Anda di halaman 1dari 34

AKUNTANSI PAJAK ATAS

PIUTANG

DisusunOleh :

Septiana Indrawati 55519110002


Metha Christinawati 55519110026
Fidiatur Fitrifiani 55519110092

Program Studi Magister Akuntansi

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS MERCU BUANA

JAKARTA

2019
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha
Panyayang, Kami panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah
melimpahkan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah yang berjudul “Akuntansi Pajak atas Piutang”. Makalah
ini disusun dengan tujuan untuk melengkapi nilai tugas mata kuliah Akuntansi
Perpajakan.

Makalah ini telah kami susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan
dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah. Untuk itu
kami menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah
berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.

Kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik dari segi
susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu dengan tangan terbuka kami
menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki
makalah ini.

Jakarta, September 2019

Penyusun

Page 1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ………………………………………………………1

DAFTAR ISI ………………………………………………………………...2

BAB I PENDAHULUAN …………………………………………………...3

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Piutang …………………..…………………………..4

2.2 Akuntansi Atas Piutang Usaha Berbasis PSAK…………….…...6

2.3 Penyisihan Piutang Tak Tertagih………………………….…......8

2.4 Penghapusan Piutang Menurut Peraturan Perpajakan………..…11

2.5 Hubungan Penghapusan Piutang Menurut Akuntansi dan

Perpajakan………………..……………………………….….…20

2.6 Kasus Atas Piutang………………………………………..…....24

BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan …………………………………………………… 29

3.2 Saran …………………………………………………………. 31

DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………… 32

Page 2
BAB I

PENDAHULUAN

Dalam kehidupan sehari-hari kita sering mendengar istilah akuntansi dan


pajak. Biasanya akutansi dan pajak digunakan dalam berbagai bidang mulai dari
kegiatan usaha, pemerintah, maupun Pendidikan yaitu dengan melakukan pencatatan
terhadap semua kegiatan yang berkaitan dengan keuangan. Akuntansi perpajakan
merupakan suatu seni dalam mencatat, menggolongkan, mengikhtisarkan serta
menafsirkan transaksi-transaksi financial yang dilakukan oleh perusahaan dan
bertujuan untuk menentukan jumlah penghasilan kena pajak (penghasilan yang di
gunakan sebagai dasar penetapan beban dan pajak penghasilan yang terutang) yang
diperoleh atau diterima dalam satu tahun pajak untuk dipakai sebagai dasar penetapan
beban atau pajak penghasilan yang terutang oleh perusahaan sebagai wajib pajak.

Salah satu komponen akun yang sering dicatat dalam akuntansi adalah
piutang. Piutang yang diperoleh oleh perusahaan itulah yang akan dikenakan
perhitungan pajak. Piutang ialah hak perusahaan kepada pihak lain yang akan
diterima dalam bentuk kas. Piutang usaha terjadi karena penjualan barang atau
penyerahan jasa secara kredit. Piutang yang dapat ditagih dalam 1 tahun dapat
digolongkan ke dalam aset lancar, sedangkan piutang yang tidak dapat ditagih dalam
1 periode dapat digolongkan pada asset lain-lain.

Dari pembahasan di atas, maka dari itu kami membuat makalah mengenai
Akuntansi Pajak atas Piutang.

Page 3
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Piutang

Menurut Warren Reeve & Fess, piutang meliputi semua klaim dalam

bentuk uang terhadap pihak lainnya, termasuk individu, perusahaan atau

organisasi lainnya. Piutang merupakan bagian dari aset lancar. Aset lancar

merupakan aset yang diharapkan akan direalisasi dalam siklus aset operasi

berjalan.

Apabila ditinjau dari sumber terjadinya, piutang digolongkan menjadi tiga

kategori :

A. Piutang usaha (account receivables) adalah piutang yang timbul karena

adanya penjualan produk atau penyerahan jasa dalam rangka kegiatan usaha

normal perusahaan. Piutang ini seluruhnya dapat dimasukkan ke dalam aset

lancar, dengan syarat jangka waktu penagihannya kurang dari satu tahun atau

satu siklus usaha normal.

B. Piutang wesel (notes receivable) merupakan instrument kredit resmi yang

bisa digunakan pemegangnya untuk menagih sejumlah utang seseorang.

Terjadinya piutang wesel karena :

(1) Kondisi pertama adalah karena seseorang meminjam uang tunai dan

memberikan pernyataan hitam di atas putih (berupa surat promes)

bahwa ia akan melunasi kewajibannya di masa depan dengan waktu

Page 4
dan nominal yang sudah ditentukan. Pinjaman yang diberikan bisa

berupa kontrak pinjaman jangka panjang atau jangka pendek (lancar).

(2) Kondisi kedua, piutang wesel terjadi karena aktivitas jual-beli secara

kredit. Aktivitas ini awalnya dianggap sebagai piutang dagang. Akan

tetapi ketika pembelinya menyerahkan surat promes yang menyatakan

kesanggupannya untuk melunasi kewajiban dari aktivitas jual-beli

kredit tersebut, maka piutang dagang tersebut akan berubah menjadi

piutang wesel. Umur piutang wesel lebih panjang dibandingkan

dengan piutang dagang. Setidaknya, surat promes tersebut berumur 60

hari.

C. Piutang lain-lain (other receivables) adalah piutang yang timbul karena

adanya transaksi di luar kegiatan usaha normal perusahaan. Sesuai namanya,

jenis piutang ini tidak terdiri dari satu macam piutang saja. Beberapa akun

seperti piutang non usaha, pinjaman pada karyawan, atau piutang yang

terjadi akibat transaksi yang tidak berhubungan langsung dengan operasional

utama, tergolong dalam jenis piutang lain-lain. Piutang ini diharapkan akan

direalisasikan dalam waktu satu tahun.

Page 5
2.2 Akuntansi Atas Piutang Usaha Berbasis PSAK

Piutang usaha terjadi karena penjualan barang atau penyerahan jasa secara

kredit. Ada kalanya bentuk piutang usaha dinyatakan dalam bentuk surat dagang

komersial yaitu wesel tagih. WP yang merupakan Pengusaha Kena Pajak (PKP)

wajib memungut PPN atas penyerahan barang dan jasa kena pajak yang

dilakukannya.

Standar akuntansi, baik SAK maupun IFRS, memperlakukan piutang

sebagai instrument keuangan, yaitu aset keuangan, yang pengakuan dan

pengukurannya diatur dalam PSAK 55/IAS 39, sedangkan penyajiannya diatur

dalam PSAK 50/IAS 32 dan PSAK 1/IAS 1. Standar Akuntansi Keuangan (SAK)

mengatur penyajian piutang dalam laporan keuangan dinyatakan sebesar jumlah

bruto tagihan diikuti dengan jumlah taksiran piutang yang tidak dapat ditagih.

Jurnal pencacatan piutang atas penjualan :

Piutang usaha xxx

Penjualan xxx

PPN keluaran xxx

Pada akhir periode pelaporan, piutang usaha dilaporkan sebagai aset pada

laporan posisi keuangan. PSAK 55/IAS 39 secara umum menyarankan agar

piutang dan pinjaman yang diberikan diukur dengan biaya diamortisasi

(amortized cost). Akan tetapi, praktik yang lazim mengabaikan faktor nilai waktu

uang dengan alasan materialitas, sehingga piutang usaha biasa dilaporkan dengan

jumlah yang diharapkan dapat ditagih/diterima pembayarannya atau direalisasi

Page 6
oleh perusahaan, dikenal dengan istilah nilai realisasi neto (net realizable

value).

Penjualan kredit juga mengakibatkan timbulnya risiko piutang tak tertagih.

Penilaian piutang bisa menyulitkan karena piutang yang tidak tertagih belum

diketahui pada tanggal pelaporan, sehingga mengharuskan dilakukannya

estimasi.

Menurut akuntansi komersial terdapat dua metode penghapusan piutang,

yakni :

a. Metode penghapusan langsung (direct write-off method) digunakan apabila

kemungkinan tidak tertagihnya piutang relatif kecil (immaterial) dan jarang

terjadi.

Jurnal untuk setiap transaksi penghapusan :

Beban piutang tak tertagih xxx

Piutang usaha xxx

b. Metode penyisihan (allowance method) digunakan apabila jumlah piutang

tak tertagih relatif besar dan sering terjadi.

Jurnal untuk metode penyisihan :

Beban piutang tak tertagih xxx

Penyisihan piutang tak tertagih xxx

Jurnal apabila piutangnya benar-benar tidak dapat ditagih :

Penyisihan piutang tak tertagih xxx

Piutang usaha xxx

Page 7
2.3 Penyisihan Piutang Tak Tertagih

Dalam akuntansi komersial, sering terjadi pemberian potongan penjualan

(trade discount), yakni potongan yang diberikan pada saat terjadi transaksi

penjualan dengan mengurangi harga jual yang berlaku dan potongan tunai (cash

discount), yakni potongan yang diberikan kepada pelanggan dengan tujuan agar

pelanggan segera melakukan pembayaran tagihan. Selain itu sering juga terjadi

retur penjualan. Praktek akuntansi komersial membukukan potongan tersebut

dengan ketentuan perpajakan. Namun pembukuan penyisihan (allowance) untuk

potongan tunai dan retur penjualan tidak diperkenankan untuk tujuan perpajakan

karena ketentuan perpajakan lebih menekankan pada kenyataan senyatanya dan

bukan bersifat antisipatif dengan penyisihan tersebut.

Dalam praktek akuntansi komersial, pembentukan penyisihan (cadangan)

berguna untuk mengantisipasi kemungkinan kerugian dari piutang tak tertagih

merupaka hal yang lazim. Menurut Weygen, Kimmel dan Kieso, pembentukan

estimasi penyisihan piutang tak tertagih didasarkan pada :

(1) Persentase penjualan (income statement approach), dengan menetapkan

persentase tertentu terhadap penjualan baik penjualan kredit atau total

penjualan.

Contoh kasus :

PT FEG dalam tahun 2018 membunyai penjualan kredit sebesar 40M,

pembentukan cadangan piutang tak tertagih ditentukan sebesar 2% dari total

Page 8
penjualan. Maka besarnya cadangan piutang tak tertagih adalah 2% x 40M =

800jt. PT FEG akan mencatat jurnalnya sebagai berikut :

Beban piutang tak tertagih 800jt

Penyisihan piutang tak tertagih 800jt

(2) Persentase piutang usaha (balance sheet approach), dengan menetapkan

persentase tertentu terhadap saldo piutang. Dasar yang digunakan adalah

saldo piutang rata-rata atau umur piutang pada akhir periode (aging schedule

of account receivable).

a. Saldo piutang rata-rata

Persentase piutang tak tertagih yang telah ditentukan dikalikan dengan

saldo piutang rata-rata.

Contoh kasus :

PT FEG per 1 Jan 2018 mempunyai daftar piutang sebagai berikut :

NamaDebitur TanggalJatuh Tempo SaldoPiutang


PT ABC 12/02/2019 150.000.000
PT EWD 03/03/2019 200.000.000
PT ME 10/08/2018 175.000.000
PT DB 06/06/2018 250.000.000
PT HNW 20/09/2019 225.000.000
TOTAL 1.000.000.000

Daftar piutang PT FEG per 31 Des 2018 adalah sebagai berikut :

Page 9
NamaDebitur TanggalJatuh Tempo SaldoPiutang
PT ABC 12/02/2019 210.000.000
PT EWD 03/03/2019 170.000.000
PT HNW 20/01/2019 150.000.000
PT SBI 08/07/2019 300.000.000
PT ETK 19/08/2019 400.000.000
TOTAL 1.230.000.000

Jika persentase penghapusan piutang tak tertagih ditetapkan sebesar 10%

dari saldo piutang rata-rata, maka besarnya beban penghapusan piutang

untuk tahun 2018 adalah sebagai berikut :

Jurnal :

Beban piutang tak tertagih 111.500.000

Penyisihan piutang tak tertagih 111.500.000

10% x ((1.000.000.000 + 1.230.000.000)/2) = 111.500.000

b. Saldo piutang berdasarkan umur piutang

Membuat daftar umur piutang (aging schedule of account receivable)

pada akhir tahun. Masing-masing kelompok umur dibuat persentase

taksiran piutang tak tertagihnya.

Contoh kasus :

PT MC per 31 Des 2018 mempunyai daftar piutang sebagai berikut :

Kelompok Umur Pi Saldo Piuta Persentase Tak T Jumlah Penyisiha


utang ng ertagih n

Page 10
1 – 90 Hari 80.0000.000 1% 800.000
90 – 120 Hari 60.000.000 2% 1.200.000
120 – 180 Hari 40.000.000 4% 1.600.000
Lebih dari 180 Har 20.000.000 8% 1.600.000
i
TOTAL 200.000.000 5.200.000

Dari data di atas dapat diketahui bahwa jumlah penyisihan piutang tak

tertagih sebesar 5.200.000, sehingga jurnal pada PT MC adalah sebagai

berikut :

Beban piutang tak tertagih 5.200.000

Penyisihan piutang tak tertagih 5.200.000

2.4 Penghapusan Piutang Menurut Peraturan Perpajakan

Secara fiskal, piutang tak tertagih merupakan nilai yang muncul akibat

transaksi wajar yang sesuai dengan bidang usaha WP (tidak termasuk piutang

yang muncul akibat transaksi bisnis dengan pihak yang memiliki hubungan

istimewa), dimana oleh WP telah dilakukan upaya penagihan secara maksimal

namun tidak membuahkan hasil.

Pembebanan secara komersial atas piutang tak tertagih oleh WP

merupakan objek rekonsiliasi fiskal sebelum menentukan penghasilan kena

pajak. Pada dasarnya secara fiskal tidak dikenal adanya metode penyisihan

(allowance method) sebagaimana ditegaskan di dalam Pasal 9 ayat (1) huruf c

Page 11
UU No.36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan kecuali untuk WP sektor usaha

tertentu. Sehingga komponen biaya yang dibentuk karena adanya pembentukan

atau penyisihan dana cadangan tidak boleh dikurangkan dari laba bruto. Ini

berarti nilai penyisihan piutang ragu-ragu yang belum diputuskan sebagai piutang

tak tertagih tidak boleh dijadikan sebagai biaya yang dikurangkan dari laba bruto

dan dikurangkan dalam menghitung penghasilan kena pajak.

Untuk beban piutang tak tertagih sendiri pada prinsipnya tidak menjadi

soal bagi ketentuan perpajakan. Sepanjang nilai beban piutang tak tertagih yang

diperoleh adalah nilai yang dipastikan tidak dapat lagi tertagih dan tidak lagi

mengandung nilai yang kemungkinan masih dapat dibayar oleh debitur, maka

nilai tersebut dapat dibiayakan (deductible expense). Namun demikian dalam

rangka rekonsiliasi fiskal, secara administratif nilai piutang tak tertagih tersebut

harus memenuhi persyaratan yang ditentukan oleh Menteri Keuangan

sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan nomor PMK-

57/PMK.03/2010 tentang perubahan atas PMK-105/PMK.03/2009 tentang

piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih dan dapat dikurangkan dari

penghasilan bruto. Adapun persyaratan yang ditetapkan di dalam ketentuan

tersebut adalah sebagai berikut :

(1) Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih tersebut telah dibukukan sebagai

pendapatan bagi debitur terkait di tahun yang sama.

Page 12
(2) WP wajib menyerahkan daftar piutang tak tertagih kepada DitJen Pajak yang

memuat identitas lengkap debitur yang utangnya dibebaskan (nama, NPWP,

alamat, dan jumlah piutang yang tidak dapat lagi ditagih).

(3) Telah dianjurkan ke instansi pemerintah yang menangani

penghapusan/pembebasan utang antara Wp dengan debitur yang

bersangkutan.

(4) Telah dipublikasikan dalam penerbitan umum/khusus yang meliputi

koran/majalah atau media massa cetak secara nasional (publikasi umum) atau

Himpunan Bank Milik Negara (HIMBARA)/Perhimpunan Bank Swasta

Nasional (PERBANAS) dan/atau publikasi khusus Bank Indonesia (publikasi

khusus).

(5) Adanya pengakuan dari debitur bahwa utangnya telah dihapuskan untuk

jumlah uang tertentu.

Persyaratan no 3-5 tidak berlaku dalam hal piutang tak tertagih berasal

dari piutang yang diberikan kepada debitur kecil atau debitur kecil lainnya.

Debitur kecil dalam hal ini adalah debitur dengan jumlah piutang tidak lebih dari

Rp.100.000.000,- yang merupakan jumlah total piutang dari beberapa kredit yang

diberikan oleh bank/lembaga pembiayaan dalam negeri sebagai akibat adanya

pemberian : KUKESRA (Kredit Usaha Keluarga Sejahtera), KUT (Kredit Usaha

Tani), KPRSS (Kredit Pemilikan Rumah Sangat Sederhana), KUK (Kredit Usaha

Kecil), KUR (Kredit Usaha Rakyat), dan kredit lainnya dalam rangka kebijakan

Page 13
perkreditan Bank Indonesia dalam mengembangkan usaha kecil dan koperasi.

Adapun debitur kecil adalah debitur dengan jumlah piutang tidak melebihi

Rp.5.000.000,-.

Apabila WP dapat membuktikan bahwa pembebanan piutang tak tertagih

telah memenuhi persyaratan secara konseptual (tidak lagi mengandung unsur

penyisihan) dan menunjukkan bukti pendukung persyaratan, yang terdiri dari :

(1) Daftar piutang tak tertagih (nama, NPWP, alamat, jumlah piutang yang tidak

lagi tertagih).

(2) Fotokopi bukti pendaftaran penagihan kepada instansi pemerintah yang

menangani penghapusan/ pembebasan utang.

(3) Fotokopi kesepakatan tertulis yang menunjukkan bahwa penghapusan piutang

tersebut telah divalidasi oleh Notaris.

(4) Fotokopi bukti publikasi baik pemberitahuan umum atau khusus.

(5) Surat keterangan dari Debitur bahwa sejumlah utang telah dihapuskan dan

disetujui oleh Wajib Pajak yang memberikan pinjaman.

Maka beban piutang tak tertagih boleh dikurangkan dari laba kotor sesuai

dengan amanat pasal 6 ayat (1) huruf h UU Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak

Penghasilan. Semua bukti tersebut dijadikan sebagai lampiran saat pelaporan SPT

Tahunan PPh. Jika dalam tahun berjalan ternyata debitur melunasi utangnya,

padahal penghapusan telah disetujui dan dibebankan sebagai biaya, maka nilai

Page 14
pelunasan tersebut wajib dilaporkan Wajib Pajak sebagai penghasilan pada tahun

berjalan dilakukannya pelunasan.

Adapun persyaratan yuridis yang harus dipenuhi adalah sebagaimana

yang telah ditentukan dalam Pasal 6 ayat (1) huruf h UU PPh, sebagai berikut :

(1) Telah dibebankan sebagai biaya dalam laporan laba rugi komersial.

(2) Telah diserahkan perkara penagihannya kepada Pengadilan Negeri atau Badan

Urusan Piutang dan Lelang Negara (BUPLN) atau adanya perjanjian tertulis

mengenai penghapusan piutang/pembebasan utang antara kreditur dan debitur

yang bersangkutan.

(3) Telah dipublikasikan dalam penerbitan umum dan khusus.

(4) WP harus menyerahkan daftar piutang yang tidak dapat ditagih kepada

Direktorat Jenderal Pajak.

Jika secara akuntansi perusahaan menerapkan metode penghapusan tidak

langsung (melalui pembentukan cadangan piutang tak tertagih), maka dengan

sendirinya akan timbul beda waktu antara pencatatan akuntansi dengan

perpajakan yang merupakan unsur pajak tangguhan menurut PSAK 46.

Namun dalam kondisi tertentu biaya penyisihan piutang tak tertagih bisa

berpotensi menjadi beda tetap (perbedaan antara laba menurut akuntansi

komersial dengan penghasilan kena pajak menurut akuntansi secara fiskal). Jika

sekiranya WP tidak dapat memenuhi syarat yang ditentukan dalam Pasal 6 ayat

Page 15
(1) huruf h UU PPh tersebut di atas maka biaya penyisihan piutang tak tertagih

secara perpajakan dengan sendirinya tidak dapat dibiayakan sehingga berubah

menjadi beda tetap.

Berikut contoh kasus sederhana perhitungan pajak tangguhan atas beda

waktu biaya penyisihan piutang tak tertagih :

Akhir tahun 2017, kurang bayar pajak PT BKP adalah sebagai berikut :

- Menurut pencatatan akuntansi komersial Rp.10.000.000,-

- Menurut fiskal Rp.12.000.000,-

Ada selisih Rp.2.000.000,- atas koreksi pos penyisihan piutang tak tertagih. Jadi

kelebihan Rp.2.000.000,- tersebut adalah pajak yang dibayar di awal atas hutang

pajak yang akan datang saat piutang benar-benar tidak dapat tertagih.

Jurnal pada akhir tahun buku 2017 adalah :

Asset pajak tangguhan 2.000.000

Penghasilan pajak tangguhan 2.000.000

Di tahun yang akan datang, jika piutang tersebut benar-benar tidak tertagih dan

memenuhi syarat perpajakan diterima, maka pajak terutang akhir tahun yang

Page 16
akan datang berdasarkan akuntansi komersial sebesar Rp.12.000.000,- dan

dilakukan koreksi fiskal negatif Rp.2.000.000,- menjadi Rp.10.000.000,-, maka

jurnal di akhir tahun buku yang akan datang :

Biaya pajak tangguhan 2.000.000

Asset pajak tangguhan 2.000.000

PMK No. 57/PMK.03/2010 tanggal 9 Maret 2010 Pasal 5A menyebutkan

apabila piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 3 dibayar seluruhnya atau dibayar sebagian oleh debitur, jumlah

piutang yang dibayar seluruhnya atau dibayar sebagian tersebut merupakan

penghasilan bagi kreditur pada tahun Pajak diterimanya pembayaran.

Metode penghapusan piutang yang nyatanya dibayarkan oleh debitur adalah :

1. Direct Write Off Method

a. Jika penerimaan piutang dari penghapusan secara akuntansi telah

dilakukan tetapi tidak memenuhi persyaratan peraturan perpajakan.

Page 17
Contoh Soal : PT Rahayu Sentosa telah menghapuskan piutang PT Ramai

Ribut sebesar RP 50.000.000 Tetapi karena tidak memenuhi persyaratan

perpajakan maka pada waktu penghapusan tidak perlu dilakukan koreksi

fiskal, maka berlaku sebaliknya pada waktu menerima kembali piutang

yang sudah dihapus tidak perlu dilakukan koreksi fiskal. Walaupun tidak

dilakukan koreksi fiskal, tetapi jurnal untuk akhir tahun tetap dilakukan

oleh PT Rahayu Sentosa, yaitu jurnal untuk menghapus aktiva pajak

tangguhan, sehingga ayat jurnal yang dibuat :

Penghasilan pajak tangguhan 12.500.000

Aktiva Pajak Tangguhan 12.500.000

b. Jika penerimaan piutang dari penghapusan secara akuntansi telah

dilakukan tetapi telah memenuhi persyaratan peraturan perpajakan

Contoh Soal : PT Rahayu Sentosa, di tahun 2012 ternyata PT Ramai Ribut

membayar tagihannya sebesar Rp 50.000.000 dimana tagihan ini tahun

sebelumnya telah dihapuskan (menurut akuntansi dan menurut

perpajakan). Maka perlakuan pajak atas penerimaan piutang yang

semulau tak tertagih sebesar Rp 50.000.000 tersebut menjadi penghasilan

yang dikenakan PPh tahun 2012.

Dengan melihat pencatatan yang dilakukan PT Rahayu Sekar pada waktu

menerima pembayaran tersebut di atas, seharusnya tidak perlu dilakukan

Page 18
koreksi fiskal, mengingat hakekatnya koreksi terhadap Beban Piutang

Tak Tertagih (di debit) adalah penambahan penghasilan bagi WP.

2. Allowance Method

a. Jika penerimaan piutang dari penghapusan secara akuntansi telah

dilakukan tetapi tidak memenuhi persyaratan peraturan perpajakan maka

perlakuan sama dengan Direct Write Off Method (a)

Contoh soal : PT Suasana Alam dalam tahun 2011 telah menghapus

piutang PT Alam Bumi Raya Rp 200.000.00 Maka jurnal yang harus

dibuat PT Suasana Alam

Penghasilan pajak tangguhan 50.000.000

Aktiva pajak tangguhan 50.000.000

*25% x Rp 200.000.000 = Rp50.000.000 (asumsi tarif PPh Badan 25%)

b. Jika penerimaan piutang dari penghapusan secara akuntansi telah

dilakukan tetapi telah memenuhi persyaratan peraturan perpajakan

Contoh soal : PT Graha Bumi Elok menerima pembayaran piutang dari PT

Sekar Kinanti Merindu sebesar Rp 300.000.000 dimana piutang tersebut

telah dilakukan penghapusan oleh PT Graha Bumi Elok.

Page 19
Berbeda dengan penerimaan piutang dimana penghapusan piutang

memakai metode langsung tidak ada koreksi fiskal, untuk metode tidak

langsung PT Graha Bumi Elok harus melakukan koreksi fiskal sebesar Rp

300.000.000 dan juga melakukan jurnal untuk menghapus akiva pajak

tangguhan. Jurnal yang dibuat oleh PT Graha Bumi Elok :

Penghasilan pajak tangguhan 75.000.000

Aktiva pajak tangguhan 75.000.000

25% x Rp 300.000.000 = Rp 75.000.000 (asumsi tarif PPh Badan 25%)

2.5 Hubungan Penghapusan Piutang Menurut Akuntansi dan Perpajakan

5.1 Penghapusan Piutang secara akuntansi telah dilakukan namun tidak

memenuhi persyaratan perpajakan

(a) Metode Langsung

Contoh Soal : PT Mekar Utama mempunyai saldo piutang sebesar Rp

1.240.000.000, pertengahan tahun 2015 piutang a.n CV. Indah Sejati

dihapuskan sebesar Rp 50.000.000 Maka PT Mekar Utama seharusnya

akan membuat ayat jurnal sbb:

Beban Penghapusan Piutang 50.000.000

Piutang CV Indah Sejati 50.000.000

Page 20
Tetapi untuk menghitung PKP, penghapusan piutang CV Indah tsb

belum memenuhi persyaratan sebagaimana diatur dalam peraturan

perpajakan. Maka beban sebesar Rp 50.000.000 tidak dapat

dibebankan sebagai biaya dan perlu dilakukan koreksi fiskal oleh PT

Mekar Utama pada akhir tahun pajak. PT Mekar Utama membuat

jurnal untuk mengakui perbedaan perlakuan penghapusan piutang

tersebut sbb:

Aktiva Pajak Tangguhan 12.500.000

Penghasilan Pajak Tangguhan 12.500.000

(25% x Rp 50.000000)

(b) Metode Tidak Langsung

PT Sarana Alam dalam tahun 2014 mempunyai penjualan kredit

sebesar Rp 40.000.000.000 pembentukan cadangan piutang tidak

tertagih sebesar 2% dari total penjualan. Pencatatannya sebagai

berikut:

Beban Piutang Tak Tertagih 800.000.000

Cad. Piutang Tak Tertagih 800.000.000

Pembentukan atau pemupukan dana cadangan piutang tidak tertagih

tidak dapat dibebankan sebagai biaya dalam rangka menghitung PKP

Page 21
kecuali caangan piutang tak tertagih untuk usaha bank dan badan

usaha lain yang menyalurkan kredit, sewa guna usaha dengan hak

opsi, perusahaan pembiayaan konsumen, dan perusahaan anjak

piutang. Sehingga beban piutang tak tertagih tersebut tidak dapat

dikurangkan.

Untuk mengakui perbedaan perlakuan penghapusan piutang tersebut

perlu dibuat ayat jurnal sebagai berikut:

Aktiva Pajak Tangguhan 200.000.000

Penghasilan Pajak Tangguhan 200.000.000

Jika dalam tahun 2015 ada penghapusan piutang tak tertagih (misalkan

atas nama PT Nusa Indah) sebesar Rp 100.000.000 maka jurnal yang

akan dilakukan PT Sarana Alam adalah:

Cadangan Piutang Tak Tertagih 100.000.000

Piutang PT Nusa Indah 100.000.000

Karena ayat jurnal tersebut tidak mempengaruhi pada laba rugi

komersial, maka pada akhir tahun pajakpun tidak ada koreksi fiskal.

5.2 Penghapusan Piutang secara akuntansi telah dilakukan dan

penghapusannya telah memenuhi persyaratan peraturan perpajakan

a) Menggunakan Metode Langsung

Page 22
Jika WP menggunakan metode ini maka tidak perlu koreksi fiskal dan

tidak ada jurnal perbedaan pengakuan penghapusan piutang.

b) Menggunakan Metode Tidak Langsung

Jika WP menggunakan metode ini, maka pada waktu melakukan

penyisihan penghapusan piutang tak tertagih, pada akhir tahun tetap

dilakukan koreksi fiskal termasuk ayat jurnal adanya perbedaan

pengakuan penghapusan piutang. Teapi pada waktu adanya realisasi

penghapusan piutang yang betul-betul tidak tertagih, WP pada akhir

tahun pajak tidak perlu melakukan koreksi fiskal, tetapi tetap

melakukan jurnal untuk menghapus adanya “aktiva pajak tangguhan”.

Dengan mengambil kasus diatas pada PT Sarana Alam yang

menghapuskan piutang PT Nusa Indah sebesar Rp 100.000.000 maka

beban ini dapat diakui sebagai biaya mengurangi PKP. Jurnalnya

sebagai berikut:

Beban Pajak Tangguhan 25.000.000

Aktiva Pajak Tangguhan 25.000.000

25% x Rp 100.000.000 = Rp25.000.000 (asumsi tarif PPh Badan 25%)

2.6 KASUS ATAS PIUTANG

Page 23
Masalah Sengketa Pajak Antara Konsultan Pajak BCA Dengan Pemeriksa

Pajak Dari Ditjen Pajak Yang Menyangkut Piutang yang Tertagih. Mantan Dirjen

Pajak, Hadi Poernomo ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK pada 21 April

2014. Hadi Poernomo diduga berperan ubah keputusan penolakan keberatan PT

Bank Central Asia Tbk (BCA) untuk kewajiban pada 1999.

Awal mula sengketa pajak ini dimulai saat DJP menerbitkan Surat

Perintah Pemeriksaan Pajak (SP3) No PRIN-327/PJ.701/2002 untuk BCA. Pada

akhir pemeriksaan, masih ada 10 item koreksi yang BCA tak setuju, lalu terbit

Surat Ketetapan Pajak Nihil Pajak Penghasilan (SKPN PPh) Badan. Di dalam

SKPN tersebut, laba fiskal BCA sebesar Rp174 miliar, sedangkan menurut DJP

Rp6,7 triliun. Jadi total koreksi fiskalnya sebesar Rp6,6 triliun. 

Dari 10 item koreksi, ada tiga koreksi senilai Rp5,77 triliun yang menjadi

fokus BCA pada proses keberatannya. Koreksi pertama, pemeriksa anggap

penyisihan tahun lalu yang telah dibukukan sebagai biaya harus dijadikan sebagai

penghasilan (Rp5,59 triliun). Kedua, penyisihan rugi tahun lalu karena barang

jaminan dianggap pemeriksa sebagai penghasilan operasional (Rp31,48 miliar).

Ketiga, terkait biaya penghapusan piutang tak tertagih (piutang macet) yang

menurut pemeriksa tidak boleh dikurangkan sebesar Rp149,6 miliar. Ketiga

koreksi ini berkaitan Non-Performing Loan (NPL). 

Page 24
DJP mengacu koreksi NPL pada Keputusan Menteri Keuangan

(KepMenkeu) No 130/KMK.04/1998. KepMenkeu tersebut diantaranya mengatur

bahwa piutang macet untuk bank dapat sebagai biaya sepanjang penuhi 4 syarat

komulatif. Pertama, piutang macet telah dibebankan sebagai kerugian perusahaan

dalam Laporan Keuangan Komersial. Kedua, nama debitur dan jumlah piutang

macet diserahkan kepada Pengadilan Negeri/Badan Urusan Piutang dan Lelang

Negara (BUPLN). Ketiga, daftar nama debitur diumumkan dalam suatu

penerbitan. Keempat, Wajib Pajak serahkan Daftar Piutang Macet Yang

Dihapuskan yang mencantunkan nama, alamat, NPWP dan jumlahnya, serta

dokumen lain yang dipandang perlu oleh Ditjen Pajak. 

Keputusan Menkeu di atas dijabarkan lebih lanjut dengan Surat Edaran

(SE) Dirjen Pajak No SE-08/PJ.42/1999. Isinya menyatakan penghapusan piutang

macet pada bank harus dibebankan terlebih dahulu pada perkiraan cadangan

piutang macet. Jika cadangan tersebut tidak atau tidak seluruhnya dipakai untuk

menutup kerugian, jumlah cadangan tersebut diperhitungkan sebagai penghasilan.

Jika jumlah cadangan tersebut tidak cukup, kekurangannya diperhitungakan

sebagai biaya (penghapusan piutang macet). 

Pemeriksa menilai cadangan piutang macet yang dibentuk tahun 1998

tidak seluruhnya dipakai untuk menutupi kerugian. Untuk itu, biaya tahun 1998

Rp5,59 triliun dan Rp31,48 miliar harus diakui sebagai penghasilan di 1999.

Untuk koreksi Rp149,64 miliar, pemeriksa menganggap bahwa penghapusan

Page 25
piutang tak tertagih BCA tidak memenuhi persyaratan formal. Alasannya, nama

debitur, dan jumlah piutang tak tertagih tidak diserahkan kepada Pengadilan

Negeri atau BUPLN, melainkan BPPN. 

Pada 1999, BCA jalankan Surat Keputusan Bersama (SKB) Menkeu No

117/KMK.017/1999 dan Gubernur Bank Indonesia No 31/15/KEP/GBI tertanggal

26 Maret 1999. Berdasarkan SKP ini, BCA menjadi Bank Take Over (BTO)

sehingga harus direkapitulasi. Selain itu, segala hak dan wewenang doreksi,

komisaris, dan pemegang saham termasuk RUPS BCA juga beralih ke

BPPN. Total aset yang dialihkan BCA ke BPPN, termasuk jaminannya, adalah

Rp5,77 triliun. Pengalihan ini mengacu pada Perjanjian Jual Beli dan Penyerahan

Piutang No SP-165/BPPN/0600 dengan nilai transaksi sebesar Rp10 juta. BCA

anggap transaksi dengan BPPN ini sebagai pengalihan cessie (jual beli piutang).

BCA rujuk ketentuan cessie ini pada Pasal 613 ayat (1) KUH Perdata. Dengan

skema cessie, BCA tidak lagi mencatat piutang macetnya di laporan

keuangannya. Selain itu, kerugian pengalihan aset dengan skema cessie tersebut

sudah dioffset dengan biaya cadangan piutang tak tertagih pada tahun 1998 senilai

Rp5,59 triliun dan Rp31,48 miliar. Pada tahun 1999, kerugian pengalihan hak

cessie sebesar Rp149,64 miliar juga sudah dibebankan sebagai pengurang di

dalam menghitung PPh Badan. 

Proses keberatan BCA lalu mengajukan surat keberatan tanggal 17 Juni

2003 dan diterima DJP pada 19 Juni 2003. Sesuai aturan, DJP punya waktu 12

Page 26
bulan untuk proses keberatan sampai 18 Juni 2004. Tim penelaah keberatan DJP

awalnya tetap mempertahankan ketiga koreksi yang menjadi sengketa. Tim justru

menambah satu koreksi lagi terkait laba program rekapitalisasi senilai Rp10,75

triliun. DJP menilai, BCA menerima laba dari program rekapitalisasi sehingga

jadi objek PPh. Untuk perkuat alasan keberatan, BCA sampaikan data tambahan

bahwa BPPN selaku pengambil alih piutang macet BCA berhasil melakukan

penagihan piutang macet senilai Rp3,29 triliun. Data ini disampaikan menjelang

akhir batas waktu proses keberatan. Kata BCA, hasil penagihan tersebut menjadi

hak BPPN. Jika BCA menghapus piutang macet dan berhasil melakuan penagihan

Rp3,29 triliun, otomatis penghasilan tersebut menjadi hak BCA. Akan tetapi, hal

ini tidak terjadi karena ada cessie. 

Setelah membaca konsep risalah keberatan, Dirjen Pajak menerbitkan

Nota Dinas (ND) No ND-192/PJ/204 tanggal 17 Juni 2004, satu hari sebelum

jatuh tempo keberatan BCA. Di ND tersebut, Hadi Poernomo menyatakan,

“Mengingat persyaratan rekapitalisasi begitu ketat sehingga bank BTO yang

direkapitalisasi tidak bisa mendaparkan laba program rejapitalisasi, maka koreksi

semula agar didrop.” Koreksi semula mencakup ketiga koreksi saat pemeriksaan

dan menjadi objek sengketa pajak keberatan. Satu koreksi lagi merupakan laba

program rekapitalisasi yang diusulkan Diektur PPh. Akhirnya, DJP menerbitkan

SK Keberatan No KEP-870/PJ.44/2004 tanggal 18 Juni 2004. SK Keberatan itu

Page 27
menyatakan ‘Mengabulkan Seluruh Permohonan Keberatan Wajib Pajak alias

kabulkan keinginan BCA.’ 

Terlihat jelas bagaimana duduk persoalan kasus pajak BCA. Dirut BCA

menyatakan ada perbedaan pendapat. Pengalihan piutang dengan skema cessie tak

dapat dianalogikan sebagai penghapusan piutang macet. Kebenaran hukum

tentang hal ini harus diuji lebih dalam dan cermat lagi ke isi Perjanjian Jual Beli

dan Penyerahan Piutang No SP-165/BPPN/0600 dan siapa yang mengakui

penghasilan terkait hasil penagihan NPL. Sesuai Pasal 4 ayat 1 II PPh, Wajib

Pajak manapun tidak dapat dianggap terima dan/atau peroleh penghasilan jika

bukti pendukungnya tidak menunjukkan hal tersebut.

BAB III

PENUTUP

Page 28
3.1 KESIMPULAN

Menurut Warren Reeve & Fess, piutang meliputi semua klaim dalam

bentuk uang terhadap pihak lainnya, termasuk individu, perusahaan atau

organisasi lainnya. Piutang merupakan bagian dari aset lancar. Aset lancar

merupakan aset yang diharapkan akan direalisasi dalam siklus aset operasi

berjalan. Apabila ditinjau dari sumber terjadinya, piutang digolongkan menjadi

tiga kategori yaitu piutang usaha (account receivables), piutang wesel (notes

receivable) dan piutang lain-lain (other receivables).

Dalam praktik akuntansi komersial, pembentukan penyisihan (cadangan)

berguna untuk mengantisipasi kemungkinan kerugian dari piutang tak tertagih

merupakan hal yang lazim. Penjualan kredit juga mengakibatkan timbulnya

risiko piutang tak tertagih. Penilaian piutang bisa menyulitkan karena piutang

yang tidak tertagih belum diketahui pada tanggal pelaporan, sehingga

mengharuskan dilakukannya estimasi. Menurut akuntansi komersial terdapat dua

metode penghapusan piutang, yakni : Metode penghapusan langsung (direct

write-off method) dan metode penyisihan (allowance method).

Pembebanan secara komersial atas piutang tak tertagih oleh WP

merupakan objek rekonsiliasi fiskal sebelum menentukan penghasilan kena

pajak. Pada dasarnya secara fiskal tidak dikenal adanya metode penyisihan

(allowance method) sebagaimana ditegaskan di dalam Pasal 9 ayat (1) huruf c

Page 29
UU No.36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan kecuali untuk WP sektor usaha

tertentu.

Untuk beban piutang tak tertagih sendiri pada prinsipnya tidak menjadi

soal bagi ketentuan perpajakan. Sepanjang nilai beban piutang tak tertagih yang

diperoleh adalah nilai yang dipastikan tidak dapat lagi tertagih dan tidak lagi

mengandung nilai yang kemungkinan masih dapat dibayar oleh debitur, maka

nilai tersebut dapat dibiayakan (deductible expense).

PMK No. 57/PMK.03/2010 tanggal 9 Maret 2010 Pasal 5A menyebutkan

apabila piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 3 dibayar seluruhnya atau dibayar sebagian oleh debitur, jumlah

piutang yang dibayar seluruhnya atau dibayar sebagian tersebut merupakan

penghasilan bagi kreditur pada tahun Pajak diterimanya pembayaran.

Sehingga perbedaan metode penghapusan langsung dengan metode


penyisihan adalah :

DIRECT WRITTE OFF METHOD ALLOWANCE METHOD


1. Pencatatan kerugian taksiran
piutang
Beban piutang tak tertagih xxx
Tidak ada penaksiran atas kerugian piutang Cadangan kerugian piutang tak tertagih xxx
2. Pencatatan penghapusan
Beban piutang tak tertagih xxx Cadangan kerugian piutang tak tertagih xxx
Piutang usaha xxx Piutang usaha xxx
3. Koreksi fiskal karena tidak memenuhi persyaratan perpajakan
(25% x nilai kerugian piutang)
Aktiva pajak tangguhan xxx Aktiva pajak tangguhan xxx
Penghasilan pajak tangguhan xxx Penghasilan pajak tangguhan xxx
Jika belum dilakukan pembebanan piutang tak
tertagih, maka tidak perlu jurnal tambahan karena
tidak berpengaruh pada laporan laba rugi

Page 30
4. Penerimaan piutang setelah dihapuskan
4.1 Telah memenuhi persyaratan peraturan perpajakan
Penghasilan pajak tangguhan xxx Penghasilan pajak tangguhan xxx
Aktiva pajak tangguhan xxx Aktiva pajak tangguhan xxx
4.2 Belum memenuhi persyaratan peraturan perpajakan
Penghasilan pajak tangguhan xxx Penghasilan pajak tangguhan xxx
Aktiva pajak tangguhan xxx Aktiva pajak tangguhan xxx

Jika belum dilakukan pembebanan piutang tak


tertagih, maka tidak perlu jurnal tambahan karena
tidak berpengaruh pada laporan laba rugi

Piutang usaha xxx Piutang usaha xxx


Beban piutang tak tertagih xxx Cadangan kerugian piutang xxx

Kas/bank xxx Kas/bank xxx


Piutang usaha xxx Piutang usaha xxx

3.2 SARAN

Penulis menyadari bahwa makalah diatas banyak sekali kesalahan dan

jauh dari kesempurnaan. Penulis akan memperbaiki makalah tersebut dengan

berpedoman pada banyak sumber yang dapat dipertanggungjawabkan. Maka dari

itu penulis mengharapkan kritik dan saran mengenai pembahasan makalah dalam

kesimpulan di atas.

DAFTAR PUSTAKA

Page 31
Weygandt, Kimmel, and Kieso (2009), Accounting Principles 9th Edition, United

States of America: John Wiley & Sons. Inc

Weygandt, et al. 2011, Slide Materi: Accounting Principles 10E: ch09 Accounting for

Receivables, University of California, Santa Barbara

http://www.dpr.go.id/id/undang-undang/2008/36/uu/Pajak-Penghasilan. 

UndangUndang  No.  36  Tahun  2008  tentang  Pajak Penghasilan.  Diakses  tanggal 

03 Agustus 2015

Republik Indonesia. 2009. Peraturan Menteri Keuangan No 105/PMK.03/2009

tentang Piutang yang Nyata- Nyata Tidak Dapat Ditagih yang Dapat Dikurangkan

Dari Penghasilan Bruto

 Republik Indonesia. 2010. Peraturan Menteri Keuangan No 57/PMK.03/2010

tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan No 105/PMK.03/2009 tentang

Piutang yang Nyata- Nyata Tidak Dapat Ditagih yang Dapat Dikurangkan Dari

Penghasilan Bruto

Lubis, Irsan. “Materi Taksiran Kerugian Piutang Tak Tertagih”. 31 Juli 2015.

http://www.ilubis.files. wordpress.com/landasan-teori_uncollectible_receivables

[1] Weygandt, et al. 2011, Slide Materi: Accounting Principles 10E: ch09 Accounting

for Receivables, University of California, Santa Barbara

https://www.warsidi.com/2018/05/akuntansi-piutang-usaha-piutang-dagang.html

Page 32
https://dosenakuntansi.com/jenis-jenis-piutang

Waluyo.2016.Akuntansi Pajak.Salemba Empat

http://punditax.com/rekonsiliasi-fiskal-untuk-piutang-tidak-tertagih/

Page 33

Anda mungkin juga menyukai