Anda di halaman 1dari 14

Penerapan Restorative Justice dalam Penyelesaian

Sengketa Medis di Indonesia


Prihati Pujowaskito, Universitas Borobudur

Abstrak
Proses dan hasil penyelesaian sengketa pidana di Indonesia dinilai tidak
efisien dan tidak adil, terutama dalam penanganan kasus kedokteran,
terutama bagi korban (pasien dan keluarga). Restorative justice dapat
menjadi solusi dan reaksi dari kebutuhan penyelesaian sengketa pidana
medis yang mampu memenuhi keadilan korban dan pelaku, bukan sekedar
memuaskan hukum pidana. Restorative justice didefinisikan sebagai suatu
pemulihan hubungan dan penebusan kesalahan yang ingin dilakukan oleh
pelaku tindak pidana terhadap korban tindak pidana tersebut di luar
pengadilan agar permasalahan hukum yang timbul akibat terjadinya
perbuatan pidana tersebut diselesaikan dengan baik dengan tercapainya
persetujuan dan kesepakatan di antara para pihak (upaya perdamaian).
Belum terdapat hukum yang khusus mengatur mengenai restorative justice
dalam penanganan sengketa pidana medis (recthsvacuum); maka dari itu,
pelaksanaan restorative justice belum dapat dijamin oleh negara. Pengaturan
hukum restorative justice yang ideal di Indonesia dapat diwujudkan melalui
mediasi penal. Mediasi penal perlu diatur oleh undang-undang untuk dapat
dilakukan di berbagai tingkatan penegakkan hukum pidana yakni tingkat
penyidikan, penuntutan, pengadilan, dan lembaga permasyarakatan. Apabila
mediasi penal berhasil pada suatu tingkatan penyelesaian perkara, maka
dapat dibuat perdamaian dengan pemberian ganti rugi, rekonsiliasi, perkara
tidak diadili di pengadilan, atau pencabutan tuntutan. Namun, bila mediasi
penal yang dilakukan gagal, maka kasus dikembalikan ke sistem peradilan
pidana. Sehingga, restorative justice yang diwujudkan dalam mediasi penal
tidak bersifat menghilangkan sistem pidana, namun menciptakan alternatif
penyelesaian sengketa pidana medis dengan sederhana, cepat, murah, dan
efisien.
Kata kunci: Restorative justice, Sengketa Pidana Medis
A. Pendahuluan
Latar Belakang
Dalam penyelenggaraan kesehatan, terjadi pertemuan antara tenaga kesehatan,
pasien, dan sarana kesehatan yang mengakibatkan munculnya hubungan medik dan
hubungan hukum. Hubungan hukum yang terjadi menempatkan pasien dan tenaga
kesehatan sebagai subyek hukum pribadi, sedangkan rumah sakit adalah subyek hukum
yang berbentuk badan hukum; melalui hubungan keduanya, terbentuklah perikatan
(verbintenis) yang dalam Pasal 1234 KUHPerdata disebutkan bahwa “Perikatan
ditujukan untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat
sesuatu”. Berdasarkan hal tersebut, perbuatan sesuatu dalam hubungan pasien, dokter,
dan sarana kesehatan, adalah pelayanan kesehatan.1
Sengketa sangat dimungkinkan timbul pada suatu hubungan hukum. Sengketa
medis terjadi karena masalah yang dirasa menimbulkan rasa ketidakpuasan dari salah
satu pihak (pasien) yang merasa dirugikan oleh pihak lainnya (dokter dan sarana
kesehatan), kemudian dimaknai secara internal atau eksternal (dalam bentuk keluhan
atau complain). Hal inilah yang disebut konflik, yang akhirnya berujung pada sebuah
sengketa bila pihak yang merasa dirugikan telah menyatakan rasa ketidakpuasannya
tersebut kepada pihak yang dianggap sebagai penyebab kerugian atau kepada pihak lain.2
Sengketa medik tidak ditegaskan pada UU No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah
Sakit atau pun UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran. UU No 29 Tahun
2004 yang hanya mengatur perihal pengaduan, bahwa “…setiap orang yang mengetahui
atau kepentingannya dirugikan atas tindakan dokter atau dokter gigi dalam
menjalankan praktik kedokteran, dapat mengadukan secara tertulis kepada Ketua
Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia.”3 Selain itu, UU No. 36 tahun 2009
tentang Kesehatan juga hanya memuat tentang perlindungan pasien pada Pasal 58, yang
ditegaskan pada Ayat (1), “Setiap orang berhak menuntut ganti rugi terhadap
seseorang, tenaga kesehatan, dan/atau penyelenggara kesehatan yang menimbulkan
kerugian akibat kesalahan atau kelalaian dalam penyelenggaraan kesehatan yang
diterimanya” dan Ayat (2), “Tuntutan ganti rugi sebagaimana pada ayat (1) tidak

1
Rahardjo, S. (2014). Ilmu Hukum. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, hlm. 35.
2
Citra Umbara. (2008). Kamus Hukum. Bandung: Penerbit Citra Umbara, hlm. 433.
3
Undang-Undang No 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran
berlaku bagi tenaga kesehatan yang melakukan tindakan penyelamatan nyawa atau
pencegahan kecatatan seseorang dalam keadaan darurat”.4
Pemicu terjadinya sengketa adalah kesalahpahaman, perbedaan penafsiran,
ketidakjelasan pengaturan, ketidakpuasan, ketersinggungan, kecurigaan, tindakan yang
tidak patut, curang atau tidak jujur, dan terjadinya keadaan yang tidak terduga, serta
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang mempengaruhi dunia kedokteran. 5
Di lain pihak, tuntutan masyarakat terhadap pelayanan kesehatan tetap sama, yakni
terselenggaranya pelayanan medis bermutu tinggi yang tidak pernah salah dengan biaya
murah. Benturan antara kepentingan ini yang menimbulkan berbagai sengketa yang
dapat masuk ranah hukum.
Meskipun hubungan dokter dengan pasien merupakan hubungan hukum perdata,
konflik yang terjadi dapat berupa sengketa pidana medis. Penyelesaian perkara tindak
pidana praktik kedokteran diselesaikan melalui dua jalur, yakni litigasi (pengadilan) dan
non-litigasi (non-ajudikasi). Proses beracara di pengadilan adalah proses yang
membutuhkan biaya dan memakan waktu. Kritik tajam lainnya terkait lembaga peradilan
dalam menjalankan fungsinya adalah dianggap terlalu padat, lamban, membuang waktu,
mahal, dan kurang tanggap terhadap kepentingan umum; selain itu, prosesnya dianggap
formalistik dan terlampau teknis.
Proses pengadilan beserta hasilnya dinilai tidak efisien dan tidak adil; terutama
dalam penanganan kasus kedokteran, sering tidak memuaskan bagi korban (pasien)
maupun keluarga. Seringkali, sengketa terjadi semata-mata akibat adanya gap
pemahaman kasus klinis antara dokter dengan pasien atau keluarga pasien; sehingga,
pada akhirnya pun dokter diputus bebas oleh pengadilan. Hasil tersebut menyebabkan
memperburuknya penderitaan yang dialami oleh pasien dan keluarga, yang merasa
hukuman/pidana yang dijatuhkan hakim kepada dokter tidak setimpal.
Ketidakpuasan terhadap operasionalisasi sistem peradilan didana mendorong ahli
untuk mencari penyelesaian alternatif dari sistem peradilan pidana dengan penyelesaian
perkara di luar jalur pidana, yakni melalui mediasi penal sebagai wujud dari restorative
justice. Dasar pemikiran restorative justice yaitu perlu adanya pemikiran penyelesaian
perkara pidana melalui jalur alternative dispute resolution (ADR) agar dapat
menyelesaikan konflik yang terjadi antara pelaku dengan korban dengan cara
kekeluargaan, musyawarah, dan memuaskan kedua belah pihak (win-win solution). Cara
4
UU No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan
5
Hariadi, H. R. (2009). Sorotan Masyarakat Terhadap Profesi Kedokteran. Transaksi Terapeutik dalam Upaya
Pelayanan Medis di Rumah Sakit. Bandung: Citra Adutya Bakti, hlm. 234-248.
ini juga diharapkan mampu mengurangi stagnansi atau penumpukan perkara (the
problem of court case overload) dan penyederhanaan proses peradilan pidana.6
Implikasi praktik penyelesaian perkara di luar pengadilan selama ini memang
tidak ada landasan hukum formalnya. Pengadilan seolah-olah dianggap tempat yang
paling baik untuk menyelesaikan masalah hukum dan mencari keadilan; namun, sering
kali tidak memperhitungkan eskalasi perbuatannya. Partisipasi aktif masyarakat pun
seakan tidak penting lagi, semua hanya bermuara pada putusan pengadilan dalam bentuk
pemidanaan tanpa melihat esensinya. Kemunculan restorative justice merupakan respons
dari kebutuhan solusi atas permasalahan tersebut.
Berdasarkan latar belakang di atas, penelitian ini bertujuan untuk menggali
konsep restorative justice sebagai usaha penyelesaian sengketa pidana medis,
mengevaluasi peraturan hukum restorative justice yang sudah ada di Indonesia, dan
memberikan usulan terkait pengaturan restorative justice yang ideal dan tepat untuk
diterapkan di Indonesia.

Metode
Penelitian ini adalah penelitian hukum doktrinal yaitu tidak semata-mata
menelaah hukum sebagai kaidah perundang-undangan, tetapi juga menelaah bagaimana
agar hukum berpengaruh positif dalam kehidupan masyarakat. Penelitian yang telah
dilakukan ini bersifat deskriptif analitis dan preskriptif. Pendekatan yang dipergunakan
dalam penelitian adalah pendekatan pendekatan konsep (conceptual approach) dan
perundang-undangan (statute approach).

B. Diskusi
Konsep Restorative Justice dalam Penyelesaian Sengketa Medis
Restorative justice atau keadilan restoratif didefinisikan sebagai suatu pemulihan
hubungan dan penebusan kesalahan yang ingin dilakukan oleh pelaku tindak pidana
terhadap korban tindak pidana tersebut di luar pengadilan dengan maksud dan tujuan
agar permasalahan hukum yang timbul akibat terjadinya perbuatan pidana tersebut
diselesaikan dengan baik dengan tercapainya persetujuan dan kesepakatan di antara para
pihak (upaya perdamaian).

6
Arief, B. N. (2000). Kebijakan Legislatif dalam Penanggulanan Kejahatan dengan Pidana Penjara.
Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, hlm. 169-171.
Tindak pidana menurut kacamata keadilan restoratif ialah pelanggaran terhadap
manusia dan relasi antar manusia. Keadilan restoratif tersebut dapat dilaksanakan melalui
mediasi korban dengan pelanggar; musyawarah kelompok keluaraga; dan pelayanan di
masyarakat yang bersifat pemulihan baik bagi korban mau pun pelaku.
Namun, sistem peradilan pidana di Indonesia masih menerapkan prinsip retributif
yang bersifat kaku dan prosedural. Beberapa dampak negatif dari penjatuhan pidana yang
mencabut kemerdekaan ialah dehumanisasi bagi pelaku, prisonisasi yang memiliki
subkultur narapidana, kontaminasi narapidana (penjara menjadi school of crime), pidana
jangka pendek yang tidak memungkinkan untuk rehabilitasi narapidana, dan stigmatisasi
masyarakat terhadap pelaku.
Dengan kegagalan sistem peradilan pidana tersebut, keadilan restoratif hadir
sebagai reaksi dan solusi. Penegakkan hukum yang retributif berorientasi pada
pembalasan serta neo-klasik yang berorientasi pada kesetaraan sanksi pidana, perlu
diubah menjadi paradigma penghukuman keadilan restoratif. Dalam keadilan restoratif,
pelaku didorong untuk memperbaiki kerugian yang telah ditimbulkan kepada korban,
keluarga korban, dan masyarakat. Praktik keadilan restoratif menyikapi tindak pidana
dengan: 1) mengidentifikasi dan mengambil langkah untuk memperbaiki kerugian atau
kerusakan, 2) melibatkan semua pihak yang berkepentingan, dan 3) mengubah hubungan
antara komunitas dan pemerintah dalam menangani kejahatan yang selama ini bersifat
tradisional.7
Penggunaan keadilan restoratif dalam penyelesaian sengketa pidana adalah
sebagai berikut:
1. Dapat digunakan dalam tiap tahap sistem peradilan pidana;
2. Proses keadilan restoratif hanya digunakan apabila terdapat bukti-bukti
cukup untuk menuntut pelaku tindak pidana dan disertai dengan kebebasan
dan kesukarelaan korban serta pelaku;
3. Kesepakatan didasarkan atas fakta-fakta dasar yang berkaitan dengan kasus
terkait, dan partisipasi pelaku tidak dapat digunakan sebagai bukti pengakuan
kesalahan dalam proses hukum selanjutnya;
4. Disparitas akibaat ketidakseimbangan, misalnya kekuatan maupun kultur,
harus diperhatikan dalam proses keadilan restoratif;
5. Keamanan para pihak harus diperhatikan dalam proses keadilan restoratif;

7
McCold & Watchel. (2003). Restorative Practices. The International Institute for Restorative Practices (IIRP),
hlm. 7
6. Apabila proses resotratif tidak tepat atau tidak mungkin dilakukan, kasus
tersebut harus dikembalikan kepada pejabat sistem peradilan pidana, dan
keputusan harus diambil untuk segera memproses kasus tersebut tanpa
penundaan.8
Konsep keadilan restoratif pada dasarnya sederhana. Ukuran keadilan tidak lagi
berdasar pembalasan setimpal dari korban kepada pelaku (baik secara fisik, psikis, atau
hukuman); namun disembuhkan dengan memberikan dukungan kepada korban dan
mensyaratkan pelaku untuk bertanggung jawab. Dalam ke-Indonesia-an, diartikan bahwa
keadilan restoratif berarti menyelesaikan sengketa secara adil yang melibatkan pelaku,
korban, keluarga, dan pihak lain yang terkait dalam suatu tindak pidana dan secara
bersama mencari penyelesaian dan implikasinya dengan menekankan pemulihan kembali
pada keadaan semula.
Pada kenyataannya, keadilan restoratif melalui penyelesaian konflik secara damai
di luar pengadilan masih sulit diterapkan. Di Indonesia, banyak hukum adat yang
seyogyanya adalah perwujudan restorative justice, namun keberadaannya tidak diakui
negara atau tidak dikodifikasi dalam hukum nasional. Padahal, adanya keadilan restoratif
bukan berarti meniadakan pidana penjara, terutama dalam perkara tertentu yang
menimbulkan kerugian secara massal atau berkaitan dengan nyawa seseorang; namun,
konsep ini hanya berfungsi sebagai akselerator dari perwujudan peradilan yang
sederhana, cepat, dengan biaya ringan. Konsep tersebut lebih menjamin terpenuhinya
kepastian hukum dan keadilan masyarakat yang menjunjung tinggi adat dan
kemusyawarahan, seperti masyarakat Indonesia.9
Penerapan sistem pidana pada relasi pasien dengan tenaga kesehatan diperlukan
kekhususan, sehingga dapat tercapai pemanfaatan hukum pidana yang optimal bagi
pasien dan tenaga kesehatan yang juga mempertimbangkan keadilan dan kepastian
hukum bagi kedua pihak demi kepentingan masa depan. 10 Pasal 360 KUHP sering kali
digunakan untuk putusan perkara pidana kelalaian medis, yang berujung pada
pemidanaan bagi tenaga kesehatan. Di lain pihak, kerugian yang dialami pasien tetap
tidak terpulihkan. Apabila tercapai perdamaian antara terdakwa dengan keluarga korban,

8
Muladi. (2013). Restorative Justice dalam Sistem Peradilan Pidana dan Implementasinya dalam Penyelesaian
Tindak Pidana yang Dilakukan oleh Anak-anak. Jakarta: Puslitbang SHN-BPHN, hlm. 7.
9
Novianto, W.T. (2015). Penafsiran Hukum dalam Menentukan Unsur-Unsur Kelalaian Malpraktek Medik
(Medical Malpractice). Jurnal Yustisia, 4(2), hlm. 489.
10
Liebmann, M. (2007). Restorative Justice: How It Works. London: Jessica Kingsley Publishers, hlm. 26.
maka akan membawa manfaat bagi korban; misalnya terbantunya korban memulihkan
kondisinya, bukan hanya sekedar mengurangi kerugian yang dideritanya.
Relasi medis merupakan relasi yang unik. Pemberi jasa medis memiliki suatu
kewajiban untuk masuk ke dalam perikatan karena profesinya, dan pasien karena kondisi
kesehatannya mengharuskan dirinya masuk ke perikatan medis. Artinya, relasi ini
muncul bukan melalui kesepakatan seperti pada umumnya perikatan. Pemerintah dan
masyarakat juga menjadi pihak ketiga dari perikatan ini, sehingga perikatan medis
memiliki sifat publik. Sehingga, ingkar prestasi dalam perikatan medis juga dapat
ditegakkan oleh negara (masyarakat dan pemerintah). Hal ini linear dengan prinsip
penegakan keadilan restoratif yang pada penyelesaiannya melibatkan pelaku, korban, dan
masyarakat.
Melalui keadilan restoratif, hukuman dapat didesain agar memenuhi keadilan
korban, bukan sekedar memuaskan hukum pidana. Pilihan untuk mengalihkan hukuman
menjadi kewajiban tertentu merupakan pilihan paling menguntungkan bagi semua pihak
terlibat. Bagi pemberi jasa medis, tidak dipidana berarti ke memberi kesempatan baginya
untuk tetap menikmati kehidupan tanpa mendapat nestapa; bagi korban, penjatuhan
pidana tidak memberikan manfaat apapun selain kepuasan melihat orang lain dijatuhkan
nestapa.

Pengaturan Hukum Pelaksanaan Restorative Justice dalam Sengketa Medis di


Indonesia
Secara umum, pelaksanaan restorative justice di Indonesia dilindungi oleh
sejumlah peraturan sebagai berikut, yaitu:
1. Undang-Undang No. 29 Tahun 2009 Tentang Praktik Kedokteran, yang
diatur pada Pasal 66, yang berbunyi: “…bila ada pasien yang merasa
dirugikan dalam pelayanan, dapat mengajukan pengaduan secara tertulis
kepada MKDI (Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia)”.11
2. Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa, yang secara umum mengatur bahwa penyelesaian
sengketa perdata di luar pengadilan umum yang didasarkan pada perjanjian
arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.12

11
Undang-Undang No. 29 Tahun 2009 Tentang Praktik Kedokteran
12
Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa
3. Surat Edaran Kapolri No. SE/8/VII/2018 Tentang Penerapan Keadilan
Restoratif dalam Penyelesaian Perkara Pidana, di mana keadilan restoratif
bukan hanya dimaknai sebagai penyelesaian sengketa secara damai, namun
lebih luas sebagai pemenuhan rasa keadilan pihak-pihak yang terlibat;
melalui pembaharuan Peraturan Kapolri No. 6 Tahun 2019, masyarakat
sudah tidak lagi terlibat dalam proses peradilan keadilan restoratif.13
4. Peraturan Kapolri No. 6 Tahun 2019 Tentang Penyidikan Tindak Pidana,
yang berfokus pada pemulihan korban namun belum pada pemulihan relasi
antara korban dengan pelaku.14
5. Peraturan Kejaksaan No. 15 Tahun 2020 Tentang Penghentian Penuntutan
Berdasarkan Keadilan Restoratif, yang mengatur agar penyelesaian sengketa
bertujuan untuk pemulihan kembali pada keadaan semula, bukan
pembalasan, kecuali perkara narkotika.15
6. Keputusan Dirjen Badan Peradilan Umum MA RI No. 1691/DJU/SK/PS.00/
12/2020 Tentang Pemberlakuan Pedoman Penerapan Keadilan Restoratif,
mengatur mengenai penerapan keadilan restoratif di pengadilan, yang hanya
dapat diberlakukan pada tindak pidana ringan, pidana anak, perempuan, dan
narkotika.16
Berdasarkan temuan tersebut, belum ada hukum yang khusus mengatur mengenai
keadilan restoratif dalam penanganan sengketa pidana medis (recthsvacuum atau
kekosongan hukum). Maka dari itu, pada pelaksanaan prosedur keadilan restoratif dalam
penyelesaian konflik pidana medis, diperlukan adanya penafsiran ekstensif atau
menemukan norma yang lebih tinggi dari peraturan yang sudah ada, kemudian
memperluasnya. Fenomena tersebut menyebabkan negara belum dapat menjamin
kepastian hukum prosedur keadilan restoratif dalam penyelesaian sengketa pidana medis
di Indonesia.

Pengaturan Hukum Restorative Justice yang Ideal di Indonesia


Ditilik dari perspektif sejarah hukum, awalnya tidak dibedakan antara hukum
pidana dengan perdata, sehingga setiap perkara dimungkinkan untuk dilakukan mediasi.
13
Surat Edaran Kapolri No. SE/8/VII/2018 Tentang Penerapan Keadilan Restoratif dalam Penyelesaian Perkara
Pidana
14
Peraturan Kapolri No. 6 Tahun 2019 Tentang Penyidikan Tindak Pidana
15
Peraturan Kejaksaan No. 15 Tahun 2020 Tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif
16
Keputusan Dirjen Badan Peradilan Umum MA RI No. 1691/DJU/SK/PS.00/ 12/2020 Tentang Pemberlakuan
Pedoman Penerapan Keadilan Restoratif
Kemudian, dimensi tersebut ditinggalkan, di mana dibedakan antara hukum pidana
dengan perdata. Namun, perkembangan masyarakat terkini menunjukkan bahwa praktik
kasus pidana juga diselesaikan melalui restorative justice dengan bentuk implementasi
mediasi penal.
Mediasi penal selaras dengan perkembangan baru dalam penegakkan hukum, di
mana pelaku tidak selalu harus diproses, diadili, dan dihukum; sehingga diperlukan
adanya konsep peradilan perkara di luar pengadilan (alternative dispute resolution). Hal
ini terutama karena tidak semua kasus pidana berujung di pengadilan, terutama tindak
pidana ringan, perkara kecil, dan kejahatan ringan.17
Akan tetapi, mediasi penal berisiko tidak dapat terwujud karena adanya
paradigma masyarakat dan penegak hukum yang masih sangat legalistik. Pada
prinsipnya, mediasi merupakan bentuk alternatif penyelesaian perkara di luar pengadilan
yang lazim digunakan pada kasus perdata. Selain itu, berdasarkan hukum positif yang
berlaku di Indonesia saat ini, kasus pidana tidak dapat diselesaikan di luar pengadilan,
kecuali untuk kasus-kasus tertentu.18
Bertolak dengan hal tersebut, banyak implikasi positif dari diimplementasikannya
mediasi penal sebagai perwujudan nilai-nilai Pancasila, terutama sila ke-empat dan ke-
lima, yaitu:
1. Tidak terjadi penumpukan perkara di pengadilan, sehingga keadilan restoratif
memiliki nilai ekonomis (berkurangnya pengeluaran negara), hemat waktu,
fleksibel, dan dengan prosedur yang lebih sederhana.
2. Menjadi kesempatan bagi korban untuk dapat mengungkapkan perhatian,
keinginan, dan perasaannya, sehingga dapat meminta restitusi; hal tersebut
dapat membantu mengurangi rasa balas dendam terhadap pelaku. Dengan
begitu, hubungan antara tersangka dan korban dapat diperbaiki.
3. Pelaku terhindar dari pemidanaan, stigma, atau catatan yang telah diperbuat;
hal tersebut disubstitusi dengan mengganti kerugian yang dialami korban.

17
Tindak Pidana Ringan (Tipiring) dalam ketentuan Pasal 205 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) merupakan tindak pidana yang diancam dengan pidana
penjara atau kurungan paling lama 3 (tiga) bulan dan denda sebanyak-banyaknya Rp. 7.500,00 (tujuh ribu lima
ratus rupiah). Kemudian kejahatan ringan (lichte misdrijven) seperti diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP) berupa Pasal 302 tentang penganiayaan ringan terhadap hewan, Pasal 315 (penghinaan ringan),
Pasal 353 (penganiayaan iringan), Pasal 364 (pencurian iringan), Pasal 373 (penggelapan iringan), Pasal 379
(penipuan ringan), Pasal 482 (penadahan ringan), dan lain sebagainya.
18
Arief, B. N. (2008). Mediasi Penal Penyelesaian Perkara di Luar Pengadilan. Semarang: Pustaka Magister,
hlm. 1-2
4. Apabila mediasi penal diimplementasikan dalam kebijakan legislasi, maka
aturan tersebut dapat diterima masyarakat karena diambil, diangkat,
diterapkan, dan berorientasi dari nilai-nilai budaya yang hidup dan
berkembang dalam masyarakat Indonesia.
Untuk dapat diwujudkannya keadilan restoratif, maka mediasi penal perlu
dijabarkan dalam bentuk undang-undang (UU). UU tersebut hendaknya mengatur
mengenai mediasi penal yang dilakukan di tingkat penyidikan, penuntutan, pengadilan,
dan lembaga permasyarakatan. Selain itu, perlu juga diatur tentang eksistensi lembaga
baru, petugas mediator, proses, dan substansi mediasi penal. Apabila mediasi penal
berhasil pada suatu tingkatan penyelesaian perkara, maka dapat dibuat perdamaian
dengan pemberian ganti rugi, rekonsiliasi, perkara tidak diadili di pengadilan, atau
pencabutan tuntutan. Namun, bila mediasi penal yang dilakukan gagal, maka kasus
dikembalikan ke sistem peradilan pidana.19
Selanjutnya, pada tataran praktis, hendaknya peradilan adat diatur sebagai salah
satu cara atau solusi untuk melakukan mediasi penal, sehingga kearifan lokal
mendapatkan kekuatan hukum di samping sistem peradilan pidana. Misalnya, di Bali,
dikenal lembaga adat berupa banjar, subak, desa pakraman, dan majelis desa pakraman,
yang berperan untuk menyelesaikan perkara adat. Bila terjadi perkara, maka
penyelesaian dilakukan secara berjenjang, mulai dari di tingkat keluarga, banjar, desa
pakraman, dst. Pun dengan suku Sasak di Lombok yang memiliki pemberian sanksi
bertingkat (peringatan, musyawarah atau bugendem, dst). Suku Dayak pun memiliki
peradilan adat yang disebut Majelis Adat Dayak Nasional (MADN).20
Meski bersumber dari kearifan lokal, penanganan kasus di bidang kesehatan
dengan menerapkan prinsip restorative justice masih sulit dilakukan. Pasien sebagai
korban tidak dapat membedakan antara malpraktik, kelalaian, atau kegagalan terapi yang
diberikan oleh klinisi. Hal itu diperburuk dengan ketidaktahuan penegak hukum akan
kasus pidana yang berkaitan dengan medis; karena itulah, sengketa pidana medis yang
dibawa ke pengadilan sering memiliki hasil final yang tidak jelas. Kondisi tersebut
mendorong hakim dan penuntut umum untuk menggunakan Kitab Undang-Undang

19
Rozah, U. (2012). Konstruksi Politik Hukum Mediasi Penal Sebagai Alternatif Penyelesaian Perkara Pidana.
Hukum Pidana Dalam Perspektif, hlm. 326.
20
Yamin. Perubahan Sosial Dalam Kodifikasi Hukum Adat Antara Stabilitas dan Perubahan Tata Hukum.
Jatiswara, [S.l.], v. 31, n. 2, p. 197-206, oct. 2017. ISSN 2579-3071.
Hukum Pidana (KUHP) yang biasanya berkaitan dengan kelalaian, yaitu Pasal 359, 360,
dan 361.21
Pasien yang menyelesaikan kasus pidana medis melalui jalur litigasi sering tidak
mendapatkan restitusi atau ganti kerugian yang layak, karena jumlah denda yang
ditetapkan oleh hakim didasarkan pada KUHP dan bukan pada kerugian yang dialami
pasien sesungguhnya.22 Meski proses peradilan mampu mewujudkan penegakan hukum
(memperoleh kepastian hukum, keadilan, dan kemanfaatan), proses litigasi juga
cenderung menghasilkan kesepakatan yang bersifat adversarial yang belum merangkul
kepentingan bersama, bahkan putusan hakin dapat menimbulkan masalah baru dan
mempertajam konflik.23
Maka dari itu, mediasi penal hadir sebagai upaya untuk mewujudkan peraturan
perundang-undangan pidana yang baik dengan asas keadilan dan daya guna
(kemanfaatan) untuk perbaikan relasi korban dan pelaku di masa depan. Konsep mediasi
penal sebagai alternatif penyelesaian sengketa pidana medis menawarkan penyelesaian
dengan dasar: asas bebas dan sukarela, bahwa mediasi penal bersifat opsional dan tidak
memaksa untuk dilakukan; asas kerahasiaan, bahwa kerahasiaan dalam proses mediasi
penal harus senantiasa terjaga24; asas kesejahteraan, di mana pada akhirnya, salah satu
tujuan utama mediasi penal adalah perwujudan dari welfare state25; asas itikad baik,
dengan tujuan tercapainya win-win solution26; dan asas cepat, sederhana, dan biaya
ringan, untuk dapat memberikan akses yang lebih baik pada para pihak untuk
menemukan penyelesaian yang memuaskan dan memenuhi rasa keadilan.27
Asas-asas tersebut kemudian digunakan untuk mencapai tujuan mediasi penal
sebagai usaha penyelesaian sengketa pidana medik, yakni untuk meminimalisir perkara
pidana malpraktik; melaksanakan perdamaian antar-dokter serta tenaga kesehatan dengan
pasien dan keluarga pasien; merestorasi kerugian yang dialami oleh korban atau keluarga

21
Bastian, I. & Suryono. (2011). Penyelesaian Sengketa Kesehatan. Jakarta: Salemba Medika, hlm. 31.
22
Ibid, hlm. 52-57.
23
Ibid, hlm. 114-115.
24
Rozah, U. (2012). Instruksi Politik Hukum Mediasi Penal Sebagai ALternatif Penyelesaian Perkara Pidana.
Denpasar: Pustaka Larasan, hlm. 4.
25
Pakpahan, R. H. & Sihombing, E. (2012). Responsibility State in the Implementation of Social Security.
Indonesian Journal of Legislation, 09(02), hlm. 168.
26
Sugiatminingsih. (2009). Mediasi Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan. Jurnal STIH
Giri Malang, 12(02), hlm. 7.
27
Wibawa, D.G. & Krisnawati, I.G. (2019). Upaya Mediasi Dlaam Penyelesaian Sengketa Pelanggaran Hak
Cipta. Jurnal Kertha Wicara, 08(01), hlm. 5.
korban dalam sengketa pidana medis; serta memudahkan penyembuhan pada korban dan
perbaikan martabat pada pelaku.28

C. Kesimpulan
Restorative justice dapat menjadi solusi dan reaksi dari kebutuhan penyelesaian
sengketa pidana medis yang dapat memenuhi keadilan korban dan pelaku, bukan sekedar
memuaskan hukum pidana. Belum terdapat hukum yang khusus mengatur mengenai
restorative justice dalam penanganan sengketa pidana medis (recthsvacuum); maka dari
itu, pelaksanaan restorative justice belum dapat dijamin oleh negara. Selanjutnya,
pengaturan hukum restorative justice yang ideal di Indonesia dapat diwujudkan melalui
mediasi penal. Mediasi penal perlu diatur oleh undang-undang untuk dapat dilakukan di
tingkat penyidikan, penuntutan, pengadilan, dan lembaga permasyarakatan. Bila mediasi
penal yang dilakukan gagal, maka kasus dikembalikan ke sistem peradilan pidana.
Sehingga, restorative justice yang diwujudkan dalam mediasi penal tidak bersifat
menghilangkan sistem pidana, namun menciptakan alternatif penyelesaian sengketa
pidana medis dengan sederhana, cepat, murah, dan efisien.

D. Daftar Pustaka
Arief, B. N. (2000). Kebijakan Legislatif dalam Penanggulanan Kejahatan dengan
Pidana Penjara. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro.
Arief, B. N. (2008). Mediasi Penal Penyelesaian Perkara di Luar Pengadilan.
Semarang: Pustaka Magister.
Bastian, I. & Suryono. (2011). Penyelesaian Sengketa Kesehatan. Jakarta: Salemba
Medika.
Bastian, I. & Suryono. (2011). Penyelesaian Sengketa Kesehatan. Jakarta: Salemba
Medika.
Citra Umbara. (2008). Kamus Hukum. Bandung: Penerbit Citra Umbara.
Hariadi, H. R. (2009). Sorotan Masyarakat Terhadap Profesi Kedokteran. Transaksi
Terapeutik dalam Upaya Pelayanan Medis di Rumah Sakit. Bandung: Citra Adutya
Bakti.
Keputusan Dirjen Badan Peradilan Umum MA RI No. 1691/DJU/SK/PS.00/ 12/2020
Tentang Pemberlakuan Pedoman Penerapan Keadilan Restoratif

28
Bastian, I. & Suryono. (2011). Penyelesaian Sengketa Kesehatan. Jakarta: Salemba Medika, hlm. 40
Liebmann, M. (2007). Restorative Justice: How It Works. London: Jessica Kingsley
Publishers.
McCold & Watchel. (2003). Restorative Practices. The International Institute for
Restorative Practices (IIRP).
Muladi. (2013). Restorative Justice dalam Sistem Peradilan Pidana dan
Implementasinya dalam Penyelesaian Tindak Pidana yang Dilakukan oleh Anak-
anak. Jakarta: Puslitbang SHN-BPHN.
Novianto, W.T. (2015). Penafsiran Hukum dalam Menentukan Unsur-Unsur Kelalaian
Malpraktek Medik (Medical Malpractice). Jurnal Yustisia, 4(2).
Pakpahan, R. H. & Sihombing, E. (2012). Responsibility State in the Implementation of
Social Security. Indonesian Journal of Legislation, 09(02).
Peraturan Kapolri No. 6 Tahun 2019 Tentang Penyidikan Tindak Pidana
Peraturan Kejaksaan No. 15 Tahun 2020 Tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan
Keadilan Restoratif
Rahardjo, S. (2014). Ilmu Hukum. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.
Rozah, U. (2012). Instruksi Politik Hukum Mediasi Penal Sebagai ALternatif
Penyelesaian Perkara Pidana. Denpasar: Pustaka Larasan.
Rozah, U. (2012). Konstruksi Politik Hukum Mediasi Penal Sebagai Alternatif
Penyelesaian Perkara Pidana. Hukum Pidana Dalam Perspektif.
Sugiatminingsih. (2009). Mediasi Sebagai Alternatif Penyelesaian Sengketa di Luar
Pengadilan. Jurnal STIH Giri Malang, 12(02).
Surat Edaran Kapolri No. SE/8/VII/2018 Tentang Penerapan Keadilan Restoratif dalam
Penyelesaian Perkara Pidana
Undang-Undang No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran
Undang-Undang No. 29 Tahun 2009 Tentang Praktik Kedokteran
Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa
Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana (KUHAP)
Wibawa, D.G. & Krisnawati, I.G. (2019). Upaya Mediasi Dlaam Penyelesaian Sengketa
Pelanggaran Hak Cipta. Jurnal Kertha Wicara, 08(01).
Yamin. Perubahan Sosial Dalam Kodifikasi Hukum Adat Antara Stabilitas dan
Perubahan Tata Hukum. Jatiswara, [S.l.], v. 31, n. 2, p. 197-206, oct. 2017. ISSN
2579-3071.

Anda mungkin juga menyukai