Anda di halaman 1dari 6

MODUL 9

HUKUM LINGKUNGAN, HUKUM AGRARIA, DAN HUKUM PAJAK


Hukum lingkungan berkembang dengan sangat pesat, seiring dengan perkembangan kehidupan.
Permasalahan lingkungan hidup meningkat sebanding dengan peningkatan taraf kehidupan
manusia. Kompleksitas permasalahan lingkungan menjadikan perkembangan hukum lingkungan
lebih awal dimulai oleh kalangan dunia internasional. Hukum lingkungan meliputi pembahasan
terhadap segala peraturan hukum yang mengatur kegiatan yang memiliki atau cenderung
berpengaruh pada lingkungan hidup, baik lingkungan hidup secara abiotik maupun biotik.
Hukum agraria dekat hubungannya dengan hukum lingkungan. Kata Agraria, bisa mempunyai
arti yang sempit (tanah), dan bisa mempunyai arti yang luas (bumi, air, ruang angkasa, dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya).Sedangkan dalam pembahasannya dengan hukum
positif negara kita, definisi yang dipakai untuk istilah hukum agraria adalah pengertian yang
luas. Meskipun dalam penerapannya, hukum agraria lebih banyak bersinggungan dengan
permasalahan tanah, terutama mengenai hak dan kewajiban yang timbul terkait dengan tanah.
Hukum Pajak adalah keseluruhan peraturan yang mengatur hubungan antara pemerintah sebagai
pemungut pajak dan rakyat sebagai wajib pajak. Pemungut pajak sering disebut dengan fiscus
yang artinya keranjang tempat uang. Hukum Pajak dibedakan menjadi dua yaitu: Hukum pajak
materiil, yaitu norma-norma yang mengatur tentang subjek, objek dan tarif pajak; dan Hukum
pajak formal yaitu norma-norma yang mengatur tentang cara menjelmakan ketentuan pajak
materiil menjadi kenyataan.
Hukum pajak erat kaitannya dengan hukum lingkungan dan hukum pajak dalam hal hak dan
kewajiban administratif yang timbul darinya. Sebagai contoh di dalam lingkungan, terdapat
pendekatan hukum administratif selain pendekatan secara perdata maupun pidana. Dalam
penegakan hukum lingkungan administratif ini akan erat kaitannya dengan penerapan pajak
maupun denda. Sedangkan kaitan antara hukum agraria dengan pajak akan terlihat pada adanya
kewajiban untuk membayar kewajiban atas kepemilikan hak atas tanah maupun hak penguasaan
atas tanah.
HUKUM LINGKUNGAN
A. PENGERTIAN
Dasar pemikiran pengelolaan lingkungan hidup bersumber pada kenyataan bahwa manusia
adalah sebagian dari ekosistem, manusia pula pengelola ekosistem tersebut. Kerusakan
lingkungan adalah pengaruh sampingan dari tindakan manusia untuk mencapai suatu tujuan yang
mempunyai konsekuensi terhadap lingkungan hidup. Pada dasarnya hukum lingkungan hidup
tidak mempunyai batasan yang jelas sebagaimana hukum perbankan, hukum perjanjian atau
hukum perkawinan. Isi hukum lingkungan hidup adalah hasil dari pencarian bentuk kepuasan
administrasi dan kendali atas kegiatan dan keputusan yang berdampak terhadap lingkungan
hidup.
Pengertian yuridis tentang lingkungan hidup dicantumkan dalam Undang-undang Nomor 4
Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup (UULH) dalam
Pasal I yang berbunyi "lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya,
keadaan, dan makhluk hidup, termasuk di dalamnya manusia dan perilakunya yang
mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup
lainnya". Pengertian ini tidak berbeda dengan pengertian yang terdapat dalam Undang-undang
Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH). pengertian
lingkungan hidup dapat dirangkum dalam unsur-unsur sebagai berikut:
1. Semua benda, berupa manusia, hewan, tumbuhan, organisme, tanah, air, udara, ruang, dan
unsur pendukungnya yang disebut sebagai "materi";
2. Daya atau energi;
3. Keadaan atau kondisi;
4. Perilaku;
5. Ruang sebagai wadah berbagai komponen berada; dan
6. Proses interaksi dan saling mempengaruhi.
Dari unsur-unsur pengertian lingkungan hidup ini, kita dapat mengelompokkan lingkungan hidup
menjadi empat bagian yaitu:
1. Lingkungan fisik berupa benda-benda dan daya;
2. Lingkungan biologi berupa manusia, hewan, tumbuhan, dan makhluk organis lainnya;
3. Lingkungan sosial berupa tabiat, watak, dan perilaku manusia;
4. Lingkungan institusional berupa lembaga-lembaga dalam masyarakat yang bertujuan
mencapai kesejahteraannya.
B. PERKEMBANGAN HUKUM LINGKUNGAN INTERNASIONAL
Perkembangan pengaturan hukum lingkungan yang sistematis dalam lingkup internasional
dimulai dari pembicaraan dalam Sidang Dewan Ekonomi dan Sosial PBB mengenai peninjauan
terhadap hasil gerakan "Dasawarsa Pembangunan Dunia ke-l (1960 - 1970)" pada tanggal 28 Mei
1968. Isu lingkungan hidup menjadi krusial karena dalam dua dekade terakhir antara 1950 - 1970
terdapat beberapa permasalahan lingkungan yang cukup mengejutkan dunia.
Konferensi PBB tentang Lingkungan Hidup (United Nation Conference on the Human
Environment) diselenggarakan di Stockholm pada tanggal 5-16 Juni 1972. Konferensi ini
menghasilkan beberapa rumusan sebagai berikut:
1. Deklarasi tentang Lingkungan Hidup Manusia (Stockholm Declaration) terdiri atas
pembukaan dan 26 prinsip dasar.
2. Rencana Aksi Lingkungan Hidup Manusia (Action Plan)
3. Kerangka kerja Action Plan yang meliputi: a global assessment programme (Earth Watch),
environmental management Activities, and supporting Measures.
4. Rekomendasi pembentukan LINEP (United Nations Environment Programme)
5. Penetapan tanggal 5 Juni sebagai Hari Lingkungan Hidup Dunia.
Konferensi ini menggugah semangat bangsa-bangsa di dunia untuk memberikan perhatian lebih
pada permasalahan lingkungan hidup, termasuk Indonesia yang memulai penanganan secara
langsung terhadap pencegahan dan penanggulangan pencemaran lingkungan hidup.
C. PRINSIP HUKUM LINGKUNGAN
Terdapat sejumlah prinsip lingkungan hidup yang secara luas diterima sebagai bagian dari
kerangka kerja pengelolaan lingkungan hidup yaitu:
1. Pencegahan Pencemaran (The Pollution Prevention Principle)
2. Prinsip Pencemar Membayar (the Polluter Puys Principle)
3. Prinsip Kehati-hatian (the Precautionary Principle)
4. Pengendalian Pencemaran Terpadu
5. Peranan penduduk asli
KONSEP PERLINDUNGAN LINGKUNGAN NASIONAL
Dasar UUD 1945 bagi perlindungan lingkungan hidup Indonesia terdapat pada Pasal 33 Ayat (3)
yang berbunyi: "Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh
Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.
Dalam lingkup nasional, meskipun pada zaman Hindia Belanda telah adu beberapa peraturan
yang terkait dengan lingkungan, namun tidak dapat dikatakan sebagai sebuah pencapaian.
Beberapa peraturan tentang lingkungan pada masa Hindia Belanda diantaranya adalah Ordonansi
tentang perikanan mutiara dan perikanan bunga karang (Parelvisscherij, Sponsenvisscherii
Ordonantie, S.l9l6 - 157) dan peraturan perikanan (Visscherij Ordonantic, S.1920 - 396). Namun
ordonansi yang paling penting dan kemudian identik dengan peraturan lingkungan adalah
Hindeer Ordonantie (S.1926 - 226jo 5.1940 - 450) atau Ordonansi Gangguan.
Beberapa peraturan lain sempat dikeluarkan oleh pemerintah Hindia Belanda untuk melindungi
kekayaan alam Hindia Belanda, dan sebagian besar sudah tidak berlaku lagi saat ini.
Perkembangan mendasar peraturan perundangan bidang lingkungan hidup di Indonesia ditandai
dengan diundangkannya Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan
Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup pada tanggal 11 Maret 1982. Konsep UULH ini cukup
matang dan melingkupi beragam aspek pengelolaan lingkungan karena telah mengalarmi masa
pembahasan yang lama sejak tahun 1967.
Pada tahun 1997 dengan latar belakang perkembangan kesadaran dan kehidupan masyarakat
dalam kaitannya dengan pengelolaan lingkungan hidup yang sudah semakin meningkat, pokok
materi dalam UUPH 1982 dianggap sudah perlu untuk disempurnakan guna mencapai tujuan
pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan hidup. Dari landasan inilah pada
tanggai 19 September 1997 diundangkan UU No.23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup.
Undang-undang Pengelolaan Lingkungan Hidup tidak begitu mudah dilaksanakan terutama pada
apa yang disebut "hal hijau" (green issues) seperti pengelolaan sumber daya alam (air, lahan,
tanah, ekosistem, keanekaragaman hayati dan spesies langka). Juga tidak mengkaitkan secara
khusus antara pengelolaan lingkungan hidup dengan perencanaan penggunaan lahan contohnya
yang berkaitan dengan pengelolaan tanah, pengelolaan daerah aliran sungai, dan pengelolaan
pantai. Dalam kaitannya dengan kewenangan dan kewajiban yang ditekankan kepada pemerintah
tidak ada ketetapan tentang perencanaan lingkungan hidup seperti pembuatan inventarisasi,
klasifikasi dan perencanaan.
D. PENEGAKAN HUKUM LINGKUNGAN INDONESIA
Penegakan hukum lingkungan di Indonesia menganut asas subsidiaritas, di mana penegakan
hukum dilakukan secara bertahap mulai dari tahapan administratif, perdata, dan sanksi pidana
menjadi tahapan terakhir (Ultimum remidium). Meskipun juga terdapat pengaturan tersendiri
mengenai prosedural penetapan sanksi tersebut.
Sebagian besar penegakan hukum di Indonesia adalah dengan mengenakan sanksi administratif.
Sanksi administratif adalah sanksi yang dikenakan secara informal oleh pemerintah, tanpa
bergantung pada sistem pengadilan. sanksi administratif seringkali dianggap sebagai satu cara
efektif dan efisien guna menanggapi pelanggaran yang kurang serius. Di Indonesia, sanksi
administratif juga bisa diberlakukan pada pelanggaran yang lebih serius, termasuk sanksi berat
seperti penutupan suatu fasilitas melalui pencabutan izin operasi. Dalam hal ini, lingkup luas
sanksi administratif di luar sistem pengadilan mirip dengan yang di Belanda.
Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 menetapkan sanksi administratif dalam Bagian Tiga dari
Bab VI yang berjudul Persyaratan penetapan Lingkungan Hidup. Peranan hukum dalam
perancangan sanksi administratif adalah untuk:
1. Merancang peraturan (rules) yang memberi kewenangan untuk memenakan syarat-syarat
kepada perorangan atau badan hukum;
2. Menetapkan batasan pada kewenangan itu;
3. Menetapkan prosedur yang harus diikuti dalam melaksanakan kewenangan itu; dan
4. Menyatakan syarat-syarat yang dapat dijatuhkan
Alur penegakan Hukum selanjutnya apabila sanksi administratif dirasakan tidak efektif adalah
dengan sanksi perdata. Satu-satunya penyebutan dalam UUPLH tentang pemerintah
menyelenggarakan perkara perdata untuk perlindungan lingkungan hidup adalah dalam Pasal 37
yang berjudul Hak Masyarakat dan Organisasi Lingkungan Hidup. Pasal ini memberi masyarakat
hak untuk mengajukan gugatan perwakilan (class actions) dan/atau melaporkan ke penegak
hukum berbagai masalah lingkungan hidup yang merugikan peri kehidupan masyarakat.
Class Action dapat dilakukan oleh anggota masyarakat untuk meminta ganti rugi permasalahan
lingkungan dalam hal mereka merupakan korban secara langsung dari suatu aktivitas yang
menimbulkan pencemaran atau kerusakan lingkungan. Sedangkan Environment Legal Standing
diberikan kepada organisasi lingkungan untuk mengajukan gugatan kepada pemerintah atau
pelaku pencemaran atau perusakan lingkungan dengan mengatasnamakan lingkungan hidup itu
sendiri. Namun kerap kali, penegakan hukum perdata juga mengalami kendala.
Halangan untuk penegakan hukum perdata disebabkan oleh ketidakmampuan sistem peradilan di
Indonesia untuk menyelenggarakan suatu keputusan pengadilan melalui prosesperkara
melanggar tata tertib pengadilan (contempt).
Agar sukses mengajukan perkara berdasarkan Pasal 34 tentang ganti rugi atau pelaksanaan
tindakan-tindakan tertentu, perlu dibuktikan bahwa:
1. suatu hukum telah dilanggar;
2. pencemaran atau perusakan lingkungan hidup telah terjadi sebagai akibat dari pelanggaran
tersebut; dan
3. pencemaran atau perusakan lingkungan hidup tersebut telah menimbulkan dampak negatif
pada orang lain atau lingkungan hidup atau "kerugian" (harm).
Tanggung jawab mutlak disediakan untuk kegiatan-kegiatan yang berbahaya atau sangat
mengancam. Hanya usaha atau kegiatan yang menimbulkan "dampak besar" pada lingkungan
hidup, yang menggunakan “bahan berbahaya dan beracun", dan/atau yang menghasilkan "limbah
berbahaya dan beracun" yang dikenai tanggungjawab mutlak.
UUPLH menetapkan tanggung jawab korporasi dengan mendefinisikan "orang" sebagai
perseorangan, dan/atau kelompok orang dan/atau badan hukum (Pasal I butir 24). Undangundang
tersebut juga menetapkan bahwa jika suatu tindak pidana dilakukan oleh, atau atas nama suatu
badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan, atau organisasi lain, ancaman pidana denda
diperberat dengan sepertiga (pasal 45).

Anda mungkin juga menyukai