Anda di halaman 1dari 50

REFERAT

ASPEK MEDIKOLEGAL DOKTER LAYANAN PRIMER DI KLINIK PRATAMA

DOSEN PENGUJI :
dr. Arif Rahman Sadad, SH, MSiMed, Sp.F, DHM
RESIDEN PEMBIMBING :
dr. Agung Hadi Pramono, MH(Kes)

Disusun Oleh :
Barbie Nurdilia Rojalih
Auliana Danisya
Sheilla Ratnasari
Syifa Puspa Pertiwi
Chandra Hidayat
Tegar Aulia Fadlilah

1420221129
1410221078
1410221082
1410221126
1410221071
1410221118

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KEDOKTERAN FORENSIK DAN


MEDIKOLEGAL
RUMAH SAKIT UMUM PUSAT Dr. KARIADI SEMARANG
Periode 23 Mei 18 Juni 2015

HALAMAN PENGESAHAN
REFERAT ILMU KEDOKTERAN FORENSIK DAN MEDIKOLEGAL

ASPEK MEDIKOLEGAL DOKTER LAYANAN PRIMER DI KLINIK PRATAMA

Diajukan untuk memenuhi tugas dan melengkapi syarat dalam memenuhi


Program Pendidikan Profesi Dokter

Disusun Oleh :

Barbie Nurdilia Rojalih


Auliana Danisya
Sheilla Ratnasari
Syifa Puspa Pertiwi
Chandra Hidayat
Tegar Aulia Fadlilah

Pembimbing

dr. Agung Hadi Pramono, MH(Kes)

1420221129
1410221078
1410221082
1410221126
1410221071
1410221118

Penguji

dr. Arif Rahman Sadad, SH, MSiMed, Sp.F, DHM

Kata Pengantar
Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat-Nya sehingga
kami dapat menyelesaikan referat dengan judul Aspek Medikolegal Dokter Layanan Primer di
Klinik Pratama yang merupakan salah satu syarat dalam melaksanakan kepaniteraan klinik di
bagian Ilmu Kedokteran Forensik Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Kariadi Semarang.
Kami juga mengaucapkan terima kasih kepada :
1
2
3

dr. Arif Rahman Sadad, SH, MSiMed, Sp.F, DHM sebagai penguji referat
dr. Agung Hadi Pramono, MH(Kes) sebagai residen pembimbing
Seluruh pembimbing dibagian Ilmu Kedokteran Forensik Rumah sakit Umum Pusat Dr.

Kariadi Semarang atas ilmu dan bimbingannya


Seluruh rekan dokter muda di kepaniteraan klinik Ilmu Kedokteran Forensik dan
Medikolegal, serta semua pihak yang telah membantu dalam pembuatan referat ini.
Kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari para pembaca

sehingga tulisan ini dapat menjadi lebih baik.

Semarang, 4 Juni 2016

Penulis

Daftar Isi
Hal
Halaman Pengesahan

Kata Pengantar

ii

Daftar Isi

iii

BAB I PENDAHULUAN
1
2
3

Latar Belakang
Rumusan Masalah
Tujuan Penulisan

1
2
2

BAB II PEMBAHASAN
2.1 Pengertian aspek medikolegal

2.2 Pengertian Sistem Rujukan dan Rujukan

2.3 Jenis Rujukan

2.4 Langkah Sistem Rujukan

11

2.5 Alur Sistem Rujakan

24

2.6 Surat Pengantar Rujukan

29

2.7 Acuan Untuk Merujuk Bagi Dokter Umum

29

BAB II PENUTUP
3.1 Kesimpulan

37

3.2 Saran

38

Daftar Pustaka

iv

BAB I
PENDAHULUAN
1.1

Latar Belakang

Kesehatan adalah hak asasi setiap umat manusia, oleh karena itu pada pasal 28 H Undang
-Undang Dasar 1945 ayat (1) diamanatkan bahwa Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan
batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak
memperoleh pelayanan kesehatan, sedangkan pada Pasal 34 ayat (2) dan ayat (3) dikatakan
bahwa Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan
masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan serta Negara
bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum
yang layak. Sistem Jaminan Sosial Nasional yang dimulai pada tanggal 1 januari 2014
merupakan perwujudan dari upaya pemerintah untuk memenuhi target pemerataan pelayanan
kesehatan agar seluruh masyarakat Indonesia dapat terjamin kesehatannya secara komprehensif.
Sistem pelayanan kesehatan kepada masyarakat yang selama ini dilaksanakan tidak terstruktur,
harus sudah dimulai pelaksanaannya agar terstruktur sesuai dengan sistem rujukan yang telah
ditetapkan. Tujuannya adalah untuk menjamin aksesbilitas masyarakat kepada fasilitas pelayanan
kesehatan yang memadai, mendorong standar mutu pelayanan kesehatan secara rasional serta
mendorong efisiensi pelayanan kesehatan sehingga seluruh masyarakat Indonesia memperoleh
manfaat jaminan perlindungan kesehatan guna memenuhi kebutuhan dasarnya. Oleh karena itu,
pembenahan dan optimalisasi berbagai aspek dari seluruh fasilitas kesehatan di Indonesia sangat
diperlukan.
1.2 Rumusan Masalah
1.
2.
3.

Apa pengertian Dokter Layanan Primer, serta tugas pokok profesi?


Apa itu Fasilitas Pelayanan Kesehatan Pratama?
Aspek yuridis dokter layana primer di Klinik Pratama ?

1.3 Tujuan Penulisan


Tujuan Umum :

Memberikan pengetahuan kepada dokter dan dokter muda tentang aspek medikolegal sistem
rujukan pada bidang kesehatan di Indonesia.
Tujuan Khusus :
1.
2.
3.
4.
5.
6.

Mengetahui pengertian rujukan dan sistem rujukan, serta hukum yang mendasarinya
Mengetahui jenis rujukan dan hukum yang mendasarinya
Mengetahui langkah sistem rujukan dan hukum yang mendasarinya
Mengetahui alur sistem rujukan serta dasar hukum yang mendasarinya
Mengetahui bentuk surat pengantar rujukan sesuai hukum yang mengaturnya
Mengetahui apa yang digunakan sebagai acuan untuk merujuk bagi dokter umum serta
hukum yang mendasarinya

1.4 Pengertian
1. Fasilitas Kesehatan adalah fasilitas pelayanan kesehatan yang digunakan untuk
menyelenggarakan upaya pelayanan kesehatan perorangan, baik promotif, preventif,
kuratif maupun rehabilitatif yang dilakukan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah,
dan/atau Masyarakat.
2. Klinik adalah fasilitas pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan
kesehatan perorangan yang menyediakan pelayanan medis dasar dan/atau spesialistik,
diselenggarakan oleh lebih dari satu jenis tenaga kesehatan (perawat, dan atau bidan) dan
dipimpin oleh seorang tenaga medis (dokter, dokter spesialis, dokter gigi atau dokter gigi
spesialis).
3. Klinik Pratama adalah klinik yang menyelenggarakan pelayanan medik dasar.
4. Pelayanan medik adalah kegiatan pelayanan kesehatan yang diberikan kepada pasien
sesuai dengan standar pelayanan medis dengan memanfaatkan sumberdaya dan fasilitas
secara optimal.
5. Pelayanan Kesehatan Tingkat Pertama adalah pelayanan kesehatan perorangan yang
bersifat non spesialistik (primer) meliputi pelayanan rawat jalan dan rawat inap.
6. Tenaga Medis adalah dokter, dokter spesialis, dokter gigi atau dokter gigi spesialis.
8. Jaminan Kesehatan adalah jaminan berupa perlindungan kesehatan agar peserta
memperoleh manfaat pemeliharaan kesehatan dan perlindungan dalam memenuhi
kebutuhan dasar kesehatan yang diberikan kepada setiap orang yang telah membayar
iuran atau iurannya dibayar oleh pemerintah.

9. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan yang selanjutnya disingkat BPJS


Kesehatan adalah badan hukum yang dibentuk untuk menyelenggarakan program
Jaminan Kesehatan.

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian aspek medikolegal

Medikolegal secara harafiah berasal dari dua pengertian yaitu medik yang berarti profesi
dokter dan legal yang berarti hukum. Sehingga batasan medikolegal adalah ilmu hukum atau
suatu tata cara baku yang mengatur bagaimana profesi dokter ini dilakukan sehingga
memenuhi aturan-aturan hukum yang ada. Medikolegal menurut KBBI adalah berkaitan, baik
dengan kesehatan maupun hukum.5,6
2.2 Konsep pelayanan kesehatan primer dalam era jaminan kesehatan nasional
Pengelolaan upaya kesehatan yang terpadu, berkesinambungan, paripurna dan
berkualitas, meliputi upaya peningkatan, pencegahan , pengobatan, dan pemulihan, yang
diselenggarakan guna menjamin tercapainya derajat kesehatan masyarakat yang
setinggitingginya.
Unsur Subsistem Upaya Kesehatan :
a. Upaya Kesehatan
b. Fasilitas pelayanan kesehatan
c. Sumber daya Upaya Kesehatan
d. Pembinaan dan pengawasan upaya kesehatan

Pelayanan Kesehatan Dasar (Primary Health Care) adalah pelayanan kesehatan esensial
yang diselenggarakan berdasarkan tatacara dan teknologi praktis, sesuai dengan kaedah ilmu

pengetahuan serta diterima oleh masyarakat, dapat dicapai oleh perorangan dan keluarga dalam
masyarakat melalui peran aktif secara penuh dengan biaya yang dapat dipikul oleh masyarakat
dan negara untuk memelihara setiap tahap perkembangan serta yang didukung oleh semangat
kemandirian dan menentukan diri sendiri (WHO, 1978).
Pentingnya pelayanan kesehatan primer:

Tulang punggung pelayanan kesehatan


Titik berat pelayanan kesehatan primer adalah promosi dan prevensi yang mendorong
meningkatnya peran serta dan kemandirian masyarakat dalam mengatasi berbagai faktor

risiko kesehatan
Keberhasilan pelayanan kesehatan primer akan mendukung pelaksanaan jaminan sosial

kesehatan nasional, dimana akan mengurangi jumlah pasien yang di rujuk


Mengurangi biaya pelayanan kesehatan yang bersifat kuratif
Pelaksanaan pelayanan kesehatan primr di daerah yang baik akan mendukung
pembangunan kesehatan nasional

Optimalisasi Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer Sebagai Gate Keeper adalah dokter
yang berwenang mengatur pelayanan kesehatan bagi peserta, sekaligus bertanggungjawab dalam
rujukan pelayanan kesehatan lanjutan sesuai kebutuhan medis peserta.
Gate keeper adalah dokter yang bekerja pada pelayanan kesehatan primer, yang pertama kali
ditemui masyarakat, antara lain:

Dokter/Dokter Gigi di Klinik Puskesmas


Dokter/Dokter Gigi di Klinik Pratama
Dokter/Dokter Gigi Praktik Mandiri

Tugas gate keeper:

Pelayanan sesuai kebutuhan medik peserta dan holistic


Promotif dan preventif
Personalisasi layanan dokter pasien/keluarga

Prinsip pelayanan dokter layanan primer:


1. Pelayanan Tingkat Pertama (primary care)
2. Pelayanan yang mengutamakan promosi dan pencegahan (promotif dan preventive)
3. Pelayanan bersifat pribadi (personal care)
4. Pelayanan paripurna (comprehensive care)

5. Pelayanan menyeluruh (holistic care)


6. Pelayanan terpadu (integrated care)
7. Pelayanan berkesinambungan (continuum care)
8. Koordinatif dan kerjasama
9. Berorientasi pada keluarga dan komunitas (family and community oriented)
10. Patient safety
2.3 Klinik Pratama
Dalam Permenkes 9/2014, Klinik dibagi menjadi 2 (yaitu):
-

Klinik Pratama, merupakan klinik yang menyelenggarakan pelayanan medik dasar (bisa
dibentuk oleh perorangan dan badan usaha).
Klinik Utama, merupakan klinik yang menyelenggarakan pelayanan medik spesialistik
atau pelayanan medik dasar dan spesialistik (harus berbentuk badan hukum).

Bangunan dan Ruangan Klinik Klinik diselenggarakan pada bangunan yang permanen dan tidak
bergabung dengan tempat tinggal atau unit kerja lainnya. Bangunan klinik harus memperhatikan
fungsi, keamanan, kenyamanan dan kemudahan dalam pemberian pelayanan serta perlindungan
dan kesalamatan bagi semua orang termasuk penyandang cacat, anakanak dan orang lanjut usia.
Bangunan klinik paling sedikit terdiri atas:
a. Ruang pendaftaran/ruang tunggu
b. Ruang konsultasi dokter
c. Ruang administrasi
d. Ruang tindakan
e. Ruang farmasi
f. Kamar mandi/wc
g. Ruang lainnya sesuai kebutuhan pelayanan.

Klinik yang menyelenggarakan pelayanan rawat inap hanya dapat memberikan pelayanan
rawat inap maksimal selama 5 (lima) hari dan klinik harus menyediakan:
a. Ruang rawat inap yang memenuhi persyaratan
b. Tempat tidur pasien minimal 5 (lima) maksimal 10 (sepuluh)
c. Tenaga medis dan keperawatan yang sesuai jumlah dan kualifikasinya

d. Tenaga gizi, tenaga analis kesehatan, tenaga kefarmasian dan tenaga kesehatan dan/atau tenaga
non kesehatan lain sesuai kebutuhan
e. Dapur gizi
f. Pelayanan laboratorium Klinik Pratama.
Klinik dapat menyelenggarakan pelayanan laboratorium klinik dimana perizinan
laboratorium klinik terintegrasi dengan perizinan kliniknya. Klinik juga menyelenggarakan
pengelolaan dan pelayanan kefarmasian melalui ruang farmasi yang dilaksanakan oleh apoteker
yang memiliki kompetensi dan kewenangan untuk itu. Apabila klinik berada di daerah yang tidak
terdapat apoteker, maka pelayanan kefarmasian dapat dilaksanakan oleh tenaga teknis
kefarmasian. Ruang farmasi hanya dapat melayani resep dari tenaga medis yang bekerja di klinik
yang bersangkutan (Menkes RI, 2011).

2.4 Dokter layanan primer


Belakangan ini kita sering mendengar istilah dokter layanan primer (DLP). Apalagi
dengan berlakunya JKN pada tanggal 1 Januari 2014, peran dokter layanan primer akan semakin
dibutuhkan. Dokter layanan primer ditekankan agar tidak hanya bergerak di bidang curative, tapi
juga bergerak di bidang preventive, sehingga mendukung terciptanya paradigma sehat di
Indonesia. Kita sebagai mahasiswa kedokteran yang nantinya akan berkecimpung di dunia medis
tentunya harus mengikuti perkembangan-perkembangan di dunia medis baik dari segi keilmuan
maupun kebijakan pemerintah.
Pengertian Dokter layanan primer tercantum dalam UU No. 20 tahun 2013 mengenai
Pendidikan Dokter. Pada pasal 8 ayat 3 UU No 20 tahun 2013 disebutkan bahwa dokter layanan
primer adalah jenjang baru pendidikan yang dilaksanakan setelah program profesi dokter dan
program internship, serta setara dengan jenjang pendidikan profesi spesialis. Gelar yang akan
diberikan kepada dokter yang telah lulus program pendidikan dokter layanan primer adalah
SpFM (spesialis Famili Medisin). DLP nantinya diharapkan dapat bertindak sebagai gate
keeper yang akan menangani sebagian besar kasus di masyarakat sendiri hingga tuntas. DLP
diharapkan dapat memberikan pelayanan yang bersifat holistik, preventif dan promotif
dibandingkan kuratif. Di lain pihak, DLP juga harus berorientasi pada kedokteran keluarga,
okupasi, komunitas, manajerial, dan kepemimpinan.

Respon dari dunia pendidikan terhadap berlakunya JKN adalah dengan membuka
program pendidikan DLP. Salah satu syarat dari pembukaan prodi ini adalah universitas yang
bersangkutan dapat mempertahankan atau memiliki akreditasi A sesuai dengan pasal 8 ayat 1 UU
No. 20 tahun 2013. Berdasarkan data Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi hanya ada 16
program studi pendidikan dokter yang terakreditasi A di Indonesia. FK Unud juga akan
membuka program pendidikan DLP pada tahun 2016 jika dapat mempertahankan akreditasi A.
Program pendidikan layanan primer dapat ditempuh selama tiga tahun sehingga
kedepannya mahasiswa kedokteran dapat memilih five carrier pathways yaitu sebagai dokter
umum, dokter layanan primer, dokter spesialis, dosen, maupun peneliti. Pada tahun 2019,
Indonesia diharapkan sudah dapat mencetak dokter layanan primer bersamaan dengan target
BPJS yaitu pada tahun 2019 seluruh masyarakat Indonesia telah mengikuti JKN. Bunyi pasal 8
ayat 3 UU No. 20 tahun 2013 yaitu, Program dokter layanan primer sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) merupakan kelanjutan dari program profesi dokter dan program internsip yang
setara dengan program dokter spesialis berarti program pendidikan dokter layanan primer dapat
ditempuh oleh mahasiswa yang telah lulus uji kompetensi (exit exam) dan menjalani internship
serta merupakan jenjang pendidikan yang setara spesialis. Program pendidikan dokter layanan
primer bersifat generalis bukan spesialis dikarenakan ranah kompetensi DLP tidak menyangkut
satu sistem organ atau keahlian saja, sebagaimana yang telah didiskusikan pada Diskusi Publik
UU No. 20 tahun 2013 tentang Pendidikan Dokter di FKUI.
Adapun perbedaan DLP dengan dokter umum adalah DLP memiliki kompetensi yang
lebih dibandingkan dokter umum karena nantinya DLP akan dibekali pendidikan berupa 80%
kompetensi sebagai dokter keluarga dan 20% kesehatan masyarakat. Kompetensi yang akan
dimiliki oleh DLP adalah konsep kedokteran keluarga (konsep dan wawasan, prinsip dan
pelayanan dokter keluarga, pengaruh keluarga, komunitas dan lingkungan, tugas dan fungsi
dokter keluarga dalam pelayanan primer), manajemen klinik dokter keluarga (manajemen SDM,
fasilitas, informasi, dan dana), keterampilan klinik (klinis non bedah, mengatasi keadaan klinis
umum, masalah klinis khusus, menggunakan sarana penunjang dan medis teknis bedah) dan
keluasan penerapan ilmu dan wawasannya (masalah kesehatan kelompok usia dan masalah
kesehatan kelompok khusus). Sedangkan dokter umum hanya memiliki konsep dan wawasan
kedokteran keluarga, prinsip dan pelayanan dokter keluarga, keterampilan klinis non-bedah,
mengatasi masalah klinis khusus, dan medis teknis bedah.
Menurut Direktur Utama RS Cipto Mangunkusumo, Dr. dr. Czeresna. H. Soedjono,
Sp.PD-KGer, yang membedakan dokter spesialis, dokter umum dan dokter layanan primer

adalah kompetensi, area dan pekerjaannya. Dibanding dokter umum biasa, dokter layanan
primer memiliki 10 atau 11 item yang akan membedakan bukan hanya jenis area kompetensinya
saja tapi bagaimana pendekatan kepada pasien dalam masalah kesehatan. Misalnya, dokter yang
mengobati batuk pilek di layanan primer. Dia harus periksa dan menetapkan obat ini. Mungkin
dokter umum akan langsung memberikan obat tapi dokter layanan primer tidak begitu, kata
Czeresna saat ditemui dalam acara Dies Natalis Universitas Indonesia ke 64 di UI Salemba,
Jakarta, Rabu (5/3/2014). Czeresna menerangkan, dokter layanan primer tidak akan memberikan
obat langsung karena dia akan mencari tahu lebih dalam lagi mengenai sebab pasien batuk pilek.
Seperti faktor-faktor apa yang menyebabkan pasien batuk pilek. Apakah virusnya dari diri
sendiri, keluarga, lingkungan atau sekitar rumahnya ada yang mengalami batuk pilek. Kemudian
apakah batuk pilek ang dialami hanya sekali atau berulang dan tidak pernah terpikirkan oleh
dokter sebelumnya. Dokter layanan primer akan melakukan penelusuran lebih dalam
dan approachlebih baik lagi sehingga pengobatan juga secara komprehensi akan lebih baik lagi,
ujarnya. Untuk pendidikan dokter layanan primer, Czeresna melanjutkan, perlu waktu 2-3 tahun
untuk setiap angkatannya dengan bobot 50-90 SKS. Dan saat ini, proses pendidikan ini masih
dalam tahap penyusunan standar kompetensi dan membutuhkan waktu sekitar 5 tahun. Artinya,
dokter layanan primer baru ada pada 2019. Nanti proses pendidikan akan mengacu pada RSCM
karena idealnya mereka (dokter layanan primer) akan bekerja di pelayanan primer dan bukan
berarti tidak perlu mengenal RS. Mereka perlu mengenal proses di RS agar mereka tahu betul
apa yang terjadi di RS. Ketika mereka mengetahui bagaimana komunikasinya, barulah
diterjunkan ke komunitas, ujarnya.
Perbedaan lainnya adalah BPJS hanya akan menandatangani kontrak dengan DLP bukan
dokter umum. DLP nantinya akan menangani 2.500 orang (maksimal 3.000 orang) yang kapitasi
nya ditentukan oleh BPJS. Untuk sekarang, BPJS mematok harga Rp19.500/orang untuk
pelayanan oleh DLP.2 Akan tetapi, besarnya iuran ini dapat berubah. Menurut rapat Komisi I
tentang DLP Muktamar AIPKI VII, hanya akan diberikan iuran sebesar Rp2.600 dan telah
menjadi keputusan menteri keuangan. Dalam hal ini DLP diharapkan dapat meningkatkan
kesehatan masyarkat karena semakin sedikit masyarakat yang berobat maka semakin besar gaji
seorang DLP. Tetapi DLP juga diberikan kewenangan untuk membuka praktik umum sendiri,
tidak harus bekerja di puskemas atau rumah sakit pemerintah. Lalu bagaimana dengan dokter
umum yang telah lama menempuh karirnya? Program studi DLP hanya dapat diambil oleh dokter
yang baru lima tahun menyandang gelar dokternya alias baru lulus. Sedangkan untuk dokter
umum yang telah lama lulus, mereka hanya tinggal mengisi borang yang disediakan oleh BPJS,
dan jika borang tersebut dipertimbangkan oleh BPJS maka dokter umum tersebut dapat dianggap
setara dengan DLP. Selain itu, kini beberapa puskesmas di Indonesia juga telah membuka

program percepatan DLP yang terdiri dari 11 sampai dengan 12 modul yang disponsori oleh
Kemenkes khusus untuk 9.000 dokter di Indonesia. Diharapkan dalam dua tahun ke depan,
dokter-dokter ini memiliki kompetensi yang setara dengan DLP. Untuk saat ini, BPJS hanya
bekerja sama dengan puskesmas dan dokter umum yang dianggap memliki kompetensi yang
memadai.
Problematika yang dihadapi oleh DLP adalah besarnya kapitasi dan iuran yang belum
secara jelas diuraikan dan membutuhkan pertimbangan lebih lanjut. Besarnya anggaran
kesehatan yang ideal adalah 5% dari APBN tetapi kenyataannya di Indonesia anggaran kesehatan
masih di bawah 5%. Anggaran kesehatan tahun 2015 sebesar 74,2 triliun rupiah dan pendapatan
negara tahun 2015 sebesar 1.793,6 triliun rupiah. Padahal sesungguhnya besarnya iuran yang
dikenakan akan berbanding lurus dengan kualitas pelayanan kesehatan yang akan diberikan
kepada masyarakat. Jika besarnya insentif (iuran) tidak sepadan dengan kebutuhan biaya
kesehatan maka dapat memicu underutilisasi pada DLP atau peningkatan rujukan dari dokter
yang takut merugi. Solusi dari problematika ini adalah ketegasan pemerintah dalam
komitmennya membangun masyarakat Indonesia yang sehat dan sejahtera. Yang dapat
dituangkan dalam UU mengenai kejelasan DLP, program kapitasi dan anggaran dana kesehatan.
Selain itu, di sisi lain diperlukan pula sosialisasi mengenai DLP dan
perubahan mindset mahasiswa yang menganggap menjad dokter spesialis akan lebih
menguntungkan. Paradigma di kalangan masyarakat juga perlu diubah yang awalnya hanya
kuratif menjadi preventif.
Dari hasil wawancara beberapa mahasiswa di FK Unud, yaitu Wirga Wirgunatha dari
angkatan 2012 dan kini menjabat sebagai ketua BEM FK Unud, Wahyu Mahasurya dari angkatan
2013 yang kini menjabat sebagai ketua HMKU, dan Lady Adelaida dari angkatan 2014, mereka
menyatakan persetujuan tentang keberadaan DLP, akan tetapi masih banyak kesimpangsiuran
mengenai tugas dan wewenang DLP dan dokter umum. Ketika ditanya mengenai pendapat
mereka tentang DLP, Wahyu memberikan pendapat bahwa jika ditinjau dari urgensinya mungkin
DLP cukup penting, namun dari segi mindset masyarakat belum siap karena masyarakat masih
banyak yang langsung berobat ke dokter spesialis. Hal yang sama juga diutarakan oleh Lady
yaitu Indonesia membutuhkan sebuah revolusi mental, pelatihan, dan pembekalan untuk para
dokter. Menurut Wirga, DLP memiliki kelebihan yaitu menyediakan langkah preventif di mana
dokter dituntut untuk dapat menjaga kesehatan masyarakat sehingga nantinya angka kesakitan
dimasyarakat dapat menurun dan meningkatkan kualitas hidup mereka. Sementara itu
kekurangan DLP adalah kurangnya sosialisasi dan publikasi oleh pemerintah, mirip seperti yang
diungkapkan oleh Lady.

Ketika ditanya tentang setuju atau tidaknya mengenai JKN dan DLP, dr. Sutarsa
menjawab bahwa program JKN dan DLP ini cukup baik. Selain JKN dapat memberikan surplus
bagi pendapatan negara, DLP juga nantinya tidak hanya mengobati masyarakat yang sakit tetapi
juga diharuskan untuk meningkatkan kesehatan masyarakat. Jika program ini dapat berjalan
dengan baik maka taraf kesehatan di Indonesia juga pasti akan meningkat. Tetapi menurut dr.
Sutarsa, Indonesia belum siap untuk menerapkan program ini karena dari segi infrasturuktur dan
geografis Indonesia tidak memadai. Banyak daerah di Indonesia yang tidak memiliki pelayanan
kesehatan yang memadai bahkan banyak yang belum tersentuh oleh listrik. Selain itu,
masyarakat Indonesia sudah terbiasa dengan program JAMKESDA (Jaminan Kesehatan Daerah).
Untuk kedepannya, JAMKESDA diharapkan dapat melebur bersama JKN pada tahun 2019.

Kompetensi Dokter Layanan Primer

Standar Kompetensi Dokter Indonesia (SKDI) diterbitkan oleh Konsil Kedokteran


Indonesia (KKI) pada akhir tahun 2012. SKDI menjadi standar kompetensi bagi dokter di
Indonesia. Di standar tersebut dinyatakan bahwa dokter yang dihasilkan institusi pendidikan
kedokteran adalah dokter yang akan bekerja di layanan primer, bukan di layanan sekunder.
Pendidikan kedokteran dasar dan program internsip mempersiapkan dokter untuk bekerja di
layanan primer dan melanjutkan pendidikan, seperti program magister, spesialisasi, dan
pendidikan DLP. Program pendidikan DLP adalah program pendidikan terstruktur yang
disediakan untuk memenuhi kebutuhan pengetahuan dan keterampilan khusus untuk memberikan
pelayanan di tingkat primer. Kelompok Kerja Percepatan Pengembangan Kebijakan Dokter
Layanan Primer yang terdiri atas perwakilan Kementerian Kesehatan, Kementerian Pendidikan
Tinggi dan Riset, KKI, IDI, dan Asosiasi Institusi Pendidikan Kedokteran Indonesia
merumuskan rancangan area kompetensi DLP yaitu:
1. Manajemen Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer
2. Pengelolaan Kesehatan yang Berpusat pada Individu dan Keluarga
3. Pengelolaan kesehatan yang berorientasi pada komunitas dan masyarakt
4. Keterampilan klinis
5. Etika hukum dan dan profesionalisme di pelayanan primer
6. Kepemimpinan
7. Komunikasi holistik, komprehensif dan kecakapan budaya.

2.5 Pengertian Sistem Rujukan dan Rujukan


Di Negara Indonesia sistem rujukan kesehatan telah dirumuskan dalam Permenkes No. 001
tahun 2012 pasal 3, Sistem rujukan adalah penyelenggaraan pelayanan kesehatan yang
mengatur pelimpahan tugas dan tanggungjawab pelayanan kesehatan secara timbal balik baik
vertikal dalam arti dari unit yang berkemampuan kurang kepada unit yang lebih mampu
maupun horizontal dalam arti antar unit yang setingkat kemampuannya, kepada yang lebih
berwenang dan mampu, terjangkau dan rasional. Ini merupakan salah satu upaya dalam
rangka meningkatkan mutu pelayanan kesehatan yang akan memberikan dampak pada

penurunan. Secara sederhana dapat dikatakan sistem rujukan mengatur darimana dan harus
kemana seseorang dengan gangguan kesehatan tertentu memeriksakan keadaan sakitnya.2
Pasal 4
Menjelaskan bahwa sistem rujukan merupakan :
(1)

Pelayanan kesehatan dilaksanakan secara berjenjang, sesuai kebutuhan medis


dimulaidari pelayanan kesehatan tingkat pertama.

(2)

Pelayanan kesehatan tingkat kedua hanya dapat diberikan atas rujukandari


pelayanan kesehatan tingkat pertama.

(3)

Pelayanan kesehatan tingkat ketiga hanya dapat diberikan atas rujukan dari
pelayanan kesehatan tingkat kedua atau tingkat pertama.

(4)

Bidan dan perawat hanya dapat melakukan rujukan ke dokter dan/atau dokter
gigi pemberi pelayanan kesehatan tingkat pertama.

(5)

Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan
ayat(4)dikecualikan pada keadaan gawat darurat, bencana, kekhususan
permasalahan kesehatan pasien, dan pertimbangan geografis.

Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 128/MENKES/SK/II/2004 Tentang


Kebijakan Dasar Puskesmas Rujukan adalah pelimpahan wewenang dan tanggungjawab atas
kasus penyakit atau masalah kesehatan yang diselenggarakan secara timbal balik, baik secara
vertikal dalam arti satu strata sarana pelayanan kesehatan ke strata sarana pelayanan
kesehatan lainnya, maupun secara horizontal dalam arti antar sarana pelayanan kesehatan
yang sama.7
Pelaksanaan sistem rujukan di Indonesia telah diatur dengan bentuk bertingkat atau
berjenjang, yaitu kesehatan tingkat pertama, kedua, ketiga, dimana dalam pelaksanaannya
tidak berdiri sendiri namun berada di suatu sistem dan saling berhubungan.Apabila pelayanan
kesehatan primer tidak dapat melakukan tindakan medis tingkat primer maka harus
menyerahkan tanggung jawab tersebut ke tingkat pelayanan di atasnya. Apabila seluruh
faktor pendukung (pemerintah, teknologi, dan transportasi) terpenuhi maka proses ini akan
berjalan dengan baik dan masyarakat awam akan segera tertangani dengan tepat. Rujukan
adalah upaya melimpahkan wewenang dan tanggung jawab penanganan kasus penyakit yang
sedang ditangani oleh seorang dokter kepada dokter lain yang sesuai.3

Berdasarkan Undang Undang RI Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran pasal
51 poin b yaitu Dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran mempunyai
kewajiban merujuk pasien ke dokter atau dokter gigi lain yang mempunyai keahlian atau
kemampuan yang lebih baik, apabila tidak mampu melakukan suatu pemeriksaan atau
pengobatan.8
Pelayanan kesehatan perorangan terdiri dari 3 tingkatan, pelayanan kesehatan tingkat
pertama merupakan pelayanan kesehatan dasar yang diberikan oleh fasilitas kesehatan
tingkat pertama, pelayanan kesehatan tingkat kedua merupakan pelayanan kesehatan
spesialistik yang dilakukan oleh dokter spesialis atau dokter gigi spesialis yang menggunakan
pengetahuan dan teknologi kesehatan spesialistik, dan pelayanan kesehatan tingkat ketiga
merupakan pelayanan kesehatan subspesialistik yang dilakukan oleh dokter subspesialis atau
dokter gigi subspesialis yang menggunakan pengetahuan dan teknologi kesehatan sub
spesialistik.3
Dalam menjalankan pelayanan kesehatan, fasilitas kesehatan tingkat pertama dan tingkat
lanjutan wajib melakukan sistem rujukan dengan mengacu pada peraturan perundangundangan yang berlaku.Pelayanan rujukan dapat dilakukan secara horizontal dan
vertikal.Rujukan horizontal adalah rujukan yang dilakukan antar pelayanan kesehatan dalam
satu tingkatan apabila perujuk tidak dapat memberikan pelayanan kesehatan sesuai dengan
kebutuhan pasien karena keterbatasan fasilitas, peralatan dan/atau ketenagaan yang sifatnya
sementara atau menetap. Rujukan vertikal adalah rujukan yang dilakukan antar pelayanan
kesehatan yang berbeda tingkatan, dapat dilakukan dari tingkat kesehatan yang lebih rendah
ke tingkat pelayanan yang lebih tinggi atau sebaliknya.3
Rujukan vertikal dari tingkat pelayanan yang lebih rendah ke tingkatan pelayanan yang lebih
tinggi dilakukan apabila, pasien membutuhkan pelayanan kesehatan spesialistik atau
subspesialistik, perujuk tidak dapat memberikan pelayanan kesehatan sesuai dengan
kebutuhan pasien karena keterbatasan fasilitas, peralatan, dan/atau ketenagaan. Rujukan
vertikal dari tingkat pelayanan yang lebih tinggi ke tingkat pelayanan yang lebih rendah
dilakukan apabila, permasalahan pasien dapat ditangani oleh tingkatan pelayanan yang lebih
rendah sesuai dengan kompetensi dan kewenangannya, kompetensi dan kewenangan
pelayanan tingkat pertama atau kedua lebih baik dalam menangani pasien tersebut, pasien
membutuhkan pelayanan lanjutan yang dapat ditangani oleh tingkatan pelayanan yang lebih

rendah dan untuk pelayanan kemudahan, efisiensi dan pelayanan jangka panjang, dan/atau
perujuk tidak dapat memberikan pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan pasien karena
keterbatasan sarana, prasarana, peralatan, dan/atau ketenagaan.3

Gambar 1. Sistem Rujukan Berjenjang.3


2.6 Jenis rujukan
Sistem rujukan di Indonesia dibedakan atas 2 jenis, yaitu rujukan medis dan rujukan
kesehatan.Rujukan medis adalah upaya rujukan kesehatan yang bersifat vertikal, horizontal
atau timbal balik yang terutama berkaitan dengan upaya penyembuhan dan rehabilitasi serta
upaya yang bertujuan mendukungnya. Rujukan kesehatan adalah rujukan upaya kesehatan
yang bersifat vertikal dan horizontal yang terutama berkaitan dengan upaya peningkatan dan
pencegahan serta upaya yang mendukungnya.2
Sebagaimana tercantum pada PermenkesRI Nomor 001 Tahun 2012 Tentang Sistem Rujukan
Pelayanan Kesehatan Perorangan
Pasal 7
(1)

Rujukan dapat dilakukan secara vertikal dan horizontal.

Rujukan vertikal sebagaimana dimaksud pada ayat(1)merupakanrujukan antar


pelayanan kesehatan yang berbeda tingkatan.
(2)

Rujukan horizontal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan rujukan antar

pelayanan kesehatan dalam satu tingkatan.


(3)

Rujukan vertikal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilakukan dari
tingkatan pelayanan yang lebih rendah ke tingkatan pelayanan yang lebih tinggi
atau sebaliknya.2
Pasal 8

Rujukan horizontal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (3) dilakukan apabila perujuk
tidak dapat memberikan pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan pasien karena
keterbatasan fasilitas, peralatan dan/atau ketenagaan yang sifatnya sementara atau menetap.2
Pasal 9
Rujukan vertikal dari tingkatan pelayanan yang lebih rendah ke tingkatanpelayanan yang
lebih tinggi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (4) dilakukan apabila:2
a. pasien membutuhkan pelayanan kesehatan spesialistik atau subspesialistik;
b. perujuk tidak dapat memberikan pelayanan kesehatan sesuai dengankebutuhan pasien
karena keterbatasan fasilitas, peralatan dan/atauketenagaan.
Pasal 10
Rujukan vertikal dari tingkatan pelayanan yang lebih tinggi ke tingkatanpelayanan yang lebih
rendah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (4) dilakukan apabila:2
a. permasalahan kesehatan pasien dapat ditangani oleh tingkatan pelayanan kesehatan
yang lebih rendah sesuai dengan kompetensi dankewenangannya;
b. kompetensi dan kewenangan pelayanan tingkat pertama atau kedua lebih baik dalam
menangani pasien tersebut;
c. pasien membutuhkan pelayanan lanjutan yang dapat ditangani olehtingkatan pelayanan
kesehatan yang lebih rendah dan untuk alasankemudahan, efisiensi dan pelayanan jangka
panjang; dan/atau
d. perujuk tidak dapat memberikan pelayanan kesehatan sesuai dengankebutuhan pasien
karena keterbatasan sarana, prasarana, peralatan dan/atau ketenagaan.
Sistem rujukan medis mencakup 3 aspek pelayanan medis yaitu rujukan pasien, rujukan
spesimen atau penunjang diagnostik lainnya dan rujukan pengetahuan.Rujukan pasien

merupakan penatalaksanaan pasien dari strata pelayanan kesehatan yang kurang mampu ke
strata pelayanan kesehatan yang lebih sempurna atau sebaliknya untuk pelayanan tindak
lanjut.Rujukan ilmu pengetahuan merupakan pengiriman dokter atau tenaga kesehatan yang
lebih ahli dari strata pelayanan kesehatan yang lebih mampu ke strata pelayanan kesehatan
yang kurang mampu untuk bimbingan dan diskusi atau sebaliknya, untuk mengikuti
pendidikan dan pelatihan. Rujukan bahan pemeriksaan laboratorium adalah pengiriman
bahan-bahan pemeriksaan laboratorium dari strata pelayanan kesehatan yang kurang mampu
ke strata yang lebih mampu atau sebaliknya, untuk tindak lanjut.2,9
Rujukan kesehatan adalah pelimpahan wewenang dan tanggungjawab untuk masalah
kesehatan masyarakat. Tujuannya adalah untuk meningkatkan derajat kesehatan dan ataupun
mencegah penyakit yang ada di masyarakat.Rujukan kesehatan mencakup rujukan tenaga,
rujukan sarana dan rujukan operasional.Rujukan tenaga adalah pengiriman dokter atau tenaga
kesehatan dari strata pelayanan yang lebih mampu ke strata pelayanan kesehatan yang kurang
mampu untuk menanggulangi masalah kesehatan yang ada di masyarakat atau sebaliknya,
untuk pendidikan dan latihan.Rujukan sarana adalah pengiriman berbagai peralatan medis
atau non medis dari strata pelayanan kesehatan yang lebih mampu ke strata pelayanan
kesehatan yang kurang mampu untuk menanggulangi masalah kesehatan di masyarakat, atau
sebaliknya untuk tindak lanjut. Rujukan operasional merupakan pelimpahan wewenang dan
tanggungjawab penanggulangan masalah kesehatan masyarakat dari strata pelayanan
kesehatan yang kurang mampu ke strata pelayanan kesehatan yang lebih mampu atau
sebaliknya untuk pelayanan tindak lanjut.2,9
Sebagaimana disebutkan dalam Permenkes RI Nomor 001 Tahun 2012 Tentang Sistem
Rujukan Pelayanan Kesehatan Perorangan
Pasal 11
(1)

Setiap pemberi pelayanan kesehatan berkewajiban merujuk pasien bila keadaan


penyakit atau permasalahan kesehatan memerlukannya, kecuali dengan alasan yang
sah dan mendapat persetujuan pasien atau keluarganya.

(2)

Alasan yang sah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pasien tidak dapat
ditransportasikan atas alasan medis, sumber daya, atau geografis.

Manfaat sistem rujukan

Dari sudut pemerintah sebagai penentu kebijakan (policy maker), manfaat sistem rujukan
adalah membantu penghematan dana, karena tidak perlu menyediakan berbagai macam
peralatan kedokteran pada setiap sarana kesehatan; memperjelas sistem pelayanan
kesehatan, karena terdapat hubungan kerja antara berbagai sarana kesehatan yang tersedia;
memudahkan pekerjaan administrasi, terutama pada aspek perencanaan.

Dari sudut masyarakat sebagai pengguna jasa pelayanan (healtahun consumer), manfaat
sistem rujukan adalah meringankan biaya pengobatan, karena dapat dihindari pemeriksaan
yang sama secara berulang-ulang; mempermudah masyarakat dalam mendapatkan
pelayanan, karena telah diketahui dengan jelas fungsi dan wewenang setiap sarana
pelayanan kesehatan.

Dari sudut kalangan kesehatan sebagai penyelenggara pelayanan keseahatan (healtahun


provider), manfaat sistem rujukan adalah memperjelas jenjang karier tenaga kesehatan
dengan berbagai akibat positif lainnya seperti semangat kerja, ketekunan, dan dedikasi;
membantu peningkatan pengetahuan dan ketrampilan, yaitu: kerja sama yang terjalin;
memudahkan atau meringankan beban tugas, karena setiap sarana kesehatan mempunyai
tugas dan kewajiban tertentu.9
2.7 Langkah sistem rujukan
Berdasarkan Peraturan Presiden RI No. 72 Tahun 2012 tentang Sistem Kesehatan Nasional
(SKN) pasal 5 menyebutkan bahwa SKN menjadi acuan dalam penyusunan dan pelaksanaan
pembangunan kesehatan yang dimulai dari kegiatan perencanaan sampai dengan kegiatan
monitoring dan evaluasi.10

Pasal 2
(1)

Pengelolaan kesehatan diselenggarakan melalui pengelolaan administrasi


kesehatan, informasi kesehatan, sumber daya kesehatan, upaya kesehatan,
pembiayaan kesehatan, peran serta dan pemberdayaan masyarakat, ilmu
pengetahuan dan teknologi di bidang kesehatan, serta pengaturan hukum
kesehatan secara terpadu dan saling mendukung guna menjamin tercapainya
derajat kesehatan yang setinggi-tingginya.

(2)

Pengelolaan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara


berjenjang di pusat dan daerah dengan memperhatikan otonomi daerah dan
otonomi fungsional di bidang kesehatan.

Penyelenggaraan SKNtercantum dalam Peraturan Presiden RI No. 72 Tahun 2012A.5 :10

158. Terdapat tiga tingkatan upaya, yaitu upaya kesehatan tingkat pertama/primer, upaya

kesehatan tingkat kedua/sekunder, dan upaya kesehatan tingkat ketiga/tersier.

159. Upaya kesehatan diselenggarakan secara terpadu, berkesinambungan, dan paripurna

melalui sistem rujukan.

167. Rujukan di bidang upaya kesehatan perorangan dalam bentuk pengiriman pasien,

spesimen, dan pengetahuan tentang penyakit dengan memperhatikan kendali mutu dan kendali
biaya, serta rujukan di bidang upaya kesehatan masyarakat dilaksanakan secara bertanggung
jawab oleh tenaga kesehatan yang kompeten dan berwenang serta sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Merujuk Dan Menerima Rujukan Pasien
Pasien yang akan dirujuk harus sudah diperiksa dan layak untuk dirujuk, kriteria pasien
yang layak untuk dirujuk adalah sebagai berikut :9
a. Hasil pemeriksaan fisik sudah dapat dipastikan tidak mampu diatasi;
b. Hasil pemeriksaan fisik dengan pemeriksaan penunjang medis ternyata tidak mampu
diatasi;
c. Memerlukan pemeriksaan penunjang medis yang lebih lengkap, tetapi pemeriksaan
harus disertai pasien yang bersangkutan; dan/atau
d. Apabila telah diobati dan dirawat ternyata memerlukan pemeriksaan, pengobatan dan
perawatan di fasilitas pelayanan kesehatan yang lebih mampu.
Dalam prosedur merujuk dan menerima rujukan pasien ada dua pihak yang terlibat yaitu
pihak yang merujuk dan pihak yang menerima rujukan dengan standar prosedur operasional
sebagai berikut :

a. Standar Prosedur Operasional Merujuk Pasien

1. Prosedur Klinis:9
a) Melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang medik
untuk menentukan diagnosis utama dan diagnosis banding.
b) Memberikan tindakan stabilisasi sesuai kasus berdasarkan Standar Prosedur
Operasional (SPO).
c) Memutuskan unit pelayanan tujuan rujukan.
d) Untuk pasien gawat darurat harus didampingi tenaga kesehatan yang
kompeten dibidangnya dan mengetahui kondisi pasien.
e) Pasien (pada point 4) diantar dengan kendaraan ambulans, agar petugas dan
kendaraan pengantar tetap menunggu sampai pasien di IGD mendapat
kepastian pelayanan, apakah akan dirujuk atau ditangani di fasilitas
pelayanan kesehatan setempat.
f) Rujukan kasus yang memerlukan standart kompetensi tertentu (sub spesialis)
Pemberi Pelayanan Kesehatan tingkat I (Puskesmas,Dokter Praktek, Bidan
Praktek, Klinik) dapat merujuk langsung ke rumah sakit rujukan yang
memiliki kompetensi tersebut
2. Prosedur Administratif: 9
a) Dilakukan setelah pasien diberikan tindakan medis.
b) Membuat rekam medis pasien.
c)

Menjelaskan/memberikan

Informed

Consernt

(persetujuan/penolakan

rujukan)
d) Membuat surat rujukan pasien rangkap 2, lembar pertama dikirim ke tempat
rujukan bersama pasien yang bersangkutan. Lembar kedua disimpan sebagai
arsip.
e) Mencatat identitas pasien pada buku register rujukan pasien.
f) Menyiapkan sarana transportasi
g) Menghubungi rumah sakit yang akan dituju dengan menggunakan saran
komunikasi dan menjelaskan kondisi pasien.
h) Pengiriman dan penyerahan pasien disertai surat rujukan ke tempat rujukan
yang dituju.
i) Fasilitas pelayanan kesehatan perujuk membuat laporan.

b. Standar Prosedur Operasional Menerima Rujukan Pasien.


1. Prosedur Klinis:9
a) Segera menerima dan melakukan stabilisasi/evaluasi pasien rujukan sesuai
Standar Prosedur Operasional (SPO).
b) Setelah stabil, pasien dibawa ke ruang perawatan elektif untuk perawatan
selanjutnya atau dirujuk ke fasilitas pelayanan kesehatan yang lebih mampu
(jumlah tempat tidur/tenaga yang memiliki kompetensi yang dibutuhkan)
c) Melakukan monitoring dan evaluasi kemajuan klinis pasien.
2. Prosedur Administratif: 9
a) Menerima, meneliti dan menandatangani surat rujukan pasien yang telah
diterima untuk ditempelkan di kartu status pasien.
b) Apabila pasien tersebut dapat diterima kemudian membuat tanda terima
pasien sesuai aturan masing-masing fasilitas pelayanan kesehatan.
c) Mengisi hasil pemeriksaan dan pengobatan serta perawatan pada rekam
medis dan diteruskan ke tempat perawatan selanjutnya sesuai kondisi pasien
d) Membuat informed consent (persetujuan tindakan, persetujuan rawat inap
atau pulang paksa).
e) Segera memberikan informasi tentang keputusan tindakan /perawatan yang
akan dilakukan kepada petugas / keluarga pasien yang mengantar.
f) Apabila tidak sanggup menangani (sesuai perlengkapan Puskesmas / RS
yang bersangkutan), maka harus merujuk ke RS yang lebih mampu dengan
membuat surat rujukan pasien rangkap 2, diisi lengkap kemudian surat
rujukan yang asli dibawa bersama pasien, prosedur selanjutnya sama seperti
merujuk pasien.
g) Mencatat identitas pasien dalam buku register yg ditentukan.
h) Rumah Sakit membuat laporan Triwulan

c. Standar Prosedur Operasional Memberi Rujukan Balik Pasien

1. Prosedur Klinis: 9
a) Rumah Sakit atau Puskesmas yang menerima rujukan pasien wajib
memberikan umpan balik ke Rumah Sakit/Puskesmas/Dokter Praktek/
Bidan Praktek/Klinik pengirim setelah dilakukan proses antara lain:
1) Sesudah pemeriksaan medis, diobati dan dirawat selanjutnya pasien
perlu di tindaklanjuti oleh Rumah Sakit/Puskesmas/Dokter Praktek/
Bidan Praktek/Klinik pengirim.
2) Sesudah pemeriksaan medis, diselesaikan tindakan kegawatan klinis,
tetapi masih memerlukan pengobatan dan perawatan selanjutnya yang
dapat dilakukan di Rumah Sakit/Puskesmas/Dokter Praktek/Bidan
Praktek/Klinik pengirim.
b) Melakukan pemeriksaan fisik dan mendiagnosis bahwa kondisi pasien sudah
memungkinkan untuk keluar dari perawatan Rumah Sakit/Puskesmas
tersebut dalam keadaan:
1) Sehat atau Sembuh.
2) Sudah ada kemajuan klinis dan boleh rawat jalan.
3) Belum ada kemajuan klinis dan harus dirujuk ke tempat lain.
4) Pasien sudah meninggal.
c) Rumah Sakit/Puskesmas yang menerima rujukan pasien harus memberikan
laporan

informasi

medis

balasan

rujukan

kepada

Rumah

Sakit/Puskesmas/Dokter Praktek/ Bidan Praktek/Klinik pengirim pasien


mengenai kondisi klinis terahir pasien apabila pasien keluar dari Rumah
Sakit / Puskesmas.
2. Prosedur Administratif: 9
a) Rumah Sakit / Puskesmas yang merawat pasien berkewajiban memberi surat
balasan rujukan (format terlampir ) untuk setiap pasien rujukan yang pernah
diterimanya kepada Rumah Sakit/Puskesmas/Dokter Praktek/ Bidan
Praktek/Klinik yang mengirim pasien yang bersangkutan.
b) Surat balasan rujukan dapat melalui keluarga pasien yang bersangkutan dan
untuk memastikan informasi balik tersebut diterima petugas kesehatan yang

dituju,

dianjurkan

menghubungi

melalui

sarana

komunikasi

yang

memungkinkan seperti telepon, handphone, faksimili dan sebagainya.


c) Bagi Rumah Sakit , wajib mengisi laporan Triwulan
d. Standar Prosedur Operasional Menerima Rujukan Balik Pasien
1. Prosedur Klinis : 9
a) Memperhatikan anjuran tindakan yang disampaikan oleh Rumah Sakit/
Puskesmas yang terakhir merawat pasien tersebut.
b) Melakukan tindak lanjut atau perawatan kesehatan masyarakat dan
memantau kondisi klinis pasien sampai sembuh.
2. Prosedur Administratif:
a) Meneliti isi surat balasan rujukan dan mencatat informasi tersebut di buku
register pasien rujukan, kemudian menyimpannya pada rekam medis pasien
yang bersangkutan dan memberi tanda tanggal / jam telah ditindaklanjuti. 9
e. Standar Prosedur Operasional Rujukan Pasien Lintas Batas Persyaratan : 9
1. MOU antara Rumah Sakit dengan Pemerintah Kabupaten atau Pemerintah Provinsi
(Bagi yang belum memiliki Bapel atau UPT Jamkes)
2. MOU antara Rumah Sakit dengan Pemerintah Kabupaten atau Pemerintah Provinsi dan
MOU antara Rumah Sakit dengan Badan Penyelenggara Jaminan (Bagi yang telah
memiliki Bapel / UPT Jamkes)
3. Surat Rujukan dikeluarkan oleh Pemberi Pelayanan Kesehatan (Dokter Praktek, Bidan
Praktek, Klinik, Puskesmas, Rumah Sakit) berasal dari wilayah terdekat dengan tempat
tinggal pasien.
4. Untuk Kasus Gawat Darurat, tidak perlu surat rujukan.
f. Standar Prosedur Operasional Pengelolaan Pasien di Ambulance9
1. Pasien yang dirujuk didampingi oleh petugas kesehatan yang mampu mengawasi dan
antisipasi kegawatdaruratan.
2. Di dalam ambulan tersedia sarana prasarana life saving ( sesuai kondisi pasien ).

3. Adanya komunikasi antar petugas yang ada di ambulan dengan rumah sakit perujuk.
4. Pengoperasian mobil ambulan sesuai aturan lalu lintas.
5. Perkembangan dan tindakan yang diberikan terhadap pasien di dalam ambulan dicatat
dalam catatan perkembangan pasien/surat rujukan
2. Puskesmas Non PONED (Pelayanan Obstetri neonates Esensial Dasar) /dokter
praktek swasta/klinik
a) Prosedur Klinis: 9
1) Melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang medik untuk
menentukan diagnosa utama dan diagnosis banding.
2) Memberikan tindakan stabilisasi pra rujukan sesuai kasus berdasarkan Standar
Prosedur Operasional (SPO).
3) Memutuskan unit pelayanan tujuan rujukan. Untuk pasien gawat darurat harus
didampingi petugas Medis / Paramedis yang kompeten dibidangnya dan mengetahui
kondisi pasien.
4) Apabila pasien diantar dengan kendaraan Puskesmas keliling atau ambulans, agar
petugas dan kendaraan tetap menunggu pasien di IGD sampai ada kepastian pasien
tersebut dapat dilayani dirawat inap atau di rujuk ke fasilitas kesehatan lain
5) Untuk rujukan kasus yang memerlukan standar kompetensi tertentu (sub spesialis)
Pemberi Pelayanan Kesehatan tersebut di atas (Puskesmas Non PONED/dokter praktek
swasta/klinik) dapat merujuk langsung ke Rumah Sakit Rujukan yang memiliki
kompetensi tersebut.
b) Prosedur Administratif: 9
1) Dilakukan setelah pasien diberikan tindakan
2) Membuat rekam medis pasien.
3) Menjelaskan/memberikan Informed Consernt (persetujuan/penolakan rujukan)
4) Membuat surat rujukan pasien rangkap 2, lembar pertama dikirim ke
i. Lembar pertama dikirim ke tempat rujukan bersama pasien yang bersangkutan.
ii. Lembar kedua disimpan sebagai arsip.
5) Mencatat identitas pasien pada buku register rujukan pasien.
6) Menyiapkan sarana transportasi serta menghubungi rumah sakit yang akan dituju
dengan menggunakan sarana komunikasi.

3. Puskesmas PONED (Pelayanan Obstetri neonates Esensial Dasar)


a) Menerima rujukan
1). Prosedur Klinis: 9
i. Segera menerima dan melakukan stabilisasi/evaluasi pasien rujukan sesuai Standar
Prosedur Operasional (SPO).
ii. Setelah stabil, pasien dibawa ke ruang perawatan elektif untuk perawatan selanjutnya
atau dirujuk ke sarana kesehatan yang lebih mampu (tempat tidur/tenaga ahli)
iii. Melakukan monitoring dan evaluasi kemajuan klinis pasien.
2). Prosedur Administratif: 9
i. Menerima, meneliti dan menandatangani surat rujukan pasien yang telah diterima untuk
ditempelkan di kartu status pasien.
ii. Apabila pasien tersebut dapat diterima kemudian membuat tanda terima pasien sesuai
aturan Puskesmas PONED.
iii. Mengisi hasil pemeriksaan dan pengobatan serta perawatan pada rekam medis dan
diteruskan ke tempat perawatan selanjutnya sesuai kondisi pasien.
iv. Membuat informed consent (persetujuan tindakan, persetujuan rawat inap atau pulang
paksa).
v. Segera memberikan informasi tentang keputusan tindakan /perawatan yang akan
dilakukan kepada petugas/keluarga pasien yang mengantar.
vi. Apabila tidak sanggup menangani (sesuai perlengkapan Puskesmas PONED yang
bersangkutan), maka harus merujuk ke RS PONED yang lebih mampu dengan membuat
surat rujukan pasien rangkap 2. Kemudian surat rujukan yang asli dibawa bersama
pasien, prosedur selanjutnya sama seperti merujuk pasien.
vii. Mencatat identitas pasien di buku register yg ditentukan.
b) Merujuk
1) Prosedur Klinis: 9
i. Melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang medik untuk
menentukan diagnosa utama dan diagnosis banding.
ii. Memberikan tindakan stabilisasi pra rujukan sesuai kasus berdasarkan

Standar Prosedur Operasional (SPO).


iii. Memutuskan unit pelayanan tujuan rujukan.
iv. Untuk pasien gawat darurat harus didampingi petugas Medis / Paramedis yang
kompeten dibidangnya dan mengetahui kondisi pasien.
v. Apabila pasien diantar dengan kendaraan Puskesmas keliling atau ambulans,
vi. Kendaraan tetap menunggu pasien di IGD sampai ada kepastian pasien tersebut dapat
dilayani dirawat inap atau dirujuk ke fasilitas kesehatan lain
vii. Untuk Rujukan kasus yang memerlukan standart kompetensi tertentu (sub spesialis)
Pemberi Pelayanan Kesehatan tersebut di atas (Puskesmas,Dokter Praktek, Bidan
Praktek, Klinik) dapat merujuk langsung ke Rumah Sakit Rujukan yang memiliki
kompetensi tersebut.
2) Prosedur Administratif: 9
i. Dilakukan setelah pasien diberikan tindakan medis.
ii. Membuat rekam medis pasien.
iii. Menjelaskan / memberikan Informed Consernt (persetujuan/ penolakan rujukan)
iv. Membuat surat rujukan pasien rangkap 2
i.a. Lembar pertama dikirim ke tempat rujukan bersama pasien yang bersangkutan.
i.b. Lembar kedua disimpan sebagai arsip.
v. Mencatat identitas pasien pada buku register rujukan pasien
4. Rumah Sakit PONED (Pelayanan Obstetri neonates Esensial Dasar)
Menerima rujukan maternal
a) Prosedur klinik: 9
1) Segera menerima dan melakukan stabilisasi/evaluasi pasien rujukan sesuai Standar
Prosedur Operasional (SPO).
2) Setelah stabil, pasien dibawa ke ruang perawatan elektif untuk perawatan selanjutnya
atau dirujuk ke sarana kesehatan yang lebih mampu (tempat tidur/tenaga ahli) (sesuai
dengan 1a dan 1 b)
3) Melakukan monitoring dan evaluasi kemajuan klinis pasien
b) Prosedur Administrasi: 9
1) Menerima, meneliti dan menandatangani surat rujukan pasien yang telah diterima
untuk ditempelkan di kartu status pasien.

2) Apabila pasien tersebut dapat diterima kemudian membuat tanda terima pasien sesuai
aturan masing-masing sarana.
3) Mengisi hasil pemeriksaan dan pengobatan serta perawatan pada rekam medis dan
diteruskan ke tempat perawatan selanjutnya sesuai kondisi pasien.
4) Membuat informed consent (persetujuan tindakan, persetujuan rawat inap atau pulang
paksa).
5) Segera memberikan informasi tentang keputusan tindakan/perawatan yang akan
dilakukan kepada petugas/keluarga pasien yang mengantar.
6) Apabila tidak sanggup menangani (sesuai perlengkapan RS yang bersangkutan), maka
harus merujuk ke RS kelas A yang lebih mampu dengan membuat surat rujukan pasien
rangkap 2. Kemudian surat rujukan yang asli dibawa bersama pasien, prosedur
selanjutnya sama seperti merujuk pasien. (catatan komunikasi ke tujuan rujukan)
7) Mencatat identitas pasien di buku register serta mengisi laporan Triwulan pada RL.1.
8) Pengiriman dan penyerahan pasien disertai surat rujukan ke tempat rujukan yang
dituju.
Pelayanan kesehatan sebagaimana tercantum pada Peraturan Presiden RI No. 72 Tahun 2012
ttg Sistem Kesehatan Nasional dibagi dalam dua keompok besar, yaitu pelayanan kesehatan
perorangan dan pelayanan kesehatan masyarakat. Pelayanan kesehatan perorangan dan
pelayanan kesehatan masyarakat dibagi lagi atas primer, sekunder, dan tersier.10
-

A.5.a. 1). a). Pelayanan Kesehatan Perorangan Primer (PKPP)


171. Pelayanan kesehatan perorangan primer adalah pelayanan kesehatan dimana terjadi
kontak pertama secara perorangan sebagai proses awal pelayanan kesehatan.
172. Pelayanan kesehatan perorangan primer memberikan penekanan pada pelayanan
pengobatan, pemulihan tanpa mengabaikan upaya peningkatan dan pencegahan,
termasuk di dalamnya pelayanan kebugaran dan gaya hidup sehat (healtahuny life style)

A.5.a. 2). a). Pelayanan Kesehatan Perorangan Sekunder (PKPS)


187. Pelayanan kesehatan perorangan sekunder adalah pelayanan kesehatan spesialistik
yang menerima rujukan dari pelayanan kesehatan perorangan primer, yang meliputi
rujukan kasus, spesimen, dan ilmu pengetahuan serta dapat merujuk kembali ke fasilitas
pelayanan kesehatan yang merujuk.

188. Pelayanan kesehatan perorangan sekunder dilaksanakan oleh dokter spesialis atau
dokter yang sudah mendapatkan pendidikan khusus dan mempunyai izin praktik serta
didukung tenaga kesehatan lainnya yang diperlukan.
189. Pelayanan kesehatan perorangan sekunder dilaksanakan di tempat kerja maupun
fasilitas pelayanan kesehatan perorangan sekunder baik rumah sakit setara kelas C serta
fasilitas pelayanan kesehatan lainnya milik Pemerintah, Pemerintah Daerah, masyarakat,
maupun swasta).
-

A.5.a. 3).a). Pelayanan Kesehatan Perorangan Tersier (PKPT)


198. Pelayanan kesehatan perorangan tersier menerima rujukansubspesialistik dari
pelayanan kesehatan di bawahnya, dan dapatmerujuk kembali ke fasilitas pelayanan
kesehatan yang merujuk.
199. Pelaksana pelayanan kesehatan perorangan tersier adalah doktersubspesialis atau
dokter spesialis yang telah mendapatkan pendidikankhusus atau pelatihan dan
mempunyai izin praktik dan didukungoleh tenaga kesehatan lainnya yang diperlukan.
200. Pelayanan kesehatan perorangan tersier dilaksanakan di rumah sakitumum, rumah
sakit khusus setara kelas A dan B, baik milikPemerintah, Pemerintah Daerah maupun
swasta yang mampumemberikan pelayanan kesehatan subspesialistik dan juga
termasukklinik khusus, seperti pusat radioterapi.
201. Pemerintah mengembangkan berbagai pusat pelayanan unggulannasional yang
berstandar

internasional

untuk

memenuhi

kebutuhanpelayanan

kesehatan

dan

menghadapi persaingan global dan regional.


202. Fasilitas pelayanan kesehatan perorangan tersier dapat didirikanmelalui modal
patungan dengan pihak asing sesuai dengan peraturanperundang-undangan yang berlaku.
203. Pelayanan kesehatan perorangan tersier wajib melaksanakanpenelitian dan
pengembangan dasar maupun terapan dan dapatdijadikan sebagai pusat pendidikan dan
pelatihan tenaga kesehatansesuai dengan kebutuhan.
-

A.5.a. 1). b). Pelayanan Kesehatan Masyarakat Primer (PKMP)


179. Pelayanan kesehatan masyarakat primer adalah pelayanan peningkatan dan
pencegahan tanpa mengabaikan pengobatan dan pemulihan dengan sasaran keluarga,
kelompok, dan masyarakat.

180. Penyelenggaraan pelayanan kesehatan masyarakat primer menjadi tanggung jawab


Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota yang pelaksanaan operasionalnya dapat didelegasikan
kepada Puskesmas, dan/atau fasilitas pelayanan kesehatan primer lainnya yang
diselenggarakan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah dan/atau masyarakat.
-

A.5.a. 2).b). Pelayanan Kesehatan Masyarakat Sekunder (PKMS)


193. Pelayanan kesehatan masyarakat sekunder menerima rujukan kesehatan dari
pelayanan kesehatan masyarakat primer dan memberikan fasilitasi dalam bentuk sarana,
teknologi, dan sumber daya manusia kesehatan serta didukung oleh pelayanan kesehatan
masyarakat tersier.
194. Penyelenggaraan pelayanan kesehatan masyarakat sekunder menjadi tanggung
jawab Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dan/atau Provinsi sebagai fungsi teknisnya,
yakni melaksanakan pelayanan kesehatan masyarakat yang tidak sanggup atau tidak
memadai dilakukan pada pelayanan kesehatan masyarakat primer.
195. Dalam penanggulangan penyakit menular yang tidak terbatas pada suatu batas
wilayah administrasi pemerintahan (lintas kabupaten/ kota), maka tingkat yang lebih
tinggi (provinsi) yang harus menanganinya.

A.5.a. 3).b). Pelayanan Kesehatan Masyarakat Tersier (PKMT)


204. Pelayanan kesehatan masyarakat tersier menerima rujukan kesehatan dari
pelayanan kesehatan masyarakat sekunder dan memberikan fasilitasi dalam bentuk
sarana, teknologi, sumber daya manusia kesehatan, dan rujukan operasional, serta
melakukan penelitian dan pengembangan bidang kesehatan masyarakat dan penapisan
teknologi dan produk teknologi yang terkait.
205. Pelaksana pelayanan kesehatan masyarakat tersier adalah Dinas Kesehatan
Provinsi, unit kerja terkait di tingkat provinsi, Kementerian Kesehatan, dan unit kerja
terkait di tingkat nasional.
sebagaimana dinyatakan juga dalam peraturan menteri kesehatan RI nomor 001 tahun 2012
tentang

sistem

rujukan

pelayanan

kesehatan

perorangan

pelayanankesehatan

peroranganpasal 2 :2
(1)

pelayanan kesehatan perorangan terdiri dari 3 (tiga) tingkatan yaitu :


a. pelayanan kesehatan tingkat pertama;
b. pelayanan kesehatan tingkat kedua; dan

c. pelayanan kesehatan tingkat ketiga.


(2)

Pelayanan kesehatan tingkat pertama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a

merupakan pelayanan kesehatan dasar yang diberikan oleh dokter dan dokter gigi di puskesmas,
puskesmas perawatan, tempatpraktik perorangan, klinik pratama, klinik umum di balai/lembaga
pelayanan kesehatan, dan rumah sakit pratama.
(3)

dalam keadaan tertentu, bidan atau perawat dapat memberikan pelayanan

kesehatan tingkat pertama sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan


(4)

Pelayanan kesehatan tingkat kedua sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b

merupakan pelayanan kesehatan spesialistik yang dilakukan oleh dokter spesialis atau dokter gigi
spesialis yang menggunakan pengetahuan dan teknologi kesehatan spesialistik.
(5)

Pelayanan kesehatan tingkat ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c

merupakan pelayanan kesehatan sub spesialistik yang dilakukan oleh dokter sub spesialis atau
dokter gigi sub spesialis yang menggunakan pengetahuandan teknologi kesehatan sub
spesialistik.
Pasal 5
(1) Sistem rujukan diwajibkan bagi pasien yang merupakan peserta jaminan
kesehatan atau asuransi kesehatan sosial dan pemberi pelayanan kesehatan
(2) Peserta asuransi kesehatan komersial mengikuti aturan yang berlakusesuai
dengan ketentuan dalam polis asuransi dengan tetap mengikutipelayanan
kesehatan yang berjenjang.
(3) Setiap orang yang bukan peserta jaminan kesehatan atau asuransikesehatan
sosial, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat mengikutisistem rujukan.
Pasal 6
Menyatakan bahwa dalam rangka meningkatkan aksesibilitas, pemerataan dan
peningkatanefektifitas pelayanan kesehatan, rujukan dilakukan ke fasilitas
pelayanankesehatan terdekat yang memiliki kemampuan pelayanan sesuai
kebutuhan pasien.
2.8 Alur sistem rujukan
Informasi kegiatan rujukan pasien dibuat oleh petugas kesehatan pengirim dan di catat
dalam surat rujukan pasien yang dikirimkan ke dokter tujuan rujukan, yang berisikan

antara lain : nomor surat, tanggal dan jam pengiriman, status pasien keluarga miskin
(gakin) atau non gakin termasuk umum, ASKES atau JAMSOSTEK, tujuan rujukan
penerima, nama dan identitas pasien, resume hasil anamnesa, pemeriksaan fisik,
diagnosa, tindakan dan obat yang telah diberikan, termasuk pemeriksaan penunjang,
kemajuan pengobatan dan keterangan tambahan yang dipandang perlu.4
Informasi balasan rujukan dibuat oleh dokter yang telah menerima pasien rujukan dan
setelah selesai merawat pasien tersebut mencatat informasi balasan rujukan di surat
balasan rujukan yang dikirimkan kepada pengirim pasien rujukan, yang berisikan antara
lain: nomor surat, tanggal, status pasien keluarga miskin (gakin) atau non gakin termasuk
umum, ASKES atau JAMSOSTEK, tujuan rujukan penerima, nama dan identitas pasien,
hasil diagnosa setelah dirawat, kondisi pasien saat keluar dari perawatan dan follow up
yang dianjurkan kepada pihak pengirim pasien. Informasi pengiriman spesimen dibuat
oleh pihak pengirim dengan mengisi Surat Rujukan Spesimen, yang berisikan antara lain:
nomor surat, tanggal, status pasien keluarga miskin (gakin) atau non gakin termasuk
umum, ASKES atau JAMSOSTEK, tujuan rujukan penerima, jenis/bahan spesimen dan
nomor spesimen yang dikirim, tanggal pengambilanspesimen, jenis pemeriksaan yang
diminta, nama dan identitas pasien asal spesimen dan diagnos klinis. Informasi balasan
hasil pemeriksaan bahan / spesimen yang dirujuk dibuat oleh pihak laboratorium
penerima dan segera disampaikan pada pihak pengirim dengan menggunakan format
yang berlaku di laboratorium yang bersangkutan. Informasi permintaan tenaga ahli /
dokter spesialis dapat dibuat oleh Kepala Puskesmas atau Rumah Sakit Umum Kab/Kota
yang ditujukan kepada Kepala Dinas Kesehatan Kab/Kota atau oleh Dinas Kesehatan
Kab/ Kota yang ditujukan ke Dinas Kesehatan Provinsi dengan mengisi Surat Permintaan
Tenaga Ahli, yang berisikan antar lain : nomor surat, tanggal, perihal Permintaan Tenaga
Ahli dan menyebutkan jenis spesialisasinya, waktu dan tempat kehadiran jenis
spesialisasi yang diminta, maksud keperluan tenaga ahli diinginkan dan sumber biaya
atau besaran biaya yang disanggupi. Informasi petugas yang mengirim, merawat atau
meminta tenaga ahli selalu ditulis nama jelas, asal institusi dan nomor telepon atau
handphone yang bisa dihubungi pihak lain. Keterbukaan antara pihak pengirim dan
penerima untuk bersedia memberikan informasi tambahan yang diperlukan masingmasing pihak melalui media komunikasi bersifat wajib untuk keselamatan pasien,

spesimen dan alih pengetahuan medis. Pencatatan dan Pelaporan sistem informasi
rujukan menggunakan format RL.1 yang baku untuk Rumah Sakit dan format R.4 untuk
laporan rujukan puskesmas. Adapun alur pelaporan rujukan akan mengikuti alur
pelaporan yang berlaku.4

ALUR SISTEM RUJUKAN


Alur sistem rujukan :11
1.
Alur Rujukan
Ada beberapa aspek yang harus diperhatikan dalam alur rujukan yaitu:
a.
Klasifikasi fasilitas Kesehatan
b.
Lokasi/Wilayah/ Kabupaten/ Kota
c.
Koordinasi unsur-unsur pelaksana Teknis
2.
Alur rujukan kasus kegawatdaruratan
(6)
Dari Kader
Dapat langsung merujuk ke:
Puskesmas pembantu
Pondok bersalin atau bidan di desa
Puskesmas/ puskesmas rawat inap
Rumah sakit swasta/RS pemerintah
(7)
Dari Posyandu
Dapat langsung merujuk ke:
Puskesmas pembantu
Pondok bersalin atau bidan desa
Puskesmas/ puskesmas rawat inap
Rumah sakit pemerintah/ swasta
3.
Dari Puskesmas Pembantu
Dapat lansung merujuk ke rumah sakit tipe D/C atau rumah sakit swasta
4.
Dari Pondok bersalin/ Bidan Desa
Dapat langsung merujuk ke rumah sakit tipe D/C atau rumah sakit swasta.

Gambar 2. Bagan alur rujukan.11


Menurut Undang-undang No.44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit, Pasal 24. Pasal ini berisi
tentang klasifikasi rumah sakit. Adapun mengenai bunyi pasal ini adalah sebagai berikut:12
1.

Dalam rangka penyelenggaraan pelayanan kesehatan secara berjenjang dan fungsi

rujukan, rumah sakit umum dan rumah sakit khusus diklasifikasikan berdasarkan fasilitas dan
kemampuan pelayanan Rumah Sakit.
2.

Klasifikasi Rumah Sakit umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:

a.

Rumah Sakit Umum kelas A

b.

Rumah Sakit Umum kelas B

c.

Rumah Sakit Umum kelas C

d.

Rumah Sakit Umum kelas D

3.

Klasifikasi Rumah Sakit khusus sebagaimana dimaksudkan pada ayat (1) terdiri atas:

a.

Rumah Sakit Umum kelas A

b.

Rumah Sakit Umum kelas B

c.

Rumah Sakit Umum kelas C

4.

Ketentuan lebih lanjut mengenai klasifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur

dengan Peraturan Menteri.


Pada bagian penjelasan UU No.44 tahun 2009 tentang Rumah Sakit ini dijelaskan bahwa:12

Rumah Sakit Umum kelas A adalah Rumah Sakit Umum yang mempunyai fasilitas dan

kemampuan pelayanan medik paling sedikit 4 (empat) spesialis dasar, 5 (lima) spesialis
penunjang medik, 12 (dua belas) spesialis lain dan 13 (tiga belas) subspesialis.

Rumah Sakit Umum kelas B adalah Rumah Sakit Umum yang mempunyai fasilitas dan

kemampuan pelayanan medik paling sedikit 4 (empat) spesialis dasar, 4 (empat) spesialis
penunjang medik, 8 (delapan) spesialis lain dan 2 ( dua) subspesialis dasar.

Rumah Sakit Umum kelas C adalah Rumah Sakit Umum yang mempunyai fasilitas dan

kemampuan pelayanan medik paling sedikit 4 (empat) spesialis dasar, 4 (empat) spesialis
penunjang medik.

Rumah Sakit Umum kelas D adalah Rumah Sakit Umum yang mempunyai fasilitas dan

kemampuan pelayanan medik paling sedikit 2 (dua) spesialis dasar.


2.9 Surat pengantar rujukan
Sebagaimana tercantum pada Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 001 Tahun 2012
Tentang Sistem Rujukan Pelayanan Kesehatan Perorangan Pasal 15Surat pengantar rujukan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf csekurang-kurangnya memuat : 2 (a). identitas
pasien; (b). hasil pemeriksaan (anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaanpenunjang)
yang telah dilakukan; (c). diagnosis kerja; (d). terapi dan/atau tindakan yang telah diberikan;
(e). tujuan rujukan; dan (f). nama dan tanda tangan tenaga kesehatan yang memberikan
pelayanan.
Pasal 12
(1) Rujukan harus mendapatkan persetujuan dari pasien dan/atau keluarganya.

(2) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah pasien dan/atau
keluarganya mendapatkan penjelasan dari tenaga kesehatan yang berwenang.
(3) Penjelasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sekurang-kurangnya meliputi:
a. diagnosis dan terapi dan/atau tindakan medis yang diperlukan;
b. alasan dan tujuan dilakukan rujukan;
c. risiko yang dapat timbul apabila rujukan tidak dilakukan;
d. transportasi rujukan; dan
e. risiko atau penyulit yang dapat timbul selama dalam perjalanan.
2.10

Acuan Untuk Merujuk Bagi Dokter Umum

Standar Kompetensi Dokter Indonesia (SKDI) merupakan standar minimal kompetensi


lulusan dan bukan merupakan standar kewenangan dokter layanan primer. SKDI pertama kali
disahkan oleh Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) pada tahun 2006 dan telah digunakan
sebagai acuan untuk pengembangan kurikulum berbasis kompetensi(KBK). SKDI juga
menjadi acuan dalam pengembangan uji kompetensi dokter yang bersifat nasional.13
Pasal 1
a. Standar kompetensi dokter Indonesia merupakan bagian dari standar pendidikan profesi
dokter Indonesia
b. Standar kompetensi dokter Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam
lampiran yang disahkan oleh konsil kedokteran Indonesia.ang merupakan bagian tidak
terpisahkan dari peraturan konsil kedokteran Indonesia ini.
Pasal 2
Setiap perguruan tinggi yang menyelenggarakan pendidikan profesi dokter, dalam
mengembangkan kurikulum harus menerapkan standar kompetensi dokter Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam pasal 1 ayat (2).
Pasal 3
Pada saat peraturan ini mulai berlaku, keputusan konsil kedokteran Indonesia nomor
21A/KKI/KEP/IX/2006 tentang pengesahan standar kompetensi dokter, dicabut dan
dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 4
Peraturan konsil kedokteran Indonesia ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan peraturan konsil


kedokteran Indonesia ini dengan penempatannya dalam berita Negara republik Indonesia.
Tingkat Kemampuan 1: mengenali dan menjelaskan
Lulusan dokter mampu mengenali dan menjelaskan gambaran klinik penyakit, dan
mengetahui cara yang paling tepat untuk mendapatkan informasi lebih lanjut mengenai
penyakit tersebut, selanjutnya menentukan rujukan yang paling tepat bagi pasien. Lulusan
dokter juga mampu menindaklanjuti sesudah kembali dari rujukan.
Tingkat Kemampuan 2: mendiagnosis dan merujuk
Lulusan dokter mampu membuat diagnosis klinik terhadap penyakit tersebut dan
menentukan rujukan yang paling tepat bagi penanganan pasien selanjutnya.Lulusan
dokter juga mampu menindaklanjuti sesudah kembali dari rujukan.
Tingkat Kemampuan 3: mendiagnosis, melakukan penatalaksanaan awal, dan merujuk 3A.
Bukan gawat darurat
Lulusan dokter mampu membuat diagnosis klinik dan memberikan terapi pendahuluan
pada keadaan yang bukan gawat darurat.Lulusan dokter mampu menentukan rujukan
yang paling tepat bagi penanganan pasien selanjutnya.Lulusan dokter juga mampu
menindaklanjuti sesudah kembali dari rujukan.
3B. Gawat darurat
Lulusan dokter mampu membuat diagnosis klinik dan memberikan terapi pendahuluan
pada keadaan gawat darurat demi menyelamatkan nyawa atau mencegah keparahan
dan/atau kecacatan pada pasien.Lulusan dokter mampu menentukan rujukan yang paling
tepat bagi penanganan pasien selanjutnya. Lulusan dokter juga mampu menindaklanjuti
sesudah kembali dari rujukan.
Tingkat Kemampuan 4: mendiagnosis, melakukan penatalaksanaan secara mandiri dan tuntas
Lulusan dokter mampu membuat diagnosis klinik dan melakukan penatalaksanaan
penyakit tersebut secara mandiri dan tuntas.
4A. Kompetensi yang dicapai pada saat lulus dokter
4B. Profisiensi (kemahiran) yang dicapai setelah selesai internsip dan/atau Pendidikan
Kedokteran Berkelanjutan (PKB).
Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor128/MENKES/SK/II/2004 Tentang
Kebijakan Dasar Puskesmas Sebagai sarana pelayanan kesehatan tingkat pertama, kemampuan

yang dimiliki oleh puskesmas terbatas.Padahal puskesmas berhadapan langsung dengan


masyarakat dengan berbagai permasalahan kesehatannya. Untuk membantu puskesmas
menyelesaikan berbagai masalah kesehatan tersebut dan juga untuk meningkatkan efisiensi,
maka penyelenggaraan setiap upaya puskesmas (wajib, pengembangan dan inovasi) harus
ditopang oleh azas rujukan.
Sesuai dengan jenis upaya kesehatan yang diselenggarakan oleh puskesmas ada dua macam
rujukan yang dikenal, yakni :7
a. Rujukan upaya kesehatan perorangan
b. Rujukan upaya kesehatan masyarakat
a. Rujukan upaya kesehatan perorangan
Cakupan rujukan pelayanan kesehatan perorangan adalah kasus penyakit. Apabila suatu
puskesmas tidak mampu menanggulangi satu kasus penyakit tertentu, maka puskesmas tersebut
wajib merujuknya ke sarana pelayanan kesehatan yang lebih mampu (baik horisontal maupun
vertikal). Sebaliknya pasien paska rawat inap yanghanya memerlukan rawat jalan sederhana,
dirujuk ke puskesmas.7
Rujukan upaya kesehatan perorangan dibedakan atas tiga macam :
1). Rujukan kasus keperluan diagnostik, pengobatan, tindakan medik (biasanya operasi) dan lainlain.
2). Rujukan bahan pemeriksaan (spesimen) untuk pemeriksaan laboratorium yang lebih lengkap.
3). Rujukan ilmu pengetahuan antara lain mendatangkan tenaga yang lebih kompeten untuk
melakukan bimbingan kepada tenaga puskesmas dan ataupun menyelenggarakan pelayanan
medik di puskesmas.
b. Rujukan upaya kesehatan masyarakat
Cakupan rujukan pelayanan kesehatan masyarakat adalah masalah kesehatan masyarakat,
misalnya kejadian luar biasa, pencemaran lingkungan, dan bencana.7
Rujukan pelayanan kesehatan masyarakat juga dilakukan apabila satu puskesmastidak mampu
menyelenggarakan upaya kesehatan masyarakat wajib dan pengembangan, padahal upaya
kesehatan masyarakat tersebut telah menjadi kebutuhan masyarakat. Apabila suatu puskesmas
tidak mampu menanggulangi masalah kesehatan masyarakat, maka puskesmas tersebut wajib
merujuknya ke Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota.7

Rujukan upaya kesehatan masyarakat dibedakan atas tiga macam :7


1). Rujukan sarana dan logistik, antara lain peminjaman peralatan fogging, peminjaman alat
laboratorium kesehatan, peminjaman alat audio visual, bantuan obat, vaksin, bahan-bahan habis
pakai dan bahan makanan.
2). Rujukan tenaga antara lain dukungan tenaga ahli untuk penyelidikan kejadian luar biasa,
bantuan penyelesaian masalah hukum kesehatan, penanggulangan gangguan kesehatan karena
bencana alam.
3). Rujukan operasional, yakni menyerahkan sepenuhnya masalah kesehatan masyarakat dan
tanggungjawab penyelesaian masalah kesehatan masyarakat dan atau penyelenggaraan upaya
kesehatan masyarakat (antara lain Upaya Kesehatan Sekolah, Upaya Kesehatan Kerja, Upaya
Kesehatan Jiwa, Pemeriksaan Contoh Air Bersih) kepada Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota.
Rujukan operasional diselenggarakan apabila puskesmas tidak mampu.
Contoh ilustrasi kasus
Tn. Amar, 56 tahun dilarikan ke puskesmas karena mengeluh dada rasa terhimpit sejak setengah
jam yang lalu. Dimana saat itu Tn. Amar sedang bermain tenis lapangan, rasa nyeri menjalar
sampai keleher dan diikuti muntah.Tn. Amar baru kali ini sakit seperti ini, tetapi beliau
mempunyai riwayat darah tinggi dan kolestrol tinggi.
Dari pemeriksaan dipuskesmas, dokter mendapatkan TD 160/100mmHg, Nadi 100 x/menit,
Nafas 26x/menit.Tidak ditemukan kelainan jantug dan paru. Dari pemerikasaan EKG
didapatkanST elevasi pada Lead II, III, aVF, HR: 100x/menit tidak terdapat tanda tanda
iskemik atau infark jantung. Dokter memberikan oksigen dan isosorbit dinitrat sublingual.
Dokter menerangkan kepada Tn. Amar dan keluarga untuk merujuk ke RSUP, karena diperlukan
pemeriksaan laboratorium untuk memastikan diagnosis, mendapatkan penatalaksanaan yang
maksimal, dan menghidari komplikasi yang mungkin terjadi.
Pembahasan :
1.

Apakah tindakan yang dilakukan oleh dokter puskesmas sudah benar?


Benar. Karena sudah sesuai dengan standar dan kompetensi dokter indonesia (SKDI)
yang ditulis dalam peraturan konsil kedokteran indonesia nomer 11 tahun 2012 tentang
Standar Kopetensi Dokter indonesia, karna pada kasus ini masuk dalam SKDI 3B yang
berbunyi: Lulusan dokter mampu membuat diagnosis klinik dan memberikan terapi
pendahuluan pada keadaan gawat darurat demi menyelamatkan nyawa atau mencegah

keparahan dan/atau kecacatan pada pasien. Lulusan dokter mampu menentukan rujukan
yang paling tepat bagi penanganan pasien selanjutnya. Lulusan dokter juga mampu
menindaklanjuti sesudah kembali dari rujukan.
2.

Mengapa Tn. Amar harus dirujuk? Karna dari gejala klinis, pemeriksaan fisik dan hasil

EKG dapat disimpulkan bahwa diagnosis Tn. Amnar adalah

MCI,setelah diberikan

penatalaksanaan yang standar, sesuai kriteria SKDI 3B. Maka Tn. Amar dirujuk ke Rumah Sakit
dengan kemampuan yang lebih kopeten.
3.

Rujukan jenis apa yang diterapkan pada kasus Tn.Amar? rujukan Vertikal, seperti yang

tertulis di Permenkes RI no 1 th 2012 dikarenakan keterbatasan fasilitas


4.

Apa yang seharusnya dilakukan oleh perujuk untuk memenuhi kelengkapan berkas

rujukan?
5.

Bagaimana isi surat rujukan untuk Tn. Amar?


1. Prosedur Klinis:
a) Melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang medik untuk
menentukan diagnosis utama dan diagnosis banding.
b) Memberikan tindakan stabilisasi sesuai kasus berdasarkan Standar Prosedur
Operasional (SPO).
c) Memutuskan unit pelayanan tujuan rujukan.
d) Untuk pasien gawat darurat harus didampingi tenaga kesehatan yang kompeten
dibidangnya dan mengetahui kondisi pasien.
e) Pasien (pada point 4) diantar dengan kendaraan ambulans, agar petugas dan kendaraan
pengantar tetap menunggu sampai pasien di IGD mendapat kepastian pelayanan, apakah
akan dirujuk atau ditangani di fasilitas pelayanan kesehatan setempat.
f) Rujukan kasus yang memerlukan standart kompetensi tertentu (sub spesialis) Pemberi
Pelayanan Kesehatan tingkat I (Puskesmas,Dokter Praktek, Bidan Praktek, Klinik) dapat
merujuk langsung ke rumah sakit rujukan yang memiliki kompetensi tersebut

2. Prosedur Administratif:

a) Dilakukan setelah pasien diberikan tindakan medis.


b) Membuat rekam medis pasien.
c) Menjelaskan/memberikan Informed Consernt (persetujuan/penolakan rujukan)
d) Membuat surat rujukan pasien rangkap 2, lembar pertama dikirim ke tempat rujukan
bersama pasien yang bersangkutan. Lembar kedua disimpan sebagai arsip.
e) Mencatat identitas pasien pada buku register rujukan pasien.
f) Menyiapkan sarana transportasi
g) Menghubungi rumah sakit yang akan dituju dengan menggunakan saran komunikasi
dan menjelaskan kondisi pasien.
h) Pengiriman dan penyerahan pasien disertai surat rujukan ke tempat rujukan yang
dituju.
i) Fasilitas pelayanan kesehatan perujuk membuat laporan.

KLINIKPRATAMA ..................................................................................................
Alamat ...................................................................................
_____________________________________________________________________________________
_________________SURAT PENGANTAR RUJUKAN
Nomer : .........................
Kepada Yth.
................................................
................................................
Dengan ini kami mengirimkan pasien :
Nama : Tn. Anmar

jenis kelamin : Laki-laki

tanggal lahir : 3 mei 1959

pekerjaan

: pensiunan PNS

alamat : jalan solo 5 semarang


dengan :
anamnesis

: keluhan utama :nyeri menjalar ke leher, muntah (+)

pemeriksaan fisik
: TD : 160/100 mmHg, N: 100x/permenit, RR: 26x/menit tidak di temukan
kelianan pada jantung dan paru
pemeriksaan penunjang

: tidak dilakukan

BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan

Medikolegal adalah ilmu hukum atau suatu tata cara baku yang mengatur bagaimana

profesi dokter ini dilakukan sehingga memenuhi aturan-aturan hukum yang ada.

Di Negara Indonesia sistem rujukan kesehatan telah dirumuskan dalam Permenkes No.

001 tahun 2012 pasal 3. Sistem rujukan adalah penyelenggaraan pelayanan kesehatan yang
mengatur pelimpahan tugas dan tanggungjawab pelayanan kesehatan secara timbal balik baik
vertikal dalam arti dari unit yang berkemampuan kurang kepada unit yang lebih mampu maupun
horizontal dalam arti antar unit yang setingkat kemampuannya, kepada yang lebih berwenang
dan mampu, terjangkau dan rasional.

Sistem rujukan di Indonesia dibedakan atas 2 jenis, yaitu rujukan medis dan rujukan

kesehatan. Pada Permenkes RI Nomor 001 Tahun 2012 Tentang Sistem Rujukan Pelayanan
Kesehatan Perorangan Pasal 7, rujukan dapat dilakukan secara vertikal dan horizontal. Rujukan
horizontal diatur dalam Permenkes RI Nomor 001 Tahun 2012 Pasal 8, sedangkan rujukan
vertikal diatur dalam Permenkes RI Nomor 001 Tahun 2012 Pasal 9 dan 10.

Langkah-langkah untuk melakukan tindakan rujukan dibagi menjadi prosedur klinis dan

prosedur administratif. Berdasarkan Peraturan Presiden RI No. 72 Tahun 2012 tentang Sistem
Kesehatan Nasional (SKN) pasal 5 menyebutkan bahwa SKN menjadi acuan dalam penyusunan
dan pelaksanaan pembangunan kesehatan yang dimulai dari kegiatan perencanaan sampai
dengan kegiatan monitoring dan evaluasi.

Alur rujukan dilakukan sesuai dengan tingkat atau jenjang dari pelayanan kesehatan.

Menurut Undang-Undang No.44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit, Pasal 24 berisi tentang
klasifikasi rumah sakit. Dalam rangka penyelenggaraan pelayanan kesehatan secara berjenjang
dan fungsi rujukan, rumah sakit umum dan rumah sakit khusus diklasifikasikan berdasarkan
fasilitas dan kemampuan pelayanan Rumah Sakit.

Sebagaimana tercantum pada Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 001 Tahun 2012

Tentang Sistem Rujukan Pelayanan Kesehatan Perorangan Pasal 15Surat pengantar rujukan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf csekurang-kurangnya memuat tentang identitas
pasien, hasil pemeriksaan yang dilakukan (anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang),

diagnosis kerja, terapi dan/atau tindakan yang telah diberikan, tujuan rujukan dannama dan tanda
tangan tenaga kesehatan yang memberikan pelayanan.

Acuan yang digunakan untuk merujuk bagi dokter umum adalah Standar Kompetensi

Dokter Indonesia (SKDI). SKDI merupakan standar minimal kompetensi lulusan dan bukan
merupakan standar kewenangan dokter layanan primer. SKDI juga menjadi acuan dalam
pengembangan uji kompetensi dokter yang bersifat nasional.
2.8 Opini Masyarakat
Fakta menyebutkan bahwa hampir keseluruhan mahasiswa Kedokteran memilih
untuk menjadi Dokter Spesialis. Sementara kapasitas lapangan pekerjaan yang disediakan
pemerintah seperti Dokter Spesialis untuk program BPJS hanya 20 persennya saja. Hal
tersebut membuat para Dokter memilih bekerja di layanan primer seperti Puskesmas atau
Klinik, namun dengan attitude (sikap) seolah-olah menyatakan daripada tidak ada
pekerjaan. Sehingga layanan primer menjadi tidak optimal. Ironi seperti ini menunjukkan
dibutuhkannya sebuah program yang dapat meningkatkan kualitas Dokter pada Layanan
Primer. Sehingga program pendidikan Dokter Layanan Primer (DLP) merupakan solusi
terbaik untuk mengatasi permasalahan di atas.
Hal tersebut diuraikan oleh wakil ketua Majelis Pembina Kesehatan Umat
(MPKU) Muhammadiyah, dr. Erwin Santosa, Sp.A, M.Kes. dalam seminar nasional
Pendidikan Dokter Layanan Primer (DLP) untuk Memperkuat Pelayanan Kesehatan
Primer yang Berkualitas di Convention Hall RSU PKU Muhammadiyah Gamping pada
Senin sore (21/12). Ia menjelaskan Kondisi Klinik Pratama Muhammadiyah saat ini
kekurangan Dokter Tetap (SDM). Hal ini juga dipengaruhi oleh sikap para Dokter baru
yang lebih memilih mengambil pendidikan spesialis dengan keyakinan bahwa menjadi
dokter spesialis dapat membawa prestise dan kemakmuran. Jika ini terus terjadi, maka
dapat mengakibatkan pelayanan primer seperti di Klinik Pratama Muhammadiyah
menjadi stagnan atau bahkan kolaps, ujar dr. Erwin.

3.2. Saran
Saran kami sebagai penulis kepada:

Pemerintah agar lebih lagi memperhatikan aspek kesehatan khususnya penyediaan tenaga

dan faslitas serta membuat suatu sistem kerja sama yang baik dalam upaya melakukan tindakan
rujukan.

Tenaga kesehatan agar berusaha untuk mempelajari dan memahami tentang sistem

rujukan yang berlaku di Indonesia agar mampu untuk melakukan tindakan rujukan yang tepat,
serta dapat bekerjasama dengan tenaga kesehatan yang lain dengan begitu diharapkan dapat
menurunkan angka kematian dan kecacatan yg terjadi.

Daftar Pustaka

Alim N, Musakkir, Irwansyah. Putusan majelis kehormatan disiplin kedokteran

Indonesia (mkdki) sebagai alat bukti awal dalam penegakan hukum kesehatan. Fakultas
Hukum

UNHAS

Makassar

diakses

dari

http://pasca.unhas.ac.id/jurnal/files/bfaf75c2e6da88787575bf63e38fa2e4.pdf.
2
Permenkes RI No.001.Sistem Rujukan Pelayanan Kesehatan Perorangan. Tahun
2012.
3
Paduan praktis sistem rujukan berjenjang. Diunduh dari www.rsmargono.go.id
pada tanggal 13 Mei 2015.
4
Dinas Kesehatan Provinsi Nusa Tenggara Barat. Petunjuk Teknis Sistem Rujukan
Pelayanan Kesehatan Provinsi Nusa Tenggara Barat.Tahun 2011.
5
Abraham S, dkk. Tanya jawab ilmu kedokteran forensik. Semarang: Badan
Penerbit Universitas Diponegoro Semarang; 2012. h.1.
6
KBBI online. Diunduh dari http://kbbi.web.id/medikolegal. Pada Tanggal 14 Mei
2015.
7
Kemenkes RI No. 128/MENKES/SKII/2004.Pengertian Rujukan. Tahun 2004.
8
Undang Undang RI. Nomor 29. Tentang Praktik Kedokteran. Tahun 2004.
9
Peraturan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta No.59. Pedoman Pelaksanaan
Sistem Rujukan Pelayanan Kesehatan. Tahun 2012.
10
Peraturan Presiden RI No.72. Sistem Kesehatan Nasional.Tahun 2012.
11
Yulianti, Nindi. Sistem Rujukan Pelayanan di Indonesia. Tahun 2011. Diunduh
dari www.slideshare.net/pjj_kemenkes/modul-kb-2-43811258 pada tanggal 12 Mei 2015.
12
Undang-undang.No.44. Tentang Rumah Sakit. Tahun 2009
13
Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia No.11. Standar Kompetensi Dokter
Indonesia.Tahun 2012.

Anda mungkin juga menyukai