Anda di halaman 1dari 52

Ekuitas

Untuk perusahaan perseorangan, ekuitas sering disebut modal. Untuk perseroan, istilah
ekuitas (ekuitas pemegang saham atau stockholders’ equity) lebih merefleksi makna yang
ingin dikandungnya. Dalam buku ini, istilah modal sering digunakan pula sebagai padan kata
equity walaupun modal lebih dekat maknanya dengan istilah capital. Istilah ekuitas dan
modal sering digunakan secara bergaintian. Karena ekuitas mengandung unsur pemilikan
(ownership), untuk organisasi nonprofit ekuitas disebut dengan aset bersih (net assets) untuk
menghindari kesan adanya pemilikan.
Karena konsep kesatuan usaha yang memisahkan antara manajemen dan pemilikan,
informasi tentang ekuitas pemegang saham menjadi sangat penting karena hal tersebut
menunjukkan hubungan antara perusahaan (perseroan) dengan pemegang saham. Dari sudut
pemegang saham, ekuitas pemegang saham merupakan hak atas kekayaan atau nilai yang
tertanam dalam perseroan. Kalau dipandang dari sudut kesatuan usaha, ekuitas pemegang
saham merupakan “utang” perseroan kepada para pemegang saham. Oleh karena itu, ekuitas
pemegang saham dapat juga dipandang sebagai gambaran hubungan yuridis antara perseroan
dan pemegang saham. Dengan kedudukannya yang demikian persoalannya adalah bagaimana
melaporkan atau menyajikan informasi elemen ini agar hubungan dan tanggung jawab yuridis
dapat dipertahankan.
Karena konsep kesatuan usaha menuntut artikulasi antarstatemen keuangan, tidak
terdapat masalah semantik atau definisional dalam pembahasan ekuitas seperti halnya elemen
pendapatan, biaya, dan laba. Teori ekuitas yang bersifat semantik adalah teori sudut pandang
atau teori entitas. Karena teori ini sangat erat kaitannya dengan laba, teori ini telah dibahas
dalam konteks laba. Oleh karena itu, teori tentang ekuitas pemegang saham dalam
pembahasan ini berfokus pada bagaimana informasi ekuitas pemegang saham beserta
perubahannya disajikan dalam statemen keuangan. Ekuitas pemegang saham itu sendiri
terdiri atas dua komponen penting yaitu modal setoran (paid-in atau contributed capital) dan
laba ditahan retained earnings). Sebagai pasangan modal setoran, laba ditahan dapat disebut
sebagai modal bentukan atau ciptaan (earned capital).
Pengertian
Karena artikulasi harus dipertahankan, ekuitas tidak didefinisi secara semantik tetapi secara
sintaktik. Artinya, ekuitas didefinisi secara mekanik atau prosedural dalam kaitannya dengan
elemen-elemen statemen keuangan yang lain. Lebih tegasnya, ekuitas tidak dapat didefinisi
secara independen terhadap aset dan kewajiban. Dalam kerangka dasar Standar Akuntansi
Keuangan (2002), misalnya, Ikatan Akuntansi Indonesia (IAI) mendefinisikan ekuitas
sebagai berikut (pasal 49):
Ekuitas adalah hak residual atas aktiva perusahaan setelah dikurangi semua
kewajiban.
Definisi di atas tidak berbeda dengan apa yang dikemukakan oleh FASB dalam SFAC
No. 6 sebagai berikut:
Equity or net assets is the residual interest in the assets of an entity that remains after
deducting its liabilities.
Berbagai sumber yang lain mendefinisikan ekuitas yang tidak berbeda dengan definisi
definisi di atas. Ekuitas didefinisi sebagai hak residual untuk menunjukkan bahwa ekuitas
bukan kewajiban. Ini berarti ekuitas bukan pengorbanan sumber ekonomik masa datang.
Karena didefinisi atas dasar aset dan kewajiban, nilai ekuitas juga bergantung pada
bagaimana aset dan kewajiban diukur.
Godfrey, Hodgson, dan Holmes (1997) membedakan ekuitas dan kewajiban atas dasar
kriteria berikut (hlm. 421-423):
a. Hak-hak masing-masing pihak atas penyelesaian klaim.
b. Hak penggunaan aset dalam operasi.
c. Substansi ekonomik perjanjian.
Atas dasar konsep kesatuan usaha, kreditor dan pemegang saham sama-sama
mempunyai klaim atau hak untuk dilunasi atas dana yang ditanamkan dalam perusahaan.
Akan tetapi, terdapat dua karakteristik yang melekat pada hak kreditor yaitu (a) penyelesaian
klaim mereka pada tanggal tertentu melalui pada transfer aset dan (b) prioritas di atas pemilik
dalam penyelesaian klaim mereka dalam hal likuidasi. Jadi, klaim kreditor terbatas jumlahnya
dan harus diselesaikan atau dilunasi pada tanggal tertentu.
Hak kreditor dan pemilim (pemegang saham) juga berbeda dalam hal penggunaan
aset. Kreditor pada umumnya tidak mempunyai akses dan kendali dalam penggunaan aset
perusahaan. Mereka juga tidak mempunyai hak dalam pengambilan keputusan operasi
perusahaan secara langsung. Di lain pihak, pemilik (khususnya dalam perusahaan
perseorangan) mempunya akses, hak, dan outoritas untuk menjalankan perusahaan dan
menggunakan atau mengendalikan aset.
Perjanjian perusahaan menimbulkan hak dan kewajiban. Substansi ekonomik
perjanjian antar kreditor dengan perusahaan berbeda dengan antara pemegang saham dan
perusahaan dalam hal risiko terhadap rugi. Karena kreditor diprioritaskan, risiko mereka lebih
kecil dibanding pemegang saham. Pemegang saham menanggung segala risiko yang
berkaitan dengan operasi perusahaan. Oleh karena itu hak kreditor sebenarnya berbeda
dengan hak pemegang saham; kreditor berhak atas pelunasan sedangkan pemegang saham
berhak atas pembagian laba (residual). Jadi, secara substansi ekonomik, kreditor menanggung
risiko lebih kecil dan dengan demikian mendapat imbalan tetap berupa bungan dan popok
pinjaman sedangkan pemegang saham menanggung risiko lebih besar sehingga berhak atas
kembalian (rate of return) yang bervariasi melalui pembagian laba (participation in profits).
Komponen Ekuitas Pemegang Saham
Dari segi riwayat terjadinya dan sumbernya, ekuitas pemegang saham diklasifikasi atas dasar
dua komponen penting yaitu modal setoran dan laba ditahan. Modal setoran dipecah menjadi
modal saham (capital stock) sebagai modal yuridis (legal capital) dan modal setoran
tambahan (additional paid-in capital), dan komponen lain yang merefleksi transaksi pemilik
(misalnya saham treasuri atau modal sumbangan). Berikut gambar komponen modal ekuitas
pemegang saham dan pos-pos yang mempengaruhi (sumber perusahaan).
Gambar
Ekuitas Pemegang Saham dan Komponennya

Ekuitas Pemegang Saham

Modal Setoran Modal Bentukan atau Lain-lain


Laba Ditahan

Modal Yuridis Modal Setoran Lain

Suber Perubahan

 Penerbitan saham baru  Premium modal saham  Laba atau rugi (dari
 Kapitalisasi laba  Penjualan saham treasuri statemen laba-rugi)
ditahan  Penyerapan defisit  Dividen
 Dividen saham  Deklarasii dividen  Rekapitalisasi
 Konversi obligasi atau likuidasi  Defisit
saham istimewa  Restrukturisasi kapital  Koreksi
terkonversi  Revaluasi aset  Perusahaan akuntansi
(convertible bonds or
preferred stocks)
 Stock subscriptions

Komponen lain-lain terdiri atas pos-pos yang tidak tepat dimasukkan dalam
komponen modal setoran lainnya atau laba ditahan tetapi sering diklasifikasi sebagai pos
ekuitas pemegang saham. Pos-pos ini misalnya adalah untung penahanan belum terrealisasi
(unrealized holding gains), penyesuaian kapital belum terrealisasi lainnya, selisih revaluasi,
dan hak pemegang saham minoritas.
Dalam berbagai literatur, modal setoran sering disebut pula sebagai invested capital,
original capital, atau bahkan original investment. Modal yuridis (legal capital) sering disebut
sebagai (legal capital) sering disebut sebagai formal capital, restricted capital, stated capita,
atau capital stock. Modal setoran lain sering disebut secara spesifik sebagai paid-in surplus,
unrestricted capital, paid-in capital in excess of capital stock, capital in excess of par (stated
value), capital surplus, atau stock premium. Istilah capital surplus digunakan dalam APB
Opinion No. 6 pasal 12. Sementara itu, laba ditahan sering disebut sebagai, surplus reserve,
accumulated surplus, atau earned surplus.
Tujuan Penyajian Ekuitas
Pengungkapan informasi ekuitas pemegang saham akan sangat dipengaruhi oleh tujuan
penyajian informasi tersebut kepada pemakai statemen keuangan. Pada umumnya, tujuan
pelaporan informasi ekuitas pemegang saham adalah menyediakan informasi kepada yang
berkepentingan tentang efisiensi dan kepengurusan (stewardship) manajemen. Tujuan lain
adalah menyediakan informasi tentang riwayat serta prospek investasi pemilik dan pemegang
ekuitas lainnya. Informasi tentang kewajiban yuridis perseroan terhadap para pemegang
saham dan pihak lainnya juga merupakan tujuan penyajian ekuitas pemegang saham ini.
Untuk memenuhi tujuan tersebut, informasi yang harus disampaikan tentang ekuitas
pemegang saham tersebut minimal adalah: (1) sumber ekuitas pemegang saham beserta
riwayatnya, (2) peraturan yuridis yang membatasi pembagian dividen dan pengembalian
modal setoran kepada pemegang saham, dan (3) prioritas beberapa golongan pemegang
saham atau pemegang ekuitas lainnya (urutan proteksi).
Pembedaan Modal Setoran dan Laba Ditahan
Klasifikasi ekuitas pemegang saham menjadi modal setoran dan laba ditahan sebenarnya
merefleksi pembedaan atas dasar sumber. Penyajian ekuitas pemegang saham atas dasar
sumber sebenarnya bersifat tradisi karena anggapan bahwa penyajian seperti ini akan
memberi informasi tentang riwayat modal sejak berdirinya perseroan. Memang pada
umumnya perseroan berdiri dari perusahaan kecil yang mendanai operasinya dari sumber
pemilik-manajer. Makin besarnya perusahaan menjadikan ekuitas pemegang saham berubah
tidak hanya dalam jumlahnya tetapi juga dalam komposisi atau sumbernya. Ditinjau dari
sumber, ada beberapa komponen yang membentuk ekuitas pemegang saham yaitu:
(1) jumlah rupiah yang disetorkan oleh pemegang saham
(2) laba ditahan yang merupakan sisa laba setelah pembagian dividen
(3) jumlah rupiah yang timbul akibat apresiasi/revaluasi aset fisis tertentu
(4) jumlah rupiah donasi dari pihak nonpemegang saham
(5) sumber lainnya
Laba ditahan pada dasarnya adalah terbentuk dari akumulasi laba yang dipindahkan
dari akun Ikhtisar Laba-Rugi (Income Summary). Begitu saldo laba ditutup ke laba ditahan,
sebenarnya saldo laba tersebut telah lebur menjadi elemen modal pemegang saham yang sah.
Seperti juga modal setoran, laba ditahan menunjukkan sejumlah hak atas seluruh jumlah
rupiah aset bukan hak atas jenis aset tertentu. Dengan demikian untuk mengukur seluruh hak
pemegang saham atas aset, laba ditahan harus digabungkan (ditambahkan) dengan modal
setoran.
Pembedaan antara dua bagian elemen ekuitas pemegang sangat penting. Dari segi
administrasi keuangan, laba ditahan merupakan indikator daya melaba (earning piwer)
sehingga laba ditahan harus selalu dipisahkan dengan modal setoran meskipun jumlahnya
akhirnya ditotal untuk membentuk ekuitas pemegang saham. Pembedaan ini juga penting
secara yuridis karena modal setoran merupakan dana pasar (basic fund) yang harus tetap
dipertahankan untuk menunjukkan perlindungan bagi pihak lain. Dana ini hanya dapat ditarik
kembali dalam likuidasi atau dalam keadaan luar biasa lainnya. Sementara itu, laba ditahan
adalah jumlah rupiah yang secara yuridis dapat digunakan untuk pembagian dividen.
Paton dan Littleton (1970) berargumen bahwa jumlah rupiah modal setoran tidak
menunjukkan secara khusus tujuan penggunaan jumlah rupiah tersebut. Jumlah tersebut
hanyalah menunjukkan hak atau kesepakatan (commitments) atas dana yang ditanamkan
pihak penyedia dana (pemegang saham). Oleh karena itu, perubahan dalam modal setoran
harus dibatasi hanya untuk transaksi antara perseroan dengan pemegang saham (pemilik).
Pada saat kesepakatan terjadi, aset masuk ke badan usaha dan hak atas aset (modal setoran)
timbul. Walaupun demikian, perubahan dalam aset yang berkaitan dengan transaksi modal
adalah terpisah dan sangat berbeda dengan pemerolehan atau pelepasan aset yang terjadi
karena transaksi operasi dalam rangka mencapai tujuan perseroan. Hal ini didasari pula oleh
konsep kesatuan usaha. Jadi, perubahan aset akibat transaksi modal hendaknya tidak
dikaitkan dengan perubahan aset akibat transaksi operasi (kegiatan menciptakan laba).
Argumen di atas melandasi gagasan bahwa segala perubahan aset akibat penggunaan
aset untuk tujuan produktif (for productive effect) harus dibedakan dengan perubahan aset
dalam rangka pemerolehan dan (for financial effect). Untuk selanjutnya, perubahan yang
pertama disebut perubahan karena transaksi operasi sedangkan yang kedua transaksi
modal. Pembedaan ini menjadi landasan utama penyajian statemen laba-rugi komprehensif.

Modal Yuridis
Sebagai pasangan laba ditahan, modal setoran dibedakan menjadi modal yuridis dan modal
setoran lain (agio/premium modal saham). Modal yuridis timbul karena ketentuan hukum
yang mengharuskan bahwa harus ada sejumlah rupiah yang harus dipertahankan dalam
rangka perlindungan terhadap pihak lain. Bentuk ketentuan hukum ini adalah bahwa saham
harus mempunyai nilai nominal atau nilai minimum yang dinyatakan untuk menunjukkan hak
yuridis. Modal yuridis merupakan jumlah rupiah “minimal” yang harus disetor oleh investor
sehingga membentuk modal yuridis (legal capital).
Ada juga aturan yang menetapkan bahwa saham tidak dapat dijual di bawah nilai
tertentu yang menajadi batas nilai yuridis sehingga tidak dikenal adanya diskun modal saham.
Tujuan penyajian modal yuridis ini adalah untuk memberi informasi kepada para pemegang
ekuitas lainnya tentang batas perlindungan investasinya. Jadi, walaupun secara akuntansi
yang menganut konsep kesatuan usaha, pemisahan ini tidak mempunyai makna ekonomik
yang cukup berarti, secara yuridis pemisahan ini dianggap cuku penting dan harus
diungkapkan dalam pelaporan keuangan.
Akuntansi menganggap pengungkapan modal yuridis tersebut tidak penting karena
akuntansi lebih menekankan pada jumlah rupiah yang benar-benar disetor pemegang saham
sebagai jumlah rupiah kontrak antara perseroan dengan pemegang saham. Dalam hal
perusahaan berjalan terus, pengungkapan modal yuridis kemudian akan berfungsi semata-
mata untuk menunjukkan batas jumlah aset yang dapat didistribusi kepada pemegang saham
baik dalam bentuk dividen maupun likuidasi modal dan dianggap hal ini memberi informasi
terhadap batas perlindungan bagi kreditor.

Besarnya Modal Yuridis


Dalam hal saham bernilai nominal (par stock), modal yuridis dapat sama dengan jumlah yang
dikenal dengan nama modal saham (capital stock). Modal saham menunjuk jumlah rupiah
perkalian antara cacah saham beredar dengan nilai nominal per saham. Jumlah ini merupakan
jumlah rupiah yang secara yuridis menjadi hak pemegang saham walaupun dalam transaksi
pembelian saham jumlah rupiah yang disetor/ dibayarkan melebihi modal yuridis tersebut.
Modal saham ini juga merupakan batas tanggungjawab pemegang saham dan batas
kerugian pribadi yang harus ditanggung pemegang saham. Artinya, dala hal terjadi likuidasi
pemegang saham tidak dapat menuntut pembagian kekayaan atas dasar modal yang disetor
(kecuali ada sisa untuk itu). Sebaliknya, dalam hal hasil penjualan aset dalam likuidasi tidak
dapat menuntut seluruh utang perseroan, pemegang saham tidak dapat diminta untuk
menuntut utang lebih dari modal saham atau modal yang telah disetor kecuali pemegang
saham bertindak sebagai direksi.
Modal Setoran Lain 
Nominal saham sering dianggap bukan merupakan harga efektif saham sehingga secara
akuntansi penentuan nilai nominal saham sebenarnya tidak bermakna ekonomi. Dalam hal
tertentu, nilai nominal saham lebih merupakan alat untuk pemerataan distribusi pemilikan
daripada untuk menunjukkan nilai saham itu sendiri. Karena tidak bermakna ekonomi,
saham dapat diterbitkan tanpa nilai nominal (no par stock). Ada 2 alasan penerbitan saham
tanpa nilai nominal yaitu (1) untuk menghindari utang bersyarat dalam hal saham terjual
di bawah harga nominal dan (2) tidak ada hubungan antara nilai nominal dengan nilai
harga pasar saham.
Namun demikian, penerbitan saham tanpa nilai nominal ini dapat menimbulkan
Persoalan khususnya dalam hal perusahaan dilikuidasi karena akan sulit untuk
menentukan dasar pembagian kekayaan perusahaan. Disamping itu, perlindungan bagi
kreditor menjadi tidak jelas karena seakan-akan tidak ada batas jumlah rupiah yang dapat
dibagikan kepada pemegang saham dalam bentuk dividen dan likuidasi modal. yang lebih
tidak menguntungkan lagi bagi kreditor dan pihak berkepentingan lainnya adalah bahwa
saham tanpa nilai nominal dijual dengan harga yang sangat rendah semata-mata untuk
tujuan penggeseran pemilikan atau mempengaruhi harga saham. oleh karena itu, beberapa
negara (juga beberapa negara bagian di AS) memberlakukan ketentuan bahwa perseroan
(dewan direksi) menyatakan nilai saham minimum yang disebut nilai nyataan (stated
value). Saham tidak dapat diterbitkan kalau dijual dengan harga di bawah nilai nyataan ini.
Nilai nyataan akan berfungsi sebagai modal yuridis.
Walaupun praktik akuntansi dalam kenyataannya memecah modal setoran menjadi
modal saham dan modal setoran lain, modal saham sebenarnya tidak harus menunjukkan
modal yuridis karena modal saham dapat berbeda jumlahnya dengan modal yuridis. 
Berapapun besarnya modal yuridis, model ini harus dipisahkan dengan yang lain.
Pemisahan semacam ini semata-mata merupakan tradisi dan dipengaruhi oleh konsep yang
disebut dengan trust-fund theory yang pada prinsipnya menyatakan bahwa harus ada batas
jumlah rupiah maksimum yang dapat didistribusi secara yuridis kepada pemegang saham
dalam kondisi perusahaan berjalan normal kecuali dalam hal perusahaan dilikuidasi.
Jumlah maksimum ini tidak harus sama dengan modal saham. 
Modal yuridis dapat diubah sewaktu-waktu tanpa harus menerbitkan saham baru.
Modal yuridis juga dapat berubah akibat transfer antar sumber dana sehingga terkadang
sulit untuk menentukan berapakah modal yuridis perusahaan yang sebenarnya sebagai
informasi kepada pihak yang berkepentingan. Dalam hal ini, Hendriksen dan van Breda
(1992) berpendapat bahwa pengungkapan modal yuridis tidak diperlukan kecuali untuk
perusahaan yang baru berdiri. Dalam perusahaan besar yang labanya berkembang, modal
yuridis biasanya merupakan sebagian kecil dari total ekuitas pemegang saham. Dalam
keadaan seperti ini, jumlah rupiah dividen tahun berjalan dan masa mendatang tidak akan
bergantung pada jumlah modal yuridis. Justru seluruh modal pemegang saham (termasuk
laba ditahan) akan berlaku sebagai perlindungan (buffer) bagi kreditor. Sebenarnya,
kreditor akan lebih mendasarkan keputusannya pada total sumber ekonomik perusahaan,
kemampuan memperoleh laba, Sebutkan kebijakan keuangan perusahaan daripada pada
modal yuridis. 
Pendapat ini sejalan dengan gagasan Paton dan Littleton (1970) yang menyatakan
bahwa modal saham dan modal setoran lain merupakan komponen yang harus dianggap
sebagai satu kesatuan dan jumlah rupiahnya harus ditotal untuk menunjukkan modal
setoran total. Akan tetapi, harus dibedakan dengan tegas antara modal setoran dengan laba
ditahan. Selanjutnya ditegaskan bahwa secara ekonomik bukankah modal yuridis yang
menjadi batas perlindungan tetapi justru laba ditahanlah yang merupakan penyangga
umum (general purpose buffer) untuk segala kemungkinan rugi dan hal-hal bersyarat
lainnya. 
Pasal 42 Undang-Undang No. 1 Tahun 1995 menetapkan bahwa saham tanpa nilai
nominal tidak dapat diterbitkan. Ketentuan ini sebenarnya dimaksudkan untuk
menentukan modal yuridis. nilai nominal merupakan jumlah rupiah minimal yang harus
disetor investor sehingga membentuk modal yuridis. Kalau saham terjual dengan harga
diatas nominal, dapatkah selisihnya diperlakukan sebagai laba ditahan karena modal
yuridis telah terpenuhi? 
Dalam hal ini, Paton dan Littleton (1970) menegaskan bahwa perseroan
merupakan kesatuan usaha maupun kesatuan hukum. Sifat Ganda ini menjadikan
akuntansi mempunyai fungsi ganda pula yaitu menyajikan data ekonomik  sekaligus
mencerminkan aspek yuridis yang sebenarnya. Fungsi Ganda ini menimbulkan masalah
pelaporan ekuitas pemegang saham karena konsep kesatuan usaha dan konsep hukum
sangat berbeda. Dari segi hukum ada tendensi untuk memandang ekuitas pemegang saham
sebagai jumlah rupiah tertentu yang menjadikan batas penarikan kembali dana yang
ditanamkan oleh pemegang saham tanpa memperhatikan setoran yang sesungguhnya. Dari
segi akuntansi, yang menganut substansi daripada bentuk, memandang ekuitas pemegang
saham adalah seluruh jumlah yang secara ekonomi tertanam di perusahaan termasuk laba
ditahan.
Selanjutnya Paton dan Littleton berargumen bahwa penggunaan laporan perseroan
untuk kepentingan  pengelolaan dan keuangan adalah lebih sering dibandingkan untuk
kepentingan yuridis dan bahwa penggunaan yang lebih sering harus lebih menentukan
bentuk penyajian daripada penggunaan yang hanya kadang-kadang (insidental). Akan
tetapi koma hal ini tidak berarti mengurangi arti penting laporan dari sudut pandang
yuridis. Dengan demikian, modal saham yuridis (legal capital) dapat saja disajikan
sebagai suatu rincian dibawah judul “modal setoran total.” Oleh karena itu, neraca akan
menjadi kurang informatif kalau komponen-komponen modal setoran dipindahkan tetapi
tidak ditunjukkan totalnya.
Dengan dasar pikiran di atas, transfer  dari modal setoran ke laba ditahan tanpa
alasan yang kuat adalah penyimpangan dari penalaran yang valid. Ini berarti bahwa modal
tidak dapat digunakan sebagai sumber laba ditahan. Demikian juga, tidak sebagianpun dari
jumlah rupiah laba ditahan dapat dimasukkan sebagai modal setoran kecuali jumlah rupiah
tersebut telah diubah menjadi modal dengan proses kapitalisasi yuridis atau telah berubah
karena transaksi modal yang dibahas di bawah ini.

Perubahan Modal Setoran


Gambar sebelumnya menunjukkan sumber perubahan modal setoran, modal setoran lain,
dan laba ditahan. Transaksi, kejadian, atau keadaan dapat menyebabkan perubahan dalam
ketiga komponen tersebut baik secara individual maupun bersamaan. Kalau pembahasan
sebelumnya berfokus pada klasifikasi, pembahasan di sini ditujukan pada penyebab
perubahan dan masalah teoritis yang berkaitan.
Tujuan utama perekayasaan akuntansi modal setoran ini adalah untuk
membedakan secara tegas antara perubahan akibat transaksi operasi dan perubahan akibat
transaksi modal. Dalam hal kenaikan modal setoran, pembedaan ini bermanfaat untuk
mencegah memperlakukan kenaikan akibat transaksi modal sebagai laba sehingga timbul
kesan adanya jumlah yang tersedia untuk pembagian dividen. Berbagai sumber yang dapat
mengubah modal setoran dengan berbagai masalah teoritisnya adalah: 
a. Pemesanan saham (stock subscriptions)
b. Obligasi terkonversi atau berhak-tukar (convertible bonds)
c. Saham istimewa terkonversi atau berhak-tukar (convertible stocks)
d. Dividen saham ( stocks dividend)
e. Hak beli saham, opsi, dan waran (stocks rights, options,and warrant)
f. Saham treasuri (treasury stocks)

Pemesanan Saham
Pada umumnya, pada saat perseroan didirikan atau pada saat melakukan penawaran publik
perdana (initial public offering atau IPO), perusahaan telah menetapkan apa yang disebut
modal dasar (authorized capital stocks). Dengan autorisasi tersebut perusahaan akan
mencetak sertifikat saham. Sertifikat saham yang telah dicetak ini akan menjadi apa yang
sering disebut saham dalam portepel (unissued stocks). Bila saham telah terjual dan
pembeli telah membayar penuh kesepakatannya, sertifikat saham diserahkan kepada
pembeli sehingga secara fisis saham dalam portepel akan berkurang. Atas dasar konsep
kesatuan usaha, jumlah rupiah yang diterima perusahaan ( kas atau aset lainnya) akan
menimbulkan atau diimbangi dengan modal setoran. 
Pada umumnya, investor yang berminat membeli saham perusahaan harus
memesan (to subscribe) lebih dahulu saham yang akan dibeli dengan harga sesuai dengan
kesepakatan pada saat pemesanan. Yang menjadi masalah adalah apakah jumlah rupiah
saham pesanan (subscribed stocks) tersebut telah dapat diakui sebagai modal setoran? 
Secara konseptual, ekuitas pemegang saham bersifat seperti kewajiban. Oleh
karena itu, jumlah rupiah saham pesanan dapat diakui sebagai modal setoran hanya
apabila kedua syarat berikut dipenuhi: 
1. Jumlah rupiah yang disepakati dalam pemesanan merupakan klaim yuridis bagi
perusahaan terhadap pemesan dan tidak dapat dibatalkan.
2. Harga pemesanan tersebut akan ditagih penerbit dalam periode yang cukup pasti
dan tidak terlalu lama. 
Syarat (1) menuntut bahwa kesepakatan pemesanan merupakan kontrak yang
mengikat sehingga menimbulkan piutang pesanan saham (stock subscription receivable)
bagi penerbit yang kalau tidak dipenuhi maka penerbit dapat menuntut secara yuridis
untuk dilunasi. Dengan kata lain, pemesanan merupakan kesanggupan yang definitif dan
bukan sekedar untuk keperluan administratif belaka. Klaim untuk menerima uang yang
tidak dapat dibatalkan dilandasi oleh konsep hak-kewajiban tak bersyarat (unconditional
right of offset) yang yang menyatakan bahwa pihak berkontrak pertama tidak mempunyai
kewajiban apapun sebelum pihak kedua memenuhi apa yang menjadi hak pihak pertama.
Dalam hal ini, piutang yang tidak dapat dibatalkan merupakan aset bagi penerbit sehingga
modal setoran sebagai “kewajiban” dapat diakui. 
Syarat (2)  diperlukan agar hak-kewajiban tak bersyarat tidak berlaku sehingga
kontrak tidak bersifat eksekutori. Jadi, bila tidak ada kepastian tentang pelaksanaan
transaksi penerbitan maka pemesanan tersebut jelas tidak dapat diakui sebagai modal
setoran. Dengan kata lain, kalau ada kesanggupan yang sah untuk menginvestasi dana ke
perusahaan dari pihak pemesan dan ada jaminan yang cukup pasti bahwa pemesan akan
menyetorkan jumlah rupiah pemesanannya pada saat yang dijanjikan maka sebenarnya
ada cukup alasan untuk mengakui pemesanan tersebut sebagai modal setoran walaupun
tidak secara penuh (dicatat sebagai modal saham pesanan atau captal stocks subscribed).
Dalam pelaporan, piutang pesanan saham dikontrakan terhadap modal saham pesanan
untuk menunjukkan modal setoran yang sesungguhnya. Selisihnya dengan sendirinya
merupakan jumlah rupiah yang benar-benar telah disetor. 

Obligasi Terkonversi
Dalam hal tertentu, perusahaan menerbitkan obligasi dengan karakteristik bahwa obligasi
tersebut dapat ditukarkan dengan saham biasa atas kehendak pemegang obligasi dalam
periode konversi tertentu. Telah dibahas sebelumnya bahwa obligasi yang demikian
mengandung sifat ekuitas dan kewajiban sehingga menimbulkan masalah apakah perlu
dipisahkan jumlah rupiah yang mempresentasi ekuitas dan yang mempresentasikan
kewajiban. 
Hak tukang tersebut diambil  (exercised), yang terjadi adalah perubahan status
kewajiban menjadi modal setoran. Masalah teoritisnya adalah menentukan jumlah rupiah
yang dapat dianggap sebagai modal setoran sehingga modal saham dan kelebihan an di
atas modal saham (kalau ada) dapat ditentukan. Dalam hal ini, ada 2 nilai yang dapat
digunakan sebagai basis kapitalisasi yaitu:
1. Nilai buku (book value) atau nilai bawaan (carryng value) obligasi pada saat
penukaran.
2. Harga pasar obligasi atau harga pasar saham ( mana yang paling objektif). 
Dasar pertama  mereklasifikasi nilai buku menjadi modal saham dan premium atau
diskon pada saham tergantung kasusnya. Dengan demikian, tidak ada untung atau rugi
yang diakui pada saat transaksi pertukaran tersebut. Esensi transaksi tersebut hanyalah
mengubah status jumlah rupiah utang menjadi modal pemegang saham. Pendekatan
didasari konsep kesatuan usaha (business entity concept) karena kreditor dan pemegang
saham mempunyai kedudukan yang sama sebagai investor dengan kepentingan yang
sama. Oleh karena itu, pertukaran tersebut tidak mempunyai substansi ekonomi sehingga
tidak dapat menimbulkan untung atau rugi. 
Alasan yang lain adalah bahwa pada saat obligasi diterbitkan, semua penerimaan
kas diperlukan sebagai utang. Artinya, tidak dipisahkan jumlah rupiah yang melekat pada
obligasi sebagai obligasi biasa dan pada hak tukar. Hak tukar dianggap melekat pada
obligasi sehingga tidak dapat diukur secara pasti nilainya. Karena hak tukar tidak dapat
diukur dengan pasti, nilai buku obligasi murni juga tidak dapat diukur dengan pasti
sehingga laba atau rugi tidak dapat ditentukan kalau toh harga pasar obligasi dapat
ditentukan. Jadi, kepastian dan objektivitas pengukuran tidak menghendaki pengakuan
untung dan rugi. 
Pendekatan kedua memperlakukan selisih antara harga pasar obligasi atau saham
dengan nilai buku buku obligasi sebagai untung atau rugi. Cara ini dilandasi oleh konsep
kesatuan pemilih (propietary concepts). Perubahan dalam penilaian obligasi dianggap
mempunyai pengaruh terhadap modal pemegang saham. Akan tetapi, karena harga pasar
obligasi merefleksi pula nilai hak tukar, nilai hak tukar harus ditaksir dan dikeluarkan dari
nilai pasar obligasi. Nilai pasar obligasi murni ini kemudian ditandingkan dengan nilai
buku obligasi untuk menentukan laba atau rugi yang tepat. Secara konseptual, pengakuan
laba atau rugi tidak valid karena konversi ini merupakan transaksi modal bukan operasi.
Secara teoritis, transaksi modal tidak menimbulkan pendapatan, laba, atau rugi. 

Saham Prioritas Terkonversi


Pengukuran jumlah rupiah yang harus diakui sebagai modal setoran dapat menggunakan
cara seperti pada obligasi terkonversi. Dengan pendekatan pertama, nilai nominal saham
prioritas plus porsi premium/diskon ditransfer ke modal pemegang saham dan
premium/diskon modal pemegang saham biasa. Tidak ada untung atau rugi yang diakui
pada saat konversi tersebut. Ini berarti bahwa jumlah rupiah  yang mula-mula diterima
pada saat menerbitkan saham prioritas dianggap sebagai modal setoran mula-mula untuk
saham biasa. Dicatat bahwa jumlah rupiah ini bukan merupakan nilai likuiditas saham
prioritas karena nilai likuidasi saham prioritas adalah sebesar nilai nominalnya. Itulah
sebabnya porsi premium/diskon juga ikut ditransfer. Kalau porsi premium tidak ditransfer
dan semua saham prioritas dikonversi menjadi saham biasa maka akan terjadi kejanggalan
karena akan terdapat premium saham prioritas padahal tidak ada saham prioritas yang
beredar. Konversi ini semata-mata menandai perubahan status atau hak dua golongan
pemegang saham. Perubahan ini sering disertai penerbitan sertifikat saham biasa baru dan
penarikan sertifikat saham prioritas atau istimewa. 
Pendekatan kedua dapat juga diterapkan. Kalau ada selisih antara harga pasar baik
saham biasa maupun saham prioritas, selisih tersebut harus dikompensasi ke atau dari laba
ditahan. Pendekatan ini mengisyaratkan diterimanya konsep kesatuan usaha karena laba
ditahan dianggap sebagai ekuitas perusahaan yang terpisah atau independen. Ini berarti
harga pasar saham biasa yang diperhitungkan dianggap tidak merefleksi hak yang melekat
pada laba ditahan. Laba ditahan dianggap sebagai penyangga bila ada selisih harga antara
dua sekuritas yang dipertukarkan. Cara ini juga dilandasi oleh pendekatan dua-transaksi
(two-transactions approach) yaitu konversi dianggap sebagai transaksi penebusan
kembali  saham prioritas (sehingga sebagian dari harga penebusan yang melebihi nilai
buku dianggap sebagai distribusi laba ditahan) dan transaksi penjualan saham jam biasa
baru  dengan harga pasar yang berlaku. Karena hak tukar melekat pada saham prioritas
pada waktu diterbitkan, perlakuan konversi sebagai satu transaksi (one-transaction
approach) seperti pendekatan pertama akan lebih logis.
Argumen lain yang mendukung harga pasar sebagai dasar penilaian modal setoran
adalah bahwa konversi tersebut mempunyai substansi ekonomik  tidak semata-mata
formalitas. Setelah konversi berarti perusahaan menjadi bebas dari kewajiban membayar
dividen secara tetap. Ini berarti likuiditas perusahaan  bertambah dan akan mengurangi
risiko pemegang saham biasa. Penggunaan harga pasar juga paralel dengan transaksi
pertukaran untuk potensi jasa atau aset yang tidak sejenis (dissimilar) yang yang
menggunakan harga pasar sebagai dasar penentuan kosnya. Yang menjadi masalah adalah
Apakah saham biasa dan prioritas dianggap dua komponen yang tidak sejenis secara
substantif. 

Dividen Saham
Dividen saham adalah distribusi dividen dalam bentuk saham yang sejenis dengan saham
yang mula-mula diterbitkan. Bila distribusi dividen saham tidak disertai dengan
kapitalisasi laba ditahan, dividen saham akan menyerupai pemecahan saham (stock split).
Pemecahan Saham adalah penurunan nominal (atau nilai nyataan/stated value) per saham
dengan cara menukar setiap satu saham yang beredar dengan dua atau lebih saham baru
yang nilai nominal per saham merupakan pecahan dari nilai nominal  saham semula. Bila
perusahaan mendistribusi dividen saham 20% tanpa disertai kapitalisasi, perusahaan
sebenarnya telah menurunkan nominal per saham menjadi 100/ 120 dari nilai nominal
semula. 
Pembagian dividen saham tanpa kapitalisasi laba ditahan sama saja dengan
mempertahankan klasifikasi ekuitas atas dasar sumber.  Karena tidak ada kapitalisasi laba
ditahan, masalah penilaian tidak timbul. Dari sudut pandang perusahaan, yang terjadi
adalah saham beredar menjadi lebih banyak tanpa ada perubahan rupiah modal setoran
dan laba ditahan sehingga nominal per lembar saham akan  turun. Perusahaan tidak perlu
melakukan penjurnalan apapun dan cukup mengungkapkan informasi dalam penjelasan
atas statement keuangan. 
  Bila reklasifikasi ekuitas yang menjadi tujuan Pembagian dividen saham dan
nominal per saham dipertahankan, tambahnya saham yang beredar bukan lagi merupakan
pemecah nominal saham tetapi benar-benar merupakan dividen saham. Pembagian dividen
saham ini akan menimbulkan masalah penilaian untuk kapitalisasi laba ditahan dan
masalah pengungkapan yang memadai. Penilaian untuk menentukan kapitalisasi laba
ditahan dapat menggunakan dasar nominal saham atau harga pasar saham atau dasar
lainnya bergantung pada karakteristik atau tujuan pembagian dividen saham. 

Karakteristik Dividen Saham


Bagi pemegang saham, dividen saham bukan merupakan pendapatan atau laba. Berbagai
teori atau argumen diajukan untuk menjelaskan mengapa dividen saham bukan merupakan
laba bagi penerimanya. 
Dari sudut pandang kesatuan usaha, dividen saham bukan merupakan pembagian
laba karena tidak ada penurunan aset perusahaan atau kenaikan utang perusahaan. Hal ini
berbeda dengan dividen kas jelas merupakan pendapatan bagi penerima karena ada
transfer kemakmuran (wealth)ke pemegang saham.
Bila toh dividen saham dipandang sebagai pendapatan in natura karena menaikkan
nilai investasi, pendapatan tersebut belum terealisasi bila belum dijual oleh penerimanya.
Investasi naik karena dividen saham dapat dijual atau kalau tidak dijual penerima berhak
menerima dividen tunai di masa datang atas saham tersebut.
Argumen lain didasarkan atas konsep kesatuan usaha. Dengan konsep ini, laba
ditahan dipandang sebagai bagian dari modal pemegang saham. Kalau perusahaan
memperoleh laba maka modal pemegang saham juga akan naik dengan jumlah yang sama.
Ini berarti kemakmuran pemegang saham juga naik (biasanya ditandai dengan naiknya
harga saham di pasar modal). Oleh karena itu, dividen saham atau dividen kas sebenarnya
bukan merupakan pendapatan atau laba bagi pemegang saham karena pada saat dividen
tersebut dibagikan kemakmuran pemegan saham tidak bertambah lagi. Dividen kas hanya
berfungsi sebagai konfirmasi bahwa kemakmuran pemegang saham benar-benar telah naik
secara objektif sebelum dividen. Kalau laba ditahan dianggap sebagai ekuitas yang
terpisah sehingga ekuitas pemegang saham hanya terdiri atas modal setoran, dividen
saham atau kas merupakan pendapatan atau laba bagi pemegang saham karena mereka
memperoleh sesuatu yang sebelumnya tidak dipunyai. Dividen saham akan menaikkan
modal setoran dengan cara transfer dari ekuitas perusahaan ke ekuitas pemegang saham.
Dari sudut pandang kesatuan pemilik, dividen saham bukan merupakan laba
pemilik. Oleh karena itu, dividen kas dianggap sebagai pengambilan atau prive oleh
pemilik dari sesuatu yang memang sudah menjadi di haknya sehingga tidak ada tambahan
kemakmuran. Dividen saham juga bukan merupakan laba tetapi sekadar reklasifikasi
ekuitas. 
Karena sudut pandang akuntansi adalah kesatuan usaha, apakah dividen saham
merupakan pendapatan bagi pemegang saham sebenarnya bukan masalah yang relevan.
Yang relevan bagi perusahaan adalah apakah dividen saham dipandang sebagai
reklasifikasi ekuitas dan bila demikian bagaimana kapitalisasi diukur. Kapitalisasi dapat
didasarkan atas (1) nilai nominal atau nilai nyataan dividen yang dibagi, (2) nilai pasar
dividen yang dibagi/diterbitkan, dan (3) modal setoran per saham sebelum dividen saham. 

Kapitalisasi Atas Dasar Nilai Nominal


Kalau tujuan penyajian  informasi modal pemegang saham untuk menunjukkan modal
yuridis (legal capital), kapitalisasi dividen saham haruslah hanya sebesar nilai nominal
atau nyataannya. Jumlah ini sebesarnya merupakan jumlah minimal yang harus
dikapitalisasi untuk memenuhi ketentuan yuridis. 
Alasan pendukung kapitalisasi hanya sebesar nilai yuridis adalah bahwa dividen
saham bukan merupakan pendapatan dan mengkapitalisasi sebesar harga pasar memberi
kesan bahwa dividen tersebut merupakan pendapatan yang direinvestasi ke dalam
perusahaan. Alasan lain yang dianggap cukup kuat adalah bahwa harga pasar
menggambarkan harga seluruh ekuitas pemegang saham (modal setoran dan laba
ditahan).Jadi sangat tidak logis mentransfer jumlah yang merefleksi elemen modal setoran
dan laba ditahan ke modal setoran itu sendiri. 
Modal yuridis baru ingin ditunjukkan kan tanpa melakukan kapitalisasi resmi,
dapat ditempuh apa yang disebut klasifikasi ganda (dual classification). Modal saham
yuridis baru ditunjukkan dalam catatan kaki sementara di neraca ditunjukkan bagian laba
ditahan yang dikapitalisasi. 

Kapitalisasi Atas Dasar Harga Saham


Walaupun dividen saham berbeda dengan dividen kas, sebagai dividen keduanya
dianggap sebagai distribusi ke pemilik. Oleh karena itu, dividen saham dapat dipandang
sebagai pengganti dividen kas karena dividen saham mempunyai nilai. Paling tidak,
pemegang saham dapat menjual saham tersebut kalau dividen kas yang diharapkan dan
investasi semula tidak berubah. Nilai tersebut diukur atas dasar harga saham. Dengan
demikian, harga pasar dasar untuk menentukan kapitalisasi. Berbagai dasar pikiran
mendukung hal ini. 
a. Laba ditahan pada dasarnya adalah investasi dari pemegang saham tanpa tindakan
pernyataan resmi. Dividen saham merupakan sarana untuk menyatakan
kebersediaan pemegang saham secara resmi untuk menanamkan modal (dengan
dividen saham sebagai bukti) dalam perusahaan. Jumlah yang ditanamkan tentunya
adalah sebesar harga pasar saham di mata pemegang saham karena pemegang
saham dapat menjual dividen saham untuk mendapat kas.
b. Transaksi dividen saham dapat dianggap terdiri atas dua transaksi yaitu pembagian
dividen kas dan penerbitan saham baru dengan harga sebesar dividen kas
tersebut.Oleh karena itu, dividen saham akan laba ditahan sebesar harga pasar
saham dan reinvestasi akan menyebabkan modal setoran naik dengan jumlah yang
sama.
c. Dari kaca mata perusahaan, jumlah rupiah dividen saham adalah kos kesempatan
penjualan saham baru ke pasar modal. Artinya besarnya kapitalisasi adalah sebesar
jumlah rupiah seandainya saham baru dijual di pasar dan tidak dibagikan sebagai
dividen saham.
d. Penggunaan harga pasar (bukan hanya nilai nominal) juga mengurangi kesan
keliru para pemegang saham bahwa masih tersedia laba ditahan yang dapat
didistribusikan lagi baik dalam bentuk dividen saham atau kas. 
Kritik terhadap argumen ini adalah bahwa keduanya didasarkan pada keadaan
yang memang tidak terjadi. Lebih dari itu, kalau presentasi dividen saham cukup tinggi,
harga saham akan cukup terpengaruh sehingga kapitalisasi harus dibatasi hanya sejumlah
modal yuridis (nominal saham). Masalahnya adalah saham dianggap cukup besar. Seperti
pedoman umum penggunaan metode ekuitas, pembagian dividen saham di atas 20%
dianggap cukup berpengaruh (substantial influence) terhadap harga saham sehingga
kapitalisasi dibatasi hanya sebesar nilai nominal. 
Hak Beli Saham
Hak beli saham adalah hak yang diberikan bagi pemengang saham lama untuk membeli
sejumlah saham (proposional dengan pemilikan). pada umumnya, hak beli saham umurnya
tidak lama dan hara beli saham dengan hak beli tersebut biasnya lebih rendah dari harga pasar
saham bersangkutan. Oleh karena itu, hak beli saham sering dianggap mempunyai harga
pasar sehingga timbul pendapat bahwa hak tersebut dikapitalisasi. Harga pasar hak beli
saham ini adlah sebesar selisih harga pasar saham dengan harga yang harus dibayar
pemengang saham yang mempunyai hak beli saham.
Bila dividen saham dapat dikapitalisasi maka hak beli saham juga dapat dikapitalisasi
karena hak beli saham dapat dianggap sebagai dividen saham dengan nolai seberar harga
pasar hak beli aham. Jumlah ini dikapitalisasi ke modal setoran lain (paid-in capital in execes
value). Anrgumen ini dibantah dengan alasan bahwa kapitalisasi hak beli saham menjadi
modal setoran adalah tidak logis karena tidak ada sumber ekonomikyang disetorkan oleh
pemegang saham dan tidak ada saham baru yang diterbitkan. Lain halnya dengan kupon beli
saham atau warn (stock warrnts) yang dibahas sesudah opsi saham berikut.
Opsi Saham
Opsi merupakan instrumen yang digolongkan sebagai sekuritas turunan-saham atau
derivatif-saham (equity-derivative securutiies). Disebut turunana kerena harus ada sekuritas
yang melandasi atau menjadi basis (underlying securities). Secara umum opsi diartikan
sebagai klaim untuk membeli atau menjual saham tertentu yang sengaja diciptakan oleh
investor untuk dijual kepada investor lain. Terdapat dua macam opsi yaitu call dan put. Opsi
call memberi hak kepada pemegang untuk membeli sejumlah saham saham dengan harga
tertentu (exercise ata strike price)setiap saat sebelum hak tersebut habis pada tanggal tertentu
(expiration date). Opsi put memberi hak kepada pemegang untuk menjual sejumlah saham
dengan harga tertentu setiap saat sebelum hak tersebut habis pada tanggal tertentu. Opsi
dijual oleh penerbit dengan harga tertentu (disebut option premuim atau price).
Dalam arti khusus, opsi saham adlah semacam kontrak yang memberi hak kepada
karyawanperusahaan (termasuk manajer atau pemimpin) untuk membeli saham perusahaan
dalam jangka waktu tertentu dengan harga yang tertentu pula. Pada umumnya harga
mengambilan (execie price) dibawah harga pasar saham yang bersangkutan atau harga yang
diatawarkan kepada pihak lain.Kebijakan semacam ini sering disebut dengan program opsi
saham karyawan(employe stock option plan atau ESOP). Opsi saham ini biasanya digunakan
sebagai sarana untuk meningkatkan loyalitas dan motivasi karyawan dengan menjadikan
mereka pemilik perusahaan dan untuk menambah penghasilan karyawan (sebagai kompensasi
tambahan). Banyaknya saham yang dapat dibeli dengan harga opsi dapat ditentukan pada saat
hak opsi diberikan atau bergantung pada beberapa kejadian dimasa mendatang seperti
pertumbuhan perusahaan dan berubah harga saham.
Dalam hal opsi saham karyawan, adakalanya harga pengambilan begitu rendahnya
dibanding harga pasar sehingga selisihnya dapat dipandang sebagai kompensasi atau imbalan
jasa karyawan.
Opsi Saham Nonimbalan
Adakalanya program opsi saham diluncurkan bukan untuk tujuan meningkatkan
kompensasi karyawan tetapi untuk meningkatkan status karyawan sebagai pemilik
perusahaan dan untuk membantu perusahaan menambah dana. Program opsi saham yang
memeng tidak dimaksudkan untuk menambah penghasilan karyawan tidak dapat
dikategorikan sebagai kompensasi tambahan sehingga harus diakui sebagai biaya. Namun,
pendapat umum menyatakan bahwa opsi saham pada dasarnya mengandung unsur
kompensasi tambahan kepada karyawan. Manfaat yang diperoleh karyawan dari mengambil
(to exercise) opsi, atau membeli saham, dengan harga opsi yang lebih rendah dari harga pasar
saham bersangkutan merupakan elemen kompensasi seandainya elemen tersebut dapat diukur
dengan cukup teliti. Dengan demikian manfaat tersebut dapat diakui sebagi biaya dalam
menghitung laba baik dalam perioda opsi saham diberikan atau dalam perioda manfaat
tersebut telah terrealisasikan atau dinikmati karyawan.
Tujuan terkandung dalam program opsi saham memang sulit untuk dijadikan dasr untuk
menentukan apakah opsi bersifat kompensasi atau non kompensasi. APB Opinion No. 25
(pasal 7) menetukan bahwa opsi saham dapat diketegori sebagai nonimbalan/nonkompensasi
kalau keempat karakteristik program opsi saham berikut dipenuhi.
1. hampir seluruh karyawan penuh (full-time) yang memenuhi kualifikasi jabatan
terbatas boleh berpartisipasi dalam program opsi saham.
2. karyawan mempunyai hak membeli saham dalam jumlah yang sama atau atas dasar
presentase tertentu dari gaji atau upah.
3. jangka waktu opsi tidak terlalu lama
4. harga saham tidak terlalu rendah dibandingkan dengan harga pasar saham atau
harga yang ditawarkan kepada pihak lain.

Harus diasumsi pula bahka pemberian hak opsi tersebut tidak mempunyai konsekuensi
bagi karyawan untuk melaksanakan kewajiban atau pekerjaan tambahan. Pada umumnya,
kalau opsi saham tersebut nonimbalah, harga saham atau harga pengembalian (exercise price)
ditentukan sama dengan harga pasar saham pada saat opsi saham diberikan. Dengan demikian
pada saat tersebut karyawan dianggap tidak menerima manfaat atau penghasilan tambahan
kkarena karyawan akan membayar jumlah yang sama dengan jumlah yang harus dibayar oleh
non karyawan untuk saham bersangkutan di pasar saham.
Kalau karyawan ternyata memeperoleh manfaat karena harga saham ternyata lebih
rendah daripada harga pasar pada saat opsi saham diambil, manfaat tersebut dapat dipandang
sebagai untung akibat spekulasi karyawan dan bukan sebagai penghasilan tambahan untuk
jasa yang diberikan oleh karyawan. Pada saat opsi saham diatawarkan, tidak ada tambahan
modal setoran. Pada saat opsi saham diambil, modal setoran akan bertambah sebesar harga
saham. Pada saat itu seakan-akan perusahaan menjual dan menerbitkan saham baru.
Opsi Saham Imbalan
kalau program opsi saham tidak memenuhi kriteria sebagai opsi saham nonimbalan,
tentunya opsi saham tersebut merupakan opsi saham imbalan. Misalnya saja, opsi saham
ditawarkan maka kompensasi dapat diukur pada saat itu atas dasar selisih harrga pasar dan
harga pengambilan. Akan tetapi, kalau cacah saham dan harga pengambilan tergantung pada
hal-hal yang akan terjadi di masa mendatang, kompensasi yang diperhitungkan dan diakui
sebagai biaya biasanya adalah selisih harga pengambilan dan harga pasar pada tanggal
pengukuran (measurement date). Tanggal pengukuran alternatif ini akan ditentukan
berdasrkan tanggal yang informasi berikut diketahui lebih dahulu (1) banyaknya saham yang
dapat dibeli oleh karyawan atau (2) harga pengambilan. Tidak berarti bahwa karyawan harus
mnegambil opsi pada tanggal tersebut.
Alasan pengukuran biaya pada saat opsi ditawarkan atau pada tanggal alternatif diatas
adalah: (a) pada tanggal tersebut kompensasi dapat diukur dengan cukup pasti bak bagi
perusahaan maupun karyawan, (b) harga pada tanggal tersebut dapat dianggap merupakan
harga kesepakatan bagi kedua belah pihak sehingga jumlah rupiah objektif, (c) selisih harga
pada tanggal penawaran opsi tetap dapat dianggap sebagai kos untuk mencapai tujuan
penerbitan opsi, dan (d) keputusan untuk mengambil opsi saham ada ditanggan karyawan
sehingga perubahan harga saham bukan merupakan kos bagi perusahaan.
Dalam program opsi saham imbalan, begitu opsi diambil perusahaan menerima kas atau
aset lainnya dan potensi jasa karyawan (future services from the employe). Potensi jasa
karyawan ini bersifat seperti gaji di bayar dimuka sehingga merupakan aset perusahaan.
Secara umum, jurnal standar untuk mencatat transaksi opsi saham adalah sebagai berikut:
Kas (atau aset lain).................................................Rp xx
Potensi Jasa Karyawan...........................................Rp xx
Modal Saham................................................................Rp xx
Agio Modal Saham.......................................................Rp xx
Secara teoritis, kos potensi jasa karyawan harus disebar menjadi biaya ke perioda-
perioda yang menikmati jasa tersebut. Secara intuitif, kos potensi jasa ini adalah selisih antara
saham dan harga pengambilan tanggal pengukuran. Akan tetapi, secara teoritis terdapat
berbagai alternatif pengukuran dan tanggal pengakuannya beserta argumen yang melandasi.
Pembahsan mendalam mengenai hal ini adalah diluar kenteks pembahsan modal setoran ini.
Waran
Perusahaan dapat juga menjual hak beli saham (reights) kepada nonpemegang saham
dengan menjual kupon pembelian saham atau waran. Dalam PSAK No. 41, IAI mendefini
waran waran sebagai berikut:
waran adalah efek yang diterbitkan oleh suatu peusahaan yang memberi hak kepada
pemegangnya untuk memesan saham dari perusahaan tersebut pada harga dan jangka
waktu tertentu (pasal 03).
Pemegang waran dapat membeli sejumlah saham dengan mengembalikan waran
tersebut dan membayar sejumlah uang kas tertentu. Waran berbeda dengan hak beli saham
dan opsi saham dalam beberapa spek yaitu:
1. Waran diterbitkan oleh perusahaan sedangkan hak beli saham (call dan put)
diterbitkan oleh investor (baik individul maupun institusional)
2. jangka waktu opsi waran bisanya lebih lama (dapat tahunan) daripada jangka waktu
opsi hak beli saham
3. Waran dijual atau diterbitkan kepada umum (bukan pemegang saham atau
karyawan perusahaan) dan biasanya hal ini menjadi syarat bagi pembeli.
4. Saham dijual dengan harga tertentu/tunai (tidak gratis)
5. Harga pembelian saham total (harga waran plus tambahan kas) pada saat
pengambilan opsi biasanya melebihi harga pasar saham pada saat waran ditawarkan
6. bila hak opsi tidak diambil, kos waran tidak dapat ditarik kembali oleh pemegang
waran.
7. waran dapat diterbitkan menyertai penerbitan surat utang (obligasi)

Karena terdapat aliran masuk dana, jumlah rupiah yang diterima dari penjualan kupon
saham dapat diakui dan diketegorikan sebagai modal setoran baik sebagai modal saham atau
modal setoran lain (agio saham)
persoalan teoretis timbul bila waran dijual sebagai bonus atau “pemanis” (“suweetner”)
penjualan surat berharga lain misalnya obligasi atau satu lot saham prioritas akan
mendapatkan satu waran. Persoalannya adalah apakah jumlah rupiah yang diterima
perusahaan dialokasi seluruhnya ke obligasi atau saham prioritas bersangkutan atau sebagian
dialokasikan ke waran sebagai modal setoran saham biasa Keputusan tentang hal ini akan
mempenggaruhi klasifikasi modal setoran.
Pendukung pemisah berargumen bahwa sekuritas dan awaran mempunyai nilai yang
terpisah karena terjadinya nilai erasal dari sumber yang berbeda. Nilai pasar obligasi atau
saham prioritas terbentuk dari kekuatan pasar yang berkaitan dengan tingkat bunga.Nilai
pasar waran terbentuk dari persepsi investor tentang kemampuan perusahaan menghasilkan
laba dimasa mendatang. Sementara itu, penentang alokasi mendasarkan argumennya kepada
objektifitas penetuan nilai karena pada umumnya harga pasar masing-masing sekuruitas
tersebut tidak tersedia dipasar. Jadi dapat dikatakan pula bahwa argumen untuk menolak
alokasi adalah kepraktisan.
pertimbangan tentang pemisahan kos juga didasrkan atas karakteristik waran tersebut
yaitu apakah bersifat lepas (detachable warrants), lekat (nondetahable warrants), atau bebeas
(naked warrants). waran lepas adlah waran yang dierbitkan menyertai sekuritas utama dan
dapat diperdagangkan secara terpisah dari sekuritas tersebut. Waran lekat adalah warang yang
melekat pada sekuritas sebagai satu kesatuan sehingga tidak dapat diperdagangkan secara
independen. Waran bebas adlah waran yang diterbitkan sendiri bukan sebagai penyerta atau
pemanis sekuritas tertentu.
kalu suatu sekuritas (obligasi atau saham prioritas) diterbitkan dengan waran lepas,
pemegang waran pada dasarnya mempunyai dua macam sekuritas. Tindakan yang
bersangkutan dengan salah satu jenis sekuritas adalah independen terhadap tindakan yang
berkaitan dengan sekuritasyang lain.
PSAK No. 41 telah menetapkan perlakuan akuntansi untuk berabagi jenis waran
sebagai berikut:
Jumlah rupiah hasil penerbitan sekuritas (utang atau ekuitas) yang disertai waran lepas
dialokasi ke sekuritas dan waran atas dasar nilai wajar masing-masing komponen pada
saat penerbitannya. Jumlah rupiah yang melekat pada waran dilaporkan sebagai modal
setoran modal setoran lainnya dan jumlah rupiah yang melekat pada sekuritas
dilaporkan sebagai kewajiban atau ekuitas sesuai dengan karakteristiknya (pasal 15(.
Apabila waran diambil, jumlah rupiah yang melekat pada waran dikapitalisasi
kemudian saham dan agio saham(bila ada). apabila waran tidak diambil pada masa
opsi, jumlah rupiah tercatat warang tetap diperlakukan sebagai modal setoran lain
(Pasal 16)
Penurunan Modal Setoran
Berbagai sumber perubahan modal setoran yang dibahas diatas bersifat menaikkan atau
menambah modal setoran. Pada umumnya lebih banyak faktor yang bersifat menaikkan
modal setoran dari pada menurunkan modal setoran. Alasannya adalah bahwa begitu modal
disetor dan tertananam dalam perusahaan, modal tersebut akan menjadi investasi permanen
dalam perusahaan. Kalupun pemegang saham ingin melepaskan investasinya, pemegang
saham akan menjualnya kepasar saham sehingga apana yang dialkukan pemengang saham
tidak mempenggaruhi operasi ataupun posis keuangan perusahaan.
Modal setoran tidak akan berkurang kecuali ada pembayaran atau pembagian dividen
yang dapat diketegori dividen yang dapat dilikuidasi (liqudating dividen) atau penarikan
kembali dividen saham yang beredar yang secara permanen (1970) sangat menegaskan
bahwa perubahan karena transaksi modal harus dibedakan secara tegas dengan perubahan
karena operasi taransaksi operasi.
Jadi, perlakuan atas saham yang diatarik kembaliharus sejalan dengan sifatnya sebagai
ekuitas pemegang saham. Kalu saham yang bersangkutan dapat diterbitkan kembali, saham
dengan jumlah rupiah sebesar yang dibayarkan untuk penarikan kembali tersebut harus
diperlakukan sebagai kontra modal setoran dan laba ditahan bukannya sebagai aset. Kalau
saham yang bersangkutan tidak dapat diterbitkan lagi (dianggapa dilinasi), jumlah rupiah
yang dibayarkan harus dibebenkan kemodal saham sampai sejumlah yang mula-mula
dikredit; sisanya kemudian dibebnkan kepremium modal saham sampai sejumlah yang tidak
melebihi bagian premium yang mula-mula dikredit; kalau masih terdapat sisa, kelebihan
tersebut dibebankan ke laba ditahan. Kalau terjadi “untung” dalam penembusan saham
tersebut maka “untung” tersebut hraus dikredit kepremium modal saham kerena jumlah
tersebut pada hakikatnya mempunyai karakteristik seperti konstribusi modal dalam donasi
atau pembebasan (pengampunan) utang.
Pembelian kembalisaham beredar ileh perseroan sebenarnya bermakna penarikan aset
yang diinvesatasikan oleh pemegang saham yang bersangkutan. Akibatnya, struktur modal
perubahan sesuai dengan jumlah aset yang ditarik kembali tesebut. Akan tetapi, karena
perlakuaan akhir terhadap saham yang ditebus kembali tersebut mungkin tidak pasti maka
perlu dibuat ketentuan tentang perlakuan sementara terhadap saham yang ditarik kembali
tersebut dalam.
Patton littleton (1970) menegaskan bahwa ditinjau dalam segi penilaian pasar (market
valution) terdapat terhadap perusahaan, tidak ada alasan untuk menggap baik bahwa
perseroaan (mewakili mereka yang masih memegang saham)maupunpemegang saham yang
mengembalikan haknya (yang menyerahkan sahamnya) memperoleh laba efektif, atau
menderita rugi efektif dalam transaksi modal tersebut. Kalu harga yang dibayarkan untuk tiap
saham yang ditarik kemabi lebih rendah daripada kos saham pada saat penarikan kembali
tersebut, maka dapat diangap bahwa penilaian pasar terhadap perusahaan secara keseluruhan
(atas dasr nilai likuidasi pada saat itu) adlah lebih rendah daripada jumlah rupiah yang
tercatat untuk aset seperti kas, piutang dan kos aset lainnya. Demikian pula, kalau harga yang
dibayarkan untuk saham yang ditarik kambali lebih tinggi daripada nilai bukunya ini berarti
bahwa penilaian pasar pada saat itu memperhitungkan adanya apresiasi aset yang tercatat
maupun aset takberwujud lainnya yang tidak tercatat.
Saham Treasuri
Transsakti yang jelas akan mengurangi modal setoran adalah penarikan kembali saham
untuk sementara menjadi saham treasuri. Beberapa alasan perusahaan melakukan penarikan
kembali saham treasuri adalah:
a. Saham tersebut akan diterbitkan kembali kepada karyawan dalam program opsi saham.
Dengan penggunaan saham treasuri dalam program opsi saham, proporsi pemilikan saham
yang masih beredar tidak berkurang dibandigkan kalau digunakan saham baru.

b. Saham tersebut akan digunakan untuk membeli perusahaan lain dalam transaksi
penggabungan usaha (business combination)

Masalah teoretis yang melekat pada transaksi saham adalah (1) penentuan jumlah rupiah
yang harus dianggap sebagai pengurangan modal setoran dan laba ditahan dan (2)
pengungkapan pengaruhnya terhadap modal yuridis bila saham treasuri dijual kembali.
Mengenai hal ini, ada dua pendekatan atau konsep yang dapat diterapkan yaitu konsep satu-
transaksi (single-transaction) dan dua transaksi (two transaction).
Konsep Satu-Transaksi
Konsep ini disebut juga dengan metoda kos karena jumlah rupiah total yang dibayarkan
dianggap seakan-akan merupakan kos pembelian saham treasuri. Disebut satu-transaksi
karena pembelian saham treasuri dan penjualan dianggap sebagai kesatuan transaksi untuk
mencapai tujuan yang diinginkan dengan transaksi saham treasuri tersebut.
Kalau saham treasuri dijual kembali dengan haega diatas kos maka jelaslah bahwa
selisihnya akan menambah agio saham atau mengurangi disagio saham. Dengan kata lain,
selisih dibebankan kemodal setoran lain. Dengan cara ini, modal (yuridis) akan tetap
terpelihara seperti semula.
Namun, bila saham treasuri dijual kembali dengan harga dibawah kos, bagaimanakah
kedudukan selisihnya? Sebgai contoh, seksi ekuitas modal pemegang saham dalam neraca
suatu perusahaan pada 1 Januari 2005 menunjukkan modal saham Rp 1.000.000 dan agio
saham Rp 200.0000. dalam tahun 2005 perusahaan memperoleh kembali 25% sahamnya
sebagai saham treasuri dengan harga Rp 400.000 dan kemudian saham tersebut diterbitkan
kembali dengan harga Rp 340.000. bagaimanakah perlakuan terhadap selisih “rugi” Rp
60.000? apakah sebagai likuiditas modsl setoran atau pembagian dividen (dibebankan ke laba
ditahan)? Hendriksen dan Van Breda (1992, hlm. 820-821membahs tiga alternatif berikut ini.
Alternatif pertama adalah memperlakukan seluruh seluruh selisih (Rp60.000) sebagai
pengembalian modal setoran dan karenanya harus didebit ke premium atau disekun saham
yang sekelas. Hanya dalam hal premium atau disekun saham yang sekelas sudah habis maka
selisih tersebut dapat dibebankan kelaba ditahan. Dasar pemikiran yang mendukung
perlakuan ini adlah bahwa substansi lebih penting daripada bentik (konsep dasar substance
over form). Substansi transaksi saham treasuri adalah transfer antara pemegang saham yang
sau ke yang lain dengan perusahaan sebagai agen dan cacah saham yang beredar tidak
berubah. Secara teroretis, distribusi modal setoran ke pemegang saham yang tidak mengubah
cacah saham yang beredar tidak selayaknya mempengaruhi laba ditahan.
Alternatif kedua dilandasi oleh tujuan mempertahankan modal saham atau modal
yuridis. Jumlah rupiah selisih pecah secara proposional atas dasar modal saham sgio saham
sebelum penarikan saham treasuri. Kemudian jumlah yang berkaitan dengan agio saham
dibebankan kelaba ditahan. Dengan demikian, modal saham (modal yuridus) tetap utuh.
Landasan utama perlakuann ini adalah hukum yang mengharuskan modal saham
dipertahankan keutuhanya. Dengan contoh agka diatas, pemecahan selisih dilakukan sebagai
berikut:
Ekomponen Jumlah Pemecahan selisih (untuk 25%) Perlakuan
modal saham rupiah dibebankan ke
Modal saham Rp 1.000.000 250.00/300.000 x Rp 60.000 = Rp 50.000 Laba ditahan
Agio saham Rp 200.000 50.00/300.000 x Rp 60.000 = Rp 10.000 Agio saham

Alaternatif ketiga membebankan seluruh selisih kebeban ditahan. Alasan perlakuan ini
semata-mata kepraktisan dan konservatisme. Alasan teoretisnya adalah bahwa kalau
pembelian dan penjualan dianggap sebagai satu transaksi berapa pemegang saham secara
selektif. Setiap distribusi aset kepada pemegang saham tanpa mengurangi cacah saham yang
beredar harus diperlakukan sebagai distribusi laba ditahan (kalu laba ditahan masih tersedia).
modal setoran harus tetap dipertahankan keutuhannya. Alasan lain adalah laba ditahan harus
dipandang sebagai penyangga umum (general-purpose buffer) bila tujuan tertantu harus
sicapai (dalam hal ini misalnya mempertahankan keutuhan modal saham).
Apabila saham treasuri tidak segera dijual maka kos pembelian tersebut tidak dapat
diangap sebagai aset tetapi akan diklasifikasi sebagai pengurang ekuitas pemegang saham
secara keseluruhan (unallocated reduction of stockholdeers equity). biasanya saham treasuri
merupakan komponen paling bawah dalam rincian seksi ekuitas pemegang saham. Kelmahan
penyajian tersebut dapat memberi kesan yang salah tentang besarnya ekuitas pemegang
saham khusunya apabila saham treasuri tersebut akhirnya dianggap likuidasi saham atau
dijual dengan harga yang jauh dibawah kos.
Konsep Dua-Transaksi
Perolehan kembali saham sebagai saham treasuri dianggap sebagai likuidasi ekuitas
pemegang saham sedangkan penjualan kembali saham treasuri dianggap sebagi penerbitan
saham baru. Konsep ini disebut dengan pendekatan nominal (par-value approach) karena
harga penarikan atau penjualan kembali ditandingkan dengan nilai nominal. Selisihnya, baik
dalam penarikan atau penjualan, dikompensasi ke modal setoran lain (execess of paid-in
capital over par stock atau agio saham) seluruhnya atau sebats porsi modal setoran lain mula-
mula dan selisihnya dikompensasi ke laba ditahan. Dengan contoh angka sebelumnya
penarikan dan penjualan akan dicatat sebagai berikut:
Pada saat penarikan:
Modal saham.................................................................250.000
Agio saham...................................................................150.000
Kas...................................................................................400.000
Pada saat penjualan:
Kas ...............................................................................340.000
Modal saham..................................................................250.000
Agio saham.................................................................... 90.000
Asil akhir cara diatas akan sama dengan alternatif pertama dalam pendekatan satu-
transaksi. Dapat juga transaksi diatas dicatat sebagi berikut
Pada saat penarikan:
Modal saham.................................................................250.000
Agio saham (Rp50.000 mula-mula + Rp10.000).......... 60.000
Laba ditahan.................................................................. 90.000
Kas...................................................................................400.000
Pada saat penjualan:
Kas ...............................................................................340.000
Modal saham..................................................................250.000
Agio saham(jumlah semula).......................................... 50.000
Laba ditahan................................................................... 40.000
Hasil akhir cara ini juga sama dengan alternatif kedua dalam pendekatan satu-transaksi.
Dapat juga pencatatan dilakukan sebagi berikut:
Pada saat penarikan:
Modal saham.................................................................250.000
Agio saham (mula-mula).............................................. 50.000
Laba ditahan..................................................................100.000
Kas...................................................................................400.000
Pada saat penjualan:
Kas ...............................................................................340.000
Modal saham..................................................................250.000
Agio saham(jumlah semula).......................................... 50.000
Laba ditahan................................................................... 40.000
Cara diatas bertujuan mempertahnkan kutuhan ekuitas pemegang saham. Laba ditahan
akan berkurang sebesar Rp 60.000 dan jumlah ini sama dengan selisih antara kos
pemerolehan (Rp40.000) dan harga jual saham (Rp340.000). dengan demikian, hasil akhir
akan sama dengan alternatif ketiga dalam konsep satu-transaksi.
APB Opnion No. 6 memberi keleluasaan untuk memilih cara kedua dan ketiga diatas
dengan ketentuan sbb (pasal 12a):

Perubahan Laba Ditahan


Laba yang dipindahkan dari akun laba-rugi (income summary) adalah laba yang
merupakan selisih seluruh elemen transaksi operasi dalam arti luas yang disebut laba
komperhensif. Transaksi lain yang dapat mempenggaruhi laba ditahan adalah transaksi yang
tergolong dalam transaksi modal seperti yang diuraikan dalam pembahasan perubahn modal
setoran diatas. Pengaruh beberapa transaksi diatas langsung dimaukkan dalam laba ditahan
dan tidak melaui statmen laba-rugi perioda terjadinya transaksi tersebut karena transaksi
tersebut merupakan transaksi modal.
Terdapat beberapa hal yang menyebabkan laba ditahan dalam satu perioda berubah
selain karena transaksi modal tetapi karena transaksi khusus yaitu:
1. Penyesuaian perioda-lalu
2. Koreksi kesalahan dalam laporan keuangan sebelumnya
3. Pengaruh perubahan akuntansi
4. Kuasi-reorganisasi
Masalah teoretis dalam setiap pembahasan hal-hal diatas menjadi penting bila
dihubungkan dengan pelaporan hal-hal tersebut dalam statmen laba-rugi.
Penyesuaian Perioda-lalu
Penyesuaian perioda-lalu adlah perlakuan terhadap satu jumlah rupiah yang
mempenggaruhi operasi perioda masa lalu (yang baru ditemukan atau baru dapat diakui
dalam perioda sekarang) bukan sebagai pengurang atau penambah perhitungan laba tahun
sekarang (masuk dalam statmen laba-rugi tahun sekarang/berjalan) tetapi sebagai
penyesuaian terhadap laba ditahan awal perioda sekarang. Perlakuan semacam ini
dimaksudkan untuk menjadikan laba ditahan awal perioda sekarang menunjukkan saldo yang
semestinya seandainya jumlah rupiah tersebut telah diakui dalam perioda yang lalu.
Sebagai contoh adalah perusahaan yang pada perioda lalu dituntut untuk mengganti
rugi sejumlah uang tertentu karena dituduh melanggar hak paten perusahaan lain. Ampai
akhir perioda yang lalu perkara tuntutan ini belum diputuskan pengadilan karena belum dapat
dipastikan apakah perusahaan bermaslah dan juga tidak ada kepastian tentang jumlah
akhirnya dibayarkan.
Beberapa pendapat mendukung dan beberapa menolak perlakuan rugi tersebut sebagai
peneyesuaian perioda-lalu. Pihak yang mendukung penyesuaian perioda-lalu biasanya
mengajukan argumentasi berikut:
A. Riwayat perkembangan laba akan menjadi lebih berarti kalau rugi yang timbul
akibat kejadian masa lalu dilaporkan sebagai elemen laba-rugi perioda yang bersangkutan
dan bukan sebagai elemen laba-rugi perioda sekarang.

B. Perlakuan semacam ini lebih mengambarkan penerapan perbandingan pendapatan


dan biaya yang tepat.

Sementara itu,pihak yang menolak peneyesuaian perioda-lalu mengajukan argumen


sebagai berikut:
A. Semua pendapatan, untung biaya, dan rugi yang dengan kegiatan menghasilkan
pendapatan harus dilaporkan dalam statmen laba-rugi. Kalau ruggi diperlakukan
sebagai penyesuaian perioda-lalu (penyesuaian akun laba ditahan awal) maka
jumlah tersebut tidak akan pernah masuk dalam riwayat laba perusahaan.
B. Pemakai laporan kemungkinan besar tidak akan pernah mengetahui bahwa rugi
tertentu pernah dialami oleh perusahaan kalau jumlah tersebut tidak dimasukkan
dalam statmen laba-rugi.

Patton dan Littleton termasuk pihak yang menolak penyesuaian perioda-lalu dengan
argumen statmen laba-rugi harus memuat semua perubahan yang bersangkutan dengan
pengelolaan aset (asset utilization).
FASB menganut gagasan Patton dan Littleton merupakan secara umum bahwa jumlah
rupiah yang berkaitan dengan perioda-lalu harus diperlakukan sebagai komponen statmen
laba rugi sekarang kecuali syarat-syarat tertentu dipenuhi. Suatu jumlah rupian dapat
diperlakukan sebagai penyesuaian perioda-lalu kalau jumlah rupiah tersebut.
A. Dapat diidentifikasi secara tegas sebagai akibat atau dapat dikaitkan langsung
dengan kegiatan-kegiatan bisnis dalam perioda tertentu masa lalu.

B. Tidak timbul akibat peristiwa ekonomik yang terjadi setelah tanggal statemen
keuangan perioda lalu.

C. Sengat bergantung pada ketepatan (determination) pihak selain manajemen

D. Tidak dapat ditaksir atau diantisipasi secara layak sebelum adanya ketetapan
tersebut.

Rugi bergantung dapat diakui dalam perioda timbulnya kemungkinan asalkan dipenuhi
kedua kriteria pengakuan berikut:
1. Informasi yang tersedia sebelum penerbitan statemen keuangan menunjukkan dengan
cukup pasti(protatebel) bahwa tanggal laporan keuangan aset perusahaan sudah
terpenggaruh kurang (imparied) atau kewajiban telah timbul.

2. Jumlah rupiah pengaruh ata rugi tersebut dapat ditaksir secara layak.

Rugi yang berkaitan dengan kegiatan peroda-lalu tetapi baru diakui dalam perioda
sekarang hatus tetap dimasukkan dalam statemen laba-rugi bukan sebagai penyesuaian
perioda-lalu (penyesuaian terhadaplaba ditahan awal).
Koreksi Kesalahan
APB Opnion No. 20 paragraf 13 mendefinisikan kesalahan sebagi berikut:
Erros in financial statements result form mathematical mistakes, mistakes in
application of accounting principle, or oversight of misuse of fact that existed at the
time the financial statemen were prepared.
Jadi, ntuk dapat disebut keslahan, suatu jumlah rupiah harus berasal dari kesalahan
hitung, kesalahan aplikasi atau penerapan prinsip akuntansi, atau kehilafan atau kekeliruan
menggunakan fakta yang tersedia pada saat penyusunan laporan keuangan. Perubahan
taksiran atau akuntansi muncul adanya atau akuntansi muncul dari adanya informasi atau
perkembangan baru yang berarti di tilikan (insight)yang baik atau pertimbangan
(judgement)yang lebih mantap. Untuk kesalahan, harus ada unsur kehilafan atau salah pakai
informasi.
Misalnya saja kesulitan dalam memecah kos menjadi biaya dan bagian yang ditunda
pembebanannya pada akhir perioda membuka kemungkinan untuk melakukan koreksi di
kemudian hari terhadap asset dan laba yang sebelumnya telah dilaporkan. Juga dapat terbukti
bahwa setelah beberapa perioda ternyata depresiasi telah dibebankan terlalu besar bila
dibandingkan dengan kenyataan yang sekarang dialami. Hal ini berarti bahwa nilai buku asset
telah dilaporkan terlalu rendah dan perhitungan laba pada masa yang lalu juga menjadi terlalu
rendah ditinjau dari segi fakta yang sekarang diperoleh. Demikian juga, kalau terbukti bahwa
beban depresiasi telah ditentukan terlalu kecil sehingga depresiasi akumulasian kemungkinan
tidak mencapai jumlah rupiah yang dapat menutup kos asset pada saat diberhentikan maka ini
berarti bahwa saldo asset telah dilaporkan terlalu besar pula. Yang manapun dari situasi di
atas, suatu koreksi diperlukan segera setelah cukup bukti bahwa kesalahan telah terjadi.
Tidak seperti nasi yang telah menjadi bubur, kalau laba suatu perioda telah ditentukan
atas dasar fakta yang obyektif pada waktu itu maka tidak berarti bahwa laba tersebut tidak
dapat diperbaiki bila terbukti ada kesalahan. Kenyataan bahwa buku besar biaya dan
pendapatan pada tahun-tahun yang lalu telah ditutup tidaklah menutup kemungkinan untuk
merevisi kembali angka-angka laba yang telah dilaporkan sebelumnya dan untuk melaporkan
koreksi yang ternyata diperlukan dengan adanya fakta baru di kemudian hari.
Permasalahannya adalah kesalahan perioda-lalu baru ditemukan dalam perioda sekarang
apakah kesalahan tersebut akan diperlakukan sebagai penyesuaian perioda-lalu atau sebagai
komponen laba rugi ?
Koreksi Sebagai Penyesuai Laba Ditahan
Menurut pandangan ini penyesuaian yang diperlukan terhadap laba yang pernah dilaporkan
harus dilakukan langsung terhadap akun laba ditahan untuk semua kasus kecuali untuk
koreksi-koreksi yang jumlahnya tidak terlalu besar (material) sehingga tidak mengganggu
pelaporan laba normal. Ini berarti koreksi tidak tampak dalam statemen laba-rugi.
Pendekatan ini disarankan dalam APB No. 20 paragraf 36 yang menyatakan bahwa
kesalahan dalam statement keuangan periode sebelumnya harus diperlakukan sebagai
penyesuian perioda-lalu. Laba ditahan awal perioda berjalan disesuaikan dengan jumlah
rupiah pengaruh kumulatif kesalahan terhadap perhitungan laba perioda-perioda sebelumnya
dan kalau statemen komparatif disajikan, pengaruh retroaktif kesalahan harus ditunjukkan
dalam statemen keuangan perioda-perioda yang terpengaruh. Perlakuan semacam ini
sebenarnya hanya berlaku untuk kesalahan yang memenuhi ketentuan umum dalam SFAS
No. 16 paragraf 1 yang dibahas sebelumnya.
Metoda ini dapat diterima dari sudut pandang neraca saja dan tidak mengganggu
kenormalan atau keutuhan (integrity) beberapa statemen laba-rugi berikutnya. Di lain pihak,
prosedur ini tidak layak karena riwayat laba yang pernah dilaporkan menjadi tidak lengkap
dan besar kemungkinan angka laba dapat menyesatkan.
Pengaruh koreksi dapat ditunjukkan dalam statemen laba-rugi komprehensif sebagai
penambah atau pengurang (modifier) angka laba bersih atau angka manapun yang akhirnya
toh akan ditambahkan ke (atau dikurangkan terhadap) laba ditahan. Letak yang tepat
penyesuaian koreksi tidaklah merupakan masalah yang penting asalkan ada pengungkapan
yang jelas tentang hal tersebut dalam statemen laba-rugi. Tentu saja tidak dikehendaki untuk
memasukkan pengaruh koreksi dalam klasifikasi pendapatan operasi atau biaya operasi
berjalan (perioda sekarang) karena jumlah rupiah koreksi berkaitan dengan perhitungan laba
dalam perioda-perioda sebelumnya.
Telah ditekankan berkali-kali bahwa daya melaba jangka panjang adalah informasi
yang sangat penting bagi investor. Dengan demikian, akan sangat membantu dalam hal ini
untuk memasukkan dalam statemen laba rugi tahunan tidak hanya pengukur hasil (laba)
perioda berjalan yang setepat-tepatnya tetapi juga pengukur koreksi laba statemen terdahulu
setepat-tepatnya. Melaporkan koreksi atas dasar fakta yang ditemukan kemudian sama sekali
tidak berarti tidak mempercayai atau menghargai perhitungan sebelumnya. Masa datang tidak
selalu dapat diprediksi dengan tepat. Oleh karena itu, sebenarnya tidak perlu diadakan revisi
akun-akun nominal yang telah ditutup dan juga tidak perlu menyusun kembali lapora
keuangan periode-periode yang lalu dengan revisi yang menyeluruh (retroactive
restatement). Hal ini dilandasi oleh argumen bahwa perhitungan laba bersih tahunan
bukanlah harga mati dan penyajian statemen laba-rugi secara komprehensif (menyajikan laba
normal, dan luarbiasa serta koreksi) dan secara serial akan menggambarkan riwayat laba
sesuai dengan kenyataan. Perlakuan pengaruh koreksi seperti ini sebenarnya mudah dan
logis.

Koreksi Sebagai Penyesuai Modal Setoran Lain


Paton dan Littleton (1970) menegaskan bahwa koreksi yang berkaitan dengan penggunaan
asset (asset utilization) dalam perioda-perioda yang lalu dengan alasan apapun hendaknya
dipisahkan dengan premium modal saham. Premium modal saham merupakan komponen
modal setoran dan kalau pemisahan antara modal setoran dan modal operasi (laba) harus
tetap dipertahankan maka tidaklah tepat untuk menggunakan modal setoran untuk menyerap
koreksi atas laba yang pernah dilaporkan kecuali kalau :
(1) Laba bersih tahun berjalan dan laba ditahan telah habis.
(2) Penyesuaian yang mempengaruhi modal setoran tersebut mendapat persetujuan
pemegang saham.
(3) Laba ditahan yang diakumulasi setelah penyesuaian modal tersebut diberi tanggal.
Artinya, laba ditahan yang dilaporkan kemudian diperoleh dari operasi setelah
penyesuaian tersebut (perusahaan dianggap baru mulai atau fresh start).
Jadi, sangatlah tidak tepat memperlakukan koreksi dengan cara menggabungkan
semua penyesuaian dalam statemen perubahan laba ditahan dan terpisah dengan statemen
laba-rugi. Penyajian seperti itu cenderung mengacaukan antara koreksi laba yang pernah
dilaporkan dengan penyesuaian modal pemegang saham yang tidak ada sangkut pautnya
dengan proses pemanfaatan asset.

Koreksi sebagai Komponen Statemen Laba Rugi


Patton dan Littleton (1970) mendukung perlakuan ini dengan alasan bahwa statemen laba-
rugi kumulatif (serial komparatif) yang didasarkan atas statment-statment terdahulu harus
menunjukkan laba (atau rugi) komprehensif sepanjang riwayat perusahaan sampai tanggal
sekarang. Dengan demikian, kalau koreksi langsung dilakukan dalam akun laba ditahan tanpa
ada petunjuk atau penjelasan apapun dalam statemen laba-rugi, beberapa statemen laba-rugi
yang pernah diterbitkan tidak dapat memberikan gambaran yang menyeluruh tentang
kemampuan perusahaan dalam menghasilkan laba. Prinsip penyesuaian langsung ke laba
ditahan membuka kemungkinan untuk menimbulkan prosedur yang mengaburkan atau
menyembunyikan pengaruh rugi atau untung luar biasa dengan akibat timbulnya salah tafsir
pada pihak pemegang saham atau pihak lain yang berkepentingan. Statemen laba-rugi harus
menyatakan laba seperti apa adanya termasuk rugi atau untung akibat koreksi. Masalahnya
adalah bagaimana melaporkan koreksi dalam statemen laba-rugi? Hal ini akan dibahas dalam
seksi penyajian laba.

Perubahan Akuntansi
Karena alasan tertentu suatu perusahaan mungkin melakukan kebijakan yang mempunyai
pengaruh terhadap konsistensi dalam proses akuntansi dan pelaporan keuangan yang disebut
dengan perubahan akuntansi. Ada tiga macam perubahan akuntansi yaitu :
(1) Perubahan prinsip atau metode akuntansi (change in accounting principle or method).
(2) Perubahan taksiran akuntansi (change in accounting estimate).
(3) Perubahan kesatuan pelaporan (change in the reporting entity).
Jumlah rupiah laba dan asset berkaitan yang mula-mula dilaporkan dalam statemen
keuangan perioda yang lalu sebelum adanya perubahan tentunya akan berbeda dengan jumlah
rupiah seandainya perubahan tersebut telah dilakukan dalam perioda yang lalu dan bukan
dalam perioda sekarang atau berjalan. Salah satu elemen yang terpengaruh adalah laba
perioda yang lalu.
Masalah perekayasaan yang bersangkutan dengan hal ini adalah untuk periode mana
saja pengaruh kumulatif perubahan harus diakui. Ada tiga alternatif atau metode yang
diusulkan yaitu penyesuaian retroaktif (retroactive adjustment), penyesuaian sekarang
(current adjusment), dan penyesuaian sekarang dan prospektif (current and prospective
adjustment).

Penyesuaian Retroaktif
Metode ini mengakui kumulatif perubahan dalam laba perioda yang lalu sebagai
penyesuaian perioda lalu. Ini berarti saldo awal akun laba ditahan perioda sekarang
disesuaikan dengan pengaruh kumulatif tersebut dan laporan-laporan perioda sebelumnya
disusun kembali sesuai dengan perubahan tersebut.
Pendukung penyesuaian retroaktif mengajukan argumen seperti pendukung
penyesuaian perioda-lalu. Riwayat laba perusahaan yang sebenarnya selama beberapa perioda
menjadi tidak menggambarkan laba yang konsisten cara penghitungannya sehingga analisis
statemen keuangan dapat menyesatkan pengambilan keputusan. Dengan kata lain, prinsip
akuntansi harus diterapkan secara konsisten dalam statemen keuangan komparatif.
Menggunakan prinsip yang berbeda untuk pos yang sama dalam statemen keuangan
komparatif dapat menimbulkan interpretasi yang salah mengenai kecenderungan (trend) atau
analisis lainnya. Prinsip akuntansi harus sama antara perioda sekarang dan beberapa perioda
sebelumnya. Jadi, kalau terjadi perubahan akuntansi, statemen keuangan perioda yang lalu
harus disusun kembali untuk merefleksi prinsip akuntansi yang baru.

Penyesuaian Sekarang
Metoda ini mengakui seluruh pengaruh perubahan dalam laba perioda yang lalu sebagai
komponen dalam menghitung laba perioda sekarang (perioda terjadinya perubahan).
Perlakuan ini didasari oleh beberapa gagasan. Pertama, semua pos yang mempengaruhi laba
perusahaan harus dilaporkan melalui statemen laba rugi. Argumen ini sejalan dengan gagasan
tentang perlunya pemisahan yang tegas antara transaksi operasi dan transaksi modal. Kedua,
pada umumnya perubahan akuntansi cukup sering terjadi sehingga tidak praktis untuk selalu
mengadakan revisi statemen keuangan periode-periode sebelumnya. Ketiga, pengungkapan
yang jelas dalam pelaporan laba perioda sekarang sudah cukup memadai untuk
mengungkapkan pengaruh perubahan tersebut sehingga kemungkinan pembaca laporan akan
melewatkan informasi perubahan dapat diatasi. Keempat, penyusunan kembali statemen
keuangan perioda lalu dapat menurunkan keyakinan publik terhadap statemen keuangan dan
dapat membingungkan pemakai. Akhirnya, karena serangkaian statemen masa lalu telah
disusun atas dasar prinsip akuntansi berterima umum, mereka harus dianggap final kecuali
untuk perubahan entitas pelaporan atau untuk koreksi kesalahan.

Penyesuaian Sekarang dan Prospektif


Metoda ini menyebar pengaruh kumulatif perubahan dalam laba perioda yang lalu ke perioda
sekarang dan beberapa perioda mendatang yang sesuai. Perlakuan ini dilandasi oleh argumen
bahwa perubahan akuntansi merupakan suatu hal yang tidak dapat dihindari dalam proses
akuntansi yang bersifat memenuhi kebutuhan yang berkembang. Dalam banyak hal,
perubahan akuntansi tidak menyangkut jumlah yang cukup material untuk mengharuskan
revisi statemen keuangan. Lagipula, manfaat tambahan yang diperoleh dengan revisi tidak
sepadan kos perevisian tersebut. Oleh karena itu, cara terbaik adalah melakukan perubahan
akuntansi dan menerapkan metoda tersebut mulai dari perioda perubahan dan seterusnya
tanpa perlu mengadakan revisi terhadap apa yang sudah terjadi walaupun pengungkapan yang
memadai tentang perubahan tetap diperlukan.

Aplikasi dalam Standar


Karena setiap metode di atas mempunyai keunggulan dan kelemahan masing-masing,
ketentuan umum yang digariskan dalam standar pada umunya merupakan kompromi dari
ketiga perlakukan diatas bergantung pada sifat dan jenis perubahan akuntansinya. Jadi,
beberapa perubahan akuntansi mengikuti perlakuan tertentu dan beberapa perubahan lain
mengikuti perlakuan yang lain. Berikut ini adalah pedoman umum yang diberikan dalam
APB No. 20 untuk memperlakukan berbagai perubahan akuntansi.

Perubahan Prinsip atau Metoda Akuntansi. Perubahan ini misalnya adalah pergantian
metoda depresiasi dari persentase nilai buku ke garis lurus atau sebaliknya. Perubahan dapat
disebabkan oleh terbitnya standar baru yang menetapkan penggunaan metoda tertentu atau
menolak sama sekali metoda tertentu. Misalnya saja, pelaporan sewa guna yang harus
menggunakan metoda kapitalisasi untuk sewa guna yang memenuhi kriteria kapitalisasi
padahal sebelum adanya standar tersebut perusahaan menggunakan metoda sewa guna
operasi. Perubahan peraturan pajak dapat memicu perusahaaan untuk mengganti metoda
akuntansi. Misalnya, di amerika, diperbolehkannya menggunakan metoda MTKP dalam
penilaian sediaan untuk penentuan laba kena pajak membuat banyak perusahaan mengubah
metode penetuan kos sediaan dari MPKP ke MTKP.
Dalam hal ini APB Opinion No. 20 menganut penyesuaian sekarang memperlakukan
perubahan metoda akuntansi. APB berargumen bahwa konsistensi dalam penggunaan metoda
antar perioda akan meningkatkan manfaat statemen keuangan. Perusahaan dapat mengganti
metoda akuntansi kalau memang metoda baru lebih baik dan efektif untuk melaporkan
kejadian yang masih akan tetap berlangsung di masa datang. Tentu saja perusahaan harus
memberi justifikasi yang kuat akan manfaat metoda baru. Akan tetapi, metoda lama yang
hanya diterapkan untuk suatu kejadian yang khusus atau tidak berulang tidak selayaknya
diganti.
Secara teknis, perlakukan tersebut dilaksanakan sebagai berikut (paragraf 19):
a. Statemen keuangan beberapa perioda sebelum perubahan disertakan dalam perlaporan
seperti apa adanya untuk tujuan perbandingan.
b. Pengaruh kumulatif perubahan terhadap laba ditahan awal perioda sekarang dilaporkan
dalam statemen laba-rugi perioda sekarang ( terjadinya perubahan).
c. Pengaruh penggunaan metoda baru terhadap laba sebelum pos luar biasa dan terhadap
laba bersih (termasuk EPS) untuk perioda pergantian metoda perlu diungkapkan.
d. Laba sebelum pos-pos luar biasa dan laba bersih (termasuk EPS) yang dihitung secara
pro forma atas dasar metoda baru harus ditunjukkan dalam statemen laba rugi untuk
perioda-perioda yang disajikan seakan akan prinsip baru telah diterapkan untuk
perioda-perioda tersebut.
Ketentuan di atas sebenarnya merupakan kompromi penyesuaian retroaktif dan
penyesuaian sekarang. Kompromi ini dilakukan karena APB ingin tetap mempertahankan
konsistensi dalam pelaporan laba dalam perioda-perioda yang terpengaruh perubahan. Ada
beberapa perubahan yang dikecualikan dari ketentuanumum di atas. Artinya pengaruh
perubahan tidak diperlakukan sebagai penyesuaian sekarang tetapi sebagai penyesuaian
retroaktif. Kecualian ini didasari leh ketentuan dalam SFAS No. 16 paragraf 1 yang telah
dibahas sebelumnya. APB menegaskan bahwa penyesuaian retroaktif dianggap cukup penting
khususnya untuk perusahaan yang baru pertama kali mempublik (go public) karena statemen
keuangan baru pertama kali diterbitkan untuk masyarakat umum. Beberapa hal yang
dikecualikan tersebut (dilaporkan sebagai penyesuaian perioda-lalu) adalah :
1. Perubahan dari MTLP (LIFO) ke metoda aliran kos yang lain.
2. Perubahan metoda akuntansi untuk kontak pekerjaan konstuksi jangka panjang
(misalnya dari kontrak-selesai ke persentase penyelesaian atau sebaliknya).
3. Perubahan metoda akuntansi dari kos penuh (full cost) ke upaya sukse (succesful
efforts) yang digunakan dalam perusahaan ekstraktif.
4. Perubahan akuntansi investasi jangka panjang dari metoda kos ke metoda ekuitas
karena perubahan pemilikan dari 20% ke bawah menjadi 20% atau lebih.
5. Setiap perubahanakuntansi sebelum perusahaan mempublik.
6. Setiap perubahan prinsip akuntansi yang dianjurkan untuk diperlakukan secara
retroaktif oleh standar akuntansi yang baru diterbitkan (mandatory change).
Dewan Standar Akuntansi (IAI) memberi pedoman perlakuan untuk perubahan
kebijakan akuntansi dalam PSAK No. 25 pasal 37-49. Ringkasan ketentuan standar ini
disajikan pada bagian akhir bab ini bersamaan dengan masalah penyajian laba.

Perubahan Taksiran Akuntansi. Perubahan ini dapat terjadi sebagai akibat ditemukannya
fakta baru atau informasi baru atau akibat pengalaman tambahan yang diperoleh perusahaan
bersangkutan dengan taksiran tertentu. Contoh klasik adalah perubahan taksiran umur
fasilitas fisis setelah perusahaan menggunakannya dalam beberapa perioda akuntansi. Hal
yang perlu dicatat adalah perubahan semacam ini bukan merupakan kesalahan statemen
keuangan perioda sebelumnya. Untuk dapat dikatakan kesalahan, penyebab perubahan
tersebut harus memenuhi pengertian kesalahan seperti yang didefinisi dalam pembahasan
kesalahan. Perubahan taksiran biasanya juga berbeda dengan perubahan akuntansi. Misalnya,
pengurangan umur ekonomik suatu fasilitas fisis merupakan perubahan taksiran sedangkan
penggantian dari metoda garis lurus ke metoda lain merupakan perubahan akuntansi
walaupun kedua perubahan tersebut mungkin menghasilkan jumlah rupiah dan pengaruh
perubahan yang sama terhadap laba.
APB Opinion No. 20 paragraf 31 menentukan bahwa perubahan estimasi
diperlakukan sebagai penyesuaian sekarang dan prospektif yaitu pengaruh perubahan diakui
(1) pada perioda perubahan kalau perubahan hanya mempengaruhi perioda tersebut atau (2)
pada perioda perubahan dan mendatang kalau perubahan mempengaruhi kedua perioda
tersebut. Juga ditetapkan bahwa perubahan estimasi hendaknya tidak diperlakukan sebagai
penyesuaian retroaktif atau pelaporan pro forma untuk perioda-lalu.
Alasan perlakuan tersebut adalah perubahan estimasi merupakan hal yang sering
terjadi karena memang sifat yang melekat dalam akuntansi yang memungkinkan
digunakannya angka taksiran. Kalau selalu diadakan penyesuian retroaktif, kepercayaan
masyarakat terhadap statemen keuangan dapat berkurang. Dewan Standar Akuntansi (IAI)
menetapkan standar yang sama dengan APB di atas (lihat PSAK No. 25 pasal 56-58).

Perubahan Kesatuan/Subjek Pelaporan. Perubahan entitas pelaporan berarti perubahan


organisasi atau lingkup kesatuan usaha yang dilaporkan dalam statement keuangan. APB
membatasi perubahan entitas pelaporan pada hal-hal sebagai berikut (APBO No. 20, prg. 12):
1. Penyajian statemen keuangan konsolidasian atau gabungan sebagai ganti statement
perusahaan secara individual.
2. Perubahan grup perusahaan anak yang dimasukan dalam statemen keuangan
konsolidasian.
3. Perubahan grup perusahaan-perusahaan yang membentuk statemen keuangan
gabungan.
Termasuk pula sebagai perubahan entitas adalah kombinasi bisnis yang dipertanggung
jelaskan dengan metoda penyatuan kepentingan. Ketentuan perlakuan ini mengikuti
penyesuaian retroaktif. Alasannya adalah perubahan seperti itu jarang terjadi sehingga
manfaat penyusunan kembali statemen keuangan sebelumnya masih dianggap cukup
memadai dibandingkan dengan kerepotannya. Disamping itu, perubahan semacam ini
biasanya menyangkut perubahan yang besar sehingga kesalahan dalam pengambilan
keputusan dapat mempunyai dampak ekonomi yang luas sehingga konsistensi dan statemen
yang cukup teliti perlu disampaikan para pengambil keputusan.

Kuasi-reorganisasi
Kuasi-reorganisasi biasanya dilakukan dalam hal terjadinya suatu defisit. PSAK No. 51 Pasal
9 mendeskripsikan pengertian kuasi-reorganisasi sebagai berikut:
Kuasi-reorganisasi adalah reorganisasi, tanpa melalui reorganisasi secara
hukum yang dilakukan dengan menilai kembali akun-akun aktiva dan
kewajiban pada nilai wajar dan mengeliminasi saldo defisit.

Selanjutnya ditegaskan bahwa kuasi-reorganisasi merupakan prosedur akuntansi yang


mengatur perusahaan untuk merestrukturisasi ekuitasnya dengan menghilangkan defisit dan
menilai kembali seluruh asset dan kewajbannya, tanpa melalui reorganisasi secara hukum.
Dengan mekanisme ini, diharapkan perusahaan dapat meneruskan usahanya secara lebih baik
seperti baru mulai (fresh start) dengan modal yuridis baru tanpa dibebani defisit.
Paton dan Littleton (1970) menyebutkan bahwa kalau terjadi defisit, tia tidak perlu
segera diserap oleh modal setoran. Defisit dapat dianggap sebagai kontra jumlah modal
setoran dengan harapan operasi perusahaan di masa mendatang dapat menutup atau
menghilangkan defisit tersebut. Akan tetapi, kalau defisit tersebut berkelanjutan dan
perusahaan terus mendapat rugi, tidak ada jalan lain kecuali mengadakan kuasi-reorganisasi
agar secara yuridis perusahaan dianggap sehat dan dapat membagi dividen. Proses kuasi-
reorganisasi biasanya terdiri atas langkah-langkah berikut :
1. Aset dan kewajiban perusahaan dinilai kembali atas dasar nilai pasar atau nilai wajar
pada saat reorganisasi.
2. Modal setoran lain atau agio saham (paid-in capital in excess of par) harus ditentukan
jumlahnya sehingga cukup besar untuk menutup defisit. Bila sudah cukup besar maka
defisit dapat langsung dikompensasi dengan agio modal saham ini. Kalau tidak cukup,
nominal saham atau nilai yuridis saham harus diturunkan atau dimintakan kesediaan
dari pemegang saham untuk menutup defisit dengan mendonasikan sebagian modal
sahamnya (ini berarti sebagian modal saham dilikuidasi tanpa kompensasi apapun
kepada pemegang saham).
3. Saldo debit laba ditahan (defisit) dieliminasi dengan cara mendebit agio/premium
modal saham.
Setelah kuasi-reorganisasi, laba ditahan tentunya akan bersaldo nol dan mungkin
masih terdapat sisa agio modal saham. Statemen keuangan untuk tahun terjadinya kuasi-
reorganisasi harus mengungkapkan rincian jumlah yang membentuk struktur modal yang
baru (misalnya hasil penilaian kembali asset dan kewajiban, agio/premium yang diciptakan,
dan besarnya defisit yang diserap). Laba ditahan sebelum reorganisasi tidak dapat diteruskan
lagi dan laba ditahan dalam neraca setelah reorganisasi harus diberi tanggal. Artinya, harus
ditunjukkan bahwa kalau terjadi laba ditahan maka laba ditahan tersebut terbentuk setelah
tanggal reorganisasi. Pengungkapan ini harus dilakukan sampai informasi tersebut tidak
cukup signifikan untuk diungkapkan. Accounting Research Buletin (ARB) No. 46 Paragraf 2
menyebutkan bahwa pemberian tanggal tersebut harus berlangsung paling tidak 10 tahun
kecuali keadaan menjustifikasi untuk mengungkapkan hal tersebut kurang dari waktu
tersebut.
Dewan Standar Akuntansi menegaskan bahwa kuasi-reorganisasi bukan sekedar cara
untuk menyajikan kembali posisi keuangan yang lebih baik tetapi juga cara untuk
menyelamatkan perusahaan yang terbebani defisit yang material padahal perusahaan tersebut
memiliki prospek yang baik. Kalau prospek memang tidak baik, defisit merupakan kegagalan
perusahaan dan kepailitan merupakan hal yang tidak dapat dihindari. Oleh karena itu Dewan
Standar Akuntansi menetapkan syarat-syarat perusahaan yang dapat melakukan kuasi-
reorganisasi yaitu (PSAK No. 51, Pasal 11):
(a) Perusahaan mengalami defisit dalam jumlah yang material.
(b) Perusahaan harus memiliki status kelancaran usaha dan memiliki prospek yang baik pada
saat kuasi-reorganisasi dilakukan.
(c) Perusahaan tidak sedang menghadapi permohonan kepailitan.
(d) Tidak bertentangan dengan peraturan perundangan yang berlaku.
(e) Saldo ekuitas sesudah kuasi-reorganisasi harus positif.

Pengaruh Defisit terhadap Kreditor


Setiap defisit akan mengurangi batas perlindungan (margin of protection) yang sebelumnya
dinikmati oleh kreditor perseroan dan tingkat pengurangan ini akan menjadi makin
berpengaruh kalau defisit semakin besar. Kalau laba ditahan jumlahnya cukup untuk
menyerap rugi tertentu maka tidak akan timbul defisit ditinjau dari segi neraca meskipun
posisi kreditor menjadi kurang terjamin dibandingkan dengan posisi sebelum terjadinya rugi.
Kalau rugi melebihi laba ditahan jaminan kreditor mula-mula yang berupa ekuitas pemegang
saham menjadi berkurang. Kalau sebagian ekuitas pemegang saham telah disisihkan sebagai
agio saham cukup untuk menyerap sisa rugi, maka jaminan penyangga bagi kreditor akan
terpengaruh juga. Kalau modal saham yuridis harus dikurangi untuk membentuk agio yang
cukup untuk menyerap defisit maka jelaslah ada pengerutan elemen jaminan penyangga total
mula-mula (original margin) yang menjadi dasar utama kepercayaan kreditor dalam
menanamkan dananya.
Proses pengurangan modal saham yuridis untuk menyerap defisit akan mendekatkan
posisi perusahaan pada garis batas yang menandai timbulnya hak kreditor yaitu hak yang
berkaitan dengan kesulitan keuangan (insolvency) debitor. Arti pentingnya proses kuasi-
reorganisasi akan sangat berpengaruh terhadap kreditor bilamana ada petunjuk bahwa defisit
secara berangsur-angsur menjadikan jaminan penyangga bagi kreditor habis. Itulah sebabnya
Dewan Standar Akuntansi menetapkan bahwa hanya perusahaan yang prospeknya baik dapat
melakukan kuasi-reorganisasi.
Yang jelas kuasi-reorganisasi tidak akan dilakukan kalau laba ditahan masih dapat
menyerap defisit. Bila kuasi-reorganisasi dilakukan padahal masih terdapat laba ditahan,
kuasi-reorganisasi semacam ini dapat menimbulkan distribusi asset sebagai dividen padahal
sebenarnya asset tersebut merupakan jaminan bagi kreditor untuk pinjaman yang ditanamkan.
Dengan kata lain, perusahaan mengumumkan deviden dengan membebankannya terhadap
modal pemegang saham yang menjadi batas perlindungan kreditor.
Kuasi-reorganisasi yang memenuhi syarat tidak dengan sendirinya merugikan
kreditor. Seperti juga pemegang saham, kreditor akan lebih dirugikan oleh adanya rugi
daripada oleh fleksibilitas penyesuaian modal. Akan tetapi sebagaimana ditegaskan oleh
Paton dan Littleton (1970), yang jelas adalah bahwa dengan cara pengungkapan yang
bagaimanapun, membiarkan laba ditahan tetap utuh sementara rugi diserap dengan modal
setoran merupakan perlakuan yang menyesatkan bagi semua pihak yang berkepentingan.

Penyajian Modal Pemegang Saham


Urutan penyajian kewajiban dan modal pemegang saham dalam neraca sebenarnya
menggambarkan urutan perlindungan dalam kondisi perusahaan mengalami defisit dan dalam
kondisi perusahaan dilikuidasi. Dalam terjadi defisit, urutan penyajian menggambarkan
urutan penyerapan rugi (sequence of charges) sedangkan dalam kondisi likuidasi urutan
penyajian menggambarkan urutan perlindungan yuridis (legal sequence of protection) bagi
para penyedia dana dalam hal terjadi likuidasi. Jadi, berbagai hak atas asset disajikan atas
dasar urutan siapa dahulu yang memikul rugi dalam hal terjadi defisit dan siapa dahulu
menerima distribusi asset dalam hal terjadi likuidasi.
Urutan Penyerapan Rugi
Secara umum yang telah dikorbankan (expired) menjadi biaya akan diserap melalui aliran
pendapatan kotor. Hal ini berkaitan pada umumnya dengan pengakuan biaya atas dasar
konsumsi manfaat (consumption of benefit) dalam kondisi operasi normal. Dalam hal terjadi
pengorbanan kos akibat hilangnya manfaat menjadi rugi, rugi tersebut akan diserap dahulu
melalui laba bersih dan hanya dalam keadaan yang sangat khusus maka kos tersebut dapat
diserapkan oleh kelompok modal pemegang saham. Jadi, urutan penyerapan biaya, rugi, dan
rugi luar biasa (sequence of charges) dapat digambarkan sebagai berikut :
1. Pendapatan kotor. Pos ini menyerap semua biaya dan rugi dan debit/beban (charges)
yang berasal dari transaksi nonpemilik.
2. Laba bersih. Hal ini akan terjadi pendapatan kotor tidak cukup untuk menutup semua kos
terhabiskan (expired cost) baik yang berasal dari konsumsi manfaat maupun hilangnya
manfaat (misalnya rugi luar biasa). Bila digunakan pendekatan laba komprehensif, laba
bersih akan menjadi laba komprehensif.
3. Laba ditahan. Hal ini hanya dapat dilakukan apabila laba bersih periode berjalan tidak
cukup untuk menyerap suatu rugi tertentu atau rugi luar biasa.
4. Premium modal saham. Bagian modal ini baru dapat menyerap rugi kalau laba ditahan
dan laba ditahan telah habis untuk menyangga suatu rugi. Dengan kata lain, modal saham
harus tetap dijaga keutuhannya sampai premium modal saham benar-benar telah habis.
5. Modal saham. Bila keutuhan modal yuridis telah terpengaruh secara substansial,
kebijakan untuk melakukan kuasi-reorganisasi atau bahkan likuidasi perusahaan mungkin
diperlukan.
Urutan penyerapan rugi seperti diatas sebenarnya merupakan asumsi atau tradisi
semata-mata walaupun hal tersebut dapat dikuatkan dalam bentuk standar akuntansi. Hal ini
didasarkan pada pikiran bahwa berbagai dana yang ditanamkan menjadi aset perusahaan akan
lebur menjadi begitu lumatnya menjadi satu kesatuan aset. Jika demikian, rugi timbul akibat
keseluruhan kegiatan yang didanai dari berbagai sumber. Oleh karena itu, sebenarnya tidak
mungkin lagi menyatakan bahwa rugi berkaitan dengan sumber dana tertentu (laba bersih,
laba ditahan, atau modal).
Walaupun demikian, atas dasar sifat pendanaan (financing dan operasi perusahaan
serta penekanan konsep kontinuitas, cukup valid untuk menganggap bahwa dalam kelompok
modal pemegang saham, modal saham atau yuridis adalah bagian terakhir (residual) dalam
kaitannya dengan penyerapan rugi.
Penempatan laba bersih di atas laba ditahan untuk menyerap rugi dilandasi oleh
alasan untuk mencegah kecenderungan manajemen untuk melaporkan rugi secara terpisah
dari statment laba-rugi dan langsung membebankan ke kelompok modal pemegang saham.
Alasan tersebut juga menjadi argumen untuk memunculkan konsep laba komprehensif.
Dengan konsep ini, semua rugi dalam bentuk dan jenis apapun dimasukkan dalam statment
laba-rugi tahun terjadinya atau tahun dapat diakuinya rugi tersebut.
Urutan penyerapan rugi seperti diatas juga dapat diapndang sebagai urutan menikmati
untung. Dengan demikian, semua untung luar biasa (selain yang timbul akibat transaksi
saham perusahaan) harus dimasukkan sebagai unsur dalam mengukur laba bersih sebelum
dipindahkan ke laba ditahan. Kalau laba luar biasa langsung ditambahkan ke laba ditahan
dikhawatirkan bahwa pengaruhnya terhadap laba akan terlewatkan. Oleh karena itu, tidak
selayaknyalah kalau untung langsung ditambahkan ke laba ditahan atau premium modal
saham tanpa melalui statment laba-rugi.

Urutan Menerima Distribusi Aset


Urutan perlindungan menunjukan siapa yang harus didahulukan dalam menerima distribusi
aset atau siapa yang menanggung segala akibat dalam kasus perusahaan dilikuidasi. Urutan
ini menjadi basis penyajian untuk kewajiban dan ekuitas pemegang saham. Ditinjau dari segi
ini, urutan perlindungan dapat dikemukakan sebagai berikut:
1. Karyawan dan Pemerintah. Pihak ini dapat dipandang sebagai kreditor yang
diprioritaskan yaitu karyawan dengan hak atas gaji dan pemerintah dengan hak atas pajak
terhutang.
2. Kreditor berjaminan (Guaranteed creditors). Pihak ini adalah pemegang obligasi atau
kreditor lain yang haknya dijamin dengan hak sita (liens) atas aset tertentu.
3. Kreditor tak berjaminan (unguaranteed creditors). Pihak ini terdiri atas para kreditor
yang tidak dijamin yang terrefleksi dalam utang usaha atau utang wesel baik jangka
pendek maupun jangka panjang.
4. Pemegang saham Prioritas. Pihak ini dilindungi oleh laba ditahan sebagai penyangga
modal saham atau yuridis.
5. Pemegang saham biasa. Pihak ini merupakan pemegang hak atas sisa kekayaan (residual
interest) yang berarti bahwa pemegang saham biasa harus menagggung lebih dahulu rugi
atau defisit.
Dengan urutan perlindungan seperti diatas, pemegang modal saham biasa adalah yang
paling akhir dilindungi alias tidak ada perlindungan sama sekali. Modal saham biasa ini
merupakan hak atas kekayaan yang terbuka terhadap resiko dan paling terpengaruh terhadap
hasil kegiatan perusahaan, baik hasil yang menguntungakan maupun yang merugikan.
Meskipun demikian, dalam perusahaan yang besar yang pemgang saham biasanya
berkedudukan seperti kreditor yaitu menyediakan dana tanpa mengurus langsung penggunaan
dana tersebut, tentu saja cukup beralasan untuk menganggap bahwa ada semacam
perlindungan berupa prospek perusahaan yang cerah disamping tanggung jawab yang terbatas
pada modal yang disetor. Tanpa harapan atau perlindungan ini tentunya akan sedikit yang
bersedia menjadi pemegang saham biasa.
Perlindungan diatas secara umum juga menjadi basis penyajian kewajiban dan ekuitas
dalam neraca. Jadi, cukup beralasanlah kalau kewajiban disajikan lebih dahulu baru
kemudian ekuitas pemegang saham. Hubungan antara urutan penyerapan rugi dan urutan
perlindungan yang terrefleksi dalam penyajian di neraca dilukiskan dalam gambar 11.2 di
bawah ini.
Gambar 11.2
Penyajian Secara Umum Kewajiban dan Ekuitas dalam Neraca
Dan Hubungannya Dengan Urutan Perlindungan

Kewajiban

Modal saham istimewa


Agio saham istimewa
Urutan Penyerapan Rugi Urutan Perlindungan
Modal saham biasa
Agio saham biasa

Laba ditahan

Perincian Laba Ditahan


Bila komponen-komponen tertentu yang berasal dari transaksi operasi dilaporkan langsung ke
laba ditahan, laba ditahan dapat disajikan dan dirinci atas dasar sumber. Terdapat pula
kebiasaan bahwa laba ditahan disajikan dengan memerincinya atas dasar tujuan (by purposes)
dengan cara yang disebut apropriasi (appropriation) dan pembatasan (restriction). Masalah
teoritisnya adalah apakah rincian yang diajukan tersebut benar-benar bermanfaat
(meaningful) kaau ditnjau atas dasar pandang pemakai satatemen keuangan umum.
Perincian Atas Dasar Sumber
Dengan dasar ini, laba ditahan dapat dirinci menjadi laba ditahan yang berasal dari operasi
normal atau rutin dan yang berasal dari laba luar biasa. Dapat saja pembedaan antara kedua
sumber laba ditahan tersebut dipertajam. Namun, sebenarnya tidak cukup beralasan untuk
memecah kembali jumlah rupiah bersih laba periodic atas dasar klasifikasi sumber bilamana
statment laba-rugi telah memuat semua faktor yang menentukan laba bersih (pendekatan laba
komprehensif) dan laba komprehensif ini telah ditransfer ke laba ditahan menjadi bagian dari
ekuitas pemegang saham. Jadi, bila perubahan akibat transaksi operasi dipisahkan secara
tegas dengan transaksi modal, statment laba-rugi telah merefleksi sumber laba ditahan
sehingga perincian laba ditahan akan percuma.

Perincian Atas Dasar Tujuan Penggunaan


Dalam praktik, perincian ini ditunjukkan dengan adanya pos cadangan jaminan sosial, laba
ditahan terbatas (restricted retained earnings), dan cadangan umum. Perincian semacam itu
sebenarnya sama saja dengan mengaitkan laba ditahan dengan aset tertentu (asset
imputation). Artinya, dalam aset apa saja laba ditahan terikat. Klasfikasi ini mendasarkan
pada tujuan penggunaan laba ditahan sebagaimana ditunjukkan oleh komponen aset yang
terkait.
Dalam hal tertentu mungkin ada petunjuk untuk mengatakan bahwa laba ditahan
terikat dalam aset lancar. Misalnya saja, dalam satu periode telah terjadi kenaikan modal
kerja neto dan tidak terjadi transaksi lain kecuali transaksi operasi yang menimbulkan laba
dalam periode tersebut. Dalam hal ini, terdapat cukup alasan untuk mengatakan bahwa laba
ditahan pada saat itu tertanam dalam tambahan modal kerja. Dalam kasus lain mungkin dapat
dibuktikan bahwa jumlah rupiah laba ditahan terikat dalam kas atau pos aset lancar lain.
Sejalan dengan pikiran tersebut, kalau terjadi tambahan fasilitas fisis tanpa diimbangi dengan
terjadinya pinjaman baru, modal baru, atau berkurangnya modal kerja, terdapat pula cukup
alasan untuk menyatakan bahwa laba ditahan telah tertanam dalam aset tetap.
Perincian semacam itu sebenarnya tidak perlu dan tidak mempunyai manfaat
informasional karena statment aliran kas telah mengandung informasi tersebut. Jadi,
penyertaan statment laporan aliran kas lebih memenuhi tujuan pelaporan daripada perincian
resmi dalam laba ditahan dengan sebutan misalnya “cadangan ekspansi”.
Ada kalanya, dalam rangka kebijakan dividen, perusahaan yang mempunyai rencana
membagi dividen menyisihkan laba ditahan menjadi “cadangan pembagian dividen” sebelum
mengumumkan dividen. Meskipun demikian, perlu dicatat bahwa dividen tersebut harus
dibayar dengan kas. Penyisihan tersebut sebenarnya tidak menjamin bahwa kas tersedia untuk
keperluan tersebut. Contoh yang sangat popouler adalah banyaknya perseroan amerika yang
mampu membayar dividen selama periode depresi pada awal-awal tahun 30an karna adanya
akumulasi laba selama periode ledakan (boom) kegiatan ekonomi pada tahun tahun 20an.
Jadi sebenarnya tidak benar untuk beranggapan bahwa dividen yang dibayar pada periode
berjalan adalah berasal dari laba yang diperoleh pada periode tersebut. Oleh karena itu, Paton
dan Littleton (1970) menegaskan bahwa penyisihan laba ditahan sebenarnya tidak bermakna
(meaning ful).
Selanjutnya dinyatakan bahwa penyisihan hanya akan bermakna bila di sisi aset
disisihkan benar-benar sejumlah rupiah untuk tujuan penyisihan tersebut. Misalnya,
disisihkannya laba ditahan untuk jaminan sosial mungkin akan bermanfaat kalau sejumlah
kas disisihkan untuk keperluan tersebut. Akan tetapi, penyisihan kas itu sendiri sebenarnya
sudah cukup untuk menunjukkan bahwa aset tidak dapat digunakan untuk keperluan selain
yang telah ditetapkan sehingga laba ditahan tidak perlu disisihkan. Penyisihan laba ditahan
akan berlebihan secara informasional.
Penyisihan laba ditahan sebagai cadangan khusus akan cenderung memberi gambaran
yang menyesatkan kepada para pembaca statment keuangan. Istilah “cadangan” memberi
kesan sebagai dana kas atau semacamnya yang disihkan (dihimpun) untuk tujuan khusus.
Pada kenyataannya, biasanya tidak ada dana (kas dan aset lainnya) yang benar-benar
dipisahkan yang jumlahnya sama dengan jumlah “cadangan” laba ditahan yang dibentuk
bahkan kadang-kadang tidak pernah atau akan terjadi investasi atau pengeluaran dana seperti
yang disebut dengan nama cadangan laba ditahan tersebut. Jadi, pencadangan semacam itu
akan percuma saja.
Paton dan Littleton beragumen bahwa tidak diperlukannya perincian Laba ditahan
karena laba ditahan pada dasarnya tidak lebih daripada sebagai bagian hak pemegang saham
atas dana yang tertanam dalam seluruh aset sebagai kesatuan sehingga tidak diperlukan
perincian laba ditahan. Jumlah rupiah laba ditahan tidak dapat diidentifikasi atas dasar ke
jenis aset apa jumlah rupiah tersebut terikat. Seperti juga modal setoran, laba ditahan terikat
dalam aset sebagai satu kesatuan. Ini berarti bahwa setiap bentuk klasifikasi laba ditahan atas
dasar untuk apa jumlah rupiah laba ditahan digunakan dalam perusahaan adalah bersifat
hipotesis belaka dan sama sekali tidak bermakna.
Bentuk lain penyisihan adalah untuk tujuan penyerapan kemungkinan rugi atau
ketidakpastian lainnya (contingencies). Penyisihan ini juga tidak bermakna karena pada
dasarnya total jumlah rupiah laba ditahan dapat dipandang sebagai penyangga atau cadangan
umum (general purpose buffer). Kalau memang terdapat suatu tuntutan ganti rugi atau klaim
yang suatu saat memang harus dipenuhi maka jumlah rupiahnya (bila perlu ditaksir) harus
ditunjukkan sebagai kewajiban. Kalau ketidakpastian tersebut tidak lebih dari sekedar
kemungkinan dan khususnya apabila jumlah rupiah kerugiannya tidak dapat ditentukan maka
suatu catatan kaki akan cenderung lebih informative daripada penyisihan laba ditahan.
Proses penyisihan laba ditahan hendaknya tidak dikacaukan dengan proses akuntansi
untuk pengukuran laba. Dengan demikian masalah cadangan laba ditahan harus dibedakan
secara tegas dengan masalah teoritis yang berkaitan dengan akun-akun “cadangan” utang
(misalnya diskun utang obligasi), “cadangan” aset (misalnya depresiasi akumulasian),
cadangan kerugian piutang, dan akun-akun cadangan lainnya sebagai kontra-akun asset atau
kewajiban.

Laba Komprehensif
Telah disinggung sebelum in bahwa kalau perubahan akibat transaksi operasi atau transaksi
nonpemilik harus dibedakan dan dipisahkan secara tegas dengan perubahan akibat transaksi
pemilik, semua perubahan akibat transaksi operasi harus dilaporkan melalui statemen laba-
rugi.
Pos-pos operasi dalam arti luas sebagai lawan pos-pos transaksi nonpemilik meliputi pos-
pos operasi utama, pos-pos tambahan, dan pos-pos sifatnya khusus atau luar biasa tetapi
berasal dari transaksi nonpemilik. Masalah teoritis dalam hal ini adalah pos-pos mana saja
yang disajikan melalui statemen laba rugi dan pos-pos mana saja yang dilaporkan melalui
statemen laba ditahan. Dalam hal ini, ada dua pendekatan yang dapat dianut yaitu kinerja
sekarang atau normal (current atau normal performance approach) dan semua termasuk
atau surplus bersih (all-inclusive atau clean surplus approach).
Laba kinerja sekarang
Pendekatan ini hanya memasukkan ke dalam statemen laba-rugi pos-pos operasi yang
dianggap bertalian dengan tahun berjalan dan penggunaan aset (sumber ekonomik) untuk
mencapai tujuan utama. Pendekatan ini menekankan makna periode sekarang atau berjalan
(current) dan operasi (operating) dalam arti sempit. Pendukung pendekatan ini mengajukan
beberapa argumen sebagai berikut
1. Apa harus mengukur efisiensi penggunaan sumber ekonomik untuk perioda berjalan
sehingga laba harus bebas dari hal-hal yang mengaburkan efisiensi. Efisiensi, yang diukur
atas dasar kembalian atas asset (return on assets), merupakan angka penting untuk
memprediksi kemampuan melaba masa datang.
2. Laba merupakan pengukur kinerja manajemen. Oleh karenanya, laba haruslah angka yang
benar-benar merupakan hasil penggunaan sumber ekonomi yang ada dalam batas-batas
pengendalian manajemen. Faktor-faktor yang terjadi diluar kendali manajemen harus
dikeluarkan dari perhitungan laba. Ini berarti laba yang harus disajikan dalam statemen
laba-rugi adalah laba yang berasal dari operasi normal.
3. Laba harus dapat digunakan untuk melakukan perbandingan antar perioda dan
antarperusahaan secara bermakna. Hal ini hanya dapat dilakukan kalau angka laba hanya
berisi pos-pos yang bersifat operasi dan rutin.
4. Karena fiksasi fungsional (fungsional fixation) pembaca statemen laba rugi yang hanya
melihat angka akhir, pemasukkan pos-pos luar biasa dalam statemen laba rugi dapat
menyesatkan pemakai.
Laba Semua-Termasuk
Pendekatan ini menekankan pemisahan secara tegas transaksi operasi dalam arti luas dan
transaksi modal. Dengan kata lain, yang diperhitungkan sebagai laba dan disajikan melalui
statemen laba-rugi adalah semua pos akibat transaksi nonpemilik. Pendekatan ini dilandasi
oleh konsep dasar kontinuitas usaha yang memandang statemen laba-rugi merupakan
penggalan aliran operasi (pendapatan dan biaya) dalam jangka Panjang. Untuk dapat
memprediksi kemampuan melaba jangka Panjang, statemen laba rugi tidak dapat berdiri
sendiri tetapi harus disajikan sebagai serangkaian statemen laba-rugi sepanjang umur
perusahaan. Dengan demikian, laporan laba-rugi periodic (tahunan) harus memuat pos-pos
yang tidak normal (regular) atau luar biasa. Tidak ada pos selain yang berasal dari transaksi
pemilik langsung masuk atau menerobos ke statemen laba ditahan.
Sebagai contoh, pengaruh kumulatif perubahan akuntansi misalnya tidak selaknya
dilaporkan sebagai penyesuai laba ditahan. Paton dan Littleton (1970) berkeberatan terhadap
perlakuan seperti itu. Memang sebagian atau seluruh pengaruh tersebut sebenarnya telah
“terhimpun” beberapa perioda sebelumnya dan baru diketahui akibatnya dalam perioda
berjalan sehingga kelihatan logis bahwa jumlah tersebut disesuaikan terhadap laba ditahan.
Akan tetapi, perlakuan semacam itu sama saja dengan menyembunyikan riwayat tentang
kemampuan perusahaan menghasilkan laba jangka panjang.

Alasan Mendasar
Paton dan Littleton (1970) mengajukan argument mendasar dalam mendukung pendekatan
laba semua-termasuk yaitu konsep pemanfaatan aset (asset utilization). Konsep ini
memandang bahwa manajemen mengelola aset sebagai satu ketentuan. Dari segi
pemanfaatan, sebenarnya tidak dapat dipisahkan antara aset keuangan dan aset tetap sehingga
keduanya mempunyai pengaruh yang sama terhadap laba. Lawan dari konsep pemanfaatan
aset adalah konsep aset kapital (capital asset). Konsep ini membedakan aset kapital (yang
terdiri atas aset tetap fisis) dan aset lainnya sehingga pengaruh transaksi aset kapital
(terutama yang luar biasa) terhadap laba harus berbeda dengan transaksi aset lainnya. Berikut
ini dibahas argument Paton dan Littleton mengenai pemanfaatan aset.
Konsep Pemanfaatan Aset
Statemen laba-rugi harus menyajikan secara efektif semua akibat dari pemanfaatan aset yang
diserahkan sepenuhnya kepada manajemen. Pemisahan laba menjadi normal dan tidak normal
dalam dua statemen akan cenderung mengalihkan pusat perhatian pemakai secara tidak
semestinya ke laba normal dan dengan demikian secara tidak sadar mengurangi perhatian
pembaca akan keefektifan manajemen secara keseluruhan. Misalnya sajam, kalau laba normal
yang dilaporkan melalui statemen laba-rugi sudah memuaskan, kemungkinan pembaca akan
melalaikan sama sekali arti pentingnya suatu penghapusan fasilitas fisis yang sudah
ketinggalan zaman sebelum waktunya dihentikan yang langsung dibebankan ke laba ditahan.
Pembaca mungkin kelewatan untuk menanyakan apakah laba yang dilaporkan pada tahun-
tahun sebelumnya memang sudah benar kalau manajemen cukup jeli dalam dalam
mengantisipasi perubahan teknologi. Paton dan Littleton menegaskan bahwa pemecahan yang
paling logis adalah membca serangkaian statemen laba-rugi komprehensif perioda-perioda
sebelumnya.
Manajemen mengelola aset yang dipercayakan kepadanya. Memang ada berbagai cara
untuk memanfaatkan aset. Penggunaan aset yang utama adalah untuk menghasilkan barang
atau jasa untuk mendatangkan laba. Dalam hal ini, aset atau sumber ekonomik akan
berkurang dengan terjadinya kos produksi, biaya dan rugi serta akan bertambah dengan
terjadinya pendapatan, laba, dan untung luar biasa. Penggunaan aset yang kedua adalah untuk
dijadikan jaminan kontrak utang atau pendanaan dan unutk alat pelunasan kontrak tersebut.
Dalam hal ini, aset akan berkurang dengan dibayarnya utang dan dikembalikannya modal dan
akan bertambah dengan adanya pinjaman atau modal baru. Karena perbedaan mendasar ini,
perubahan akibat pemanfaatan aset unutk tujuan yang berbeda ini harus dipisahkan dengan
tegas dan jelas teteapi harus tetap dalam kategori perubahan akibat transaksi operasi
(nonpemilik). Dengan kata lain, perubahan tersebut harus dilaporkan melalui statemen laba-
rugi.
Membatasi statemen laba-rugi hanya menyajikan laba normal sama saja dengan
mengeluarkan sebagian perubahan akibat pemanfaatan aset untuk tujuan produktif.
Pemisahan tersebut mempunyai akibat pembebanan langsung ke laba ditahan perubahan aset
yang sebenarnya merupakan transaksi operasi yaitu transaksi pemanfaatan aset untuk tujuan
produktif. Pemisahan tersebut mengurangi manfaat pelaporan yang menunjukkan keefektifan
manajemen dalam memanfaatkan aset dan berkuranglah fungsi statemen laba-rugi yang
sebenarnya.
Bukan berarti bahwa informasi tentang laba normal tidak penting. Yang menjadi masalah
adalah usaha untuk mengungkapkan hal tersebut tidak harus menggunakan cara yang
malahan dapat menimbulkan salah interpretasi akibat tersembunyinya pos-pos yang
mempunyai pengaruh operasi perusahaan dalam jangka Panjang. Di samping itu, perlakuan
akuntansi terhadap rugi dan untung luar biasa hendaknya tidak didasarkan atas kehendak atau
selera manajemen tetapi lebih didsarkan atas pertanyaan tentang apakah perubahan aset
berkaitan dengan transaksi operasi dalam menyelenggarakan perusahaan ataukah berkaitan
dengan transaksi modal.
Memang ada perbedaan antara biaya dan rugi (expenses dan losses), dan antara laba dan
untun gluar biasa (income and special gains) tetapi juga ada kesamaannya (similarities) yang
mendasar yaitu semuanya merupakan perubahan keuangan, justru kesamaan mendasarlah
yang lebih penting daripada perbedaannya. Kemungkinan kesalahan interpretasi akan lebih
besar dalam pelaporan terpisah daripada dlaam pelaporan komprehensif.
Kekhawatiran bahwa pemakai akan salah interpretasi kalau laba normal tidak ditonjolkan
tidak beralasan lagi. Bukan zamannya lagi bahwa statemen keuangan harus disusun untuk
oran gawam yang hanya membaca sambil lalu angka pada baris terakhir statemen laba-rugi
dan tidak lebih dari itu. Yang diperlukan sekarang adalah statemen keuangan yang
memungkinkan untuk ditelaah dan dianalisis oleh ahli yang mempunyai pengetahuan tentang
kegiatan bisnis dan ekonomik serta bersedia untuk belajar dengan cukup tekun (willing to
study the information with reasonable diligence). Dalam kenyataannya, para investor lebih
bergantun gpada hasil analisis para ahli atau analis profesional daripada pada hasil
keputusannya sendiri yang didasarkan atas interpretasi yang naif terhadap statemen keuangan
perseroan.

Konsep Aset Kapital


Sebagai lawan konsep pemanfaatan aset, konsep ini membedakan fungsi aset lancar dan aset
tetap. Dengan demikian, perubahan aset tetap karena penjualan atau penghentian berbeda
dengan perubahan karena pemanfaatan aset untuk menciptakan laba (melalui depresiasi)
sehingga laba atau rugi pemberhentian aset harus dilaporkan terpisah sebagai penyesuai laba
ditahan. Laba atau rugi ini dipandang sebagai transaksi modal karena dianggap modal
pemegang saham tertanam dalam aset tetap. Ini berarti jenis aset fisik tertentu sebagai potensi
jasa dianggap berbeda dengan aset lainnya sehingga rugi atau laba yang melekat pada jenis
aset tertentu dapat dilaporkan terpisah dari perubahan aset yang berkaitan langsung dengan
biaya dan pendapatan.
Paton dan Littleton menyangkal konsep di atas. Secara konseptual, laba atau rugi yang
berkaitan dengan pemanfaatan aset tetap tidak berbeda dengan laba atau rugi yang berkaitan
dengan pengelolaan aset lancer. Lagipula, tidak ada alasan kuat untuk mengaitkan aset tetap
fisis dengan kontribusi modal oleh investor karena jenis tertentu secara umum tidak dapat
ditelusuri dengan pasti asal sumber dananya. Dengan kata lain, jumlah rupiah dana melekat
dan campur jadi satu (commingled) dalam aset secara keseluruhan. Dengan dasar pikiran ini,
tidaklah dapat dibenarkan untuk menggolongkan laba atau rugi tertentu sebagai “rugi kapital”
(capital loss) yang sebenarnya tidak lebih daripada laba atau rugi biasa lantaran pemanfaatan
aset.
Lebih lanjut dikemukakan bahwa atas dasar konsep kontinuitas usaha, fluktuasi periodik
dalam pendapatan, biaya, dan laba bersih tidak dapat dihilangkan atau diratakan atas dasar
kehendak manajemen walaupun sampai ke tingkat tertentu fluktuasi tersebut dapat
diantisipasi oleh manajemen yang tajam dalam melihat masa depan. Apapun jadinya,
manajemen hanya dapat mengharapkan untuk berbuat lebih baik di masa mendatang. Namun
kenyataan yang merefleksi kebijakan pada masa yang lalu harus tetap ditunjukkan dengan
jelas seperti apa adanya kepada pemakai yang menggantungkan diri pada statemen keuangan.
Oleh karena itu, pemakai harus diyakinkan bahwa serangkaian statemen laba rugi beberapa
perioda yang lalu dapat mengungkapkan seluruh kemampuan manajemen dalam
memanfaatkan (the administration of utilization of asset) yang dipercayakan kepadanya. Jadi
kebijakan masa yang lalu yang ternyata keliru setelah adanya fakta yang baru dan relevan
akan diakui secara jujur dan pengaruhnya akan dilaporkan dengan jelas di statemen laba rugi
dan bukannya disembunyikan sebagai penyesuaian laba.
Uraian di atas melandasi pendekatan laba semua-termasuk yaitu bahwa semua faktor
penentu dalam pengukuran laba periodik dalam arti luas termasuk faktor luar biasa dan tidak
rutin harus dilaporkan dalam statemen laba rugi sebelum hasil bersihnya dipindahkan ke
kelompok modal pemegang saham di neraca. Berikut ini adalah argumen yang diajukan oleh
Hendriksen dan van Breda (1992 hlm 327) dan sumber lainnya yang mendukung pendekatan
laba semua termasuk dalam menyajikan statemen laba rugi.
1. Secara teknis, penggunggungan laba tahunan selama umur perusahaan harus sama
dengan laba total perusahaan. Bukti empiris menunjukkan bahwa rugi-rugi luar biasa
yang terjadi sepanjang umur perusahaan pada umumnya melebihi untung-untung luar
biasa. Oleh karena itu, bila pos-pos luar biasa dikeluarkan dari perhitungan laba
tahunan, akan terjadi penyajian-lebih (overstatement) laba tahunan sepanjang
beberapa tahun.
2. Pengeluaran pos-pos nonpemilik dari perhitungan laba memberi kesempatan kepada
manajemen untuk melakukan manipulasi atau manajemen laba. Bukti empiris
menunjukkan bahwa karena berbagai alasan alasan manajemen memang melakukan
manajemen laba (earnings management).
3. Tidak selalu mudah untuk menentukan apakah suatu pos bersifat operasi atau
nonoperasi, regular atau takregular, normal atau taknormal, dan biasa atau luar biasa.
Dalam banyak hal pemisahan hal tersebut lebih didasarkan pada pertimbangan
subjektif dan arbitrer. Dengan pendekatan semua-termasuk, penentuan laba periodic
akan menjadi lebih objektif karena tidak diperlukan pertimbangan persola (personal
judgements) untuk menentukan pos-pos mana masuk statemen laba-rugi dan pos-pos
mana masuk statemen lab aditahan.
4. Dengan memasukkan semua pos-pos yang berasal dari transasksi nonpemilik dan
dengan pengungkapan yang layak, pemakai laporan mempunyai keleluasaan untuk
mereklasifikasi dan menentukan sendiri laba antara yang dianggap berpaut dan
bermanfaat untuk pengambilan keputusan.
5. Berkaitan dengan argument 3, pengertian operasi perusahaan harus diinterpretasi
dalam perspektif yang luas tidak terbatas pada kegiatan produksi dan penjualan
produk utama. Apa ang dianggap sebagai nonoperasi atau luar biasa untuk perusahaan
yang satu dapat menjadi hal yang rutin atau biasa bagi perusahaan yang lain. Bila
jumlah rupiah dipakai sebagai dasar untuk memisahkan antara operasi/biasa dan
nonoperasi/luar biasa, dapat terjadi suatu pos yang dilaporkan sebagai operasi untuk
perioda tertentu (masuk statemen laba-rugi) akan menjadi nonoperasi untuk perioda
lainnya (masuk statemen laba ditahan). Jadi, pemisahan semacam itu akan
menimbulkan inkonsistensi pelaporan laba.
Atas dasar argument-argumen di atas, FASB menganut pendekatan laba semua-termasuk
secara penuh dalam penentuan dan penyajian laba. Hal ini terefleksi dalam pendefinisian laba
komprehensif sebagai salah satu elemen statemen keuangan. Laba komprehensif didefinisi
sebagai perubahan ekuitas selama perioda yang berasal dari sumber-sumber nonpemilik.
Lihak kembali definisi tersebut dalam seksi makna laba di Bab 10 halaman 463.

Penyajian Laba Komprehensif


Dengan dianutnya pendekatan laba semua-termasuk atau laba komprehensif, masalahnya
adalah bagaimana menyajikan komponen-komponen pembentuk laba komprehensif dan
bagaimana meretia disajikan dalam statemen laba-rugi. Sebagai komponen pembentuk
statemen laba-rugi.
Gambar 11.3
Komponen-Komponen Pembentuk Statemen Laba-Rugi
(1) Seksi operasi utama (major operating activities section):
(a) Penjualan atau pendapatan (sales or revenues)
(b) Kos barang terjual (cost of goods sold)
(c) Biaya penjualan (selling expenses)
(d) Biaya administrative atau umum (administrative or general expenses)
(2) Seksi operasi tambahan (secondary or auxiliary activities section):
(a) Pendapatan lainnya dan untung (other revenues and gains)
(b) Biaya lainnya dan rugi (other expenses and losses)
(3) Pajak penghasilan (income taxes)
(4) Operasi hentian/taklanjutkanan (discontinued operations)
(5) Pos-pos luar biasa/ekstraordiner (extraordinasy items)
(6) Pengaruh kumulatif perubahan prinsip akuntansi (cumulative effects of changes in
accounting principles)
(7) Pengaruh kumulatif perubahan estimate/taksiran (cumulative effects of changes in
accounting estimates)
(8) Pengaruh ekuitas nonpemilik lainnya (other nonowner changes in equity) termasuk
pos-pos penerobos.
Dengan pendekatan semua-termasuk, FASB memperluas cakupan laba yang meliputi
pula apa yang sebelumnya disebut dengan pos-pos penerobos (bypassing items). Pos-pos
penerobos adalah pos-pos yang dilaporkan langsung dalam statemen laba ditahan tanpa
melalui statemen laba-rugi. Contoh pos-pos ini antara lain adalah laba menahan/penahanan
atau laba fluktuasi harga belum….
Sebenarnya laba semua-termasuk agak berbeda dengan laba komprehensif. Beberapa
komponen laba komprehensif (komponen penerobos) tidak masuk dalam laba semua-
termasuk. Oleh karena itu, laba kmprehensif dapat disebut dengan laba semua-termasuk
secara penuh (fully-all-inclusive infome).
Didasarkan pada contoh dalam Donald E. Kieso, Jerry J, Weigandt, dan Terry D,
Warfield, Intermediate Accounting (New York : John Wiley & Sons, Inc., 2001), hlm. 136.
Komponen (7) dan (8) ditambahkan oleh penulis. Sumber ini menyebut seksi (2) dengan
nonoperating section. Instilah nonoperasi kurang deskriptif karena tidak dapat membedakan
antara pos-pos biasa dan luar biasa. Penulis lebih menganjurkan nama operasi tambahan
atau seconder sehingga pengertian operasi menjadi lebih luas. Dengan demikian, selisih
bersih antara seksi 1 dan 2 dapat disebut laba operasi sebelum pajak (income from
operation before tax). Realisasi (unrealized holding gains) dan penyesuaian penjabaran mata
uang asing (foreign currency transaction adjustments). Selain kedua pos ini, FASB juga
mengantisipasi adanya pos-pos lain yang merepresentasi perubahan ekuitas nonpemilik yang
harus dilaporkan melalui statemen laba-rugi.

Komponen (6) dan (7) dalam Gambar 11.3 juga dikategori sebagai komponen
perubahan ekutias nonpemilik dan keduanya disebut pengaruh kumulatif perubahan
akuntansi atau penyesuaian kumulatif akuntansi (cumulative accounting adjutments)
sehingga pos-pos selain yang masuk dalam kategori ini disebut dengan perubahan ekuitas
nonpemilik lainnya (other nonowner changes in equity). Karena komponen (1) sampai (8)
semuanya masuk dalam statemen laba-rugi, angka bersih yang diperoleh disebut oleh FASB
dengan laba komprehensif (comprehensive income). Tujuan dimasukkannya komponen
(8( dalam statemen laba-rugi adalah untuk mencegah penyembunyian atau penghilangan
(omissions) secara diskresioner pos-pos laba atau rugi tertentu dari statemen laba-rugi.
Dengan kata lain, tujuannya adalah mencegah penyalahgunaan (abuse).

Sebelym SFAC No.6 diterbitkan, komponen yang masuk dalam statemen laba-rugi
semua-termasuk hanyalah komponen (1) sampai (7) dan angka bersihnya disebut laba bersih
(net income). Dalam SFAC No. 6, komponen (6) dan (7) dikeluarkan dari laba bersih dan
dilaporkan sebagai perubahan ekuitas nonpemilik dan angka bersih yang diperoleh dari
komponen (1) sampai (5) disebut dengan laba perioda (earnings) dan laba perioda setelah
komponen (6) dan (7) disebut laba perioda bersih (net earnings) atau tetap laba bersih. Bila
terjadi rugi, laba komprehensif menjadi rugi komprehensif. Laba komprehensif dapat disebut
pula perubahan ekuitas nonpemilik total (total nonowner changes in equity).

Terdapat dua pendekatan penyusunan statemen laba -rugi untuk menyajikan komponen
(1) sampai (8). Pendekatan satu-statemen (one-statement approach) menyajikan kedelapan
komponen tersebut dalam satu statemen yang diberi judul statemen laba-rugi dan laba-rugi
komprehensif (statement of income and comprehensive income). Pendekatan dua-statemen
memisahkan pelaporan komponen (1) sampai (7) dalam statemen laba-rugi (statemen of
income) dan menyajikan pengaruh komponen (8) terhadap laba perioda bersih dalam
statemen laba-rugi komprehensif (statement of comprehensive income). Untuk memberi
gambaran secara lengkap konsep laba komprehensif, Gambar 11.4 di halaman berikut
menyajikan contoh penyusunan statemen laba-rugi dengan pendekatan dua-statemen.

Biaya bnga (interest expenses) dimasukkan dalam komponen biaya lainnya dan rugi.
Angka bersih setelah biaya lainnya dan rugi serta pajak penghasilan disebut laba dari
operasi berlanjut (income from continuing operations). Jadi, komponen (1) sampai (3)
dalam Gambar 11.3 disebut komponen operasi (dalam….

Gambar 11.4
Penyajian Statemen Laba-Rugi Komprehensif Pendekatan Dua-Statemen

PT ABC
Statemen Laba-Rugi
untuk Tahun Berakhir 31 Desember 200X

Pendapatan/penjualan Rp 51,680,000
Kos barang terjual -Rp28,430,000
Laba kotor penjualan Rp23,250,000
Biaya penjualan dan administratif -Rp12,500,000
Laba dari operasi utama Rp10,750,000
Pendapatan lainnya dan untung Rp1,630,000
Biaya lainnya dan rugi -Rp795,000 Rp835,000
Laba dari operasi berlanjut,
sebelum pajak Rp9,915,000
Pajak penghasilan -Rp2,225,000
Laba dari operasi berlanjut (income from continuing
operations) Rp7,690,000
Operasi hentian, setelah pajak -Rp290,000
Laba sebelum pos ekstraordiner
dan pengaruh ___________
kumulatif perubahan
akuntansi Rp7,400,000
Pos-pos ekstraordiner, setelah
pajak Rp150,000
Laba perioda (earnings) Rp7,550,000
Pengaruh kumulatif perubahan akuntansi, setelah pajak Rp365,000
Laba perioda bersih (net
earnings)/laba bersih Rp7,915,000
PT ABC
Statemen Laba-Rugi Komprehensif
untuk Tahun Berakhir 31 Desember 200X

Laba perioda bersih Rp7,915,000


Perubahan ekuitas nonpemilik
lainnya:
Penyesuaian penjabaran mata
uang asing Rp 314,500
Untung belum terealisasi atas
sekuritas Rp 56,500 Rp 371,000
Laba komprehensif Rp 8,286,000

arti luas) dan membentuk laba dari operasi berlanjut. Hal ini berarti bahwa pos-pos dalam
komponen pendapatan lainnya dan untun g atau biaya lainnya dan rugi tidak dipandang
sebagai pos-pos nonoperasi. Oleh karena itu, pos-pos dalam komponen (4) sampai (8) sering
disebut pos-pos takegular atau takteratur (irregular items). Pengertian takregular menjadi
masalah bila dikaitkan dengan makna takumum atau takbiasa (unusual) dan luar biasa atau
ekstraordiner (extraordinary). Persoalannya adalah kapan suatu pos harus dikategori
sebagai komponen (2), komponen (5), atau lainnya. Bila masuk komponen (5), apakah pos
tersebut takbiasa atau luar biasa. Berkaitan dengan ini, APBO No. 30 (prg. 20-24)
mendeskripsi kriteria untuk mengklasifikasi suatu kejadian atau transasksi yang membentuk
pos-pos luar biasa yaitu:

(a) Ketakbiasaan (unusual nature)


(b) Ketakseringan keterjadian (infrequency of occurrence)
(c) Materialitas (materiality)

Untuk mengkategori suatu kejadian atau transaksi ke dalam pos luar biasa, ketiga
karakteristik tersebut harus dipenuhi. Ketakbiasaan berarti bahwa kejadian atau transaksi
yang melandasai suatu pos mempunyai tingkat keabnormalan yang tinggi dan harus jelas-
jelas merupakan jenis yang sama-sekali tidak berkaitan secara incidental dengan kegiatan
perusahaan dalam konteks lingkungan beroperasinya perusahaan.

Ketakseringan keterjadian/terjadinya berarti bahwa kejadian atau transaksi yang


melandasi suatu pos merupakan jenis yang bukan harapan umum atau yang tidak diantisipasi
akan terjadi di masa datang dalam konteks lingkungan beroperasinya perusahaan.

Materialitas berarti bahwa kejadian atau transaksi yang melandasi suatu pos harus
diklasifikasi secara terpisah sebagai pos luar biasa hanya kalau jumlah yang terlibat material
dalam kaitannya dengan atau relative terhadap angka laba sebelum pos luar biasa,
kecendderungan (trend) laba perioda sebelum pos luar biasa, atau ukuran materialitas yang
lain. Bila suatu pos material tetapi hanya memenuhi kriteria (a) atau (b), tia tidak dapat
diklasifikasi sebagai pos luar biasa. Hal ini dinyatakan dalam APBO No. 30 paragrad 23
sebagai berikut:
Certain gains and losses should not be reported as extraordinary items because they are
usual in nature or may be expected to recur as a consequence of customary and
contuining business activities.

Contoh pos-pos yang dapat dimasukkan dalam kategori ini misalnya adalah penghapusan
piutang, serta kos riset dan pengembangan; untung atau rugi penjabaran valuta asing
termasuk akibat devaluasi atau revaluasi; untung atau rugi pelepasan segmen bisnis; untung
atau rugi penjualan aset fisis; efek pemogokan; dan penyesuaian akrual atas kontrak jangka
Panjang. Intinya, pos-pos material yang takbiasa atau taksering, tetapi tidak keduanya, masuk
dalam kategori ini. Meretia dilaporkan dalam seksi atau komponen terpisah di atas pos
ekstraordiner. Dapat juga meretia dilaporkan dalam seksi operasi tambahan (yaitu seksi 2
dalam Gambar 11.3) kalau jumlahnya tidak material.

Secara umum dapat disimpulkan bahwa pos-pos takregular dilaporkan seperti pada
conoth dalam Gambar 11.4. Pos-pos material yang tidak memenuhi kriteria ekstraordiner
dilaporkan terpisah antara seksi operasi hentian dan seksi pos ekstraordiner. Gambar 11.5 di
bawah ini melukiskan kaidah keputusan untuk menyajikan semua pos atau komponen
pembentuk statemen laba-rugi komprehensif.
Gambar 11.5

Pedoman Penyajian Pos-Pos Pembentuk Statemen Laba-Rugi

pos
Seksi operasi utama
Utama

Ya Utama atau tambahan


Regular?

Tidak Tambahan
Seksi operasi tambahan

(4) Operasi hentian


(6) Perubahan prinsip akuntasi
Selain komponen (5)
Jenis? (7) Perubahan estimate akuntansi
(8) Perubahan ekuitas
nonpemilik lainnya.
komponen

Tidak
Material?

Ya

Terbiasa dan taksering? Takbiasa dan takseringDilaporkan terpisah sebelum pos-pos luar biasa

Takbiasa dan taksering


(5) Pos-pos luar biasa

Dalam PSAK No.1, Dewan Standar Akuntansi menetapkan bahwa statemen laba-rugi
harus dijasikan sedemikian sehingga mengungkapkan berbagai unsur kinerja keuangan yan
gbermanfaat bagi pemakainya. Oleh karena itu, statemen laba-rugi minimal harus menyajikan
dan menonjolkan hal-hal berikut (pasal 56).
(a) Pendapatan
(b) Laba atau rugi usaha
(c) Biaya pinjaman
(d) Bagian dari laba atau rugi perusahaan terafiliasi dan terasosiasi yang diperlakukan
dengan metoda ekuitas
(e) Pajak penghasilan
(f) Laba atau rugi dari aktivitas normal perusahaan
(g) Pos luar biasa
(h) Hak minoritas
(i) Laba atau rugi bersih perioda berjalan
Ketentuan tersebut bersifat umum dan berlaku untuk perusahaan jasa, perdagangan,
maupun pemanufakturan. Butir (b) sebenarnya adalah laba antara setelah pendapatan atau
butir (a) dikurangi dengan biaya-biaya usaha. PSAK No.1 menetapkan bahwa penyajian
biaya-biaya usaha dapat menggunakan klasifikasi (format) atas dasar sifat biaya atau fungsi
biaya.
IAI sendiri tidak secara eksplisit menentukan apa saja yang harus masuk dalam statemen
laba-rugi. Jadi, tidak ada ketentuan yan gtegas tentan gpenyajian statemen laba-rugi sehingga
dapat ditentukan apakah statemen laba-rugi versi IAI mengikuti konsep laba semua-masuk
versi FASB (laba komprehensif) atau konsep laba semua-masuk versi pra-SFAC atau konsep
yang lain. Yang jelas, versi laba komprehensif memasukkan ke dalam statemen laba-rugi
semua komponen perubahan ekuitas nonpemilik. Dalam gambar 11.3, komponen (1) sampai
(7) pada dasarnya merupakan komponen perubahan ekuitas nonpemilik sedangkan komponen
(8) merupakan komponen perubahan ekuitas nonpemilik selain (1) sasmpai (7) sehingga
disebut other nonowner changes in equity. Termasuk dalam komponen (8) adalah pos-pos
penerobos yang masuk pula dalam statemen laba-rugi komprehensif. Telah disinggung alasan
pemasukkan pos-pos ini adalah untuk mengantisipasi perkembangan masa datang dan untuk
menghindari penyalahgunaan dalam bentuk manajemen laba. Namun demikian, factor atau
perubahan ini dapat menimbulkan masalah penyajian. FASB menyatakan hal ini sebgai
berikut:
Those factors sometimes may conflict or appear to conflict. For example, an all,
inclusive income statemen is intended, among other things, to avoid discretionary
omissions of lisses (or gains) form an income statement, thereby avoiding presentation
of more (or less) favorable report of performance or stewardship estimating futue
performance and assessing future cash flow prospects, arguments have been advanced
urging exclusion of unusual or nonrecurring ggains year for predivtive purposes.
Jadi, di satu pihak statemen laba-rugi harus menunjukkan kinerja perioda dan di lain
pihak statemen laba-rugi harus memasukkan pos-pos untuk menghindari penyalahgunaan.
Itulah sebabnya FASB memperluas konsep semua-termasuk (all-inclusive) dengan
membedakan dan menciptakan konsep laba perioda (earnings), laba bersih perioda (net
earnings), dan laba komprehensif (comprehensive income) sebagaimana telah dibahas
sebelum ini.
Dalam PSAK No. 25, IAI mengenalkan konsep laba atua rugi dari aktivitas normal
yang dalam PSAK No. 1 dissebut sebagai laba atau rugi usaha (pasal 56 butir b). konsep ini
sama dengan konsep FASB yang disebut laba dari operasi berlanjut. PSAK No. 25 juga
mengenalkan konsep laba atau rugi untuk perioda berjalan yan gmerupakan angka bersih
dari komponen berikut (pasal 09):
(a) Laba atau rugi dari aktivitas normal dan
(b) Pos luar biasa
Dari uraian dalam PSAK No. 25 dapat dikatakan bahwa laba atau rugi untuk perioda
berjalan setara dengan konsep laba perioda (earnings) yang dikemukakan FASB. Dapat
dikatakan demikian karena komponen operasi hentian (operasi yang tidak dilanjutkan) dalam
PSAK No. 25 dapat diperlakukan sebagai pos aktivitas normal atau pos luar biasa bergantung
pada kondisi yang melingkupi (pasal 20).
Konsep aktivitas normal yang digunakan IAI tampaknya digunakan untuk menunjuk apa
yang oleh FASB disebut komponen regular sehingga yang tidak masuk dalam komponen
aktivitas normal dapat disebut sebagai komponen takregular. Walaupun demikian, pengertian
pos luar biasa menurut PSAK No. 25 tampaknya lebih luas daripada pengertian menurut
FASB. Hal ini terlihat dari ketentuan bahwa komponen operasi hentian dan perubahan
estimasi akuntansi dimungkinakn untuk dilaporkan sebagai pos luar biasa (pasal 20 dan 28).
Gambar 11.6 meringkas perlakuan terhadap komponen-komponen takregular dalam PSAK
No. 25 dan cara penyajiannya.
Karena ada pos-pos penerobos, IAI tidak menerapkan konsep penyusunan statemen laba-
rugi semua-termasuk secara penuh. Dengan kata lain, laba bersih (angka akhir) dalam
statemen laba-rugi versi IAI tidak dapat dikatakan sebagai laba kmprehensif penuh. Dalam
PSAK No. 25 tidak dibahas atau dikenal apa yang disebut efek kumulatif perubahan
akuntansi yang harus dilaporkan dalam statemen laba-rugi berjalan (currently) sebagai
alternative perlakuan. Pendekatan semacam ini disebut dengan current atau cath-up method
sebagaimana dicontohkan dalam Gambar 11.4. walaupun demikian, PSAK No. 25
memperlakukan perubahan estimasi akuntansi sebagai komponen statemen laba-rugi.

Gambar 11.6
Komponen-Komponen Takregular dalam PSAK No. 25 dan Penyajiannya

Komponen Perlakuan dan Penyajian


Pos luar biasa Komponen laba-rugi. Disajikan setelah laba yang berasal dari
kegiatan normal perusahaan ditambah pengungkapan dalam
catatan kaki mengenai hakikat dan pertimbangan keputusan.

Operasi hentian (yang tidak Komponen laba-rugi. Ditambah pengungkapan dalam catatan
dilanjutkan) kaki mengenai hakikat dan pertimbangan keputusan.
Tidak memenuhi kriteria luar biasa: disajikan sebagai pos dalam
kegiatan normal.
Memenuhi kriteria luar biasa: disajikan sebagai pos luar biasa.
Ada unsur ketidakpastian:disajikan sebagai pos kebergantungan
(contingencies).

Perubahan estimasi akuntansi Komponen laba-rugi. Disajikan dalam perioda terjadinya dan
perioda akan datang atau prospektif (bila perlu) ditambah
pengungkapan dalam catatan kaki mengenai hakikat perubahan.
Disajikan dalam klasifikasi yang sama dengan yan digunakan
sebelumnya untuk estimasi yang bersangkuta.

Kesalahan mendasar Penyesuai laba ditahan dengan kewajiban penyesuaian


retrospektif bila dipandang praktis ditambah pengungkapan
dalam catatan kaki tentang hakikat dan informasi lainyang
berpaut.
Komponen laba-rugi bila kesalahan tidak mendasar.

Perubahan kebijakan akuntansi Penyesuai laba ditahan secar retrospektif atau prospektif
ditambah pengungkapan tentang alasan perubahan dan
informasi lain yang terpaut.

Anda mungkin juga menyukai