Anda di halaman 1dari 23

KAJIAN INFORMED CONSENT SEBAGAI KEKUATAN HUKUM DALAM

PENANGANAN TINDAK PERDATA PADA BIDAN DALAM MELAKSANAKAN


TINDAKAN KEBIDANAN DI PRAKTEK MANDIRI BIDAN (PMB) WILAYAH
KABUPATEN TULANG BAWANG BARAT

DISUSUN OLEH :
SEPTARIA PURWASIH Amd.Keb.

DISUSUN SEBAGAI TUGAS


PADA LATIHAN DASAR CPNS ANGKATAN V
KABUPATEN TULANG BAWANG BARAT
TAHUN 2022
ABSTRAK

Informed Consent lahir karena adanya hubungan teurapeutik antara tenaga kesehatan
dengan pasien. Masing-masing piha kmempunyai hak dan kewajiban yang harus
dihormati. Sengketa Medikdalam bidang kesehatan merupakan bagian yang tidak pernah
dapat dilepaskan dalam pelayanan kesehatan diIndonesia.Implementasi persetujuan
tindakanmedic(informedconsent) merupakan proses penyelenggaraan hukum yang
padainteraksinyatidak terlepas dari pengaruh faktor hukum dan non hukum. Tujuan
penelitian ini untuk mengetahui implementasi persetujuan tindakan medik (informed
consent).Pada era sekarang ini muncul berbagai tuntutan hukum mengenai hak pasien
dalam menerima pelayanan kesehatan yang
menyeluruh.Menurutpasal18ayat(1)hurufbdanPermenkesNo.1464/MENKES/PER/X/
2010 tentang ijin dan penyelenggaraan praktik bidan, menyatakan bahwa bidan dalam
memberikan pelayanan harus memberikaninformasi dan meminta persetujuan tindakan.
Pelayanan kebidanan mulai dari kehamilan, persalinan, nifas, bayi baru lahir, dan
keluarga berencana. Dari hasil studi pendahuluan yang dilakukan ke BPM didapatkan
beberapa BPM yang memiliki informed consent dan dalam pengisiannya tidak lengkap
hanya berisikan identitas dan sedikit BPM memiliki informed consent dan dalam
pengisiannya lengkap. Hal tersebut dipengaruhi beberapa faktor antara lain terlalu
banyaknya pasien, bahkan tidak adanya pasien yang datang ke BPM untuk periksa.

ABSTRACT
Informed consent was born because of the relationship between
health workers teurapeutik with patients. Each party has the rights and
obligations that must be respected. Medical disputes in the health sector is
a part that can never be released in the health services in Indonesia.implementation of
informed consent is a process of law enforcement which in its
interaction is inseparable from the influence of legal and non-legal factors. The purpose
of
this research is to know the implementation of informed consent In today's era appears
various of lawsuits about the right of patients in accepting the comprehensive health
services. According to the article 18 paragraph (1)letter b and d Permenkes No.1464 /
Menkes / PER / X / 2010 on licensing and implementation of midwifery practices stating
that the midwife in providing services should be provide the information and requesting
consent. Midwifery services started from the pregnancy, childbirth, postpartum, newborn
baby, and the family planning. From the results of preliminary studies which conducted
to BPM gained self Practice Midwives, which have informed consent and in its contents
were not complet, only contains the identity and little BPM have informed consent and in
complete its contents. It is influenced by several factors such as, too many of patients,
even the absence of of patients which come BPM to check out.

BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Pada era sekarang ini muncul berbagai tuntutan hukum kepada dokter dan rumah sakit
mengenai hak pasien dalam menerima pelayanan kesehatan yang menyeluruh. Pada pasal
28b disebutkan bidan mempunyai kewajiban untuk memberikaninformasi tentang
masalah kesehatan pasiendan pelayanan yang dibutuhkan. Serta pada point D bahwa
bidan berkewajiban meminta persetujuan tindakan yang akan dilakukan.(Permenkes
Nomor 28 Tahun 2017).Berdasarkan Permenkes Republik IndonesiaNo.
585/MENKES/PER/IX/1989 tentang persetujuan tindakan medik harus diberikan kepada
pasien, baik diminta maupun tidak.Informasi yang diberikan mencakup keuntungan dan
kerugian dari tindakan medikyang akan dilakukan, baik diagnostic maupunterapeutik.
Informasi harus diberikan secarajujur dan benar kecuali bila informasi tersebutdapat
merugikan kepentingan kesehatan pasien. Informasi dapat diberikan secara tertulis
maupun lisan. Cara penyampaian dan isi informasi harus disesuaikan dengan tingkat
pendidikan serta kondisi dan situasi pasien.Informasi yang diberikan pada klien memuat
beberapa pilihan atau alternative.Pemerintah menjamin hukum yang telahditetapkan
untuk para tenaga kesehatan kepada masyarakat dalam memberikan layanankesehatan,
dalam undang-undang peraturanyang telah dibuat oleh Menteri Kesehatanataupun
Pemerintah seperti yang diterangkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1996
tentang Tenaga Kesehatan, tenaga kesehatan yang dimaksud adalah tenaga medis,tenaga
keperawatan, tenaga kesehatan masyarakat, tenaga keterapian fisik, keteknisan
medis.Bidan merupakan salah satu tenaga keperawatan yang memberikan
pelayanankepada masyarakat (Peraturan Menteri Kesehatan RI, 2008).Keberadaan
informed consent sangat penting, karena mengandung ide moral,tidak terlepas dari
tanggung jawab.Jika individu memilih untuk melakukan sesuatu, dia harus bertanggung
jawab terhadap pilihannya dan tidak bisa menyalahkan konsekuensi yang akan terjadi.Ide
moral lain adalah pembaruan. Tanpa autonomi, tidak akan ada pembaruan dan jikatidak
ada pembaruan, masyarakat tidak akan maju. Informed consent mempunyai peransangat
penting dalam menyelenggarakan praktik kebidanan.Untuk mencapai tingkat pelayanan
yangbermutu, bidan tidak hanya memperhatikan hakdan kewajibannya saja, tetapi juga
harusmemperhatikan hak dan kewajiban pasien.Kepuasan pasien dapat menjadi tolak
ukurkeberhasilan pelayanan yang diberikan. Untukhak pasien yaitu: pasien berhak
mendapatkaninformasi yang meliputi kehamilan, persalinan,nifas, dan bayi yang baru
dilahirkan, pasien berhak menyetujui/memberikan izin atas tindakan yang akan dilakukan
olehdokter/bidan sehubungan dengan penyakit yang diderita. Adapun kewajiban pasien
yaitu:pasien berkewajiban untuk memenuhi mematuhi segala intruksi dokter,
bidan,perawat yang merawatnya, pasien dan atau penanggung jawabnya berkewajiban
memenuhi hal-hal yang selalu disepakati/ perjanjian yang telah dibuatnya.

B. PERMASALAHAN
Sebagaimana telah dipaparkan dalam latar belakang, bahwa dalam bekerja terkait
pelayanan selama memberikan tindakan medis, bidan mesti memiliki upaya untuk
perlindungan hukum dirinya secara perdata. Adapun permasalahan yang dihadapi saat ini
adalah sebagai berikut.
1. Apakah “Informed Consent” bisa digunakan sebagai kekuatan hukum dalam
penanganan tindak perdata pada bidan dalam melaksanakan tindakan
kebidanan di Praktek Mandiri Bidan (PMB) wilayah kabupaten Tulang
Bawang Barat?
2. Bagaimana Kajian terkait “Informed Consent” sebagai kekuatan hukum dalam
penanganan tindak perdata pada bidan dalam melaksanakan tindakan
kebidanan di Praktek Mandiri Bidan (PMB) wilayah kabupaten Tulang
Bawang Barat?

C. METODE PENELITIAN
Terkait dengan permasalahan tersebut, maka perlu adanya pemahaman materi
secara lebih lanjut terkait dengan informed consent sebagai kekuatan hukum dalam
penanganan tindak perdata pada bidan dalam melaksanakan tindakan kebidanan di
Praktik Mandiri Bidan (PMB). Pendalaman materi tersebut memerlukan sebuah metode
sebagai upaya untuk memberikan pemahaman menyeluruh tentang permasalahan yang
sedang dihadapi.
Oleh sebab itu, metode penelitian yang digunakan dalam permasalahan kali ini
menggunakan metode penelitian kualitatif. Metode pendekatan yang dilakukan adalah
pendekatan yuridis normatif, yaitu pendekatan yang dilakukan berdasarkan bahan hukum
utama dengan cara menelaah teori - teori, konsep - konsep, asas - asas hukum serta
peraturan perundang - undangan yang berhubungan dengan penelitian ini.
BAB II
KONSEP DAN TEORI

A. PENGERTIAN
1. Informed Consent
Istilah informed consent (persetujuan tindakan) merupakan salah satu istilah yang
paling sering disebut atau paling sering digunakan dalam praktek kebidanan,
karena setiap kali bidan akan melakukan suatu tindakan medik tertentu kepada
pasien akan selalu berhubungan dengan istilah ini. Meskipun istilah ini sudah
sering disebutkan dan digunakan dalam praktek kebidanan , namun esensi dari
Informed consent belum semua dipahami dengan baik dan benar oleh bidan ,
sehingga dalam penerapannya terkadang masih dijumpai permintaan persetujuan
tindakan medis kepada pasien atau keluarganya asal seadanya saja, tanpa melalui
proses atau mekanisme yang benar sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam
Undang-Undang Praktek Kebidanan.
Informed consent terdiri dari dua kata yaitu informed dan consent. John M. Echols
(2003) memberi pengertian informed yaitu telah mendapatkan penjelasan atau
keterangan telah disampaikan atau diinformasikan. Sedangkan consent yang
berarti persetujuan yang telah diberikan pada seseorang untuk berbuat sesuatu.
Jadi informed consent dapat diartikan sebagai persetujuan yang diberikan oleh
pasien kepada bidan untuk melakukan tindakan kebidanan tertentu setelah
mendapatkan penjelasan dari bidan yang bersangkutan.
Informed consent mengandung beberapa segi hukum:
1. Pernyataan dalam informed consent menyatakan kehendak kedua belah pihak,
yaitu pasien menyatakan kehendak kedua belah pihak, yaitu pasien
menyatakan setuju atas tindakan yang dilakukan bidan dan formulir
persetujuan itu ditandatangani oleh kedua belah pihak, maka persetujuan
kedua pihak saling mengikat dan tidak dapat dibatalkan oleh salah satu pihak.
2. Informed consent tidak meniadakan atau mencegah diadakannya tuntutan
dimuka pengadilan atau membebaskan rumah sakit atau rumah bersalin atau
bidan terhadap tanggung jawabnya apabila terdapat kelalaian. Ia hanya dapat
dipergunakan sebagai bukti tertulis akan adanya izin atau persetujuan dari
pasien terhadap tindakan yang dilakukan.
3. Formulir yang ditandatangani pasien atau wali pada umumnya berbunyi
segala akibat dari tindakan akan menjadi tanggung jawab pasien sendiri dan
tidak menjadi tanggung jawab bidan atau rumah bersalin. Rumusan tersebut
secara hokum tidak mempunyai kekuatan hokum, mengingat seseorang tidak
dapat membebaskan diri dari tanggung jawabnya atas kesalahan yang belum
dibuat
(Heni, 2011).
Dasar Hukum Informed Consent adalah:
1. Pasal 56 pada UU No. 36 Tahun 2009 tentang kesehatan menerapkan
sebagai berikut:
a. Ayat 1: setiap orang berhak menerima atau menolak sebagian atau
seluruh tindakan pertolongan yang akan diberikan kepadanya setelah
menerima dan memahami informasi mengenai tindakan tersebut secara
lengkap.
b. Ayat 2: hak menerima atau menolak sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) tidak berlaku pada:
1) Penderita penyakit yang penyakitnya dapat secara cepat menular
ke dalam masyarakat yang lebih luas.
2) Keadaan seseorang yang tidak sadarkan diri.
3) Gangguan mental berat.
c. Ayat 3: ketentuan mengenai hak menerima atau menolak sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
2. Pasal 57
a. Diatur juga dalam registrasi dan praktik bidan pada Kepmenkes No.
900/2002 pasal 25 ayat 2, Tentang kewajiban bidan dalam
menjalankan kewenangannya yaitu:
1) Memberikan informasi, informasi mengenai pelayanan atau
tindakan yang diberikan dan efek samping, yang ditimbulkan perlu
diberikan secara jelas, sehingga memberikan kesempatan kepada
pasien untuk menggambil keputusan yang terbaik bagi dirinya.
2) Meminta persetujuan yang akan dilakukan. Pasien berhak
mengetahui dan mendapat penjelasan mengenai semua tindakan
yang dilakukan kepadanya. Persetujuan dari pasien dan orang
terdekat dalam keluarga perlu dimintakan sebelum tindakan
dilakukan.
b. Secara hukum informed consent berlaku sejak tahun 1981, PP No. 8
Tahun 1981
c. Informed consent dikukuhkan menjadi lembaga hukum, yaitu dengan
diundangkannya Peraturan Menteri kesehatan No. 585 Tahun 1989
Tentang persetujuan Tindakan Medik, lebih
2. Bidan
Kata bidan dalam bahasa inggris, kata Midwife (Bidan) berarti “with woman”
(bersama wanita, mid = together, wife = a woman. Dalam bahasa Perancis, sage femme
(Bidan) berarti “wanita bijaksana”, sedangkan dalam bahasa latin, cummater (Bidan)
berarti ”berkaitan dengan wanita” (Sahadili, 1994).
Bidan adalah seorang yang telah menjalani program pendidikan bidan yang diakui
oleh negara tempat ia tinggal, dan telah berhasil menyelesaikan studi terkait serta
memenuhi persyaratan untuk terdaftar dan atau memiliki izin formal untuk praktek bidan.
Bidan merupakan salah satu profesi tertua di dunia sejak adanya peradaban umat
manusia(Sofyan, Mustika, 2007).
Bidan adalah seorang perempuan yang lulus dari pendidikan bidan, yang
terakreditasi, memenuhi kualifikasi untuk diregister, sertifikasi dan atau secara sah
mendapat lisensi untuk praktek kebidanan. Yang diakui sebagai seorang profesional yang
bertanggungjawab, bermitra dengan perempuan dalam memberikan dukungan, asuhan
dan nasehat yang diperlukan selama kehamilan, persalinan dan nifas, memfasilitasi
kelahiran atas tanggung jawabnya sendiri serta memberikan asuhan kepada bayi baru
lahir dan anak (Ambarwati, 2009).
Sebagai sebuah profesi tentu ada beberapa hal yang menjadi Landasan Hukum
praktik pelayanan kebidanan bagi seorang bidan, antara lain.
1. Undang-undang kesehatan Nomor 23 tahun 1992
Menurut Undang-Undang Kesehatan Nomer 23 tahum 1992 kewajiban tenaga
kesehatan adalah mematuhi standar profesi tenaga kesehatan, menghormati hak
pasien, menjaga kerahasiaan identitas dan kesehatan pasien, memberikan
informasi dan meminta persetujuan (Informed consent), dan membuat serta
memelihara rekam medik. Standar profesi tenaga kesehatan adalah pedoman yang
harus dipergunakan oleh tenaga kesehatan sebagai petunjuk dalam menjalankan
profesinya secara baik. Hak tenaga kesehatan adalah memperoleh perlindungan
hukum melakukan tugasnya sesuai dengan profesi tenaga kesehatan serta
mendapat penghargaan.
2. Pertemuan Program Safe Motherhood dari negara-negara di wilayah SEARO/Asia
tenggara tahun 1995 tentang SPK
Pada pertemuan ini disepakati bahwa kualitas pelayanan kebidanan yang
diberikan kepada setiap ibu yang memerlukannya perlu diupayakan agar
memenuhi standar tertentu agar aman dan efektif. Sebagai tindak lanjutnya, WHO
SEARO mengembangkan Standar Pelayanan Kebidanan. Standar ini kemudian
diadaptasikan untuk pemakaian di Indonesia, khususnya untuk tingkat pelayanan
dasar, sebagai acuan pelayanan di tingkat masyarakat. Standar ini diberlakukan
bagi semua pelaksana kebidanan.
3. Pertemuan Program tingkat propinsi DIY tentang penerapan SPK 1999
Bidan sebagai tenaga profesional merupakan ujung tombak dalam pemeriksaan
kehamilan seharusnya sesuai dengan prosedur standar pelayanan kebidanan yang
telah ada yang telah tertulis dan ditetapkan sesuai dengan kondisi di Propinsi
Daerah Istimewa Yogyakarta (Dinkes DIY, 1999).
4. Kep Menkes RI Nomor 900/Menkes/SK/VII/2002 tentang registrasi dan praktek
bidan.
Pada BAB I yaitu tentang Ketentuan Umum pasal 1 ayat 6 yang berbunyi Standar
profesi adalah pedoman yang harus dipergunakan sebagai petunjuk dalam
melaksanakan profesi secara baik. Pelayanan kebidanan yang bermutu adalah
pelayanan kebidanan yang dapat memuaskan setiap pemakai jasa pelayanan
kebidanan serta penyelenggaraannya sesuai kode etik dan standar pelayanan
pofesi yang telah ditetapkan. Standar profesi pada dasarnya merupakan
kesepakatan antar anggota profesi sendiri, sehingga bersifat wajib menjadi
pedoman dalam pelaksanaan setiap kegiatan profesi.
5. Kep Menkes RI Nomor 369/Menkes/SK/III/2007
Bidan Indonesia adalah : seorang perempuan yang lulus dari pendidikan bidan
yang di akui pemerintah dan organisasi profesi diwilayah Negara Republik
Indonesia seta memiliki kompetisi dan kualifikasi untuk diregister, sertifikasi dan
atau secara sah mendapat lisensi untuk menjalankan praktik kebidanan. Pelayanan
kebidanan adalah bagian integral dan system pelayanan kesehatan yang diberikan
oleh bidan yang telah terdaftar (teregrister) yang dapat dilakukan secara mandiri,
kolaborasi, dan rujukan.
6. Peraturan Menkes RI Nomor HK. 02. 02/Menkes/149/2010 tentang Izin dan
Penyelenggaraan Praktik Bidan
Pada BAB I yaitu tentang Ketentuan Umumpada pasal 1 ayat 3 yang berbunyi
Surat Izin Praktek Bidan yang selanjutnya disingkat SIPB adalah bukti tertulis
yang diberikan kepada Bidan yang sudah memenuhi persyaratan untuk
menjalankan praktik kebidanan. Kemudian pasal 1 ayat 4 yang berbunyi Standar
adalah pedoman yang harus dipergunakan sebagai petunjuk dalam menjalankan
profesi yang meliputi standar pelayanan, standar profesi, dan standar operasional
prosedur.
Pekerjaan bidan adalah suatu profesi, sehingga dalam pelaksanaannya di samping
mendasarkan pada standar pelayanan yang ditetapkan oleh peraturan perundang-
undangan, juga harus tunduk pada kode etik yang ditetapkan oleh organisasi profesi
(Pasal 24 ayat (1) dan (2) UU Kesehatan). Sehingga seorang bidan sebagai salah satu
tenaga kesehatan tidak saja harus bertanggung jawab kepada masyarakat berdasarkan
peraturan perundang-undangan, tetapi juga harus bertanggung jawab kepada organisasi
profesi (kebidanan) atas dasar kode etik bidan.
Pengertian tanggung jawab menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah
keadaan wajib menanggung segala sesuatu (kalau terjadi apa-apa boleh dituntut,
dipersalahkan, diperkarakan). Dapat dikatakan bahwa tanggung jawab adalah beban yang
dipikul seseorang atas perbuatannya. Tanggung jawab berdasarkan peraturan perundang-
undangan sebagai tanggung jawab hukum dapat dibedakan menjadi tiga aspek, yaitu
aspek hukum perdata, hukum pidana dan hukum administrasi. Dalam tulisan ini penulis
membatasi pembahasan hanya pada tanggung jawab perdata. Tanggung jawab perdata
disebut sebagai tanggung gugat. Tanggung gugat yaitu mempertanggungjawabkan segala
perbuatan terhadap keberatan orang lain atas perbuatannya tersebut.
Kode Etik Bidan
Etika diartikan sebagai ilmu yang mempelajari kebaikan dan keburukan dalam
hidup manusia khususnya perbuatan manusia yang didorong oleh kehandak dengan
didasari pikiran yang jernih dengan pertimbangan perasaan. Kode etik profesi merupakan
suatu pernyataan komprehensif dari profesi yang memberikan tuntunan bagi anggotanya
untuk melaksanakan praktik dalam bidang profesinya baik yang berhubungan dengan
klien/pasien, keluarga, masyarakat, teman sejawat, profesi dan dirinya sendiri.
Bidan adalah suatu profesi, untuk menjadi seorang bidan harus melalui suatu
pendidikan yang khusus agar mencapai keahlian tertentu. Sebagai suatu profesi, maka
profesi bidan mempunyai suatu kode etik profesi dan standar profesi yang wajib ditaati
oleh para bidan. Kode etik bidan Indonesia pertama kali disusun pada tahun 1986 dan
disahkan dalam kongres nasional Ikatan Bidan Indonesia (IBI) X tahun 1988. petunjuk
pelaksanaannya disahkan dalam rapat kerja nasional IBI tahun 1991 sebagai pedoman
dalam berprilaku.
Secara umum kode etik tersebut terdiri dari tujuh bab yang secara garis besar
berisi :
a. Kewajiban bidan terhadap klien dan masyarakat, yaitu :
 Setiap bidan senantiasa menjunjung tinggi, menghayati dan mengamalkan
sumpah jabatannya dalam melaksanakan tugas pengabdiannya.
 Setiap bidan dalam menjalankan tugas profesinya menjunjung tinggi
harkat dan martabat kemanusiaan yang utuh dan memelihara citra bidan.
 Setiap bidan dalam menjalankan tugasnya senantiasa berpedoman pada
peran, tugas dan tanggungjawab sesuai dengan kebutuhan klien, keluarga
dan masyarakat.
 Setiap bidan dalam menjalankan tugasnya mendahulukan kepentingan
klien, menghormati hak klien dan menghormati nilai-nilai yang berlaku di
masyarakat.
 Setiap bidan dalam menjalankan tugasnya senantiasa mendahulukan
kepentingan klien, keluarga dan masyarakat dengan identitas yang sama
sesuai dengan kebutuhan berdasarkan kemampuan yang dimilikinya.
 Setiap bidan senantiasa menciptakan suasana yang serasi dalam hubungan
pelaksanaan tugasnya, dengan mendorong partisipasi masyarakat untuk
meningkatkan derajat kesehatannya secara optimal.
b. Kewajiban bidan terhadap tugasnya, yaitu :
 Setiap bidan senantiasa memberikan pelayanan paripurna terhadap klien,
keluarga dan masyarakat sesuai dengan kemampuan profesi yang
dimilikinya berdasarkan kebutuhan klien, keluarga dan masyarakat.
 Setiap bidan berhak memberikan pertolongan dan mempunyai
kewenangan dalam mengambil keputusan dalam tugasnya termasuk
keputusan mengadakan konsultasi dan atau rujukan.
 Setiap bidan harus menjamin kerahasiaan keterangan yang dapat dan atau
dipercayakan kepadanya, kecuali bila diminta oleh pengadilan atau
dipedukan sehubungan kepentingan klien.
c. Kewajiban bidan terhadap sejawat dan tenaga kesehatan lainnya, yaitu:
 Setiap bidan harus menjalin hubungan dengan teman sejawatnya untuk
menciptakan suasana kerja yang serasi.
 Setiap bidan dalam menjalankan tugasnya harus saling menghormati baik
terhadap sejawatnya maupun tenaga kesehatan lainnya.
d. Kewajiban bidan terhadap profesinya, yaitu :
 Setiap bidan harus menjaga nama baik dan menjunjung tinggi citra
profesinya dengan menampilkan kepribadian yang tinggi dan memberikan
pelayanan yang bermutu kepada masyarakat.
 Setiap bidan harus senantiasa mengembangkan diri dan meningkatkan
kemampuan profesinya sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi.
 Setiap bidan senantiasa berperan serta dalam kegiatan penelitian dan
kegiatan sejenis yang dapat meningkatkan mutu dan citra profesinya.
e. Kewajiban bidan terhadap diri sendiri, yaitu :
 Setiap bidan harus memelihara kesehatannya agar dapat melaksanakan
tugas profesinya dengan baik.
 Setiap bidan harus berusaha secara terus menerus untuk meningkatkan
pengetahuan dan keterampilan sesuai dengan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi.
f. Kewajiban bidan terhadap pemerintah, bangsa dan tanah air, yaitu :
 Setiap bidan dalam menjalankan tugasnya, senantiasa melaksanakan
ketentuan-ketentuan pemerintah dalam bidang kesehatan, khususnya
dalam pelayanan KIA/KB dan kesehatan keluarga dan masyarakat.
 Setiap bidan melalui profesinya berpartisipasi dan menyumbangkan
pemikirannya kepada pemerintah untuk meningkatkan mutu jangkauan
pelayanan kesehatan terutama pelayanan KIA/KB dan kesehatan keluarga.
g. Penutup, yakni setiap bidan dalam melaksanakan tugasnya sehari- hari
senantiasa menghayati dan mengamalkan Kode Etik Bidan Indonesia.
Ikatan Bidan Indonesia membentuk Majelis Pertimbangan Etik Bidan dengan
tujuan umum adalah meningkatkan citra Ikatan Bidan Indonesia. Sedangkan tujuan
khususnya adalah memberikan pembinaan kode etik, meningkatkan mutu pembinaan
bidan, meningkatkan rasa percaya diri bidan, meningkatkan aspek pembelaan anggota
Ikatan Bidan Indonesia.
Tugas dari Majelis Pertimbangan Etik Bidan antara lain melaksanakan penilaian
dan analisa kasus, memanggil dan meminta keterangan dari bidan yang terkena
pelanggaran etik bidan, serta membuat keputusan tertulis mengenai masalah yang
bersangkutan. Dengan demikian apabila ada seorang bidan yang melanggar kode etik,
Majelis Pertimbangan Etik Bidan inilah yang mempunyai kewenangan untuk menegur
bidan yang bersangkutan dan memberikan pertimbangan kepada Kepala Dinas Kesehatan
sebelum Kepala Dinas Kesehatan melakukan pencabutan Surat Izin Prakti Bidan (SIPB)
yang bersangkutan.
3. Hukum Tindak Perdata
Hukum adalah peraturan yang berupa norma dan sanksi yang dibuat dengan
tujuan untuk mengatur tingkah laku manusia, menjaga ketertiban, keadilan, mencegah
terjadinya kekacauan. Hukum memiliki tugas untuk menjamin bahwa adanya kepastian
hukum dalam masyarakat. Oleh sebab itu setiap masyarat berhak untuk memperoleh
pembelaan didepan hukum. Hukum dapat diartikan sebagai sebuah peraturan atau
ketetapan/ ketentuan yang tertulis ataupun yang tidak tertulis untuk mengatur kehidupan
masyarakat dan menyediakan sangsi untuk orang yang melanggar hukum.
Tanggung jawab hukum seorang bidan yang berkaitan dengan pelaksanaan
profesinya dapat dibagi menjadi tiga, yaitu tanggung jawab dalam bidang hukum perdata,
pidana, dan administrasi. Namun pada penulisan ini pembahasan hanya akan dibatasi
pada hukum perdata. Hukum perdata, dapat terjadi akibat dua hal, yaitu karena adanya
perikatan yang didasarkan pada perjanjian dan karena adanya perikatan yang lahir dari
undang-undang.
Perikatan yang didasarkan pada perjanjian dapat dikatakan wanprestasi apabila
prestasi tidak dipenuhi. Sedangkan apabila terjadi pelanggaran terhadap perikatan yang
lahir dari undang-undang dapat dikatakan sebagai perbuatan melawan hukum.
a. Wanprestasi
Perkataan wanprestasi berasal dari bahasa Belanda, yang berarti prestasi
buruk. Wanprestasi adalah apabila seorang debitur tidak memenuhi hal-hal
yang telah disepakati dalam perjanjian. Ia lalai atau ingkar janji atau
melanggar perjanjian.
Wanprestasi dapat berupa empat macam, yaitu:
• tidak melakukan apa yang disanggupi;
• melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana dijanjikan;
• melakukan apa yang dijanjikannya tetapi terlambat;
• melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.
Dalam gugatan atas dasar wanprestasi, harus dibuktikan bahwa seseorang
benar-benar telah mengadakan perjanjian, kemudian ia telah melakukan
wanprestasi terhadap perjanjian tersebut.
Apabila terbukti wanprestasi, maka dapat dikenakan sanksi-sanksi sebagai
berikut:
• ganti rugi
Ganti rugi meliputi tiga unsur, yaitu biaya, rugi, dan bunga. Biaya adalah
segala pengeluaran atau perongkosan yang nyata-nyata sudah dikeluarkan
oleh satu pihak. Rugi adalah kerugian karena kerusakan barang-barang
kepunyaan kreditur yang diakibatkan oleh kelalaian si debitur. Sedangkan
bunga adalah kerugian yang berupa kehilangan keuntungan yang sudah
dibayangkan atau dihitung oleh kreditur.
Pembatasan pembayaran ganti rugi sudah ditentukan oleh undang-undang.
Dengan demikian seorang debitur dilindungi oleh undang-undang terhadap
kesewenang-wenangan kreditur, yang tercantum dalam pasal 1247 dan 1248
KUH Perdata.
Pasal 1247 KUH Perdata :
Si berutang hanya diwajibkan mengganti biaya, rugi dan bunga yang nyata
telah, atau sedianya harus dapat diduganya sewaktu perikatan dilahirkan,
kecuali jika hal tidak dipenuhinya perikatan itu disebabkan tipu-daya yang
dilakukan olehnya.
Pasal 1248 KUH Perdata :
Bahkan jika hal tidak dipenuhinya perikatan itu disebabkan tipu-daya si
berutang, penggantian biaya, rugian bunga sekedar mengenai kerugian yang
dideritanya oleh si berpiutang dan keuntungan yang terhilang baginya, hanya
lah terdiri atas apa yang merupakan akibat langsung dari tak dipenuhinya
perikatan.
Jadi, ganti rugi meliputi kerugian yang dapat diduga dan yang merupakan
akibat langsung dari wanprestasi.
• pembatalan perjanjian
Pembatalan perjanjian karena kelalaian atau wanprestasi diatur dalam pasal
1266 KUH Perdata. Pembatalan perjanjian akibat dari kelalaian atau
wanprestasi tidak secara otomatis dapat dibatalkan, tetapi harus dimintakan
kepada hakim dengan kata lain perjanjian itu tidak batal demi hukum. Hakim
mempunyai kekuasaan discretionair artinya kekuasaan untuk menilai besar
kecilnya kelalaian debitur dibandingkan dengan beratnya akibat pembatalan
perjanjian yang mungkin menimpa si debitur itu. Jika hakim menimbang
kelalaian debitur itu terlalu tak berarti sedangkan pembatalan perjanjian akan
membawa kerugian yang terlalu besar bagi debitur, maka permohonan untuk
membatalkan perjanjian akan ditolak oleh hakim. Ini adalah suatu sikap yang
bertentangan dengan norma yang mengharuskan pelaksanaan suatu perjanjian
dengan itikad baik. Dan tidak seusai dengan ketentuan pasal 1266 ayat (4)
KUH Perdata.
• peralihan resiko
Yang dimaksud dengan resiko adalah kewajiban untuk memikul kerugian jika
terjadi suatu peristiwa diluar kesalahan salah satu pihak, yang menimpa
barang yang menjadi objek perjanjian. Peralihan resiko disebutkan dalam
pasal 1237 ayat (2) KUH Perdata, yang berbunyi ”jika si berutang lalai akan
menyerahkannya, maka semenjak saat kelalaian, kebendaan adalah atas
tanggungannya”.
Peralihan resiko juga dituliskan dalam pasal 1460 KUH Perdata, sebagai
contoh dalam hal jual beli suatu barang. Resiko dipikulkan kepada si pembeli,
meskipun barangnya belum diserahkan. Jika si penjual terlambat menyerahkan
barang, maka kelalaian ini diancam dengan mengalihkan resiko dari si
pembeli kepada si penjual. Jadi, dengan lalainya si penjual resiko itu akan
beralih kepadanya.
• membayar biaya perkara, jika perkara diadili.
Dalam suatu perkara di pengadilan, yang membayar biaya perkara adalah
pihak yang terbukti telah melakukan wanprestasi, yang telah diatur dalam
pasal 1267 KUH Perdata, yang berbunyi :
Pihak terhadap siapa perikatan tidak dipenuhi, dapat memilih apakah ia, jika
hal itu masih dapat dilakukan, akan memaksa pihak yang lain untuk
memenuhi perjanjian, ataukah ia akan menuntut pembatalan perjanjian,
disertai penggantian biaya kerugian dan bunga.
b. Perbuatan melawan hukum
Ketetuan perbuatan melawan hukum tercantun dalam pasal 1365 KUH
Perdata, yang berbunyi ”Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa
kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya
menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut”.
Seorang bidan yang melakukan kesalahan profesional maka gugatan tidak
didasarkan kepada adanya wanprestasi, akan tetapi berdasarkan perbuatan
melawan hukum sesuai dengan yang ditentukan dalam pasal 1365 KUH
Perdata. Mengenai perbuatan melawan hukum akan dibahas secara lengkap
dalam pembahasan berikutnya.
.
B. KERANGKA TEORI
Berdasarkan paparan mengenai pengertian dari masing-masing materi di atas,
tentu kemudian perlu dikaji lebih lanjut mengenai informed consent sebagai kekuatan
hukum dalam penanganan tindak perdata pada bidan dalam melaksanakan tindakan
kebidanan di Praktek Mandiri Bidan (PMB). Sehubungan dengan tempat kerja praktik
bidan ada di wilayah Kabupaten Tulang Bawang Barat, maka sejauh mana topik tersebut
dapat diterapkan di wilayah hukum Kabupaten Tulang Bawang Barat.

Kemudian dalam rangka mengetahui sejauh mana teori pada judul penulisan ini
teruji, perlu dilakukan kajian lebih lanjut. Kajian tersebut tercantum dalam pembahasan
pada bab berikutnya. Adapun isi pembahasan terkait dengan sejauh mana informed
consent dapat digunakan sebagai kekuatan hukum dalam penanganan tindak perdata pada
bidan dalam melaksanakan tindakan kebidanan di Praktik Mandiri Bidan (PMB) Wilayah
Kabupaten Tulang Bawang Barat.
BAB III
PEMBAHASAN

Pada bahasan sebelumnya, telah dipaparkan mengenai informed consent, profesi


bidan dan juga terkait dengan hukum perdata. Seperti yang sudah diterapkan selama ini,
bahwa dalam melakukan tindakan medis di beberapa fasilitas kesehatan baik itu rumah
sakit, puskesmas, klinik pratama hingga praktik mandiri bidan, selalu disertakan dalam
proses pemeriksaan guna persetujuan dalam tindakan dengan informed consent.

Sebagaimana yang sudah dipaparkan pada kajian teori sebelumnya, bahwa hukum
perdata merupakan suatu hukum yang mengikat individu atau organisasi yang terlibat
dalam suatu perikatan bisa tertulis sesuai dengan perjanjian atau pun perundang-
undangan. Oleh sebab itu, dengan adanya informed consent maka diharapkan masing-
masing individu baik dari sisi bidan maupun pasien saling mengerti akan jabatan atau
posisi dalam perjanjian tersebut yang tertuang dalam informed consent.

Lebih aktual terkait dengan informed consent sebagai kekuatan hukum dalam
penanganan tindak perdata pada bidan biasanya selalu berkaitan dengan hal-hal yang
memiliki urgensi maupun tingkat resiko tinggi. Seperti terjadinya kelainan pada upaya
prose persalinan dengan kondisi-kondisi yang serba membutuhkan tindakan cepat. Tentu
untuk saat ini, dengan terbatasnya kewenangan bidan bila mengalami kondisi pasien yang
beresiko tinggi akan lebih baik untuk dirujuk ke fasilitas kesehatan tingkat lanjut, seperti
rumah sakit umum daerah maupun swasta yang lebih lengkap peralatan maupun tenaga
kesehatannya.

Namun demikian ada hal-hal yang memang kondisi serba tidak memungkinkan
dan membutuhkan tindakan cepat dengan asuhan kebidanan atau informasi terkait kondisi
pasien dijelaskan terlabih dahulu secara detail. Kemudian sebelum dan sesudahnya,
dituangkan dalam suatu perikatan perjanjian yang disebut dengan informed consent.
Sehingga untuk perlindungan hukum perdata, maka informed consent menjadi bukti
dokumentasi bahwa setiap tindakan medis yang dilakukan oleh bidan telah disetujui oleh
pasien.

Meski demikian, bukan berarti dengan adanya informed consent kemufisn bidan
terlepas dari hukum pidana. Secara perdata tentu kedua belah pihak saling terikat dengan
adanya perjanjian yang tercantum dalam informed consent. Namun apabila ada hal-hal
yang berkaitan dengan prosedur yang terlewat selama penanganan atau atas dasar
kelalaian bidan, maka masih sangat dimungkinkan bidan dapat terkena sanksi pidana.
Sehingga dalam hal ini guna meminimalisir resiko tersebut, sangat dianjurkan untuk
tenaga kesehatan yang memiliki kewenangan terbatas seperti bidan untuk memberikan
rujukan ke fasilitas pelayanan kesehatan tingkat lanjut apabila ditemukan kondisi-kondisi
yang diluar kewenangannya.\
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Pada contoh kasus dapat diambil kesimpulan bahwa BPM telah melaksanakan
kewajiban untuk meminta persetujuan tindakan sesuai kewajiban
bidan, namun pelaksanaan persetujuan tindakan medis (informed
consent) pada proses persalinan yang dilakukan oleh bidan belum
terlaksana dengan maksimal karena di BPM tidak ada lembar pemberian
informasi yang seharusnya ditandatangani oleh pasien setelah bidan
memberikan penjelasan dan kelengkapan isi formulir persetujuan
tindakan medis (informed consent) oleh bidan dinilai sangat kurang
dibandingkan dengan formulir persetujuan tindakan medis (informed
consent) oleh bidan dan dokter

2. Tanggung jawab bidan apabila diduga melakukan kesalahan dalam


pelaksanaan persalinan terhadap pasien pada proses persalinan yang
dilakukan di BPM yaitu bidan yang bersangkutan akan bertanggung
jawab sesuai ketentuan yang berlaku. Pertanggungjawaban dengan
menyelesaian permasalahan melalui mediasi atau memberikan ganti
rugi.

B. Saran

1. Perlu penyempurnaan dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 28


Tahun 2017 tentang Izin dan Penyelenggaraan Praktik Bidan yang
menjelaskan persetujuan tindakan dan Ikatan Bidan Indonesia perlu
membentuk format baku persetujuan tindakan (informed
consent). Sehingga kedepannya bidan memiliki pedoman yang jelas dan
lengkap dalam pelaksanaan persetujuan tindakan medis (informed
consent).

2. Diperlukan pengawasan praktik bidan secara menyeluruh oleh


Kementrian Kesehatan Republik Indonesia terutama dalam hal
pertanggungjawaban bidan dan pengaturan mengenai tanggung jawab
klinik sebagai penyedia jasa apabila karena kesalahan bidan terjadi
kegagalan medis yang menimbulkan kerugian bagi pasien. Sehingga
dikemudian hari pasien yang dirugikan dapat memperoleh kepastian
hukum dan menerima ganti rugi.
DAFTAR PUSTAKA

Buku-Buku

M. Hadjon Philipus, Tatiek Sri Djatmiati, 2005, Argumentasi Hukum, Gadjah


Mada University Press, Yogyakarta.

Machmud Syahrul, 2008, Penegakan Hukum dan Perlindungan Hukum bagi


Dokter yang Diduga Melakukan Medikal Malpraktek, Mandar Maju, Bandung.

Muntaha H., 2017, Hukum Pidana Malpraktik:Pertanggungjawaban dan


Penghapus Pidana, Sinar Grafika, Jakarta.

Purwoastuti Endang, 2015, Ilmu Obstetri dan Ginekologi Sosial bagi


Kebidanan, Pustaka Baru Press, Yogyakarta.
Purwohadiwardoyo Al, 1989, Etika Medis, Kanisius, Yogyakarta. Soekanto
Soerjono, 1990, Ringkasan Metodelogi Penelitian Hukum
Empiris, Indhil Co, Jakarta.

Jurnal

Jenie, Siti Ismijati, 2006, “Tanggung Jawab Perdata di dalam Pelayanan


Medis: Suatu Tinjauan dari Segi Hukum Perdata

Materiil”, Mimbar Hukum Fakultas Hukum Universitas Gadjah


Mada, Vol.18, Nomor 3, Oktober 2006.

Wardhani, Ida Ayu Sri Kusuma, 2014, “Implementasi Persetujuan Tindakan


Kedokteran (Informed Consent) dalam Perjanjian Terapeutik oleh Tenaga
Kesehatan terhadap Pasien Rumah Sakit di Provinsi Bali”, Jurnal Magister
Hukum Udayana, Vol 3 No.1.

Peraturan Perundang-Undangan
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata terjemahan Soedharyo Soimin, S.H.,
Kata Pengantar: Prof. Bismar Siregar, S.H.

Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran


Negara Republik Indonesia Nomor 144 Tahun 2009, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5063)

Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan (Lembaran


Negara Republik Indonesia Nomor 298 Tahun 2014, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 5607)

Peraturan Menteri kesehatan Republik Indonesia No. 28 Tahun 2017 tentang


Izin dan Penyelenggaraan Praktik Bidan

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor


290/Menkes/Per/III/2008 tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran

Anda mungkin juga menyukai