Anda di halaman 1dari 32

MODUL – PERTEMUAN 13

KESEPAKATAN INTERNASIONAL TENTANG ENERGI TERBARUKAN

Disusun oleh Rosi Nuraeni (191010950059) dan Naufal Maliki (191010950064)

A. TUJUAN PEMBELAJARAN

Modul ini dibuat dengan tujuan menjelaskan mengenai kesepakatan internasional tentang
energi terbarukan sehingga dapat dipahami dengan baik dan jelas oleh pembaca.

B. URAIAN MATERI
1. Protokol Kyoto
Protokol Kyoto merupakan kesepakatan Negara-negara di dunia terkait dengan isu
lingkungan. Protokol Kyoto merupakan hasil dari konferensi lingkungan terkait dengan
pemanasan global yang diadakan di Kyoto Jepang. Protokol Kyoto dihasilkan dari
Conference of parties (COP) yang diadakan pada bulan desember tahun 1997. Protokol Kyoto
merupakan kesepakatan seluruh negara yang mengikuti konferensi tersebut, yang mana negara-
negara tersebut merupakan negara anggota PBB.

Protokol Kyoto mencakup kesepakatan antar negara yang diaplikasikan dalam tiga poin
penting dalam Protokol Kyoto. Pertama, Join Implementation (JI) poin mekanisme ini tertera
pada pasal 6 Protokol Kyoto yang menjelaskan kemungkinan dari negara yang menyepakati
Protokol Kyoto untuk mengurangi emisi GRK serta membatasi proyek yang banyak
menghasilkan emisi GRK. Dalam poin tersebut berarti seluruh negara diharuskan bekerjasama
dalam mengimplementasikan mekanisme pengurangan emisi GRK. Kedua, Clean Development
mechanism (CDM) poin mengharuskan Negara industri untuk memberikan kredit terhadap
Negara berkembang dalam project impementasi dari program protokol kyoto. Ketiga,
Perdagangan Emisi merupakan poin dalam Protokol Kyoto yang menjelaskan mengenai adanya
mekanisme dalam Protokol Kyoto yang mengatur mengenai perdagangan emisi antar negara. Hal
tersebut tertera dalam pasal 17 Protokol Kyoto yang mengeharuskan negara maju atau
negara yang menghasilkan emisi GRK yang melebihi kapasitas untuk membeli Gas yang
dihasilkan negara yang memiliki hutan tropis seperti indonesia untuk mengurangi emisi GRK.
Hal tersebut biasa dianggap sebagai pasar karbon yang memungkinkan negara berkembang
mendapat timbal balik dari industrialisasi yang dilakukan oleh negara maju yang menyebabkan
pemanasan Global.
Sebelum terbentuknya Protokol Kyoto, isu lingkungan telah dibahas dalam beberapa

konferensi penting terkait dengan isu lingkungan. Setelah berakhirnya perang dunia kedua

setidaknya terdapat beberapa konferensi tentang lingkungan, yang kemudian menghasilkan

Protokol Kyoto yang dianggap sebagai babak baru dari kesepakatan negara anggota PBB

dalam mengatasi dampak dari pemanasan global. Perjalanan panjang diplomasi

lingkungan merupakan modal utama dari terbentuknya Protokol Kyoto, yang mana

perjalanan diplomasi lingkungan tersebut dimulai dengan Konferensi Stokholm. Setelah

berakhirnya Perang Dunia II, terjadi perubahan dalam sistem hubungan internasional. Hal

tersebut dibuktikan dengan berubahnya LBB (Liga Bangsa Bangsa) menjadi PBB

(Perserikatan Bangsa Bangsa) pada tahun 1945. Keanggotaan PBB semakin meningkat sejak

didirikan pada tahun 1945 dari 51 anggota menjadi 132 anggota sebelum konferensi

Stokholm 1972, yang merupakan konferensi tentang isu lingkungan yang pertama setelah

berakhirnya Perang Dunia II.

Konferensi PBB mengenai Lingkungan Hidup Manusia (United Nation Conference on

Human Environment/ UNCHE) yang diadakan di Stockholm Swedia dari tanggal 5-16 Juni

1972, merupakan konferensi lingkungan pertama yang diselenggarakan oleh PBB, yang

kemudian menghasilkan sebuah Deklarasi yang biasa disebut sebagai Deklarasi

Stockholm. Konferensi Stockholm diadakan oleh PBB merujuk pada Resolusi Majelis

Umum PBB No. 2849 (XXVI) tanggal 20 Desember 1971. Konferensi Stockholm dihadiri

oleh 113 negara anggota PBB dan 400 peninjau dari berbagai kalangan. Pembukaan

Konferensi Stokholm menandai sebagai Hari Lingkungan Hidup Sedunia (World

Environmental Day). Selama Konferensi berlangsung, Konferensi Stokholm berlangsung

alot, di mana terdapat beberapa negara yang menentang hampir semua agenda yang dibahas

dalam konferensi tersebut. China merupakan salah satu negara yang menentang agenda

konferensi tersebut meskipun akhirnya China menerima keputusan konferensi. Melalui

perdebatan panjang dan melelahkan, antara negara maju dan berkembang, akhirnya

mengasilkan sebuah keputusan yang menjadi Deklarasi Stokholm, Isi Deklarasi Stockholm
adalah:

1. Deklarasi tentang Lingkungan Hidup Manusia atau yang lebih dikenal dengan

Deklarasi Stokholm, 1972. Deklarasi ini terdiri dari Pembukaan dan 26 asa.

2. Rencana Aksi (Action Plan) yang terdiri dari 109 rekomendasi termasuk 18

rekomendasi mengenai Perencanaan dan Pengelolaan Pemukiman Manusia.

3. Rekomendasi tentang Kelembagaan dan Keuangan untik menunjang Action Plan

yang terdiri:

- Dewan Pengurus UNEP, Dewan Pengurus ini berisi 58 negara yang dipilih setiap

4 tahun sekali. Dipimpin oleh seorang presiden Sekertariat yang dikepalai Direktur

Eksekutif, yang mana diplih oleh Majelis Umum PBB yang dinominasian oleh

Sekertariat General PBB dan bermarkas di Nairobi, Kenya.

- Dana Lingkungan Hidup, merupakan kesepakatan yang menjelaskan mengenai

pembentukan dana lingkungan dengan berdasarkan sistem PBB

- Badan koordinasi Lingkungan Hidup, dibentuk untuk menjamin kerja sama semua

badan-badan PBB terutama dalam mandat program- program lingkungan hidup

dunia.

4. Menetapkan tanggal 5 Juni sebagai Hari Lingkungan Hidup Sedunia

Beberapa bulan kemudian tepatnya pada 15 Desember 1972 hasil keputusan

konferensi disahkan melalui Sidang Majelis Umum PBB dalam Resolusinya No. 2997.

Dengan demikian tampaknya arah perkembangan isu lingkungan mulai ditata secara global

dan menjadi konsep yang jelas untuk meningkatkan kerja sama global maupun regional di

antara negera-negara maupun organisasi Internasional di bidang lingkungan hidup.

Pasca Perang Dingin Konferensi PBB mengenai isu lingkungan kembali dilaksanakan

di Rio de Jenero, konferensi tersebut disebut United Nation Conference on the Environment

and Development (UNCED). Konferensi Rio diselenggarakan pasca Perang Dingin yang

merupakan konferensi pertama yang terbesar dibandingkan dengan konferensi-konferensi

sebelumnya yang membahas mengenai isu lingkungan.29 Konferensi Rio biasa juga disebut
sebagai KTT Bumi yang dihadiri oleh seluruh anggota PBB. Hal tersebut berbeda dengan

konferensi Stokholm 1972 yang hanya dihadiri sebagian negara anggota PBB yaitu negara-

negara Barat dan sebagian negara-negara berkembang. KTT Bumi dilaksanakan dengan

dihadiri oleh 180 negara dan beberapa aktor non negara seperti NGO, Organisasi

internasional dan lainnya. Konferensi tersebut mensepakati sebuah kerjasama antar negara

terkait dengan isu lingkungan yang disebut UNFCCC (United Nation Framework

Convention on Climate Change).

Dalam KTT Bumi dibahas tentang perlunya kerangka aksi nyata dari seluruh negara

yang mengikuti konferensi tersebut. Penjelasan mengenai pemanasan global serta efek dari

pemanasan global menjadi perhatian utama dari konferensi tersebut. Sehingga dalam

konferensi tersebut membahas mengenai pentingnya kesadaran dari seluruh negara untuk

mengurangi emisi GRK serta perlunya peranan negara maju untuk dapat memimpin dalam

mewujudkan hal tersebut.30 Dalam KTT Bumi menyebutkan bahwa hasil dari KTT tersebut

memiliki rencana jangka pendek dan rencana jangka panjang. Rencana jangka pendek

diberlakukan khususnya kepada negara maju untuk dapat segera mengambil tindakan untuk

mengembalikan emisi GRK ke level 1990 pada tahun 2000 terutama untuk gas

karbondioksida yang merupakan salah satu gas yang terbanyak diatmosfer yang

menyebabkan pemanasan global. Hal tersebut berarti negara maju harus menurunkan kadar

emisi GRK sesuai dengan kadar emisi GRK pada tahun 1990 yang diterapkan pada tahun

2000. Rencana jangka pendek tersebut harus diupayakan agar kadar emisi GRK diatmosfer

dapat distabilisasi. Sedangkan rencana jangka panjang lebih terkait pada stabilisasi emisi

GRK di atmosfer terutama GRK agar dapat mengurangi dampak dari pemanasan global.

Setelah melalui pertemuan dan perdebatan terkait dengan Action plan jangka panjang dan

pendek yang dibahas dalam KTT Bumi, akhirnya dapat menghasilkan sebuah keputusan

dalam beberapa dokumen penting yaitu:

1. Rio Declaration on Environmental and Development yang merupakan kesepakatan


antar negara yang mengikuti konferensi tersebut.

2. Kerangka Kerja Konvensi PBB mengenai Perubahan Iklim (UNFCCC)

3. Konvensi PBB mengenai keanekaragaman hayati

4. Prinsip-prinsip kehutanan (Non-Legally Binding Authoritative statementof priciples

for a global concensus on the management, Conservation and Suitainable

Development of all type of forest)

Setelah berakhirnya KTT Bumi, kemudian tercipta dasar-dasar hubungan

internasional baru dan perubahan sistem lama mengenai keamanan kolektif yang terbentuk

atas dasar ideologi, konfrontasi bersenjata dan kekhawatiran akan terjadinya perang dunia,

telah bergeser dan berubah menjadi ancaman keamanan akibat ketidakadilan ekonomi dan

kerusakan ekologi. Namun hal terpenting adalah KTT ini telah memberikan ide,

pandangan, gagasan, harapan, dan aspirasi. Setelah KTT ini diperlukan tindakan-tindakan

lanjutan dalam berbagai tingkatan, yaitu tingkat internasional, regional maupun nasional

hingga lokal. Berbagai tindakan lebih lanjut dilaksanankan yang kemudian terbentuknya

Commission on Suitable Development (COSD), berdasarkan Resolusi Majelis Umum PBB

No.47/191 tahun 199232.

Dalam Konferensi Tingkat Tinggi Bumi yang diadakan di Rio de Jenero yang

mempertemukan para pemimpin negara di dunia. Konvensi tersebut bertujuan untuk

menstabilkan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) agar tidak membahayakan iklim di bumi.

Negosiasi-negosiasi dilaksanakan melalui konferensi berbagai pihak atau Conference of

Parties (COP).

Conference of Parties pertama kali diselenggarakan di Berlin Jerman pada tahun

1995. Konferensi yang diselenggarakan pada tanggal 28 Maret s/d 7 April tersebut

membahas mengenai Germany Mandate yang merupakan sebuah konsep awal sebuah

protokol, yang kemudian diresmikan sebagai Protokol Kyoto tiga tahun kemudian.33 Pada

COP1 yang deselenggarakan di Berlin, Jerman tersebut membahas mengenai penanganan


emisi terkait dengan isu adanya ketidakadilan antara negara maju dan negara berkembang

dalam isu lingkungan. Isu yang dibahas kemudian adalah mengenai perlunya transfer

tekhnologi dari negara maju terhadap negara berkembang. Tehknologi yang ramah

lingkungan dianggap perlu untuk diketahui oleh seluruh negara, baik negara maju maupun

negara berkembang. Hal tersebut dikarenakan, agar dapat terjadinya proyek pembersihan

lingkungan yang berkelanjutan yang diikuti oleh seluruh negara.

Conferense of Parties II diadakan di Geneva, Swiss (8-19 July 1996). COP2

membahas mengenai persiapan para delegasi untuk membuat sebuah Protokol yang

kemudian dinamakan sebagai Protokol Kyoto. Ini merupakan objek utama dalam

mengidentifikasi pengurangan emisi GRK dan melibatkan seluruh Negara. Penurunan

emisi GRK lebih difokuskan kepada negara-negara Annex 1, yaitu sebagai berikut: Annex I

Australia Denmark Iceland Malta

Austria Estonia Irlandia Monaco**

Balarus** Uni Eropa Itali** Belanda

Belgia Finlandia Jepang Selandia Baru

Bulgaria Prancis Latvia Norwegia

Kanada Jerman Liechtenstein Polandia

Kroasia** Yunani Lithuania Portugal

Republik Ceko** Hungaria Luxemburg Romania

Federasi Rusia** Slowakia** Slovenia** Spanyol

Swedia Swiss Turki** Ukraina

Inggris dan Irlandia Amerika Serikat

Utara

** Negara Observer atau negara Peninjau


Protokol Kyoto dibentuk pada pelaksanaan Conference of Parties (COP III) di

Kyoto, Jepang, pada bulan Desember 1997, sebagai tindak lanjut dari implementasi tujuan

konvensi kerangka kerja tentang perubahan iklim (UNFCCC)34. Tujuan utamanya dari

Konvensi adalah untuk mencapai stabilisasi dari konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer

pada tingkat yang berbahaya anthropogenic akan mencegah gangguan pada sistem iklim.

Tingkat tersebut harus dicapai dalam waktu yang cukup untuk membolehkan ekosistem

alami untuk menyesuaikan diri terhadap perubahan iklim, untuk memastikan bahwa

produksi makanan tidak terancam dan untuk mengaktifkan untuk melanjutkan

pembangunan ekonomi secara berkelanjutan.

Di dalam konferensi para pihak ketiga (COP III) di Kyoto, Jepang, disepakati

adanya sebuah tata cara penurunan emisi GRK yang dikenal dengan Protokol Kyoto (Kyoto

Protocol). Protokol Kyoto adalah sebuah amandemen terhadap Konvensi Kerangka

Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC) . Negara-negara yang meratifikasi protokol

ini berkomitmen untuk mengurangi emisi GRK antropogenik yang meliputi CO2, CH4,

N2O, HFC, PFC dan SF6 atau bekerjasama dalam perdagangan emisi jika mereka menjaga

atau menambah jumlah emisi gas-gas tersebut, yang telah dikaitkan dengan pemanasan

global.

Di dalam Protokol Kyoto telah disepakati jadwal dan target penurunusan emisi

GRK oleh negara maju, negara maju diminta untuk menurunkan emisi GRK sebesar 5

persen dari tingkat emisi 1990 pada tahun 2008-2012. Kelompok negara maju dalam

Protokol Kyoto disebut dengan annex 1 harus menurunkun emisi GRK yang telah

diproduksinya. Penurunan emisi GRK harus sesuai dengan mekanisme fleksibel yang

tertera dalam Protokol Kyoto. Protokol Kyoto memiliki tiga mekanisme yang kemudian

harus diikuti oleh negara-negara yang meratifikasi Protokol tersebut35. Join implementation,

Emision Trading, dan Clean Development Mechanisme merupakan kegiatan dalam

mekanisme Kyoto yang harus dilaksanakan oleh seluruh negara yang meratifikasi Protokol
Kyoto.

A. Mekanisme Protokol Kyoto

Awal bulan Desember 1997 merupakan sejarah baru bagi diplomasi lingkungan.

Lebih dari 100 negara di dunia menghadiri COP3 yang diselenggarakan di Kyoto, Jepang.

Konferensi negara anggota PBB yang membahas tentang isu lingkungan terutama isu

pemanasan global, yang menjadi tema utama dalam konferensi tersebut. Penurunan emisi

GRK merupakan poiin penting yang dibahas, yang kemudian disepakati dalam bentuk

protokol yang disebut Protokol Kyoto. Dalam Protokol Kyoto terdapat tiga mekanisme

penting dalam rangka mewujudkan tujuan dari Protokol Kyoto. Tiga mekanisme tersebut

adalah Joint Implementation (JI), Emision Trading dan Clean Development Mechanisme.

Tiga mekanisme tersebut yang menjadi pilar utama dari negosiasi-negosiasi antar negara

terkait isu lingkungan.

B. Perdagangan Emisi (International Emision Trading/ IET)

Perdagangan emisi merupakan salah satu dari tiga poin mekanisme Protokol Kyoto.

Perdagangan emisi tertera pada pasal 17 dari Protokol Kyoto36. Dalam pasal tersebut

dijelaskan mengenai perdagangan emisi antar negara yang tergabung dalam annex B. Pasal

tersebut menjaelaskan bahwa antar negara annex B yang tertera dalam Protokol Kyoto dapat

saling menjual atau membeli emisi guna menstabilkan kadar emisi GRK di dalam atmosfer.

Annex B beranggotakan negara-negara Eropa Tengah dan sebagian Eropa Timur serta

bebereapa negara pecahan Uni Soviet. Perdagangan Emisi bukan merupakan sebuah

mekanisme yang memiliki landasan proyek seperti mekanisme lainnya, yaitu Join

Implementation atau Clean Development Mechanisme.

Perdagangan emisi tertera pada artikel ke-3 paragraf 10 dan 11 dalam Protokol

Kyoto. Dalam artikel tersebut dijelaskan bahwa berapa emisi yang dikurangi atau berapa

bagian jumlah emisi yang dihasilkan. Berarti dalam mekanisme ini terdapat aturan dalam
penjualan emisi yang mengharuskan keseimbangan dalam emisi antar penjual emisi dan

pembelinya. Hal tersebut berarti dalam perdagangan emisi harus ada stabilisasi antar

penjual dan pembeli emisi agar kadar emisi GRK dalam atmosfer tetap stabil. Pada awalnya

perdagangan emisi merupakan mekanisme yang alot dibahas saat pembentukkan Protokol

Kyoto. Negara-negara Eropa merupakan kelompok yang mengajukan ide mengenai

perdagangan emisi guna mengurangi emisi GRK dalam atmosfer yang menyebabkan

pemanasan global. Perdagangan emisi banyak menimbulkan pertanyaan yang menyebabkan

deadlocknya pembahasan mengenai mekanisme tersebut. Kendala yang dihadapi dalam

pembentukan perdagangan emisi adalah perdagangan emisi kurang signifikan dalam usaha

untuk mengurangi emisi serta dianggap belum tentu dapat mengurangi emisi GRK.38 Akan

tetapi, pada tahun 2001 Uni Eropa sebagai penggagas ide perdagangan emisi tetap

meresmikan mekanisme tersebut diwilayah Eropa yangmeliputi anggota Annex B.

Perdagangan emisi dalam implementasinya harus memperhatikan stok emisi negara

yang membeli atau menjual emisi. Hal tersebut diperlukan karena dikhawatirkan terdapat

pihak yang terlalu banyak menjual emisi untuk kepentingan nasionalnya, sehingga kadar

emisi di negaranya tidak diperhatikan.39 Jadi solusi yang kemudian dikeluarkan adalah

setiap negara yang menjual emisi harus memiliki cadangan emisi sekitar 90 persen dari

keseluruhan emisi yang dimilikinya. Hal tersebut dilakukan untuk mengontrol

ketidakstabilan kadar emisi dalam atmosfer, yang mana tujuan utama dari perdagangan

emisi tersebut adalah untuk menstabilkan emisi GRK atau mangurangi kadar emisi GRK

dalam atmosfer yang dapat menyebabkan pemanasan global.

C. Implementasi Bersama (Join Implementation/ JI)

Dalam beberapa pertemuan Komite Negoisasi Antar Pemerintah (Intergovermental

Negotiating Commite, INC) menjelang COP 1 pada tahun 1995, telah dibicarakan mengenai

mekanisme Joint Implementation (JI). JI merupakan usulan dari Norwegia, yang mana

dimaksudkan agar seluruh negara turut serta dalam mengatasi pemanasan global.40

Perundingan mengenai Joint Implementation tidak begitu lancar, dikarenakan adanya


penolakan dari beberapa negara. Negara anggota OPEC menolak adanya mekanisme Joint

Implementation, karena mekanisme tersebut dianggap tidak akan efektif dan dapat

menyebabkan negara-negara maju menolak menandatangani Protokol Kyoto. Selain negara

anggota OPEC, China dan India juga menolak mekanisme tersebut dan berharap kelompok

G77+China akan kompak untuk bersama-sama menolak mekanisme Joint Implementation,

sebagai mekanisme yang harus diikuti oleh negara- negara berkembang. G77+China

merupakan sebutan bagi kelompok negara berkembang yang mengikuti konferensi

pembentukan Protokol Kyoto.

Joint Implementation (JI) merupakan proyek dari Protokol Kyoto terkait penurunan

emisi GRK. Proyek tersebut tertera pada artikel ke-6 dalam Protokol Kyoto, bahwa

kelompok Annex 1 dapat mengimplementasikan proyek ERUs (Emission Reduction Units)

dengan kelompok Annex 1 lainnya.41 Melalui Proyek Joint Implementation negara-negara

Annex 1 dapat mengurangi masing-masing 1 Ton CO2, yang merupakan salah satu target

dari Protokol Kyoto. Proyek JI harus memberikan pengurangan yang signifikan dari sumber

atau emitor. Sehingga proyek tersebut dapat dilaksanakan mulai tahun 2000 jika telah sesuai

dengan prosedur yang ada. Akan tetapi pada dasarnya proyek ERUs mulai efektif

dilaksanakan pada tahun 2008.

Dalam implementasi proyek Joint Implementation, terdapat dua prosedur yang

dapat dilakukan yaitu Track One atau Track Two.42 Prosedur pertama atau Track One

menyebutkan bahwa, jika host parties dari proyek Joint Implementation (JI) telah

memenuhi semua persyaratan untuk mentransfer atau menerima proyek Emision

Reduction Units (ERUs) diharuskan untuk memverivikasi proyek tersebut atau

meningkatkan pembersihan sesuai dengan proyek JI. Hal tersebut dimaksudkan sebagai

tambahan jika proyek tersebut berjalan sebaliknya. Hal tersebut juga dimaksudkan agar

adanya penyesuaian proyek Join Implementation dengan peraturan nasional dari negara

yang memverivikasi proyek JI, yang kemudian menseleksi setiap proyek agar sesuai

dengan target ERUs. Prosedur kedua atau Track Two, jika terjadinya kekurangan dalam
melengkapi persyaratan dari proyek Join Implementation (JI). Maka, proyek tersebut

harus diverifikasi dibawah aturan dari Komite Pengawas dari proyek Joint

Implementation (Joint Implementation Supervisory Commite, JISC). Dalam prosedure

kedua ini JISC bertugas untuk menentukan relevansi dari persyaratan yang telah dipenuhi

oleh negara yang akan mentransfer dan menerima proyek ERUs. Sehingga sebelum

dilaksanakannya proyek ERUs komite pengawas atau JISC telah memverifikasi bahwa

negara tersebut telah siap untuk melaksanakan proyek ERUs.

Proyek ERUs yang terdapat dalam mekanisme JI pada dasarnya tidak dapat

diterima sepenuhnya oleh negara berkembang. Karena proyek tersebut hanya antar

negara maju, sedangkan negara berkembang kurang berperan dalam proyek tersebut. Hal

tersebut dibuktikan dengan proyek tersebut cenderung ditujukan kepada negara-negara

eropa timur yang notebene merupakan negara yang sedang dalam masa transisi

dari negara berkembang menuju negara maju. Sedangkan di wilayah Asia hanya

sedikit memperpoleh jatah proyek ERUs, sehingga mekanisme JI sedikit terhambat oleh

faktor-faktor tersebut.

a.Clean Development Mechanism (CDM)

CDM adalah sebuah usulan mekanisme fleksibel Protokol Kyoto yang muncul

secara tiba-tiba ketika pertemuan yang membahas Protokol Kyoto hendak ditutup pada

tanggal 11 Desember 1997 atau sehari setelah mengalami pengunduran dari waktu

penutupan yang direncanakan. CDM muncul kepermukaan diawali oleh proposal yang

diajukan oleh delegasi dari negara Brazil. Proposal tersebut terkait dengan dana yang

dapat digunakan untuk mitigasi dan adaptasi perubahan iklim oleh negera-negara

berkembang. Dana tersebut dikenal Clean Development Fund, yang mana dana tersebut

diperoleh dari denda dari Negara-negara Annex 1 yang tidak taan dalam memenuhi

komitmennya untuk mengurangi emisi Gas Rumah Kaca43. Besarnya dana yang

dikeluarkan berdasarkan nilai tertentu per ton emisi yang dihasilkan yang melebihi jatah

yang seharusnya. Sehingga semakin seringnya terjadi kelebihan batas emisi, maka
semakin besar juga dana yang dapat dimanfaatkan untuk menanggulangi perubahan

iklim tersebut mendapat dukungan dari Negara-negara berkembang seperti China, India

dan Negara-negara kepulauan kecil. Akan tetapi hal tersebut berbanding terbalik dengan

sikap Negara Annex 1 yang merupakan kelompok dari Negara-negara maju. Penolakan

tersebut dikarenakan Negara maju merasa seperti dihakimi oleh kesalahan-kesalahannya

dan diharuskan membayar denda jika melakukan kesalahan.

Pada dasarnya Negara Annex 1 tidak menolak sepenuhnya proposal tersebut,

seperti Amerika serikat yang kemudian tertarik untuk menggodok konsep tersebut.

Sampai pada akhirnya China mengusulkan sebuah mekanisme berkelanjutan yang dapat

secara nyata mengurangi emisi GRK. Pada saat itulah ide tantang Clean Development

Mechanism muncul dan diterima oleh seluruh Negara, karena CDM dianggap lebih

fleksibel dalam aplikasi dari konsep mekanisme tersebut. CDM juga merupakan satu-

satunya mekanisme dalam Protokol Kyoto yang dapat diikuti oleh seluruh Negara, baik

Negara maju maupun Negara berkembang.

Mekanisme CDM tertera pada artikel ke-12 dalam Protokol Kyoto. Clean

Development Mechanism merupakan mekanisme yang dapat diiikuti oleh semua negara.

Hal tersebut sesuai dengan tujuan dari mekanisme CDM.44 Terdapat tiga tujuan utama

dari terbentuknya CDM, pertama memberikan kesempatan kepada negara non Annex 1

dalam mencapai perkembangan dalam konteks perubahan iklim. Kedua, untuk

mengkontribusi objek-objek penting yang terdapat dalam UNFCCC. Ketiga, memberikan

tanggung jawab kepada seluruh negara termasuk negara-negara Annex 1 dalam

berkontribusi dalam pengurangan emisi GRK, serta berkomitmen sesuai dengan

peraturan yang tertera pada Protokol Kyoto.

CDM merupakan mekanisme yang paling efektif yang dapat diterima

dibandingkan dua mekanisme lainnya, yaitu Emision Trading dan Joint Implementation.

Hal tersebut dikarenakan konsepnya yang lebih fleksibel dan kompetitif. Alasan tersebut
berkaitan dengan faktor ekonomi negara-negara yang memmverifikasi Protokol Kyoto,

terutama bagi negara maju dalam Annex 1. Bagi negara maju mekanisme dianggap lebih

kompetitif dan murah dibandingkan konsep Join Implementation yang hanya melibatkan

negara Annext 1. Anggaran yang tidak begitu mahal terkait penurunan emisi GRK

membuat negara maju menerima mekanisme tersebut. Selain itu dalam mekanisme

tersebut negara berkembang juga dapat turut serta dalam upaya penurunan emisi GRK. 45

Hal tersebut dikarenakan negara berkembang akan memperoleh suntikan dana yang

cukup besar untuk dapat menjalankan proyek mengurangi emisi GRK. Dana tersebut

diperoleh dari investasi negara maju untuk mengimplementasikan proyek pengurangan

emisi, yang kemudian negara berkembang juga memperoleh keuntungan dengan adanya

transfer tekhnologi dari negara maju ke negara berkembang yang terkait dengan

teknologi dalam menanggulangi perubahan iklim.

CDM yang merupakan mekanisme yang dapat diikuti oleh negara berkembang

dan negara maju. Akan tetap, pada dasarnya terdapat beberapa persyaratan bagi negara

maju dan berkembang untuk dapat memenuhi kriteria negara yang dapat menjalankan

mekanisme tersebut. Persyaratan bagi negara berkembang adalah sebagai berikut:

- Memiliki otoritas nasional yang ditunjuk untuk mengimplementasikan proyekCDM

- Menjadi anggota atau pihak Protokol Kyoto dengan cara meratifikasi Protokol tersebut.

Sedangkan persyaratan bagi negara maju adalah sebagai berikut:


- Jatah emisinya telah dihitung dan dicatat sesuai dengan modalitas perhitungan yang

berlaku (pasal 3.7 dan 3.8)

- Memiliki sistem nasional tentang pendugaan emisioleh sumber dan penyerapan oleh

rosot (pasal 5.1)

- Memiliki pencatatan nasional (pasal 7.4)

- Menyampaikan inventarisasi tahunan tantang emisi GRK antropogenik olehsumber dan

penyerapan rosot (pasal 5.2 dan 7.1)

- Tetap bertanggung jawab dalam melakukan kewajibannya meskipun


menyerahkan kegiatannya kepada publik atau pihak swasta

Bagi pihak yang tidak memenuhi persyaratan tersebut, keabsahan dalam

mengimplementasikan proyek CDM ditangguhkan dan diumumkan oleh sekertariat

UNFCCC. Sebaliknya jika negara tau peserta proyek CDM telah memenuhi persyaratan,

maka negara tersebut dapat menunjuk pengembang atau peserta proyek yang mewakili

kedua belah pihak. Proyek yang dijalankan harus pada sektor yang merupakan sumber dari

penghasil emisi GRK, seperti industri, transportasi, pengelolaan limbah organik, pertanian

dan sektor lainnya yang merupakan sumber penghasil emisi GRK.

D. Action Plan dan Target Protokol Kyoto

Protokol Kyoto merupakan rezim baru dalam dunia internasional yang terkait

dengan isu lingkungan, terutama dalam hal mengontrol emisi GRK. Protokol Kyoto pada

dasarnya dibuat untuk membatasi emisi Gas Rumah Kaca (GRK) yang dikeluarkan oleh

Negara-negara annex 1. Negara-negara Annex 1 merupakan kelompok dari Organization

for Economic Coorporation and Development (OECD), yang mana beranggotakan dari

Negara-negara maju ditambah dengan beberapa Negara Eropa Timur dan Negara-negara

pecahan Uni Soviet. Dalam Protokol Kyoto dijelaskan bahwa Negara yang termasuk

dalam Annex 1 secara individu atau bersama-sama harus mengurangi emisi GRK sebesar

5 persen dari standarisasi level emisi pada tahun 199047. Protokol Kyoto memiliki target

pengurangan emisi secara berkala dimulai tahun 2008 sampai masa habisnya Protokol

Kyoto pada tahun 2012. Dalam memenuhi target tersebut Protokol Kyoto memiliki

beberapa Action Plan yang harus diikuti oleh seluruh Negara yang meratifikasi Protokol

Kyoto.

Program aksi dari Protokol Kyoto berdasarkan mekanisme yang telah disepakati dalam

isi dari Protokol Kyoto. Join Implementation, Emision Trading dan Clean Development

Mechanism merupakan tiga mekanisme yang tertera dalam Protokol Kyoto. Program Aksi
dari mekanisme Protokol Kyoto tersebut dimulai tahun 2005 dan dapat berjalan efektif

pada tahun 200848. Hal tersebut dikarenakan, terdapat beberapa negara yang baru

meratifikasi Protokol Kyoto, sehingga memerlukan persiapan untuk menjalankan Proyek

mekanisme Protokol Kyoto antara tahun meratifikasinya seperti Indonesia tahun 2004

kemudian dapat mempersiapkan proyek yang dilaksanakan pada tahun 2008. Akan tetapi

bagi negara yang memang sudah siap untuk menjalankan proyek tersebut dapat memulai

proyek dari tahun 2005. Proyek-proyek penurunan emisi GRK merupakan program aksi

yang utama dalam Protokol Kyoto. Hal tersebut terlihat dari ketiga mekanisme

Protokol Kyoto yang memiliki tujuan yang sama, yaitu mereduksi emisi GRK yang

menyebabkan pemanasan Global. Pada tahun 2002 Protokol Kyoto memiliki Program

aksi, yang mana dalam program aksi tersebut dijalankan untuk mengkalkulasi kadar

karbon dioksida CO2 dalam setiap rumah. Hal tersebut dimaksudkan agar dalam

penghitungan kadar emisi GRK dapat lebih mendetail dan lebih jelas. Sehingga dapat

memberikan kesadaran kepada seluruh masyarakat internasional untuk dapat mengurangi

emisi GRK dari rumah masing-masing atau dari gaya hidupyang telah dijalani.

Dalam Program Aksi dari Protokol Kyoto fokus kepada pengurangan emisi GRK.

Beberapa jenis gas yang menyebabkan pemanasan global adalah sebagai berikut:

 Methane (CH4)

 Nitrous oxide (N2O)

 Hydrofluorocarbons (HFCs)

 Carbon dioxide (CO2)

 Perfluorocarbons (PFCs)

 Perfluorokarbon (PFC)

 Sulphur hexafluoride (SF6)

Target penurunan emisi GRK tersebut merupakan tujuan dari program aksi

Protokol Kyoto. Program aksi yang diterapkan dalam proyek mekanisme Protokol Kyoto,
yang mana proyek tersebut meliputi alih tekhnologi, pengurangan emisi GRK serta riset

terkait perkembangan perubahan iklim yang menjadi program utama dari Protokol Kyoto.

Dari program aksi tersebut dapat dilihat peranan dari Negara-negara di dunia dalam

mengurangi dampak dari pemanasan global. Hal tersebut juga menjadi menarik ketika

Indonesia sebagai Negara yang memiliki hutan tropis terbesar kedua di dunia, berperan aktif

dalam beberapa konferensi lingkungan terutama Protokol Kyoto.

2. Protokol Montreal

Pada tahun 1985, Konvensi Wina telah menetapkan mekanisme internasional untuk

bekerja sama untuk melakukan riset mengenai lapisan ozon dan efek dari bahan kimia yang

merusak ozon. Dan berdasarkan Konvensi Wina, 20 negara dan tiga nongovernmental

organizations (NGOs) mulai bernegosiasi tentang permasalahan lapisan ozon ini selama

seminggu pada tahun 1986 dan pada September 1987 sebanyak 60 delegasi dari seluruh

dunia menandatanganinya bersama, dan perjanjian ini dinamakan Protokol Montreal.

Protokol Montreal mengenai Bahan Kimia yang Merusak Lapisan Ozon (The Montreal

Protocol on Substances That Deplete The Ozone Layer) ini disetujui pada tanggal 6

September 1987 di Headquarters of the International Civil Aviation Organization, di

Montreal, Kanada.

Perjanjian ini memaksa negara-negara untuk dapat menghilangkan secara bertahap

penggunaan bahan-bahan dan substansi kimia yang merusak lapisan ozon. Substansi-

substansi yang merusak ini dapat dengan mudah kita temukan dalam penggunaan

refrigerator, air conditioner, alat pemadam kebakaran, produksi aerosol, dan pembuatan

foam.

Protokol Montreal telah dikenal sebagai salah satu perjanjian tentang perlindungan

lingkungan yang paling sukses. Protokol ini berhasil diratifikasi oleh 97 negara dan

mengikat mereka dalam upaya meminimalisir dan memperlambat laju pengrusakan ozon.
Pemerintah Indonesia sendiri telah ikut meratifikasi Protokol Montreal dan Konvensi Wina

melalui Kepprer No. 23 Tahun 992 tentang Pengesahan Konvensi Wina dan Protokol

Montreal. Protokol Montreal menetapkan jadwal yang wajib dilaksanakan untuk

mengilangkan tahap demi tahap substansi-substansi yang merusak ozon. Jadwal ini

mengikat baik negara maju dan negara berkembang, serta selalu diperiksa dan

dikembangkan secara regular mengikuti kesesuaian perkembangan teknologi dan sains.

Target dari perjanjian ini adalah untuk mengurangi 96 senyawa kimia yang telah digunakan

secara umum.

Protokol ini tidak hanya bereaksi atas hal yang benar-benar telah terjadi, namun

juga pada aksi prefentif dalam skala global. Protokol ini telah diperkuat dengan lima kali

amandemen. Amandemen London pada tahun 1990, Copenhagen pada tahun 1992, Wina

pada tahun 1995, Montreal pada tahun 1997, dan Beijing pada tahun 1999. Dan

amandemen-amandemen ini menghasilkan jadwal bertahap yang baru serta menambah

substansi-substansi perusak baru dalam daftar substansi perusak ozon yang diatur dalam

Protokol Montreal.

Berdasarkan amandemen London pada tahun 1990, dibuatlah Multilateral Fund

yang menyokong dana dalam kegiatan Protokol Montreal ini. Multilateral Fund dibawahi

oleh United Nation Environment Program (UNEP) dan secara langsung berhubungan

dengan Executive Comitte.

Protokol Montreal Sebagai Upaya Negara dalam Menjaga Lingkungan

Pada akhir tahun 1920-an, sistem pendingin dan pengatur udara menggunakan

bahan kimia seperti amonia, klorometana, propana dan sulfur oksida sebagai bahan

pendingin. Walaupun efektif, bahan-bahan kimia tersebut bersifat racun, mudah terbakar

dan dapat menyebabkan penyakit dan kematian yang cukup serius. Thomas Midgley, Jr. dan

Albert L. Henne mengembangkan suatu bahan yang menggabungkan fluor dan hidrokarbon
menjadi Chlorofluorocarbon atau yang lebih dikenal dengan CFC. “Freon” yang merupakan

merek dagang menjadi sebutan umum untuk CFC. Pada tahun 1974, dua orang ilmuwan

yang bernama Sherwood Rowland dan Mario Molina dari University of California

menyampaikan hasil penelitian yaitu bahwa bahan kimia CFC dapat menguraikan ikatan

molekul ozon yang berada di statosfir. Lapisan ini berguna untuk melindungi permukaan

bumi dari bahaya radiasi ultraviolet yang berasal dari sinar matahari.

Penipisan lapisan ozon dapat berdampak negatif terhadap kehidupan manusia,

karena dapat menyebabkan pe rubahan metabolisme sel tumbuhan maupun hewan dan dapat

merusak material genetik. Di alam, adanya peningkatan radiasi UV-B yang berlebihan akan

dapat mempengaruhi reaksi kimia atmosfer yang dapat memicu terjadinya hujan asam dan

pemanasan global. Salah satu akibat negatif dari makin menipisnya lapisan ozon adalah

gangguan kesehatan yang berupa katarak mata, kanker kulit dan menurunnya efek imunitas

tubuh. Menurut US EPA (20) paparan sinar UV-B dapat menyebabkan kerusakan kumulatif

terhadap sistem mata, karena dapat merusak kornea mata, selain itu juga dapar

menyebabkan terjadinya katarak mata. Penggunaan kaca mata hitam (sunglasses) sangat

disarankan pada saat matahari bersinar sangat terang.

Pada penelitian yang dilakukan di Kota Makassar pada tahun 2009- 2010, diperoleh

hasil bahwa pada lokasi dengan paparan UV yang rendah mempunyai kecenderungan

prevalensi katarak yang lebih kecil dibandingkan dengan daerah yang mendapatkan paparan

UV yang tinggi. Penurunan risiko pada paparan UV rendah mencapai 30%. Kemudian pada

daerah dengan lokasi yang terpapar sinar UV pada kadar yang rendah memiliki faktor

proteksi terhadap katarak hingga kurang lebih 40%. Namun demikian, perlu juga dilihat

adanya faktor lain yang mempengaruhi prevalensi kasus katarak mata ini. Pemanasan global

merupakan salah satu permasalahan lingkungan global yang saat ini menjadi isu paling

hangat seiring dengan makin menghangatnya bumi akibat pemanasan global. Ozon

mempengaruhi iklim, dan iklim mempengaruhi ozon. Suhu, kelembaban, angin, dan adanya
bahan kimia lainnya yang berpengaruh dalam pembentukan ozon atmosfer, dan kehadiran

ozon, merupakan hal-hal yang dapat mempengaruhi ruang atmosfer.

Interaksi antara ozon dan iklim telah menjadi subyek diskusi sejak awal 1970-an

ketika para ahli menyatakan bahwa bahan kimia buatan manusia dapat menguraikan ikatan

molekul ozon. Gambar 2. menunjukkan kaitan antara penipisan ozon dan perubahan iklim.

Ozon berdampak pada iklim terutama terkait dengan perubahan suhu. Semakin banyak ozon

yang ada di kantung udara, maka panas yang ada tetap bertahan. Ozon menghasilkan panas

di stratosfer, baik yang berasal dari absorpsi radiasi ultraviolet matahari maupun hasil

serapan radiasi infrared di troposfer. Akibatnya, ozon stratosfer makin menurun pada suhu

yang makin rendah.

Hasil pengamatan menunjukkan,selama beberapa dasawarsa terakhir sudah terjadi

pendinginan sebesar 1 °C sampai 6 °Cpada jarak 30 hingga 50 kilometer di atas permukaan

bumi. Proses penurunan suhu di stratosfer berlangsung bersamaan dengan makin

meningkatnya emisi gas rumah kaca di lapisan troposfer. Penipisan lapisan ozon dan

pemanasan global mempunyai kaitan yang sangat erat mencakup masalah ilmiah, teknologi

maupun dampaknya. Peningkatan temperatur permukaan bumi menyebabkan turunnya

temperatur lapisan stratosfir, sehingga dapat memperlambat pemulihan lapisan ozon.

Ilmuwan NASA memperkirakan bahwa terjadinya pemanasan global dapat

memperlambat pemulihan lapisan ozon 18 tahun dari perkiraan semula tahun 2050 menjadi

2068. Bahan-bahan perusak ozon seperti CFC, HCFC, Halon, dan Metil bromida memiliki

kemampuan yang lebih tinggi ribuan kali dibandingkan dengan CO2 dalam menyebabkan

pemanasan global. Dengan demikian, refrigeran yang termasuk dalam kelompok

halokarbon seperti CFC dan HCFC merupakan GRK yang cukup kuat.

Protokol Montreal melalui mekanisme penghapusan BPO yang sudah dijalankan

mulai tahun 1987 sampai saat ini telah memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap
pengurangan jumlah emisi GRK, yaitu sebesar 8 Giga ton setara CO2 per tahun atau 30%

dari emisi GRK dunia. Emisi bahan pendingin dari jenis HCFC pada tahun 2002 mencapai

setengah dari konsumsi bahan pendingin total 470.000 ton di seluruh dunia. Apabila tidak

ada upaya pengurangan atau penghapusan maka pada tahun 2015 diperkirakan jumlah emisi

pendingin bisa mencapai dua kali lipatnya. Dan bila dilakukan berbagai upaya penghapusan

emisi bahan pendingin jumlahnya tidak akan bertambah secara signifikan dari jumlah tahun

2002.

Jumlah terbesar dari bahan pendingin yang digunakan, jenis HCFC-22 merupakan

jumlah yang paling banyak, diikuti oleh CFC-2, dan HFC-34a. Tetapi bila dilihat dari

dampak pemanasan global, emisi CFC-2 merupakan emiter terbesar yang diikuti oleh

HCFC-22 dan HFC-34a. Pada tahun 205, dengan skenario tanpa ada upaya penghapusan,

maka total emisi bahan pendingin dapat mencapai .5 Giga ton setara CO2 dan apabila

dilakukan berbagai upaya pengurangan, maka jumlah emisi bahan pendingin tersebut dapat

dikurangi sampai 0.8 Giga ton setara CO2 pada tahun 205. Dari jumlah prosentasenya,

dampak bahan pendingin terhadap pemanasan global mencapai 55% untuk CFC, HCFC

(30%) dan HFC memberikan kontribusi pemanasan global sebanyak 5%.

Apabila mengaitkan pengertian teori environmentalis dengan penjabaran Protokol

Montreal, maka saya akan melihat upaya negara dalam usaha melindungi lingkungan.

Sebagai institusi terbesar, legal, dan paling menampung aspirasi sebuah

masyarakat, negara mempunyai peran yang besar dalam usaha mengusahakan upaya

perlindungan lingkungan. Walaupun kita tahu bahwa masih ada nongovernmental

organizations (NGOs) maupun intergovernmental organizations (INGOs) yang turut

berpartisipasi dalam relasi dunia internasional, tetap saja negara merupakan satu-satunya

institusi yang memiliki pengaruh yang amat kuat dalam pergaulannya di dunia

internasional.
Menurut saya, negara-negara telah melakukan tindakan yang benar dalam rangka

menjaga dan melindungi lingkungan dengan meratifikasi Protokol Montreal dan

menjalankan setiap kebijakan yang telah diatur dalam perjanjian ini. dengan meratifikasi

protokol ini, negara memperlihatkan dan menunjukkan perhatiannya dalam isu lingkungan.

Walaupun hanya dimulai dengan 20 negara beserta 3 NGOs, namun akhirnya tetap saja

protokol ini berhasil memeluk 97 negara untuk ikut meratifikasi protokol ini.

Hal ini menunjukkan bagaimana sebuah negara benar-benar sadar dan mau

bertindak mengenai upaya perlindungan lingkungan. Seperti yang environmentalis telah

tekankan bahwa sistem negara dapat merespon permasalahan secara lebih efektif, dalam

kasus Protokol Montreal negara memang menunjukkan bahwa negara dapat dengan efektif

merespon akan suatu kesadaran lingkungan. Dalam kasus ini negara sadar bahwa negara

harus mengambil tindakan dalam upaya meminimalisir kerusakkan ozon dengan cara

mengurangi bahkan menghilangkan penggunaan bahan kimia yang dapat merusak ozon.

Tanpa adanya campur tangan negara dalam kasus ini, maka segala persiapan dan

riset yang telah dilakukan oleh ilmuwan-ilmuwan paling pintar di dunia akan menjadi sia-

sia. Segala pengetahuan yang telah ditemukan ini harus segera diaplikasikan secara

massive, di mana keinginan dan usaha semua orang yang dibutuhkan dalam upaya ini dapat

dengan efektif terwakilkan. Dan tidak ada institusi lain yang dapat menjalankan tugas besar

ini selain negara.

Kekuatan yang dimiliki negara, baik kekuatan internal (ke dalam) maupun eksternal

(ke luar), harus dapat dimanfaatkan dalam usaha perlindungan lingkungan dengan baik.

Kekuatan internal negara yang mengikat setiap entitas yang hidup dalam wilayah

kedaulatan negara itu, dapat dengan efektif memaksa untuk melakukan tindakan

perlindungan lingkungan ini. Substansi-substansi bahan kimia yang telah ditetapkan oleh

Protokol Montreal sebagai substansi yang dapat merusak lapisan stratosfer ozon, dapat
dengan efektif dikurangi pemakaiannya oleh adanya tindakan dan kesadaran negara. Negara

dapat dengan tegas mengatakan kepada masyarakat negaranya serta kepada industry-

industri (baik industry/perusahaan yang memang berasal dari negara tersebut ataupun

multinational company yang membuka pabrik di daerah teritorial negara terssebut) untuk

mengurangi penggunaan bahan-bahan kimia yang telah tedaftar dan mencari bahan

alternative pengganti substansi berbahaya tersebut.

Negara juga dapat mempengaruhi negara lain untuk meratifikasi serta ikut berperan

aktif dalam Protokol Montreal. Baik karena adanya rasa hormat dan wibawa yang muncul,

maupun karena adanya tindakan yang represif oleh suatu negara agar mempengaruhi negara

lain untuk dapat ikut aktif dalam protokol ini. Dan hal ini menunjukkan bagaimana

kekuatan eksternal suatu negara menunjukkan peran negara dalam Protokol Montreal.

Dan aksi negara dalam protokol ini membuahkan hasil yang sangat gemilang.

Laporan PBB yang diterbitkan United Nation Environment Program (UNEP) dan World

Meteorological Organization (WMO) pada pertengahan September 200, menyatakan bahwa

produksi dan konsumsi bahan kimia perusak ozon jenis utama di seluruh dunia (CFC, halon,

Carbon Tetraklorida, Metil, Klorofom, dan Metil Bromida) sudah dikurangi hingga 98

persen. Dan diperkirakan bahwa lapisan ozon di luar daerah kutub sudah akan pulih pada

2048.

Data di atas menunjukkan betapa besar upaya dan pengaruh negara dalam usaha-

usaha perlindungan lingkungan. Tidak dapat dipungkiri apabila negara telah memainkan

peran penting dalam upaya ini.

3. Contoh kasus dan pembahasannya

Kerjasama Pemerintah Indonesia dan Jepang dalam Implementasi Mekanisme

Protokol Kyoto
DNPI sebagai otoritas lembaga yang menjalankan proyek-proyek

implementasi Protokol Kyoto, membentuk sebuah lembaga khusus dalam bidang

perdagangan karbon antar Negara. Tim Koordinasi Perundingan Perdagangan

Karbon Antar Negara atau TKPPKA yang dibentuk berdasarkan SK Menteri

Koordinator Bidang Perekonomian nomor No. 50/05/2012, telah melakukan

kegiatannya sejak ditandatanganinya SK tim tersebut. Tim ini terbentuk antara lain

sebagai perimbangan terhadap proposal negara sahabat, khususnya pemerintah

Jepang dan juga beberapa negara lain termasuk Australia, untuk melakukan

perdagangan karbon antar Negara.

Karena luasnya cakupan peluang perdagangan karbon antar negara, tim ini

kemudian dibentuk dengan susunan Ketua Tim Pengarahnya adalah Menko

Perekonomian dan sebagai Wakil Ketua Tim Pengarah adalah Menteri Perdagangan

dengan anggota 4 orang pejabat setingkat menteri. Sedang untuk Tim Pelaksananya

diketuai oleh Deputi Bidang Kerjasama Ekonomi dan Pembiayaan Internasional

Kemenko Perekonomian dan ketua alternate Staf Khusus Presiden Bidang

Perubahan Iklim dengan 8 (delapan) orang anggota tim setingkat eselon 1 dari

berbagai kementerian terkait. TKPPKA selama masa tugasnya, yang dimulai sejak

penandatanganan SK pada tanggal 16 Mei 2012 - 31 Desember 2012, telah

melakukan berbagai pertemuan dan koordinasi dengan pihak negara Jepang

maupun koordinasi internal antar kementerian terkait. Sesuai dengan SK yang

telah dikeluarkan, maka tugas Tim Pelaksana TKPPKA adalah sebagai berikut.

1. Melakukan perundingan atas Skema Perdagangan Karbon dengan pihak

negara partner yang berminat untuk melakukan kerjasama dengan

Indonesia.
2. Mengambil langkah-langkah penyelesaian terhadap permasalahan dan

hambatan dalam perundingan atas Skema Perdagangan Karbon

Antarnegara.

3. Menyusun dan menyampaikan rekomendasi kebijakan yang diperlukan

dalam pelaksanaan perundingan atas Skema Perdagangan Karbon

Antarnegara kepada TimPengarah.

4. Melaksanakan tugas terkait lainnya yang diberikan oleh Tim Pengarah.

Dalam pelaksanaan kegiatannya, TKPPKA kemudian juga dibantu oleh

Tim Sekertariat yang dalam hal ini ditugaskan kepada Divisi Mekanisme

Perdagangan Karbon di DNPI.

Dalam perkembangan kerjasama antar Negara Indonesia dengan Jepang,

Pemerintah Jepang telah menyelesaikan 32 (tiga puluh dua) kegiatan studi

kelayakan/Feasibility Study atau FS, sejak dimulainya kegiatan pada tahun 2010

sampai dengan sekarang. Pada periode tahun 2012, masih sedang dilakukan 25

(dua puluh lima) FS, yang akan selesai pada periode Maret 2013. Sampai dengan

bulan Maret 2013 nanti, Pemerintah Jepang diperhitungkan akan sudah

menyelesaikan 57 (lima puluh tujuh) kegiatan FS, yang terdiri dari kegiatan

di energi terbarukan (hydro, geothermal, surya, dan angin), efisiensi energi (di

pembangkit listrik dan industri), REDD+, carbon captured and storage (CCS),

transportasi, pertanian, dan penggantian bahan bakar. Perundingan dengan

Pemerintah Jepang sendiri sampai dengan saat ini sebenarnya telah dilakukan

dalam 2 (dua) tahap, yaitu sebelum TKPPKA dibentuk dan setelah TKPPKA

dibentuk. Sebelum TKPPKA dibentuk, perundingan dimotori oleh DNPI selaku

pemegang mandat pengembangan pasar karbon nasional sesuai dengan Peraturan


Presiden nomor 46 tahun 2008. Setelah dibentuknya TKPPKA, maka

perundingan dikoordinasikan oleh Kemenko Perekonomian dan dibantu oleh

DNPI.

Pada beberapa perundingan antara pemerintah Indonesia dengan

Pemerintah Jepang seringkali terdapat beberapa hambatan. Yang kemudian masih

belum menemukan kesepahaman antara keduabelah pihak adalah masalah bentuk

dari perjanjian antara kedua negara, dimana Indonesia menghendaki adanya

“internationally binding agreement” sedang pihak Pemerintah Jepang

menganggap bahwa bentuk “non binding agreement” sudah mencukupi sebagai

dasar dan landasan kerjasama. Bagi Pemerintah Jepang, internationally binding

agreement berarti harus melewati proses yang panjang karena harus ada

persetujuan dengan parlemen, sementara pada pertengahan tahun 2013 akan ada

pemilihan umum baru dan pergantian kabinet. Sementara bagi pemerintah

Indonesia, bentuk perjanjian dengan internationally binding agreement adalah

suatu kelaziman untuk kerjasama seluas perdagangan karbon antar negara yang

diusulkan oleh pemerintah Jepang.

Terkait dengan pelaksanaan proyek dalam mengimplementasikan Protokol

Kyoto Jepang memiliki usulan mengenai kerjasama bilateral antar Negara. Hal

tersebut dikarenakan Jepang menginginkan efisiensi jalannya proyek untuk

mengurangi emisi GRK. Usulan tersebut dinamakan Billateral Offset Crediting

Mechanism (BOCM). Pemerintah Jepang menawarkan kerjasama dalam bentuk

bilateral dengan beberapa negara berkembang lain untuk melakukan suatu

perdagangan karbon model baru, termasuk salah satunya adalah Indonesia. Jepang

telah mendeklarasikan target penurunan emisi sebesar 25% berdasarkam dari tahun
2020. Biaya pengurangan emisi di Jepang saat ini sangat tinggi, karena terutama

terkait dengan Jepang sendiri yang memiliki tingkat efisiensi yang sangat tinggi

sehingga biaya untuk menurunkan emisi menjadi hampir seperti biaya untuk

mengembangkan teknologi baru. Saat ini untuk sektor kehutanan biaya pengurangan

emisi di Jepang berkisar 60-120 USD per ton CO2 dan untuk sektor energi berkisar

40-80 USD per ton CO2. Harga-harga ini didapatkan dari pasar karbon domestik di

Jepang. Ketidakpastian pasar karbon paska 2012 menyebabkan Jepang juga

mempunyai kesempatan untuk melakukan usulan pasar jenis baru, didukung oleh

komitmennya yang kuat untuk pengurangan emisi secara nasional.90

Secara ekonomis, Jepang juga membutuhkan media dan cara baru untuk

melakukan investasi, baik investasi modal maupun investasi teknologi. Dalam hal

ini BOCM akan menjadi salah satu metoda yang sangat baik. BOCM bahkan akan

menggabungkan bukan hanya masalah lingkungan, tetapi juga meningkatkan

investasi, menggairahkan sektor swasta Jepang, mengurangi beban pengurangan

emisi secara domestik, dan lebih jauh mengamankan posisi Jepang sebagai investor

untuk negara berkembang.

Kondisi-kondisi di atas yang menyebabkan Jepang membuat proposal BOCM

dan menyampaikannya ke Indonesia dan beberapa negara berkembang yang lain.

BOCM ini juga bahkan melibatkan perusahaan-perusahaan swasta terbesar Jepang

untuk melakukan feasibility study (FS), seperti Mitshubishi, Kanematsu, Shimitzu,

Tokyo Gas, Arab Oil Company, dan beberapa perusahaan raksasa lainnya. Selain

Indonesia, negara lain yang menjadi objek FS adalah Vietnam, India, Malaysia,

Thailand, Maldives, South Africa, Mexico, Thailand, Kenya, Cambodia,

Bangladesh, Turkey, Poland, Russia, dan beberapa negara lain (total 18 negara).
Pada tahun 2010, Jepang telah melakukan 50 FS di 18 negara, dengan 9 di antaranya

ada di Indonesia. Tahun 2011, Indonesia tetap menjadi target utama dari kegiatan

ini dengan total jumlah FS yang dilakukan sebanyak 23 proyek. Kegiatan FS yang

akan dilaksanakan oleh Jepang akan dipresentasikan ke Pemerintah Indonesia.

BOCM ini pada dasarnya merupakan proyek tindak lanjut dari implementasi

mekanisme Protokol Kyoto layaknya CDM. Sehingga dalam pelaksanaanya pun

memiliki tujuan yang sama yaitu mengurangi emisi GRK dan memnuhi credit Cers

yang telah ditentukan pada saat UNFCCC. Dalam beberapa perundingan antara

pemerintah Indonesia dan Jepang, terdapat beberapa hambatan terkait dengan

mekanisme dari proyek yang akan dijalankan. Pada dsaranya kerjasama ini bersifat

bilateral, akan tetapi pihak Indonesia cenderung berharap kerjasama ini tidak hanya

terbatas pada dua Negara saja. Sehingga pemerintah Indonesia menginginkan

adanya perubahan Bilateral menjadi Joint Crediting Mechanism, karena pemerintah

Indonesia beranggapan bahwa pada saatnya nanti akan ada Negara lain yang dapat

bergabung dengan proyek tersebut.

Rencana kerjasama Indonesia-Jepang ini, pada tahun pertama sertifikat

penurunan emisi tidak dicatat dalam penjualan di pasar, akan tetapi di catat

sebagai komitmen masing-masing negara dalam penurunan emisi sehingga disebut

sebagai non-tradeble. Dengan adanya mekanisme kerjasama ini, maka Joint

Committee harus membuat aturan prosedurnya, seperti konsistensi pencatatan sesuai

dengan penurunan emisi masing- masing negara. Selain itu, diperlukan juga

transparansi bagi negara lain untuk mengakses data emisi yang diturunkan.

Kemudian Proyek yang akan dikembangkan memiliki tipe yang berbeda-beda. Akan

tetapi, Pemerintah Indonesia dalam hal ini tetap melihat lifetime serta investasi dari
proyek yang diusulkan. Sehingga sama seperti CDM, pemerintah Indonesia harus

mencermati periode kredit yang bisa saja 7 atau 10 tahun.

Kerjasama BOCM/JCM antara Jepang dan Indonesia pada akhirnya

mencapai tingkat keseriusan dari kedua belah pihak. Sehingga dibentuklah sebuah

payung hukum yang melandasi kerjasama tersebut. Low Carbon Growth

Partnership(LCGP) merupakan landasan hukum yang disepakati oleh kedua belah

pihak. Akan tetapi dalam prosesnya pemerintah Jepang meminta bahwa LCGP tidak

bersifat mengikat secara hukum. Hal ini karena prosedur pemerintah Jepang untuk

pembuatan dokumen perjanjian atau persetujuan yang mengikat secara hukum

sangat memakan waktu dan tenaga, diantaranya perlu persetujuan parlemen. Hal

tersebut yang akhirnya membuat sedikit masalah dalam mencapai kesepakatan

dalam pembuatan landasan hukum. Karena pemerintah Indonesia pada saat itu

menginginkan sebuah peraturan yang lagal walaupun tidak mengikat secara hukum

semacam Memorandum of Understanding (MOU). Hal tersebut menjadi penting

karena berkaitan dengan aspek adaptasi bagi Indonesia terkait isu pemanasan

Global.
DAFTAR PUSTAKA

BUKU
Victor, David G. “The Collapse of the Kyoto Protocol and the Struggle to
Slow Global Warming.” Princeton University. Press: New Jersey. 2001
Friedman, Thomas L. ”Hot Flat and Crowded.” PT Gramedia Pustaka Utama:Jakarta,
2009
Alikodra, Prof.Dr. Hadi, et al, “Global Warming.” Nuansa: Bandung, 2008
NASA Facts. “Global Warming, The Earth Science Enterprise Series.” Maryland
April, 1998
LAPAN. “Landasan Ilmiah Perubahan Iklim.” Bandung, 2003
Pramudianto, Andreas. “Diplomasi Lingkungan Hidup; Teori dan Fakta.” UI-Press:
Jakarta, 2008
Paterson, Matthiew. “Global Warming and Global Politics.” Routladge: London,
1996
Murdiyarso, Daniel. “Protokol Kyoto; Implikasinya Bagi Negara Berkembang.” PT
Kompas Media Nusantara: Jakarta, 2003
Holsti, Kalevi J. “International Politics: A Framework for analysis.” Prentice hall
International: New Jersey, 1997
Mintz, Alex & Derouen, Karl. “Foreign Policy Decision Making.” Cambridge
University Press: New York, 2010
Clinton, W. David. ”Two Face of National Interest” Louisiana University Press:
Louisiana, 1994
Budiardjo, Miriam. “Dasar-dasar Ilmu Politik.” PT Gramedia Pustaka Utama:
Jakarta, 2006
Griffiths, Martin & O’Callaghan, Terry. “International Relation the Key Concept.”
Routledge: New York, 2002
Coicaud, Jean-Marc & Wheeler, Nicholas J. “National Interest and International
Solidarity.” United Nation Press: New York, 2008
Berridge, G. R. “Diplomacy: Theory and Practice” Palgrave: New York, 2002
Raco, DR.J.R. ME. M.SC. “Metode Kualitatif: Jenis, Karakteristik
danKeunggulannya.” Grasindo: Jakarta, 2010
Glantz, Michael H. “Climate Affair.” Island Press: Washington, 2003
Helm, Dieter. “Climate Change Policy.” Oxford Universirty Press: New York, 2005
Houghton, Sir Jhon. “Global Warming: Complete briefing Third Edition.”
Cambridge University Press: New York, 2004
Maslin, Mark. “Global warming: Very Short Introduction.” Oxford University Press:
New York, 2004
Lian, Koh Kheng, et al. “Cruesial Issues in Climate Change and The Kyoto Protocol
Asia and The World.” World Scientific Publishing: London, 2010
Stewart, Richard B. & Wiener, Jonathan B. “Reconstructing Climate Policy: Beyond
Kyoto.” AEI Press: Washington, 2003
Mudiyarso, Daniel. “Mekanisme Pembangunan Bersih.” PT Gramedia: Jakarta, 2003
JURNAL dan ARTIKEL
Laporan Tim Koordinasi Perundingan Perdagangan Karbon Antar Negara,
DNPI 2012
Diskusi Tindak Lanjut Bilateral Offset Credit Mechanism (BOCM) DNPI, 31
Januari 2012
Laporan pertemuan tim TKPPKA terkait pembahasan dokumen Proposal Joint
Crediting Mechanism (JCM) DNPI, 14 September 2012
WWF presentation. Riau, 29 November 2008
Ihza, Yusron. “Jurnal diplomat Indonesia.” La Tofi: Jakarta,2009
A Report of the CSIS. “Green Dragon: The politic climate change in
Asia.” CSIS: Jakarta, 2010
Kaban, MS. “Jurnal diplomat Indonesia.” La Tofi: Jakarta,2009
UNDP. “ The Bali Action Plan: Key Issues in The Climate Negotiation.” UNDP,
2008
Kementrian Negara Lingkugan Hidup. “Rencana Aksi Nasional Menghadapi
Perubahan Iklim.” KNLH, 2007
Kementrian Lingkungan Hidup. Undang-undang RI, No: 17 tahun 2004.
Tentang Pengesahan Protokol Kyoto atas Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan
Bangsa-bangsa tentang Perubahan Iklim. KLHRI: Jakarta, 2004
INTERNET
www.tempointeraktif.com diakses pada tanggal 18 April 2011 pukul : 23: 23 WIB
http://unfccc.int/kyoto_mechanisms diakses pada hari Rabu, 25 Mei 2011
http://unfccc.int/kyoto_mechanisms/et/items/ diakses pada hari Rabu, 25 Mei 2011
http://unfccc.int/kyoto_mechanisms/ji/items/1674.php diakses pada hari Rabu, 25
Mei 2011
www.econ.cam.ac.uk/rstaff/grubb/publications/J36.pdf"The Economics of the Kyoto
Protocol" diakses pada hari jumat, 27 Mei 2011
http://greendecade.org/energy_kyoto. diakses pada tanggal HYPERLINK
http://translate.google.co.id/translate?hl=id&sl=en&u=http://greendecade.org/energy
_kyoto.html&ei=xCryTeOZOI7JrAf6h4X6Bw&sa=X&oi=translate&ct=result&resnu
m=5&ved=0CEMQ7gEwBA&prev=/search%3Fq%3Dkyoto%2Baction%2Bplan%26
hl%3Did%26biw%3D922%26bih%3D374%26prmd% 17 agustus 2011
www.unfccc.int/kyoto_protocol/mechanism/clean_development_mechanism/items/27
18.php
www.bappenas.go.id/get-file-server/node/2747 diakses pada tanggal 24 Desember
2011
www.pelangi.or.id?article-5.html diakses pada 24 oktober 2011 pukul 03:00 WIB
www.kemenlu.go.id/Pages/iissueDisplay.aspx?IDP=25&l=id diakses pada hari kamis
12 Januari 2012
http://www.dephut.go.id/index.php?q=id/node/1759 diakses pada tanggal 7 oktober
2011
http://www.conservation.or.id/site/modules diakses tanggal 15 April 2011
http//www.menlh.go.idslhisuplemen_slhi_2007.pdf
www.unfccc.int/adaptation/items/4159.php diakses pada tanggal 1 februari 2012
www.unfccc.int/adaptation/implementing_adaptation/items/2535.php diakses pada
tanggal 1 februari 2012
www.walhi.or.id diakses pada hari sabtu 22 Oktober 2011
32
Energi Terbarukan | Universitas Pamulang

Anda mungkin juga menyukai