasi di mana
terdapat dua keseimbangan ekstrem atau titik tengah, karena hanya ada

11
dua kemungkinan dari dunia moral dalam berbagai keadaan.
Ketidaktaatan dan kebajikan. Pandangan ini mirip dengan pandangan
Plato. Menurut Plato, harmoni adalah keadaan keseimbangan batin
dalam pikiran dan tidak dapat dianalisis secara rasional. Dalam ajaran
Aristoteles, dan dalam tulisannya tentang Etichanikomatia, sering
disebut sebagai "ajaran Mesotheles". Ketika saya memperhatikan ajaran
Aristoteles, tampaknya menyamakan hukum dengan moralitas. Ajaran
ini telah berulang kali dikritik oleh Hans Kelsen, yang menyebut
Aristoteles sebagai seorang filosof moral. Hal ini dapat dimengerti
karena Hans Kelsen menyatakan bahwa hukum dan moralitas adalah dua
hal yang berbeda, bahwa hukum harus dipisahkan dari moralitas, dan
bahwa hukum harus murni dan objektif.
Pandangannya yang sangat penting adalah pandangan bahwa
keadilan harus dipahami dalam arti persamaan. Namun, Aristoteles
membuat perbedaan penting antara kesetaraan numerik dan kesetaraan
proporsional. Kesetaraan numerik menganggap semua manusia sebagai
satu kesatuan. Itulah yang biasanya kita pahami dengan persamaan hari
ini, dan apa yang kita maksudkan ketika kita mengatakan bahwa di
bawah hukum semua warga negara adalah sama. Kesetaraan
proporsional memberdayakan semua orang, tergantung pada
kemampuan dan prestasi mereka. Berdasarkan perbedaan ini, Aristoteles
menghadirkan banyak kontroversi dan perdebatan tentang keadilan.15

c. Menurut Thomas von Aquinas


Thomas Aquinas mencatat ajarannya dalam bukunya, Summa
Theologica, selama bertahun-tahun pada masa pemerintahan Gereja
Katolik. Inti ajarannya berkaitan dengan hukum alam. Dalam ajarannya,
Thomas Aquinas menjalin hubungan antara nilai-nilai agama dan ajaran
15
Carl Joachim Friedrich, 2010. Filsafat Hukum: Perspektif Historis, Nusa Media.

12
ilmiah dengan tetap berpegang pada ajaran Agustinus Pra-Olastisisme
(Filsafat Gereja Katolik). Pandangan utamanya adalah bahwa
"kebenaran hanya ada di dalam gereja". Dari sudut pandangnya, semua
ilmu pengetahuan harus sesuai dengan ajaran Gereja (Katolik). Doktrin
yang bertentangan dengan ajaran Gereja Katolik harus ditolak.
Filsuf hukum alam Thomas Aquinas membagi keadilan menjadi
dua jenis: justitia generalis/universalis dan justitia specicalis. Keadilan
umum adalah keadilan menurut kehendak hukum dan dilakukan,
dihilangkan atau dihindari untuk kepentingan umum. Di departemen
hukum Thomas Aquinas, keadilan ini disebut Justice Regalis, atau
keadilan berdasarkan hukum. Keadilan khusus adalah keadilan yang
berdasarkan kesetaraan atau proporsionalitas. Keadilan khusus ini
(justitia specicalis) dapat dibagi lagi menjadi tiga. Yaitu, keadilan
distributif (justitia distributiva), keadilan berdasarkan kesatuan (justitia
commutativa), dan keadilan pemberian (justitia vindicativa). 16

d. Menurut Hans Kelsen


Hans Kelsen adalah salah satu tokoh utama dalam teori hukum
murni, yang menekankan bahwa konsep hukum harus dibedakan dari
konsep hukum. Baginya, keadilan itu filosofis, bukan legal. Peradilan
tidak memberikan jawaban atas kekuatan penegakan hukum. Jawaban
menegakkan hukum agar aturan itu ditegakkan dan harus dipatuhi sangat
bergantung pada hubungan antara hukum dan keadilan. Hubungan
tersebut pada dasarnya meminjam pandangan Gustav Radbruch bahwa
“hukum bisa menjadi tidak adil, tetapi hukum hanya hukum karena ingin
menjadi keadilan.” Namun, hubungan antara hukum dan keadilan yang
dikembangkan oleh Radbruch tidak menjelaskan banyak pertanyaan
tentang hakikat keadilan, sehingga timbul pertanyaan kapan hukum
mendorong penegakan hukum. Namun, pandangan Kelsen harus

16
Dominicus Rato, Op. Cit.

13
dibandingkan dengan Radbruch. Ketika keadilan berada di luar hukum,
orang dapat mencari keadilan tanpa melalui hukum.
Hans Kelsen, di satu sisi, menganalisis posisi teori hukum alam
secara rinci, dan di sisi lain, membawa doktrin positivisme ke
kesimpulan berikut. Norma keadilan metafisik pada dasarnya muncul
dari doktrin hukum alam yang idealis. Sebab, seperti yang terjadi dalam
idealisme Plato, ideologi dalam hukum alam juga berarti dualisme
dalam norma-norma keadilan. Yang satu norma keadilan, sumbernya
bersifat transendental, dan yang kedua adalah keadilan yang berasal dari
hati manusia yang arif (bijaksana). Itulah sebabnya doktrin hukum
kodrat bersifat monistik karena hanya mengakui satu jenis keadilan,
yaitu keadilan dari hukum positif yang diterapkan oleh manusia.
Kemudian, Hans Kelsen mengambil sikap dengan
mengembangkan pandangan yang kemudian dikenal sebagai Prinsip
Murni. Dia menekankan bahwa doktrin murni yang dia kembangkan
bersifat monistik dan oleh karena itu hanya mengakui satu jenis hukum,
yaitu hukum positif. Meskipun demikian, Kelsen tetap mempertahankan
metode doktrin hukum kodrat, karena doktrin hukum murni mengakui
peran norma-norma dasar yang merupakan produk dari proses
transendental. Norma-norma dasar tersebut bukanlah hukum apapun
selain hukum positif, melainkan norma-norma dasar yang menjadi
landasan moral dari hukum positif itu sendiri. Kelsen adalah seorang
Platonis, tetapi dia juga mengkritik pandangan Plato, seperti terlihat di
atas, sehingga Kelsen memiliki pandangannya sendiri tentang idealis
Plato yang kritis.

e. Menurut John Rawls


Tentang Keadilan, John Rawls berpendapat bahwa harus ada
keseimbangan, persamaan dan keselarasan antara kepentingan individu
dan kepentingan bersama atau masyarakat, termasuk negara. Bagaimana

14
kebesaran dan keseimbangan ini dibentuk, diperjuangkan dan diberikan
disebut keadilan. Keadilan tidak bisa diberikan dengan cara itu, tetapi
diberikan melalui perjuangan. Itulah inti dari kehidupan ini. Keadilan
adalah nilai yang tidak bisa ditawar-tawar. Karena stabilitas dan
kedamaian hidup manusia hanya dijamin oleh keadilan. Aturan yang
adil perlu dibentuk untuk menghindari konflik antara kepentingan
pribadi dan kepentingan bersama atau kepentingan masyarakat. Di sini,
hukum bertindak sebagai arbiter. Dia bukan hanya seorang arbiter yang
tidak bermoral, tetapi juga seorang arbiter yang adil. Dalam masyarakat
modern, hukum baru dipatuhi ketika prinsip-prinsip keadilan dapat
ditegakkan.
Hukum John Rawls dalam konteks yang dibahas tidak boleh
dianggap sebagai penengah yang tidak memihak dan simpatik bagi
orang lain, seperti yang diajarkan oleh utilitarianisme. Itu tidak cukup.
Hukum tidak netral, tetapi Anda harus selalu menjadi hakim di sisi,
yaitu di sisi kebenaran dan keadilan. Menurut Rolls, hukum harus
menjadi pedoman bagi orang untuk mengambil posisi dan
mempertimbangkan kepentingan pribadi mereka. Jika itu benar-benar
diperlukan, hukum juga bisa menjadi hakim yang adil. Dengan kata lain,
di pihak mereka yang tidak mendapatkan keadilan, mereka tertinggal.
Oleh karena itu, hukum dapat mengambil keputusan, stand by, dan
berani berbuat. Artinya, Anda harus bisa membela mereka yang berhak
atas perlakuan dan keadilan. Perlu dicatat bahwa John Rawls
menyatakan bahwa hukum adalah wasit, bukan pemain. Sebagai seorang
arbiter, ia harus berpihak pada kebenaran, yaitu keadilan.

BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

15
Keadilan adalah kondisi kebenaran yang ideal secara moral untuk
segala sesuatu, baik itu seseorang atau seseorang. Inti dari keadilan adalah
menempatkan sesuatu pada tempatnya. Keadilan material adalah keadilan
yang dapat dinikmati oleh semua warga negara. Untuk mencapai hal
tersebut, ada keseimbangan, keselarasan, dan keselarasan antara keadilan
individu dan keadilan kolektif atau sosial. Para filosof dan ahli memiliki
pendapat yang berbeda ketika menafsirkan konsep keadilan.
B. Saran
Diharapkan kepada semua praktisi hukum sebaiknya mempelajari
konsep keadilan secara filosofis agar dapat menjalankan tugas dan
pekerjaannya dengan lebih baik dan benar.

DAFTAR PUSTAKA

a. Buku

16
Carl Joachim Friedrich, 2010. Filsafat Hukum: Perspektif Historis, Nusa
Media.

Dominikus Rato, 2011, Filsafat Hukum: Mencari, Menemukan, dan


Memahami Hukum, Surabaya: LaksBang Justitia.

Efran Helmi Juni, 2012, Filsafat Hukum, Bandung: Pustaka Setia Buku.

Roscoe Pound, 1972, Pengantar Filsafat Hukum, Jakarta: Bhatara.

W. Friedmann, 1967, Legal Theory, New York: Columbia University


Press.

b. Jurnal
Edward M.L. Panjaitan, 2018, Hukum Dan Keadilan dalam Persfektif
Filsafat Hukum, Tô-râ: Volume 4 Nomor 2, hlm. 47-51.

Herman Sihombing, 1995, Keadilan di Bidang Hukum, Honeste Vivere


No. 28 Tahun VII.

Satjipto Rahardjo, 2005, Scope and Purpose of Sociological


Jurisprudence. USA: Havard Law Review. Vol. 25, hlm. 7-8.

c. Internet
https://id.wikipedia.org/wiki/Keadilan diakses tanggal 13 November 2021
pukul 11:08 wib.
http://telaahhukum.blogspot.com/2016/02/konsep-keadilan-ditinjau-dari-
filsafat.html diakses tanggal 13 November 2021 pukul 11:00 wib.

17

Anda mungkin juga menyukai