Pengaruh Profesionalisme Auditor Etika Profesi Dan Pengalaman Auditor Terhadap Pertimbangan Tingkat Materialitas)
Menurut pengertian umum, seseorang dikatakan profesional jika
memenuhi tiga kriteria, yaitu mempunyai keahlian untuk melaksanakan tugas sesuai dengan bidangnya, melaksanakan suatu tugas atau profesi dengan menetapkan standard baku di bidang profesi yang bersangkutan dan menjalankan tugas profesinya dengan mematuhi Etika Profesi yang telah ditetapkan. Profesi dan profesionalisme dapat dibedakan secara konseptual. Profesi merupakan jenis pekerjaan yang memenuhi beberapa kriteria, sedangkan profesionalisme adalah suatu atribut individul yang penting tanpa melihat suatu pekerjaan merupakan suatu profesi atau tidak (Lekatompessy, 2003 dalam Herawati dan Susanto, 2009:3).
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia: Profesi adalah pekerjaan dimana
dari pekerjaan tersebut diperoleh nafkah untuk hidup, sedangkan profesionalisme dapat diartikan bersifat profesi atau memiliki keahlian dan keterampilan karena pendidikan dan latihan (Badudu dan Sutan, 2002:848). Secara sederhana, profesionalisme berarti bahwa auditor wajib melaksanakan tugas-tugasnya dengan kesungguhan dan kecermatan. Sebagai seorang yang professional, auditor harus menghindari kelalaian dan ketidakjujuran. Arens et al. (2003) dalam Noveria (2006:3) mendefinisikan profesionalisme sebagai tanggung jawab individu untuk berperilaku yang lebih baik dari sekedar mematuhi undang-undang dan peraturan masyarakat yang ada. Profesionalisme juga merupakan elemen dari motivasi yang memberikan sumbangan pada seseorang agar mempunyai kinerja tugas yang tinggi (Guntur dkk, 2002 dalam Ifada dan M. Ja’far, 2005:13). Sebagai profesional, auditor mengakui tanggung jawabnya terhadap masyarakat, terhadap klien, dan terhadap rekan seprofesi, termasuk untuk berperilaku yang terhormat, sekalipun ini merupakanpengorbanan pribadi. Seorang auditor dapat dikatakan profesional apabila telah memenuhi dan mematuhi standar-standar kode etik yang telah ditetapkan oleh IAI (Ikatan Akuntan Indonesia), antara lain (Wahyudi dan Aida, 2006:28): 1) Prinsip-prinsip yang ditetapkan oleh IAI yaitu standar ideal dari perilaku etis yang telah ditetapkan oleh IAI seperti dalam terminologi filosofi. 2) Peraturan perilaku seperti standar minimum perilaku etis yang ditetapkan sebagai peraturan khusus yang merupakan suatu keharusan. 3) Inteprestasi peraturan perilaku tidak merupakan keharusan, tetapi para praktisi harus memahaminya. 4) Ketetapan etika seperti seorang akuntan publik wajib untuk harus tetap memegang teguh prinsip kebebasan dalam menjalankan proses auditnya, walaupun auditor dibayar oleh kliennya. b. Konsep Profesionalisme 1) Konsep profesionalisme yang dikembangkan oleh Hall (1968) dalam Lestari dan Dwi (2003: 11) banyak digunakan oleh para peneliti untuk mengukur profesionalisme dari profesi auditor yang tercermin dari sikap dan perilaku. Menurut Hall (1968) dalam Herawati dan Susanto (2009:4) terdapat lima dimensi profesionalisme, yaitu: 1) Pengabdian pada profesi Pengabdian pada profesi dicerminkan dari dedikasi profesionalisme dengan menggunakan pengetahuan dan kecakapan yang dimiliki. Keteguhan untuk tetap melaksanakan pekerjaan meskipun imbalam ekstrinsik kurang. Sikap ini adalah ekspresi dari pencurahan diri yang total terhadap pekerjaan. Pekerjaan didefinisikan sebagai tujuan, bukan hanya alat untuk mencapai tujuan. Totalitas ini sudah menjadi komitmen pribadi, sehingga kompensasi utama yang diharapkan dari pekerjaan adalah kepuasan rohani, baru kemudian materi. 2) Kewajiban sosial Kewajiban sosial adalah pandangan tentang pentingnya peranan profesi dan manfaat yang diperoleh baik masyarakat maupun profesional karena adanya pekerjaan tersebut. 3) Kemandirian Kemandirian dimaksudkan sebagai suatu pandangan seseorang yang profesional harus mampu membuat keputusan sendiri tanpa tekanan dari pihak lain (pemerintah, klien, dan bukan anggota profesi). Setiap ada campur tangan dari luar dianggap sebagai hambatan kemandirian secara profesional. 4) Keyakinan terhadap peraturan profesi Keyakinan terhadap profesi adalah suatu keyakinan bahwa yang paling berwenang menilai pekerjaan profesional adalah rekan sesama profesi, bukan orang luar yang tidak mempunyai kompetensi dalm bidang ilmu dan pekerjaan mereka. 5) Hubungan dengan sesama profesi Hubungan dengan sesama profesi adalah menggunakan ikatan profesi sebagai acuan, termasuk didalamnya organisasi formal dan kelompok kolega informal sebagai ide utama dalam pekerjaan. Melalui ikatan profesi ini para profesional membangun kesadaran profesional. Profesionalisme (Restu Agusti Dan Nastia Putri Pertiwi.2013. Pengaruh Kompetensi, Independensi Dan Profesionalisme Terhadap Kualitas Audit (Studi Empiris Pada Kantor Akuntan Publik Se Sumatera)
Profesionalisme merupakan sikap bertanggungjawab terhadap apa yang
telah ditugaskan kepadanya. Sikap profesionalisme akan mengambil keputusan berdasarkan pertimbangan yang dimilikinya yaitu berdasarkan yang petama pengabdian pada profesi, auditor yang mengabdi kepada profesinya akan melakukan totalitas kerja dimana dengan totalitas ini dia akan lebih hati-hati dan bijaksana dalam melakukan audit sehingga dapat menhasilkan audit yang berkualitas. Jadi apabila semakin tinggi pengabdian pada profesi akan semakin tinggi profesionalisme auditor. Yang kedua kewajiban sosial, auditor harus mempunyai pandangan bahwa tugas yang dilaksanakannya untuk kepentingan publik karena dengan pendapat auditnya terhadap suatu laporan keuangan akan mempengaruhi pengambilan keputusan oleh pemakai laporan auditan. Oleh karena itu auditor mempunyai kontribusi yang sangat besar bagi masyarakat serta profesinya. Jadi apabila semakin tinggi kewajiban sosial akan semakin tinggi profesionalisme auditor. Yang ketiga kemandirian, dimana seorang auditor dituntut harus mampu mengambil keputusan sendiri tanpa adanya dari pihak lain sesuai dengan pertimbangan-pertimbangan yang dibuat berdasarkan kondisi dan keadaan yang dihadapinya. Jadi apabila semakin tinggi kemandirian akan semakin tinggi profesionalisme auditor. Yang keempat keyakinan terhadap profesi, dimana seorang auditor akan lebih yakin terhadap rekan seprofesinya, hal ini dapat dilakukan dengan meminta rekan seprofesi untuk menilai kinerjanya. Jadi apabila semakin tinggi kemandirian akan semakin tinggi profesionalisme auditor. Yang terakhir hubungan dengan sesama profesi, auditor mempunyai ikatan profesi sebagai acuan, dengan adanya ikatan ini akan membangun kesadaran profesional auditor. Jadi apabila semakin tinggi hubungan sesama profesi semakin tinggi profesionalisme auditor. Berdasarkan uraian di atas, profesionalisme mempunyai lima faktor penting, yaitu pengabdian pada profesi, kewajiban sosial, kemandirian, keyakinan terhadap profesi dan hubungan dengan sesama profesi. Dengan tingkat profesionalisme yang tinggi akan menghasilkan audit yang berkualitas tinggi. Hal ini diperkuat lagi dengan hasil penelitian oleh Irwansyah, 2010; Martiyani, 2010; Nisfusa, 2010; Rosnidah dkk, 2010; Setiawan, 2012 yang menyatakan bahwa profesionalisme mempengaruhi kualitas audit. Berdasarkan penelitian tersebut telah membuktikan bahwa profesionalisme mempunyai pengaruh terhadap kualitas audit. Pengertian Profesionalisme (Hendro Wahyudi. 2006. Pengaruh Profesionalisme Auditor Terhadap Tingkat Materialitas Dalam Pemeriksaan Laporan Keuangan)
Profesi dan profesionalisme dapat dibedakan secara konseptual. “Profesi
merupakan jenis pekerjaan yang memenuhi beberapa kriteria, sedangkan profesionalisme merupakan suatu atribut individual yang penting tanpa melihat suatu pekerjaan merupakan suatu profesi atau tidak” (Kalbers dan Fogarty, 1995: 72). Sebagai profesional, akuntan publik mengakui tanggung jawabnya terhadap masyarakat, terhadap klien, dan terhadap rekan seprofesi, termasuk untuk berperilaku yang terhormat, sekalipun ini merupakan pengorbanan pribadi. Seorang auditor bisa dikatakan profesional apabila telah memenuhi dan mematuhi standar-standar kode etik yang telah ditetapkan oleh IAI, antara lain: a). prinsip-prinsip yang ditetapkan oleh IAI yaitu standar ideal dari perilaku etis yang telah ditetapkan oleh IAI seperti dalam terminologi filosofi, b). peraturan perilaku seperti standar minimum perilaku etis yang ditetapkan sebagai peraturan khusus yang merupakan suatu keharusan, c). inteprestasi peraturan perilaku tidak merupakan keharusan, tetapi para praktisi harus memahaminya, dan d). ketetapan etika seperti seorang akuntan publik wajib untuk harus tetap memegang teguh prinsip kebebasan dalam menjalankan proses auditnya, walaupun auditor dibayar oleh kliennya. Analisis Individual dan Pekerjaan (Gunawan Cahyasumirat.2006. Pengaruh Profesionalisme Dan Komitmen Organisasi Terhadap Kinerja Internal Auditor, Dengan Kepuasan Kerja Sebagai Variabel Intervening (Studi Empiris Pada Internal Auditor Pt. Bank Abc)
Profesionalisme suatu pekerjaan mendapat perhatian para cendekiawan
dan praktisi seperti Abbott (1988) yang menyediakan cara perlakuan berlebihan dari penggunaan, negoisasi dan kadang-kadang penurunan pernyataan profesional. Organisasi berkeahlian khusus seperti sebuah profesi memiliki konsekuensi berbeda untuk anggota pekerjaan, klien, kompetitornya. Apa yang membuat profesi yang melibatkan partisipasi banyak pihak termasuk negara (Richardson, 1988) dan menyajikan banyak masalah tingkat makro yang kompleks berkaitan dengan kekuasaan dan kognitif (Johnson, 1972; Abbott,1988; Kalbers dan Fogarty, 1995). Masalah normatif dan politis yang dimunculkan oleh perbedaan ini cenderung berkaitan dengan karakteristik kelompok dan gengsi kelompok. Atribut profesional pada tingkat individu dapat dianggap penting, meskipun tidak cukup syarat untuk mengembangkan profesi pada tingkat kelompok (Burrage, 1990). Dengan kata lain, karena individu membentuk kelompok, status kelompok mungkin diperkirakan pada tendensi keseluruhan dari anggota individu. Profesionalisme, pada tingkat analisis individu dapat dianggap sebuah kelanjutan yang nilainya mungkin menunjukkan perbedaan kelompok (Ritzer, 1972).
Perspektif Teoritis Tentang Profesionalisme
Meskipun profesionalisme dan apa yang membentuk profesi dapat dipisahkan secara konseptual, penelitian tentang profesionalisme lebih dikaitkan dengan perspektif konvensional tentang profesi. Menurut pendekatan fungsionalis, profesionalisme dikaitkan dengan pandangan bahwa pekerjaan yang menunjukkan sejumlah karakteristik yang diperlukan profesi (Green Wood, 1957; Goode, 1957; Kalbers dan Fogarty, 1995). Analisis tradisional ini sering dikritik oleh para cendekiawan dewasa ini yang menentang kedefinitifan sejumlah karakteristik, mempertanyakan generalitas model yang diambil dari satu atau dua kasus sejarah (misalnya hukum dan kedokteran) dan secara sistematik meremehkan peran kekuatan dan konflik sosial (Johnson, 1972; Kalbers dan Fogarty 1995). Pandangan alternatif tentang kemunculan dan keberhasilan profesionalisme didasarkan pada sosiologi maksimal Weber dan Karl Marx. Untuk tujuan ini, tujuan profesionalisme bagi akuntan dapat dianggap sebagai alternatif kontrol pasar bermotivasi pribadi atau sebagai sarana untuk mempertahankan struktur sosialis kapitalis (Roslender, 1990) Pandangan alternatif tentang profesi gagal mengembangkan bukti empiris sistematis apapun. Selain itu, ketidakkonsistenan pengharapan bagi analis tingkat individu telah dikembangkan (Roslender, 1990) yang mempelajari peran akuntan dalam perspektif ini menyimpulkan bahwa kebanyakan praktisi tidak memiliki kesadaran politik dan implikasi distribusional dari profesional akuntan. Karena profesionalisme sebagai atribut individu yang penting sulit untuk menerapkan diluar tradisi fungsionalis konvensional. Sedangkan Hall (1968, dalam Kalbers dan Fogarty, 1995) menteorikan lima elemen profesionalisme individual. Hall menyatakan bahwa profesional (1). Meyakini pekerjaan mereka mempunyai kepentingan, (2). Berkomitmen ke jasa barang publik, (3). Kebutuhan otonomi pada persyaratan pekerjaan, (4). Mendukung regulasi mandiri untuk pekerjaan mereka, (5). Afiliasi dengan anggota profesinya. Konsep profesionalisme yang dikembangkan oleh Hall (1968) banyak digunakan oleh para peneliti untuk mengukur profesionalisme dari profesi auditor internal yang tercermin dari sikap dan perilaku. Hall (1968) menjelaskan bahwa ada hubungan timbal balik antara sikap dan perilaku, yaitu perilaku profesionalisme adalah refleksi dari sikap profesionalisme dan demikian sebaliknya. Konsep profesionalisme Hall banyak digunakan oleh para peneliti, diantaranya Morrow dan Goetz (1988) menguji profesionalisme para akuntan publik, Goetz, Morrow dan Mc Elroy (1991) untuk mengukur profesionalisme para akuntan publik yang ditambah dengan variabel yang dikembangkan, serta Kalbers dan Fogarty (1995) yang menggunakan pandangan profesionalisme yang lebih kompleks daripada ketiga penelitian tersebut menunjukkan bukti empiris hubungan variabel anteseden (pengalaman) auditor internal dengan profesionalisme, juga dengan variabel konsekuensinya. Sedangkan di Indonesia penelitian Kalbers dan Fogarty direplikasi oleh Winowo (1996) dan Rahmawati (1997) serta Yohanes Sri Guntur (2001) yang menggunakan sampel auditor internal dengan menggunakan instrumen profesionalisme di lingkungan perusahaan manufaktur dari Hall (1968) sedangkan Sumardi (2001) menggunakan sampel BPKP di Jawa Tengah. Adapun lima konsep profesionalisme dari Hall (1968) secara keseluruhan adalah sebagai berikut: 1. Afiliasi Komunitas (community affiliation) yaitu menggunakan ikatan profesi sebagai acuan, termasuk didalamnya organisasi formal dan kelompok- kelompok kolega informal sumber ide utama pekerjaan. Melalui ikatan profesi ini para profesional membangun kesadaran profesi. 2. Kebutuhan untuk mandiri (Autonomy demand) merupakan suatu pandangan bahwa seseorang yang profesional harus mampu membuat keputusan sendiri tanpa tekanan dari pihak lain (Pemerintah, klien, mereka yang bukan anggota profesi). Setiap adanya campur tangan (intervensi) yang datang dari luar, dianggap sebagai hambatan terhadap kemandirian secara profesional. Banyak yang menginginkan pekerjaan yang memberikan hak-hak istimewa untuk membuat keputusan dan bekerja tanpa diawasi secara ketat. Rasa kemandirian dapat berasal dari kebebasan melakukan apa yang terbaik menurut karyawan yang bersangkutan dalam situasi khusus. Dalam pekerjaan yang terstruktur dan dikendalikan oleh manajemen secara ketat, akan sulit menciptakan tugas yang menimbulkan rasa kemandirian dalam tugas. 3. Keyakinan terhadap peraturan sendiri/profesi (belief self regulation) dimaksud bahwa yang paling berwenang dalam menilai pekerjaan profesional adalah rekan sesama profesi, bukan ”orang luar” yang tidak mempunyai kompetensi dalam bidang ilmu dan pekerjaan mereka. 4. Dedikasi pada profesi (dedication) dicerminkan dari dedikasi profesional dengan menggunakan pengetahuan dan kecakapan yang dimiliki. Keteguhan untuk tetap melaksanakan pekerjaan meskipun imbalan ekstrinsik berkurang. Sikap ini merupakan ekspresi dari pencurahan diri yang total terhadap pekerjaan. Pekerjaan didefinisikan sebagai tujuan. Totalitas ini sudah menjadi komitmen pribadi, sehingga kompensasi utama yang diharapkan dari pekerjaan adalah kepuasan rohani dan setelah itu baru materi. 5. Kewajiban sosial (social obligation) merupakan pandangan tentang pentingnya profesi serta manfaat yang diperoleh baik oleh masyarakat maupun profesional karena adanya pekerjaan tersebut. Profesionalisme (M. TAUFIK HIDAYAT. 2011. Pengaruh Faktor-Faktor Akuntabilitas Auditor Dan Profesionalisme Auditor Terhadap)
Dalam pengertian umum, seseorang dikatakan profesional jika memenuhi tiga
kriteria, yaitu mempunyai keahlian untuk melaksanakan tugas sesuai dengan bidangnya, melaksanakan suatu tugas atau profesi dengan menetapkan standar baku di bidang profesi yang bersangkutan dan menjalankan tugas profesinya dengan mematuhi etika profesi yang telah ditetapkan. Profesi dan profesionalisme dapat dibedakan secara konseptual (Lekatompessy, 2003). Profesi merupakan jenis pekerjaan yang memenuhi beberapa kriteria, sedangkan profesionalisme merupakan atribut individual yang penting tanpa melihat apakah suatu pekerjaan itu merupakan suatu profesi atau tidak. Seorang akuntan publik yang profesional harus memenuhi tanggung jawabnya terhadap masyarakat, klien termasuk rekan sesama akuntan publik untuk berperilaku semestinya.