A. TUJUAN PEMBELAJARAN
Modul ini dibuat dengan tujuan menjelaskan mengenai kesepakatan internasional tentang
energi terbarukan sehingga dapat dipahami dengan baik dan jelas oleh pembaca.
B. URAIAN MATERI
1. Protokol Kyoto
Protokol Kyoto merupakan kesepakatan Negara-negara di dunia terkait dengan isu
lingkungan. Protokol Kyoto merupakan hasil dari konferensi lingkungan terkait dengan
pemanasan global yang diadakan di Kyoto Jepang. Protokol Kyoto dihasilkan dari
Conference of parties (COP) yang diadakan pada bulan desember tahun 1997. Protokol Kyoto
merupakan kesepakatan seluruh negara yang mengikuti konferensi tersebut, yang mana negara-
negara tersebut merupakan negara anggota PBB.
Protokol Kyoto mencakup kesepakatan antar negara yang diaplikasikan dalam tiga poin
penting dalam Protokol Kyoto. Pertama, Join Implementation (JI) poin mekanisme ini tertera
pada pasal 6 Protokol Kyoto yang menjelaskan kemungkinan dari negara yang menyepakati
Protokol Kyoto untuk mengurangi emisi GRK serta membatasi proyek yang banyak
menghasilkan emisi GRK. Dalam poin tersebut berarti seluruh negara diharuskan bekerjasama
dalam mengimplementasikan mekanisme pengurangan emisi GRK. Kedua, Clean Development
mechanism (CDM) poin mengharuskan Negara industri untuk memberikan kredit terhadap
Negara berkembang dalam project impementasi dari program protokol kyoto. Ketiga,
Perdagangan Emisi merupakan poin dalam Protokol Kyoto yang menjelaskan mengenai adanya
mekanisme dalam Protokol Kyoto yang mengatur mengenai perdagangan emisi antar negara. Hal
tersebut tertera dalam pasal 17 Protokol Kyoto yang mengeharuskan negara maju atau
negara yang menghasilkan emisi GRK yang melebihi kapasitas untuk membeli Gas yang
dihasilkan negara yang memiliki hutan tropis seperti indonesia untuk mengurangi emisi GRK.
Hal tersebut biasa dianggap sebagai pasar karbon yang memungkinkan negara berkembang
mendapat timbal balik dari industrialisasi yang dilakukan oleh negara maju yang menyebabkan
pemanasan Global.
Sebelum terbentuknya Protokol Kyoto, isu lingkungan telah dibahas dalam beberapa
konferensi penting terkait dengan isu lingkungan. Setelah berakhirnya perang dunia kedua
Protokol Kyoto yang dianggap sebagai babak baru dari kesepakatan negara anggota PBB
lingkungan merupakan modal utama dari terbentuknya Protokol Kyoto, yang mana
berakhirnya Perang Dunia II, terjadi perubahan dalam sistem hubungan internasional. Hal
tersebut dibuktikan dengan berubahnya LBB (Liga Bangsa Bangsa) menjadi PBB
(Perserikatan Bangsa Bangsa) pada tahun 1945. Keanggotaan PBB semakin meningkat sejak
didirikan pada tahun 1945 dari 51 anggota menjadi 132 anggota sebelum konferensi
Stokholm 1972, yang merupakan konferensi tentang isu lingkungan yang pertama setelah
Human Environment/ UNCHE) yang diadakan di Stockholm Swedia dari tanggal 5-16 Juni
1972, merupakan konferensi lingkungan pertama yang diselenggarakan oleh PBB, yang
Stockholm. Konferensi Stockholm diadakan oleh PBB merujuk pada Resolusi Majelis
Umum PBB No. 2849 (XXVI) tanggal 20 Desember 1971. Konferensi Stockholm dihadiri
oleh 113 negara anggota PBB dan 400 peninjau dari berbagai kalangan. Pembukaan
alot, di mana terdapat beberapa negara yang menentang hampir semua agenda yang dibahas
dalam konferensi tersebut. China merupakan salah satu negara yang menentang agenda
perdebatan panjang dan melelahkan, antara negara maju dan berkembang, akhirnya
mengasilkan sebuah keputusan yang menjadi Deklarasi Stokholm, Isi Deklarasi Stockholm
adalah:
1. Deklarasi tentang Lingkungan Hidup Manusia atau yang lebih dikenal dengan
Deklarasi Stokholm, 1972. Deklarasi ini terdiri dari Pembukaan dan 26 asa.
2. Rencana Aksi (Action Plan) yang terdiri dari 109 rekomendasi termasuk 18
yang terdiri:
- Dewan Pengurus UNEP, Dewan Pengurus ini berisi 58 negara yang dipilih setiap
Direktur Eksekutif, yang mana diplih oleh Majelis Umum PBB yang dinominasian
- Badan koordinasi Lingkungan Hidup, dibentuk untuk menjamin kerja sama semua
dunia.
konferensi disahkan melalui Sidang Majelis Umum PBB dalam Resolusinya No. 2997.
Dengan demikian tampaknya arah perkembangan isu lingkungan mulai ditata secara global
dan menjadi konsep yang jelas untuk meningkatkan kerja sama global maupun regional di
Pasca Perang Dingin Konferensi PBB mengenai isu lingkungan kembali dilaksanakan
di Rio de Jenero, konferensi tersebut disebut United Nation Conference on the Environment
and Development (UNCED). Konferensi Rio diselenggarakan pasca Perang Dingin yang
sebelumnya yang membahas mengenai isu lingkungan.29 Konferensi Rio biasa juga disebut
sebagai KTT Bumi yang dihadiri oleh seluruh anggota PBB. Hal tersebut berbeda dengan
konferensi Stokholm 1972 yang hanya dihadiri sebagian negara anggota PBB yaitu negara-
negara Barat dan sebagian negara-negara berkembang. KTT Bumi dilaksanakan dengan
dihadiri oleh 180 negara dan beberapa aktor non negara seperti NGO, Organisasi
internasional dan lainnya. Konferensi tersebut mensepakati sebuah kerjasama antar negara
terkait dengan isu lingkungan yang disebut UNFCCC (United Nation Framework
Dalam KTT Bumi dibahas tentang perlunya kerangka aksi nyata dari seluruh negara
yang mengikuti konferensi tersebut. Penjelasan mengenai pemanasan global serta efek dari
pemanasan global menjadi perhatian utama dari konferensi tersebut. Sehingga dalam
konferensi tersebut membahas mengenai pentingnya kesadaran dari seluruh negara untuk
mengurangi emisi GRK serta perlunya peranan negara maju untuk dapat memimpin dalam
mewujudkan hal tersebut.30 Dalam KTT Bumi menyebutkan bahwa hasil dari KTT tersebut
memiliki rencana jangka pendek dan rencana jangka panjang. Rencana jangka pendek
diberlakukan khususnya kepada negara maju untuk dapat segera mengambil tindakan untuk
mengembalikan emisi GRK ke level 1990 pada tahun 2000 terutama untuk gas
karbondioksida yang merupakan salah satu gas yang terbanyak diatmosfer yang
menyebabkan pemanasan global. Hal tersebut berarti negara maju harus menurunkan kadar
emisi GRK sesuai dengan kadar emisi GRK pada tahun 1990 yang diterapkan pada tahun
2000. Rencana jangka pendek tersebut harus diupayakan agar kadar emisi GRK diatmosfer
dapat distabilisasi. Sedangkan rencana jangka panjang lebih terkait pada stabilisasi emisi
GRK di atmosfer terutama GRK agar dapat mengurangi dampak dari pemanasan global.
Setelah melalui pertemuan dan perdebatan terkait dengan Action plan jangka panjang dan
pendek yang dibahas dalam KTT Bumi, akhirnya dapat menghasilkan sebuah keputusan
internasional baru dan perubahan sistem lama mengenai keamanan kolektif yang terbentuk
atas dasar ideologi, konfrontasi bersenjata dan kekhawatiran akan terjadinya perang dunia,
telah bergeser dan berubah menjadi ancaman keamanan akibat ketidakadilan ekonomi dan
kerusakan ekologi. Namun hal terpenting adalah KTT ini telah memberikan ide,
pandangan, gagasan, harapan, dan aspirasi. Setelah KTT ini diperlukan tindakan-tindakan
lanjutan dalam berbagai tingkatan, yaitu tingkat internasional, regional maupun nasional
hingga lokal. Berbagai tindakan lebih lanjut dilaksanankan yang kemudian terbentuknya
Dalam Konferensi Tingkat Tinggi Bumi yang diadakan di Rio de Jenero yang
menstabilkan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) agar tidak membahayakan iklim di bumi.
Parties (COP).
1995. Konferensi yang diselenggarakan pada tanggal 28 Maret s/d 7 April tersebut
membahas mengenai Germany Mandate yang merupakan sebuah konsep awal sebuah
protokol, yang kemudian diresmikan sebagai Protokol Kyoto tiga tahun kemudian. 33 Pada
dalam isu lingkungan. Isu yang dibahas kemudian adalah mengenai perlunya transfer
tekhnologi dari negara maju terhadap negara berkembang. Tehknologi yang ramah
lingkungan dianggap perlu untuk diketahui oleh seluruh negara, baik negara maju maupun
negara berkembang. Hal tersebut dikarenakan, agar dapat terjadinya proyek pembersihan
membahas mengenai persiapan para delegasi untuk membuat sebuah Protokol yang
kemudian dinamakan sebagai Protokol Kyoto. Ini merupakan objek utama dalam
emisi GRK lebih difokuskan kepada negara-negara Annex 1, yaitu sebagai berikut: Annex I
Utara
Kyoto, Jepang, pada bulan Desember 1997, sebagai tindak lanjut dari implementasi tujuan
konvensi kerangka kerja tentang perubahan iklim (UNFCCC) 34. Tujuan utamanya dari
Konvensi adalah untuk mencapai stabilisasi dari konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer
pada tingkat yang berbahaya anthropogenic akan mencegah gangguan pada sistem iklim.
Tingkat tersebut harus dicapai dalam waktu yang cukup untuk membolehkan ekosistem
alami untuk menyesuaikan diri terhadap perubahan iklim, untuk memastikan bahwa
Di dalam konferensi para pihak ketiga (COP III) di Kyoto, Jepang, disepakati
adanya sebuah tata cara penurunan emisi GRK yang dikenal dengan Protokol Kyoto (Kyoto
Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC) . Negara-negara yang meratifikasi protokol
ini berkomitmen untuk mengurangi emisi GRK antropogenik yang meliputi CO2, CH4,
N2O, HFC, PFC dan SF6 atau bekerjasama dalam perdagangan emisi jika mereka menjaga
atau menambah jumlah emisi gas-gas tersebut, yang telah dikaitkan dengan pemanasan
global.
Di dalam Protokol Kyoto telah disepakati jadwal dan target penurunusan emisi
GRK oleh negara maju, negara maju diminta untuk menurunkan emisi GRK sebesar 5
persen dari tingkat emisi 1990 pada tahun 2008-2012. Kelompok negara maju dalam
Protokol Kyoto disebut dengan annex 1 harus menurunkun emisi GRK yang telah
diproduksinya. Penurunan emisi GRK harus sesuai dengan mekanisme fleksibel yang
tertera dalam Protokol Kyoto. Protokol Kyoto memiliki tiga mekanisme yang kemudian
harus diikuti oleh negara-negara yang meratifikasi Protokol tersebut35. Join implementation,
mekanisme Kyoto yang harus dilaksanakan oleh seluruh negara yang meratifikasi Protokol
Kyoto.
Awal bulan Desember 1997 merupakan sejarah baru bagi diplomasi lingkungan.
Lebih dari 100 negara di dunia menghadiri COP3 yang diselenggarakan di Kyoto, Jepang.
Konferensi negara anggota PBB yang membahas tentang isu lingkungan terutama isu
pemanasan global, yang menjadi tema utama dalam konferensi tersebut. Penurunan emisi
GRK merupakan poiin penting yang dibahas, yang kemudian disepakati dalam bentuk
protokol yang disebut Protokol Kyoto. Dalam Protokol Kyoto terdapat tiga mekanisme
penting dalam rangka mewujudkan tujuan dari Protokol Kyoto. Tiga mekanisme tersebut
adalah Joint Implementation (JI), Emision Trading dan Clean Development Mechanisme.
Tiga mekanisme tersebut yang menjadi pilar utama dari negosiasi-negosiasi antar negara
Perdagangan emisi merupakan salah satu dari tiga poin mekanisme Protokol Kyoto.
Perdagangan emisi tertera pada pasal 17 dari Protokol Kyoto 36. Dalam pasal tersebut
dijelaskan mengenai perdagangan emisi antar negara yang tergabung dalam annex B. Pasal
tersebut menjaelaskan bahwa antar negara annex B yang tertera dalam Protokol Kyoto dapat
saling menjual atau membeli emisi guna menstabilkan kadar emisi GRK di dalam atmosfer.
Annex B beranggotakan negara-negara Eropa Tengah dan sebagian Eropa Timur serta
bebereapa negara pecahan Uni Soviet. Perdagangan Emisi bukan merupakan sebuah
mekanisme yang memiliki landasan proyek seperti mekanisme lainnya, yaitu Join
Perdagangan emisi tertera pada artikel ke-3 paragraf 10 dan 11 dalam Protokol
Kyoto. Dalam artikel tersebut dijelaskan bahwa berapa emisi yang dikurangi atau berapa
bagian jumlah emisi yang dihasilkan. Berarti dalam mekanisme ini terdapat aturan dalam
penjualan emisi yang mengharuskan keseimbangan dalam emisi antar penjual emisi dan
pembelinya. Hal tersebut berarti dalam perdagangan emisi harus ada stabilisasi antar
penjual dan pembeli emisi agar kadar emisi GRK dalam atmosfer tetap stabil. Pada awalnya
perdagangan emisi merupakan mekanisme yang alot dibahas saat pembentukkan Protokol
perdagangan emisi guna mengurangi emisi GRK dalam atmosfer yang menyebabkan
pembentukan perdagangan emisi adalah perdagangan emisi kurang signifikan dalam usaha
untuk mengurangi emisi serta dianggap belum tentu dapat mengurangi emisi GRK.38 Akan
tetapi, pada tahun 2001 Uni Eropa sebagai penggagas ide perdagangan emisi tetap
yang membeli atau menjual emisi. Hal tersebut diperlukan karena dikhawatirkan terdapat
pihak yang terlalu banyak menjual emisi untuk kepentingan nasionalnya, sehingga kadar
emisi di negaranya tidak diperhatikan.39 Jadi solusi yang kemudian dikeluarkan adalah
setiap negara yang menjual emisi harus memiliki cadangan emisi sekitar 90 persen dari
ketidakstabilan kadar emisi dalam atmosfer, yang mana tujuan utama dari perdagangan
emisi tersebut adalah untuk menstabilkan emisi GRK atau mangurangi kadar emisi GRK
Negotiating Commite, INC) menjelang COP 1 pada tahun 1995, telah dibicarakan mengenai
mekanisme Joint Implementation (JI). JI merupakan usulan dari Norwegia, yang mana
dimaksudkan agar seluruh negara turut serta dalam mengatasi pemanasan global.40
Perundingan mengenai Joint Implementation tidak begitu lancar, dikarenakan adanya
penolakan dari beberapa negara. Negara anggota OPEC menolak adanya mekanisme Joint
Implementation, karena mekanisme tersebut dianggap tidak akan efektif dan dapat
anggota OPEC, China dan India juga menolak mekanisme tersebut dan berharap kelompok
sebagai mekanisme yang harus diikuti oleh negara- negara berkembang. G77+China
Joint Implementation (JI) merupakan proyek dari Protokol Kyoto terkait penurunan
emisi GRK. Proyek tersebut tertera pada artikel ke-6 dalam Protokol Kyoto, bahwa
Annex 1 dapat mengurangi masing-masing 1 Ton CO2, yang merupakan salah satu target
dari Protokol Kyoto. Proyek JI harus memberikan pengurangan yang signifikan dari sumber
atau emitor. Sehingga proyek tersebut dapat dilaksanakan mulai tahun 2000 jika telah sesuai
dengan prosedur yang ada. Akan tetapi pada dasarnya proyek ERUs mulai efektif
dapat dilakukan yaitu Track One atau Track Two.42 Prosedur pertama atau Track One
menyebutkan bahwa, jika host parties dari proyek Joint Implementation (JI) telah
meningkatkan pembersihan sesuai dengan proyek JI. Hal tersebut dimaksudkan sebagai
tambahan jika proyek tersebut berjalan sebaliknya. Hal tersebut juga dimaksudkan agar
adanya penyesuaian proyek Join Implementation dengan peraturan nasional dari negara
yang memverivikasi proyek JI, yang kemudian menseleksi setiap proyek agar sesuai
dengan target ERUs. Prosedur kedua atau Track Two, jika terjadinya kekurangan dalam
melengkapi persyaratan dari proyek Join Implementation (JI). Maka, proyek tersebut
harus diverifikasi dibawah aturan dari Komite Pengawas dari proyek Joint
kedua ini JISC bertugas untuk menentukan relevansi dari persyaratan yang telah dipenuhi
oleh negara yang akan mentransfer dan menerima proyek ERUs. Sehingga sebelum
dilaksanakannya proyek ERUs komite pengawas atau JISC telah memverifikasi bahwa
Proyek ERUs yang terdapat dalam mekanisme JI pada dasarnya tidak dapat
diterima sepenuhnya oleh negara berkembang. Karena proyek tersebut hanya antar
negara maju, sedangkan negara berkembang kurang berperan dalam proyek tersebut. Hal
eropa timur yang notebene merupakan negara yang sedang dalam masa transisi
dari negara berkembang menuju negara maju. Sedangkan di wilayah Asia hanya
sedikit memperpoleh jatah proyek ERUs, sehingga mekanisme JI sedikit terhambat oleh
CDM adalah sebuah usulan mekanisme fleksibel Protokol Kyoto yang muncul
secara tiba-tiba ketika pertemuan yang membahas Protokol Kyoto hendak ditutup pada
tanggal 11 Desember 1997 atau sehari setelah mengalami pengunduran dari waktu
penutupan yang direncanakan. CDM muncul kepermukaan diawali oleh proposal yang
diajukan oleh delegasi dari negara Brazil. Proposal tersebut terkait dengan dana yang
dapat digunakan untuk mitigasi dan adaptasi perubahan iklim oleh negera-negara
berkembang. Dana tersebut dikenal Clean Development Fund, yang mana dana tersebut
diperoleh dari denda dari Negara-negara Annex 1 yang tidak taan dalam memenuhi
komitmennya untuk mengurangi emisi Gas Rumah Kaca43. Besarnya dana yang
dikeluarkan berdasarkan nilai tertentu per ton emisi yang dihasilkan yang melebihi jatah
yang seharusnya. Sehingga semakin seringnya terjadi kelebihan batas emisi, maka
semakin besar juga dana yang dapat dimanfaatkan untuk menanggulangi perubahan
iklim tersebut mendapat dukungan dari Negara-negara berkembang seperti China, India
dan Negara-negara kepulauan kecil. Akan tetapi hal tersebut berbanding terbalik dengan
sikap Negara Annex 1 yang merupakan kelompok dari Negara-negara maju. Penolakan
seperti Amerika serikat yang kemudian tertarik untuk menggodok konsep tersebut.
Sampai pada akhirnya China mengusulkan sebuah mekanisme berkelanjutan yang dapat
secara nyata mengurangi emisi GRK. Pada saat itulah ide tantang Clean Development
Mechanism muncul dan diterima oleh seluruh Negara, karena CDM dianggap lebih
fleksibel dalam aplikasi dari konsep mekanisme tersebut. CDM juga merupakan satu-
satunya mekanisme dalam Protokol Kyoto yang dapat diikuti oleh seluruh Negara, baik
Mekanisme CDM tertera pada artikel ke-12 dalam Protokol Kyoto. Clean
Development Mechanism merupakan mekanisme yang dapat diiikuti oleh semua negara.
Hal tersebut sesuai dengan tujuan dari mekanisme CDM. 44 Terdapat tiga tujuan utama
dari terbentuknya CDM, pertama memberikan kesempatan kepada negara non Annex 1
dibandingkan dua mekanisme lainnya, yaitu Emision Trading dan Joint Implementation.
Hal tersebut dikarenakan konsepnya yang lebih fleksibel dan kompetitif. Alasan tersebut
terutama bagi negara maju dalam Annex 1. Bagi negara maju mekanisme dianggap lebih
kompetitif dan murah dibandingkan konsep Join Implementation yang hanya melibatkan
negara Annext 1. Anggaran yang tidak begitu mahal terkait penurunan emisi GRK
membuat negara maju menerima mekanisme tersebut. Selain itu dalam mekanisme
tersebut negara berkembang juga dapat turut serta dalam upaya penurunan emisi GRK. 45
Hal tersebut dikarenakan negara berkembang akan memperoleh suntikan dana yang
cukup besar untuk dapat menjalankan proyek mengurangi emisi GRK. Dana tersebut
emisi, yang kemudian negara berkembang juga memperoleh keuntungan dengan adanya
transfer tekhnologi dari negara maju ke negara berkembang yang terkait dengan
CDM yang merupakan mekanisme yang dapat diikuti oleh negara berkembang
dan negara maju. Akan tetap, pada dasarnya terdapat beberapa persyaratan bagi negara
maju dan berkembang untuk dapat memenuhi kriteria negara yang dapat menjalankan
- Menjadi anggota atau pihak Protokol Kyoto dengan cara meratifikasi Protokol tersebut.
- Memiliki sistem nasional tentang pendugaan emisioleh sumber dan penyerapan oleh
UNFCCC. Sebaliknya jika negara tau peserta proyek CDM telah memenuhi persyaratan,
maka negara tersebut dapat menunjuk pengembang atau peserta proyek yang mewakili
kedua belah pihak. Proyek yang dijalankan harus pada sektor yang merupakan sumber dari
penghasil emisi GRK, seperti industri, transportasi, pengelolaan limbah organik, pertanian
Protokol Kyoto merupakan rezim baru dalam dunia internasional yang terkait
dengan isu lingkungan, terutama dalam hal mengontrol emisi GRK. Protokol Kyoto pada
dasarnya dibuat untuk membatasi emisi Gas Rumah Kaca (GRK) yang dikeluarkan oleh
for Economic Coorporation and Development (OECD), yang mana beranggotakan dari
Negara-negara maju ditambah dengan beberapa Negara Eropa Timur dan Negara-negara
pecahan Uni Soviet. Dalam Protokol Kyoto dijelaskan bahwa Negara yang termasuk
dalam Annex 1 secara individu atau bersama-sama harus mengurangi emisi GRK sebesar
5 persen dari standarisasi level emisi pada tahun 1990 47. Protokol Kyoto memiliki target
pengurangan emisi secara berkala dimulai tahun 2008 sampai masa habisnya Protokol
Kyoto pada tahun 2012. Dalam memenuhi target tersebut Protokol Kyoto memiliki
beberapa Action Plan yang harus diikuti oleh seluruh Negara yang meratifikasi Protokol
Kyoto.
Program aksi dari Protokol Kyoto berdasarkan mekanisme yang telah disepakati dalam
isi dari Protokol Kyoto. Join Implementation, Emision Trading dan Clean Development
Mechanism merupakan tiga mekanisme yang tertera dalam Protokol Kyoto. Program Aksi
dari mekanisme Protokol Kyoto tersebut dimulai tahun 2005 dan dapat berjalan efektif
pada tahun 200848. Hal tersebut dikarenakan, terdapat beberapa negara yang baru
mekanisme Protokol Kyoto antara tahun meratifikasinya seperti Indonesia tahun 2004
kemudian dapat mempersiapkan proyek yang dilaksanakan pada tahun 2008. Akan tetapi
bagi negara yang memang sudah siap untuk menjalankan proyek tersebut dapat memulai
proyek dari tahun 2005. Proyek-proyek penurunan emisi GRK merupakan program aksi
yang utama dalam Protokol Kyoto. Hal tersebut terlihat dari ketiga mekanisme
Protokol Kyoto yang memiliki tujuan yang sama, yaitu mereduksi emisi GRK yang
menyebabkan pemanasan Global. Pada tahun 2002 Protokol Kyoto memiliki Program
aksi, yang mana dalam program aksi tersebut dijalankan untuk mengkalkulasi kadar
karbon dioksida CO2 dalam setiap rumah. Hal tersebut dimaksudkan agar dalam
penghitungan kadar emisi GRK dapat lebih mendetail dan lebih jelas. Sehingga dapat
emisi GRK dari rumah masing-masing atau dari gaya hidup yang telah dijalani.
Dalam Program Aksi dari Protokol Kyoto fokus kepada pengurangan emisi GRK.
Beberapa jenis gas yang menyebabkan pemanasan global adalah sebagai berikut:
Methane (CH4)
Hydrofluorocarbons (HFCs)
Perfluorocarbons (PFCs)
Perfluorokarbon (PFC)
Target penurunan emisi GRK tersebut merupakan tujuan dari program aksi
Protokol Kyoto. Program aksi yang diterapkan dalam proyek mekanisme Protokol Kyoto,
yang mana proyek tersebut meliputi alih tekhnologi, pengurangan emisi GRK serta riset
terkait perkembangan perubahan iklim yang menjadi program utama dari Protokol Kyoto.
Dari program aksi tersebut dapat dilihat peranan dari Negara-negara di dunia dalam
mengurangi dampak dari pemanasan global. Hal tersebut juga menjadi menarik ketika
Indonesia sebagai Negara yang memiliki hutan tropis terbesar kedua di dunia, berperan aktif
2. Protokol Montreal
Pada tahun 1985, Konvensi Wina telah menetapkan mekanisme internasional untuk
bekerja sama untuk melakukan riset mengenai lapisan ozon dan efek dari bahan kimia yang
merusak ozon. Dan berdasarkan Konvensi Wina, 20 negara dan tiga nongovernmental
organizations (NGOs) mulai bernegosiasi tentang permasalahan lapisan ozon ini selama
seminggu pada tahun 1986 dan pada September 1987 sebanyak 60 delegasi dari seluruh
Protokol Montreal mengenai Bahan Kimia yang Merusak Lapisan Ozon (The Montreal
Protocol on Substances That Deplete The Ozone Layer) ini disetujui pada tanggal 6
Montreal, Kanada.
penggunaan bahan-bahan dan substansi kimia yang merusak lapisan ozon. Substansi-
substansi yang merusak ini dapat dengan mudah kita temukan dalam penggunaan
refrigerator, air conditioner, alat pemadam kebakaran, produksi aerosol, dan pembuatan
foam.
Protokol Montreal telah dikenal sebagai salah satu perjanjian tentang perlindungan
lingkungan yang paling sukses. Protokol ini berhasil diratifikasi oleh 97 negara dan
mengikat mereka dalam upaya meminimalisir dan memperlambat laju pengrusakan ozon.
Pemerintah Indonesia sendiri telah ikut meratifikasi Protokol Montreal dan Konvensi Wina
melalui Kepprer No. 23 Tahun 992 tentang Pengesahan Konvensi Wina dan Protokol
mengilangkan tahap demi tahap substansi-substansi yang merusak ozon. Jadwal ini
mengikat baik negara maju dan negara berkembang, serta selalu diperiksa dan
Target dari perjanjian ini adalah untuk mengurangi 96 senyawa kimia yang telah digunakan
secara umum.
Protokol ini tidak hanya bereaksi atas hal yang benar-benar telah terjadi, namun
juga pada aksi prefentif dalam skala global. Protokol ini telah diperkuat dengan lima kali
amandemen. Amandemen London pada tahun 1990, Copenhagen pada tahun 1992, Wina
pada tahun 1995, Montreal pada tahun 1997, dan Beijing pada tahun 1999. Dan
substansi-substansi perusak baru dalam daftar substansi perusak ozon yang diatur dalam
Protokol Montreal.
yang menyokong dana dalam kegiatan Protokol Montreal ini. Multilateral Fund dibawahi
oleh United Nation Environment Program (UNEP) dan secara langsung berhubungan
Pada akhir tahun 1920-an, sistem pendingin dan pengatur udara menggunakan
bahan kimia seperti amonia, klorometana, propana dan sulfur oksida sebagai bahan
pendingin. Walaupun efektif, bahan-bahan kimia tersebut bersifat racun, mudah terbakar
dan dapat menyebabkan penyakit dan kematian yang cukup serius. Thomas Midgley, Jr. dan
Albert L. Henne mengembangkan suatu bahan yang menggabungkan fluor dan hidrokarbon
menjadi Chlorofluorocarbon atau yang lebih dikenal dengan CFC. “Freon” yang merupakan
merek dagang menjadi sebutan umum untuk CFC. Pada tahun 1974, dua orang ilmuwan
yang bernama Sherwood Rowland dan Mario Molina dari University of California
menyampaikan hasil penelitian yaitu bahwa bahan kimia CFC dapat menguraikan ikatan
molekul ozon yang berada di statosfir. Lapisan ini berguna untuk melindungi permukaan
bumi dari bahaya radiasi ultraviolet yang berasal dari sinar matahari.
karena dapat menyebabkan pe rubahan metabolisme sel tumbuhan maupun hewan dan dapat
merusak material genetik. Di alam, adanya peningkatan radiasi UV-B yang berlebihan akan
dapat mempengaruhi reaksi kimia atmosfer yang dapat memicu terjadinya hujan asam dan
pemanasan global. Salah satu akibat negatif dari makin menipisnya lapisan ozon adalah
gangguan kesehatan yang berupa katarak mata, kanker kulit dan menurunnya efek imunitas
tubuh. Menurut US EPA (20) paparan sinar UV-B dapat menyebabkan kerusakan kumulatif
terhadap sistem mata, karena dapat merusak kornea mata, selain itu juga dapar
menyebabkan terjadinya katarak mata. Penggunaan kaca mata hitam (sunglasses) sangat
Pada penelitian yang dilakukan di Kota Makassar pada tahun 2009- 2010, diperoleh
hasil bahwa pada lokasi dengan paparan UV yang rendah mempunyai kecenderungan
prevalensi katarak yang lebih kecil dibandingkan dengan daerah yang mendapatkan paparan
UV yang tinggi. Penurunan risiko pada paparan UV rendah mencapai 30%. Kemudian pada
daerah dengan lokasi yang terpapar sinar UV pada kadar yang rendah memiliki faktor
proteksi terhadap katarak hingga kurang lebih 40%. Namun demikian, perlu juga dilihat
adanya faktor lain yang mempengaruhi prevalensi kasus katarak mata ini. Pemanasan global
merupakan salah satu permasalahan lingkungan global yang saat ini menjadi isu paling
hangat seiring dengan makin menghangatnya bumi akibat pemanasan global. Ozon
mempengaruhi iklim, dan iklim mempengaruhi ozon. Suhu, kelembaban, angin, dan adanya
bahan kimia lainnya yang berpengaruh dalam pembentukan ozon atmosfer, dan kehadiran
Interaksi antara ozon dan iklim telah menjadi subyek diskusi sejak awal 1970-an
ketika para ahli menyatakan bahwa bahan kimia buatan manusia dapat menguraikan ikatan
molekul ozon. Gambar 2. menunjukkan kaitan antara penipisan ozon dan perubahan iklim.
Ozon berdampak pada iklim terutama terkait dengan perubahan suhu. Semakin banyak ozon
yang ada di kantung udara, maka panas yang ada tetap bertahan. Ozon menghasilkan panas
di stratosfer, baik yang berasal dari absorpsi radiasi ultraviolet matahari maupun hasil
serapan radiasi infrared di troposfer. Akibatnya, ozon stratosfer makin menurun pada suhu
meningkatnya emisi gas rumah kaca di lapisan troposfer. Penipisan lapisan ozon dan
pemanasan global mempunyai kaitan yang sangat erat mencakup masalah ilmiah, teknologi
memperlambat pemulihan lapisan ozon 18 tahun dari perkiraan semula tahun 2050 menjadi
2068. Bahan-bahan perusak ozon seperti CFC, HCFC, Halon, dan Metil bromida memiliki
kemampuan yang lebih tinggi ribuan kali dibandingkan dengan CO2 dalam menyebabkan
halokarbon seperti CFC dan HCFC merupakan GRK yang cukup kuat.
pengurangan jumlah emisi GRK, yaitu sebesar 8 Giga ton setara CO2 per tahun atau 30%
dari emisi GRK dunia. Emisi bahan pendingin dari jenis HCFC pada tahun 2002 mencapai
setengah dari konsumsi bahan pendingin total 470.000 ton di seluruh dunia. Apabila tidak
ada upaya pengurangan atau penghapusan maka pada tahun 2015 diperkirakan jumlah emisi
pendingin bisa mencapai dua kali lipatnya. Dan bila dilakukan berbagai upaya penghapusan
emisi bahan pendingin jumlahnya tidak akan bertambah secara signifikan dari jumlah tahun
2002.
Jumlah terbesar dari bahan pendingin yang digunakan, jenis HCFC-22 merupakan
jumlah yang paling banyak, diikuti oleh CFC-2, dan HFC-34a. Tetapi bila dilihat dari
dampak pemanasan global, emisi CFC-2 merupakan emiter terbesar yang diikuti oleh
HCFC-22 dan HFC-34a. Pada tahun 205, dengan skenario tanpa ada upaya penghapusan,
maka total emisi bahan pendingin dapat mencapai .5 Giga ton setara CO2 dan apabila
dilakukan berbagai upaya pengurangan, maka jumlah emisi bahan pendingin tersebut dapat
dikurangi sampai 0.8 Giga ton setara CO2 pada tahun 205. Dari jumlah prosentasenya,
dampak bahan pendingin terhadap pemanasan global mencapai 55% untuk CFC, HCFC
Montreal, maka saya akan melihat upaya negara dalam usaha melindungi lingkungan.
masyarakat, negara mempunyai peran yang besar dalam usaha mengusahakan upaya
berpartisipasi dalam relasi dunia internasional, tetap saja negara merupakan satu-satunya
institusi yang memiliki pengaruh yang amat kuat dalam pergaulannya di dunia
internasional.
Menurut saya, negara-negara telah melakukan tindakan yang benar dalam rangka
menjalankan setiap kebijakan yang telah diatur dalam perjanjian ini. dengan meratifikasi
protokol ini, negara memperlihatkan dan menunjukkan perhatiannya dalam isu lingkungan.
Walaupun hanya dimulai dengan 20 negara beserta 3 NGOs, namun akhirnya tetap saja
protokol ini berhasil memeluk 97 negara untuk ikut meratifikasi protokol ini.
Hal ini menunjukkan bagaimana sebuah negara benar-benar sadar dan mau
tekankan bahwa sistem negara dapat merespon permasalahan secara lebih efektif, dalam
kasus Protokol Montreal negara memang menunjukkan bahwa negara dapat dengan efektif
merespon akan suatu kesadaran lingkungan. Dalam kasus ini negara sadar bahwa negara
harus mengambil tindakan dalam upaya meminimalisir kerusakkan ozon dengan cara
mengurangi bahkan menghilangkan penggunaan bahan kimia yang dapat merusak ozon.
Tanpa adanya campur tangan negara dalam kasus ini, maka segala persiapan dan
riset yang telah dilakukan oleh ilmuwan-ilmuwan paling pintar di dunia akan menjadi sia-
sia. Segala pengetahuan yang telah ditemukan ini harus segera diaplikasikan secara
massive, di mana keinginan dan usaha semua orang yang dibutuhkan dalam upaya ini dapat
dengan efektif terwakilkan. Dan tidak ada institusi lain yang dapat menjalankan tugas besar
Kekuatan yang dimiliki negara, baik kekuatan internal (ke dalam) maupun eksternal
(ke luar), harus dapat dimanfaatkan dalam usaha perlindungan lingkungan dengan baik.
Kekuatan internal negara yang mengikat setiap entitas yang hidup dalam wilayah
kedaulatan negara itu, dapat dengan efektif memaksa untuk melakukan tindakan
perlindungan lingkungan ini. Substansi-substansi bahan kimia yang telah ditetapkan oleh
Protokol Montreal sebagai substansi yang dapat merusak lapisan stratosfer ozon, dapat
dengan efektif dikurangi pemakaiannya oleh adanya tindakan dan kesadaran negara. Negara
dapat dengan tegas mengatakan kepada masyarakat negaranya serta kepada industry-
industri (baik industry/perusahaan yang memang berasal dari negara tersebut ataupun
multinational company yang membuka pabrik di daerah teritorial negara terssebut) untuk
mengurangi penggunaan bahan-bahan kimia yang telah tedaftar dan mencari bahan
Negara juga dapat mempengaruhi negara lain untuk meratifikasi serta ikut berperan
aktif dalam Protokol Montreal. Baik karena adanya rasa hormat dan wibawa yang muncul,
maupun karena adanya tindakan yang represif oleh suatu negara agar mempengaruhi negara
lain untuk dapat ikut aktif dalam protokol ini. Dan hal ini menunjukkan bagaimana
kekuatan eksternal suatu negara menunjukkan peran negara dalam Protokol Montreal.
Dan aksi negara dalam protokol ini membuahkan hasil yang sangat gemilang.
Laporan PBB yang diterbitkan United Nation Environment Program (UNEP) dan World
produksi dan konsumsi bahan kimia perusak ozon jenis utama di seluruh dunia (CFC, halon,
Carbon Tetraklorida, Metil, Klorofom, dan Metil Bromida) sudah dikurangi hingga 98
persen. Dan diperkirakan bahwa lapisan ozon di luar daerah kutub sudah akan pulih pada
2048.
Data di atas menunjukkan betapa besar upaya dan pengaruh negara dalam usaha-
usaha perlindungan lingkungan. Tidak dapat dipungkiri apabila negara telah memainkan
kegiatannya sejak ditandatanganinya SK tim tersebut. Tim ini terbentuk antara lain
Jepang dan juga beberapa negara lain termasuk Australia, untuk melakukan
Karena luasnya cakupan peluang perdagangan karbon antar negara, tim ini
Perekonomian dan sebagai Wakil Ketua Tim Pengarah adalah Menteri Perdagangan
dengan anggota 4 orang pejabat setingkat menteri. Sedang untuk Tim Pelaksananya
Perubahan Iklim dengan 8 (delapan) orang anggota tim setingkat eselon 1 dari
berbagai kementerian terkait. TKPPKA selama masa tugasnya, yang dimulai sejak
telah dikeluarkan, maka tugas Tim Pelaksana TKPPKA adalah sebagai berikut.
Antarnegara.
Tim Sekertariat yang dalam hal ini ditugaskan kepada Divisi Mekanisme
kelayakan/Feasibility Study atau FS, sejak dimulainya kegiatan pada tahun 2010
sampai dengan sekarang. Pada periode tahun 2012, masih sedang dilakukan 25
(dua puluh lima) FS, yang akan selesai pada periode Maret 2013. Sampai dengan
menyelesaikan 57 (lima puluh tujuh) kegiatan FS, yang terdiri dari kegiatan
di energi terbarukan (hydro, geothermal, surya, dan angin), efisiensi energi (di
pembangkit listrik dan industri), REDD+, carbon captured and storage (CCS),
Pemerintah Jepang sendiri sampai dengan saat ini sebenarnya telah dilakukan
dalam 2 (dua) tahap, yaitu sebelum TKPPKA dibentuk dan setelah TKPPKA
DNPI.
agreement berarti harus melewati proses yang panjang karena harus ada
persetujuan dengan parlemen, sementara pada pertengahan tahun 2013 akan ada
suatu kelaziman untuk kerjasama seluas perdagangan karbon antar negara yang
Kyoto Jepang memiliki usulan mengenai kerjasama bilateral antar Negara. Hal
perdagangan karbon model baru, termasuk salah satunya adalah Indonesia. Jepang
telah mendeklarasikan target penurunan emisi sebesar 25% berdasarkam dari tahun
2020. Biaya pengurangan emisi di Jepang saat ini sangat tinggi, karena terutama
terkait dengan Jepang sendiri yang memiliki tingkat efisiensi yang sangat tinggi
sehingga biaya untuk menurunkan emisi menjadi hampir seperti biaya untuk
mengembangkan teknologi baru. Saat ini untuk sektor kehutanan biaya pengurangan
emisi di Jepang berkisar 60-120 USD per ton CO2 dan untuk sektor energi berkisar
40-80 USD per ton CO2. Harga-harga ini didapatkan dari pasar karbon domestik di
mempunyai kesempatan untuk melakukan usulan pasar jenis baru, didukung oleh
Secara ekonomis, Jepang juga membutuhkan media dan cara baru untuk
melakukan investasi, baik investasi modal maupun investasi teknologi. Dalam hal
ini BOCM akan menjadi salah satu metoda yang sangat baik. BOCM bahkan akan
emisi secara domestik, dan lebih jauh mengamankan posisi Jepang sebagai investor
Tokyo Gas, Arab Oil Company, dan beberapa perusahaan raksasa lainnya. Selain
Indonesia, negara lain yang menjadi objek FS adalah Vietnam, India, Malaysia,
ada di Indonesia. Tahun 2011, Indonesia tetap menjadi target utama dari kegiatan ini
BOCM ini pada dasarnya merupakan proyek tindak lanjut dari implementasi
memiliki tujuan yang sama yaitu mengurangi emisi GRK dan memnuhi credit Cers
yang telah ditentukan pada saat UNFCCC. Dalam beberapa perundingan antara
mekanisme dari proyek yang akan dijalankan. Pada dsaranya kerjasama ini bersifat
bilateral, akan tetapi pihak Indonesia cenderung berharap kerjasama ini tidak hanya
Indonesia beranggapan bahwa pada saatnya nanti akan ada Negara lain yang dapat
penurunan emisi tidak dicatat dalam penjualan di pasar, akan tetapi di catat
dengan penurunan emisi masing- masing negara. Selain itu, diperlukan juga
transparansi bagi negara lain untuk mengakses data emisi yang diturunkan.
Kemudian Proyek yang akan dikembangkan memiliki tipe yang berbeda-beda. Akan
tetapi, Pemerintah Indonesia dalam hal ini tetap melihat lifetime serta investasi dari
proyek yang diusulkan. Sehingga sama seperti CDM, pemerintah Indonesia harus
mencapai tingkat keseriusan dari kedua belah pihak. Sehingga dibentuklah sebuah
pihak. Akan tetapi dalam prosesnya pemerintah Jepang meminta bahwa LCGP tidak
bersifat mengikat secara hukum. Hal ini karena prosedur pemerintah Jepang untuk
sangat memakan waktu dan tenaga, diantaranya perlu persetujuan parlemen. Hal
dalam pembuatan landasan hukum. Karena pemerintah Indonesia pada saat itu
menginginkan sebuah peraturan yang lagal walaupun tidak mengikat secara hukum
karena berkaitan dengan aspek adaptasi bagi Indonesia terkait isu pemanasan
Global.
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Victor, David G. “The Collapse of the Kyoto Protocol and the Struggle to
Slow Global Warming.” Princeton University. Press: New Jersey. 2001
Friedman, Thomas L. ”Hot Flat and Crowded.” PT Gramedia Pustaka Utama: Jakarta,
2009
Alikodra, Prof.Dr. Hadi, et al, “Global Warming.” Nuansa: Bandung, 2008
NASA Facts. “Global Warming, The Earth Science Enterprise Series.” Maryland
April, 1998
LAPAN. “Landasan Ilmiah Perubahan Iklim.” Bandung, 2003
Pramudianto, Andreas. “Diplomasi Lingkungan Hidup; Teori dan Fakta.” UI-Press:
Jakarta, 2008
Paterson, Matthiew. “Global Warming and Global Politics.” Routladge: London,
1996
Murdiyarso, Daniel. “Protokol Kyoto; Implikasinya Bagi Negara Berkembang.” PT
Kompas Media Nusantara: Jakarta, 2003
Holsti, Kalevi J. “International Politics: A Framework for analysis.” Prentice hall
International: New Jersey, 1997
Mintz, Alex & Derouen, Karl. “Foreign Policy Decision Making.” Cambridge
University Press: New York, 2010
Clinton, W. David. ”Two Face of National Interest” Louisiana University Press:
Louisiana, 1994
Budiardjo, Miriam. “Dasar-dasar Ilmu Politik.” PT Gramedia Pustaka Utama:
Jakarta, 2006
Griffiths, Martin & O’Callaghan, Terry. “International Relation the Key Concept.”
Routledge: New York, 2002
Coicaud, Jean-Marc & Wheeler, Nicholas J. “National Interest and International
Solidarity.” United Nation Press: New York, 2008
Berridge, G. R. “Diplomacy: Theory and Practice” Palgrave: New York, 2002
Raco, DR.J.R. ME. M.SC. “Metode Kualitatif: Jenis, Karakteristik
dan Keunggulannya.” Grasindo: Jakarta, 2010
Glantz, Michael H. “Climate Affair.” Island Press: Washington, 2003
Helm, Dieter. “Climate Change Policy.” Oxford Universirty Press: New York, 2005
Houghton, Sir Jhon. “Global Warming: Complete briefing Third Edition.”
Cambridge University Press: New York, 2004
Maslin, Mark. “Global warming: Very Short Introduction.” Oxford University Press:
New York, 2004
Lian, Koh Kheng, et al. “Cruesial Issues in Climate Change and The Kyoto Protocol
Asia and The World.” World Scientific Publishing: London, 2010
Stewart, Richard B. & Wiener, Jonathan B. “Reconstructing Climate Policy: Beyond
Kyoto.” AEI Press: Washington, 2003
Mudiyarso, Daniel. “Mekanisme Pembangunan Bersih.” PT Gramedia: Jakarta, 2003
JURNAL dan ARTIKEL
Laporan Tim Koordinasi Perundingan Perdagangan Karbon Antar Negara,
DNPI 2012
Diskusi Tindak Lanjut Bilateral Offset Credit Mechanism (BOCM) DNPI, 31
Januari 2012
Laporan pertemuan tim TKPPKA terkait pembahasan dokumen Proposal Joint
Crediting Mechanism (JCM) DNPI, 14 September 2012
WWF presentation. Riau, 29 November 2008
Ihza, Yusron. “Jurnal diplomat Indonesia.” La Tofi: Jakarta,2009
A Report of the CSIS. “Green Dragon: The politic climate change in
Asia.” CSIS: Jakarta, 2010
Kaban, MS. “Jurnal diplomat Indonesia.” La Tofi: Jakarta,2009
UNDP. “ The Bali Action Plan: Key Issues in The Climate Negotiation.” UNDP,
2008
Kementrian Negara Lingkugan Hidup. “Rencana Aksi Nasional Menghadapi
Perubahan Iklim.” KNLH, 2007
Kementrian Lingkungan Hidup. Undang-undang RI, No: 17 tahun 2004.
Tentang Pengesahan Protokol Kyoto atas Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan
Bangsa-bangsa tentang Perubahan Iklim. KLHRI: Jakarta, 2004
INTERNET
www.tempointeraktif.com diakses pada tanggal 18 April 2011 pukul : 23: 23 WIB
http://unfccc.int/kyoto_mechanisms diakses pada hari Rabu, 25 Mei 2011
http://unfccc.int/kyoto_mechanisms/et/items/ diakses pada hari Rabu, 25 Mei 2011
http://unfccc.int/kyoto_mechanisms/ji/items/1674.php diakses pada hari Rabu, 25
Mei 2011
www.econ.cam.ac.uk/rstaff/grubb/publications/J36.pdf"The Economics of the Kyoto
Protocol" diakses pada hari jumat, 27 Mei 2011
http://greendecade.org/energy_kyoto. diakses pada tanggal HYPERLINK
http://translate.google.co.id/translate?hl=id&sl=en&u=http://greendecade.org/energy
_kyoto.html&ei=xCryTeOZOI7JrAf6h4X6Bw&sa=X&oi=translate&ct=result&resnu
m=5&ved=0CEMQ7gEwBA&prev=/search%3Fq%3Dkyoto%2Baction%2Bplan%26
hl%3Did%26biw%3D922%26bih%3D374%26prmd% 17 agustus 2011
www.unfccc.int/kyoto_protocol/mechanism/clean_development_mechanism/items/27
18.php
www.bappenas.go.id/get-file-server/node/2747 diakses pada tanggal 24 Desember
2011
www.pelangi.or.id?article-5.html diakses pada 24 oktober 2011 pukul 03:00 WIB
www.kemenlu.go.id/Pages/iissueDisplay.aspx?IDP=25&l=id diakses pada hari kamis
12 Januari 2012
http://www.dephut.go.id/index.php?q=id/node/1759 diakses pada tanggal 7 oktober
2011
http://www.conservation.or.id/site/modules diakses tanggal 15 April 2011
http//www.menlh.go.idslhisuplemen_slhi_2007.pdf
www.unfccc.int/adaptation/items/4159.php diakses pada tanggal 1 februari 2012
www.unfccc.int/adaptation/implementing_adaptation/items/2535.php diakses pada
tanggal 1 februari 2012
www.walhi.or.id diakses pada hari sabtu 22 Oktober 2011
32
Energi Terbarukan | Universitas Pamulang