Anda di halaman 1dari 21

PRESENTASI

TEORI AKUNTANSI
“ ASSET “

SEMESTER VII

REFERENSI : SUWARDJONO, TEORI AKUNTANSI


TGL PRESENTASI : 02 DES 2023
DOSEN PENGAMPU : HELMAN A. R, SE, MM
OLEH : NURLEHA
NIM : 2020116008

PROGRAM STUDI NON REGULER S1 AKUNTANSI

SEKOLAH TINGGI ILMU EKONOMI AMA


TAHUN 2023-2024
PENGERTIAN ASSET

FASB mendefinisi aset dalam rerangka konseptualnya sebagai berikut (SFAÇ No. 6, prg. 25):
Assets are probable future economic benefits obtained or controlled by a particular entity as a
result of past transactiona or events. (Aset adalah manfaat ekonomik masa datang yang cukup pasti
yang diperoleh atau dikuasasi/dikendalikan oleh suatu entitas sebagai akibat transaksi atau kejadian
masa lalu.)

Dengan makna yang sama, IASC mendefinisi aset sebagai berikut:


An asset is a resource controlled by the enterprise as a result of past events and from which future
economic benefits are expected to flow to the enterprise.

Dalam Statement of Accounting Concepts No. 4, Australian Accounting Stan


dards Board (AASB) mendefinisi aset sebagai berikut (prg. 12):
Assets are service potential or future economic benefits controlled by the reporting eality as
a result of past transaction or other past events.

Definisi-definisi di atas memisahkan antara makna atau pengertian dan pengukuran serta
pengakuan sehingga definisi tersebut lebih bersifat semantik daripada struktural. Definisi
IASC dan AASB menanggalkan kata probable karena dianggap bahwa tia merupakan kriteria
pengakuan bukan sifat dari aset.
Definisi yang menggabungkan makna, pengukuran, dan pengakuan diajukan oleh APB
dalam APB No. 4 sebagai berikut (prg. 132):
Assets-economic resources of an enterprise that are recognized and mensured in
conformity with generally accepted accounting principles. Assets also include certain
deferred charges that are not resources but that are recognized and meastured in conformity
with generally accepted accounting principles.

Definisi FASB dan AASB cukup luas dibanding definisi yang lain karena aset disifati
sebagai manfaat ekonomik (economic benefits) dan bukan sebagai sumber ekonomik
(resources) karena manfaat ekonomik tidak membatasi bentuk atau jenis sumber ekonomik
yang dapat dimasukkan sebagai aset. Definisi tersebut tidak membedakan antara aset real
(real assets) dan aset finansial (financial assets) dan antara sumber ekonomik (resources)
dan nonsumber ekonomik (nonresources). APB No. 4 mendefinisi sumber ekonomik sebagai
berikut (prg. 57):
Economic resources are the scarce means (limited in supply relative to desired uses)
available for carrying on economic activities.

Pengertian aset sebagai sumber ekonomik sebagaimana dikemukakan APB sejalan dengan
pengertian yang dikemukakan ljiri (1975, hlm. 52):
…resources are objects that the entity intends to place under its control. This means that
resources must have utility. However, utility alone is not sufficient reason for an entity to
place an object under its control. The object must be scarce, thus ruling out free goods.

APB mendefinisi aset sebagai sumber ekonomik karena adanya unsur kelangkaan sehingga
suatu entitas harus mengendalikannya dari akses pihak lain melalui transaksi ekonomik. APB
juga membedakan aset menjadi sumber ekonomik dan nonsumber ekonomik. APB No. 4
merinci aset yang digolongkan se- bagai sumber ekonomik sebagai berikut (prg. 57):
1. Sumber produktif (productive resources):
a. Sumber produktif kesatuan usaha yang meliputi bahan baku, gedung, pabrik,
perlengkapan, sumber alam, paten dan semacamnya, jasa, dan sumber lain yang
digunakan dalam produksi barang dan jasa.
b. Hak kontraktual atas sumber produktif meliputi semua hak untuk menggunakan sumber
ekonomik pihak lain dan hak untuk mendapatkan barang atau jasa dari pihak lain.
2. Produk (products) yang merupakan keluaran kesatuan usaha terdiri atas:
a. Barang jadi yang menunggu penjualan
b. Barang dalam proses
3. Uang (money)
4. Klaim untuk menerima uang (claims to receive money)
5. Hak pemilikan atau investasi pada perusahaan lain (ownership interest in other enterprise)
Dengan jenis aset yang disebut APB di atas, APB secara implisit menekankan pengertian
aset sebagai sesuatu yang nyata-nyata dapat digunakan dalam kegiatan produktif (penyediaan
barang dan jasa). Nyata-nyata dapat digunakan berarti bahwa aset merupakan sediaan jasa
(embodiment or storage of future services) baik berwujud (tangible) maupun takberwujud
(intangible). Sumber ekonomik yang didefinisi APB di atas dapat diklasifikasi menjadi objek
fisis (physical objects) dan hak (rights).
APB menggolongkan bentuk atau jenis aset selain yang disebut di atas sebagai nonsumber
ekonomik meskipun tetap masuk dalam pengertian aset. Nonsumber ekonomik meliputi beban
atau pengurang pendapatan tangguhan (deferred charges) seperti: goodwill, rugi selisih kurs,
biaya organisasi, dan beberapa pos yang timbul akibat penyesuaian (sering disebut pos-pos
transitoris).
Berbeda dengan FASB, IASC memaknai mạnfaat ekonomik masa datang (future economic
benefits) bukan sebagai potensi jasa yang sekarang dikuasai badan usaha tetapi sebagai
manfaat yang diharapkan mengalir ke badan usaha. Jadi, manfaat ekonomik yang dimaksud
oleh IASC bukan manfaat yang dikandung (embodied) oleh sumber ekonomik yang dikuasai
tetapi manfaat yang didatangkan atau yang mengalir ke badan usaha. Karena bukan manfaat
yang dikandung, pengertian manfaal ekonomik masa datang oleh IASC dapat diinterpretasi
sebagai aliran masuk manfaat akibat pemerolehan sumber ekonomik baru lantaran pertukaran
dengan sumber ekonomik yang sebelumnya dikuasai atau lantaran aliran masuk pendapatan.
Definisi FASB dan AASB lebih luas dibanding definisi lain dalam hal entitas yang
dicakupi. Dengan menyatakan a particular entity atau reporting entity bukannya enterprise
sehagai pengendali aset, FASB dan AASB tidak membatasi pengertian aset hanya berlaku
untuk organisasi bisnis tetapi juga untuk orgunisasi nonbisnis. Kata enterprise yang
digunakan oleh IASC dan APB memberi kesan bahwa aset didefinisi dalam konteks
organisasi bisnis.
Dengan berbagai perbedaan diatas, pada dasarnya dapat disimpulkan bahwa terdapat tiga
karakteristik utama yang harus dipenuhi agar suatu objek atau pos dapat disebut asset yaitu :
a. Manfaat ekonomik masa datang yang cukup pasti
b. Dikuasi atau dikendalikan oleh entitas
c. Timbul akibat transaksi masa lalu

KARAKTERISTIK PENDUKUNG
Selain tiga karakteristik utama diatas FASB menyebutkan beberapa karkeristik pendukung yaitu :
Melibatkan Biaya
Pemerolehan aset pada umumnya melibatkan biaya (pengeluaran sumber ekonomik misalnya
kas) sebagai penghargaan sepakatan (measured consideration). Bila biaya terjadi karena
pemerolehan suatu objek terjadi akibat pertukaran atau pembelian, objek tersebut lebih kuat untuk
masuk sebagai asset. Akan tetapi, tiadanya biaya tidak membatalkan suatu objek sebagai aset. Suatu
aset dapat diperoleh misalnya dari hadiah yang tidak melibatkan pengeluaran sumber ekonomik.
Walaupun demikian, biaya objek tersebut harus tetap ditentukan atau di taksir secara layak sebagai
dasar pencatatan pertama kali.
Jadi, meskipun suatu kesatuan usaha umumnya mengeluarkan atau mengorbankan sumber
ekonomik (menjadi biaya), biaya yang terjadi tersebut tidak dengan sendirinya membentuk aset.
Esensi aset lebih terletak pada manfaat ekonomik masa datang daripada pada terjadinya biaya.
Walaupun demikian, terjadinya biaya merupakan hal penting untuk mengaplikasi definisi biaya
karena dua hal yaitu: 1) Sebagai bukti pemerolehan suatu aset dan 2) Sebagai pengukur atribut aset
yang cukup objektif.
Berwujud
Bila suatu sumber ekonomik secara fisis dapat diamati, tia memang lebih kuat untuk disebut
sebagai aset. Akan tetapi, keterwujudan (tangibility) bukan kriteria untuk mendefinisi aset. Objek-
objek seperti hak paten, hak cipta, merek dagang, dan goodwill tetap dapat dimasukkan sebagai aset
meskipun tidak berwujud fisis. Pada umumnya, pos- pos takberwujud yang masuk dalam kategori
aset lancar tidak disebut sebagai aset takberwujud (intangibles).
Most (1982, hlm. 379) mengajukan tiga tes (kriteria) untuk memasukkan suatu pos ke dalam aset
takberwujud, yaitu:
1. Apakah pos tersebut diperoleh dari suatu transaksi dengang pihak independen (arm's
lenght transaction)? Hal ini dimaksudkan agar tidak terjadi penilaian lebih (over-
valuation) atas aset takberwujud.
2. Dapatkah manfaat ekonomik masa datang yang diharapkan diidentifikasi? Dapat
diidentifikasi artinya dapat dikaitkan dengan kemampuan perusahaan mendatangkan
laba di masa datang. Hal ini dimaksudkan untuk meyakinkan bahwa objek tak berwujud
memenuhi kriteria utama asset.
3. Dapatkah biaya pos tersebut dipisahkan dengan biaya asset lain yang diperoleh?
Misalnya suatu kesatuan usaha membeli sebuah mesin yang secara khusus dirancang
oleh perusahaan lain melalui riset dan pengembangan. Biaya mesin sudah termasuk
biaya riset dan pengembangan. Biaya riset dan pengmbangan dapat menjadi asset tak
berwujud bagi pembeli mesin bila rancang bangun (design) menjadi hak eksklusif
pembeli dan biayanya dapat dipisahkan dari biaya kontrak pembatan mesin.
Tertukarkan
Beberapa penulis mengajukan gagasan atau argumen bahwa untuk memenuhi syarat
sebagai aset, suatu sumber ekonomik harus dapat ditukarkan dengan sumber ekonomik
lainnya. Syarat ini diajukan dengan alasan bahwa manfaat ekonomik akan menjadi cukup
pasti dan terukur kalau suatu sumber ekonomik mempunyai daya atau nilai tukar. Dengan kata
lain, manfaat ekonomik diturunkan dari daya tukar. Syarat dan argumen ini disanggah karena
manfaat ekonomik tidak hanya terletak pada daya tukar tetapi juga dari daya guna suatu objek
untuk produkai. Mesin, misalnya, mungkin sekali tidak mempunyai daya tukar tetapi dapat
digunakan untuk menghasilkan produk. Bahkan hampir sebagian besar aset manfaatnya
didapat dari penggunaan daripada dari pertukaran. Sebagaimana dikutip Kam (1990, hlm.
107-108), Moonitz menyatakan hahwa "exchange does not make values, it merely reveals
them."
Terpisahkan
Syarat ini ditujukan berkaitan dengan ketertukaran (exchangeability). Untuk dapat
ditukarkan suatu sumber ekonomik harus dapat dipisahkan dengan sumber ekonomik yang
lain atau berdiri sendiri. Syarat ini ditujukan oleh Chambers dengan alasan bahwa posisi
keuangan harus ditentukan dengan pengukuran nilai berbagai aset dan kewajiban secara
individual. Kalau syarat ini dimasukkan sebagai kriteria aset, goodwill tidak akan memenuhi
syarat untuk disebut dan diakui sebagai aset.
Chambers dan MacNeal mengajukan syaral ini karena dia tidak setuju bahwa goodwill
dimasukkan sebagal aset. Alasannya adalah pengukuran goodwill sangat subjektif dan
hipotetis. Alasan lain adalah tujuan penyajian neraca adalah melaporkan nilai bersih aset dan
bukan nilai perusahaan secara keseluruhan. Melaporkan goodwill atau semacamnya akan
menyesatkan
Pihak yang menentang syarat keterpisahan (severability) berargumen bahwa ketertukaran
dan keterpisahan hanyalah merupakan syarat untuk memperoleh manfaat suatu aset. Lagi
pula, pemasukkan goodwill sebagai aset memang tidak dimaksudkan untuk menilai
perusahaan secara keseluruhan tetapi untuk mengidentifikasi dan menilai manfaat ekonomik
masa datang bagi perusahnan. Dengan argumen-argumen tersebut, FASB tidak memasukkan
keterpisahan sehagai kriteria untuk mendefinisi aset (Kam 1990, hlm. 108).
Berkekuatan hukum
Penguasan atau hak atas aset tidak harus didukung secara yuridis formal. Klaim seperti
piutang usaha tidak harus didukung oleh dokumen yang mempunyai daya paksa secara hukum
(legally enforceable) untuk memenuhi definisi asset. Memang pada umumnya, kemampuan
suatu entitas untuk menguasai manfaat ekonomik timbul akibat hak-hak hukum (legal rights).
Meskipun demikian, hak paksa yang melekat pada hak-hak hukum bukan merupakan syarat
mutlak untuk mengakui adanya asset kalau suatu entitas dapat memperoleh dan menguasai
manfaat dengan cara lain sebagaimana dibahas sebelumnya (misalnya dengan cara perjanjian
atau penemuan).

PENGUKURAN
Pengukuran bukan merupakan kriteria untuk mendefinisi aset tetapi merupakan kriteria
pengakuan aset. Salah satu kriteria pengakuan aset adalah keterukuran (measurability) manfaat
ekonomik masa datang. Yang dimaksud pengukuran dalam pembahasan di sini adalah penentuan
jumlah rupiah yang harus dilekatkan pada suatu objek aset pada saat terjadinya yang akan
dijadikan data dasar untuk mengikuti aliran fisis objek tersebut. Dengan konsep kontinuitas usaha,
pos atau sumber ekonomik akan mengalami tiga tahap perlakuan sejalan dengan kegiatan usaha
yaitu tahap pemerolehan (acquisition), pengolahan (processing), dan penjualan/penyerahan
(sales/delivery). Tahap terakhir (penjualan) melibatkan penyerahan barang atau jasa (keluarnya
sumber ekonomik).
Secara akuntansi (aliran informasi), aliran fisis suatu sumber ekonomik atau objek harus
direpresentasi dalam jumlah rupiah sehingga hubungan antarobjek bermakna sebagai
informasi. Biaya merupakan representasi kuantitatif suatu objek. Biaya menjadi data dasar untuk
mengikuti aliran fisis kegiatan ekonomik badan usaha. Sebagai aliran informasi, biaya juga
mengalami tiga tahap perlakuan akuntansi mengikuti aliran fisis yaitu:
1. Pengukuran (measurement), pengakuan (recognition), dan klasifikasi (elassification)
pertama kali pada saat terjadinya. Untuk selanjutnya seluruh kegiatan dalam tahap ini
disebut pengukuran saja,
2. Pencatatan berikutnya dalam rangka mengikuti aliran fisis aset berupa alokasi, distribusi,
dan penggabungan untuk kepentingan internal/manajerial atau untuk kepentingan
pengbiayaan produk. Untuk selanjutnya seluruh kegiatan dalam tahap ini disebut
penelusuran (tracing).
3. Pembebanan ke pendapatan perioda berjalan atau perioda perioda yarg akan datang. Biaya
yang belum menjadi beban pendapatan (biaya) akan tetap melekat pada objek menjadi aset
badan usaha. Untuk selanjutnya seluruh kegiatan dalam tahap ini disebut pembebanan ke
pendapatan (charging to revenues)"
Secara konseptual suatu sumber ekonomik harus diperlakukan dahulu sebagai aset dan
baru kemudian diperlakukan sebagai biaya pada saat aset tersebut, dianggap telah keluar dari
kesatuan usaha dan mendatangkan pendapatan. Walaupun demikian, secara teknis pembukuan
atau karena alasan kepraktisan, dapat saja suatu sumber ekonomik langsung dicatat sebagai
upaya (biaya) sehingga biayanya langsung didebit ke akun biaya tanpa melalui akun aset.
Misalnya, jumlah rupiah (biaya) pembayaran sewa gedung langsung didebit ke akun Biaya
Sewa Gedung. Bila suatu pengeluaran sumber ekonomik yang mengukur biaya suatu objek
dicatat sebagai aset, tia dikategori menjadi pengeluaran untuk kapital (capital expenditures)
sedangkan kalau tia dicatat sebagai biaya, tia dikategori sebagai pengeluaran untuk
pendapatan (revenue expenditures).
Perlu ditegaskan kembali bahwa biaya adalah pengukur sedangkan asset dan biaya adalah
elemen yang diukur. Sebagai pengukur elemen, biaya melekat pada asset atau biaya sehingga
biaya, asset, dan biaya, ketiganya sering diracunkan. Keracunan dapat timbul karena secara
teknis pembukuan suatu biaya dapat dibebankan atau didebitkan ke asset atau biaya saat
terjadinya.
Bila suatu pengeluaran langsung dicatat sebagai biaya, secara konseptual dianggap bahwa
biaya objek bersangkutan dicatat sebagai aset dan kemudian pada saat yang sama biaya
tersebut langsung dipindah ke biaya. Dengan kata lain, secara konseptual biaya semua sumber
ekonomik yang diperoleh dianggap telah diperlakukan sebagai aset walaupun hanya sesaat.
Akibatnya, pos aset misalnya sediaan sering dinyatakan dalam pengukurnya sebagai biaya
sediaan; sediaan sering diidentikkan dengan biaya sediaan. Sementara itu, biaya juga melekat
pada biaya sehingga biaya sering disebut dengan biaya saja. Memang biaya selalu dapat
disebut biaya karena biaya melekat di dalamnya tetapi biaya tidak selalu dapat disebut biaya
sebelum biaya tersebut dipindah ke biaya sebagai pengurang/debit/beban pendapatan.
Karena biaya merepresentasi manfaat ekonomik, bila biaya diperlakukan sebagai aset,
biaya itu disebut dengan biaya belum habis atau takterhabiskan (unexpired cost) artinya biaya
yang belum habis dimanfaatkan dalam menghasilkan pendapatan. Bila manfaat ekonomik
telah digunakan dalam mendatangkan pendapatan, bagian dari biaya aset yang merepresentasi
manfaat yang telah dihabiskan disebut dengan biaya terhabiskan (expired cost) dan menjadi
pengukur biaya. Atas dasar uraian di atas dapat dikatakan bahwa penentuan biaya suatu objek
pada saat pemerolehan merupakan hal yang sangat penting dan kritis karena penentuan ini
akan mempengaruhi pengukuran aset dan biaya selanjutnya.

PENGAKUAN
Suatu jumlah rupiah atau biaya diakui sebagai aset apabila jumlah rupiah tersebut timbul akibat
transaksi, kejadian, atau keadaan yang mempengaruhi aset. Pada umumnya pengakuan aset
dilakukan bersamaan dengan adanya transaksi, kejadian, atau keadaan tersebut. Di samping
memenuhi definisi aset, kriteria keterukuran, keberpautan, dan keterandalan harus dipenuhi pula.
Dengan mengutip Sterling, Belkaoui (1993, hlm. 194- 195) menunjukkan kondisi perlu (necessary)
dan kondisi cukup (sufficient) yang merupakan penguji (tests) yang cukup rinci untuk mengakui
aset yaitu:
1. Deteksi adanya aset (detection of existence test). Untuk mengakui aset, harus ada transaksi
yang menandai timbulnya aset.
2. Sumber ekonomik dan kewajiban (economic resources and obligation test). Untuk
mengakui aset, suatu objek harus merupakan sumber ekonomik yang langka, dibutuhkan,
dan berharga.
3. Berkaitan dengan entitas (entity association test). Untuk mengakui aset, kesatuan usaha
harus mengendalikan atau menguasai objek aset.
4. Mengandung nilai (non-zero magnitude test). Untuk mengakui aset, suatu objek harus
mempunyai manfaat yang terukur secara moneter.
5. Berkaitan dengan waktu pelaporan (temporal association test). Untuk mengakui asset,
semua penguji di atas harus dipenuhi pada tanggal pelaporan (tanggal neraca)
6. Verifikasi (verification test). Untuk mengakui asset, harus ada bukti pendukung untuk
meyakinkan bahwa kelima penguji di atas terpenuhi.

Apa yang dikemukakan Belkaoui di atas sebenarnya adalah apa yang disebut dengan
kaidah pengakuan (recognition rules) yang merupakan petunjuk teknis atau prosedur untuk
menerapkan empat kriteria pengakuan (recognition criteria) FASB yaitu definisi, keterukuran,
keberpautan, dan keterandalan. Kaidah tersebut diperlukan karena kriteria pengakuan sifatnya
konseptual dan umum. Penerapan kaidah pengakuan di atas sebenarnya berkaitan dengan
masalah apakah suatu biaya dikapitalisasi (capitalized) atau dibiayakan (expensed). Bila
kaidah pengakuan di atas tidak dipenuhi, biaya harus diperlakukan menjadi beban pendapatan
sebagai biaya atau rugi.

Beban Tangguhan
Untuk beberapa kasus, pelaksanann kaidah di atas menjadi pelik karena karakteristik unik biaya
yang terlibat menyebabkan keraguan. Diperlakukan sebagai aset meragukan karena manfaat
ekonomik masa depan tidak cukup pasti sementara kalau diperlakukan sebagai biaya atau
dibebankan ke pendapatan tahun terjadinya juga tidak pas karena asosiasi dengan pendapatan sulit
untuk ditentukan. Diperlakukan sebagai rugi juga tidak tepat karena biaya merepresentasi upaya
yang sah dan wajar. Kesulitan semacam ini menimbulkan praktik bahwa biaya-biaya semacam itu
(biaya organisasi, riset dan pengembangan, dan semacamnya) ditampung dalam satu pos yang
disebut beban tangguhan (deferred charges).
Paton dan Littleton (1970) sangat mengkritik penggunaan istilah beban tangguhan ini karena
secara konseptual semua aset (yang dipresentasi dengan biaya) merupakan beban tangguhan. Lebih
baik kalau pos tersebut diberi nama yang jelas sesuai dengan sifatnya dan disajikan secara terpisah
dengan pos-pos aset lainnya. Kaidah untuk menetapkan apakah suatu biaya memenuhi syarat untuk
ditangguhkan pembebanannya ke pendapatan. Kaidah ini merupakan penyederhanaan dari enam
kaidah yang dijelaskan di atas. Biaya yang mempunyai karakteristik unik sehingga
menimbulkan masalah masalah penangguhan pembebanan misalnya adalah biaya yang terlibat
dalam transaksi, kejadian atau keadaan berikut:
a. Sewaguna
b. Bunga selama masa konstruksi asset tetap
c. Riset dan pengembangan
d. Eksplorasi minyak dan gas bumi
e. Rugi selisih kurs valuta asing atau penjabaran valuta asing
f. Sumber daya manusia
g. Biaya organisasi

Sewaguna
“Sewaguna" (lease) menimbulkan masalah pelik dalam pengakuan aset karena di Amerika
pada mulanya sewaguna digunakan sebagai sarana pemerolehan aset tetap atau fasilitas fisis
tanpa harus menunjukkan utang yang timbul dari pemeroleban tersebut. Dengan kata lain,
sewaguna diperlakukan sebagai sewa menyewa biasa sehingga jumlsh rupiah sewa yang
dibayarkan diperlakukan sebagai biaya sewa. Praktik semacam ini, disebut dengan pendanaan
lepas neraca (off - balance-sheet financing), dipandang tidak sehat dari segi pelaporan
keuangan karena terdapat utang yang cukup basar yang tidak dilaporkan dalam neraca.
Oleh karena itu, dengan konsep dasar substansi di atas bentuk (substance over form),
FASB mewajibkan untuk mengakui dan melaporkan kewajiban yang timbul dari sewaguna
dan mengakui (mengkapitalisasi) fasilitas yang disewaguna sebagai aset perusahaan kalau
secara substantif perjanjian sewaguna tersebut sebenarnya merupakan pembelian angsuran.
Yang menjadi masalah adalah apa kriteria yang harus dipenuhi agar suatu sewaguna dapat
dinyatakan sebagai pembelian angsuran. FASB mengajukan empat kriteria berikut ini (SFAS
No. 13, prg. 7):
a. Kontrak sewaguna menyebutkan adanya transfer hak milik barang atau properitas
(property) kepada tersewaguna (lessee) pada akhir jangka sewaguna.
b. Kontrak sewaguna memuat pasal bahwa tersewaguna boleh pilih untuk membeli pada
tanggal yang ditetapkan dalam jangka sewaguna dengan harga yang ditetapkan dan harga
tersebut cukup murah sehingga dapat dipastikan di muka bahwa tersewaguna akan memilih
membeli properitas bersangkutan. Pasal semacam ini disebut bargain purchase option.
c. Jangka sewaguna adalah 75% atau lebih dari sisa umur ekonomik taksiran properitas
sewagunaan sejak penandatanganan kontrak. Bila sisa umur ekonomik mulai dari
penandatanganan kontrak kurang dari 25% umur ekonomik total, kriteria ini tidak berlaku.
d. Pada saat penandatanganan kontrak sewaguna, nilai sekarang semua pembayaran sewaguna
minimum selama jangka sewaguna adalah sama atau lebih besar dari 90% nilai wajar
bersih bagi pesewaguna (lessor). Nilai wajar bersih bagi pesewaguna adalah nilai wajar
dipandang dari sudut pesewaguna setelah dikurangi dengan kredit pajak investasi
(investment tax credit), kalau ada, yang menjadi hak pesewaguna.

Biaya Bunga
Biaya Bunga telah disebutkan bahwa biaya suatu aset adalah semua pengeluaran (menjadi
unsur biaya) yang diperlukan untuk menyiapkan aset tersebut sampai siap dipakai atau
dikonsumsi sebagaimana direncanakan (intended use). Masalah yang berkaitan dengan hal ini
adalah perlakuan biaya bunga sebagai unsur biaya fasilitas fisis (gedung atau pabrik) yang
dibangun sendiri. Bila kesatuan usaha membangun sendiri fasilitas fisis dengan dana pinjaman
dan pembangungannya memakan waktu yang cukup lama, masalahnya adalah apakah biaya
bunga selama masa pembangunan konstruksi dapat dikapitalisasi.
FASB menyebutkan bahwa tujuan mengkapitalisasi biaya bunga adalah untuk
mendapatkan angka biaya pemerolehan yang paling merefleksi investasi total kesatuan usaha
dalam aset dan untuk membebankan suatu biaya yang berkaitan dengan pemerolehan suatu
sumber ekonomik yang akan memberi manfaat di masa datang untuk dibandingkan dengan
pendapatan yang dihasilkan oleh manfaat tersebut. Tujuan terakhir dimaksudkan agar terjadi
penandingan yang tepat terutama bila waktu pembangunan atau perioda pemerolehan
(acquisition period) cukup lama. Akan tetapi, kapitaliaasi biaya bunga hanya dilakukan
apabila manfaat informasi melebihi biaya penyediaan informasi (biaya administrasi dalam
mengkapitalisasi bunga).

Argumen Pendukung
Beberapa argumen diajukan untuk mendukung kapitalisasi biaya bunga. Argumen-
argumen tersebut adalah:
a. Dengan kesiapan pemakaian atau penggunaan (readyness for intended use) sebagai batas
kegiatan pengukuran biaya aset, biaya hunga jelas merupakan unsur biaya aset. Hal ini
sejalan dengan argumen yang ditunjukkan FASb (SFAS No. 34, prg. 40) berikut:
... the historical cost of acquiring an asset should include all costs necessorily incurred
to bring it to the candition and location necessary for its intended use, the Board cocluded
that, in principle, the cost incurred in financing expenditures for an asset during a required
construction or development period is itsefl a part of the asset's historical acquisition cost
b. Bila kesatuan usaha tidak membangun sendiri fasilitas fisis bersangkutan, penghargaan
sepakatan sebagai biaya pemerolehan pada umumnya termasuk pula bunga yang harus
dibayar oleh kontraktor selama pembangunannya.
c. Pembebanan biaya bunga langsung pendapatan selama masa konstruksi (perioda
pemerolehan) akan mendistorsi laba terutama kalau konstruksi didanai dari pinjaman
khusus untuk keperluan tersebut. Dengan kata lain, pembebanan langsung menyimpang
dari konsep penandingan yang tepat (proper matching concept).
d. Biaya bunga selama masa pembangungan bukan merupakan biaya pendanaan (financing
cost) karena kalau pembangunan didanai dari penerbitan ekuitas baru, biaya pendanaan
secara konseptual tetap terjadi dan digeser ke pemegang saham dalam bentuk dividen yang
pembayarannya mungkin ditunda sampai pembangunan selesai.

Argumen Penolakan
Beberapa argumen menolak dikapitalisasinya bunga. Penolakan tersebut didasarkan atas
argumen-argumen berikut:
1. Bunga lebih merupakan biaya pendanaan daripada unsur biaya aset karena perusahaan
sebenarnya dapat menghindari bunga tersebut dengan memilih alternatif pendanaan dengan
ekuitas.
2. Dengan konsep nilai setara tunai (cash equivalent) atau nilai sekarang aliran kas diskunan
(discounted future cash outflows) dalam mengukur biaya suatu aset, biaya pemerolehan
suatu fasilitas fisis seharusnya tidak dipengaruhi oleh kebijakan pemilihan cara pendanaan
pembangunannya. Jadi, secara teoretis, biaya suatu fasilitas fisis yang dibangun sendiri
oleh suatu kesatuan usaha yang mendanainya dengan ekuitas seharusnya tidak akan
berbeda dengan fasilitas yang sama yang dibangun perusahaan lain yang mendanainya
dengan utang.
3. Dengan konsep kesatuan usaha, bunga lebih bermakna sebagai pembagian laba (setara
dengan dividen) daripada sebagai upaya (effort) untuk memperoleh pendapatan. Mengakui
bunga sebagai biaya fasilitas fisis sama saja dengan penyangkalan konsep kesatuan usaha
itu dan sama saja dengan pengakuan biaya hipotetis karena mengkapitalisasi bunga
(setara dividen) seperti itu sama saja dengan mengkapitalisasi dividen yang telah
dibayarkan sebagai aset.
4. Karena merupakan biaya pendanaan yang terpisah dengan biaya pemerolehan aset, alokasi
biaya bunga ke semua aset non moneter hanya akan kecil pengaruhnya terhadap laba
periodik karena jumlah yang dikapitalisasi dalam suatu perioda akan dikompensasi dengan
amortisasi bunga yang dikapitalisasi pada perioda-perioda sebelumnya. Dengan demikian,
manfaat informasional tambahan (incremental informational benefit) tidak sepadan dengan
biaya akuntansi dan administratif tambahan sehingga tidak memenuhi kriteria manfaat
biaya dalam karakteristik kualitatif informasi.

Alternatif Perlakuan
Berbagai argumen yang mendukung dan menolak di atas akhirnya menghasilkan berbagai
kemungkinan perlakuan biaya bunga selama masa pembangunan. Beberapa alternatif
perlakuan adalah:
1. Bunga tidak dikapitalisasi dan diperlakukan sebagai biaya perioda.
2. Bunga dikapitalisasi dan dimasukkan sebagai bagian dari biaya fasilitas fisis yang
dibangun sendiri. Jumlah yang dikapitalisasi dapat sebesar:
a. Jumlah rupiah seluruh bunga yang sesungguhnya dibayar atau lerjadi untuk dana yang
khusus dipinjam untuk pembangunan.
b. Jumlah rupiah semua bunga yang sesungguhnya dibayar atau terjadi untuk semua dana
pinjaman yang ada. Ini dilakukan apabila tidak ada dana khusus yang disodiakan untuk
pembangunan aset bersangkutan.
c. Bunga dikapitalisasi sebesar jumlah rupiah bunga implisit dana yang tertanam dalam
perusahaan tanpa memperhatikan sumbernya.
3. Bunga dikapitalisasi tetapi tidak dimasukkan sebagai elemen biaya fasilitas fisis yang
dibangun sendiri. Besarnya bunga yang dikapitalisasi dapat didasarkan pada perhitungan
seperti alternatif 2 di atas.
Perlakuan (1) jelas merupakan konsekuensi dari diterimanya argumen pihak yang menolak
kapitalisasi sedangkan perlakuan (2) merupakan konsekuensi Iogis diterimanya argumen
pihak yang mendukung kapitalisasi. Perlakuan (3) merupakan kompromi dari kedua argumen
yang saling bertentangan. Pengusul perlakuan (4) menandang bahwa biaya bunga memang
merupakan biaya pendanaan tetapi tidak menginginkan adanya distorsi laba yang dapat
menimbulkan kesan keliru tentang prestasi perusahaan pada masa konstruksi khususnya
kalau pendapatan pada masa itu belum cukup besar untuk menutup bunga.
Oleh karena itu, biaya bunga selama masa konstruksi perlu dikapitalisasi dan kemudian
diamortisasi selama beberapa perioda yang layak. Amortisasi ini independen terhadap (tidak
harus sejalan dengan) umur ekonomik dan metoda depresiasi aset bersangkutan.

Jumlah Rupiah Kapitalisasi


Tiap alternatif jumlah rupiah bunga yang harus dikapitalisasi didasarkan atas argument atau
dasar pikiran yang dibahas dibawah ini.
Alternatif (2a) didasarkan pada argument bahwa bunga merupakan elemen biaya
konstruksi tetapi hanya bunga yang memang benar-benar dibayarkan untuk dana khusus
tersebut yang menunjukkan unsur biaya pemerolehan aset. Hal ini cukup logis karena
memang mudah untuk mengidentifikasi dana yang benar-benar digunakan untuk membangun
konstruksi fasilitas fisis bersangkutan. Masalah dapat timbul kalau dana pinjaman memang
tidak secara khusus dipisahkan untuk keperluan pembangunan tersebut. Masalah ini timbul
karena seluruh dana yang tertanam dalam perusahaan pada dasarnya lebur menjadi satu dan
tidak mungkin dilakukan identifikasi untuk menentukan dana mana yang digunakan dalam
konstruksi dan mana yang tidak, khususnya bagi perusahaan yang sudah beroperasi cukup
lama. Untuk perusahaan yang baru berdiri dan masih dalam masa persiapan, identifikasi
tersebut masih dapat dilakukan.
Alternatif (2b) berusaha untuk mengatasi kesulitan dalam usulan pertama. Dasar pikirannya
adalah bahwa semua utang dianggap digunakan untuk investasi dalam pembangunan sarana
fisis. Biaya bunga di sini dianggap sebagai biaya kesempatan (opportunity cost) yaitu suatu
pengorbanan (bunga) yang sebenarnya dapat dihindari seandainya kesatuan usaha tidak
mengadakan pinjaman atau bunga yang tidak harus dibayar seandainya dana untuk
pembangunan aset digunakan untuk melunasi utang. Argumen ini sering disanggah karena
dari sudut pemegang saham, dana yang berasal dari ekuitas yang tertanam dalam perusahaan
pun sebenarnya mengandung biaya kesempatan sehingga perlu juga diperhitungkan sebagai
biaya seperti bunga.
Alternatif (2c) mendasarkan diri pada asumsi bahwa bunga seluruh dana yang tertanam
dalam perusahaan merupakan biaya ekonomik. Biaya aset di sini diartikan sebagai
"nilai" barang dan jasa yang dikorbankan dalam rangka memperoleh aset tersebut. Bunga
dianggap sebagai nilai jasa uang yang terikat dalam suatu aset sebelum tia dioperasikan.
Karena sumber ekonomik (kas) tidak digunakan untuk kegiatan operasi berjalan tetapi untuk
operasi masa mendatang, cukup layaklah untuk memperhitungkan bunga implisit yang
sebenarnya dapat diperoleh kalau perusahaan tidak membangun suatu fasilitas fisis yang
memakan waktu lama. Bunga implisit di sini diukur atas dasar laba yang dapat diperoleh
seandainya kas digunakan untuk kegiatan operasi bukan untuk pembangungan. Dasar pikiran
ini mirip dengan usulan kedua di atas dalam hal pengakuan bunga implisit atau hipotetis.
Hanya dalam hal ini, bunga dianggap sebagai pendapatan (laba) yang hilang karena dana
digunakan untuk pembangunan sarana fisis.

Standar Yang Mengatur


Adanya berbagai alternatif perlakuan biaya bunga menuntut adanya standar akuntansi yang
menjadi acuan praktik agar pembandingan statemen keuangan menjadi mudah dilakukan dan
bermakna. Secara konseptual memang layaklah kalau biaya bunga selama konstruksi
dikapitalisasi tetapi perlu ada syarat-syarat yang harus dipenuhi yang berkaitan dengan jenis
aset yang dapat dilekati biaya bunga, besarnya biaya bunga yang dikapitalisasi, dan perioda
kapitalisasi. Kedua standar ini pada dasarnya membolehkan adanya kapitalisasi bunga asalkan
memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu yang diatur dalam standar tersebut. Standar vang
relevan dengan hal ini di Amerika adalah SFAS No. 34.
Aset Memenuhi Syarat
Secara konseptual, biaya bunga memang dapat dikapitalisasi untuk semua aset yang
perioda pemerolehannya cukup lama. Akan tetapi, tidak dalam setiap pemerolehan aset
dilakukan kapitalisasi bunga yang terlibat. Salah satu faktor yang harus dipertimbangkan
adalah manfaat yang dapat diperoleh dengan adanya kapitalisasi tersebut dibandingkan
dengan mengurangkan langsung biaya bunga sebagai biaya perioda terjadinya. Dalam
keadaan tertentu kapitalisnsi bunga tidak perlu dilakukan. Standar akuntanai menentukan aset
yang memenuhi syarat (cukup disebut aset memenuhl) untuk dilekati biaya bunga (qualifying
assets) yang dalam PSAK No. 26 disebut aset tertentu. FASB (SFAS No. 34, prg. 9)
menetapkan bahwa kapitalisasi bunga hendaknya dilakukan hanya untuk aset yang memenuhi
syarat:
a. Aset yang dibangun atau diproduksi untuk digunakan sendiri oleh perusahaan (termasuk
aset yang dibangun atau diproduksi oleh pihak lain atas pesanan perusahaan untuk
digunakan sendiri oleh perusahaan dan untuk pesanan/kontrak tersebut perusahaan
melakukan pembayaran uang muka atau pembayaran bertahun atas dasar kemajuan
pekerjaan pembangunan aset bersangkutan).
b. Aset dibangun atau diproduksi dengan tujuan untuk dijual sebagai suatu unit atau projek
yang berdiri sendiri terpisah dari projek atau kegiatan operasi lainnya (misalnya kapal,
kawasan industri, estat real, jembatan, atau semacamnya).
c. Investasi jangka panjang (ekuitas, pinjaman, dan penanaman kas) yang diperlakulkan
dengan metoda ekuitas sementara terinvestasi (investee) sedang melaksanakan kegiatan
pembangunan fasilitas fisis asalkan kegiatan tersebut menggunakan dana investasi itu
untuk memperoleh fasilitas fisis tersebut.

Besarnya Kapitalisasi
Bunga Besarnya bunga yang harus dikapitalisasi adalah bagian dari biaya bunga yang
terjadi selama perioda-perioda pemerolehan aset yang secara teoretis dapat dihindari
seandainya kesatuan usaha tidak membangun fasilitas fisis yang bersangkutan. Dengan kata
lain, bunga yang dikapitalisasi adalah tambahan bunga yang diperkirakan terjadi selama suatu
perioda akibat adanya konstruksi. Jadi, biaya bunga yang dikapitalisasi adalah biaya
kesempatan sebagaimana dijadikan argumen bagi alternatif (2b) yung dibahas sebelumnya.
Secara teknis, jumlah rupiah bunga yang dikapitalisasi dalam suatu perioda akuntansi
selama perioda pemerolehan adalah tingkat bunga atau tarif kapitalisasi (capitalization rate)
dikalikan dengan rata-rata pengeluaran dana untuk konstruksi selama perioda akuntansi
tersebut. Jumlah rupiah bunga total yang dikapitalisasi tentu saja tidak boleh melebihi jumlah
rupiah bunga total yang terjadi dalam perioda tersebut.
Tingkat bunga pinjaman yang khusus digunakan untuk pembangunan aset dapat digunakan
sebagai tarif kapitalisasi kalau dana rata-rata yang tertanam dalam konstruksi tidak melebihi
dana pinjaman khusus tersebut. Kalau dana rata-rata yang tertanam dalam konstruksi melebihi
jumlah dana pinjaman khusus untuk konstruksi, tarif kapitalisasi untuk kelebihan dana yang
tertanam tersebut adalah rata-rata berbobot (weighted average) tingkat bunga sumber dana
lainnya.

Perioda Kapitalisasi
Kapitalisasi biaya bunga diperhitungkan untuk perioda pemerolehan (acquisition period)
sehingga perioda tersebut menjadi perioda kapitalisasi. Perioda kapitalisasi dimulai ketika
tiga kondisi berikut dipenuhi:
a. Pengeluaran untuk pembangunan aset telah dilakukan atau terjadi.
b. Kegiatan-kegiatan yang diperlukan untuk menyelesaikan pembangunan sampai siap
dipakai masih berlangsung.
c. Biaya bunga telah terhimpun (accrued) atau terjadi bersamaan dengan berjalannya
pembangunan aset.
Kapitalisasi bunga dapat terus dilakukan untuk tiap perioda akuntansi selama ketiga
kondisi di atas dipenuhi. Perioda kapitaliaasi akan berakhir apabila konstruksi bersangkutan
secara substansial telah selesai dan siap dioperasikan. Karena biaya bunga menjadi bagian
integral dari aset, pembebanan bunga yang dikapitalisasi terhadap pendapatan (melalui
amortisasi) harus sejalan dengan program depresiasi aset bersangkutan.

PENGUNGKAPAN
Bila Sebagian atau seluruh bunga dikapitalisasi tentu saja akan ada Sebagian informasi bunga
yang hilang. Oleh karena itu, perlu adanya Pengungkapan (disclosure) tentang hal ini
sehingga statement keuangan tidak menyesatkan. Standar akuntansi kapitalisasi bunga juga
menentukan informasi tambahan yang harus diungkapkan dalam laporan keuangan.
Agar statement keuangan tetap informatif, hal-hal berikut ini harus diungkapkan sebagai
penjelasan :
a. Bila tidak ada biaya bunga yang dikapitalisasi, total bunga yang terjadi selama periode dan
dibebankan sebagai biaya periode tersebut.
b. Bila Sebagian biaya bunga dikapitalisasi, bunga total yang terjadi dan bagian yang
dikapitalisasi.
PENYAJIAN
Secara umum, prinsip akuntansi berterima umum memberi pedoman penyajian dan pengungkapan
asset sebagai berikut :
a. Asset disajikan di sisi debit atau kiri dalam neraca berformat akun atau di bagian atas dalam
neraca berformat laporan
b. Aset diklasifikasi menjadi asset lancer dan asset tetap
c. Asset diurutkan penyajiannya atas dasar likuiditas atau kelancarannya, yang paling lancer
dicantumkan pada urutan pertama
d. Kebijakan akuntansi yang berkaitan dengan pos-pos tertentu harus diungkapkan (misalnya
metode depresiasi asset tetap dan dasar penilaian persediaan barang).

PSAK 16 Aktiva Tetap Dan Aktiva Lain-Lain (Fixed Assets and Other Assets)
Pengakuan Aktiva tetap
Suatu benda berwujud harus diakui sebagai suatu aktiva dan dikelompokkan sebagai aktiva
tetap bila :
a. besar kemungkinan (probable) bahwa manfaat keekonomian di masa yang akan datang
yang berkaitan dengan aktiva tersebut akan mengalir ke dalam perusahaan;
b. biaya perolehan aktiva dapat diukur secara andal.

Pengakuan Awal Aktiva tetap


Suatu benda berwujud yang memenuhi kualifikasi untuk diakui sebagai suatu aktiva dan
dikelompokkan sebagai aktiva tetap, pada awalnya harus diukur berdasarkan biaya perolehan.
Harga perolehan dari masing-masing aktiva tetap yang diperoleh secara gabungan ditentukan
dengan mengalokasikan harga gabungan tersebut berdasarkan perbandingan nilai wajar
masing-masing aktiva yang bersangkutan.
Suatu aktiva tetap dapat diperoleh dalam pertukaran atau pertukaran sebagian untuk suatu
aktiva tetap yang tidak serupa atau aktiva lain. Biaya dari pos semacam itu diukur pada
nilai wajar aktiva yang dilepas atau yang diperoleh, yang mana yang lebih andal, ekuivalen
dengan nilai wajar aktiva yang dilepaskan setelah disesuaikan dengan jumlah setiap kas atau
setara kas yang ditransfer.
Aktiva tetap yang diperoleh dari sumbangan harus dicatat sebesar harga taksiran atau
harga pasar yang layak dengan mengkreditkan akun Modal yang Berasal dari Sumbangan.

Pengeluaran Setelah Perolehan (Subsequent Expenditures)


Pengeluaran setelah perolehan awal suatu aktiva tetap yang memperpanjang masa manfaat
atau yang kemungkinan besar memberi manfaat keekonomian di masa yang akan datang
dalam bentuk peningkatan kapasitas, mutu produksi, atau peningkatan standar kinerja, harus
ditambahkan pada jumlah tercatat aktiva yang bersangkutan.

Pengakuan Berikutnya (Subsequent Measurement) terhadap Pengakuan Awal


Aktiva tetap disajikan berdasarkan nilai perolehan aktiva tersebut dikurangi akumulasi
penyusutan.
Penilaian kembali atau revaluasi aktiva tetap pada umumnya tidak diperkenankan karena
Standar Akuntansi Keuangan menganut penilaian aktiva berdasarkan harga perolehan atau
harga pertukaran. Penyimpangan dari ketentuan ini mungkin dilakukan berdasarkan
ketentuan pemerintah. Dalam hal ini laporan keuangan harus menjelaskan mengenai
penyimpangan dari konsep harga perolehan di dalam penyajian aktiva tetap serta pengaruh
daripada penyimpangan tersebut terhadap gambaran keuangan perusahaan. Selisih antara nilai
revaluasi dengan nilai buku (nilai tercatat) aktiva tetap dibukukan dalam akun modal dengan
nama Selisih Penilaian Kembali Aktiva Tetap .

Penyusutan
Jumlah dapat disusutkan (depreciable) suatu aktiva tetap harus dialokasikan secara
sistematis sepanjang masa manfaatnya. Metode penyusutan harus mencerminkan pola
pemanfaatan ekonomi aktiva (the pattern in which the asset’s economic benefits are consumed
by the enterprise) oleh perusa-haan. Penyusutan untuk setiap periode diakui sebagai beban
untuk periode yang bersangkutan, kecuali termasuk sebagai jumlah tercatat aktiva lain.
Masa manfaat suatu aktiva tetap harus ditelaah ulang secara periodik dan, jika harapan
berbeda secara signifikan dengan estimasi sebelumnya, beban penyusutan untuk periode
sekarang dan masa yang akan datang harus disesuaikan.
Metode penyusutan yang digunakan untuk aktiva tetap ditelaah ulang secara periodik dan
jika terdapat suatu perubahan signifikan dalam pola pemanfaatan ekonomi yang diharapkan
dari aktiva tersebut, metode penyusutan harus diubah untuk mencerminkan perubahan pola
tersebut. Perubahan metode penyusutan harus diperlakukan sebagai suatu perubahan
kebijakan akuntansi dan dilaporkan sesuai dengan PSAK No.25 dan beban penyusutan untuk
periode sekarang dan masa yang akan datang harus disesuaikan.
Apabila manfaat keekonomian suatu aktiva tetap tidak lagi sebesar jumlah tercatatnya
maka aktiva tersebut harus dinyatakan sebesar jumlah yang sepadan dengan nilai manfaat
keekonomian yang tersisa. Penurunan nilai kegunaan aktiva tetap tersebut dilaporkan sebagai
kerugian.

Penghentian dan Pelepasan


Suatu aktiva tetap dieliminasi dari neraca ketika dilepaskan atau bila aktiva secara
permanen ditarik dari penggunaannya dan tidak ada manfaat keekonomian masa yang akan
datang diharapkan dari pelepasannya.
Keuntungan atau kerugian yang timbul dari penghen-tian atau pelepasan suatu aktiva tetap
diakui sebagai keuntungan atau kerugian dalam laporan laba rugi.

Pengungkapan
Laporan keuangan harus mengungkapkan, dalam hubungan dengan setiap jenis aktiva
tetap:
a. dasar penilaian yang digunakan untuk menentukan jumlah tercatat bruto. Jika lebih dari
satu dasar yang digunakan, jumlah tercatat bruto untuk dasar dalam setiap kategori harus
diungkapkan;
b. metode penyusutan yang digunakan;
c. masa manfaat atau tarif penyusutan yang digunakan;
d. jumlah tercatat bruto dan akumulasi penyusutan pada awal dan akhir periode;
e. suatu rekonsiliasi jumlah tercatat pada awal dan akhir periode memperlihatkan:
i. penambahan;
ii. pelepasan;
iii. akuisisi melalui penggabungan usaha;
iv. revaluasi yang dilakukan berdasarkan ketentuan pemerintah;
v. penurunan nilai tercatat sesuai dengan paragraf 66;
vi. penyusutan;
vii. perbedaan pertukaran neto yang timbul pada penjabaran laporan
keuangan suatu entitas asing; dan
viii. setiap pengklasifikasian kembali.

Laporan keuangan juga harus mengungkapkan:


a. Eksistensi dan batasan atas hak milik, dan aktiva tetap yang dijaminkan untuk hutang;
b. Kebijakan akuntansi untuk biaya perbaikan yang berkaitan dengan aktiva tetap;
c. Jumlah pengeluaran pada akun aktiva tetap dalam konstruksi;
d. Jumlah komitmen untuk akuisisi aktiva tetap.

Jika aktiva tetap dicatat pada jumlah yang dinilai kembali hal berikut harus diungkapkan:
a. Dasar yang digunakan untuk menilai kembali aktiva;
b. Tanggal efektif penilaian kembali;
c. Nama penilai independen, bila ada;
d. Hakekat setiap petunjuk yang digunakan untuk menentukan biaya pengganti;
e. Jumlah tercatat setiap jenis aktiva tetap;
f. Surplus penilaian kembali aktiva tetap.

Aktiva lain-lain
Pos-pos yang tidak dapat secara layak digolongkan dalam aktiva tetap, dan juga tidak
dapat digolongkan dalam aktiva lancar, investasi/penyertaan maupun aktiva tak berwujud,
seperti: aktiva tetap yang tidak digunakan, piutang kepada pemegang saham, beban yang
ditangguhkan dan aktiva lancar lainnya disajikan dalam kelompok aktiva lain-lain.
DAFTAR PUSTAKA

Schooeder, R.G., M.W. Clark, Jack M. Cathay. (2016). Financial Accounting Theory
and Analysis. 12th edition.
Scott, William R. (2019). Financial Accounting Theory. 8th edition.
Godfrey, J., A. Hodgson, A. Tarca. (2010). Accounting Theory. 7th edition. John Wiley.
Belkaoui, Ahmed Riahi. (2011). Accounting Theory. 6th edition. Salemba Empat. Jakarta
Soewardjono. (2016). Teori Akuntansi. Edisi 3. YKPN.
Standar Akuntansi Keuangan. 2019. Ikatan Akuntan Indonesia

Anda mungkin juga menyukai