Anda di halaman 1dari 10

PUTUSAN MAJELIS KEHORMATAN DISIPLIN KEDOKTERAN INDONESIA (MKDKI)

DAN MANFAATNYA TERHADAP PASIEN DALAM PENYELESAIAN SENGKETA MEDIK

MELALUI MEDIASI

Muh Nasir

Email: nasirbasri7@gmail.com

A. Latar Belakang
Kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan
yang harus diwujudkan sesuai dengan cita cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
tahun 1945. Sebagai ketentuan pelaksanaannya terdapat dalam undang-undang no
36 tahun 2009 tentang Kesehatan, dalam pasal 1 angka 1 ditentukan “Kesehatan
adalah keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spiritual, maupun social yang
memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial ekonomis. Dengan
demikian Kesehatan merupakan bagian yang harus diupayakan bagi tercapainya
kesejahteraan bangsa. Salah satu upaya pencapaian tersebut harus diwujudkan
dalam penyediaan fasilitas pelayanan Kesehatan”.1
Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
434/Men.Kes/IX/1983 tentang berlakunya kode etik kedokteran Indonesia,
penangagunjawab pelayanan kesehatan adalah dokter sesuai dengan
kompentensinya. Hubungan antara dokter dan pasien yang semula bersifat
paternalistik, seiring dengan perkembangan teknologi berubah dengan pola
hubungan yang sama dimana dokter tidak berada pada strata hak dan kewajiban
yang lebih tinggi dari pada pasiennya. Dokter dan pasien adalah persona dengan
harkat dan martabat yang sama, keduanya merupakan para pihak yang sepakat
melakukan hubungan hukum berupa kontrak terapeutik.2
Dalam pelayanan kesehatan sering juga terjadi konflik antara pasien dan
dokter, dimana hal ini didasari karena adanya kecelakaan medis yaitu malpraktik
atau adanya resiko medis. Malpraktik adalah kesalahan atau kelalaian yang
dilakukan oleh tenaga Kesehatan dalam melaksanakan profesinya yang tidak sesuai
dengan standar profesi dan standar prosedur operasional, dimana akibat kelalalian
tersebut pasien mengalami luka berat, cacat, bahkan meninggal dunia.3Sedangkan
yang dimaksud dengan risiko medis ialah segala kemungkinan yang terjadi dalam
Tindakan medik.4

1
Sulasi Rongiyati dkk, Tanggungjawab hukum rumah sakit dalam pelayanan Kesehatan, (Jakarta:P3D1, 2015),V.
2
Arif Dian Santoso, , Isharyanto, and Adi Sulistiyono, ‘Penyelesaian Sengketa Medik Melalui Mediasi Oleh
Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (Mkdki) Untuk Dapat Menjamin Keadilan Dalam Hubungan
Dokter Dan Pasien’, Jurnal Hukum Dan Pembangunan Ekonomi, 7.1 (2019), 29
<https://doi.org/10.20961/hpe.v7i1.29176>.
3
Abdul Aziz, “Tinjauan Kriminologi Mengenai Malpraktik Medik Yang Dilakukan Oleh Perawat”, Jurnal Ilmu
Hukum Legal Opinion, 2.2 (2014), 3.
4
Widodo Tresno Novianto, Sengketa Medik Pergulatan Hukum Dalam Menentukan Unsur Kelalaian Medik,
(Surakarta: UNS Press, 2017), 27.

1
Berdasarkan Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 penyelesaian sengketa
medis didahulukan melalui jalur mediasi. Mediasi merupakan proses para pihak
yang bersengketa menunjuk pihak ketiga yang netral untuk membantu mereka
dalam mendiskusikan dan mencari solusi dalam penyelesaian sengketa. Tujuan
utama mediasi adalah kompromi dalam menyelesaikan suatu persengketaan. 5
Mediasi memiliki peran yang sangat penting sebagai alternatif penyelesaian
sengketa, dengan mediasi segala proses dalam penyelesaian akan lebih hemat dan
efisien.6
Dalam pasal 66 ayat (1) Undang-Undang No 29 Tahun 2004 tentang praktik
kedokteran menyatakan bahwa: “Setiap orang yang mengetahui atau
kepentingannya dirugikan atas tindakan dokter atau dokter gigi dalam menjalankan
praktik kedokteran dapat mengadukan secara tertulis kepada ketua Majelis
Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia”.7
Berdasarkan berbagai ketentuan hukum, maka didapati bahwa MKDI adalah
Lembaga yang berwenang untuk memutus ada atau tidaknya pelanggaran disiplin
profesional dokter dan dokter gigi, serta menentukan sanksi atas pelanggaran
tersebut kemudian keputusan itu tertuang dalam surat keputusan MKDKI. Tetapi
dalam putusan tersebut hanyalah mengikat kepada pihak kedokteran sedangkan hak
dan kepentingan pasien belum termuat. Sehingga penulis menilai permasalahannya
ialah terkait putusan MKDKI dalam hal penyeleseian sengketa medik tentang
bagaimanakah manfaatnya terhadap Pasien?

B. State Of The Art


1. penelitian yang ditulis oleh Arif dian santoso, Isharyanto, Adi sulistiyono (2019),
Tulisan ini membahas penyelesaian sengketa medik melalui mediasi oleh Majelis
Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) untuk Dapat Menjamin
Keadilan Dalam Hubungan Dokter dan Pasien. Majelis Kehormatan Disiplin
Kedokteran Indonesia (MKDKI) selama ini dianggap sebagai lembaga mediasi
yang bisa menyelesaikan sengketa medik,tugas MKDKI sendiri adalah
menindak terjadinya praktik kedokteran yang tidak memenuhi standart yang
ditentukan. Hasil penelitian ini menunjukkan peraturan perundang-undangan
menjelaskan MKDKI bukan lembaga mediasi yang bisa menyelesaikan sengketa
medis, justru hasil tugasnya yang mengawasi praktik kedokteran menjadi bahan
untuk dilakukannya penyelesaian sengketa medik secara mediasi yang
memberikan sebanyak-banyaknya keadilan kepada kedua belah pihak dan tidak
ada kepentingan manapun didalamnya. Kepada para pihak bersepakatlah untuk

5
R. Lestari, ‘Perbandingan Hukum Penyelesaian Sengketa Secara Mediasi Di Pengadilan Dan Di Luar Pengadilan
Di Indonesia’, Jurnal Ilmu Hukum Riau, 3.2 (2013), 9080.
6
Susanti Adi Nugroho, Manfaat Mediasi Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa, (Jakarta: Kencana, 2019),
196.
7
Kastania Lintang, Dkk, “Kedudukan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia Dalam Penyelesaian
Sengketa Medis”, Volksgeist, Vol.4, No.2, (Juli-Des, 2021), 168.

2
memilih seorang mediator yang bersifat netral agar tercapainya hubungan dokter
dan pasien yang saling dinamis.
2. Penelitian yang dilakukan oleh Kastania Lintang,1 Hasnati, Bahrun Azmi (2021).
Artikel ini menganalisis kedudukan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran
Indonesia (MKDKI) dalam Penyelesaian Sengketa Medis. Sengketa medis akibat
dugaan pelanggaran disiplin kedokteran seharusnya diselesaikan melalui Majelis
Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia, namun saat ini masih ada sengketa
medis yang dilaporkan ke pengadilan tanpa melalui Majelis Kehormatan Dokter
Kedokteran Indonesia. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa masih dijumpai
ketidakpastian hukum terhadap penyelesaian sengketa medis antara dokter dan
pasien, karena kata “dapat” yang tercantum pada ayat (1) peraturan tentang
praktek kedokteran dapat bermakna bahwa pengaduan kepada Majelis
Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia tersebut mungkin saja dapat
dilakukan ataupun tidak dilakukan. Sedangkan pada ayat (3) mengatakan bahwa
tidak menutup kemungkinan untuk menyelesaikan sengketa medis melalui
pengadilan, yang dapat menyebabkan penyelesaian sengketa medis dapat saja
dilakukan melalui pengadilan.

Sedangkan penelitian yang dibahas oleh penulis yaitu tentang Manfaat Putusan
Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) Terhadap Pasien
Dalam Penyelesaian Sengketa Medik. Yang menjadi pembeda dari penelitian-
penelitian sebelumnya yaitu penulis menjadikan putusan MKDKI sebagai fokus
utama penelitian.

C. Metode Penelitian
Metode yang dipakai dalam penelitian ini adalah metode yuridis normatif,
Dimana bahan penulisan dihimpun dari data sekunder dan bahan-bahan
kepustakaan. Kemudian dalam menganalisis data Peneliti menggunakan metode
analisis data kualititif untuk menganalisa bahan hukum yang telah dikumpulkan dan
akan disampaikan secara deskriptif.
D. Pembahasan
1. Sengketa Medik Yang Timbul dalam Pelayanan Kesehatan
Pelayanan Kesehatan merupakan pelayanan yang diberikan kepada
masyarakat sebagai bentuk upaya pencegahan, pengobatan suatu penyakit,
termasuk didalamnya pemberian tindakan medis yang berdasarkan pada hubungan
individual pasien yang membutuhkan pelayanan medis sebagai upaya atas penyakit
yang dialaminya kepada dokter. Dokter merupakan tenaga Kesehatan yang memiliki
keahlian dibidang medis atau kedokteran untuk memberikan tindakan medis kepada
pasien. Sedangkan pasien adalah orang yang datang kepada dokter karena sedang
mengalami sakit dan awam akan penyakit.8 Sehubungan dengan itu dokter harus
secara mandiri dapat memenuhi kebutuhan orang lain yang membutuhkan
bantuannya dalam mengatasi masalah kesehatannya, dan mampu memutuskan

8
Ontran sumantri riyanto, pembentukan pengadilan khusus medis, (Yogyakarta: deepublish, 2018), 48.

3
tindakan yang harus dilakukannnya serta dapat bertanggungjawab atas mutu
pelayanan yang diberikannya.9
Dalam hubungan antara dokter dan pasien dikenal istilah hubungan
teraupetik yaitu adanya ikatan dokter sebagai
pemberi layanan kesehatan dengan pasien sebagai penerima layanan Kesehatan.
Hubungan teraupetik merupakan hubungan hukum dimana dokter dan pasien
keduanya diikat oleh persetujuan atau perjanjian yang menimbulkan hak dan
kewajiban bagi masing-masing pihak. Perjanjian ini sifatnya pengupayaan atau
Inspanning Verbintenis.
Dokter dan pasien ditempatkan pada kedudukan yang sejajar dalam
hubungan hukum antara dokter dengan pasien. Oleh karena itu tindakan apapun
yang akan dilakukan oleh dokter terhadap pasien, maka pasien harus terlibat untuk
memutuskan apakah tindakan tersebut boleh atau tidak boleh dilakukan terhadap
dirinya. Informed Concent atau persetujuan tindakan medik merupakan salah satu
bentuk kesejajaran hubungan antara dokter dengan pasien. Melalui Informed
Concent, maka pasien berhak memutuskan apakah ia akan menyetujui atau tidak
menyetujui, baik sebagian maupun keseluruhan rencana tindakan dan pengobatan
terhadap dirinya yang akan dilakukan oleh dokter.10
Banyak ahli berpandangan bahwa hubungan pelayanan kesehatan adalah
hubungan atas dasar kepercayaan. Pasien percaya terhadap kemampuan dokter
untuk berupaya semaksimal mungkin menyembuhkan penyakit yang dideritanya.
Pasien juga percaya bahwa dokter akan berupaya semaksimal mungkin selain
menyembuhkan penyakitnya juga akan mengurangi penderitaannya. Besarnya
kepercayaan yang terbangun dalam pandangan publik inilah yang seringkali berbuah
kekecewaan ketika harapan tidak terwujud, dan inilah jalan melahirkan konflik atau
sengketa. 11 Sengketa biasanya dimulai pada situasi di mana pihak yang dirugikan
oleh pihak lain. Berawal perasaan yang tidak puas, bersifat subjektif dan tertutup
yang dialami oleh perorangan maupun kelompok. Apabila perasaan kecewa atau
tidak puas disampaikan kepada pihak kedua, dan pihak kedua menanggapi dan dapat
memuaskan pihak pertama, maka selesailah konflik tersebut. Sebaliknya, apabila
perbedaan pendapat tersebut terus berkelanjutan, akan terjadi apa yang disebut
sengketa.12
Berikut beberapa hal yang menjadi penyebab terjadinya sengketa medik
antara dokter dan pasien:13
a. Adanya kesenjangan antara harapan dan masyarakat pengguna jasa medis
dan kenyataan yang diterima.

9
Yessi rahmawati, perlindungan hukum dokter dalam melakukan Tindakan medik pada masa pandemic,
(Surabaya: scopindo media Pustaka, 2021), 24.
10
Rifah Roihanah, ‘Hubungan Hukum Dokter Dan Pasien: Perspektif Undang-Undang No 8 Tahun 1999 Tentang
Perlindungan Konsumen’, Justicia Islamica, 16.1 (2019), 151. <https://doi.org/10.21154/justicia.v16i1.1664>.
11
Arif Dian Santoso Dkk, “Penyelesaian Sengketa Medik ……………………………………… 32.
12
Widodo Tresno Novianto, Sengketa Medik Pergulatan ………………………………………. 8.
13
Endang Kusuma astuti, transaksi teraupetik dalam upaya pelayanan medis di rumah sakit, (bandung: Pt citra
Aditya bakti, 2009), 287.

4
b. Adanya perbedaan persepsi dari Sebagian masyarakat mengenai hasil dari
pelayanan medis. Mereka kurang mengerti bahwa perikatan antara dokter
dan pasien itu sifatnya inspanningsverbintenis, yang obyeknya merupakan
kewajiban upaya dengan hati-hati, cermat dan penuh ketegangan.mereka
menganggap bahwa hasil akhir adalah akan menuntut dokter dengan
menyebutnya sebagai malpraktik.
c. Adanya kesalahpahaman antara dokter dan pasien karena pasien tidak
mengerti istilah kedokteran tetapi enggan untuk bertanya karena malu.
Sengketa medik yang terjadi antara dokter dengan pasien dapat ditarik ciri-
ciri dari sengketa tersebut, yaitu:14
a. Sengketa terjadi dalam hubungan antara dokter dengan pasien.
b. Obyek sengketa adalah upaya penyembuhan yang dilakukan oleh dokter.
c. Pihak yang merasa dirugikan dalam sengketa adalah pasien, baik kerugian
berupa luka/cacat, maupun kematian.
d. Kerugian yang diderita pasien disebabkan oleh adanya kelalaian/kesalahan
dari dokter, yang sering disebut “malpraktik medis”.

Dalam hal terjadinya sengketa medis penyampaian informasi juga merupakan


penyebab utama sehingga timbulnya sengketa medis. Dari berbagai penelitian yang
dilakukan ternyata masalah penyampaian informasi oleh dokter kepada pasien
mempengaruhi kualitas pelayanan kesehatan dan pelaksanaan pengobatan,
terutama dari pihak pasien. Menurut Maslow dan Cherry informasi memberi peluang
pada penerima untuk memilih tindakan di antara berbagai alternatif yang ada. Selain
penyampaian informasi yang kurang sehingga menyebabkan ketidakpuasan pasien
terhadap upaya pengobatan terhadap dirinya, juga tidak tertutup kemungkinan
penyebab kerugian yang diderita pasien disebabkan adanya kelalaian dokter
terhadap kewajiban-kewajibannya sebagai seorang profesional, dalam hal ini dokter
bertindak tidak sesuai dengan standar profesi medik.15
Kurangnya informasi dalam melaksanakan praktik kedokteran dapat
disebabkan oleh kesibukan ataupun rutinitas dari pekerjaan dokter yang menyita
waktu, sehingga mengakibatkan dokter tidak mempunyai waktu yang cukup untuk
menyampaikan seluruh informasi. Selain itu, banyaknya jumlah pasien yang
ditangani membuat dokter menjadi jenuh dalam memberikan informasi secara
lengkap, dan apabila dokter terlalu banyak memberikan informasi kepada pasien
akan menimbulkan rasa takut dan tertekan pada pasien yang dapat saja
memperburuk proses penyembuhan atau bahkan mengakibatkan penolakan
tindakan kedokeran dari pasien.
Dokter dapat saja menghindari timbulnya sengketa medis terhadap pasien
dengan cara mengurangi kesenjangan informasi antar dokter dan pasien,
meningkatkan kepercayaan pasien terhadap dokter dengan memperlakukan pasien

14
Ontran sumantri riyanto, pembentukan pengadilan ……………………………………….. 49.
15
Widodo Tresno Novianto, Sengketa Medik Pergulatan …………………………………… 12.

5
secara rasional, memberikan informasi yang jujur, memastikan pasien mau
mematuhi saran dokter, mengurangi kekerasan moral antara dokter dan pasien
dengan selalu mengevaluasi diagnosis dan memberikan terapi sehingga dapat
terbentuk hubungan yang harmonis dan hubungan yang sehat antara dokter dan
pasien.16
Sengketa medis yang timbul dapat dapat diselesaikan melalui: Majelis
Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) merupakan Lembaga yang akan menangani
pelanggaran terhadap etika kedokteran yang dibentuk oleh Organisasi Profesi
Ikatan Dokter Indonesia (IDI); Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia
(MKDKI) merupakan lembaga yang menangani pelanggaran terhadap disiplin
kedokteran yang berada di bawah naungan Konsil Kedokteran Indonesia;
Pengadilan merupakan suatu badan ataupun instansi resmi yang menjalankan
sistem peradilan yang berupa memeriksa, mengadili, serta memutuskan perkara;
dan di luar pengadilan secara negosiasi ataupun mediasi.17

2. Putusan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI)


Dalam Penyelesaian Sengketa Medis
Majelis kehormatan disiplin kedokteran Indonesia (MKDKI) adalah salah
satu lembaga yang dibentuk dengan fungsi pengawasan terhadap
penyelenggaraan pelayanan Kesehatan, dibentuk berdasarkan mandat yang
terdapat pada Undang-Undang Praktik Kedokteran dengan tujuan untuk
menegakkan disiplin profesional dokter dan dokter gigi di Indonesia. Penegakan
disiplin yang dimaksud merupakan tindakan penegakan aturan-aturan dan/atau
ketentuan-ketentuan penerapan keilmuan dalam penyelenggaraan praktik
kedokteran yang harus ditaati dan diikuti oleh dokter dan dokter gigi. MKDKI
memiliki peran sangat penting dalam penegakan disiplin profesional dokter dan
dokter gigi di Indonesia. Penegakan disiplin dokter dan dokter gigi yang
dilakukan oleh MKDKI bertujuan untuk melindungi masyarakat dari tindakan
yang dilakukan oleh dokter atau dokter gigi yang tidak berkompeten, serta guna
meningkatkan mutu pelayanan kesehatan dan menjaga kehormatan profesi
kedokteran dan kedokteran gigi.
Secara kelembagaan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia
(MKDKI) bernanung dibawah naung Konsil Kedokteran Indonesia (KKI),
Lembaga otonom yang bertanggungjawab langsung kepada presiden. Baik KKI
maupun MKDKI dibentuk berdasarkan Undang;Undang Nomor 29 tahun 2004
Tentang Praktik Kedokteran.18
MKDKI didirikan pada tahun 2006. Berkantor di ibu kota negara dan tidak
memiliki perwakilan di daerah. Agar lebih aksesible, MKDKI bisa melakukan
pemeriksaan di lapangan yakni di daerah di mana si teradu berada. Selanjutnya

16
Kastania Lintang, Dkk, “Kedudukan Majelis Kehormatan……………………………………….. 172.
17
Ibid, 172-173.
18
Tri Handayani, “Pertanggungjawaban Dokter Dan Model Penyelesaian Perkara Malpraktek Medik Di
Indonesia”,Jurnal Ilmu Hukum, 9.1 (2020), 76.

6
Pasal 66 (1) UU Praktik Kedokteran menyatakan, “setiap orang yang mengetahui
atau kepentingannya dirugikan atas tindakan dokter atau dokter gigi dalam
menjalankan praktik kedokteran, dapat mengadukan secara tertulis kepada
ketua Majlis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia”. Jadi yang berhak
membuat pengaduan tidak hanya pasien yang dirugikan saja, tetapi juga orang
yang mengetahui peristiwa tersebut. Diharapkan bahwa MKDKI menjadi pintu
pertama upaya mencari keadilan terkait dugaan sengketa medis. MKDKI akan
menilai apakah telah terjadi pelanggaran disiplin atau kah pelanggaran etika. Jika
ditemukan adanya dugaan pelanggaran disiplin, MKDKI akan memanggil dokter
yang bersangkutan untuk dilakukan pemeriksaan.
Bunyi pasal 29 undang-undang Kesehatan No 36/2009 menyebutkan
“dalam hal tenaga Kesehatan diduga melakukan kelalaian dalam menjalankan
profesinya, kelalaian tersebut harus diselesaikan terlebih dahulu melalui
mediasi”.
Jika seandainya jiwa dari pasal 29 UU Kesehatan No. 36/2009 dipakai
sebagai landasan itikad baik bagi hubungan dokter-pasien, maka dokter tidak
akan menjadi bulan-bulanan “dendam” pasien yang mendapatkan hasil dari
pelayanan kedokteran yang tidak sesuai dengan yang diharapkan, dalam arti kata
setiap ketidakpuasan pasien tidak perlu diakhiri dengan gugatan ke Pengadilan
tanpa melalui “pengadilan profesi”. Sudah sepatutnya masing-masing pihak
saling menghargai dan saling mengerti akan posisi para pihak, juga sudah tepat
ada suatu Lembaga independen yang mengawasi jalannya praktik kedokteran
yaitu MKDKI terhadap disiplin kedokteran.19
Memberikan kepercayaan kepada MKDKI dengan komposisi tiga orang
sebagai ahli hukum, kiranya dapat menghapus pandangan yang mengatakan
adanya keterikatan dan kedekatan emosi sesama profesi (dokter). Pikiran itu
harus dibuang jauh-jauh, Nilai-nilai profesi lebih mulia ketimbang melacurkan
harga diri demi membela oknum yang bersalah sehingga kredibilitas (para
anggotanya), akseptabilitas (keputusannya dapat diterima para pihak),
akuntabilitas (keputusannya dapat dipertanggungawabkan secara hukum) yang
harus dikedepankan.20
Dengan adanya amanat pasal 29 UU Kesehatan No 36/2009, tentang
keharusan mengadakan mediasi bagi kelalaian yang dilakukan oleh tenaga
Kesehatan (dokter), bukanlah semata-mata ingin membela profesi dokter dan
melemahkan posisi pasien, melainkan mengedepankan: hubungan dokter-pasien
(partnership) yang tidak bersifat bermusuhan dan saling menjatuhkan karena
hubungan awal yang terbina adalah berdasarkan itikad baik dan saling percaya
serta akan meningktakan kehati-hatian dokter dalam menjalani prakter
kedokterannya.21 Lagipula sangat jarang ada dokter yang melakukan kesalahan

19 Desriza Ratman, Mediasi Non Ligitasi Terhadap Sengketa Medik Dengan Konsep Win-Win Solution,
(Jakarta: PT Elex Media Komputindo, 2012), 155.
20 Ibid, 156.
21 Ibid.

7
disertai dengan unsur kesengajaan, lebih banyak yang terjadi adalah karena
adanya kelalaian dimana hal itu bukanlah suatu kesengajaan.
Kemudian dalam proses mediasi yang dikedepankan adalah mencari solusi
yang terbaik, bukan mencari siapa yang benar dan siapa yang salah, sehingga
secara keseluruhan hasil kesepakatan yang tercapai dapat dianggap
menguntungkan semua pihak. proses mediasi merupakan upaya yang tepat
dalam menyelesaikan sengketa medis antara dokter dan pasien kecuali dalam
proses pidana murni seperti pelecehan seksual, pengungkapan rahasia
kedokteran, aborsi serta kelalaian berat, keterangan palsu, penipuan dan lain-
lain. Sedangkan penyelesaian melalui jalur litigasi akan merugikan kedua belah
pihak. Efek positif lainnya dari proses mediasi adalah hubungan dokter pasien
akan tetap senantiasa terjaga dengan baik. Karena bagaimanapun kedua belah
pihak memerlukan kepentingan yang sama meskipun dalam konteks dan
tanggung jawabnya masing-masing.
Tetapi Berdasarkan Pasal 4 Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia Nomor
50 Tahun 2017 tentang Tata Cara Penanganan Pengaduan Disiplin Dokter dan
Dokter Gigi, menyatakan bahwa MKDKI bukanlah lembaga yang dapat melakukan
mediasi, rekonsiliasi serta negosiasi antara Pengadu, Teradu, Pasien, dan/ atau
kuasanya; MKDKI juga tidak menerima pengaduan yang berhubungan dengan
permasalahan etika serta masalah hukum baik itu perdata ataupun pidana; jika
pada pemeriksaan dijumpai pelanggaran etika, maka MKDKI akan meneruskan
pengaduan tersebut kepada organisasi profesi.22
Pasal 29 UU No. 36 Tahun 2009 menyatakan bahwa dalam hal tenaga
kesehatan diduga melakukan kelalaian dalam menjalankan profesinya, maka
kelalaian tersebut harus diselesaikan terlebih dahulu melalui mediasi. Namun
demikian dalam penjelasan pasal tersebut tidak dijelaskan ke badan mana
mediasi tersebut akan diselesaikan. MKDKI ini bukan lembaga mediasi dalam
konteks mediasi penyelesaian sengketa medis, tetapi sebagai lembaga negara
yang berwenang untuk 1). menentukan ada atau tidaknya kesalahan yang
dilakukan dokter/ dokter gigi dalam penerapan disiplin ilmu
kedokteran/kedokteran gigi dan 2). menerapkan sanksi bagi dokter/dokter gigi
yang dinyatakan bersalah.23
Setelah adanya pengaduan maka MKDKI akan memeriksa dan memberikan
keputusan terhadap pengaduan yang berkaitan dengan disiplin dokter dan
dokter gigi (Pasal 67 UU Praktik Kedokteran). Adapun keputusan MKDKI itu
sifatnya mengikat dokter, dokter gigi, dan KKI yang isinya dapat berupa
dinyatakan tidak bersalah atau pemberian sanksi disiplin. Sanksi disiplin itu
dapat berupa (Pasal 69 UU Praktik Kedokteran): a) pemberian peringatan
tertulis; b) rekomendasi pencabutan surat tanda registrasi atau surat izin praktik;

22
Kastania Lintang, Dkk, “Kedudukan Majelis Kehormatan……………………………… 174.
23
Moh fadly, tesis: “Putusan Mkdki Sebagai Bukti Permulaan Dalam Proses Penyidikan Terhadap Dokter Yang
Dilaporkan Dalam Sengketa Medik”, (Yogyakarta:UII, 2017), 139.

8
dan/atau c) kewajiban mengikuti pendidikan atau pelatihan di institusi
pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi.24
Dari pemaparan diatas dapat dipahami bahwa wewenang dari MKDKI
sebenarnya hanyalah melakukan pengawasan terhadap tindakan praktik
kedokteran serta mengadili terkait salah atau tidaknya dokter atau dokter gigi
dan juga menentukan penerapan sanksi disiplin jika terbukti ditemukan
kesalahan. Dengan demikian putusan MKDKI dalam memutus sengketa medik
hanya mengikat pihak kedokteran sedangkan hak-hak maupun kepentingan
pihak pasien tidak termuat. Sehingga dari keputusan MKDKI tersebut dirasa
belum bisa mewakili rasa keadilan serta kemanfaatan bagi kedua belah pihak
terutama kepada pasien.
Menurut penulis seharusnya terhadap MKDKI wewenangnya diperluas
dalam hal memutus sengketa medik, dimana perluasan itu juga menyangkut
tentang wewenang penentuan ganti rugi yang diharus dibayarkan oleh dokter
terhadap kerugian yang diderita oleh pasien. Sehingga demikian putusan yang
diperoleh dapat
E. Simpulan
Pada dasarnya hubungan pelayanan kesehatan adalah hubungan atas
dasar kepercayaan. Pasien percaya terhadap kemampuan dokter untuk berupaya
semaksimal mungkin menyembuhkan penyakit yang dideritanya. Dalam
hubungan itu kedua belah pihak diikat oleh transaksi traupetik yang mana
perjanjiannya berdasarkan upaya maksimal untuk menyembuhkan pasien bukan
hasil atau jaminan kesembuhan, hal ini juga disebut dengan inspanningverbintenis.
Meskipun demikian sering juga terjadi sengketa medik yang biasanya didasari
atas rasa kurang puasnya pasien terhadap hasil pelayanan medis.
Dalam hal terjadinya sengketa medis maka hukum mengatur untuk
terlebih dahulu menyelesaikannya melalui jalur mediasi dimana hal ini tercantum
dalam pasal Pasal 29 UU No. 36 Tahun 2009. Kemudian didalam pasal 66 (1) UU
Praktik kedokteran dinyatakan bahwa seseorang yang mengetahui atau
kepentingannya dirugikan atas tindakan dokter maka ia dapat melakukan
pengaduan kepada MKDKI. MKDKI memiliki tugas untuk menerima pengaduan,
memeriksa, dan memutus kasus dugaan pelanggaran disiplin profesional dokter
dan dokter gigi. Adapun keputusan MKDKI itu sifatnya mengikat hanya kepada
pihak dokter, yang isinya dapat berupa pernyataan bersalah/tidak bersalah atau
pemberian sanksi disiplin. Sedangkan hak-hak maupun kepentingan pihak pasien
tidak termuat. Dengan demikian keputusan MKDKI tentu belum bisa
merepresentasikan nilai kemanfaatan teruma bagi pihak pasien.

24
Ibid, 146.

9
DAFTAR PUSTAKA

Astuti, Endang Kusuma, transaksi teraupetik dalam upaya pelayanan medis di rumah
sakit, (bandung: Pt citra Aditya bakti, 2009), 287.

Aziz, Abdul, ‘Tinjauan Kriminologi Mengenai Malpraktik Medik Yang Dilakukan Oleh
Perawat’, Jurnal Ilmu Hukum Legal Opinion, 2.2 (2014), 3.

fadly, Moh, tesis: ‘Putusan Mkdki Sebagai Bukti Permulaan Dalam Proses Penyidikan
Terhadap Dokter Yang Dilaporkan Dalam Sengketa Medik’, (Yogyakarta:uii, 2017),
139.
Handayani, Tri, ‘Pertanggungjawaban Dokter Dan Model Penyelesaian Perkara
Malpraktek Medik Di Indonesia’,Jurnal Ilmu Hukum, 9.1 (2020), 76.

Lestari, R., ‘Perbandingan Hukum Penyelesaian Sengketa Secara Mediasi Di Pengadilan


Dan Di Luar Pengadilan Di Indonesia’, Jurnal Ilmu Hukum Riau, 3.2 (2013), 908
Nugroho, Susanti Adi, Manfaat Mediasi Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa, (Jakarta:
Kencana, 2019), 196.

Novianto, Widodo Tresno, Sengketa Medik Pergulatan Hukum Dalam Menentukan Unsur
Kelalaian Medik, (Surakarta: UNS Press, 2017), 27.

Rahmawati, Yessi, perlindungan hukum dokter dalam melakukan Tindakan medik pada
masa pandemic, (Surabaya: scopindo media Pustaka, 2021), 24.

Ratman, Desriza, Mediasi Non Ligitasi Terhadap Sengketa Medik Dengan Konsep Win-Win
Solution, (Jakarta: PT Elex Media Komputindo, 2012), 155.

riyanto, Ontran sumantri, pembentukan pengadilan khusus medis, (Yogyakarta: deepublish,


2018), 48.

Roihanah, Rifah, ‘Hubungan Hukum Dokter Dan Pasien: Perspektif Undang-Undang No 8


Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen’, Justicia Islamica, 16.1 (2019), 151–
74 <https://doi.org/10.21154/justicia.v16i1.1664>
Rongiyati, Sulasi dkk, Tanggungjawab hukum rumah sakit dalam pelayanan Kesehatan,
(Jakarta:P3D1, 2015),V.

Santoso, Arif Dian, , Isharyanto, and Adi Sulistiyono, ‘Penyelesaian Sengketa Medik
Melalui Mediasi Oleh Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (Mkdki)
Untuk Dapat Menjamin Keadilan Dalam Hubungan Dokter Dan Pasien’, Jurnal
Hukum Dan Pembangunan Ekonomi, 7.1 (2019), 29
<https://doi.org/10.20961/hpe.v7i1.29176>

10

Anda mungkin juga menyukai