Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH FIQH DAN USHUL FIQH

TENTANG
“SEJARAH PERKEMBANGAN FIQIH DAN USHUL FIQH”

Dosen Pengampu:
ABDUL BASIT,S.Pd,M.E
Disusun Oleh:
 Ria Meri February (210105122)
 Ahmad Hasan Satri (210105130)
 Rahmani
 Alya Susmitha (210105144)

PRODI TADRIS ILMU PENGETAHUAN SOSIAL-EKONOMI


FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN (FTK)
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MATARAM
TA.2022/2023
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Wr.Wb.
Segala Puji bagi ALLAH SWT atas segala nikmat yang diberikan kepada kita
semua. Shalawat serta salam tak lupa kita layangkan kepada Nabi Muhammad
SAW. Sehingga makalah ini bisa tersusun sebagai pemenuh tugas dan sekaligus
sebagai bahan acuan diskusi . Makalah ini tentunya jauh dari kata sempurna tapi
penulis tentunya bertujuan untuk menjelaskan atau memaparkan point-point di
makalah ini, sesuai dengan petunjuk yang saya peroleh, baik dari buku maupun
sumber-sumber yang lain. Semoga semuanya memberikan manfaat yang baik bagi
kita. Bila ada kesalahan penulis atau kata-kata didalam makalah ini, penulis
mohon maaf yang sebesar-besarnya.
Wassalamu'alaikum Wr.Wb.
DAFTAR ISI
Kata Pengantar....................................................................................................................
Daftar Isi..............................................................................................................................
BAB l PENDAHULUAN.....................................................................................................
A. Latar Belakang..............................................................................................................
B. Rumusan Masalah.........................................................................................................
C. Tujuan............................................................................................................................
BAB II PEMBAHASAN.....................................................................................................
A. Sejarah dan Perkembangan Fiqih dan Ushul Fiqh Pada Masa (Nabi, Sahabat
dan Tabi’in)....................................................................................................................
B. Meniti Tentang Mana yang Lebih Dulu Ada, Fiqih atau Ushul Fiqh, serta
Waktu Kodifikasi Menjadi Sebuah Disiplin Ilmu Tersendiri...................................
C. Aliran-aliran Ushul Fiqh setelah Kodifikasi...............................................................
BAB III PENUTUP.............................................................................................................
A. Kesimpulan....................................................................................................................
B. Saran...............................................................................................................................
C. Daftar Pustaka...............................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Sebagaimana ilmu keagamaan lain dalam Islam, Ilmu ushul Fiqh tumbuh dan
berkembang dengan tetap berpijak pada Al-Qur’an dan Sunnah, Ushul Fiqh tidak
timbul dengan sendirinya,tetapi benih-benihnya sudah ada sejak zaman Rasulullah
dan sahabat. Masalah utama yang menjadi bagian ushul fiqh, seperti ijtihad, qiyas,
nasakh, dan takhsis sudah ada pada zaman Rasulullah SAW, umat islam tidak
memerlukan kaidah-kaidah tertentu dalam memahami hukum-hukum syar’I, semua
permasalahan dapat langsung merujuk kepada Rasulullah SAW lewat penjelasan
beliau mengenai Al-Qur’an, atau melalui sunnah beliau SAW.
Pada masa tabi’in cara mengistinbath hukum semakin berkembang. Di antara
mereka ada yang menempuh metode masalah atau metode qiyas di sampng
berpegang pula pada fatwa sahabat sebelumnya. Pada masa tabi’in inilah mulai
tampak perbedaan-perbedaan mengenai hukum sebagai konsekuensi logis dari
perbedaan metode yang digunakan oleh para ulama ketika itu. (Abu Zahro : 12).
Corak perbedaan pemahaman lebih jelas lagi pada masa sesudah tabi’in atau
pada masa Al-Aimmat Al-Mujtahidin. Sejalan dengan itu, kaidah-kaidah istinbath
yang digunakan juga semakin jelas beragam bentuknya. Abu hanifah misalnya
amalan mereka lebih dapat dipercaya dari pada hadis ahad (Abu Zahro:12).
Apa yang dikemukakan diatas menunjukkan bahwa sejak zaman Rasulullah
SAW, sahabat, tabi’in dan sesudahnya, pemikiran hukum islam mengalami
perkembangan. Namun demikian, corak atau metode pemikiran belum terbukukan
dalam tulisan yang sistematis. Dengan kata lain, belum terbentuk sebagai suatu
disiplin ilmu tersendiri.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana sejarah perkembangan Fiqh dan Ushul Fiqh dari mulai awal
masa islam (Masa Rasulullah, Sahabat, dan Tabi’in)?
2. Manakah Yang lebih dulu ada Fiqh atau Ushul Fiqh dan kapankah
terkodifikasi sebagai sebuah disiplin ilmu?
3. Dalam Perkembangan Ushul Fiqh setelah masa pengkodifikasikan atau
pembukuan terdapat berbagai pengembangan pemikiran yang memicu
menculnya aliran-aliran. Apa dan seperti apa aliran-aliran tersebut?
C. TUJUAN
1. Untuk Mengetahui Sejarah Fiqh dan Ushul Fiqh Masa (Rasulullah,
Sahabat dan Tabi’in).
2. Untuk mengetahui kapan Fiqh dan Ushul Fiqh terkodifikasi menjadi
sebuah disiplin Ilmu.
3. Untuk dapat mengetahui sedikit pengenalan tentang aliran-aliran Fiqh
dan Ushul Fiqh dalam masa perkembangannya.
BAB II PEMBAHASAN
A. Sejarah Perkembangan Fiqh dan Ushul Fiqh Pada Masa (Rasulullah, Sahabt,
Tabi’in)
1. Pada Masa Nabi
Ushul fiqh sebagai sebuah bidang keilmuan lahir terlebih kemudian
dibandingkan ushul fiqh sebagai sebuah metode memecahkan hukum. Kalau
ada yang bertanya: “Dahulu mana ushul fiqh dan fiqh?”tentu tidak mudah
menjawabnya. Pertanyaan demikian sama dengan pertanyaan mengenai mana
yang lebih dahulu: ayam atau telor.Musthafa Said al-Khin memberikan
argumentasi bahwa ushul fiqh ada sebelum fiqh. Alasanya adalah bahwa ushul
fiqh merupakan pondasi, sedangkan fiqh bangun yang didirikan di atas
pondasi.Karena itulah sudah barang tentu ushul fiqh ada mendahului
fiqh(Muhammad Sa‘id al-Khinn,1994:122-123)Kesimpulannya, tentu harus ada
ushul fiqh sebelum adanya fiqh.Jawaban demikian benar apabila ushul fiqh
dilihat sebagai metode pengambilan hukum secara umum, bukan sebuah
bidang ilmu yang khas. Ketika seorang sahabat, misalnya, dihadapkan
terhadap persoalan hukum, lalu ia mencari ayat Alquran atau mencari jawaban
dari Rasulullah, maka hal itu bisa dipandang sebagai metode memecahkan
hukum. Ia sudah punya gagasan bahwa untuk memecahkan hukum harus dicari
dari Alquran atau bertanya kepada Rasulullah. Akan tetapi, cara pemecahan
demikian belum bisa dikatakan sebagai sebuah bidang ilmu.Pemecahan
demikian adalah prototipe(bentuk dasar)ushul fiqh, yang masih perlu
pengembangan lebih lanjut untuk disebut sebagai ilmu ushul fiqh.Prototipe-
prototipe ushul fiqh demikian tentu telah ditemukan pada masa hidup Rasulullah
sendiri. Rasulullah dan para sahabat berijtihad dalam persoalan-persoalan
yang tidak ada pemecahan wahyunya.Ijtihad tersebut masih dilakukan
sahabat dalam bentuk sederhana, tanpa persyaratan rumit seperti yang
dirumuskan para ulama dikemudian hari Contoh ijtihad yang dilakukan oleh
sahabat adalah ketika dua orangsahabat bepergian, kemudian tibalah waktu
shalat.Sayangnya mereka tidak punya air untuk wudhu. Keduanya lalu
bertayammum dengan debu yang suci dan melaksanakan
shalat.Kemudian mereka menemukan air pada waktu shalat belum habis.
Salah satu mengulang shalat sedangkan yang lain tidak. Keduanya lalu
mendatangi Rasulullah dan menceritakan kejadian tersebut. Kepada yang
tidak mengulang Rasulullah bersabda: “Engkau telah memenuhi sunnah dan
shalatmu mencukupi.” Kepada orang yang berwudhu dan mengulang shalatnya,
Rasulullah menyatakan: “Bagimu dua pahala.”(Kisah di atas berasal dari
hadits yang diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud dan al-Nasa’idariAbu Sa‘id al-
Khudri).
Dalam kisah di atas, sahabat melakukan ijtihad dalam
memecahkan persoalan ketika menemukan air setelah shalat selesai
dikerjakan dengan tayammum. Mereka berbeda dalam menyikapi
persoalan demikian, ada yang mengulang shalat dengan wudhu dan adayang
tidak. Akhirnya, Rasulullah membenarkan dua macam hasil ijtihad dua
sahabat tersebut. Tidak hanya prototipe ijtihad, prototipe qiyas pun sudah
ada pada masa Rasulullah. Kisah berikut menjadi contoh bagaimana qiyas
dilakukan oleh Rasulullah.Suatu saat seorang perempuan datang kepada
Rasulullah dan mengatakan bahwa ibunya meninggal dunia dengan meninggalkan
hutang puasa satu bulan. Rasulullah pun kemudian berkata yang
artinya:“Bagaimana seandainya ibumu memiliki hutang, apakah engkau
membayarkannya?” Perempuan tersebut menjawab: “Ya.” Rasulullah
berkata: “Hutang kepada Allah lebih berhak untuk ditunaikan.”(H.R.al-
Bayhaqi dari Ibnu Abbas,Hadits dengan makna yang sama diriwayatkan oleh
Muslim)Terhadap pertanyaan perempuan yang datang
kepadanya,Rasulullah tidak menjawab dengan jawaban “Ya” atau “Tidak”.
Beliau menjawabnya dengan meng-qiyas-kan terhadap hutang piutang.
Jadi,hukum hutang puasa orang tua yang meninggal dunia disamakan dengan
hukum hutang piutang harta. dasar qiyas,yang dikemudian hari disusun
prosedurnya secara baku oleh Imam Syafi’i.Berbagai konsep ushul fiqh dapat
ditemukan penggunaannya pada masa Rasulullah. Semua itu belum menjadi
konsep baku, melainkan hanya sebagai buah dari pemecahan masalah praktis.
Sama halnya seperti ketika orang Nusantara mempergunakan bahasa Melayu
pada abad XVIIatau XVIII. Mereka mengerti bagaimana mengucapkan
bahasa Melayu yang benar berdasarkan kebiasaan dan pemahaman yang ada
dalam otak mereka. Akan tetapi, kaidah-kaidah bahasa Melayu, yang
kemudian disempurnakan menjadi kaidah bahasa Indonesia, baru ditulis
dan dirumuskan belakangan dari praktek orang Melayu berbahasa1.
2. Pada Masa Sabahat
Fiqh mulai dirumuskan pada periode sahabat, yaitu setelah wafatnya
Rasulullah. Sebab pada masa hidupnya Rasulullah, semua persoalan hukum yang
timbul diserahkan kepada beliau. Meskipun satu atau dua kasus hukum yang
timbul terkadang disiasati para sahabat beliau dengan ijtihad, tetapi hasil akhir
dari ijtihad tersebut, dari segi tepat atau tidaknya Rasulullah adalah satu-satunya
pemegang otoritas kebenaran agama,melalui wahyu yang diturunkah kepada
beliau.
Pada periode sahabat, dalam melakukan ijtihad untuk melahirkan hukum,
pada hakikatnya para sahabat menggunakan ushul fiqh sebagai alat untuk
berijtihad. Hanya saja, ushul fiqh yang mereka gunakan baru dalam bentuknya
yang paling awal, dan belum banyak terungkap dalam rumusan-rumusan
sebagaimana yang kita kenal sekarang.
Contoh cikal bakal ilmu Ushul Fiqh yang terdapat pada masa Rasulullah dan
masa sahabat, antara lain, berkaitan dengan ketentuan urutan penggunaan
sumber dan dalil hukum, sebagai bagian dari Ushul Fiqh, misalnya, dapat dilihat
dari informasi tentang dialog antara Rasulullah dan Mu’az bin Jabal, ketika

1
Jurnal At-Tafkir Vol. XI No. 2 Desember 2018Penulis adalah Dosen Hukum Islam IAIN Malikussaleh
Lhokseumawe, Email: zoel_hamdi@yahoo.co.id
Rasulullah Mengutus Mu’az ke Yaman.“Ketika Rasulullah bermaksud mengutus
Mu’az ke Yaman, beliau bertanya: “Bagaimana kamu mengutus bila suatu kasus
diajukan kepadamu? Ia menjawab: “saya akan putuskan beradasrkan kitab Allah”
Beliau bertanya lagi:”jika kamu tidak menemukannya dalam kitab Allah”? Ia
menjawab: “saya akan putuskan berdasarkan sunnah Rasulullah “beliau bertanya
lagi: “Jika kamu tidak menemukannya dalam kitab Allah maupun Sunnah
Rasulullah? Ia menjawab: “Saya akan berijtihad, namun saya tidak akan ceroboh.”
Beliau berkata sambil menepuk dada Mu’az: “Segala puji bagi Allah yang telah
memberikan taufik utusan Rasulullah kepada apa yang diridhai Rasul itu.”
Demikian juga tentang penggunaan dalilsadd az-zari’ah: misalnya, ketika
mengemukakan pendapat dalam musyawarah yang diadakan Khalifah umar bin
Al-Khaththab tentang hukuman bagi peminumKhamr, Ali bin Abi thalib.
Sementara itu, penggunaan mashahah mursalah dapat dilihat pada kasus
pengumpulan Al-qur’an dalam bentuk mushaf, dimana tidak terdapat dalil yang
eksplisit didalam Al-qur’an maupun Sunnah Rasulullah yang memerintahkan atau
melarang tindakan pengumpulan dan pembukuannya, tetapi secara umum,
tindakan tersebut sejalan dengan semangat memelihara tujuan syariah.
Para sabahat Rasulullah, selain karena kedekatan mereka kepada beliau,
sehingga mereka menimba banyak pengalaman dari beliau dan memahami secara
mendalam pembentukan hukum Islam tasyri’i( ), juga karena mereka sendiri
memilih pengetahuan bahasa Arab yang sangat baik. Dengan bekal pengalaman
dan kemampuan tersebut, maka ketika Rasulullah wafat, mereka telah dapat
melakukan ijtihad untuk mengatasi masalah kekosongan hukum atas peristiwa-
peristiwa baru yang terjadi, yang belum ada ketentuan hukumnya secara eksplisit
dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Mereka juga tidak banyak mengalami kesulitan
memahami ayat-ayat Al-qur’an dan maksus Sunnah untuk melakukan
pengembangan hukum Islam, terutama melalui metodeqiyas.
Langkah-langkah yang ditempuh para sahabat apabila menghadapi persoalan
hukum ialah, menelusuri Ayat-ayat Al-qur’an yang berbicara tentang masalah
tersebut. Apabila tidak ditemukan hukumnya dalam Al-qur’an, maka mereka
mencarinya di dalam sunnah. Apabila di dalam sunnah pun tidak ditemukan,
barulah mereka berijtihad. Tidak jarang ijtihad yang mereka lakukan adalah
dengan cara musyawarah di antara mereka ijtihad ( jama’i ). Hasil kesepakatan
ijtihad melalui musyawarah ini kemudia dikenal dengan isitahijma’ ash-shahabi
(kesepakatan sahabat). Akan tetapi, sebagaimana pola musyawarah, acapkali juga
ijtihad memecahkan persoalan-persoalan hukum itu mereka lakukan secara
sendiri-sendiri ijtihad
( fardi ). Hasil ijtihad ini kemudian dikenal dengan istilah
ijtihad ash-shahabi (ijtihad sahabat) ataufatwa ash shahabi (fatwa sahabat) atau
qaul ash-shahabi (pendapat sahabat).
3. Pada Masa Tabi’in
Sejalan dengan berlalunya masa sahabat, timbulah masatabi’in. Pada masa
ini, sejalan dengan perluasan wilayah-wilayah Islam, dimana pemeluk Islam
semakin heterogen bukan saja dari segi kebudayaan dan adat istiadat lokal, tetapi
juga dari segi bahasa, peradaban, ilmu pengetahuan, teknologi dan perekonomian,
banyak kemunculan kasus-kasus hukum baru, yang sebagiannya belum dikenal
sama sekali pada masa Rasulullah dan masa sahabat. Untuk menjawab kasus-
kasus hukum in, lahir tokoh-tokoh hukum Islam yang bertindak sebagai pemberi
fatwa hukum. Mereka ini sebelumnya telah lebuh dahulu menimba pengalaman
dan pengetahuan di bidang ijtihad dan hukum dari para sahabat pendahulu
mereka. Para ahli hukum generasitabi’in ini, antara lain, Sa’id bin al-Musayyab
(15-94H) sebagai mufti di Madinah. Sementara di Irak tampil pula Alqamah bin al
-Qais (w. 62 H) dan Ibrahim an-Nakha’I (w 96 H), di samping para ahli hukum
lainnya.
Dalam melakukan ijtihad, sebagaimana generasi sahabat, para ahli hukum
generasi tabi’in juga menempuh langkah-langkah yang sama dengan yang
dilakukan para pendahulu mereka. Akan tetapi, dalam pada itu, selain merujuk Al
-qur’an dan Sunnah, mereka telah memiliki tambahan rujukan hukum yang baru,
yaitu ijma’ ash-shahabi, ijma’ ahl al-Madinah, fatwa ash-shahabi, qiyas, dan
mashlahah mursalah yang telah dihasilkan oleh generasi sahabat.
Terhadap sumber rujukan yang baru itu, mereka memiliki kebebasan
memilih metode yang mereka anggap paling sesuai. Oleh karena itu, sebagian
ulama tabi’in ada yang menggunakan metide qiyas, dengan cara berusaha
menemukan‘illah hukum suatunashsh dan kemudia menerapkannya pada kasus-
kasus hukum yang tida ada nashsh -nya tetapi memiliki ‘illah yang sama.
Sementara sebagian ulama lainnya lebih cenderung memilih metodemashlahah ,
dengan cara melihat dari segi kesesuaian tujuan hukum dengan kemaslahatan
yang terdapat dalam prinisp-prinsip sayara’.
Perbedaan cara yang ditempuh oleh kedua kelompok ulama tabi’in ini,
terutama timbul karena perbedaan pendapat: apakahfatwa ash-shahabi dapat
menjadi dalil hukum (hujjah)? Dan apakahijma’ ahl al-Madinah merupakanijma’
sehingga berkedudukan sebagaihujjah qath’iah (dalil hukum yang bersifat pasti)?
Adanya dua kelompok diatas merupakan cikal bakal lahirnya dua aliran
besar dalam ilmu Ushul Fiqh dan Fiqh, yaitu aliran Mutakalimin atau asy-
Syafiyyah, yang dianut jumhur (mayoritas) ulama, dan aliran fuqaha’ atau
Hanafiyyah yang pada mulanya berkembang di Irak.
B. Meniti Tentang Mana yang Lebih Dulu Ada, Fiqih atau Ushul Fiqh, serta
Waktu Kodifikasi Menjadi Sebuah Disiplin Ilmu Tersendiri .
1. Lahirnya Fiqh dan Ushul Fiqh
Fiqh dan Ushul Fiqh memunyai pertalian yang amat erat. Di antara
keduanya tidak dapat dipisahkan. Para ulama berbeda pendapat tentang
lahirnya Fiqh dan Ushul Fiqh.
a. Fiqh Lahir Lebih Dahulu daripada Ushul Fiqh
Hukum Islam lahir bersamaan dengan lahirnya agama Islam yang
dibawa oleh Rasulullah SAW. Cara Rasulullah SAW dalam
menetapkan hukum tanpa memerlukan dasar-dasar dan kidah kaidah
untuk meng-istinbath-kan hukum. Pada masa sahabat, sudah ada
kejadian-kejadian dan peristiwa-peristiwa yang belum ada hukumnya.
Untuk menunjukan sebuah dalil pada suatu hukum para sahabat tidak
memerlukan kaidah-kaidah dan bahasa (gaidah lughowiyah).Dalam
hal pembukuan, fatwa-fatwa fiqh lebih dahulu dikodifikasikan oleh
para ulama mujtahid, karena masyarakat pada umumnya lebih
tertarik pada fiqh daripada terhadap ushul.' Kitab Fiqh yang pertama
kali dibukukan adalah kitab al Muwatha' karya agung Imam Malik
(95-179 H), sedangkan Ushul Fiqh dibukukan pada abad ke-2 H dalam
kitab al Risalah karya Agung Imam Syafi'i (150-201 H). Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa:
1. hukum fiqh lahir sejak masa Rasulullah SAW. Sedangkan Ushul
Fiqh lahir pada abad ke-2 H;
2. Istinbath hukum Islam pada masa Rasulullah SAW dan masa
sahabat tidak membutuhkan qawaid al tasyri' dan qawaid allughah,
sedangkan pada masa sesudahnya (mulai pada abad ke-2 H)
memerlukan kaidah-kaidah tersebut dengan sebab-sebab tertentu.
3. kodifikasi fiqh lebih dahulu adanya dibandingkan ushul fiqh.
b. Ushul Fiqh Lahir Lebih Dahulu daripada Fiqh
Ushul Fiqh merupakan alat untuk menetapkan hukum fiqh.
Tanpa Ushul Fiqh tidak ada hukum Fiqh. Jadi "Ushul Fiqh lebih dulu
lahirnya daripada Fiqh, sebab fiqh diciptakan dari Ushul Fiqh, maka
peran ushul itu adalah apa-apa yang diciptakan diatasnya ushul adalah
lainnya ushul, yaitu figh". Proses penetapan hukum diperlukan adanya
dalil dan kaidah-kaidah. Contoh:
a. Dalil

‫ﻦ ٰاَﻣُﻨْۤﻮا َاْوُﻓْﻮا ِﺑﺎ ْﻟُﻌُﻘْﻮُِد‬


َ ‫ٰٓﻳَﺎُّﻳﻬﺎ اَّﻟِﺬْﻳ‬
Artinya: "Wahai orang-orang yang beriman! penuhilah janji-janji.........
b. Kaidah
‫اﻻﺻﻞ ﻓﻲ اﻻﻣﺮ ﻟﻠﻮﺟﻮب‬
Artinya: "Menurut aslinya amar itu adalah untuk mewajibkan"
Dalam ayat 1 surat al Maidah disebutkan "penuhilah janji".
Tetapi bagaimana hukumnya menepati janji? Apakah wajib, sunnah
atau mubah? Pada tahap ini belum ada ketentuan hukum secara pasti.
Bila dikaji dalam ayat tersebut terdapat fi'il amr: (tepatilah). Kata
"amr" mempunyai kaidah umum yaitu: (perintah itu untuk
mewajibkan). Dengan demikian, maka perintah yang terkandung
dalam kata "amır' tersebut menunjukan arti wajib. Jadi hukum yang
dihasilkan adalah bahwa "menepati janji itu wajib".
c. Ushul Fiqh Lahir Bersamaan dengan Fiqh
Ushul Fiqh dan Fiqh lahir bersamaan. Ushul Fiqh merupakan
alat istinbath hukum dari dalil-dalil dalam Alquran, maupun hadis
yang mengandung hukum fiqh. Ushul Fiqh lahir tidak mungkin tanpa
adanya dalil yang mengandung hukum fiqh dan hukum fiqh lahir tidak
mungkin tanpa Ushul Fiqh. Oleh karena "ilmu ushul muncul
bersamaan dengan fiqh. Oleh karena itu, "ilmu ushul muncul
bersamaan dengan fiqh dan diawali sejak zaman risalah"." Sejak awal
pertumbuhan Ushul Fiqh dan Fiqh sudah memenuhi tuntutan dan
dapat menjawab tantangan. Perhatian pada waktu itu dititikberatkan
pada peletakan dan penanaman dasar hukum yang Islam yang kuat
dan belum memikirkan pembahasan secara ter perinci, belum
memerlukan pembukuan serta belum adanya istilah. istilah baku.
Ketika itu "hukum belum lagi berpola ilmiah merupakan uraian
terperinci terhadap suatu peristiwa atau kasus. Ketika itu, himpunan
hukum belum lagi dinamakan fiqih"." Cara istinbath yang dilakukan
oleh para sahabat belum memakai istilah istilah yang dipergunakan
dalam Ushul Fiqh, tetapi sudah meng gunakan cara-cara yang dipakai
dalam Ushul Fiqh. Contoh: Umar bin Khatab tidak menjatuhkan
hukuman potong tangan terhadap seorang pencuri yang mencuri
karena kelaparan (darurat/terpaksa)," Dalam istilah Ushul Fiqh, cara
yang ditempuh oleh Umar bin Khatab tersebut dinamakan
"aldharuratu tubihu al mahdhurat". Hal serupa juga pernah
dilakukan oleh Ali bin Abi Thalib tentang hukuman orang yang
minum khamr, kata Ali: "Jika ia minum ia akan mengigau dan jika ia
telah mengigau, dia akan menuduh orang berbuat zina dan orang yang
menuduh berbuat zina adalah didera 80 kali."4 Dalam istilah Ushul
Fiqh cara yang ditempuh oleh Ali bin Abi Thalib itu dinamakan "syadz
al-dzari'ah".
Dari pernyataan diatas dapat kita petik bahwa Secra teoritis ilmu ushul fiqh
lebih dulu lahir dari ilmu fiqh, karna kedudukan ushul fiqh yang merupakan alat
untuk melahirkan fiqih. Akan tetapi jika dilihat dari sejarah maka fakta sejarah
menunjukan ushul fiqh bersamaan lahirnya dengan fiqih. Sedangkan dari segi
penyusunanya ilmu fiqih lebih dahulu lahir dari pada ilmu Ushul fiqh.
2. Sebab-sebab Lahirnya Ushul Fiqh Hingga Waktu ter Kodifikasi
Ushul Fiqh sebagai disiplin ilmu tidak muncul begitu saja, tetapi
memunyai sebab-sebab tersendiri. Para ulama sepakat bahwa Ushul Fiqh
lahir pada abad ke-2 H. Hal ini disebabkan pada masa Rasulullah SAW belum
lahir istilah ilmu fiqh, fiqh, dan ushul figh dan belum ada kaidah-kaidah
istinbath hukum. Semuanya bersumber pada Rasulullah SAW sebagai pribadi
uswatun hasanah (figur dan simpul hukum tunggal).
Pada masa sahabat, keberadaan hukum sedikit berubah. Penetapan
hukum tidak lagi dipegang Rasulullah SAW sehingga figur hukum tunggal
tidak ada lagi. Permasalahan umat Islam berkembang, sehingga banyak
peristiwa terjadi yang belum pernah ada sebelumnya dan belum memunyai
ketetapan hukum. Untuk menetapkan hukum, para sahabat meniru cara
bagaimana Rasulullah SAW menetapkan hukum, dengan menganalisa dalil
memakai Bahasa Arab mereka yang sangat sempurna, sehingga belum
memerlukan qawaid al-lughah. Era pascasahabat, Ushul Fiqh sangat
diperlukan. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu sebagai berikut;
a. Perdebatan dan perbedaan yang terjadi di kalangan ulama bertumpu
pada masalah-masalah cara istinbath hukum, dalil-dalil yang dipakai
dalam penunjukan hukum dan hasil ijtihad. Hal ini terjadi karena belum
adanya kaidah-kaidah atau perundang undangan untuk mengaturnya.
b. Perkembangan umat Islam yang cepat di berbagai daerah yang memunyai
sosio-kultural berbeda, dapat menimbulkan peristiwa kejadian yang
berbeda pula yang belum ada hukumnya dalam Alquran maupun hadis.
Perkembangan ilmu pengetahuan juga sangat dipengaruhi adanya suatu
istinbath hukum. Oleh karena itu, perlu adanya qawaid al tasyri'.
c. Bahasa Arab yang sudah bercampur tangan dengan bahasa asing,
sehingga terjadi perubahan pada perbendaharaan kata, ejaan, susunan
kalimat dan sebagainya yang sangat ber pengaruh pada bahasa lisan dan
tulisan. Untuk mengkaji nash nash Alquran, maupun al hadis, diperlukan
qawaid al lughah.
Selain itu,masa pembentukan hukum Islam yang telah berlangsung lama,
sampai muncullah dua aliran ushul fiqih dengan metode yang berbeda. Yaitu
madrasah Ahlu al-Hadits (tekstualis) dan madrasah Ahlu al-Ra’yu (rasionalis).
Perbedannya, Ahlu al-Hadits membatasi kajiannya pada Al-Qur’an dan hadits
Nabi. Mereka sangat berhati-hati dan tidak mau melangkah lebih jauh. Mereka
tidak mendukung kajian nalar. Pendek kata, Ahlu al-Hadits beraliran tekstualis.
Berbeda dengan Ahlu al-Hadits, Ahlu al-Ra’yu lebih menggunakan rasio dalam
menetapkan hukum Islam. Prinsip mereka adalah satu, kemaslahatan umat.
Dibanding Ahlu al-Hadits, Ahlu al-Ra’yu lebih rasionalis. Pada fase ini tidak
hanya muncul dua aliran tersebut yang membuat kompleksitas kajian hukum
Islam. Muncul pula kelompok yang melenceng dari dari batas wajar. Mereka lebih
menggunakan nafsu untuk menjadikan dalil. Kondisi memprihatinkan ini semakin
mendesak untuk segara disusun batasan dan bahasan dalil-dalil syara’ serta cara
menggunakannya. Dari sini lah mulai terbentuk ilmu ushul fiqih.
Selang 200 tahun berlalu. Ushul fiqih mulai tersebar luas di sela-sala hukum
fikih. Hal ini karena setiap imam mujtahid dari empat imam (Hanafi, Maliki,
Syafi’i dan Hambali) selalu memaparkan dalil pada setiap hukum yang
dikeluarkan. Orang yang pertama kali menghimpun kaidah yang tersebar itu
dalam sebuah kitab tersendiri adalah Imam Abu Yusuf (w. 798 M), penganut
mazhab Hanafi. Hanya saja, karyanya tidak sampai ke tangan kita. Sementara
orang yang pertama kali menyusun kitab kaidah-kaidah ushul fiqih dengan
pembahasan yang sistematis, disertai penjelasan berikut metode penelitiannya
adalah Imam Muhammad bin Idris as-Syafi’i (w. 204 H), atau biasa dipanggil
Imam Syafi’i. Kitab itu diberi nama Ar-Risalah. Nasibnya lebih beruntung, kitab
ini sampai ke tangan kita, untuk kali pertamanya. Sehingga Imam Syafi’i disebut
sebagai peletak dasar ushul fiqih2.
C. Aliran-aliran Ushul fiqh Setelah Kodifikasi
Dalam sejarah perkembangan ushul fiqih dikenal tiga aliran yang berbeda.
Masing-masing aliran memiliki cara pandang yang berbeda dalam menyusun dan
membangun teori yang terdapat dalam ushul fiqih. Ketiga aliran itu ialah:
1. Aliran Syafi’iyah (Aliran Mutakallimin)
Aliran mutakallimin (Ahli Kalam) bisa juga disebut aliran Jumhur
Ulama dan aliran Syafi’iyah. Aliran ini disebut syafi’iyah karena imam syafi’I
adalah tokoh pertama yang menyusun ushul fiqih dengan menggunakan
sistem ini. Dan aliran ini disebut aliran mutakallimin karena dalam metode
pembahasannya didasarkan pada nazari,falsafah dan mantiq serta tidak
terikat pada mazhab tertentu dan mereka yang banyak memakai metode ini
berasal dari ulama’ mutakallimin (Para ahli ilmu kalam) seperti Imam Al-
Juwaeni, Al- Qadhi Abdul Jabbar dan Imam Al- Ghazali. Disebut juga aliran
Jumhur Ulama karena aliran ini dianut oleh mayoritas ulama yang terdiri
dari kalangan ulama malikiyyah, syafi’iyah dan hanabillah.
Para ulama dalam aliran ini dalam pembahasannya dengan
menggunakan cara-cara yang digunakan dalam ilmu kalam, yakni
menetapkan ka’idah ditopang dengan alasan-alasan yang kuat baik naqliy
(dengan nash) maupun ‘aqliy (dengan akal fikiran) tanpa terikat dalam
hukum-hukum furu’ yang telah ada dari madzab manapun. Adakalanya
kaidah-kaidah yang disusun dalam ushul fiqih mereka menguatkan furu’
yang terdapat dalam mazhab mereka dan adakalanya melemahkan furu’
mazhab mereka Aliran ini membangun ushul fiqih secara teoritis murni tanpa
dipengaruhi oleh masalah-masalah cabang keagamaan. Sebagai akibat dari
perhatian yang terlalu difokuskan pada masalah teoritis, aliran ini sering
tidak bisa menyentuh permasalahan praktis. Aspek bahasa dalam aliran ini
sangat dominant, seperti penentuan tentang tahsin (menganggap sesuatu itu
baik dan dapat dicapai akal atau tidak). Dan taqbih (menganggap sesuatu itu
buruk dan dapat dicapai akal atau tidak). Permasalahan tersebut biasanya
berkaitan dengan pembahasan tentang hakim (pembuat hukum syara’) yang
berkaitan pula dengan masalah aqidah.

Ada beberapa ciri khas penulisan ushul fiqh aliran Mutakallimin, antara lain:

a. Penggunaan deduksi di dalamnya. Ushul fiqh mutakallimin membahas


kaidah-kaidah, baik disertai contoh maupun tidak. Kaidah-kaidah itulah yang
menjadi pilar untuk pengambilan hukum. Jadi, kaidah dibuat dahulu sebelum
digunakan dalam istimbath. Kaidah-kaidah tersebut utamanya berisi kaidah

2
Sumber : https://islam.nu.or.id/sirah-nabawiyah/sejarah-perkembangan-ilmu-ushul-fiqih-0EbOf
kebahasaan.

b. Adanya pembahasan mengenai teori kalam dan teori pengetahuan, seperti


terdapat dalam al-Luma karya al-Syirazi dan al-Ihkam karya al-Amidi.
Teori kalam yang sering dibahas adalah tentang tahsin dan taqbih.
Sementara itu, dalam pembahasan mengenai teori pengetahuan tersebut,
dimasukkan pengertian ilmu dan terkadang dimasukkan pula
muqaddimah mantiqiyyah (pengantar logika), sebagaimana terdapat
dalam al-Mustashfa karya alGhazali, Rawdlah al-Nadzir karya Ibnu
Qudamah, dan Muntaha al-Wushul (al-Sul) karya Ibnu Hajib.
Aliran ini berusaha menjadikan ushul Fikih sebagai teori yang independen,
yang dapat diaplikasikan terhadap segala persoalan dan tidak terfokus
pada masalah fiqh saja.Tokoh dari aliran ini antara lain :
Syafi’iyah,Malikiyah,Hanabilah,dan Jumhur mutakallimin.
Kitab Ushul Fikih standar dalam aliran Syafi’iyah/Mutakillimin ini adalah:
a. Al Risalah dirancang oleh Imam Al Syafi’i.
b. Al Mu’tamad dirancang oleh Abu Al Husain Muhammad bin ‘Ali Al
Bashri.
c. Al Burhan Fi Ushul Al Fiqh dirancang oleh Imam Al Haramain al
juwaini.
2. Aliran Hanafiyah (Fuqaha)
Aliran ini juga disebut aliran fuqaha. Aliran ini disebut dengan fuqaha
karena aliran ini dalam membangun teori ushul fikihnya hanya dipengaruhi
oleh masalah furu’ dalam mazhab mereka. Oleh sebab itu, sebelum menyusun
setiap teori dalam ushul fiqih, mereka terlebih dahaulu melakukan analisis
mendalam terhadap hukum furu’ yang ada dalam mazhab mereka. Metode
ini dicetuskan oleh Imam Abu Hanifah dan dikemukakan oleh ulama hanifah.
Cara yang digunakan oleh aliran ini dengan menggunakan istiqra’ (induksi),
terhadap pendapat - pendapat imam sebelumnya dan mengumpulkan
pengertian makna dan batasan - batasan yang mereka gunakan.
Para ulama dalam aliran ini,dalam pembahasannya berangkat dari hukum -
hukum furu’ yang diterima dari imam - imam (madhzab) mereka, yakni
dalam menetapkan ka’idah selalu berdasarkan kepada hukum - hukum furu’
yang diterima dari imam - imam mereka. Jika terdapat ka’idah yang
bertentangan dengan hukum - hukum furu’yang diterima dari imam - imam
mereka. Maka ka’idah itu diubah sedemikian rupa dan disesuaikan dengan
hukum - hukum furu’ tersebut. Jadi para ulama dalam aliran ini selalu
menjaga persesuaian antara ka’idah dengan hukum furu’ yang diterima dari
imam - imam mereka.
Diantara ciri khas aliran hanafiyyah, bahwa kaidah yang disusun dalam
ushul fiqih mereka semuanya dapat diterapkan. Ini logis karena penyusunan
ushul fiqih mereka telah terlebih dahulu disesuaikan dengan hukum furu’
yang terdapat dalam mazhab mereka. Ini tentu berbeda dengan aliran
syafi’iyah atau mutakallimin yang tidak berpedoman kepada hukum furu’
dalam menyusun ushul fiqih mereka. Konsekwensinya, tidak jarang terjadi
pertentangan antara kaidah ushul fiqih Syafi’iyah dengan hukum furu’ dan
kadang kala kaidah yang disusun aliran ini sulit diterapkan.
Adapun Ciri khas penulisan madzhab Hanafi dalam mengarang kitab ushul
adalah :
1. Persoalan-persoalan hukum yang furu yang dibahas oleh para imam
mereka, lalu membuat kesimpulan metodologis berdasarkan pemecahan
hukum furu tersebut. Jadi, kaidah-kaidah dibuat secara induktif dari
kasus-kasus hukum.
2. Kaidah-kaidah yang sudah dibuat bisa berubah dengan munculnya
kasus-kasus hukum yang menuntut pemecahan hukum yang lain.
3. Ushul fiqh Hanafi dipenuhi dengan persoalan hukum yang nyata.7
3. Aliran Muta’akhirin
Metode ini merupakan gabungan antara Metode Mutakallimin dan metode
fuqaha. Metode yang ditempuh ialah dengan cara mengombinasi kedua aliran
tersebut. Mereka memerhatikan kaidah - kaidah ushuliyah dan
mengemukakan dalil – dalil atas kaidah ini juga memerhatikan penerapannya
terhadap masalah fikih far’iyah dan relevansinya dengan kaidah - kaidah
tersebut.8 Ulama’-ulama’ muta’akhirin melakukan tahqiq terahadap kaidah-
kaidah ushuliyah yang dirumuskan kedua aliran tersebut. Lalu mereka
meletakkan dalil-dalil dan argumentasi untuk pendukungnya serta
menerapkan pada furu’ fiqhiyyah. Para ulama’ yang menggunakan aliran
muta’akhirin ini berasal dari kalangan Syafi’iayah dan Hanafiyah. Aliran ini
muncul setelah aliran Syafi’iyah dan Hanafiyah sehingga disebut sebagai
aliran muta’akhirin. Dan perkembangan terakhir penyesuaian kitab ushul
fiqih, tampak lebih banyak mengikuti cara yang ditempuh aliran
muta’akhirin.Kitab-kitab ushul yang menggabungkan kedua teori :
1. At-tahrir disusun oleh kalam Ad-din Ibnu Al-Humam Al-Hanafi.
2. Tanqih al-ushul ,disusun oleh Shadr Asy-Syari’ah .
3. Jam’u Al-Jawami , disusun oleh Taj Ad-din Abdul Al-Wahab As-Subki
Asy-Syafi’i.
4. Musallam Ats-tsubut, disusun oleh Muhibullah Ibnu Abd.Al- Syakur.
BAB III PENUTUP
A. KESIMPULAN
Sebagaimana rumusan masalah yang kami angkat dan kami kupas dari tema
"Sejarah Perkembangan Fiqih dan Ushul Fiqh", kami menyimpulkan bahwa;
1. Pada zaman Rasulullah, Sahabat dan Tabi'in belum ada istilah Fiqih
maupun Ushul fiqh. Pada masa Rasulullah setiap da suatu perkara maka
beliau langsung yang menyelesaikanya berdasarkan pada wahyu yang
diturunkan Allah SWT secara langsung dan juga menggunakan ijtihad
serta pengilhaman beliau(hadist) dan terjamin kebenarannya karena sosok
beliau yang merupakan hukum tunggal(Uswatun Hasanah).
Pada masa sahabat dan tabi'in juga ilmu Ushul fiqh belum terkodifikasi
menjadi sebuah disiplin ilmu, pada masa ini dalam menyelesaikan
berbagai macam perkara yang muncul diselesaikan dengan penistbatan
dengan dasar hujjah Al Quran,Had Hadist ,Asbabunnuzul Al-
Quran,Asbabulwurud hadist,Ijt Ijtihad , penyamaan hukum kasus(qiyas).
2. Pada abad( antara abad ke II dengan awal abad ke III) pengkodifikasian
atau pembukua hukum dilakukan pertama kali oleh Imam Muhammad
bin Idris as-Syafi’i (w. 204 H), atau biasa dipanggil Imam Syafi’i. Kitab itu
diberi nama Ar-Risalah.
3. Dalam perkembanganya terdapat 3 liran yang muncul yakni;
a. Aliran Syafi’iyah (Aliran Mutakallimin)
b. Aliran Hanafiyah (Fuqaha)
c. Aliran Muta’akhirin.
B. SARAN
Makalah ini dibuat berdasarkan sumber-sumber karangan ilmiah baik
berupa buku dan juga jurnal-jurnal online yang kami jadikan sebagai bahan
referensi. Dari rangkaian penyusunan makalah ini kami tidak sedikit
mengutip secara langsung maupun tidak langsung dari sumber-sumber yang
kami jadikan referensi.
Makalah ini kami susun dengan tujuan semata-mata hanya untuk
memenuhi tugas makalah dan hanya sebagai bahan acuan diskusi, oleh
karenanya kami tidak segan-segan me mohon kritik dan saran yang
membangun demi kesempurnaan makalah ini menjadi suatu makalah ilmiah
yang utuh.
C. DAFTAR PUSTAKA
Jurnal At-Tafkir Vol. XI No. 2 Desember 2018Penulis adalah Dosen Hukum Islam
IAIN Malikussaleh Lhokseumawe, Email: zoel_hamdi@yahoo.co.id
https://islam.nu.or.id/sirah-nabawiyah/sejarah-perkembangan-ilmu-ushul- fiqih-
0EbOf
Wahyuddin Universitas Islam Negeri Alauddin MakassarVolume I, Nomor 1,
Januari - Juni 2021

Anda mungkin juga menyukai