Anda di halaman 1dari 50

BAB II

PEMBAHASAN
2.2 Pengertian Aset
FASB mendefinisi aset dalam rerangka konseptualnya sebagai berikut (SFAC No.6, prg.
25):
Assets are probable future economic benefits obtained or controlled by a particular entity as
a result of past transactions or events.
(Aset adalah manfaat ekonomik masa datang yang cukup pasti yang diperoleh atau
dikuasasi/dikendalikan oleh suatu entitas sebagai akibat transaksi atau kejadian masa lalu.)
Dengan makna yang sama, IASC mendefinisi aset sebagai berikut:
An asset is a resource controlled by the enterprise as a result of past events and from which
future economic benefits are expected to flow to the enterprise.
Dalam Statement of Accounting Concepts No. 4, Australian Accounting Standards Board
(AASB) mendefinisi aset sebagai berikut (prg. 12):‘
Assets are service potential or future economic benefits controlled by the reporting entity as
a result of past transaction or other past events.
Definisi-definisi di atas memisahkan antara makna atau pengertian dan pengukuran serta
pengakuan sehingga definisi tersebut lebih bersifat semantik daripada struktural. Definisi IASC
dan AASB menanggalkan kata probable karena dianggap bahwa tia merupakan kriteria
pengakuan bukan sifat dari aset.
Definisi yang menggabungkan makna, pengukuran, dan pengakuan diajukan oleh APB
dalam APB No. 4 sebagai berikut (prg. 132):
Assets--economic resources of an enterprise that are recognized and measured in conformity
with generally accepted accounting principles. Assets also include certain deferred charges
that are not resources but that are recognized and measured in conformity with generally
accepted accounting principles
Definisi FASB dan AASB cukup luas dibanding definisi yang lain karena aset disifati
sebagai manfaat ekonomik (economic benefits) dan bukan sebagai sumber ekonomik (resources)
karena manfaat ekonomik tidak membatasi bentuk atau jenis sumber ekonomik yang dapat
dimasukkan sebagai aset. Definisi tersebut tidak membedakan antara aset real (real assets) dan
aset fmansial (financial assets) dan antara sumber ekonomik (resources) dan nonsumber
ekonomik (nonresources). APB No. 4 mendefinisi sumber ekonomik sebagai berikut (prg. 57):
Economic resources are the scarce means (limited in supply relative to desired uses)
available for carrying on economic activities.

1
Pengertian aset sebagai sumber ekonomik sebagaimana dikemukakan APB sejalan dengan
pengertian yang dikemukakan Ijiri (1975, hlm. 52):
…resources are objects that the entity intends to place under its control. This means that
resources must have utility. However, utility alone is not sufficient reason for an entity to
place an object under its control. The object must be scarce, thus ruling out free goods.
APB dan Ijiri mendefinisi aset sebagai sumber ekonomik karena adanya unsur kelangkaan
sehingga suatu entitas harus mengendalikannya dari akses pihak lain melalui transaksi ekonomik.
APB juga membedakan aset menjadi sumber ekonomik dan nonsumber ekonomik. APB No. 4
merinci aset yang digolongkan sebagai sumber ekonomik sebagai bérikut (prg. 57):
1. Sumber produktif (productive resources):
a. Sumber produktif kesatuan usaha yang meliputi bahan baku, gedung, pabrik,
perlengkapan, sumber alam, paten dan semacamnya, jasa, dan sumber lain yang
digunakan dalam produksi barang dan jasa.
b. Hak kontraktual atas sumber produktif meliputi semua hak untuk menggunakan
sumber ekonomik pihak lain dan hak untuk mendapatkan barang atau jasa dari pihak
lain.
2. Produk (products) yang merupakan keluaran kesatuan usaha terdiri atas:
a. Barangjadi yang menuhggu penjualan
b. Barang dalam proses
3. Uang (money)
4. Klaim untuk menerima uang (claims to receive money)
5. Hak pemilikan atau investasi pada perusahaan lain (ownership interest in other
enterprises)
Dengan jenis aset yang disebut APB di atas, APB secara implisit menekankan pengertian aset
sebagaj sesuatu yang nyata-nyata dapat digunakan dalam kegiatan produktif (penyediaan barang
dan jasa). Nyata-nyata dapat digunakan berarti bahwa aset merupakan sediaan jasa (embodiment
or storage offuture services) baik berwujud (tangible) maupun tak berwujud (intangible). Sumber
ekonomik yang didefinisi APB di atas dapat diklasifikasi menjadi objek fisis (physical objects)
dan hak (rights).
APB menggolongkan bentuk atau jenis aset selain yang disebut di atas sebagai nonsumber
ekonomik meskipun tetap masuk dalam pengertian aset. Nonsumber ekonomik meliputi beban
atau pengurang pendapatan tangguhan (deferred charges) seperti: goodwill, rugi selisih kurs, kos
organisasi, dan beberapa pos yang timbul akibat penyesuaian (sering disebut pos-pos transitoris).
Berbeda dengan FASB, IASC memaknai manfaat ekonomik masa datang (future economic
benefits) bukan sebagai potensi jasa yang sekarang dikuasai badan usaha tetapi sebagai manfaat
yang diharapkan mengalir ke badan usaha. Jadi, manfaat ekonomik yang dimaksud oleh IASC
bukan manfaat yang dikandung (embodied) oleh sumber ekonomik yang dikuasai tetapi manfaat
yang didatangkan atau yang mengalir ke badan usaha. Karena bukan manfaat yang dikandung,
pengertian manfaat ekonomik masa datang oleh IASC dapat diinterpretasi sebagai aliran masuk
manfaat akibat pemerolehan sumber ekonomik baru lantaran pertukaran dengan sumber
ekonomik yang sebelumnya dikuasai atau lantaran aliran masuk pendapatan.

2
Definisi FASB dan AASB lebih luas dibanding definisi lain dalam hal entitas yang dicakupi.
Dengan menyatakan a particular entity atau reporting entity bukannya enterprise sebagai
pengendali aset, FASB dan AASB tidak membatasi pengertian aset hanya berlaku untuk
organisasi bisnis tetapi juga untuk organisasi nonbisnis. Kata enterprise yang digunakan oleh
IASC dan APB memberi kesan bahwa aset didefinisi dalam konteks organisasi bisnis.
Dengan berbagai perbedaan di atas, pada dasarnya dapat disimpulkan bahwa terdapat tiga
karakteristik utama yang harus dipenuhi agar suatu objek atau pos dapat disebut aset yaitu:
(a)manfaat ekonomik masa datang yang cukup pasti, (b)dikuasai atau dikendalikan oleh entitas,
dan (c)timbul akibat transaksi masa lalu. Kriteria (a) merupakan kriteria utama dan lebih memuat
aspek semantik sedangkan kriteria (b) dan (c) lebih memuat aspek pengakuan daripada semantik.
A. Manfaat Ekonomik
Untuk dapat disebut sebagai aset, suatu objek harus mengandung manfaat ekonomik di
masa datang yang cukup pasti (probable). Ini mengisyaratkan bahwa manfaat tersebut terukur
dan dapat dikaitkan dengan kemampuannya untuk mendatangkan pendapatan atau aliran kas di
masa datang. Sejalan dengan APB, FASB menyatakan bahwa aset adalah sumber ekonomik
karena potensi jasa (service potential) atau utilitas (utility) yang melekat di dalamnya yaitu suatu
daya atau kapasitas langka (scarce) yang dapat dimanfaatkan kesatuan usaha dalam upayanya
untuk mendatangkan pendapatan melalui kegiatan ekonomik yaitu konsumsi, produksi, dan
pertukaran.
Uang atau kas mempunyai manfaat atau potensi jasa karena apa yang dapat tia beli atau
karena daya tukarnya. Dengan kata lain, potensi jasa kas dapat ditukarkan dengan potensi jasa
apapun yang diperlukan kesatuan usaha untuk melaksanakan kegiatan ekonomiknya.
Kemampuan ini disebut dengan daya beli atas sumber ekonomik (command over resources).
Daya beli uang menjadi pengukur manfaat ekonomik masa datang.
Sumber selain kas mempunyai manfaat ekonomik karena dapat ditukarkan dengan kas,
barang, atau jasa, karena dapat digunakan untuk memproduksi barang dan jasa, atau karena dapat
digunakan untuk melunasi kewajiban. Berkaitan dengan manfaat ekonomik ini, FASB
mengajukan dua hal yang harus dipertimbangkan dalam menilai apakah pada saat tertentu suatu
pos atau objek masih dapat disebut aset yaitu:
(a) Apakah suatu pos yang dikuasai oleh suatu kesatuan usaha pada mulanya mengandung
manfaat ekonomik masa datang.
(b) Apakah semua atau sebagian manfaat ekonomik tersebut masih tetap ada pada seat
penilaian.

B. Dikuasai oleh Entitas


Untuk dapat disebut sebagai aset, suatu objek atau pos tidak harus dimiliki oleh entitas
tetapi cukup dikuasai oleh entitas. Pemilikan (ownership) mempunyai makna yuridis atau legal.
Artinya, untuk memiliki suatu objek diperlukan proses yang disebut transfer hak milik (transfer
of title). Bila pemilikan menjadi kriteria aset, akan banyak pos yang tidak masuk sebagai aset
sehingga tidak dapat dilaporkan dalam neraca. Dengan kata lain, pemilikan sebagai kriteria akan
mengakibatkan banyak pos dilaporkan di luar neraca (off-balance sheet).
3
Oleh karena itu, konsep penguasaan (kendali) lebih penting daripada konsep pemilikan.
Hal ini dilandasi oleh konsep dasar substansi mengungguli bentuk yuridis (substance over form).
Substansi atau tujuan dari pemilikan adalah penguasaan. Penguasaan di sini berarti kemampuan
entitas untuk mendapatkan, memelihara/menahan, menukarkan, menggunakan manfaat
ekonomik dan mencegah akses pihak lain terhadap manfaat tersebut. Dengan demikian,
pemilikan (misalnya dengan cara membeli) dan hak secara hukum (legal rights) hanya
merupakan salah satu cara untuk mendapatkan penguasaan atau kendali. Most (1982, hlm. 341-
342) mengemukakan bahwa penguasaan atau kendali terhadap suatu objek dapat diperoleh
dengan cara:
1. Pembelian (by purchase)
2. Pemberian (by gift)
3. Penemuan (by discovery)
4. Perjanjian (by agreement)
5. Produksi/transformasi (by production/transformation)
6. Penjualan (by sale)
7. Lain-lain seperti pertukaran (by barter), peminjaman (by loan), penjaminan (by
bailment), pengkonsignaan (by consignment), dan berbagai transaksi komersial (by
commercial transactions) yang diakui hukum atau kebiasaan bisnis
Pemerolehan perlengkapan (equipment) secara tunai merupakan contoh penguasaan manfaat
ekonomik karena pembelian. Piutang dagang adalah manfaat ekonomik yang dikuasai kesatuan
usaha karena penjualan. Kendaraan sewagunaan (leased vehicles) adalah contoh manfaat
ekonomik yang dikuasai karena perjanjian/kontrak. Jadi, pemilikan sebenarnya hanya merupakan
karakteristik pendukung karena hak yuridis yang melekat (disebut property right atau legal right)
menguatkan penguasaan. Dapat saja terjadi kesatuan usaha menguasai suatu objek karena
pemberian atau hadiah dan kemudian secara yuridis menguatkan penguasaan tersebut secara
hukum dengan cara mencatatkannya ke pihak berwenang sebagai hak milik (title of ownership).
Lebih lanjut, pendefinisian aset lebih difokuskan pada manfaat ekonomik masa datang yang
dikuasai oleh entitas dan baru kemudian pada objek fisis dan pihak yang menyediakan manfaat.
Karena pemilikan bukan bagian dari definisi aset, manfaat yang dikuasai tidak harus mencakupi
seluruh objek fisis atau seluruh manfaat yang dimiliki/dikuasai pihak lain. Dua entitas atau lebih
dapat menguasai secara bersama-sama satu objek fisis atau satu onggok (bundles) jasa yang
disediakan pihak lain. Misalnya, suatu entitas menyewa sebagian gudang barang di pelabuhan
yang disediakan oleh autoritas pelabuhan (misalnya Pelindo).
C. Akibat Transaksi atau Kejadian Masa Lalu
Kriteria ini sebenarnya menyempurnakan kriteria penguasaan dan sekaligus sebagai
kriteria atau tes pertama (first-test) pengakuan objek sebagai aset tetapi tidak cukup untuk
mengakui secara resmi dalam sistem pembukuan. Telah dibahas dalam rerangka konseptual
bahwa kriteria pengakuan elemen adalah definisi, keterukuran, keberpautan, dan keterandalan.
Bahwa aset harus timbul akibat transaksi atau kejadian masa lalu adalah kriteria untuk memenuhi
definisi tetapi bukan kriteria untuk pengakuan. Jadi, manfaat ekonomik dan penguasaan atau hak
atas manfaat saja tidak cukup untuk memasukkan suatu objek ke dalam aset; kesatuan usaha
untuk dilaporkan via statemen keuangan (neraca). Kriteria pengakuan yang lain harus dipenuhi
(keterandalan, keberpautan, dan keterukuran).

4
Penguasaan harus didahului oleh transaksi atau kejadian ekonomik. Sebagai contoh,
manfaat baru atau kenaikan nilai karena pertumbuhan alamiah (akresi) dalam industri pertanian
atau kehutanan secara automatis dikuasai oleh kesatuan usaha. Akan tetapi, manfaat tersebut
tidak dengan sendirinya dapat diakui sebagai aset kesatuan usaha karena kriteria pengakuan lain
juga harus dipenuhi. Pertumbuhan alamiah dapat dikatakan sebagai suatu kejadian (event) masa
lalu yang menimbulkan manfaat ekonomik she ingga akresi memenuhi definisi aset.
Demikian juga, apakah penandatanganan kontrak pembangunan suatu gedung antara
kesatuan usaha dan kontraktor dapat diperlakukan sebagai transaksi masa lalu yang
menimbulkan aset? Ya, kontrak tersebut menimbulkan aset tetapi tidak dengan sendirinya nilai
kontrak gedung tersebut dapat diakui. Kontrak yang belum dilaksanakan oleh salah satu pihak
mempunyai status yang disebut kontrak eksekutori (executory contract) yang berarti belum
berlaku sebelum saatnya (atau baru berlaku pada saatnya). Sebelum berlaku, kontrak semata-
mata merupakan kesepakatan atau janji yang bersifat saling mengimbangi antara hak dan
kewajiban (offsetting). Artinya, sebelum salah satu pihak berprestasi (to perform) pada saatnya,
hak dan kewajiban pihak lain belum terjadi sehingga nilai kontrak tidak dapat diakui. Bagi
perusahaan, manfaat ekonomik masa datang sudah cukup pasti, manfaat tersebut akan dikuasai
perusahaan, dan transaksi telah terjadi sehingga secara definisi kontrak telah menimbulkan aset
tetapi aset tersebut tidak dapat diakui karena kriteria lain harus dipenuhi. Jadi, kontrak eksekutori
memenuhi tes pertama (definisi) aset sebagai salah satu kriteria pengakuan. Dengan kata lain,
transaksi atau kejadian masa lalu merupakan syarat perlu (necessary condition) tetapi tidak
merupakan syarat cukup (sufficient condition) untuk pengakuan aset. Syarat perlu harus
ditetapkan agar tidak terjadi pengakuan aset yang bersifat hipotetis. Contoh lain adalah
penganggaran pembelian mesin yang disetujui dalam RUPS tidak dengan sendirinya
menimbulkan aset sebelum ada transaksi pembelian. Walaupun bencana alam dapat menurunkan
atau menghilangkan manfaat ekonomik masa datang, suatu kesatuan usaha tetap dapat
menguasai dan melaporkan aset kalau bencana tersebut belum terjadi.
FASB memasukkan transaksi atau kejadian sebagai kriteria aset karena transaksi atau
kejadian tersebut dapat menimbulkan (menambah) atau meniadakan (mengurangi) aset. Aset
atau nilainya dapat dipengaruhi oleh kejadian atau keadaan yang sebagian atau seluruhnya di luar
kemampuan kesatuan usaha atau manajemennya untuk mengendalikan misalnya kenaikan harga,
perubahan tingkat bunga, pertumbuhan alamiah (akresi), penyusutan (shrinkage), pencurian,
huru-hara, kecelakaan, dan bencana alam. Berbagai transaksi, kejadian, atau keadaan pada
akhirnya akan memicu pengakuan atau penghapusan manfaat ekonomik suatu objek (aset).
D. Karakteristik Pendukung
Selain ketiga karakteristik di ates, FASB menyebutkan beberapa karakteristik pendukung
yaitu melibatkan kos (acquired at a cost), bcrwujud (tangible), tertukarkan (exchangeable),
terpisahkan (severable), dun berkekuatan hukum (legally enforceable). Karakteristik pendukung
tersebut lcbih menguatkan atau meyakinkan adanya aset tetapi tiadanya karakteristik pcndukung
tidak menghalangi Suatu objek untuk memenuhi syarat sebagai aset.
1. Melibatkan kos. Pemerolehan aset pada umumnya melibatkan kos (pengeluaran sumber
ekonomik misalnya kus) sebugai penghargaan sepakatan (measured consideration).“ Bila
kos terjadi karena pemerolehan suatu objek terjadi akibat pertukaran atau pembelian,

5
objek tersebut lebih kuat untuk masuk sebagai aset. Akan tetapi, tiadanya kos tidak
membatalkan suatu objek sebagai aset. Suatu aset dapat diperoleh misalnya dari hadiah
yang tidak melibatkan pengeluaran sumber ekonomik. Walaupun demikian, kos objek
tersebut harus tetap ditentukan atau ditaksir secara layak sebagai dasar pencatatan
pertama kali.
Jadi, meskipun suatu kesatuan usaha umumnya mengeluarkan atau mengorbankan
sumber ekonomik (menjadi kos), kos yang terjadi tersebut tidak dengan scndirinya
membentuk aset. Esensi aset lebih torletak pada manfaat ekonomik masa datang daripada
pada terjadinya kos. Walaupun demikian, terjadinya kos merupakan hal penting untuk
mengaplikasi definisi kos karena dual hal yaitu: (1) sebagai bukti pemerolehan suatu aset
den (2) sebagai pengukur atribut aset yang cukup objektif.
2. Berwujud. Bila suatu sumber ekonomik secara fisis dapat diamati, tia memang lebih kuat
untuk disebut sebagai aset. Akan tetapi, keterwujudan (tangibility) bukan kriteria untuk
mendefinisi aset. Objek-objek seperti hak paten, hak cipta, merek dagang, dan goodwill
tetap dapat dimasukkan sebagai aset meskipun tidak berwujud fisis. Pada umumnya, pos-
pos tak berwujud yang masuk dalam kategori aset lancar tidak discbut sebagai aset Tak
berwujud (intangibles). Most (1982, hlm. 379) mengajukan tiga Les (kriteria) untuk
mcmasukkan suatu pos ke dalam aset takberwujud, yaitu:
(1) Apakah pos tersebut diperoleh dari suatu transaksi dengang pihak independen (arm’s
lenght transaction)? Hal ini dimaksudkan agar tidak terjadi penilaian lcbih (over-
valuation) atas aset tak berwujud.
(2) Dapatkah manfaat ekonomik masa datang yang diharapkan diidentifikasi? Dapat
diidentiflkasi artinya dapat dikaitkan dengan kemampuan perusahaan mendatangkan
laba di masa datang. Hal ini dimaksudkan untuk meyakinkan bahwa objek
takberwujud memenuhi kriteria utama aset.
(3) Dapatkah kos pos tersebut dipisahkan dengan kos aset lain yang diperoleh? Misalnya
suatu kesatuan usaha membeli sebuah mesin yang secara khusus dirancang oleh
perusahaan lain melalui riset dan pengembangan. Kos mesin sudah termasuk kos
riset dan pengembangan. Kos riset dan pengembangan dapat menjadi aset tak
berwujud bagi pembeli mesin bila rancang bangun (design) menjadi hak eksklusif
pembeli dan kosnya dapat dipisahkan dari kos kontrak pembuatan mesin.
3. Tertukarkan. Beberapa penulis mengajukan gagasan atau argumen bahwa untuk
memenuhi syarat sebagai aset, suatu sumber ekonomik harus dapat ditukarkan dengan
sumber ekonomik lainnya. Syarat ini diajukan dengan alasan bahwa manfaat ekonomik
akan menjadi cukup pasti dan terukur kalau suatu sumber ekonomik mempunyai daya
atau nilai tukar. Dengan kata lain, manfaat ekonomik diturunkan dari daya tukar. Syarat
dan argumen ini disanggah karena manfaat ekonomik tidak hanya terletak pada daya
tukar tetapi juga dari daya guna suatu objek untuk produksi. Mesin, misalnya, mungkin
sekali tidak mempunyai daya tukar tetapi dapat digunakan untuk menghasilkan produk.
Bahkan hampir sebagian besar aset manfaatnya didapat dari penggunaan daripada dari
pertukaran.

6
Sebagaimana dikutip Kam (1990, hlm. 107-108), Moonitz menyatakan bahwa exchange
does not make values, it merely reveals them.
4. Terpisahkan. Syarat ini diajukan berkaitan dengan ketertukaran (exchangeability). Untuk
dapat ditukarkan suatu sumber ekonomik harus dapat dipisahkan dengan sumber
ekonomik yang lain atau berdiri sendiri. Syarat ini diajukan oleh Chambers dengan alasan
bahwa posisi keuangan harus ditentukan dengan pengukuran nilai berbagai aset dan
kewajiban secara individual. Kalau syarat ini dimasukkan sebagai kriteria aset, goodwill
tidak akan memenuhi syarat untuk disebut dan diakui sebagai aset. Chambers dan
MacNeal mengajukan syarat ini karena dia tidak setuju bahwa goodwill dimasukkan
sebagai aset. Alasannya adalah pengukuran goodwill sangat subjektif dan hipotetis.
Alasan lain adalah tujuan penyajian neraca adalah melaporkan nilai bersih aset dan bukan
nilai perusahaan secara keseluruhan. Melaporkan goodwill atau semacamnya akan
menyesatkan.
Pihak yang menentang syarat keterpisahan (severability) berargumen bahwa ketertukaran
dan keterpisahan hanyalah merupakan syarat untuk memperoleh manfaat suatu aset. Lagi
pula, pemasukkan goodwill sebagai aset memang tidak dimaksudkan untuk menilai
perusahaan secara keseluruhan tetapi untuk mengiv dentitikasi dan menilai manfaat
ekonomik masa datang bagi perusahaan. Dengan argumen-argumen tersebut, FASB tidak
memasukkan keterpisahan sebagai kriteria untuk mendefinisi aset (Kam 1990, hlm. 108).
5. Berkekuatan Hukum. Penguasan atau hak atas aset tidak harus didukung secara yuridis
formal. Klaim seperti piutang usaha tidak harus didukung oleh dokumen yang
mempunyai daya paksa secara hukum (legally enforceable) untuk memenuhi definisi
aset. Memang pada umumnya, kemampuan suatu entitas untuk menguasai manfaat
ekonomik timbul akibat hak-hak hukum (legal rights). Meskipun demikian, hak paksa
yang melekat pada hak-hak hukum bukan merupakan syarat mutlak untuk mengakui
adanya aset kalau suatu entitas dapat memperoleh dan menguasai manfaat dengan cara
lain sebagaimana dibahas sebelumnya (misalnya dengan cara perjanjian atau penemuan).
2.2 Pengukuran
Pengukuran bukan merupakan kriteria untuk mendefinisi aset tetapi merupakan kriteria
pengakuan aset. Salah satu kriteria pengakuan aset adalah keterukuran (measurability) manfaat
ekonomik masa datang. Yang dimaksud pengukuran dalam pembahasan di sini adalah penentuan
jumlah rupiah yang harus dilekatkan pada suatu objek aset pada saat terjadinya yang akan
dijadikan data dasar untuk mengikuti aliran fisis objek tersebut. Dengan konsep kontinuitas
usaha, pos atau sumber ekonomik akan mengalami tiga tahap perlakuan sejalan dengan kegiatan
usaha yaitu tahap pemerolehan (acquisition), pengolahan (processing), dan penjualan/penyerahan
(sales/delivery). Tahap terakhir (penjualan) melibatkan penyerahan barang atau jasa (keluarnya
sumber ekonomik).
Secara akuntansi (aliran informasi), aliran fisis suatu sumber ekonomik atau objek harus
direpresentasi dalam jumlah rupiah sehingga hubungan antarobjek bermakna sebagai informasi.
Sebagaimana dilukiskan dalam Gambar 5.8, kos merupakan representasi kuantitatif suatu objek.

7
Kos menjadi data dasar untuk mengikuti aliran fisis kegiatan ekonomik badan usaha. Sebagai
aliran informasi, kos juga mengalami tiga tahap perlakuan akuntansi mengikuti aliran fisis yaitu:
(1) Pengukuran (measurement), pengakuan (recognition), dan klasiflkasi (classification)
pertama kali pada saat terjadinya. Untuk selanjutnya seluruh kegiatan dalam tahap ini
disebut pengukuran saja.
(2) Pencatatan berikutnya dalam rangka mengikuti aliran fisis aset berupa alokasi, distribusi,
dan penggabungan untuk kepentingan internal/manajerial atau untuk kepentingan
pengkosan produk. Untuk selanjutnya seluruh kegiatan dalam tahap ini disebut
penelusuran (tracing).
(3) Pembebanan ke pendapatan perioda berjalan atau perioda-perioda yang akan datang. Kos
yang belum menjadi beban pendapatan (biaya) akan tetap melekat pada objek menjadi
aset badan usaha. Untuk selanjutnya seluruh kegiatan dalam tahap ini disebut
pembebanan ke pendapatan (charging to revenues).

8
Gambar 6.1 di atas melukiskan perlakuan objek dan kos sebagai pengukurnya. Gambar
tersebut menunjukkan bahwa secara konseptual suatu sumber ekonomik hams diperlakukan
dahulu sebagai aset dan baru kemudian diperlakukan sebagai biaya pada saat aset tersebut
dianggap telah keluar dari kesatuan usaha dun mendatangkan pendapatan. Walaupun demikian,
secara teknis pembukuan atau karena alasan kepraktisan, dapat saja suatu sumber ekonomik
langsung dicatat sebagai upaya (biaya) sehingga kosnya langsung didebit ke akun btaya tanpa
melalui akun aset. Misalnya, jumlah rupiah (kos) pembayaran sewa gedung langsung didebit ke
akun Biaya Sewa Gedung. Bila suatu pengeluaran sumber ekonomik yang mengukur koa suatu
objek dicatat sebagai aset, tia dikategori menjadi pengeluaran untuk kapital (capital
expenditures) sedangkan kalau tia dicatat sebagai biaya, tia dikategori sebagai pengeluaran untuk
pendapatan (revenue expenditures).
Perlu ditegaskan kembali bahwa kos adalah pengukur sedangkan aset dan biaya adelah
elemen yang diukur. Sebagai pengukur elemen, kos melekat pada aset atau biaya sehingga kos,
aset, dan biaya, ketiganya sering dirancukan. Kerancuan dapat timbul karena secara teknis
pembukuan suatu kos dapat dibebankan atau didebit ke aset atau biaya pada saat terjadinya.
Gambar 6.2 melukiskan hubungan antara kos, aset, dan biaya serta perlakuan kos secara teknis
dan konseptual. Gambar ini menguraikan lebih lanjut Gambar 6.1 sebelumnya dalam kaitannya
dengan pengeluaran untuk modal atau untuk pendapatan.

Bila suatu pengeluaran langsung dicatat sebagai bilaya, secara konseptual dianggap
bahwa kos objek bersangkutan dicatat sebagai aset dan kemudian pada saat yang sama kos
tersebut langsung dipindah ke biaya. Dengan kata lain, secara konseptual kos semua sumber
ekonomik yang diperoleh dianggap telah diperlakukan sebagai aset walaupun hanya sesaat.
Akibatnya, pos aset misalnya sediaan sering dinyatakan dalam pengukurnya sebagai kos sediaan;
sediaan sering diidentikkan dengan kos sediaan. Sementara ltu, kos juga melekat pada biaya

9
sehingga biaya sering disebut dengan kos saja. Memang biaya selalu dapat disebut kos karena
kos melekat di dalamnya tetapi kos tldak selalu dapat disebut biaya sebelum kos tersebut
dipindah ke biaya sebagai pengurang/debit/beban pendapatan.
Karena kos merepresentasi manfaat ekonomik, bila kos diperlakukan sebagai aset, kos itu
disebut dengan kos belum habis atau tak terhabiskan (unexpired cost) artinya kos yang belum
habis dimanfaatkan dalam menghasilkan pendapatan. Bila manfaat ekonomik telah digunakan
dalam mendatangkan pendapatan, bagian dari kos aset yang merepresentasi manfaat yang telah
dihabiskan disebut dengan kos terhabiskan (expired cost) dan menjadi pengukur biaya.
Atas dasar uraian di atas dapat dikatakan bahwa penentuan kos suatu objek pada saat
pemerolehan merupakan hal yang sangat penting dan kritis karena penentuan ini akan
mempengaruhi pengukuran aset dan biaya selanjutnya. Bab ini memfokuskan pembahasan pada
pengukuran aset sedangkan tahap pembebanan diuraikan dalam pembahasan pendapatan dan
biaya di Bab 8 dan Bab 9. Tahap penelusuran biasanya dibahas cukup mendalam dalam mata
kuliah akuntansi kos.
E. Kos Sebagai Pengukur dan Bahan Olah Akuntansi
Konsep dasar penghargaan sepakatan menegaskan bahwa pengukur aset pada saat
pemerolehan yang paling objektif adalah jumlah rupiah yang terlibat dalam transaksi pertukaran
antara dua pihak independen yang sama-sama berkehendak (arm’s lenght bargaining). Jumlah
rupiah tersebut akan menjadi pengukur aset yang diperoleh kesatuan usaha dan akan menjadi
bahan olah akuntansi yang disebut kos. Jadi, kos dalam arti luas mempunyai makna sebagai
agregat harga (price aggregate) dalam pemerolehan suatu aset.
Jadi, penghargaan sepakatan (kos) dalam transaksi antarpihak independen menjadi dasar
pengukuran karena jumlah rupiah tersebut dianggap cukup terandalkan untuk
mendekati/mengaproksimasi nilai sebenarnya (true value) atau nilai wajar (fair value) suatu
objek pada saat transaksi. Nilai sebenarnya atau nilai wajar tidak dapat. diamati tetapi dapat
diaproksimasi dengan penghargaan sepakatan. Penghargaan sepakatan akan berbeda atau
bervariasi antartransaksi yang sama yang terjadi berkali-kali untuk objek yang sama (baik dari
satu entitas ataupun berbagai entitas). Kos yang didasarkan atas penghargaan sepakatan lebih
terandalkan karena penyebarannya lebih terpusat atau variansi (variance) lebih kecil atau sempit
daripada kos yang disasarkan atas penilaian secara subjektif atau selain penghargaan sepakatan.
Dengan kata lain, kos atas dasar penghargaan sepakatan lebih akurat (accurate) daripada atas
dasar yang lain. Hal ini dapat dilukiskan dalam Gambar 6.3 berikut.

10
Mean atau rata~rata dari berbagai penghargaan sepakatan atau subjektif yang telah terjadi
dapat dianggap sebagai estimator dari nilai sebenarnya (true value). Seandainya rata-rata tersebut
sama dengan nilai sebenarnya, penghargaan sepakatan 1 yang muncul dalam Panel A lebih
terandalkan karena lebih mendekati nilai sebenarnya dibandingkan dengan penghargaan subjektif
1 dalam Panel B1. Pengukuran selain atas dasar penghargaan sepakatan kemungkinan dapat
menghasilkan rata-rata yang menyimpang dari nilai sebenarnya sebagaimana dilukiskan dalam
distribusi B2. Perbedaan rata-rata yang terjadi disebut bias. Panel B2 dalam gambar tersebut
menunjukkan adanya bias ke arah penghargaan yang 1ebih tinggi (over-valuation). Hal ini terjadi
misalnya kalau seseorang mempunyai barang yang tidak ingin dijualnya tetapi ada orang yang
tertarik sekali dengan barang tersebut dan bersedia membeli dengan harga mahal. Sebaliknya,
dalam keadaan butuh uang atau di bawah tekanan, orang terpaksa menerima penghargaan rendah
atas barang yang dijualnya.
F. Penghargaan Sepakatan Sebagai Bukti
Transaksi pertukaran jual-beli dapat dijadikan landasan untuk menentukan kos yang
terandalkan karena penghargaan sepakatannya didasarkan atas mekanisme pasar yang bebas
sehingga tia menjadi bukti validitas pengukuran kos lebih-lebih dalam mekanisme pasar
sempurna (perfect market). Telah disinggung di atas bahwa mekanisma pasar bebas menjamin
dan menghendaki agar:
(a) Pihak bertransaksi sama-sama berkehendak dan bebas tanpa tekanan atau ancaman.
(b) Pihak bertransaksi sama-sama berkemampuan memperoleh informasi secara bebas.

11
(c) Barang yang dipertukarkan cukup standar (umum) dan tersedia cukup banyak di pasar
bebas. Dengan kata lain, cukup banyak penjual dan pembeli sehingga tak seorangpun
cukup kuat untuk mempengaruhi harga.
Kondisi (a) menghindari adanya transaksi sepihak. Transaksi~transksi seperti merger,
likuidasi, dan akuisisi internal sering dilakukan secara sepihak atas kehendak pihak yang lebih
berkuasa. Demikian juga, gaji staf yang ditentukan oleh perusahaan yang dikuasaj dan dimiliki
oleh staf itu sendiri mungkin tidak mencerminkan harga pasar yang berlaku untuk jasa tenaga
kerja. Kos yang terlibat dalam suatu transaksi perlu diragukan validitasnya bilamana faktor
emosional dan nonmekanisma pasar lebih dominan menentukan kos.
Kondisi (b) menjamin bahwa penghargaan sepakatan benar-benar merefleksi nilai wajar atau
nilai sebenarnya yaitu nilai yang paling objektif. Bila pihak yang bertransaksi tidak mempunyai
pengetahuan dan informasi sama (terjadi asimetri informasi), penghargaan sepakatan mungkin
tidak lagi merefleksi nilai wajar. Sebagai contoh, harga yang disepakati dalam jual-beli mobil
bekas tidak menggambarkan nilai wajar kalau pembeli tidak tahu benar kondisi mobil yang
sesungguhnya karena sengaja disembunyikan oleh penjual. Tidak samanya kemampuan dan
informasi antara pembeli dan penjual ini menjadikan juaJ-beli tersebut sebagai transaksi sepihak.
Kondisi (c) dimaksudkan untuk meyakinkan keobjektifan kos atas dasar penghargaan
sepakatan karena harga yang disepakati dalam tawar-menawar antara dua pihak yang bebas
biasanya menunjukkan nilai wajar yang berlaku pada saat transaksi. Hal ini benar khususnya
untuk barang atau jasa yang bersifat standar dan relatif mudah diperoleh. Barang atau objek yang
bersifat sangat khusus dengan pemasaran yang sangat terbatas seperti misalnya adibusana, hak
pengelolaan hutan, hak patent, harga transfer pemain sepakbola, atau perusahaan yang sudah
berdiri lama mempunyai nilaj tunai yang acapkali hanyalah merupakan hasil pertimbangan
(judgment) dan taksiran para pihak yang melakukan transaksi atas dasar analisis dan
pertimbangan subjektif terhadap kondisi yang ada pada saat transaksi karena tiadanya pasar
bebas.
Jadi, bila kondisi-kondisi di atas tidak dipenuhi, penghargaan sepakatan yang terjadi tidak
dapat diterima begitu saja sebagai pengukur kos yang objektif. Walaupun demikian, berdasarkan
konsep dasar relativitas bukti (verifiable objective evidence) dapat dianggap bahwa penghargaan
yang akhirnya dicapai merupakan bukti yang terbaik diperoleh (best obtainable) sebagai dasar
penentuan kos.
G. Pengukuran Kos
Dalam praktiknya, pemerolehan aset merupakan proses yang tidak terjadi begitu saja
selesai dalam satu kegiatan tetapi terdiri atas serangkaian kegiatan misalnya, menempatkan
order, menerima barang, meneliti kecocokan, mengangkut barang, mencoba barang, menyimpan
atau menempatkan barang, dan akhirnya menggunakan barang tersebut. Tiap kegiatan biasanya
melibatkan pengorbanan sumber ekonomik. Oleh karena itu, besar kecilnya kos yang harus
dicatat pertama-kali sebagai pengukur suatu aset pada saat pemerolehan ditentukan oleh dua hal
yaitu: (1) batas kegiatan yang disebut pemerolehan den (2) jenis penghargaan.
1. Batas Kegiatan

12
Batas kegiatan berkaitan dengan masalah unsur pengorbanan sumber ekonomik (kegiatan)
apa saja yang membentuk kos suatu aset. Secara teoretis dan sebagai ketentuan umum, batas
akhir kegiatan untuk memasukan unsur kos sebagai bagian dari kos aset adalah saat dimulainya
penggunaan aset. Dengan kata lain, secara konseptual pembentuk kos suatu aset (baik berwujud
atau tidak) adalah semua pengeluaran (pengorbanan sumber ekonomik) yang terjadi atau yang
diperlukan akibat kegiatan perolehan suatu aset sampai tia ditempatkan dalam kondisi siap
dipakai atau berfungsi sesuai dengan tujuan pemerolehunnya.
Misalnya, jumlah rupiah pengeluaran untuk balik nama pembelian sebidang tanah dan jumlah
rupiah pengeluaran untuk mempersiapkan tanah tersebut harus dimasukkan sebagai kos total
tanah tersebut. Bila sebuah gedung dibangun sendiri dengan menggunakan fasilitas yang dimiliki
perusahaan sendiri maka hal yang perlu diperhatikan adalah bahwa semua jumlah rupiah yang
terjadi yang cukup beralasan untuk dikajtkan dengan pembangunan gedung tersebut, seperti
misalnya jasa arsitek dan pengeluaran tak langsung (overhead) lainnya, harus dimasukkan
aebagai kos bangunan tersebut. Jumlah rupiah pengeluaran untuk menyimpan dan
mengasuransikan barang dagangan selama dalam perioda persiapan untuk dijual adalah bagian
dari kos barang dagangan tersebut. Pajak dan pengeluaran tambahan lainnya yang wajar yang
berkaitan dengan pembangunan sebuah kawasan pemukiman atau estat real (real estate) selama
perioda pengorganisasian (pengembangan) dan pembangunan sampai siap dipakai atau dijual
adalah jumlah rupiah pengeluaran yang sah dan wajar untuk dilekatkan pada kos estat real
tersebut.
Walaupun demikian, secara teknis pembukuan unsur-unsur kos tersebut tidak harus dicatat
dalam satu akun untuk keperluan analisis internal. Berbagai pengeluaran untuk mendapatkan
sediaan barang, misalnya, tidak hams dicatat dalam satu akun Sediaan Barang betapi dicatat
dalam akun pembantu seperti Pembelian, Asuransi Pembelian Barang, dan Kos Pengangkutan
Pembelian. Pemisahan semacam im merupakan praktik yang sehat karena akan menghindari
pengaburan antara kos utama dan kos tambahan. Kos utama merupakan unsur kos yang
merepresentasi penghargaan sepakatan pada waktu suatu aset diperloleh atau pada saat
pertukaran. Pada umumnya pertukaran merupakan kegiatan utama dalam serangkaian kegiatan
pemerolehan suatu aset sampai aset siap digunakan.
2. Jenis Penghargaan
Masalah ini berkaitan dengan penentuan kos utama yang harus dicatat. Dalam transaksi
pertukaran, penghargaan sepakatan dapat dinyatakan dalam berbagai bentuk sumber ekonomik
atau instrumen yang diserahkan oleh pemeroleh aset. Instrumen tersebut dapat berupa misalnya
uang tunai atau barang atau lainnya (misalnya saham atau obligasi). Bentuk instrumen
mempengaruhi dasar penentuan kos utama. Pemerolehan aset dapat terjadi dari transaksi atau
kejadian yang melibatkan kas atau nonkas.
Agar penghargaan yang telah disetujui dapat dicatat dalam sistem akuntansi, penghargaan
tersebut harus dinyatakan dalam satuan uang. Persyaratan ini akan mudah dilakukan kalau
penghargaan tersebut berwujud uang tunai (kas). Seluruh jumlah rupiah yang disepakati sebagaj
penghargaan pada saat transaksi akan membentuk kos yang paling objektif karena tidak lagi
melibatkan interpretasi atau pertimbangan penilaian. Bila transaksi terjadi dalam mekanisma

13
pasar bebas antara pihak independen, kos tunai (cash cost) adalah pengukur aset yang paling
valid dan objektif.
Kalau sumber ekonomik nonkas merupakan penghargaan yang digunakan dalam transaksi,
pengukur yang ideal untuk menentukan kos aset yang diperoleh adalah jumlah rupiah uang tunai
yang akan diperoleh seandainya sumber ekonomik tersebut dijual dulu secara tunai kepada
umum. Kos barang atau jasa yang diperoleh secara tunai adalah jelas merupakan jumlah rupiah
uang yang dibayarkan sedangkan kos barang atau jasa yang diperoleh melalui pertukaran dengan
barang atau jasa lain adalah jumlah rupiah tunai yang secara implisit melekat pada nilai jual
barang atau jasa yang diserahkan dalam pertukaran tersebut. Jumlah rupiah melekat ini disebut
jumlah setara tunai (money or cash equivalent) atau kos tunai terkandung atau implisit
(implied cash cost) dari wujud penghargaan yang diserahkan oleh pemeroleh aset.
Bila aset diperoleh tanpa penghargaan (misalnya hadiah), kos aset ditentukan atas dasar
setara tunai atau kos tunai terkandung aset yang diterima pada saat transaksi atau kejadian.
Berikut ini dibahas berbagai dasar pengukuran kos untuk transaksi atau kejadian pemerolehan
aset dengan instrumen selain kas dan konsep atau teori yang melandasinya.
Kos Dalam Barter. Barter atau pertukaran aset adalah pemerolehan aset (biasanya aset
berwujud atau nonmoneter) dengan penghargaan berupa aset berwujud atau nomoneter lajnnya.
Bila hal ini terjadi, pengukuran aset yang diperoleh bergantung pada apakah aset yang
dipertukarkan sejenis (similar) atau taksejenis (dissimilar). Aset sejenis artinya aset yang
fungsinya sama dan tidak harus aset yang identik. Misalnya, truk dan pick-up dianggap sejenis
kalau fungsinya sama-sama untuk pengiriman barang.
Bila suatu kesatuan usaha menukarkan aset sejenis, secara konseptual dianggap bahwa
perusahaan tersebut melakukan pemeliharaan atau pemertahanan kapital (daya produksi) dan
bukan melakukan penjualan sehingga penerimaan aset dan penyerahan aset dianggap sebagai
transaksi pemeliharaan bukan transaksi penjualan. Dengan demikian, fungsi aset dalam memberi
kontribusi untuk pembentukan pendapatan belum berhenti atau habis. Jadi, proses pembentukan
pendapatan (earning process) oleh fungsi aset tersebut belum selesai. Oleh karena itu, kalau
terjadi untung (gain), tidak selayaknyalah untung tersebut diakui karena secara konseptual
untung (atau pendapatan) tidak dapat timbul dari transaksi pemeliharaan atau pembelian; untung
hanya timbul dari transaksi penjualan. Untung yang timbul harus diperlakukan sebagai
pengurang kos aset yang masuk. Ini berarti bahwa untung dianggap sebagai penghematan kos
(cost saving). Akan tetapi, kalau terjadi rugi, tia dapat segera diakui karena alasan
konservatisma.
Bila kesatuan usaha menukarkan aset tidak sejenis, secara konseptual dianggap transaksi
tersebut melibatkan dua transaksi yaitu penjualan dan pembelian. Dalam hal ini dianggap bahwa
kesatuan usaha menjual aset yang diserahkan secara tunai kemudian seketika itu pula
menggunakan seluruh kas yang diterima untuk membeli aset yang diterima (baru). Dengan
dijualnya aset, kontribusi aset dalam pembentukan pendapatan telah selesai atau berhenti
sehingga bila dalam penjualan aset terlibat untung, tia dapat diakui sebagai untung penjualan aset
dan masuk dalam statemen laba-rugi.

14
Dalam barter, dapat pula terlibat kas sebagai tombok (boot) baik dari pihak kesatuan usaha
atau dari lawan barter. Bila dalam barter aset sejenis tombok diberikan oleh lawan barter, maka
barter tersebut tidak murni sejenis tetapi campuran. Artinya, aset yang diserahkan sebagian
ditukar dengan aset sejenis dan sebagian dengan kas. Bagian yang ditukar dengan kas dianggap
sebagai barter tak sejenis sehingga dianggap melibatkan penjualan tunai. Oleh karena itu, bagian
untung yang timbul dari penjualan tunai dapat diakui sebagai untung yang masuk dalam
statemen laba-rugi. Untung yang dapat diakui adalah proporsional antara tombok dan harga pasar
aset yang diterima kesatuan usaha. Atas dasar penalaran atau teori di atas, berikut ini disarikan
prinsip-prinsip penentuan kos aset yang diterima dalam barter atau pertukaran.
1. Pertukaran taksejenis, tanpa pembayaran tombok:
Aset yang diterima dicatat sebesar nilai wajar/pasar aset yang diserahkan atau nilai wajar
aset yang diterima, mana yang lebih mudah atau jelas ditentukan. Untung atau rugi yang
timbul diakui pada saat pertukaran.
2. Pertukaran taksejenis, dengan pembayaran tombok:
Aset yang diterima dicatat sebesar nilai pasar aset yang diserahkan ditambah tombok atau
nilai wajar/pasar aset yang diterima. Dalam hal ini, nilai pasar aset yang diserahkan
menunjukkan kas yang akan diterima seandainya aset tersebut dijual. Untung atau rugi
yang timbul diakui pada saat pertukaran.
3. Pertukaran sejenis, tanpa pembayaran tombok:
Aset yang diterima dicatat sebesar nilai buku atau nilai pasar aset yang diserahkan, mana
yang lebih rendah. Ini berarti bahwa kalau terjadi untung maka untung tidak diakui dan
sebaliknya kalau terjadi rugi, rugi tersebut diakui pada saat transaksi.
4. Pertukaran sejenis, dengan pembayaran tombok:
Aset yang diterima dicatat sebesar nilai buku aset yang diserahkan ditambah tombok atau
nilai pasar aset yang diserahkan ditambah tombok, mana yang lebih rendah. Ini juga
berarti bahwa kalau terjadi untung maka untung tidak diakui dan sebaliknya kalau terjadi
rugi, rugi tersebut diakui pada saat transaksi.
5. Pertukaran sejenis, dengan penerimaan tombok:
Bila terjadi rugi: Aset yang diterima dicatat sebesar harga pasar aset yang diserahkan
dikurangi kas yang diterima. Ini berarti rugi yang terjadi diakui semua pada saat
terjadinya transaksi.
Bila terjadi untung: Aset yang diterima dicatat sebesar nilai buku aset yang diserahkan
dikurangi porsi nilai buku aset yang diserahkan yang dianggap dijual (ditukar dengan
kas). Atau, nilai pasar/wajar aset. yang diterima dikurangi untung tangguhan (deferred
gain).
Pertukaran sejenis dengan penerimaan tombok sebenarnya merupakan transaksi
campuran yaitu aset yang diserahkan sebagian ditukar dengan aset sejenis dan sebagian yang lain
15
ditukar dengan aset taksejenis (kas). Oleh karena itu, bila terjadi untung, hanya untung yang
berasal dari pertukaran taksejenis (kas) yang dapat diakui dan sisa untung diperlakukan sebagai
untung tangguhan yang mele kat pada (mengurangi kos) aset yang diterima. Untung yang dapat
diakui besarnya proporsional dengan perbandingan antara penerimaan tombok dan nilai pasar
aset yang diterima. Dapat juga dipandang bahwa nilai buku aset yang diserahkan dipecah secara
proporsional menjadi porsi nilai buku yang ditukarkan dengan aset sejenis dan taksejenis.
Pemecahan didasarkan atas perbandingan antara tombok dan nilai pasar aset yang diterima.
Berikut ini adalah formula unsur-unsur untuk menentukan kos aset yang diterima:
Untung Total = Nilai pasar asset diserahkan – Nilai buku asset diserahkan

Tombok (Kas diterima)


Untung diakui = × Untung total
Tombok + Nilai pasar asal diterima

Nilai pasar asset diterima


Untung tangguhan = × Untung total
Tombok + Nilai pasar asset diterima

Nilai pasar asset diterima


Porsi nilai buku sejenis = × Nilai buku asset diserahkan
Tombok + Nilai pasar asset diterima

Tombok (Kas diterima)


Porsi nilai buku tak sejenis = × Nilai buku asset diserahkan
Tombok + Nilai pasar asset diterima

PT Elang, sebuah perusahaan taksi, menukarkan salah satu mobil armadanya dengan
mobil sejenis yang lain. Kos mobil lama (Ford) adalah Rpl50 juta dan telah didepresiasi sebesar
Rp74 juta yang pada saat ditukarkan mempunyai harga pasar Rp95 juta. Mobil lama ditukar
dengan mobil tangan kedua (Toyota) yang bernilai pasar Rp81 juta ditambah kas Rp14 juta.
Dengan kos berapa mobil Toyota harus dicatat?
Karena mobil lama dengan nilai buku Rp76 juta dihargai Rp95 juta, terjadi untung
sebesar Rp19 juta. Perhitungan komponen-komponen berikut menentukan kos aset yang
ditcrima:
81 Juta
Untung tangguhan = × Rp19 juta Rp16,2 juta
Rp14Juta + Rp81 Juta

Rp14 Juta
Porsi Nilai buku taksejenis = × Rp76Juta = Rp11,2 Juta
Rp14 Juta + Rp81 Juta

Kos Toyota akan dlcatat sebesar


16
Nllai buku aset diserahkan Rp76.000.000 Nilai pasar aset diterima Rp81.000.000
Porsi niai buku taksejenis Rp11.200.000 atau Untung tangguhan Rp16.200.000
Kos mobil Toyota Rp 800.000 Kos mobil Toyota Rp64.800.000

Saham Sebagai Penghargaan. Saham sebagai penghargaan merupakan salah satu


bentuk pemerolehan aset dengan barter. Dalam beberapa kasus transaksi yang menggunakan
saham perusahaan sebagai penghargaan untuk barang dan jasa yang diperoleh, nilai nominal
ataupun nilai nyataan (stated value) untuk tiap saham tidak dapat merepresentasi kos yang
sebenarnya (true value) pada saat transaksi. Pengukur yang tepat untuk menentukan kos dalam
situasi semacam itu adalah jumlah rupiah uang tunai yang akan diterima oleh perusahaan
seandainya perusahaan menerbitkan saham-saham yang digunakan untuk penghargaan di atas.
Dalam beberapa hal, jumlah setara tunai saham dapat dicari dengan membandingkan
harga tunai jenis saham yang sama untuk memperoleh dana tunai (kas) yang diterbitkan kira-kira
bersamaan dengan penyerahan saham untuk memperoleh aset bersangkutan. Acapkali, kurs
saham yang tercatat di bursa pada tanggal transaksi merupakan petunjuk yang bermanfaat untuk
menentukan nilai tunai saham. Mungkin juga terjadi dalam banyak hal bahwa penghargaan yang
didasarkan pada nilai tunai saham tidal: menemukan jumlah yang meyakinkan karena harga
saham tidak dapat ditentukan dengan memuaskan. Pendekatan praktis untuk memecahkan
masalah ini adalah penentuan kos yang didasarkan atas taksiran harga pasar aset yang diperoleh.
Perbedaan antara nilai nominal saham yang diserahkan dengan nilai setara tunai aset tersebut
diperlakukan sebagai premium (agio) atau diskun (disagio) saham.
Kos Dalam Reorganisasi. Bila suatu perusahaan sudah berjalan atau beroperasi cukup
lama kemudian mengalami reorganisasi, perusahaan tersebut biasanya tidak mempunyai data kos
yang memadai untuk menentukan kos aset yang dikuasainya. Karena tujuan reorganisasi
biasanya adalah menentukan nilai perusahaan pada saat tersebut, diperlukanlah taksiran nilai
yang wajar seluruh aset perusahaan dengan mempertimbangkan kondisi aset dan keadaan pasar
pada waktu itu. Dalam keadaan semacam itu, pengukuran kos harus didasarkan atas keadaan
seakan-akan perusahaan “baru berdiri” (fresh start). Jadi, dianggap bahwa aset perusahaan
merupakan suatu kesatuan berbagai aset yang baru saja dibeli.
Hadiah atau Hibah. Masalah khusus timbul bilamana barang atau jasa yang jelas-jelas
mempunyai manfaat ekonomik yang besar diperoleh perusahaan tanpa kos yang berarti atau
dengan kos yang tidak sebanding dengan nilai ekonomik barang yang diperoleh. Gedung dan
tanahnya yang diperoleh perusahaan melalui sumbangan atau hibah adalah contoh pemerolehan
aset tanpa kos. Walaupun demikian, ada alasan yang kuat untuk tetap mencatat kekayaan
tersebut atas dasar kos tunai implisitnya. Alasannya adalah bahwa setiap fasilitas atau faktor
ekonomik yang digunakan dalam operasi perusahaan, tanpa memandang asalnya, harus
diperlakukan dengan saksama sebagai potensi jasa. Oleh karena itu, pengakuan kos yang wajar
diperlukan untuk menentukan secara tepat kemampuan perusahaan dalam menghasilkan laba

17
(earning power) yang biasanya ditunjukkan oleh tingkat kembalian investasi (rate of return on
investment).
Temuan. Kadangkala terjadi bahwa suatu sumber alam atau sarana ditemukan atau
dikembangkan dan mempunyai nilai ekonomik yang jauh melebihi pengeluaran yang sebenarnya
untuk memperolehnya. Di bidang eksploitasi sumber alam misalnya, tambang minyak yang
sangat berharga ditemukan dengan pekerjaan eksplorasi dengan kos nominal (cukup rendah
dibandingkan dengan hasilnya). Demikian juga, suatu peralatan atau teknik pemrosesan yang
mempunyai harga pasar yang cukup tinggi mungkin dikembangkan dan didaftarkan hak
patennya tanpa suatu pengeluaran yang sebanding dengan nilai pasar temuan tersebut. Dalam
kondisi yang khusus seperti ini, diperlukanlah suatu pengukur baru kos atas dasar jumlah tunai
implisit. Jumlah ini adalah jumlah rupiah uang tunai (kas) yang pasti diperlukan untuk
memperoleh sumber alam atau teknik pemrosesan tersebut seandainya keduanya sudah dalam
keadaan siap pakai atau dalam status siap dipasarkan atau dikomersialkan. Akan tetapi, perlu
ditegaskan bahwa hal yang serupa tidak semestinya dilakukan begitu saja semata-mata untuk
menaikkan nilai aset atas dasar harapan dan peramalan atau untuk memulai catatan dengan saldo
yang barn. Jadi, hams ada alasan yang kuat atau kondisi yang khusus untuk dapat melakukan
pengukuran seperti di atas. Pemerolehan aset melalui sumbangan ataupun temuan akan
menimbulkan tambahan modal pemegang saham.
Kos Dalam Pembelian Kredit. Dengan sistem kredit, nilai waktu uang menjadi faktor
yang sangat penting dalam mengukur kos yang sebenarnya (true cost). Kos yang sebenarnya
dalam transaksi kredit bukanlah berapa nilai kontrak yang harus dilunasi dalam beberapa kali
angsuran tetapi berapa kos yang sebenarnya pada saat transaksi. Kekeliruan sering terjadi karena
anggapan bahwa nilai nominal atau nilaj jatuh tempo utang menunjukkan kos barang atau jasa
yang dibeli dan memang dalam beberapa kasus hal ini cukup beralasan karena kepraktisan dan
materialitas. Meskipun demikian, kalau barang atau jasa dibeli secara kredit, maka kos yang
sebenarnya adalah harga tunai implisit. Harga tunai implisit tersebut ditentukan atas dasar jumlah
rupiah yang diperlukan seandainya utang tersebut dilunasi pada saat transaksi. Dalam hal
pembayaran dilakukan dengan surat wesel, surat obligasi, atau surat tanda utang lainnya maka
jumlah rupiah tunai implisit diukur dengan jumlah rupiah uang tunai yang akan diterima
seandainya surat berharga tersebut diterbitkan atau dijual secara umum pada saat memperoleh
aset.
Dalam transaksi kontrak pembelian dengan harga kontrak tertentu, harga kontrak yang
disepakati mungkin melebihi harga pembelian tunai. Misalnya, harga kontrak pembelian sebuah
mesin adalah Rp1.600.000 dan dibayar dalam delapan kali angsuran tiap akhir briwulan sebesar
Rp200.000 tanpa menyebutkan adanya bunga secara eksplisit. Dalam kasus ini, sebenarnya harga
nominal (kontrak) tersebut melebihi kos yang sebenarnya yaitu jumlah rupiah uang yang
diperlukan seandainya pembelian dilakukan tunai. Kalau mesin tersebut dapat diperoleh juga dari
toko yang sama dengan harga tunai Rp1.465.000 maka jumlah rupiah ini dapat dianggap sebagai
dasar pencatatan kos berdasarkan jumlah setara tunai sedangkan selisisih antara jumlah ini
dengan nilaj kontrak yaitu sebesar Rp135.000 adalah setara dengan bunga dan harus dibebankan
ke pendapatan (sebagai biaya) selama jangka waktu kontrak.
Pada umumnya, perusahaan tidak berusaha untuk menentukan harga tunai efektif baik
dengan cara menanyakan langsung ke toko penjual barang ataupun dengan cara mendiskun nilai
18
kontrak dengan tarip bunga yang berlaku. Kalau ini terjadi maka akibatnya adalah bahwa kos
tercatat terlalu tinggi. Walaupun demikian, kalau jangka waktu kontrak adalah pendek (short-
terms) maka jumlah kelebihan kos adalah kecil dan tidak cukup berarti sehingga nilai kontrak
dapat dianggap sebagai jumlah rupiah tunai sebagai dasar untuk mencatat kos.
Potongan Tunai dan Keringanan. Kos akan tercatat terlalu tinggi kalau potongan tunaj
(cash discount) dan keringanan-keringanan (allowances) lain tidak dikurangkan terhadap harga
kesepakatan. Secara teknis pembukuan, memang dimungkinkan untuk sementara mendebit harga
faktur bruto ke dalam akun aset yang bersangkutan dan nantinya harus dilakukan penyesuaian
untuk mengurangi jumlah yang tercatat tersebut menjadi jumlah setara tunainya. Potongan yang
dimanfaatkan oleh pembeli sering dianggap sebagai laba. Hal ini tidak sejalan dengan konsep
yang mendasarinya yaitu bahwa laba tidak diperoleh melalui proses pembelian atau pemerolehan
potensi jasa. Pembelian semata-mata merupakan langkah pertama dalam upaya (effort) untuk
menghasilkan pendapatan (laba).
Potongan dan keringanan lainnya sudah menjadi kebiasaan yang umum dalam setiap
kegiatan usaha dan pada umumnya akan selalu dimanfaatkan oleh perusahaan yang dikelola
dengan baik (well-managed). Dalam perusahaan yang dikelola dengan baik, melewatkan
potongan merupakan suatu kesalahan yang mengakibatkan rugi. Rugi bukan sumber ekonomik
dan karenanya tidak salayaknya kalau dicatat sebagai aset. Oleh karena itu, sebenamya setiap
perusahaan sudah tahu pasti berapa harga yang sesungguhnya harus dibayar dalam suatu
transaksi. Dengan begitu, harga yang sesungguhnya mestinya adalah harga tunai neto (net cash
price). Pencatatan kos atas dasar harga tunai neto sering tidak dilakukan karena kebiasaan
mencatat transaksi dalam jumlah rupiah yang tercantum dalam faktur.
H. Rugi Dalam Pemerolehan Aset
Sebelum pendapatan terjadi yang ditimbulkan oleh upaya yang direpresentasi oleh biaya,
kos semata-mata mengalami penghimpunan, penggabungan dan reklasinasi. Kos yang terhimpun
tersebut tetap merepresentasi aset kalau aset tersebut belum dikeluarkan sebagai biaya. Akan
tetapi, dapat terjadi bahwa karena sesuatu hal (atau keadaan yang tidak normal) potensi jasa
tertentu menjadi tidak mempunyai lagi kemampuan atau daya dalam menghasilkan pendapatan
pada waktu mendatang. Dalam keadaan semacam itu, dapat dikatakan bahwa manfaat ekonomik
telah hangus atau menguap dan mempakan rugi. Sebelum kos potensi jasa dinyatakan hangus
maka sebenamya dapat dikatakan bahwa kos tersebut statusnya adalah menunggu perlakuan
berikutnya (in suspense). Rugi dapat saja berjadi sebelum penjualan dilakukan atau sebelum
perusahaan mulai berproduksi.
Pengikatan atau kontrak yang tidak bijaksana, kecurangan pihak lain atau uekadar
musibah belaka tidak jarang mengakibatkan hangusnya (dissipation) manfaat ekonomik dalam
perioda pendirian badan usaha atau pembangunan pabrik. Pemogokan yang berkepanjangan,
kebakaran besar, banjir bandang atau bencana lainnya adalah contoh keadaan khusus atau tidak
normal yang dapat mengakibatkan rugi besar. Kalau keadaan memang menunjukkan dengan
jelas bahwa rugi telah diderita. satu-satunya perlakuan yang tepat adalah pemisahan jumlah
rupiah rugi teraebut sebagai deflsit atau dalam keadann tertentu penghapusan jumlah rupiah rugi
tersebut dengan pengurangan modal. Jadi, rugi hendaknya tidak dikapitalisaai atau diasetkan
karena kriteria manfaat ekonomik mana datang tidak dipenuhi lagi.

19
Jadi dapat disimpulkan bahwa, kecuali karena hal-hal yang tidak normal yang
mengharuskan kos yang terjadi segera diakui sebagai rugi yang dapat terjadi pada tahapan
kegiatan usaha manapun, semua kos yang terjadi merupakan aset atau mempakan bagian dari
jumlah rupiah total aset perusahaan paling tidak dalam beberapa cara. Berbagai kos tersebut
dapat merepresentasi objek fisis maupun nonfisis. 'I‘iap aset yang direpresentasi dengan kos
tersebut berbeda dalam hal kecepatannya untuk diserap habis sebagai pengurang atau beban
pendapatan.
I. Penilalaian
Pengukuran (measurement) adalah penentuan angka satuan pengukur terhadap suatu
objek untuk menunjukkan makna tertentu objek tersebut. Objek dapat berupa barang, jam,
binatang, tubuh manusia, dan banda atau konstruk lainnya. Makna (attribute) dapat berupa nilai,
luas, berat, voluma, tinggi, umur, indeks prestasi, dan sebagainya. Kalau unit moneter dijadikan
satuan pengukur untuk menunjukkan makna ekonomik suatu objek maka pengukuran disebut
dengan penilaian. Jadi, penilaian adalah proses penentuan jumlah rupiah suatu objek untuk
menentukan makna ekonomiknya di masa lalu, sekarang, atau mendatang.
Di dalam akuntansi, istilah pengukuran dan penilaian sering tidak dibedakan karena
adanya asumsi bahwa akuntansi menggunakan unit. moneter untuk mengukur makna ekonomik
suatu objek, pos, atau elemen. Pengukuran biasanya digunakan dalam akuntansi untuk menunjuk
proses penentuan jumlah rupiah yang harm dicatat untuk objek pada saat pemerolehan. Penilaian
biasanya digunakan untuk menunjuk proses penentuan Jumlah rupiah yang harua dilekatkan pad
tiap elemen atau pos statemen keuangan pada penyajian.
Dalam penilaian suatu pos untuk tujuan penyajian, akuntansi dapat menggunakan
berbagai dasar penilaian (bases for valuation) bergantung pada makna yang ingin direpresentasi
melalui pos statemen keuangan. Penilaian pos asset dimaksudkan untuk menentukan berapa
jumlah rupiah yang harus dilekatkan pada tiap pos aset dan apa dasar penilaiannya. Ada berbagai
dasar penilaian yang dapat digunakan untuk tujuan pelaporan aset dalam rangka menyediakan
informasi yang dapat membantu para pemakai untuk mengevaluasi posisi keuangan dan untuk
memprediksi aliran kas di masa mendatang.
Konsep dasar kontinuitas usaha menempatkan aset sebagai sisa potensi jasa yang akan
menjadi upaya dalam menghasilkan pendapatan sehingga dasar penilaian yang paling
menggambarkan makna tersebut adalah kos historis. Akan tetapi, dalam praktiknya pos-pos aset
tidak hanya memiliki atribut sebagai sisa potensi jasa tetapi atribut yang lain. Investasi jangka
pendek, misalnya, mempunyai manfaat ekonomik karena daya tukar menjadi kas atau
keterpasaran (marketability). Demikian juga, aset moneter lainnya mempunyai tujuan pelaporan
dan atribut yang berbeda. Karena adanya berbagai atribut yang disandang oleh pos-pos aset,
berbagai dasar penilaian harus digunakan dalam penyajian agar informasi semantik yang
dikandung berpaut (relevan) bagi pemakai statemen keuangan.
J. Tujuan Penilaian Aset
Karena aset merupakan elemen pembentuk posisi keuangan sebagai informasi semantik
bagi investor dan kreditor, tujuan penilaian aset harus berpaut dengan tujuan pelaporan
keuangan. Tujuan pelaporan keuangan adalah menyediakan informasi yang dapat membantu
20
investor dan kreditor dalam menilai jumlah, saat, dan ketidakpastian aliran kas bersih ke badan
usaha. Oleh karena itu, dasar penilaian aset akan relevan kalau penilaian tersebut dikaitkan
dengan aliran kas ke badan usaha. Aliran kas bersih ke badan usaha dapat diprediksi melalui
informasi semantik berupa: posisi keuangan, profitabilitas, likuiditas, dan solvensi yang
penentuannya melibatkan penilaian aset. Jadi, tujuan penilaian aset adalah merepresentasi atribut
pos-pos aset yang berpaut dengan tujuan pelaporan keuangan dengan menggunakan basis
penilaian yang sesuai.
K. Konsep dan Basis Penilaian
Hendriksen dan Van Breda (1992) membahas konsep dan dasar penilaian aset untuk
tujuan pelaporan keuangan dari dua dimensi yaitu arah aliran aset dan waktu. Karena aset
merupakan komponen penentu posisi keuangan pada saat tertentu, basis pengukuran untuk
menilai aset pada saat tersebut yang paling valid adalah harga atau nilai pertukaran (exchange
prices atau values). Hal ini sejalan dengan konsep dasar penghargaan sepakatan yang sebenarnya
sama dengan harga/nilai pertukaran. Nilai pertukaran dijadikan basis karena dianggap objektif
sehingga memenuhi kualitas keterandalan (reliability) informasi. Pertukaran melibatkan sumber
ekonomik masuk dan sumber ekonomik keluar kesatuan usaha. Oleh karena itu, bila suatu aset
telah ada dalam atau dikuasai oleh kesatuan usaha, pada saat menyajikan masalah penilaiannya
adalah dengan dasar apa aset tersebut harus dilekati nilai pertukaran untuk merepresentasi makna
atau atribut secara tepat. Nilai pertukaran itu sendiri dapat dipandang dari dua sisi yaitu
pertukaran dalam pemerolehan dan pertukaran dalam pemanfaatan aset (dikonsumsi atau dijual).
Nilai yang diperoleh atas dasar pertukaran pemerolehan disebut dengan nilai masukan
(input/entry values atau exchange input values) sedangkan yang diperoleh dari pertukaran
pemanfaatan disebut nilai keluaran (output/exit values atau exchange output values).
Walaupun penyajian aset adalah untuk saat tertentu yang dalam dimensi waktu dapat
diletakkan sebagai titik sekarang (current), nilai pertukaran yang dapat dijadikan basis penilaian
dapat nilai pertukaran masa lalu (past) atau masa mendatang (future). Dimensi waktu dan arah
(pemerolehan atau pemakaian) menghasilkan enam basis pengukuran sebagaimana dikemukakan
Hendriksen dan Van Breda (1992, hlm. 489) yaitu: kos historis (historical costs), kos pengganti
(replacement costs), kos harapan (expected costs), harga jual masa lalu (past selling prices),
harga jual sekarang (current selling prices), dan nilai terealisasi harapan (expected realizable
values). Gambar 6.4 berikut menyarikan hubungan antara berbagai dasar pengukuran tersebut.
Gambar 6.4 Basis Pengukuran Dalam Dimensi Waktu dan Aliran Aset
Nilai Masukan Nilai keluaran
Masa Lalu Kos Historis Harga jual masa lalu
Sekarang Kos pengganti Harga jual sekarang
Masa Datang Kos harapan Nilai realisasi harapan

Dasar di atas lebih diarahkan untuk mencapai keterandalan penilaian atas dasar nilai
pertukaran. Pos-pos tertentu lebih objektif atau terandalkan penilaiannya kalau didasarkan atas
nilai masukan sedangkan pos-pos lainnya lebih terandalkan kalau didasarkan atas nilai keluaran.

21
Karena pemakai dianggap berkepentingan dengan aliran kas bersih, penilaian aset harus
berpaut atau relevan dengan kepentingan tersebut. Bila aliran kas menjadi basis pengukuran,
aliran kas tersebut harus cukup pasti atau jelas melekat pada pos aset yang diukur. Pada
umumnya, pos-pos aset moneter dapat ditukarkan dengan atau berubah menjadi kas dengan
cukup pasti sehingga penilaiannya dapat didasarkan pada nilai keluaran (nilai aliran kas bila pos
tersebut keluar atau dljual). Sementara itu, pos-pos aset yang lain dapat ditentukan dengan cukup
pasti aliran kas keluarnya sehingga dapat diukur atas dasar nilai masukan (nilai aliran kas bila
aset masuk atau diperoleh). Oleh karena itu, gambar di atas dapat dilukiskan kembali secara
diagramatis dalam konteks objektivitas penilaian dan relevansi aliran kas dalam Gambar 6.5 di
bawah ini. Pemilihan nilai masukan atau keluaran untuk penilaian pos aset harus
dipertimbangkan bersamaan dengan kualitas ketepatan penyimbolan (representational
faithfulness) atribut pos bersangkutan.

Jadi, konsep nilai masukan dan keluaran sebenarnya berkaitan dengan konsep kesatuan
usaha yang dianggap menguasai sumber ekonomik (aset) dan harus mempertanggungjelaskan
aset tersebut. Oleh karena itu, yang dimaksud masukan tidak lain adalah transaksi pertukaran
(exchange) dalam rangka memperoleh suatu aset sedangkan keluaran adalah transaksi pertukaran
dalam rangka “menjual” suatu pos aset atau objek jasa tertentu. Dasar penilaian yang akan dipilih
sebénarnya menggambarkan nilai pertukaran tersebut.
L. Nilai Masukan
Nilai masukan didasarkan atas jumlah rupiah yang harus dikeluarkan atau dikorbankan
untuk memperoleh aset atau objek jasa tertentu yang masuk dalam unit usaha. Kalau tujuan
menyajikan makna aset ini adalah untuk menunjukkan aliran kas yang akan keluar dari unit
usaha (seandainya unit usaha harus memperoleh objek jasa yang sama) make nilai masukan
merupakan alternatif nilai keluaran untuk objek jasa bila memang tidak ada pasar objek tersebut
sehingga nilaj keluaran tidak dapat diukur dengan cukup pasti dan andal. Dianggap s: bagai
alternatif karena secara konseptual (sesuaj dengan tujuan pemrediksian aliran kas) nilai keluaran
dianggap lebih unggul untuk penyajian objek dalam statemcn keuangan. Sebagai alternatif nilai
keluaran, nilai masukan menunjukkan secara konservatif nilaj maksimum objek jasa atau pos
22
aset bersangkutan. Beberapa dasar penilaian yang masuk dalam kategori nilai masukan dibahas
berikut ini.
Kos Historis
Kos hitoris sebagai nilai masukan merupakan pengukur potensi jasa yang paling objektif
untuk pos aset yang baru diperoleh. Kos menunjukkan harga pertukaran pada saat terjadinya.
Salah satu keunggulan kos historis dari sudut konsep penilaian adalah dapat diujinya hasil
penilaian tersebut (verifiable) karena kos historis terjadi dari hasil kesepakatan dua pihak yang
independen. Karena dapat diuji validitas penilaiannya, kos historis dapat diandalkan sebagai
informasi (reliable). Akan tetapi, ditinjau dari relevansi informasi, kos historis menjadi kurang
kebermanfaatannya karena nilai aset berubah dengan berjalannya waktu baik akibat perubahan
daya beli atau perubahan harga. Pos-pos aset tetap berwujud dapat menggunakan dasar penilaian
ini kalau tujuannya adalah menunjukkan potensi jasa yang masih tersisa pada saat penyajian.
Kos historis merupakan nilai kesepakatan terendah bagi pembeli karena dianggap
pembeli tidak dapat memperoleh barang/jasa yang sama di tempat Iain dengan nilai lebih rendah.
Lebih dari itu, mekanisme pasar menjamin bahwa nilai kesepakatan terendah ini merepresentasi
nilai sebenarnya atau aktual (true value) objek pada saat transaksi. Karena banyak faktor dan
kegiatan yang terlibat dalam pemerolehan aset, unsur kos masukan historis mana saja yang akan
membentuk kos yang merepresentasi kos aktual? Beberapa konsep kos masukan historis
diajukan sebagai jawaban atas masalah ini yaitu kos bijaksana (prudent costs), kos standar
(standard costs), dan kos asal (original costs).
Kos bijaksana adalah kos selayaknya yang manajemen bijaksana, atau hati-hati bersedia
membayarnya untuk suatu objek. Kos ini tidak termasuk kos yang merepresentasi
ketidaknormalan atau ketidakbijaksanaan seperti pemborosan (waste), manipulasi, salah urus
(mismanagement), atau kurang kompetennya manajemen (incompetence). Ketidaknormalan
menjadikan kos yang terjadi lebih tinggi dari kos bijaksana. Kos bijaksana banyak digunakan
dalam penentuan tarif layanan publik (public utility) dengan alasan bahwa demi kepentingan
publik, kos ketidaknormalan tidak selayaknya dialihkan ke publik (pelanggan).
Kos standar adalah kos yang seharusnya terjadi dalam kondisi proses produksi tertentu
yang diasumsi. Seperti kos bijaksana, kos ketakefisienan dan kapasitas menganggur dikeluarkan
dari kos yang terjadi dalam proses produksi. Walaupun kos standar lebih banyak diterapkan
untuk tujuan internal manajemen (untuk pengendalian), kos standar dapat dipertimbangkan
sebagai pengukur aset (khususnya sediaan barang) untuk merefleksi kos produksi dalam kondisi
perusahaan beroperasi pada tingkat ef'lsiensi dan kapasitas normal. Sebagai nilai masukan,
kelemahan kos historis melekat juga pada kos standar. Kos stander juga tidak selalu mereneksi
nilai aktual karena kos stander yang didasarkan pads kondiai ideal yang biasanya tidak
memperhitungkan ketidakefmienan yang dianggap normal dalam suatu proses produksi.

Kos asli merupakan kos suatu aset bagi perusahaan yang pertama kali menempatkannya
untuk digunakan dalam Iayanan publik. Seperti kos bijaksana, kos asli dikenal dalam konteks
layanan publik khususnya bila perusahaan membeli aset bekas dari perusahaan layanan publik
lain. Sebagai basis penentuan tarif, kos yang diperhitungkan adalah kos asli dikurangi dengan
23
depresiasi akumulasian yang belah dilakukan oleh perusahaan yang sebelumnya menggunakan.
Dengan kata lain, tarif layanan publik hams ditentukan atas desar nilai buku per catatan
pemsahaan sebelumnya meskipun perusahaan pembeli memperolehnya atas dasar harga pasar
yang berlaku. Penalaran di balik hal ini adalah bahwa pelanggan tidak selayaknya membayar
tarif lebih yang merefleksi laba yang dinikmati perusahaan sebelumnya. Konsep kos asli
menghalangi perusahaan layanan publik untuk menikmati laba berlebihan melalui penjualan aset
padahal tin sudah dapat menikmati laba normal dengan tetap memelihara aset tersebut. Hal ini
dapat terjadi bilamana perusahaan pembeli dapat membebankan kepada pelanggan apapun yang
tia bayar kepada perusahaan sebelumnya sehingga tia tidak berusaha untuk menawar aset
tersebut. serendah mungkin. Walaupun bermanfaat untuk penetapan tarif layanan publik, kos asli
tidak relevan untuk tqjuan penilaian aset karena tidak mereneksi penghargaan sepakatan.
Kos Pengganti
Kos pengganti atau kos masukan sekarang (current input cost) atau kos sekarang (current
cost) menunjukkan jumlah rupiah harga pertukaran atau kesepakatan yang diperlukan sekarang
oleh unit usaha untuk memperoleh aset yang same jenis dan kondisinya atau penggantinya yang
setara (ekuivalennya). Harga pertukaran harus ditentukan dari pasar barang yang sekarang
digunakan kesatuan usaha (input market) sehingga harga pertukaran akan menggambarkan
dengan tepat nilai aset. bersangkutan. Bila ada pasar semacam itu, kos pengganti merupakan kos
maksimum bagi kesatuan usaha karena tia akan selalu berusaha untuk mendapatkan barang yang
same atau setara dengan kos yang lebih rendah bila tersedia di pasar tersebut. Dasar penilaian ini
sering digunakan untuk penilaian sediaan barang walaupun jenis aset yang lain dapat. pula dinilai
dengan dasar ini.
Kos pengganti hampir sama konsepnya dengan kos standar sekarang (current standard
costs). Kos stander sekarang adalah berapa kos yang seharusnya untuk menghasilkan suatu
produk dengan kondisi harga, teknologi, dan eflsiensi sekarang. Kos pengganti berbeda dengan
kos standar sekarang karena kos pengganti hanya didasarkan pada harga sekarang tetapi masih
tetap didasarkan pada teknologi dan efisiensi masa lalu.
Beberapa alternatif penilaian lain yang masuk dalam kategori nilai pengganti adalah nilai
penaksiran (appraisal value), nilai wajar (fair value), dan nilai terrealisasi neto dikurangi laba
normal (net realizable value less normal markup). Berikut diuraikan konsep-konsep bersebut.
Nilai penaksiran adalah nilai taksiran kos sekarang atau nilai sekarang yang ditentukan
dengan prosedur dan analisis sistematik oleh pihak independen yang kompeten. Nilai penaksiran
biasanya ditujukan untuk aset tetap perusahaan yang berjalan terus guna menetapkan “nilai buku
sekarang" yaitu kos pengganti atau reproduksi sekarang dikurangi depresiasi sampai tanggap
penaksiran. Bila hal ini yang menjadi tujuan, “nilai buku sekarang” akan merepresentasi nilaj
masukan sekarang aset tetap bersangkutan. Kalau tujuan penaksiran adalah untuk menentukan
nilai jual aset tetap dalam likuidasi, nilai penaksiran akan merepresentasi nilai keluaran sekarang
aset tetap bersangkutan. Nilai penaksiran lebih objektif dibanding nilai pengganti yang
ditentukan oleh manajemen karena tia ditentukan oleh pihak luar yang independen. Sebagai nilai
masukan, nilaj penaksiran mempunyai kelemahan yang sama dengan kos historis karena sekali
ditentukan tia menjadi kos historis.

24
Nilai wajar secara umum berarti jumlah rupiah yang dapat diterima untuk suatu objek
dalam suatu transaksi antara pihak-pihak yang berkehendak bebas tanpa tekanan atau
keterpaksaan. Pengertian ini lebih berkonotasi sebagai nilaj keluaran. Secara khusus, nilai wajar
dimaksudkan untuk menunjuk jumlah rupiah aset untuk menentukan agar laba yang diperoleh
merepresentasi tingkat kembalian wajar (fair return) bagi investor: Dengan kata lain, nilai wajar
adalah nilai aset yang menghasilkan imbalan atau tingkat kembalian (return on assets) yang
wajar kalau laba yang wajar telah ditetapkan. Pengertian khusus ini hanya diterapkan dalam
konteks penentuan tarif untuk perusahaan layanan publik. Jadi, pengertian nilaj wajar secara
khusus ini lebih merupakan prosedur daripada basis penilaian dan lebih berkonotasi sebagai nilai
masukan.
Nilai terrealisasi bersih dikurangi laba normal adalah nilai yang diharapkan
merepresentasi kos pengganti bila data untuk menentukan kos pengganti tidak tersedia. Jadi, nilai
terrealisasi besih/neto dikurangi laba normal merupakan cara untuk menaksir kos pengganti atau
kos sekarang. Tia akan menghasilkan angka yang mendekati kos pengganti atau sekarang kalau
harga jual merupakan fungsi kos barang terjual dan laba yang dihasilkan merupakan laba normal.
Untuk selalu mendapatkan laba normal, kalau suatu aset (misalnya sediaan barang) mengalami
penurunan kos dan harga jual juga turun, penurunan kos harus dikeluarkan dari kos aset dan
diakui sebagai rugi. Sebaliknya, kalau suatu perusahaan memperoleh aset (sediaan barang)
dengan harga yang sangat murah karena penjual melakukan cuci gudang atau tindakan khusus
lainnya, kos barang tersebut sebenarnya tidak menggambarkan kos pengganti yang relevan
dalam pasar normal. Oleh karena itu, nilai terrealisasi bersih (nilai jua] harapan) dikurangi laba
normal merupakan pengukur kos pengganti yang tepat.
Kos Harapan
Secara semantik, kos harapan suatu aset adalah nilai pengorbanan ekonomik di masa
datang seandainya potensi jasa aset tersebut diperoleh secara bagian demi bagian (piecemeal)
dan bukan sekaligus (lump sum). Untuk penilaian sekarang, kos harapan harus didiskun menjadi
kos harapan sekarang atau kos masukan masa datang diskunan (discounted future input costs).
Untuk dapat menggunakan dasar penilaian ini tentu saja harus ada alternatif pemerolehan aset
secara bagian demi bagian sebagai pembanding dan diketahui dengan pasti kos masa datang tiap
bagian tersebut. Bila tidak ada alternatif semacam itu, penilaian semacam ini akan bersifat
hipotetis belaka. Bila pemerolehan aset dilakukan dengan kontrak utang, utang yang disepakati
dan angsurannya dapat dijadikan pengganti untuk kos potensi jasa masa datang. Dengan
demikian, kos harapan aset adalah nilai sekarang pembayaran kas di masa datang. Kos fasilitas
fisis yang diperoleh dengan sewaguna (lease) menunjukkan nilai atas dasar kos masa datang
diskunan ini. Pos aset tetap berwujud pada umumnya dapat menggunakan dasar penilaian ini
baik pada saat diperoleh maupun pada saat pelaporan keuangan.
M. Nilai Keluaran
Berbagai penilaian atas dasar nilai masukan di atas harus dipahami/dipelajari dari
perspektifpenilaian alternatif terhadap nilai kcluaran untuk tujuan menyediakan informasi yang
dapat membantu pemakai dalam memprediksi aliran kas. Penerapan penilaian atas dasar nilai
masukan di atas harus mempertimbangkan pos yang dinilai, tujuan penilaian, dan kondisi yang
paling berpaut untuk tiap dasar penilaian.

25
Nilai keluaran didasarkan atas jumlah rupiah kas atau penghargaan lainnya (nonkas) yang
diterima suatu unit. usaha apabila suatu aset atau potensi jasa akhirnya keluar dari kesatuan
usaha melalui pertukaran atau konversi. Secara umum, penilaian ini lebih berpaut dengan aset
yang tujuannya adalah dijual atau dikonversi menjadi kas dan bukan digunakan untuk kegiatan
produksi. Ada berbagai dasar penilajan yang dapat digunakan dan tiap pos aset dapat dinilai
menurut dasar yang paling sesuai dengan tujuan pelaporan tiap pos tersebut.
Harga Jual Masa Lalu
Harga jual masa lalu (past selling price) sebenamya menunjukkan kas yang cukup pasti
akan diterima dari konversi suatu pos aset yang timbul karena transaksi masa lalu. Pos yang
mempunyai atribut semacam ini adalah piutang usaha karena jumlah rupiah piutang usaha
merupakan harga jual masa lalu, Oleh karena itu, harga jual masa Ialu merupakan salah satu
bentuk khusus penilaian yang disebut nilai terrealisasi neto (net realizable values). Nilai
terrealisasi neto dapat diterapkan tidak hanya untuk piutang tetapi juga untuk sediaan barang.
Nilai terrealisasi neto adalah seluruh kas yang akhirnya berhasil diperoleh (collected) atas
konversi piutang atau pcnjualan barang dagangan sampai tuntas transaksinya. Disebut neto atau
bersih karena rugi piutang taktertagih (macet) atau kos kcgiatan pen. jualan tambahan untuk
mendapatkan nilai sekarang pos-pos aset tersebut dikeluarkan (dikurangkan) dari nilai keluaran.
Harga Jual Sekarang
Penentuan kos yang berkaitan dengan kegiatan tambahan untuk menuntaskan transaksi
konversi atau penjualan dalam hal tertentu sulit ditentukan atau ditaksir. Sebagai alternatif,
penilaian dapat didasarkan atas harga jual sekarang (cur. rent selling price). Untuk piutang, harga
jual sekarang dapat ditentukan atas dasar harga yang disepakati oleh perusahaan anjak piutang
(factoring company). Untuk sediaan barang, harga jual sekarang harus dikurangi dengan laba
normal dan kos kegiatan tambahan untuk mendapatkan nilai keluaran sekarang sediaan barang.
Untuk surat-surat berharga, harga jual sekarang sudah dapat merefleksi nilai keluaran sekarang
pos tersebut.
Harga jual sekarang didasarkan pada anggapan bahwa perusahaan akan berlangsung terns
dan transaksi dilaksanakan dalam pasar yang normal. Bila tidal: ada pasar regular, penilaian
dapat ditentukan ates dasar nilai likuidasi (liquidation values). Dasar penilaian ini dapat
digunakan apabila unit usaha kemungkinan besar tidak akan dapat menjual produk atau aset
dalam saluran penjualan yang normal atau apabila unit usaha tidak dapat lagi memanfaatkan
seluruh potensi jasa normal yang diharapkan dari suatu aset (ada penurunan manfaat ekonomik).
Nilai likuidasi ini sebenarnya tidak berbeda dengan harga jual sekarang kecuali bahwa nilai
keluarannya diperoleh dari kondisi pasar yang berbeda. Nilai likuidasi hanya dapat digunakan
apabila kondisi berikut dipenuhi: (1) bila produk atau potensi jasa lainnya telah berkurang
manfaat normalnya lantaran menjadi usang atau tidak laku lagi dipasarkan dan (2) bila unit usaha
merencanakan untuk menutup usaha dalam waktu dekat sehingga tidak dapat menjual seluruh
potensi jasa unit usaha dalam pasar yang normal sehingga perusahaan ada di dalam posisi tawar-
menawar yang lemah (disadvantaged bargaining power).
Nilai jual sekarang sebenarnya didasari oleh konsep setara tunai sekarang (current cash
equivalents). Nilai ini menunjukkan jumlah rupiah kas atau daya beli yang dapat direalisasi

26
dengan cara menjua] setiap jenis aset di pasar bebas dalam kondisi perusahaan melikuidasi
(menjual) asetnya secara normal. Nilai ini biasanya diukur berdasarkan harga pasar kutipan
barang bekas sejenis dengan kondisi yang sama. Secara teoretis, setara kas sekarang merupakan
atribut atau properitas yang relevan untuk semua aset. Artinya, semua aset dapat menggunakan
dasar penilaian ini pada titik waktu tertentu sehingga agregasi jumlah rupiah aset menjadi
bermakna tanpa menghadapi masalah agregasi jumlah rupiah masa lalu, sekarang, dan masa
datang yang skala daya belinya berbeda. Kelemahannya adalah tidak semua aset mempunyai
pasar (untuk barang tangan kedua) dan harga pasar kutipan sehingga hasil pengukuran kurang
terandalkan.
Nilai Terrealisasi Harapan
Secara semantik. nilai terrealisasi harapan suatu aset adalah penerimaan km; atau potensi
jasa masa datang yangjumlah dun waktunya cukup pusti. Untuk penilainn sekarang suatu aset,
nilai terrealisasi harapan harus didiskun menjadi nilai terrealisasi harapan sekarang atau
penerimaan kas/potensi jasa mass datang diskunan (discounted future cash receipts/seruice
potensials). Dasar ini dapat digunakan apabila harapan penerimaan kas atau setaranya cukup
pasti dan senggang waktu sampai penerimaan cukup panjang tapi saat. atau tanggal penerimaan
pasti. Pos yang dapat. menggunakan dasar penilaian ini adalah misalnya: investasi dalam
obligasi, piutang wesel jangka pandang, den deposito berjangka.

Dasar pcnilaian ini lebih bermanfaat dan valid untuk menilai investasi tunggal atau perusahaan
secara keseluruhan dari sudut pandang investor. Untuk penilaian aset secara individual, dasar
penilaian ini mengandung beberapa kelemahan yaitu:
1. Kalau tidak ada pasar untuk aaet bersangkutan, penentuan aliran kas masa datang bersifat
subjektif sehingga sulit diverifikasi.
2. Pemilihan tariff yang cukup representatif untuk merefleksi risiko tiap aset sangat
problematik. Bila toh tarif tersebut dapat ditentukan, hasil pengukuran sulit diinterpretasi
maknanya oleh pembaca statemen keuangan.
3. Aliran kas ke perusahaan dihasilkan oleh seluruh aset sebagai satu kesatuan dalam
menghasilkan produk yang akhirnya dijual untuk mendetangkan kas. Tidak logis atau
tidak mungkin untuk memisahkan aliran kas masuk bersih untuk menunjukkan kontribusi
tiap aset dalam menghasilkan aliran kas bersih tersebut (ini merupakan imputasi
pendapatan).
4. Memperkuat alasan 3 di atas, beberapa aset memang tidak terpisahkan (seuerable)
sehingga nilai sekarang seluruh aset (the value of the firm) tidak akan sama dengan
penjumlahan semua kas mesa datang diskunan tiap pos aset
N. Kos atau Pasar yang Lebih Rendah
Penilaian atas dasar kos atau pasar yang lebih rendah (KAPYLR, baca: kapilér) atau cost
or market whichever is lower (COM WIL) atau lower of cost or market (LOCOM) ini
merupakan kombinasi nilai masukan dan keluaran karena pengertian pasar dalam hal ini dapat
27
berarti pasar barang masukkan atau keluaran (input atau output market). Untuk sediaan barang,
pasar mengacu ke nilai masukan karena barang biasanya dijual pada pasar yang berbeda dengan
harga lebih tinggi. Sementara itu, untuk surat-surat berharga pasar mengacu ke nilai keluaran
karena surat berharga dijual-bclikan pada pasar yang same sehingga kos dan harga jual keduanya
dipandang sebagai nilai atau harga keluaran.
Penggunaan konsep penilaian ini didasari oleh konsep dasar konservatisma. Dalam
kondisi ketidakpastian, kreditor secara historis mendasarkan keputusannya pada nilai konverai
aset yang terendah sehingga penyajian aset dalam neraca juga mengikuti konsep ini
Konservatisma dalam penilaian aset mempunyai implikasi konservatisma dalam penentuan laba
dalam statemen laba rugi. Dengan menurunkan nilai aset. (khususnya sediaan barang) pada akhir
suatu periode akibat turunnya harga atau selera, laba bersih akan menjadi lebih kecil.
Secara teoretis, penilaian atas dasar kos atau pasar yang lebih rendah mempunyai banyak
kelemahan sehingga mengundang banyak kritik. Penilaian ini dianggap lemah secara teoretis
karena alasan berikut:
1. Konservatisma cenderung merendahkan aset total. Ini disebabkan nilai sediaan tidak
pemah dilaporkan lebih tingg'i dari kos pemerolehan. Dalam hal manfaat barang tetap
atau harga jual barang meningkat di masa datang, penilaian aset secara keseluruhan akan
tersaji terlalu rendah (understated). Lebih rendahnya nilai aset tidak merugikan kreditor
tetapi dapat menyesatkan pemegang saham.
2. Lebih rendahnya sediaan akhir pada suatu perioda akan berakjbat lebih rendahnya biaya
(dalam bentuk kos barang terjual) pads perioda berikutnya sehingga laba menjadi lebih
tinggi. Lebih tingginya laba ini diakibatkan oleh untung (gain) yang terrealisasi
bersamaan dengan terjualnya sediaan barang. Karena untung tidak terefleksi dalam
statemen laba-rugi, laba bersih yang dilaporkan tidak terandalkan daya prediksinya dan
tidak dapat menggambarkan efisiensi atau kinerja manqjemen secara tepat.
3. Terjadi inkonsistensi penilaian baik dalam suatu tahun atau antarperioda. Karena
penilaian antarperioda dapat berubah-ubah dari kos ke pasar, penilaian ini dapat
mengakibatkan penilaian dalam suatu perioda secara internal tidak konsisten. Artinya,
dapat terjadi berbagai pos-pos aset dinilai dengan dasar penilajan yang berbeda (yang
satu kos dan yang lain pasar).
4. Salah satu argumen digunakannya metoda KAPYLR adalah bila terjadi penurunan
manfaat akibat kerusakan, keusangan, perubahan harga, atau kemampuan mendatangkan
laba make selayaknyalah bahwa kos juga harus diturunkan. Argumen ini tidak kuat
karena nilai terealisasi bersih dari penjualan barang dapat saja tidak berubah hanya
karena kos berubah (diturunkan).

KAPYLR sebenarnya merupakan penilaian atas dasar kos pengganti untuk merefleksi nilai
pasar masukan. Argumen yang mendasari adalah bahwa penurunan dalam kos pengganti pada
umumnya merefleksi atau memberi indikasi dalam penurunan harga jual. Dengan kos pengganti
(melalui KAPYLR), perusahaan dapat mempertahankan tingkat laba kotor penjualan normal
28
(normal prow margin). Namun demikian, penurunan kos pengganti tidak selalu disertai dengan
penurunan manfaat ekonomik sehingga penerapan KAPYLR dibatasi agar penilaian atas dasar
pasar (bila lebih rendah dari kos) tidak terlalu rendah (understatement). Hal ini dimaksudkan
agar KAPYLR tidak digunakan sebagai sarana untuk menurunkan laba melalui manqjemen laba
(earnings management) khuauanya bila pasar sangat rendah. Bila kos pengganti (pasar) di bawah
kos asli tetapi lebih tinggi dari nilai terrealisasi bersih (NTB), koa pengganti teraebut kurang
bermanfaat untuk memanfaatkan konservatisma. Dalam situasi ini, selisih kos pengganti dan
NTB merupakan penilaian-lebih (overstatement) yang menjadikan KAPYLR kurang berarti
untuk mengakui adanya rugi akibat penurunan nilai.

Bila pasar lebih rendah dari NTB, selisih antara pasar dan NTB tidak boleh melebihi laba
kotor normal (LKN). Dengan kata lain. pasar tidak boleh lebih rendah dari NTB-LKN. Hal ini
dimaksudkan agar perusahaan tidak menurunkan nilai sediaan secara berlebihan sehingga
sediaan tidak mengalami penilaiankurang (understatement). Oleh karena itu, agar KAPYLR
mencapai tujuannya, pasar yang digunakan sebagai dasar penilaian harus dibatasi dalam kisar
tertentu yaitu antara NTB dan NTB-LKN.
Atas dasar penalaran di atas, ketentuan umum penilaian sediaan dinyatakan sebagai berikut:
Sediaan dinilai atas dasar KAPYLR dengan ketentuan bahwa pasar tidak melebihi nilai
terrealisasi bersih atau tidak lebih rendah dari nilai terrealisasi bersih dikurangi laba kotor
normal/LKN (normal profit margin).
Jadi, nilai terrealisasi bersih merupakan batas atas (upper limit) dun nilai terrealisasi bersih
dikurangi laba kotor normal merupakan batas bawah (lower limit) kos pengganti (pasar) yang
diperbolehkan. Gambar 6.6 di bawah ini melukiskan konsep penilaian atas dasar KAPYLR.

29
Harga atau nilai jual dalam gambar di atas dapat saja berada di bawah kos mula-mula.
Selisih antara kos asli dan batas atas sebenamya menggambarkan penurunan manfaat akibat
kerusakan, keusangan, perubahan harga, atau berkurangnya kemampuan mendatangkan laba.
Selisih ini merupakan merupakan jumlah minimum penurunan nilai yang diperbolehkan atau
dianjurkan. Jika pasar ditentukan di atas batas atas (NTB), nilai pengganti tidak cukup rendah
untuk menjadikan KAPYLR cukup bermakna. Oleh karena itu, pasar tidak selayaknya melebihi
batas atas.
Kalau kos pengganti sediaan akhir ditentukan di bawah batas bawah, pada saat penjualan
sediaan tersebut di awal tahun berikut, laba yang diperoleh akan lebih tinggi dari laba normal
sehingga diperoleh untung (gain) yang tidak dilaporkan (tidak terrefleksi dalam statemen laba-
rugi). Bila hal ini terjadi, berarti telah terjadi penilaian-kurang terhadap sediaan yang
mengakibatkan penyajian-kurang (understatement) laba pada tahun berjalan. Hal ini akan
berakibat penyajian-lebih laba di tahun berikutnya akibat untung. Oleh karena itu, pasar tidak
boleh lebih rendah dari batas bawah agar tidak terjadi penilaian-kurang sediaan.
O. Penilaian Menurut FASB
Konsep-konsep penilaian yang dibahas di atas menjadi dasar untuk menjelaskan berbagai
dasar yang dapat digunakan untuk mengukur atau menilai elemen statemen keuangan sesuai
dengan atribut yang ingin direpresentasi oleh pengukuran Relevansi tiap dasar penilaian hanya
dapat ditentukan atas dasar tujuan yang ingin dicapai dalam menyajikan setiap pos aset. Dalam
kenyataannya, akuntansi menggunakan berbagaj dasar penilaian yang berbeda untuk tiap pos aset
karena makna yang ingin disampaikan dari tiap pos tersebut memang berbeda. Sebagai contoh,
dasar penilaian surat-surat berharga dapat menggunakan harga pasar (current output values)
karena likuiditas merupakan makna yang ingin direpresentasi oleh hasil penilaian. Di lain pihak,
dasar penilaian aset tetap adalah kos historis (dalam arti nilai buku) karena makna yang ingin
disajikan adalah potensi jasa yang masih tersisa dari fasilitas fisis tersebut.
Dengan demikian, untuk tujuan penilaian pos aset tertentu, tiap dasar penilaian di atas
mempunyai keunggulan dan kelemahan masing-masing. Tanpa memperhatikan sifat masukan
atau keluaran, FASB menyarankan untuk tetap menggunakan makna penilaian yang sekarang
dipraktikkan. FASB mengidentifikasi lima makna atau atribut yang dapat direpresentasi dalam
berbagai atribut penilaian (Iihat kembali Gambar 4.15 di halaman 193). Bila dikaitkan dengan
aset, dasar penilaian menurut FASB (SFAC No. 5, prg. 67) dapat disarikan berikut ini:
a. Historical cost. Tanah, gedung, perlengkapan, perlengkapan pabrik, dan kebanyakan
sediaan dilaporkan atas dasar kos historisnya yaitu jumlah rupiah kas atau setaranya yang
dikorbankan untuk memperolehnya. Kos historis ini tentunya disesuaikan dengan jumlah
bag’ian yang telah didepresiasi atau diamortisasi.
b. Current (replacement) cost. Beberapa sediaan disajikan sebesar nilai sekarang atau
penggantinya yaitu jumlah rupiah kas atau setaranya yang harus dikorbankan kalau aset
tertentu yang sejenis diperoleh sekarang.
c. Current market value. Beberapa jenis investasi dalam surat berharga disajikan atas dasar
nilai pasar sekarang yaitu jumlah rupiah kas atau setaranya yang dapat diperoleh kesatuan
usaha dengan menjual aset tersebut dalam kondisi perusahaan yang normal (tidak akan
30
dilikuidasi). Nilai pasar sekarang biasanya juga digunakan untuk aset yang kemungkinan
akan laku dijual di bawah nilai bukunya.
d. Net realizable value. Beberapa jenis piutangjangka pendek dan sediaan barang disajikan
sebesar nilai terrealisasi bersih yaitu jumlah rupiah kas atau setaranya yang akan diterima
(tanpa didiskun) dari aset tersebut dikurangi dengan pengorbanan (kos) yang diperlukan
untuk mengkonversi aset tersebut menjadi kas atau setaranya.
Present (or discounted) value of' future cash flows. Piutang dan investasi jangka panjang
disajikan sebesar nilai sekarang penerimaan kas di masa mendatang sampai piutang terlunasi
(dengan tarifdiskun implisit) dikurangi dengan tambahan kos yang mungkin diperlukan untuk
mendapatkan penerimaan tersebut.
Gambar 6.7 di halaman berikut meringkas berbagai dasar penilaian aset oleh FASB dan kondisi
penerapannya sorta hubungannya dengan atribut penilaian.
2.3 Pengakuan
Suatu jumlah rupiah atau kos diakui sebagai aset apabila jumlah rupiah tersebut timbul
akibat transaksi, kejadian, atau keadaan yang mempengaruhi aset. Pada umumnya pengakuan
aset dilakukan bersamaan dengan adanya transaksi, kejadian, atau keadaan tersebut. Di samping
memenuhi definisi aset, kriteria keterukuran, keberpautan, dan keterandalan harus dipenuhi pula.
Dengan mengutip Sterling, Belkaoui (1993, hlm. 194-195) menunjukkan kondisi perlu
(necessary) dan kondisi cukup (sufficient) yang merupakan penguji (tests) yang cukup rinci
untuk mengakui aset yaitu:
1. Deteksi adanya aset (detection of existence test). Untuk mengakui aset, harus ada
transaksi yang menandai timbulnya aset.
2. Sumber ekonomik dan kewajiban (economic resources and obligation test). Untuk
mengakui aset, suatu objek harus merupakan sumber ekonomik yang langka, dibutuhkan,
dan berharga
3. Berkaitan dengan entitas (entity association test). Untuk mengakui aset, kesatuan usaha
harus mengendalikan atau menguasai objek aset.
4. Mengandung nilai (non-zero magnimde test). Untuk mengakui aset, suatu objek harus
mempunyai manfaat yang terukur secara moneter.
5. Berkaitan dengan waktu pelaporan (temporal association test). Untuk mengakui aset,
semua penguji di atas harus dipenuhi pada tanggal pelaporan (tanggal neraca).
6. Verifikasi (verification test). Untuk mengakui aset, harus ada bukti pendukung untuk
meyakinkan bahwa kelima penguji di atas dipenuhi.

31
Apa yang dikemukakan Belkaoui di atas sebenarnya adalah apa yang disebut dengan
kaidah pengakuan (recognition rules) yang merupakan petunjuk teknis atau prosedur untuk
menerapkan empat kriteria pengakuan (recognition criteria) FASB yaitu definisi, keterukuran,
keberpautan, dan keterandalan. Kaidah tersebut diperlukan karena kriteria pengakuan sifatnya
konseptual dan umum. Penerapan kaidah pengakuan di atas sebenarnya berkaitan dengan
masalah apakah suatu kos dikapitalisasi (capitalized) atau dibiayakan (expensed). Bila kaidah
pengakuan di atas tidak dipenuhi, kos harus diperlakukan menjadi beban pendapatan sebagai
biaya atau rugi.
P. Beban Tangguhan
Untuk beberapa kasus, pelaksanaan kaidah di atas menjadi pelik karena karakteristik unik
kos yang terlibat menyebabkan keraguan. Diperlakukan sebagai aset meragukan karena manfaat
ekonomik masa depan tidak cukup pasti sementara kalau diperlakukan sebagai biaya atau
dibebankan ke pendapatan tahun terjadinya juga tidak pas karena asosiasi dengan pendapatan
sulit untuk ditentukan. Diperlakukan sebagai rugi juga tidak tepat karena kos merepresentasi
upaya yang sah dan wajar. Kesulitan semacam ini menimbulkan praktik bahwa kos-kos semacam
itu (kos organisasi, riset dan pengembangan, dan semacamnya) ditampung dalam satu pos yang
disebut beban tangguhan (deferred charges). Paton dan Littleton (1970) sangat mengkritik
penggunaan istilah beban tangguhan ini karena secara konseptual semua aset (yang dipresentasi
dengan kos) merupakan beban tangguhan. Lebih baik kalau pos tersebut diberi nama yang jelas
sesuai dengan sifatnya dan disajikan secara terpisah dengan pos-pos aset lainnya.

32
Kaidah untuk menetapkan apakah suatu kos memenuhi syarat untuk ditangguhkan
pembebanannya ke pendapatan disajikan dalam Gambar 6.8 di halaman berikut. Kaidah ini
merupakan penyederhanaan dari enam kaidah yang dijelaskan di atas.

Kos yang mempunyai karakteristik unik sehingga menimbulkan masalah penangguhan


pembebanan misalnya adalah kos terlibat dalam transaksi, kejadian, atau keadaan berikut:
a. Sewa guna
b. Bunga selama masa kontribusi asset tetap
c. Eksplorasi minyak dan gas bumi
d. Rugi selisih kurs valuta asing atau penjabaran valuta asing
e. Rugi selisih kurs valuta asing
f. Sumber daya manusia
g. Kos organisasi

33
Dua pos pertama akan dibahas dalam bab ini. Teori atau penalaran perlakuan pos-pos lainnya
dapat dipelajari dari standar akuntansi yang berkaitan misalnya SFAS No. 2 man PSAK No. 20
untuk kos riset dan pengembangan.
a. Sewaguna
Sewaguna (lease) menimbulkan masalah pelik dalam pengakuan aset karena di Amerika pada
mulanya sewaguna digunakan sebagai sarana pemerolehan aset tetap atau fasilitas Esis tanpa
hams menunjukkan utang yang timbul dari pemerolehan tersebut. Dengan kam Iain. sewaguna
diperlakukan sebagai sewamenyewa biasa sehingga jumlah rupiah sewa yang dibayarkan
diperlakukan sebagai biaya sewa. Praktik semacam ini. disebut dengan pendanaan lepas-neraca
(off-balance-sheet financing), dipandang tidak sehat dari segi pelaporan keuangan karena
terdapat utang yang cukup besar yang tidak dilaporkan dalam neraca.
Oleh karena itu. dengan konsep dasar substansi di ates bentuk (substance over form). FASB
mewauibkan untuk mengakui dan melaporkan kewajiban yang timbul dari sewaguna dan
mengakui (mengkapitalisasi) fasilitas yang disewaguna sebagai aset perusahaan kalau secara
substantif perjanjian sewaguna tersebut sebenamya merupakan pembelian angsuran. Yang
menjadi masalah adalah apa kriteria yang hams dipenuhi agar suatu sewaguna dapat dinyatakan
sebagai pembelian angsuran. FASB mengqjukan empat kriberia berikut ini (SPAS No. 13, prg.
7):
a. Kontrak sewaguna menyebutkan adanya transfer hak milik barang atau properitas
(property) kepada tersewaguna (lessee) pada akhir jangka sewaguna.
b. Kontrak sewaguna memuat pasal bahwa tersewaguna boleh pilih untuk membeli pada
tanggal yang ditetapkan dalam jangka sewaguna dengan harga yang ditetapkan dan harga
Dersebut cukup murah sehingga dapat dipastikan di muka bahwa wrsewaguna akan
memilih membeli properitas bersangkutan. Pasal semacam ini disebut bargain purchase
option.
c. Jangka sewaguna adalah 75% atau lebih dari sisa umur ekonomik taksiran properitas
sewagunaan sejak penandatanganan kontrak. Bila sisa umur ekonomik mulai dari
penandatanganan kontrak kurang dari 25% umnr ekonomik total, kriteria ini tidak
berlaku.
d. Pada suatu penandatanganan kontrak sewaguna, nilni sckarang semua pembayaran
sewaguna minimum selama jangka sewaguna adalah sama atnu lebih besar dari 90% nilai
wajar bersih bagi pesewaguna (lessor). Nilai wajar bersih bagi pesewaguna adalah nilai
wajar dipandang dari sudut pesewaguna setelah dikurangi dengan kredit pajak investaei
(investment tax credit), kalau ada, yang menjadi hak pesewaguna.
Kalau suatu kontrak sewaguna memuat pasal-pasal atau ketentuan-ketentuan yang memenuhi
salah satu atau lebih kriteria di atas maka sewaguna tersebut harus diperlakukan sebagai kontrak
pembelian angsuran dan properitas yang terlibat harus dikapitalisasi. Mengapa demikian? Karena
kalau salah satu pasal di atas dipenuhi, secara substantif kontrak tersebut jelas merupakan
pembelian angsuran walaupun bentuk yuridisnya tampak sebagai sewa-menyewa biasa atau
sewaguna operasi (operating lease). Bahwa hanya salah satu kriteria yang hams dipenuhi
34
menunjukkan bahwa FASB sangat menekankan kapitalisasi. Lebih dari itu, tiap kriteria cukup
ketat bagi perusahaan untuk menghindari kapitalisasi.
IAI juga mengeluarkan standar untuk mengkapitalisasi sewaguna. Kriteria yang diajukan
adalah (PSAK No. 30, Bab II; prg. 3):
a. Penyewa guna usaha memiliki hak opsi untuk membeli aset yang disewagunausahakan
pada akhir masa masa sewa guna usaha dengan harga yang disetujui bersama pada saat
dimulainya perjanjian sewa guna usaha.
b. Seluruh pembayaran berkala yang dilakukan oleh penyewa guna usaha ditambah dengan
nilai sisa mencakup pengembalian harga perolehan barang modal yang disewaguna
usahakan serta bunganya, sebagai keuntungan perusahaan sewa guna usaha (full payout
lease).
c. Masa sewa guna usaha minimum 2 (dua) tahun.
Untuk mengkapitalisasi sewaguna, IAI menetapkan bahwa ketiga kriteria di atas harus
dipenuhi. Kalau salah satu saja kriteria di atas tidak terpenuhi maka sewaguna diperlakukan
sebagai sewaguna operasi. Bila dianalisis secara terpisah, tidak satupun kriteria di atas
menjadikan suatu sewaguna secara substantif merupakan pembelian angsuran padahal inilah
yang seharusnya merupakan esensi dari tiap kriteria.
Kriteria a hanya menyebutkan adanya hak opsi membeli. Ini berarti bahwa tersewaguna
dapat memilih untuk tidak membeli dengan demikian sewaguna tersebut automatis menjadi
sewaguna operasi. Dengan kata lain, adanya hak opsi membeli tidak menjadikan sewaguna
secara substantif merupakan pembelian angsuran. Hal ini sangat berbeda dengan kriteria b FASB
yang disebut bargain purchase option yang berarti bahwa harga yang disepakati harus cukup
murah sehingga tcrsewaguna pasti akan membelinya. Harga opsi yang sangat murah inilah yang
menjadi indikasi bahwa sewaguna yang bersangkutan sebenarnya merupakan pembelian secara
kredit. Selain itu, opsi tidak harus ditawarkan pada akhir tahun tetapi pada saat atau tanggal
kapanpun (exercisable date) selama jangka sewaguna.
Kriteria b tidak menegaskan apakah “mencakup” berarti berarti jumlah total pembayaran
sewa ditambah nilai sisa harus sama atau lebih besar dari kos pemerolehan bagi pesewaguna
ditambah bunga yang diperhitungkannya. Apakah kalau jumlah rupiah pertama lebih kecil dari
jumlah rupiah kedua lalu sewaguna tersebut secara substantif tidak dapat dikatakan sebagai
pembelian angsuran? Dengan kata lain, kriteria ini secara konseptual tidak valid dan secara
intuitif tidak jelas sebagai penentu kesubstantifan sewaguna sebagai pembelian karena tidak
dibandingkan dengan alternatif bagi tersewaguna untuk membeli tunai. Penggunaan nilai
nominal bukannya nilai sekarang (present value) mengabaikan pembelian tunai sebagai alternatif
atau pembanding untuk menentukan kesubstatifan transakksi sewaguna sebagai pembelian. Hal
ini sangat berbeda dengan apa yang digunakan oleh FASB dalam kriteria d. Penalaran di balik
kriteria ini adalah bahwa kalau nilai sekarang total pembayaran lebih besar dari 90% nilai wajar
barang yang disewaguna, maka secara teoretis, praktis, atau bahkan intuitif transaksi sewaguna
tersebut jelas merupakan pembelian sehingga tersewaguna tidak dapat menyembunyikan hal
tersebut sebagai sewaguna operasi. Jadi, dapat dipandang bahwa tersewaguna seakan-akan

35
meminjam uang untuk membeli barang tersebut secara tunai. Hal ini tidak terkandung dalam
kriteria IAl.
Kriteria c sama sekali tidak mengandung makna kesubstantifan transaksi sewaguna sebagai
transaksi pembelian. Tanpa dikaitkan dengan umur ekonomik properitas yang disewaguna, angka
2 (tahun) sama sekali tidak dapat dipakai untuk menentukan apakah suatu transaksi adalah sewa-
menyewa atau pembelian. Dengan kriteria ini berarti bahwa sewa-guna yang berjangka kurang
,dari dua tahun secara substantif dan teoretis tidak dapat dikatakan sebagaj pembelian kredit.
Konsep yang melandasi penetapan dua tahun yang dapat diterima adalah semata~mata alasan
kepraktisan bukan substantif. Secara teoretis, kalau suatu perusahaan menyewaguna komputer
selama kurang dan dua tahun tetapi pada akhir jangka sewaguna komputer tersebut tidak
mempunyai nilai lagi karena keausan teknologi, perusahaan tersebut sebenarnya dapat dikatakan
membeli komputer tersebut apalagi kalau nilai sekarang pembayaran sewaguna mendekati nilai
pasar komputer pada saat penandatanganan kontrak. Kriteria c ini praktis tidak mempunyai daya
klasifikasi karena pada umumnya kontrak sewaguna berjangka lebih dari dua tahun sehingga
selalu dapat dipenuhi.
Jadi, kriteria kapitalisasi menurut PSAK No. 30 adalah lemah bahkan kosong dengan makna
kesubstantifan transaksi sebagai pembelian sehingga kalau suatu sewaguna memenuhi ketiga
kriteria kapitalisasi tersebut maka klasikaasi tersebut akan bersifat arbitrer. Sewaguna yang
memenuhi kriteria tersebut sebagai sewaguna kapital mungkin secara substantif adalah sewaguna
biasa atau sebaliknya yang diklasifikasi sewaguna biasa sebenamya sewaguna kapital.
Karena ketiga kriteria harus dipenuhi, sementara kriteria c tidak relevan, maka hanya
kritaeria 8 dan b yang potensial membedakan sewaguna. Kalau kriteria b dipenuhi tetapi kriteria
a tidak dipenuhi atau tidak termuat dalam kontrak, praktis sewaguna akan masuk sebagai sewa-
menyewa biasa. Jadi, dapat dikatakan bahwa 1A1 sangat cenderung untuk memperlakukan
sewaguna sebagai sewaguna biasa yang berarti mendorong adanya off-balance-sheet financing.
Kos Bunga
Telah disebutkan bahwa kos suatu aset adalah semua pengeluaran (menjadi unsur kos)
yang diperlukan untuk menyiapkan aset tersebut sampai siap dipakai atau dikonsumsi
sebagaimana direncanakan (intended use). Masalah yang berkajtan dengan hal ini adalah
perlakuan kos bunga sebagai unsur kos fasilitas fisis (gedung atau pabrik) yang dibangun sendiri.
Bila kesatuan usaha membangun sendiri fasilitas fisis dengan dana pinjaman dan
pembangungannya memakan waktu yang cukup lama, masalahnya adalah apakah kos bunga
selama masa pembangunan/konstruksi dapat dikapitalisasi.
FASB menyebutkan bahwa tujuan mengkapitalisasi kos bunga adalah untuk
mendapatkan angka kos pemerolehan yang paling merefleksi investasi total kesatuan usaha
dalam aset dan untuk membebankan suatu kos yang berkaitan dengan pemerolehan suatu sumber
ekonomik yang akan memberi manfaat di mesa datang untuk ditandingkan dengan pendapatan
yang dihasilkan oleh manfaat tersebut. Tujuan terakhir dimaksudkan agar terjadi penandingan
yang tepat terutama bila waktu pembangunan atau perioda pemerolehan (acquisition period)
cukup lama. Akan tetapi, kapitalisasi kos bunga hanya dilakukan apabila manfaat Informasi
melebihi kos penyediaan informasi (kos administrasi dalam mengkapitalisasi bunga)?

36
Argumen Pendukung
Beberapa argumen diajukan untuk mendukung kapitalisasi kos bunga. Argumen-argumen
tersebut adalah:
1. Dengan kesiapan pemakaian atau penggunaan (readyness for intended use) sebagai betas
kegiatan pengukuran kos aset, kos bunga jelas merupaken unsur kos aset. Hal ini sejalan
dengan argumen yang ditunjukkan FASB (SFAS No. 34, prg. 40) berikut:
…the Instorwal cost ofacquiring an asset should include all costs necessarily uwurred to
brmg it to the conduion and location necessary for its intended use, the Board concluded
that, in prmciple, the coat incurred in financing upenditum for an cue! during a reqmred
construction or development period is itself apart ofthe auet'o hutorwal acquisitwn coat.
2. Bila kesatuan usaha tidak membangun sendiri fasilitas fisis bersangkutan, penghargaan
sepakatan sebagai kos pemerolehan pada umumnya termasuk pula bunga yang hams
dibayar oleh kontraktor selama pembangunannya.
3. Pembebanan kos bunga langsung pendapatan selama masa konstruksi (perioda
pemerolehan) akan mendistorsi laba terutama kalau konstruksi didanai dari pinjaman
khusus untuk keperluan tersebut. Dengan kata lain, pembebanan Iangsung menyimpang
dari konsep penandingan yang tepat (proper matching concept).
4. Kos bunga selama masa pembangungan bukan merupakan kos pendanaan (financing
cost) karena kalau pembangunan didanai dari penerbitan ekuitas baru, kos pendanaan
secara konseptual tetap terjadi dan digeser ke pemegang saham dalam bentuk dividen
yang pembayarannya mungkin ditunda sampai pembangunan selesai.

Argumen Penolak
Beberapa argumen menolak dikapitalisasinya bunga. Penolakan tersebut didasarkan atas
argumen-argumen berikut:
1. Bunga lebih merupakan kos pendanaan daripada unsur kos aset karena perusahaan
sebenarnya dapat menghindari bunga tersebut dengan memilih alternatif pendanaan
dengan ekuitas. Hal ini dibantah dengan argumen pendukung 4 diatas.
2. Dengan konsep nilai setara tunai (cash equivalent) atau nilai sekarang aliran kas diskunan
(discounted future cash outflows) dalam mengukur kos suatu aset, kos pemerolehan suatu
fasilitas fisis seharusnya tidak dipengaruhi oleh kebijakan pemilihan cara pendanaan
pembangunannya. Jadi, secara teoretis, kos suatu fasilitas iisis yang dibangun sendiri oleh
suatu kesatuan usaha yang mendanainya dengan ekuitas seharusnya tidak akan berbeda
dengan fasilitas yang sama yang dibangun perusahaan lain yang mendanainya dengan
utang.
3. Dengan konsep kesatuan usaha, bunga lebih bermakna sebagai pembagian laba (setara
dengan dividen) daripada sebagai upaya (effort) untuk memperoleh pendapatan.
37
Mengakui bunga sebagai kos fasilitas tisis same sqja dengan penyangkalan konsep
kesatuan usaha itu dan sama saja dengan pengakuan kos hipotetis karena
mengkapitalisasi bunga (setara dividen) seperti itu sama saja dengan mengkapitalisasi
dividen yang telah dibayarkan sebagai aset.
4. Karena merupakan kos pendanaan yang terpisah dengan kos pemerolehan aset, alokasi
kos bunga ke semua aset nonmoneter hanya akan kecil pengaruhnya terhadap laba
periodik karena jumlah yang dikapitalisasi dalam suatu perioda akan dikompensasi
dengan amortisasi bunga yang dikapitalisasi pada perioda-perioda sebelumnya. Dengan
demikian, manthat informasional tambahan (incremental informational benefit) tidak
sepadan dengan kos akuntansi dan administratif tambahan sehingga tidak memenuhi
kriteria manfaat kos dalarn karakteristik kuah'tatif informasi.
Alternatif Perlakuan
Berbagai argumen yang mendukung dan menolak di atas akhirnya menghasilkan berbagai
kemungkinan perlakuan kos bunga selama masa pembangunan. Beberapa alternatif perlakuan
adalah:
1) Bunga tidak dikapitalisasi dan diperlakukan sebagai biaya perioda.
2) Bunga dikapitalisasi dan dimasukkan sebagai bagian dari kos fasilitas fisis yang dibangun
sendiri. Jumlah yang dikapitalisasi dapat sebesar:
a. Jumlah rupiah seluruh bunga yang sesungguhnya dibayar atau terjadi untuk dana
yang khusus dipinjam untuk pembangunan.
b. Jumlah rupiah semua bunga yang sesungguhnya dibayar atau terjadi untuk semua
dana pinjaman yang ada. Ini dilakukan apabila tidak ada dana khusus yang disediakan
untuk pembangunan aset bersangkutan.
c. Bunga dikapitalisasi sebesar jumlah rupiah bunga implisit dana yang tertanam dalam
perusahaan tanpa memperhatikan sumbernya.
3) Bunga dikapitalisasi tetapi tidak dimasukkan sebagai elemen kos fasilitas fisis yang
dibangun sendiri. Besarnya bunga yang dikapitalisasi dapat didasarkan pada perhitungan
seperti alternatif 2 di atas.
Perlakuan (1) jelas merupakan konsekuensi dari diterimanya argumen pihak yang menolak
kapitalisasi sedangkan perlakuan (2) merupakan konsekuensi logjs diterimanya argumen pihak
yang mendukung kapitalisasi. Perlakuan (3) merupakan kompromi dari kedua argumen yang
saling bertentangan. Pengusul perlakuan (3) memandang bahwa kos bunga memang merupakan
kos pendanaan tetapi tidak meng'inginkan adanya distorsi laba yang dapat menimbulkan kesan
keliru tentang prestasi perusahaan pada masa konstruksi khususnya kalau pendapatan pada masa
itu belum cukup besar untuk menutup bunga. Oleh karena itu, kos bunga selama masa konstruksi
perlu dikapitalisasi dan kemudian diamortisasi selama beberapa perioda yang layak. Amortisasi
ini independen terhadap (tidak hams sejalan dengan) umur ekonomik dan metoda depresiasi aset
bersangkutan.

38
Jumlah Rupiah Kapitalisasian
Tiap alternative jumlah rupiah bunga yang hams dikapitaliaasi didasarkan atas argumen
atau dasar pikiran yang dibahas di bawah ini.
Alternatif (2a) didasarkan pada argumen bahwa bunga merupakan elemen kos konstruksi tetapi
hanya bunga yang memang benar-benar dibayar untuk dana khusus terscbut yang menuniukkan
unsur kos pemerolehan aset. Hal mi cukup logis karena memang mudah untuk mengidentifikasi
dana yang benar-benar digunakan untuk mcmbangun konstruksi fasilitas fisis bersangkutan.
Masalah dapat timbul kalau dana pinjaman memang tidak secara khusus dipisahkan untuk
keperluan pembangunan tersebut. Masalah ini timbul karena seluruh dana yang tertanam dalam
perusahaan pada dasarnya lebur menjadi satu dan tidak mungkin dilakukan identifikasi untuk
menentukan dana mana yang digunakan dalam konstruksi dan mana yang tidak, khususnya bagi
perusahaan yang sudah beroperasi cukup lama. Untuk perusahaan yang baru berdiri dan masih
dalam masa persiapan, identifikasi tersebut masih dapat dilakukan.
Alternatif (2b) berusaha untuk mengatasi kesulitan dalam usulan pertama. Dasar
pikirannya adalah bahwa semua utang dianggap digunakan untuk investasi dalam pembangunan
sarana fisis. Kos bunga di sini dianggap sebagai kos kesempatan (opportunity cost) yaitu suatu
pengorbanan (bunga) yang sebenarnya dapat dihindari seandainya kesatuan usaha tidak
mengadakan pinjaman atau bunga yang tidak harus dibayar seandainya dana untuk pembangunan
aset digunakan untuk melunasi utang. Argumen ini sering disanggah karena dari sudut pemegang
saham, dana yang berasal dari ekuitas yang tertanam dalam perusahaan pun sebenarnya
mengandung kos kesempatan sehingga perlu Juga diperhitungkan sebagai kos seperti bunga.
Alternatif (2c) mendasarkan diri pada asumsi bahwa bunga seluruh dana yang tertanam
dalam perusahaan merupakan kos ekonomik. Kos aset di sini diartikan sebagai “nilai” barang dan
jasa yang dikorbankan dalam rangka memperoleh aset tersebut. Bunga dianggap sebagai nilai
jasa uang yang terikat dalam suatu aset sebelum tia dioperasikan. Karena sumber ekonomik (kas)
tidak digunakan untuk kegiatan operasi berjalan tetapi untuk operasi masa mendatang, cukup
layaklah untuk memperhitungkan bunga implisit yang sebenarnya dapat diperoleh kalau
perusahaan tidak membangun suatu fasilitas fisis yang memakan waktu lama. Bunga implisit di
sini diukur atas dasar laba yang dapat diperoleh seandainya kas digunakan untuk kegiatan
operasi bukan untuk pembangungan. Dasar pikiran ini mirip dengan usulan kedua di atas dalam
hal pengakuan bunga implisit atau hipotetis. Hanya dalam hal ini, bunga dianggap sebagai
pendapatan (laba) yang hilang karena dana digunakan untuk pembangunan sarana flsis.
Standar Yang Mengatur
Adanya berbagai alternatif perlakuan kos bunga menuntut adanya standar altuntansi yang
menjadi acuan praktik agar pembandingan statemen keuangan menjadi mudah dilakukan dan
bermakna. Secara konseptual memang layaklah kalau kos bunga selama konstruksi dikapitalisasi
tetapi perlu ada syarat-syarat yang harus dipenuhi yang berkaitan dengan jenis aset yang dapat
dilekati kos bunga, besarnya kos bunga yang dikapitalisasi, dan perioda kapitalisasi. Kedua
standar ini pada dasarnya membolehkan adanya kapitalisasi bunga asalkan memenuhi
persyaratan-persyaratan tertentu yang diatur dalam stander tersebut. Standar yang relevan dengan
hal ini di Amerika adalah SFAS No. 34.

39
Aset Memenuhi Syarat
Secar'a konseptual, kos bunga memang dapat dikapitalisasi untuk semua aset yang perioda
pemerolehannya cukup lama. Akan tetapi, tidak dalam setiap pemeroleh. an aset dilakukan
kapitalisasi bunga yang terlibat. Salah satu faktor yang hams dipertimbangkan adalah manfaat
yang dapat diperoleh dengan adanya kapitalisaSi tersebut dibandingkan dengan mengurangkan
langsung kos bunga sebagai biaya perioda terjadinya. Dalam keadaan tertentu kapitalisasi bunga
tidak perlu dilakukan. Standar akuntansi menentukan aset yang memenuhi syarat (cukup disebut
aset memenuhi) untuk dilekati kos bunga (qualifying assets) yang dalam PSAK No. 26 disebut
aset tertentu. FASB (SFAS No. 34, prg. 9) menetapkan bahwa ka. pitalisasi bunga hendaknya
dilakukan hanya untuk aset yang memenuhi syarat:
a. Aset yang dibangun atau diproduksi untuk digunakan sendiri oleh perusahaan (termasuk
aset yang dibangun atau diproduksi oleh pihak lain atas pesanan perusahaan untuk
digunakan sendiri oleh perusahaan dan untuk pesanan/kontrak tersebut perusahaan
melakukan pembayaran uang muka atau pembayaran bertahap atas dasar kemajuan
pekerjaan pembangunan aset bersangkutan).
b. Aset dibangun atau diproduksi dengan tujuan untuk dijual sebagai suatu unit atau projek
yang berdiri sendiri terpisah dari projek atau kegiatan operasi lainnya (misalnya kapal,
kawasan industri, estat real, jembatan, atau semacamnya).
c. Investasi jangka panjang (ekuitas, pinjaman, dan penanaman kas) yang diperlakukan
dengan metoda ekuitas sementara terinvestasi (inuestee) Sedang melaksanakan kegiatan
pembangunan fasilitas flsis asalkan kegiatan tersebut menggunakan dana investasi itu
untuk memperoleh fasilitas fisis tersebut.
Sediaan barang yang diproduksi secara rutin atau diproduksi secara masa dan berulang-ulang
tiap perioda tidak memenuhi syarat untuk menjadi objek kapitalisasi bunga. Hal ini didasarkan
pada gagasan bahwa manfaat informasional tambahan yang diperoleh dari kapitalisasi tersebut
tidak sepadan dengan tambahan kos akuntansi dan administrasinya. Karakteristik lain suatu aset
yang tidak dapat menjadi objek kapitalisasi adalah:
a. Aset yang sudah digunakan atau yang sudah siap digunakan sesuai dengan tujuan
penggunaan dalam operasi menghasilkan pendapatan.
b. Aset yang belum digunakan dalam kegiatan menghasilkan pendapatan perusahaan dan
juga tidak mengalami penyelesaian/perbaikan atau kegiatan lain yang diperlukan untuk
menjadikan aset tersebut siap digunakan dalam operasi. Jadi, kalau kegiatan konstruksi
berhenti, bunga selama berhentinya kegiatan tidak dapat dikapitalisasi.
c. Aset yang tidak dimasukkan dalam neraca konsolidasian perusahaan induk dan
perusahan-perusahaan anaknya.
d. Investasi yang diperlakukan dengan metoda ekuitas setelah kegiatan operasi utama yang
direncanakan oleh terinvestasi dimulai.
e. Investasi dalam perusahaan regulasian (regulated investees) yang mengkapitalisasi baik
kos utang maupun ekuitas (cost of debt and equity capital).
40
f. Aset yang diperoleh dengan dana hadiah atau hibah yang dibatasi penggunaannya oleh
penghadiah atau penghibah semata-mata untuk pemerolehan aset tersebut.
Besarnya Kapitalisasi Bunga
Besarnya bunga yang harus dikapitalisasi adalah bagian dari kos bunga yang terjadi
selama perioda-perioda pemerolehan aset yang secara teoretis dapat dihindari seandainya
kesatuan usaha tidak membangun fasilitas fisis yang bersangkutan. Dengan kata lain, bunga yang
dikapitalisasi adalah tambahan bunga yang diperkirakan terjadi selama suatu perioda akibat
adanya konstruksi. Jadi, kos bunga yang dikapitalisasi adalah kos kesempatan sebagaimana
dijadikan argumen bagi alternatif (2b) yang dibahas sebelumnya.
Secara teknis, jumlah rupiah bunga yang dikapitalisasi dalam suatu perioda akuntansi
selama perioda pemerolehan adalah tingkat bunga atau tarif kapitalisasi (capitalization rate)
dikalikan dengan rata-rata pengeluaran dana untuk konstruksi selama perioda akuntansi tersebut.
Jumlah rupiah bunga total yang dikapitalisasi tentu saja tidak boleh melebihi jumlah rupiah
bunga total yang terjadi dalam perioda tersebut.
Tingkat bunga pinjaman yang khusus digunakan untuk pembangunan aset dapat
digunakan sebagai tarif kapitalisasi kalau dana rata-rata yang tertanam dalam konstruksi tidak
melebihi dana pinjaman khusus tersebut. Kalau dana ratarata yang tertanam dalam konstruksi
melebihi jumlah dana pinjaman khusus untuk konstruksi, tarif kapitalisasi untuk kelebihan dana
yang tertanam tersebut adalah rata-rata berbobot (weighted average) tingkat bunga sumber dana
lainnya.
Perioda Kapitalisasi
Kapitalisasi kos bunga diperhitungkan untuk perioda pemerolehan (acquisition period)
sehingga perioda tersebut menjadi perioda kapitalisasi. Perioda kapitalisasi dimulai ketika tiga
kondisi berikut dipenuhi:
a. Pengeluaran untuk pembangunan aset telah dilakukan atau terjadi.
b. Kegiatan-kegiatan yang diperlukan untuk menyelesaikan pembangunan sampai siap
dipakai masih berlangsung.
c. Kos bunga telah terhirnpun (accrued) atau terjadi bersamaan dengan berjalannya
pembangunan aset.
Kapitalisasi bunga dapat terus dilakukan untuk tiap perioda akuntansi selama ketiga kondisi
di atas dipenuhi. Perioda kapitalisasi akan berakhir apabila konstruksi bersangkutan secara
substansial telah selesai dan siap dioperasikan, Karena kos bunga menjadi bagian integral dari
aset, pembebanan bunga yang dikapitalisasi terhadap pendapatan (melalui amortisasi) harus
sejalan dengan pro. gram depresiasi aset bersangkutan.
2.4 Pengungkapan
Bila sebagian atau seluruh bunga dikapitalisasi tentu saja akan ada sebagian informasi
bunga yang hilang. Oleh karena itu, perlu ada pengungkapan (disclosure) tentang hal ini
41
sehingga statemen keuangan tidak menyesatkan. Standar akum tansi kapitalisasi bunga juga
menentukan informasi tambahan yang harus diungkapkan dalam laporan keuangan. Agar
statemen keuangan tetap informative hal-hal berikut ini hams diungkapkan sebagai penjelasan
statemen keuangan:
a. Bila tidak ada kos bunga yang dikapitalisasi, total bunga yang terjadi selama perioda dan
dibebankan sebagai biaya perioda tersebut.
b. Bila sebagian kos bunga dikapitalisasi, bunga total yang terjadi dan bagian yang
dikapitalisasi.
2.5 Penyajian
Prinsip akuntansi berterima umum, terutama standar akuntansi, menetapkan penyajian
dan pengungkapan tiap pos-pos aset. Walaupun aset didefinisi secara umum sebagai manfaat
ekonomik masa datang yang dikuasai kesatuan usaha den yang benar-benar timbul dari transaksi
yang sah, tiap pos aset didefinisi lebih lanjut atau spesifik sesuai dengan sifat pos tersebut.
Pengungkapan dan penyajian pos-pos aset harus dipelajari dari standar yang mengatur tiap pos.
Secara umum prinsip akuntansi berterima umum memberi pedoman penyajian dan
pengungkapan aset sebagai berikut:
a. Aset disajikan di sisi debit atau kiri dalam neraca berformat akun atau di bagian atas
dalam neraca berformat laporan.
b. Aset diklasifikasi menjadi aset lancar dan tetap.
c. Aset diurutkan penyajiannya atas dasar likuiditas atau kelancarannya, yang paling lancar
dicantumkan pada urutan pertama.
d. Kebijakan akuntansi yang berkaitan dengan pos-pos tertentu harus diungkapkan
(misalnya metoda depresiasi aset tetap dan dasar penilaian sediaan barang).

2.6 Aset Pada PSAK (Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan) ada beberapa yaitu:
A. ASET TETAP
1. Definisi
Berikut adalah pengertian istilah yang digunakan dalam pernyataan ini:
Aset tetap adalah aset berwujud yang:
a) Dimiliki untuk digunakan dalam produksi atau penyediaan barang atau jasa, untuk
direntalkan kepada pihak lain, atau untuk tujuan administratif dan
b) Diperkirakan untuk digunakan selama lebih dari satu periode.

2. Pengakuan
Biaya perolehan aset tetap diakui sebagai aset jika dari hanya jika:
a) Kemungkinan besar entitas akan memperoleh manfaat ekonomik masa depan dari
aset tersebut; dan
b) Biaya perolehannya dapat diukur secara andal.
Suku cadang, peralatan siap pakai dan peralatan pemeliharaan diakui sesuai dengan
Pernyataan ini ketika memenuhi defmisi dari aset tetap. Namun, jika tidak maka suku
cadang peralatan siap pakai dan peralatan pemeliharaan diklasifikasikan sebagai
persediaan.

42
Pernyataan ini tidak mengatur unit ukuran dalam pengakuan aset tetap, yaitu apa yang
membentuk aset tetap. Oleh karena itu, disyaratkan pertimbangan untuk menerapkan
kriteria pengakuan yang sesuai dengan keadaan spesifik entitas. Hal yang mungkin sesuai
untuk menggabungkan unit-unit yang secara individual tidak signifikan, seperti cetakan
dan perkakas, kemudian menerapkan kriteria pengakuan terhadap nilai gabungan
tersebut.
Entitas mengevaluasi berdasarkan prinsip pengakuan ini terhadap seluruh biaya
perolehan aset tetap pada saat terjadinya. Biaya tersebut termasuk biaya awal untuk
memperoleh atau mengkonstruksi aset tetap dan biaya selanjutnya yang timbul untuk
menambah, mengganti bagian, atau memperbaikinya.

3. Pengukuran Saat Pengakuan


Aset tetap yang memenuhi kualifikasi pengakuan sebagai aset diukur pada biaya
perolehan.

4. Pengukuran Setelah Pengakuan


Entitas memilih model biaya atau model revaluasi sebagai kebijakan akuntansinya
dan menerapkan kebijakan tersebut terhadap seluruh aset tetap dalam kelas yang sama.
Dimana Model Biaya, setelah pengakuan sebagai aset, aset tetap dicatat pada biaya
perolehan dikurangi akumulasi penyusutan dan akumulasi rugi penurunan nilai.
Sedangkan Model Revaluasi, setelah pengakuan sebagai aset, aset tetap yang nilai
wajarnya dapat diukur: secara andal dicatat pada jumlah revaluasian, yaitu nilai wajar
pada tanggal revaluasl dikurangi akumulasi penyusutan dan akumulasi rugi penurunan
nilai setelah tangga revaluasi. Revaluasi dilakukan dengan keteraturan yang cukup
reguler untuk memastikan bahwa jumlah tercatat tidak berbeda secara material dengan
jumlah yang ditentakan dengan menggunakan nilai wajar pada akhir periode pelaporan.

5. Penghentian Pengakuan
Jumlah tercatat aset tetap diberhentikan pengakuannya:
a. Pada saat pelepasan; atau
b. Ketika tidak terdapat lagi manfaat ekonomik masa depan yang diharapkan dari
penggunaan atau pelepasannya.
Keuntungan atau kerugian yang timbul dari penghentian pengakuan asset tetap
dimasukkan dalam laba rugi ketika aset tetap tersebut dihentikan pengakuannya (kecuali
PSAK 30: Sewa mensyaratkan perlakuan yang bebrbeda dalam transaksi jual sewa balik).
Keuntungan tidak boleh diklasifikasikan sebagai pendapatan.
Akan tetapi entitas yang kegiatan usaha sehari-hari adalah menjual asset yang
sebelumnya direntalkan kepada pihak lain, maka entitas memindahkan asset tetap
tersebut menjadi persediaan sesuai nilai tercatat ketika asset tidak lagi direntalkan dan
menjadi asset dimilki untuk dijual. Hasil dari penjualan asset diakui sebagai pendapatan
sesuai dengan PSAK 23: pendapatan. PSAK 58: Aset tidak lancar yang Dikuasai untuk
dijual dan operasi yang dihentkan tidak diterapkan ketika asset dimilki untuk dijual
dalam kegiatan usaha sehari-haridialihkan ke persediaan.
Pelepasan asset tetap dapat dilakukan dengan berbagai cara (contohnya: dijual,
disewakan dalam sewa pembiayaan, atau disumbangkan). Dalam menentukkan tanggal
pelepasan asset, entitas menerapkan kriteria dalam PSAK 23: pendapatn untuk mengakui
43
pendapatan dari penjualan barang. PSAK 30: sewa diterapkan untuk pendapatan melalui
jual dan sewa balik.
Jika berdasarkan prinsip pengakuan diparagraf 07, mengakui biaya penggantian
sebagian asset tetap dalam jumlah tercatat asset tetap tersebut, maka entitas
menghentikan pengakuan jumlah tercatat dan bagian yang diganti tanpa memperhatikan
apakah bagian yang diganti telah disusutkan secara terpisah. Jika hal ini tidak praktis
untuk menentukkan jumlah tercatat dari bagian yang diganti, maka entitas dapat
menggunakkan biaya penggantian tersebut sebagai indikasi biaya perolehan dari bagian
yang diganti pada saat diperoleh atau dikonstruksi.
Keuntungan atau kerugian yang timbul dari penghentian pengakuan asset tetap
ditentukan sebesar selisih antara jumlah hasil pelepasan neto, jika ada, dan jumlah
tercatatnya.
Imbalan yang dterima atau pelepasan asset tetap dakui awalnya pada nilai wajarnya.
Jika pembayaran ditangguhkan maka imbalan yang akan diterima diakui awalnya pada
nilai yang setara dengan harga jual tunai. Perbedaan antara jumlah nominal imbalan dan
nilai yang setara dengan harga jual tunai diakui sebagai pendapatan bunga sesuai dengan
PSAK 23: Pendapatan yang mencerminkan imbalan efektif atas piutang tersebut.

6. Pengungkapan
Laporan keuangan mengungkapkan untuk setiap kelas asset tetap:
a) Dasar pengukuran yang digunakan dalam menentukkan jumlah tercatat bruto;
b) Metode penyusutan yang digunakan;
c) Unsur manfaat atau tarif penyusutan yang digunakan;
d) Jumlah tercatat bruto dan akumulasi penyusutan (digabungkan dengan akumulasi
rugi penurunan nilai) pada awal dan akhir periode; dan
e) Rekonsiliasi jumlah tercatat pada awal dan akhir periode yang menunjukkan:
(i) Penambahan;
(ii) Aset yang diklasifikasikan sebagai dimiliki untuk dijual sesuai dengan PSAK 58:
Aset Tidak Lancar yang Dikuasai untuk Dijual dan Operasi yang Dihentikan dan
Pelepasan lain;
(iii) Perolehan melalui kombinasi bisnis;
(iv)Peningkatan atau penurunan akibat dari revaluasi sesuai dengan paragraf 31, 39
dan 40 serta dari rugi penurunan nilai yang diakui atau dibalik dalam penghasilan
koprehensif lain sesuai dengan PSAK 48: Penurunan nilai asset;
(v) Rugi penurunan nilai yang diakui dalam laba rugi sesuai dengan PSAK 48;
(vi)Pembalikan rugi penurunan nilai dalam laba rugi sesuai dengan PSAK 48;
(vii) Penyusutan;
(viii) Selisih kurs neto yang timbul dalam penjabaran laporan keuangan dari mata
uang fungsional menjadi mata uang pelaporan yang berbeda, termasuk
penjabaran dari kegiatan usaha luar negeri menjadi mata uang pelaporan dari
entitas pelapor; dan
(ix) Perubahan lain.

B. ASET TAK BERWUJUD


1. Definisi

44
Entitas seringkali mengeluarkan sumber daya maupun menimbulkan liabilitas
dalam perolehan, pengembangan, pemeliharaan atau peningkatan sumber daya
takberwujud, seperti llmu pengetahuan atau teknologi, desain dan implementasi sistem
atau proses baru, lisensi, hak kekayaan intelektual, pengetahuan mengenai pasar dan
merek dagang (termasuk merek produk dan judul publisitas). Contoh umum lainnya:
piranti lunak komputer, paten, hak cipta, fllm, daftar pelanggan, hak pelayanan jaminan,
izin penangkapan ikan, kuota impor, waralaba, hubungan dengan pemasok atau
pelanggan, loyalitas pelanggan, pangsa pasar, dan hak pemasaran.
Tidak seluruh unsur yang dideskripsikan di atas memenuhi definisi aset
takberwujud, yaitu keteridentifikasian, pengendalian atas sumber daya, dan adanya
manfaat ekonomik masa depan. Jika suatu unsur dalam ruang lingkup Pernyataan ini
tidak memenuhi definisi aset takberwujud, maka pengeluaran untuk memperoleh atau
menciptakan asset tersebut (secara internal) diakui sebagai beban pada saat terjadinya.
Akan letapi, jika unsur tersebut diperoleh dalam suatu kombinasi bisnis, maka unsur
tersebut diperlakukan sebagai bagian dari goodwill pada tanggal akuisisi (lihat paragraf
68).
2. Pengakuan dan Pengukuran
Pengakuan suatu pos sebagai aset takberwujud mensyaratkan entitas untuk
menunjukan bahwa pos tersebut memenuhi: (a) definisi aset takberwujud (lihat paragraf
08-17); dan (b) kriteria pengakuan (lihat paragraf 21-23). Persyaratan ini diterapkan pada
biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh atau mengembangkan secara internal aset
takberwujud dan biaya yang terjadi selanjutnya untuk menambah, mengganti sebagian,
atau memperbaiki aset tersebut.
Paragraf 25-32 berhubungan dengan penerapan kriteria pengakuan untuk aset
takberwujud yang diperoleh secara terpisah dan paragraf 33-43 pada aset takberwujud
yang diperoleh dalam kombinasi bisnis. Paragraf 44 berhubungan dengan pengukuran
awal aset takberwujud yang diperoleh dari hibah pemerintah, paragraf 45-47 mengenai
pertukaran aset takberwujud, dan paragraf 48-50 mengenai perlakuan goodwill yang
dihasilkan secara internal. Paragraf 51-67 berhubungan dengan pengakuan dan
pengukuran awal aset takberwujud yang dihasilkan secara internal.
Sifat aset takberwujud adalah sedemikian sehingga, dalam banyak kasus, tidak
ada tambahan atau penggantian bagian dari aset takberwujud tersebut. Sejalan dengan hal
tersebut, kebanyakan pengeluaran selanjutnya digunakan untuk menjaga manfaat
ekonomik masa depan yang diperkirakan dari aset takberwujud yang ada, sehingga
pengeluaran tersebut tidak dapat memenuhi definisi aset takberwujud dan kriteria
pengakuan dalam Pernyataan ini. Sebagai tambahan, seringkali sulit untuk mengaitkan
pengeluaran selanjutnya secara langsung terhadap aset takberwujud tertentu namun lebih
terkait dengan bisnis secara keseluruhan. Oleh karena itu, jarang sekali terjadi
pengeluaran selanjutnya (pengeluaran yang diakui setelah pengakuan awal aset
takberwujud yang diperoleh atau setelah penyelesaian aset takberwujud yang dihasilkan
secara lnternal) diakui dalam jumlah tercatat suatu aset. Konsisten dengan paragraf 63,
pengeluaran se1anjutnya atas merek, kepala surat kabar, judul publisitas, daftar
pelanggam dan hal-hal lain yang mirip substansinya (baik diperoleh secara eksternal
maupun dihasilkan secara internal) selalu dlakui dalam laba rugi pada saat lerjadinya. Hal

45
ini disebabkan pengeluaran tersebut tidak dapat dipisahhkan dari pengeluaran untuk
mengembangknn bisnis secara keseluruhan, Aset takberwujud diakui jika, dan hanya jika:
1) Kemungkinan besar entitas akan memperoleh manfaat ekonomik masa depan dari
aset tersebut; dan
2) Biaya perolehan aset tersebut dapat diukur secara andal.
Dalam menilai kemungkinan adanya manfaat ekonomik masa depan, entitas
menggunakan asumsi rasional dan dapat dipertanggungiawabkan yang merepersentasikan
estimasi terbaik manajemen atas kondisi ekonomik yang berlaku sepanjang umur manfaat
aset tersebut.
Dalam menilai tingkat kepastian adanya manfaat ekonomik masa depan yang timbul
dari penggunaan aset takberwujud, entitas mempertimbangkan bukti yang tersedia pada
saat pengakuan awal aset takberwujud dengan memberikan penekanan yang lebih pada
bukti eksternal.
Aset takberwujud pada awalnya diakui sebesar biaya perolehan.

3. Pengakuan Beban
Pengeluaran atas aset takberwujud diakui sebagai beban pada saat terjadinya,
kecuali:
a) Pengeluaran itu merupakan bagian dari biaya perolehan aset takberwujud yang
memenuhi kriteria pengakuan (lihat paragraf 18-67); atau
b) sesuatu yang takberwujud tersebut diperoleh melalui suatu kombinasi bisnis dan tidak
dapat diakui sebagai aset takberwujud. It'ka demikian kususnya, maka pengeluaran
tersebut merupakan bagian dari goodwill pada tanggal akuisisi (lihat PSAK 22:
Kombinasi Bisnis).
Dalam beberapa kasus, pengeluaran dilakukan untuk memperoleh manfaat ekonomik
masa depan bagi entitas, tetapi tidak ada aset takberwujud ataupun aset lain yang
diperoleh atau dihasilkan yang dapat diakui. Dalam hal pembelian barang, pengeluaran
tersebut diakui sebagai beban pada saat entitas mempunyai hak atas barang tersebut.
Dalam hal pembelian jasa. pengeluaran tersebut diakui sebagai beban ketika entitas
menerima jasa tersebut. Sebagai contoh, pengeluaran untuk kegiatan penelitian selalu
diakui sebagai beban pada saat terjadinya (lihat paragraf 54), kecuali ketika itu
merupakan bagian dari kombinasi bisnis. Contoh lain dari pengeluaran yang diakui
sebagai beban saat terjadinya adalah:
a) Pengeluaran untuk kegiatan perintisan (yaitu biaya perintisan), kecuali jika
pengeluaran ini termasuk dalam biaya perolehan aset tetap sebagaimana diatur dalam
PSAK 16: Aset Tetap. Biaya perintisan dapat mencakup biaya pendlrian, seperti
biaya hukum dan biaya kesekretariatan vang dikeluarkan dalam rangka mendirikan
badan hukum, pengeluaran dalam rangka membuka usaha atau fasilitas baru (yaitu
biaya prapembukaan) atau pengeluaran untuk memulai operasi baru atau
meluncurkan produk atau proses baun (yaitu biaya praoperasi).
b) Pengeluaran untuk kegiatan pelatihan.
c) Pengeluaran untuk kegiatan iklan dan promosi (termasuk katalog pesan antar).
d) Pengeluaran dalarn rangka relokasi dan reorganisasi sebagian atau seluruh entitas.
Entltas mempunyai hak akses kepada suatu barang ketika entitas memiliki barang
tersebut. Serupa dengan hal tersebut, entitas mempunyai hak akses kepada suatu barang
ketika barang tersebut dibuat oleh pemasok sesuai dengan syarat dalam kontrak dan
46
entitas dapat meminta pengiriman barang atas pembayaran yang sudah diberikan. Jasa
diterima ketika jasa tersebut dilaksanakan oleh pemasok sesuai dengan kontrak dan
bukan ketika jasa tersebut digunakan entitas untuk menunaikan jasa lain, sebagai contoh,
untuk menunaikan jasa iklan ke pelanggan.
Paragraf 68 tidak menghalangi entitas untuk mengakui pembayaran di muka sebagai
aset, yaitu ketika pembayaran atas barang dilakukan sebelum entitas memperoleh akses
atas barang tersebut. Serupa dengan hal tersebut, paragraf 68 juga tidak menghalangi
entitas untuk mengakui pembayaran di muka sebagai aset ketika pembayaran dilakukan
sebelum entitas menerima jasa tersebut.
Beban Masa Lalu Tidak Boleh Diakui sebagai Aset
Pengeluaran atas pos aset takberwujud yang awalnya diakui oleh entitas sebagai beban
tidak diakui sebagai bagian dari biaya perolehan aset takberwujud di kemudian hari.

4. Pengukuran Setelah Pengakuan


Entitas memilih model blaya di paragraf 74 atau model revaluasi di paragraf 75 sebagai
kebijakan akuntansinya. Jika aset takberwujud dicatat dengan menggunakan model
revaluasi, maka seluruh aset lain dalam kelompok tersebut diperlakukan dengan
menggunakan model yang sama, kecuali tidak terdapat pasar aktif untuk aset tersebut.
Kelompok aset takberwujud adalah pengelompokan aset dengan sifat dan penggunaan
yang serupa dalam kegiatan operasi entitas. Aset dalam sekelompok aset takberwujud
direvaluasi pada waktu yang bersamaan untuk menghindari revaluasi aset secara selektif
dan pceaporan jumlah dalam laporan keuangan yang merepresentasikan perpaduan biaya
perolehan dan nilai aset pada tanggal yang berbeda.

5. Pengungkapan
Entitas mengungkapkan hal berikut untuk serlap kelas aset takberwujud, dipisahkan
antara aset takberwujud yang dihasilkan secara internal dan aset takberwujud lain:
a) Umur manfaat tidak terbatas atau terbatas dan, jika umur manfaat terbatas, umur
manfaat atau tarif amortisasi yang digunakan;
b) Metode amortisasi yang digunakan untuk aset takberwujud dengan umur manfaat
terbatas;
c) Jumlah tercatat bruto dun akumulasi amortisasi (secara gabungan dengan akumulasi
rugi penurunan nilai) pada awal dan akhir periode;
d) Pos dalam laparan laba rugi dan penghasilan komprehensif lain yang mana amortisasi
aset takberwujud termasuk di dalamnya;
e) Rekonsiliasi atas jumlah tercatat pada awal dan akhir periode yang menunjukkan:
(i) Penambahan, yang secara terpisah mengindikasikan aset takberwujud dari
pengembangan internal, diperoleh secara terpisuh, dan diperoleh melalui
kombinasi bisnis;
(ii) Aset yang dikelompokkan sebagai aset yang dimiliki untuk dijual atau termasuk
dalam kelompok aset lepasan yang dikelompokkan sebagai dimiliki untuk dijual
sesuai dengan PSAK 58: Aset Tidak Lancar yang Dikuasai untuk Dijual dan
Operasi yang Dihentikan dan pelepasan lain;
(iii) Peningkatan atau penurunan selama periode yang berasal dari revaluasi sesuai
dengan paragraf 75, 85, dun 86 dan dari pengakuan rugi penurunan nilai atau

47
pembalikan dalam penghasilan komprehenstf lain sesuai dengan PSAK 48:
Penurunan Nilai Aset (jika add);
(iv) Rugi penurunan nilai yang diakui dalam rugi laba selama periode sesuai dengan
PSAK 48 (jika ada);
(v) Rugi penurunan nilai yang dibalik dalam rugi Iaba selama periode sesuai dengan
PSAK 48 (jika ada);
(vi) Setiap amortisasi yang diakui selama periode;
(vii) Selisih kurs neto yang timbul duri penjabaran laporan keuangan ke mata uang
penyajian, dan penjabaran operasi luar negeri ke mata uang penyajian yang
digunakan entitas; dan
(viii) Perubahaan lain pada jumlah tercatat aset tersebut selama periode.
Suatu kelas aset takberwujud adalah pengelompokan aset yang memiliki sifat dan
digunakan yang serupa dalam kegiatan operasi entitas. Contoh dari kelas terpisah
mencakup:
a) Nama merek;
b) Kepala surat kabar dun judul publisitas;
c) Piranti lunak komputer;
d) Lisensi dan waralabi;
e) Hak cipta, paten dan hak kekayaan intelektual industri lain, dan hak operasional
dan penyediaan Jasa lain;
f) Resep, formula, model, desain, dan purwarupa, dan
g) Aset takberwujud dalam pengembangan.
Kelas-kelas yang disebut di atas dipisah (atau digabung) menjadi kelas lebih kecil
(atau lebih besar) jika hal tersebut menghasilkan informasi yang lebih relevan bagi
pengguna laporan keuangan.
Entiitas mengungkapkan informasi mengenai penurunan nilai aset takberwujud
sesuai dengan PSAK 48: Penurunan Nilai Aset sebagai tambahan atas informasi yang
diharuskan oleh paragraf 118(e) (iii)-(v).
PSAK 25: Kebijakan Akuntansi, Perubahan Estimasi Akuntansi, dan Kesalahan
memyaratkan entitas untuk mengungkapkan sifat dan jumlah perubahan dalam
estimasi akuntansi yang memiliki pcngaruh material pada periode saat ini atau
diperkirakan memilih pengaruh material pada periode selanjutnya. Pengungkapan
tersebut mungkin timbul akibat dari perubahan dalam:
a) Penilaian umur manfaat aset takberwujud;
b) Metode amortisasi; atau
c) Nilai residu.
Entitas juga mengungkapkan:
a) Untuk aset takberwujud yang dinilai dengan umur manfaat tidak terbatas, jumlah
tercatat aset dan alasan yang mendukung penilaian umur manfaat tidak terbatas
tersebut. Dalam memberikan alasan, entitas mendeskripsikan faktor signifikan
dalam menentukan aset yang memiliki umur manfaat tidak terbatas.
b) Deskripsi, jumlah tercatat, dun sisa periode amortisasi dari setiap aset
takberwujud yang material terhadap laporan keuangan entitas.
c) Untuk aset takberwujud yang diperoleh melalui hibah pemerintah dan awalnya
diakui pada nilai wajar (lihar paragraf 44):
(i) Nilai wajar pada pengakuan awal atas aset tersebut;
48
(ii) Jumlah tercatatnya; dan
(iii) Setelah pengakuan awal aset tersebut diukur dengan model biaya atau model
revaluasi.
d) Keberadaan dan jumlah tercatat aset takberwujud yang kepemilikannya dibatasi
dan jumlah tercatat aset takberwujud yang menjadi jaminan untuk liabilitas
e) Nilai komitmen kontraktual untuk akuisisi aset takberwujud.
Ketika entitas mendeskripsikan faktor-faktor yang mempunyai peran signifikan
dalam menentukan umur manfaat suatu aset takberwujud sebagai tidak terbatas,
entitas mempertimbangkan daftar faktor diparagraf 90.
Aset Takberwujud yang Menggunakan Model Revaluasi Setelah Pengakuan
Jika aset takberwujud dicatat pada jumluh revaluasian, maka entitas mengungkapkan
haI-hal herikut:
a) Beradasarkan kelas aset takberwujud:
(i) Tanggal efektif revaluasi;
(ii) Jumlah tercatat aset takberwujud yang direvaluasi; dan
(iii) Jumlah tercatat yang akan diakui jika aset takberwujud diukur dengan model
biaya setelah pengakuan awal sesuai dengun paragraf 74;
b) Jumlah surplus revaluasi aset takberwujud pada awal dan akhir periode,
mengindikasikan perubahan selama periode dan pembatasan apa pun dalam
pendistribusian saldo (surplus) kepada pemegang saham; dan
c) Dikosongkan.
Mungkin diperlukan untuk menggabungkan kelas aset yang direvaluasi ke dalam
kelas yang lebih besar untuk keperluan pengungkapan. Akan tetapi, kelompok aset
tidak digabungkan Jika penggabungannya mcnghasilkan kombinasi suatu kelompok
aset takberwujud yang diukur baik berdasarkan model biaya maupun model revaluasi.
Pengeluaran Penelitian dan Pengembangan
Entitas mengungkapkan nilai gabungan dari pengeluaran penelitian dan
pengembangan yang diakui sebagai beban selama periode.
Pengeluaran penelitian dan pengembangan terdiri dari seluruh pengeluaran yang
dapat diatribusikan secara langsung pada kegiatan penelitian dan pengembangan.
Informasi Lain
Entitas dianjurkan, namun tidak disyaratkan, untuk mengungkapkan informasi
berikut:
a) Deskripsi mengenai asset tak berwujud yang telah diamortisasi seluruhnya tetapi
masih digunakan; dan
b) Deskripsi mengenai asset takberwujud signifikan yang dikendalikan entitas
namun tidak diakui sebagai asset karena tidak memenuhi kriteria pengakuan
dalam Pernyataan ini atau karena asset tersebut diperoleh atau dihasilkan sebelum
PSAK 19: Aset Takberwujud Efektif Diberlakukan.

49
50

Anda mungkin juga menyukai