TENTANG
“SEJARAH PERKEMBANGAN FIQIH DAN USHUL FIQH”
Dosen Pengampu:
ABDUL BASIT,S.Pd,M.E
Disusun Oleh:
Ria Meri February (210105122)
Ahmad Hasan Satri (210105130)
Rahmani
Alya Susmitha (210105144)
1
Jurnal At-Tafkir Vol. XI No. 2 Desember 2018Penulis adalah Dosen Hukum Islam IAIN Malikussaleh
Lhokseumawe, Email: zoel_hamdi@yahoo.co.id
Rasulullah Mengutus Mu’az ke Yaman.“Ketika Rasulullah bermaksud mengutus
Mu’az ke Yaman, beliau bertanya: “Bagaimana kamu mengutus bila suatu kasus
diajukan kepadamu? Ia menjawab: “saya akan putuskan beradasrkan kitab Allah”
Beliau bertanya lagi:”jika kamu tidak menemukannya dalam kitab Allah”? Ia
menjawab: “saya akan putuskan berdasarkan sunnah Rasulullah “beliau bertanya
lagi: “Jika kamu tidak menemukannya dalam kitab Allah maupun Sunnah
Rasulullah? Ia menjawab: “Saya akan berijtihad, namun saya tidak akan ceroboh.”
Beliau berkata sambil menepuk dada Mu’az: “Segala puji bagi Allah yang telah
memberikan taufik utusan Rasulullah kepada apa yang diridhai Rasul itu.”
Demikian juga tentang penggunaan dalilsadd az-zari’ah: misalnya, ketika
mengemukakan pendapat dalam musyawarah yang diadakan Khalifah umar bin
Al-Khaththab tentang hukuman bagi peminumKhamr, Ali bin Abi thalib.
Sementara itu, penggunaan mashahah mursalah dapat dilihat pada kasus
pengumpulan Al-qur’an dalam bentuk mushaf, dimana tidak terdapat dalil yang
eksplisit didalam Al-qur’an maupun Sunnah Rasulullah yang memerintahkan atau
melarang tindakan pengumpulan dan pembukuannya, tetapi secara umum,
tindakan tersebut sejalan dengan semangat memelihara tujuan syariah.
Para sabahat Rasulullah, selain karena kedekatan mereka kepada beliau,
sehingga mereka menimba banyak pengalaman dari beliau dan memahami secara
mendalam pembentukan hukum Islam tasyri’i( ), juga karena mereka sendiri
memilih pengetahuan bahasa Arab yang sangat baik. Dengan bekal pengalaman
dan kemampuan tersebut, maka ketika Rasulullah wafat, mereka telah dapat
melakukan ijtihad untuk mengatasi masalah kekosongan hukum atas peristiwa-
peristiwa baru yang terjadi, yang belum ada ketentuan hukumnya secara eksplisit
dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Mereka juga tidak banyak mengalami kesulitan
memahami ayat-ayat Al-qur’an dan maksus Sunnah untuk melakukan
pengembangan hukum Islam, terutama melalui metodeqiyas.
Langkah-langkah yang ditempuh para sahabat apabila menghadapi persoalan
hukum ialah, menelusuri Ayat-ayat Al-qur’an yang berbicara tentang masalah
tersebut. Apabila tidak ditemukan hukumnya dalam Al-qur’an, maka mereka
mencarinya di dalam sunnah. Apabila di dalam sunnah pun tidak ditemukan,
barulah mereka berijtihad. Tidak jarang ijtihad yang mereka lakukan adalah
dengan cara musyawarah di antara mereka ijtihad ( jama’i ). Hasil kesepakatan
ijtihad melalui musyawarah ini kemudia dikenal dengan isitahijma’ ash-shahabi
(kesepakatan sahabat). Akan tetapi, sebagaimana pola musyawarah, acapkali juga
ijtihad memecahkan persoalan-persoalan hukum itu mereka lakukan secara
sendiri-sendiri ijtihad
( fardi ). Hasil ijtihad ini kemudian dikenal dengan istilah
ijtihad ash-shahabi (ijtihad sahabat) ataufatwa ash shahabi (fatwa sahabat) atau
qaul ash-shahabi (pendapat sahabat).
3. Pada Masa Tabi’in
Sejalan dengan berlalunya masa sahabat, timbulah masatabi’in. Pada masa
ini, sejalan dengan perluasan wilayah-wilayah Islam, dimana pemeluk Islam
semakin heterogen bukan saja dari segi kebudayaan dan adat istiadat lokal, tetapi
juga dari segi bahasa, peradaban, ilmu pengetahuan, teknologi dan perekonomian,
banyak kemunculan kasus-kasus hukum baru, yang sebagiannya belum dikenal
sama sekali pada masa Rasulullah dan masa sahabat. Untuk menjawab kasus-
kasus hukum in, lahir tokoh-tokoh hukum Islam yang bertindak sebagai pemberi
fatwa hukum. Mereka ini sebelumnya telah lebuh dahulu menimba pengalaman
dan pengetahuan di bidang ijtihad dan hukum dari para sahabat pendahulu
mereka. Para ahli hukum generasitabi’in ini, antara lain, Sa’id bin al-Musayyab
(15-94H) sebagai mufti di Madinah. Sementara di Irak tampil pula Alqamah bin al
-Qais (w. 62 H) dan Ibrahim an-Nakha’I (w 96 H), di samping para ahli hukum
lainnya.
Dalam melakukan ijtihad, sebagaimana generasi sahabat, para ahli hukum
generasi tabi’in juga menempuh langkah-langkah yang sama dengan yang
dilakukan para pendahulu mereka. Akan tetapi, dalam pada itu, selain merujuk Al
-qur’an dan Sunnah, mereka telah memiliki tambahan rujukan hukum yang baru,
yaitu ijma’ ash-shahabi, ijma’ ahl al-Madinah, fatwa ash-shahabi, qiyas, dan
mashlahah mursalah yang telah dihasilkan oleh generasi sahabat.
Terhadap sumber rujukan yang baru itu, mereka memiliki kebebasan
memilih metode yang mereka anggap paling sesuai. Oleh karena itu, sebagian
ulama tabi’in ada yang menggunakan metide qiyas, dengan cara berusaha
menemukan‘illah hukum suatunashsh dan kemudia menerapkannya pada kasus-
kasus hukum yang tida ada nashsh -nya tetapi memiliki ‘illah yang sama.
Sementara sebagian ulama lainnya lebih cenderung memilih metodemashlahah ,
dengan cara melihat dari segi kesesuaian tujuan hukum dengan kemaslahatan
yang terdapat dalam prinisp-prinsip sayara’.
Perbedaan cara yang ditempuh oleh kedua kelompok ulama tabi’in ini,
terutama timbul karena perbedaan pendapat: apakahfatwa ash-shahabi dapat
menjadi dalil hukum (hujjah)? Dan apakahijma’ ahl al-Madinah merupakanijma’
sehingga berkedudukan sebagaihujjah qath’iah (dalil hukum yang bersifat pasti)?
Adanya dua kelompok diatas merupakan cikal bakal lahirnya dua aliran
besar dalam ilmu Ushul Fiqh dan Fiqh, yaitu aliran Mutakalimin atau asy-
Syafiyyah, yang dianut jumhur (mayoritas) ulama, dan aliran fuqaha’ atau
Hanafiyyah yang pada mulanya berkembang di Irak.
B. Meniti Tentang Mana yang Lebih Dulu Ada, Fiqih atau Ushul Fiqh, serta
Waktu Kodifikasi Menjadi Sebuah Disiplin Ilmu Tersendiri .
1. Lahirnya Fiqh dan Ushul Fiqh
Fiqh dan Ushul Fiqh memunyai pertalian yang amat erat. Di antara
keduanya tidak dapat dipisahkan. Para ulama berbeda pendapat tentang
lahirnya Fiqh dan Ushul Fiqh.
a. Fiqh Lahir Lebih Dahulu daripada Ushul Fiqh
Hukum Islam lahir bersamaan dengan lahirnya agama Islam yang
dibawa oleh Rasulullah SAW. Cara Rasulullah SAW dalam
menetapkan hukum tanpa memerlukan dasar-dasar dan kidah kaidah
untuk meng-istinbath-kan hukum. Pada masa sahabat, sudah ada
kejadian-kejadian dan peristiwa-peristiwa yang belum ada hukumnya.
Untuk menunjukan sebuah dalil pada suatu hukum para sahabat tidak
memerlukan kaidah-kaidah dan bahasa (gaidah lughowiyah).Dalam
hal pembukuan, fatwa-fatwa fiqh lebih dahulu dikodifikasikan oleh
para ulama mujtahid, karena masyarakat pada umumnya lebih
tertarik pada fiqh daripada terhadap ushul.' Kitab Fiqh yang pertama
kali dibukukan adalah kitab al Muwatha' karya agung Imam Malik
(95-179 H), sedangkan Ushul Fiqh dibukukan pada abad ke-2 H dalam
kitab al Risalah karya Agung Imam Syafi'i (150-201 H). Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa:
1. hukum fiqh lahir sejak masa Rasulullah SAW. Sedangkan Ushul
Fiqh lahir pada abad ke-2 H;
2. Istinbath hukum Islam pada masa Rasulullah SAW dan masa
sahabat tidak membutuhkan qawaid al tasyri' dan qawaid allughah,
sedangkan pada masa sesudahnya (mulai pada abad ke-2 H)
memerlukan kaidah-kaidah tersebut dengan sebab-sebab tertentu.
3. kodifikasi fiqh lebih dahulu adanya dibandingkan ushul fiqh.
b. Ushul Fiqh Lahir Lebih Dahulu daripada Fiqh
Ushul Fiqh merupakan alat untuk menetapkan hukum fiqh.
Tanpa Ushul Fiqh tidak ada hukum Fiqh. Jadi "Ushul Fiqh lebih dulu
lahirnya daripada Fiqh, sebab fiqh diciptakan dari Ushul Fiqh, maka
peran ushul itu adalah apa-apa yang diciptakan diatasnya ushul adalah
lainnya ushul, yaitu figh". Proses penetapan hukum diperlukan adanya
dalil dan kaidah-kaidah. Contoh:
a. Dalil
Ada beberapa ciri khas penulisan ushul fiqh aliran Mutakallimin, antara lain:
2
Sumber : https://islam.nu.or.id/sirah-nabawiyah/sejarah-perkembangan-ilmu-ushul-fiqih-0EbOf
kebahasaan.