TEORI AKUNTANSI
“ ASSET “
SEMESTER VII
1
1.1. Pengertian Aset
FASB mendefinisi aset dalam rerangka konseptualnya sebagai berikut (SFAC No 6, prg 25):
“Assets are probable future economic benefits obtained or controlled by a perticular entity as a result of
past transactions or events.”
Dengan makna yang sama, IASC mendefinisi aset sebagai berikut:
“An assets is resource controlled by the enterprise as a result of past events and from which future economic
benefits are expected to flow to the enterprise.”
Dalam Statement of Accounting Concepts No. 4, Australian Accounting Standard Board (AASB)
mendefinisi aset sebagai berikut:
“Assets are service potential or future economic benefits controlled by the reporting entity as a result of past
transaction or other past events.”
Definisi FASB dan AASB cukup dibanding definisi yang lain luas karena aset dinilai mempunyai sifat
sebagai manfaat ekonomik (economic benefits) dan bukan sebagai sumber ekonomik (resources) karena
manfaat ekonomik tidak membatasi bentuk atau jenis sumber ekonomik yang dapat dimasukkan sebagai aset.
1.2. Pengukuran
Pengukuran bukan merupakan kriteria untuk mendefinisikan aset tetapi merupakan kriteria pengukuran
set. Salah satu kriteria pengukuran aset adalah ketertukaran manfaat ekonomik masa datang. Yang dimaksud
pengukuran di sini adalah penentuan jumlah rupiah yang harus diletakkan pada suatu objek aset pada saat
terjadinya yang akan dijadikan data dasar untuk mengikuti aliran fisis objek tersebut. Dengan konsep
kotinuitas usaha, sumber ekonomik akan mengalami 3 (tiga) tahap perlakuan sejalan dengan kegiatan usaha
yaitu tahap pemerolehan, pengolahan, dan penjualan/penyerahan.
Secara akuntansi, aliran fisis suatu sumber ekonomik harus direpresentasi dalam jumlah rupiah sehingga
hubungan antarobjek bermakna sebagai informasi. Kos menjadi data dasar untuk mengikuti aliran fisis
kegiatan ekonomik suatu badan usaha. Sebagai aliran informasi, kos juga mengalami 3 (tiga) tahap perlakuan
akuntansi mengikuti aliran fisis, yaitu:
4
1. Pengukuran, pengakuan, dan klasifikasi pertama kali pada saat terjadinya. Untuk selanjutnya seluruh
kegiatan dalam tahap ini disebut pengukuran.
2. Pencatatan berikutnya dalam rangka mengikuti aliran fisi aset berupa alokasi, distribusi, dan
penggabungan untuk kepentingan internal. Untuk selanjutnya seluruh kegiatan dalam tahap ini disebut
penelusuran.
3. Pembebanan ke pendapatan periode berjalan atau periode yang akan datang. Kos yang belum menjadi
beban pendapatan akan melekat pada objek menjadi aset badan usaha. Untuk selanjutnya seluruh
kegiatan dalam tahap ini disebut pembebanan.
Perlu ditegaskan kembali bahwa kos adalah pengukuran sedangkan aset atau biaya adalah elemen yang
diukur. Sebagai pengukur elemen, kos melekat pada aset atau biaya sehingga kos, aset, dan biaya, ketiganya
sering dirancukan. Kerancuan dapat timbul karena secara teknis pembukuan suatu kos dapat dibebankan atau
didebetkan ke aset atau biaya pada saat terjadinya.
Bila suatu pengeluaran langsung dicatat sebagai biaya, secara konseptual di anggap bahwa kos objek
bersangkutan dicatat sebagai aset dan kemudian pada saat yang sama kos tersebut langsung dipindah ke
biaya. Dengan kata lain, secara konsptual kos semua sumber ekonomik yang diperoleh dianggap telah
diperlakukan sebagai aset walaupun hanya sesaat.
Karena kos merepresentasi manfaat ekonomik, bila kos diperlakukan sebagai aset, kos itu disebut
dengan kos belum habis artinya kos yang belum habis atau takterhabiskan dimanfaatkan dalam
menghasilkan pendapatan. Bila manfaat ekonomik telah digunakan dalam mendatangkan pendapatan, bagian
dari kos aset yang merepresentasi manfaat yang telah dihabiskan disebut dengan kos terhabiskan dan
menjadi pengukur biaya.
1.3. Penilaian
Di dalam akuntansi, istilah pengukuran dan penilaian sering tidak dibedakan karena adanya asumsi
bahwa akuntansi menggunakan unit moneter untuk mengukur makna ekonomik suatu objek, pos, atau
elemen. Pengukuran biasanya digunakan dalam akuntansi untuk menunjuk proses penentuan jumlah rupiah
yang harus dicatat untuk objek pada saat pemerolehan. Penilaian biasanya digunakan untuk menunjuk proses
penentuan jumlah rupiah yang harus dilekatkan pada tiap elemen atau pos statemen keuangan pada saat
penyajian. Jadi, penilaian merupakan penentuan jumlah rupiah yang harus dilekatkan pada suatu pos aset
pada saat akan dilaporkan atau disajikan dalam statemen keuangan pada periode tertentu.
1.3.1. Tujuan Penilaian Aset
Tujuan dari penilaian aset adalah untuk merepresentasi atribut pos-pos aset yang berpaut dengan
tujuan laporan keuangan dengan menggunakan basis penilaian yang sesuai. Sedangkan tujuan pelaporan
keuangan adalah menyediakan informasi yang dapat membantu investor dan kreditor dalam menilai jumlah,
saat, dan ketidakpastian aliran kas bersih ke badan usaha. Singkatnya, tujuan penilaian aset harus berpaut
dengan tujuan pelaporan keuangan.
6
1.3.2. Nilai Masukan
Nilai masukan di dasarkan atas jumlah rupiah kas atau penghasilan lainnya (non kas) yang harus
dikeluarkan atau dikorbankan untuk memperoleh aset atau objek jasa tertentu yang masuk dalam unit usaha
(perusahaan). Ada beberapa dasar penilaian yang masuk ke dalam kategori nilai masukan, yaitu :
1.1.1.1. Kos Historis
Kos historis merupakan jumlah rupiah atau harga pertukaran yang telah tercatat dalam sistem
pembukuan pada saat terjadinya transaksi. Prinsip kos historis menghendaki digunakannya harga
perolehan dalam mencatat aktiva, utang, modal dan biaya.
Yang dimaksud dengan harga perolehan adalah harga pertukaran yang disetujui oleh kedua
belah pihak yang tersangkut dalam tranksaksi. Harga perolehan ini harus terjadi pada seluruh traksaksi
diantara kedua belah pihak yang bebas. Harga pertukaran ini dapat terjadi pada seluruh tranksaksi
dengan pihak ektern, baik yang menyangkut aktiva, utang, modal dan transaksi lainnya.
1. Kos Bijaksana, yaitu semua pengeluaran yang dikeluarkan secara hati-hati dan bijaksana untuk
memperoleh fasilitas fisik (aktiva tetap berwujud). Jadi, jika ada rugi/inefisiensi pada proses
perolehan fasilitas fisik itu bukan merupakan kos.
2. Kos Asli, yaitu kos fasilitas fisik (aktiva tetap berwujud) yang terjadi pertama kali dan diakui oleh
perusahaan yang pertama kali menggunakan fasilitas fisik itu juga.
3. Kos Standar, yaitu kos produksi per unit yang seharusnya terjadi untuk waktu tertentu dengan
asumsi bahwa produksi dilakukan dalam kondisi normal.
1.1.1.2. Kos Pengganti
Kos pengganti merupakan jumlah rupiah / harga pertukaran yang diperlukan sekarang oleh
unit usaha untuk memperoleh aset yang sama sejenis. Atau biaya penggantian aktiva milik perusahaan
dengan aktiva lain yang sejenis atau sama fungsinya.
1. Nilai Penaksiran, yaitu nilai taksiran kos sekarang yang ditentukan dengan prosedur dan analisis
secara sistematik oleh pihak independen yang kompeten dibidangnya.
2. Nilai Wajar, yaitu jumlah rupiah yang dapat diterima untuk suatu objek, menggambarkan harga
dimana aset dapat dibeli atau dijual dalam transaksi kini antar pihak secara sukarela, tanpa paksaan.
3. Nilai terealisasi bersih dikurangi harga normal, yaitu nilai yang diharapkan merepresentasi kos
pengganti bila data untuk menentukan kos pengganti tidak tersedia.
1.1.1.1. Kos Harapan
Kos harapan suatu aset adalah nilai pengorbanan ekonomik di masa mendatang, seandainya
jasa aset tersebut diperoleh secara bagian demi bagian (tidak sekaligus), atau nilai sekarang untuk
pembayaran kas dimasa mendatang.
1.2. Pengakuan
Pada umumnya pengakuan aset dilakukan bersamaan dengan adanya transaksi, kejadian, atau keadaan
yang mempebgaruhi aset. Disamping memenuhi definisi aset, kriteria keterukuran, keberpautan, dan
9
keterandalan harus dipenuhi pula. Menurut Sterling, Belkaoui (1993) menunjukkan kondisi perlu (necessary)
dan kondisi cukup (sufficient) yang merupakan penguji (test) yang cukup rinci untuk mengakui aset tersebut,
yaitu:
1. Deteksi adanya aset (detection of existence test). Untuk mengajui aset, harus ada transaksi yang
menandai timbulnya asset
2. Sumber ekonomik dan kewajiban (economic resources and obligation test). Untuk mengakui aset,
suatu objek harus merupakan sumber ekonomik yang langka, dibutuhkan dan berharga.
3. Berkaitan dengan entitas (entity association test). Untuk mengakui aset, kesatuan usaha harus
mengendalikan atau menguasai objek aset.
4. Mengandung nilai (non-zero magnitude test). Untuk mengakui aset, suatu objek harus mempunyai
manfaat yang terukur secara moneter.
5. Berkaitan dengan waktu pelaporan (temporal association test). Untuk mengakui aset, semua
penguji di atas harus dipenuhi pada tanggal pelaporan (tanggal neraca).
6. Verifikasi (verification test). Untuk mengakui aset, harus ada bukti pendukung untuk meyakinkan
bahwa kelima penguji diatas dipenuhi.
Yang dikemukakan Belkoui di atas sebenarnya adalah apa yang disebut dengan kaidah pengakuan
(recognition rules) yang merupakan petunjuk teknis atau prosedur untuk menerapkan empat kriteria
pengakuan (recogniton criteria) FASB yaitu definisi, keterukuran, keberpautan, dan keterandalan. Kaidah
tersebut diperlukan karena kriteria pengakuan sifatnya konseptual atau umum. Penerapan kaidah pengakuan
di atas sebenarnya berkaitan dengan masalah apakah suatu kos dikapitalisasi atau di biayakan. Bila kaidah
pengakuan diatas tidak dipenuhi, kos harus diperlakuakn menjadi beban pendapatan sebagai biaya atau rugi.
Sewaguna
“Sewaguna" (lease) menimbulkan masalah pelik dalam pengakuan aset karena di Amerika
pada mulanya sewaguna digunakan sebagai sarana pemerolehan aset tetap atau fasilitas fisis
tanpa harus menunjukkan utang yang timbul dari pemeroleban tersebut. Dengan kata lain,
10
sewaguna diperlakukan sebagai sewa menyewa biasa sehingga jumlsh rupiah sewa yang
dibayarkan diperlakukan sebagai biaya sewa. Praktik semacam ini, disebut dengan pendanaan
lepas neraca (off - balance-sheet financing), dipandang tidak sehat dari segi pelaporan
keuangan karena terdapat utang yang cukup basar yang tidak dilaporkan dalam neraca.
Oleh karena itu, dengan konsep dasar substansi di atas bentuk (substance over form),
FASB mewajibkan untuk mengakui dan melaporkan kewajiban yang timbul dari sewaguna
dan mengakui (mengkapitalisasi) fasilitas yang disewaguna sebagai aset perusahaan kalau
secara substantif perjanjian sewaguna tersebut sebenarnya merupakan pembelian angsuran.
Yang menjadi masalah adalah apa kriteria yang harus dipenuhi agar suatu sewaguna dapat
dinyatakan sebagai pembelian angsuran. FASB mengajukan empat kriteria berikut ini (SFAS
No. 13, prg. 7):
a. Kontrak sewaguna menyebutkan adanya transfer hak milik barang atau properitas
(property) kepada tersewaguna (lessee) pada akhir jangka sewaguna.
b. Kontrak sewaguna memuat pasal bahwa tersewaguna boleh pilih untuk membeli pada
tanggal yang ditetapkan dalam jangka sewaguna dengan harga yang ditetapkan dan harga
tersebut cukup murah sehingga dapat dipastikan di muka bahwa tersewaguna akan memilih
membeli properitas bersangkutan. Pasal semacam ini disebut bargain purchase option.
c. Jangka sewaguna adalah 75% atau lebih dari sisa umur ekonomik taksiran properitas
sewagunaan sejak penandatanganan kontrak. Bila sisa umur ekonomik mulai dari
penandatanganan kontrak kurang dari 25% umur ekonomik total, kriteria ini tidak berlaku.
d. Pada saat penandatanganan kontrak sewaguna, nilai sekarang semua pembayaran sewaguna
minimum selama jangka sewaguna adalah sama atau lebih besar dari 90% nilai wajar
bersih bagi pesewaguna (lessor). Nilai wajar bersih bagi pesewaguna adalah nilai wajar
dipandang dari sudut pesewaguna setelah dikurangi dengan kredit pajak investasi
(investment tax credit), kalau ada, yang menjadi hak pesewaguna.
Argumen Pendukung
Beberapa argumen diajukan untuk mendukung kapitalisasi biaya bunga. Argumen-
argumen tersebut adalah:
a. Dengan kesiapan pemakaian atau penggunaan (readyness for intended use) sebagai batas
kegiatan pengukuran biaya aset, biaya hunga jelas merupakan unsur biaya aset. Hal ini
sejalan dengan argumen yang ditunjukkan FASb (SFAS No. 34, prg. 40) berikut:
... the historical cost of acquiring an asset should include all costs necessorily incurred
to bring it to the candition and location necessary for its intended use, the Board cocluded
that, in principle, the cost incurred in financing expenditures for an asset during a required
construction or development period is itsefl a part of the asset's historical acquisition cost
b. Bila kesatuan usaha tidak membangun sendiri fasilitas fisis bersangkutan, penghargaan
sepakatan sebagai biaya pemerolehan pada umumnya termasuk pula bunga yang harus
dibayar oleh kontraktor selama pembangunannya.
c. Pembebanan biaya bunga langsung pendapatan selama masa konstruksi (perioda
pemerolehan) akan mendistorsi laba terutama kalau konstruksi didanai dari pinjaman
khusus untuk keperluan tersebut. Dengan kata lain, pembebanan langsung menyimpang
dari konsep penandingan yang tepat (proper matching concept).
d. Biaya bunga selama masa pembangungan bukan merupakan biaya pendanaan (financing
cost) karena kalau pembangunan didanai dari penerbitan ekuitas baru, biaya pendanaan
secara konseptual tetap terjadi dan digeser ke pemegang saham dalam bentuk dividen yang
pembayarannya mungkin ditunda sampai pembangunan selesai.
Argumen Penolakan
Beberapa argumen menolak dikapitalisasinya bunga. Penolakan tersebut didasarkan atas
argumen-argumen berikut:
1. Bunga lebih merupakan biaya pendanaan daripada unsur biaya aset karena perusahaan
12
sebenarnya dapat menghindari bunga tersebut dengan memilih alternatif pendanaan dengan
ekuitas.
2. Dengan konsep nilai setara tunai (cash equivalent) atau nilai sekarang aliran kas diskunan
(discounted future cash outflows) dalam mengukur biaya suatu aset, biaya pemerolehan
suatu fasilitas fisis seharusnya tidak dipengaruhi oleh kebijakan pemilihan cara pendanaan
pembangunannya. Jadi, secara teoretis, biaya suatu fasilitas fisis yang dibangun sendiri
oleh suatu kesatuan usaha yang mendanainya dengan ekuitas seharusnya tidak akan
berbeda dengan fasilitas yang sama yang dibangun perusahaan lain yang mendanainya
dengan utang.
3. Dengan konsep kesatuan usaha, bunga lebih bermakna sebagai pembagian laba (setara
dengan dividen) daripada sebagai upaya (effort) untuk memperoleh pendapatan. Mengakui
bunga sebagai biaya fasilitas fisis sama saja dengan penyangkalan konsep kesatuan usaha
itu dan sama saja dengan pengakuan biaya hipotetis karena mengkapitalisasi bunga
(setara dividen) seperti itu sama saja dengan mengkapitalisasi dividen yang telah
dibayarkan sebagai aset.
4. Karena merupakan biaya pendanaan yang terpisah dengan biaya pemerolehan aset, alokasi
biaya bunga ke semua aset non moneter hanya akan kecil pengaruhnya terhadap laba
periodik karena jumlah yang dikapitalisasi dalam suatu perioda akan dikompensasi dengan
amortisasi bunga yang dikapitalisasi pada perioda-perioda sebelumnya. Dengan demikian,
manfaat informasional tambahan (incremental informational benefit) tidak sepadan dengan
biaya akuntansi dan administratif tambahan sehingga tidak memenuhi kriteria manfaat
biaya dalam karakteristik kualitatif informasi.
Alternatif Perlakuan
Berbagai argumen yang mendukung dan menolak di atas akhirnya menghasilkan berbagai
kemungkinan perlakuan biaya bunga selama masa pembangunan. Beberapa alternatif
perlakuan adalah:
1. Bunga tidak dikapitalisasi dan diperlakukan sebagai biaya perioda.
2. Bunga dikapitalisasi dan dimasukkan sebagai bagian dari biaya fasilitas fisis yang
dibangun sendiri. Jumlah yang dikapitalisasi dapat sebesar:
a. Jumlah rupiah seluruh bunga yang sesungguhnya dibayar atau lerjadi untuk dana yang
khusus dipinjam untuk pembangunan.
b. Jumlah rupiah semua bunga yang sesungguhnya dibayar atau terjadi untuk semua dana
pinjaman yang ada. Ini dilakukan apabila tidak ada dana khusus yang disodiakan untuk
pembangunan aset bersangkutan.
13
c. Bunga dikapitalisasi sebesar jumlah rupiah bunga implisit dana yang tertanam dalam
perusahaan tanpa memperhatikan sumbernya.
3. Bunga dikapitalisasi tetapi tidak dimasukkan sebagai elemen biaya fasilitas fisis yang
dibangun sendiri. Besarnya bunga yang dikapitalisasi dapat didasarkan pada perhitungan
seperti alternatif 2 di atas.
Perlakuan (1) jelas merupakan konsekuensi dari diterimanya argumen pihak yang menolak
kapitalisasi sedangkan perlakuan (2) merupakan konsekuensi Iogis diterimanya argumen
pihak yang mendukung kapitalisasi. Perlakuan (3) merupakan kompromi dari kedua argumen
yang saling bertentangan. Pengusul perlakuan (4) menandang bahwa biaya bunga memang
merupakan biaya pendanaan tetapi tidak menginginkan adanya distorsi laba yang dapat
menimbulkan kesan keliru tentang prestasi perusahaan pada masa konstruksi khususnya
kalau pendapatan pada masa itu belum cukup besar untuk menutup bunga.
Oleh karena itu, biaya bunga selama masa konstruksi perlu dikapitalisasi dan kemudian
diamortisasi selama beberapa perioda yang layak. Amortisasi ini independen terhadap (tidak
harus sejalan dengan) umur ekonomik dan metoda depresiasi aset bersangkutan.
14
mengadakan pinjaman atau bunga yang tidak harus dibayar seandainya dana untuk
pembangunan aset digunakan untuk melunasi utang. Argumen ini sering disanggah karena
dari sudut pemegang saham, dana yang berasal dari ekuitas yang tertanam dalam perusahaan
pun sebenarnya mengandung biaya kesempatan sehingga perlu juga diperhitungkan sebagai
biaya seperti bunga.
Alternatif (2c) mendasarkan diri pada asumsi bahwa bunga seluruh dana yang tertanam
dalam perusahaan merupakan biaya ekonomik. Biaya aset di sini diartikan sebagai
"nilai" barang dan jasa yang dikorbankan dalam rangka memperoleh aset tersebut. Bunga
dianggap sebagai nilai jasa uang yang terikat dalam suatu aset sebelum tia dioperasikan.
Karena sumber ekonomik (kas) tidak digunakan untuk kegiatan operasi berjalan tetapi untuk
operasi masa mendatang, cukup layaklah untuk memperhitungkan bunga implisit yang
sebenarnya dapat diperoleh kalau perusahaan tidak membangun suatu fasilitas fisis yang
memakan waktu lama. Bunga implisit di sini diukur atas dasar laba yang dapat diperoleh
seandainya kas digunakan untuk kegiatan operasi bukan untuk pembangungan. Dasar pikiran
ini mirip dengan usulan kedua di atas dalam hal pengakuan bunga implisit atau hipotetis.
Hanya dalam hal ini, bunga dianggap sebagai pendapatan (laba) yang hilang karena dana
digunakan untuk pembangunan sarana fisis.
Besarnya Kapitalisasi
Bunga Besarnya bunga yang harus dikapitalisasi adalah bagian dari biaya bunga yang
terjadi selama perioda-perioda pemerolehan aset yang secara teoretis dapat dihindari
seandainya kesatuan usaha tidak membangun fasilitas fisis yang bersangkutan. Dengan kata
lain, bunga yang dikapitalisasi adalah tambahan bunga yang diperkirakan terjadi selama suatu
perioda akibat adanya konstruksi. Jadi, biaya bunga yang dikapitalisasi adalah biaya
kesempatan sebagaimana dijadikan argumen bagi alternatif (2b) yung dibahas sebelumnya.
Secara teknis, jumlah rupiah bunga yang dikapitalisasi dalam suatu perioda akuntansi
selama perioda pemerolehan adalah tingkat bunga atau tarif kapitalisasi (capitalization rate)
dikalikan dengan rata-rata pengeluaran dana untuk konstruksi selama perioda akuntansi
tersebut. Jumlah rupiah bunga total yang dikapitalisasi tentu saja tidak boleh melebihi jumlah
rupiah bunga total yang terjadi dalam perioda tersebut.
Tingkat bunga pinjaman yang khusus digunakan untuk pembangunan aset dapat digunakan
sebagai tarif kapitalisasi kalau dana rata-rata yang tertanam dalam konstruksi tidak melebihi
dana pinjaman khusus tersebut. Kalau dana rata-rata yang tertanam dalam konstruksi melebihi
jumlah dana pinjaman khusus untuk konstruksi, tarif kapitalisasi untuk kelebihan dana yang
tertanam tersebut adalah rata-rata berbobot (weighted average) tingkat bunga sumber dana
lainnya.
16
Perioda Kapitalisasi
Kapitalisasi biaya bunga diperhitungkan untuk perioda pemerolehan (acquisition period)
sehingga perioda tersebut menjadi perioda kapitalisasi. Perioda kapitalisasi dimulai ketika
tiga kondisi berikut dipenuhi:
a. Pengeluaran untuk pembangunan aset telah dilakukan atau terjadi.
b. Kegiatan-kegiatan yang diperlukan untuk menyelesaikan pembangunan sampai siap
dipakai masih berlangsung.
c. Biaya bunga telah terhimpun (accrued) atau terjadi bersamaan dengan berjalannya
pembangunan aset.
Kapitalisasi bunga dapat terus dilakukan untuk tiap perioda akuntansi selama ketiga
kondisi di atas dipenuhi. Perioda kapitaliaasi akan berakhir apabila konstruksi bersangkutan
secara substansial telah selesai dan siap dioperasikan. Karena biaya bunga menjadi bagian
integral dari aset, pembebanan bunga yang dikapitalisasi terhadap pendapatan (melalui
amortisasi) harus sejalan dengan program depresiasi aset bersangkutan.
PENGUNGKAPAN
Bila Sebagian atau seluruh bunga dikapitalisasi tentu saja akan ada Sebagian informasi bunga
yang hilang. Oleh karena itu, perlu adanya Pengungkapan (disclosure) tentang hal ini
sehingga statement keuangan tidak menyesatkan. Standar akuntansi kapitalisasi bunga juga
menentukan informasi tambahan yang harus diungkapkan dalam laporan keuangan.
Agar statement keuangan tetap informatif, hal-hal berikut ini harus diungkapkan sebagai
penjelasan :
a. Bila tidak ada biaya bunga yang dikapitalisasi, total bunga yang terjadi selama periode dan
dibebankan sebagai biaya periode tersebut.
b. Bila Sebagian biaya bunga dikapitalisasi, bunga total yang terjadi dan bagian yang
dikapitalisasi.
PENYAJIAN
Secara umum, prinsip akuntansi berterima umum memberi pedoman penyajian dan pengungkapan
asset sebagai berikut :
a. Asset disajikan di sisi debit atau kiri dalam neraca berformat akun atau di bagian atas dalam
neraca berformat laporan
b. Aset diklasifikasi menjadi asset lancer dan asset tetap
c. Asset diurutkan penyajiannya atas dasar likuiditas atau kelancarannya, yang paling lancer
17
dicantumkan pada urutan pertama
d. Kebijakan akuntansi yang berkaitan dengan pos-pos tertentu harus diungkapkan (misalnya
metode depresiasi asset tetap dan dasar penilaian persediaan barang).
18
Kesimpulan
Aset merupakan elemen neraca pembentuk informasi semantik berupa posisi keuangan dan
merepresentasi potensi jasa fisis dan nonfisis yang memampukan badan usaha untuk menyediakan barang
dan jasa. Secara resmi aset didefinisi sebagai manfaat ekonomik masa datang yang cukup pasti yang dikuasai
oleh suatu entitas sebagai akibat transaksi atau kejadian masa lalu.
Manfaat ekonomik aset ditunjukkan oleh potensi jasa atau utilitas yang melekat padanya yaitu suatu
daya atau kapasitas langka yang dapat dimanfaatkan kesatuan usaha dalam upayanya untuk mendatangkan
pendapatan melalui kegiatan ekonomik yaitu konsumsi, produksi, dan pertukaran.
Penugasan harus didahului oleh transaksi atas kejadian ekonomik. Bahwa aset harus timbul akibat
transaksi atau kejadian masa lalu adalah kriteria untuk memenuhi definisi tetapi bukan kriteria untuk
pengakuan. Manfaat ekonomik dan penugasan atau hak atas manfaat saja tidak cukup untuk memasukkan
suatu objek ke dalam aset kesatuan usaha untuk dilaporkan via statemen keuangan. Kriteria pengakuan yang
lain harus dibedakan dengan pengakuan aset. Kriteria manfaat masa datang yang cukup pasti dalam definis
aset menjadikan terjadinya pengeluaran yang menjadi kos mengalami masalah teknis yaitu dicatat sebagai
aset atau biaya.
Penentuan kos suatu objek pada saat pemerolehan merupakan hal yang sangat kritis karena penentuan
ini akan mempengaruhi pengukuran aset dan biaya selanjutnya khususnya pada tahap pembebanan.
Pengukuran aset pada saat pemerolehan yang paling objektif adalah penghargaan sepakatan. Kos yang
melekat pada suatu aset ditentukan oleh batas kegiatan pemerolehan dan jenis penghargaan. Secara
konseptual, pembentuk kos suatu aset adalah semua pengeluaran yang terjadi atau yang diperlakukan akibat
kegiatan pemerolehan suatu aset sampai ditempatkan dalam kondisi siap dipakai atau berfungsi sesuai
dengan tujuan pemerolehannya.
Penilaian adalah penentuan jumlah rupiah yang harus diletakkan pada suatu pos aset pada saat akan
dilaporkan atau disajikan dalam statemen keuangan pada tanggal tertentu. Tujuan penilaian aset adalah
merepresentasi atribut pos-pos aset yang berpaut dengan tujuan pelaporan keuangan dengan menggunakan
basis penilaian yang sesuai. Penilaian dapat didasarkan pada nilai masukkan atau keluaran bergantung pada
tujuan merepresentasikan aset. Oleh karena itu, tiap dasar penilaian mempunyai keunggulan dan kelemahan
serta kondisi keterterapannya.
Pengakuan dan penyajian aset biasanya ditentukan dalam standar akuntansi yang mengatur tiap pos aset.
Masalah akuntansi yang menyangkut pengakuan biasanya berkaitan dengan masalah apakah suatu kos atau
jumlah rupiah yang terlibat dalam transaksi, kejadian, atau keadaan tertentu dapat diasetkan.
19
DAFTAR PUSTAKA
Suwardjono. Teori Akuntansi Perekayasaan Pelaporan Keuangan. Edisi ketiga. Yogyakarta: BPFE,
2014
20