Anda di halaman 1dari 12

Konvensi Basel

1. Sejarah konvensi Basel 1989


Konvesi Basel merupakan sebuah konvensi prakarsa PBB diselenggarakan di Basel,
Switzerland pada akhir tahun 1980, adalah rancangan regulasi mengenai pengetatan atas
pembuangan limbah beracun berikut turunannya terhadap dampak lingkungan hidup efektif
tahun 1990 setelah dilakukan ratifikasi [1] oleh negara-2 peserta lalu dibentuk The Conference of
the Parties disingkat COP sebagai badan pelaksananya terdiri Competent Authorities dan
sekretariat tetap berkedudukan di Jenewa, Switzerland,[2], Pada saat ini negara yang telah
meratifikasi Konvensi Basel berjumlah 170 negara [3] konvensi ini dilakukan karena hubungan
semakin mahalnya biaya pemusnaan atas pembuangan turunan berancun yang dihasilkan oleh
industri negara-2 maju berdampak pada pencarian yang berbiaya murah dijadikan sumber nafkah
pada negara-2 miskin melalui perdagangan beracun atas pembuangan limbah beracun berikut
turunannya tsb pada wilayah-2 negara-2 miskin.

Oleh karena itu negara-negara internasional bereaksi untuk mengatasi masalah tersebut
dengan mengadakan perundingan dan kerjasama internasional. Negara-negara sepakat untuk
membentuk konvensi mengenai pengelolaan limbah bahan berbahaya dan beracun dengan nama
Basel Convention on the Control of Transboundary Movement of Hazardous Wastes and Their
Disposal yaitu Konvensi Basel tentang Pengawasan Perpindahan Lintas Batas Limbah Bahan
Berbahaya dan Beracun pada tanggal 22 maret tahun 1989 Konvesi tersebut diharapkan mampu
mengurangi perpindahan limbah bahan berbahaya dan beracun serta potensi bahayanya sehingga
melindungi kesehatan manusia dan lingkungan dari dampak yang ditimbulkan.

Negara-negara mengadakan perundingan dan kerjasama internasional yang dituangkan


dalam The Basel Convention on the Control of Transboundary Movement of Hazardous Wastes
and Their Disposal yaitu Konvensi Basel tentang Pengawasan Perpindahan Lintas Batas
Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun pada tanggal 22 maret tahun 1989. Konvensi Basel
Tentang Pengawasan Perpindahan Lintas Batas Bahan Berbahaya dan Beracun serta
Pembuangannya (Basel Convention on The Control Transboundary Movements of Hazardous
Wastes and Their Disposal) merupakan hasil dari sebuah konvensi khusus tentang konvensi
menyeluruh mengenai pengawasan dari pergerakkan lintas batas limbah B3 yang
diselenggarakan oleh UNEP (The United Nations Environment Programme), yaitu merupakan
badan khusus PBB yang bergerak dibidang permasalahan lingkungan hidup.

2. Tujuan konvensi Basel


Tujuan Konvensi Basel 1989 Tentang Pengawasan Perpindahan Lintas Batas Bahan
Berbahaya dan Beracun serta Pembuangannya Masalah lingkungan khususnya limbah bahan
berbahaya dan beracun (B3) merupakan masalah internasional. Pembangunan industri
mengakibatkan adanya limbah B3 tersebut sebagai sisa atau pembuangan dari proses produksi.
Selain itu perpindahan/pembuangan limbah bahan berbahaya dan beracun dari negara maju ke
negara berkembang menimbulkan reaksi bagi masyarakat internasional khususnya negara
berkembang sebagai tempat pemindahan/pembuangan limbah B3 pastinya mendapatkan
kerugian dari hal tersebut.

Masalah tersebut membuat masyarakat internasional bekerjasama dalam mengatasi


masalah tersebut dengan mengadakan kerjasama dan perjanjian internasional yang dituangkan
dalam Konvensi Basel pada tahun 1989. Tujuan utama Konvensi Basel adalah untuk mencegah
penyelundupan/pemindahan limbah B3 illegal melalui pengaturan perpindahan lintas batas B3
antar negara Selain itu, Konvensi Basel bertujuan untuk
a) Mengurangi jumlah limbah B3 serta potensi bahayanya;
b) Melindungi kesehatan manusia dan lingkungan dari dampak yang timbul oleh
semakin meningkatnya kompleksitas limbah B3, perpindahan lintas batas limbah B3 dan limbah
lainnya;
c) Mengurangi perpindahan lintas batas limbah B3 dan limbah lain;
d) Membuat negara-negara industri untuk konsisten dalam pengelolaan limbah B3,
dan membuang limbah tersebut ke negara dimana limbah dihasilkan dengan cara yang
berwawasan lingkungan;
e) Menanamkan prinsip tanggungjawab negara terhadap limbah B3 yang dihasilkan;
f) Menjamin pengawasan yang ketat atas perpindahan lintas batas limbah B3 guna
pencegahan perdagangan/pemindahan limbah illegal ke yurisdiksi negara lain;
g) Melarang pengiriman limbah B3 menuju negara yang kurang memadai dalam hal
teknologi pengelolaan secara berwawasan lingkungan;
h) Membantu negara-negara berkembang dalam ahli teknologi yang berwawasan
lingkungan untuk pengelolaan limbah B3 yang dihasilkan.
Konvensi Rio
Perkembangan teknologi dunia membawa kita pada abad baru di mana perubahan sosial,
ekonomi, dan industri berkembang dengan pesat. Konsekuensi dari perkembangan teknologi
adalah munculnya masalah lingkungan atau polusi yang menyebabkan dampak yang besar bagi
kehidupan manusia. Permasalahan tersebut membawa kesepakatan negara-negara dunia untuk
mengurangi polusi global dengan mengadakan KTT Bumi.

Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Bumi diadakan pada tanggal 3–14 Juni 1992 di Rio de
Jainero, Brasil yang membahas tentang isu – isu lingkungan, kelangkaan air, dan energi
alternatif. Hasil dari KTT Bumi adalah Agenda 21, Deklarasi Rio, dan Konvensi
Keanekaragaman Hayati. Hasil tersebut merupakan sikap dari 178 negara dan 2.400 perwakilan
organisasi non pemerintah dalam upaya menyelamatkan bumi dari kerusakan lingkungan
berskala global.

1. Pengertian
Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Bumi atau UNICED (United Nations Conference on
Environtment and Development) adalah konferensi yang diadakan oleh Perserikatan Bangsa-
Bangsa (PBB) yang membahas tentang isu lingkungan dan pembangunan.

Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Bumi mendefinisikan tentang kerusakan alam yang harus
dicegah dengan komitmen negara-negara untuk menjaga kelestarian lingkungan.

2. Sejarah Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Bumi


Revolusi industri memberikan dampak postif bagi kegiatan ekonomi karena pesatnya kegiatan
industri. Dilihat dari sisi lain, ada pula dampak negatif dari revolusi industri yaitu rusaknya
lingkungan. Melihat keresahan tersebut Pemerintah Swedia memberikan usul kepada PBB untuk
diselenggarakannya konferensi internasional PBB tentang Lingkungan Hidup Manusia (United
Nations Conference in The Human Environtment) di Stockholm, Swedia tahun 1972.

Konferensi tersebut menjadi sejarah bagi dunia karena konferensi tersebut merupakan konferensi
pertama yang membahas tentang lingkungan hidup. Konferensi tersebut memberikan hasil
berupa kesepakatan dari 114 negara tentang rencana kerja, khususnya tentang perencanaan dan
pengelolaan permukiman manusia serta rekomendasi kelembagaan United Nation Environmental
Programme (UNEP).

Pengenalan motto “hanya ada satu bumi” (The Only One Earth) dikenalkan dalam konferensi
tersebut untuk memperkenalkan pentingnya menjaga lingkungan bagi penduduk dunia.

Sumber daya alam sangat terbatas tetapi kebutuhan manusia tidak terbatas membuat alam terus
dieksploitasi sehingga kerusakan lingkungan terus terjadi dalam periode setelah dibentuknya
UNEP.
Menanggapi hal tersebut PBB membuat Lembaga independent yang dibentuk oleh majelis umum
pada tahun 1983 yang diberi nama World Commission on Environment and Development
(WCED). WCED diketuai oleh Perdana Menteri Norwegia, Ny. Gro Brundtland yang dapat
menyelesaikan tugasnya pada tahun 1987 dengan membuat laporan berjudul “Our Common
Future” dengan tema “Sustainable Development” atau biasa dikenal dengan Laporan Brundtland.

Selama kurang lebih 5 tahun setelah Laporan Brundtland diterbitkan, PBB menyelenggarakan
United Nations Conference on Environment and Development (UNCED) atau konferensi khusus
tentang masalah lingkungan dan pembangunan atau dikenal dengan KTT Bumi (earth summit)
pada tahun 1992 di Rio de Jainero, Brazil.

Pada KTT Bumi diperkenalkan jargon “Think Globaly, Act Locally” sebagai bentuk sosialisai
mengenai pentingnya menjaga semangat kebersamaan antara upaya pembangunan oleh
kelompok developmentalis dan upaya menjaga kelestarian lingkungan oleh environmentalis
sehingga terbentuk sinergitas untuk menjaga bumi dari polusi dan kerusakan lingkungan.

3. Isu yang Dibahas Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Bumi


Salah satu isu lingkungan yang dibahas pada KTT Bumi adalah isu perubahan iklim.
Meningkatnya emisi gas rumah kaca merupakan dampak dari eksploitasi sumber daya hayati
yang berlebihan.
Asas-asas Hk Internasional

Hukum Internasional mempunyai Asas-asas yang berlaku di dalam hukum internasional, yaitu
diantaranya :

1. Asas Teritorial

Asas teritorial yaitu mengungkapkan bahwa negara menyiapkan hukum untuk semua orang dan
juga semua barang yang berada disuatu tempat negara tersebut.

2. Asas Kebangsaan

Asas kebangsaan ini mengungkapkan asas kebangsaan ialah suatu hukum negara tetap berlaku
bagi seorang warga negara walaupun dia berada di suatu negara lain. Asas ini memiliki kekuatan
ekstrateritorial.

3. Asas Kepentingan Umum

Asas menyatakan asas kepentingan umum adalah bahwa hukum negara tidak terikat pada suatu
batas-batas wilayah suatu negara karena hukum menyesuaikan diri sama semua keadaan maupun
kejadian yang menyangkut suatu kepentingan umum.

Asas-Asas Yang Berlaku Dalam Hukum Internasional

Asas-asas yang di pakai dalam hukum internasional meliputi :

1. Asas umum yaitu; pelanggaran terhadap perjanjian mengharuskan pelanggar mengganti


kerugian yang timbul karena perjanjian tersebut telah dilanggar kepentingannya
2. Asas pacta sunt servada, yaitu: asas yang mengharuskan suatu perjanjian itu harus di
tetapati jangan hanya omong kosong belaka.
3. Asas ius copens, yaitu asas yang menyatakan bahwa perjanjian batal demi hukum jika
prosedur pembuatanya bertentangan dengan hukum internasional, misalnya perjanjian
untuk membuat senjata nuklir yang bertujuan untuk memusnahkan suatu negara.
4. Asas nationalitet (asas kebangsaan) yaitu asas yang menunjuk kepada individu yang
merupakan kajian luas dari kajian negara itu yang tidak hanya berlaku untuk negara yang
ada dalam wilayah itu saja tetapi seluruh warga negaranya baik yang beradda di luar
negeri.
5. Asas teritorialitet (asas kewilayahan) yaitu, asas yang berlaku apabila terjadi suatu
pelanggaran yang terjadi dalam suatu wilayah suatu negara, walaupun dilakukan oleh
warga negara asing.
6. Asas nebis in iden, yaitu asas yang menerangkan apabila suatu perkara internasional yang
sudah diadili tidak boleh diadili untuk dua kali.
7. Asas rieus sie stanreus
8. Asas invobility and imunitty, yaitu asas kekebalan yang berupa kebal hukum dalam suatu
negara, orang yang memiliki asas ini merupakan para diplomat yang ditugaskan oleh
negaranya.
Filosofi Hk internasional

Ilmu filsafat yang mempelajari tentang hakekat segala sesuatu, dan merupakan awal dari
berke mbangnya Ilmu-ilmu pengetahuan di dunia, Hal ini menjadikan dirinya sangat penting
dalam mengukur segala aspek yang tidak lepas dari kehidupan manusia itu sendiri. Aspek
manusia di dalam perkembangannya membutuhkan norma atau hukum. Di jaman modern yang
kita alami termasuk berbangsa dan bernegara, hubungan internasional memiliki kebijakan-
kebijakan yang merefleksikan kepada manusia antar bangsa. Peran filsafat sebagai sebuah
pendekatan awal menjadikan segala kebijakan akan bersifat melindungi dan berkeadilan.

Ketika seorang aktor negara atau non negara melihat input di dalam proses berbangsa dan
bernegara filsafat akan menjadi sebuah jembatan yang menghubungkan kepentingan dalam
mendistribusikan nilai nilai atau teknis pencapaian di dalam kehidupan. Filsafat di dalam
perenungannya mengasah setiap manusia untuk berfikir logis, menjalankan ritual kehidupan
bermasyarakat dan bernegara serta di kancah internasional filsafat menjadi barometer Dan
mempetanyakan tentang apakah asas-asas kehidupan itu? Apakah asas asas yang mendasari
fakta? Bagaimana Negara, manusia dan alam semesta? Ilmu Hubungan internasional yang
mencakup tentang perdamain, transbudaya, ekonomi Internasioanal, pengendalian konflik, aktor
dan non-aktor Negara dimana semua itu merupakan upaya manusia untuk mecapai tujuan dalam
kesejahteraan hidup, dan seperti apa yang di kedepankan oleh filsafat bahwa tujuan akhir pada
manusia adalah kesejehteraan, perdamain, mutualitas dan cinta. Di jaman yunani kuno manusia
dan Negara dianggap bagian dari alam semesta, sejarah para filsuf terkemuka mempertanyakan
persoalan persoalan antara manusia dan bangsa, dimana sejak dahulu sudah ada interaksi
internasioanal yang terusmenerus berkembang. Hingga saat ini, filsafat menjadi peranan penting
dalam memperjuangkan pedoman bagi manusia, menulusuri secara rasional dan sistematis dalam
berbagai bentuk kelembagaan di dunia, mengatur prilaku dan etika, membahas baik dan buruk,
adil atau tidak adil, norma, hukum hingga memecahkan mitos di dalam sebuah Negara yang
tentunya menjadi pertimbangan didalam hubungan internasional. Menurut pandangan saya
filsafat dan HI adalah dua hal didalam satu kesatuan, saling menyokong dan beriringan sampai
kapanpun.
Perbedaan Norma nasional dan Internasional

Dalam perkembangan teori-teori hukum, dikenal dua aliran besar mengenai hubungan
antara hukum nasional dengan hukum internasional. Monisme dan dualisme. Perbedaan
pandangan ini lahir, tentunya sebagai akibat dari perbedaan dasar filsafat dalam menelaah kaidah
hukum itu sendiri, serta latar sosial yang menjadi background munculnya teori-teori tersebut.
Menurut teori monisme, hukum nasional dan hukum internasional merupakan dua aspek yang
berasal dari satu sistem hukum umumnya. Pandangan ini dikemukakan oleh Hans Kelsen. Lebih
jauh Kelsen mengemukakan, bahwa tidak perlu ada pembedaan antara hukum nasional dengan
hukum internasional, mengapa? Alasan pertama adalah, bahwa objek dari kedua hukum itu
sama, yaitu tingkah laku individu; Kedua, bahwa kedua kaedah hukum tersebut memuat perintah
untuk ditaati; dan Ketiga, bahwa kedua-duanya merupakan manifestasi dari satu konsepsi hukum
saja atau keduanya merupakan bagian dari kesatuan yang sama dengan kesatuan ilmu
pengetahuan hukum.
Pada dasarnya Kelsen ingin menegaskan tentang supremasi hukum internasional atas hukum
nasional. Dia melihat hukum internasional sebagai the best of available moderator of human
affairs, dan juga sebagai kondisi yang logis dari eksistensi hukum negara-negara. Karenanya
hukum internasional menjadi utama daripada hukum nasional. Artinya, hukum nasional itu bisa
dikesampingkan bila bertentangan dengan norma-norma hukum internasional atau bertentangan
dengan sistem hukum internasional. Pandangan ini berusaha melakukan generalisasi terhadap
latar konteks dan latar sosial, tanpa melakukan pembedaan terhadap keadaan geografis, budaya
masyarakat, sejarah, dan perilaku sosial, dari masing-masing wilayah. Semuanya dianggap sama
dengan apa yang terjadi dan berlangsung di Amerika Serikat.
Berbeda dengan Kelsen yang mengajarkan teori monisme, Triepel dan Anzilotti
mengajarkan apa yang disebut dengan teori dualisme atau teori pluralistik. Menurut teori ini,
hukum nasional dan hukum internasional merupakan dua sistem hukum yang sama sekali
berbeda secara intrinsik. Berangkat dari uraian sederhana Oppenhiem, yang menjelaskan
perbedaan antara hukum nasional dan hukum internasional, berdasarkan tiga sandaran, yaitu
perbedaan sumbernya, hubungan yang diaturnya, dan hakikatnya.
Kemudian Triepel menjelaskan secara lebih detail, bahwa letak perbedaan antara keduanya
adalah pada subjek hukumnya, jika hukum nasional subjeknya ialah individu-individu,
sedangkan hukum internasional subjeknya semata-mata dan tertutup pada negara. Kemudian
mengenai sumbernya, jika hukum nasional bersumber pada kehendak negara itu sendiri,
sedangkan hukum internasional bersumber pada kehendak bersama. Dalam hal ini, Anzilotti
menggunakan pendekatan berbeda, walaupun memiliki muara yang sama. Menurut Anzilotti,
perbedaan mendasar dari hukum nasional dan hukum internasional adalah terletak pada hakikat
bahwa hukum nasional harus ditaati, sedangkan hukum internasional harus dijunjung tinggi,
sebagai hasil kesepakatan bersama.
Anzilotti pada dasarnya ingin membangkitkan kembali kenyataan esensial dari teori
Grotius, tanpa adanya aroma hukum alam, ia mencoa menyelamatkan hukum internasional
dengan pengakuan universal terhadap pacta sunt servanda. Secara mudahnya, teori dualisme
ingin menjelaskan, bahwa hukum internasional adalah hukum antar negara, sedangkan hukum
nasional berlaku dalam satu negara, yang mengatur hubungan antar warganegara, dan
warganegara dengan pemerintah. Bilamana hukum nasional menetapkan hukum internasional
berlaku seluruhnya atau sebagian, melalui sebuah pengakuan atau penerimaan, itu semata-mata
karena pelaksanaan kewenangan hukum nasional.
Terhadap pandangan Triepel dan Anzilotti, Kelsen menyatakan bahwa terdapat kontradiksi
dalam pemikiran pluralistic – dualisme, yakni ketika hukum nasional dan hukum internasional di
tempatkan dalam ruang dan waktu yang sama. Di satu sisi kaum pluralistik tidak menyangkal
bahwa norma hukum nasional dan norma hukum internasional dapat berlaku secara bersamaan,
sedangkan di sisi lain mereka menegaskan bahwa terdapat suatu hubungan kebebasan timbal
balik diantara keduanya, yang berarti tidak ada hubungan sama sekali. Pada dasarnya, kedua
pandangan ini berangkat dari kerangka filosofis yang sama, yakni positivisme, yang berkembang
pascaberakhirnya Revolusi Perancis, keduanya banyak dipengaruhi oleh pemikiran Jean-Jacques
Rousseau dalam bukunya Perihal Kontrak Sosial: Prinsip-Prinsip Hukum Politik.
Dalam praktiknya di lapangan pun tidak terjadi pertentangan yang mencolok antara kedua
pandangan tersebut, lebih banyak terjadi akomodasi dan kompromi. Sekedar pemahaman untuk
kita cermati bersama, bahwa kedua teori di atas, dibangun atas kerangka pikir spekulasi
konstruksi intelektual. Namun demikan, eksistensi kedua teori tersebut tetap diakui dalam
literatur-literatur hukum internasional.
Selanjutnya, sebagai pandangan kompromistis dari perdebatan teoritis antara penganut monisme
dan dualisme, muncul teori ketiga, yang disebut dengan teori koordinasi. Teori ini menyatakan,
bahwa dua sistem hukum, yaitu sistem hukum internasional dan sistem hukum nasional itu, tidak
berada dalam situasi konflik atau tidak bertentangan antar keduanya, karena dua sistem itu
bekerja dalam lingkungan yang berbeda. Masing-masing mempunyai supremasi di lapangannya
sendiri. Meski pada praktiknya di lapangan, sangat dimungkinkan terjadinya konflik
implementatif, yang sering disebut dengan konflik kewajiban (conflict of obligation).
Makna dari konflik kewajiban ialah ketidakmampuan negara untuk melaksanakan suatu
kewajiban internasional, ketika negara bersangkutan meratifikasi suatu ketetapan atau konvensi
atau perjanjian internasional. Akan tetapi, ketidakmampuan negara tersebut, tidak kemudian
berakibat pada tidak sahnya hukum internal/hukum nasional. Kendati demikian, tanggung jawab
internasional negara itu masih tetap eksis, dan tidak ada argumen untuk menghindar dari
kewajiban internasional tersebuat.
Perkawinan campuran

Jika Anda sebagai Warga Negara Indonesia (“WNI”) akan menikah dengan warga negara asing (“WNA”)
di Indonesia, berarti perkawinan Anda adalah Perkawinan Campuran, sebagaimana diatur dalam Pasal
57 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UU Perkawinan”) yang menyatakan:

Yang dimaksud dengan perkawinan campuran dalam Undang-undang ini ialah perkawinan antara dua
orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan
salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia.

Perkawinan campuran yang dilangsungkan di Indonesia dilakukan menurut UU Perkawinan ini.1[1]

Perkawinan campuran tidak dapat dilangsungkan sebelum terbukti bahwa syarat-syarat perkawinan
yang ditentukan oleh hukum yang berlaku bagi pihak masing-masing telah dipenuhi, yang dibuktikan
dengan surat keterangan bahwa syarat-syarat telah dipenuhi dari pihak yang berwenang mencatatkan
perkawinan menurut hukum yang berlaku bagi masing-masing pihak.2[2]

Jika pejabat bersangkutan menolak untuk memberikan surat keterangan, maka atas permintaan yang
berkepentingan, Pengadilan memberikan keputusan (dengan tidak beracara serta tidak boleh
dimintakan banding lagi) tentang apakah penolakan pemberian surat keterangan itu beralasan atau
tidak. Jika Pengadilan memutuskan bahwa penolakan tidak beralasan, maka keputusan itu menjadi
pengganti keterangan. Surat keterangan atau keputusan pengganti keterangan tidak mempunyai
kekuatan lagi jika perkawinan itu tidak dilangsungkan dalam masa 6 (enam) bulan sesudah keterangan
itu diberikan.3[3]

Perkawinan di Luar Indonesia

Akan tetapi, jika Anda menikah di Malaysia, berarti perkawinan Anda adalah Perkawinan di Luar
Indonesia sebagaimana diatur dalam Pasal 56 UU Perkawinan:

(1) Perkawinan yang dilangsungkan di luar Indonesia antara dua orang warganegara Indonesia atau
seorang warganegara Indonesia dengan warganegara Asing adalah sah bilamana dilakukan menurut
hukum yang berlaku di negara dimana perkawinan itu dilangsungkan dan bagi warganegara Indonesia
tidak melanggar ketentuan-ketentuan Undang-undang ini.

(2) Dalam waktu 1 (satu) tahun setelah suami isteri itu kembali di wilayah Indonesia, surat bukti
perkawinan mereka harus didaftarkan di Kantor Pencatatan Perkawinan tempat tinggal mereka.

Jadi, dalam perkawinan di luar Indonesia, ketentuan-ketentuan yang harus dipenuhi antara lain:

1. Dilakukan menurut hukum yang berlaku di negara mana perkawinan itu dilangsungkan. Apabila Anda
melakukan pernikahan ini di Malaysia, maka pernikahan Anda tersebut harus sesuai dengan hukum
Malaysia, dan kemudian dicatatkan pada institusi Catatan Sipil setempat.

2. Bagi WNI, perkawinan tidak melanggar ketentuan UU Perkawinan. Jadi, perkawinan Anda tetap harus
tunduk pada ketentuan-ketentuan dalam UU Perkawinan.

3. Apabila perkawinan ini akan dilakukan di Malaysia, maka Anda harus melakukan pencatatan dan
pelaporan pada Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil di Indonesia dalam kurun waktu 1 (satu) tahun.
Uraian lebih jauh mengenai pelaporan dan pencatatan perkawinan campuran dapat Anda baca dalam
artikel Mencatatkan Perkawinan di Dua Negara.

Harta Bersama dan Perjanjian Perkawinan

WNI yang menikah dengan WNA, setelah perkawinan, memang tidak diperbolehkan untuk memiliki hak
atas tanah yang berupa Hak Milik, Hak Guna Usaha ataupun Hak Guna Bangunan. Hal demikian sesuai
dengan Pasal 35 UU Perkawinan yang menyatakan bahwa harta benda yang diperoleh selama
perkawinan menjadi harta bersama. Jadi, ada percampuran harta yang diperoleh setelah perkawinan,
dan pasangan Anda (yang berstatus WNA) akan turut menjadi pemilik atas harta bersama tersebut.
Sedangkan merujuk pada ketentuan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar
Pokok-Pokok Agraria, WNA tidak boleh memiliki Hak Milik, Hak Guna Usaha ataupun Hak Guna
Bangunan.

Karena itulah, seorang WNI yang menikah dengan WNA, setelah menikah tidak bisa lagi memperoleh
Hak Milik, atau Hak Guna Bangunan, atau Hak Guna Usaha, karena akan menjadi bagian dari harta
bersama yang dimilikinya dengan pasangan WNA-nya.

Apabila Anda ingin tetap memiliki hak atas tanah setelah melakukan perkawinan dengan WNA tersebut,
maka Anda harus membuat perjanjian perkawinan atau perjanjian pranikah yang mengatur mengenai
pemisahan harta Anda dan harta istri.

Perjanjian kawin boleh dibuat pada waktu, sebelum, atau selama dalam ikatan perkawinan. Hal ini telah
diatur dalam Pasal 29 UU Perkawinan jo. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015:

(1) Pada waktu, sebelum dilangsungkan, atau selama dalam ikatan perkawinan, kedua belah pihak atas
persetujuan bersama dapat mengajukan perjanjian tertulis yang disahkan oleh Pegawai pencatat
perkawinan atau notaris, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga
tersangkut.

(2) Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas hukum, agama dan
kesusilaan.

(3) Perjanjian tersebut mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan, kecuali ditentukan lain dalam
Perjanjian Perkawinan.

(4) Selama perkawinan berlangsung, perjanjian perkawinan dapat mengenai harta perkawinan atau
perjanjian lainnya, tidak dapat diubah atau dicabut, kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan
untuk mengubah atau mencabut, dan perubahan atau pencabutan itu tidak merugikan pihak ketiga.

Berdasarkan Surat Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kementerian Dalam Negeri
Nomor: 472.2/5876/DUKCAPIL tanggal 19 Mei 2017, perjanjian perkawinan dapat dibuat sebelum, pada
saat, dan selama perkawinan berlangsung dengan akta notaris dan dilaporkan kepada Instansi Pelaksana
atau Unit Pelaksana Teknis (“UPT”) Instansi Pelaksana. Terhadap pelaporan perjanjian perkawinan
tersebut, Pejabat Pencatatan Sipil pada Instansi Pelaksana atau UPT Instansi Pelaksana membuat
catatan pinggir pada register akta dan kutipan akta perkawinan.

Menurut advokat Anita D.A. Kolopaking dalam makalahnya berjudul “Kepemilikan Tanah oleh Warga
Negara Asing” perjanjian perkawinan yang lazim disepakati antara lain berisi:

1. Harta bawaan ke dalam perkawinan, baik harta yang diperoleh dari usaha masing-masing maupun
dari hibah, warisan ataupun cuma-cuma yang diperoleh masing-masing selama perkawinan.

2. Semua hutang yang dibawa oleh suami atau istri dalam perkawinan mereka yang dibuat oleh mereka
selama perkawinan tetap akan menjadi tanggungan suami atau istri.

3. Istri akan mengurus harta pribadinya baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak dan dengan
tugas memungut (menikmati) hasil dan pendapatan baik hartanya itu maupun pekerjaannya atau
sumber lain.

4. Untuk mengurus hartanya itu isteri tidak memerlukan bantuan atau kuasa dari suami.

5. dan lain sebagainya.

Pasal 6 (uu Perkawinan)

(1) Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai. (2) Untuk melangsungkan
perkawinan seorang yang belum mencapai umur 21 (duapuluh satu) tahun harus mendapat izin
kedua orang tua.

(3) Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak
mampu menyatakan kehendaknya, maka izin dimaksud ayat (2) pasal ini cukup diperoleh dari orang
tua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan kehendaknya.
(4) Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk
menyatakan kehendaknya, maka izin diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau keluarga yang
mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus keatas selama mereka masih hidup dan
dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya.

(5) Dalam hal ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang disebut dalam ayat (2), (3) dan (4)
pasal ini, atau salah seorang atau lebih diantara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka
Pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan atas
permintaan orang tersebut dapat memberikan izin setelah lebih dahulu mendengar orang-orang
tersebut dalam ayat (2), (3) dan (4) pasal ini.

(6) Ketentuan tersebut ayat (1) sampai dengan ayat (5) pasal ini berlaku sepanjang hukum masing-
masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain.

Anda mungkin juga menyukai