Anda di halaman 1dari 27

UNIVERSITAS INDONESIA

NAFKAH ANAK AKIBAT PERCERAIAN

(Putusan Nomor 102/Pdt.G/2020/PN.Ktg)

MATA KULIAH

HUKUM KELUARGA DAN HARTA PERKAWINAN

(KELAS B)

STELLA DEFANY MUSLIM

2006550420

(No. Urut 100)

FAKULTAS HUKUM

PROGRAM MAGISTER KENOTARIATAN

DEPOK

2020
Kata Pengantar

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala Rahmat-Nya sehingga Tugas Akhir Mata
Kuliah Hukum Keluarga dan Harta Perkawinan ini dapat tersusun hingga selesai. Tidak lupa
saya mengucapkan terimakasih terhadap Para Dosen Mata Kuliah Hukum Keluarga dan
Harta Perkawinan yang telah senantiasa selalu memberikan ilum dan pengetahuan yang
bermanfaat selama perkuliahan. Sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir ini.

Ssaya berharap semoga tugas akhir ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman untuk
penulis sendiri dan pembaca lainnya. Saya yakin masih banyak kekurangan dalam
penyusunan tugas akhir ini karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman Saya. Untuk itu
saya sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca demi
kesempurnaan tugas akhir ini.

Jakarta, 11 Januari 2021

Penyusun

i
Daftar Isi

Kata Pengantar...........................................................................................................................i
Daftar Isi....................................................................................................................................ii
BAB I TEORI DAN DASAR HUKUM....................................................................................1
A. Tinjauan Umum Tentang Dasar Hukum Perkawinan Di Indonesia...............................1
B. Tinjauan Umum Tentang Putusnya Perkawinan Di Indonesia......................................3
C. Tinjauan Umum Tentang Anak......................................................................................9
D. Pokok Permasalahan......................................................................................................

BAB II PEMAPARAN KASUS..............................................................................................12


A. Tentang Para Pihak.......................................................................................................12
B. Kasus Posisi..................................................................................................................12
C. Tentang Pertimbangan Hukum Hakim Terkait Nafkah Anak.....................................13
D. Amar Putusan...............................................................................................................16

BAB III ANALISIS KASUS..................................................................................................17


A. Kekuasaan Orang Tua Berdasarkan Perimbangan Hukum Majelis Hakim Perkara
Nomor 102/Pdt.G/2020/PN.Ktg dan Ketentuan Peraturan Perundang-undangan
B. Batas Usia Pemberian Nafkah Anak Berdasarkan Pertimbangan Hukum Majelis
Hakim Perkara Nomor 102/Pdt.G/2020/PN.Ktg sesuai dengan Ketentuan Peraturan
Perundang-undangan yang Mengatur.................................................................17

BAB IV PENUTUP

A. Kesimpulan.................................................................................................................22
B. Saran............................................................................................................................22

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

ii
BAB I
TEORI DAN DASAR HUKUM

A. Tinjauan Umum Tentang Dasar Hukum Perkawinan di Indonesia


Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, selanjutnya
dituliskan UU Nomor 1 Tahun 1974, diterbitkan agar ada unifikasi hukum dan
kepastian hukum dalam hukum perkawinan di Indonesia. Hal ini secara jelas dapat
dibaca dari bunyi Pasal 66 UU Nomor 1 Tahun 1974 yang merumuskan: “Untuk
perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan berdasarkan
atas Undang-undang ini, maka dengan berlakunya Undang-undang ini ketentuan-
ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgelijk
Wetboek), Ordinansi Perkawinan Indonesia Kristen (Huwelijks Ordonnantie Christen
Indonesiaers : 1933 No. 74), Peraturan Perkawinan Campuran (Regeling op de
gemeng de Huwelijken S. 1898 No. 158), dan Peraturan-peraturan lain yang mengatur
tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam Undang-undang ini dinyatakan tidak
berlaku”.1
Sebelum berlakunya UU Nomor 1 Tahun 1974, dalam tatanan hukum di
Indonesia sebagai warisan dari sistem hukum kolonial yang berlaku atas dasar Pasal II
Aturan Peralihan UUD 1945 (Pasal 131 IS jo Pasal 163 IS), yaitu: bagi orang-orang
Indonesia asli yang beragama Islam berlaku hukum agama yang telah diresiplir dalam
hukum adat, bagi orang-orang Indonesia asli lainnya berlaku hukum adat, bagi orang-
orang Indonesia asli yang beragama Kristen berlaku Huwelijks ordonantie Cristen
Indonesia (S. 1933 Nomor 74), bagi orang-orang Timur Asing Cina dan warganegara
Indonesia keturunan Cina berlaku ketentuan-ketentuan Kitab Undang-undang Hukum
Perdata dengan sedikit perubahan, bagi orang-orang Timur Asing lainnya dan
warganegara Indonesia keturunan Timur Asing lainnya tersebut berlaku hukum adat
mereka, dan bagi orang-orang Eropa dan warganegara Indonesia keturunan Eropa dan
yang disamakan dengan mereka berlaku Kitab Undang-undang Hukum Perdata.2
Peraturan hukum perkawinan sebagaimana disebutkan di atas masih
memperlihatkan politik hukum dari pemerintah Hindia Belanda dan di dalamnya
1
Indonesia, Undang-Undang Perkawinan, UU No. 1 Tahun 1974, LN No. 1 Tahun 1974, TLN No. 3019,
Ps. 23.
2
Yunanto, “Pembaharuan Hukum Perkawinan Indonesia”, Diponegoro Private Law Review Vol. 3, No. 1
(Oktober 2018), hlm. 262

1
memiliki ciri-ciri sebagai berikut: adanya penggolongan rakyat pada jaman
Pemerintahan Hindia Belanda, yaitu: golongan Eropa, golongan Timur Asing Cina
dan bukan Cina dan golongan bumi putera, adanya pluralisme hukum dibidang hukum
perkawinan seperti: Kitab Undang-undang Hukum Perdata, HOCI, Peraturan
Perkawinan Campuran, Hukum Adat dan Hukum Islam yang diresiplir ke dalam
Hukum Adat, pandangan politik hukum pada Jaman Hindia Belanda yang berorientasi
pada Asas Konkordansi dan terdapat pandangan bahwa dipisahkan antara Hukum
Negara dengan Hukum Agama dan pandangan politik hukum Pemerintahan Hindia
Belanda yang memandang Hukum Islam sebagai bagian dari Hukum Adat dalam arti
Hukum Islam termasuk hukum tidak tertulis,dan berlaku bagi masyarakat Bumi
Putera khususnya yang beragama Islam.3
Setelah berlakunya UU Nomor 1 Tahun 1974 orientasi hukum dalam rangka
pembaharuan dan pembangunan Hukum Nasional adalah tidak mengenal
penggolongan rakyat dan diterapkannya unifikasi hukum bagi warganegara Indonesia,
adanya pandangan hukum yang mempertimbangkan masuknya hukum agama dalam
Hukum Nasional yang dibingkai dalam konsep unifikasi hukum akan tetapi juga
mewadahi adanya pluralisme di sektor hukum (sahnya perkawinan), artinya hukum
agama, khususnya Hukum Islam mendapatkan legitimasi sebagai hukum positif di
Indonesia, dan berlakunya Hukum Islam harus ditafsirkan masih dalam koridor
unifikasi hukum. Dalam Hukum Nasional khususnya dalam UU No. 1 Tahun 1974
masih terlihat nuansa hukum yang bersumberkan pada nilai-nilai dan pengertian
hukum (begrip) atau konsep dari hukum Islam, Hukum Adat dan KUHPerdatadata.
Hanya dalam hal ini harus diperhatikan bahwa nuansa yang diperkenalkan
(introdusir) kepada warganegara harus dipahami dalam suasana unifikasi hukum.
Sejak berlakunya UU Nomor 1 Tahun 1974 ini, pada bagian penjelasan umum
dari UU Nomor 1 Tahun 1974 angka (1) secara tegas telah dijelaskan maksud dari
para pembentuk UU No. 1 Tahun 1974 mengenai ide unifikasi hukum dibidang
hukum keluarga dan perkawinan yang dirumuskan bahwa bagi suatu Negara dan
Bangsa seperti Indonesia adalah mutlak adanya Undang-undang Perkawinan Nasional
yang sekaligus menampung prinsip-prinsip dan memberikan landasan hukum
perkawinan yang selama ini menjadi pegangan dan telah berlaku bagi berbagai
golongan dalam masyarakat kita. Kemudian pada angka (5) Penjelasan Umum UU
Nomor 1 Tahun 1974 juga ditentukan bahwa untuk menjamin kepastian hukum, maka
3
Yunanto, “Pembaharuan Hukum.............., hlm. 262

2
perkawinan berikut segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan yang terjadi
sebelum Undang-undang ini berlaku, yang dijalankan menurut hukum yang telah ada
adalah sah. Kepastian hukum ini memang diperlukan untuk mencapai ketertiban
dalam masyarakat, maka untuk itu diperlukan norma hukum atau peraturan sebagai
pedoman dalam bertindak dan dapat memprediksikan apa yang akan terjadi bila
melakukan perbuatan tertentu. Oleh karena itu unifikasi hukum perkawinan menjadi
sesuatu yang penting dan dapat berfungsi sebagai penjaga, pengatur dan
menghasilkan ketertiban dalam masyarakat.4
Dasar hukum perkawinan di Indonesia yang berlaku saat ini, antara lain:5
1. Buku I dari Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), yaitu Bab
IV sampai dengan Bab XI;
2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan;
3. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama;
4. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan;
5. Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1990 tentang Perubahan dan
Tambahan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1983 tentang Izin Perkawinan dan
Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil;
6. Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam di
Indonesia (Pasal 1 – 170 KHI).

B. Tinjauan Umum Tentang Putusnya Perkawinan


Pasal 38 sampai dengan Pasal 41 UU Nomor 1 Tahun 1974 mengatur bahwa
perkawinan dapat putus karena 3 hal, yaitu:6
1. Kematian;
2. Perceraian;
3. Atas Keputusan Pengadilan.

Pasal 11 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974 kemudian mengatur mengenai masa
tunggu bagi wanita yang putus perkawinannya. Masa tunggu diberikan kepada wanita
bertujuan untuk melindungi wanita tersebut dan anak yang dikhawatirkan ada
sebelum putusnya perkawinan, sehingga anak tersebut memiliki kejelasan siapa
4
Yunanto, “Pembaharuan Hukum.............., hlm. 262
5
P.N.H Simanjuntak, Pokok-pokok Hukum Perdata Indonesia, (Jakarta: Djambatan, 2009), hlm. 70
6
Indonesia, Undang-Undang Perkawinan, ........... , Ps. 38 – Ps. 41.

3
bapaknya.7 Pasal 39 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan
Perkawinan menyebutkan bahwa masa tunggu bagi seorang janda, antara lain:8

1. Apabila perkawinan putus karena kematian, waktu tunggu yang ditetapkan adalah
130 hari.
2. Apabila perkawinan putus karena perceraian, waktu tunggu bagi yang masi datang
bulan ditetapkan 3(tiga) kali suci dengan sekurang-kurangnya 90 hari dan bagi yang
tidak datang bulan ditetapkan 90 hari.
3. Apabila perkawinan putus sedang janda tersebut dalam keadaan hamil, waktu
tunggu ditetapkan sampai melahirkan.

Selanjutnya berdasarkan Pasal 39 PP Nomor 9 Tahun 1975 ini, tidak ada waktu
tunggu bagi janda yang putus perkawinan karena perceraian, sedang antara janda
tersebut dengan bekas suaminya belum pernah terjadi hubungan kelamin. Bagi
perkawinan yang putus karena perceraian, tenggang waktu tunggu dihitung sejak
jatuhnya putusan Pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap;
sedangkan bagi perkawinan yang putus karena kematian, tenggang waktu tunggu
sejak kematian suami.9

1. Alasan-alasan Perceraian
Perceraian dapat terjadi apabila terpenuhinya salah satu dari beberapa alasan
dibawah ini:
a. Salah satu pihak berbuat sinah atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi, dan lain
sebagian yang sukar sembuh.
b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut
tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar
kemampuannya.
c. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang
membahayakan pihak yang lain.
d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang
membahayakan pihak yang lain.

7
Indonesia, Undang-Undang Perkawinan, ........... , Ps. 38 – Ps. 41.
8
Indonesia, Peraturan Pemerintah Pelaksanaan Undang-Undang Perkawinan, PP No. 9 Tahun 1975, Ps.
39
9
Indonesia, Peraturan Pemerintah Pelaksanaan Undang-Undang Perkawinan, ..........., Ps. 39

4
e. Salah satu pihak mendapat cacad badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat
menajalankan kewajibannya sebagai suami / isteri.
f. Antara suami dan isteri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan
tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
2. Tata Cara Perceraian
Menurut PNH Simanjuntak, tata cara perceraian di pengadilan dilakukan dengan
berbagai tahap, antara lain:10
a. Gugatan Perceraian: Berdasarkan Pasal 39 UU Nomor 1 Tahun 1974, perceraian
hanya dapat dilakukan didepan sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang
bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.
Perceraian harus dilakukan dengan adanya alasan yang cukup. Misalnya, antara
suami dan isteri tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami dan isteri. Gugatan
perceraian diajukan kepada Pengadilan (Pasal 40 UU Nomor 1 Tahun 1974). Pasal
20 PP Nomor 9 Tahun 1975 menyatakan bahwa:
1) Gugatan perceraiam diajukan oleh suami atau isteri atau kuasanya kepada
Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman tergugat.
2) Apabila tempat kediaman tergugat tidak jelas atau tidak diketahui atau tidak
mempunyai tempat kediaman yang tetap, gugatan perceraian diajukan kepada
Pengadilan di temoat kediaman penggugat.
3) Apabila tergugat bertempat kediaman di luar negeri, gugatan perceraian
diajukan kepada Pengadilan di tempat kediaman Penggugat. Ketua Pengadilan
menyampaikan permohonan tersebut kepada tergugat melalui Perwakilan
Republik Indonesia setempat.
4) Apabila terdapat alasan karena salah satu pihak meninggalkan pihak lain
selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang
sah atau karena hal lain diluar kemampuannya, maka gugatan perceraian
diajukan ke Pengadilan di tempat kediaman Penggugat. Gugatan dapat
diterima apabila tergugat menyatakan atau menunjukan sikap tidak mau lagi
kembali ke rumah kediaman bersama (Pasal 21 PP Nomor 9 Tahun 1975).
5) Apabila gugatan perceraian didasari karena alasan antara suami-isteri terus
menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan
hidup rukun lagi dalam rumah tangga, maka gugatan dapa diajukan ke
10
P.N.H Simanjuntak, Pokok-pokok Hukum Perdata ..........., hlm. 71-76

5
Pengadilan ditempat kediaman tergugat. Gugatan ini hanya dapat diterima
apabila telah cukup jelas bagi Pengadilan mengenai sebab-sebab perselisihan
dan pertengkaran itu dan setelah mendengar pihak keluarga, serta orang-orang
yang dekat dengan suami-isteri itu (Pasal 22 PP Nomor 9 Tahun 1975).
6) Apabila gugatan perceraian dikarenakan alasan salah seorang dari suami-isteri
mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat
setelah perkawinan berlangsung, maka untuk mendapatkan putusan perceraian
sebagai bukti penggugat cukup menyampaikan salinan putusan Pengadilan
yang memutus perkara disertai keterangan yang menyatakan bahwa putusan
itu telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap.

Berdasarkan Pasal 24 PP Nomor 9 Tahun 1975, selama berlangsungnya gugatan


perceraian atas permohonan penggugat atau tergugat atau berdasarkan
pertimbangan bahaya yang mungkin ditimbulkan, Pengadilan dapat mengizinkan
suami-isteri tersebut untuk tidak tinggal dalam satu rumah. Selama
berlangsungnya gugatan perceraian atas permohonan penggugat atau tergugat atau
berdasarkan pertimbangan bahaya yang mungkin ditimbulkan, pengadilan dapat
mengizinkan suami-isteri tersebut untuk tidak tinggal dalam satu rumah. Selama
berlangsungnya gugatan perceraian, atas permohonan penggugat atau tergugat,
Pengadilan dapat:
1) Menentukan nafkah yang harus ditanggung oleh suami.
2) Menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin pemeliharaan dan pendidikan
anak.
3) Menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin terpeliharanya barang-barang
yang menjadi hak suami atau barang-barang yang menjadi hak isteri.
b. Gugatan perceraian gugur: Gugatan perceraian gugur apabila suami atau isteri
meninggal sebelum adanya putusan Pengadilan mengenai gugatan perceraian itu.
(Pasal 25 PP Nomor 9 Tahun 1975).
c. Panggilan sidang:Setiap kali diadakan sidang Pengadilan yang memeriksa
gugatan perceraian, baik penggugat maupun tergugat atau kuasa mereka akan
dipanggil untuk menghadiri sidang tersebut. Bagi Pengadilan Negeri, panggilan
dilakukan oleh juru sita. Panggilan disampaikan kepada pribadi yang
bersangkutan. Apabila yang bersangkutan tidak dapat dijumpainya, panggilan
disampaikan melalui Lurah atau yang dipersamakan dengan itu. Panggilan

6
tersebut harus dilakukan dan disampaikan secara patut dan sudah diterima oleh
penggugat maupun tergugat atau kuasa mereka selambat-lambatny 3 (tiga) hari
sebelum sidang dibuka. Panggilan kepada tergugat dilampiri dengan salinan surat
gugatan (Pasal 26 PP Nomor 9 Tahun 1975).
Apabila dalam hal tempat kediaman tergugat tidak jelas atau tidak diketahui atau
tidak mempunyai tempat kediaman yang tetap, panggilan dilakukan dengan cara
menempelkan gugatan pada papan pengumuman di Pengadilan dan
mengumumkannya melalui satu atau beberapa surat kabar atau mass media lain
yang ditetapkan oleh Pengadilan. Pengumuman melalui surat kabar atau surat-
surat kabar atau mass medial lain yang ditetapkan oleh Pengadilan. Pengumuman
melalui surat kabar atau surat-surat kabar atau mass media, dilakukan sebanyak 2
(dua) kali dengan tenggang waktu satu bulan antara pengumuman pertama dan
kedua. Tenggang waktu antara panggilan terakhir dengan persidangan ditetapkan
sekurang-kurangnya 3 bulan. Apabila sudah dilakukan pemanggilan dan tergugat
atau kuasanya tetap tidak hadir, gugatan diterima tanpa hadirnya tergugat (Pasal
27 PP Nomor 9 Tahun 1975). Apabila tergugat bertempat kediaman di luar negeri,
panggilan disampaikan melalui Perwakilan Republik Indonesia setempat (Pasal 28
PP Nomor 9 Tahun 1975).
d. Pemeriksaan di Pengadilan: Pemeriksaan gugatan perceraian dilakukan oleh
hakim selambat-lambatnya 30 hari setelah diterimanya berkas/surat gugatan
perceraian. Dalam menetapkan waktu sidang pemeriksaan gugatan perceraian,
perlu diperhatikan tenggang waktu pemanggilan dan diterimanya panggilan
tersebut oleh penggugat maupun tergugat atau kuasa mereka. Apabila dalam hal
tergugat bertempat kediaman di luar negeri, sidang pemeriksaan gugatan
perceraian ditetapkan sekurang-kurangnya 6 bulan terhitung sejak dimasukannya
gugatan perceraian pada Kepaniteraan Pengadilan (Pasal 29 PP Nomor 9 Tahun
1975). Pada sidang pemeriksaan gugatan perceraian, suami dan isteri datang
sendiri atau diwakili kuasanya (Pasal 30 PP Nomor 9 Tahun 1975).
Hakim yang memeriksa gugatan perceraian berusaha mendamaikan kedua pihak.
Selama perkara belum diputuskan, usaha mendamaikan dapat dilakukan pada
sidang pemeriksaan (Pasal 31 PP Nomor 9 Tahun 1975). Apabila tercapai
perdamaian, maka tidak dapat diajukan gugatan perceraian baru berdasarkan
alasan atau alasan-alasan yang ada sebelum perdamaian dan telah diketahui oleh
penggugat pada waktu dicapainya perdamaian dan pemeriksaan gugatan

7
perceraian dilakukan dalam sidang tertutup (Pasal 32 dan Pasal 33 PP Nomor 9
Tahun 1975).
e. Putusan pengadilan: Perceraian itu terjadi terhitung pada saat perceraian itu
dinyatakan didepan sidang Pengadilan (Pasal 18 PP Nomor 9 Tahun 1975).
Putusan mengenai gugatan perceraian diucapkan dalam sidang terbuka. Suatu
perceraian dianggap terjadi beserta segala akibat-akibatnya terhitung sejak saat
pendaftarannya pada daftar pencatatan kantor pencatatan oleh pegawai pencatat,
kecuali bagi mereka yang beragama Islam terhitung sejak jatuhnya putusan
Pengadilan Agama yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap (Pasal 34
PP Nomor 9 Tahun 1975).
f. Pegawai pencatat perceraian: Panitera Pengadilan atau pejabat pengadilan yang
ditunjuk berkewajiban mengirimkan satu helai salinan putusan Pengadilan yang
telah memiliki kekuatan hukum yang tetap atau yang telah dikukuhkan tanpa
bermaterai kepada Pegawai Pencatat ditempat perceraian itu terjadi, dan Pegawai
Pencatat mendaftar putusan perceraian dalam sebuat daftar yang diperuntukan
untuk itu. Apabila perceraian dilakukan pada daerah hukum yang berbeda dengan
daerah hukum Pegawai Pencatat di mana perkawinan dilangsungkan, maka satu
helai salinan putusan mengenai mengenai gugatan perceraian yang telah
mempunyai kekuatan hukum yang tetap atau yang telah dikukuhkan tanpa
bermaterai dikirimkan pula kepada Pegawai Pencatat tempat perkawinan
dilangsungkan dan oleh Pegawai Pencatat tersebut dicatat pada bagian pinggir dari
daftar catatan perkawinan; dan bagi perkawinan yang dilangsungkan di luar
negeri, salinan itu disampaikan kepada Pegawai Pencatat di Jakarta. Kelalaian
mengirimkan salinan putusan tersebut menjadi tanggung jawab Panitera yang
bersangkutan apabila yang demikian itu mengakibatkan kerugian bagi bekas
suami atau isteri atau keduanya (Pasal 35 PP Nomor 9 Tahun 1975).
g. Akibat perceraian
Berdasarkan Pasal 41 UU Nomor 1 Tahun 1974, akibat putusnya perkawinan
karena perceraian adalah:
a) Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-
anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak; bilamana ada
perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberi
keputusannya.

8
b) Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan
pendidikan yang diperlukan anak itu; bilamana bapak dalam kenyataan tidak
dapat memenuhi kewajiban tersebut, Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu
ikut memikul biaya tersebut.
c) Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya
penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas isteri.
C. Tinjuan Umum Tentang Anak
Berdasarkan Pasal 1 butir (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak seseorang dapat dikatakan sebagai seorang anak jika "Seseorang
yang belum berusia 18 tahun termasuk anak yang masih dalam kandungan".11 Anak
mempunyai hak untuk mendapat perlindungan, yakni segala kegiatan untuk menjamin
dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan
berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta
mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
1. Pemberian tunjangan nafkah anak Suami wajib membayar nafkah untuk anak-
anaknya, yaitu belanja untuk memelihara dan keperluan pendidikan anak-anaknya itu.
Sehingga teranglah bahwa nafkah itu untuk isteri dan anak-anaknya, sedangkan
kewajiban nafkah itu tetap berlaku, meskipun isteri telah diceraikan oleh suaminya,
bahkan bekas isteri berhak meminta upah kepada bekas suaminya untuk menyusui
anaknya (Pasal 41 UU Perkawinan).12
2. Hak anak menurut UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak 13
Pasal 4 : Setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang dan
berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta
mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
Pasal 5: Setiap anak berhak atas suatu nama sebagai identitas diri dan status
kewarganegaraan.
Pasal 6: Setiap anak berhak untuk beribadah menurut agamanya, berpikir dan
berekspresi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya, dalam bimbingan orang
tua.

11
Indonesia, Undang-Undang Perlindungan Anak, UU No. 23 Tahun 2002, LN No. 109 Tahun 2002, TLN
No. 4235, Ps. 1
12
Indonesia, Undang-Undang Perkawinan, ................., Ps. 41
13
Indonesia, Undang-Undang Perlindungan Anak, ............., Ps. 4 – Ps. 9

9
Pasal 9: Setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka
pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan
bakatnya.
3. Hak-hak anak menurut pasal 2 UU No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak14
a. Anak berhak atas kesejahteraan, perawatan, asuhan dan bimbingan berdasarkan
kasih sayang baik dalam keluarganya maupun di dalam asuhan khusus untuk
tumbuh dan berkembang dengan wajar.
b. Anak berhak atas pelayanan untuk mengembangkan kemampuan dan kehidupan
sosialnya, sesuai dengan kebudayaan dan kepribadian bangsa, untuk menjadi
warga negara yang baik dan berguna.
c. Anak berhak atas pemeliharaan dan perlindungan, baik semasa dalam kandungan
maupun sesudah dilahirkan.
d. Anak berhak atas perlindungan terhadap lingkungan hidup yang dapat
membahayakan atau menghambat pertumbuhan dan perkembangannya dengan
wajar.
4. Kewajiban dan tanggung jawab keluarga dan orang tua menurut UU Nomor 1 Tahun
1974.
a. Kedua orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka sebaik-
baiknya, sampai anak-anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri, kewajiban mana
berlaku terus, walaupun perkawinan antara kedua orang tua putus. Anak-anak
wajib menghormati orang tua dan menaati kehendak mereka yang baik.15
b. Akibat perceraian kedua orang tuanya, kedua orang tua tetap wajib memelihara
dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak dan jika
ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan yang memberikan
keputusannya. Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan
pendidikan yang diperlukan anak itu, jika bapak dalam kenyataan tidak dapat
memenuhi kewajiban tersebut, Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut
memikul biaya tersebut.
c. Kewajiban orang tua terhadap harta kekayaan anak adalah orang tua tidak
diperbolehkan memindahkan hak atau menggadaikan barang-barang tetap yang
dimiliki anaknya yang berumur 18 (delapan belas) tahun atau belum

14
Indonesia, Undang-Undang Kesejahteraan Anak, UU No. 4 Tahun 1979, LN. No. 32 Tahun 1979, TLN
No. 3143, Ps. 2
15
Indonesia, Undang-Undang Perkawinan, ................., Ps. 45 - 46

10
melangsungkan perkawinan, kecuali apabila kepentingan anak itu
menghendakinya.16

D. Pokok Permasalahan
1. Bagaimana bentuk kekuasaan orang tua berdasarkan perimbangan hukum
majelis hakim perkara nomor 102/Pdt.G/2020/PN.Ktg dan ketentuan peraturan
perundang-undangan?
2. Bagaimana batas usia anak dalam pemberian nafkah anak berdasarkan
pertimbangan hukum majelis hakim perkara nomor 102/Pdt.G/2020/PN.Ktg
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur?

16
Indonesia, Undang-Undang Perkawinan, ................., Ps. 48

11
BAB II
PEMAPARAN KASUS

A. Tentang Para Pihak


1. Tuan A (suami) : Penggugat / Tergugat Rekonvensi
2. Nyonya B (isteri) : Tergugat / Penggugat Rekonvensi
3. C : Anak Pertama / (dewasa)
4. D : Anak Kedua / (dewasa)
5. E : Anak Ketiga / (dibawah umur).
B. Kasus Posisi
1. Perkawinan antara Penggugat dan Tergugat berlangsung pada tahun 1999 di Guaan sesuai
dalam Kutipan Akta Perkawinan Nomor:01/RK-K/1999.
2. Perkawinan a ntara Penggugat dan Tergugat telah dikaruniai keturunan 3 (tiga) orang anak
yang masing-masing bernama:
a. A (berumur 20 Tahun);
b. B (berumur 19 Tahun);
c. C (berumur 13 Tahun).
3. Alasan Penggugat mengajukan gugatan karena tidak ada lagi arapan untuk hidup rukun dan
harmonis dalamkehidupan rumah tangga penggugat dan tergugat tidak dapat dicapailagi dan
sudah tidak dapat dipersatukan kembali karena sudah hidupterpisah sebagai suami isteri,
sehingga tujuan perkawinan untukmembentuk keluarga yang bahagia dan kekal tidak dapat
dicapailagi, olehnya demi masa depan penggugat dan tergugat makasangat beralasan hukum
bagi penggugat untuk mengajukan gugatanperceraian.
4. Sekitar bulan Februari Tahun 2020 sampai saat ini, Penggugat Konvensi/Tergugat
Rekonvensi meninggalkan rumah dan jugaTergugat Konvensi/Penggugat Rekonvensi beserta
anak-anak;
5. Terhadap gugatan Penggugat Konvensi/TergugatRekonvensi tersebut, Tergugat
Konvensi/Penggugat Rekonvensi memberikan jawaban sekaligus mengajukan gugatan
rekonvensi.
6. Penggugat dalam Petitumnya memintakan kepada Majelis Hakim, salah satunya terdapat
point 2 yang akan diuraikan sebagai berikut:
“Menghukum Tergugat Rekonvensi untuk membayar kepadaPenggugat Rekonvensi yaitu:
a. Nafkah istri sejak bulan Februari Tahun 2020 sampaidengan dengan sekarang bulan
Oktober Tahun 2020 sebesar Rp.5.000.000,- (lima juta rupiah) setiap bulannya
ditambah denganbulan-bulan yang belum dihitung sampai ada putusan
pengadilanyang berkekuatan hukum tetap;
b. Nafkah Anak sampai anak kawin atau berdiri sendiri yaitu:

12
1) XXXXX yang saat ini masih melajutkan pendidikannya di Perguruan
Tinggi dan belum menikah untuk itu memerlukan biaya pendidikan dan
kebutuhan lainnya sebesar Rp.5.000.000,- (lima juta rupiah) setiap
bulannya dan setiaptahunnya naik 10% sesuai dengan kondisi ekonomi
danpendidikan dan kebutuhan anak yang bertambah setiaptahunnya;
2) XXXXX yang saat ini masih melajutkan pendidikannya diPerguruan
Tinggi dan belum menikah untuk itu memerlukanbiaya pendidikan dan
kebutuhan lainnya sebesar Rp.5.000.000,- (lima juta rupiah) setiap
bulannya dan setiaptahunnya naik 10% sesuai dengan kondisi ekonomi
danpendidikan dan kebutuhan anak yang bertambah setiaptahunnya;
3) XXXXX yang saat ini masih berumur 13 Tahun dan masih bersekolah
dan memiliki riwayat penyakit jantung untuk itumemerlukan biaya
pendidikan, biaya pengobatan, dankebutuhan lainnya sebesar Rp.
5.000.000,- (lima juta rupiah)setiap bulannya dan setiap tahunnya naik
10% sesuai dengan kondisi ekonomi dan pendidikan dan kebutuhan anak
yang bertambah setiap tahunnya;
Bahwa nafkah untuk ketiga orang anak diberikan atau ditransfer oleh
Tergugat Rekonvensi kepada masing-masing nomor rekening anak.”

C. Tentang Pertimbangan Hukum Majelis Hakim Terkait Nafkah Anak


Berdasarkan putusan nomor 102/Pdt.G/2020/PN.Ktg majelis hakim perkara
memberikan pertimbangan hukum terkhusus mengenai nafkah anak yang dapat diuraikan
sebagai berikut:
DALAM GUGATAN KONVENSI
Petitum Ketiga gugatan konvensi Penggugat Konvensi/Tergugat Rekonvensi, yang
memohon Majelis Hakimmenyatakan Menyatakan menurut hukum, anak ketiga
XXXXX, dalam asuhanpenggugat dan tergugat, biaya hidup, sekolah, ditanggung
penggugat dantergugat sampai dewasa mempertimbangkan sebagai berikut;

Menimbang, bahwa dalam dalil gugatan konvensi Penggugat Konvensi/Tergugat


Rekonvensi menyatakan "bahwa dari perkawinan tersebutkami suami istri dikaruniai
3 (tiga) orang anak perempuan masing-masing bernama: XXXXX Lahir pada tanggal
24 JUNI 2000, XXXXX Lahir pada tanggal 20 Desember 2001, keduanya sudah
dewasa, dan anak Ketiga bernama XXXXX lahir pada tanggal 8 Maret 2007, umur 13
Tahun, berdasarkan akta lahir No.7101-LT-04092018-0076" sedangkan dalam
jawaban rekonvensi dan Tergugat Konvensi/Penggugat Rekonvensi mendalilkan
"Bahwa saat ini XXXXX dan XXXXX belum menikah dan masih malanjutkan
pendidikan di Perguruan Tinggi untuk itu kewajiban orangtua masih berlaku sampai
keduanya menikah dan mampu beridiri sendiri"

Menimbang, bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 41 huruf a Undang-Undang


Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan,berkaitan dengan hak

13
asuh anak yaitu baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik
anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada
perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberi keputusannya,
selanjutnya ketentuan Pasal 45 Undang-undang aquo ayat (1) Kedua orang tua wajib
memelihara dan menddidik anak-anak mereka sebaik-baiknya, ayat (2) Kewajiban
orang tua yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini berlaku sampai anak itu kawin
atau dapat berdiri sendiri kewajiban mana berlaku terus meskipun perkawinan
antara kedua orang tua putus;

Menimbang, bahwa dalam dalil gugatann konvensi Penggugat Konvensi/Tergugat


Rekonvensi memohon agar Xxxxx yang saat ini berusia 13(tiga belas) tahun menjadi
tanggung jawab bersama antara Penggugat Konvensi/Tergugat Rekonvensi dan
Tergugat Konvensi/Penggugat Rekonvensi, sedangkan dalam jawaban konvensi
Tergugat Konvensi/Penggugat Rekonvensi memohan agar Xxxxx saat ini berusia 20
(dua puluh) tahun dan Xxxxx saat berusia 19 (sembilan belas) tahun juga tetap
menjadi tanggungjawab bersama Penggugat Konvensi/Tergugat Rekonvensi dan
Tergugat Konvensi/Penggugat Rekonvensi yang sedang melanjutkan pendidikannya
ke Perguruan Tinggisampai keduanya menikah dan berdiri sendiri;

Menimbang, bahwa berdasarkan uraian pertimbangan tersebut diatas,Majelis Hakim


berpendapat, berdasarkan Pasal 47 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan, menyatakan ayat (1) Anak yang belum mencapai
umur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan ada di
bawah kekuasaan orang tuanya selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya,
ayat (2) Orang tua mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum di
dalam dan di luar Pengadilan, maka yang dimaksud dengan sampai anak berdiri
sendiri haruslah mengacu ketentuan pasal 47 tersebut dimana anak yang telah
mencapai umur 18 (delapan belas) tahun tidak lagi berada dalam kekuasaan
orang tua dan dapat melakukan segala perbuatan hukum didalam maupun
diluar pengadilan, oleh karenanya dalil antara Penggugat Konvensi/Tergugat
Rekonvensi cukup berlasan hukum dan dapat diterima, sedangkan dalil Tergugat
Konvensi/Penggugat Rekonvensi tidak beralasan dan patut untuk dikesampingkan,
namun perlu diingat putusnya perkawinan tidaklah menyebabkan putusnya hubungan
para pihak selaku orangtua dari anak-anaknya kandungnya, maka terhadap Petitum
Ketiga gugatan konvensiPenggugat Konvensi/Tergugat Rekonvensi yang memohon

14
Majelis Hakim Menyatakan menurut hukum, anak ketiga XXXXX, dalam asuhan
penggugatdan tergugat, biaya hidup, sekolah, ditanggung penggugat dan tergugat
sampai dewasa adalah beralasan hukum untuk dikabulkan;

DALAM GUGATAN REKONVENSI


Menimbang, bahwa selanjutnya poin dua petitum kedua gugatan rekonvensi
memohon agar Majelis Hakim menghukum Tergugat Rekonvensi/Penggugat
Konvensi pada pokoknya untuk membayar nafkah Anak Xxxxx, Xxxxx dan Xxxxx
untuk biaya pendidikan dan kebutuhan lainnya masing-masing sebesar
Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah) setiap bulannya dan setiap tahunnya naik 10%
(sepuluh persen) sampai anak kawin atau berdiri sendiri, akan dipertimbangkan
sebagai berikut;

Menimbang, bahwa sebagaimana telah dipertimbangkan dalam gugatan konvensi,


berdasarkan Pasal 47 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan, menyatakan ayat (1) Anak yang belum mencapai umur 18
(delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan ada di bawah
kekuasaan orang tuanya selamamereka tidak dicabut dari kekuasaannya, ayat (2)
Orang tua mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum di dalam dan di
luar Pengadilan, maka yang dimaksud dengan sampai anak berdiri sendiri
sebagaimana dalam ketentuan pasal 45 Undang-udang aquo haruslah mengacu
ketentuan pasal 47 tersebut dimana anak yang telah mencapai umur 18 (delapan
belas) tahun tidak lagi berada dalam kekuasaan orang tua dan dapat melakukan
segala perbuatan hukum didalam maupun diluar pengadilan, oleh karenanya
atas permintaan nafkah terhadap anak bernama Xxxxx saat ini berusia 20 (dua
puluh) tahun dan Xxxxx saat berusia 19 (sembilan belas) tahun, tidak beralasan
hukum dan patut untuk dikesampingkan, sedangkan terhadap Xxxxx yang saat ini
berusia 13 (tigabelas) tahun maka permohonan nafkah dalam poin dua petitum kedua
gugatan rekonvensi Majelis Hakim sependapat, namun terhadap besaran nafkah yang
akan dibayarkan oleh Tergugat Rekonvensi/Penggugat Konvensi kepada Xxxxxsetiap
bulannya sebesar Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah), dikarenakan penghasilan
Tergugat Rekonvensi/Penggugat Konvensu tidak menentu untukitu Majelis Hakim
memandang cukup wajar dan layak serta sudah sepatutnya apabila penggugat
memberikan biaya hidup sebesar Rp4.000.000,00 (empatjuta rupiah) setiap bulannya
sampai anak kawin atau berdiri sendiri, sedangkan atas kenaikan 10% (sepuluh

15
persen) setiap tahunnya Majelis Hakim tidaksependapat sebagaimana telah
dipertimbangkan dalam pertimbangan poin satu petitum kedua diatas;

D. Amar Putusan
MENGADILI

“DALAM KONVENSI
3.Menyatakan menurut hukum, anak ketiga XXXXX, dalam asuhan penggugat dan tergugat,
biaya hidup, sekolah, ditanggung penggugat dantergugat sampai dewasa.
DALAM REKONVENSI
2.Menghukum Tergugat Rekonvensi/Penggugat untuk membayar kepadaPenggugat
Rekonvens/Tergugat Konvensi yaitu:
- Nafkah istri sejak bulan Februari Tahun 2020 sampai dengandengan sekarang bulan
Oktober Tahun 2020 sebesar Rp2.000.000,00(dua juta rupiah) setiap bulannya ditambah
dengan bulan-bulan yangbelum dihitung sampai ada putusan pengadilan yang berkekuatan
hukumtetap;
- Nafkah Anak XXXXX yang saat ini masih berumur 13 Tahun danmasih bersekolah dan
memiliki riwayat penyakit jantung untuk itumemerlukan biaya pendidikan, biaya
pengobatan, dan kebutuhan lainnyasebesar Rp. 4.000.000,00 (empat juta rupiah) setiap
bulannya sampaianak kawin atau berdiri sendiri;”

16
BAB III
ANALISIS KASUS

A. Kekuasaan Orang Tua Berdasarkan Perimbangan Hukum Majelis Hakim


Perkara Nomor 102/Pdt.G/2020/PN.Ktg dan Ketentuan Peraturan Perundang-
undangan

Berdasarkan pertimbangan hukum hakim diatas, penulis kurang sependapat dengan


pertimbangan hukum hakim mengenai nafkah anak majelis hakim yang memeriksa
perkara aquo menggunakan dasar hukum yang akan dijelaskan, sebagai berikut:
1. Pasal 41 huruf a UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mengenai akibat
putusnya perkawinan karena perceraian, antara lain:
(1) “Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-
anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak; bilamana ada
perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, Pengadilan memberi
keputusannya.
(2) Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan
pendidikan yang diperlukan anak itu; bilamana bapak dalam kenyataan tidak
dapat memenuhi kewajiban tersebut, Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu
ikut memikul biaya tersebut.
(3) Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya
penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas isteri.”17
2. Pasal 45 ayat (1) dan (2) UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mengenai
kekuasaan orang tua, antara lain:
(1) “Kedua orang tua wajib memelihara dan menddidik anak-anak mereka
sebaik-baiknya, ayat
(2) Kewajiban orang tua yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini berlaku sampai
anak itu kawin atau dapat berdiri sendiri kewajiban mana berlaku terus
meskipun perkawinan antara kedua orang tua putus”18
3. Pasal 47 ayat (1) dan (2) UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
mengenail kekuasaan orang tua, antara lain:
(1) “Anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau belum
pernah melangsungkan perkawinan ada di bawah kekuasaan orangtuanya
selama mereka tidak dicabut kekuasaannya.
(2) Orang tua mewakili anak tersebut mengenai segala perbuatan hukum di dalam
dan di luar pengadilan.”19
UU Nomor 1 Tahun 1974 sebenarnya dapat dikatakan tidak secara spesifik mengatur
tentang penguasaan anak. UU Nomor 1 Tahun 1974 mengatur tentang pemeliharaan anak
17
Indonesia, Undang-Undang Perkawinan, ................., Ps. 41
18
Indonesia, Undang-Undang Perkawinan, ................., Ps. 45
19
Indonesia, Undang-Undang Perkawinan, ................., Ps. 47

17
dikaitkan dengan putusnya ikatan perkawinan. Istilah yang dipergunakan untuk maksud
kekuasaan orang tua terhadap anak di dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 adalah
“kewajiban orang tua”. Tampaknya hak ini sesuai dengan konsep perlindungan anak,
yang lebih menekankan pada aspek hak anak dan kewajiban orangtua. Dengan demikian
rangkaian pengaturan kekuasaan orangtua terhadap anak pasca perceraian, secara umum
dapat ditelusuri berdasarkan norma yang terdapat di dalam Pasal 41 sampai dengan Pasal
54 UU Nomor 1 Tahun 1974. Berdasarkan ketentuan yang terdapat di dalam UU No. 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan, maka di dalam konteks kekuasaan orangtua terhadap
anak pasca perceraian dapat dikemukakan hal-hal sebagai berikut:20
1. Kekuasaan orang tua terhadap anak pasca perceraian memiliki korelasi erat dengan
validitas perkawinan, dan validitas perceraian dari orangtuanya.
2. Kekuasaan orang tua terhadap anak diungkapkan dengan istilah “kewajiban
orangtua”. Kenyataan ini sesuai dengan konsep perlindungan anak yang
dikonstruksikan sebagai kewajiban orangtua dan hak anak.
3. Kekuasaan orang tua pasca perceraian terhadap anak pada dasarnya merupakan
tanggung-jawab dan kewajiban orangtua secara bersama-sama dalam mendidik dan
memelihara anak.

B. Batas Usia Anak Dalam Pemberian Nafkah Anak Berdasarkan Pertimbangan


Hukum Majelis Hakim Perkara Nomor 102/Pdt.G/2020/PN.Ktg sesuai dengan
Ketentuan Peraturan Perundang-undangan yang Mengatur

Pembahasan mengenai kekuasaan orang tua memang akan sangat erat kaitannya
dengan perihal kedewasaan. Dalam hal ini, majelis hakim yang memeriksa perkara aquo
menyatakan bahwa 2 (dua) dari ketiga anak Para Pihak yang telah melawati umur 18
(delapan belas) tahun tidak mendapatkan nafkah lagi dari ayahnya yakni Penggugat.
Majelis hakim yang memeriksa perkara aquo berpendapat bahwa diantara ketiga anak
Penggugat dan Tergugat hanya anak terakhir yang medapatkan nafkah dari ayahnya.
Pertimbangan hakim tersebut mengacu pada Pasal 45 ayat (1) dan (2) UU Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan yang telah diuraikan diatas. Pengertian frase “berdiri
sendiri” dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 memang tidak ada penjelasan lebih lanjut
secara nyata, namun dapat ditafsirkan hakekatanya mereka yang telah dewasa adalah
20
Ermita Dwirachmani, “Analisis Lembaga Kekuasaan Orang Tua Pasca Perceraian Menurut Undang-
Undang No. 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam Dihubungkan dengan Undang-Undang No. 23 Tahun
2002 tentang Perlindungan Anak”, (Skripsi Sarjana Universitas Indonesia, Depok, 2008), hlm. 18.

18
seseorang yang telah dapat “berdiri sendiri”.21 Pengertian frase “berdiri sendiri”
sebagaimana disebutkan dalam Pasal 45 ayat (2) Undang-Undang aquo menurut hakim
yang memeriksa pekara aquo harus mengacu pada Pasal 47 ayat (1) dan (2) UU Nomor
1 Tahun 1974 yaitu dewasa adalah apabila telah mencapai umur 18 (delapan belas) tahun
atau sudah pernah menikah.
Mengenai kedewasaan ini penulis kurang sependapat dengan majelis hakim yang
menyatakan usia dewasa sesuai UU Nomor 1 Tahun 1974 yaitu umur 18 (delapan belas)
tahun. Penulis sependapat dengan pendapat Prof. Wahyono Damrabrata, SH, MH dan
Surini Ahlan, SH, MH dalam bukunya yang berjudul Hukum Perkawinan dan Keluarga
di Indonesia, menyatakan bahwa:
“orang yang berumur 18 (delapan belas) tahun yang belum pernah kawin adalah
belum belum dewasa. Sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku
sebelum Undang-undang Perkawinan ini bahwa seseorang baru dapat dikatakan
dewasa apabila telah mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun dan atau sudah
pernah kawin. Penulis berpegang pada ketentuan peraturan perundang-undangan
yang berlaku sebelum Undang-undang Perkawinan dimana seseorang dianggap telah
dewasa apabila telah berusia 21 (dua puluh satu) tahun atau telah pernah kawin
walaupun tidak lagi dalam ikatan perkawinan. Yang menjadi pegangan penulis
menyatakan bahwa kedewasaan seseorang ialah dalam usia 21 (duapuluh satu) tahun
dan atau pernah kawin adalah: 1.Ordonansi tahun 1831 yang menentukan bahwa
seseorang dewasa apabila telah mencapai usia 21 tahun dan atau telah pernah kawin;
2. UU Nomor 1 Tahun 1974 memang belum secara tegas mengatur masalah
kedewasaan seseorang.”22
Berdasarkan uraian diatas, dapat terlihat bahwa kedewasaan seseorang untuk batas
pemberian nafkah anak di umur 18 (delapan belas) tahun adalah kurang ideal karena
pada umur 18 (delapan belas) tahun seorang anak masih membutuhkan biaya pendidikan
dan masih belum bisa langsung dapat dilepas haknya untuk mendapatkan biaya
pendidikan dari orang tua. Akibatnya, 2 (dua) anak tersebut yang masing-masing
berumur 20 (dua puluh) tahun dan 19 (sembilan belas) tahun tidak lagi mendapatkan
nafkah dari ayahnya yaitu Penggugat, sedangkan kedua anak tersebut masih memerlukan
biaya pendidikan dibangku kuliah. Sedangkan, kondisi sang ibu yakni Tergugat juga
tidak dapat dikatakan baik dalam ekonomi untuk menguliahkan kedua anaknya sendirian.
Sebagaimana diuraikan dalam Pasal 41 ayat (2) UU Nomor 1 Tahun 1974 yang
menyatakan bahwa “Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan
dan pendidikan yang diperlukan anak itu; bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat
21
Pengadilan Negeri Kotamobagu, Putusan No. 102/Pdt.G/2020/PN.Ktg
22
Wahyono Damrabrata dan Surini Ahlan Sjarif, Hukum Perkawinan dan Keluarga di Indonesia, Ed. 1 Cet.
3, (Jakarta: Rizkita, 2015), hlm. 143-144

19
memenuhi kewajiban tersebut, Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul
biaya tersebut.”23

Berdasarkan uraian Pasal 45 ayat (2) aquo dapat disimpulkan bahwa akibat dari
putusnya perkawinan karena perceraian salah satunya terhadap biaya pemeliharaan dan
pendidikan yang diperlukan oleh anak akan tetap ditanggung oleh Bapak/Ayahnya dalam
kasus ini adalah Penggugat dan apabila memang terbukti bahwa sang Bapak/Ayah
memiliki keterbatasan ekonomi, ketentuan Pasal 45 ayat (2) aquo memerintahkan untuk
ibu dalam kasus ini adalah Tergugat untuk turut membantu biaya anak yang semestinya
adalah kewajiban seorang Bapak/Ayahnya. Selain itu, sebagai perbandingan yang dapat
dijadikan referensi terkait kedewasaan seorang anak yang kaitannya dengan kekuasaan
orang tua dapat terlihat didalam Pasal 156 huruf d Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang
menyatakan bahwa “semua biaya hadhanah dan nafkah anak menjadi tanggung jawab
ayah menurut kemampuannya, sekurang-kurangnya sampai anak tersebut dewasa dapat
mengurus diri sendiri (21 tahun).”24 UU Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan juga telah menyatakan bahwa
perkawinan hanya diizinkan apabila seorang pria dan seorang wanita sudah mencapai
umur 19 (sembilan belas) tahun.25

Hal tersebut juga dapat menjadi petunjuk bahwa batas kedewasaan yang dimaksud
dalam pemberian nafkah terhadap anak akibat putusnya perkawinan kedua orang tuanya
karena perceraian, tidak lah mutlak harus 18 (delapan belas) tahun dan hakim masih
dapat berpendapat lain atau pertimbangan seadil-adilnya. Majelis hakim dalam
memutuskan suatu gugatan ataupun permohonan selalu mempertimbangkan kondisi dan
kebutuhan anak, dalam mencabut dan menetapkan kewajiban pemeliharaan dan
kewajiban nafkah atas anak tersebut kepada kedua atau salah satu dari orang tua. 26
Berdasarkan uraian-uraian diatas, nafkah anak seharusnya masih dapat diberikan kepada
anak-anak dalam perkara aquo yang masing-masing berumur 20 (dua puluh) tahun dan
19 (sembilan belas) tahun.

23
Indonesia, Undang-Undang Perkawinan, ................., Ps. 41 ayat (2)
24
Indonesia, Kompilasi Hukum Islam, Ps. 156
25
Indonesia, Undang-Undang Perubahan Atas Undang-Undang Perkawinan, UU No. 16 Tahun 2019, LN
No. 186 Tahun 2019, TLN 6401
26
Raudhatunnur, “Eksekusi Putusan Kewajiban Ayah Atas Nafkah Anak Pasca Perceraian (Studi Kasus
Pada Mahkamah Syar’iyah Idi)”, Jurnal Magister Ilmu HukumProgram Pascasarjana Universitas Syiah Kuala
Banda Aceh, Vol. 2, No. 2, (September 2016), hlm. 46

20
21
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pemberian nafkah anak akibat putusnya perkawinan kedua orang tuanya akibat
perceraian diatur dalam Pasal 41 UU Nomor 1 Tahun 1974. Pertimbangan hukum majelis
hakim yang memeriksa perkara dalam putusan nomor 102/Pdt.G/2020/PN.Ktg selain Pasal
41 aquo, yaitu Pasal 45 dan Pasal 47 UU Nomor 1 Tahun 1974 yang memutuskan bahwa
dari ketiga anak Penggugat dan Tergugat hanya E (anak ketiga), sedangkan C (anak
pertama) dan D (anak kedua) yang masing-masing berumur 20 (dua puluh) tahun dan 19
(sembilan belas) dianggap telah dapat berdiri sendiri karena telah berumur 18 (delapan
belas) tahun berdasarkan Pasal 47 UU Nomor 1 Tahun 1974.
Penulis kurang sependapat dengan hal tersebut. Menurut penulis kurang tepat untuk
diaplikasikan dalam ketentuan Pasal 41 UU Nomor 1 Tahun 1974 karena, pertama
ketentuan usia dewasa dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 belum diatur secara tegas, kedua
ketentuan dewasa sebelum UU Nomor 1 Tahun 1974 adalah 21 (dua puluh satu) tahun,
ketiga KHI sebagai perbandingan hukum yang mengatur batas usia pemberian nafkah anak
mengatur pada usia 21 (dua puluh satu) tahun, dan terakhir UU Nomor 16 Tahun 2019
mengatur batas usia pria dan wanita dapat kawin adalah 19 (sembilan belas) tahun. Jadi,
penerepan Pasal 47 Undang-Undang aquo sehingga mengharuskan usia 18 (delapan belas)
tahun sebagai batas pemberian nafkah terhadap anak adalah kurang tepat dan hakim masih
dapat berpendapat lain atau yang seadil-adilnya.
B. Saran
Peraturan perundang-undangan perkawinan harus lebih memperhatikan dan mengatur
secara tegas mengenai usia dewasa. Khususnya, terhadap pemberian nafkah anak akibat
putusnya perkawinan kedua orang tuanya karena perceraian, sehingga hak seorang anak
yang masih membutuhkan peran dari kedua orang tuanya tetap terlindungi dan tidak hilang
akibat perceraian kedua orang tuanya.

22
DAFTAR PUSTAKA

A. BUKU
Damrabrata, Wahyono dan Surini Ahlan Sjarif. Hukum Perkawinan dan Keluarga di
Indonesia. Jakarta: Rizikita, 2015.
Simanjuntak, P.N.H. Pokok-pokok Hukum Perdata Indonesia. Jakarta: Djambatan, 2009
Subekti. Pokok-pokok Hukum Perdata, Cet. 31.Jakarta: Intermasa, 2003.

B. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Indonesia.Undang-Undang Perkawinan. UU No. 1 Tahun 1974. LN No. 1 Tahun 1974.
TLN No. 3019.
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata[Burgelijk Wetboek]. Diterjemahkan oleh R.
Subekti. Jakarta: Pradnya Paramita, 2009.
Indonesia. Peraturan Pemerintah Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan, PP No.9 Tahun 1975.
________, Undang-Undang Perlindungan Anak, UU No. 23 Tahun 2002. LN No. 109
Tahun 2002, TLN No. 4235
________, Undang-Undang Kesejahteraan Anak, UU No. 4 Tahun 1979. LN. No. 32
Tahun 1979, TLN No. 3143.

C. JURNAL
Raudhatunnur. “Eksekusi Putusan Kewajiban Ayah Atas Nafkah Anak Pasca Perceraian
(Studi Kasus Pada Mahkamah Syar’iyah Idi).” Jurnal Magister Ilmu Hukum
Program Pascasarjana Universitas Syiah Kuala Banda Aceh, Vol. 2, No. 2,
(September 2016). Hlm. 43-50
Yunanto. “Pembaharuan Hukum Perkawinan Indonesia.” Diponegoro Private Law
Review Vol. 3, No. 1 (Oktober 2018). Hlm. 262-271

D. SKRIPSI/TESIS/DISERTASI
Ermita Dwirachmani, “Analisis Lembaga Kekuasaan Orang Tua Pasca Perceraian
Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam
Dihubungkan dengan Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak.” Skripsi Sarjana Universitas Indonesia, Depok, 2008.
LAMPIRAN

Anda mungkin juga menyukai