DOSEN PENGUJI :
dr. Arif Rahman Sadad, SH, MSiMed, Sp.F, DHM
RESIDEN PEMBIMBING :
dr. Agung Hadi Pramono, MH(Kes)
Disusun Oleh :
Barbie Nurdilia Rojalih
Auliana Danisya
Sheilla Ratnasari
Syifa Puspa Pertiwi
Chandra Hidayat
Tegar Aulia Fadlilah
1420221129
1410221078
1410221082
1410221126
1410221071
1410221118
HALAMAN PENGESAHAN
REFERAT ILMU KEDOKTERAN FORENSIK DAN MEDIKOLEGAL
Disusun Oleh :
Pembimbing
1420221129
1410221078
1410221082
1410221126
1410221071
1410221118
Penguji
Kata Pengantar
Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat-Nya sehingga
kami dapat menyelesaikan referat dengan judul Aspek Medikolegal Dokter Layanan Primer di
Klinik Pratama yang merupakan salah satu syarat dalam melaksanakan kepaniteraan klinik di
bagian Ilmu Kedokteran Forensik Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Kariadi Semarang.
Kami juga mengaucapkan terima kasih kepada :
1
2
3
dr. Arif Rahman Sadad, SH, MSiMed, Sp.F, DHM sebagai penguji referat
dr. Agung Hadi Pramono, MH(Kes) sebagai residen pembimbing
Seluruh pembimbing dibagian Ilmu Kedokteran Forensik Rumah sakit Umum Pusat Dr.
Penulis
Daftar Isi
Hal
Halaman Pengesahan
Kata Pengantar
ii
Daftar Isi
iii
BAB I PENDAHULUAN
1
2
3
Latar Belakang
Rumusan Masalah
Tujuan Penulisan
1
2
2
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Pengertian aspek medikolegal
11
24
29
29
BAB II PENUTUP
3.1 Kesimpulan
37
3.2 Saran
38
Daftar Pustaka
iv
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Kesehatan adalah hak asasi setiap umat manusia, oleh karena itu pada pasal 28 H Undang
-Undang Dasar 1945 ayat (1) diamanatkan bahwa Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan
batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak
memperoleh pelayanan kesehatan, sedangkan pada Pasal 34 ayat (2) dan ayat (3) dikatakan
bahwa Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan
masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan serta Negara
bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum
yang layak. Sistem Jaminan Sosial Nasional yang dimulai pada tanggal 1 januari 2014
merupakan perwujudan dari upaya pemerintah untuk memenuhi target pemerataan pelayanan
kesehatan agar seluruh masyarakat Indonesia dapat terjamin kesehatannya secara komprehensif.
Sistem pelayanan kesehatan kepada masyarakat yang selama ini dilaksanakan tidak terstruktur,
harus sudah dimulai pelaksanaannya agar terstruktur sesuai dengan sistem rujukan yang telah
ditetapkan. Tujuannya adalah untuk menjamin aksesbilitas masyarakat kepada fasilitas pelayanan
kesehatan yang memadai, mendorong standar mutu pelayanan kesehatan secara rasional serta
mendorong efisiensi pelayanan kesehatan sehingga seluruh masyarakat Indonesia memperoleh
manfaat jaminan perlindungan kesehatan guna memenuhi kebutuhan dasarnya. Oleh karena itu,
pembenahan dan optimalisasi berbagai aspek dari seluruh fasilitas kesehatan di Indonesia sangat
diperlukan.
1.2 Rumusan Masalah
1.
2.
3.
Memberikan pengetahuan kepada dokter dan dokter muda tentang aspek medikolegal sistem
rujukan pada bidang kesehatan di Indonesia.
Tujuan Khusus :
1.
2.
3.
4.
5.
6.
Mengetahui pengertian rujukan dan sistem rujukan, serta hukum yang mendasarinya
Mengetahui jenis rujukan dan hukum yang mendasarinya
Mengetahui langkah sistem rujukan dan hukum yang mendasarinya
Mengetahui alur sistem rujukan serta dasar hukum yang mendasarinya
Mengetahui bentuk surat pengantar rujukan sesuai hukum yang mengaturnya
Mengetahui apa yang digunakan sebagai acuan untuk merujuk bagi dokter umum serta
hukum yang mendasarinya
1.4 Pengertian
1. Fasilitas Kesehatan adalah fasilitas pelayanan kesehatan yang digunakan untuk
menyelenggarakan upaya pelayanan kesehatan perorangan, baik promotif, preventif,
kuratif maupun rehabilitatif yang dilakukan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah,
dan/atau Masyarakat.
2. Klinik adalah fasilitas pelayanan kesehatan yang menyelenggarakan pelayanan
kesehatan perorangan yang menyediakan pelayanan medis dasar dan/atau spesialistik,
diselenggarakan oleh lebih dari satu jenis tenaga kesehatan (perawat, dan atau bidan) dan
dipimpin oleh seorang tenaga medis (dokter, dokter spesialis, dokter gigi atau dokter gigi
spesialis).
3. Klinik Pratama adalah klinik yang menyelenggarakan pelayanan medik dasar.
4. Pelayanan medik adalah kegiatan pelayanan kesehatan yang diberikan kepada pasien
sesuai dengan standar pelayanan medis dengan memanfaatkan sumberdaya dan fasilitas
secara optimal.
5. Pelayanan Kesehatan Tingkat Pertama adalah pelayanan kesehatan perorangan yang
bersifat non spesialistik (primer) meliputi pelayanan rawat jalan dan rawat inap.
6. Tenaga Medis adalah dokter, dokter spesialis, dokter gigi atau dokter gigi spesialis.
8. Jaminan Kesehatan adalah jaminan berupa perlindungan kesehatan agar peserta
memperoleh manfaat pemeliharaan kesehatan dan perlindungan dalam memenuhi
kebutuhan dasar kesehatan yang diberikan kepada setiap orang yang telah membayar
iuran atau iurannya dibayar oleh pemerintah.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian aspek medikolegal
Medikolegal secara harafiah berasal dari dua pengertian yaitu medik yang berarti profesi
dokter dan legal yang berarti hukum. Sehingga batasan medikolegal adalah ilmu hukum atau
suatu tata cara baku yang mengatur bagaimana profesi dokter ini dilakukan sehingga
memenuhi aturan-aturan hukum yang ada. Medikolegal menurut KBBI adalah berkaitan, baik
dengan kesehatan maupun hukum.5,6
2.2 Konsep pelayanan kesehatan primer dalam era jaminan kesehatan nasional
Pengelolaan upaya kesehatan yang terpadu, berkesinambungan, paripurna dan
berkualitas, meliputi upaya peningkatan, pencegahan , pengobatan, dan pemulihan, yang
diselenggarakan guna menjamin tercapainya derajat kesehatan masyarakat yang
setinggitingginya.
Unsur Subsistem Upaya Kesehatan :
a. Upaya Kesehatan
b. Fasilitas pelayanan kesehatan
c. Sumber daya Upaya Kesehatan
d. Pembinaan dan pengawasan upaya kesehatan
Pelayanan Kesehatan Dasar (Primary Health Care) adalah pelayanan kesehatan esensial
yang diselenggarakan berdasarkan tatacara dan teknologi praktis, sesuai dengan kaedah ilmu
pengetahuan serta diterima oleh masyarakat, dapat dicapai oleh perorangan dan keluarga dalam
masyarakat melalui peran aktif secara penuh dengan biaya yang dapat dipikul oleh masyarakat
dan negara untuk memelihara setiap tahap perkembangan serta yang didukung oleh semangat
kemandirian dan menentukan diri sendiri (WHO, 1978).
Pentingnya pelayanan kesehatan primer:
risiko kesehatan
Keberhasilan pelayanan kesehatan primer akan mendukung pelaksanaan jaminan sosial
Optimalisasi Fasilitas Pelayanan Kesehatan Primer Sebagai Gate Keeper adalah dokter
yang berwenang mengatur pelayanan kesehatan bagi peserta, sekaligus bertanggungjawab dalam
rujukan pelayanan kesehatan lanjutan sesuai kebutuhan medis peserta.
Gate keeper adalah dokter yang bekerja pada pelayanan kesehatan primer, yang pertama kali
ditemui masyarakat, antara lain:
Klinik Pratama, merupakan klinik yang menyelenggarakan pelayanan medik dasar (bisa
dibentuk oleh perorangan dan badan usaha).
Klinik Utama, merupakan klinik yang menyelenggarakan pelayanan medik spesialistik
atau pelayanan medik dasar dan spesialistik (harus berbentuk badan hukum).
Bangunan dan Ruangan Klinik Klinik diselenggarakan pada bangunan yang permanen dan tidak
bergabung dengan tempat tinggal atau unit kerja lainnya. Bangunan klinik harus memperhatikan
fungsi, keamanan, kenyamanan dan kemudahan dalam pemberian pelayanan serta perlindungan
dan kesalamatan bagi semua orang termasuk penyandang cacat, anakanak dan orang lanjut usia.
Bangunan klinik paling sedikit terdiri atas:
a. Ruang pendaftaran/ruang tunggu
b. Ruang konsultasi dokter
c. Ruang administrasi
d. Ruang tindakan
e. Ruang farmasi
f. Kamar mandi/wc
g. Ruang lainnya sesuai kebutuhan pelayanan.
Klinik yang menyelenggarakan pelayanan rawat inap hanya dapat memberikan pelayanan
rawat inap maksimal selama 5 (lima) hari dan klinik harus menyediakan:
a. Ruang rawat inap yang memenuhi persyaratan
b. Tempat tidur pasien minimal 5 (lima) maksimal 10 (sepuluh)
c. Tenaga medis dan keperawatan yang sesuai jumlah dan kualifikasinya
d. Tenaga gizi, tenaga analis kesehatan, tenaga kefarmasian dan tenaga kesehatan dan/atau tenaga
non kesehatan lain sesuai kebutuhan
e. Dapur gizi
f. Pelayanan laboratorium Klinik Pratama.
Klinik dapat menyelenggarakan pelayanan laboratorium klinik dimana perizinan
laboratorium klinik terintegrasi dengan perizinan kliniknya. Klinik juga menyelenggarakan
pengelolaan dan pelayanan kefarmasian melalui ruang farmasi yang dilaksanakan oleh apoteker
yang memiliki kompetensi dan kewenangan untuk itu. Apabila klinik berada di daerah yang tidak
terdapat apoteker, maka pelayanan kefarmasian dapat dilaksanakan oleh tenaga teknis
kefarmasian. Ruang farmasi hanya dapat melayani resep dari tenaga medis yang bekerja di klinik
yang bersangkutan (Menkes RI, 2011).
Respon dari dunia pendidikan terhadap berlakunya JKN adalah dengan membuka
program pendidikan DLP. Salah satu syarat dari pembukaan prodi ini adalah universitas yang
bersangkutan dapat mempertahankan atau memiliki akreditasi A sesuai dengan pasal 8 ayat 1 UU
No. 20 tahun 2013. Berdasarkan data Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi hanya ada 16
program studi pendidikan dokter yang terakreditasi A di Indonesia. FK Unud juga akan
membuka program pendidikan DLP pada tahun 2016 jika dapat mempertahankan akreditasi A.
Program pendidikan layanan primer dapat ditempuh selama tiga tahun sehingga
kedepannya mahasiswa kedokteran dapat memilih five carrier pathways yaitu sebagai dokter
umum, dokter layanan primer, dokter spesialis, dosen, maupun peneliti. Pada tahun 2019,
Indonesia diharapkan sudah dapat mencetak dokter layanan primer bersamaan dengan target
BPJS yaitu pada tahun 2019 seluruh masyarakat Indonesia telah mengikuti JKN. Bunyi pasal 8
ayat 3 UU No. 20 tahun 2013 yaitu, Program dokter layanan primer sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) merupakan kelanjutan dari program profesi dokter dan program internsip yang
setara dengan program dokter spesialis berarti program pendidikan dokter layanan primer dapat
ditempuh oleh mahasiswa yang telah lulus uji kompetensi (exit exam) dan menjalani internship
serta merupakan jenjang pendidikan yang setara spesialis. Program pendidikan dokter layanan
primer bersifat generalis bukan spesialis dikarenakan ranah kompetensi DLP tidak menyangkut
satu sistem organ atau keahlian saja, sebagaimana yang telah didiskusikan pada Diskusi Publik
UU No. 20 tahun 2013 tentang Pendidikan Dokter di FKUI.
Adapun perbedaan DLP dengan dokter umum adalah DLP memiliki kompetensi yang
lebih dibandingkan dokter umum karena nantinya DLP akan dibekali pendidikan berupa 80%
kompetensi sebagai dokter keluarga dan 20% kesehatan masyarakat. Kompetensi yang akan
dimiliki oleh DLP adalah konsep kedokteran keluarga (konsep dan wawasan, prinsip dan
pelayanan dokter keluarga, pengaruh keluarga, komunitas dan lingkungan, tugas dan fungsi
dokter keluarga dalam pelayanan primer), manajemen klinik dokter keluarga (manajemen SDM,
fasilitas, informasi, dan dana), keterampilan klinik (klinis non bedah, mengatasi keadaan klinis
umum, masalah klinis khusus, menggunakan sarana penunjang dan medis teknis bedah) dan
keluasan penerapan ilmu dan wawasannya (masalah kesehatan kelompok usia dan masalah
kesehatan kelompok khusus). Sedangkan dokter umum hanya memiliki konsep dan wawasan
kedokteran keluarga, prinsip dan pelayanan dokter keluarga, keterampilan klinis non-bedah,
mengatasi masalah klinis khusus, dan medis teknis bedah.
Menurut Direktur Utama RS Cipto Mangunkusumo, Dr. dr. Czeresna. H. Soedjono,
Sp.PD-KGer, yang membedakan dokter spesialis, dokter umum dan dokter layanan primer
adalah kompetensi, area dan pekerjaannya. Dibanding dokter umum biasa, dokter layanan
primer memiliki 10 atau 11 item yang akan membedakan bukan hanya jenis area kompetensinya
saja tapi bagaimana pendekatan kepada pasien dalam masalah kesehatan. Misalnya, dokter yang
mengobati batuk pilek di layanan primer. Dia harus periksa dan menetapkan obat ini. Mungkin
dokter umum akan langsung memberikan obat tapi dokter layanan primer tidak begitu, kata
Czeresna saat ditemui dalam acara Dies Natalis Universitas Indonesia ke 64 di UI Salemba,
Jakarta, Rabu (5/3/2014). Czeresna menerangkan, dokter layanan primer tidak akan memberikan
obat langsung karena dia akan mencari tahu lebih dalam lagi mengenai sebab pasien batuk pilek.
Seperti faktor-faktor apa yang menyebabkan pasien batuk pilek. Apakah virusnya dari diri
sendiri, keluarga, lingkungan atau sekitar rumahnya ada yang mengalami batuk pilek. Kemudian
apakah batuk pilek ang dialami hanya sekali atau berulang dan tidak pernah terpikirkan oleh
dokter sebelumnya. Dokter layanan primer akan melakukan penelusuran lebih dalam
dan approachlebih baik lagi sehingga pengobatan juga secara komprehensi akan lebih baik lagi,
ujarnya. Untuk pendidikan dokter layanan primer, Czeresna melanjutkan, perlu waktu 2-3 tahun
untuk setiap angkatannya dengan bobot 50-90 SKS. Dan saat ini, proses pendidikan ini masih
dalam tahap penyusunan standar kompetensi dan membutuhkan waktu sekitar 5 tahun. Artinya,
dokter layanan primer baru ada pada 2019. Nanti proses pendidikan akan mengacu pada RSCM
karena idealnya mereka (dokter layanan primer) akan bekerja di pelayanan primer dan bukan
berarti tidak perlu mengenal RS. Mereka perlu mengenal proses di RS agar mereka tahu betul
apa yang terjadi di RS. Ketika mereka mengetahui bagaimana komunikasinya, barulah
diterjunkan ke komunitas, ujarnya.
Perbedaan lainnya adalah BPJS hanya akan menandatangani kontrak dengan DLP bukan
dokter umum. DLP nantinya akan menangani 2.500 orang (maksimal 3.000 orang) yang kapitasi
nya ditentukan oleh BPJS. Untuk sekarang, BPJS mematok harga Rp19.500/orang untuk
pelayanan oleh DLP.2 Akan tetapi, besarnya iuran ini dapat berubah. Menurut rapat Komisi I
tentang DLP Muktamar AIPKI VII, hanya akan diberikan iuran sebesar Rp2.600 dan telah
menjadi keputusan menteri keuangan. Dalam hal ini DLP diharapkan dapat meningkatkan
kesehatan masyarkat karena semakin sedikit masyarakat yang berobat maka semakin besar gaji
seorang DLP. Tetapi DLP juga diberikan kewenangan untuk membuka praktik umum sendiri,
tidak harus bekerja di puskemas atau rumah sakit pemerintah. Lalu bagaimana dengan dokter
umum yang telah lama menempuh karirnya? Program studi DLP hanya dapat diambil oleh dokter
yang baru lima tahun menyandang gelar dokternya alias baru lulus. Sedangkan untuk dokter
umum yang telah lama lulus, mereka hanya tinggal mengisi borang yang disediakan oleh BPJS,
dan jika borang tersebut dipertimbangkan oleh BPJS maka dokter umum tersebut dapat dianggap
setara dengan DLP. Selain itu, kini beberapa puskesmas di Indonesia juga telah membuka
program percepatan DLP yang terdiri dari 11 sampai dengan 12 modul yang disponsori oleh
Kemenkes khusus untuk 9.000 dokter di Indonesia. Diharapkan dalam dua tahun ke depan,
dokter-dokter ini memiliki kompetensi yang setara dengan DLP. Untuk saat ini, BPJS hanya
bekerja sama dengan puskesmas dan dokter umum yang dianggap memliki kompetensi yang
memadai.
Problematika yang dihadapi oleh DLP adalah besarnya kapitasi dan iuran yang belum
secara jelas diuraikan dan membutuhkan pertimbangan lebih lanjut. Besarnya anggaran
kesehatan yang ideal adalah 5% dari APBN tetapi kenyataannya di Indonesia anggaran kesehatan
masih di bawah 5%. Anggaran kesehatan tahun 2015 sebesar 74,2 triliun rupiah dan pendapatan
negara tahun 2015 sebesar 1.793,6 triliun rupiah. Padahal sesungguhnya besarnya iuran yang
dikenakan akan berbanding lurus dengan kualitas pelayanan kesehatan yang akan diberikan
kepada masyarakat. Jika besarnya insentif (iuran) tidak sepadan dengan kebutuhan biaya
kesehatan maka dapat memicu underutilisasi pada DLP atau peningkatan rujukan dari dokter
yang takut merugi. Solusi dari problematika ini adalah ketegasan pemerintah dalam
komitmennya membangun masyarakat Indonesia yang sehat dan sejahtera. Yang dapat
dituangkan dalam UU mengenai kejelasan DLP, program kapitasi dan anggaran dana kesehatan.
Selain itu, di sisi lain diperlukan pula sosialisasi mengenai DLP dan
perubahan mindset mahasiswa yang menganggap menjad dokter spesialis akan lebih
menguntungkan. Paradigma di kalangan masyarakat juga perlu diubah yang awalnya hanya
kuratif menjadi preventif.
Dari hasil wawancara beberapa mahasiswa di FK Unud, yaitu Wirga Wirgunatha dari
angkatan 2012 dan kini menjabat sebagai ketua BEM FK Unud, Wahyu Mahasurya dari angkatan
2013 yang kini menjabat sebagai ketua HMKU, dan Lady Adelaida dari angkatan 2014, mereka
menyatakan persetujuan tentang keberadaan DLP, akan tetapi masih banyak kesimpangsiuran
mengenai tugas dan wewenang DLP dan dokter umum. Ketika ditanya mengenai pendapat
mereka tentang DLP, Wahyu memberikan pendapat bahwa jika ditinjau dari urgensinya mungkin
DLP cukup penting, namun dari segi mindset masyarakat belum siap karena masyarakat masih
banyak yang langsung berobat ke dokter spesialis. Hal yang sama juga diutarakan oleh Lady
yaitu Indonesia membutuhkan sebuah revolusi mental, pelatihan, dan pembekalan untuk para
dokter. Menurut Wirga, DLP memiliki kelebihan yaitu menyediakan langkah preventif di mana
dokter dituntut untuk dapat menjaga kesehatan masyarakat sehingga nantinya angka kesakitan
dimasyarakat dapat menurun dan meningkatkan kualitas hidup mereka. Sementara itu
kekurangan DLP adalah kurangnya sosialisasi dan publikasi oleh pemerintah, mirip seperti yang
diungkapkan oleh Lady.
Ketika ditanya tentang setuju atau tidaknya mengenai JKN dan DLP, dr. Sutarsa
menjawab bahwa program JKN dan DLP ini cukup baik. Selain JKN dapat memberikan surplus
bagi pendapatan negara, DLP juga nantinya tidak hanya mengobati masyarakat yang sakit tetapi
juga diharuskan untuk meningkatkan kesehatan masyarakat. Jika program ini dapat berjalan
dengan baik maka taraf kesehatan di Indonesia juga pasti akan meningkat. Tetapi menurut dr.
Sutarsa, Indonesia belum siap untuk menerapkan program ini karena dari segi infrasturuktur dan
geografis Indonesia tidak memadai. Banyak daerah di Indonesia yang tidak memiliki pelayanan
kesehatan yang memadai bahkan banyak yang belum tersentuh oleh listrik. Selain itu,
masyarakat Indonesia sudah terbiasa dengan program JAMKESDA (Jaminan Kesehatan Daerah).
Untuk kedepannya, JAMKESDA diharapkan dapat melebur bersama JKN pada tahun 2019.
penurunan. Secara sederhana dapat dikatakan sistem rujukan mengatur darimana dan harus
kemana seseorang dengan gangguan kesehatan tertentu memeriksakan keadaan sakitnya.2
Pasal 4
Menjelaskan bahwa sistem rujukan merupakan :
(1)
(2)
(3)
Pelayanan kesehatan tingkat ketiga hanya dapat diberikan atas rujukan dari
pelayanan kesehatan tingkat kedua atau tingkat pertama.
(4)
Bidan dan perawat hanya dapat melakukan rujukan ke dokter dan/atau dokter
gigi pemberi pelayanan kesehatan tingkat pertama.
(5)
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan
ayat(4)dikecualikan pada keadaan gawat darurat, bencana, kekhususan
permasalahan kesehatan pasien, dan pertimbangan geografis.
Berdasarkan Undang Undang RI Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran pasal
51 poin b yaitu Dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran mempunyai
kewajiban merujuk pasien ke dokter atau dokter gigi lain yang mempunyai keahlian atau
kemampuan yang lebih baik, apabila tidak mampu melakukan suatu pemeriksaan atau
pengobatan.8
Pelayanan kesehatan perorangan terdiri dari 3 tingkatan, pelayanan kesehatan tingkat
pertama merupakan pelayanan kesehatan dasar yang diberikan oleh fasilitas kesehatan
tingkat pertama, pelayanan kesehatan tingkat kedua merupakan pelayanan kesehatan
spesialistik yang dilakukan oleh dokter spesialis atau dokter gigi spesialis yang menggunakan
pengetahuan dan teknologi kesehatan spesialistik, dan pelayanan kesehatan tingkat ketiga
merupakan pelayanan kesehatan subspesialistik yang dilakukan oleh dokter subspesialis atau
dokter gigi subspesialis yang menggunakan pengetahuan dan teknologi kesehatan sub
spesialistik.3
Dalam menjalankan pelayanan kesehatan, fasilitas kesehatan tingkat pertama dan tingkat
lanjutan wajib melakukan sistem rujukan dengan mengacu pada peraturan perundangundangan yang berlaku.Pelayanan rujukan dapat dilakukan secara horizontal dan
vertikal.Rujukan horizontal adalah rujukan yang dilakukan antar pelayanan kesehatan dalam
satu tingkatan apabila perujuk tidak dapat memberikan pelayanan kesehatan sesuai dengan
kebutuhan pasien karena keterbatasan fasilitas, peralatan dan/atau ketenagaan yang sifatnya
sementara atau menetap. Rujukan vertikal adalah rujukan yang dilakukan antar pelayanan
kesehatan yang berbeda tingkatan, dapat dilakukan dari tingkat kesehatan yang lebih rendah
ke tingkat pelayanan yang lebih tinggi atau sebaliknya.3
Rujukan vertikal dari tingkat pelayanan yang lebih rendah ke tingkatan pelayanan yang lebih
tinggi dilakukan apabila, pasien membutuhkan pelayanan kesehatan spesialistik atau
subspesialistik, perujuk tidak dapat memberikan pelayanan kesehatan sesuai dengan
kebutuhan pasien karena keterbatasan fasilitas, peralatan, dan/atau ketenagaan. Rujukan
vertikal dari tingkat pelayanan yang lebih tinggi ke tingkat pelayanan yang lebih rendah
dilakukan apabila, permasalahan pasien dapat ditangani oleh tingkatan pelayanan yang lebih
rendah sesuai dengan kompetensi dan kewenangannya, kompetensi dan kewenangan
pelayanan tingkat pertama atau kedua lebih baik dalam menangani pasien tersebut, pasien
membutuhkan pelayanan lanjutan yang dapat ditangani oleh tingkatan pelayanan yang lebih
rendah dan untuk pelayanan kemudahan, efisiensi dan pelayanan jangka panjang, dan/atau
perujuk tidak dapat memberikan pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan pasien karena
keterbatasan sarana, prasarana, peralatan, dan/atau ketenagaan.3
Rujukan horizontal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan rujukan antar
Rujukan vertikal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilakukan dari
tingkatan pelayanan yang lebih rendah ke tingkatan pelayanan yang lebih tinggi
atau sebaliknya.2
Pasal 8
Rujukan horizontal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (3) dilakukan apabila perujuk
tidak dapat memberikan pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan pasien karena
keterbatasan fasilitas, peralatan dan/atau ketenagaan yang sifatnya sementara atau menetap.2
Pasal 9
Rujukan vertikal dari tingkatan pelayanan yang lebih rendah ke tingkatanpelayanan yang
lebih tinggi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (4) dilakukan apabila:2
a. pasien membutuhkan pelayanan kesehatan spesialistik atau subspesialistik;
b. perujuk tidak dapat memberikan pelayanan kesehatan sesuai dengankebutuhan pasien
karena keterbatasan fasilitas, peralatan dan/atauketenagaan.
Pasal 10
Rujukan vertikal dari tingkatan pelayanan yang lebih tinggi ke tingkatanpelayanan yang lebih
rendah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (4) dilakukan apabila:2
a. permasalahan kesehatan pasien dapat ditangani oleh tingkatan pelayanan kesehatan
yang lebih rendah sesuai dengan kompetensi dankewenangannya;
b. kompetensi dan kewenangan pelayanan tingkat pertama atau kedua lebih baik dalam
menangani pasien tersebut;
c. pasien membutuhkan pelayanan lanjutan yang dapat ditangani olehtingkatan pelayanan
kesehatan yang lebih rendah dan untuk alasankemudahan, efisiensi dan pelayanan jangka
panjang; dan/atau
d. perujuk tidak dapat memberikan pelayanan kesehatan sesuai dengankebutuhan pasien
karena keterbatasan sarana, prasarana, peralatan dan/atau ketenagaan.
Sistem rujukan medis mencakup 3 aspek pelayanan medis yaitu rujukan pasien, rujukan
spesimen atau penunjang diagnostik lainnya dan rujukan pengetahuan.Rujukan pasien
merupakan penatalaksanaan pasien dari strata pelayanan kesehatan yang kurang mampu ke
strata pelayanan kesehatan yang lebih sempurna atau sebaliknya untuk pelayanan tindak
lanjut.Rujukan ilmu pengetahuan merupakan pengiriman dokter atau tenaga kesehatan yang
lebih ahli dari strata pelayanan kesehatan yang lebih mampu ke strata pelayanan kesehatan
yang kurang mampu untuk bimbingan dan diskusi atau sebaliknya, untuk mengikuti
pendidikan dan pelatihan. Rujukan bahan pemeriksaan laboratorium adalah pengiriman
bahan-bahan pemeriksaan laboratorium dari strata pelayanan kesehatan yang kurang mampu
ke strata yang lebih mampu atau sebaliknya, untuk tindak lanjut.2,9
Rujukan kesehatan adalah pelimpahan wewenang dan tanggungjawab untuk masalah
kesehatan masyarakat. Tujuannya adalah untuk meningkatkan derajat kesehatan dan ataupun
mencegah penyakit yang ada di masyarakat.Rujukan kesehatan mencakup rujukan tenaga,
rujukan sarana dan rujukan operasional.Rujukan tenaga adalah pengiriman dokter atau tenaga
kesehatan dari strata pelayanan yang lebih mampu ke strata pelayanan kesehatan yang kurang
mampu untuk menanggulangi masalah kesehatan yang ada di masyarakat atau sebaliknya,
untuk pendidikan dan latihan.Rujukan sarana adalah pengiriman berbagai peralatan medis
atau non medis dari strata pelayanan kesehatan yang lebih mampu ke strata pelayanan
kesehatan yang kurang mampu untuk menanggulangi masalah kesehatan di masyarakat, atau
sebaliknya untuk tindak lanjut. Rujukan operasional merupakan pelimpahan wewenang dan
tanggungjawab penanggulangan masalah kesehatan masyarakat dari strata pelayanan
kesehatan yang kurang mampu ke strata pelayanan kesehatan yang lebih mampu atau
sebaliknya untuk pelayanan tindak lanjut.2,9
Sebagaimana disebutkan dalam Permenkes RI Nomor 001 Tahun 2012 Tentang Sistem
Rujukan Pelayanan Kesehatan Perorangan
Pasal 11
(1)
(2)
Alasan yang sah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah pasien tidak dapat
ditransportasikan atas alasan medis, sumber daya, atau geografis.
Dari sudut pemerintah sebagai penentu kebijakan (policy maker), manfaat sistem rujukan
adalah membantu penghematan dana, karena tidak perlu menyediakan berbagai macam
peralatan kedokteran pada setiap sarana kesehatan; memperjelas sistem pelayanan
kesehatan, karena terdapat hubungan kerja antara berbagai sarana kesehatan yang tersedia;
memudahkan pekerjaan administrasi, terutama pada aspek perencanaan.
Dari sudut masyarakat sebagai pengguna jasa pelayanan (healtahun consumer), manfaat
sistem rujukan adalah meringankan biaya pengobatan, karena dapat dihindari pemeriksaan
yang sama secara berulang-ulang; mempermudah masyarakat dalam mendapatkan
pelayanan, karena telah diketahui dengan jelas fungsi dan wewenang setiap sarana
pelayanan kesehatan.
Pasal 2
(1)
(2)
158. Terdapat tiga tingkatan upaya, yaitu upaya kesehatan tingkat pertama/primer, upaya
167. Rujukan di bidang upaya kesehatan perorangan dalam bentuk pengiriman pasien,
spesimen, dan pengetahuan tentang penyakit dengan memperhatikan kendali mutu dan kendali
biaya, serta rujukan di bidang upaya kesehatan masyarakat dilaksanakan secara bertanggung
jawab oleh tenaga kesehatan yang kompeten dan berwenang serta sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Merujuk Dan Menerima Rujukan Pasien
Pasien yang akan dirujuk harus sudah diperiksa dan layak untuk dirujuk, kriteria pasien
yang layak untuk dirujuk adalah sebagai berikut :9
a. Hasil pemeriksaan fisik sudah dapat dipastikan tidak mampu diatasi;
b. Hasil pemeriksaan fisik dengan pemeriksaan penunjang medis ternyata tidak mampu
diatasi;
c. Memerlukan pemeriksaan penunjang medis yang lebih lengkap, tetapi pemeriksaan
harus disertai pasien yang bersangkutan; dan/atau
d. Apabila telah diobati dan dirawat ternyata memerlukan pemeriksaan, pengobatan dan
perawatan di fasilitas pelayanan kesehatan yang lebih mampu.
Dalam prosedur merujuk dan menerima rujukan pasien ada dua pihak yang terlibat yaitu
pihak yang merujuk dan pihak yang menerima rujukan dengan standar prosedur operasional
sebagai berikut :
1. Prosedur Klinis:9
a) Melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang medik
untuk menentukan diagnosis utama dan diagnosis banding.
b) Memberikan tindakan stabilisasi sesuai kasus berdasarkan Standar Prosedur
Operasional (SPO).
c) Memutuskan unit pelayanan tujuan rujukan.
d) Untuk pasien gawat darurat harus didampingi tenaga kesehatan yang
kompeten dibidangnya dan mengetahui kondisi pasien.
e) Pasien (pada point 4) diantar dengan kendaraan ambulans, agar petugas dan
kendaraan pengantar tetap menunggu sampai pasien di IGD mendapat
kepastian pelayanan, apakah akan dirujuk atau ditangani di fasilitas
pelayanan kesehatan setempat.
f) Rujukan kasus yang memerlukan standart kompetensi tertentu (sub spesialis)
Pemberi Pelayanan Kesehatan tingkat I (Puskesmas,Dokter Praktek, Bidan
Praktek, Klinik) dapat merujuk langsung ke rumah sakit rujukan yang
memiliki kompetensi tersebut
2. Prosedur Administratif: 9
a) Dilakukan setelah pasien diberikan tindakan medis.
b) Membuat rekam medis pasien.
c)
Menjelaskan/memberikan
Informed
Consernt
(persetujuan/penolakan
rujukan)
d) Membuat surat rujukan pasien rangkap 2, lembar pertama dikirim ke tempat
rujukan bersama pasien yang bersangkutan. Lembar kedua disimpan sebagai
arsip.
e) Mencatat identitas pasien pada buku register rujukan pasien.
f) Menyiapkan sarana transportasi
g) Menghubungi rumah sakit yang akan dituju dengan menggunakan saran
komunikasi dan menjelaskan kondisi pasien.
h) Pengiriman dan penyerahan pasien disertai surat rujukan ke tempat rujukan
yang dituju.
i) Fasilitas pelayanan kesehatan perujuk membuat laporan.
1. Prosedur Klinis: 9
a) Rumah Sakit atau Puskesmas yang menerima rujukan pasien wajib
memberikan umpan balik ke Rumah Sakit/Puskesmas/Dokter Praktek/
Bidan Praktek/Klinik pengirim setelah dilakukan proses antara lain:
1) Sesudah pemeriksaan medis, diobati dan dirawat selanjutnya pasien
perlu di tindaklanjuti oleh Rumah Sakit/Puskesmas/Dokter Praktek/
Bidan Praktek/Klinik pengirim.
2) Sesudah pemeriksaan medis, diselesaikan tindakan kegawatan klinis,
tetapi masih memerlukan pengobatan dan perawatan selanjutnya yang
dapat dilakukan di Rumah Sakit/Puskesmas/Dokter Praktek/Bidan
Praktek/Klinik pengirim.
b) Melakukan pemeriksaan fisik dan mendiagnosis bahwa kondisi pasien sudah
memungkinkan untuk keluar dari perawatan Rumah Sakit/Puskesmas
tersebut dalam keadaan:
1) Sehat atau Sembuh.
2) Sudah ada kemajuan klinis dan boleh rawat jalan.
3) Belum ada kemajuan klinis dan harus dirujuk ke tempat lain.
4) Pasien sudah meninggal.
c) Rumah Sakit/Puskesmas yang menerima rujukan pasien harus memberikan
laporan
informasi
medis
balasan
rujukan
kepada
Rumah
dituju,
dianjurkan
menghubungi
melalui
sarana
komunikasi
yang
3. Adanya komunikasi antar petugas yang ada di ambulan dengan rumah sakit perujuk.
4. Pengoperasian mobil ambulan sesuai aturan lalu lintas.
5. Perkembangan dan tindakan yang diberikan terhadap pasien di dalam ambulan dicatat
dalam catatan perkembangan pasien/surat rujukan
2. Puskesmas Non PONED (Pelayanan Obstetri neonates Esensial Dasar) /dokter
praktek swasta/klinik
a) Prosedur Klinis: 9
1) Melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang medik untuk
menentukan diagnosa utama dan diagnosis banding.
2) Memberikan tindakan stabilisasi pra rujukan sesuai kasus berdasarkan Standar
Prosedur Operasional (SPO).
3) Memutuskan unit pelayanan tujuan rujukan. Untuk pasien gawat darurat harus
didampingi petugas Medis / Paramedis yang kompeten dibidangnya dan mengetahui
kondisi pasien.
4) Apabila pasien diantar dengan kendaraan Puskesmas keliling atau ambulans, agar
petugas dan kendaraan tetap menunggu pasien di IGD sampai ada kepastian pasien
tersebut dapat dilayani dirawat inap atau di rujuk ke fasilitas kesehatan lain
5) Untuk rujukan kasus yang memerlukan standar kompetensi tertentu (sub spesialis)
Pemberi Pelayanan Kesehatan tersebut di atas (Puskesmas Non PONED/dokter praktek
swasta/klinik) dapat merujuk langsung ke Rumah Sakit Rujukan yang memiliki
kompetensi tersebut.
b) Prosedur Administratif: 9
1) Dilakukan setelah pasien diberikan tindakan
2) Membuat rekam medis pasien.
3) Menjelaskan/memberikan Informed Consernt (persetujuan/penolakan rujukan)
4) Membuat surat rujukan pasien rangkap 2, lembar pertama dikirim ke
i. Lembar pertama dikirim ke tempat rujukan bersama pasien yang bersangkutan.
ii. Lembar kedua disimpan sebagai arsip.
5) Mencatat identitas pasien pada buku register rujukan pasien.
6) Menyiapkan sarana transportasi serta menghubungi rumah sakit yang akan dituju
dengan menggunakan sarana komunikasi.
2) Apabila pasien tersebut dapat diterima kemudian membuat tanda terima pasien sesuai
aturan masing-masing sarana.
3) Mengisi hasil pemeriksaan dan pengobatan serta perawatan pada rekam medis dan
diteruskan ke tempat perawatan selanjutnya sesuai kondisi pasien.
4) Membuat informed consent (persetujuan tindakan, persetujuan rawat inap atau pulang
paksa).
5) Segera memberikan informasi tentang keputusan tindakan/perawatan yang akan
dilakukan kepada petugas/keluarga pasien yang mengantar.
6) Apabila tidak sanggup menangani (sesuai perlengkapan RS yang bersangkutan), maka
harus merujuk ke RS kelas A yang lebih mampu dengan membuat surat rujukan pasien
rangkap 2. Kemudian surat rujukan yang asli dibawa bersama pasien, prosedur
selanjutnya sama seperti merujuk pasien. (catatan komunikasi ke tujuan rujukan)
7) Mencatat identitas pasien di buku register serta mengisi laporan Triwulan pada RL.1.
8) Pengiriman dan penyerahan pasien disertai surat rujukan ke tempat rujukan yang
dituju.
Pelayanan kesehatan sebagaimana tercantum pada Peraturan Presiden RI No. 72 Tahun 2012
ttg Sistem Kesehatan Nasional dibagi dalam dua keompok besar, yaitu pelayanan kesehatan
perorangan dan pelayanan kesehatan masyarakat. Pelayanan kesehatan perorangan dan
pelayanan kesehatan masyarakat dibagi lagi atas primer, sekunder, dan tersier.10
-
188. Pelayanan kesehatan perorangan sekunder dilaksanakan oleh dokter spesialis atau
dokter yang sudah mendapatkan pendidikan khusus dan mempunyai izin praktik serta
didukung tenaga kesehatan lainnya yang diperlukan.
189. Pelayanan kesehatan perorangan sekunder dilaksanakan di tempat kerja maupun
fasilitas pelayanan kesehatan perorangan sekunder baik rumah sakit setara kelas C serta
fasilitas pelayanan kesehatan lainnya milik Pemerintah, Pemerintah Daerah, masyarakat,
maupun swasta).
-
internasional
untuk
memenuhi
kebutuhanpelayanan
kesehatan
dan
sistem
rujukan
pelayanan
kesehatan
perorangan
pelayanankesehatan
peroranganpasal 2 :2
(1)
Pelayanan kesehatan tingkat pertama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
merupakan pelayanan kesehatan dasar yang diberikan oleh dokter dan dokter gigi di puskesmas,
puskesmas perawatan, tempatpraktik perorangan, klinik pratama, klinik umum di balai/lembaga
pelayanan kesehatan, dan rumah sakit pratama.
(3)
Pelayanan kesehatan tingkat kedua sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
merupakan pelayanan kesehatan spesialistik yang dilakukan oleh dokter spesialis atau dokter gigi
spesialis yang menggunakan pengetahuan dan teknologi kesehatan spesialistik.
(5)
Pelayanan kesehatan tingkat ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c
merupakan pelayanan kesehatan sub spesialistik yang dilakukan oleh dokter sub spesialis atau
dokter gigi sub spesialis yang menggunakan pengetahuandan teknologi kesehatan sub
spesialistik.
Pasal 5
(1) Sistem rujukan diwajibkan bagi pasien yang merupakan peserta jaminan
kesehatan atau asuransi kesehatan sosial dan pemberi pelayanan kesehatan
(2) Peserta asuransi kesehatan komersial mengikuti aturan yang berlakusesuai
dengan ketentuan dalam polis asuransi dengan tetap mengikutipelayanan
kesehatan yang berjenjang.
(3) Setiap orang yang bukan peserta jaminan kesehatan atau asuransikesehatan
sosial, sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat mengikutisistem rujukan.
Pasal 6
Menyatakan bahwa dalam rangka meningkatkan aksesibilitas, pemerataan dan
peningkatanefektifitas pelayanan kesehatan, rujukan dilakukan ke fasilitas
pelayanankesehatan terdekat yang memiliki kemampuan pelayanan sesuai
kebutuhan pasien.
2.8 Alur sistem rujukan
Informasi kegiatan rujukan pasien dibuat oleh petugas kesehatan pengirim dan di catat
dalam surat rujukan pasien yang dikirimkan ke dokter tujuan rujukan, yang berisikan
antara lain : nomor surat, tanggal dan jam pengiriman, status pasien keluarga miskin
(gakin) atau non gakin termasuk umum, ASKES atau JAMSOSTEK, tujuan rujukan
penerima, nama dan identitas pasien, resume hasil anamnesa, pemeriksaan fisik,
diagnosa, tindakan dan obat yang telah diberikan, termasuk pemeriksaan penunjang,
kemajuan pengobatan dan keterangan tambahan yang dipandang perlu.4
Informasi balasan rujukan dibuat oleh dokter yang telah menerima pasien rujukan dan
setelah selesai merawat pasien tersebut mencatat informasi balasan rujukan di surat
balasan rujukan yang dikirimkan kepada pengirim pasien rujukan, yang berisikan antara
lain: nomor surat, tanggal, status pasien keluarga miskin (gakin) atau non gakin termasuk
umum, ASKES atau JAMSOSTEK, tujuan rujukan penerima, nama dan identitas pasien,
hasil diagnosa setelah dirawat, kondisi pasien saat keluar dari perawatan dan follow up
yang dianjurkan kepada pihak pengirim pasien. Informasi pengiriman spesimen dibuat
oleh pihak pengirim dengan mengisi Surat Rujukan Spesimen, yang berisikan antara lain:
nomor surat, tanggal, status pasien keluarga miskin (gakin) atau non gakin termasuk
umum, ASKES atau JAMSOSTEK, tujuan rujukan penerima, jenis/bahan spesimen dan
nomor spesimen yang dikirim, tanggal pengambilanspesimen, jenis pemeriksaan yang
diminta, nama dan identitas pasien asal spesimen dan diagnos klinis. Informasi balasan
hasil pemeriksaan bahan / spesimen yang dirujuk dibuat oleh pihak laboratorium
penerima dan segera disampaikan pada pihak pengirim dengan menggunakan format
yang berlaku di laboratorium yang bersangkutan. Informasi permintaan tenaga ahli /
dokter spesialis dapat dibuat oleh Kepala Puskesmas atau Rumah Sakit Umum Kab/Kota
yang ditujukan kepada Kepala Dinas Kesehatan Kab/Kota atau oleh Dinas Kesehatan
Kab/ Kota yang ditujukan ke Dinas Kesehatan Provinsi dengan mengisi Surat Permintaan
Tenaga Ahli, yang berisikan antar lain : nomor surat, tanggal, perihal Permintaan Tenaga
Ahli dan menyebutkan jenis spesialisasinya, waktu dan tempat kehadiran jenis
spesialisasi yang diminta, maksud keperluan tenaga ahli diinginkan dan sumber biaya
atau besaran biaya yang disanggupi. Informasi petugas yang mengirim, merawat atau
meminta tenaga ahli selalu ditulis nama jelas, asal institusi dan nomor telepon atau
handphone yang bisa dihubungi pihak lain. Keterbukaan antara pihak pengirim dan
penerima untuk bersedia memberikan informasi tambahan yang diperlukan masingmasing pihak melalui media komunikasi bersifat wajib untuk keselamatan pasien,
spesimen dan alih pengetahuan medis. Pencatatan dan Pelaporan sistem informasi
rujukan menggunakan format RL.1 yang baku untuk Rumah Sakit dan format R.4 untuk
laporan rujukan puskesmas. Adapun alur pelaporan rujukan akan mengikuti alur
pelaporan yang berlaku.4
rujukan, rumah sakit umum dan rumah sakit khusus diklasifikasikan berdasarkan fasilitas dan
kemampuan pelayanan Rumah Sakit.
2.
Klasifikasi Rumah Sakit umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
a.
b.
c.
d.
3.
Klasifikasi Rumah Sakit khusus sebagaimana dimaksudkan pada ayat (1) terdiri atas:
a.
b.
c.
4.
Ketentuan lebih lanjut mengenai klasifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
Rumah Sakit Umum kelas A adalah Rumah Sakit Umum yang mempunyai fasilitas dan
kemampuan pelayanan medik paling sedikit 4 (empat) spesialis dasar, 5 (lima) spesialis
penunjang medik, 12 (dua belas) spesialis lain dan 13 (tiga belas) subspesialis.
Rumah Sakit Umum kelas B adalah Rumah Sakit Umum yang mempunyai fasilitas dan
kemampuan pelayanan medik paling sedikit 4 (empat) spesialis dasar, 4 (empat) spesialis
penunjang medik, 8 (delapan) spesialis lain dan 2 ( dua) subspesialis dasar.
Rumah Sakit Umum kelas C adalah Rumah Sakit Umum yang mempunyai fasilitas dan
kemampuan pelayanan medik paling sedikit 4 (empat) spesialis dasar, 4 (empat) spesialis
penunjang medik.
Rumah Sakit Umum kelas D adalah Rumah Sakit Umum yang mempunyai fasilitas dan
(2) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah pasien dan/atau
keluarganya mendapatkan penjelasan dari tenaga kesehatan yang berwenang.
(3) Penjelasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sekurang-kurangnya meliputi:
a. diagnosis dan terapi dan/atau tindakan medis yang diperlukan;
b. alasan dan tujuan dilakukan rujukan;
c. risiko yang dapat timbul apabila rujukan tidak dilakukan;
d. transportasi rujukan; dan
e. risiko atau penyulit yang dapat timbul selama dalam perjalanan.
2.10
keparahan dan/atau kecacatan pada pasien. Lulusan dokter mampu menentukan rujukan
yang paling tepat bagi penanganan pasien selanjutnya. Lulusan dokter juga mampu
menindaklanjuti sesudah kembali dari rujukan.
2.
Mengapa Tn. Amar harus dirujuk? Karna dari gejala klinis, pemeriksaan fisik dan hasil
MCI,setelah diberikan
penatalaksanaan yang standar, sesuai kriteria SKDI 3B. Maka Tn. Amar dirujuk ke Rumah Sakit
dengan kemampuan yang lebih kopeten.
3.
Rujukan jenis apa yang diterapkan pada kasus Tn.Amar? rujukan Vertikal, seperti yang
Apa yang seharusnya dilakukan oleh perujuk untuk memenuhi kelengkapan berkas
rujukan?
5.
2. Prosedur Administratif:
KLINIKPRATAMA ..................................................................................................
Alamat ...................................................................................
_____________________________________________________________________________________
_________________SURAT PENGANTAR RUJUKAN
Nomer : .........................
Kepada Yth.
................................................
................................................
Dengan ini kami mengirimkan pasien :
Nama : Tn. Anmar
pekerjaan
: pensiunan PNS
pemeriksaan fisik
: TD : 160/100 mmHg, N: 100x/permenit, RR: 26x/menit tidak di temukan
kelianan pada jantung dan paru
pemeriksaan penunjang
: tidak dilakukan
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Medikolegal adalah ilmu hukum atau suatu tata cara baku yang mengatur bagaimana
profesi dokter ini dilakukan sehingga memenuhi aturan-aturan hukum yang ada.
Di Negara Indonesia sistem rujukan kesehatan telah dirumuskan dalam Permenkes No.
001 tahun 2012 pasal 3. Sistem rujukan adalah penyelenggaraan pelayanan kesehatan yang
mengatur pelimpahan tugas dan tanggungjawab pelayanan kesehatan secara timbal balik baik
vertikal dalam arti dari unit yang berkemampuan kurang kepada unit yang lebih mampu maupun
horizontal dalam arti antar unit yang setingkat kemampuannya, kepada yang lebih berwenang
dan mampu, terjangkau dan rasional.
Sistem rujukan di Indonesia dibedakan atas 2 jenis, yaitu rujukan medis dan rujukan
kesehatan. Pada Permenkes RI Nomor 001 Tahun 2012 Tentang Sistem Rujukan Pelayanan
Kesehatan Perorangan Pasal 7, rujukan dapat dilakukan secara vertikal dan horizontal. Rujukan
horizontal diatur dalam Permenkes RI Nomor 001 Tahun 2012 Pasal 8, sedangkan rujukan
vertikal diatur dalam Permenkes RI Nomor 001 Tahun 2012 Pasal 9 dan 10.
Langkah-langkah untuk melakukan tindakan rujukan dibagi menjadi prosedur klinis dan
prosedur administratif. Berdasarkan Peraturan Presiden RI No. 72 Tahun 2012 tentang Sistem
Kesehatan Nasional (SKN) pasal 5 menyebutkan bahwa SKN menjadi acuan dalam penyusunan
dan pelaksanaan pembangunan kesehatan yang dimulai dari kegiatan perencanaan sampai
dengan kegiatan monitoring dan evaluasi.
Alur rujukan dilakukan sesuai dengan tingkat atau jenjang dari pelayanan kesehatan.
Menurut Undang-Undang No.44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit, Pasal 24 berisi tentang
klasifikasi rumah sakit. Dalam rangka penyelenggaraan pelayanan kesehatan secara berjenjang
dan fungsi rujukan, rumah sakit umum dan rumah sakit khusus diklasifikasikan berdasarkan
fasilitas dan kemampuan pelayanan Rumah Sakit.
Sebagaimana tercantum pada Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 001 Tahun 2012
Tentang Sistem Rujukan Pelayanan Kesehatan Perorangan Pasal 15Surat pengantar rujukan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 huruf csekurang-kurangnya memuat tentang identitas
pasien, hasil pemeriksaan yang dilakukan (anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang),
diagnosis kerja, terapi dan/atau tindakan yang telah diberikan, tujuan rujukan dannama dan tanda
tangan tenaga kesehatan yang memberikan pelayanan.
Acuan yang digunakan untuk merujuk bagi dokter umum adalah Standar Kompetensi
Dokter Indonesia (SKDI). SKDI merupakan standar minimal kompetensi lulusan dan bukan
merupakan standar kewenangan dokter layanan primer. SKDI juga menjadi acuan dalam
pengembangan uji kompetensi dokter yang bersifat nasional.
2.8 Opini Masyarakat
Fakta menyebutkan bahwa hampir keseluruhan mahasiswa Kedokteran memilih
untuk menjadi Dokter Spesialis. Sementara kapasitas lapangan pekerjaan yang disediakan
pemerintah seperti Dokter Spesialis untuk program BPJS hanya 20 persennya saja. Hal
tersebut membuat para Dokter memilih bekerja di layanan primer seperti Puskesmas atau
Klinik, namun dengan attitude (sikap) seolah-olah menyatakan daripada tidak ada
pekerjaan. Sehingga layanan primer menjadi tidak optimal. Ironi seperti ini menunjukkan
dibutuhkannya sebuah program yang dapat meningkatkan kualitas Dokter pada Layanan
Primer. Sehingga program pendidikan Dokter Layanan Primer (DLP) merupakan solusi
terbaik untuk mengatasi permasalahan di atas.
Hal tersebut diuraikan oleh wakil ketua Majelis Pembina Kesehatan Umat
(MPKU) Muhammadiyah, dr. Erwin Santosa, Sp.A, M.Kes. dalam seminar nasional
Pendidikan Dokter Layanan Primer (DLP) untuk Memperkuat Pelayanan Kesehatan
Primer yang Berkualitas di Convention Hall RSU PKU Muhammadiyah Gamping pada
Senin sore (21/12). Ia menjelaskan Kondisi Klinik Pratama Muhammadiyah saat ini
kekurangan Dokter Tetap (SDM). Hal ini juga dipengaruhi oleh sikap para Dokter baru
yang lebih memilih mengambil pendidikan spesialis dengan keyakinan bahwa menjadi
dokter spesialis dapat membawa prestise dan kemakmuran. Jika ini terus terjadi, maka
dapat mengakibatkan pelayanan primer seperti di Klinik Pratama Muhammadiyah
menjadi stagnan atau bahkan kolaps, ujar dr. Erwin.
3.2. Saran
Saran kami sebagai penulis kepada:
Pemerintah agar lebih lagi memperhatikan aspek kesehatan khususnya penyediaan tenaga
dan faslitas serta membuat suatu sistem kerja sama yang baik dalam upaya melakukan tindakan
rujukan.
Tenaga kesehatan agar berusaha untuk mempelajari dan memahami tentang sistem
rujukan yang berlaku di Indonesia agar mampu untuk melakukan tindakan rujukan yang tepat,
serta dapat bekerjasama dengan tenaga kesehatan yang lain dengan begitu diharapkan dapat
menurunkan angka kematian dan kecacatan yg terjadi.
Daftar Pustaka
Indonesia (mkdki) sebagai alat bukti awal dalam penegakan hukum kesehatan. Fakultas
Hukum
UNHAS
Makassar
diakses
dari
http://pasca.unhas.ac.id/jurnal/files/bfaf75c2e6da88787575bf63e38fa2e4.pdf.
2
Permenkes RI No.001.Sistem Rujukan Pelayanan Kesehatan Perorangan. Tahun
2012.
3
Paduan praktis sistem rujukan berjenjang. Diunduh dari www.rsmargono.go.id
pada tanggal 13 Mei 2015.
4
Dinas Kesehatan Provinsi Nusa Tenggara Barat. Petunjuk Teknis Sistem Rujukan
Pelayanan Kesehatan Provinsi Nusa Tenggara Barat.Tahun 2011.
5
Abraham S, dkk. Tanya jawab ilmu kedokteran forensik. Semarang: Badan
Penerbit Universitas Diponegoro Semarang; 2012. h.1.
6
KBBI online. Diunduh dari http://kbbi.web.id/medikolegal. Pada Tanggal 14 Mei
2015.
7
Kemenkes RI No. 128/MENKES/SKII/2004.Pengertian Rujukan. Tahun 2004.
8
Undang Undang RI. Nomor 29. Tentang Praktik Kedokteran. Tahun 2004.
9
Peraturan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta No.59. Pedoman Pelaksanaan
Sistem Rujukan Pelayanan Kesehatan. Tahun 2012.
10
Peraturan Presiden RI No.72. Sistem Kesehatan Nasional.Tahun 2012.
11
Yulianti, Nindi. Sistem Rujukan Pelayanan di Indonesia. Tahun 2011. Diunduh
dari www.slideshare.net/pjj_kemenkes/modul-kb-2-43811258 pada tanggal 12 Mei 2015.
12
Undang-undang.No.44. Tentang Rumah Sakit. Tahun 2009
13
Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia No.11. Standar Kompetensi Dokter
Indonesia.Tahun 2012.