Anda di halaman 1dari 26

BAB V

PERSEPSI ETIKA ORGANISASI: MENDUKUNG RASIONAL


ETIKA PENGAWASAN INTERN

The rationale behind professionalism is that


public servants should be neutral, impartial, fair,
competent and serve the public interest in
carrying out their duties. (United Nation, New
York. 2000)

5.1. Pengantar

Perilaku etis sangat penting dalam hidup bermasyarakat, karena interaksi

dalam masyarakat itu sendiri sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai etika. Pada

dasarnya dapat dikatakan bahwa kesadaran semua anggota masyarakat untuk

berperilaku secara etis dapat membangun suatu ikatan dan keharmonisan

bermasyarakat. Namun, demikian kita tidak bisa mengharapkan bahwa semua

orang bisa berperilaku secara etis karena setiap diri memiliki pengalaman dan

pengetahuan yang berbeda tentang nilai-nilai etika.

Kode Etik APIP mensyaratkan prinsip-prinsip perilaku yang berintegritas,

yakni melaksanakan tugas secara jujur, teliti, bertanggung jawab, menunjukkan

kesetiaan, menjaga citra dan mengembangkan visi dan misi organisasi serta tdak

melakukan aktivitas yang bertentangan dengan hukum perundang-undangan.

Obyektivitas APIP yang menjunjung tinggi profesionalisme, tidak memihak atas

kepentingan tertentu yang akan menyebabkan benturan kepentingan dan

menolak pemberian terkait keputusan dan pertimbangan profesional. Dan prinsip

prilaku lainnya adalah menjamin kerahasiaan informasi dan meningkatkan

kompetensi dengan melaksanakan tugas pengawasan sesuai standar audit.

Kendala tersendiri bagi aparat pelayan publik khususnya auditor intern

pemerintah apabila tidak terbiasa atas pertimbangan etis dan keputusan yang
2

dapat meminimalisir benturan atau perbedaan. Widyanto dan Rokhman (2012),

memberi pernyataan bahwa:

...setiap aparat birokrasi wajib memiliki sikap mental dan perilaku yang
mencerminkan keunggulan watak, keluhuran budi, dan berbagai asas etis yang
bersumber pada kebajikan moral, kemudian membina diri sehingga sungguh-
sungguh menghayati asas-asas etis dan menerapkannya sebanyak mungkin
dalam tindakan jabatannya.

Selain menjadi pilar yang mengawal implementasi program pemerintah,

peran APIP juga turut mengawal komitmen penegakan dan penyelenggaraan

pemerintahan yang baik dan bersih (good governance and clean government).

Mengingat bahwa hal ini telah menjadi tuntutan masyarakat luas, maka

ekspektasi itu harus diwujudkan dengan melibatkan berbagai komponen yang

didukung oleh perangkat legal formal seperti; aturan perundang-undangan,

prosedur, dan mekanisme lainnya.

5.2. Pertimbangan Etis/Tidak Etis dalam Lingkungan Pengawasan Intern

Penerapan standar etika dan operasional pengawasan (kode etik dan

standar audit), atau aturan perilaku yang dibuat dan berlaku secara internal.

Dalam Renstra Inspektorat Kota Parepare Tahun 2013-2018, tidak ada

pembahasan khusus tentang penerapan kode etik sebagai sarana yang

mengikat dan harus ditaati, agar hasil kerja dapat dipercaya dan memenuhi

kualitas yang ditetapkan organisasi.

Standar etika dan operasional pengawasan di lingkungan Inspektorat

Kota Parepare menyisakan persoalan, diantaranya keterbatasan waktu untuk

membahas dan mendiskusikan lebih lanjut, terus menjadi ajang perdebatan

dikalangan aparat pengawasan, tidak menemukan titik temu dan kesimpulan

yang jelas sehingga pelaksanaan standar etika tidak efektif. Setelah dikonfirmasi

kepada informan ditemukan penjelasan sebagai berikut;

...Standar Operasional Pemeriksaan sudah disusun tetapi masih dalam bentuk


draft, ini juga mengacu pada kode etik dan standar audit APIP. Beberapa bulan
3

yang lalu, pada kegiatan rapat kerja sempat dijadwalkan untuk membahas lebih
lanjut tetapi waktu tidak cukup sehingga sampai sekarang belum masuk di meja
Pak Inspektur. (P7)

Untuk saat ini, pedoman pengawasan intern Inspektorat Parepare sudah dibuat
dalam bentuk SOP (Standar Operasional Pemeriksaan) yang didalamnya sudah
mencantumkan Kode Etik APIP. Artinya, belum sempat dijalankan tetapi Kode
Etik APIP yang berlaku secara umum untuk pengawasan sudah lama dipedomani
namun penerapannya belum efektif. (P1)

...kode etik di lingkungan Inspektorat belum maksimal dilaksanakan.


Sosialisasinya sendiri lebih banyak dalam bentuk pembicaraan informal di antara
sesama APIP sekedar mengabarkan betapa gesitnya si-pencetus info
menangkap aturan yang lagi update, meski dia sendiri belum membaca seluruh
isinya. (P5)

Pernyataan informan tersebut merupakan noema (pengalaman objektif

yang dipersepsikan) atas pertimbangan etis/tidak etis menyangkut standar etika

pengawasan. Adapun noesis (refleksi subjektif) atas standar etika pengawasan

menemukan kendala dalam penyelesaiannya, kendala utama adalah tidak

adanya perhatian serius untuk membahas proses penyelesaian standar etika

pengawasan yang saat ini masih berupa draft.

Kecenderungan bekerja setengah hati tidak boleh terdapat dalam diri

setiap aparat birokrasi, keterlibatan diri secara sungguh-sungguh dalam

pelaksanaan bagian dari pengabdian (dedication) yang diasarkan pada

kewajiban etis (ethical obligations). Kewajiban etis mengatur perilaku dan sikap

mental dalam membina diri, masyarakat dan kehidupan bangsa dan masyarakat.

Olehnya itu, perlu memahami asas-asas etis yang bersumber dari kebajikan

moral, menghayati dan menerapkan sebanyak mungkin dalam tindakan

jabatannya (Widyanto dan Rokhman, 2012:7-9).

Selain keterbatasan waktu, nampak juga ada kekhawatiran mengingat

pengalaman di beberapa pertemuan sebelumnya ketika pembahasan tentang

standar etika pengawasan (kode etik dan standar audit) suasananya nampak

“panas”, sebagian rekan kerja menganggap agendanya sangat “sensitif”. Ketika


4

mengajukan pertanyaan terkait efektifitas pelaksanaan etika dalam pengawasan

maka cenderung diabaikan.

Informanpun menjelaskan kadang pembahasan tentang etika

pengawasan menjadi “ajang debat”, sulit mempersatukan beragam persepsi

sehingga masing-masing auditor/pengawas intern bebas mempersepsikan

tindakannya, apakah etis atau tidak etis tergantung kepentingannya. Adanya

perdebatan tentang etika pengawasan sudah berlangsung cukup lama, sekaligus

membuktikan kalau penerapannya tidak efektif.

...seingat saya, tahun 2011/2012 pernah juga dilakukan sosialisasi dalam bentuk
perumusan dan pemaparan aturan perilaku personil Inspektorat yang waktu itu
bekerja sama dengan BPKP,.... tetapi lagi-lagi hasilnya masih menjadi “ajang
debat” yang selalu seru ketika telah masuk dan menyentuh ranah “dosa-dosa
pribadi” personil APIP tatkala aturan itu ingin ditegakkan. (P5)

...sulitnya menyatukan persepsi auditor atau tim pengawasan terhadap etika


pengawasan, apakah menggunakan standar kode etik atau tidak, sehingga
semuanya berjalan sesuai dengan pertimbangan masing-masing. (P4)

Pernyataan informan tersebut merupakan noema (pengalaman objektif

yang dipersepsikan) atas pertimbangan etis/tidak etis terhadap etika

pengawasan yang menuai perdebatan. Adapun noesis (refleksi subjektif) atas

etika pengawasan menunjukkan penyebab adanya perbedaan cara pandang

atau persepsi auditor tentang etika itu sendiri. Adanya perbedaan persepsi ini

didasarkan atas pertimbangan-pertimbangan individu/rasional etis masing-

masing auditor atau tim pengawasan intern.

Di sisi lain Rost (1995), mencatat bahwa “kebanyakan orang tidak

menggunakan kerangka etika untuk menilai moralitas. Sebaliknya, mereka

memanfaatkan pengalaman, nilai-nilai pribadi dan keyakinan agamanya.” Hal

inilah yang harus mendapat perhatian karena telah berabad-abad lamanya

manusia diselimuti oleh berbagai masalah, menuntut manusia mencari dan

menggunakan segala cara dengan memaksimalkan potensi yang dimiliki untuk

keluar dari masalahnya (perilaku etis dan tidak etis).


5

Mempertegas pertimbangan individu atau rasionalitas apa saja yang

dimaksudkan oleh informan sampai mempengaruhi persepsinya. Informan

mengungkapkan, bahwa;

...auditor atau tim yang melaksanakan pengawasan bebas mempersepsikan


tindakannya apakah etis atau tidak etis, bisa saja dianggap etis menurutnya tapi
tidak etis menurut aturan yang ada, jadi tergantung kepentingannya.... (P4)

Pernyataan informan tersebut merupakan noema (pengalaman objektif

yang dipersepsikan) atas pertimbangan etis/tidak etis menyangkut persepsi

aparat pengawasan, apakah tindakannya etis/tidak etis. Adapun noesis (refleksi

subjektif) atas persepsi tindakan etis/tidak etis secara tidak langsung

mengungkapkan, bahwa tidak digunakannya standar etika yang berlaku secara

umum (universal) sebagai pandangan etik atau yang memuat nilai etika yang

berlaku dalam tradisi atau budaya setempat (emic view)6, sebagai pedoman yang

membatasi persepsi auditor untuk berperilaku etis/tidak etis.

Memang tidak ada kewajiban khusus untuk menjadikan nilai etika tersebut

sebagai pedoman dalam pengawasan (kecuali standar umum APIP yang sudah

dibuat) tetapi setidaknya masing-masing individu harus menyadari tanggung

jawab dan risiko yang melekat dalam tugasnya (inhern risk). Secara umum

rasionalitas menjadi pertimbangan untuk melakukan tindakan, menemukan

kebenaran sekaligus dapat digunakan untuk mempertahankan hal-hal yang tidak

benar (Etzioni, 1986). Keragaman informasi yang diterima oleh setiap individu

berasal dari adaptasi dengan lingkungannya sehingga menghasilkan pandangan

dan cara merasionalisasikan pandangan tersebut dengan memilih berdasarkan

kepentingan yang ingin dicapai.

6
Pandangan yang dikuasai oleh nilai-nilai, norma-norma dan teori-teori ilmiah yang
sebenarnya merupakan pandangan “dari luar” itu disebut pandangan “etik” (etic view), sedangkan
pandangan tentang kebudayaan sendiri dari warga masyarakat yang bersangkutan, yang
sebenarnya merupakan pandangan “dari dalam”, merupakan pandangan “emik” (emic view)
(Koentjaningrat,1982b:xviii).
6

Sesuatu bisa saja dianggap benar tergantung dari kepentingan

individunya, dan ketika diperhadapkan dengan ketaatan terhadap standar etika

(kode etik dalam pengawasan), maka hasilnya kecendrungan untuk memilih apa

yang dianggapnya rasional, mengabaikan dan bahkan melanggar standar etika

profesionalismenya. Sebelumnya, kajian moralitas mengungkapkan hal yang

sama bahwa, pengalaman hidup, nilai-nilai pribadi, dan keyakinan dipilih oleh

banyak orang dibandingkan dengan kerangka etika yang sudah dibuat (Rost,

1995).

Adanya faktor yang mempengaruhi seseorang berbuat tidak etis karena

beranggapan bahwa standar etika masing-masing orang berbeda dengan

masyarakat umumnya, dan adanya kesengajaan bertindak tidak etis untuk

keuntungan diri sendiri (Pusdiklat BPKP, 2008:8). Lebih lanjut dijelaskan bahwa

dorongan orang untuk berbuat tidak etis diperkuat oleh rasionalisasi yang

dikembangkan sendiri oleh yang bersangkutan berdasarkan pengamatan dan

pengetahuannya. Rasionalisasi tersebut mencakup tiga hal, sebagai berikut;

pertama, setiap orang juga melakukan hal (tidak etis) yang sama. Misalnya,

bahwa tindakan meminta atau menerima pemberian dari auditee terkait

pelaksanaan tugas dalam pengawasan bukan perbuatan yang tidak etis karena

yang bersangkutan berpendapat bahwa orang lain pun melakukan tindakan yang

sama.

Kedua, jika sesuatu perbuatan tidak melanggar hukum berarati perbuatan

tersebut tidak melanggar etika. Alasan tersebut didasarkan pada pemikiran

bahwa hukum yang sempurna harus sepenuhnya dilandaskan pada etika.

Mislanya, seorang auditor tidak memiliki kewajiban untuk menghindari atau

menolak pemberian auditee, jika tindakan tersebut tidak bisa dibuktikan akan

mempengaruhi keputusan pengawasannya.


7

Ketiga, bahwa tindakan tidak etisnya akan diketahui orang lain serta

sanksi yang harus ditanggung jika perbuatan tidak etis tersebut diketahui orang

lain tidak signifikan. Misalnya membiarkan perilaku tidak etis dilakukan sampai

ada yang menyampaikan atau merasa terganggu dengan tindakan tidak etis

tersebut. Jika tidak mendapat tanggapan dari orang lain, maka tindakannya

diangap etis.

Selain rasionalitas yang mempengaruhi cara pandang atau persepsi etis

auditor, para informan juga menunjukkan betapa rendahnya pemahaman

auditor/aparat pengawasan intern terhadap kode etiknya sehingga menimbulkan

sikap tidak peduli dan menjadi penyebab tidak efektifnya pengawasan. Hal ini

disampaikan oleh informan lainnya bahwa;

...masalah utama ketidaktaatan penegakan kode etik oleh personil APIP adalah
kurang dipahaminya kode etik .... (P5)

Menurut saya sendiri, masalah utama ketidaktaatan penegakan kode etik oleh
personil APIP adalah kurang memahami kode etik tersebut. Boleh diuji, apakah
setiap personil APIP mengetahui aturan perilaku tersebut secara detil?.... (P2)

...kurangnya pengetahuan dan keterampilan auditor, sehingga kadang pihak


auditee lebih memahami persoalan ketimbang kita. Maksudnya, karena
kurangnya pengetahuan maka muncul sikap tidak peduli dengan aturan yang ada
atau kode etiknya. (P4)

Pernyataan informan tersebut merupakan noema (pengalaman objektif

yang dipersepsikan) atas pertimbangan etis/tidak etis menyangkut rendahnya

pemahaman auditor/aparat pengawasan intern terhadap kode etik

profesionalnya. Adapun noesis (refleksi subjektif) atas rendahnya pemahaman

etika pengawasan menunjukkan perlunya peningkatan kualitas yang tidak saja

terkait dengan pengawasan, namun perlu membekali diri dengan pemahaman

lain yang mendukung hasil dan kinerja pengawasan menjadi lebih baik.

Pemahaman kode etik

Dari penjelasan informan, seakan mendesak kebijakan pengawasan yang

sudah dituangkan dalam Renstra Pengawasan terhadap penyelenggaraan


8

Pemerintah Daerah Tahun 2013-2018, tentang upaya pengembangan

kemampuan auditor dalam pengawasan, bahwa;

Peran pengawasan yang baik tidak terlepas dari kemampuan aparatur


pengawasan yang up to date dalam mengembangkan pengetahuan dan metode
pengawasan. Pengembangan wawasan aparat pengawasan merupakan sesuatu
yang mutlak yang harus dilakukan agar aparat pengawasan selalu selangkah di
depan (one step ahead) dibanding dengan aparat yang diperiksa (auditee).
Pengembangan wawasan pengetahuan juga merupakan konsekuensi dari
Inspektorat selaku APIP yang diharapkan menjadi quality assurance bagi SKPD
di lingkungan Pemerintah Kota Parepare.

Adapun skematis pembahasan berdasarkan analisis atas pertimbangan

etis/tidak etis dalam lingkungan pengawasan intern, sebagai berikut;

Kategori Sub Tema

Tidak cukup waktu untuk membahas


standar etika lebih lanjut

Penerapan kode etik belum efektif/


belum maksimal
Hasilnya masih menjadi “ajang debat”

Sulitnya menyatukan persepsi


Pertimbangan etis/tidak
etis
Bebas mempersepsikan tindakannya,
tergantung kepentingannya

Kurang dipahaminya kode etik

Kurangnya pengetahuan dan


keterampilan

Skema 5.1. Pertimbangan etis/tidak etis dalam lingkungan pengawasan

Kemunculan beberapa kategori dari noema mengarahkan pembentukan

sub tema, menunjukkan adanya kendala pelaksanaan kode etik sebagai

hambatan profesional dalam pengawasan intern. Kode etik ibarat “rambu-rambu

jalan”, si pengendara tidak hanya memiliki kemahiran melintas di jalan atau

menghindari rintangan tetapi ia juga harus mengerti dan mengenal rambu-rambu

yang wajib dipatuhi. The Institute of Internal Auditors, menjelaskan bahwa;


9

Berdasarkan uraian di atas, maka reduksi fenomenologi dan

noetic/noematic correlate atas pertimbangan etis dalam lingkungan pengawasan

intern, ditampilkan sebagai berikut;

Tabel 5.1. Reduksi fenomenologi atas pertimbangan etis/tidak etis dalam


lingkungan pengawasan intern
Reduksi
Noesis Sub tema

a. Kendala penyelesaian standar etika Pertimbangan etis/tidak etis


pengawasan yang berlaku secara internal
karena padatnya aktivitas kerja, sulit mencari
waktu luang untuk membahas proses
penyelesaiannya.

b. Perbedaan cara pandang auditor tentang etika


didasarkan atas pertimbangan individu/
rasional etis masing-masing.

c. Tidak digunakannya standar etika yang


berlaku secara umum sebagai pandangan etis
atau pedoman yang membatasi auditor
berperilaku etis/tidak etis.
d. Wawasan dan pemahaman lain perlu
dikembangkan untuk mendukung peningkatan
kualitas dan kinerja pengawasan.

Noetic/Noematic Correlate

Perlunya pertimbangan etis yang rasional


Peran dan fungsi APIP perlu dipulihkan dengan memenuhi persyaratan atas
kepemilikan keahlian, membangun karakter sumber daya aparat pengawasan yang
kredibel, memahami kode etik dan standar auditnya sehingga tidak lagi menyebabkan
cara pandang auditor/pengawas intern memilih pertimbangan yang didasarkan pada
kebutuhan atau kepentingan individu.

Eiditic Reduction/transendental

Motivasi opurtunistik dalam pengawasan intern

Korelasi antara noema dan noesis menunjukkan bahwa lingkungan

pengawasan intern sarat dengan tekanan dan menciptakan ketergantungan

terhadap otoritas yang lebih tinggi (para pemangku kebijakan/pejabat struktural).

Informan menganggap perlunya aparat pengawasan intern memiliki

pertimbangan etis yang mengedepankan rasionalitas. Dibutuhkan perhatian

terkait keterpenuhan sumber daya aparat pengawasan yang memiliki kualitas etis
10

lebih baik. Artinya aparat pengawasan diwajibkan memahami kode etik dan

standar auditnya secara mendalam guna mendukung terciptanya lingkungan dan

budaya etis dalam organisasi. Adanya ketidakseragaman perilaku karena

dipengaruhi nilai yang diyakini oleh masing-masing individu. Olehnya itu, untuk

tercapainya keseragaman ukuran perilaku, apakah suatu tindakan etis atau tidak

etis, maka kode etik perlu ditetapkan dan dijalankan bersama oleh seluruh

anggota profesi.

5.3. Rendahnya Komitmen Profesional atas Etika Pengawasan Intern

Komitmen menunjukkan sebuah kepercayaan dan penerimaan pada nilai-

nilai organisasi atau profesi sehingga muncul kesediaan untuk mengerahkan

usaha dan mempertahankannya atas nama organisasi atau profesi (Araya dan

Ferris, 1984). Komitmen atas etika pengawasan intern merupakan komitmen

profesional yang disebut oleh Larkin (2000), sebagai sikap loyalitas yang dimiliki

oleh individu. Di dalam organisasi, komitmen ataupun loyalitas ditampakkan

melalui kesadaran karena merasa adanya hubungan emosioanal atau merasa

memiliki nilai yang sama dengan organisasi (emotional attachment), memiliki

kemauan individu untuk tetap bertahan karena merasa dihargai (continuance

commitment), dan sadar akan nilai-nilai normatif (normative commitment), bahwa

sebuah komitmen memang harus dipertahankan (Meyer dan Allen, 1993).

Kemudian penyebab lainnya dari perilaku tidak etis dalam pengawasan

adalah rendahnya komitmen dan keteladanan baik individu maupun pimpinan,

hal ini dipertegas kembali oleh informan, bahwa;

...ketidakefektifan etika pengawasan disebabkan karena rendahnya komitmen


diri dan pimpinan.... (P2)

...rendahnya komitmen diri setiap anggota untuk menerapkan Kode Etik APIP...,
dan yang menjadi tantangan adalah bagaimana pimpinan dapat betul-betul mau
menerapkan kode etik itu, tidak ada keteladan yang kuat dari pimpinan APIP.
(P3)
11

...itulah mungkin dinamika personil APIP yang sulit diatur tanpa keteladanan
yang kuat dari kepemimpinan di Inspektorat. (P5)

Pernyataan informan tersebut merupakan noema (pengalaman objektif

yang dipersepsikan) atas rendahnya komitmen profesional. Adapun noesis

(refleksi subjektif) atas rendahnya komitmen profesional menunjukkan bahwa

perlu dukungan keteladanan diri maupun pimpinan. Komitmen menunjukkan

keadaan auditor mempertimbangkan sejauh mana ia mampu eksis dalam

tugasnya, dan yang lebih penting lagi adalah apakah kepentingan pribadinya

sesuai dengan nilai dan tujuan organisasi. Tentu yang diinginkan adalah

komitmen dan keteladanan auditor terbingkai oleh dasar moral dan kode etik

profesionalnya (independen, objektif, memiliki keahlian, kecermatan dan

kepatuhan).

Maksud dari penjelasan tersebut di atas, mengharapkan ada keterikatan,

keterhubungan yang menurut Mowday, et. al., (1982:27) sebagai “the relative

strength of an individual's identification with and involvement in a particular

organization”. Ternyata sesuatu hal yang penting ingin ditampakkan bahwa

komitmen diri, pimpinan dan organisasinya memiliki arti lebih dari sekedar

loyalitas yang pasif, tetapi melibatkan hubungan aktif dan adanya kesadaran

memberikan kontribusi yang berarti.

Secara konseptual, dapat ditandai dengan tiga faktor; 1) adanya

keyakinan yang kuat dan penerimaan tujuan dan nilai-nilai organisasi; 2)

kesediaan untuk mengerahkan usaha yang cukup atas nama organisasi; dan 3)

keinginan yang kuat untuk mempertahankan keanggotaan dalam organisasi.

Ketika komitmen ini tidak bisa dijaga, maka keberhasilan kinerja organisasi akan

terhambat dan berdampak terhadap pelayanan publik.

Rendahnya komitmen dan keteladanan diri maupun pimpinan akan

berimplikasi terhadap penerapan sanksi yang tegas terhadap pelanggaran kode


12

etik. Kemudian tidak memberi dorongan bagi aparat untuk bekerja secara proaktif

dan kompetitif dalam mengejar tujuan dan sasaran kegiatan organisasi yang

telah ditetapkan, sehingga pencapaian kinerja organisasi menjadi tidak

maksimal. Secara umum pejabat yang diberi wewenang dan tanggung jawab

menguji jalannya sistem pemberian penghargaan kepada aparat yang

berprestasi dan penjatuhan sanksi kepada mereka yang melakukan

penyimpangan belum dilaksanakan secara optimal.

Pada intinya, penjelasan di atas dimaksudkan untuk mendukung

komitmen diri, pimpinan, maupun organisasi sebagai landasan rasional yang

saling mendukung untuk mewujudkan pengawasan yang etis sebagai budaya

organisasi. Budaya organisasi dimaksudkan sebagai sarana untuk menunjang

pelaksanaan etika dalam pengawasan intern, karena sebuah budaya etis dalam

organisasi memberi pandangan luas tentang persepsi seseorang terhadap

tindakannya (Hunt, et. al., 1986).

Dalam sebuah studi, Hodgkinson (1971), menjelaskan hubungan status

yang lebih tinggi memberi perhatian yang lebih baik tentang orientasi nilai etika,

adanya peningkatan status karena mendapat promosi memiliki orientasi etika

yang berbeda dari rekannya. Kemudian hal yang sama dilakukan oleh Harris

(1990), penelitiannya menunjukkan manajer tingkat tinggi memberi perhatian

yang lebih besar terhadap praktek etika dibanding dengan pejabat yang lebih

rendah. Dijelaskan bahwa manajer tingkat pertama adalah orang yang paling

toleran dengan kepentingan individunya, hal tersebut mencerminkan adanya

kepekaan terhadap perilaku (etis) yang akan mempengaruhi kinerjanya. Hal ini

memberi alasan pentingnya posisi seorang pejabat atau pimpinan dalam sebuah

organisasi untuk menunjukkan komitmen etis dan keteladanannya agar bisa

mempengaruhi masing-masing individu dalam lingkungannya.


13

Secara umum menurut hasil wawancara dan pengamatan, pejabat yang

diberi wewenang dan tanggung jawab menguji jalannya sistem pemberian

penghargaan kepada aparat yang berprestasi dan pengenaan atau penjatuhan

sanksi kepada mereka yang melakukan pelanggaran kode etik belum

dilaksanakannya secara optimal. Ketika sebuah organisasi berusaha

membangun kembali legitmasi sosial atau kepercayaan publik sebagai akibat

dari perilaku yang tidak etis, peran kepemimpinan sangat penting untuk

meningkatkan budaya etis terutama di sektor publik. (Pelletier dan Bligh, 2006).

Berdasarkan uraian di atas, maka reduksi fenomenologi atas

pertimbangan etis dalam lingkungan pengawasan intern, ditampilkan sebagai

berikut;

Tabel 5.2. Reduksi fenomenologi dan noetic/noematic correlate atas rendahnya


komitmen profesional

Reduksi
Noesis Sub tema

a. Perlu dukungan keteladanan diri Rendahnya komitmen profesional


maupun pimpinan. Komitmen menun-
jukkan keadaan auditor mempertim-
bangkan sejauh mana ia berperan
dalam tugasnya, dan yang lebih
penting lagi adalah apakah kepenting-
an pribadinya sesuai dengan nilai dan
tujuan organisasi.

Noetic/Noematic Correlate

Tuntutan keteladanan dan menjalankan etika pengawasan sebagai bentuk komitmen


terhadap diri maupun organisasi.

Kepemimpinan

Dalam penelitian ini, informan menganggap perlunya memiliki kesadaran

sendiri dalam bentuk tanggung jawab, komitmen terhadap diri dan organisasi

untuk menjalankan standar etika yang dipedomani dalam pelaksanaan


14

pengawasan. Adapun skematis pembahasan berdasarkan analisis terhadap

rendahnya komitmen profesional atas etika pengawasan intern, sebagai berikut;

Kategori Sub Tema

Rendahnya komitmen diri /pimpinan

Tanpa keteladanan yang kuat Komitmen profesional

Skema 5.2. Rendahnya komitmen profesional

5.4. Nilai-Nilai Profesional dalam Pengawasan Intern: Membentuk


Lingkungan Moral

Moral meskipun kerap diabaikan dalam diskusi-diskusi keilmuan, ia tetap

merupakan topik yang penting dan menyentuh langsung pada sendi kehidupan

manusia, karena kemampuan moral telah teruji sebagai penjaga eksistensi

sebuah otoritas yang masyarakatnya memiliki moral dan tetap dipimpin oleh

moralitas. Pernyataan tersebut, tidaklah berlebihan, sebelumnya Hume (1711-

1776) telah menunjukkan bahwa moralitas merupakan sebuah kenyataan yang

menyentuh inti sari kehidupan karena memiliki fungsi regulatif bagi kehidupan

manusia baik sebagai mahluk sosial maupun sebagai individu (Dua, 2011b:9).

Hal yang sama juga disampaikan oleh Ciulla (1987, dalam Hicks,

2006:153), bahwa adat maupun kebiasaan yang menjadi bagian tak terpisah dari

moralitas dapat mempengaruhi dan ditemukan dalam keseharian kita;

A moral environment is a system of customs and habits found in daily life that
take on a logic of their own. They influence dispositions and sensibilities of
people given the structure, tradition, beliefs, leadership, policies, and practices of
an organization … A healthy moral environment is one where it makes sense to
be honest, fair, loyal, forthright, etc.

Atas tinjauan moralitas, para informan dalam penelitian ini menerangkan

bahwa pengawasan intern harus berlandaskan nilai-nilai moral dan etika

universal atau aturan yang telah dibuat. Para informan mengungkapkan, bahwa;
15

... etika pengawasan bagi saya merupakan sikap atau perilaku yang seharusnya
dimiliki oleh aparat pengawas dalam melaksanakan tugas pengawasan. Sikap itu
didasarkan pada agama dan norma-norma standar yang berlaku. (P1)
Etika pengawasan merupakan sebuah sistem prinsip moral yang diberlakukan
dalam pengawasan yang ditetapkan dan wajib ditaati oleh para auditor. (P3)

...kaidah atau norma yang digariskan bagi setiap anggota APIP agar berprilaku
etis.... (P6)
Pernyataan informan tersebut merupakan noema (pengalaman objektif

yang dipersepsikan) atas nilai-nilai dalam pengawasan yang mengedepankan

nilai agama dan norma yang berlaku. Adapun noesis (refleksi subjektif) atas nilai-

nilai pengawasan menampakkan gejala yang positif bahwa segala tindakan

seseorang haruslah berpedoman pada ketentuan yang telah diatur, menjadi

kesepakatan untuk diterapkan mengingat tugas atau tanggung jawab yang

diemban menuntut perilaku yang etis sehingga dapat meningkatkan kepercayaan

publik terhadap pelaksanaan pengawasan intern.

PERMENPAN Nomor: PER/05/M/PAN/03/2008 tentang Standar Audit

Aparat Pengawasan Intern Pemerintah, telah mewajibkan kode etik dan standar

audit sebagai kriteria atau ukuran mutu minimal dalam melaksanakan kegiatan

audit. Auditor diwajibkan mempertahankan kepatuhan terhadap kode etik dan

standar audit mengingat tujuan utamanya melindungi kepentingan masyarakat

dari kemungkinan kelalaian, kesalahan atau pelecehan, baik disengaja maupun

tidak disengaja oleh anggota profesi dan melindungi keluhuran profesi dari

perilaku-perilaku menyimpang oleh anggota profesi.

Sejalan dengan pandangan Immanuel Kant (1724-1804) menjadikan

tindakan moral dapat membawa manusia mencapai tujuan hakiki, menuju

kebaikan tertinggi (summun bonum) yang dikonsepsikan bagian dari keluruhan

budi dan sekaligus kebahagiaan. Sebuah kezaliman ketika kebahagiaan tidak

dihiasi dengan keluruhan budi, demikian halnya bahwa keluruhan budi tanpa

kebahagiaan akan berlalu dengan kesia-siaan (Palmquis, 2000: 301).


16

Menciptakan pribadi yang lebih baik membutuhkan pemahaman moral

dan prinsip-prinsip etika. Memaknainya dengan menghadirkan kesadaran

sehingga manusia dapat memahami tujuan hidup yang haikiki, menjadi manusia

yang utama (dalam kebaikan). Nilai-nilai etika tidak hanya berlaku sebagai

keyakinan tetapi merupakan acuan dan pedoman yang membawa akibat dan

memberi pengaruh secara moral (Salindeho, 2013).

Penghayatan terhadap etika akan membangun komitmen aparatur untuk

menjaga kebaikan dan moralitas pemerintahan. Ia menjadi figur teladan,

senantiasa menjaga dirinya agar dapat terhindar dari perbuatan tercela. Sejalan

dengan konsep teleological ethic yang menerangkan bahwa segala sesuatu dan

kejadian menuju pada tujuan tertentu, sehingga dimaknai sebagai sebuah studi

tentang gejala-gejala yang menunjukkan keteraturan, rancangan, tujuan,

sasaran, kecendrungan, dan bagaimana hal tersebut dicapai dalam suatu proses

perkembangan. Etika teleologis dapat digunakan untuk membenarkan setiap

tujuannya, tujuan yang mementingkan terciptanya tata kelola pemerintahan yang

baik. Secara umum teleologi menjadi studi filosofis-religius dalam kehidupan,

yang eksistensinya mengarah pada kebijaksanaan (Dwihantoro, 2013).

Berhubungan dengan penerapan pengawasan intern yang berpedoman

pada ketentuan etis menjadi bagian dari tugas dan tanggung jawab auditor

intern, maka informan menjelaskan lebih lanjut, bahwa:

Pengawasan yang baik bertindak sesuai dengan tugas dan tanggung jawab yang
diberikan tanpa melakukan sesuatu yang dapat mencederai anggapan auditee
terhadap pribadi auditor dan instansi. Contohnya, jangan buat susah yang
memang perlu dimudahkan dan jangan buat gampang yang memang sulit,
dengan tidak bermaksud melakukan hal-hal dilarang agama. (P2)

Pernyataan informan tersebut merupakan noema (pengalaman objektif

yang dipersepsikan) atas nilai-nilai dalam pengawasan yang menyangkut

kepentingan tugas dan tanggung jawab. Adapun noesis (refleksi subjektif) atas

nilai-nilai pengawasan menuntut adanya tindakan yang profesional, yakni sesuai


17

dengan tugas maupun tanggung jawab seorang auditor sehingga menghasilkan

kepercayaan publik bahwa pengawasan lebih mendahulukan pelayanan

dibandingkan kepentingan pribadi.

Mengenai tanggung jawab dalam melaksanakan tugas pengawasan,

Peraturan BPK RI Nomor 01 Tahun 2007 tentang Standar Pemeriksaan

Keuangan Negara, menyatakan bahwa:

...pemeriksa harus melakukan seluruh tanggung jawab profesionalnya dengan


derajat integritas yang tertinggi. Pemeriksa harus profesional, objektif,
berdasarkan fakta, dan tidak berpihak.

Adapun yang berhubungan dengan profesionalisme dan kepercayaan

publik, Kode Etik Auditor Intern Pemerintah Indonesia (KE-AIPI), menjelaskan

bahwa:

Perilaku profesional merupakan tindak tanduk yang merupakan ciri, mutu, dan
kualitas profesi atau orang yang profesional di mana memerlukan kepandaian
khusus untuk menjalankannya, diharapkan auditor intern sebaiknya bertindak
dalam sikap konsisten dengan reputasi profesi yang baik dan menahan diri dari
segala perilaku yang mungkin menghilangkan kepercayaan kepada profesi
pengawasan intern atau organisasi.

Kepercayaan masyarakat terhadap kinerja pemerintah perlu dipulihkan

dengan tergantung pada praktek profesional yang dijalankan para auditor

pemerintah. Pelaksanaan tugas dan kinerja pengawasan akan berhasil sangat

ditentukan dari faktor sumber daya manusia yang berkualitas (Gustati, 2011).

Alasan di balik profesionalisme bahwa pegawai negeri harus bersikap netral, adil,

kompeten di bidangnya, tidak melakukan keberpihakan kecuali pada sasaran

tugas pokok dan fungsinya, serta memberi pelayanan atas dasar kepentingan

publik. (United Nations, 2000:14).

Dalam Warta Pengawasan yang diterbitkan oleh BPKP (2012),

menampilkan judul “Sudah Cukup Profesionalkah Kita? Judul dengan tanda

tanya besar menarik perhatian saya karena relevan terhadap keadaan atau

aktivitas dalam pengawasan yang menurut informan bagian dari tindakan tidak
18

etis. Kutipan dialog dalam judul tersebut memberi gambaran pelaksanaan

pengawasan intern atas pemerintah daerah, sebagai berikut;

“Pak Badu sedang memeriksa dimana?”


“Dinas A Pak. Tugas lapangannya selesai, sedang menyusun laporannya”
“Bapak langsung tugas ke Kantor B ya. Harus segera pak karena bulan depan
laporanya sudah harus terbit”.
“Waktunya berapa lama pak?”
“Menurut perencanaan lima hari dalam kota, lima hari luar kota”.
“Siap pak”.
Keesokan harinya tim diterima baik oleh Kepala Kantor B. “Silahkan Bapak-
bapak untuk melakukan pemeriksaan di kantor kami. Kami siap dan terbuka..
kalau bapak membutuhkan data silahkan minta pada Kepala Bagian Tata Usaha.
Saya sudah perintahkan beliau untuk sepenuhnya melayani apa-apa yang bapak
butuhkan... hanya ini sudah jam makan siang pak,... apa tidak sebaiknya kita
keluar makan siang dulu pak”, ujar Kepala Kantor B ketika menerima tim audit.
“Baik pak terima kasih.”
Sesaat tim mulai bekerja,

“Pak Kabag, sesuai DPA SKPD kantor bapak tahun ini, ada beberapa pekerjaan
pengadaan. Tolong kami minta data mengenai kontrak pekerjaan dan bukti-bukti
pembayarannya... Setelah itu nanti kita jadwalkan bersama untuk tinjauan
lapangannya ya..”, kata Ketua Tim Audit.
“Baik pak”.

Dialog tersebut dianggap sudah menjadi pemandangan yang biasa dan

sering terjadi saat melaksanakan kegiatan audit/pengawasan. Karena menjadi

rutinitas dalam pengawasan sehingga membentuk pola atau mekanisme kerja

tersendiri antara hubungan auditor/pengawas dan objek pengawasan (auditee)

yang tanpa disadari telah jauh dari standar profesionalisme yang dipedomani

atau telah melanggar beberapa prinsip-prinsip profesionalisme seorang auditor.

Misalnya, dalam kondisi tergesa-gesa seperti di atas, penyusunan

perencanaan audit sering dilakukan “ala kadarnya” dan terkadang hanya copy

paste dari audit sebelumnya. “Menerima ajakan makan siang”, tanpa disadari

dan sedikit banyak, dapat mempengaruhi sikap independensi auditor. Selain itu,

“penjadwalan inspeksi lapangan bersama-sama auditee” sudah mengurangi

kualitas detective control dari audit itu sendiri.


19

Lingkungan APIP telah membingkai pola interaksi dalam pelaksanaan

tugas pengawasan intern yang di sisi lain menuntut tanggung jawab sebagai

keharusan menjadikan seorang APIP menjaga citra organisasi, citra dirinya,

bersikap atau mengambil keputusan yang obyektif (tidak bertentangan dengan

nilai etikanya). Penjelasan informan terkait dengan hal tersebut adalah;

...aturan internal harus dilaksanakan supaya dapat mencegah hal-hal yang dapat
mencederai nama institusi di mata semua PNS maupun masyarakat. ( P2)

Pernyataan informan tersebut merupakan noema (pengalaman objektif

yang dipersepsikan) atas nilai-nilai dalam pengawasan yang menyangkut

integritas dan profesional. Adapun noesis (refleksi subjektif) atas nilai-nilai

pengawasan menimbulkan kesadaran perlunya mempertahankan dan

mengamalkan nilai integritas dan profesional yang tujuannya mencegah

perbuatan tidak etis atau yang mencederai nama baik institusi pengawasan.

Kewajiban aparat pengawasan untuk menjaga kepercayaan publik dan

nama baik institusi ditunjukkan dengan memegang teguh prinsip-prinsip kerja

profesional dan berintegritas, sehingga mencerminkan ciri yang unik dan spesifik

dari profesi audit sekaligus memberikan martabat yang tinggi bagi peran APIP.

Setiap pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh seorang anggota profesi akan

memberikan citra buruk bagi profesi tersebut secara umum di mata masyarakat,

demikian pula jika penugasan dilaksanakan dengan mutu di bawah standar

(Pusdiklatwas BPKP, 2008a:107).

Adapun skematis pembahasan berdasarkan analisis atas nilai-nilai

profesional pengawasan intern, sebagai berikut;

Kategori Sub Tema

Sikap didasarkan pada agama dan


norma standar

Prinsip moral, wajib ditaati


Kaidah atau norma, berperilaku etis
Nilai-nilai profesional
Bertindak sesuai tugas dan tanggung
jawab

Dapat mencegah hal-hal yang dapat


mencederai nama institusi
20

Skema 4.3. Nilai-nilai profesional pengawasan intern

Kemunculan beberapa kategori dari noema mengarahkan pembentukan

sub tema, menunjukkan adanya harapan nilai-nilai profesional dalam

pengawasan intern. Nilai profesional yang tercantum pada standar umum APIP

(kode etik dan standar audit) menjadi “tali pengikat” yang membatasi auditor dan

organisasinya berperilaku tidak etis, apalagi ketika perilaku tersebut sudah

dianggap sesuatu hal yang lumrah.

Nilai-nilai profesional yang mencerminkan perilaku etis harus melingkupi

pengawasan intern sebagaimana layaknya kehidupan manusia yang

menghormati nilai-nilai sosial menjadi sebuah urgensi. Bagi Sokrates (469 SM-

399 SM), hidup manusia memiliki satu fokus, yaitu membuat agar jiwanya

menjadi baik. Artinya, hal ini menegaskan jika pengetahuan tentang jiwa menjadi

kepentingan psyche manusia sebagai isi moralitas, bahkan lebih dari itu kodrat

manusia sebagai mahluk rasional menjadi dasar dari keutamaan moral yang

pada gilirannya memanusiakan manusia (Dua, 2011b:11-12).

Berdasarkan uraian di atas, reduksi fenomenologi atas nilai-nilai

profesional dalam pengawasan intern, ditampilkan sebagai berikut;

Tabel 4.3. Reduksi fenomenologi atas nilai-nilai profesional dalam pengawasan


intern

Reduksi
Noesis Sub tema
a. Adanya bentuk kesadaran bahwa segala
tindakan seseorang haruslah berpedoman Nilai-nilai profesional dalam
pada ketentuan yang telah diatur, menjadi pengawasan intern
kesepakatan untuk diterapkan mengingat
tugas atau tanggung jawab yang diemban
menuntut perilaku yang etis sehingga
dapat meningkatkan kepercayaan publik
terhadap pelaksanaan pengawasan intern.
b. Adanya tuntutan terhadap tindakan yang
21

profesional, yakni sesuai dengan tugas


maupun tanggung jawab seorang auditor
sehingga menghasilkan kepercayaan
publik bahwa pengawasan lebih
mendahulukan pelayanan dibandingkan
kepentingan pribadi.

c. Perlunya mempertahankan dan mengamal-


kan nilai integritas dan profesional sebagai
bagian dari standar etika. Tujuannya
adalah mencegah perbuatan tidak etis atau
yang mencederai nama baik institusi
pengawasan.

Noetic/Noematic Correlate

Kesadaran untuk bertindak berdasarkan ketentuan pengawasan yang telah diatur


menunjukkan adanya harapan agar aparat pengawasan intern menjalankan tugasnya
sesuai tanggung jawab dan sikap profesional atas pengawasan intern sehingga dapat
meminimalisir perilaku yang tidak etis dan meningkatkan kepercayaan publik.

Eiditic Reduction/transendental

Konsekuensi dan eksistensi moral yang membentuk kesadaran terhadap perilaku etis.

Korelasi antara noema dan noesis menjelaskan bahwa kesadaran untuk

bertindak berdasarkan ketentuan pengawasan yang telah diatur. Hal tersebut

menunjukkan adanya harapan agar aparat pengawasan intern menjalankan

tugasnya sesuai tanggung jawab dan sikap profesional atas pengawasan intern

sehingga dapat meminimalisir perilaku yang tidak etis dan meningkatkan

kepercayaan publik.

Informan merasakan pentingnya penerapan pengawasan intern yang

didasarkan pada nilai-nilai etika yang bersumber pada nilai agama, norma

standar yang telah dibuat, nilai moralitas dan prinsip tanggung jawab yang

melekat pada jabatannya. Untuk menjaga perilaku agar memenuhi mutu kerja

yang ditetapkan berdasarkan etika yang berlaku, maka kode etik profesional

harus dijaga. Sehubungan dengan hal tersebut Pusdiklatwas BPKP (2008a:108),

menjelaskan bahwa;

Kode etik APIP dan standar audit APIP adalah amanat profesi yang harus kita
jaga dan laksanakan bersama, agar martabat APIP di mata para stakeholders
22

mendapat tempat yang terhormat dan hasil kerja APIP diharapkan dapat benar-
benar memberikan andil yang berarti bagi kemajuan bangsa.

Harapan atas nilai-nilai profesional dalam pengawasan intern

menggambarkan sebuah fenomena adanya konsekuensi dan eksistensi moral

yang membentuk kesadaran etika profesional. Konsep etika dijelaskan oleh

Baghi (2011:135), bahwa satu-satunya jaminan etik bagi semua manusia adalah

tanggung jawabnya terhadap semua situasi yang dihadapinya, tanggung jawab

yang dimaksud adalah tanpa prinsip, suatu endless strunggle dari pengalaman

eksistensial manusia. Artinya, respon kita terhadap hidup ini adalah karena

adanya tanggung jawab, bukan sesuatu yang diatur oleh prinsip-prinsip ataupun

norma-norma.

Semakin tersadarnya kita bahwa tugas etika tidak sekedar “memberi

label”, melainkan mengatasinya (meta-etika). Meta-etika memiliki fondasi intensi

makna, komitmen, nilai-nilai kultural, tanggung jawab yang akan mengatasi

penilaian dan permasalahan boleh/tidaknya perbuatan, perilaku atau tindakan

manusia. Meta-etika bukanlah moral judgment sebagaimana kita pahami sebatas

larangan dan perintah atau ketentuan normatif. Tetapi, sejatinya etika

menyajikan pencerahan efektif atas nilai-nilai kehidupan yang kadang beranjak

dari pengalaman kultural lokal sendiri, lebih mengedepankan pandangan hidup,

asumsi, kisah-kisah atau pengalaman kehidupan.

Etika membutuhkan perspektif metodologis baru yang bertumpu pada

perkara makna kehidupan manusia yang memiliki aneka ragam keunikan yang

belum sempat terlihat, belum tersingkap, terhalang tabir yang menyelimutinya

untuk menjadikan etika tidak hanya sekedar berada pada wilayah “keharusan”

(should) atau “tidak boleh” (should not). Riyanto (2011:153-154),

mencontohkannya bahwa;

Dari sisi logika hukum, setiap pelanggaran diperhadapkan dengan berbagai


sanksi. Dalam perpektif moral, setiap tindakan jahat disebut keburukan. Dan
23

dalam agama mangkir dari ketentuan norma kita sebut dosa. Dalam ranah
pendidikan, tindakan yang sama kita katakan melawan disiplin.... Nyaris, tidak
ada tindakan manusia yang lolos dari wilayah penilaian etis semacam itu.

Meningkatkan etika dan moralitas di lingkungan pemerintahan akan

menggiring praktek-praktek pengawasan yang profesional sekaligus

meningkatkan citra APIP. Menurut Gie (2003:11-12), kinerja lembaga

pengawasan internal pemerintah kurang memuaskan dan diperparah dengan

kecendrungan meluasnya tindakan koruptif, kolusi dan nepotisme di dalam

birokrasi pemerintah. Olehnya itu, diperlukan pola kerja profesional yang

didasarkan atas etika dan moral APIP dengan mengembangkan sistem

akuntabilitas kinerja birokrasi pemerintah sebagai tolak ukur keberhasilan

dan/atau kegagalan pelaksanaan tugas dan fungsi instansi pemerintah kepada

masyarakat. Watak etika dan moral diperlukan sebagai sikap dan perilaku yang

mengedepankan kepentingan umum dan kebutuhan masyarakat.

5.5. Ringkasan

Kendala yang dihadapi berdasarkan dari hasil penelitian ini adalah peran

dan keberadaan sumber daya aparat pengawasan di lingkungan Inspektorat

Kota Parepare yang sebagian besar kedudukannya masih sebagai pejabat

struktural dan fungsional umum. Di sisi lain, pengetahuan dan keterampilan

tentang etika pengawasan juga dinilai masih minim. Sehingga dianggap memberi

pengaruh terhadap kemampuan rasional atas perilaku etis atau tidak etis.

Ketika permasalahan ini dikaitkan dengan etika umum yang sebagiannya

membahas etika sosial telah memberi penjelasan filosofis tentang fenomena

moral, khususnya tentang nilai dan kewajiban manusia untuk bertindak secara

moral. Dalam ruang lingkup etika umum, etika sosial (sozialethik) perlu

dibedakan dari etika pribadi (personal ethik) yang bertugas menangani kewajiban

dan peran perorangan dalam bingkai masyarakat tempat ia berada. Karena kita
24

berada di lingkungan yang tak terpisah dari kepentingan masyarakat luas, maka

penting untuk mengutamakan kerangka etika secara umum dan logis. Dalam

penelitian ini, keinginan tersebut menjadi nilai yang tidak bisa ditawar. Keinginan

yang lahir dari kesadaran etika sosial yang telah bertugas menemukan bentuk-

bentuk baru atau tata tertib baru yang sesuai dengan martabat manusia. Tetapi

keberanian dan inisiatif perorangan bukan digerakkan oleh bangunan moral

pribadi, melainkan oleh kesadaran dan tanggung jawab moral bersama

(Sermada, 2011:89).

Penelitian terarah pada perilaku tidak etis pada pengawasan intern, hasil

wawancara dan pengamatan memberikan beberapa penjelasan terkait dengan

tindakan tidak etis aparat pengawasan yang memperburuk penilaian atau

tanggapan auditee dan masyarakat pada umumnya terhadap kinerja dan kualitas

audit/pengawasan intern. Memulihkan keadaan sekaligus meningkatkan kinerja,

dibutuhkan cara pandang tentang etika yang lebih rasional untuk menciptakan

budaya etis organiasi dan menjamin pengambilan keputusan betul-betul

mendukung penyelesaian masalah.

Keputusan yang rasional dalam pengawasan intern secara sadar

mementingkan tindakan etis, yakni mengedepankan nilai-nilai etika yang tertuang

dalam berbagai aturan dan standar umum pengawasan intern. Ketika bentuk-

bentuk kesadaran ini berkembang dan dimiliki sepenuhnya oleh aparat

pengawasan intern, diharapkan menyelesaikan kelemahan sumber daya aparat

pengawasan dan memastikan lingkungan kerja yang lebih etis, tidak lagi

menyisakan perbedaan pandangan yang mendasar terhadap perilaku dan

pengamalan etika pengawasan, sekaligus menjaga komitmen profesional pada

diri auditor/pengawasn intern, pimpinan dan organisasi.

Ketiga, harapan dan tuntutan nilai-nilai profesional dalam pengawasan

intern untuk menjalankan tugas sesuai tanggung jawab. Konsekuensi logis dan
25

eksistensi moral terhadap perilaku etis dalam pengawasan intern telah

membentuk kesadaran bahwa pelanggaran kode etik akan memberikan kesan

buruk bagi profesi, demikian pula jika penugasan dilaksanakan dengan mutu di

bawah standar. Pentingnya mencapai kualitas pengawasan bertujuan

meningkatkan citra auditor dan kepercayaan publik.

Adapun skematis seluruh pembahasan, sebagai berikut;

Kategori Sub Tema Tema Utama

Tidak cukup waktu untuk membahas


standar etika lebih lanjut

Penerapan kode etik belum efektif/


belum maksimal

Hasilnya masih menjadi “ajang debat”

Sulitnya menyatukan persepsi Hambatan


Pertimbangan etis
Bebas mempersepsikan tindakannya,
tergantung kepentingannya

Kurang dipahaminya kode etik

Kurangnya pengetahuan dan


keterampilan

Rendahnya komitmen diri /pimpinan Rasional etika


pengawasan intern
Komitmen profesional
Tanpa keteladanan yang kuat

Sikap didasarkan pada agama dan


norma standar

Prinsip moral, wajib ditaati


Kaidah atau norma, berperilaku etis
Nilai-nilai profesional
Bertindak sesuai tugas dan tanggung
jawab

mencegah hal-hal yang dapat


mencederai nama institusi
26

Sumber : Diolah dari hasil wawancara informan dan analisis penelitian

Skema 5.3. Rasional etika pengawasan intern

Anda mungkin juga menyukai