Anda di halaman 1dari 9

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Polemik mengenai konsep negara yang tidak sesuai, serta pemimpin yang
mengecewakan rakyatnya, sekarang menjadi hal yang sedang hangat-hangatnya
dibahas, khususnya di Indonesia! Hal itu dapat dimaklumi, karena siapa yang
tidak ingin medapatkan pemimpin yang penyabar seperti Abu Bakar? Atau
pemimpin yang tegas dan berwibawa seperti Umar bin Khattab? Atau pemimpin
yang ahli ibadah dan dermawan seperti ‘Utsman bi ‘Affan? Atau yang cerdas
seperti Ali bin Abu Thalib? Dan siapa yang tidak ingin memiliki pemimpin yang
mulia, manusia yang kita rindukan dan kita junjung, Rasulullah Shallallau ‘alaihi
wa sallam? Walaupun hal seperti itu sangat tidak mungkin! Tapi setidaknya, kita
mendambakan ada pemimpin yang mampu mengayomi rakyatnya dan
berwewenang penuh atas negara yang ia pimpin.
Mengenai hal di atas, maka ada baiknya kita mengutip konsep dari salah satu
ilmuwan Islam yang cukup berpengaruh dalam dunia keislaman, Al-Farabi!
Beliau membuat konsep, bagaimana bentuk negara yang baik dan seperti apa
kriteria dari pemimpin itu. Sekirnya makalah yang ringkas dan serba kekurangan,
sekiranya bisa menjawab sedikit dari banyaknya permasalahan yang terjadi saat
ini. Kita bermohon kepada Allah ‘Azza wa jala agar dimudahkan atas kepahaman
terhadap segala ilmu yang kita dapat! Dan jangan lupa untuk memohon ilmu yang
berkah dan bermanfaat!
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana konsep masyarakat yang baik , menurut Al-Farabi?
2. Bagaimana konsep negara yang baik, menurut Al-Farabi?
3. Apa saja kriteria seorang pemimpin yan ideal, menurut Al-Farabi?
C. Tujuan dan Manfaat Dari Penulisan Makalah Ini
Kami bermohon kepada Allah ‘Azza wa jala, agar para pembaca, yang
dirahmati oleh Allah, agar mampu mendapatkan jawaban dari yang dirumuskan
mengenai masalaha yang akan dibaca! Dan semoga ini menjadi sedikit
pengetahuan bagi para pembaca, mengenai pemikiran politik Al-Farabi!

1
BAB II

PEMIKIRAN POLITIK AL-FARABI

A. Konsep Masyarakat Menurut Al-Farabi


Al-Farabi berpendapat, manusia adalah makhluk sosial yang mempunyai
kecenderungan alami untuk bemasyarakat, karena ia tidak mampu memenuhi
kebutuhan dirinya sendiri tanpa bantuan pihak lain1. Sebagai makhluk sosial,
maka manusia memiliki kecenderunagn hidup bermasyarakat dengan tujuan
disamping memenuhi kebutuhan pokok hidup juga mencapai kebahagiaan
material dan spiritual di dunia dan di akhirat. Dari pendapat tersebut, tampak Al-
Farabi memberi warna Islam pada pandangan Plato dan Aristoteles dengan
menambahkan tujuan masyarakat yang bersifat ukhrawi dari pembentukan
negara2. Kecenderungan manusia untuk hidup bermasyarakat melahirkan berbagai
masyarakat, yakni masyarakat sempurna dan masyarakat tidak sempurna3.
1. Masyarakat Sempurna
Masyarakat sempurna, dalam hal ini, dibagi menjadi tiga yaitu,
masyarakat sempurna besar, masyarakat sempurna sedang, dan masyarakat
sempurna kecil.4
a) Masyarakat Sempurna Besar, adalah gabungan banyak bangsa yang
sepakat untuk bergabung dan saling bekerja sama. Dengan kata lain,
masyarakat sempurna besar mirip dengan perserikatan bangsa-bangsa,
b) Masyarakat Sempurna Sedang, adalah masyarakat yang terdiri dari
satu bangsa yang menghuni di satu wilayah di bumi ini. Masyarakat
yang semacam ini mirip dengan negara nasional,
c) Masyarakat Sempurna Kecil, adalah masyarakat yang terdiri dari
penghuni kota, atau bisa dibilang, mirip dengan negara kota.
2. Masyarakat Tidak Sempurna
Masyarakat tidak sempurna adalah masyarakat di tingkat desa, kampung,
gang dan keluarga. Ketiga unit ini, dianggap tidak mampu mandiri dalam

1
Muhammad Iqbal, Pemikiran Politik Islam Dari Masa Klasik Hingga Indonesia Kontemporer,
(Depok: Kencana, 2017), cet. IV, hlm. 10.
2
Wawan Hermawan, Konsep Negara Menurut Al-Farabi (Artikel), tt, hlm. 5.
3
Wawan Hermawan, loc. cit.
4
Wawan Hermawan, loc. cit.(Dengan perubahan)

2
memenuhi kebutuhan para warganya, baik kebutuhan ekonomi, sosial
budaya maupun spiritual5.
B. Konsep Negara Menurut Al-Farabi
Di dalam buku karangannya, Ara’ ahl al-Madinah al-Fadhilah, beliau
membagi negara kepada dua kelompok, yaitu Negara Utama (al-Madinah al
Fadilah) dan Lawan Negara Utama (Mudaddah al-Madinah al-Fadilah)6.
1. Negara Utama (al-Madinah al-Fadilah)
Al-Farabi menyatakan, sebagaimana dinyatakan oleh Plato, bahwa bagian
suatu negara sangat erat hubungannya satu sama lain dan saling bekerja sama,
laksana anggota badan7. Keseluruhan anggota tubuh yang beragam ini dipimpin
oleh satu anggota yang paling penting, yaitu hatu atau akal.
Demikian juga halnya dengan Negara Utama. Ia mempunyai warga-warga
dengan fungsi dan kemampuan yang tidak sama satu dengan yang lainnya.
Kebahagiaan bagi suatu masyarakat tidak akan bisa tercapai apabila tidak adanya
pembagian kerja yang berbeda, sesuai dengan keahlian masing-masing pribadi,
dan dijiwai oleh rasa setia kawan dan kerja sama yang baik. 8 Semua warga negara
yang beragam ini dipimpin oleh seorang Kepala Negara, sebagaimana hati
memimpin seluruh anggota badan.
Dalam negara, menurut Al-Farabi, dengan beragamnya keahlian dan
kemampuan, maka mereka pun memiliki peran untuk membantu negara. Ada
yang bertugas sebagai kepala negara, dan ada juga mereka yang bertugas
membantu kepala negara. 9
Dalam pembagian peringkat, ada masyarakat yang menjadi peringkat
pertama atau kelas paling tinggi, yang mereka bersama dengan kepala negara.
Lalu ada masyarakat di bawahnya, yang bertugas membantu warga tingkat
pertama, disebut kelas atau peringkat kedua. Kemudian di bawahnya ada
kelompok peringkat ketiga, yang berfungsi membantu warga peringkat kedua.
Kemudian di bawahnya lagi ada masyarakat yang bertugas membantu warga di

5
Wawan Hermawan, loc. cit. (dengan perubahan).
6
Muhammad Iqbal, op. cit., hlm. 11.
7
Muhammad Iqbal, loc. cit.
8
Muhammad Iqbal, loc. cit. (dengan perubahan).
9
Ibid, hlm. 12.

3
peringkat atas, dan begitu seterusnya sampai kelas paling rendah. Sistem
masyarakat semacam ini menurut Al-Farabi seperti piramida.10
2. Lawan Negara Utama (Mudhaddah al-Madinah al-Fadhilah)
Selain Negara Utama yang dikemukan di atas, Al-Farabi membagi empat
macam negara yang rusak, yang bertentangan dengan dengan Negara Utama,
yaitu:11
a) Negara Bodoh (al-Madinah al-Jahilah), yaitu negara yang
penduduknya tidak mengenal kebahagiaan, dan ini tidak terlintas dalam
hati mereka. Mereka tidak akan peduli akan hal semacam ini. Menurut
mereka, kebahagiaan itu sekadar badan yang sehat, harta yang cukup,
dapat merasakan kesenangan lahiriah, dan hal yang selain dari itu adalah
kesengsaraan. Jiwa penduduk kota/negara kebodohan, menurut Alfarabi
tidak sempurna. Keinginan terhadap hal-hal yang bersifat materi terlalu
besar dan tidak mau berpikir tentang hakekat materi itu kemudian berujung
(pengenalan) kepada Pencipta Pertama12. Negara semacam ini ada
bermacam-macam. 13
1) Negara yang sangat primitif, yang perhatian masyarakatnya hanya
terbatas pada kebutuhan sandang, pangan dan papan, serta kerja
sama dalam pemenuhan kebutuhan tertentu.
2) Negara yang sedang berkembang, tetapi perhatian mereka hanya
terpusat pada kerja sama untuk peningkatan materi dan
penumpukan harta kekayaan.
3) Negara yang tujuan hidup rakyatnya untuk dihormati, dipuji, dan
tersohor di antara bangsa-bangsa lain.
4) Negara yang perhatiannya lebih kepada penaklukan dan
penguasaan terhadap negara-negara lain.
5) Negara yang rakyatnya hanya ingin menikmati kebebasan mereka
dalam berbuat, yang pada akhirnya menimbulkan anarkisme.

10
Muhammad Iqbal, op. cit, hlm. 12. (dengan perubahan).
11
Ibid, hlm. 14
12
Al-A’raf, Imam Sukardi, Negara dan Kepemimpinan, (Surakarta: IAIN Surakarta, Vol. XIV. No. 2.
Juli-Desember 2017), hlm. 292.
13
Muhammad Iqbal, op. cit, hlm. 15. (dengan perubahan)

4
b) Negara Fasik (al-Madinah al-Fasiqin), yakni negara yang
penduduknya mengenal kebahagiaan, Tuhan dan Akal Fa’’al,
sebagaimana penduduk negara utama. Akan tetapi, apa yang mereka
kerjakan tak ada bedanya dengan negara bodoh, apa yang mereka katakan
dan lakukan saling bertolak belakang.14
c) Negara Sesat (al-Madinah al-Dhallah), yaitu negara yang
penduduknya mempunya pemikiran yang salah tentang Tuhan dan Akal
Fa’’al. Meskipun demikian, kepala negaranya menganggap bahwa dirinya
mendapat wahyu, kemudian ia menipu orang lain dengan ucapan dan
tingkah lakunya15.
d) Negara yang berubah (al-Madinah al-Mutabaddillah) adalah negara
yang pada awalnya mempunyai pikiran yang sama seperti pemikiran
penduduk negara utama, akan tetapi kemudian mengalami perubahan
sesuai dengan perkembangan zaman yang membawa mereka kepada
kerusakan pada pikirannya.16

Di dalam jurnal Al-A’raf, Al-Farabi membagi negara ini menjadi enam


macam, yaitu:
a) Almadinah Aldharuriyyah (Kota/Negara Kebutuhan Dasar) adalah
suatu kota/negara yang di dalamnya para warga hanya memprioritaskan
persoalan-persoalan dasar bagi kelangsungan hidup dan kesehatan badan
mereka. Mereka selalu berusaha sungguh-sungguh dan saling bahu-
membahu dalam memperolehnya. Tujuan mereka hanyalah untuk
mempertahankan kelangsungan hidup.17
b) Almadinah Alnadzdzalah (Kota/Negara Jahat), yaitu suatu kota/negara
yang warganya menjadikan kekayaan dan kemakmuran secara berlebihan
sebagai tujuan hidup.18

14
Muhammad Iqbal, op. cit.. hlm. 15.
15
Muhammad Iqbal, loc. cit.
16
Muhammad Iqbal, loc. cit.
17
Al-A’raf, Imam Sukardi, Negara dan Kepemimpinan, (Surakarta: IAIN Surakarta, Vol. XIV. No. 2.
Juli-Desember 2017), hlm. 292.
18
Ibid, hlm. 293.

5
c) Almadinah Alkhassah wa Alsuquth (Kota Hina dan Rendah), suatu
kota/negara yang tujuan hidup para warganya hanya memburu kesenangan
dan kenikmatan. Bisa berwujud makanan, minuman, dan menikah
(hubungan seks). Kenikmatan indrawi dan khayali itu mereka lakukan
hanya untuk main-main.19
d) Almadinah Alkaramiyah (Kota/Negara Kehormatan Aristokratik),
suatu kota/negara yang tujuan para warganya untuk meraih kehormatan,
pujian oleh bangsa lain, (merasa) dimuliakan, baik dengan kata-kata
maupun dengan perbuatan (perlakuan), memiliki kebanggaan dan
kemegahan, baik di mata orang lain maupun di antara mereka (warga)
sendiri. Masyarakat kota ini suka menghormati orang lain, baik dengan
penghormatan standar maupun istimewa. Penghormatan itu dilakukan agar
mereka mendapat balasan untuk dihormati, baik dengan penghormatan
standar maupun istimewa, sebagaimana yang pernah mereka lakukan
terhadap orang lain tersebut.20
e) Almadinah Altaghallub (Kota Imperialis), kota/negara yang tujuan
pokok warganya hanya untuk mengalahkan (menundukkan) orang lain,
mencegah orang (kelompok) lain mengalahkan dan menundukkan dirinya,
dan kerja kerasnya didasari pada rasa untuk mengalahkan orang lain.
Keinginan mengalahkan orang lain itu muncul dari bermacam bentuk
dengan berbagai alasan, seperti ingin mengalahkan atau menundukkan
orang lain secara fisik ataupun harta benda, sehingga orang lain itu
menghamba kepadanya. Dengan kata lain, warga kota ini menginginkan
orang lain taat kepadanya, sehingga dia dapat melampiaskan hawa
nafsunya tanpa halangan dari siapapun.21
f) Almadinah Aljama’iyyah (Kota demokratik), suatu kota yang tujuan
inti para warganya adalah memperoleh kebebasan tanpa batas untuk
melampiaskan hawa nafsu. Dalam kota ini tidak seorangpun berhak
melarang apa yang menjadi keinginan, dan apa yang dilakukan oleh warga
kota.22
19
Al-A’raf, op. cit., hlm. 293-294.
20
Ibid, hlm. 294
21
Ibid, hlm. 295-296.
22
Al-A’raf, op.cit., hlm. 296-297.

6
C. Kriteria Pemimpin Ideal Menurut Al-Farabi
Dalam sebuah negara, perlu adanya seorang pemimpin yang menjadi kepala
negara tersebut. Menurut Al-Farabi, kepala negara, terutama Kepala Negara
Utama, haruslah seorang filsuf yang mendapatkan kearifan melalui pikiran dan
rasio ataupun melalui wahy. Ia haruslah seorang pemimpin yang arif, bijaksana,
dan memiliki dua belas sifat atau syarat.23
Adapun dua belas kualitas luhur yang harus dimiliki oleh seorang kepala
negara, antara lain:24
1. Lengkap anggota badannya,
2. Baik daya pemahamannya,
3. Tinggi intelektualnya dan kuat daya ingatnya,
4. Cerdik dan pintar,
5. Pandai mengemukakan pendapat dan mudah dimengerti uraiannya,
6. Cinta kepada ilmu pengetahuan,
7. Tidak rakus dan menjauhi kelezatan jasmani,
8. Cinta kejujuran dan benci kebohongan,
9. Berjiwa besar dan berbudi luhur,
10. Cinta keadilan dan benci kezaliman,
11. Kuat pendirian,
12. Tidak terikat dengan materi atau uang.

Itulah sifat-sifat yang seharusnya dimiliki oleh seorang pemimpin, baik ia


seorang kepala negara, imam, atau pemimpin apa saja di dunia ini. Tentu sangat
jarang orang yang memiliki semua kualtas luhur dan agung ini sekaligus, ia bisa
dicapai secara bertahap satu demi satu.25

23
Muhammad Iqbal, op. cit., hlm. 13.
24
Muhammad Iqbal, loc. cit.
25
Ibid, hlm. 14.

7
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Sebenarnya, konsep dari seseorang itu, baik itu berupa konsep negara ataupun
konsep apapun itu, agaknya sulit untuk menerapkannya disaat sekarang ini. Apa
lagi kita tahu bagaimana sistem dunia saat ini, dipegang oleh orang yang
notabennya tidak senang dengan Islam, terutamanya. Akan tetapi, hal itu bukan
berarti tidak mungkin untuk diterapkan. Walaupun tidak bisa dikatakan mirip
100%, tapi setidaknya kita tidak terlalu jauh dari konsep-konsep sebagimana yang
disampaikan di atas. Contoh yang bisa kita ambil, walaupun tidak sepenuhnya
mirip dengan konsep yang dipaparkan, adalah negara Turki.
Terlepas dari itu semua, yang menjadi poin penting baik tidaknya pemimpin,
sebagai elemen penting dari sebuah negara, adalah mereka yang kembali dan
berpegang kepada Al-Qur’an, Sunnahnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam, dan sunnah para sahabat, tabi’ dan tabiin (generasi terbaik, sebagaimana
yang disampaikan Rasul dalam hadisnya).
Walaupun saat ini kita dalam keadaan tidak baik, tapi setidaknya kita bisa
memperbaiki diri kita terlebih dahulu, sebagai pemimpin atas badan kita sendiri.
Perlu diingat, kenapa kepemimpinan sekarang begitu buruk, hal ini diakibatka =n
karena diri kita sendiri! Allah tidak akan mengangkat seorang pemimpin yang
buruk melainkan untuk rakyat yang buruk pula! Begitulah lebih kurang isinya
dalam suatu riwayat.
B. Saran
Hal pertama yang perlu kita perbaiki adalah hubungan kita kepada Allah dan
manusia. Namun itu bukan berarti kita menelantarkan kebaikan pada diri kita
sendiri, keluarga, sanak-saudara, tetangga, dan yang mengikuti setelahnya. Lalu
yang kedua adalah pandai-pandai dalam memilih dan mengangkat pemimpin. Dan
yang terakhir, pendidikan mengenai politik, baik itu mengenai kepemimpinan
ataupun hal yang berkaitan, kepada semua lapisan masyarakat, terutama
masyarakat awam. Gunanya, agar mereka tidak merasa asing, alergi, apa lagi
sampai menganggap politik itu kotor! Ajarilah mereka dengan adab dan akhlak!

8
DAFTAR PUSTAKA

Iqbal, Muhammad. 2017. Pemikiran Politik Islam Dari Masa Klasik Klasik
Hingga Indonesia Kontemporer. Depok: Kencana
Al-A’raf, Sukardi, Imam. 2017. Negara Dan Kepemimpinan Dalam Pemikiran
AlFarabi. Surakarta: IAIN Surakarta
Hermawan, Wawan. Konsep Negara Menurut Al-Farabi. Tt. (Artikel)

Anda mungkin juga menyukai