Anda di halaman 1dari 10

Terms of Reference

DIBUAHI x DEEP DIVES


“Overcoming the Climate Crisis in the Policy Landscape and Its Barriers”
Sabtu, 16 Juli 2022

A. Bentuk Kegiatan
DIBUAHI merupakan singkatan dari Diskusi Bareng Anak HI, sebuah
kegiatan diskusi publik yang diselenggarakan oleh Bidang Keilmuan dan Analisis
Himpunan Mahasiswa Program Studi Hubungan Internasional Universitas
Diponegoro. Kegiatan DIBUAHI dilaksanakan setiap dua bulan sekali dengan
mengangkat isu-isu kontemporer yang terjadi, baik regional maupun internasional.
Adapun tujuan dari diadakannya kegiatan DIBUAHI adalah untuk mewadahi
mahasiswa guna mengembangkan kemampuan berpikir kritis dalam menganalisa
isu-isu kontemporer.
Pada kegiatan DIBUAHI volume 21 ini, Bidang Keilmuan dan Analisis
Himpunan Mahasiswa Program Studi Hubungan Internasional Universitas
Diponegoro melakukan kolaborasi bersama dengan Himpunan Mahasiswa Jurusan
Hubungan Internasional Universitas Lampung yang juga memiliki kegiatan diskusi
bernama DEEP DIVES. Oleh karena itu, diskusi publik ini diberi nama DIBUAHI x
DEEP DIVES yang akan mendiskusikan mengenai sebuah topik, yakni “Overcoming
the Climate Crisis in the Policy Landscape and Its Barriers”.
B. Acuan Materi
1. Topic Overview
Krisis iklim merupakan suatu permasalahan yang saat ini tengah
dihadapi oleh dunia. Perubahan iklim (climate change) mungkin saat ini tidak
lagi menjadi sebuah kalimat yang asing terdengar oleh manusia. Pasalnya,
cuaca yang tidak menentu yang kerap kali terjadi merupakan akibat dari
perubahan iklim itu sendiri. Penyebab dari perubahan iklim adalah karena
meningkatnya konsentrasi gas karbon dioksida dan gas-gas lain di atmosfer
bumi. Selain itu, hal tersebut juga turut menjadi penyebab dari adanya efek gas
rumah kaca.
Krisis iklim yang menimbulkan dampak serius bagi masyarakat global
menjadi sebuah hal yang mendapatkan atensi dan sorotan serius, bahkan dari
petinggi-petinggi dunia. Upaya-upaya pun dilakukan oleh beberapa negara
sebagai bentuk dari penanganan krisis iklim yang ada. Di tingkat internasional,
tanggapan mengenai perubahan iklim telah dimulai sejak tahun 1979 ketika
negara-negara berkumpul pada sebuah konferensi iklim di Jenewa untuk
membahas mengenai upaya penanggulangan pemanasan global. Dari
konferensi tersebut, terbentuk sebuah Badan Internasional Penilaian
Perubahan Iklim atau Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC)
(Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim, 2017).
Kemudian berlanjut di tahun 1990, negara-negara berkumpul kembali
di Jenewa yang mana melakukan pembahasan perubahan iklim berdasarkan
pada laporan penelitian dari IPCC. Dari dua konferensi yang telah dijalankan
dan ditambah dengan serangkaian negosiasi yang dilakukan oleh
negara-negara peserta, pada tahun 1992 PBB menghasilkan Konvensi
Kerangka Kerja Perubahan Iklim atau yang biasa disebut dengan United
Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC). Tujuan
daripada dibentuknya UNFCCC adalah untuk menerapkan upaya-upaya yang
ditetapkan pada konvensi untuk menstabilkan konsentrasi gas rumah kaca di
atmosfer bumi. Tak hanya sampai di situ saja, demi upaya keberlanjutan dari
kesepakatan-kesepakatan yang telah dibuat sebelumnya, diadakanlah
Conference of the Parties (COP). COP merupakan badan tertinggi pengambil
keputusan pada UNFCCC yang bertanggung jawab menjaga upaya-upaya
internasional sesuai pada prinsip-prinsip UNFCCC. COP juga turut melakukan
peninjauan penerapan prinsip-prinsip konvensi yang telah dilakukan oleh
negara-negara anggota (Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim,
2017).
Rezim iklim global (the climate regime) yang di dalamnya termuat
norma, aturan, dan prosedur pengambilan keputusan menjadi layaknya sebuah
pemandu perilaku para aktor yang ada di bidang kebijakan ini. Rezim iklim
global tersebut telah mengalami transformasi yang cukup pesat selama dekade
terakhir. Pada tahun awal dibangunnya, yaitu 1992, UNFCCC berfungsi
sebagai suatu mekanisme top-down yang mana memiliki target pengurangan
emisi ekonomi (yang dibuat secara hukum mengikat dalam Protokol Kyoto
tahun 1997) dan telah disepakati oleh negara-negara peserta (Pattberg dan
Widerberg, 2018).
Rezim iklim (climate regime) ini seolah-olah hadir untuk menjadi
mitigator dalam penanggulangan krisis iklim antar negara-negara. Namun,
dalam rezim iklim tersebut yang termuat aturan-aturan sebagai pemandu para
aktor dalam melaksanakan usaha-usahanya, ternyata dapat berbenturan dengan
kebijakan-kebijakan negara yang telah ada sebelumnya. Baik itu negara maju
maupun negara berkembang sama-sama memiliki kepentingan dan prioritas
masing-masing dalam hal penanggulangan perubahan iklim yang terjadi.
2. Latar belakang
Sedari awal tidak mudah untuk merealisasikan mekanisme
penanggulangan kerusakan iklim seperti yang telah dibahas dalam berbagai
macam perjanjian dan pertemuan tingkat dunia. Hal ini disebabkan oleh
banyaknya anggota negara yang juga memiliki idealisme dan kepentingan
berbeda dalam melakukan penanggulangan ini, misalnya saja bentrok yang
terjadi antar negara maju maupun negara berkembang.
Indonesia, salah satu negara yang turut andil dalam penanganan
kerusakan iklim. Indonesia memiliki DJPPI (Direktorat Jenderal Pengendalian
Perubahan Iklim) yang dalam menjalankan tugasnya mempertimbangkan
nature dari pengendalian perubahan iklim, melaksanakan implementasi fungsi
koordinasi, sinergi, integrasi dan fungsi leadership termasuk monitoring,
pelaporan dan verifikasi pelaksanaan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim
baik di tingkat nasional maupun internasional, serta sebagai National Focal
Point (NFP) UNFCCC (United Nations Framework Convention on Climate
Change). Pengendalian perubahan iklim di Indonesia memerlukan proses
nasional dan internasional yang bersifat iteratif dan sinergis. Penanganan
perubahan iklim di tingkat internasional yang dibahas melalui kerangka kerja
konvensi perubahan iklim (UNFCCC) yang dihasilkan melalui proses
negosiasi para negara pihak yang sudah meratifikasi kesepakatan UNFCCC.
Program penanganan perubahan iklim dalam kerangka pembangunan
berkelanjutan meliputi tiga pilar yaitu: pilar lingkungan, pilar ekonomi, dan
pilar sosial, menekankan bahwa penanganan perubahan iklim bukan hanya
upaya penurunan dan pencegahan emisi atau peningkatan cadangan karbon
tetapi ada manfaat non karbon yang perlu diperhitungkan seiring dengan
manfaat penurunan emisi.
Sedangkan dalam kasus negara lain, seperti laporan beberapa tahun
terakhir banyak negara-negara maju G20 menunjukkan bahwa sebagian besar,
termasuk Amerika Serikat, penghasil emisi terbesar kedua di dunia, tidak
berada di jalur yang tepat untuk mengurangi emisi mereka sesuai dengan
komitmen 2015 mereka. Dan beberapa negara seperti Rusia dan Turki, telah
dikritik karena menetapkan target yang tidak ambisius. China adalah salah
satu pengecualian penting untuk tren ini: emisi gas rumah kaca negara itu
kemungkinan akan mulai menurun sebelum 2030 seperti yang dijanjikan
bahkan ketika negara itu melanjutkan pertumbuhan ekonominya yang sangat
berbahaya.
Tetapi kemajuan di China, penghasil emisi global teratas, tidak cukup
untuk menutupi seluruh dunia. Dilihat secara kolektif, negara-negara perlu
meningkatkan komitmen mereka lima kali lipat untuk menjaga kenaikan suhu
di bawah 1,5°C, menurut laporan itu. Negara-negara tersebut perlu
meningkatkan komitmen mereka tiga kali lipat agar tetap di bawah 2°C. Para
ilmuwan mengatakan melewati salah satu ambang batas dapat melepaskan
banyak konsekuensi yang tidak dapat diubah.
Kemunduran tersebut sebagian besar merupakan hasil dari peningkatan
pertumbuhan ekonomi pada tahun 2017, karena pertumbuhan PDB biasanya
berkorelasi dengan peningkatan emisi CO2. Bentrok dalam cara
penanggulangan seperti ini dapat terjadi karena negara maju dan negara
berkembang memiliki prioritas negara yang berbeda, memiliki kapabilitas
pembangunan juga sumber daya yang berbeda pula.
3. Sub-topik
3.1 Climate Regime
Rezim Internasional merupakan sebuah prinsip, norma, peraturan, dan
prosedur pembuatan keputusan di mana ekspektasi dari para aktornya bertemu
pada area tertentu dalam hubungan internasional (Krashner, 1982). Ketetapan
yang diatur dalam suatu rezim disepakati oleh aktor-aktor yang ada di
dalamnya untuk mewujudkan suatu tujuan tertentu. Pada pembentukan rezim
lingkungan (climate regime) sendiri, tujuan yang ingin dicapai adalah
memberikan seperangkat aturan untuk menangani salah satu tantangan terbesar
umat manusia yang selalu berubah baik dalam skala dan kompleksitas yaitu
perubahan iklim. Dalam konsepnya, rezim lingkungan dimaksudkan untuk
menciptakan mekanisme kerja yang mencakup ranah hukum, institusional,
ekonomi, politik, dan ilmu pengetahuan ilmiah yang dapat digunakan sebagai
penggerak tercapainya hasil yang diharapkan. Sebagai upaya dalam mencegah
terjadinya bencana alam akibat krisis iklim, maka kebijakan utama yang
difokuskan dalam rezim lingkungan adalah transformasi aktivitas manusia
secara global yang berkaitan dengan penggunaan sumber daya alam,
konservasi lingkungan, dan mitigasi bencana.

Keberadaan aktor di dalam rezim lingkungan dapat diamati melalui 3 jenis


aktor yaitu aktor pemerintah, inter-pemerintah, dan non-pemerintah (Hampton,
2004). Sebagai perwakilan resmi negara, aktor pemerintah direpresentasikan
oleh menteri lingkungan dan menteri luar negeri suatu negara dengan
keikutsertaan menteri bidang ekonomi dan pembangunan. Dalam peranannya,
sering dijumpai jika aktor pemerintah dari negara maju memiliki kuasa yang
lebih dalam pembentukan rezim dibandingkan dengan aktor pemerintah
negara berkembang dikarenakan kemampuannya untuk mengirim delegasi
yang dianggap lebih mumpuni dalam bernegosiasi. Para aktor pemerintah
biasanya menggelar negosiasi diplomatik dalam blok pemerintahan seperti Uni
Eropa, the Umbrella Group, dan the Group of 77. Selanjutnya, terdapat aktor
interpemerintah yang mewakili beragam bentuk organisasi seperti yang
bergerak di bidang lingkungan yaitu Convention on Biological Diversity,
institusi finansial internasional seperti World Bank, badan resmi PBB yang
mencakup UNEP dan UNDP, serta organisasi internasional lainnya. Peran
yang dimiliki aktor interpemerintah adalah pengamat dalam proses negosiasi
yang memiliki kapabilitas untuk menyediakan bantuan teknis maupun fungsi
tertentu terhadap pembentukan aturan. Kemudian aktor terakhir dalam suatu
rezim lingkungan adalah aktor non-pemerintah yang terdiri dari NGO, asosiasi
masyarakat adat, kalangan pebisnis, hingga otoritas daerah yang juga berperan
sebagai pengamat dalam negosiasi yang dilakukan.

3.2 State Policy


Pengendalian perubahan iklim memerlukan proses nasional dan internasional
yang bersifat iteratif dan sinergis. Penanganan perubahan iklim di tingkat
internasional yang dibahas melalui kerangka kerja konvensi perubahan iklim
atau disebut United Nations Framework Convention on Climate Change
(UNFCCC) yang saat ini beranggotakan 194 negara. Di tingkat internasional
terutama terkait dengan komitmen negara maju untuk mengurangi emisi dan
komitmen untuk menyediakan dukungan finansial, teknologi dan peningkatan
kapasitas kepada upaya-upaya mitigasi dan adaptasi yang dilakukan oleh
negara berkembang dalam konteks pembangunan yang berkelanjutan. Program
penanganan perubahan iklim dalam kerangka pembangunan berkelanjutan
meliputi tiga pilar yaitu: pilar lingkungan, pilar ekonomi, dan pilar sosial.

Namun pendanaan menjadi isu penting untuk mengatasi perubahan iklim,


bahkan sejumlah negara di dunia berupaya meningkatkan sumber pendanaan
untuk mengatasi dan menjalankan program-program berkaitan dengan
perubahan iklim. Untuk dampak strategis mitigasi itu sendiri diharapkan dapat
mengurangi emisi dari pembangkit energi, transportasi, penggunaan hutan dan
lahan, serta bangunan, perkotaan, industri, dan peralatan. Sementara dampak
strategis adaptasi diharapkan dapat meningkatkan ketahanan dari kesehatan
pangan dan air, mata pencaharian masyarakat dan komunitas, ekosistem,
infrastruktur, dan lingkungan.
3.3 Conflict of Interest Between Developed and Developing Countries
Perubahan iklim (climate change) menjadi salah satu tantangan paling
signifikan yang dihadapi oleh sebagian besar pemerhati lingkungan di seluruh
dunia. Setiap negara baik maju maupun berkembang memiliki kebutuhan yang
sama dalam mitigasi dan adaptasi dari dampak perubahan iklim. Sehingga,
berbagai kesepakatan internasional tentang perubahan iklim seperti Perjanjian
Paris dan Protokol Kyoto perlu diwujudkan. Namun, terdapat kebutuhan untuk
mengintegrasikan masalah perubahan iklim dalam program pembangunan
antara negara maju dan negara berkembang di tingkat global. Dalam
prosesnya, kedua kategori tersebut menemukan tantangan sekaligus prioritas
dari berbagai pemangku kepentingan. Hasilnya, telah terjadi ketimpangan
kondisi terkait dampak mitigasi dan adaptasi antara negara maju dan negara
berkembang. Negara maju (developed countries) adalah negara yang telah
memiliki pendapatan ekonomi dan fasilitas infrastruktur yang memadai dan
cenderung memiliki strategi mitigasi dan adaptasi yang lebih baik dalam
menghadapi perubahan iklim. Sebaliknya, negara berkembang (developing
countries) adalah negara yang baru memulai pembangunannya termasuk
beradaptasi dalam perubahan iklim dunia. Negara maju telah memiliki
kesiapan yang memadai terhadap dampak perubahan iklim yang dapat ditinjau
melalui sisi finansial dan teknologinya, sedangkan negara berkembang hanya
memiliki kemampuan yang terbatas, sehingga menjadikan mereka sebagai
negara yang lebih rentan terhadap perubahan iklim.

Perubahan iklim tidak dapat dicegah oleh masyarakat dunia, baik negara maju
maupun negara berkembang, namun negara-negara tersebut dapat
meminimalisir dampaknya melalui kerjasama antarnegara. Data lain
menyebutkan bahwa masyarakat di negara berkembang memiliki akses
terbatas terhadap energi modern (PODOBNIK, 2006). Sebaliknya, tingkat
konsumsi energi tertinggi ditemukan di negara maju yang menjadi penyebab
utama peningkatan gas rumah kaca global. Negara maju menjadi negara yang
kaya karena mengeksplorasi dan memanfaatkan lebih banyak energi dalam
kegiatan industrinya yang juga lebih tinggi daripada negara berkembang. Hal
ini dapat diklaim sebagai hegemoni negara (state hegemony) dari negara maju
terhadap negara berkembang. Beberapa negara maju memprakarsai dan
mendukung kebutuhan untuk memberikan bantuan keuangan global dalam
adaptasi perubahan iklim bagi negara-negara berkembang. Namun, sebagian
besar negara berkembang sangat rentan terkena dampak perubahan iklim
karena Selain itu, kondisi ini mendiskriminasikan negara berkembang
terutama dalam sistem perdagangan karbon internasional yang menjadikan
negara berkembang sebagai penyaring emisi gas rumah kaca yang diproduksi
secara berlebihan oleh negara maju.

Diskusi ini akan membahas mengenai tiga poin pertanyaan:


1. Dapatkah kepentingan dan prioritas dari negara maju dan negara
berkembang yang tengah berusaha bersama untuk mengatasi krisis iklim
ini dapat diselaraskan? Jika tidak, lalu hal apa yang dapat dilakukan oleh
aktor-aktor dalam global climate regime untuk mengatasi krisis iklim?
2. Melihat dari fokus kebijakan rezim lingkungan internasional sejauh ini,
bagaimana negara maju dan negara berkembang dapat
mengimplementasikan kebijakan rezim lingkungan tersebut secara
bersama-sama?
3. Apa saja hambatan yang harus diantisipasi dan bentuk kebijakan yang
harus diambil dalam global climate regime?
C. Profil Pembicara
1. Prof. Dr. -Ing. Wiwandari Handayani

Prof. Dr. -Ing. Wiwandari Handayani adalah Guru Besar Jurusan


Perencanaan Wilayah dan Kota, Fakultas Teknik, Universitas Diponegoro.
Beliau lulus dengan gelar sarjana dalam perencanaan kota dan wilayah
(UNDIP), gelar master dalam perencanaan kota dan wilayah (ITB) dan studi
kependudukan (ANU-Australia), dan meraih gelar doktor dari University of
Stuttgart - Jerman dalam Perencanaan Pembangunan Regional. Penelitian
beliau berfokus pada ketahanan perkotaan dan regional, sebagian besar dalam
konteks manajemen risiko bencana, adaptasi iklim, dan tata kelola. Prof. Dr.
-Ing. Wiwandari Handayani turut aktif terlibat dalam pekerjaan yang berkaitan
dengan keberlanjutan dan ketahanan perkotaan/wilayah sejak tahun 2011.
Beliau pernah tergabung dalam tim Asian Cities Climate Change Resilience
Network (ACCCRN)-program Rockefeller di kota Semarang, menjadi
koordinator M&E untuk beberapa proyek yang dilaksanakan pada tahun
2011-2014 dan Deputy Chief Resilience Officer Kota Semarang sejak tahun
2015.
2. Indra Jaya Wiranata, MA

Indra Jaya Wiranata, MA adalah seorang dosen dan peneliti di


Departemen Hubungan Internasional, Universitas Lampung. Beliau meraih
gelar Magister Ilmu Hubungan Internasional dari Universitas Gadjah Mada
pada tahun 2015 - 2017. Sebelumnya, Indra Jaya Wiranata, MA, telah meraih
gelar Sarjana Ilmu Politik dari Universitas Muhammadiyah Yogyakarta di
tahun 2011- 2015. Indra Jaya Wiranata, MA mengajar dan memiliki fokus
penelitian pada bidang studi keamanan, perselisihan di Asia Timur, hak asasi
manusia, sub-nasional dan persimpangan global-lokal, serta isu-isu
lingkungan.
D. Rundown Acara

Waktu Kegiatan Keterangan

10.00 - 10.03 Pembukaan MC MC

10.03 - 10.05 Menyanyikan lagu Seluruh peserta


Indonesia Raya

10.05 - 10.08 Sambutan Ketua HMPS M. Royhan Cendikia


HI Universitas
Diponegoro

10.08 - 10.11 Sambutan Ketua Muhammad Aldy


Umum HMJ HI Febriansyah
Universitas Lampung

10.11 - 10.14 Sambutan Ketua Dr. Dra. Reni Windiani,


Departemen Hubungan MS.
Internasional
Universitas Diponegoro

10.14 - 10.24 Pembacaan Rules Moderator I & II


Diskusi dan Overview
Materi

10.24 - 10.32 Pembacaan Profil Moderator I & II


Narasumber

10.32 - 10.52 Sesi Materi I Prof. Dr. -Ing.


Wiwandari Handayani

10.52 - 11.12 Sesi Materi II Indra Jaya Wiranata,


MA

11.12 - 11.57 Sesi Diskusi Moderator I & II

11.57 - 12.02 Kesimpulan Diskusi Moderator I & II

12.02 - 12.07 Penyerahan E-Sertifikat MC

12.07 - 12.12 Penutup MC Sesi dokumentasi

Anda mungkin juga menyukai