Anda di halaman 1dari 13

Paper Ujian Akhir Semester

Green Sukuk : Instrumen Pembiayaan Transisi menuju Green Economy

Disusun oleh:

Faiza Riesqia Husna

2006585090

Mata Kuliah Perekonomian Indonesia (PI-A)

Dosen:

Dr. Fauziah, S.T., M.T.

Asisten Dosen:

Jessica Aretha

Depok, 22 Desember 2022


Green Sukuk : Instrumen Pembiayaan Transisi menuju Green Economy

Introduction

Green economy atau ekonomi hijau adalah suatu gagasan ekonomi yang bertujuan
untuk meningkatkan kesejahteraan dan kesetaraan sosial masyarakat, sekaligus mengurangi
kerusakan lingkungan secara signifikan. Ekonomi hijau dapat pula diartikan sebagai
perekonomian yang rendah atau tidak menghasilkan emisi karbondioksida terhadap
lingkungan, hemat sumber daya, serta berkeadilan sosial (Kementrian ESDM, 2021). Fokus
ekonomi hijau adalah untuk meningkatkan standar hidup masyarakat melalui pekerjaan yang
layak, pertumbuhan pendapatan, penggunaan sumber daya alam yang efisien, emisi rendah
karbon, melestarikan keanekaragaman hayati, serta berperan untuk mengurangi polusi (UNEP,
2011). Menurut (Kasen, 1987) dalam (Gunay et al., 2022) pembangunan berkelanjutan melalui
ekonomi hijau adalah kemajuan yang memenuhi kebutuhan saat ini tanpa harus mengorbankan
kebutuhan generasi yang akan mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri. Inisiatif
ekonomi hijau atau green economy ini dimulai pada bulan Oktober 2008, diluncurkan oleh
UNEP (United Nation Environment Programme) melalui Konferensi Rio dengan memaparkan
arah penerapan konsep ekonomi hijau yang diidentifikasi dengan menekankan pentingnya
untuk terus mendorong pembangunan berkelanjutan dengan berfokus pada masalah krusial
seperti pengentasan kemiskinan, kepastian keadilan antargenerasi, peningkatan efektivitas
ekonomi, serta memastikan akses ke sumber daya yang lebih merata. Konsep ekonomi hijau
ini tentunya berhubungan erat dengan ekonomi pembangunan kemudian menghasilkan Agenda
Pembangunan Berkelanjutan 2030 dengan penetapan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan
(Sustainable Development Goals) yang secara keseluruhan bertujuan untuk meningkatkan
kesadaran masyarakat terhadap ekonomi hijau (Gunay et al., 2022).

Penciptaan negara dengan sistem perekonomian hijau tentunya perlu perubahan strategi
baik dari segi pembangunan maupun pembiayaan. Transisi pembangunan serta pembiayaan
menuju perekonomian hijau seringkali disebut sebagai green finance. Green finance atau
keuangan hijau suatu cara untuk menyediakan pembiayaan dalam beberapa proyek yang
berbeda yang bertujuan untuk membawa perubahan yang baik bagi kualitas sumber daya alam,
atmosfer, dan kesehatan makhluk hidup (Andreeva et al., 2018). Selain itu, dalam pembiayaan
hijau bukan hanya lingkungan yang menjadi perhatian tetapi manusia sebagai sumber daya
lainnya juga harus dipastikan berkualitas sehingga dapat mendorong kegiatan ekonomi yang
berkelanjutan (Ngo et al., 2022). Indonesia sendiri mulai mengadopsi serta menerapkan
ekonomi hijau serta keuangan hijau dengan memulai pembangunan berkelanjutan dengan
pembiayaan yang juga berbasis pada keuangan berkelanjutan. Dengan dimulainya penerbitan
POJK mengenai implementasi keuangan berkelanjutan pada setiap bank di Indonesia yang
mana bank harus mengadopsi dan mengimplementasi 8 prinsip keuangan berkelanjutan. Selain
itu, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga mengeluarkan Roadmap Keuangan Berkelanjutan pada
2014. Dalam roadmap tersebut diberikan kerangka pembangunan berkelanjutan Indonesia yang
merata pada setiap aspeknya yaitu, aspek sosial, ekonomi, lingkungan, serta kelembagaan.

Pada tahun 2009, pemerintah Indonesia mulai menerapkan ekonomi hijau dengan
melalui penanggulan iklim dengan pernyataan komitmen penurunan emisi gas rumah kaca
(GRK) sebesar 26 persen dengan pembiayaan sendiri hingga 41 persen dengan dana dukungan
internasional. Sedangkan pada pendanaan berkelanjutan sendiri pemerintah Indonesia
menerapkan melalui pengembangan green product perbankan dan IKNB, pengembangan
Green Index untuk pasar modal, serta mendorong pemerintah dan pelaku industri untuk
menerbitkan green bond ataupun green sukuk (Keuangan Berkelanjutan, 2014).
How Important Green Sukuk?

Penerapan ekonomi hijau Indonesia dimulai pada 2014 dengan adanya pembuatan
Roadmap Keuangan Berkelanjutan sebagai perencanaan keuangan hijau. Roadmap ini dibuat
sebab pertumbuhan ekonomi dunia yang mulai menuai banyak sorotan sebab maraknya isu
penurunan kualitas lingkungan hidup, isu kesenjangan sosial yang makin melebar, dan isu
perubahan iklim dengan segala implikasinya. Pada pembangunan ekonomi nasional dibuat
rencana pembangunan jangka panjang (2005-2025) yang bertujuan mewujudkan Indonesia asri
dan lestari. Selain itu, pembuatan Roadmap ini bertujuan untuk meningkatkan pendanaan di
sektor prioritas seperti industri, energi, pertanian, infrastruktur, dan Usaha Mikro Kecil dan
Menengah (UMKM) (Keuangan Berkelanjutan, 2014). Pendanaan melalui sektor prioritas
diadakan dengan berbagai cara seperti melalui sektor perbankan, pasar modal, serta pendanaan
pemerintah melalui penerbitan surat utang dan surat berharga berbasis keuangan berkelanjutan.
Pada sektor perbankan, peningkatan pendanaan dilakukan melalui penetapan persentase
tertentu dari total portofolio pendanaan masing-masing bank untuk mendukung sektor prioritas
serta penugasan pada bank tertentu. Salah satu program pendanaan ini adalah program
Pollution Abatement Equipment (PAE) dengan pemberian bantuan keuangan untuk
pembiayaan lingkungan hidup dengan mudah dan murah. Sedangkan di pasar modal,
peningkatan pendanaan dilakukan dengan pembentukan indeks saham berbasis lingkungan
hidup (green index) yang bertujuan untuk meningkatkan reputasi saham atau nama baik dari
suatu perusahaan sehingga memudahkan pendanaan dan mendorong perbaikan pengelolaan
lingkungan hidup. Dan pada sisi pemerintah serta swasta didorong untuk menerbitkan green
bond pada sisi konvensional sedangkan sisi syariah didorong untuk menerbitkan green sukuk.

Selanjutnya pemerintah Indonesia juga menerapkan rencana strategis keuangan


berkelanjutan yang mencakup 3 area yaitu, peningkatan supply pendanaan ramah lingkungan
hidup, peningkatan demand bagi produk keuangan ramah lingkungan hidup, dan peningkatan
pengawasan serta koordinasi implementasi keuangan berkelanjutan. Adanya roadmap ini
tentunya berguna untuk pemerintah mengetahui serta menerapkan hal-hal yang perlu untuk
dikerjakan pada setiap tahunnya sehingga dapat dievaluasi lebih lanjut mengenai keuangan
berkelanjutan ini. Selain itu, penerapan keuangan berkelanjutan di Indonesia sektor
finansialnya harus berjalan beriringan dengan sektor riil untuk menghindari adanya bubble
economy. Oleh karena itu, dalam peningkatan pendanaan pemerintah perlu untuk merumuskan
portofolio terutama bagi pasar modal yang tidak berpotensi menimbulkan bubble economy.
Salah satu strategi pembiayaan dalam keuangan berkelanjutan yang disarankan
pemerintah (OJK) adalah green sukuk. Sukuk pada dasarnya hampir serupa dengan struktur
obligasi konvensional (bonds) yang memungkinkan pengelola bisnis untuk mengumpulkan
dana investor melalui pasar keuangan (Godlewskiet et al., 2013) dalam (Suriani et al., 2021).
Namun, yang membedakan sukuk dengan obligasi konvensional adalah adanya aset yang harus
mendasari dalam penerbitan sukuk tersebut dan aset dasar wajib menjadi milik pengelola
sebelum dipindah hak miliknya sementara kepada investor. Sukuk sendiri di Indonesia telah
berkembang sejak awal tahun 2008 dengan diterbitkannya regulasi terkait reksadana syariah
dan pasar modal syariah. Sehingga pada 2015 Indonesia berhasil menjadi emiten sukuk kedua
terbesar di dunia dengan jumlah penerbitan lebih dari 8 milliar USD dengan sukuk negara yang
mendominasi pasar (Otoritas Jasa Keuangan, 2017).

Sedangkan green sukuk sendiri merupakan salah satu pembiayaan syariah dalam
keuangan berkelanjutan yang berfungsi untuk mengumpulkan dana dari pasar modal bagi
pembangunan proyek-proyek yang berbasis lingkungan berdasarkan syariat islam (Keshminder
et al., 2022). Aset dasar dari green sukuk sendiri harusnya barang maupun jasa yang dimiliki
oleh pengelola atau emiten serta bertujuan untuk keberlanjutan lingkungan. Penerbitan sukuk
hijau atau green sukuk tidak hanya sebatas pendanaan untuk pembangunan proyek-proyek
tetapi lebih dari itu, selaras dengan tujuan pembangunan berkelanjutan yang juga
mementingkan kebutuhan akan sumber daya alam bagi generasi mendatang. Maka, penerbitan
sukuk hijau harus memerhatikan kebutuhan akan pertumbuhan ekonomi serta keberlanjutan
lingkungan sekitar.

Penerbitan sukuk hijau untuk pertama kali dipelopori Malaysia melalui produk
sukuknya yaitu, Tadau Energy pada tahun 2017 yang senilai 250 miliar RM. Akan tetapi, dari
upaya perintisan Malaysia terhadap penerbitan sukuk hijau pertama kali di dunia justru jumlah
penerbitan yang paling signifikan adalah sukuk yang diterbitkan oleh Indonesia. Sukuk hijau
Indonesia merupakan sukuk hijau ritel senilai 5 miliar USD yang diterbitkan pada tahun 2018.
Selanjutnya pemerintah Indonesia juga menerbitkan sukuk hijau pada tahun 2022 dan menjadi
sukuk hijau terbesar yang pernah dicetak secara global. Proyeksi penurunan emisi dari
penerbitan sukuk hijau global Indonesia mencapai lebih dari 10 juta ton karbondioksida dari 4
penerbitan pertamanya.

Transisi pembiayaan ekonomi menuju ekonomi hijau melalui sukuk ini menjadi penting
karena pada penelitian yang dilakukan oleh (Suriani et al., 2021) ditemukan bahwa penerbitan
sukuk tidak memiliki hubungan kausal dua arah dengan inflasi melalui jalur harga aset dan
nilai tukar. Sukuk justru memiliki hubungan kausal dua arah dengan pertumbuhan ekonomi.
Serta adanya independensi pasar sukuk dari suku bunga moneter memberikan bukti bahwa
perdangan sukuk terutama di Indonesia telah selaras dengan ajaran Islam (Suriani et al., 2021).
Sehingga jika sukuk menjadi instrumen pembiayaan bagi transisi ekonomi berkelanjutan
tentunya akan memberikan multiplier effect bagi perekonomian Indonesia serta tidak terbebani
akan inflasi.
Analisis Green Sukuk

Penerbitan green sukuk atau sukuk hijau di Indonesia baru di mulai pada tahun 2018
lalu dengan jumlah penerbitan senilai 5 miliar USD yang menjadi sukuk hijau ritel dengan
penerbitan terluas. Selain itu, Indonesia juga menerbitkan sukuk hijau pada tahun 2022 ini yang
menjadi penerbitan sukuk hijau terbesar yang pernah ada secara global (Badan Kebijakan
Fiskal, 2022). Ini menjadi pencapaipan terbesar Indonesia dalam penerbitan sukuk dunia
setelah menjadi emiten penerbit sukuk terbesar kedua dunia. Penerbitan sukuk hijau Indonesia
memiliki maturity date dengan jangka waktu 10 tahun. Sukuk hijau yang diterbitkan oleh
Indonesia menggabungkan komponen iklim dan sosial sehingga dapat mencapai tujuan
pembangunan berkelanjutan dan juga pencapaian target kontribusi nasional. Indonesia juga
telah menerapkan serta mengembangkan sistem climate budget tagging yang memungkinkan
dana yang telah terkumpul dari penerbitan sukuk dapat langsung digunakan untuk pembiayaan
kegiatan hijau. Instrumen sukuk hijau Indonesia juga telah berhasil mengumpulkan lebih dari
3,9 miliar untuk membiayai proyek-proyek hijau pemerintah Indonesia (OJK, 2022). Beberapa
proyek-proyek bertema ramah lingkungan yang dibuat dari pendanaan sukuk hijau ini seperti
pembangunan pembangkit listrik berbahan energi terbarukan (EBT) serta pengembangan
kendaraan listrik beserta perangkatnya.

Pada setiap penerbitan instrumen pembiayaan seperti obligasi dan sukuk tentunya
masih memiliki beberapa masalah tertentu. Terlebih instrumen sukuk hijau yang masih
dianggap baru bagi beberapa kalangan masyarakat. Penerbitan sukuk hijau global tentunya
tidak terlepas dari isu dan juga tantangan dari berbagai bidang. Di pasar sukuk global, sukuk
hijau sendiri mengalami keterbatasan data yang membuat sulit untuk diidentifikasi hal-hal yang
dapat menghambat pertumbuhannya (Keshminder et al., 2022). Sehingga pasar kekurangan
bukti yang jelas untuk menunjukkan bahwa sukuk hijau menawarkan pengembalian atau return
yang menjanjikan bagi investor. Selain itu, adanya data juga dapat mendukung pernyataan
pemerintah terkait sukuk hijau yang dapat mengurangi biaya modal bagi perusahaan untuk
beberapa proyek rendah karbon. Sejalan dengan sukuk hijau global, sukuk hijau Indonesia juga
masih mengalami keterbatasan data serta studi empiris terkait evaluasi keefektifan sukuk hijau
yang diterbitkan bagi sosial. Berbeda dengan sukuk umum seperti sukuk ritel dan sukuk
tabungan yang diterbitkan oleh Kementrian Keuangan Republik Indonesia yang memiliki data
serta informasi yang cukup lengkap untuk masyarakat membeli dan menjual serta dampak yang
ditimbulkan dari adanya penerbitan sukuk ritel dan tabungan. Selain itu, Indonesia pun belum
terlalu jelas dalam mendefinisikan proyek-proyek hijau yang akan dikembangkan oleh
pemerintah Indonesia serta dampaknya bagi lingkungan sehingga proses evaluasi sulit untuk
dilaksanakan dan akan kurang menyakinkan investor.

Tantangan lain dari sukuk hijau dari skala global sendiri adalah belum adanya standar
hijau itu sendiri (Keshminder et al., 2022). Belum adanya standar hijau secara global
menyebabkan emiten perlu melakukan penilaian kehijauan itu sendiri melalui pihak ketiga.
Proses ini mengharuskan penerbit untuk mengungkapkan seluruh informasi mulai dari tujuan,
strategi, kebijakan, dan proses yang menyeluruh untuk memenuhi syarat proyek ramah
lingkungan. Hal ini tentunya akan sangat menyulitkan penerbit serta meningkatkan biaya
administrasi serta biaya penerbitan dari sukuk hijau sendiri yang kemudia berdampak pada
tingginya harga sukuk hijau dibandingkan instrumen pasar modal lainnya. Sama halnya dengan
Indonesia, setiap penerbitan sukuk umum juga harus melalui pertimbangan dari MUI sehingga
dapat dianalisis cost and benefit dari penerbitan sukuk tersebut, tetapi jika dilihat dari sisi biaya
hal ini tentunya akan memakan biaya yang cukup tinggi terkait diskusi lebih lanjut antara
pemangku agama dengan pemangku kebijakan di Indonesia. Sehingga berdampak pada biaya
penerbitan sukuk hijau Indonesia yang tinggi. Hal ini tentunya sejalan dengan belum adanya
regulasi yang tetap terkait penerbitan sukuk hijau di Indonesia, regulasi penerbitan sukuk hijau
di Indonesia masih menggunakan regulasi penerbitan dari pasar modal syariah. Hal ini tentunya
dapat memicu perbedaan perspektif terkait infrastruktur hijau yang dapat dikembangkan dan
dibangun serta kesulitan dalam administrasi penerbitan sukuk hijau karena belum adanya
kepastian regulasi dari pemerintah Indonesia.

Pemerintah Indonesia menilai kesadaran masyarakat tentang sukuk hijau ini masih
kurang. Hal ini disebabkan karena kurangnya promosi dari sukuk hijau sehingga memicu
kecilnya pendanaan pembangunan berkelanjutan melalui sukuk hijau. Dibandingkan dengan
instrumen pasar modal lainnya seperti Obligasi Ritel Indonesia (ORI), Sukuk Ritel, Sukuk
Tabungan, dan Cash Wakf Linked Sukuk, sukuk hijau (green sukuk) masih menjadi instrumen
dengan promosi yang kurang masif dibandingkan instrumen lainnya terutama untuk investor
dalam negeri. Pemerintah dalam meningkatkan kesadaran masyarakat terkait ekonomi
berkelanjutan dan sukuk hijau tentunya memerlukan pemasaran yang lebih efektif dan menarik
minat masyarakat untuk berinvestasi di instrumen ini. Selain itu, pemerintah Indonesia lebih
banyak terfokus pada pembangunan infrastruktur yang mendukung kegiatan hijau
dibandingkan mengevaluasi beberapa pembangunan dengan pembiayaan dari sukuk hijau.
Kurangnya evaluasi menyebabkan tidak adanya hal untuk menilai kemanjuran atau efektivitas
dari sukuk bagi keberlanjutan lingkungan serta berdampak sosial bagi masyarakat Indonesia
(Delle Foglie & Keshminder, 2022).

Sukuk hijau tentunya memiliki berbagai kelebihan walaupun masih banyak pekerjaan
untuk menuntaskan isu serta tantangan yang ada. Sukuk hijau merupakan indikator bankability
yang lebih unggul dibandingkan bank konvensional (Morea and Poggi, 2017) dalam
(Keshminder et al., 2022). Menurut (Khawajaet et al., 2019) instrumen pasar modal yaitu,
sukuk menunjukkan asymetric information yang lebih rendah dibandingkan instrumen pasar
modal lainnya. Hal ini dikarenakan adanya aset yang mendasari dalam setiap penerbitan sukuk
sehingga terjadi perpindahan kepemilikan sementara dari emiten ke investor. Sehingga investor
merasa perlu untuk mencari berbagai informasi terkait dengan aset yang akan menjadi miliknya
untuk menginvestasikan dana-dana mereka. Selain itu, dari sisi emiten untuk meyakinkan
investor perlu untuk memberikan informasi yang menyeluruh, hal ini yang memicu rendahnya
asymetric information dalam instrumen sukuk dan sukuk hijau.

Tak hanya itu, sukuk yang diterbitkan oleh Malaysia serta Indonesia terutama untuk
sukuk berdaulat (sovereign sukuk) baik sukuk hijau dan sukuk umum dinilai memiliki model
yang sudah sesuai dengan kriteria syariah. Oleh karena itu, Indonesia dapat menjadi pusat
keuangan syariah global yang berkelanjutan serta dapat merangsang pengembangan instrumen
berkelanjutan lainnya. Selain itu, Indonesia juga dapat berkontribusi dalam mengembangkan
kerangka kerja dari instrumen keuangan berkelanjutan syariah (Keshminder et al., 2022).
Rekomendasi untuk Pemerintah

Dari berbagai tantangan serta isu yang dihadapi dalam penerbitan sukuk hijau tentunya
pemerintah Indonesia perlu untuk berbenah mengenai berbagai hal untuk perbaikan penerbitan
sukuk hijau. Dari sisi regulator seperti Otoritas Jasa Keuangan Indonesia perlu untuk
menetapkan regulasi yang lebih menyeluruh terkait penerbitan sukuk hijau agar defisini “hijau”
dapat dimengerti dengan baik oleh emiten yang tertarik mengembangkan bisnisnya dengan
prinsip berkelanjutan. Selain itu, pemerintah Indonesia baik Kementrian Keuangan dan
Kementrian Lingkungan Hidup perlu untuk memperbaiki data dari sukuk hijau terkait dengan
aset dasar, total investor, total dana, dan lain-lainnya agar dapat meyakinkan investor untuk
berinvestasi melalui sukuk hijau. Selain itu, adanya data yang dapat diakses publik ini tentunya
dapat mengevaluasi lebih lanjut terkait dampak sosial serta lingkungan yang diberikan dengan
adanya penerbitan serta pendanaan dari sukuk hijau. Promosi yang lebih gencar juga diperlukan
dikarenakan sukuk hijau merupakan terminologi baru bagi masyarakat. Dengan adanya
promosi yang lebih masif dapat meningkatkan kesadaran masyarakat sehingga memperluas
pasar dan investor.

Pemerintah Indonesia yaitu, Kementrian Keuangan yang bekerjasama dengan


Kementrian Lingkungan Hidup perlu untuk menjelajahi kembali sektor pembiayaan baru dari
sukuk hijau seperti transportasi berkelanjutan, pengelolaan sumber daya alam, pariwisata hijau,
dan pengelolaan bangunan serta limbah. Hal ini akan meningkatkan ukuran penerbitan dan
memberikan investor opsi yang lebih komprehensif untuk mendiversifikasi portofolio mereka.
Sedangkan dari sisi peneliti serta akademisi di tingkat perguruan tinggi dapat meningkatkan
penelitian terkait dampak sosial evaluasi efektivitas dari sukuk hijau sebab masih kurangnya
studi empiris yang mengevaluasi efektivitas. Hal ini perlu dilakukan melalui proyek survei
serta wawancara untuk menghasilkan data mikro untuk menilai kemanjuran keterlibatan sukuk
hijau dengan individu dibawah program atau proyek sekaligus menilai manfaat atau benefit
yang diterima dari adanya proyek pembangunan berkelanjutan. Peningkatan studi kuantitatif
juga diperlukan untuk mengetahui kinerja sukuk hijau dari perspektif finansial risk-return dan
social-sustainability return.
Referensi

Andreeva, O. v., Vovchenko, N. G., Ivanova, O. B., & Kostoglodova, E. D. (2018). Green
finance: Trends and financial regulation prospects. In Contemporary Studies in
Economic and Financial Analysis (Vol. 100, pp. 9–17). Emerald Group Publishing Ltd.
https://doi.org/10.1108/S1569-375920180000100003

Badan Kebijakan Fiskal. (2021). Green Sukuk : Invetasi Aman Sekaligus Menyelamatkan
Lingkungan.

Badan Kebijakan Fiskal. (2021). Pemerintah Semakin Fokus Kembangkan Green Sukuk
Lewat G20.

Delle Foglie, A., & Keshminder, J. S. (2022). Challenges and opportunities of SRI sukuk
toward financial system sustainability: a bibliometric and systematic literature review.
International Journal of Emerging Markets. https://doi.org/10.1108/IJOEM-04-2022-
0601

Gunay, S., Kurtishi-Kastrati, S., & Krsteska, K. (2022). Regional green economy and
community impact on global sustainability. Journal of Enterprising Communities.
https://doi.org/10.1108/JEC-03-2022-0040

Keshminder, J. S., Abdullah, M. S., & Mardi, M. (2022). Green sukuk – Malaysia surviving
the bumpy road: performance, challenges and reconciled issuance framework.
Qualitative Research in Financial Markets, 14(1), 76–94.
https://doi.org/10.1108/QRFM-04-2021-0049

Kementrian ESDM Republik Indonesia. (2021). Mengenal Lebih Dalam Langkah Aplikasi
Ekonomi Hijau di Indonesia.

Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. (2018). Indonesia Terbitkan Green Sukuk
Pertama di Dunia.

Keuangan Berkelanjutan, R. (2014). Roadmap for Sustainable Finance in Indonesia.

Ngo, Q. T., Tran, H. A., & Tran, H. T. T. (2022). The impact of green finance and Covid-19
on economic development: capital formation and educational expenditure of ASEAN
economies. China Finance Review International, 12(2), 261–279.
https://doi.org/10.1108/CFRI-05-2021-0087

Portal Informasi Indonesia. (2020). Sukuk Hijau, Investasi dan Kontribusi bagi Lingkungan.

Suriani, S., Abd. Majid, M. S., Masbar, R., A. Wahid, N., & Ismail, A. G. (2021). Sukuk and
monetary policy transmission in Indonesia: the role of asset price and exchange rate
channels. Journal of Islamic Accounting and Business Research, 12(7), 1015–1035.
https://doi.org/10.1108/JIABR-09-2019-0177

United Nations Enviroment Programms. (2013). Green Economy.

United Nations Enviroment Programms. (2018). Indonesia’s Green Sukuk.


Statement of Authorship

Saya yang bertandatangan di bawah ini menyatakan bahwa makalah terlampir adalah murni
hasil pekerjaan saya sendiri. Tidak ada pekerjaan orang lain yang saya gunakan tanpa
menyebutkan sumbernya. Materi ini tidak/belum pernah disajikan/digunakan sebagai bahan
untuk makalah pada mata ajaran lain kecuali saya menyatakan dengan jelas bahwa saya
menyatakan menggunakannya. Saya memahami bahwa tugas yang saya kumpulkan ini dapat
diperbanyak dan atau dikomunikasikan untuk tujuan mendeteksi adanya plagiarisme.,

Nama : Faiza Riesqia Husna L.

NPM : 2006585090

Program Studi : Ilmu Ekonomi Islam

Mata Ajaran : Perekonomian Indonesia

Judul Review Paper : COVID-19 and Underinvestment in the Public Health Infrastructure of
the United States (2020)

Jenis Tugas : Paper pengganti UAS Perekonomian Indonesia 2022

Tanggal : 22 Desember 2022

Dosen Pengampu : Dr. Fauziah, S.T., M.T.

Asisten Dosen : Jessica Aretha

Depok, 22 Desember 2022

Faiza Riesqia Husna

Anda mungkin juga menyukai