Anda di halaman 1dari 10

Nama: Muhamad Rehan Sautra

NIM

: 133112350750024

KONFERENSI TINGKAT TINGGI LINGKUNGAN HIDUP

Stockholm, Swedia (Juni 1972)


Konferensi internasional lingkungan hidup atau United Nations
Conference on Human Environment (UNCHE), di Stockholm, Swedia
adalah konferensi yang sangat bersejarah, karena merupakan konferensi
pertama tentang lingkungan hidup yang diprakarsai oleh PBB yang diikuti
oleh wakil dari 114 negara. Konferensi ini juga merupakan penentu
langkah awal upaya penyelamatan lingkungan hidup secara global.
Dalam konferensi Stockholm inilah untuk pertama kali moto Hanya
ada satu bumi (Only one Earth) untuk semua manusia, diperkenalkan.
Motto itu sekaligus menjadi motto konferensi. Selain itu, konferensi
Stockholm menetapkan tanggal 5 Juni yang juga hari pembukaan
konferensi tersebut sebagai hari lingkungan hidup se-dunia (World
environment day).
Kesepakatan mengenai keterkaitan antara konsep pembangunan
dan pengelolaan lingkungan hidup. Persoalan lingkungan hidup
diidentikkan dengan kemiskinan, keterbelakangan, tingkat pembangunan
yang masih rendah dan pendidikan rendah, intinya faktor kemiskinan
yang menjadi penyebab utama kerusakan lingkungan hidup didunia.
Sehingga dalam forum tersebut disepakati suatu persepsi bahwa
kebijakan lingkungan hidup harus terkait dengan kebijakan pembangunan
nasional.
Menghasilkan resolusi monumental, yaitu pembentukan badan
khusus PBB untuk masalah lingkungan United Nations Environmental
Programme (UNEP), yang markas besarnya ditetapkan di Nairobi, Kenya.
UNEP merupakan motor pelaksana komitmen mengenai lingkungan hidup
dan telah melahirkan gagasan besar pembangunan berkelanjutan
(Sustainable Development). Gagasan pembangunan berkelanjutan diawali
dengan terbitnya Laporan Brundtland (1987), Our Common Future, yang
memformulasikan prinsip dasar pembangunan berkelanjutan.
Rekomendasi Konferensi Stockholm Nomor 99.3. ditindak lanjuti
dengan melaksanakan Convention on International Trade in Endangered
Species (CITES) atau Konvensi PBB mengenai perdagangan Internasional
Jenis-Jenis Flora dan Fauna Terancam Punah. Misi dan tujuan CITES adalah
untuk menghindarkan jenis-jenis tumbuhan dan satwa dari kepunahan di
alam melalui sistem pengendalian jenis-jenis tumbuhan dan satwa, serta
produk-produknya secara internasional. Dalam dokumen konfrensi

Stockholm The Control of Industrial Pollution and International Trade


secara langsung mendorong GATT untuk meninjau kembali kebijakannya
agar tidak menimbulkan diskriminasi terhadap Negara berkembang.
Konferensi Nairobi dan WCED, 1982
Setelah sepuluh tahun Konferensi Stockholm berselang, PBB kembali
menggelar suatu konperensi tentang lingkungan hidup pada tahun 1982
di Nairobi, Kenya. Pertemuan ini merupakan pertemuan wakil-wakil
pemerintah dalam Government Council UNEP. Pertemuan tersebut
mengusulkan pembentukan suatu komisi yang bertujuan melakukan
kajian tentang arah pembangunan di dunia. Usul yang dihasilkan dari
pertemuan lingkungan di Nairobi ini dibawa ke Sidang Umum PBB tahun
1983, dan oleh PBB dibentuk WCED (World Commission on Environment
and Development) yang diketuai oleh Gro Harlem Brundtland. Komisi
inilah yang melakukan pertemuan diberbagai tempat dibelahan dunia,
serta berdialog dengan berbagai kalangan termasuk NGO. Komisi ini pula
yang menghasilkan dokumen Our Common Future pada tahun 1987,
yang memuat analisis dan saran bagi proses pembangunan berkelanjutan.
Dalam dokumen itu diperkenalkan suatu konsep baru yang disebut konsep
pembangunan berkelanjutan.
Dokumen Our Common Future juga merumuskan definisi
pembangunan berkelanjutan yaitu:pembangunan yang memenuhi
kebutuhan masa kini tanpa mengurangi kemampuan generasi mendatang
untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri.
Definisi ini dibuat tidak hanya untuk memenuhi persyaratan yang
mendukung pembangunan ekonomi tapi juga untuk memenuhi pihakpihak yang prihatin terhadap kelestarian lingkungan. Majelis Umum PBB
mendukung ide ini dan meminta Sekretaris Jendral melakukan sebuah
Konperensi untuk menilai lingkungan hidup dunia 20 tahun setelah
konferensi Stockholm.

Rio de Janeiro, Brazil ( Juni 1992)


Sejak
Konferensi
Stockholm,
polarisasi
di
antara
kaum
developmentalist dan environmentalist semakin menajam. Konferensi
Tingkat Tinggi (KTT) Bumi (Earth Summit) di Rio de Janeiro, Brazil, pada
1992, merupakan upaya global untuk mengkompromikan kepentingan
pembangunan dan lingkungan. Jargon Think globally, act locally, yang
menjadi tema KTT
Bumi menjadi populer untuk mengekspresikan
kehendak berlaku ramah terhadap lingkungan.
Topik yang diangkat dalam konperensi ini adalah permasalahan
polusi, perubahan iklim, penipisan ozon, penggunaan dan pengelolaan
sumber daya laut dan air, meluasnya penggundulan hutan, penggurunan
dan degradasi tanah, limbah-limbah berbahaya serta penipisan

keanekaragaman hayati. Deklarasi Rio, Satu rangkaian dari 27 prinsip


universal yang bisa membantu mengarahkan tanggung jawab dasar
gerakan internasional terhadap lingkungan dan ekonomi.
Konvensi Perubahan Iklim ( FCCC ). Kesepakatan Hukum yang telah
mengikat telah ditandatangani oleh 152 pemerintah pada saat
komperensi berlangsung. Tujuan pokok Konvensi ini adalah Stabilisasi
konsentrasi gas rumah kaca di atmosfir pada tingkat yang telah
mencegah terjadinya intervensi yang membahayakan oleh manusia
terhadap system Iklim
Konvensi Keanekaragaman hayati. Kesepakatan hukum yang
mengikat telah ditandatangani sejauh ini oleh 168 negara. Menguraikan
langkah langkah kedepan dalam pelestarian keragaman hayati dan
pemanfaatan berkelanjutan komponen komponennya, serta pembagian
keuntungan yang adil dan pantas dari penggunaan sumber daya genetic.
Pernyataan Prinsip Prinsip Kehutanan. Prinsip prinsip yang telah
mengatur kebijakan nasional dan internasional dalam bidang kehutanan.
Dirancang untuk menjaga dan melakukan pemanfaatan dan pengelolaan
sumber daya hutan global secara berkelanjutan. Prinsip prinsip ini
seharusnya mewakili konsesi pertama secara internasional mengenai
pemanfaatan secara lestari berbagai jenis hutan.
Komisi Pembangunan Berkelanjutan Commission on Sustainable
Development (CSD). Komisi ini di bentuk pada bulan desember 1992.
Tujuan CSD adalah untuk memastikan keefektifan tindak lanjut KTT bumi.
Mengawasi serta melaporkan pelaksanaan kesepakatan Konferensi Bumi
baik di tingkat lokal , nasional, maupun internasional. CSD adalah komisi
Funsional Dewan Ekonomi dan Sosial PBB (ECOSOC) yang beranggotakan
53 negara.
Agenda 21, merupakan sebuah program luas mengenai gerakan
yang mengupayakan cara cara baru dalam berinvestasi di masa depan
untuk mencapai pembangunan berkelanjutan Global di abad 21.
Rekomendasi rekomendasi Agenda 21 ini meliputi cara cara baru
dalam mendidik, memelihara sumber daya alam, dan berpartisipasi untuk
merancang sebuah ekonomi yangberkelanjutan. Tujuan keseluruhan
Agenda 21 ini adalah untuk menciptakan keselamatan, keamanan, dan
hidup yang bermartabat.

Genewa, Swiss (Juli 1996)


Amerika menerima temuan-temuan ilmiah mengenai perubahan
iklim dari IPCC dalam penilaian kedua dan menolak penyeragaman
penyelarasan kebijakan dan menyerukan pengikatan secara hukum target
jangka menengah. Menghasilkan Deklarasi Genewa. Berisi 10 butir
deklarasi antara lain berisi ajakan kepada semua pihak untuk mendukung

pengembangan protokol dan instrumen legal lainnya yang didasarkan


atas temuan ilmiah. Deklarasi ini juga menginstruksikan kepada semua
perwakilan para pihak untuk mempercepat negosiasi terhadap teks
protokol.

Johannesburg, Afrika Selatan (2002)


Penyelenggaraan KTT Pembangunan Berkelanjutan (World Summit
on Sustainable Development) pada 2002 di Johannesburg, Afrika Selatan,
ditekankan pada plan of implementation, yang mengintegrasikan elemen
ekonomi, ekologi, dan sosial yang didasarkan pada tata penyelenggaraan
pemerintahan yang baik (good governance).
Dilahirkan kesepakatan komprehensif bidang kehutanan, yaitu,
dokumen Forest Principles (Non-Legally Binding Authoritative Statement of
Principles for a Global Consensus on Management, Conservation and
Sustainable Development of all Types of Forests). Kendatipun bukan
merupakan komitmen yang mengikat, dalam proses-proses internasional
bidang kehutanan, dokumen Forest Principles merupakan referensi utama
serta jiwa bagi kerjasama antar bangsa. (blm jelas masuk dKTT mana)
Isu sentral yang dibahas adalah, antara lain: menghidupkan kembali
komitmen politik pada tingkat paling tinggi mengenai pengelolaan hutan
berkelanjutan; peningkatan kontribusi sektor kehutanan dalam upaya
pengentasan
kemiskinan;
peningkatan
pertumbuhan
ekonomi;
peningkatan lapangan kerja; pembangunan pedesaan serta peningkatan
kesejahteraan umat manusia.
1. Pada akhirnya KTT Pembangunan berkelanjutan mengadopsi tiga
dokumen utama, yaitu:
2. Deklarasi Johannesburg yang menyatakan bahwa setiap negara
memikul tanggung jawab dalam pembangunan berkelanjutan dan
kemiskinan.
3. Rencana Aksi Johannesburg mengenai pembangunan berkelanjutan
(Johannesburg Plan of Implementation/JPOI).
4. Program kemitraan (partnership) antar pemangku kepentingan
dalam melaksanakan pembangunan berkelanjutan.

Protokol Kyoto

Protokol Kyoto adalah protokol kepada Konvensi Kerangka Kerja PBB


tentang Perubahan Iklim (UNFCCC atau FCCC), yang ditujukan untuk
melawan pemanasan global. UNFCCC adalah perjanjian lingkungan hidup
internasional dengan tujuan mencapai stabilisasi konsentrasi gas rumah
kaca di atmosfer pada tingkat yang akan mencegah gangguan
antropogenik yang berbahaya dengan sistem iklim.
Protokol awalnya diadopsi pada tanggal 11 Desember 1997 di Kyoto,
Jepang, dan mulai berlaku pada tanggal 16 Februari 2005. Pada April
2010, 191 negara telah menandatangani dan meratifikasi protokol.
Di bawah Protokol, 37 negara (negara-negara Annex)
berkomitmen pada pengurangan empat gas rumah kaca (GRK) (karbon
dioksida, metan, asam nitrat, heksafluorida belerang) dan dua kelompok
gas (hidrofluorokarbon dan perfluorokarbon) yang dihasilkan oleh mereka ,
dan semua negara anggota memberikan komitmen umum. Annex I negara
sepakat untuk mengurangi emisi gas rumah kaca mereka secara kolektif
sebesar 5,2% dari tingkat tahun 1990. batas Emisi tidak termasuk emisi
oleh penerbangan dan pelayaran internasional, tetapi selain gas industri,
chlorofluorocarbons, atau CFC, yang diatur di bawah tahun 1987 Protokol
Montreal tentang Bahan-bahan yang Merusak Lapisan Ozon.
Patokan tahun 1990 tingkat emisi diterima oleh Konferensi Para
Pihak UNFCCC (2/CP.3 keputusan) adalah nilai dari potensi pemanasan
global dihitung untuk Kedua IPCC Assessment Report.Angka-angka ini
digunakan untuk mengubah emisi gas rumah kaca ke berbagai setara CO2
sebanding (CO2-eq) ketika menghitung sumber secara keseluruhan dan
tenggelam.
Protokol memungkinkan beberapa mekanisme fleksibel, seperti
perdagangan emisi, mekanisme pembangunan bersih (CDM) dan
implementasi bersama untuk memungkinkan negara-negara Annex untuk
memenuhi pembatasan emisi gas rumah kaca mereka dengan membeli
pengurangan emisi gas rumah kaca kredit dari tempat lain, melalui bursa
keuangan, proyek yang mengurangi emisi di non-Annex I negara, dari
negara-negara Annex I lainnya, atau dari lampiran I negara-negara
dengan tunjangan kelebihan.
Setiap negara Annex I diwajibkan untuk menyerahkan laporan
tahunan persediaan dari seluruh emisi gas rumah kaca antropogenik dari
sumber dan penyerapan dari tenggelam di bawah UNFCCC dan Protokol
Kyoto. Negara-negara ini mencalonkan seseorang (disebut otoritas
nasional yang ditunjuk) untuk membuat dan mengelola persediaan gas
rumah kaca. Hampir semua non-negara-negara Annex juga membentuk
otoritas nasional yang ditunjuk untuk mengelola kewajibannya Kyoto,
khususnya proses CDM yang menentukan proyek mana yang GRK
mereka ingin mengusulkan untuk akreditasi oleh Badan Eksekutif CDM.

Pandangan
bahwa
aktivitas
manusia
kemungkinan
besar
bertanggung jawab atas sebagian besar peningkatan suhu rata-rata yang
diamati pada global (pemanasan global) sejak pertengahan abad ke-20
adalah sebuah refleksi akurat dari berpikir ilmiah saat ini (NRC, 2001, p. 3,
2008, p 2).. Manusia-induced pemanasan iklim diharapkan untuk terus
sepanjang abad ke-21 dan seterusnya (NRC, 2008, hal 2).IPCC (2007)
menghasilkan berbagai proyeksi masa depan apa peningkatan suhu ratarata
global
mungkin.
Proyeksi
membentang
berbagai
akibat
ketidakpastian sosial-ekonomi, misalnya, lebih dari gas rumah kaca di
masa mendatang (GRK) tingkat emisi, dan ketidakpastian yang berkaitan
dengan aspek ilmu fisik, misalnya, sensitivitas iklim. Untuk periode, waktu
2090-2099 diukur dari suhu rata-rata global pada periode 1980-1999,
yang mungkin rentang (sebagaimana dinilai memiliki probabilitas yang
lebih besar dari 66% menjadi benar, berdasarkan penilaian ahli) di enam
SRES penanda skenario emisi diproyeksikan sebagai peningkatan suhu
rata-rata global sebesar 1,1 hingga 6.4 C.Pertanyaan ilmiah apa yang
merupakan aman tingkat konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer telah
diminta (NRC, 2001, hal 4). Pertanyaan ini tidak dapat dijawab langsung
karena memerlukan pertimbangan nilai, misalnya, apa yang akan menjadi
risiko yang dapat diterima bagi kesejahteraan manusia. Secara umum,
bagaimanapun, risiko meningkat dengan kedua tingkat dan besarnya
perubahan iklim di masa depan.
Kyoto dimaksudkan untuk mengurangi emisi global gas rumah
kaca.Tujuan dari konferensi perubahan iklim Kyoto adalah untuk
membentuk perjanjian internasional yang mengikat secara hukum,
dimana semua negara peserta berkomitmen untuk menangani isu
pemanasan global dan emisi gas rumah kaca. Target disepakati adalah
pengurangan rata-rata 5,2% dari tingkat 1990 pada tahun 2012. Menurut
perjanjian itu, pada tahun 2012, negara-negara Annex harus telah
memenuhi kewajiban mereka terhadap pengurangan emisi gas rumah
kaca yang ditetapkan untuk periode komitmen pertama (2008-2012)
(tercantum dalam Lampiran B Protokol).

UNCSD KTT RIO DE JENEIRO 2012


Pertemuan ini diberi nama United Nations Conference on
Sustainable Developmnent (UNCSD) yang dilaksanakan kembali di Rio de
Jeneiro Brasil. KTT ini juga disebut dengan KTT Rio+20. Berdasarkan
website
resmi
Kementerian
Lingkungan
Hidup
(baca
pada
http://www.menlh.go.id/konferensi-pbb-untuk-pembangunanberkelanjutan-rio20-masa-depan-yang-kita-inginkan/), disampaikan hasilhasil dari KTT Rio+20, seperti tulisan berikut ini.
Selama sembilan hari mulai 13 22 Juni 2012, ribuan acara
diadakan menjelang dan selama Konferensi Tingkat Tinggi tentang

Pembangunan Berkelanjutan, di Rio de Janeiro, Brazil, yang selanjutnya


lebih dikenal dengan KTT Rio+20, yang merupakan konferensi PBB
terbesar yang pernah diselenggarakan dengan jumlah peserta sebanyak
29.373 orang yang terdiri dari para pemimpin Pemerintah, bisnis dan
organisasi kemasyarakatan, pejabat PBB, akademisi, wartawan dan
masyarakat umum (Delegasi sekitar 12.000 orang, LSM dan Kelompok
Utama 10.047 orang dan Media 3.989 orang).
KTT Pembangunan Berkelanjutan atau KTT Rio+20 diikuti oleh 191 negara
yang dihadiri 105 Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan dan 487
menteri. Delegasi Indonesia dipimpin oleh Presiden Republik Indonesia,
Susilo Bambang Yudhoyono, didampingi oleh sejumlah Menteri. Kehadiran
Presiden RI dan sejumlah Menteri menunjukkan keseriusan Indonesia
untuk menerapkan pembangunan berkelanjutan, termasuk kesiapan
peran kepemimpinan Indonesia dalam agenda global.
KTT Rio+20 menyepakati Dokumen The Future We Want yang
menjadi arahan bagi pelaksanaan pembangunan berkelanjutan di tingkat
global, regional, dan nasional. Dokumen memuat kesepahaman
pandangan terhadap masa depan yang diharapkan oleh dunia (common
vision) dan penguatan komitmen untuk menuju pembangunan
berkelanjutan (renewing political commitment). Dokumen ini memperkuat
penerapan Rio Declaration 1992 dan Johannesburg Plan of
Implementation 2002.
Dalam dokumen The Future We Want, terdapat 3 (tiga) isu utama
bagi pelaksanaan pembangunan berkelanjutan, yaitu: (i) Green Economy
in the context of sustainable development and poverty eradication, (ii)
pengembangan kerangka kelembagaan pembangunan berkelanjutan
tingkat global (Institutional Framework for Sustainable Development),
serta (iii) kerangka aksi dan instrumen
pelaksanaan pembangunan
berkelanjutan (Framework for Action and Means of Implementation).
Kerangka aksi tersebut termasuk penyusunan Sustainable Development
Goals (SDGs)post-2015 yang mencakup 3 pilar pembangunan
berkelanjutan secara inklusif, yang terinspirasi dari penerapan Millennium
Development Goals (MDGs).
Rio+20 ini menghasilkan lebih dari US$ 513 Milyar yang
dialokasikan dalam komitmen untuk pembangunan berkelanjutan,
termasuk di bidang energi, transportasi, ekonomi hijau, pengurangan
bencana, kekeringan, air, hutan dan pertanian. Selain itu terbangun
sebanyak 719 komitmen sukarela untuk pembangunan berkelanjutan oleh
pemerintah, dunia usaha, kelompok masyarakat sipil, universitas dan lainlain.

Bali (Desember 2007)

Dari konferensi di Nusa Dua, Bali, diharapkan dapat muncul langkah


dan tindakan yang lebih nyata guna mencegah perubahan iklim sebagai
dampak dari meningkatnya emisi gas rumah kaca nag cepat. Dalam
pembukaan konferensi, Ketua Konvensi Iklim PBB Yvo de Boer
mengungkapkan, dalam pembicaraannya terutama dibahas sebuah road
map bagi perjanjian mendatang. Jadi sebuah pedoman bagi perundingan
berikutnya.
Ditambahkannya: Dari pengalaman di tahun belakangan, kami
mengetahui, pembicaraan mengenai tema yang sulit seperti ini, hanya
dapat disebut sebagai perundingan yang berat. Saya punya harapan,
bahwa kami di Bali dapat mencapai terobosan bagi sebuah rencana
perundingan yang resmi. Saya yakin para peserta konferensi akan dapat
menangani tantangan yang digambarkan para pakar. Tugas yang kami
hadapi sangat besar.
Menteri Lingkungan Indonesia Rachmat Witoelar, sebagai ketua
Konferensi Iklim PBB di Bali, kepada para peserta konferensi
mengingatkan bahwa perubahan iklim merupakan elemen penting bagi
masa depan umat manusia. Ia mengungkapkan negara-negara
berkembang yang kurang berkontribusi dalam produksi emisi gas rumah
kaca, justru yang pada akhirnya paling terkena dampak perubahan iklim.

Negara-negara berkembang menanggung dampaknya yang besar,


terutama masyarakat miskin yang ada di dalamnya. Kepada semua pihak
Menteri Lingkungan Indonesia Rachmat Witoelar menyerukan untuk
mengetahui tema yang sangat mendesak. Dengan dasar langkah
perlindungan iklim, kita harus menyepakati sebuah perjanjian yang adil.
Menteri Lingkungan Rachmat Witoelar juga mengungkapkan sejumlah
gagasan yang diusulkan pemerintah Indonesia untuk membantu
mengatasi perubahan iklim, diantaranya program pengurangan emisi dari
deforestasi dan degradasi. Ia mengharapkan, dalam konferensi puncak
iklim PBB di Nusa Dua Bali ini, dapat dicapai kesepakatan bagi langkah
konkrit untuk melaksanakan proses adaptasi. Misalnya penyediaan dana
adaptasi serta alih tehnologi.
Sementara itu pelindung lingkungan menyerukan kepada delegasi
dari lebih 190 negara agar mengambil langkah yang konkrit untuk
menghentikan perubahan iklim. Meningkatnya panas bumi harus dibatasi
maksimal dua derajat Celsius. Demikian dikatakan pakar iklim dari
organisasi lingkungan Greenpeace Jerman, Gabriella von Goerne.
Ditambahkannya perubahan iklim yang terjadi saat ini sangat
dramatis.Peringatan yang sama juga disampaikan Direktur Progrann
Perubahan Iklim Global WWF, Hans Verolme.

Sementara itu, perubahan politik yang terjadi di Amerika Serikat dan


Australia, dua negara yang sampai sekarang tidak menandatangani
Protokol Kyoto, memberikan alasan untuk secara hati-hati bersikap
optimis. Amerika Serikat mengakui pentingnya usaha mencegah
perubahan iklim. Sedangkan pemerintah baru Australia menyatakan
merubah haluan dalam politik lingkungan. Dan akan menandatangani
protokol Kyoto.

Konferesi Paris (2015)


Paris Agreement merupakan kesepakatan historis untuk menyelamatkan
bumi dan umat manusia dari ancaman perubahan iklim. Setelah
kegagalan di COP-19 Copenhagen 2009, banyak orang skeptis bahwa
perundingan perubahan iklim secara multilateral tidak akan berhasil
melahirkan kesepakatan yang mengikat secara global. Namun Paris
membuktikan bahwa skeptisisme itu bisa disangkal.
Disepakatinya Paris Agreement hari ini menjadi bukti bahwa proses
perundingan multilateral masih ada dan semangat kolektif bangsa-bangsa
untuk memperjuangkan sesuatu yang bernilai (noble) bagi kemanusiaan.
Paris ternyata membawa energi yang mampu mendobrak perbedaan
kepentingan antara negara kaya dan negara miskin; antara negara maju
dan negara yang ekonominya sedang tumbuh. Semangat kerjasama
sedemikian kuatnya sejak sebelum Hari H, tetap terjaga sejak awal
perundingan, dan terbukti dengan pencapaian kesepakatan itu.
Presiden COP 21 Paris, Laurent Fabius (tengah) dan Sekretaris
Eksekutif UNFCCC, Christiana Figueres (tiga dari kiri) meluapkan
kegembiraannya setelah Paris Agreement disepakati sebagai keputusan
Konferensi Perubahan Iklim ke-21 pada sidang paripurna COP 21 di Paris,
Perancis pada Sabtu malam (12/12/2015) waktu setempat. Foto : UNFCCC
Presiden COP 21 Paris, Laurent Fabius (tengah) dan Sekretaris Eksekutif
UNFCCC, Christiana Figueres (tiga dari kiri) meluapkan kegembiraannya
setelah Paris Agreement disepakati sebagai keputusan Konferensi
Perubahan Iklim ke-21 pada sidang paripurna COP 21 di Paris, Perancis
pada Sabtu malam (12/12/2015) waktu setempat. Foto : UNFCCC
Paris agreement, pada intinya, merupakan kesepakatan yang
bersifat seimbang dan mengakomodasi kepentingan berbagai pihak:
negara-negara maju, Alliance of Small Island States (AOSIS), Least
Developed Countries (LDCs), dan negara-negara yang bergabung dalam
Like Minded Developing Countries (LMDCs). Dan tugas menyatukan
kepentingan-kepentingan yang berbeda itulah yang dianggap maha-berat.
Sehingga, ketika akhirnya tercapai kesepatakan yang bisa menjembatani
beragam kepentingan itu, dunia menyaksikannya sebagai sebuah
keajaiban, sebagaimana yang dinyatakan dalam kalimat pertama Monbiot
yang dikutip di atas.

Salah satu hal kunci terpenting dari kesepakatan ini adalah target
penurunan emisi 193 negara anggota UNFCCC yang dituangkan dalam
target agregat untuk mencegah kenaikan temperatur di bawah 2 derajat
Celsius, yang menuju pada 1,5 derajat C. Ini jelas bukan kesepakatan
yang mudah diterima dan gampang diimplementasikan. Untuk menuju
target tersebutsebagaimana yang telah diperhitungkan oleh banyak
pakar dan lembaga otoritatif dalam perubahan iklimsekitar 80% bahan
bakar fosil yang telah terbukti (proven resources) yang berada dalam
tanah harus tetap berada di dalam tanah. Kawasan hutan dan gambut
yang merupakan sumber utama simpanan karbon juga harus tetap terjaga
(intact), serta laju deforestasi harus ditekan menuju nol. Negara-negara
maju harus sampai pada puncak emisinya dalam waktu kurang dari 10
tahun sejak sekarang, sementara negara-negara berkembang harus
sampai pada puncak emisinya maksimal 15 tahun dari sekarang.

Sumber :
http://www.mongabay.co.id/tag/unfccc/
http://nationalgeographic.co.id/berita/2015/12/inilah-5-poin-penting-hasilkonferensi-perubahan-iklim
http://www.antaranews.com/berita/162863/ktt-perubahan-iklim-dari-rio-kekopenhagen
http://www.bbc.com/indonesia/dunia/2015/12/151212_dunia_iklim_perjanji
an
https://redrosela.wordpress.com/2014/12/10/ktt-bumi-dan-lingkungandari-masa-ke-masa/

Anda mungkin juga menyukai