Anda di halaman 1dari 17

LAPORAN SGD LBM 1

‘’ Tuan terpikat cuan karena cinta ‘’


BLOK ELEKTIF

Disusun oleh :
Nama : Nurul Izzatulil Hakim
Nim : 018.06.0016
Kelas :B
Kelompok 8

Tutor : dr. Made Rika Anastasia P, S.Ked

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM AL-AZHAR MATARAM
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur dipanjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmat-
Nya dan dengan kemampuan yang penulis miliki, penyusunan makalah SGD (Small
Group Discussion) LBM 1 yang berjudul ‘’ Tuan terpikat cuan karena cinta ‘’
dapat diselesaikan tepat pada waktunya.
Makalah ini membahas mengenai hasil SGD lembar belajar mahasiswa (LBM)
1 yang berjudul ‘’Tuan terpikat cuan karena cinta ‘’ meliputi seven jumps step yang
dibagi menjadi dua sesi diskusi. Penyusunan makalah ini tidak akan berjalan lancar
tanpa bantuan dari berbagai pihak, maka dari itu dalam kesempatan ini penulis
mengucapkan terimakasih kepada:
1. dr. Made Rika Anastasia P, S.Ked sebagai dosen fasilitator SGD 8 yang
senantiasa memberikan saran serta bimbingan dalam pelaksanaan SGD.
2. Sumber literatur dan jurnal ilmiah yang relevan sebagai referensi penulis dalam
berdiskusi.
3. Teman satu kelompok (kelompok 8) yang telah senantiasa memberikan dukungan
dan saran.
4. Keluarga yang penulis cintai yang senantiasa memberikan dorongan dan motivasi.
Mengingat pengetahuan dan pengalaman penulis yang terbatas untuk menyusun
makalah ini, maka kritik dan saran yang membangun dari semua pihak sangat
diharapkan demi kesempurnaan makalah ini. Penulis berharap semoga makalah ini
dapat bermanfaat bagi kita semua.

Mataram, 23 November 2021

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Skenario

Seorang dokter yang bekerja di salah satu rumah sakit pemerintah menjual
vaksin secara ilegal kepada sekelompok warga di daerah tersebut yang seharusnya
belum mendapatkan jatah vaksin sesuai jadwal. Diketahui alasan dokter tersebut ingin
segera menikah karena tuntutan pasangannya, namun sang dokter kekurangan biaya
untuk melangsungkan pernikahan. Dokter tersebut dinyatakan sebagai tersangka
karena melakukan kegiatan vaksinasi yang tidak sesuai dengan peraturan yang
ditetapkan oleh pemerintah. Warga yang belum mendapatkan jadwal vaksinasi
diminta membayar biaya vaksin dan jasa penyuntikan terlebih dahulu dengan iming-
iming akan segera dilakukan vaksinasi. Menurut anda, apakah tindakan dokter
tersebut melanggar hukum kesehatan?
1.2 Deskripsi Skenario
1. Definisi hukum kesehatan
2. Peraturan undang-undang kesehatan
3. Jenis-jenis pelanggaran hukum kesehatan
4. Etika kedokteran
5. Hak dan kewajiban dokter-pasien
6. Pelanggaran yang ada diskenario
7. Prosedur dan pemerataan distribusi vaksinasi (covid-19)
8. Analisis perubahan peraturan perundang-undangan terkait vaksinasi covid-19
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi hukum kesehatan
a. UU RI NO. 23/1992 tentang Kesehatan Hukum Kesehatan adalah semua
ketentuan hukum yang berhubungan langsung dengan
pemeliharaan/pelayanan kesehatan. Hal tersebut menyangkut hak dan
kewajiban menerima pelayanan kesehatan (baik perorangan dan lapisan
masyarakat) maupun dari penyelenggaraan pelayanan kesehatan dalam segala
aspeknya, organisasinya, sarana, standar pelayanan medik dan lain-lain
(Purnama, 2017).
b. Anggaran Dasar Perhimpunan Hukum Kesehatan Indonesia (PERHUKI)
Hukum kesehatan adalah semua ketentuan hukum yang berhubungan
langsung dengan pemeliharaan atau pelayanan kesehatan dan penerapannya.
Hal ini menyangkut hak dan kewajiban baik dari perorangan dan segenap
lapisan masyarakat sebagai penerima pelayanan kesehatan maupun dari pihak
penyelenggara pelayanan kesehatan dalam segala aspek-aspeknya, organisasi,
sarana, pedoman standar pelayanan medic, ilmu pengetahuan kesehatan dan
hukum serta sumber-sumber hukum lainnya. Hukum kesehatan mencakup
komponen–komponen hukum bidang kesehatan yang bersinggungan satu
dengan lainnya, yaitu Hukum Kedokteran/Kedokteran Gigi, Hukum
Keperawatan, Hukum Farmasi Klinik, Hukum Rumah Sakit, Hukum
Kesehatan Masyarakat, Hukum Kesehatan Lingkungan dan sebagainya
(Purnama, 2017).
c. Prof.H.J.J.Leenen Hukum kesehatan adalah semua peraturan hukum yang
berhubungan langsung pada pemberian pelayanan kesehatan dan penerapanya
pada hukum perdata, hukum administrasi dan hukum pidana. Arti peraturan
disini tidak hanya mencakup pedoman internasional, hukum kebiasaan,
hukum yurisprudensi, namun ilmu pengetahuan dan kepustakaan dapat juga
merupakan sumber hukum (Purnama, 2017).
d. Prof. Van der Mijn Hukum kesehatan dapat dirumuskan sebagai kumpulan
pengaturan yang berkaitan dengan pemberian perawatan dan juga
penerapannya kepada hukum perdata, hukum pidana dan hukum administrasi.
Hukum medis yang mempelajari hubungan yuridis dimana dokter menjadi
salah satu pihak, adalah bagian dari hukum kesehatan (Purnama, 2017).

2.2 Peraturan undang-undang kesehatan


Sumber hukum kesehatan dibagi menjadi 2 yaitu secara langsung dan tidak
langsung. Hukum kesehatan secara langsung merupakan hukum kesehatan
terkait dengan peraturan perundang-undangan yang dibuat untuk melindungi
kesehatan masyarakat di Indonesia. Bentuk hukum tertulis atau peraturan
undang-undang mengenai hukum kesehatan diatur dalam (Amin, 2017):
a. Undang-Undang
 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran
(selanjutnya disebut UU No. 29 Tahun 2004).
 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
(selanjutnya disebut UU No. 36 Tahun 2009).
 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit
(selanjutnya disebut UU No. 44 Tahun 2009).
 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan
(selanjutnya disebut UU No. 36 Tahun 2014).
 Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2014 tentang Keperawatan
(selanjutnya disebut UU No. 38 Tahun 2014).
b. Peraturan Pemerintah.
c. Keputusan Presiden.
d. Keputusan Menteri Kesehatan.
e. Keputusan Dirjen/Sekjen.
f. Keputusan Direktur/Kepala Pusat.
2.3 Jenis-jenis pelanggaran hukum kesehatan
a. Hukum perdata
Setelah seorang dokter memilki izin untuk praktik, timbul hubungan hukum
dalam rangka pelaksanaan praktik kedokteran yang masing-masing pihak
(dokter dan pasien) memiliki kebebasan hak dan kewajiban dalam
menjalankan komunikasi dan interaksi dua arah. Hak memberikan
perlindungan kepada kedua belah pihak melalui perangkat hukum yang
disebut ”informed consent”. Objek dalam hubungan hukum tersebut adalah
pelayanan kesehatan kepada pasien dihubungkan dengan UUPK. Perangkat
hukum “informed consent” tersebut diarahkan untuk (Supriyatin, 2018):
 Menghormati harkat martabat pasien melalui pemberian informasi dan
persetujuan atas tindakan yang akan dilakukan;
 Meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat;
 Menumbuhkan sikap positif dan itikad baik serta profesionalisme pada
peran dokter dan dokter gigi mengingat pentingnya harkat martabat
pasien;
 Memelihara dan meningkatkan mutu pelayanan sesuai standar dan
persyaratan yang berlaku.
b. Hukum pidana
Penataan hukum pidana diperlukan dalam upaya melinungi
masyarakat. Hakikat ketentuan pidana adalah meminta pertanggung jawaban
melalui tuntutan pidana untuk hal-hal yang telah ditentukan terlebih dahulu
(Supriyatin, 2018). Dalam KUHPidana disebutkan bahwa dasar penambahan
harus dengan undang-undang. Berdasarkan pengertian, tersebut maka
beberapa ketentuan pidana yang berhubungan dengan penyelenggaraan
praktik kedokteran telah diatur dalam KUHPidana, tetapi masih dibutuhkan
beberapa penambahan sesuai dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi, oleh karena itu beberapa perbuatan yang dapat dikenai pidana
dicantumkan dalam UUPK (Supriyatin, 2018).
c. Hukum administrasi
Setiap dokter/ dokter gigi yang telah menyelesaikan pendidikan dan ingin
menjalankan praktik kedokteran harus memiliki izin. Izin menjalankan praktik
memiliki 2 makna (Supriyatin, 2018):
 Izin dalam arti memberikan kewenangan secara formil.
 Izin dalam arti pemberian kewenangan secara materil.
Pada hakekatnya izin (formal atau materil) menurut hukum administrasi
adalah (Supriyatin, 2018):
 Mengarahkan aktivitas, artinya pemberian izin (formal atau materil) dapat
memberikan konstribusi ditegakkannya penerapan standar profesi dan
standar pelayanan yang harus dipenuhi oleh para dokter/ dokter gigi dalam
pelaksanaan praktiknya.
 Mencegah bahaya yang mungkin timbul dalam rangka penyelenggaraan
praktik kedokteran dan mencegah penyelenggaraan praktik kedokteran
oleh orang yang tidak berhak.
 Mendistribusikan tenaga dokter/ dokter gigi yang dihubungkan dengan
kewenangan pemerintah daerah atas pembatasan tempat praktik dan
penataan Surat Izin Praktik (SIP)
 Melakukan proses seleksi yakni penilaian administratif, serta kemampuan
teknis yang harus dipenuhi oleh setiap dokter/ dokter gigi.
 Memberikan perlindungan terhadap warga masyarakat terhadap praktik
yang tidak dilakukan oleh orang yang memiliki kompetensi tertentu.
Bentuk izin diberikan dalam bentuk tertulis, berdasarkan permohonan tertulis
diajukan lembaga yang berwenang mengeluarkan izin juga didasarkan pada
kemampuan untuk melakukan penilaian administratif dan teknis kedokteran.
Pengeluaran izin berlandaskan pada azas-azas keterbukaan, persamanaan hak,
ketelitian, keputusan yang baik dan apabila syarat-syarat tersebut tidak
dipenuhi, maka izin ditarik kembali.

2.4 Etika kedokteran


Etik kedokteran merupakan ”terjemahan” dari asas-asas etika menjadi
ketentuanketentuan pragmatis yang memuat hal-hal yang boleh dilakukan dan
hal-hal yang harus dihindari. Aturan-aturan etika yang disusun oleh asosiasi
atau perhimpunan keprofesian sebagai pedoman perilaku bagi anggota-
anggota profesi itu, umumnya dinamakan kode etik (Inggris: code of ethics).
Istilah ”kode” berasal dari kata latin codex yang antara lain berarti buku, atau
sesuatu yang tertulis, atau seperangkat asas-asas atau aturan-aturan.
Dari pengertian seperti inilah Kode Etik Kedokteran dapat diartikan
sebagai seperangkat (tertulis) tentang peraturan-peraturan etika yang memuat
amar (apa yang dibolehkan) dan larangan (apa yang harus dihindari) sebagai
pedoman pragmatis bagi dokter dalam menjalankan profesinya.
Kode etik kedokteran adalah pedoman yang mengatur prinsip moral dan
etik dalam melaksanakan kegiatan profesi kedokteran, sehingga mutu dan
kualitas profesi kedokteran tetap terjaga dengan cara yang terhormat.
Merupakan seperangkat perilaku dokter dalam hubungannya dengan pasien,
keluarga, masyarakat, teman sejawat dan mitra. Rumusan perilaku dokter
disusun oleh profesi dan pemerintah dalam KODEKI (Kode Etik Kedokteran
Indonesia).
KODEKI terdiri dari 21 pasal yang dikelompokkan menjadi 4
kewajiban, yaitu kewajiban umum (pasal 1-13), kewajiban dokter terhadap
pasien (pasal 14-17), kewajiban dokter terhadap teman sejawat (pasal 18-19),
dan kewajiban dokter terhadap diri sendiri (pasal 20-21).

Adapun pada pasal 1 tercantum sumpah dokter sebagai berikut:


1. Saya akan membaktikan hidup saya guna kepentingan perikemanusiaan.
2. Saya akan menjalankan tugas dengan cara yang terhormat dan bersusila
sesuai dengan martabat pekerjaan saya sebagai dokter.
3. Saya akan memelihara dengan sekuat tenaga martabat dan tradisi luhur
profesi kedokteran.
4. Saya akan merahasiakan segala sesuatu yang saya ketahui karena
keprofesian saya.
5. Saya tidak akan menggunakan pengetahuan saya untuk sesuatu yang
bertentangan dengan perikemanusiaan, sekalipun diancam.
6. Saya akan menghormati setiap hidup insani mulai saat pembuahan.
7. Saya akan senantiasa mengutamakan kesehatan pasien, dengan
memperhatikan kepentingan masyarakat.
8. Saya akan berikhtiar dengan sungguh-sungguh supaya saya tidak
terpengaruh oleh pertimbangan keagamaan, kebangsaan, kesukuan,
gender, politik, kedudukan sosial dan jenis penyakit dalam menunaikan
kewajiban terhadap pasien.
9. Saya akan memberi kepada guru-guru saya penghormatan dan pernyataan
terima kasih yang selayaknya.
10. Saya akan perlakukan teman sejawat saya seperti saudara kandung.
11. Saya akan mentaati dan mengamalkan Kode Etik Kedokteran Indonesia.
12. Saya ikrarkan sumpah ini dengan sungguh-sungguh dan dengan
mempertaruhkankehormatan diri saya.

2.5 Hak dan kewajiban dokter-pasien


1. Hak dan kewajiban dokter
a. Kewajiban dokter menurut KODEKI
 Pasal 14 : Seorang dokter wajib bersikap tulus ikhlas dan
mempergunakan seluruh keilmuan dan ketrampilannya untuk
kepentingan pasien, yang ketika ia tidak mampu melakukan suatu
pemeriksaan atau pengobatan, atas persetujuan pasien/ keluarganya, ia
wajib merujuk pasien kepada dokter yang mempunyai keahlian untuk
itu.
 Pasal 15 :Setiap dokter wajib memberikan kesempatan pasiennya agar
senantiasa dapat berinteraksi dengan keluarga dan penasihatnya,
termasuk dalam beribadat dan atau penyelesaian masalah pribadi
lainnya.
 Pasal 16 :Setiap dokter wajib merahasiakan segala sesuatu yang
diketahuinya tentang seorang pasien, bahkan juga setelah pasien itu
meninggal dunia.
 Pasal 17 :CSetiap dokter wajib melakukan pertolongan darurat sebagai
suatu wujud tugas perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada orang
lain bersedia dan mampu memberikannya
g. Hak dokter
 Dokter berhak mendapat informasi yang cukup dari pasien (pasal 50
Undang-undang Nomor 29 Tahun 2004)
 Dokter berhak mengusulkan yang terbaik sesuai kemampuan dan
penilaian profesionalnya dan berhak menolak bila permintaan pasien
dirasa tidak sesuai dengan norma, etika serta kemampuan
profesionalnya.
2. Hak dan kewajiban pasien
a. Kewajiban pasien
 Kewajiban memberi informasi yang sebenarnya kepada dokter
berupa keterangan, penjelasan sebanyak mungkin tentang
penyakit yang diderita, agar dokter dapat menentukan diagnosa
penyakit pasien dengan tepat. Itikad baik pasien memberikan
informasi yang sebenarnya, adalah hak dokter.
 Kewajiban mematuhi nasihat dokter yang mengobati; dapat
dikaitkan dengan hak dokter untuk mengakhiri hubungan
dengan pasien jika ia menilai bahwa kerjasama dengan pasien
untuk kesembuhan pasien tidak ada gunanya lagi diteruskan.
 Kewajiban menyimpan rahasia pribadi dokter yang
mengobatinya (yang mungkin diketahui pasien secara tidak
sengaja , atau pun pengalaman tidak menyenangkan dengan
dokter yang bersangkutan).
 Kewajiban untuk memberikan imbalan yang pantas
 Kewajiban untuk mentaati peraturan dan melunasi biaya RS.
b. Hak pasien
 Hak Atas Informasi Medis dan Memberikan Persetujuan;
 Hak Untuk Memilih Dokter dan Sarana Kesehatan (misalnya
RS
 Hak Untuk Menolak Pengobatan dan Tindakan Medis
Tertentu; hak ini berkaitan dengan hak seseorang untuk
menentukan nasibnya sendiri. Dokter tidak dapat melakukan
tindakan medik jika bertentangan dengan keinginan pasien atau
keluarga pasien.
 Hak Atas Rahasia Dirinya (Rahasia Pasien); artinya, segala
rahasia pasien yang terungkap pada saat pasien menjalani
pengobatan menjadi kewajiban dokter untuk merahasiakannya
dari orang lain.
 Hak Untuk menghentikan Pengobatan/memutuskan Hubung-
an; terkait istilah “pulang atas permintaan sendiri”
2.6 Peraturan yang dilanggar pada skenario
Berdasarkan kasus diskenario, bahwa seorang dokter menjual vaksin dengan
imbalan telah melanggar hukum kesehatan, yaitu termasuk melanggar hukum
perdata karena karena dalam hubungan medis adanya kelalaian dari dokter.
Selain itu juga dokter tersebut melanggar sumpah dokter, yaitu sumpah dokter
pada poin 1, 2, 3, 5, 7, 11, 12.
2.7 Prosedur dan pemerataan distribusi vaksinasi (covid-19)
Vaksin adalah produk biologi yang berisi antigen berupa
mikroorganisme yang sudah mati atau masih hidup yang dilemahkan, masih
utuh atau bagiannya, atau berupa toksin mikroorganisme yang telah diolah
menjadi toksoid atau protein rekombinan, yang ditambahkan dengan zat
lainnya, yang bila diberikan kepada seseorang akan menimbulkan kekebalan
spesifik secara aktif terhadap penyakit tertentu. Corona Virus Disease 2019
yang selanjutnya disebut COVID-19 adalah penyakit menular yang
disebabkan oleh Severe Acute Respiratory Syndrom Coronavirus 2
(SARSCoV-2) (Menkes, 2021).
Upaya vaksinasi COVID-19 telah dilakukan oleh berbagai negara
termasuk Indonesia. Dalam penerapan vaksinasi tersebut dibutuhkan
kepastian dari aspek efektivitas dan efisiensi, sehingga upaya yang dilakukan
mulai dari penelitian dan pengembangan vaksin, penyediaan vaksin, dan
pelaksanaan vaksinasi sesuai dengan ketersediaan vaksin. Selain itu adanya
karakteristik vaksin yang berbeda juga merupakan tantangan sendiri dalam
pelaksanaan vaksinasi. Dalam proses pengembangan vaksin yang ideal untuk
pencegahan infeksi SARS-CoV-2 terdapat berbagai platform yaitu vaksin
inaktivasi/inactivated virus vaccines, vaksin virus yang dilemahkan (live
attenuated), vaksin vektor virus, vaksin asam nukleat, vaksin seperti virus
(virus-like vaccine), dan vaksin subunit protein (Kementerian Kesehatan et
al., 2021).
Pengadaan Vaksin COVID-19 dimulai dengan Penetapan Jenis dan
Jumlah Vaksin COVID-19 oleh Pemerintah melalui Kementerian Kesehatan
dan berkoordinasi dengan Kementerian/Lembaga terkait. Selanjutnya untuk
pengadaan Vaksin COVID-19 dimaksud dapat dilakukan melalui: a)
Penugasan kepada BUMN yakni PT Bio Farma (Persero), b) Penunjukan
langsung badan usaha penyedia, dan/atau c) kerjasama dengan lembaga/badan
internasional yakni dengan The Coalition for Epidemic Preparedness
Innovations (CEPI), The Global Alliance for Vaccines and Immunizations
(GAVI); dan/atau lembaga/badan internasional lainnya. Pengadaan Vaksin
COVID-19 tersebut meliputi penyediaan vaksin, peralatan pendukung dan
sekaligus distribusi vaksin sampai kepada titik serah (President of the
Republic of Indonesia, 2020).
Pelaksanaan Vaksinasi COVID-19 dilakukan oleh Pemerintah Pusat.
Pemerintah Pusat dalam melaksanakan Vaksinasi COVID-19 melibatkan
Pemerintah Daerah provinsi dan Pemerintah Daerah kabupaten/kota serta
badan hukum/badan usaha. Penerima Vaksin dalam pelayanan Vaksinasi
Program sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a, tidak dipungut
bayaran/gratis. Pelaksanaan Vaksinasi COVID-19 sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan melalui: (Menkes, 2021).
a. Vaksinasi Program
Untuk Vaksinasi Program meliputi warga negara asing yang berumur
diatas 60 (enam puluh) tahun ke atas, tenaga pendidik dan kependidikan,
dan warga negara asing tertentu. Pelayanan Vaksinasi Program
dilaksanakan di Fasilitas Pelayanan Kesehatan milik Pemerintah Pusat,
Pemerintah Daerah, atau masyarakat/swasta, yang memenuhi persyaratan.
Fasilitas Pelayanan Kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
berupa Puskesmas dan Puskemas pembantu, klinik; ,rumah sakit dan/atau
unit pelayanan kesehatan di Kantor Kesehatan Pelabuhan. Pelayanan
Vaksinasi Program selain dilaksanakan di Fasilitas Pelayanan Kesehatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (2a) juga dapat
dilaksanakan di pos pelayanan Vaksinasi COVID19 (Menkes, 2021).
b. Vaksinasi Gotong Royong.
Pelaksanaan Vaksinasi Gotong Royong sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) huruf b dilakukan oleh badan hukum/badan usaha untuk
karyawan/karyawati, keluarga, dan individu lain terkait dalam keluarga
atau secara individu/orang perorangan. Untuk Vaksinasi Gotong Royong
meliputi karyawan/karyawati warga negara asing yang bekerja di badan
hukum/badan usaha yang melaksanakan Vaksinasi Gotong Royong atau
individu/orang perorangan warga negara asing. Pendistribusian Vaksin
COVID-19 untuk Vaksinasi Gotong Royong dilaksanakan oleh PT Bio
Farma (Persero) kepada: (Menkes, 2021).
 Fasilitas Pelayanan Kesehatan yang bekerja sama dengan badan
hukum/badan usaha untuk pelaksanaan Vaksinasi Gotong Royong;
dan
 Fasilitas Pelayanan Kesehatan pelaksana Vaksinasi Gotong Royong
untuk individu/orang perorangan.
2.8 Peraturan yang mengatur vaksinasi
 PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 10 TAHUN 2021 TENTANG PELAKSANAAN VAKSINASI
DALAM RANGKA PENANGGULANGAN PANDEMI CORONA
VIRUS DISEASE 2019 (COVID-19)
 PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 18 TAHUN 2021
 PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 19 TAHUN 2021
 PERATURAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 23 TAHUN 2021
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Hukum Kesehatan adalah semua ketentuan hukum yang berhubungan
langsung dengan pemeliharaan/pelayanan kesehatan. Hal tersebut menyangkut hak
dan kewajiban menerima pelayanan kesehatan (baik perorangan dan lapisan
masyarakat) maupun dari penyelenggaraan pelayanan kesehatan dalam segala
aspeknya, organisasinya, sarana, standar pelayanan medik dan lain-lain. Berdasarkan
diskusi kelompok kami terkait kasus diskenario, dapat disimpulkan bahwa dokter
tersebut melanggar hukum kesehatan, selain itu dokter tersebut juga melanggar
sumpah dokter.
DAFTAR PUSTAKA

Amin, Y. (2017). Etika Profesi dan Hukum Kesehatan. Jakarta: Pusat


Pendidikan Sumber Daya Manusia Kesehatan.
Fitriono RA, Budi S, Rehnalemken G. (2016). Penegakan Hukum Malpraktik
Melalui Pendekatan Mediasi Penal. Yustisia. Vol.5 No.1 Tahun 2016. Fakultas
Hukum UNS
Kurniawan, RA. (2013). Risiko Medis dan Kelalaian Terhadap Dugaan
Malpraktik Medis di Indonesia. Perspektif Vol. 18, No. 3 Tahun 2013. Fakultas
Hukum Universitas Airlangga Surabaya.
Novianto, WT. (2015). Penafsiran Hukum dalam Menentukan Unsur-Unsur
Kelalaian Malpraktek Medik (Medical Malpractice). Yustisia. Vol. 4 No. 2 Tahun
2015. Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret.
Purnama, S.G. (2017). Modul Etika Dan Hukum Kesehatan, Program Studi
Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran Universitas Udayana September
2017.
Rustyadi, Dudut. (2020). Tanggung Jawab Hukum dalam Praktik Kedokteran.
Fakultas Kedokteran Universitas Islam Al-Azhar
Sakti, Irawanto Bima. (2020). Bahan Ajar Kuliah Malpraktek. Instalasi
Forensik & Medikolegal RSUD Provinsi NTB.
Supriyatin, U.(2018). Aspek Hukum Dalam Penyelenggaraan Praktik
Kedokteran Dihubungkan Dengan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang
Praktik Kedokteran. Fakultas Hukum Universitas Galuh. Volume 6 No. 1- Maret
2018.

Anda mungkin juga menyukai