Anda di halaman 1dari 13

0

Essay
Penyelesaian Sengketa Masalah Kesehatan
Kasus Alergi Obat Pada Tatanan
Praktik Kedokteran Mandiri

Disusun untuk memenuhi tugas mandiri mata kuliah Etika Hukum Keperawatan

Dosen: Yuliati, S.H., LLM


Oleh :
Junaedi : 146070300111020

PROGRAM STUDI MAGISTER KEPERAWATAN


PEMINATAN GAWAT DARURAT
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2014
Essay
Penyelesaian Sengketa Masalah Kesehatan
Kasus Alergi Obat Pada Tatanan
Praktik Kedokteran Mandiri
Latar Belakang
Pembukaan UUD 1945 menjelaskan bahwa salah satu tujuan negara Indonesia
adalah melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Untuk
mencapai tujuan tersebut pemerintah berupaya secara maksimal untuk memberikan
perlindungan terhadap seluruh warga negara dalam berbagai bidang kehidupan, termasuk
masalah hukum.

1
Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 menyebutkan bahwa Indonesia adalah negara hukum,
sehingga terdapat pengakuan jaminan hak-hak asasi manusia yang secara tegas dilindungi
oleh konstitusi, termasuk juga di dalamnya adalah hukum kesehatan.
Menurut Siswati (2013), hukum tentang kesehatan di Indonesia mulai berkembang
dengan munculnya perangkat hukum kesehatan yang memadai, diantaranya adalah dengan
disahkannya Undang-Undang tentang Praktik Kedokteran Nomor 29 tahun 2004 atas dasar
antisipasi bahwa, saat ini terdapat anggapan banyak institusi pendidikan kesehatan
melahirkan tenaga yang belum siap pakai dan adanya dugaan malapraktik.
Pasal 3 Undang-Undang Nomor 29 tahun 2004 mengatakan bahwa, pengaturan
praktik bertujuan untuk mempertahankan dan meningkatkan mutu pelayanan medis yang
diberikan dokter dan dokter gigi, memberikan kepastian hukum bagi tenaga kesehatan dan
masyarakat, memberikan perlindungan kepada pasien, sehingga pola hubungan antara
dokter dan pasien yang awalnya paternalistik, saat ini berkembang menjadi partnership
(Siswati, 2013).
Semua pihak, baik tenaga kesehatan maupun pasien pada dasarnya tidak
menghendaki terjadinya peristiwa malpraktik yang berakibat sangat merugikan, terutama
dari sisi pasien, seperti dikatakan hakim Taylor dalam Achadiat (2006), it is often said that a
good physician-patient relationship is the best prophylactic against malpractice suit,
sehingga penting artinya komunikasi yang dijalin dengan baik antara dokter dan pasien
dalam memberikan pelayanan.
Setiap tindakan atau pelayanan yang dilakukan oleh dokter, baik bersifat diagnostik
atau terapeutik akan selalu mengandung risiko yang melekat (risk of treatment), meskipun
risiko tersebut dapat timbul atau tidak. Menurut Isfandyarie (2005), dalam pelayanan
kesehatan, kelalaian dikaitkan dengan pelayanan yang tidak memenuhi standar profesi yang
dalam praktiknya digunakan untuk membedakan antara risiko medik dan malpraktik medik.
Pengertian risiko medik tersebut tidak dirumuskan secara eksplisit dalam ketentuan
perundang-undangan, seperti yang tercantum dalam Peraturan Menteri Kesehatan R.I
Nomor. 585/Men.Kes/Per/IX/1989 tentang Persetujuan Tindakan Medik Pasal 2 ayat (3)
menyebutkan bahwa, Persetujuan sebagaimana dimaksud ayat (1) diberikan setelah
pasien mendapat informasi yang adekuat tentang perlunya tindakan medik yang
bersangkutan serta resiko yang dapat ditimbulkannya.
Risiko di atas yang dimaksud menurut Isfandyarie (2005) adalah sebagai risiko yang
dapat terjadi pada suatu tatanan pelayanan medik atau tindakan medik yang dilakukan oleh
dokter terhadap pasien, sebagai contoh: risiko melekat, misalnya rambut rontok akibat
pemberian sitostatika, reaksi hipersensitivitas, misalnya respons imun tubuh yang berlebihan
atau menyimpang akibat masuknya bahan asing (obat) ke dalam tubuh yang tidak dapat
diperkirakan sebelumnya, dan komplikasi yang terjadi secara tiba-tiba dan tidak dapat
diduga sebelumnya, misalnya emboli air ketuban pada saat ibu melahirkan.
Risiko medik memang selalu ada pada praktik kedokteran, termasuk pemberian
terapi obat oleh dokter, meskipun hal yang sangat penting dalam pemberian obat adalah
mengetahui riwayat penyakit dahulu setiap pasiennya, riwayat pengobatan yang
dipergunakan saat ini atau pernah dipergunakan secara teratur di masa lampau, termasuk
obat bebas seperti laksatif, aspirin, antihistamin, dan vitamin oleh karena penderita, serta
riwayat alergi pada obat-obatan tertentu / riwayat alergi pada keluarga dapat peroleh melalui
anamnesa (Willms, Schneiderman, &Algranati, 2005).
Kasus alergi obat menurut beberapa survei yang dilakukan,menunjukkan prevalensi
yang cukup besar pada anak antara 2,8% - 7,5%. Penelitian meta analisis pada 17 studi
prospektif menunjukkan proporsi penderita rawat inap karena alergi obat sekitar 2,1%,
39,3% merupakan reaksi yang mengancam jiwa, sedangkan kasus pada penderita rawat
jalan sekitar 1,5% anak. (Pudjiadi, Hegar, Handrystuti, Idris, Gandaputra, &Harmoniati,
2009).
Kejadian alergi obat dengan akibat yang merugikan pada pasien terkadang
dilaporkan kepada pihak berwajib sebagai kasus malpraktik, sehingga perlu dilakukan upaya
penyelesaian sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Oleh karena itu instrumen

2
hukum sebagai salah satu kekuatan untuk melindungi hak-hak dasar pasien dapat
ditegaskan kembali sesuai dengan ruang lingkup serta batasannya (Ali, 2009).
Tinjauan Literatur
Komunikasi atau hubungan antara dokter dan pasien diatur dalam Kode Etik
Kedokteran Indonesia, yang disebut dengan Transaksi Terapeutik, yang didasarkan pada
perjanjian (ispanning verbintenis), yakni suatu perjanjian di mana masing-masing pihak
(dokter dan pasien) berupaya atau berusaha semaksimal mungkin mewujudkan atau
menghasilkan perjanjian yang dimaksud, dalam hal ini yang diutamakan adalah upaya atau
ikhtiar.
Dokter berupaya/berikhtiar semaksimal mungkin untuk menyembuhkan pasien dari
penderitaan/sakitnya dan harus dilakukan berdasarkan ilmu pengetahuan dan standar
pelayanan yang benar, sedangkan pasien dituntut untuk berupaya melaksanakan anjuran
dan perintah-perintah dokter agar sakitnya dapat disembuhkan, dalam hal ini yang dituntut
bukan perjanjian hasil atau kepastian adanya kesembuhan atau keberhasilan (Komalawati,
2002).
Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran mengatur
tentang hubungan hukum antara dokter dan pasien yang terkandung dalam ketentuan Pasal
39, bahwa: Praktik kedokteran diselenggarakan berdasarkan pada kesepakatan antara
dokter dengan pasien dalam upaya untuk pemeliharaan kesehatan, pencegahan penyakit,
peningkatan kesehatan, pengobatan penyakit dan pemulihan kesehatan.
Menurut Dahlan (2000), transaksi terapeutik atau hubungan antara dokter dan
pasien diatur secara sah dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 1320 yang
menyatakan bahwa untuk syarat sahnya perjanjian diperlukan empat syarat, yaitu:
a. Sepakat mereka mengikatkan dirinya (toestemming van degene die zich verbinden).
Kesepakatan antara dokter dengan pasien yaitu pada saat pasien menyatakan
keluhannya dan ditanggapi oleh dokter, di sini mereka saling mengikatkan diri pada suatu
perjanjian terapeutik yang obyeknya adalah upaya penyembuhan. Bila kesembuhan
adalah tujuan utama maka akan mempersulit dokter karena tingkat keparahan penyakit
maupun daya tahan tubuh terhadap obat setiap pasien adalah tidak sama. Obat yang
sama tidak pasti dapat hasil yang sama pada masing-masing penderita.
b. Kecakapan untuk membuat perikatan (bekwaamheid om eene verbintenis aan te gaan).
Secara yuridis, yang dimaksud dengan kecakapan untuk membuat perikatan adalah
kemampuan seseorang untuk mengikatkan diri, karena tidak dilarang oleh undangundang dengan batasan usia dewasa (usia 21 tahun atau telah menikah), di bawah
pengampuan (Pasal 1329 dan 1330 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata). Di dalam
transaksi terapeutik, pihak penerima pelayanan medis, terdiri dari orang dewasa yang
cakap untuk bertindak, orang dewasa yang tidak cakap untuk bertindak, yang
memerlukan persetujuan dari pengampunya, anak yang berada di bawah umur yang
memerlukan persetujuan dari orang tuanya atau walinya.
c. Suatu hal tertentu (een bepaald onderwerp).Hal tertentu ini yang dapat dihubungkan
dengan obyek perjanjian / transaksi terapeutik ialah upaya penyembuhan. Oleh karena
itu, maka hasil yang diperoleh dari pencapaian upaya tersebut tidak dapat atau tidak
boleh dijamin oleh dokter, sedangkan hal ini tidak hanya bergantung kepada
kesungguhan dan keahlian dokter dalam melaksanakan tugas profesionalnya, tetapi
banyak faktor lain yang ikut berperan, misalnya daya tahan pasien terhadap obat
tertentu, tingkat keparahan penyakit dan juga peran pasien dalam melaksanakan perintah
dokter demi kepentingan pasien itu sendiri.
d. Suatu sebab yang sah (geoorloofde oorzaak). Pasal 1337 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata menyebutkan bahwa, suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh
undang-undang atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum,
dengan demikian, yang dimaksud dengan sebab yang sah adalah sebab yang tidak
dilarang oleh undang-undang, kesusilaan atau ketertiban umum.
Malpraktik menurut Kamus Kedokteran Indonesia (2008) adalah praktik kedokteran
yang dilakukan salah, tidak tepat, menyalahi undang-undang, kode etik, sedangkan istilah

3
malapraktik Menurut Black Law Dictionary Ninth Edition (Garner, 2009) mendefinisikan
malpraktik sebagai any professional misconduct, unreasonable lack of skill or fidelity in
professional or judiacry duties, evil practice or illegal or immoral conduct.
Kesalahan kecil dalam bidang kedokteran dapat menimbulkan akibat berupa
kerugian yang besar tetapi umumnya masyarakat tidak dapat membedakan kasus yang
merupakan pelanggaran etik atau hukum yang terjadi, sehingga diperlukan suatu konsep
yang jelas.
Konsep yang dapat digunakan untuk menjembatani adanya kerugian akibat
munculnya kejadian yang tidak diinginkan menurut Wujoso (2008) yaitu terdiri dari:
a. Duty, artinya tugas atau kewajiban yang dimiliki oleh dokter. Dokter memiliki kewajibankewajiban akibat gelar dokter yang diperolehnya dan akibat adanya hubungan berupa
transaksi terapeutik antara dokter dan pasien.
b. Derilection of duty, artinya dokter menelantarkan tugas yang dibebankan kepadanya,
sehingga tugas tersebut tidak dilaksanakan, padahal dokter harus dapat menyerahkan
prestasinya kepada pasien.
c. Damage, artinya kerusakan. Kerusakan yang terjadi pada pasien diartikan sebagai
kejadian yang tidak diinginkan yang menimbulkan kecurigaan adanya malpraktik.
d. Direct causation, artinya adanya hubungan langsung antara derilection of duty dengan
damage, yaitu adanya penelantaran kewajiban yang dilakukan dokter secara langsung
mengakibatkan adanya kerusakan pada pasien.
Setiap profesi, memiliki dua sudut pandang dalam menyikapi permasalahan, yaitu
norma etik dan hukum yang merupakan hal yang perlu diperhatikan, sehingga apabila timbul
dugaan adanya kesalahan dalam praktik diukur/dilihat dari sudut pandang kedua norma
tersebut. Kesalahan dari sudut pandang etika disebut ethical malpractice dan dari sudut
pandang hukum disebut juridical malpractice (Isfandyarie, 2005).
Terdapat perbedaan-perbedaan yang mendasar menyangkut substansi, otoritas,
tujuan dan sangsi, karena tidak setiap ethical malpractice merupakan juridical malpractice
akan tetapi semua bentuk juridical malpractice pasti merupakan ethical malpractice (Lord
Chief Justice, 1893 dalam Isfandyarie, 2005).
Menurut Isfandyarie (2005), malpraktik hukum atau juridical malpractice dibagi dalam
tiga kategori sesuai bidang hukum yang dilanggar, yakni Criminal malpractice, Civil
malpractice dan Administrative malpractice.
a. Criminal malpractice
Perbuatan seseorang dapat dimasukkan dalam kategori criminal malpractice jika
perbuatan tersebut memenuhi rumusan delik pidana yakni :
- Perbuatan tersebut (positive act maupun negative act) merupakan perbuatan tercela.
- Dilakukan dengan sikap batin yang salah (mens rea) yang berupa kesengajaan
(intensional), misalnya melakukan euthanasia (pasal 344 KUHP), membuka rahasia
jabatan (pasal 332 KUHP), membuat surat keterangan palsu (pasal 263 KUHP),
melakukan aborsi tanpa indikasi medis pasal 299 KUHP), berupa kecerobohan
(reklessness) misalnya misalnya melakukan tindakan medis tanpa persetujuan
pasien (informed consent), dan berupa kealpaan (negligence), misalnya kurang hatihati mengakibatkan luka, cacat atau meninggalnya pasien, ketinggalan klem dalam
perut pasien saat melakukan operasi. Pertanggung jawaban di depan hukum pada
criminal malpractice adalah bersifat individual/personal dan oleh sebab itu tidak dapat
dialihkan kepada orang lain atau kepada rumah sakit/sarana kesehatan.
b. Civil malpractice
Tenaga kesehatan disebut melakukan civil malpractice jika tidak melaksanakan
kewajiban atau tidak memberikan prestasinya sebagaimana yang telah disepakati (ingkar
janji), misalnya: tidak melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan,
melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan tetapi terlambat
melakukannya, melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan tetapi
tidak sempurna, dan melakukan apa yang menurut kesepakatannya tidak seharusnya
dilakukan.

4
c. Administrative malpractice
Tenaga kesehatan dikatakan telah melakukan administrative malpractice jika melanggar
hukum administrasi, misalnya tidak memiliki Surat Ijin Praktik (SIP) dan atau STR (Surat
Tanda Registrasi) sesuai ketentuan yang berlaku.
Menurut Machmud (2008), pasal-pasal dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana
(KUHP) dapat dibagi menjadi 2 (dua) kelompok perbuatan pidana, yaitu kategori
kesengajaan dan kategori kealpaan. Pasal-pasal tersebut adalah sebagai berikut:
a. Kesengajaan (dolus)
Menurut KUHP dicantumkan: Kesengajaan adalah kemauan untuk melakukan atau
tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang dilarang atau diperintahkan oleh undangundang. Rumusan sengaja pada umumnya dicantumkan dalam suatu norma pidana,
akan tetapi adakalanya rumusan sengaja telah dengan sendirinya tercakup dalam suatu
perkataan, misalnya perkataan memaksa.
Moeljatno (2000), menyatakan bahwa kesengajaan merupakan tindakan yang
secara sadar dilakukan dengan menentang larangan, sedangkan kealpaan adalah
kekurangperhatian pelaku terhadap objek dengan tidak disadari bahwa akibatnya
merupakan keadaan yang dilarang, sehingga kesalahan yang berbentuk kealpaan pada
hakekatnya adalah sama dengan kesengajaaan, hanya berbeda gradasi saja.
1. Pasal 267 KUHP, yakni tentang menerbitkan atau memberikan surat keterangan palsu.
2. Pasal 294 ayat (2) KUHP, yakni tentang kesusilaan.
3. Pasal 304, 531 KUHP, membiarkan seseorang yang seharusnya ditolong.
4. Pasal 322 KUHP, tentang pelanggaran rahasia seorang dokter.
5. Pasal 299, 346, 347,348 dan 349 KUHP, tentang melakukan perbuatan abortus atau
membantu melakukan abortus.
6. Pasal 344, 345 KUHP,yakni tentang euthanasia.
b. Tindak Pidana Kelalaian/Kealpaan (Culpa)
Kealpaan merupakan bentuk kesalahan yang tidak berupa kesengajaan, akan
tetapi juga bukan sesuatu yang terjadi karena kebetulan, dalam kealpaan sikap batin
seseorang menghendaki melakukan perbuatan akan tetapi sama sekali tidak
menghendaki terjadinya akibat dari perbuatannya. Jadi dalam kealpaan ini tidak ada niat
jahat dari pelaku. Walaupun demikian, kealpaan yang membahayakan keamanan dan
keselamatan orang lain dan menimbulkan kerugian terhadap orang lain tetap harus
dipidanakan.
Menurut teori Hukum Pidana, kealpaan yang diartikan sebagai suatu macam
kesalahan sebagai akibat kurang hati-hati sehingga secara tidak sengaja mengakibatkan
terjadinya sesuatu tersebut, dapat dibagi menjadi 2 (dua) bentuk, yaitu: Kealpaan ringan
(Culpa Levissisma) dan Kealpaan berat (Culpa Lata). Penilaian dilakukan dengan adanya
persyaratan yang harus dipenuhi, yaitu keadaan psikis pelaku dan sikap tindaknya
secara lahiriah dengan tolak ukur bagaimana pelaku tersebut berbuat bila dibandingkan
dengan ukuran yang umum di lingkungan pelaku. Menurut KUHP kealpaan dapat dikenai
pasal 359 dan 360 ayat (1,2) KUHP tentang akibat kelalaiannya mengakibatkan orang
lain mati atau luka.
Kelalaian yang terjadi akibat kasus malpraktik medis, dapat dijadikan dasar gugatan
perdata jika mengakibatkan cidera/kerugian yang diukur dan diberikan sebagai kompensasi
seperti kehilangan pendapatan atau biaya medis, sedangkan kerugian non ekonomi seperti
kompensasi akibat tekanan mental, rasa sakit akibat penderitaan yang dirasakan pasien,
tetapi dalam praktiknya dikenal adanya istilah defensif medicine yang mengandung makna
bahwa tenaga kesehatan bukanlah manusia tanpa kesalahan, meskipun pada prinsipnya
melakukan tindakan dengan tujuan kebajikan, benar, mendatangkan kebahagiaan, dan
bertanggung jawab, tetapi dapat saja terjadi kekurangan sehingga sulit untuk dilakukan
pengukuran. Beberapa tindakan yang dilakukan sebagai defensif medicine misalnya
pemeriksaan diagnostik tambahan bagi pasien (Ottenwess, Lamberti, &Dreversic, 2011).
Defensif Medicine menurut Kessler (2011) memiliki dua bentuk, yaitu positif dan
negatif. Bentuk positif berupa menyediakan layanan yang tidak produktif, biaya yang tidak
efektif, dan bahkan merugikan pasien, sedangkan bentuk negatif berupa penyediaan

5
layanan bermanfaat, hal ini mendorong pasien mendapatkan pelayanan medis yang baik
dengan biaya terjangkau, tetapi tidak dapat diatasi penyedia layanan, sehingga seharusnya
dokter atau penyedia layanan dapat melakukan upaya terbaik bagi pasien dengan biaya
terjangkau.
Kasus malapraktik yang terjadi di masyarakat memang sulit dibuktikan. Kesulitan
tersebut menurut Boysen (2011), dikarenakan sulitnya mencari pembuktian dari kejadian
yang dianggap malpraktik dan kurangnya pengetahuan dalam bidang medis bagi
pengacara. Hal tersebut sesuai dengan yang dikemukakan Parks (2013) bahwa kasus
malpraktik medis merupakan kasus yang sulit yang dihadapi penggugat, dikarenakan
sulitnya unsur pembuktian yang menyebabkan terjadinya malpraktik, minoritas yurisdiksi
(aturan), beban bagi penggugat, dan penyelesaian kasus yang jarang menggunakan jalur
litigasi.
Menurut Erdiansyah (2014), saksi ahli yang bertindak tidak objektif dan tidak
transparan, pengetahuan pasien yang lemah terhadap masalah hukum dan kesehatan
sehingga terlambat dalam melaporkan adanya dugaan malpraktik dapat menjadi faktor
penghambat dalam penegakan hukum tindakan malpraktik.
Menurut Bal (2009), sebuah gugatan terjadinya malpraktik medis di Amerika Serikat
dimulai dengan mengajukan panggilan, bentuk klaim atau keluhan; dokumen hukum ini yang
disebut sebagai pembelaan. Pembelaan ditetapkan dugaan kesalahan yang dilakukan oleh
terdakwa (dokter) dengan permintaan dari lembaga bantuan hukum. Dalam beberapa
yurisdiksi, tindakan hukum diminta oleh layanan dari proses hukum berupa bukti fisik
dokumen yang dikirimkan terdakwa, kemudian diajukan ke pengadilan menurut aturanaturan /prosedur hukum.
Menurut Fuady (2005), tindakan dokter dapat digolongkan sebagai tindakan
malapraktik yang memungkinkan dapat dipertanggungjawabkan secara pidana atau
perdata, jika memenuhi elemen yuridis berupa:
a. Adanya tindakan, dalam arti berbuat atau tidak berbuat (pengabaian).
b. Tindakan tersebut dilakukan oleh dokter atau orang yang berada di bawah
pengawasannya, bahkan juga oleh penyedia fasilitas kesehatan, seperti klinik, rumah
sakit, dan lain-lain.
c. Tindakan tersebut berupa tindakan medik, baik berupa tindakan diagnostik, terapi atau
manajemen kesehatan.
d. Tindakan tersebut dilakukan terhadap pasiennya.
e. Tindakan tersebut dilakukan secara : melanggar hukum / melanggar kepatutan /
melanggar kesusilaan, dan atau melanggar prinsip-prinsip profesionalitas.
f. Tindakan tersebut dilakukan dengan kesengajaan atau ketidakhati-hatian.
g. Tindakan tersebut mengakibatkan pasien mengalami: salah tindak / rasa sakit / luka /
cacat /kematian / kerusakan pada tubuh dan atau jiwa, dan atau kerugian lainnya
terhadap pasien.
Pasien atau keluarga pasien dapat melaporkan dugaan malapraktik kepada Ketua
Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) sesuai dengan ketentuan
Undang-Undang Praktik Kedokteran Pasal 66 Ayat (1) UU Praktik Kedokteran, diatur suatu
keadaan di mana terjadi kesalahan yang melibatkan pelayan kesehatan dalam hal ini oleh
dokter, yang dapat diajukan pengaduan kepada Ketua Majelis Kehormatan Disiplin
Kedokteran Indonesia (MKDKI) oleh setiap orang yang mengetahui atau kepentingannya
dirugikan.
Menurut Pasal 66 Ayat (3) UU Praktik Kedokteran, di samping dapat mengadukan
kerugian yang dideritanya kepada Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia,
korban malpraktik yang dirugikan atas kesalahan atau kelalaian dokter dalam melakukan
tindakan medis juga dapat melaporkan adanya dugaan pidana (metode litigasi) kepada
pihak yang berwenang dan/atau menggugat kerugian secara perdata ke pengadilan.
Selanjutnya, disebutkan dalam Pasal 67 dan 68 UU Praktik Kedokteran bahwa Majelis
Kehormatan Disiplin Kedokteran berwenang untuk memeriksa dan memberikan keputusan
atas pengaduan yang diterima. Apabila ditemukan adanya pelangaraan etika (berdasarkan

6
KODEKI) maka Majelis Kehormatan Kedokteran yang akan meneruskan pengaduan pada
organisasi profesi.
Menurut Asyhadie dan Sudiarto (2004), selain jalur litigasi, terdapat alternatif
penyelesaian sengketa (non litigasi) dengan cara-cara sebagai berikut:
1. Konsiliasi
Konsiliasi adalah suatu penyelesaian perkara, dimana para pihak berupaya aktif mencari
penyelesaian dengan bantuan pihak ketiga yang bertindak netral-berperan secara aktif
maupun pasif. Cara ini diperlukan apabila pihak yang bersengketa tidak mampu
menyelesaikan sendiri perselisihannya.
2. Negosiasi, merupakan hal yang biasa dilakukan dalam suatu pemecahan permasalahan.
Menurut Gary Good Paster, negosiasi merupakan proses konsensus yang digunakan
para pihak untuk memperoleh kesepakatan di antara mereka.
3. Mediasi
Adalah proses negosiasi pemecahan masalah dimana pihak luar (mediator) tidak
memihak dan netral bekerja dengan pihak yang bersengketa untuk memperoleh
kesepakatan dalam memutuskan permasalahan. Penunjukkan mediator terjadi karena:
kehendak sendiri, ditunjuk oleh penguasa/wakil dari pihak yang bersengketa, atau
diminta oleh kedua belah pihak. Keuntungan metode mediasi, yaitu: proses penyelesaian
cepat, biaya murah, rahasia, penyelesaian bersifat kompromi, hubungan kooperatif,
sama-sama dimenangkan, dan tidak emosional.
4. Arbitrase
Arbitrase merupakan suatu bentuk lain dari ajudikasi privat, tetapi mirip dengan ajudikasi
publik, melibatkan litigasi sengketa pribadi yang membedakannya dengan litigasi melalui
pengadilan. Penyelesaian melalui arbitrase umumnya dipilh untuk sengketa kontraktual
(baik yang bersifat sederhana maupun kompleks ) yang dapat digolongkan menjadi :
Quality Arbitration, yang menyangkut permasalahan kontraktual, yang dengan sendirinya
memerlukan para arbitrator dengan kualifikasi teknis yang tinggi, Technical Arbitration,
yang tidak menyangkut permasalahan factual sebagaimana halnya dengan masalah
yang timbul dalam penyusunan dokumen atau aplikasi ketentuan-ketentuan kontrak, dan
Mixed Arbitration, sengketa baik mengenai permasalahan faktual maupun hukum.
Analisa Kasus dan Pembahasan
Reaksi obat dapat terjadi pada siapa saja, meskipun dokter telah memberikan dosis
yang tepat dan berdasarkan standar pengobatan untuk penyakitnya. Reaksi obat dapat
terjadi sistemik atau mengenai satu atau beberapa organ, kulit merupakan organ yang
sering terkena (Pudjiadi dkk, 2009). Sehingga diperlukan ketelitian dokter untuk mengenal
lebih jauh riwayat alergi pasien dan keluarganya sebelum memberikan obat yang dapat
dilakukan pada saat anamnesis. mencatat dengan baik setiap pengobatan dan
kemungkinan risiko yang terjadi sehingga dapat memberikan pelayanan secara aman
kepada pasien (Vora, Triyedi, Sha, &Tripathi, 2011).
Dokter sebaiknya melakukan anamnesis terperinci yang merupakan tahap awal
terpenting untuk membuat diagnosis alergi obat. Anamnesis meliputi formulasi obat, dosis,
rute, dan waktu pemberian. Selain itu harus ditanyakan perjalanan, awitan, dan hilangnya
gejala, serta catatan medik untuk mengkonfirmasi hubungan antara obat dan gejala yang
timbul, dan riwayat alergi terhadap obat yang sama/satu golongan harus ditanyakan.
(Pudjiadi dkk, 2009).
Kondisi yang buruk pada pasien yang terjadi setelah dilakukan penatalaksanaan
medis, perlu dikaji apakah memang telah terjadi kesalahan prosedur yang tidak sesuai
dengan standar medis untuk kasus tersebut, misalnya obat yang tidak sesuai, dan efek
samping obat akibat tidak adekuatnya anamnesis pasien (Madea, Musshoff, &Preuss,
2009).
Suatu kasus pernah terjadi Dukuh Pekunden Kelurahan Pelutan Kecamatan
Pemalang pada tanggal 07 November 2014, seorang anak usia empat tahun diduga
mengalami alergi obat setelah mengkonsumsi obat yang diberikan oleh seorang dokter
praktik di klinik mandiri dekat tempat tinggalnya. Keluhan awal saat berobat hanya demam

7
tinggi sehingga oleh dokter tersebut diberikan dua macam obat bentuk sirup dan puyer
tetapi dokter tidak memberikan penjelasan tentang efek samping obat kepada keluarga,
setelah sekitar 12 jam mengkonsumsi obat timbul bentol-bentol berisi cairan bening dan
keruh, serta sebagian mengelupas, demam semakin tinggi serta timbul kejang, sehingga
pasien dibawa kembali ke klinik tersebut, oleh dokter yang sama diberikan rujukan ke rumah
sakit. Oleh dokter rumah sakit pasien dinyatakan alergi obat dan memerlukan perawatan di
ruang intensif (Nugroho, 2014).
Berdasarkan kasus di atas dapat dirumuskan permasalahan bagaimana
penyelesaian masalah alergi obat yang diberikan seorang dokter praktik mandiri dari sudut
pandang hukum. Masyarakat awam secara umum memahami suatu kasus malpraktik
kedokteran dengan lebih menitikberatkan pada kondisi akhir pasien atau kerugian yang
terjadi akibat pelayanan yang dilakukan dokter, sebaliknya, dalam prinsip etika kedokteran,
penilaian tindakan sebagai sebagai malpraktik kedokteran dilakukan secara objektif,
sehingga kondisi yang buruk setelah dilakukan pengobatan atau tindakan operatif tidak
dapat disimpulkan akibat kesalahan medis (Gidwani, Zaidi, &Bircher, 2009).
Secara spontan masyarakat akan menilai kasus di atas adalah suatu tindakan yang
dapat masuk tindak pidana apabila memenuhi asas legalitas dalam pasal di KUH Pidana.
Asas legalitas (nullum delictum mulla poena sine praevia lege poenali) berarti tiada delik dan
tidak ada hukuman tanpa suatu peraturan yang berlebih dahulu menyebut perbuatan yang
bersangkutan sebagi suatu delik dan yang memuat suatu hukuman yang dapat dijatuhkan
atas delik itu, tetapi sebaiknya dipikirkan dahulu, jalur mana yang akan ditempuh, mengingat
pembuktian kasus malpraktik tidaklah mudah.
Jalur litigasi jika merupakan pilihan dapat beralasan, karena subjek kasus di atas
selain memenuhi asas legalitas, adalah seseorang yang cakap. Seseorang usia dewasa dan
tidak mengalami hilang ingatan atau gila, sehingga dapat dikenai hukuman sesuai dengan
hukum yang berlaku dan apabila dilihat dari kesalahan pelakunya, maka termasuk dalam
culpa levis karena dokter telah lalai tidak melakukan anamnesa tentang riwayat alergi obat
serta tidak memberikan penjelasan kepada keluarga pasien tentang efek samping obat yang
diberikan sehingga keluarga tidak mengetahui akibat yang tidak diharapkan, serta akibat
tersebut (alergi obat) menyebabkan penderita mengalami permasalahan kesehatan lain
yang mengancam jiwa.
Pasal 360 ayat (1) KUH Pidana berbunyi, barangsiapa karena kesalahannya
(kealpaannya) menyebabkan orang lain mendapat luka-luka berat, diancam dengan pidana
penjara paling lama lima tahun atau kurungan paling lama satu tahun.
Tuntutan mengenai penggantian akibat kerugian yang dialami juga diatur dalam
Undang-undang Kesehatan No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan Pasal 58 ayat (1),Setiap
orang berhak menuntut ganti rugi terhadap seseorang, tenaga kesehatan, dan/atau
penyelenggara kesehatan yang menimbulkan kerugian akibat kesalahan atau kelalaian
dalam pelayanan kesehatan yang diterimanya.
Analisa kasus hukum yang terjadi pada dugaan malpraktik berupa terjadinya alergi
pada pasien anak usia 4 tahun dilakukan dokter setempat dapat dilakukan dengan konsep
4D, yaitu:
1. Duty atau kewajiban, dokter praktik mandiri adalah berkewajiban untuk bekerja sesuai
dengan standar profesi (melakukan pemeriksaan, memberikan obat/tindakan, dan
memberikan penjelasan atas semua yang akan dan telah dilakukan, serta meminta
persetujuan pasien/keluarga (informed consent), dalam hal ini dokter telah melaksanakan
kewajibannya dengan menerima pasien dan memberikan obat sesuai standar
pengobatan, obat yang diberikan berupa puyer dan sirup karena usia pasien saat itu
adalah 4 tahun dan sesuai dengan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang
Praktik Kedokteran Pasal 39 menjelaskan bahwa, Praktik kedokteran diselenggarakan
berdasarkan pada kesepakatan antara dokter dengan pasien dalam upaya untuk
pemeliharaan kesehatan, pencegahan penyakit, peningkatan kesehatan, pengobatan
penyakit dan pemulihan kesehatan, dan Pasal 51 berbunyi,dokter atau dokter gigi
dalam melaksanakan praktik kedokteran mempunyai kewajiban: (1) memberikan

8
pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional serta
kebutuhan medis pasien.
2. Derilection of duty, Penentuan bahwa adanya penyimpangan dari standar profesi medis
adalah sesuatu yang didasarkan atas fakta-fakta secara kasusistis yang harus
dipertimbangkan oleh para ahli dan saksi ahli.
3. Damage, artinya kerusakan. Pasien mengalami kesakitan dan penderitaan fisik berupa
bentol-bentol, berisi cairan bening di seluruh tubuh setelah mengkonsumsi obat yang
diberikan oleh dokter praktik.
4. Direct causation, penderitaan yang dialami pasien adalah merupakan efek samping obat.
Suatu criminal malpractice haruslah memenuhi rumusan delik pidana, yaitu,
perbuatan tersebut harus merupakan perbuatan tercela dan dilakukan dengan sikap batin
yang salah, yaitu berupa kesengajaan, kecerobohan atau kealpaan, sedangkan untuk
membuktikan adanya kealpaan yang terjadi harus memenuhi persyaratan, pertama diukur
dengan perbuatan orang pada umumnya yang berada dalam kondisi yang sama dengan
sipelaku, kedua dipertanyakan adalah kewajiban berbuat lain pada pelaku. Syarat pertama,
dokter memberikan obat pada pasien anak usia 4 tahun berupa obat puyer dan sirup, hal ini
mungkin akan dilakukan oleh dokter lain untuk masalah yang sama, karena usia pasien saat
itu adalah anak-anak (4 tahun), dan dokter memberikan surat rujukan ke rumah sakit, hal
tersebut sesuai dengan ketentuan dalam Undang-undang Nomor 29 tahun 2004 tentang
Praktik kedokteran Pasal 51 Ayat (2),merujuk pasien ke dokter atau dokter gigi lain yang
mempunyai keahlian atau kemampuan yang lebih baik, apabila tidak mampu melakukan
suatu pemeriksaan atau pengobatan.
Syarat kedua, pelaku bertindak sesuai dengan keadaannya, karena tidak
dimungkinkan untuk dilakukan tes setiap obat yang akan diberikan apakah dapat
menimbulkan alergi pada pasien yang memang hanya dapat dilakukan pada fasilitas
kesehatan yang dilengkapi laboratorium canggih dan dokter (pelaku) telah memberikan
surat rujukan kepada keluarga untuk dibawa ke rumah sakit (surat rujukan terdokumentasi
dan dapat dibuktikan), sedangkan apakah pelaku memberikan penjelasan atau tidak terkait
efek samping obat kepada keluarga, hal ini tidak dapat dibuktikan sehingga kealpaan pelaku
tidak terbukti.
Pilihan jalur kedua adalah non litigasi, hal tersebut dapat didasarkan pada pasal
1365 KUH Perdata, yang berbunyi, Tiap perbuatan melanggar hukum yang membawa
kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan
kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.
Syarat-syarat yang harus ada untuk menentukan perbuatan melawan hukum itu ada
atau tidak, ialah :
1. Harus ada perbuatan, yang dimaksud dengan perbuatan ini, baik yang bersifat positif
maupun yang bersifat negatif, artinya setiap tingkah laku berbuat atau tidak berbuat;
2. Perbuatan itu harus melawan hukum;
3. Ada kerugian;
4. Ada hubungan sebab akibat antara perbuatan melawan hukum itu dengan kerugian;
5. Ada kesalahan (schuld)
Undang-Undang Arbitrase No.30 Tahun 1999, menurut Fuady (2000)
memperlihatkan kepada kita bahwa undang-undang tersebut juga menekankan kepada
penyelesaian sengketa alternatif berbentuk mediasi ( dan pemakaian tenaga ahli ), bahkan
tidak menutup kemungkinan penyelesaian sengketa melalui alternatif-alternatif yang lain.
Mengenai penyelesaian alternatif ini UU Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa
No.30 Tahun 1999 pasal 6 menentukan sebagai berikut :
(1) Sengketa atau beda pendapat dapat diselesaikan oleh para pihak melalui alternatif
penyelesaian sengketa yang didasarkan pada itikad baik dengan mengesampingkan
penyelesaian secara litigasi di pengadilan negeri.
(2) Penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui alternatif penyelesaian sengketa
sebagaimana dalam ayat (1) diselesaikan dalam pertemuan langsung oleh para pihak

9
dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari dan hasilnya dituangkan dalam suatu
kesepakatan tertulis.
Selanjutnya dijelaskan menurut Fuady (2000), bahwa tidak semua model
penyelesaian sengketa alternatif baik untuk para pihak yang bersengketa. Suatu
penyelesaian sengketa alternatif yang baik setidak-tidaknya haruslah memenuhi prinsipprinsip sebagai berikut:
a. Haruslah efisien dari segi waktu.
b. Haruslah hemat biaya.
c. Haruslah dapat diakses oleh para pihak, misalnya tempatnya jangan terlalu jauh.
d. Haruslah melindungi hak-hak dari para pihak yang bersengketa.
e. Haruslah dapat menghasilkan putusan yang adil dan jujur.
f. Badan atau orang yang menyelesaikan sengketa haruslah terpercaya di mata
masyarakat dan di mata para pihak yang bersengketa.
g. Putusannya haruslah final dan mengikat.
h. Putusannya haruslah dapat bahkan mudah dieksekusi.
i. Putusannya haruslah sesuai dengan perasaan keadilan dari komunikasi dimana
penyelesaian sengketa alternatif tersebut terdapat.
Metode mediasi merupakan alternatif penyelesaian sengketa yang dapat dipilih oleh
pasien dan dokter untuk menyelesaikan sengketa malpraktik medik karena mediasi
merupakan suatu proses penyelesaian sengketa di antara para pihak dengan melibatkan
pihak ketiga yang netral, jalur mediasi tidak memerlukan pembuktian seperti halnya litigasi,
kerugian yang diderita pasien dapat merupakan hal pemberat pada kasus tersebut.
Kesimpulan
Risiko medik memang selalu ada pada praktik kedokteran, termasuk pemberian
terapi obat oleh dokter, meskipun hal yang sangat penting dalam pemberian obat adalah
mengetahui riwayat penyakit dahulu setiap pasiennya, riwayat pengobatan yang
dipergunakan saat ini atau pernah dipergunakan secara teratur di masa lampau, termasuk
obat bebas seperti laksatif, aspirin, antihistamin, dan vitamin oleh karena penderita, serta
riwayat alergi pada obat-obatan tertentu / riwayat alergi pada keluarga dapat peroleh melalui
anamnesa (Willms et al, 2005).
Menurut Isfandyarie (2005) reaksi hipersensitivitas, misalnya respons imun tubuh
yang berlebihan atau menyimpang akibat masuknya bahan asing (obat) ke dalam tubuh
yang tidak dapat diperkirakan sebelumnya dapat dikategorikan sebagai risiko medik.
Menurut Edersheim dan Stern (2009), dikatakan jika dokter dapat
mendemonstrasikan bahwa pilihannya dalam pemberian obat kepada pasien adalah sesuai
dengan standar pelayanan, termasuk di dalamnya memenuhi standar dalam persetujuan
obat yang diberikan kepada pasien, tindakan tersebut tidak dapat dikategorikan suatu
pengabaian kewajiban, dan bukan merupakan suatu negligence. Dokter sebaiknya
menggunakan acuan standar pengobatan secara profesional, merujuk kepada ilmu terbaru
yang dipublikasikan sehingga dapat memberikan pengobatan yang sesuai dengan kondisi
pasien.
Dalam persidangan menunjukkan bahwa pilihan dokter dalam pemberian
pengobatan sesuai dengan standar pelayanan dan dokumentasikan apa yang telah
dilakukan, karena aturan pengadilan mengatakan, If you dont write it down, it didnt
happen, hold away in the court room, dokumentasi yang harus ditulis dalam interaksi pada
praktik di klinik dapat dijadikan sebagai pembelaan di persidangan atas kain malpraktik.
Dokumentasi yang dituliskan seperti untuk siapa obat tersebut, dokumentasi resep,
termasuk dosis, cara penggunaan, dan jumlah yang dapat dikonsumsi.
Masyarakat selalu memandang bahwa kerugian yang terjadi pada pasien akibat
pelayanan kesehatan yang dilakukan tenaga kesehatan dalam hal ini adalah dokter selalu
dikategorikan sebagai malpraktik medis, yang seharusnya dugaan terjadinya malpraktik ini
harus didasarkan 4D (duty, delirection of duty, damage, and direct causation). Pembuktian
kasus dugaan malpraktik medis tidaklah mudah, masyarakat dapat mengajukan tuntutan,
jika memang terjadi adanya dugaan malpraktik medis baik secara litigasi ataupun non

10
litigasi, serta melakukan upaya hukum pengaduan kepada Ketua Majelis Kehormatan
Disiplin Kedokteran Indonesia, yang dapat juga secara bersamaan melakukan upaya hukum
secara hukum pidana maupun hukum perdata ke pengadilan serta pemberian wewenang
kepada Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) untuk mengeluarkan
keputusan
menjatuhkan sanksi disiplin kepada dokter yang terbukti bersalah.
Jalur non litigasi merupakan alternatif solusi dalam menyelesaikan kasus adanya
dugaan malapraktek alergi obat yang terjadi pada pasien, dalam proses mufakat ini
diupayakan mencari cara penyelesaian yang cenderung berdasarkan pemahaman
kepentingan kedua pihak (interest-based, win-win solution), dan bukan right-based,
sehingga pembuktian yang sulit didapatkan tidak menjadikan hambatan, untuk memutuskan
besarnya ganti rugi hakim akan mempertimbangkan kedudukan sosial-ekonomi kedua pihak
(Pasal 1370-1371 KUH Perdata).
Daftar Pustaka
Achadiat, Chrisdiono M. (2006). Etika dan hukum dalam tantangan zaman. EGC. Jakarta.
Ali, Achmad. (2009). Menguak teori hukum (legal theory) dan teori peradilan (judicial
prudence) termasuk interpretasi undang-undang (legis prudence). Kencana Prenada
Media Group. Jakarta
Asyhadie, Zaeni., Sudiarto, H. (2004). Mengenal arbitrase. Raja Grafindo Persada.
Jakarta.
Bal, B. Sonny. (2009). An introduction to medical malpractice in the united states.
symposium: clinical risk and judicial reasoning. Clinical Orthopaedics and Related
Research. 467:339347. Volume 467, Number 2. DOI 10.1007/s11999-008-0636-2.
Boysen, Jeffrie D.(2011). Shifting the burden of proof on causation in legal malpractice
Action. St. Marys Journal On Legal Malpractice & Ethics [Vol. 1:308].
Dahlan, Sofwan. (2000). Hukum kesehatan. rambu-rambu bagi profesi dokter. BP UNDIP.
Semarang.

Edersheim, Judith G., Stern, Theodore A.(2009).Liability associated with prescribing


medications. Rounds in General Hospital. Journal Clinical Psychiatry. 2009; 11 (3).
Retrieved http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2708008/pdf/pcc11115.pdf.
Erdiansyah. (2014). Pertanggungjawaban pidana terhadap dokter atas kesalahan dan
kelalaian dalam memberikan pelayanan medis di rumah sakit. Jurnal Ilmu Hukum
296.
Volume
3
No.
2
[Retrieved]
http://ejournal.unri.ac.id/index.php/JIH/article/download/1823/1794
Fuady, Munir. (2000). Arbitrase nasional, alternatif penyelesaian sengketa bisnis. Citra
Aditya Bakti. Bandung.
______.(2005). Sumpah hipocrates. PT. Citra Aditya Bakti. Jakarta.
Garner, Bryan A. (2009).Blacks law dictionary ninth edition. Thompson West. Minnesota.

11

Gidwani S., Zaidi SM, &Bircher MD. (2009).Medical negligence in orthopaedic surgery: a
review of 130 consecutive medical negligence reports." J Bone Joint Surg Br 91(2):
151-156.
Isfandyarie, Anny. (2005).Malpraktik dan resiko medik. Penerbit Prestasi Pustaka. Jakarta.
Kessler, Daniel P. (2011).Evaluating the medical system and option for reform. Journal
Economic Perspect. 2011 ; 25(2): 93110.
Komalawati, Veronica. (2002). Peranan informed consent dalam transaksi terapeutik
(persetujuan dalam hubungan dokter dan pasien); suatu tinjauan yuridis. PT Citra
Aditya Bakti. Bandung.
Machmud, Syahrul. (2008).Penegakan hukum dan perlindungan hukum bagi dokter yang
diduga melakukan medikal malapraktek. Penerbit Mandar Maju. Bandung.
Madea, Burkhard., Musshoff, Frank., &Preuss, Johanna. (2009). Medical negligence in drug
associated deaths. Forensic Science International. Volume 190, Issues 1-3,
Pages 6773. DOI: http://dx.doi.org/10.1016/j.forsciint.2009.05.014.
Moeljatno.(2000).Asas-asas hukum pidana. Penerbit Rineka Cipta. Jakarta.
Nugroho, Fajar Eko. (2014). Laporan wartawan tribun Jateng. Retrieved
http://www.tribunnews.com/regional/2014/11/29/susi-pasrah-kulit-anaknya-melepuhsetelah-minum-obat.

Ottenwess, David M., Lamberti, Meagan A., Ottenwess, Stephanie P., &Drevesic, Andrienne
D. (2011). Medical malpractice tort reform. Radiology Management. Retrieved by
http://Www.Thehealthlawpartners.Com/Files/Rm332_P30-36_Features.Pdf.
Parks, Brown, F. (2013).Evidentiary standards in the legal malpractice trial-within-a-trialst.
Marys Journal On Legal Malpractice & Ethics [[Vol. 3:320].
Pudjiadi, Antonius., Hegar, Badriul., Handrystuti, Setyo., Idris, Nikmah Salamia, Gandaputra,
Ellen P., &Harmoniati, Eva Devita. (2009).Pedoman pelayanan medis ikatan dokter
anak Indonesia.
Siswati,S.,(2013),Etika dan hukum kesehatan
kesehatan.Ed 1. Depok. Rajawali Press.

dalam

perspektif

undang-undang

Vora, Mukeshkumar B., Triyedi, Hiren R., Sha, Bharatbhai K., & Tripathi, C B. (2011).
Adverse drug reactions in inpatients of internal medicine wards at a tertiary care
hospital: A prospective cohort study. Journal of Pharmacology &
Pharmacotherapeutics. 2011 Jan-Mar; 2(1): 2125. DOI: 10.4103/0976-500X.77102.
Willms JL, Schneiderman H, &Algranati PS. (2005).Diagnosis fisik.EGC.Jakarta.
Wujoso, Hari. (2008). Analisis hukum tindakan medik. UNS Press. Surakarta.

12

Anda mungkin juga menyukai