Anda di halaman 1dari 7

Kejadian Tidak

Diinginkan/KTD-Part1
Rumah sakit sebagai tempat pelayanan kesehatan modern adalah suatu organisasi yang
sangat komplek karena padat modal, padat teknologi, padat karya, padat profesi, padat
sistem, dan padat mutu serta padat resiko sehingga tidak mengejutkan bila kejadian tidak
diinginkan (KTD = adverse event) akan sering terjadi dan akan berakibat pada terjadinya
injuri atau kematian pada pasien. KTD adalah suatu kejadian yang mengakibatkan cedera
yang tidak diharapkan pada pasien karena suatu tindakan (commission) atau karena tidak
mengambil tindakan yang seharusnya diambil (omission) dan bukan karena under lying
disease atau kondisi pasien.
KTD dapat ditinjau dari berbagai faktor, salah satunya ditinjau dari faktor konstitusi.
Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 menjamin adanya pelayanan
kesehatan untuk masyarakat, sehingga tidak ada lagi masyarakat yang tidak mendapatkan
pelayanan secara maksimal. Pada pasal 28H UUD Negara Republik Indonesia secara
spesifik menyebutkan setiap orang berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Pasal 28H
ayat 1 menyebutkan: Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat
tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh
pelayanan kesehatan. Masyarakat harusnya juga mendapatkan jaminan sosial
sebagaimana pasal 28H ayat 3, setiap orang berhak atas jaminan sosial yang
memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat.
Untuk menjalankan konstitusi tersebut, pemerintah merupakan institusi pertama yang
harus melakukannya. Hal tersebut dapat dilihat dari adanya berbagai program Jaminan
Pelayanan Kesehatan Masyarakat diantaranya Jaminan Pemeliharaan Kesehatan
Masyarakat Miskin oleh pemerintah pusat yaitu Jamkesmas, disusul oleh Jamkesda yang
menggunakan dana APBD (Anggaran Pendapatan Belanja Daerah) untuk menjamin
kesehatan masyarakat di daerah masing-masing sesuai dengan kebijakan pemerintah
daerahnya.
Contoh kejadian tidak diinginkan ditinjau dari segi konstitusi ini adalah pelayanan
kesehatan bagi masyarakat suku terpencil atau pedalaman yang menderita penyakit tumor
atau penyakit yang memerlukan tindakan yang tidak tersedia di sarana pelayanan dasar
ataupun sarana pelayanan rujukan tingkat pertama sehingga perlu dirujuk ke rumah sakit

yang lebih lengkap sarana atau alat-alat kesehatan dan tenaga spesialisnya. Namun karena
pasien tersebut tidak mempunyai kartu Jamkesmas, yang artinya pasien tersebut bukanlah
peserta Jamkesmas, maka karena kendala dana pasien tersebut tidak dapat dirujuk dan
tidak mendapatkan tindakan medik yang semestinya sehingga dapat menyebabkan kejadian
yang tidak diinginkn (KTD). Padahal menurut konstitusi yang berlaku, setiap orang berhak
mendapatkan pelayanan kesehatan secara maksimal.
Menurut Nasution (2005), dilihat dari kaca mata hukum, hubungan antara pasien dengan
dokter termasuk dalam ruang lingkup hukum perjanjian. Dikatakan sebagai perjanjian
(transaksi) karena adanya kesanggupan dari dokter untuk mengupayakan kesehatan atau
kesembuhan pasien. Sebaliknya pasien menyetujui tindakan teraupetik yang dilakukan oleh
dokter tersebut. Posisi yang demikian ini menyebabkan terjadinya kesepakatan berupa
perjanjian teraupetik.
Secara yuridis kesepakatan ini melahirkan hak dan kewajiban pada masing-masing pihak
dan harus dilaksanakan sebagaimana telah diperjanjikan. Apabila salah satu pihak tidak
melaksanakan kewajibannya atau bertindak di luar apa yang telah diperjanjikan, pihak yang
dirugikan dapat mengajukan tuntutan ganti rugi. Kerugian yang timbul tersebut merupakan
suatu Kejadian yang Tidak Diinginkan (KTD) dalam pemberian pelayanan kesehatan
Hubungan dokter-pasien bukanlah hubungan bisnis tetapi kontrak teraupetik. Pasien
datang membagi keterangan pribadi dan mempercayakan pengobatan penyakitnya pada
dokter. Kepercayaan pasien terhadap dokter merupakan unsur utama kesembuhan pasien.
Pasien yang percaya pada dokter akan menceritakan semua sakit yang dirasakan sehingga
dokter juga dapat dengan leluasa menginformasikan penyakit yang diderita pasien dan
menyampaikan pengobatan yang harus dilakukan disertai dengan kemungkinan efek
samping atau kegagalan pengobatan. Pasien pun mendapatkan semua informasi yang perlu
diketahui, perawatan yang diperlukan, dan perkiraan kemungkinan yang terjadi. Seorang
dokter harus mendengarkan keluhan, menggali informasi dan menghormati pandangan
serta kepercayaan pasien yang berkaitan dengan keluhannya, memberikan informasi yang
diminta atau diperlukan tentang kondisi, diagnosis, terapi dan prognosis pasien serta
rencana perawatannya dengan cara yang bijak dan bahasa yang dimengerti pasien dan
keluarga. Selain itu pasien juga harus diberitahukan tentang tujuan pengobatan, pilihan
obat, cara pemberian dan pengaturan dosis, efek samping obat. Dokter hanya boleh
menyampaikan informasi tentang tindakan kedokteran yang dilakukan terhadap pasien
kepada keluarga setelah mendapatkan persetujuan dari pasien.

Menurut Konsil Kedokteran Indonesia (2009), dalam menerima layanan


kedokteran/kedokteran gigi, pasien dapat saja mengalami ketidakpuasan ataupun hasil
yang tidak sebagaimana mestinya diharapkan (advers events). Ilmu kedokteran adalah ilmu
empiris, sehingga probabilitas dan ketidakpastian merupakan salah satu ciri khasnya.
Iptekdok (Ilmu Pengetahuan Teknologi Kedokteran) masih menyisakan kemungkinan
adanya bias dan ketidaktahuan, meskipun perkembangannya telah sangat cepat sehingga
sukar diikuti oleh standar prosedur yang baku dan kaku. Kedokteran tidak mungkin
menjanjikan hasil layanannya, melainkan hanya menjanjikan upayanya
(inspanningsverbintenis).
Suatu hasil yang tidak diharapkan di bidang kedokteran sebenarnya dapat disebabkan oleh
beberapa kemungkinan, yaitu:
1)

hasil dari suatu perjalan penyakitnya sendiri atau komplikasi penyakit, tidak

berhubungan dengan tindakan medis yang dilakukan dokter.


2)

Hasil dari suatu risiko yang tidak dapat dihindari, yaitu:

a)

Risiko yang tidak dapat diketahui sebelumnya (unforeseeable). Risiko seperti ini

dimungkinkan dalam ilmu kedokteran oleh karena sifat ilmu yang empiris dan sifat tubuh
manusia yang sangat bervariasi serta rentan terhadap pengaruh oleh faktor eksternal ,
sebagai contoh adalah shok anafilaktik.
b)

Risiko yang meskipun telah diketahui sebelumnya (forseeable) tetapi dianggap dapat

diterima (acceptable), dan telah diinformasikan kepada pasien dan telah disetujui oleh
pasien untuk dilakukan tindakan, yaitu:

Risiko yang derajat probabilitas dan derajat keparahannya cukup kecil, dapat

diantisipasi, diperhitungkan atau dapat dikendalikan, misalnya efek samping obat,


pendarahan dan infeksi pad pembedahan, dan lain-lain;

Risiko yang derajat probabilitas dan derajat keparahannya besar pada ketentuan

tertentu, yaitu apabila tindakan medis yang berisiko tersebut harus dilakukan karena
merupakan satu-satunya cara yang harus ditempuh (the only way), terutama dalam
keadaan gawat darurat.
3)

Hasil dari suatu kelalaian medis

Yang dimaksud dengan kelalaian medis adalah melakukan yang seharusnya tidak
dilakukan, atau tidak melakukan yang seharusnya dilakukan, oleh seorang dokter atau
dokter gigi dengan kualifikasi yang sama, pada situasi dan kondisi yang sama. Hal ini terjasi
apabila dokter melanggar kewajiban yang seharusnya dibebankan kepadanya berdasarkan

standar-standar sebagaimana diuraikan sebelumnya dan mengakibatkan cedera,


meninggal, atau kerugian pada pasien dengan hubungan sebab akibat yang nyata.
4)

Hasil dari suatu kesengajaan

Untuk mengetahui penyebab suatu hasil yang tidak diharapkan perlu dilakukan penelitian
mendalam (audit medis), bahkan bila diperlukan dapat dilaukan pula pemeriksaan
mendalam terhadap pasien termasuk melakukan autopsi klinik bila pasien telah meninggal
dunia. Terhadap peristiwa yang tidak diharapkan sebagaimana diatas, pasien atau
keluarganya dapat meminta penjelasan secara lengkap dan jujur dari dokter atau dokter gigi
pemberi pelayanan kedokteran/kedokteran gigi, atau kepada pimpinan sarana pelayanan
kesehatannya. Pasien atau keluarganya juga dapat meminta pendapat kedua (second
opinion) dari dokter lain, baik di sarana kesehatan yang sama maupun di tempat lain.
Diharapkan dengan cara itu pasien dan keluarganya dapat memahami apa, bagaimana, dan
mengapa peristiwa atau hasil yang tidak diharapkan tersebut dapat terjadi, serta bagaiman
tindakan selanjutnya yang sebaiknya dilakukan. Di dalam pengaduan atau laporannya,
pasien harus melengkapinya dengan catatan kronologis peristiwa dan alasan timbulnya
dugaan pelanggaran-pelanggaran yang diadukannya.

KTD-Part2
Penyebab Multifaktor
1)

Faktor Petugas/individu

Hubungan antara dokter dan pasiennya secara yuridis dapat dimasukkan ke dalam
golongan kontrak. Suatu kontrak adalah pertemuan pikiran dari dua orang mengenai suatu
hal. Pihak pertama mengikatkan diri untuk memberikan pelayanan, sedangkan pihak kedua
menerima pemberian pelayanan tersebut. Pasien datang meminta kepada dokter untuk
diberikan pelayanan pengobatan, sedang sang dokter menerima untuk memberikannya
(Guwandi, 2003).
Penentuan kapan hubungan dokter dan pasien terjadi adalah sangat penting karena pada
saat itu sang dokter harus memenuhi kewajiban hukum dan timbullah tanggung jawab
terhadap pasiennya. Pada umumnya di dalam banyak hal, mulainya hubungan tersebut
sangat jelas dan nyata. Apabila seorang pasien meminta seorang dokter untuk
mengobatinya dan sang dokter menerimanya, maka saat itu sudah dimulai hubungan
kontrak antara dokter dengan pasien. Namun di dalam beberapa kasus, adalah sukar untuk
menentukan saat dimulainya hubungan tersebut, misalnya dalam kasus seperti di bawah
ini:
Seorang pasien terbangun dari tidurnya sebelum pukul 05.00 pagi dengan keluhan sangat
sakit pada dadanya. Ia berpakaian dan diantar istrinya ke rumah sakit. Ia harus berjalan
tiga blok karena tidak ada taksi yang lewat. Setibanya di Instalasi Gawat Darurat dari suatu
rumah sakit, istrinya memberitahukan kepada perawat bahwa suaminya dalam keadaan
sangat sakit dan diduga mendapat serangan jantung dan meminta pertolongan dokter. Sang
pasien memberitahukan kepada perawat tersebut bahwa ia anggota suatu asuransi
(Hospital Insurance Plan). Mendengar keterangan demikian, sang perawat mengatakan
bahwa rumah sakit ini tidak menerima pasien asuransi tersebut.
Sang perawat menelpon seorang dokter yang berada di rumah sakit dan memberitahukan
semua permasalahan tersebut kepadanya. Perawat itu kemudian menyerahkan telepon itu
kepada pasien yang menguraikan sakitnya kepada dokter bersangkutan. Dokter tersebut
mengatakan kepada pasien agar pasien pulang saja terlebih dahulu dan menunggu sampai
kantor Hospital Insurance Plan itu buka dan menghubungkan dokternya ke pihak asuransi

tersebut. Rumah sakit menolak untuk mengadakan pemeriksaan atau pengobatan lebih
lanjut. Setibanya di rumah, pasiennya jatuh di lantai dan meninggal dunia.
Hakim pengadilan memutuskan bahwa sang dokter telah menerima pasien itu ketika ia
mendengarkan tentang gejala-gejalanya via telepon dan bahwa ia tidak melanjutkan dengan
diagnosisnya dan pemberian pengobatan lebih lanjut, sehingga sang dokter dianggap telah
melakukan penelantaran (abandonment).
Kasus seperti diatas merupakan kejadian tidak diharapkan (KTD) antara tindakan dokter
terhadap pasien di rumah sakit yang disebabkan oleh faktor petugas, yaitu dokter yang
melakukan penelantaran. Kejadian tersebut juga disebabkan oleh faktor kondisi pasien dan
keinginan pasien untuk tetap menggunakan asuransinya.
2)

Kondisi pasien

Kondisi pasien yang sudah sangat parah ditambah dengan berbagai penyakit komplikasi
juga dapat menimbulkan kejadian yang tidak diharapkan. Pihak keluarga pasien yang
melihat kondisi pasien dalam keadaan parah menginginkan pelaksanaan suatu tindakan
medik yang padahal tindakan tersebut mengandung risiko yang cukup fatal. Dalam kasus
seperti ini barulah dokter merasakan arti pentingnya pelaksanaan informed
consent (persetujuan tindakan medik) yang sangat sering dianggap sepele oleh pihak
pemberi pelayanan ataupun pihak pasien dan keluarganya. Sebelum dokter melakukan
tindakan medik yang diinginkan pasien ataupun keluarganya walaupun tindakan tersebut
berisiko cukup fatal, dokter memberikan penjelasan dan dibuktikan secara hitam diatas
putih melalui pengisian dan penandatanganan lembar informed consent. Dengan adanya
bukti lembar informed consent yang telah diisi dan ditangdatangani oleh dokter yang
bertanggung jawab, pasien atau keluarga/walinya, saksi dari rumah sakit dan saksi dari
pihak pasien, maka apabila terjadi sesuatu yang tidak diharapkan terhadap pasien tidaklah
menjadi tanggung jawab dokter ataupun pihak pemberi pelayanan kesehatan. Kondisi
pasien yang parah dengan komplikasi dan risiko tinggilah yang dianggap sebagai penyebab
terjadinya sesuatu yang tidak diinginkan tersebut. Namun dokter ataupun pihak pemberi
pelayanan kesehatan haruslah tetap menjalankan tindakan medik yang diinginkan pasien
dan pihak keluarganya tersebut dengan benar, sesuai dengan SOP (standard operational
procedure) dari tindakan tersebut, dan tanpa kelalaian.
Kejadian yang tidak diinginkan (KTD) bisa juga terjadi bukan akibat dari kelalaian tim
medis. Ada beberapa penyebab kejadian yang tidak diinginkan, antara lain pasien tidak
mematuhi instruksi dokter, pasien terlambat dibawa ke dokter, adanya alergi yang tidak
diketahui sebelumnya, kata Direktur Administrasi Rumah Sakit Pluit J Guwandi, dalam
seminar bertema Hukum untuk Dokter, Sabtu (8/9), di RS Gading Pluit, Jakarta Utara.

KTD-Part 3

25

JUN

Komplikasi pelayanan kesehatan


Terdapat dua sebab kemungkinan terjadinya kecelakaan penanganan medis yang
merupakan Kejadian Tidak Diinginkan (KTD) pada pasien. Pertama, kecelakaan murni
yang disebabkan kesalahan dokter atau kesalahan rumah sakit. Kecelakaan itu bisa
dikategorikan malpraktik. Sedangkan yang kedua adalah kecelakaan medis yang bukan
disebabkan oleh kelalaian dokter. Penyebab yang kedua ini bisa dikarenakan komplikasi
yang tidak bisa dihindari. Misalnya pasien terkena sindrom steven jhonson sehingga
kulitnya melepuh karena memang pasien tersebut alergi terhadap obat tertentu atau bisa
juga akibat pasien tidak mematuhi perintah dokter sehingga timbul komplikasi lain.
Contoh KTD yang merupakan suatu komplikasi dapat terjadi pada pasien coma yang
dirawat lama, dimana pasien harus bedress tetapi petugas pemberi pelayanan sedikit lalai
dalam memberikan perawatan untuk mencegah kemungkinan terjadinya gangguan
kesehatan kulit pada pasien, seperti terjadinyaulcus peptikum. Atau mungkin kejadian yang
tidak diinginkan bisa saja terjadi pada pasien yang sakitnya telah mengalami komplikasi
dimana tindakan medik untuk mengatasi salah satu penyakitnya malah dapat berakibat
fatal pada penyakitnya yang lain.

Anda mungkin juga menyukai