Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

TINDAK PIDANA LINGKUNGAN SEBAGAI


KEJAHATAN WHITE COLLAR CRIME

Oleh :
ARIANDIKA HERVIANDI
11010112130231

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2014

KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena denga
rahmat-Nya, saya sebagai penyusun dapat menyelesaikan
pembuatan Karya Tulis Sederhana ini dengan baik.
Karya Tulis Sederhana ini dibuat agar pembaca dapat
mengetahui lebih dalam mengenai tindak pidana lingkungan
sebagai kejahatan white collar crime.
Penyusun menyadari masih banyak sekali kesalahan dan
kekurangan dalam menyusun makalah ini. Harap dimaklumi
karena penulis masih dalam tahap bimbingan dan pembelajaran.

Penyusun,

Ariandika Herviandi

BAB I PENDAHULUAN
Latar Belakang
Dalam proses modernisasi dan pembangunan ekonomi,
kenyataan menunjukan bahwa korporasi memegang peranan
penting dalam kehidupan masyarakat. Yang dalam
perkembangannya tidak jarang korporasi dalam mencapai
tujuannya melakukan aktivitas-aktivitas yang menyimpang atau
kejahatan dengan modus operandi yang dilakukan badan usaha.
Oleh karena itu, kedudukan korporasi sebagai subyek hukum
(keperdataan) telah bergeser menjadi subyek hukum pidana.
Di satu sisi, ditinjau dari bentuk subyek dan motifnya, kejahatan
korporasi dapat dikategorikan dalam white collar crime dan
merupakan kejahatan yang bersifat organisatoris. Untuk itu
penekanannya pada struktur korporasi, hak dan kewajiban serta
pertanggungjawabannya, sehingga dapat dikenali karakter
kejahatan korporasi dan letak pertanggungjawabannnya yang
pada akhirnya dapat ditemukan solusi yuridisnya.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
menyatakan bahwa lingkungan hidup yang baik dan sehat
merupakan hak asasi dan hak konstitusional bagi setiap warga
negara Indonesia. Oleh karena itu, negara, pemerintah, dan
seluruh pemangku kepentingan berkewajiban untuk melakukan
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup dalam
pelaksanaan pembangunan berkelanjutan agar lingkungan hidup
Indonesia dapat tetap menjadi sumber dan penunjang hidup bagi
rakyat Indonesia serta makhluk hidup lain.

BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Korporasi
Secarah

Harfiah

Korporasi

(Corporatie,

Belanda),

Corporation (Inggris), corporation (Jerman) berasal dari


kata corporation dalam bahasa Latin. Seperti halnya
dengan kata-kata lain yang berakhiran tio, corporation
sebagai kata benda (substantivum) berasal dari kata kerja
corporare. Sedangkan kata corporare berasal dari kata
corpus yang dalam bahasa Indonesia diartikan dengan
badan yang mempunyai arti memberikan badan atau
membadankan.

Dengan

demikian

kata

corporatio

berasal dari hasil pekerjaan membadankan. Badan yang


dijadikan orang, badan yang diperoleh dengan perbuatan
manusia sebagai lawan terhadap badan manusia yang
terjadi menurut alam.Corporatie dalam bahasa Belanda
berarti

korporasi

atau

badan

hukum.

Sedangkan

rechtpersoon diartikan badan hukum, korporasi atau


pribadi hukum.
Corpus juga dapat diartikan sebagai makhluk hidup,
pribadi diri,

pesona, dewan, perkumpulan, buku, kitab,

dan buku pegangan atau juga dapat diartikan sebagai


property yang dikuasai (the property for which a trustee is
responsible).

Secara luas, korporasi dapat diartikan tidak hanya


berbentuk badan hukum, melainkan juga meliputi yang
bukan badan hukum atau menurut hukum perdata tidak
dapat dikualifikasikan sebagai badan hukum seperti firma,
perseroan komanditer atau CV, dan persekutuan atau
maatschap. Pengertian korporasi secara luas digunakan
dalam ranah hukum pidana, sehingga dalam ranah hukum
pidana

pengertian

korporasi

lebih

ditekankan

pada

adanya sekumpulan orang yang terorganisir dan memiliki


pimpinan serta melakukan perbuatan-perbuatan hukum,
misalnya perjanjian dalam rangka kegiatan usaha atau
kegiatan sosial yang dilakukan oleh pengurusnya untuk
dan atas nama kumpulan orang tersebut, juga termasuk
dalam pengertian korporasi.

B.

Pengertian White Collar Crime

Istilah white collar crime sering diterjemahkan


dalam bahsa Indonesia sebagai kejahatan kerah putih
ataupun kejahatan berdasi. White collar crime ini
pertama kali dikemukakan dan dikembangkan oleh
seorang kriminolog Amerika Serikat yang Bernama Edwin
Hardin Sutherland ( 1883 1950 )diawal decade 1940-an,
yang dikemukakan dalam suatu pidato dari sudherland
yang selalu dikenang dan saat itulah pertama kali muncul
konsep white collar crime, yaitu pidatonya tanggal 27
desember 1983 pada The American Sosiological Society di
Philadelphia dalam tahun 1939. Kemudian sutherlan

menerbitkan buku berjudul white collar crime dalam tahun


1949[1]
Dari pengertian white collar crime tersebut diatas
dapat ditarik unsur-unsur yuridis dari white collar crime,
yaitu sebagai berikut:
1. Adanya perbuatan (atau tidak berbuat) yang
bertentangan dengan hukum, baik hukum pidana
dan atau hukum perdata dan atau hukum tata usaha
negara.
2. Sekelompok kejahatan yang spesifik.
3. Pelakunya adalah individu, organisasi kejahatan, atau
badan hokum.
4. Pelakunya sering kali (tetapi tidak selamanya)
merupakan terhormat/kelas tinggi dalam
masyarakat, atau mereka yang berpendidikan tinggi.
5. Tujuan dari perbuatan tersebut adalah unutk
melindungi kepentingan bisnis atau kepentingan
pribadi, atau untuk mendapatkan uang, harta benda,
maupun jasa, ataupun untuk mendapatkan
kedudukan dan jabatan tertentu.
6. Perbuatan tersebut dilakukan bukan dengan caracara kasar, seperti mengancam, merusak, atau
memaksa secara fisik, melainkan dilakukan dengan
cara-cara halus dan canggih.
7. Perbuatan tersebut biasanya (tetapi tidak
selamanya) dilakukan ketika pelakunya sedang
menjalankan tugas (orang dalam) atau ketika
menjalankan profesinya.

C.

Bentuk Kejahatan Korporasi

1 Munir Fuady, Bisnis Kotor ( Anatomi Kejahatan Kerah Putih ), Citra Aditya
Bakti, Bandung, 2004

Mabel A. Elliot dalam bukunya Crime in Modern Society


(1952), melihat kejahatan dari beberapa sudut:
1. Crime as a Social Problem. Dilihat dari sudut
sosiologi, maka kejahatan adalah salah satu masalah
yang paling gawat dari disorganisasi sosial karena
penjahat bergerak dalam aktivitas-aktivitas yang
membahayakan
hukum,

bagi

dasar-dasar

undang-undang,

pemerintahan,

ketertiban

dan

kesejahteraan social.
2. Crime as a Psycological Problem. Psikolog selalu
mengingatkan bahwa kejahatan itu dibuat oleh
penjahat. Kejahatan itu dibuat oleh penjahat dan
penjahat itu adalah manusia, yang atas dasar
apapun juga, mempunyai motif untuk melakukan
perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh undangundang. Oleh karena itu dilihat dari sudut psikologis
kejahatan kecuali memang adalah perbuatan yang
dilakukan oleh seorang penjahat, adalah perbuatan
dari orang-orang yang sama dengan kita (The
experience of crime behaviours is not different from
the experience of human behaviour).
3. Crime as a Psychosocial Problem. Kelakuan dari
seorang

penjahat,

masyarakat

bilamana

adalah

suatu

dilihat

dari

kelakuan

sudut
yang

menyeleweng (deviant behaviour).


4.

Crime as a Legal-social Problem. Definisi kejahatan,


setiap perbuatan, atau kegagalan untuk melakukan
suatu perbuatan, yang dilarang atau diharuskan oleh
Undang-Undang, yang untuk tindakannya tersebut
dapat dijatuhkan pidana dalam bentuk denda atau
punishment, hilang kemerdekaan, dibuang ke luar
daerah, pidana mati dan lain-lain.[2]

D. Tindak Pidana Korporasi di


Lingkungan Hidup Sebagai
Kejahatan White Collar Crime.
Kejahatan
terhadap
lingkungan
hidup
berupa
pencemaran dan atau perusakan kondisi tanah, air dan
udara suatu wilayah. Dengan demikian dalam kejahatan
lingkungan hidup dapat ditafsirkan lebih luas dalam konteks
kerusakan yang berakibat luas, mengakibat bencana dan
merugikan pada umat manusia berupa pencemaran.
Hukum pidana dalam UU No 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan
dan
Pengelolaan
Lingkungan
Hidup,
memperkenalkan ancaman minimum disamping maksimum,
2 http://www.oneofthesky.co.cc/2010/05/teori-kejahatan.html, diakses tanggal 28
Desember 2014 Jam 20.53 WIB, Semarang

perluasan alat bukti, pemidanaan bagi pelanggaran baku


mutu, keterpaduan penegakan hukum pidana dan
pengaturan tindak pidana korporasi.
Dalam kedudukannya lingkungan hidup yang baik dan
sehat sebagai salah satu hak asasi dan hak konsitusional
bagi warga negara yang sinergi dengan pembangunan
nasional
yang
diselenggarakan
dengan
prinsip
pembangunan berkelanjutan dan berwawasan nusantara.
Pada dasarnya menjadi kebutuhan dan penentu sistem
penyanggah kehidupan, lingkungan yang baik dan sehat
memberikan manfaat yang besar bagi umat manusia. Oleh
karena itu negara, pemerintah dan seluruh masyarakat
berkewajiban
untuk
melakukan
perlindungan
dan
pengelolaan lingkungan hidup.
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 ini terdiri dari 17
BAB dan 127 Pasal yang mengatur secara lebih menyeluruh
tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup
(selanjutnya disingkat UUPPLH). Perbedaan mendasar antara
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup (selanjutnya disingkat UUPLH) dengan
Undang-Undang ini adalah adanya penguatan yang terdapat
dalam
Undang-Undang
ini
tentang
prinsip-prinsip
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang
didasarkan pada tata kelola pemerintahan yang baik karena
dalam setiap proses perumusan dan penerapan instrumen
pencegahan pencemaran dan/ atau kerusakan lingkungan
hidup serta penanggulangan dan penegakan hukum
mewajibkan pengintegrasian aspek transparansi, partisipasi,
akuntabilitas, dan keadilan. Beberapa point penting dalam
UU No. 32 Tahun 2009 antara lain:
1. Keutuhan unsur-unsur pengelolaan lingkungan hidup;
2. kejelasan kewenangan antara pusat dan daerah;
3. Penguatan pada upaya pengendalian lingkungan hidup;

4. Penguatan instrumen pencegahan pencemaran dan/ atau


kerusakan lingkungan hidup, Pendayagunaan perizinan
sebagai instrumen pengendalian;
5. Pendayagunaan pendekatan ekosistem;
6. Kepastian
dalam
merespon
perkembangan lingkungan global;

dan

mengantisipasi

7. Penguatan demokrasi lingkungan melalui akses informasi,


akses partisipasi, dan akses keadilan serta penguatan
hak-hak
masyarakat
dalam
perlindungan
dan
pengelolaan lingkungan hidup;
8. Penegakan hukum perdata, administrasi, dan pidana
secara lebih jelas;
9. Penguatan kelembagaan perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup yang lebih efektif dan responsif;
10. Penguatan kewenangan pejabat pengawas lingkungan
hidup dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil lingkungan
hidup.

Pengaturan sanksi yang tegas (pidana dan perdata) bagi


pelanggaran terhadap baku mutu, pelanggar AMDAL
(termasuk pejabat yang menebitkan izin tanpa AMDAL atau
UKL-UPL), pelanggaran dan penyebaran produk rekayasa
genetikan tanpa hak, pengelola limbah B3 (Bahan
Berbahaya Beracun) tanpa izin, melakukan dumping tanpa
izin, memasukkan limbah ke NKRI tanpa izin, melakukan
pembakaran hutan,
Pengaturan tentang pajabat pengawas lingkungan hidup
(PPLH) dan penyidik pengawai negeri sipil (PPNS), dan
menjadikannya sebagai jabatan fungsional.

Selanjutnya, pengaturan tentang sanksi pidana tidak


jauh berbeda bagaimana bentuk-bentuk tindak pidana yang
ada dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan
dan
Pengelolaan
Lingkungan
hidup
dibandingkan dengan undang-undang Nomor 23 tahun 1999
tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup tetap tindak pidana
dibagi dalam dalam delik materil maupun delik materil.
Cuma dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009
pengaturan pasal lebih banyak pasal sanksi pidananya bila
dibandingkan dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun
1997. Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 hanya
ada enam pasal yang menguraikan masalah sanksi pidana
dalam kaitannya dengan tindak pidana lingkungan (Pasal 41
sampai dengan Pasal 46). Sedangkan dalam Undang-undang
Nomor 32 tahun 2009 ada 19 Pasal (Pasal 97 sampai dengan
Pasal 115). Jika diamati dan dibadingkan pengaturan Pasal
tentang sanksi pidana terhadap tindak pidana lingkungan
dalam UUPPLH lebih terperinci jenis tindak pidana
lingkungan, misalnya ada ketentuan baku mutu lingkungan
hidup, diatur dalam pasal tersendiri tentang pemasukan
limbah Bahan Berbahaya Dan Beracun (selanjutnya disingkat
B3), masalah pembakaran lahan, dan penyusunan AMDAL
tanpa sertifikat akan dikenakan sanksi pidana. Atau dengan
kata lain pengaturan sanksi pidana secara terperinci dalam
beberapa pasal.
Tindak pidana yang diperkenalkan dalam UUPPLH juga dibagi
dalam delik formil dan delik materil. Menurut Sukanda Husin
(2009: 122) delik materil dan delik formil dapat didefensikan
sebagai berikut:
1. Dellik materil (generic crime) adalah perbuatan
melawan hukum yang menyebabkan pencemaran atau
perusakan lingkungan hidup yang tidak perlu
memerlukan pembuktian pelanggaran aturan-aturan
hukum administrasi seperti izin.
2. Delik formil (specific crime) adalah perbuatan yang
melanggar hukum terhadap aturan-aturan hukum

administrasi, jadi untuk pembuktian terjadinya delik


formil tidak diperlukan pencemaran atau perusakan
lingkungan hidup seperti delik materil, tetapi cukup
dengan membuktikan pelanggaran hukum administrasi.

BAB III PENUTUP


Kesimpulan
Dengan pertimbangan dampak yang dapat ditimbulkan
oleh
kejahatan
korporasi
baik
bagi
masyarakat,
perekonomian, pemerintahan dan aspek-aspek lainnya yang
berbahaya, bahkan lebih serius dibandingkan dengan
dampak yang ditimbulkan oleh bentuk-bentuk kejahatan
yang konvensional, maka harus ada konsistensi dan
landasan
yang
solid
dalam
hukum
untuk
dapat
membebankan
pertanggungjawaban
pidana
kepada
korporasi. Dalam berbagai harus terdapat pengaturan
menyangkut pertanggungjawaban ini.
Selain itu, diperlukan perhatian studi yang lebih
mendalam, baik di kalangan akademis, profesional maupun
aparat penegak hukum, guna membangun suatu kerangka
teoritis bagi pertanggungjawaban pidana korporasi. Hal ini
hendaknya diimbangi pula dengan upaya peningkatan
kualitas dan kemampuan para penegak hukum yang akan
menerapkannya. Mereka harus mampu dan kreatif untuk
melakukan terobosan-terobosan hukum.

Kejahatan korporasi dibidang lingkungan hidup adalah


bentuk penyimpangan korporasi dalam melakukan aktivitas
usahanya yang berdampak pada kerusakan lingkungan
hidup. Korporasi yang penyimpangannya diatas dapat
dibedakan dalam beberapa jenisberdarkan daya rusaknya
terhadap lingkungan hidup. Perlunya penegakan hukum yang tegas
terkait masalah ini.
Dalam Penegakan hukum ( law emporcement )
terdapat kehendak agar hukum tegak, sehingga nilai-nilai
yang diperjuangkan melalui instrumen hukum yang
bersangkutan
dapat
diwujudkan.
Sedangkan
dalam
menggunakan hukum, cita-cita yang terkandung dalam
hukum belum tentu secara sungguh-sungguh hendak diraih,
sebab hukum tersebut digunakan untuk membenarkan
tindakan-tindakan yang hendak dilakukan ( to use the low to
legitimate their aktions ).Sejalan dengan itu, keterbatasan
hukum pidana dalam menegakkan hukum juga sangat
berpengaruh terhadap penegakan hukum pidana di bidang
lingkungan.

DAFTAR PUSTAKA
https://bismar.wordpress.com/2009/12/23/
kejahatan-korporasi/
http://hukum.kompasiana.com/2012/03/29
/tindak-pidana-korporasi-lingkunganhidup-kota-samarinda-bagian-i450713.html

http://erlannopri.blogspot.com/2013/10/pe
ngertian-korporasi.html
http://www.oneofthesky.co.cc/2010/05/teor
i-kejahatan.html

Anda mungkin juga menyukai