Anda di halaman 1dari 16

Etika Atas Praktik Transfer Pricing Pada

Perusahaan Multi Nasional


Posted by RES TU A LP IAN S A H  on 10 F EBRUA RY 2016

1. PENDAHULUAN

     Paper ini mencoba menerangkan aspek transfer pricing dari sudut (angle) etika bisnis
(business ethics). Diharapkan dengan adanya sudut etika bisnis akan memperkaya tulisan
serupa mengenai transfer pricing dengan tambahan angle yang berbeda yaitu sudut
pandang etika bisnis.
     Transfer pricing  – selanjutnya disebut TP – (OECD, 2010) didefinisikan sebagai
suatu harga, diadopsi untuk tujuan pembukuan, yang digunakan untuk menilai transaksi
antara perusahaan afiliasi dibawah manajemen yang sama pada tingkat tinggi atau rendah
secara artisifial agar supaya terjadi perpindahan (transfer) penghasilan atau modal antara
perusahaan afiliasi tersebut.
Terjadinya TP dalam era globalisasi merupakan suatu hal yang tidak terhindarkan
terutama untuk perusahaan-perusahaan multinasional (Multinational Corporations –
selanjutnya disebut MNC) yang mempunyai perusahaan-perusahaan afiliasi yang tersebar
di seluruh dunia. Ukuran dari MNC terhadap ekonomi global sangat luar biasa. Eden et al
(2011) menerangkan bahwa sekarang ada lebih dari 82.000 MNC diseluruh dunia dengan
rata-rata 10 perusahaan afiliasi di luar negeri. Pada tahun 2009, nilai tambah tambah
kegiatan MNC mencapai 11 persen dari GDP dunia. Pada tahun 2010, 42 dari 100 besar
kegiatan ekonomi didunia adalah MNC, bukan negara. Total pendapatan 5 besar MNC
lebih besar daripada kombinasi 110 GDP  negara-negara miskin di dunia.
     Sebagai keputusan logis dari sistem kapitalisme, maka kewajiban dari MNC adalah
maksimalisasi keuntungan (profit) bagi pemegang saham melalui perdagangan
internasional. Perdagangan internasional mempunyai kapasitas untuk meningkatkan
investasi, tenaga kerja dan perkembangan ekonomi. Namun demikian melalui
perdagangan internasional dapat juga menciptakan penghindaran pajak dan capital
flight (Sikka et al,2010). Selanjutnya Sikka juga menjelaskan motif utama praktek TP
adalah untuk penghindaran pajak (tax avoidance) bahkan pelanggaran pajak (tax
evasion). Praktek TP adalah sangat besar serta sulit dan mahal untuk dideteksi oleh
otoritas (pemerintah). TP merupakan permainan kompleks yang melibatkan aktor-aktor
seperti MNC, akuntan, pengacara, konsultan, pemerintah, otoritas pajak, NGO dan
sebagainya. Penghindaran pajak melalui praktek TP disebabkan adanya perbedaan tarif
pajak antara negara dan diperparah dengan adanya negara bebas pajak (Tax Haven
Countries). Melalui perusahaan-perusahaan afiliasinya maka MNC membuat skema TP
untuk tujuan pajak keseluruhan group menjadi minimal (bahkan zero) sehingga
keuntungan yang diperoleh pemegang saham bisa menjadi semaksimal mungkin.
     Hansen et al (1992) dalam tulisannya Moral Ethics vs Tax Ethics mengajukan 3
pertanyaan atas praktek TP tersebut di atas yaitu :

1. Apakah skema minimalisasi pajak melalui TP harmonis dengan sikap etis yang
dilakukan oleh para top executive?;
2. Apakah skema minimalisasi pajak termasuk dalam petunjuk (guidelines) kode etik
profesional para praktisi pajak?;
3. Apakah peraturan pajak yang mengarahkan International TPmencerminkan
kesejahteraan?

     Selain masalah tersebut di atas ternyata TP juga mempunyai implikasi yang lebih
besar yaitu bagaimana etika tersebut berpengaruh terhadap kesejahteraan masyarakat
luas. Mehafdi (2000) dalam tulisannya Ethics of International Transfer
Pricing menggambarkan praktek TP tersebut dapat membuat suatu negara yang
seharusnya memperoleh pajak tetapi tidak memperolehnya, akhirnya malah mendapatkan
kerusakan secara fisik, ekonomi dan psikologis. Gambaran permasalahan TP di atas
menunjukkan TP menjadi pusat perhatian dari stakeholdersbaik pemerintah, NGO, MNC
serta para konsultan yang merancang TP.
    Bagi banyak orang pemahaman atas etika sangat sederhana. Jennings (2012)
menyatakan ungkapan : “…I didn’t do anything illegal. That’s where ethics come in;
ethics apply where there are no laws ...” Dari ungkapan tersebut dapat diartikan bahwa
bagi sebagian besar orang sepanjang tidak melanggar hukum berarti etis. Etika hanya ada
ketika tidak ada hukum. Fakta yang terjadi di dalam kehidupan kita terutama terkait
dengan topik yang akan dibahas mengenai praktek TP di MNC menunjukkan hal yang
berbeda dengan ungkapan tersebut.
     Tujuan penulisan ini adalah membahas etika praktek TP dalam MNC melalui teori
yang relevan, contoh praktek-praktek TP yang dilakukan  MNC di luar negeri maupun
MNC di dalam negeri. Selanjutnya dianalisis sesuai teori yang ada dan akan dibuat saran
dan kesimpulan menyikapi praktek TP dari sudut pandang etika bisnis.

1. TINJAUAN PUSTAKA

     Kebanyakan jurnal maupun literatur hanya membahas TP dari sisi aspek teknis.
Sangat sedikit yang membahas TP dari sisi etika. Mc Gee (2010) menyatakan bahwa
melalui ProQuest(mesin pencari jurnal internasional) hanya diperoleh 2 artikel TP yang
terkait dengan isu etika. Kedua paper tersebut adalah Moral Ethics vs. Tax Ethics karya
Hansen et al serta The Ethics of International Transfer Pricing karya Messaoud Mehafdi.
Sebagai catatan, oleh penulis, kedua jurnal tersebut telah termasuk sebagai referensi
penulisan.
     TP Ethics dapat dilihat sebagai irisan (subset) dari literature etika bisnis (Eden et
al.,2011). Jadi, untuk memperoleh gambaran secara komprehensif maka sebelum dibahas
etika TP dibahas dulu teori-teori etika bisnis yang terkait dengan MNC sebagai pengguna
TP.
     Bersumber dari diktat kuliah Prof. Aida minggu ke – 8 diperoleh gambaran teori etika
bisnis sebagai berikut :
2.1    Etika dan moralitas
Etika merupakan kajian moralitas untuk menyelidiki standar moral perseorangan dan
standar moral masyarakat. Moralitas sebagai pedoman bertingkah laku bagi individu atau
kelompok menetapkan segala sesuatu mengenai apa yang benar dan salah, apa yang baik
dan buruk, serta apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan. Standar moral dipelajari
sambil berjalan (evolusioner) tanpa disadari, dimulai dari lingkungan rumah, teman
sepergaulan, lingkungan sekolah, lingkungan tempat kerja dan masyarakat luas.
Konstruksi sosial (pembelajaran dan pengalaman intelektual) seseorang akan mengkaji
ulang hal-hal yang telah didapat selama ini.
2.2    Pedoman moral untuk MNC
Menurut diktat Prof. Aida, dalam melakukan suatu bisnis MNC mempunyai 7 (tujuh)
pedoman moral sebagai berikut :

1. Tidak menimbulkan kesengajaan atau bahaya langsung;


2. Menghasilkan lebih banyak kebaikan daripada keburukan untuk negara tempat
berbisnis;
3. Terlibat dalam pembangunan negara;
4. Peduli terhadap hak asasi pekerja;
5. Membayar bagian pajak yang adil;
6. Peduli terhadap kepercayaan budaya lokal yang tidak melanggar norma moral; dan
7. Bekerja sama dengan pemerintah untuk membangun dan memperkuat institusi
dasar di masyarakat.

Dalam konteks TP yang mempunyai motif utama penghindaran pajak maka pedoman
moral nomor 5 lima di atas adalah sangat sesuai yaitu MNC membayar bagian pajak yang
adil. Bagaimana definisi yang adil tentu sudut pandang MNC dengan pemerintah pasti
berbeda. Untuk melihat lebih jauh pemahaman atas perbedaan tersebut maka kita akan
eksplorasi lebih lanjut pada paper ini.
2.3  Perbaikan etika bisnis global pada MNC serta aksi perbaikan
Perbaikan etika bisnis global pada MNC menghadapi dilema adanya tekanan dari negara
asal bisnisstakeholder dan negara tempat berbisnis stakeholder. Tekanan tersebut
mencakup standar budaya serta standar etika/ moral yang berbeda antara negara asal
berbisnis dengan tempat berbisnis. Penerapan etika sendiri merujuk adanya sinkronisasi
standar budaya tersebut dengan hukum internasional yang merupakan tata aturan global.
Demi menciptakan etika bisnis global yang baik maka diperlukan aksi perbaikan etika
bisnis internasional. Aksi tersebut mencakup :

1. Menciptakan berbagai aturan global yakni aturan dan standar perusahaan global
serta aturan dan standar organisasi internasional global;
2. Mengintegrasikan etika kedalam strategi global;
3. Menunda aktivitas bisnis di negara-negara tempat tujuan berbisnis yang tidak
mempunyai etika bisnis; dan
4. Menciptakan berbagai pernyataan etika yang berdampak baik.

2.4  The Caux Round Table (CRT) beserta prinsip-prinsipnya


Aksi perbaikan etika bisnis telah diwujudkan secara nyata melalui The Caux Round
Table (CRT). Pada tahun 1994, melalui proses yang ekstensif dan kolaboratif, pemimpin-
pemimpin bisnis membentuk CRT untuk bisnis sebagai representasi aspirasi dari
kepemimpinan bisnis yang beretika dan sekaligus sebagai visi yang mendunia untuk
tindakan etis dan tanggungjawab perusahaan sebagai fondasi aksi bagi pemimpin bisnis
dunia. Proses awal CRT adalah mengidentifikasi distribusi nilai, menggabungkan
perbedaan nilai-nilai dan mengembangkan alokasi perspektif perilaku bisnis yang dapat
diterima dan memuaskan semua pihak.
Tujuh prinsip CRT adalah :

1. Menghormati stakeholderdibanding shareholders;
2. Kontribusi terhadap ekonomi, sosial dan pembangunan lingkungan;
3. Membangun kepercayaan melalui hukum tertulis;
4. Menghormati aturan dan konvensi;
5. Mendukung tanggungjawab globalisasi;
6. Menghormati lingkungan; dan
7. Menghindari aktivitas tidak sah atau bertentangan dengan hukum.

Prinsip pertama dan kedua mendukung supaya penerapan TP lebih


memperhatikan stakeholder(masyarakat, pemerintah, organisasi lainnya, serta unsur-
unsur diluar pemegang saham) dibandingkan dengan maksimalisasi keuntungan kepada
pemegang saham (shareholder). Kemudian seperti prinsip kedua, penerapan TP yang
tidak baik juga akan mengurangi kontribusi terhadap ekonomi, sosial dan pembangunan
lingkungan.
Selanjutnya teori-teori dibawah ini akan membahas etika TP secara lebih spesifik yang
diambil dari jurnal internasional yang relevan sebagai berikut :
2.5  Moral Ethics vs Tax Ethics :
MNC dalam melakukan praktek TP sering dihadapkan kepada masalah etika moral dan
etika pajak. Ada studi yang menarik mengenai tersebut yang dilakukan oleh Hansen, et al
(1992). Studi tersebut mengilustrasikan bagaimana menjawab ketiga pertanyaan
sebagaimana tersebut pada bagian pendahuluan. Melalui contoh studi kasus Peterson
Company yang berbasis di Amerika Serikat yang melakukan praktek TP di Perancis
(detail akan diceritakan di contoh kasus). Akhirnya diperoleh kesimpulan bahwa antara
etika moral (moral ethics) dengan etika pajak (tax ethics) adalah hal yang cukup sulit
direkonsiliasikan. Etika pajak lebih banyak dikaitkan dengan kepatuhan kepada hukum
sedangkan etika moral lebih dari sekedar bahasa hukum. Apa yang benar  dilakukan TP
menurut hukum belum tentu benar secara etika. Hal itu terjadi karena praktek TP lebih
didasarkan kepada aspek hukum seperti melalui skema TP ke Tax Haven Countries untuk
merendahkan pajak yang secara substansi ekonomi tidak ada. Sehingga walaupun MNC
tidak melanggar hukum tapi secara moral bertanggungjawab atas ketiadaan substansi
ekonomi tersebut. Dengan adanya contoh serta kesimpulan dari jurnal tersebut maka
ketiga pertanyaan terjawab. Pertama skema minimalisasi pajak oleh top executive tidak
harmonis dengan sikap etis. Kedua, skema minimalisasi pajak harus dimasukkan dalam
kode etik profesional yang menjelaskan konsekuensi multidimensi kepada masyarakat.
Ketiga, peraturan TP Internasional belum bisa menjawab peningkatan kesejahteraan
masyarakat.
2.6  Kontroversi atas etika menghindari pajak (ethical to avoid taxes) :
Masih terdapat kontroversi mengenai apakah etis menghindari pajak? Beberapa pakar
seperti Hansen, Eden, Mehafdi menyatakan bahwa TP meskipun legal untuk menghindari
pajak tetap tidak etis. Namun ada pendapat lain yang berbeda yang diajukan oleh McGee
(2010), dia menyatakan bahwa ada pendapat juri atas kasus TP yang menyatakan hal
berikut :
“Over and over again courts have said there is nothing sinister in so arranging one’s
affair as to keep taxes as low as possible. Everybody does so rich or poor; and all do
right, for nobody owes any public duty to pay more than the law demands: taxes are
enforced exactions, not voluntary contributions. To demand more in the name of morals
is mere cant.”
Berdasarkan putusan juri tersebut maka McGee kurang sepakat jika penghindaran pajak
dikatakan tidak etis.
Kata-kata yang saya garis bawahi pada pernyataan juri tersebut menyatakan bahwa tidak
bisa kita meminta lebih suatu pajak atas nama moral. Keputusan juri tersebut sering
digunakan oleh MNC sebagai dasar pembenaran untuk melakukan manipulasi TP.
Menurut saya, dari sisi akademisi, pernyataan tersebut tidak bisa diartikan secara sempit
namun perlu dilihat konteks secara luas. Studi mengenai ekses negatif TP mungkin tidak
(belum) pernah dibaca oleh para juri tersebut. Apabila mereka membacanya tentu “mata
hati” mereka akan terbuka dan bisa berkata lain. Dibawah ini ada studi dari Mehafdi yang
menyatakan masalah yang lebih luas akibat dari manipulasi TP.
2.7  Kerangka analisis untuk etika TP (TP Ethics) :
Mehafdi (2000) menjelaskan etika bisnis antara lain adalah mengenai kode etik
perusahaan untuk mengejar penciptaan kesejahteraan. Dalam upaya membingkai etika
TP, maka dibutuhkan 4 observasi yang harus dibuat. Pertama, dengan ketiadaan aturan
pemaksaan laporan keuangan yang mengungkapkan TP, maka perusahaan akan terus
untuk membungkus kebijakan TP dan mencegah pengamatan langsung untuk aspek non
pajaknya. Ini dikenal sebagai hambatan empiris penelitian TP.
Kedua, meskipun literatur etika bisnis mengenal kegiatan MNC mengakibatkan
kontroversi, itu hanya mendiskusikan transaksi komersial antara pihak yang tidak terkait
hubungan istimewa (related parties), dan mengabaikan etika perdagangan antara pihak
yang mempunyai hubungan istimewa.
Ketiga, literatur TP yang masih mendasarkan kepada pandangan neo klasik  melihat TP
sebagai “magical pricing formula”  untuk transaksi internal.  Untuk transaksi lintas batas
negara (cross border transactions) formula tersebut digunakan untuk tujuan minimalisasi
pajak secara global. Secara keseluruhan, penekanan hanya kepada formula serta aturan
yang terkait dengannya. Hanya sedikit yang mengkaitkan dengan keadilan.
Keempat, adanya konsep umum yang salah yang melihat TP murni hanya sebagai
masalah efisiensi biaya karena adanya penjualan internal mengakibatkan pembatalan
pembelian dari luar, yang mengakibatkan efek nihil terhadap keuntungan dan arus kas
perusahaan. Pandangan ini menghilangkan proses pengambilan keputusan dalam
perdagangan internal group. Dalam proses ini, faktor organisasi dan personal yang
menentukan tingkatan moral dari transaksi, dengan manajemen pusat serta para manajer
divisi pembelian sebagai pusat dari permainan.
2.8  Tax avoidance, tax evasion dan tax fraud dalam praktek manipulasi TP
Eden et al (2011) menjelaskan terdapat batasan secara hukum atas praktek TP. Dalam TP
dikenal 3 hal yaitu penghindaran pajak (tax avoidance),  pengelakan pajak (tax evasion),
serta penggelapan pajak (tax fraud).  Sepanjang aktivitas TP adalah tax avoidance maka
dianggap sah secara hukum (legal), namun apabila  tax evasion atau meningkat lagi
ke tax fraud maka dianggap melanggar hukum (illegal).
Teknik manipulasi TP dapat dilakukan secara aggressive TP maupun abusive TP.
Semakin lemah peraturan yang mengatur maka kesempatan untuk
menggunakan aggressive maupun abusive TP semakin meningkat.  Akibatnya lemahnya
peraturan dapat membuat aggressive maupun abusive TP bergerak ke arah melanggar
hukum (illegal).
Selain itu praktek manipulasi TP secara agresif tidak hanya dapat menimbulkan tax
fraud tetapi lebih jauh lagi ke penggelapan laporan keuangan (financial statement fraud).
Kasus Enron, World Com yang menghebohkan dunia awal tahun 2000 an membuktikan
penggunaan instrument TP secara agresif yang mengakibatkan penggelapan laporan
keuangan. Kasus ini akan dibahas pada bagian contoh kasus.
Secara etika kalau dikaitkan dengan konteks dengan teori sebelumnya dari Hansen, et al
maka ketiga hal tersebut dari sudut pandang pemerintah maupun NGO adalah tidak
beretika. Sebaliknya dari sudut pandang MNC serta konsultan selama mereka mematuhi
hukum maka dianggap beretika, artinya hanyatax avoidance saja yang dianggap oleh
MNC sebagai TP yang beretika, sementara tax evasion dan tax fraud selain melanggar
hukum dianggap juga tidak beretika.
Di dalam praktek, banyak MNC yang mengaku-ngaku melakukan praktek tax
avoidance untuk menghindar batasan pelanggaran hukum. Sementara dalam
kenyataannya justru yang dilakukan banyaktax evasion bahkan tax fraud.
Sebagai contoh kasus yang akan diungkapkan dibawah ini adalah MNC di Indonesia dari
Asian Agri Group yang bergerak di industri perkebunan kelapa sawit (Crude Palm Oil/
CPO), yang mengaku manipulasi TP yang mereka lakukan sebagai tax avoidance, namun
karena adanya whistle blower dari dalam perusahaan terbongkar bahwa yang dilakukan
adalah tax fraud.
2.9  TP Fraud Triangle
Eden et al (2011) menjelaskan terjadinya TP fraud disebabkan oleh tiga hal yaitu
kesempatan (opportunity), tekanan (pressure) serta rasionalisasi
(rationalization). Opportunity disebabkan karena MNC beroperasi di beberapa negara
yang mempunyai tarif pajak dan aturan transfer pricing yang berbeda. Adanya perbedaan
tarif pajak tersebut membuat kesempatan MNC  untuk merancang manipulasi TP agar
pengenaan pajak secara keseluruhan (group) seminimal mungkin. Pressuredisebabkan
dari insentif tarif pajak yang rendah yang selanjutnya dapat meningkatkan
keuntungan.Pressure tersebut terjadi karena keinginan dari pemegang saham yang ingin
memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya dengan cara mengurangi pajak sampai
jumlah seminim mungkin. Selanjutnyarationalization berasal perspektif bahwa proses TP
merupakan tindakan dari top management sehingga komitmen secara individual akan
mengikuti aksi dari top management tersebut.
2.10    Masalah yang lebih luas akibat TP yang tidak etis
Mehafdi (2000) menunjukkan akibat lebih luas dari TP yang tidak etis adalah sebagai
berikut :
 Penyimpangan atas kepercayaan dan keramahtamahan yang diberikan negara yang telah
memberikan subsidi dan konsesi lainnya untuk mendorong investasi;
 Perampokan atas tenaga kerja lokal terutama di negara-negara dunia ketiga dimana
MNC mengambil keuntungan dengan upah yang rendah dan menggunakan TP sebagai
instrumen untuk memiskinkan negara itu;
 Memperkuat politik ketamakan (eksploitasi imperialis, khususnya bagi negara dunia
ketiga yang sangat sedikit terlindungi dari praktek TP);
  Menodai image MNC sebagai partner bisnis internasional;
 Menyebabkan kerusakan finansial kepada pemegang saham dalam bentuk jatuhnya
harga saham serta denda yang dikenakan oleh otoritas pajak.
Dari uraian di atas terlihat bahwa praktek TP yang tujuannya untuk menghindari pajak
ternyata mempunyai implikasi negatif luas terhadap MNC. Untuk itulah diperlukan etika
bisnis yang dapat “menggerakkan hati” para pembuat manipulasi TP itu agar tersentuh
tidak melakukan hal yang sifatnya abusive.
III.       MASALAH YANG AKAN DIANALISIS
Ada beberapa praktek TP yang akan dianalisis dibawah ini yang dapat menggambarkan
bagaimana praktek TP dilakukan MNC di luar negeri dan dalam negeri (Indonesia).
3.1    Kasus Peterson Company :
Bersumber dari jurnal Moral Ethics vs. Tax Ethics karya Hansen, et al (1992) kasus ini
menceritakan bahwa Peterson Company (PC) yang berbasis di Amerika Serikat (USA)
merupakan pabrikasi yang menjual komponen elektronik ke seluruh dunia. PC
mempunyai divisi pemasaran di Perancis dengan Debbie sebagai manajer disana, dimana
Debbie diambil dari kompetitor dan telah bekerja 3 tahun di PC. Debbie diinformasikan
kenaikan harga suatu produk utama dan diminta bertemu dengan Jeff, vice
president pemasaran. Debbie merasa bingung karena ada kenaikan harga dari $ 5 ke $ 5.5
padahal dia telah negosiasi dengan divisi pabrik agar harga $ 5 tetap selama 1 tahun. Jeff
mengatakan bahwa kenaikan tersebut instruksi dari pusat, karena itu dia ingin
memberitahukan ke Debbie kenapa terjadi. Debbie merasa dirugikan karena kenaikan itu
melanggar filosofi desentralisasi dan mempengaruhi keuntungan divisi pemasaran di
Perancis yang akan turun sekurangnya $ 600.000. Jeff menjawab, dalam kondisi normal,
perusahaan tidak akan mempengaruhi keputusan divisi. Kondisi sekarang menginginkan
seluruh keuntungan divisi pemasaran di Eropa menurun.  Debbie protes, bukankah tujuan
divisi pemasaran mencari uang, kenapa dibuat rugi? Namun Jeff menjelaskan lagi, tujuan
perusahaan memang cari uang, tapi caranya melihat bisnis secara keseluruhan. Divisi
pabrikasi mereka di USA dalam kondisi tidak untung dengan proyeksi rugi, pada saat
yang sama proyeksi di Eropa adalah untung. Dengan cara menaikkan harga di USA maka
penjualan dan pendapatan akan meningkat di USA dan  sebaliknya di Perancis
pendapatan berkurang sehingga bisa menghindari pajak. Kerugian total di USA akan
menyerap keuntungan yang dibuat atas transaksi tersebut sehingga di USA pun tidak usah
bayar pajak. Debbie menjawab bahwa itu tidak benar, bagaimana hukum pajak akan
mengijinkan skema itu? Rencana itu juga akan membuat seluruh manajer di Eropa
kehilangan uang dan berakibat kepada bonusnya mereka. Jeff menjawab, tidak perlu
kuatir soal skema pajak, karena rancangan mereka telah dibuat oleh orang yang ahli di
departemen pajak mereka serta para konsultan yang ahli di bidangnya dan telah
memenuhi syarat section 482 Internal Revenue Code (ketentuan pajak di USA).
Sekiranya kantor pajak Perancis mengotak-atik TP tersebut mereka sudah menyiapkan
seluruh dokumen untuk menjawab pernyataan itu secara legal. Mengenai bonus juga
mereka sudah siapkan dengan cara menghitung secara dual price, artinya penghitungan
bonus dibuat seakan-akan transaksi itu tidak ada dan menghitungnya secara normal, jadi
para manajer tidak akan dirugikan bonusnya. Jeff menjelaskan juga bahwa cara tersebut
telah dilakukan beberapa kali di masa lalu dan selalu sukses tanpa masalah.
3.2    Kasus Worldcom dan Enron :
Kita masih ingat kasus rekayasa keuangan Worldcom dan Enron di awal tahun 2000 an
yang mengguncangkan dunia. Akibat dari kasus itu akuntan publik nomor 1 di dunia
Arthur Anderson sampai harus ditutup karena ikut terlibat di dalam kasus itu. Bagaimana
kasus itu terjadi dan apa hubungannya dengan TP? Berikut dari jurnal “The Dark Side of
Transfer Pricing : Its Role in Tax Avoidance and Wealth Retentiveness” karya Sikka, et
al (2010) dapat diketahui jalan ceritanya.
Enron melalui nasehat Arthur Andersen, Deloitte & Touche, Chase Manhattan, Deutsche
Bank, Banker Trust dan firma hukum besar, membuat kegiatan raksasa dengan 3.500
anak perusahaan dan afiliasi yang tersebar di dalam dan luar negeri, mencakup Turki dan
Caicos, Bermuda dan Mauritius (Tax Haven Countries). Senat Amerika menyelidiki
penghindaran pajak Enron melalui strategi yang dibuat dengan cara menggeser
pendapatan ke tax haven countries. Senat menyatakan salah satu aspek bisnis Enron
adalah secara signifikan menggunakan TP. Isu tersebut berkaitan dengan jasa yang
dilakukan oleh Enron untuk keuntungan entitas bisnis di luar negeri sehubungan dengan
bisnis pengembangan infrastruktur di luar negeri. Pada tahap pembangunan awal proyek
tersebut dilakukan oleh entitas lokal yang dimiliki oleh Enron melalui dua atau
lebih holding company di Caymand Islands. Struktur korporasi tersebut memungkinkan
Enron untuk membukukan dan membebankan fee di tax havens. Keuntungan Enron
sebesar US$ 1,785 milyar selama tahun 1996 ke 2000 dan tidak terkena pajak. Mereka
juga menghindari pajak di negara berkembang seperti India dan Hungaria.
Kasus lainnya, Worldcom juga mengungkapkan bagaimana secara kreatif penggunaan TP
untuk variasi trademarks, trade names, trade secrets, brands, service
marks dan intellectual property. Dengan fee sebesar US$ 9,2 juta, firma akuntan KPMG
menyarankan perusahaan untuk meningkatkan pendapatan setelah pajak melalui
program TP intangible assets. Melalui itu, perusahaan membuat “management foresight”,
sebelumnya tidak dikenal sebagai intangible asset. Perusahaan induk mendaftarkannya
pada negara dengan pajak yang rendah dan melisensikannya ke anak perusahaan dan
sebagai gantinya membayar royalti tahunan. Pengaturan tersebut membuat hemat pajak
(tax savings) sebesar US$ 25 juta pada tahun pertama dan US$ 170 juta selama lima
tahun. Royalti yang dibebankan sebenarnya melampui gabungan penghasilan bersih
setiap tahun selama 1998-2001, dan dalam kasus lainnya mewakili 80 sampai 90 persen
penghasilan anak perusahaan. Selama 4 tahun meliputi 1998-2001, lebih dari US$ 20 juta
di accrue dalam royalty fees untuk penggunaaan “management foresight”. Pengaturan
TP tersebut telah menghemat pajak antara US$ 100 juta sampai dengan US$ 350 juta.
3.3    Kasus Starbucks, Amazon, Google di Inggris :
Baru-baru ini ini merebak berita bahwa perusahaan-perusahaan besar seperti Starbucks,
Amazon, Google tidak membayar pajak dengan benar di Inggris. Modus yang mereka
lakukan dengan cara TP yakni melakukan transaksi ke anak perusahaan yang terdaftar
di tax haven countries maupun negara dengan pajak rendah yakni Irlandia. Wilmshurts, P
(2013) dalam tulisannya mengenai UK Transfer Pricing and Tax Avoidance
Debatemengungkapkan cara mereka mengecilkan pajak melalui skema abuse TP,
pembayaran royalti, intellectual property pricing serta pembayaran bunga kepada yang
tidak wajar. Akibat tekanan yang kuat, akhirnya Starbucks mengumumkan bahwa “secara
sukarela (voluntarily)” akan membayar pajak lebih dengan cara tidak mengklaim
pengurangan untuk beban intra-group. Perkembangan sampai saat ini menurut Financial
Times, banyak perusahaan-perusahaan besar memindahkan intangible yakni intellectual
property, brands and know how yang dapat me-make up nilai mereka ke negara yang
pajaknya rendah.
Akibat dari kejadian ini Inggris bersama negara maju lainnya yang tergabung dalam G 20
mensepakati adanya keinginan perubahan aturan perpajakan internasional yang semula
diatur oleh OECD menjadi lebih realistis. Konsep semula OECD adalah memakai
konseparm’s length transaction artinya transaksi TP dibandingkan dengan perusahaan
melakukan transaksi sejenis dan serupa kepada pihak yang tidak ada hubungan istimewa
(non related parties). Konsep ini menurut mereka lebih menekankan kepada struktur
hukum (legal structure) dibandingkan dengan kenyataan secara ekonomis (economic
substance) yang mendasari transaksi group secara keseluruhan. Untuk mengantisipasi
kelemahan tersebut, selanjutnya OECD memperkenalkan konsep BEPS (Base Erosion
and Profit Shifting). Konsep ini pada dasarnya mencoba menjawab kelemahan aturan
internasional TP sebelumnya dengan menggunakan konsep substansi ekonomi sebagai
dasar transaksi serta kerjasama multilateral antara negara-negara G 20 (sebagai catatan :
Indonesia termasuk di dalam G 20). Semangat perubahan ini tentu akan berimbas kepada
ketentuan perpajakan di Indonesia yang terkait dengan aturan TP.
3.4    Kasus Asian Agri Group :
Akhir-akhir ini di Indonesia diberitakan kasus pajak terbesar sepanjang republik ini
berdiri yaitu kasus Asian Agri Group. Setelah melalui proses penyidikan, pengadilan
negeri dan tinggi serta akhirnya keluar keputusan Mahkamah Agung, Asian Agri Group
(AAG) dinyatakan bersalah dan harus membayar denda ke negara Rp 2,5 trilyun serta
tagihan ke Direktorat Jenderal Pajak sebesar Rp 1,8 trilyun, total yang harus dibayar Rp
4,3 trilyun (detik.com tanggal 5 Juni 2013). Jumlah ini merupakan sejarah pertama wajib
pajak terkena denda yang luar biasa besar.
Bagaimana kasus ini bermula? Berdasarkan vivanews.com tanggal 28  April 2011, kasus
ini bermula dari whistle blower yakni Vincentius Amin Sutanto selaku manajer pajak
Asian Agri. Menurut Vincent, setiap tahunnya AAG melaksanakan pertemuan
perencanaan untuk menghemat pembayaran pajak yang harus dibayarkan. Menurutnya,
jumlah pajak yang dihemat mencapai US$ 70 juta per tahun. Jalan yang dilakukan
dengan pembukuan fiktif seperti memasukkan biaya pemotongan rumput sebagai biaya
pokok produksi perusahaan. Selanjutnya dilakukan juga teknik manipulasi TP melalui
Suwir Laut selaku manajer pajak (terdakwa) dengan merekayasa harga jual yang
mengakibatkan keuntungan perusahaan menjadi lebih kecil dari yang sebenarnya.
Rekayasa tersebut dilakukan dengan cara perusahaan seolah-olah menjual kepada
perusahaan di tax haven country dengan harga yang rendah. Selanjutnya the real
buyer akan membeli dari negara tax haven country dengan harga yang sebenarnya. Selain
itu dilakukan juga pembiayaan fiktif dengan menciptakan kerugian. Caranya melalui
perusahaan yang bernaung di bawah AAG, seolah membuat kontrak ekspor penjualan
minyak kelapa sawit mentah ke perusahaan di Hongkong (tax haven country) yang
penyerahan barangnya dilakukan beberapa waktu kemudian. Namun, sebelum jatuh
tempo penyerahan barang dilakukan, perusahaan yang tergabung dalam AAG melakukan
pembelian kembali dengan harga yang lebih tinggi. Perbuatan tersebut melanggar tindak
pidana perpajakan sesuai Pasal 39 ayat 1 huruf c jo Pasal 43 ayat 1 UU KUP.

1. PEMBAHASAN

Contoh-contoh kasus di atas menunjukkan bahwa praktek TP yang dilakukan MNC


sudah sangat menggurita di dunia ini. Baik di luar negeri maupun di Indonesia sendiri
permainan TP oleh MNC sudah merupakan “barang wajib” untuk mengejar keuntungan
yang sebesar-besarnya bagi pemegang saham.
Analisis yang dilakukan atas kasus di atas dapat dilihat dari kacamata teori yang besar
yakni etika bisnis selanjutnya dari teropong yang lebih kecil lagi yakni etika TP.
4.1    Analisis kasus berdasarkan etika bisnis
Dari sudut etika bisnis, jelas-jelas kasus di atas menggambarkan bahwa MNC tidak
mengikuti pedoman moral untuk MNC (lihat landasan teori). Salah satu klausul dari
pedoman itu yakni nomor 5 yaitu membayar bagian pajak yang adil tidak dilakukan
dengan benar oleh MNC. Dalam skala yang lebih luas apabila dikaitkan dengan tulisan
Mehafdi (2000) kerusakan akibat TP tidak hanya masalah pajak tapi bisa perampokan
tenaga kerja serta menodai kepercayaan yang telah diberikan oleh negara tempat
investasi. Itu sama saja manipulasi TP mencederai keseluruhan tujuh pedoman moral
MNC.
Standar etika bisnis tempat negara asal dengan dengan negara tujuan bisnis juga
seharusnya diselaraskan. Dalam kasus Peterson, terlihat bahwa bagi Jeff yang orang
Amerika tidak ada masalah melakukan praktek TP karena legal dan tidak mengganggu
siapa-siapa. Tapi bagi Debbie yang orang Perancis merasa perlakuan perusahaan atas
praktek TP itu menciderai rasa keadilan dia. Tentu hal seperti itu harus dijembatani
melalui aksi perbaikan etika bisnis internasional. Etika yang seharusnya universal tidak
bisa dipilah-pilah menjadi interpretasi yang berbeda bagi tiap negara.
Kasus Enron dan Worldcom juga mencerminkan etika bisnis yang dilakukan oleh MNC
sepertinya mendasarkan pada yurisprudensi keputusan juri yang menyatakan “to demand
more in the name of morals is mere cant”. Melalui teknik manipulasi TP mereka
merancang hal sedemikian rupa agar pajak yang dibayarkan memang tidak lebih sesuai
dengan ketentuan undang-undang yang berlaku. Sikap seperti itu jelas-jelas sangat tidak
etis. Cara berpikir dan berbuat yang sangat rakus dengan membungkusnya “patuh kepada
hukum” tentu sangat tidak etis. Ketidak etis an tersebut akhirnya terbongkar setelah kasus
itu meledak. Baru orang menyadari kepatuhan hukum yang sifatnya hanya kedok belaka
akan menghancurkan tatanan kehidupan baik secara ekonomi maupun sosial.
Selanjutnya dalam kasus Starbuck, Amazon dan Google juga sebenarnya merupakan
pengulangan cerita lama. Mungkin dulu negara-negara maju tidak terlalu mengotak atik
perusahaan besar karena struktur perekonomian mereka masih kuat. Namun sejalan
dengan adanya krisis yang melanda seluruh dunia, maka negara maju membutuhkan dana
besar untuk recovery serta menutup lubang-lubang hutang yang membengkak. Untuk
itulah maka sekarang mereka berbalik berburu kepada MNC agar supaya menutup
biaya recovery dan lubang hutang itu melalui pajak-pajak yang harus dibayar. MNC
sendiri bukannya tidak punya kekuatan politik dan ekonomi. MNC mempunyai dana
yang sangat besar untuk melobi para politisi supaya aturan perpajakan tetap
menguntungkan mereka. Sebagaimana diungkapkan pada pendahuluan kekuatan ekonomi
gabungan MNC sudah bisa mengalahkan negara-negara di dunia. Jadi negara-negara
maju bahkan negara-negara berkembang harus bersatu padu “melawan” kekuatan MNC
yang “merampok” pajak melalui skema manipulasi TP. Untuk itulah diperlukan bukan
hanya kerjasama G 20 tapi dalam skala yang lebih luas bisa melalui Persatuan Bangsa-
Bangsa (PBB) atau United Nations(UN).
Sesuai landasan teori di atas ada sarana lain melalui CRT untuk memperbaiki standar
global etika bisnis. Prinsip-prinsip CRT yaitu Kyosei dan Human Dignity merupakan
prinsip yang kerjasama yang saling memakmurkan. Dua dari tujuh prinsip CRT yaitu
menghormatistakeholder dibanding shareholder serta kontribusi kepada ekonomi, sosial
dan lingkungan merupakan prinsip yang seharusnya bisa mencegah praktek manipulasi
TP.  Seperti diketahui CRT terbentuk dari pemimpin-pemimpin bisnis yang notabene
lebih banyak mengetahui praktek manipulasi TP. Bisa saja justru para pemimpin yang
terdapat CRT juga merupakan pemain utama manipulasi TP. Permasalahan yang terjadi
adalah apakah para pemimpin bisnis tersebut yang notabene merupakan eksekutif
perusahaan berani melawan para pemegang saham yang menginginkan maksimalisasi
keuntungan melalui TP. Tentu itu bukan merupakan pekerjaan yang mudah, karena
melawan pemegang saham berarti para eksekutif itu siap untuk dipecat. Untuk itu perlu
sinergi antara pemerintah-pemerintah diseluruh dunia dengan para eksekutif MNC itu
untuk duduk bersama. Hal itu bukan pekerjaan yang mudah, karena kepentingan antara
pemerintah dengan pemegang saham MNC selalu bertolak belakang. Pemerintah
menginginkan pajak yang wajar, namun para pemegang saham MNC berpikir sebaliknya.
MNC adalah private clubs, jika pemegang saham ingin men transfer ke pemerintah atau
masyarakat, itu adalah urusan mereka, namun manajer tidak dapat memberikan ke
pemerintah lebih dari batas legal minimum karena asset bukan milik manajer, asset
adalah milik pemegang saham (McGee, 2010).
Sebenarnya kekuatiran di atas tidak perlu kita cemaskan secara berlebihan karena pada
dasarnya MNC juga “mencari makan” di suatu tempat yang notabene adalah negara,
sebaliknya negara juga membutuhkan MNC untuk mendorong pertumbuhan ekonomi,
mengurangi pengangguran, dan sebagainya. Jadi pada akhirnya akan ketemu suatu
keseimbangan (equilibrium) kepentingan yang tentu membutuhkan proses waktu yang
panjang.
Untuk kasus AAG yang terjadi di Indonesia, sesuai hasil putusan MA maka, TP yang
dilakukan   jelas-jelas bukan merupakan tax avoidance tapi sudah merupakan tax
fraud.  TP tersebut baik secara hukum maupun etika tidak bisa dibenarkan lagi. Adanya
kasus tersebut juga akan membuat MNC lain di Indonesia yang melakukan hal serupa
untuk berpikir dan bertindak ulang. Masalah yang timbul adalah bagaimana para
konsultan serta lawyer yang ada menyikapi rancangan manipulasi TP tersebut, apakah
mereka akan mengamini dan membuat pertahanan (defense) atas ketidakbenaran secara
hukum dan etika. Demikian juga sebaliknya MNC di Indonesia seharusnya sudah mulai
meninggalkan stigma kelonggaran hukum serta ketidakmampuan sumber daya manusia
di kantor pajak untuk mendeteksi ulah negatif mereka. Jadi mereka (MNC, konsultan dan
lawyer) sudah menghitung kemungkinan-kemungkinan yang ada dan yang akan dihadapi
mendatang.
4.2    Analisis kasus berdasarkan etika TP
Meskipun masih ada kontroversi tax avoidance melalui TP etis atau tidak etis, namun
kerangka untuk mengamati kewajaran praktek TP telah dibangun oleh beberapa ahli.
Berdasarkan landasan teori di atas Mehafdi (2000) membingkai etika TP melalui 4
observasi.  Dari ke empat hal tersebut, hal pertama yang paling membuat etika TP tidak
berjalan dengan sebenarnya yaitu ketiadaan aturan pemaksaan laporan keuangan yang
mengungkapkan TP. Sepengetahuan saya pernyataaan laporan keuangan di Indonesia di
atur oleh Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK), di Amerika
disebut Generally Accepted Accounting Principle (GAAP) serta di dunia sekarang
mengarah kepada prinsip global yaitu dengan International Financial Reporting
Standards (IFRS). PSAK yang agak “nyerempet” TP adalah PSAK No. 7 yaitu PSAK
mengenai Hubungan Pihak-pihak yang Mempunyai Hubungan Istimewa. Untuk
selanjutnya PSAK yang semula berkiblat ke GAAP akan mengadopsi IFRS. Yang aneh
adalah apa yang dikatakan Mehafdi benar, tidak ada pernyataan standar keuangan di
Indonesia maupun di dunia yang mewajibkan perusahaan mengungkapkan TP yang dia
lakukan. Kewajiban perusahaan hanya sebatas mengungkapkan transaksi yang ada
hubungan istimewa (transaksi kepada pihak-pihak dalam satu group perusahaan baik
yang dibawah kendali manajemen yang sama maupun dibawah kepemilikan yang sama).
Saya kurang mengerti, apakah ini konspirasi tingkat tinggi dunia antara konsultan,
akuntan publik, lembaga atau asosiasi akuntan publik serta MNC. Karena memang benar
yang dikatakan Mehafdi ketiadaan pemaksaan (karena ketiadaan keharusan untuk
pelaporan) akan membuat etika TP berjalan dengan tidak baik. Bukan hanya faktor pajak
saja yang akan berpengaruh terhadap manipulasi TP tapi juga faktor non pajak seperti
eksploitasi buruh, sumber daya alam, capital flight yang tidak terukur akibat tidak
diungkapkannya TP di dalam laporan keuangan.
Dalam kasus Enron, Worldcom, sangat jelas justru ulah dari kantor akuntan publik yang
mendorong timbulnya TP yang tidak beretika. Padahal itu adalah akuntan publik big
five(sekarang tinggal big four) seperti Arthur Anderson, Delloite, KPMG yang
merancang manipulasi TP tersebut. Jadi kalau analisis saya adanya konspirasi tingkat
tinggi yang membuat ketiadaan keharusan pelaporan TP dalam laporan keuangan
sangatlah beralasan. Para akuntan publik dan konsultan penghasilannya sangat besar dari
praktek rancangan TP, sehingga apabila itu diwajibkan harus dibuka di laporan keuangan
maka akan ketahuan belangnya mereka mendesign manipulasi TP. Tentu ini mereka tidak
mau karena “periuk nasi” mereka ada disitu.
Dalam kasus Starbuck, Google dan Amazon, pola TP sudah sangat agresif. Seperti yang
diungkapkan oleh Eden  et al (2011), TP yang agresif tersebut akan mendorong TP
dari tax avoidance ke tax evasion bahkan tax fraud. Jika sudah sampai ke arah sana maka
aspekillegal tentu sudah dapat ditarik oleh otoritas pajak. Bagaimana MNC mau
melakukan hal tersebut? Dalam hal ini MNC melakukan karena masih adanya Tax Haven
Countries sertalow tax jurisdiction yakni Irlandia, sehingga MNC masih bisa memainkan
manipulasi TP dengan adanya perbedaan tarif pajak tersebut.
Selanjutnya Eden et al (2011) menjelaskan terjadinya TP fraud disebabkan oleh tiga hal
yaitu kesempatan (opportunity), tekanan (pressure) serta rasionalisasi (rationalization).
Ketiga hal tersebut mendorong MNC melakukan agresif TP. Opportunity disebabkan
karena adanya perbedaan tarif yang sebelumnya telah dijelaskan. Pressure disebabkan
karena keinginan dari pemegang saham yang ingin memperoleh keuntungan yang
sebesar-besarnya dengan cara mengurangi pajak sampai jumlah seminim mungkin.
Selanjutnyarationalization terjadi karena tindakan dari top management sehingga
komitmen secara individual akan mengikuti aksi dari top management tersebut.
Untuk kasus AAG sekali lagi secara etika TP sudah tidak memenuhi syarat. Apa yang
dilakukan oleh para top management, konsultan bahkan mungkin owner adalah peristiwa
yang menjadi pembelajaran bagi kita semua di republik tercinta ini. Pemanfaatan atas
kelemahan pengungkapan TP (disclosure) di laporan keuangan, kelemahan aturan
perpajakan serta kelemahan sumber daya manusia di kantor pajak yang tidak mampu
mendeteksinya bukannya tanpa akhir. Semua itu berakhir setelah adanya whistle
blower dari kelompok usaha itu sendiri.
4.3    Pencegahan atas praktek TP yang tidak beretika
Sebagaimana diungkapkan dalam teori, etika sendiri pada dasarnya dibangun dari
kesadaran sendiri. Namun demikian dengan semakin kompleksnya keadaaan disekitar
kita, maka etika tidak hanya cukup dari kesadaran sendiri tapi dapat dibangun melalui
sistem yang baik. Dibawah ini ada beberapa hal yang dapat mencegah praktek TP yang
tidak beretika :
4.3.1  Advance Pricing Agreement
Sebagai sarana menjawab ketidakpastian dan risiko TP yang dilakukan oleh MNC di
banyak negara, maka terdapat kemungkinan untuk menghindari sengketa dengan otoritas
pajak melalui Advance Pricing Agreement (APA) (Sikka et al, 2010). APA merupakan
suatu kesepakatan tertulis  mengenai TP yang dibangun antara otoritas pajak
(pemerintah) dengan wajib pajak. Dengan APA disepakati misalnya mark upharga
transfer MNC ke pihak afiliasinya 5 %. Selanjutnya mark up 5 % itu akan dipakai sebagai
dasar penghitungan bersama untuk menghitung pajak yang terhutang. Cara ini cukup
baik, namun demikian pada prakteknya masih banyak MNC yang enggan untuk
mengikuti APA karena disebabkan beberapa hal (Mehafdi, 2000). Pertama, tidak ada
jaminan bagi  MNC untuk tahun-tahun sebelum kesepakatan akan tidak diotak-atik
otoritas pajak. Kedua, MNC merasa biaya ke negara untuk APA masih lebih mahal
dibandingkan dengan mereka membayar untuk merancang TP dengan bantuan para ahli
TP serta lawyer. Ketiga, MNC melihat kemampuan sumber daya manusia (aparat) pajak
yang benar-benar mengerti TP sangat sedikit sehingga mereka masih berani untuk
men challenge TP yang mereka buat dengan otoritas pajak.
4.3.2  Whistle Blower System
Mehafdi (2000) mengusulkan untuk mencegah TP yang tidak beretika dibuat whistle
blower system (WBS). Sistem tersebut melibatkan manajer divisi dan eksternal auditor
yang berfungsi mencegah TP yang tidak beretika. Dalam kasus AAG di Indonesia,
terbukti WBS sangat ampuh untuk membongkar kasus penggelapan pajak melalui TP.
Namun demikian dalam situasi normal, nampaknya agak sulit mewajibkan para manajer
sebagai WBS. Selama mereka “mencari makan” di perusahaan dan kebutuhannya
terpenuhi hampir bisa dipastikan sistem ini tidak berjalan. Demikian juga kewajiban
akuntan publik untuk membuka sesuatu yang mencurigakan apabila ada TP yang
bersifat abuse, nampaknya hal ini juga disulitkan karena pengaruh korporasi yang sangat
kuat dapat membuat kantor akuntan publik yang coba-coba melakukan itu akan di “black
list” dari para MNC. Akibatnya “periuk nasi” kantor akuntan publik akan terancam
mereka coba-coba jadi WBS.
4.3.3  Formulary apportionment dan BEPS
Formulary apportionment diterapkan di beberapa negara bagian Amerika Serikat.
Prinsipnya adalah memajaki atas dasar aktivitas ekonomi dan penghasilan di dalam
jurisdiksi geografis tertentu.
Sistem ini kemungkinan agak mirip dengan sistem BEPS yang akan dibangun oleh
OECD serta negara G20 yaitu pemajakan didasarkan kepada aktivitas ekonomi tidak
mendasarkan kepada struktur legal yang selama ini terjadi. Sistem perpajakan
internasional yang baru ini akan memajaki secara komprehensif dan multilateral.Dengan
adanya BEPS perjanjian pajak (Tax Treaty) yang tadinya bersifat bilateraldiharapkan
akan bergeser menjadi multilateral. Dengan adanya BEPS diharapkan mempersempit
ruang gerak MNC untuk melakukan praktek manipulasi TP serta dapat menghilangkan
perlombaan penurunan tarif pajak antar negara. Kesulitan BEPS adalah setiap jurisdiksi
pemajakan mempunyai kewenangan (soverignity) untuk mengatur ketentuan pajak yang
berlaku, sehingga mengharapkan menghilangkan perbedaan tarif pajak antara jurisdiksi
pemajakan bukan pekerjaan yang mudah.
Cara-cara pencegahan praktek TP yang tidak etis tersebut di atas merupakan cara yang
secara sistem memungkinkan untuk dijalani meskipun dengan banyak tantangan yang
akan dihadapi. Ke depan mungkin saja akan timbul cara lain untuk menangani praktek TP
yang tidak etis tersebut.
KESIMPULAN DAN SARAN

1. TP merupakan pusat dari permasalahan berbagai pemangku kepentingan  yakni


pemerintah, NGO versus MNC dan konsultan. Terdapat paradoks pemerintah
tidak menghukum manipulasi TP oleh MNC secara keras karena bagaimanapun
pemerintah membutuhkan sektor swasta (MNC) untuk mendorong pertumbuhan
ekonomi, pengentasan kemiskinan, pengurangan pengangguran dari pajak yang
diterima. Upaya yang dilakukan pemerintah atas etika yang dilanggar akibat
manipulasi TP adalah melalui jalur hukum yaitu pengenaan pinalti TP yang tidak
wajar kepada MNC sesuai undang-undang dan aturan perpajakan internasional.
2.  Etika dalam TP tidak sejalan dengan hukum, dimana skema TP oleh MNC hanya
mengikuti skema hukum. Tidak melanggar tapi secara etika membuat efek negatif
karena MNC tidak membayar pajak sesuai dengan substansi ekonomi yang terjadi.
Akibatnya negara sumber tempat terjadinya penghasilan tidak menerima pajak
yang seharusnya diterima. Akibat selanjutnya akan berpengaruh terhadap
kemampuan negara berkurang untuk membiayai kesehatan, sosial, infrastruktur
dan lainnya.
3. MNC selama ini tidak terlalu perduli etika terhadap social responsibilityakibat
manipulasi TP karena MNC sebagai private club hanya fokus kepada
maksimalisasi keuntungan pemegang saham. Oleh karena itu dibutuhkan aksi
perbaikan etika bisnis secara global dengan melakukan restrukturisasi konsep
perpajakan internasional yang semula mendasarkan diri kepada arm’s length yang
sebagian besar bersifat bilateral menjadi kepada BEPS yang bersifat multilateral.
Aksi perbaikan tersebut juga dapat disalurkan melalu forum-forum seperti CRT,
OECD, bahkan United Nations (UN) agar aksi tersebut menjadi kenyataan yang
dapat mengubah peta kemiskinan dan ketidakadilan di dunia ini.
4. Upaya pencegahan praktek TP yang tidak etis melalui sistem APA,
WBS, formulary apportionment, serta BEPS tidak mudah dan banyak menghadapi
tantangan.  Cara yang paling terakhir melalui BEPS  yang dilakukan oleh negara-
negara G 20 maupun OECD melalui kerjasama antar negara
secara multilateraljuga tidak mudah. Hal itu disebabkan setiap negara di dunia
mempunyai kedaulatan (sovereignity) terhadap pajak sehingga tidak bisa
memaksakan suatu negara menurunkan tarif pajak demi menghindari manipulasi
TP.  Hal lainnya disebabkan tarif pajak juga menjadi daya tarik untuk investasi ke
suatu negara.
5. Semangat penegakan moral dan etika akibat manipulasi TP tetap perlu dibarengi
dengan law enforcementbaik dari undang-undang suatu negara maupun kerjasama
dengan bilateral danmultilateral negara lainnya terkait dengan isu TP.
Ketidakmampuan negara-negara didunia utk menangani  manipulasi TP akan
menyebabkan distribusi pendapatan melalui pajak yang seharusnya dinikmati
negara sumber (yg memiliki sumber daya manusia dan alam yg besar) menjadi
hilang. Sehingga yang terjadi hanya eksploitasi sumber daya alam, manusia,
kerusakan lingkungan yang dilakukan oleh MNC.

 DAFTAR PUSTAKA
Eden, L., Smith, L.M., 2011, The Ethics of Transfer Pricing, for Presentation at the AOS
Workshop      on “Fraud in Accounting, Organizations and Society., London.
Hansen, D.R., Crosser, R.L., Laufer, D., 1992, Moral Ethics vs Tax Ethics : The Case of
Transfer      Pricing Among Multinational Corporations, Journal of Business Ethics, 11 :
679-686, Kluwer      Academic Publishers., Netherlands.
Hubeis, A.V.S.,  2013, Isu Etika Dalam Arena Global, Diktat Kuliah Minggu ke – 8.,
DMB IPB Bogor.
Ikatan Akuntan Indonesia, 2012, Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan
(PSAK),  Jakarta.
Jennings, M.M., 2012, Business Ethics, South-Western Cengage Learning., 7th ed.,  USA.
McGee, R.W., 2010, Ethical Issues in Transfer Pricing, Manchester Journal of
International                   Economic Law., Vol. 7., Issue 2 : 24-41, Manchester.
Mehafdi, M., 2000, The Ethics of International Transfer Pricing, Kluwer Academic
Publishers.,             Netherlands.
OECD., 2010, OECD Transfer Pricing Guidelines for Multinational Enterprises and Tax
Administration, OECD., Paris
Sikka, P., Willmott. H., 2010, The Dark Side of Transfer Pricing : Its Role in Tax
Avoidance and           Wealth Retentiveness, Essex Business School.,  UK.
Wilmshurst, P., 2013, UK Transfer Pricing and the Tax Avoidance Debate, The Tax
Executive                Institue, Inc.,  UK.
http://www.detik.com, 5 Juni 2013, Kasus Asian Agri, Dirjen : Sejarah Pertama di RI
Ada Wajib Pajak            Kena Denda Rp 2,5 trilyun, Jakarta
http://www.vivanews.com, 28 April 2011, Vincent Beberkan Kasus Pajak Asian Agri,
Jakarta

Anda mungkin juga menyukai