Anda di halaman 1dari 6

Nama : Kania Haerunnisa

NPM : 110110170225

Mata Kuliah / Kelas : Hukum Lingkungan / D

Dosen : Dr. Dadang Epi Sukarsa, S.H., M.H.

RESUME

PERKEMBANGAN HUKUM LINGKUNGAN

‘Hukum Lingkungan, Buku I : Umum’ oleh Prof. St. Munadjat Danusaputro

1. Konferensi PBB tentang Lingkungan Hidup Manusia (Stockholm, 5-16 Juni 1972)

Setelah mempelajari United Nations Development Decade I (1960), Dewan berpendapat


bahwa dibutuhkan adanya tindakan-tindakan terpadu untuk menghapuskan kerusakan
lingkungan hidup. Dari sini tergambar jelas hubungan erat antara masalah lingkungan dengan
masalah pembangunan. Masalah lingkungan timbul sebagai akibat dari pembangunan di segala
bidang, yang tidak diperhitungkan saat tahap perencanaannya.

Pembangunan disini berarti ‘mengolah dan mengubah’ sumber-sumber daya lingkungan


(baik insani maupun alami) untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Harus dipahami bahwa

2. Deklarasi Lingkungan Hidup Manusia 1972

United Nations Development Decade I (1960-1970) dilanjutkan oleh United Nations


Development Decade II hingga 1980. Kemudian untuk mengatasi masalah-masalah yang ada
maka diselenggarakan Konferensi PBB tentang Lingkungan Hidup Manusia. Konferensi ini
melahirkan Declaration of the United Nations Conference on the Human Environment (1972)
dan kumpulan 109 rekomendasi yang disusun menjadi Action Plan on the Human Environment
yang berisi 3 komponen dasar yaitu: penilaian (assessment), pengelolaan (management) dan
sarana penunjang (supporting measures), baik itu sarana penunjang hukum, institusi maupun
keuangan. PBB kemudian membentuk United Nations Environment Programme (UNEP) sebagai
institusi pelaksananya.
Sebagai sarana meningkatkan kesadaran manusia terhadap lingkungan hidup, juga
merupakan resolusi Konferensi Stockholm 1972, ditetapkan Hari Lingkungan Hidup Sedunia
(setiap 5 Juni).

3. Hukum Lingkungan

Dalam Action Plan Stockholm, hukum merupakan unsur dalam sarana penunjangnya. Maka
lahir yang disebut dengan Hukum Lingkungan, atau dalam bahasa lain: environmental law, droit
de l’environnement, umweltrecht, milieu recht, hukum alam seputar, batas nan kapaligiran,
qanun al-’Biah.

Sebelum hukum lingkungan modern muncul, sejak zaman dahulu sudah ada yang sejenis
hukum lingkungan, yang dapat dijumpai dalam UU Gangguan (Hinder Ordonnantie) 1926, UU
Perlindungan Binatang Liar (Dierenveschermingsordonnantie) 1931, UU Perlindungan Alam
(Natuurbeschermingsordonnantie) 1941, UU Pembentukan Kota (Stadsvormingordonnantie)
1948 dan peraturan lainnya yang disusun dalam himpunan peraturan perundang-undangan
lingkungan hidup (1978). Rangkaian ini disebut Hukum Lingkungan Klasik. Terdapat pula
hukum lingkungan klasik adat yang tidak tertulis, contohnya hukum ulayat.

4. Hukum Lingkungan Modern

Hukum lingkungan modern bertujuan untuk melindungi kelestarian lingkungan agar dapat
digunakan secara terus menerus hingga generasi mendatang (environment-oriented law).
Sedangkan hukum lingkungan klasik bertujuan untuk menjamin dan eksploitasi sumber daya
lingkungan demi hasil yang semaksimal mungkin dalam waktu yang singkat (use-oriented law).

Hukum lingkungan modern lebih banyak menggunakan ekologi, dimana lingkungan sebagai
ekosistem, yang bersifat utuh menyeluruh. Lingkungan juga dapat diterangkan sebagai ‘benda,
daya dan kondisi suatu ruang, dengan manusia dan tingkah lakunya, yang mempengaruhi
kelangsungan dan kesejahteraan seluruh makhluk hidup’, maka lingkungan disini bersifat
komprehensif-integral. Sedangkan hukum lingkungan klasik bersifat sektoral atau
sektoral-spesialistis.

Hukum lingkungan modern bersifat fleksibel dan dinamis, sedangkan hukum lingkungan
klasik cenderung kaku dan sulit untuk diubah (statis). Sifat dan hakekat hukum lingkungan
modern, serta dalil-dalil ilmu lingkungan dan makhluk hidup ada dalam ‘l’homme integral’ atau
‘la vie integral’.

5. Pembangunan Hukum Lingkungan Modern

Untuk mempersiapkan Konferensi Stockholm, diselenggarakan seminar, simposium atau


lokakarya tentang ‘Development and Environment’ secara serentak di seluruh dunia. Gerakan
mondial ini melahirkan kesadaran dan slogan penanggulangan masalah lingkungan, yaitu ‘one
world only’.

Pemerintah Indonesia membentuk panitia interdepartemental untuk menyusun laporan


nasional tentang kondisi lingkungan hidup di Indonesia. Universitas Padjadjaran
menyelenggarakan Seminar Pengelolaan Lingkungan Hidup Manausia (15-18 Mei 1972), yang
mengembangkan tata pendekatan dan pembahasan masalah lingkungan secara interdisipliner dan
multidisipliner.

Prof. Mochtar Kusumaatmadja, dengan Pengaturan Hukum Masalah Lingkungan Hidup


Manusia: Beberapa Fikiran dan Saran, merupakan pioneer Ilmu Hukum Lingkungan di
Indonesia. Inti dari beberapa fikiran dan saran tersebut dituangkan menjadi substansi Program
Pembangunan Hukum Nasional dalam REPELITA II.1 Pembangunan hukum lingkungan
modern tersebut merupakan salah satu program dalam pembangunan hukum nasional Indonesia,
untuk menunjang terlaksananya kebijakan nasional dalam bidang lingkungan hidup, yang
ditegaskan oleh GBHN, khususnya dalam Bab III huruf E, ayat (10). Ketentuan GBHN tersebut
kemudian dijelaskan lebih rinci lagi dalam REPELITA II, khususnya pada Buku I Bab 4
‘Pengelolaan Sumber-Sumber Alam dan Lingkungan Hidup’.

6. Binamulia Hukum dan Lingkungan dalam Pembangunan Nasional

Pada pelantikan Prof. Hindersah Wiratmadja menjadi Rektor UNPAD, lahir harapan bagi
setiap universitas untuk mengembangkan pola ilmiah pokok (PIP) sebagai ciri khasnya. Prof.
Hindersah kemudian mengajukan PIP kepada Sidang Senat Guru Besar (28 September 1974),
yang disetujui secara bulat. PIP UNPAD saat itu adalah ‘pembinaan hukum dan lingkungan
hidup dalam pembangunan nasional’, dimana pembakuan pendekatan konsepsionalnya

1 Lihat REPELITA II, Buku III, Bab 27: Hukum, h. 314.


dipercayakan kepada Prof. Mochtar Kusumaatmadja, Prof. Otto Soemarwoto, dan Prof. Didi
Atmadilaga. Pemikiran PIP UNPAD baru terbit pada 23 Januari 1976. Kemudian PIP UNPAD
akhirnya dirumuskan dan disahkan berbunyi ‘Binamulia Hukum dan Lingkungan dalam
Pembangunan Nasional’.

Pada 6 Januari 1975 terjadi kasus pencemaran laut oleh VLCC Showa Maru di perairan
Selat Malaka dan Selat Singapura. Sebelumnya pernah terjadi pula kasus Torrey Canyon, yang
juga menumpahkan minyak mentah di laut secara masif di Seven Stone Reefs (17 Maret 1967).
Karena kasus ini, maka diadakan Konferensi Brusel 1969, yang menghasilkan International
Convention relating to Intervention on the High Seas in Cases of Oil Pollution Casualties dan
International Convention on Civil Liability for Oil Pollution Damage. Sedangkan kasus Showa
Maru mendorong terbentuknya Tripartite Agreement on the Safety of Navigation to the Straits of
Malacca and Singapore (24 Februari 1977) antara Indonesia, Malaysia dan Singapura.
Perjanjian ini kemudian menjadi ‘skema navigasi pertama untuk Asia Tenggara’ yang berperan
penting bagi Dunia Pelayaran Internasional melalui Selat Malaka dan Singapura.

7. Binamulia Hukum dan Lingkungan dalam Pembangunan Nasional dan Internasional

Berkaitan dengan timbulnya keadaan darurat pencemaran laut secara masif sebagai akibat
kandasnya kapal-kapal tanki Showa Maru, muncul peraturan perlindungan lingkungan laut
nusantara untuk mencegah terulangnya peristiwa tersebut.

Pada 17 Februari 1975 dibentuk satuan tugas (task force) secara interdepartemental ke arah
teknis operasional, penelitian & penilaian, dan satgas hukum dan penuntutan ganti rugi. Pada 31
Maret 1975, dibentuk tim teknis penyusunan RUU pencegahan dan penanggulangan pencemaran
laut, khususnya di Selat Malaka dan Selat Singapura. Tugas dari tim teknis ini adalah survey dan
inventarisasi hukum, penelitian dan evaluasi perundang-undangan, meneliti perkembangan
hukum di luar Indonesia, pembangunan hukum lingkungan Indonesia berdasarkan
perkembangan modern, dan melaksanakan proyek penyusunan RUU dalam bidang lingkungan
hidup.

Awal 1977, FIPPA UNPAD mengembangkan studi inter dan multi disipliner, melalui
‘Kimia Lingkungan dan Hukum Lingkungan’. Kemudian Fakultas Publistik UNPAD juga
membuat eksperimen studi berjudul ‘Menuju kepada Publistik Lingkungan’.
Rektor UNDIP saat itu, Prof. Sudarto, pada 1977 menyajikan uraian mengenai hukum
lingkungan yang menjadi gagasan PIP UNDIP ‘Pengembangan Wilayah Pantai dan Ilmu-Ilmu
Laut’ (Hukum Lingkungan Laut). Segala pemikiran oleh UNPAD dan UNDIP ini lalu menjadi
sebuah konsep ‘environmental education and training’ pendidikan hukum lingkungan di Asia
dan Pasifik. UNPAR (Prof. Subekti dan Prof. Herman Soedjono) juga mengembangkan
pendidikan hukum lingkungan dengan konsep ‘Hukum Lingkungan dan Pengembangan Tata
Ruang’.

8. Mengisi Program Pembangunan Hukum Lingkungan

Mengingat pokok ketiga dari Program Pembangunan Hukum Lingkungan, maka untuk
menangani masalah RUU kasus Showa Maru, dilakukan studi banding ke Malaysia dan
Singapura, khususnya di bidang pencegahan dan penanggulangan pencemaran laut. Juga ke
Thailand dan Filipina (dalam rangka kerjasama ASEAN). Namun perkembangan hukum
lingkungan dari negara-negara tersebut masih sejajar dengan Indonesia. UNEP juga kurang
membantu dalam studi ini. Kemudian, FAO membantu studi ini, namun hanya dalam
hubungannya dengan usaha perikanan.

Setelah Indonesia studi ke hampir seluruh dunia, telah terkumpul banyak informasi
mengenai hukum lingkungan dan terbentuk hubungan kerjasama dengan berbagai organisasi
internasional dan regional. Ditambah dengan adanya International Workshop on Maritime
Pollution in East Asian Waters oleh UNESCO, FAO dan UNEP. ESCAP dan AALCC juga
berpengaruh dalam perkembangan hukum lingkungan Indonesia. Indonesia kemudian menyusun
‘environmental legislation and administration in Indonesia’.

Berkat studi-studi yang telah dilakukan oleh tim teknis, akhirnya pada 26 Agustus 1976,
RUU Pencegahan dan Penanggulangan Pencemaran Laut disetujui.

9. Peningkatan Pembangunan Hukum Lingkungan

Memasuki dasawarsa pembangunan dunia III, lahir penggolongan masalah lingkungan


berdasarkan sumbernya, antara lain: kemiskinan, kependudukan, kekotoran dan kebijaksanaan.
Kemudian, timbul ‘gerakan pembebasan baru’ untuk menangani 4 masalah lingkungan tersebut.
Namun untuk terwujudnya tujuan dari gerakan ini, dibutuhkan kerjasama seluruh dunia dan
kesadaran, keinginan yang kuat. Pada Hari Lingkungan Hidup 1978, Presiden menyampaikan
pembicaraan tentang ‘pembangunan tanpa merusak lingkungan’ berdasarkan Pancasila, untuk
menangani masalah 4K.

Manusia dan masyarakat berperan penting dalam Pengembangan Lingkungan Hidup, maka
sasaran utama pelaksanaannya adalah menggerakkan dan melibatkan segenap manusia dan
seluruh masyarakat Indonesia dalam usaha bersama. Kemudian dibentuk Kemeneg PPLH untuk
mendukung Program LH dalam REPELITA III. Kemeneg PPLH dibawah Prof. Emil Salim
berhasil menggerakkan lembaga-lembaga baik pusat maupun daerah untuk kesadaran atas LH:
Universitas dan PT mengembangkan Pusat Studi Lingkungan, Dep. Penerangan dan Depag juga
berperan dalam berkembangnya organisasi-organisasi lingkungan hidup, formal dan informal,
dll.

Inventarisasi peraturan perundang-undangan LH di Indonesia menghasilkan 22 UU, 38 PP,


5 Keppres, 2 Inpres, 45 Permen, 4 Kep. Dirjen, dan 31 Perda tingkat I dan II. Selain itu, terdapat
beberapa rancangan dan hasil penelitian yang masih digarap seperti 8 RUU LH, 8 RPP yang
bersangkutan dengan LH, 23 karya tulis tentang LH, 56 hasil penelitian LH, dan 7 hasil
pembahasan seminar/workshop tentang beberapa pokok masalah LH.

Untuk meningkatkan penanganan masalah-masalah LH tersebut, dilakukan studi


perundang-undangan di bidang LH. Kementrian PPLH kemudian membentuk Kelompok Kerja
Hukum dan LH (interdepartemental). Berdasarkan dasar-dasar pemikiran Sidang Kabinet 26
Agustus 1976, disusun RUU tentang Pokok-Pokok Pengelolaan LH, berisi asas dalam Deklarasi
Stockholm 1972 dan asas pembangunan hukum nasional dalam GBHN. RUU tersebut disusun
sebagai suatu chapeau provision.

10. Penutup

Demikian gambaran usaha peningkatan Pembangunan Hukum Lingkungan di Indonesia


hingga 1980, yang fokus pada: segi landasan, arah kebijaksanaan, segi bentuk dan substansi, segi
sarana penunjang dan segi tata pendekatannya.

Anda mungkin juga menyukai