Anda di halaman 1dari 21

BAB IV

PERSEPSI ETIKA ATAS LINGKUNGAN PENGAWASAN INTERN

Hormatilah hukum moral atau ikutilah hati


nurani anda sebagai prinsip objektif atau yang
sederhana tunaikanlah kewajiban anda.
(Stephen Palmquis, 2000)

4.1. Pengantar

Kedudukan Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP), tidak terpisah

dari aspek dan fungsi manajemen pengawasan intern yang melingkupi proses

kegiatan audit, reviu, evaluasi, pemantauan dan kegiatan pengawasan lain

terhadap penyelenggaraan tugas dan fungsi organisasi. Mekanisme pengawasan

berdasarkan tolok ukur yang efektif dan efisien untuk mewujudkan tata

kepemerintahan yang baik.

Salah satu faktor utama yang dapat menunjang keberhasilan

pengendalian intern adalah peran APIP sebagai quality assurance, memberikan

jaminan efisiensi dan efektifitas program yang menitik beratkan pada tugas-tugas

pengawasan yang sifatnya preventif. Tindakan preventif dimaksudkan untuk

mencegah, mengurangi atau memperbaiki kesalahan dalam implementasi

program/kegiatan sehingga tidak menjadi kekeliruan yang berulang.

Mewujudkan jaminan efisiensi dan efektifitas peran APIP harus

menjadikan nilai etika sebagai pedoman bertindak yang membawa akibat dan

pengaruh secara moral. Salindeho (2013), mengemukakan bahwa etika sebagai

seperangkat norma yang terlembagakan dalam penyelenggaraan pemerintahan

memiliki peran penting dan strategis karena masalah dalam penyelenggaraan

pemerintahan semakin lama kian kompleks. Kemudian dorongan keberhasilan

pembangunan telah meningkatkan dinamika dan percepatan perubahan dalam

lingkungan penyelenggaran pemerintahan.


94

Nilai etika sebagai penjamin profesional berarti menggunakan keahlian

khusus menurut aturan dan persyaratan profesi. Karena itu, setiap pekerjaan

yang bersifat profesional memerlukan sarana berupa standar dan kode etik

sebagai pedoman atau pegangan bagi seluruh anggota profesi tersebut. Kode

etik dan standar yang dimaksudkan bersifat mengikat dan harus ditaati oleh

setiap anggota agar setiap hasil kerja para anggota dapat dipercaya dan

memenuhi kualitas yang ditetapkan organisasi.

4.2. Praktik Profesional Pengawasan Intern

Definisi audit internal atau yang akrab disebut pengawasan/pemeriksaan

pada lingkup internal pemerintah daerah merupakan kegiatan penjaminan dan

konsultasi yang independen objektif. Kegiatan ini telah dirancang untuk

meningkatkan kinerja yang membantu pencapaian tujuan organisasi yang

sistematis dan disiplin dengan menggunakan pendekatan evaluatif, efektivitas

manajemen risiko, kontrol dan proses tata kelola yang baik (Pickett, 2005a:53).

Mekanisme pengawasan intern secara umum didasarkan pada tahapan

operasional yang objektif sesuai bentuk pengawasan pada sektor publik. Di

Inspektorat Kota Parepare sendiri dimulai dengan pemeriksaan pendahuluan

berupa dest audit yang merupakan kegiatan mengumpulkan data dan informasi

tentang objek pemeriksaan serta dianalisis untuk mendapatkan sinyalemen

permasalahan baik administrasi umum, keuangan dan kinerja. Tujuan yang ingin

dicapai pada dest audit untuk memperoleh Possible Audit Objective (PAO) yang

menjadi bahan masukan penyusunan program kerja pada survey pendahuluan.

Pada tahapan survey pendahuluan, keluhan kerap muncul dari anggota

tim pengawasan intern, bahwa pada pelaksanaannya tidak dilakukan analisis

secara rinci, tidak memetakan potensi audit secara menyeluruh, mulai dari tahap
95

perencaaan maupun penempatan personil pengawasannya. Keluhan tersebut

dikemukakan sebagai berikut:

...sebelum penugasan, tidak dilakukan analisa tentang risiko pengawasan


(management risk) oleh pimpinan untuk memetakan tingkat risiko dan memilih
langkah yang tepat. Dari analisa tadi untuk selanjutnya diterjemahkan dalam
program kerja audit. (P2)

Menurut informan yang berbeda membenarkan hal tersebut dengan

mengkhususkan pandangan dalam penempatan personil tim kerja

audit/pengawasan dan standar operasional pengawasan yang dianggap kurang

mempertimbangkan aspek analisis yang mendalam sehingga menimbulkan

polemik.

...pada tahap persiapan pemeriksaan, tim memang dibentuk berdasarkan


program kerja, kemudian nama-nama tim dan anggotanya dibagi berdasarkan
pertimbangan kinerja. Namun, kenyataannya menimbulkan polemik, ada
“kecemburuan”, karena terdapat anggota tim memiliki potensi yang bagus tetapi
tidak dilibatkan hanya karena laporan pemeriksaan sebelumnya masih tertunda.
(P4)

Pernyataan informan tersebut merupakan noema (pengalaman objektif

yang dipersepsikan) atas profesional pengawasan intern yang membutuhkan

perencanaan lebih matang, sehingga wajar ketika tuntutan terhadap efektifitas

pengawasan menjadi bagian yang perlu dibenahi. Adapun noesis (refleksi

subjektif) atas profesional pengawasan intern menggambarkan pelaksanaan

pengawasan tanpa melakukan analisis risiko akan mengurangi kualitas

pengawasan.

Mendukung pandangan tersebut, pentingnya pengelolaan risiko dalam

organisasi dengan melakukan pengamatan dan desk evaluation terhadap

kecukupan sistem pengendalian intern, karena risiko menjadi fokus baru bagi

pengawas intern di masa mendatang, meskipun dinilai belum sepenuhnya efektif.

Pendekatan yang berkembang saat ini melalui control and risk self assessment

sehingga menghasilkan identifikasi risiko, analisis risiko, penilaian risiko, respon

risiko serta membangun aktivitas pengendalian. Optimalisasi pengelolaan risiko


96

akan mewujudkan operasi organisasi yang efisien dan efektif (Widyatmoko, et. al,

2012c).

Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara

(PERMENPAN) Nomor: PER/05/M/PAN/03/2008 tentang Standar Audit APIP,

menjelaskan keharusan menyusun rencana audit yang bertujuan menetapkan

sasaran, ruang lingkup, metodologi, alokasi sumber daya dan

mempertimbangkan berbagai hal untuk menghindari kecurangan dan

ketidakpatutan (abuse). Apabila dari hasil audit ditemukan penyimpangan, maka

dilakukan identifikasi kasus untuk penanganan lebih lanjut. Mengidentifikasi

kasus artinya menetapkan penyimpangan dipandang dari aspek hukum. Olehnya

itu, dukungan analisis yang mendalam, pemetaan potensi audit secara

menyeluruh dan penempatan personil pengawasan dianggap menjadi penentu

kualitas pengawasan (Pusdiklatwas BPKP, 2008b:64).

Penetapan sasaran audit/pengawasan didasarkan pada prinsip-prinsip

ekonomis, efisien dan efektif, yang ruang lingkupnya meliputi aspek keuangan

dan operasional auditee. Adapun metodologi yang digunakan berkesesuaian

dengan penetapan waktu, jumlah bukti, penggunaan teknologi sebagai alat

bantu, dan perbandingan berdasar peraturan perundang-undangan. Sedangkan

pengalokasian sumber daya aparat pengawasan sesuai sasaran penugasan dan

harus berdasarkan pada evaluasi atas sifat dan kompleksitas penugasan,

keterbatasan waktu dan ketersediaan sumber daya.

Mengurangi kecenderungan konflik, polemik atau “kecemburuan” seperti

keadaan yang diutarakan oleh informan, maka APIP harus mengalokasikan

auditor atau staf pengawasan lainnya yang mempunyai latar belakang

pendidikan formal dan pengalaman sesuai dengan kebutuhan audit/pengawasan.

Dalam perencanaan pengawasan, identifikasi masalah pada program dan fungsi

penting lainnya menjadi bagian dari aktivitas survey pendahuluan. Pada bagian-
97

bagian tersebut kemunculan potensi kecurangan (fraud) bisa lebih besar, adanya

penyalahgunaan dan mis-management yang akan berpengaruh pada efektifitas

pengawasan.

Tahapan survey pendahuluan jelas akan mempengaruhi kinerja pada

tahap selanjutnya yakni mekanisme Tentative Audit Objective (TAO), sebagai

sasaran audit sementara yang merupakan pemantapan dari Possible Audit

Objective (PAO). Kemudian evaluasi pelaksanaan Sistem Pengendalian

Manajemen (SPM) bertujuan mendapatkan informasi, menelaah dan menguji

keandalaan SPM untuk disimpulkan sasaran audit yang pasti atau Firm Audit

Objective (FAO).

Ketidaktaatan pelaksanaan pengawasan intern di Inspektorat Kota

Parepare memberi implikasi besar terhadap hasil pengawasannya, karena tidak

ada mekanisme yang dipedomani secara utuh. Pedoman yang dimaksud selain

mengatur proses atau tahapan pengawasan juga tidak terlepas dari etika yang

membingkai pelaksanaan pengawasan. Tanggapan informan terkait dengan

masalah tersebut, adalah;

...tidak ada SOP (Standar Operasional Pemeriksaan) yang bisa dipedomani jadi
selama ini pemeriksaan berjalan berdasarkan pengalaman tahun-tahun
sebelumnya. (P4)

Tahap pengawasan pada Inspektorat Kota Parepare kurang berpedoman pada


kode etik dan standar pengawasan. Ini terbukti masih banyaknya pelaporan
pengawasan yang belum selesai tepat waktu dimana kadang terjadi laporan
“kadaluarsa”.... (P3)

...belum ada peraturan kode etik yang mengikat secara internal, di lingkup
Inspektorat Parepare masih dalam bentuk draft. (P3)

Pernyataan informan tersebut merupakan noema (pengalaman objektif

yang dipersepsikan) atas profesional pengawasan intern yang membutuhkan

pedoman atau standar umum pengawasan (kode etik dan standar audit). Adapun

noesis (refleksi subjektif) atas profesional pengawasan intern mengingatkan

bahwa pelaksanaan pengawasan tanpa berpedoman pada standar umum


98

pengawasan atau aturan etika yang dibuat dan berlaku secara internal dapat

menghambat efektifitas pengawasan intern.

Penelitian oleh Siang (2013), menunjukkan bahwa salah satu poin penting

agar fungsi pengawasan berjalan efektif adalah melaksanakan standar

profesional auditor intern pemerintah yang termuat dalam kode etik dan standar

auditnya. Standar audit merupakan ukuran mutu minimal untuk melakukan

kegiatan audit yang wajib dipedomani oleh APIP. Sedangkan kode etik sendiri

memuat pernyataan tentang prinsip moral dan nilai yang digunakan oleh auditor

sebagai pedoman tingkah laku dalam melaksanakan tugas pengawasan.

Berdasarkan PERMENPAN Nomor: PER/05/M/PAN/03/2008 tentang

Standar Audit APIP, telah mewajibkan standar audit dipergunakan sebagai acuan

bagi seluruh APIP dalam melaksanakan audit sesuai mandat audit masing-

masing, karena mengingat standar audit merupakan kriteria atau ukuran mutu

minimal untuk melakukan kegiatan audit. Melalui pengawasan intern dapat

diketahui apakah suatu instansi pemerintah telah melaksanakan kegiatan sesuai

dengan tugas dan fungsinya secara efektif dan efisien, serta sesuai dengan

rencana, kebijakan yang telah ditetapkan.

Adapun skematis pembahasan berdasarkan analisis atas profesional

pengawasan intern, sebagai berikut;

Kategori Sub Tema

Tidak dilakukan analisa risiko


pengawasan

Timbul polemik, ada “kecemburuan”


Tidak ada Standar Operasional
Prosedur
Profesional pengawasan
intern
Kurang berpedoman pada kode etik
dan standar pengawasan

Belum ada peraturan kode etik yang


mengikat secara internal

Skema 4.1. Profesional pengawasan intern


99

Kemunculan beberapa kategori dari noema mengarahkan pembentukan

sub tema, menunjukkan adanya lingkungan pengawasan intern yang tidak

berpedoman pada kode etik. Kode etik ibarat “rambu-rambu jalan”, si

pengendara tidak hanya memiliki kemahiran melintas di jalan atau menghindari

rintangan tetapi ia juga harus mengerti dan mengenal rambu-rambu yang wajib

dipatuhi. The Institute of Internal Auditors, menjelaskan bahwa;

The Code of Ethics states the principles and expectations governing the behavior
of individuals and organizations in the conduct of internal auditing. It describes
the minimum requirements for conduct, and behavioral expectations rather than
specific activities.

Perlunya kode etik karena menjadi syarat sebuah profesi, dibuat atas

desakan, harapan dan kepercayaan untuk mendukung kemampuannya memberi

jaminan atas pencapaian tujuan, tata kelola, manajemen risiko, dan

pengendalian. Kemudian The Institute’s Code of Ethics merumuskan dua

komponen penting yang terkait dengan kode etik. Pertama, prinsip kode etik

merupakan hal yang relevan dengan profesi dan praktek pengawasan internal.

Kedua, kode etik menggambarkan norma-norma perilaku yang diharapkan

diterapkan oleh auditor. Kode etik membantu menafsirkan praktek etis yang akan

memandu para auditor intern untuk berperilaku etis (Pickett, 2005:119).

Auditor intern pemerintah sendiri telah memiliki seperangkat aturan yang

mendorong sebuah budaya etis dalam profesinya. Salah satunya adalah

PERMENPAN Nomor: PER/04/M/PAN/03/2008 tentang Kode Etik APIP,

bertujuan menegakkan etika profesionalisme yang lebih tinggi dan mencegah

perilaku tidak etis agar terwujud auditor yang kredibel. Secara profesional,

bekerja dengan menggunakan standar audit dan kode etik sebagai pedoman

bertujuan agar setiap hasil kerja dipercaya dan memenuhi kualitas yang

ditetapkan oleh organisasi (Pusdiklat BPKP, 2008:7).


100

Berdasarkan uraian di atas, reduksi fenomenologi atas profesional

pengawasan intern, ditampilkan sebagai berikut;

Tabel 4.1. Reduksi fenomenologi atas profesional pengawasan intern

Reduksi
Noesis Sub tema

a. Tanpa melakukan analisis risiko akan Profesioanal pengawasan intern


mengurangi kualitas pengawasan.
b. Tanpa berpedoman pada standar umum
pengawasan atau aturan etika yang
dibuat dan berlaku secara internal dapat
menghambat efektifitas pengawasan.

Noetic/Noematic Correlate

Aparat pengawasan intern menganggap mekanisme pengawasan tidak dijalankan


secara menyeluruh berdasarkan kode etik dan standar audit sehingga mengurangi
kualitas dan efektifitas pengawasan.

Eiditic Reduction/transendental

Lemahnya koordinasi dan komitmen dalam menciptakan sistem pengawasan yang


efektif.

Korelasi antara noema dan noesis menunjukkan bahwa mekanisme

pengawasan intern telah berbeda dengan tujuan pengawasan berdasarkan kode

etik dan standar audit karena tidak mempertimbangkan tahapan operasional dan

kondisi objektif organisasi sehingga mengganggu hubungan kerja, baik antar

individu maupun organisasi. Artinya, mekanisme pengawasan intern tidak

dijalankan secara menyeluruh.

Adapun pertimbangan tahapan operasional yang dimaksud dengan

melakukan analisis risiko dan pemetaan potensi audit/pengawasan intern secara

rinci dan menyeluruh. Sedangkan pertimbangan kondisi objektif lingkungan

organisasi menyangkut kapasitas dan kapabilitas sumber daya aparat

pengawasan intern maupun kebijakan pengawasan dari pimpinan organisasi.

Lingkungan profesional memunculkan polemik di internal pengawasan sekaligus

mempengaruhi kinerja dan kualitas pengawasan.


101

Berdasarkan lampiran PERMENPAN Nomor: PER/05/M.PAN/03/2008

tentang Standar Audit APIP menjelaskan bahwa pengawasan intern pemerintah

yang merupakan fungsi manajemen penyelenggaraan pemerintahan perlu

diterapkan untuk mengetahui apakah suatu instansi pemerintah telah

melaksanakan kegiatan sesuai dengan tugas dan fungsinya secara efektif,

efisien, dan sesuai rencana atau kebijakan yang telah ditetapkan. Untuk

mengurangi potensi polemik di internal pengawasan intern, maka tujuan dan

fungsi standar audit menekankan rencana pengawasan harus menjalin

komunikasi yang efektif.

Adapun tujuan Standar Audit APIP adalah untuk:

1) menetapkan prinsip-prinsip dasar yang merepresentasikan praktik-praktik audit


yang seharusnya; 2) menyediakan kerangka kerja pelaksanaan dan peningkatan
kegiatan audit intern yang memiliki nilai tambah; 3) menetapkan dasar-dasar
pengukuran kinerja audit; 4) mempercepat perbaikan kegiatan operasi dan
proses organisasi; 5) menilai, mengarahkan dan mendorong auditor untuk
mencapai tujuan audit; 6) menjadi pedoman dalam pekerjaan audit; 7) menjadi
dasar penilaian keberhasilan pekerjaan audit.

Sedangkan standar audit berfungsi sebagai ukuran mutu minimal bagi

para auditor dan APIP dalam:

1) pelaksanaan tugas pokok dan fungsi (tupoksi) yang dapat merepresentasikan


praktik-praktik audit yang seharusnya, menyediakan kerangka kerja pelaksanaan
dan peningkatan kegiatan audit yang memiliki nilai tambah serta menetapkan
dasar-dasar pengukuran kinerja audit; 2) pelaksanaan koordinasi audit oleh
APIP; 3) pelaksanaan perencanaan audit oleh APIP; 4) penilaian efektifitas tindak
lanjut hasil pengawasan dan konsistensi penyajian laporan hasil audit.

Lingkungan profesional pengawasan intern menggambarkan fenomena

lemahnya koordinasi dan komitmen untuk menciptakan sistem pengawasan yang

efektif, bertujuan mengatur organisasi atau kegiatan sehingga peraturan dan

tindakan yang akan dilaksanakan tidak saling bertentangan atau simpang siur.

Menurut Nazaruddin (2014), koordinasi merupakan proses yang berkelanjutan,

saling mempertemukan dan ada upaya mengurangi kesenjangan, dalam sistem

pengawasan digunakan untuk mengoptimalkan pengukuran hasil pekerjaan,

membandingkan pekerjaan dengan standar, memastikan perbedaannya, dan


102

mengoreksi penyimpangan yang tidak dikehendaki. Koordinasi bagian dari fungsi

manajemen yang sesuai dengan kriteria-kriteria efektivitas organisasi; produktif,

efisiensi, kepuasan, adaptasi dan pengembangan.

Kelanjutan suatu organisasi bergantung pada kemampuan untuk

mencapai tujuannya. Proses pengawasan intern di Inspektorat Kota Parepare

menunjukkan adanya hubungan kerja yang tidak harmonis sehingga

membutuhkan pola dan pendekatan koordinatif yang memainkan peranan

penting mengefektifkan pencapaian tujuannya. Disadari sepenuhnya bahwa

dalam pencapaian tujuan organisasi terdapat potensi berupa motif atau

keinginan pribadi dan proses yang membuat potensi ini menjadi dinamis adalah

komunikasi.

Sebelum adanya organisasi yang bersifat formal, terlebih dahulu tercipta

hubungan informal. Barnard (1978:150), menjelaskan bahwa pandangan

tersebut mendukung upaya memaksimalkan komunikasi dan pencapaian sikap

atau kesediaan bekerjasama memerlukan hubungan dan interaksi lebih dahulu.

Mencapai tujuan organisasi memerlukan pemusatan perhatian atau kesadaran

moral yang besar karena ada keinginan untuk saling mempengaruhi dan

memelihara hubungan demi pencapaian yang diharapkan.

4.3. Praktik Birokrasi Pengawasan Intern

Di kesempatan yang berbeda, terdapat alasan informan yang

menegaskan bahwa lingkungan birokrasi menjadikan alasan tidak efektifnya

fungsi dan mekanisme pengawasan. Posisi Inspektorat masih di bawah naungan

pemerintah daerah sehingga dianggap dapat mempengaruhi kebijakan

Inspektorat terhadap pengawasan dan penilaian kinerja perangkat pemerintah

daerah. Penjelasan berikut ini menegaskan alasan tersebut;


103

...dalam pelaksanaan pengawasan masih ada kebijakan lain yang menentukan,


hal ini terjadi karena Inspektorat sebagai bagian dari anggota APIP masih di
bawah naungan pemerintah daerah. (P6)

...auditor intern belum melaksanakan kode etik dengan alasan tindakan tersebut
untuk kepentingan pejabat yang lebih tinggi. (P6)

Pernyataan informan tersebut merupakan noema (pengalaman objektif

yang dipersepsikan) atas birokrasi pengawasan intern yang melihat struktur

birokrasi pada lembaga APIP berpotensi menghambat efektifitas pengawasan.

Adapun noesis (refleksi subjektif) atas lingkungan pengawasan intern

menunjukkan sebuah kegelisahan terhadap kondisi birokrasi yang cenderung

memberi tekanan ketimbang menuntut aparat pengawasan mempertahankan

sikap independen dan objektif.

Ketika auditor intern pemerintah menghadapi sebuah dilema etis dalam

menjalankan tugasnya, diharuskan membuat keputusan yang bertentangan

independensi dan integritasnya dengan imbalan ekonomis atau adanya tekanan

birokrasi yang semakin kuat, maka keputusan dapat saja tidak objektif. Temuan

menunjukkan bahwa individu memiliki kecendrungan bertindak kurang etis ketika

berada dalam tekanan yang risikonya berhubungan dengan kebutuhan pribadi,

seperti; kehilangan pekerjaan, kehilangan penghasilan, atau penurunan pangkat

(Pelletier dan Bligh, 2006).

Kajian birokrasi pemerintahan mengungkapkan bahwa, secara umum

birokrasi di Indonesia mirip dengan pola dominasi patrimonial yang menurut

Weber (1864-1920) tidak lepas dari dominasi jabatan dan perilaku individu atau

golongan yang memiliki kekuasaan mengontrol kepentingan ekonomi dan politik.

Contoh yang paling konkrit adalah bahwa pejabat-pejabat disaring atas kinerja

pribadi, kemudian jabatan dipandang sebagai sumber kekuasaan atau kekayaan,

para pejabat mengontrol fungsi politik atau administratif yang dalam tindakannya

diarahkan oleh hubungan pribadi dan politik. Birokrasi cenderung mengabdi pada
104

penguasa dan untuk kepentingan kekuasaan. Wajar bila kemudian dalam banyak

hal, pelayanan publik di negeri ini menjadi terbengkalai dan tidak mendapatkan

perhatian serius (Hendarto, 2015).

Adapun skematis pembahasan berdasarkan analisis atas birokrasi

pengawasan intern, sebagai berikut;

Kategori Sub Tema

Ada kebijakan lain yang menentukan


Birokrasi pengawasan
intern
Kepentingan pejabat yang lebih tinggi

Skema 4.2. Birokrasi pengawasan intern

Kemunculan beberapa kategori dari noema mengarahkan pembentukan

sub tema, menunjukkan praktik birokrasi dalam pengawasan intern. Struktur

birokrasi khususnya bagi lembaga APIP seharusnya mengarahkan pelaksanaan

pengawasan intern yang efektif (spending well) dan efisien (spending wisely).

Efektifitas pengawasan adalah bahwa audit dapat mencapai hasil-hasil yang

dinginkan, sementara ketika ditinjau dari efisiensi pengawasan, maka proses

pengawasan dapat dilakukan dengan lancar sehingga sumber daya pengawasan

benar-benar terberdayakan untuk mencapai tujuan pengawasan.

Pencapaian tujuan pengawasan dan pengendalian yang efektif

membutuhkan perencanaan audit internal yang mengedepankan pengetahuan

untuk mengelola risiko kegagalan organisasi, termasuk kemampuan melihat

sebuah operasi secara menyeluruh. Auditor diharapkan dapat menekan risiko ke

tingkat serendah mungkin sebagai risiko yang dapat diterima auditor, sepanjang

masuk akal (Hoesada, 2013:2).

Pusdiklatwas BPKP (2007:4), mengulas tujuan pengawasan yang

dimaksud, adalah; pertama, memperoleh data dan informasi yang diperlukan

dalam pengujian audit/pengawasan. Hal tersebut dipandang sebagai proses


105

pengumpulan dan pengujian informasi untuk menghasilkan simpulan dan

rekomendasi, seperti yang telah diketahui sebelumnya bahwa pemilik data dan

informasi adalah pihak auditan/auditee. Jika perolehan data dan infomasi tidak

memadai, maka pengawasan tidak akan mencapai hasil yang memuaskan atau

memberi kualitas pengawasan yang lebih baik.

Kedua, mengendalikan dan mengoordinasikan kegiatan-kegiatan tim

dalam pengawasan. Pengawasan dilakukan oleh tim yang terdiri dari individu-

individu dan juga menjalankan aktivitas-aktivitas yang saling terkait. Komunikasi

yang baik dalam tim akan membuat interaksi individu dan rangkaian aktivitas

dalam pengawasan dapat berjalan dengan baik. Masalah-masalah dapat

diselesaikan bersama sehingga Lingkungan dalam proses audit dapat

diminimalkan.

Ketiga, pengawasan bertujuan untuk meningkatkan mutu. Jika aktivitas-

aktivitas dasar dalam pengawasan, seperti; pengumpulan informasi, pengujian,

dan penyampaian hasil audit dapat berjalan dengan lancar, maka konsentrasi tim

dapat diarahkan pada usaha peningkatan mutu audit. Misalnya, jika perolehan

informasi menjadi mudah dan cepat, maka tim pengawasan dapat berkonsentrasi

untuk memilih proses analisis yang lebih tepat.

Keempat, memperbaiki citra auditor internal. Selama ini, auditor telah

dicitrakan secara keliru, sebagai sosok yang tidak ramah, sibuk sendiri, bahkan

sering dianggap sewenang-wenang. Citra tersebut menyulitkan auditor dalam

menjalin kerjasama dengan auditan. Auditan yang mempunyai citra yang keliru

tentang auditor akan cenderung untuk tertutup, tidak mau bekerjasama,

menghindar, bahkan dapat mendorong mereka untuk menghambat pekerjaan

auditor. Dengan keterampilan komunikasi antar pribadi, citra ini dapat dikurangi,

kemudian dibangun citra auditor yang lebih terbuka, siap bekerja sama, dan

memposisikan auditan sebagai mitra dalam pelaksanaan pengawasannya.


106

Berdasarkan uraian di atas, maka reduksi fenomenologi atas birokrasi

pengawasan intern, ditampilkan sebagai berikut;

Tabel 4.2. Reduksi fenomenologi atas birokrasi pengawasan intern

Reduksi
Noesis Sub tema

Adanya kegelisahan terhadap kondisi Birokrasi pengawasan intern


birokrasi yang cenderung memberi
tekanan ketimbang menuntut aparat
pengawasan bersikap independen dan
objektif.

Noetic/Noematic Correlate

Lingkungan birokrasi menciptakan ketergantungan terhadap otoritas yang lebih tinggi


sehingga tidak mendukung kualitas dan efektifitas pengawasan intern.

Eiditic Reduction/transendental

Peluang konflik internal dan organisasi di balik lemahnya komitmen pengawasan yang
efektif.

Korelasi antara noema dan noesis menunjukkan bahwa lingkungan

pengawasan intern sarat dengan tekanan dan menciptakan ketergantungan

terhadap otoritas yang lebih tinggi (para pemangku kebijakan/pejabat struktural).

Lingkungan pengawasan yang birokratis menimbulkan gejolak subyektif

sehingga menyulitkan pencapaian pengawasan yang efektif.

Tidaklah mengherankan jika kondisi birokrasi mempengaruhi kinerja

pengawasan intern mengingat hasil survei Political and Economic Risk

Consultancy menunjukkan bahwa kualitas birokrasi di Indonesia termasuk yang

terburuk bersama Vietnam dan India. Hasil serupa diungkapkan The World

Competitiveness Yearbook yang dikeluarkan oleh Institute for Management

Develompment (IMD) yang menggolongkan indeks kompetitif birokrasi di

Indonesia berada di kelompok terendah sebelum India dan Vietnam. Boleh

dikatakan Indonesia telah mengalami krisis birokrasi sehingga membutuhkan

ketegasan agenda reformasi birokrasi untuk menciptakan clean and good

governance (Gie, 2003:2-3).


107

Lingkungan birokrasi pengawasan intern menggambarkan fenomena

terbukanya peluang konflik internal dan organisasi di balik lemahnya komitmen

terhadap efektifitas pengawasan. Birokrasi memiliki tujuan untuk menata

penyelenggaraan pemerintahan yang profesional, baik sumber daya aparatnya,

organisasi dan norma-norma yang mengatur.

Gie (2003:6), menyatakan bahwa tingginya penyalahgunaan kekuasaan

dan besarnya tindakan atau pengaruh KKN menunjukkan lemahnya komitmen

pengawasan di lingkungan birokrasi pemerintah. Hal ini terjadi karena

pengawasan internal pemerintah, yang meliputi pengawasan fungsional dan

pengawasan melekat, belum bekerja secara optimal. Beberapa penyebab yang

dapat ditengarai adalah belum memadainya perangkat pengawasan, rendahnya

kesadaran aparat pengawasan untuk melakukan pengusutan, dan masih

lambatnya tindak lanjut atas temuan-temuan yang beindikasikan praktek-praktek

KKN di lingkungan aparatur pemerintah.

4.4. Sumber Daya Aparat Pengawasan Intern

Suatu organisasi akan berhasil apabila memiliki sumber daya manusia

yang kompeten di bidangnya, ditunjang dengan moral dan perilaku yang

berbudaya serta nilai-nilai spritual dan keagamaan. Pencapaian hasil (output)

yang demikian diperoleh melalui proses kematangan pikiran, analisa, logika serta

konsep yang baik dan bekualitas (Rahayuningsih, 2013).

Identifikasi masalah terhadap tugas dan fungsi pelayanan Inspektorat

Kota Parepare, menyiratkan adanya ketidaksiapan sumber daya manusia dan

perangkat organisasi untuk menunjang tugas dan fungsi Inspektorat sebagai

penjamin mutu (quality assurance) yang dulunya sebagai watchdog.

Berhubungan dengan kondisi di atas, informan memberi tanggapan dan saran

dengan penuh semangat bahwa;


108

...langkah strategis yang harus dilakukan memperjelas peran dan fungsi serta
kedudukan pejabat struktural dan fungsional auditor dalam pengawasan, bukan
lagi bersifat Ad Hoc... (P5)

...selama ini kita terus dalam wilayah “abu-abu”, pejabat struktural bermain “dua
kaki” dengan alasan “pemeratan kesejahteraan”, sementara pejabat fungsional
auditor tidak bisa banyak berbuat karena menyadari jumlah mereka yang tidak
sebanding dengan jumlah objek pengawasan. (P5)

Pernyataan informan tersebut merupakan noema (pengalaman objektif

yang dipersepsikan) atas lingkungan sumber daya aparat pengawasan. Adapun

noesis (refleksi subjektif) atas sumber daya aparat pengawasan, mendesak

dilakukan pembenahan sumber daya yang memadai, baik dari segi kuantitas

maupun kualitasnya (kompetensi)

Hasil penelitian Setiawan dan Tri (2013:133), menjelaskan pentingnya

memberikan perhatian serius terhadap sumber daya aparat pengawasan

mengingat keberhasilan dan kegagalan implementasi suatu kebijakan dalam

pengawasan dipengaruhi oleh sumber daya yang terdiri dari staf, kewenangan

dan fasilitas. Salah satu hambatan penting terkait sumber daya aparat

pengawasan adalah tidak cukupnya jumlah staf, minimnya kompetensi dan

keahlian di bidangnya.

Kenyataan di Inspektorat Kota Parepare (sampai penelitian ini dilakukan),

tenaga fungsional auditor yang dimiliki baru 6 (enam) orang, selebihnya berstatus

sebagai pejabat struktural, sehingga setuju atau tidak setuju dalam pengawasan

pejabat struktural “terpaksa” difungsikan sebagai auditor. Penjelasan tambahan

dari hasil diskusi beberapa teman sejawat, disela-sela waktu istirahat,

mengemukakan, bahwa;

...jabatan fungsional auditor masih kurang diminati karena persyaratannya agak


rumit, risikonya lebih tinggi, beban kerja yang berat, sistem penjenjangan karir di
daerah belum jelas, maklum di daerah sering ada mutasi yang motifnya bukan
saja karena pertimbangan karir, prestasi, tetapi lebih banyak karena kepentingan
politis. Bagi sebagian besar PNS, jabataan struktural itu menggiurkan “seksi”,
dianggap masa depan karirnya menjanjikan....
109

Mendukung tanggapan tersebut, profesi auditor intern menuntut

persyaratan atas kepemilikan keahlian tertentu, khusus, unik, dan memiliki kode

etik. Selain itu, para anggota profesi dituntut untuk memberikan hasil pekerjaan

yang memuaskan sebagai bentuk kewajiban dan komitmen terhadap kualitas

hasil pekerjaan karena ada kompensasi berupa pembayaran untuk

melakukannya (Pusdiklatwas BPKP, 2008). Namun, seperti yang disampaikan

oleh informan, bahwa kesiapan sistem penjenjangan karir juga belum jelas

“setengah hati” dilakukan, sehingga tidak banyak diminati oleh kalangan PNS.

Adapun skematis pembahasan berdasarkan analisis atas lingkungan

sumber daya aparat pengawasan intern, sebagai berikut;

Kategori Sub Tema

Memperjelas peran dan fungsi pejabat


struktural/ fungsional

Lingkungan sumber
daya aparat
Tidak sebanding dengan jumlah objek pengawasan
pengawasan

Skema 4.3. Lingkungan sumber daya aparat pengawasan intern

Kemunculan beberapa kategori dari noema mengarahkan pembentukan

sub tema, menunjukkan adanya hambatan terkait pengolahan dan pamanfaatan

sumber daya aparat pengawasan intern. Bagian dari kewajiban APIP untuk

memenuhi keterbatasan sumber daya aparat pengawasan yang dimiliki,

sehingga tidak menjadi alasan untuk tidak memenuhi standar auditnya.

Menurut ketentuan yang diatur dalam PERMENPAN Nomor:

PER/05/M/PAN/03/2008 tentang Standar Audit APIP, bahwa;

Audit harus dilaksanakan oleh sebuah tim yang secara kolektif harus mempunyai
keahlian yang diperlukan, olehnya itu APIP harus mengalokasikan auditor yang
mempunyai latar belakang pendidikan formal dan pengalaman sesuai dengan
kebutuhan audit.

Berdasarkan uraian di atas, maka reduksi fenomenologi atas lingkungan

sumber daya aparat pengawasan intern, ditampilkan sebagai berikut;


110

Tabel 4.2. Reduksi fenomenologi atas lingkungan sumber daya aparat


pengawasan intern

Reduksi
Noesis Sub tema

Adanya desakan dilakukan pembenahan Lingkungan sumber daya aparat


sumber daya aparat pengawasan intern pengawasan intern
yang memadai, baik kuantitas maupun
kualitas (kompetensi)

Noetic/Noematic Correlate

Keterbatasan sumber daya aparat pengawasan intern tidak mendukung mutu


pengawasan.

Eiditic Reduction/transendental

Tuntutan profesional di balik keterbatasan sumber daya aparat pengawasan intern.

Korelasi antara noema dan noesis menunjukkan bahwa lingkungan

pengawasan intern di Inspektorat Kota Parepare tidak memiliki kuantitas dan

kualitas (kompetensi) sumber daya aparat pengawasan yang memadai untuk

mendukung mutu pengawasan. Meskipun dukungan sumber daya aparatur yang

dimiliki Inspektorat Kota Parepare berdasarkan Rencana Strategis Pengawasan

atas Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Tahun 2013-2018 berjumlah 34

orang, terdiri dari 20 orang laki-laki dan 14 wanita dengan tingkat pendidikan dan

kepangkatan bervariasi. Jumlah aparatur yang berkualifikasi pendidikan Strata

Dua (S2) berjumlah 3 orang, Strata Satu (S1) sebanyak 21 orang, Diploma 3

(D3) berjumlah 4 orang dan tingkat pendidikan SMA/SMK sebanyak 6 orang.

Salah satu penelitian telah menyimpulkan bahwa pengembangan sumber

daya aparat pengawasan melalui peningkatan kompetensi (termasuk standar

etika) menunjang kualitas audit/pengawasan internal (Power, 1997). Adapun

dimensi-dimensi kompetensi meliputi; wawasan (knowledge), pendidikan

(education), keahlian (skills), pengalaman (experience) dan perilaku etis yang

harus dipenuhi sebagai auditor/aparat pengawasan intern (Mills, 1993:84;

Pickett, 2010:355-356).
111

Lingkungan sumber daya aparat pengawasan intern menggambarkan

fenomena adanya tuntutan profesional di balik keterbatasan sumber daya aparat

pengawasan. Memperhatikan kualifikasi sumber daya aparat pengawasan

Inspektorat Kota Parepare dianggap belum memenuhi ekspektasi atas

pemenuhan tugas pokok dan fungsi pengawasan, mengingat tantangan dan

peluang di masa mendatang terus berkembang. Tantangan utama terkait sumber

daya aparat pengawasan menyangkut spirit dan etos kerja yang umumnya belum

dapat memaksimalkan waktu, sistem dan fungsi pengawasan.

Pada saat ini, tuntutan terhadap profesionalisme menjadi keniscayaan.

Profesionalisme menjadi landasan bagi terbangunnya kepercayaan terhadap

profesi. Tanpa itu, sebuah profesi akan mengalami degradasi kepercayaan yang

selanjutnya akan mempengaruhi eksistensinya (BPKP, 2012). Menjadi

kesepakatan secara umum di lingkungan APIP bahwa sikap yang tidak

mengedepankan profesionalisme merupakan sikap yang bertentangan dengan

standar umum APIP. Artinya, sikap profesional selalu menuntut melakukan

perbuatan yang sesuai dengan arah dan tujuan profesinya, bila tidak maka bisa

dianggap sebagai tindakan yang tidak etis.

PERMENPAN Nomor: PER/05/M/PAN/03/2008 menyebutkan bahwa

auditor harus menggunakan keahlian profesionalnya dengan cermat dan

seksama (due professional care) dan secara hati-hati (prudent) dalam setiap

penugasan. Due professional care dapat diterapkan dengan pertimbangan

profesional (professional judgement), meskipun dapat saja terjadi penarikan

kesimpulan yang tidak tepat ketika audit sudah dilakukan dengan seksama.

4.5. Ringkasan

Dari hasil penelitian dapat dijelaskan fenomena terkait lingkungan moral

atas pengawasan intern di Inspektorat Kota Parepare. Pertama, Lingkungan


112

profesional dalam pengawasan intern tidak menjalankan mekanisme

pengawasan secara menyeluruh. Kode etik dan standar audit APIP yang

diibaratkan “rambu-rambu jalan” kurang dipedomani. Hal tersebut menunjukkan

lemahnya koordinasi dan komitmen pengawasan untuk mewujudkan sistem

pengawasan yang berkualitas dan efektif.

Pola koordinatif dan komitmen pengawasan seharusnya dapat

mengurangi kesenjangan antara standar umum pengawasan dan

pelaksanaannya, karena memiliki fungsi yang sesuai dengan kriteria efektifitas

organisasi. Menunjang efektivitas pencapaian tujuan, maka diperlukan wujud

kesadaran moral yang dapat mempengaruhi dan memelihara hubungan demi

pencapaian yang diharapkan.

Kedua, lingkungan birokrasi. Di balik lemahnya komitmen organisasi

kecenderungan birokrasi dalam lingkungan pengawasan intern sarat dengan

tekanan dan mengabaikan tuntutan terhadap sikap independen dan objektif, hal

tersebut menciptakan ketergantungan terhadap otoritas yang lebih tinggi. Kondisi

lingkungan pengawasan yang birokratis dianggap dapat mempengaruhi

kebijakan Inspektorat terhadap pengawasan dan penilaian kinerja perangkat

pemerintah daerah. Posisi Inspektorat sebagai APIP yang kurang strategis telah

menimbulkan gejolak subjektif (dilematis) bagi aparat pengawasan sehingga

peluang konflik internal dan organisasi semakin besar.

Ketiga, pengawasan intern di Inspektorat Kota Parepare tidak didukung

oleh sumber daya aparat pengawasan yang memadai, mampu bersikap adil,

profesional, menjaga kompetensi sesuai bidangnya dan tidak melakukan

keberpihakan kecuali pada sasaran tugas maupun fungsinya. Lingkungan

pengawasan yang tidak didukung perangkat yang memadai akan mengurangi

mutu pengawasannya. Di balik keterbatasan sumber daya aparat pengawasan,


113

tuntutan profesional terus mengemuka, mengingat peran dan fungsi pengawasan

juga harus mengedepankan layanan yang didasarkan pada kepentingan publik.

Adapun skematis seluruh pembahasan yang memuat kategori-kategori

berupa penjelasan informan, sub-sub tema sehingga menghasilkan tema utama

sebagai berikut;

Kategori Sub Tema Tema Utama

Tidak dilakukan analisa risiko


pengawasan

Timbul polemik, ada “kecemburuan”


Tidak ada Standar Operasional
Prosedur
Profesional pengawasan
Kurang berpedoman pada kode etik intern
dan standar pengawasan

Belum ada peraturan kode etik yang


mengikat secara internal

Ada kebijakan lain yang menentukan Lingkungan


pengawasan intern
Kepentingan pejabat yang lebih tinggi Birokrasi pengawasan
intern

Peran dan fungsi pejabat struktural/


fungsional

Sumber daya aparat


pengawasan
Tidak sebanding dengan jumlah objek
pengawasan

Sumber : Diolah dari hasil wawancara informan dan analisis penelitian

Skema 4.4. Lingkungan pengawasan intern

Pembahasan dalam penelitian ini mengedepankan perlunya

memunculkan kesadaran etis bahwa segala tindakan seseorang haruslah

berpedoman pada ketentuan yang telah diatur, kemudian disepakati untuk

diterapkan. Tugas dan tanggung jawab pengawasan intern bertujuan

menciptakan lingkungan moral yang sehat.

Anda mungkin juga menyukai